Home » filsafat 1 » filsafat 1
Kamis, 16 November 2023
Epistemologi atau teori ilmu pengetahuan membahas
secara mendalam mengenai tiga masalah pokok, yaitu sumber
ilmu pengetahuan, metode ilmu pengetahuan, dan kebenaran
ilmu pengetahuan. Dalam bab ini di samping akan dibahas
ketiga hal ini , juga akan dibahas beberapa aliran filsafat
Barat yang menjadi landasan epistemologi sains Barat modern.
1. Sumber Ilmu Pengetahuan
Yang dimaksud dengan sumber ilmu pengetahuan ialah
hal-hal yang secara hakiki diyakini sebagai sumber darimana
ilmu pengetahuan itu kita peroleh. Mengenai sumber pengetahuan, tradisi filsafat Barat mewarisi dua aliran epistemologi
yang terbesar, yaitu aliran rasionalisme dan empirisme. Aliran
rasionalisme memberi tekanan pada akal (reason) sebagai
sumber pengetahuan, sedangkan aliran empirisme mengangap
bahwa sumber pengetahuan yang utama adalah pengalaman
inderawi manusia (sense experience). Kedua macam sumber ilmu
pengetahuan itu, yaitu akal dan indera, pada dasarnya
bersumber pada manusia, sebab akal dan indera itu dimiliki
oleh manusia.
Disamping itu ada pula pengetahuan yang bersumber
Tuhan yang disebut pengetahuan wahyu. Dengan demikian
Ilmu pengetahuan dapat digolongkan kepada dua macam.
1) Ilmu yang diperoleh oleh manusia (acquired knowledge),
yaitu melalui akal dan pengalaman inderawi. Ilmu yang
bersumber pada akal atau yang diperoleh melalui akal disebut juga conceptual knowledge, dan ilmu yang
bersumber pada indera manusia disebut perceptual
knowledge. Kedua macam ilmu yang diperoleh itu disebut
juga dengan ilmu aqli.
2) Ilmu wahyu (revealed knowledge),atau ilmu naqli yaitu
ilmu yang bersumber Allah swt., seperti ilmu ketauhidan,
keimanan, dan kewahyuan, ilmu fikh, ilmu ushuluddin,
dan sebagainya. Kalau ilmu-ilmu aqli bertujuan untuk
membantu manusia menjalankan peranannya sebagai
khalifah, atau untuk menyempurnakan fardhu kifayah bagi
kesejahteraan umat, maka ilmu-ilmu naqli bertujuan
menyempurnakan tugas manusia sebagai hamba Allah,
atau untuk menyempurnakan fardhu „ain.
2. Metode Ilmu Pengetahuan
Adapun ilmu-ilmu yang diperoleh melalui akal dan
pengalaman manusia diperoleh dengan pendekatan ilmiah,
yaitu melalui suatu rangkaian langkah berpikir yang disebut
berpikir ilmiah (scientific thinking). Biasanya langkah-langkah
berpikir ilmiah itu ada 5 macam, yaitu:
1 Perumusan masalah
2 Perumusan hipotesa
3 Pengumpulan data
4 Analisis data
5 Pengambilan kesimpulan.
Sesuai dengan pendekatan ilmiah itu, maka untuk ilmuilmu rasional dipakai metode apriori dan deduksi, sedangkan
untuk ilmu-ilmu empiris dipakai metode aposteriori dan induksi.
Yang dimaksud dengan apriori ialah pengetahuan yang
diperoleh sebelum dilakukan pengamatan atau tanpa
pengamatan, yang sebab itu pengetahuan ini bukanlah pengetahuan yang baru, sebab sudah apriori. Yang dimaksud
dengan aposteriori ialah pengetahuan yang diperoleh setelah
dilakukan ekperimen atau pengamatan secara empiris, yang
sebab itu pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan
yang baru. Deduksi adalah cara berpikir dari yang umum
kepada yang khusus, sedangkan induksi ialah berpikir dari
yang khusus kepada yang umum. sebab itu pengetahuan
yang diperoleh secara deduktif-aprioris adalah pengetahuan
yang pasti atau mutlak, tetapi tidak baru, sedangkan
pengetahuan yang diperleh secara induktif-aposterioris adalah
pengetahuan yang baru tetapi tidak pasti atau tidak mutlak.
Metode deduktif.
Metode deduktif adalah suatu proses bepikir yang
bertolak dari hal-hal yang abstrak kepada yang konkrit, atau
dari pernyataan yang bersifat umum ke pernyataan yang
bersifat khusus dengan menggunakan kaedah logika tertentu,
yaitu logika deduktif. Cara berpikir deduktif itu sudah dimulai
oleh Aristoteles dan para pengikutnya, yaitu melalui serangkaian pernyataan yang disebut silogisme. Silogisme terdiri atas
3 pernyataan, yang disebut:
1. Premis mayor (dasar pikiran utama)
2. Premis minor (dasar pikiran kedua)
3. Kesimpulan
Contoh
1. Semua makhluk hidup pasti mati (premis mayor)
2. Manusia adalah makhluk hidup (premis minor), sebab itu
3. Manusia pasti mati (kesimpulan)
Dalam cara berpikir deduktif, apabila dasar pikirannya
benar, maka kesimpulannya pasti benar. Dengan cara berpikir
deduktif memungkinkan kita menyusun premis-premis men-
jadi pola-pola yang dapat memberikan bukti yang kuat bagi
kesimpulan yang benar atau sahih (valid). Adapun kelemahan
cara berpikir deduktif ialah bahwa dengan cara ini kita tidak
akan memperoleh pengetahuan yang baru, sebab kesimpulan
deduktif selalu merupakan perluasan dari pengetahuan yang
sudah ada sebelumnya, sudah apriori.
Kesimpulan silogisme tidak pernah dapat melampaui isi
premis-premisnya. Kita harus mulai dengan premis terlebih
dahulu untuk sampai kepada kesimpulan yang benar. Dengan
kata lain berpikir deduktif bersifat analitis aprioris. Kita akan
memperoleh pengetahuan yang bersifat mutlak, tetapi bukan
pengetahuan yang baru. sebab itu penyelidikan ilmiah tidak
dapat dilaksanakan hanya dengan menggunakan cara berpikir
deduktif saja, sebab sulitnya menentukan kebenaran universal
dari berbagai pernyataan mengenai gejala ilmiah. Dengan
metode deduktif, kesimpulan yang diambil hanya benar
apabila premis yang menjadi dasar kesimpulan itu benar. Akan
tetapi bagaimana orang mengetahui bahwa premis itu benar?
Mengenai metode deduktif selanjutnya akan dibahas dalam
Bab 5 tentang Logika.
Metode Induktif.
Francis Bacon (1561-1626) menggunakan metode induktif
dalam mengetahui sesuatu. Ia yakin bahwa seorang peneliti
dapat membuat kesimpulan umum berdasarkan fakta yang
dikumpulkan melalui pengamatan langsung. Menurutnya
untuk memperoleh kebenaran mengenai alam ini, peneliti
harus mengamati alam itu secara langsung, dan harus
membebaskan pikiran dari berbagai bentuk prasangka. Untuk
memperoleh pengetahuan menurutnya seseorang harus
mengamati alam itu sendiri, mengumpulkan fakta, dan
merumuskan generalisasi dari fakta-fakta ini . Jadi metode induktif dimulai dari bukti-bukti yang khusus, dan atas dasar
bukti-bukti yang khusus itu ditarik kesimpulan yang bersifat
umum. Perbedaan antara metode deduktif dengan metode
induktif dapat dilihat dari logika berpikir dalam contoh berikut
ini:
Deduktif. Setiap binatang menyusui memiliki paru-paru.
Kucing adalah binatang menyusui. Oleh sebab itu, setiap
kucing memiliki paru-paru.
Induktif. Setiap kucing yang pernah diamati memiliki
paru paru. Oleh sebab itu, setiap kucing memiliki
paru-paru.
Sesuai dengan cara kerjanya maka pengetahuan ilmiah
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Obyektif, artinya bebas dari penilaian yang bersifat
subyektif dan kebenarannya evidence (didukung oleh buktibukti)
b. Rasional, artinya sesuai dengan logika atau aturan
penalaran
c. Sistematis, artinya dilakukan dan disusun secara teratur,
dan sesuai dengan teori-teori
d. Generalisasi, artinya pengetahuan itu dapat diterapkan pada
fenomena lain bukan hanya pada obyek tertentu.
3. Kebenaran Ilmu Pengetahuan
Mengenai kebenaran pengetahuan telah dipersoalkan sejak
masa filsafat Yunani klasik. Plato mengatakan bahwa
pengetahuan yang diperoleh dengan alat dria adalah
pengetahuan yang semu, sedangkan pengetahuan yang benar
adalah yang diperoleh dengan akal yang disebutnya idea.
Sebaliknya penganut aliran empirisme mengatakan bahwa pengetahuan yang benar adalah yang diperoleh dengan
perantaraan pancaindera, sedangkan pengetahuan yang
diperoleh dengan akal hanyalah merupakan pendapat saja.
Empirisme mengeritik akal, bahwa akal manusia itu
diperlengkapi dengan pengetahuan apriori, pengetahuan yang
sudah ada, dibawa sejak lahir, yang oleh Plato disebut innate
ideas. Menrut empirisme pengetahuan itu bukan sudah ada
atau tidak dibawa lahir, tetapi diperoleh dari pengalaman.
Pengalamanlah yang menentukan pengetahuan kita.
Dari perspektif Barat dikenal 3 macam teori kebenaran
pengetahuan, yaitu teori korespondensi, teori koherensi atau
konsistensi, dan teori pragmatik. Teori korespondensi
menunjuk kepada adanya kesesuaian antara pernyataan
dengan kenyataan atau dengan situasi yang sebenarnya. Teori
konsistensi ialah adanya kesesuaian antara suatu pernyataan
dengan pernyataan-pernyataan lain yang sudah diterima
kebenarannya. Sedangkan teori prakmatik menekankan pada
nilai kegunaan sebagai ukuran kebenaran suatu pengetahuan
atau kebenaran sesuatu hal.
Teori Korespondensi (Teori Persesuaian).
Menurut teori korespondensi pengetahuan kita itu adalah
benar apabila sesuai dengan kenyataan. Suatu pernyataan atau
suatu proposisi dikatakan benar apabila pernyataan itu sesuai
dengan fakta-fakta yang ada. Kalau tidak sesuai dengan fakta
maka pernyataan itu tidak benar. Pendukung teori ini, yaitu
kaum empiris dan realis, berpendapat bahwa dunia di luar diri
kita (obyek) tidak bergantung pada diri kita (subyek).
Kebenaran menurut teori ini adalah kebenaran yang
transenden, artinya kebenaran itu terletak di luar jiwa kita,
melampaui batas-batas jiwa kita. Kebenaran di luar diri kita itu
dijangkau secara langsung, artinya kita langsung berhadapan dengan kenyataan atau objek di luar diri kita. Jadi kebenaran
dirumuskan sebagai persesuaian antara pengetahuan kita
dengan obyek pengetahuan, artinya apa yang kita ketahui itu
cocok dengan kenyataan. Dalam teori ini, diutamakan
pengalaman (empiri), adanya dualitas subyek dan obyek, dan
mementingkan bukti (evidence).
Teori Konsistensi atau Koherensi
Menurut teori konsistensi suatu proposisi dianggap benar
apabila proposisi ini memiliki hubungan dengan gagasan
dari proposisi sebelumnya yang telah dianggap benar, atau
proposisi itu konsisten dengan proposisi sebelumnya. Menurut
teori ini, yang didukung oleh kaum rasionalis dan idealis,
manusia tidak pasti dapat mencapai kesesuaian antara
pengetahuannya dengan obyek di luar dirinya, tetapi kita
hanya sampai kepada adanya kesan-kesan tentang sesuatu,
atau pendapat tentang sesuatu. Kesan atau pendapat kita
tentang sesuatu itu belum tentu sama dengan kesan orang lain.
Demikian pula belum tentu apakah pendapat kita akan sesuai
dengan pendapat orang lain, apakah pendapat kita benar atau
pendapat orang lain itu yang lebih benar.
sebab itu, menurut teori ini kita harus menentukan atau
menggunakan kriteria untuk mencari kebenaran itu. Kreteria
itu ialah, apakah ada tidaknya ketetapan (konsistensi) antara
pendapat-pendapat atau kesan-kesan yang ada tentang sesuatu.
Pendapat itu harus reliable, artinya dapat dipercaya
kebenarannya, yaitu setelah dilakukan ekperimen berkali-kali
maka hasilnya tetap sama (konsisten). Apabila diminta
pendapat dari sejumlah orang dan setelah berkali-kali
dilakukan pendapat mereka itu tetap sama, maka hal demikian
dipandang benar. Kebenaran menurut teori konsistensi disebut
kebenaran immanen, yaitu kebenaran yang terjadi dalam jiwa kita, kebenaran itu tidak langsung dijangkau dari obyek di luar
diri kita (kenyataan), tetapi sebenarnya telah ada pada diri kita.
Pengetahuan kita tentang obyek adalah penyadaran kembali
terhadap apa yang telah ada dalam diri kita. Inilah yang
dikatakan oleh Plato sebagai doktrin innate ideas, yaitu doktrin
bahwa idea itu sudah ada pada kita, dibawa sejak lahir.
Teori Prakmatik.
Menurut teori ini suatu proposisi dikatakan benar apabila
proposisi itu berlaku, dapat digunakan, berguna. Dengan kata
lain bahwa sesuatu itu dikatakan benar apabila ia berguna,
dapat digunakan dalam praktek, akibat atau pengaruhnya
memuaskan. Jelas bahwa teori ini berdasarkan pada filsafat
pragmatisme.
Kebenaran Empiris dan kebenaran Logis
Ketiga macam teori kebenaran menurut pandangan sains
Barat itu dapat digolongkan ke dalam dua macam kebenaran,
yaitu kebenaran empiris (yang bertolak dari aliran empirisme),
dan kebenaran logis (yang bertolak dari logika deduktif).
Kebenaran empiris :
Mementingkan obyek
Menghargai cara kerja induktif dan aposterioris
Lebih mengutamakan pengamatan indera
Kebenaran logis
Mementingkan subyek
Menghargai cara kerja deduktif dan aprioris
Lebih mengutamakan penalaran akal budi.
Contoh:
1. Air lebih berat dari batu, maka batu tenggelam dalam air
Disini terkandung kebenaran empiris, bukan kebenaran logis
2. Air lebih ringan dari batu, maka batu tenggelam dalam air
Disini terkandung kebenaran logis dan empiris
3. Air lebih ringan dari batu, maka batu mengambang di atas
air
Disini tidak ada kebenaran baik logis maupun empiris
4. Air lebih berat dari batu, maka batu mengambang di atas air
Disini terkandung kebenaran logis, tetapi tidak kebenaran
empiris
Kebenaran Wahyu
Di samping diakui adanya kebenaran logis dan kebenaran
empiris, terdapat pula kebenaran wahyu. Kebenaran wahyu
adalah kebenaran yang datangnya dari Allah, dan sebab itu
bersifat mutlak. Wahyu diturunkan oleh Allah SWT kepada
rasul-rasulNya untuk menjadi sumber ilmu pengetahuan dan
menjadi petunjuk bagi semua manusia. Bagi seorang muslim
bukan saja diharuskan mengambil pengetahuan yang
bersumber dari wahyu, tetapi juga diperintahkan supaya
mengikuti ajaran yang terkandung di dalamnya. Kebenaran
wahyu sejalan dengan kebenaran logis (berdasarkan rasio) dan
kebenaran empiris (berdasarkan pengalaman). Kalau
kebenaran logis dan kebenaran empiris bersifat relatif, maka
kebenaran wahyu bersifat mutlak atau absolut.
4. Aliran-Aliran Filsafat Epistemologi
Sehubungan dengan pengetahuan yang diperoleh dengan
akal dan pengalaman manusia, maka dalam filsafat Barat
dikenal beberapa aliran yang mendasari epistemologi Barat itu.
Dalam bab ini akan dibahas beberapa aliran, yaitu: Idealisme
dan Rasionalisme, Realisme dan Empirisme, Kritisisme,
Positivisme, Post Positivisme. dan Pragmatisme.
Idealisme dan Rasionalisme. Kedua aliran filsafat ini
pada dasarnya adalah sama, yaitu yang memandang bahwa
kenyataan yang sesungguhnya adalah dunia idea atau rasio.
Tokoh Idealisme di zaman Yunani klasik ialah Plato dan di
zaman modern (neo-idealisme) adalah Frederick Hegel,
sedangkan tokoh rasionalisme (disebut juga idealisme rasional)
adalah Rene Descartes, yang terkenal dengan ucapannya cogito
ergo sum (saya berpikir maka saya ada). Aliran filsafat idealisme
bermacam-macam, masih dapat dibedakan antara idealisme
rasional, idealisme etis, idealisme estetis, dan idealisme religius.
Menurut filsafat idealisme dan rasionalisme gagasan dan
konsepsi atau pengetahuan kita tentang sesuatu itu memang
telah ada pada diri kita, yang merupakan fitrah manusia, yang
secara esensial telah ada dalam lubuk jiwa kita, dibawa sejak
kita lahir, yaitu akal atau idea. Pengetahuan kita pada
hakekatnya menurut Plato adalah hasil penyadaran kembali
ide-ide yang telah ada pada kita itu, jadi bukan datang kepada
kita melalui alat dria. Misalnya kalau kita melihat sebuah
mobil, maka gambaran tentang mobil itu adalah hasil dari
pengungkapan kembali ide yang telah ada pada kita tentang
mobil.
Menurut idealisme dan rasionalisme pengetahuan yang
diperoleh dengan pengalaman atau dengan perantaraan alat
dria diragukan kebenarannya, sebab mereka tidak menemukan cukup alasan untuk menganggap bahwa munculnya
sejumlah konsepsi dan gagasan pada kita adalah sebab kerja
indera kita. Makhluk binatang juga memiliki alat dria tetapi
bidang tidak menghasilkan konsepsi atau gagasan sebab
binatang tidak memiliki akal. Filsafat idealisme dan rasiona-
lisme sangat berpengaruh pada filsafat modern dengan teoriteori yang dikemukakan oleh filosof Eropah yang terkenal,
antara lain filosof Perancis Rene Descartes (1596-1650), dan
filosof Jerman Immanuel Kant (1724-1804), dan Friederich
Wilhelm Hegel (1770-1631).
Realisme dan Empirisme. Filsafat realisme mempersoalkan objek pengetahuan manusia. Menurut realisme, objek
pengetahuan manusia terletak di luar diri manusia. Bendabenda di luar diri manusia seperti gunung, pohon, kota,
bintang dan sebagainya adalah kenyataan yang sesungguhnya.
Benda-benda itu bukan hanya ada dalam pikiran orang-orang
yang mengamatinya tetapi memang sudah ada dan tidak
tergantung pada jiwa manusia. Ada dua macam filsafat
realisme, yaitu realisme rasional dan realisme alam atau
realisme ilmiah.
Realisme rasional terbagi atas realisme klasik dan realisme
religius. Baik realisme klasik maupun realisme religius
berpangkal pada pandangan Aristoteles. Bedanya ialah, kalau
realisme klasik langsung dari pandangan Aristoteles, maka
realisme religius secara tidak langsung. Artinya ia berkembang
berdasarkan filsafat Thomas Aquina, seorang ahli filsafat
Kristen, yang kemudian dikenal sebagai aliran Thomisme.
Realisme alam atau realisme ilmiah berkembang sejalan dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan alam di Eropah pada abad
ke 15 dan 16. Aliran realisme ilmiah ini dikenal pula sebagai
aliran Empirisme.
Menurut empirisme pengetahuan kita bukan telah ada
pada kita, tetapi datang kepada kita melalui alat dria atau
pengalaman. Menurut teori ini penginderaan adalah satusatunya cara yang membekali manusia dengan gagasan dan
konsepsi-konsepsi, dan bahwa potensi akal kita adalah potens yang tercerminkan dalam berbagai persepsi inderawi. Jadi
ketika kita melihat sebuah mobil misalnya, maka kita dapat
memiliki konsep tentang mobil, yaitu menangkap gambar atau
bentuk mobil itu dalam akal kita. Menurut pandangan ini, akal
kita hanya mengelola konsepsi dan gagasan inderawi. Tokoh
utama dari aliran Empirisme ialah Francis Bacon (1561-1626),
John Locke (1632-1704), George Berkeley (1684-1755), David
Hume (1711-1776), Alfred North Whitehead (1861-1947), dan
Bertrand Russell (1972-1870). John Locke menganalisis
pandangan-pandangan Descartes tentang ide-ide fitrah. Ia
menyerang konsep ide fitrah itu dan menyusun pandangan
tersendiri mengenai pengetahuan manusia yang ditulis dalam
bukunya Essay on Human Understanding.
Ekperimentasi dalam pengembangan ilmu adalah berdasarkan pandangan filsafat Empirisme. Ekperimen-ekperimen
ilmiah telah menunjukkan bahwa indera berperan memberikan
persepsi yang menghasilkan konsepsi-konsepsi dalam akal
manusia. Dengan kata lain indra adalah sumber pokok
konsepsi. Seseorang yang tidak memiliki salah satu macam
indra tertentu tidak mungkin dapat mengkonsepsikan
pengertian-pengertian yang berhubungan dengan indra
ini . Menurut empirisme, kita tidak memiliki pengetahuan
sampai ia datang kepada kita melalui alat dria atau panca
indera kita. Dan pengetahuan yang diperoleh dengan alat dria
itulah yang benar sedangkan pengetahuan yang bersumber
pada rasio baru merupakan pendapat, yang belum tentu benar.
Tetapi dengan peran indra yang penting dalam melakukan
ekperimen-ekperimen tidak berarti meniadakan kemampuan
akal dalam melahirkan gagasan-gagasan baru dari pengalaman
inderawi.
Filsafat Kritisisme. Filsafat Kritisisme merupakan penggabungan antara rasionalisme dan empirisme, yaitu bahwa
pengetahuan kita itu diperoleh melalui akal dan pancaindera
kita. Obyek di luar diri kita memberikan pengalaman kepada
kita melalui indera. Pengalaman itu dirasionalkan oleh subyek
(kita) menjadi pengetahuan. Aliran kritisisme ini dikenal pula
sebagai Kritisisme Kant, sebab filosof Emanuel Kant yang
pertama kali mengkritik dan menganalisis kedua macam
sumber pengetahuan itu dan menggabungkan keduanya.
Pengetahuan yang diperoleh dengan akal menggunakan
metode berpikir analitis-aprioris, sedangkan pengetahuan yang
diperoleh dengan empiri menggunakan metode sintesisaposterioris.
Emanuel Kant, Friedrich Hegel, dan Karl Marx dipandang
sebagai filosof Kritis pada zamannya yang berkembang setelah
Renaissance. Menurut Kant, kritik adalah kegiatan menguji
sahih tidaknya klaim pengetahuan menurut aspek rasio semata.
Menurut Kant, rasio dapat menjadi kritis terhadap
kemampuannya sendiri, yaitu ilmu pengetahuan dan
metafisika. Hegel meletakkan pengetahuan dalam konteks
perkem-bangannya dalam sejarah. Bagi Hegel, kritik
merupakan refleksi diri atas rintangan-rintangan, tekanantekanan, dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri dalam sejarah. Jalan pikiran Hegel banyak
mempengaruhi mahasiswa yang dikenal sebagai Hegelian
Kanan dan Hegelian Kiri (Hegelian Muda). Diantara Hegelian
Kiri itu adalah Karl Marx.
Marx menganggap bahwa teori kritik Hegel masih kabur
dan membingungkan, sebab Hegel memahami sejarah secara
abstrak. Sejarah menurut Hegel adalah sejarah kesadaran
bukan sejarah manusia yang konkrit. Marx mengkonkritkan teori idealism Hegel ke dalam materialisme historis yang
bersifat praktis emansipatoris, yaitu berupa tindakan nyata
yang bersifat membebaskan. Marx menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan sejarah adalah hubungan kekuasaan antara
pemilik modal atau kaum borjuis di satu pihak, dan pihak lain
yaitu kaum buruh yang tidak memiliki modal. Tujuan utama
pemilik modal ialah memperoleh keuntungan yang besar
dengan biaya produksi yang rendah. Untuk itu pemilik modal
memeras kaum buruh dengan sistem manipulasi. Model
analisis itu disebut Marxisme. Marxisme mengembangkan dua
istilah pokok yaitu: substruktur, yaitu factor ekonomi yang
berkembang dalam warga , dan suprastruktur, yaitu faktor
non ekonomi seperti agama, politik, seni, dan literature.
Menurut Marx keadaan ekonomi pada substruktur dipengaruhi
oleh faktor-faktor suprastruktur.
Filsafat Kritisisme kemudian dikembangkan lagi oleh
mashab Frankfurt, yang disebutnya “Teori Kritik warga ”
(Teori Kritis). Sasaran kritiknya yang terutama adalah Teori
ilmu Sosial yang berkembang pada masa itu. Diantara tokoh
mashab ini ialah Lukacs dan Horkheimer. Lukacs mengembangkan pandangan tentang adanya hubungan-antara
manusia, yang nampak sebagai hubungan antara benda-benda.
Tujuan mashab Frakfurt menurut Horkheimer adalah untuk
membebaskan manusia dari perbudakan, dan ingin
membangun warga atas dasar hubungan antar pribadi
yang merdeka, dan mengembalikan kedudukan manusia
sebagai subyek yang mengelola sendiri kenyataan sosialnya.
Positivisme. Positivisme adalah aliran filsafat ilmu
pengetahuan yang muncul pada abad ke-17 yang merupakan
elaborasi oleh Francis Bacon dari aliran empirisme yang telah
dikembangkan sebelumnya oleh Galileo dan rekan-rekannya.
Yang menjadi inti dari metode ilmiah Bacon ialah penelitian
ilmiah yang dimulai dari pengumpulan data yang dapat
diamati secara terbuka, disertai dengan pengembangan
hipotesis yang mengarah pada penjelasan data, selanjutnya
pengujian hipotesis itu melalui ekperimen. Pembuktian
hipotesis secara empiris akan memperkuat posisi hukum
ilmiah. Proses ini disebut proses induksi, yang kemudian
menjadi inti pokok metode ilmiah Bacon. Metode induksi itu
telah digunakan selama 4 abad lamanya untuk membedakan
antara sains dan non-sains.
Contohnya, sebuah generalisasi atau kesimpulan bahwa “
logam akan memuai apabila dipanaskan” baru dianggap ilmiah
apabila didukung dengan pembenaran yang diperluas melalui
sejumlah pernyataan pengamatan dan penelitian yang
membentuk dasar generalisasi. Demikian pula bahwa
pengamatan itu harus diulang-ulang di bawah berbagai macam
kondisi, dan tidak boleh ada hasil pengamatan yang
bertentangan dengan hukum yang telah berlaku universal.
Dengan kata lain tidaklah sah kesimpulan bahwa setiap logam
yang dipanaskan akan memuai, apabila dipanaskan
berdasarkan pengamatan tunggal atas sebuah lempengan
logam saja.
Inti dari prinsip Bacon adalah bahwa ilmu pengetahuan
itu dicapai dengan melakukan penelitian-penelitian melalui
obsrvasi dan eksiperimen, dan dengan cara menjauhkan
spekulasi filosofis, menjauhkan dunia mitos yang tidak pasti,
dunia prasangka, serta ketentuan-ketentuan moral dan agama.
Charles Darwin dalam bukunya yang terkenal, “The Origin of
Spieces”, menyatakan dengan bangga bahwa seluruh rangkaian
penelitian ilmiahnya didasarkan pada prinsip-prinsip Bacon.
Aliran positivisme bertolak dari pandangan bahwa
pemikiran manusia berlangsung melalui tiga tahap, yaitu tahap
religious, filosofis, dan positivif. Pengetahuan ilmiah adalah
tahap positif, yang pada tahap ini tidak berlaku pemikiran
filosofis dan nilai-nilai agama. Ilmu pengetahuan yang
dikembangkan berdasarkan prinsip positivisme itu disebut
ilmu-ilmu positif.
Positivisme diterima secara umum pada abad ke-17 dan
mengalami prestasi dengan munculnya revolusi sains di
Inggeris. Bacon sendiri bertujuan meyakinkan “peluasan
kerajaan manusia” dan mencapai “segala sesuatu menjadi
mungkin”. Tuhan secara perlahan terlepas dari konteks
persoalan warga melalui revolusi sains itu, yang memberi
kesadaran bahwa manusia mampu menciptakan kemajuan
duniawi yang tidak perlu dinikmati di alam akhirat. (lihat
Nasim Butt, 1996:29).
Metode induksi atau metode ilmiah Bacon (induksionisme) itu belum menjadi patokan yang berlaku umum. David
Hume mengemukakan kesangsiannya atas kesahihan aliran
Bacon itu dengan alasan bahwa penalaran melalui induksi
tidak bisa diterima logika, sebab tidak ada pernyataan umum
yang berasal dari sejumlah pengamatan individu. Dengan
melontarkan keraguan pada metode induksi, Hume juga
menyatakan keraguan terhadap status sains sebagai suatu
kebenaran tertentu. Ungkapan yang terkenal adalah: “setiap
angsa yang berwarna putih” tidak bisa dibuktikan
kebenaranya. Berapapun jumlah angsa putih yang ada, tetap
saja masih ada kemungkinan terdapatnya seekor angsa yang
tidak putih yang diamati pada suatu waktu.Post Positivisme. Ada 3 aliran filsafat post positivisme
yang memberikan kritikan dan pemikiran perbaikan terhadap
positivisme, yaitu: positivisme logical, rasionalisme kritikal,
dan teori Paradigma Thomas Kuhn.
Positivisme Logikal. Aliran filsafat ini dikembangkan
oleh kelompok ilmuan dan filosof di Wina yang menamakan
diri “Lingkaran Wina” atau Der Wiener Kreis, dengan
tokohnya yang terkenal Morits Schlick (ahli fisika) dan Rudolf
Carnab (ahli logika). Kelompok ini bertemu secara teratur dan
bertukar pikiran tentang makna ilmu, yang kemudian
mengeluarkan sebuah risalah berjudul : “Pandangan ilmiah
tentang dunia, Lingkaran Wina”. Aliran ini berkeyakinan
bahwa hanya ilmu yang dapat memberikan pengetahuan yang
sah, dan bahwa pengetahuan ilmiah itu harus bersifat
empirical, artinya hanya kenyataan yang dapat diobservasi
dengan pancaindera yang dapat menjadi obyek ilmu. Untuk
menguji kebenaran dipakai asas verifikasi. Metode untuk
memperoleh pengetahuan ilmiah ialah metode induksi. Metode
induksi ialah cara untuk memperoleh pengetahuan dengan
jalan bertolak dari sejumlah data lewat generalisasi sampai
pada dalil umum. Produknya yang berupa teori ilmiah
sekaligus juga merupakan hipotesis yang dapat diuji kembali
kebenarannya. Dengan kata lain tori ini menganut teori
korespondensi mengenai kebenaran ilmu. Jadi teori ilmiah
adalah benar jika persis mencerminkan dunia kenyataan
sebagaimana adanya, yaitu adanya kesesuaian antara proposisi
dengan dunia kenyataan.
Rasionalisme Kritikal. Tokoh utama dari aliran ini ialah
Karl Raimund Popper. Bukunya yang terkenal adalah The Logic
of Scientific Revolution (1959). Menurut aliran ini pengetahuan
ilmiah harus obyektif dan teoritikal, dan pada analisis terakhir Teori Paradigma Thomas Kuhn. Thomas Kuhn adalah
seorang sejarahwan dan sosiolog ilmu. Karyanya yang utama
ialah: The Structure of Scientific Revolutions. Berbeda dengan
Popper yang mendekati pengertian ilmu secara internal,
sebagai sosiolog dan penulis sejarah, Kuhn mendekati ilmu
secara eksternal. Dalam bukunya itu Kuhn mengemukakan
pandangan tentang ilmu dengan mengemukakan 5 macam
istilah atau konsep kunci, yaitu: paradigm, revolusi ilmiah, praparadigmatik, ilmu normal, dan anomali.
Menurutnya, ada dua tahap perkembangan setiap ilmu.
Yaitu tahap pra-paradigmatik dan tahap ilmu normal (normal
science). Pada tahap pra-paradigmatik kegiatan penelitian
dalam bidang tertentu berlangsung dengan cara yang mengacu
pada kerangka teoritis yang diterima secara umum. Pada tahap
ini terdapat sejumlah aliran pikiran yang saling bersaing tetapi
tidak ada satupun yang memperoleh penerimaan secara
umum. Namun perlahan-lahan salah satu dari kerangka teoritis
itu mulai diterima secara umum, dan dengan demikian
paradigma pertama sebuah ilmu (disiplin) mulai terbentuk, dan
ini berarti bahwa kegiatan ilmiah sebuah disiplin ilmu
memasuki periode ilmu normal.
Yang dimaksud “ilmu normal” oleh Kuhn adalah
kegiatan penelitian yang berdasarkan pada karya-kaya ilmiah
sebelumnya yang sudah diakui oleh warga ilmiah sebagai
pencapaian ilmiah (scientific achievement) yang memiliki
landasan yang kuat. Menurut Kuhn ilmu normal itu memiliki
dua ciri penting:
1. Bersifat baharu, sehingga warga ilmiah atau para
pelaksana ilmu cenderung mengacu kepadanya atau
menjadikannya sebagai rujukan dalam menjalankan
kegiatan ilmiah mereka.2. Bersifat terbuka, sehingga masih terdapat berbagai
masalah yang memerlukan pemecahan secara ilmiah
Kedua ciri itu oleh Kuhn dinamakan paradigma. Dengan
penggunaan istilah paradigma itu, Kuhn hendak menunjukkan
bahwa ada sejumlah pemikiran atau praktek ilmiah yang
diterima atau diakui dalam lingkungan komunitas ilmiah, yang
dikembangkan dalam bentuk model-model yang bersifat
terpadu atau koheren. Pemikiran atau praktek ilmiah itu
mencakup dalil, teori, implementasi, dan instrumentasinya.
Para ilmuan yang penelitiannya didasarkan pada paradigma
yang sama, pada dasarnya terikat pada aturan dan standar
yang sama dalam mengembangkan ilmunya. Keterikatan pada
aturan dan standar ini adalah prasyarat bagi adanya ilmu
normal. Jadi, secara umum dapat dikatakan bahwa paradigma
itu adalah cara pandang atau kerangka berpikir yang atas dasar
itu suatu gejala atau fakta ditafsirkan dan dipahami. (lihat
Arief Sidharta, 2008).
Ada hal lain yang dikemukakan oleh Kuhn yang
dipandang penting dalam teori paradigma ialah yang disebut
dengan anomali. Maksudnya adalah “hal yang baru atau
pertanyaan yang tidak terliputi oleh kerangka paradigma yang
menjadi acuan kegiatan ilmiah”. Adanya anomali itu
merupakan prasyarat bagi penemuan baru, yang akhirnya
dapat mengakibatkan perubahan paradigma. Namun lamalama sejumlah anomali terjadi dalam lingkungan ilmu normal
tertentu yang menciptakan semacam krisis. Adanya anomali
dan krisis itu kemudian menyebabkan sikap para ilmuan
berubah terhadap paradigma yang berlaku, dan sesuai dengan
itu sifat penelitian mereka juga berubah. Artinya paradigma
lama berganti dengan paradigma baru.
Pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui. Ilmu adalah
pengetahuan, tetapi pengetahuan belum tentu merupakan
ilmu, sebab pengetahuan dapat diperoleh dengan atau tanpa
metode ilmiah, artinya dapat diperoleh melalui pengalaman
sehari-hari atau berupa informasi yang kita terima dari
seseorang yang memiliki kewibawaan atau otoritas tertentu.
Sedangkan ilmu mesti diperoleh dengan metode ilmiah, yaitu
dengan menggunakan metode berpikir deduktif dan induktif.
Pengetahuan adalah keseluruhan gagasan, pemikiran, ide,
konsep dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia
dan segala isinya, termasuk manusia dan kehidupannya.
Sedangkan ilmu pengetahuan adalah keseluruhan sistem
pengetahuan manusia yang telah dibakukan secara sistematis.
Pengetahuan lebih spontan sifatnya, sedangkan ilmu
pengetahuan lebih sistematis dan reflektif. Pengetahuan jauh
lebih luas dari ilmu pengetahuan, sebab pengetahuan
mencakup segala sesuatu yang diketahui manusia tanpa perlu
dibakukan secara sistematis.
Dalam literatur banyak sekali ditemukan definisi ilmu
pengetahuan yang dikemukakan oleh para ilmuan. Berikut ini
adalah beberapa diantaranya sebagai perbandingan. Dalam
ENSIE disebutkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang
memiliki dasar dan yang berlaku secara umum serta
niscaya. Ilmu adalah keseluruhan dari kebenaran-kebenaran
yang terikat antara yang satu dengan yang lainnya secara
sistematis.
Dalam karangannya berjudul “Pengantar Filsafat Ilmu”
(1997:88), The Liang Gie mengatakan bahwa ilmu dapat dilihat
sebagai aktivitas yang dilakukan untuk memperoleh ilmu
pengetahuan, sebagai metode bagaimana aktivitas itu dilakukan,
dan sebagai ilmu pengetahuan atau produk dari aktvitas
ini . Ketiga hal itu merupakan kesatuan logis yang mesti
ada secara berurutan dan bersifat dinamis. Ilmu harus
diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus
dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas
metodis itu mendatang pengetahuan yang sistematis. Dengan
kata lain, menurut The Liang Gie, ilmu ialah “aktivitas penelitian,
metode ilmiah, dan pengetahuan sistematis.”
Ziman (1980) dalam karangannya “What is Science?”
menelaah bermacam-macam definisi ilmu pengetahuan. Dari
sejumlah definisi mengenai ilmu pengetahuan yang
ditelaahnya dikatakan bahwa definisi berikut ini dipandang
lebih tepat dan paling digemari oleh banyak filosof. “Ilmu
pengetahuan adalah kebenaran yang diperoleh melalui kesimpulan
logis dari pengamatan empiris, (berpikir logis dan berpikir
induktif). Definisi ini biasanya didasarkan pada asas induksi,
yaitu bahwa apa yang kelihatannya telah terjadi beberapa kali
hampir pasti selalu terjadi dan dapat dipakai sebagai fakta
dasar atau hukum yang memungkinkan dibangunnya suatu
struktur teori yang kuat. Pentingnya pemikiran spekulatif
diakui, dengan pengandaian bahwa ia dikendalikan oleh
kesesuaian dengan fakta.
Hasil analisis Ziman mengungkapkan bahwa penyelidikan ilmiah di mulai dengan pengamatan dan percobaan, dan
berakhir dengan generalisasi yang bersifat problematik dan
tidak pernah dapat dengan begitu saja menyatakan bahwa
masalahnya sudah selesai atau tidak boleh diganggu gugat lagi. Ilmu pengetahuan bukan merupakan konsekuensi lebih lanjut
dari metode ilmiah, tetapi ilmu pengetahuan adalah metode
ilmiah itu sendiri. Selanjutnya Ziman mengatakan, bahwa
kegiatan ilmiah bukanlah urusan pribadi, melainkan urusan
bersama. Artinya semua orang yang tertarik pada penyelidikan
ilmiah dapat berpartisipasi sebagai rekan yang sederajat. Ilmu
pengetahuan itu dibentuk dan ditentukan oleh hubungan social
diantara individu-individu. Tujuan dari ilmu pengetahuan
bukan sekedar untuk memperoleh informasi dan
menyampaikan pandangan-pandangan yang tidak saling
bertentangan, tetapi bahwa ilmu pengetahuan harus bersifat
umum untuk mencapai suatu kesepakatan pendapat yang
rasional mengenai bidang yang mungkin sangat luas.
Shaharir Muhammad Zain dalam bukunya Pengenalan
Sejarah dan Falsafah Sains (1987:6), mengemukakan beberapa
definisi tentang sains, salah satu diantaranya yang dinilai
populer adalah bahwa sains merupakan “analisis phenomenon
secara bersistem, logik, dan obyektif dengan kaedah khusus yang
menjadi alat untuk mewujudkan pengetahuan yang benar”. Yang
dimaksud dengan phenomenon adalah peristiwa yang beratribut
yang dapat ditunjukkan secara obyektif. Sesuai dengan itu
maka hal-hal alam gaib tidak dapat diamati, dan sebab itu
sains bukan untuk mengkaji phenomenon yang gaib. Tentu ini
bertentangan dengan sains Islam, sebab menurut sains Islam
setiap gejala di alam nyata ini merupakan “ayat” kepada
adanya yang gaib yang berdasarkan kepada tauhid, kewujudan
Allah swt.
Ciri-Ciri Umum Ilmu Pengetahuan. Dari berbagai
definisi tentang ilmu pengetahuan dapat diidentifikasi
beberapa ciri ilmu pengetahun, antara lain sebagai berikut:
1. Ilmu bersifat rasional, artinya proses pemikiran yang
berlang-sung dalam ilmu harus dan hanya tunduk pada
hukum-hukum logika.
2. Ilmu itu bersifat objektif, artinya ilmu pengetahuan
didukung oleh bukti-bukti (evidences) yang dapat
diverifikasi untuk menjamin keabsahannya.
3. Ilmu bersifat matematikal, yakni cara kerjanya runtut
berdasarkan patokan tertentu yang secara rasional dapat
dipertanggungjawabkan, dan hasilnya berupa fakta2 yang
relevan dalam bidang yang ditelaahnya.
4. Ilmu bersifat umum (universal) dan terbuka, artinya harus
dapat dipelajari oleh tiap orang, bukan untuk sekelompok
orang tertentu.
5. Ilmu bersifat akumulatif dan progresif, yakni kebenaran
yang diperoleh selalu dapat dijadikan dasar untuk
memperoleh kebenaran yang baru, sehingga ilmu
pengetahuan maju dan berkembang.
6. Ilmu bersifat communicable artinya dapat dikomunikasikan
atau dibahas bersama dengan orang lain.
Mengenai sifat obyektif dari ilmu pengetahuan menimbulkan beberapa persoalan, sebab obyektif itu diartikan
sebagai bebas nilai, atau bersifat netral, tidak dipengaruhi oleh
subyektivitas orang yang meneliti ilmu itu. Dalam penelitian
kualitatif, istilah obyektif kurang tepat dipakai sebab nuansa
subyektif dalam penelitian kualitatif sangat dominan, sehingga
obyektivitas hasil penelitian diragukan. Selain itu hasil suatu
penelitian ilmiah tidak sama antara yang satu dengan yang lain
terutama antara ilmu-ilmu yang berbeda karasteristiknya,
sehingga istilah intersubyektif lebih diperlukan dalam ilmuilmu social daripada ilmu alamiah. Dilihat secara filosofis
adalah sangat sukar untuk menyatakan sesuatu itu sebagai
obyektif sebab sesungguhnya segala hal yang ada dalam alam
semesta ini adalah hasil dari suatu kesepakatan antara individu
atau kelompok yang memiliki otoritas dalam satu bidang ilmu,
yang kemudian diikuti oleh warga luas.
2. Filsafat Ilmu Pengetahuan
Dalam buku ini filsafat ilmu pengetahuan dirumuskan
sebagai cabang filsafat yang mempersoalkan secara menyeluruh dan mendasar mengenai segala masalah yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, khususnya mengenai hakekat
ilmu pengetahuan, sumber ilmu pengetahuan, metode ilmu
pengetahuan, dan kebenaran ilmu pengetahuan.
Kata epistemologi untuk filsafat ilmu pengetahuan berasal
bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu). Dalam
literatur dijumpai bahwa ada yang menggunakan istilah filsafat
ilmu dan ada pula yang menggunakan istilah filsafat ilmu
pengetahuan. Keduanya tidak berbeda secara prinsipil, namun
untuk buku ini dipergunakan istilah filsafat ilmu pengetahuan
(filsafat sains). Sebagai perbandingan, berikut ini dikemukakan
beberapa definisi mengenai filsafat ilmu pengetahuan.
Cornellius Benjamin (dalam Runes: Dictionary of Philosophy,
1975:55). Filafat Ilmu ialah cabang filsafat yang merupakan
telaah yang sitematis mengenai sifat dasar ilmu, khususnya
metode-metodenya, konsep-konsepnya, dan prasangkaprasangkanya, serta letaknya dalam kerangka umum dan
cabang-cabang pengetahuan intellektual.
The Liang Gie (Pengantar Filsafat Ilmu, 1977:61). Filsafat Ilmu
ialah segenab pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan
mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun
hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia.
Landasan dari ilmu itu mencakup konsep-konsep pangkal,
anggapan-anggapan dasar, asas-asas permulaan, strukturstruktur teoritis dan ukuran-ukuran kebenaran ilmiah. Filsafat
ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang
eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan
timbal balik dan saling pengaruh antara filsafat dan ilmu.
Jujun Suriasumatri (Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar, 1996:33)
Filsafat ilmu adalah bagian filsafat epistemologi yang secara
spesifik mengkaji hakekat ilmu (pengetahuan ilmiah), yang
ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat
ilmu, baik yang mengenai pertanyaan ontologis, maupun
pertanyaan epistemologis dan axiologis tentang ilmu.
3. Ruang Lingkup Filsafat Ilmu Pengetahuan
Dalam definisi-definisi ini di atas telah
tergambarkan ruang lingkup dari filsafat ilmu pengetahuan,
antara lain menyangkut konsep ilmu, sumber, metode,
kebenaran, dan kegunaan ilmu pengatahuan. Berikut ini
dikutip beberapa pendapat mengenai ruang lingkup filsafat
ilmu pengetahuan.
Menurut Popkin and Stroll (Philosophy Made Simple,
1959) ruang lingkup epistemologi meliputi:
1. Teori pengetahuan, yaitu tentang hakekat, dasar, dan
luas pengetahuan
2. Teori kebenaran
3. Teori ketepatan berpikir atau Logika
Arthur Pap (An Introduction to the Philosophy of Science,
1967:vii) membagi filsafat ilmu itu atas dua macam, yaitu:
1. Filsafat ilmu yang umum (philosophy of science in general),
yaitu filsafat ilmu yang membahas konsep dan metode
yang terdapat dalam semua ilmu.
2. Filsafat ilmu-ilmu khusus (philosophy of spesific science),
misalnya filsafat fisika dan filsafat psikologi, filsafat
hukum, filsafat pendidikan, dll. Setiap filsafat ilmu
khusus itu membahas konsep-konsep yang khusus
berlaku dalam lingkungan masing-masing ilmu.
The Liang Gie (1997:83), membagi masalah yang dibahas
dalam filsafat ilmu ke dalam 6 kelompok, yaitu :
1. Masalah etimologis tentang ilmu
2. Masalah metafisis tentang ilmu
3. Masalah metodologis tentang ilmu
4. Masalah logis tentang ilmu
5. Masalah etis tentang ilmu
6. Masalah estetis tentang ilmu.
4. Guna Mempelajari Filsafat Ilmu Pengetahuan
Memperhatikan hakekat filsafat dan pentingnya ilmu
pengetahuan maka mempelajari filsafat ilmu pengetahuan akan
memberikan beberapa manfaat, yaitu:
a. Melatih kita berpikir logis dan kritis terhadap kebenaran.
Jadi filsafat ilmu pengetahuan sangat bermanfaat bagi
mahasiswa sebab dapat membantu mereka untuk semakin
kritis terhadap berbagai macam teori dan pengetahuan
ilmiah yang dipelajarinya. Bersikap kritis artinya kita tidak
mudah saja percaya atau menerima suatu pendapat atau
teori, tetapi dipikirkan dulu dengan matang Sikap kritis itu
harus dikembangkan sebagai suatu cara hidup.
b. Akan lebih menyadarkan kita kepada hakekat dan makna
ilmu pengetahuan, serta mengenai metode dan prosedur
pengembangan ilmu. Bagi calon ilmuan pengetahuan
mengenai hal-hal ini sangat perlu dipelajari, khusus-
nya untuk melakukan penelitian ilmiah. Mahasiswa (calon
ilmuan) perlu memiliki kemampuan ilmiah, yaitu kemampuan menganalisis berbagai peristiwa dan menjelaskan
keterkaitan antara berbagai peristiwa. Dalam hubungan ini
maka akan sangat membantu mahasiswa bila kelak ia
bekerja sebagai apa saja (ahli hukum, wartawan, guru,
teknisi, dan lain-lain) sebab semua pekerjaan itu berkaitan
dengan usaha pemecahan masalah tertentu.
c. Lebih menyadarkan kita akan pentingnya peranan etika
dalam pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan
dan teknologi. IPTEK tidak hanya untuk memuaskan rasa
ingin tahu tetapi juga untuk membantu manusia memecahkan berbagai persoalan hidup, dan untuk dapat hidup
dengan baik dan benar. Berbagai masalah yang timbul
sebagai akibat moder-nisasi (kemiskinan, keterbelakangan,
penyakit, dan lain-lain) memang dapat dipecahkan dengan
ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga sangat
penting peran etika di dalamnya.
J.Sudarminta (2002:26) dalam bukunya Epistemologi Dasar:
Pengantar Filsafat Pengatahuan, mengatakan bahwa epistemologi
sangat perlu dipelajari sekurang-kurangnya sebab 3 alasan,
yaitu:
a. Alasan strategis, sebab pengetahuan merupakan hal yang
secara strategis penting bagi hidup manusia (knowledge is
power). sebab strategisnya kedudukan pengetahuan maka
epistemologi sangat perlu dipelajari guna memahami
bagaimana hakekat pengetahuan itu sesungguhnya.
b. Alasan dari sudut kebudayaan, sebab pengetahuan adalah
salah satu unsur kebudayaan yang sangat besar peranannya
bagi kehidupan manusia. Berkat pengetahuannya maka
manusia mampu membudayakan alam, membudayakan warga , dan membudayakan dirinya sendiri. sebab itu
mempelajari epistemologi adalah perlu misalnya untuk
mengetahui bagaimana kebudayaan dipengaruhi oleh
perkembangan ilmu pengetahuan.
c. Alasan dari sudut pendidikan,sebab pengetahuan merupakan
isi pendidikan (proses pengajaran) yang diperlukan dalam
usaha mengembangkan kepribadian manusia. Ontologi adalah bagian filsafat yang membahas hakekat
realitas atau hakekat yang ada, termasuk hakekat ilmu
pengetahuan sebagai sebuah realitas. Ada tiga macam yang ada
(realitas) yang menjadi obyek pemikiran filsafat, yaitu alam
fisik (cosmos), manusia (antropos), dan Tuhan (Teos).
Pemikiran mengenai alam fisik menimbulkan filsafat alam atau
kosmologi; pembahasan mengenai manusia menimbulkan
fisafat manusia atau atropologi filsafat; dan pembahasan
mengenai Tuhan menimbulkan filsafat ketuhanan atau teologi.
Filsafat alam misalnya, dipersoalkan apakah alam ini pada
hakekatnya satu (monistik) atau banyak (pluralistik), apakah ia
bersifat menetap (permanent) atau berubah (change), apakah ia
merupakan sesuatu yang aktual atau hanya kemungkinan
(potensial).
Dalam filsafat manusia antara lain dipertanyakan apakah
manusia itu badan atau jiwa atau kesatuan antara keduanya,
apakah manusia itupada hakekatnya bebas ataun tidak bebas.
Jadi masalah ontologi sangat luas ruang lingkupnya, bukan
hanya terbatas pada masalah alam fisik saja, tetapi termasuk
juga alam metafisik yaitu sesuatu yang berada di luar (beyond)
dan setelah (after) alam fisik, atau alam yang lebih luas lagi
yang tidak dikenal (terra incognito). sebab daerah cakupan ontologi itu sangat luas, termasuk alam metafisik, maka
persoalan yang menyangkut ilmu pengetahuan juga sangat
luas, meliputi ilmu pengetahuan tentang alam fisik dan
metafisik. Jika alam fisik mengenai persoalan realitas
kebendaan yang dapat diketahui dengan pengalaman empiris,
sebaliknya alam metafisik yang berada di luar realitas
kebendaan, tidak dapat diketahui melalui pengalaman empiris.
Diantara hal-hal yang besar dalam persoalan metafisika ialah
masalah ketuhanan, masalah hubungan badan-jiwa-roh,
masalah keabadian dan perubahan, serta masalah asal mula
dan akhir sesuatu.
2. Klasifikasi dan Hierarki Ilmu Pengetahuan
Seyyed Houssein Nasr, dalam kata pengantarnya untuk
buku Osman Bakar, Hierarki Ilmu (1992:11), mengatakan bahwa
kekacauan yang mewarnai kurikulum pendidikan modern di
kebanyakan negara Islam sekarang ini ialah hilangnya visi
hierarkis terhadap pengetahuan seperti yang dijumpai dalam
sistem pendidikan Islam tradisional. Dalam tradisi intelektual
Islam, ada suatu hierarki dan kesalinghubungan antara
berbagai disiplin ilmu yang memungkinkan realisasi kesatuan
(keesaan) dalam kemajemukan, bukan hanya dalam wilayah
iman dan pengalaman keagamaan tetapi juga dalam dunia ilmu
pengetahuan. Ditemukannya tingkatan dan hubungan yang
tepat antar berbagai disiplin ilmu merupakan obsesi para tokoh
intelektual Islam terkemuka, dari teolog hingga filosof, dari sufi
hingga sejarahwan, yang banyak diantara mereka mencurahkan energi intelektualnya pada masalah klasifikasi ilmu. Dalam
dunia Islam tradisional, subjek dan objek pengetahuan dipandang bersifat hierarkis. Hieraki pertama adalah Realitas
Mutlak, yaitu Allah. Hierarki berikutnya ialah dunia jin dan manusia, dan akhirnya dunia alami. Manusia dapat
mengetahui melalui inderanya, akalnya, dan akhirnya melalui
wahyu. Wahyu yang terkandung dalam Al-Quran memuat
berbagai prinsip pengetahuan sebab ia berada pada puncak
hierarki. Otoritas intelektual Islam pada masa itu sepenuhnya
sadar akan hierarki objek dan subjek pengetahuan. Berdasarkan
realitas itu mereka mencoba mengklasifikasikan ilmu-ilmu
yang dijabarkannya bukan hanya dari Al-Quran dan hadis,
tetapi juga yang diwarisi dari peradaban-peradaban terdahulu
seperti Yunani, Persia, dan India. Berikut ini dicantumkan
klasisifikasi ilmu pengetahuan menurut filosof dan ilmuan,
baik dari Barat maupun Islam.
Aristoteles (374-322 SM) mengklasifikasikan ilmu sebagai alat
dan ilmu sebagai tujuan. Ilmu sebagai alat ialah logika,
sedangkan ilmu sebagai tujuan dibagi kedalam dua bagian
besar, yaitu:
1. Ilmu teoritis, meliputi fisika, matematika, dan
metafisika
2. Ilmu praktis, meliputi etika, ekonomi, dan politik.
Klasifikasi Aritoteles ini dipakai oleh filosof Islam seperti
al-Farabi, al-Kindi dan Ibnu Sina sebagai dasar klasifikasi ilmu
yang dikembangkannya.
Pada zaman pertengahan, klasifikasi ilmu yang diterima
dan berkembang pada masa itu adalah apa yang disebut
Trivium dan Quadrivium: Ilmu-ilmu Trivium meliputi:
Grammar, Dialektika, dan Retorika; sedangkan ilmu-ilmu
Quadrivium meliputi: Aritmetik, Geometri, Musik, dan
Astronomi.
Pada zaman modern, konsep klasifikasi ilmu yang bertolak
dari ilmu-ilmu empiris semakin berkembang pesat dan
semakin mantap. Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan Wilhelm
Windelband (1848-1915) mencetuskan teori dikotomi antara
disiplin sains (ilmu pengetahuan alam) dengan disiplin ilmu
kemanusiaan dan sastera. Sejak itu ilmu pengetahuan dibagi
atas dua kelompok besar, yaitu kelompok ilmu (science), dan
kelompok Seni (Arts).
Universitas Harvard pada tahun 1928 membuat klasifikasi
ilmu ke dalam tiga kelompok, yaitu : physical science, Social
Science, dan Human Science atau Humanities. Untuk kelompok
physical science ada yang membagi menjadi pure science dan
applied science, atau physical science dan biological science. Ilmuilmu kemanusiaan (humanities) dan ilmu-ilmu sosial itu pada
dasarnya sama, sebab kedua-duanya berhubangan dengan
persoalan manusia. Bedanya adalah kalau ilmu kemanusian
membahas manusia sebagai individu, sedangkan ilmu sosial
social membahas manusia sebagai makhluk sosial. Ke dalam
Physical atau Natural Sciences termasuk: ilmu fisika, kimia,
biologi, matematik, astronomi, farmasi, perubatan, dll.
Kedalam Social Science termasuk ilmu sosiolgi, antropologi,
ekonomi, geografi, sejarah, politik, hukum, dan lain-lain.
Sedang dalam Humanitis termasuk: Ilmu bahasa, sastra,
filsafat, seni halus, seni pertunjukan, dan lain-lain.
Di negara kita , sebagaimana tercantum dalam UndangUndang Pokok tentang Pendidikan Tinggi Nomor 12 Tahun
1961, klasifikasi ilmu dibagi atas 4 kelompok, yaitu :
1. Ilmu Agama / Kerohanian
2. Ilmu Kebudayaan
3. Ilmu Sosial
4. Ilmu Eksakta dan Teknik
Para ahli filsafat Islam seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina,
Al Syirazi, Al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah, dan Ibnu Khaldun,
menyusun klasifikasi dan hirarki ilmu tersendiri yang
berpegang pada sumber al-Qur‟an dan Hadist, yaitu pemilahan
mana ilmu yang pokok atau utama dan mana yang tidak pokok
atau tidak utama.
Al-Kindi (796-873 M) mengklasifikasi ilmu dalam dua jenis,
yaitu ilmu teoritis dan ilmu praktis seperti pembagian
Ariatoteles, yaitu;
1. Ilmu Teoritis (ilmu nazariah) : Fisika (ilmu tabiat),
Matematika (ilmu riyadiat), Metafisika (ilmu Ilahiyah),
2. Ilmu praktis (ilmu amaliyah) : Etika (akhlaqiyah),
Ekonomi (iqtisaduyah), Politik (siasiyah)
Ibnu Sina (980-1036 M), juga membagi ilmu seperti klasifikasi
Aristoteles
1. Ilmu Teoritis : Fisika, Matematika, Metafisika, dan ilmu
universal.
2. Ilmu praktis : Etika, Eonomi, Politik, Syariah.
Al-Farabi (878-950 M) mengklasifikasi ilmu sbb:
1. Ilmu Bahasa (ilm al-lisan)
2. Ilmu logika (ilm al-mantiq)
3. Ilmu Matematik (ulum al-ta‟alim)
4. Ilmu Fisika (al-ilm al-tabi‟i)
5. Ilmu Metafisika (al-ilm al-ilahi)
6. Ilmu warga (ilm al-madani).
Klasifikasi ilmu menurut Quthb Al-Din Al-Syirazi (1236-1311
M) adalah sebagai berikut: (sumber Osman Bakar, 1997)
A. Ilmu-ilmu filosofis (ulum hikmly)
1. Teoritis : metafisika, matematika, filsafat alam, logika
2. Praktis : etika, ekonomi, politik
B. Ilmu-ilmu non-filosofis (ulum ghair hikmly) Ilmu-ilmu ini diistilahkan sebagai ilmu-ilmu religious jika
didasarkan atas, atau termasuk dalam, ajaran-ajaran syariah
(hokum wahyu). Jika sebaliknya maka disebut ilmu-ilmu
non-religius (ghair diniy).
Ilmu-ilmu religious dapat diklasifikasikan menurut dua
cara yang berbeda:
1. Klasifikasi dalam ilmu-ilmu naqly dan ilmu-ilmu
intelektual (aqly)
2. Klasifikasi dalam lmu tentang pokok-pokok (ushul) dan
ilmu tentang cabang-cabang (furu‟)
Klasifikasi ilmu menurut Al-Ghazali (1058-1111 M) adalah
sebagai berikut:
1. Ilmu syar‟iyah dan ilmu aqliyah
2. Ilmu fardhu ain dan ilmu fardhu kifayah
Ilmu Syar’iyah terbagi atas ilmu usul (tauhid, tafsir, hadist)
dan ilmu furu‟ (Ibadat, fiqh, akhlak), sedangkan Ilmu Aqliyah
terdiri atas tiga tingkatan, yaitu:
Tingkat pertama adalah matematika (aritmatika, geometri,
astronomi, astrologi, musik) dan logika
Tingkat pertengahan adalah: ilmu pengetahuan alam
(perubatan, metereologi, mineralogy, dan kimia).
Tingkat tertinggi adalah tentang maujud (yang wajib dan
mungkin), tentang pecipta (zat-Nya, sifat-Nya dan
perbuatan-Nya), tentang tasawuf, tentang malaikat,
syaitan, mukjizat, dan kiamat;
Yang termasuk ilmu Fardlu „Ain menurut Al-Ghazali adalah :
„aqidah, „ibadah, dan suluk/akhlaq, sedangkan yang termasuk
fardlu kifayah adalah selebihnya. Klasifikasi ilmu menurut Ibnu Khaldun (1332-1382 M).
1. Ilmu Syar’iyah (al-Qur‟an, tafsir, hadist, nasikh dan
mansukh, sanat hadist, usul fiqh, ilmu kalam dan ilmu
tasawuf)
2. Ilmu Aqliyah (bilangan, berhitung, hisab, algebra,
muamalat dan faraid, ilmu ekonomi, ilmu bentuk, ilmu
ruang dan kawasan, ilmu kegunaan seperti perubatan,
pertukangan, kebidanan, dan lain-lain).
Dalam Konferensi Pendidikan Islam Sedunia yang
diadakan di Islamabad pada tahun 1980, para cendekiawan
muslim telah menyusun konsep klasifikasi ilmu (classification of
knowledge) dan hierarki ilmu (hierarchy of knowledge) dalam
Islam, yaitu sbb:
1. Ilmu Abadi (Perennial Knowledge) yang meliputi:
a) Al-Quran (Qiraat, Sunnah, Sejarah awal Islam, Tauhid,
Usul Fiqh dan Fiqh, dan Bahasa Arab
b) Subyek-subyek tambahan (Metafisika Islam,
Perbandingan Agama, Tamaddun Islam).
2 Ilmu perolehan (Acquired Knowledge)
a) Seni
b) Ilmu intelektual
c) Ilmu-ilmu Kealaman (teoritis) seperti filsafat ilmu,
Matematika, Statistik, fisika, Kimia, Astronomi, dan lain
sebagainya)
d) Ilmu-ilmu Terapan (ekonomi dan teknologi, kedokteran,
dan lain-lain)
e) Ilmu-ilmu Praktis (ilmu komunikasi, home economics, dan
lain-lain)
Dalam klasifikasi ini jelas bahwa ilmu Islam yang
berdasarkanwahyu ditempatkan pada hierarki yang tinggi.
Ilmu-ilmu akal berada di bawahnya. Konsep klasifikasi dan
hierarki ilmu dalam perspektif Islam adalah manifestasi ajaran
Islam tentang ayat atau tanda kebesaran Allah SWT yang
terbagi kedalam dua jenis, yaitu ayat Qur‟aniyah dan ayat
Kauniyah. Ayat Qur’aniyah adalah firman Allah (Words of God)
yang merupakan ulum al-Quran dan ilmu lainnya yang terkait
(seperti ilmu al-Quran, ilmu hadist, aqidah, syariah, akhlak,
Adapun ayat Kauniyah, adalah mengenai ciptaan Allah SWT
yang menjadi tanda-tanda kebesaranNya, yang dapat dipelajari
dalam alam syahadah yang terbentang luas dalam alam ini,
seperti sains kealaman, yang meliputi ilmu fisika, biologi, kimia
geologi, sosiologi, botani, dan lain-lain.
3. Hukum Kausalitas
Hal lain yang berhubungan dengan ontologi ilmu ialah
mengenai hukum ilmu, yang maksudnya adalah hukum sebab
akibat atau hukum kausalitas. Dalam filsafat ilmu masalah
hukum kausalitas itu merupakan persoalan yang tidak pernah
terselesaikan, antara lain sebab ilmu pengetahuan tidak hanya
mengenai alam fisik, tetapi juga menyangkut alam metafisik.
Dalam bidang ilmu kealaman terdapat hukum sebab akibat itu,
tetapi tidak demikian halnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan
dan ilmu keagamaan.
Dalam tradisi berpikir Barat yang sekuler terdapat aliran
filsafat dualisme (aliran serba dua), misalnya dualisme badan
dan jiwa, dan dualisme antara bebas dan tidak bebas mengenai
manusia. Filsafat dualisme itu dimantapkan oleh Rene
Descartes, yang membedakan antara res extensae (hal-hal yang
memenuhi ruang) dan res cogitans (hal-hal yang dipikirkan)dan kemudian dikembangkan polarisasi ilmu ke dalam dua
kelompok yang dipelopori oleh William Dilthey (1833-1911). Ia
membagi ilmu ke dalam bidang ilmu-ilmu kealaman yang
disebut Naturwissenschaften dan bidang ilmu kemanusiaan yang
disebut Geisteswissenscahften. Menurutnya bidang ilmu kealaman memerlukan metode erklaren sebab diperlukan penjelasan
(explanation), sedangkan untuk bidang ilmu kemanusiaan perlu
metode verstehen, sebab yang diperlukan ialah pemahaman
(understanding), yaitu memahami dan menghayati jiwa dan
tingkah laku manusia.
Pendapat Dilthey itu diperkuat lagi oleh Wilhelm
Windelband (1846-1915) yang menekankan pada dua macam
ilmu yang disebut ilmu nomotetik (ilmu kealaman) dan ilmu
idiografik, (ilmu kemanusiaan). Dalam ilmu-ilmu kealaman
terdapat sifat-sifat umum dan universal sehingga dapat
dirumuskan hukum-hukum tertentu (nomos). Sedangkan dalam
ilmu-ilmu kemanusian seperti ilmu sejarah terdapat sifat-sifat
khusus (idios) yang menyebabkan sulit untuk merumuskan
hukum tertentu, atau tidak memiliki hukum (anomi).
Sebabnya adalah sebab sejarah menyangkut dengan manusia,
dimana manusia memiliki ciri idiosyncracy atau sifat khusus
yang berbeda antara manusia yang satu dengan yang lain.
sebab itu ilmu-ilmu empiris yang bersifat nomotetik itu disebut
juga sebagai hard science, dan ilmu kemanusiaan yang idiografik
itu disebut sebagai solf science.
Pada zaman modern pandangan dunia mekanistik yang
dikemukakan oleh Descartes, dimantapkan oleh Newton
dengan konsep hukum alam yang sama (uniformity of nature)
dimana alam semesta bergerak mengikuti hukum mekanisme
yang tidak berubah untuk selama lamanya. Inilah asas filsafat
naruralisme Newton, dimana Tuhan hanya merupakan tukang
yang menggerakkan mesin yang kemudiannya bergerak
dengan sendirinya tanpa campur tangan Tuhan lagi. Selain itu,
salah satu ciri ilmiah yang sangat dibanggakan oleh umumnya
ilmuan Barat ialah penekanan yang berlebihan pada sifatnya
yang obyektif, sehingga mengabaikan sifat subyektivitas yang
terdapat pada manusia. Sifat subyektif dipandang Comte
sebagai tidak ilmiah. Tetapi sekarang ini pandangan obyektif
dari sains itu tidak dapat lagi dipertahankan, sebab tidak
dapat diterima lagi secara mutlak. Dalam bidang fisik faktor
subyektif juga terdapat apalagi dalam bidang ilmu social.
Seperti dijelaskan oleh Fritjof Capra dalam The Tao of Physics
(1975), perkembangan dalam kuantum fisik menunjukkan
bahwa kelakuan atom dan sub atom dipengaruhi oleh orang
yang mengkajinya.
Persoalannya ialah apakah benar hukum sebab akibat itu
merupakan sifat asasi dari alam semesta ini? Sebenarnya sejak
zaman Yunani masalah hukum sebab akibat itu sudah menjadi
pemikiran para filosof waktu itu. Aristoteles mengemukakan
teori tentang Causa Efficiens yang menunjuk kepada sebab
pertama yang mencipta kejadian. Teori ini sangat besar
pengaruhnya sebagai dalil kosmologi mengenai wujudnya
Tuhan. Baginya adalah mustahil rangkaian sebab-akibat terus
bersambung tanpa titik akhir. Ia harus berakhir pada sebab
segala sebab, yaitu Tuhan sebagai Sebab Pertama (The First
Cause).
Sebenarnya tidak semua pemikir Barat menyetujui hukum
sebab akibat itu. Sikap kritis terhadap hukum kausalitas itu
dilakukan oleh John Locke, George Berkeley, David Hume, dan
Immanuel Kant, dan bahkan juga oleh Bertrand Russell.
Ternyata kemudian teori Newton yang menyatakan 4
komponen utama (zat, gerak,ruang dan waktu) itu bersifat yang menggerakkan mesin yang kemudiannya bergerak
dengan sendirinya tanpa campur tangan Tuhan lagi. Selain itu,
salah satu ciri ilmiah yang sangat dibanggakan oleh umumnya
ilmuan Barat ialah penekanan yang berlebihan pada sifatnya
yang obyektif, sehingga mengabaikan sifat subyektivitas yang
terdapat pada manusia. Sifat subyektif dipandang Comte
sebagai tidak ilmiah. Tetapi sekarang ini pandangan obyektif
dari sains itu tidak dapat lagi dipertahankan, sebab tidak
dapat diterima lagi secara mutlak. Dalam bidang fisik faktor
subyektif juga terdapat apalagi dalam bidang ilmu social.
Seperti dijelaskan oleh Fritjof Capra dalam The Tao of Physics
(1975), perkembangan dalam kuantum fisik menunjukkan
bahwa kelakuan atom dan sub atom dipengaruhi oleh orang
yang mengkajinya.
Persoalannya ialah apakah benar hukum sebab akibat itu
merupakan sifat asasi dari alam semesta ini? Sebenarnya sejak
zaman Yunani masalah hukum sebab akibat itu sudah menjadi
pemikiran para filosof waktu itu. Aristoteles mengemukakan
teori tentang Causa Efficiens yang menunjuk kepada sebab
pertama yang mencipta kejadian. Teori ini sangat besar
pengaruhnya sebagai dalil kosmologi mengenai wujudnya
Tuhan. Baginya adalah mustahil rangkaian sebab-akibat terus
bersambung tanpa titik akhir. Ia harus berakhir pada sebab
segala sebab, yaitu Tuhan sebagai Sebab Pertama (The First
Cause).
Sebenarnya tidak semua pemikir Barat menyetujui hukum
sebab akibat itu. Sikap kritis terhadap hukum kausalitas itu
dilakukan oleh John Locke, George Berkeley, David Hume, dan
Immanuel Kant, dan bahkan juga oleh Bertrand Russell.
Ternyata kemudian teori Newton yang menyatakan 4
komponen utama (zat, gerak,ruang dan waktu) itu bersifat absolut telah terbantah oleh teori Relativisme Einstein. Artinya
keempat komponen itu bersifat relatif. Demikian pula sifat
indeterministik dalam gejala alam menjadi lebih jelas dengan
munculnya teori kuantum oleh Niels Bohr. Selanjutnya dengan
ditemukannya teori mekanik kuantum oleh Werener
Heisenberg, menunjukkan bahwa terdapat batasan dalam
kemampuan manusia untuk mengetahui dan meramalkan
gejala fisik secara pasti. (lihat juga Fritjof Capra, dalam Titik
Balik Peradaban, 2000).
Dalam dunia Islam, Al-Ghazali merupakan tokoh yang
paling keras menentang hukum kausalitas itu. Menurut AlGhazali, gerakan alam semesta ini terlaksana adalah sebab
kehendak Allah SWT. Hukum sebab akibat yang berlaku di
alam ini bukanlah sebab kekuatan alamiah dari benda benda
tertentu dalam alam ini, tetapi hal itu merupakan sunatullah.
Suatu sebab tidaklah harus memberikan akibat tertentu. Seperti
halnya air tidaklah seharusnya membasahi, demikian pula api
tidaklah semestinya membakar. Yang ada adalah bahwa sifat
air membasahi dan sifat api membakar.
Namun, hal itu bukanlah suatu kesemestian, sebab dalam
situasi lain, seperti dalam hubungan dengan mukjizat (miracle),
dimana api tidak membakar Nabi Ibrahim dan air Laut Merah
tidak membasahi atau menenggelamkan Nabi Musa dan
pengikutnya. Demikian intisari pendapat Al-Ghazali dalam
bukunya Tahafut Al-Falasifah yang menunjukkan betapa tidak
benarnya konsep “keberangkalian” yang terdapat dalam
hukum alam ini. Pemikiran Al-Ghazali ini oleh Karen Harding
dipandang ada beberapa kesamaannya dengan teori mekanik
kuantum yang baru timbul pada abad ke-20 (lihat.The American
Journal of Islamic Social Sciences, vo. 10, No.2, 1993) (lihat juga
Abdul Rahman Abdullah, 2005:42)
4. Sifat Ilmu Pengetahuan
Dalam hubungan dengan ontologi ilmu dikenal 3 macam
sifat dari ilmu pengetahuan yaitu sifat santifik, humanistik, dan
holistik.
Sifat Saintifik (Ilmiah).
Sifat saintifik dari ilmu pengetahuan berkaitan dengan
hukum kausalitas seperti telah dikemukakan diatas. Seperti
dijelaskan oleh Windelband bahwa ada dua jenis ilmu, yaitu
ilmu nomotetik dan ilmu idiografik. Khusus ilmu nomotetik
merupakan ilmu pengetahuan kealaman yang dikatakan
memiliki pola hukum yang bersifat umum dan universal,
yaitu hukum sebab dan akibat (cause and effect) yang tetap.
Dengan sifat yang demikian maka dapat dibuat prediksi atau
ramalan tentang kejadian yang akan datang, yang biasanya
akan berlaku tepat seperti yang ditentukan (determined). Ciri
nomotetik dan deterministik atau dapat diramalkan itu
merupakan prinsip ilmiah yang paling asasi, selain dari ciri-ciri
obyektif, induktif, dan kuantitatif. Penjelasan ilmiah atau
scientific explanation adalah suatu bentuk penjelasan yang
berasaskan hukum sebab-akibat yang pasti dan tetap.
Penjelasan ilmiah itu dapat dibagi atas dua macam bentuk,
yaitu: penjelasan nomologi deduktif penjelasan nomologi-induktif.
Deduktif ialah metode berpikir yang mengambil
kesimpulan dari kaedah umum kepada yang khusus, atau dari
hal yang abstrak kepada yang konkrit. Sedangkan induktif
ialah metode berpikir yang mengambil kesimpulan dari kaedah
yang khusus kepada yang umum, atau dari hal-hal yang
konkrit kepada yang abstrak. Dengan demikian penjelasan jenis
pertama merupakan cara “dari atas ke bawah” sebab
didasarkan pada asumsi bahwa sebab sesuatu gejala berkaitan
dengan hukum yang sudah diketahui. Sedangkan penjelasan
jenis kedua merupakan cara dari “bawah ke atas” sebab
hukum yang dicari dilakukan melalui hipotesis.
Adapun ciri dari bentuk nomologi deduktif adalah
tendensinya kearah sifat deterministik, artinya apabila berlaku
suatu hal maka tidak dapat dielakkan akan terjadi atau berlaku
hal yang lain. Dengan kata lain setiap sebab pasti akan
membawa kepada akibat tertentu. Sedangkan dalam bentuk
nomologi-induktif atau yang dikenal sebagai penjelasan
probabilistik, cirinya yang utama ialah probabilistik atau
kemungkinan atau kebarangkalian.
Demikianlah dua bentuk penjelasan ilmiah yang
berdasarkan hukum sebab–akibat, dimana yang pertama
bersifat pasti (deterministik) dan yang kedua bersifat
barangkali (probabilistik). Dalam bidang ilmu kealaman
terdapat semacam kesepakatan tentang adanya hukum sebabakibat (hukum kausalitas) yang bersifat pasti dan tetap
sehingga kita dapat meramalnya gejala apa yang akan terjadi
berikutnya. Melalui pengalaman empiris terbentuk konsep
hukum alam (natural law), seperti yang antara lain banyak
ditemukan oleh Isaac Newton.
Berbeda halnya dengan ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan
yang sifatnya probabilistik, bukan deterministik. Dalam ilmu
kemanusiaan tidaklah berlaku hukum sebab-akibat seperti
yang diharapkan. sebab ilmu ini bersifat humanistik. Ini
tidak berarti bahwa ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu
social tidak dapat disebut ilmiah. Masalah yang paling
mendasar dalam hal ini ialah prinsip ontologi Barat itu sendiri
yang mengutamakan ilmu empiris sebagai ilmu yang ilmiah
dan sekaligus menganggap ilmu-ilmu kealaman sebagai ratu
dari segala ilmu (Queen of sciences). Ilmu-ilmu kealamasn yang
berciri nomotetik dan deterministik itu dipandang bersifat
ilmiah, sedangkan ilmu-ilmu lain yang tidak berciri seperti itu
dipandang tidak ilmiah.
Sifat Humanistik (Kemanusiaan).
Sifat humanistik dari ilmu pengetahuan menjadi asas bagi
ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan. Sifat humanistik
terbagi atas dua macam pendekatan, yaitu: pendekatan
fungsional dan pendekatan genetik. Pendekatan fungsional
disebut juga teleological sebab maknanya dalam sifat itu
terkandung tujuan tertentu. Untuk mengenal bagaimana
pendekatan fungsional seringkali digunakan pertanyaan
mengapa atau kenapa, dan jawabannya adalah untuk mencapai
tujuan tertentu, yang sering digunakan ungkapan: agar,
supaya , demi, untuk, dengan tujuan, dan seterusnya.
Pendekatan genetik, yang disebut juga pendekatan
historical, sebab corak jawaban yang diberikannya dikaitkan
dengan peristiwa masa lalu. Misalnya bagaimana kita
menjelaskan mengenai terjadinya atau sejarah berlakunya
peristiwa tertentu. Untuk jawabannya dijelaskan tentang
urutan sejarah atau tahap perkembangan objek yang dikaji
dalam perjalanan waktu. Demikian pula kalau kita ingin
mengetahui mengapa seorang perempuan memiliki jenis
rambut tertentu maka pendekatan genetik dipakai untuk
menekankan faktor keturunan perempuan ini . Dalam
bidang psikologi banyak dipergunakan pendekatan genetik
ketika mengkaji perilaku manusia, yaitu dengan mengkaji apa
yang terjadi pada masa kecil seseorang.
Kedua pendekatan itu biasanya dipakai dalam ilmu-ilmu
sosial (social sciences) seperti antropologi, sosiologi, dan
psikologi, dan juga dalam ilmu kemanusiaan (humanities). Jadi
berbeda dengan ilmu-ilmu kealaman (physical siences) yang
menggunakan pendekatan ilmiah (saifitik). Dengan pendekatan yang berbeda itu maka terjadi pemisahan atau dikotomi antara
bidang ilmu kealaman dengan ilmu social dan kemanusiaan,
sebagaimana telah dipelopori pemisahan itu oleh William
Dilthey dan Wilhem Windelband. Seperti telah dikemukakan
bahwa Dilthey menggunakan pendekatan explanation /verklaren
untuk bidang ilmu kealaman, dan pendekatan understanding/
verstehen untuk bidang kemanusiaan. Sementara itu
Windelband menekankan konsep ilmu nomotetik bagi bidang
ilmu kealaman, dan konsep ilmu ideografik untuk ilmu
kemanusiaan.
Pengertian verstehen ialah memahami dan mengerti
perasaan atau keadaan batin seseorang dengan menempatkan
dirinya dalam konteks situasi dan zaman orang yang dikaji.
Dengan pendekatan verstehen dapat dipahami (understand)
perasaan, pikiran, dan perilaku orang yang dikaji dengan
menempatkan pikiran dan perasaan pengkaji ke dalam situasi
yang dikaji. Kita hanya dapat memahami secara mendalam
tentang orang lain itu dengan cara empathy, yaitu dengan
menghayati dan menyelami sejarahnya. Menurut Dilthey ada
tiga syarat yang harus dipenuhi dulu agar pengertian dan
pemahaman kita dapat diperoleh dengan baik.
1. Kita harus memiliki pengalaman dalam proses
psikologi, misalnya pengalaman tentang cinta jika bertujuan ingin mengetahuai manusia yang bercinta.
2. Kita harus mengetahui tentang konteks zamannya.
Misalnya suatu perkataan hanya dapat dipahami dengan
mendalam menurut situasi yang bersangkutan.
3. Kita harus mengetahui bahasa dan sistem sosiobudaya
yang dipelajari. Misalnya untuk memahami suatu kalimat
perlulah diketahui bahasa yang berkenaan, dan untuk
mengerti suatu permainan kita perlu mengetahui
peraturannya.
Konsep Verstehen itu bukan hanya dipakai dalam bidang
sejarah dan sosiologi tetapi juga dalam bidang sastra yang
dikenal dalam bentuk hermeneutic, yaitu memahmi dan
mentafsir makna sesuatu teks masa lalu secara menyeluruh dan
mendalam. Tokoh-tokoh hermeneutic pada zaman modern
antara lain: Martin Heidegger, Hans-Georg Gadamer, Paul
Ricoeur, Michel Foucault, dan Jacques Derrida. Konsep
hermeneutic ala Dilthey memberi tekanan pada teori ilmu
pengetahuan (epistemologi) sedangkan konsep hermeunetic
menurut Gadamer berubah menjadi persoalan Ontologi ilmu.
Jadi perubahan dari persoalan tentang sarana memperoleh ilmu
pengetahuan kepada persoalan tentang keberadaan manusia di
dunia ini, yaitu kepada usaha manusia mentafsirkan dunianya,
penafsiran yang berlangsung berdasarkan adanya hubungan
timbal balik antara yang mengenal dengan yang dikenal, antara
pembaca dan pengarang. Oleh Gadamer dunia yang amat luas
itu diperkecil menjadi dunia penafsiran teks tertulis.
Adapun penjelasan Wilhelm Windelband mengenai
pemisa-han atau dikotomi kedua macam bidang ilmu itu
adalah sebagai berikut. Dalam bukunya History and Natural
Sciences (1894), dijelaskan bahwa pemisahan kedua macam
bidang ilmu itu (Ilmu Sejarah dan Ilmu-Ilmu Kealaman) adalah
dilihat dari segi kaedahnya, bukan dari segi pokok
persoalannya. Ilmu-ilmu kealaman (nomotetik) memiliki sifat
general (umum) dan universal (sejagat) sehingga dapat
dirumuskan pola hukum (nomos), sedangkan ilmu social dan
humanities (idiografik) seperti sejarah memiliki sifat unik dan
khusus (idios) yang menyebabkannya tidak dapat dibuat
generalisasi atau hukum tertentu.
Sebagaimana sifat saintifik, sifat humanistik daripada
ilmu juga memiliki masalahnya sendiri. Kalau sifat saintifik
terjebak ke dalam bahaya determinisme dan naturalisme, maka
sifat humanistik sering terjebak ke dalam bahaya relativisme
dan subjektivisme. Ruang dan waktu yang berbeda seringkali
meng-hasilkan corak budaya dan pemikiran yang berbeda
pula. Seseorang yang hidup dalam semangat zaman dan
semangat tempat tertentu sudah tentu tidak dapat menilai
dengan seksama terhadap orang atau kejadian pada zaman dan
tempat yang berbeda. Walaupun pendukung sifat humanistik
berusaha meniadakan unsur relativisme dan sujektivisme itu
melalui syarat yang dikenakan, namun masalah ini tidak
dapat dielakkan sama sekali. Pikiran sipelaku sejarah memang
terkait dengan ruang dan waktu tertentu, tetapi pikiran
sipengkaji sejarah terkait dengan ruang dan waktu sekarang.
Adalah tidak mungkin sama sekali pikiran pelaku sejarah dapat
dipindahkan dengan tepat ke masa kini. Kalaupun ada usaha
untuk itu (misalnya dalam pementasan atau film) namun
kebenarannya hanya kebetulan saja.
Sifat Holistik
Dalam usaha memahami dan menjelaskan fenomena alam
dan manusia, ternyata sifat saintifik sangat menekankan
pentingnya alam fisik (alam natural) sehingga ilmu yang
dipandang ilmiah ialah ilmu-ilmu kealaman (natural sciences)
saja, sebab ilmu-ilmu itu bersifat nomotetik (bersifat umum dan
universal), yang memenuhi hukum kausalitas. Sebaliknya sifat
humanistik memandang bahwa ilmu-ilmu sosial dan humanitis
juga tergolong ilmiah yang kebenarannya dapat dipetanggungjawabkan secara metodologis. Pandangan dualistis, dan malah
dikotomis antara kedua bidang ilmu itu cukup lama berlangsung dalam tradisi pemikiran Barat yang sekuler.
Sebenarnya baik sifat saintifik maupun humanistik dari ilmu
pengetahuan memiliki kekuatan dan kelemahan-nya
masing-masing. sebab itu kedua sifat itu diperlukan. Unsurunsur yang baik dari saintifik dapat dipakai untuk
pengembangan ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, dan sebaliknya unsur yang baik dari humanistik dapat dimanfaatkan
untuk pengembangan ilmu-ilmu kealaman. Sikap eklektif
seperti itu lebih baik dari pada sikap dikotomis yang
mempertentangkan secara ektrim antara kedua bidang ilmu itu,
sebab hanya dengan sikap saling meminjam dan membantu
itu dapat terwujud keseimbangan atau keharmonisan.
Sifat holistik merupakan suatu pandangan dunia (worldview) yang bersifat menyeluruh dan terpadu dalam usaha
menjelaskan persoalan antara alam natural dan supernatural
atau antara alam fisik dan metafisik, atau antara persoalan
dunia dan akhirat (agama). Sifat holistik daripada ilmu itu
disebut juga bersifat Rabbani, yang sejalan dengan falsafah
Islam mengenai persoalan alam dan manusia, khususnya
mengenai persoalan ilmu pengetahuan alam serta pengetahuan
social dan kemanusiaan. Pandangan Barat mengenai hal
ini tidak memperhatikan peranan agama atau peranan
Tuhan.
Padahal, sesuai dengan konsep ontologi yang mencakup
alam natural dan supernatural, maka selayaknya faktor agama
turut diperhatikan, malah seharusnya menjadi dasar bagi
pembahasan masalah alam dan manusia. Pandangan yang
keliru terhadap alam fisik atau alam natural akan melahirkan
ilmu yang keliru pula. Konsep hukum alam yang serba
mekanistik dan deterministik telah membentuk sifat ilmiah dari
ilmu juga bersifat mekanistik dan deterministik. Menurut sifat humanistik dapat dipakai dalam usaha memahami dan
menjelaskan fenomena alam semesta dan fenomena manusia.
(lihat Abdul Rahman Haji Abdullah, 2005).
5. Aliran Filsafat Ontologi
Dalam fisafat Barat terdapat banyak aliran, yang beberapa
diantaranya dapat digolongkan ke dalam filsafat ontologi yang
membahas tentang hakekat realitas, yaitu: aliran materialisme,
vitalisme, humanisme, dan eksistensialisme, serta juga aliran
beberapa aliran dilihat dari sudut jumlah, seperti: monisme,
dualisme, dan pluralisme. (Mengenai aliran-aliran ini lihat
juga Darwis A. Soelaiman, 2002).
Materialisme. Materialisme adalah aliran filsafat metafisika
yang mengembalikan segala sesuatu kepada dunia materi.
Kenyataan sejati atau kenyataan sesungguhnya dari segala
sesuatu, termasuk manusia, adalah benda atau materi.
Menurut materialisme manusia itu memang merupakan
kesatuan badan dan jiwa, namun yang penting adalah
badannya atau jasmaninya yang tiada lain adalah materi.
Filsafat materislisme sudah ada sejak zaman Yunani klasik.
Menurut seorang tokohnya, Democritos (460-370 SM) kenyataan itu terdiri dari atom-atom (atomos) yang tidak dapat dibagi
bagi, tidak dapat diamati dan bersifat menetap. Tetapi atomatom itu sering berbeda besarnya, bentuk, gerak dan
susunannya. Meniurut Demokritos gerak atom itu ditentukan
oleh hukum yang bersifat mutlak. Pandangan Demokritos itu
di samping mekanistis juga deterministis dan menolak
kebebasan. Menurutnya jiwa itu sendiri terdiri atas atom-atom
yang halus dan meliputi seluruh badan kita.
Pada abad pertengahan materialisme tidak berkembang,
sebab pada masa itu peranan gereja sangat besar, tetapi kemudian pada abad 17 dan 18, terutama abad 19 materialisme
mengalami perkembangan yang sangat pesat di Eropah Barat,
sebab sejalan dengan pemikiran renaissance. Materialisme
dalam filsafat modern itu dapat dibedakan antara dua macam.
Pertama, sebagai kelanjutan dari filsafat materialisme yang
berkembang pada masa Renaisance, yaitu yang disebut
materialisme ilmiah, dimana ilmu pengetahuan didasarkan
pada prinsip materialistik. Tokohnya De Lametrie (1709-1751),
Ludwig Buchner (1824-1899), dan Ernest Haeckel (1834-1919).
Kedua ialah materialisme yang timbul sebagai reaksi terhadap
idealisme, sebagaimana dikembangkan oleh Ludwid Feuerbach
(1804-1872), Holbach (1715-1717), Vogth (1817-1895), dan Karl
Marx (1818-1883) yang terkenal dengan aliran materialisme
historis. Aliran naturalisme sebagaimana dikembangkan oleh
Charles Darwin (1809-1882), dan aliran Positivisme August
Comte (1798-1857) juga tergolong ke dalam aliran materialisme
atau bentuk lain dari materialisme.
Vitalisme (Filsafat Hidup). Vitalisme adalah suatu aliran
filsafat ontologi yang memutlakkan dunia organis, dan
memandang bahwa kehidupan adalah sebagai kenyataan sejati
satu-satunya. Aliran ini mulai timbul di Eropah akhir abad ke-
19 sebagai protes terhadap aliran yang sangat menguasai alam
pikiran pada masa itu, yaitu materialisme, idealisme, dan
positivisme. Materialisme dalam berbagai bentuknya dipandang oleh vitalisme sebagai tidak memperhatikan cici-ciri
totalitas, spontanitas, dan finalitas dari kehidupan atau dunia
organis itu. Demikian juga idealisme dalam berbagai
bentuknya ditentang, sebab idealisme hanya memandang idea
atau rohani manusia sebagai kenyataan sejadi satu-satunya.
Positivisme ditolak sebab aliran ini sangat menekankan pada
pentingnya akal, dan hanya memandang ilmu saja yang dapat
dijadikan dasar untuk berfilsafat.Menurut vitalisme, yang primer bukanlah akal pikiran
atau rohani manusia, tetapi adalah kehidupan. Tak ada roh
tanpa kehidupan, dan bahwa berfilsafat tidak hanya
menyangkut hal-hal yang dipikirkan dengan akal saja, atau
yang dapat dijangkau secara rasional saja, tetapi juga
menyangkut hal-hal yang tidak dapat dipikirkan. Berfilsafat
menyangkut pula hal-hal seperti kemauan, perasaan, hati
nurani, dan keimanan manusia. sebab itu vitalisme menekankan pada segi irrasional manusia dimana peranan intuisi juga
penting di samping peranan akal pikiran. Peranan kata hati
dipandang penting sebab keputusan-keputusan yang kita
ambil dalam kehidupan kita seringkali berupa keputusan kata
hati yang kadang-kadang bertentangan dengan keputusan akal.
Tokoh-tokoh aliran Vitalisme ialah Schoupenhour (1788-
1860); Edsward von Hartman (1842-1906), Frederick W.
Nietsche 1844-1900), Henry Bergson (1859-1941), Dreiesch
(1867-1941), Klages (1872-1949), dan Dilthey (1833-1912).
Humanisme. Filsafat humanisme memberi tekanan
kepada kemanusiaan sebagai hakekat manusia, dan bahwa
kebebasan dan kedaulatan manusia itu adalah esensial.
Menurut humanisme, manusia merupakan suatu totalitas
kepribadian, merupakan manusia seutuhnya (a total person).
Manusia memiliki potensi-potensi dalam dirinya, yaitu
pikiran, perasaan, kemauan, spiritual, yang untuk menjadi
manusia seutuhnya, semua potensi itu harus dikembangkan
atau diaktualkan. Manusia adalah subyek bukan objek. Setiap
manusia adalah individu yang khas dan unik, yang memiliki
dorongan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Manusia
adalah makhluk pribadi dan social, dan dalam hubungan
social, humanisme mementingkan hubungan pribadi (personal relations). Manusia memiliki kebebasan dalam mengaktualisasikan dirinya.
Humanisme sudah ada sejak zaman filsafat Yunani,
dengan tokohnya yang terkenal uialah Aristoteles. Pada zaman
renaissance modern sampai abad ke-19 terkenal sejumlah
pendidik humanis, seperti: Thomas Aquina, Erasmus, Comenius, Rousseau, dan Peztalozzi. Dalam bidang politik terkenal
Machiavilli. Dalam bidang psikologi berkembang aliran
psikologi humanistik dengan tokoh utama William Maslow,
Carl Rogers, dan Hamacheck. Filsafat humanisme bermacammacam. Humanisme rasional memandang manusia sebagasi
makhluk yang bebas, yang berdaulat atas dirinya. Segala
sesuatu diukur dengan kemampuan akalnya. Humanisme
religious memandung bahwa manusia adalah makhluk yang
berketuhanan, sedangkan humanisme etis lebih menekankan
pada hubungan sesama manusia dalam kehidupan social.
Eksistensialisme. Eksistensialisme merupakan aliran
filsafat yang membahas keberadaan manusia dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia dan
dengan Tuhan. Aliran filsafat ini muncul sebagai reaksi
terhadap keadaan abad ke-20, dimana ilmu pengetahuan dan
teknologi lebih jauh maju perkembangannya dari ilmu-ilmu
kerohanian. Ilmu kerohanian sudah jauh tertinggal dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, sehingga akibatnya kehidupan
sudah serba mesin, atau manusia sudah dikuasai oleh mesinmesin, atau telah menjadi perpanjangan mesin. Individualitas
manusia sebagai perorangan sudah tidak lagi dianggap
penting. Manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk
memilih atau untuk menentukan bagi dirinya sendiri. Hal-hal
inilah yang ditentang oleh eksistensialisme. sebab ini berarti
bahwa keberadaan manusia sudah tidak otentik lagi, bukan lagi sebagai manusia yang konkrit. Manusia yang konkrit bukanlah
manusia pada umumnya, tetapi adalah manusia yang
bereksistensi. Manusia yang bereksistensi ialah manusia yang
berada (exist), yang merealisir diri, yang mempraktekkan
keyakinan dan kemauan bebas serta mengisi kebebasannya.
Keberadaan manusia menurut eksistensialisme mendahului esensinya. Eksistensi mendahului esensi, kata laum
eksistensi-alisme. Artinya ialah bahwa manusia itu harus ada,
dan adanya di dunia ini bukan sebab kemauannya, dan tidak
tahu akan menjadi apa dia di dunia ini. Bagaimana jadinya dia
adalah menjadi tanggung jawab manusia itu sendiri. Apakah ia
menjadi dirinya sendiri atau memberi kemungkinan dirinya
ditentukan oleh orang lain, apakah dia sendiri memilih menjadi
apa dia, atau dia mengizinkan orang lain memilih untuk
dirinya, semuanya itu menunjukkan kebebasannya. Manusia
adalah makhluk yang bebas untuk menentukan dirinya sendiri.
sebab itu menurut eksistensialisme kebebasan seseorang
harus dihargai. Menurut eksistensialisme, manusia itu harus
membuka diri, artinya harus menceburkan diri dalam
kehidupan di dunia ini, bukan mengasingkan diri, sebab
manusia dan dunia adalah satu. Untuk mengenal dunia
haruslah kita masuk ke dalamnya. Aliran eksistensialisme ada
yang berdasarkan pada agama dan ada yang tidak.
Aliran eksistensialisme bermula dari pekerjaan dan
pikiran ahli filsafat Denmark Soren Kierkegaard (1813-1855)
dan filosof Jerman F.W.Nietzsche. (1844-1900). Keduanya
menentang agama Kristen dan filsafat spekulatif Hegel. Tokoh
eksistensialisme lainnya ialah: Martin Heidegger (1889-19760,
Jean Paul Sartre (1905-1980), Karl Jasper (1883-1969), Maurice
Merleau Ponti, Albert Camus (1913-1960), Gabriel Marcel (1889-
1973), Paul Tiilich, dan Martin Buber (1878-1965).
Apabila kita sebut istilah fifsafat (philosophy) sebenarnya
menunjuk kepada pengertian filsafat umum, yaitu filsafat yang
mempersoalkan segala sesuatu yang ada (realistas) dalam alam
semesta ini untuk mengetahui kebenaran yang sesungguhnya
atau kebenaran yang hakiki dari realitas itu. Selain filsafat
umum ada filsafat khusus, yaitu filsafat yang diterapkan pada
bidang ilmu tertentu, dimana filsafat disini berperan sebagai
landasan filosofis bagi ilmu ini . Dengan demikian ada
filsafat sejarah, filsafat hukum, filsafat pendidikan, filsafat
agama, filsafat politik, filsafat, matematik, filsafat social, dan
lain-lain. Akan tetapi filsafat ilmu pengetahuan atau
epistemology bukanlah filsafat khusus, tetapi merupakan
bagian dari filsafat umum (philosophy). Sebelum membahas
mengenai filsafat ilmu pengetahuan dalam bab ini akan
dibahas beberapa hal mengenai filsafat umum.
1. Pengertian Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani kuno “philosophia”,
dari akar kata philo berarti cinta, dan sophia yang berarti
kebijaksanaan atau hikmah. Jadi filsafat secara etimologi
berarti Love of Wisdom (Cinta kepada kebijaksanaan atau
kearifan). Bagi Socrates (469-399 SM) filsafat ialah kajian
mengenai alam semesta ini secara teori untuk mengenal diri
sendiri. Sedangkan menurut Plato (427-347 SM) dan Aristoteles
(384-322 SM) filsafat adalah kajian mengenai hal-hal yang
bersifat asasi dan abadi untuk menghamonikan kepercayaan
mistik atau agama dengan menggunakan akal pikiran. Para filosof muslim juga memberi makna kepada filsafat.
Menurut Al-Kindi (790-873 M) filsafat merupakan ilmu yang
mulia dan terbaik, yang tidak wajar ditinggalkan oleh setiap
orang yang berpikir, sebab ilmu ini membahas hal-hal yang
berguna, dan juga membahas cara-cara menjauhi hal-hal yang
merugikan. Al-Farabi, (870-950), menegaskan bahwa filsafat
adalah ilmu mengenai yang ada, yang tidak bertentangan
dengan agama, bahkan sama-sama bertujuan mencari
kebenaran. Al-Ghazali (1059-1111) pada mulanya adalah juga
ahli filsafat, tetapi kemudian ia lebih memusatkan perhatian
kepada tasawuf. Al Ghazali dalam bukunya “Tahafut alFalasifa” mengecam para filosof yang dipandang pemikiran
mereka telah melampau batas ajaran Islam dengan menyebut
mereka kafir zindiq. Ibnu Rusyd (1126-1198) yang memandang
filsafat sebagai jalan menuju Yang Maha Pencipta, menentang
pendirian Al-Ghazali yang menyerang filsafat, dan berpendapat bahwa filsafat tidak bertentangan dengan agama, malah
menjelaskan dan memantapkan hal-hal berkenaan dengan
agama. Hal itu ditulis dalam bukunya “Thahafut al- Thahafut”.
Banyak sekali definisi mengenai filsafat yang dapat
ditemui dalam literatur. Dalam buku ini filsafat dirumuskan
sebagai ilmu yang mempersoalkan segala sesuatu dalam alam
semesta ini secara keseluruhan, mendalam, dan sistematis,
untuk menemukan kebenarannya yang hakiki. Definisi ini
menegaskan bahwa filsafat sebagai sebuah ilmu, yang bersifat
umum sebab obyek pemikirannya mencakup segala sesuatu
yang ada (realitas) dalam alam semesta ini, baik yang
berkenaan dengan alam fisik dan manusia, maupun alam
metafisik termasuk mengenai Tuhan pencipta alam semesta itu.
Filsafat membahas hal-hal itu secara keseluruhan, artinya
bukan bagian-bagian tertentu dari suatu realitas sebagaimana
yang biasanya dilakukan oleh ilmu pengetahuan positif. Filsafat memikirkannya secara mendalam, sampai keakar-akar
masalah yang paling dalam atau disebut juga secara radikal
(radix=akar), sebab tujuannya ialah untuk menemukan
kebenaran yang sesungguhnya atau kebenaran yang hakiki,
sekalipun kebenaran yang hakiki itu tidak mudah ditemukan
atau ada yang tidak pernah dapat ditemukan. Namun dengan
berpikir demikian seseorang menjadi semakin sadar akan
makna kehidupan, dan pemikiran filsafat biasanya dijadikan
oleh seseorang sebagai pandangan hidup atau pedoman
hidupnya (way of life).
Jadi filsafat bukan hanya sebagai suatu disiplin ilmu
yang dapat dipelajari, tetapi juga sebagai pandangan hidup.
Sebagai pandangan hidup maka filsafat melekat pada diri
seseorang, yang merupakan cerminan dari kepribadiannya.
Filsafat yang dianutnya menjadi landasan dan pedoman bagi
setiap perbuatan dan tindakannya sehari-hari dalam hidupnya.
Sekalipun seseorang tidak mempelajari ilmu filsafat namun
setiap orang memiliki filsafat tertentu yang dijadikan pedoman
hidupnya, sebab filsafat berisi nilai-nilai kehidupan. Dengan
mempelajari ilmu filsafat maka seseorang akan terbantu dalam
usaha nya memilih atau menentukan filsafat hidup yang cocok
baginya.
Di samping definisi ini di atas, berikut ini
dikemukakan beberapa definisi filsafat sebagai bahan
perbandingan.
M.J. Langeveld (Menuju ke Pemikiran Filsafat, 1959, hal 10).
Filsafat adalah hasil pembuktian dan uraian dari keseluruhan
usaha kita memikirkan dan menyelami maslaah-masalah
apapun juga dalam hubungannya dengan keseluruhan sarwa
sekalian secara radikal, yaitu mulai dari dasarnya hingga
konsekwensi-konsekwensinya yang terakhir, dan menurut sistem, artinya dengan pembuktian yang dapat diterima oleh
akal dan dengan susun-menyusun serta hubung-menghubung
secara bertanggung jawab
Franz Magnis Suseno (Filsafat sebagai Ilmu Kritis, 1993, hal 18)
Filsafat dapat dipandang sebagai usaha manusia untuk
menangani pertanyaan-pertanyaan fundamental mengenai
berbagai masalah yang dihadapi manusia secara bertanggung
jawab. Filsafat berfungsi untuk menjawab pertanyaanpertanyaan itu dan memecahkan masalah-masalah yang
dihadapi dalam kehidupan manusia. Usaha itu memiliki
dua arah, yaitu harus mengkritik jawaban-jawaban yang tidak
memadai, dan harus ikut mencari jawaban yang benar.
Harold H.Titus et.al dalam bukunya Living Issues in Philosophy
(1984:5) merumuskan filsafat sebagai “a process of reflecting upon
and criticizing our most deeply held beliefs” (suatu process
perenungan dan pengkritikan terhadap keyakinan-keyakinan
kita yang paling dalam). Dalam bukunya itu Titus
mengemukakan 5 definisi filsafat yang mengandung arti
berbeda, (lihat terjemahan buku itu oleh H.M.Rasyidi
“Persoalan-Persoalan Filsafat, 1984:11-14), yaitu sebagai berikut:
1. Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap
kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis.
Filsafat disini dalam arti yang informal.
2. Filsafat adalah suatu proses ktitik atau pemikiran terhadap
kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi. Disini
filsafat dalam arti yang formal.
3. Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran tentang
kehidupan sebagai suatu keseluruhan, yang merupakan hasil
berbagai sains dan pengalaman kemanusiaan.4. Filsafat adalah sebagai analisa logis dari bahasa serta penjelasan
tentang arti kata dan konsep. Pengertian filsafat disini
menunjuk kepada bidang khusus dari ilmu dan membantu
menjelaskan bahasa, dan bukan suatu bidang yang luas
yang memikirkan semua pengalaman kehidupan. Bidang
filsafat ini dikenal sebagai language philosophy, yang
bertujuan menjelaskan arti dan pemakaian istilah-istilah
dalam sains dan dalam urusan sehari-hari.
5. Filsafat adalah sekumpulan problema yang menjadi perhatian
manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat,
Misalnya, apakah kebenaran itu? Apa yang dimaksud
dengan keindahan? Adakah kemungkinan hidup setelah
mati? Dari mana datangnya pengetahuan? dan sebagainya.
Jawaban terhadap berbagai persoalan itu telah
menimbulkan berbagai teori atau aliran filsafat, seperti:
idealisme, materialisme, rasionalisme, empirisme, pragmatisme, eksistensialisme, dan lain sebagainya.
Definisi filsafat yang diberikan oleh para filosof hampir
selalu berbeda antara filosof yang satu dengan yang lain,
sebab seperti dikatakan oleh Bertrand Russell, definisi filsafat
akan berbeda-beda bergantung pendirian kefilsafatan yang kita
anut. Definisi filsafat selalu merupakan hasil kesimpulan
kegiatan berfilsafat dari pembuat definisi itu. Hoogveld-Sassen
mengatakan bahwa tidak seorangpun dapat mengatakan apa
filsafat itu tanpa melaksanakan kegiatan berfilsafat, atau seperti
dikatakan oleh Langeveld “kita masuk ke dalam filsafat”.
Filsafat itu sulit dan abstrak serta banyak sistemnya, sehingga
pernah dicemoohkan bahwa filsafat itu sebagai kegiatan orang
buta mencari kucing hitam yang tidak ada di dalam kamar
yang gelap, atau seperti mencari jarum dalam setumpuk jeramidi dalam gelap, untuk menggambarkan kesulitan atau
keabsurdannya.
Filsafat itu sukar dan abstrak sebab ia secara radikal dan
sistematis berusaha mencari sebab-sebab yang paling
mendasar atau paling akhir sejauh yang mampu dijangkau oleh
akal manusia mengenai segala hal yang ada sebagai suatu
keseluruhan; Dalam usaha yang radikal itulah filsafat berbeda
dengan ilmu-ilmu positif. Ilmu-ilmu positif mempersoalkan
suatu masalah dan mencari apa sebabnya. Jawaban terhadap
masalah-masalah pada ilmu positif selalu menimbulkan
masalah baru. Sedangkan filsafat secara radikal langsung
mencari sebab terakhir. Filsafat menyerupai theologi, tetapi
filsafat berbeda dengan theologi sebab filsafat hanya
mendasarkan diri pada pembuktian yang dapat diterima akal
manusia, dan tidak mendasarkan diri pada kekuasaan, baik
tradisi maupun wahyu. (lihat Arief Sidharta, 2008). Inti dari
kegiatan berfilsafat ialah berpikir. Ciri-ciri berpikir secara
filsafat adalah sebagai berikut:
1. Berpikir radikal, yaitu menggali sampai ke akar-akar
persoalan yang paling mendalam untuk menemukan
hakekat atau makna yang sesungguhnya.
2. Berpikir secara menyeluruh, komprehensif, secara umum
(universal), tentang sesuatu.
3. Berpikir konseptual melalui perenungan atau
kontemplasi yaitu menemukan konsep atau teori, dan
bukan untuk menemukan bukti empiris (perceptual).
4. Berpikir secara koheren dan konsisten. Koheren
maksudnya sesuai dengan kaedah berpikir logis, dan
konsisten maksudnya pemikiran itu tidak mengandung
kontradiksi.5. Berpikir sistematik, yaitu pemikiran itu bertujuan,
tersusun menurut sistem, ide yang disusun saling
berhubungan.
6. Berpikir bebas dan bertanggung jawab
2. Ruang Lingkup Filsafat
Secara umum ilmu filsafat terdiri atas tiga bagian, yaitu:
ontologi, epistemologi, dan axiologi.
Ontologi mempersoalkan tentang yang ada atau tentang
realitas (reality), dalam alam semesta ini, yang meliputi: alam
(kosmos), manusia (antropos), dan Tuhan (Theos), sehingga
dikenal adanya filsafat alam (kosmologi), filsafat manusia
(antropologi filsafat), dan filsafat ketuhanan (theologi). Ontotologi disebut juga filsafat Metafisika sebab yang dipersoalkan
itu termasuk juga realitas non-fisik atau di luar dunia fisik
(beyond the physic), seperti hal-hal yang gaib.
Epistemologi atau teori pengetahuan, yang mempersoalkan tentang kebenaran (truth) meliputi: dasar atau sumber
pengetahuan, luas pengetahuan, metode pengetahuan, dan kebenaran
pengetahuan. Ada juga memasukkan logika ke dalam ruang
lingkup epistemology sebab logika merupakan bagian filsafat
yang membahas tentang sarana berpikir logis.
Aksiologi yang mempersoalkan tentang nilai-nilai
kehidupan. Axiologi disebut juga filsafat nilai, yang meliputi
meliputi: etika, estetika, dan religi. Etika adalah bagian filsafat
aksiologi yang menilai perbuatan seseorang dari segi baik atau
buruk. Estetika adalah bagian filsafat yang menilai sesuatu dari
segi indah atau tidak indah. Sedangkan religi merupakan
sumber nilai yang berasal dari agama atau kepercayaan
tertentu. Dengan demikian, sumber nilai bisa dari manusia
(individu dan warga ) dan bisa dari agama atau
kepercayaan. Jadi, kalau ontologi adalah filsafat mengenai yang
ada, maka epistemologi adalah filsafat mengenai cara mengenal
yang ada, dan aksiologi adalah bagian filsafat mengenai cara
menilai yang ada itu. Ontologi disebut juga filsafat spekulatif,
epistemology disebut filsafat analitis, dan axiology disebut
filsafat preskriptif.
Jujun Soeriasumantri (1996:32), mengatakan bahwa pada
mulanya pokok permasalahan yang dikaji oleh filsafat ada 5
macam, yaitu: logika, etika, estetika, metafisika, dan politik.
Kemudian berkembang lagi cabang-cabang filsafat, seperti
filsafat agama, filsafat hukum, filsafat ilmu, filsafat sejarah,
filsafat matematika, dan filsafat pendidikan. Menurutnya,
filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi atau teori
ilmu pengetahuan.
3. Hubungan filsafat dengan Ilmu Pengetahuan
Filsafat merupakan ilmu yang umum, dan sering disebut
sebagai induk dari segala ilmu (mater scientiarum), sebab pada
mulanya ilmu pengetahuan merupakan bagian filsafat. Ilmu
pengetahuan adalah ilmu khusus, yang makin lama semakin
bercabang-cabang. Setiap ilmu memiliki filsafatnya yang
berfungsi memberi arah dan makna bagi ilmu itu.
Baik filsafat maupun ilmu pengetahuan, intinya ialah
berpikir. Bedanya, kalau filsafat memikirkan atau menjangkau
sesuatu itu secara menyeluruh, maka ilmu memikirkan atau
menjangkau bagian-bagian tertentu tentang sesuatu. Kalau
filsafat menjangkau sesuatu itu secara spekulatif atau
perenungan dengan menggunakan metode berpikir deduktif,
maka ilmu mengguna-kan pendekatan empiris atau ilmiah
dengan menggunakan metode berpikir induktif di samping
metode berpikir deduktif.
Sebagai ilmu yang umum maka filsafat mempersoalkan
segala sesuatu yang ada, mencakup alam, manusia, dan Tuhan.
Mengenai manusia misalnya dipersoalkan pertanyaanpertanyaan seperti: Apa arti dan tujuan hidup saya? Apa yang
menjadi kewajiban saya dan yang menjadi tanggung jawab
saya sebagai manusia? Bagaimana saya harus hidup agar
menjadi manusia yang baik? Apa arti dan implikasi martabat
saya dan martabat orang lain sebagai manusia? Demikian pula
pertanyaan-pertanyaan mengenai dasar pengetahuan kita,
mengenai nilai-nilai yang kita junjung tinggi seperti tentang
keadilan dan sebagainya. Jawaban-jawaban yang mendalam
terhadap pertanyaan itu akan mempengaruhi orientasi dasar
kehidupan manusia.
Sebagai ilmu-ilmu khusus maka ilmu pengetahuan tidak
menggarap pertanyaan-pertanyaan fundamental manusia
seperti ini di atas, sebab ilmu-ilmu khusus itu (fisika,
kimia, sosiologi, psikologi, ekonomi, dll) secara hakiki terbatas
sifatnya. Ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya membantu
manusia dalam mengorientasikan diri dalam dunia, mengsistematisasikan apa yang diketahui manusia dan mengorganisasikan proses pencahariannya. sebab ilmu-ilmu pengetahuan
terbatas sifatnya maka semua ilmu membatasi diri pada tujuan
atau bidang tertentu. (lihat Magnis Suseno, 1993: 19).
4. Hubungan Filsafat dengan Agama
Menurut konsep Barat, antara ilmu pengetahuan dengan
agama pada dasarnya merupakan dua hal yang sangat berbeda
(kontras), dan malah bertentangan (konflik). Kontras maksudnya antara keduanya tidak ada hubungan, masing-masing
berjalan sendiri. Ilmu berhubungan dengan kehidupan
duniawi, sedangkan agama sekaligus menyangkut kehidupan duniawi dan kehidupan akhirat. Menurut konsep Barat yang
ada adalah kehidupan duniawi sedangkan kehidupan akhirat
itu hanyalah ilusi, sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Konflik
maksudnya bahwa keberadaan agama akan menghambat
kemajuan ilmu pengetahuan. Keduanya bertetangan dan
keduanya dipandang tidak bisa dirujukkan. Banyak ilmuan
Barat yang sangat yakin bahwa agama tidak akan pernah bisa
didamaikan dengan ilmu.