Februari 2025

Selasa, 11 Februari 2025

islam 12



 , seti­

dak­tidaknya dari kaca mata negara­negara yang memerdeka­

kan diri dari penjajahan. Namun anehnya, perang Arab­Israel 

dalam tahun 1948, hanya oleh orang­orang Israel saja dianggap 

sebagai perang kemerdekaan. Karena orang­orang Israel meli­

1 Adolf Hitler (1889­1945) adalah Konselir Jerman dari 1933 sampai me­

ninggalnya 1945 karena bunuh diri di bunkernya di Berlin. Ia juga pemimpin 

Partai Buruh Jerman Sosialis Nasional (Nationalsozialistiche Deutsche Arbeit­

er Partei—NSDAP) yang dikenal dengan Partai Nazi. Pada periode PD I hingga 

PD II, tentara Jerman di bawah komando Hitler menguasai Eropa. Kebijakan 

rasis­nya telah membunuh sekitar 11 juta jiwa di Eropa, termasuk enam juta di 

antaranya kaum Yahudi, yang kemudian dikenal sejarah sebagai Holocaust.

2 Jenderal Hideki Tojo (1884 ­ 1948) adalah Perdana Menetri Jepang ke 

40, 1941­1944. Sebelumnya ia menjadi tentara yang terlibat langsung pada PD 

I dan PD II. Selama PD II ia memimpin Jepang untuk terlibat dalam Perang 

Pasifik. namun  setelah serangkaian kekalahan tentara Jepang dalam perang 

ini , ia dipaksa mundur dan akhirnya menjauh dari pemerintahan.

dapatkah kita Hindarkan 

Perang dunia ke tiga?

hat gerakan­gerakan Hagana, yang dipimpin Menachem Begin4 

sebagai upaya mencapai kemerdekaan, sedangkan sejarah dunia 

tidak mau mencatatnya demikian. 

Setelah terorisme berkembang, baik dalam bentuk “gerak­

an pembebasan” yang berdasarkan marxisme­leninisme, seperti 

di Kuba dan beberapa negara Amerika Latin, maupun yang berda­

sarkan ideologi keagamaan tertentu, seperti Pan­Islamisme dari 

al-Afghani hingga Abu al-A’la al-Maududi5 di Pakistan, semua­

nya menunjuk kepada sebuah upaya bersenjata untuk merebut 

kekuasaan dan memaksakan visi masing­masing atas bangsa 

yang sebenarnya tidak mengikuti pikiran mereka. 

Berbeda dari sejarah berbagai gerakan Islam berwajah ideo­

logis, di Turki gerakan di bawah pimpinan Nejmetin Erbakan 

kemudian “terpaksa” mengadopsi pikiran­pikiran sekuler dalam 

partai politiknya, Partai Keadilan dan Pembangunan, dan baru­

baru ini memenangkan 2/3 lebih kursi parlemen negeri itu. De­

ngan kata lain, ketidakpuasan bangsa Turki atas pendekatan poli­

tis anti­agama dan pendekatan teknokratis dalam pembangunan 

3 Hagana adalah cikal bakal organisasi tentara Israel. Didirikan tahun 

1920 di daratan Palestina. Ditujukan sebagai gerakan bawah tanah kaum Ya­

hudi untuk mempertahankan diri. Gerakan ini tersebar di berbagai kota dan 

kelompok di negara itu. Setelah didirikannya Negara Israel, gerakan Hagana 

menjelma menjadi pasukan pertahanan Negara Israel. 

4 Menachem Wolfovitch Begin (1913 – 1992) adalah pemimpin Partai Li­

kud dan bekas Perdana Menteri Israel 1977. Pria kelahiran Polandia ini adalah 

penandatangan perdamaian Israel dan Mesir yang menghebohkan yang kemu­

dian berujung pada berdirinya negara Israel. Dan di lain pihak menyebabkan 

Presiden Anwar Sadat di tembak mati oleh mereka yang menentangnya. Berkat 

perjanjian perdamaian itu, Begin bersama Presiden Mesir Anwar Sadat mem­

peroleh Hadian Nobel Perdamaian tahun 1978.

5 Abu al-A’la al-Maududi (1903- 1979) dikenal sebagai pendiri Jama’at-

i­Islami, sebuah organisasi Islam berpengaruh di Pakistan, pada tanggal 21 

Agustus 1941 dan kemudian menjadi pemimpin spiritualnya. Pada tahun 1924, 

Maududi melibatkan diri dalam gerakan Khilafa—yang juga bercorak nasio­

nalis—dan didukung baik oleh Muslim League maupun Partai Kongres. Pada 

tahun itu juga Maududi menerjemahkan sejumlah buku dari bahasa Inggris 

ke bahasa Urdu untuk menyokong gerakan nasionalisme India. Sampai pada 

tahun 1925­an, Maududi pun menggunakan pakaian bergaya Barat. Namun 

perkembangan yang berbalik ke arah fundamentalisme bermula pada tahun 

1927, saat  ia menerbitkan risalah kecil yang kemudian menjadi terkenal, ber­

judul al-Jihad fi al-Islam. Penulisan risalah ini dilatarbelakangi oleh kerusuh­

an­kerusan besar antara kaum Hindu dan Islam yang menyebabkan jatuhnya 

ribuan korban.

?

oleh partai–partai politik yang berkuasa, akhirnya membawakan 

sesuatu yang baru: Islam membawa akhlak agama yang dirindu­

kan, namun  tidak menciptakan negara­agama yang penuh dengan 

segala macam keruwetan. 

Seperti persoalan di Turki ini juga, yang melatarbelakangi 

tumbuhnya afilitas berbagai agama dunia kepada sejumlah par­

tai politik tertentu. Soka Gakkai, sebagai organisasi Buddha ter­

besar di dunia, berada di belakang Partai Komeito, (partai ber­

sih), yang sekarang menjadi partner junior dalam peme  rintahan 

Jepang; begitu juga RSS (Rashtriya Swayamsevak Sangh), se­

bagai organisasi Hindu terbesar di India, berada di belakang BJP 

(Barathiya Janata Party) yang dipimpin Perdana Menteri Atal 

Behari Vajpayee. Sementara itu, di Iran, Jam’iya al-Taqrib bain 

al-Madzahib (asosiasi pendekatan antar madzhab) pimpinan 

Ayatullah Wa’iz Zadeh mendukung tokoh moderat Mohammad 

Al­Khatami —yang kini menjadì Presiden Iran. Semuanya itu 

menunjukkan bangkitnya kembali paham keagamaan “non­le­

galis dan non­ideologis” di negara­negara itu.

Dari sudut sosiologis, munculnya elit baru yang sepenuh­

nya menggunakan acuan­acuan Barat yang positivistik dan tekno­

kratik, yang didahului oleh sejarah moral yang panjang dari 

“bangsa­bangsa Barat”, telah membawa ketegangan­ketegangan 

baru dalam hubungan antar kelompok di negara­negara sedang 

berkembang. Baik di dalam negeri masing­masing, maupun di ka­

langan anak­anak mereka yang belajar di “negeri­negeri Barat”, 

segera muncul semacam kesadaran harus melakukan sesuatu 

untuk melaksanakan —dalam beberapa hal tertentu memaksa­

kan— moralitas baru dalam kehidupan masyarakat yang mereka 

kenal. Kesadaran seperti itu, dikombinasikan dengan sedikitnya 

pengenalan mereka akan sejarah Islam yang panjang —yang se­

nantiasa bersandar pada proses reinterpretasi ajaran agama—, 

akhirnya menumbuhkan “kebuAllah ” akan tindak kekerasan, 

yang menjadi pangkal bagi munculnya terorisme dalam kalang­

an gerakan­gerakan Islam.

Dangkalnya pengetahuan agama para teroris itu, karena 

tidak mengenal proses penafsiran kembali ajaran Islam, juga di­

perparah dengan langkanya pengenalan akan kondisi berbagai 

masyarakat Muslim. Tradisi Asia Tenggara yang menganggap 

LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) sebagai partner pemerin­

tah dalam pembangunan, jelas tidak terdapat di Timur Tengah, 

di mana para rektor dan ketua gerakan palang merah, juga ha­

rus ditunjuk oleh Presiden, Raja atau Amir. Mereka yang ti­

dak setuju dengan peranan pemerintah yang demikian besar, 

dengan sendirinya harus bergerak di bawah tanah untuk tidak 

melawan pemerintah. Karena itu pula mereka harus meniadakan 

perlawanan politis kepada pemerintah sendiri, namun melawan 

“materialisme Barat” dengan tindak­tindak kekerasan. Barulah 

setelah mereka mencapai kecanggihan finansial dan militer ter-

tentu, mereka lalu membantu “orang­orang dangkal” di berbagai 

bilangan dunia, termasuk di negara­negara Asia Tenggara yang 

tadinya tidak mengenal terorisme terorganisir seperti itu. Yang 

dalam abad­abad yang lalu, adalah gerakan spontan yang tidak 

berumur panjang dalam “pembelaan terhadap Islam”, yang ber­

sifat mesianistik.

Hal yang bersifat antropologis yang menandai muncul­

nya berbagai usaha teroris di kalangan kaum Muslimin, adalah 

hilangnya pembedaan antara institusi dan kultur. Gerakan­

gerakan Islam tradisional tetap menekankan diri pada upaya­

upaya kultural, —seperti pendidikan agama, pengelolaan harta 

benda­benda kaum Muslimin (wakaf), pemunculan berbagai 

manifestasi kultural, seperti ziarah ke makam­makam suci dan 

penggunaan simbol­simbol agama seperti shalawat dan kegiat­

an seremonial kaum sufi dan reformulasi peranan perempuan 

dalam kehidupan masyarakat, dengan tidak memberikan tem­

pat kepada upaya­upaya institusionalisasi yang dibawakan oleh 

“kaum pembaharu” itu.

Dilihat dari berbagainya sudut pandang Muslim Sunni tra­

disional dan manifestasi tindakan kaum Muslimin di seluruh du­

nia, jelas tidak dapat digunakan pendekatan “berlatar belakang 

terorisme” belaka. Ada berbagai reaksi antara bermacam­macam 

masyarakat Islam, sehingga tidak dapat dicari pola umum tung­

gal dalam hal ini. Umpamanya saja, pandangan terhadap upaya 

demokratisasi dengan tumpuan pada kedaulatan hukum dan 

persamaan perlakuan bagi semua warga negara di muka undang­

undang, bagi beberapa kaum Muslimin Sunni tradisional tidak 

dianggap sebagai langkah menuju “pem­Barat­an”. Oleh karena 

itu, tidak setiap tindakan menyimpang dari demokrasi liberal 

?

harus dianggap sebagai sikap anti­Barat, melainkan pertanda 

sebuah pencarian antara sesama “gerakan Islam”. Jelas upaya 

mereka itu tidak menggunakan kekerasan seperti beberapa par­

tai­partai Islam di Indonesia, PAS di semenanjung Malaysia dan 

berbagai wilayah kaum Muslimin yang lain. Karenanya, kita ha­

rus bersikap hati­hati dalam hal ini, dan tidak menganggap se­

tiap upaya non­liberal sebagai musuh dari lingkungan anti­demo­

krasi.    

Namun tidak semua keinginan berbagai gerakan Islam ha­

rus diwujudkan dalam kehidupan bernegara, karena sifatnya yang 

khusus bagi masyarakat Islam saja. Contohnya, adalah penghor­

matan sangat tinggi kepada para ulama —dalam masyarakat Is­

lam, mereka adalah penentu pendapat umum masyarakat. Selain 

itu perlu dicari formulasi peranan para birokrat dan pengusaha 

kaya dalam masyarakat Muslim yang semakin lama semakin 

canggih. Kegagalan menemukan rumusan yang baik dalam hal 

ini, akan membuat masyarakat Muslim di mana­mana menjadi 

korban kepentingan kelompok birokrat maupun pengusaha kaya 

yang ada, sementara kelompok muslim itu tidak mengenal waris­

an tradisi yang ada, dalam bentuk penafsiran kembali ajaran­ajar­

an Islam sesuai dengan tantangan yang dihadapi. Dengan sendi­

rinya penafsiran mereka hanya bertujuan mencapai kebuAllah  

jangka pendek mereka sendiri akan sangat dominan. 

Apa yang diperbuat mantan Presiden Soeharto dari Indone­

sia antara akhir 1989 hingga pertengahan 1999, dapat digunakan 

sebagai contoh dalam hal ini. Soeharto, yang tidak memiliki pe­

ngetahuan mendalam akan sejarah Islam, menganggap penguat­

an institusional bagi kaum Muslimin di negaranya, sebagai cara 

terbaik untuk memperoleh dukungan masyarakat Muslimin di 

Indonesia bagi pemerintahannya, yang semula didukung oleh 

ABRI/birokrasi/Golongaan Karya sebagai “partai pemerintah”. 

Ia menambahkan unsur keempat untuk menopang pemerintah­

annya yang semakin melemah, dalam bentuk dukungan kongkrit 

kepada kaum Muslim modernis, khususnya kepada Ikatan Cen­

dikiawan Muslim Indonesia (ICMI)6. Ia melupakan NU sebagai 

6  Organisasi ini didirikan pada tanggal 7 Desember 1990, pada sebuah 

simposium yang menghimpun sekitar lima ratus cendekiawan muslim Indone­

sia bertema “Membangun Masyarakat Indonesia Abad XXI” di Malang Jawa 

Timur. Ketua Umum ICMI untuk pertama kalinya (1991­1995) adalah Prof. Dr. 

Ing. B.J. Habibie.

kelompok Muslim Sunni tradisional yang sibuk dengan mani­

festasi kultural Islam, dan melupakan kebuAllah  institusional 

golongan itu. Sebagai seorang Muslim dari lingkungan perwira 

yang dididik secara Barat, Soeharto mengabaikan aspek­aspek 

kultural dan memusatkan diri pada penguatan institusional kaum 

Muslimin modernis itu. Sebagai akibat, ia terasing dari dua ke­

lompok masyarakat luas yang sangat berpengaruh: kaum Muslim 

Sunni tradisional (yang diwakili NU) dan mereka yang terdidik 

oleh “sistem Barat” dan tidak mementingkan gerakan­gerakan 

Islam lagi, seperti kaum profesional, pengusaha, intelektual dan 

mahasiswa. Akibat lainnya, Soeharto tidak kuat menghadapai 

tekanan demokratisasi, apalagi saat  para politisi “mencuri” 

isu demokratisiasi dan reformasi di Indonesia, maka Soeharto 

tidak memiliki pilihan selain lengser. Ini menunjukkan, betapa 

salahnya menganggap Soeharto sebagai wakil golongan Islam. 

Dia hanyalah seorang pemimpin yang mencoba memanfaatkan 

sekian banyak institusi keagamaan bagi kepentingan memeli­

hara kekuasaan, namun ia gagal dalam hal ini.

Demikianlah salah satu contoh dari “manipulasi” kekuatan 

gerakan­gerakan Islam. Setelah “manipulasi” itu tidak lagi dini­

lai sebagai satu­satunya kebuAllah  menjaga kepentingan bangsa 

—sebagaimana dirasakan para ulama di Indonesia—, maka upa­

ya menegakkan demokrasi dan memperluas otonomi daerah di 

negeri itu, dianggap sebagai “memenuhi kebuAllah  kaum Mus­

limin” di negeri itu. Inilah yang membuat mengapa PKB (Par­

tai Kebangkitan Bangsa) memiliki prospek sangat cerah sebagai 

pemenang mayoritas tunggal dalam pemilu Indonesia tahun de­

pan. Ini tampak jelas bagi orang yang mengikuti dan mengamati 

komunikasi langsung antara PKB dan seluruh masyarakat bang­

sa Indonesia. Kalangan Kristen, kelompok­kelompok minoritas 

etnis (seperti kaum Tionghoa) yang mencapai 15% seluruh bang­

sa, kaum profesional­intelektual­mahasiswa mendukung partai 

itu, karena melalui dukungan itu mereka mengharapkan bentuk­

bentuk demokratisasi akan terwujud di negeri khatulistiwa ini. 

Dengan melakukan fungsionalisasi Islam, disamping mempelo­

pori proses demokratisasi, PKB berhasil menetralisir dampak­

dampak negatif di dalam negeri dari terorisme kaum Muslimin 

radikal. 

Hasil dari upaya ini tidak akan lama lagi, jika negeri ini men­

jalankan dua hal. Pertama, haruslah dikembangkan pendapat 

yang mencoba melakukan identifikasi upaya-upaya redefinisi 

fungsi­fungsi Islam dalam kehidupan masyarakat, dengan ber­

bagai tindakan demokratisasi. Dan kedua, adalah penegakkan 

demokrasi di negeri berpenduduk puluhan juta manusia yang 

menginginkan kehidupan demokratis bagi bangsa ini , yang 

berintikan penegakan kedaulatan hukum.

Dari uraian­uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan, untuk 

memerangi terorisme yang dilakukan oleh golongan­golongan 

Muslimin radikal di Indonesia, dengan ujung peledakan bom di 

Bali, diperlukan langkah­langkah berikut.

Pertama, kemampuan membedakan secara tajam antara 

kelompok kultural dan kelompok institusional, di antara berba­

gai kelompok–kelompok kaum Muslimin di negeri itu. Kedua, 

dilakukan pengenalan mendalam dan penyebaran konsep­kon­

sep memajukan warga masyarakat Muslim di negeri itu, dari 

kemiskinan yang masih melatarbelakangi prosentasi sangat be­

sar dari penduduk secara keseluruhan. Ketiga, mengoptimalkan 

kembali kemampuan bangsa Indonesia menekan pertumbuhan 

penduduk, ­hingga pertengahan 1995 pertumbuhan penduduk 

hanya 1,6% tiap tahun, berarti penambahan penduduk seki­

tar 3,5 juta jiwa, tapi sejak beberapa tahun terakhir ini kembali 

menjadi 3,5%­. Pemerintah yang sekarang ini berkuasa, tidak 

mampu menekan kenaikan absolut jumlah warga negara yang 

justru dirugikan oleh program­program pembangunan yang ti­

dak memiliki wawasan kependudukan. Keempat, sikap arogan 

mereka yang merasa “berjuang secara fisik untuk Islam”, harus-

lah diatasi paling tidak oleh pemerintah. Tindakan menghukum 

mereka itu haruslah diusahakan, karena sebenarnya bertujuan 

menghilangkan sikap arogan yang selalu merasa benar dan me­

nganggap pihak­pihak lain salah. Karenannya tindakan kepala 

team Polri yang menangkap mereka yang disangka melakukan 

terorisme dengan meledakkan bom di Bali (Imam Samudra, 

Amrozy dan sejumlah temannya yang lain) dengan memasukkan 

I Made Pastika dan Edy Darnadi ke dalam team ini , jelas 

merupakan upaya pemerintah Indonesia untuk memberlakukan 

keinginan menghukum itu. 

Terserah kepada bukti­bukti legal yang diperoleh, memiliki

kekuatan untuk itu atau tidak, namun jelas itu merupakan lang­

kah pertama untuk menindak terorisme yang berbaju agama. Di 

sini berlaku apa yang dikatakan oleh mantan Ketua Mahkamah 

Agung Mesir, Al­Asymawi, bahwa selama tiap tindakan hukum 

di bidang pidana memiliki unsur hukuman dan cegahan (punish-

ment and deterrence), selama itu pula ia dapat disamakan de­

ngan hukum pidana kanonik yang terdapat dalam hukum Islam 

(fiqh). Dengan demikian, salah satu keberatan para teroris yang 

diadili itu, melalui para pengacara mereka, bahwa mereka tidak 

dapat dikenakan tindakan legal berdasarkan “Hukum Barat”, 

seperti hukum Pidana Indonesia saat ini yang dikodifikasikan 

dalam KUHAP (Kitab Undang­undang Hukum Acara Pidana), 

tertolak dengan sendirinya.

Di samping upaya hukum itu, diperlukan pengamatan ke­

tat dari pihak intelijen, guna menangkal upaya­upaya teroris­

tik, sebelum hal itu terjadi. Ini sangat diperlukan karena letak 

geografis Indonesia yang sangat memudahkan langkah-langkah 

mempersiapkan terorisme internasional di dalam negeri, de­

ngan bantuan keuangan dan latihan­latihan dari luar kawasan 

Asia Tenggara. Jumlah pulau Indonesia sebanyak 17.000 buah, 

dengan 4.000 buah diantaranya tanpa penghuni, adalah sesuatu 

yang sangat mudah bagi gerakan­gerakan teroris internasional 

untuk menciptakan kondisi matang bagi terorisme. Apa yang di­

lakukan gerakan Abu Sayyaf di Filipina Selatan, merupakan buk­

ti adanya watak internasionalistik dari tindakan­tindakan teror 

yang dilakukan di kawasan Asia Tenggara. Jika gerakan ini  

punya kaitan dengan MILF (Moro Islamic Liberation Front) atau 

MNLF (Moro National Liberation Front), jelas adanya watak in­

ternasional dari gerakan ini  merujuk kepada penanganan 

lebih menyeluruh dari pihak internasional di bawah koordinasi 

Pemerintah Filipina. 

Kegagalan menciptakan mekanisme yang diperlukan un­

tuk menangani terorisme itu, akan membawa konsekuensi­kon­

sekuensinya sendiri, seperti perkembangan di Australia dan Je­

pang serta reaksi­reaksi balik dari “negeri­negeri sosialistik” di 

kawasan pasifik selatan. Belum lagi kalau dilihat kemungkinan 

bersambungnya gerakan ini  dengan terorisme “bertopeng” 

agama Islam yang berkembang secara domestik di Indonesia. 

Tindakan­tindakan hukumlah yang akan membuktikan, apakah 

yang terjadi di Indonesia juga merupakan sesuatu yang berwatak 


internasional. Memang ada oknum­oknum dari berbagai gerak­

an Islam di Indonesia yang tampak memiliki hubungan dengan 

MILF dan MNLF di Filipina Selatan, namun  masih terlalu dini un­

tuk melihatnya sebagai jaringan terorisme internasional.

Hal kelima yang harus dilakukan, adalah memberikan infor­

masi yang benar tentang jalannya sejarah Islam kepada generasi 

muda kaum Muslimin sendiri. Kepada mereka tidak jemu­jemu­

nya harus diberikan keterangan, bahwa dalam perkembangan­

nya, Islam mendasarkan diri kepada proses penafsiran kembali, 

dan tidak merujuk kepada perlawanan keras (apalagi fisik) kepa-

da proses modernisasi. Sabda Nabi Muhammad Saw, umpama­

nya, “Sesungguhnya aku akan membanggakan kalian di muka 

umat-umat lain pada hari kiamat”, seharusnya maksud sabda 

itu bersifat kualitatif, bukannya kuantitatif seperti yang banyak 

diartikan oleh mayoritas kaum Muslimin sekarang. Karenanya 

tidak ada alasan untuk menolak gagasan keluarga berencana se­

lama tidak menghilangkan wewenang reproduktif yang ada di 

tangan Allah  atas umat manusia, dengan melaksanakan kontra­

sepsi yang tidak bertentangan dengan syari’ah. 

Di samping itu diperlukan pula pengembangan pemikiran 

kaum muda bangsa ini, dengan memaparkan bahwa kawasan 

Timur Tengah tidak memiliki tradisi LSM yang kuat, sehingga 

kritik­kritik terhadap pemerintahan mereka harus dilaksanakan 

di bawah tanah, maka kritik­kritik terbuka itu diarahkan bu­

kan kepada pemerintah sendiri, melainkan kepada “cara hidup 

Barat”. Inilah yang kemudian masuk ke dalam pola pemikiran 

Samuel Huntington dengan teori perbenturan budayanya (Clash 

of Civilization) yang terkenal itu. Huntington lupa bahwa tiap 

tahun, puluhan kalau tidak ratusan ribu pemuda Muslim belajar 

“teknologi Barat”, yang berarti juga terjadinya akomodasi buda­

ya antara Islam dan Barat. 

Proses saling belajar seperti itu, jika tidak dijelaskan de­

ngan baik, justru akan membuat para pemuda Muslim cende­

rung menganggap Barat sebagai musuh, dan dengan demikian 

membuat mereka menggunakan kekerasan melawan apa yang 

mereka anggap sebagai “musuh” itu. Perbedaan persepsi dari 

proses besar itu, justru digunakan oleh tokoh­tokoh Islam yang 

melihat “bahaya” dari perjumpaan akomodatif antara Islam dan 

Barat itu. Apalagi, jika di dunia Barat sendiri lahir kelompok­ke­

lompok yang “benci” kepada peradaban Barat itu sendiri, seperti 

Louis Farrakhan7 di Amerika Serikat.

Dalam hal ini, studi kawasan Islam (Islamic Area Studies) 

sangat diperlukan, karena dengan demikian akan nampak per­

bedaan cara hidup kaum Muslimin dari sebuah kawasan ke ka­

wasan lain dengan jelas. Penulis pernah mengemukakan kepada 

Universitas PBB di Tokyo dalam tahun­tahun 80­an, dunia Is­

lam sebaiknya dibagi menjadi enam buah studi kawasan: masya­

rakat­masyarakat Muslim di kawasan Afrika hitam, kawasan 

Afrika utara dan dunia Arab, kawasan budaya Turki­Persia­Af­

ghan, kawasan Asia Selatan (Bangladesh, Nepal, Pakistan, India 

dan Srilangka), kawasan Asia Tenggara dan kawasan minoritas 

Muslim di negeri­negeri berteknologi maju. Sekarang ini kita 

cenderung melakukan studi kawasan nasional, padahal yang 

diperlukan adalah studi kawasan regional. Ini saja sudah menun­

jukkan betapa jauhnya jarak antara kerja intelijen dengan kerja 

dunia akademik. Herankah kita jika lalu para politisi banyak me­

lakukan kesalahan dalam mengambil keputusan? Ini tentu ber­

imbas pada sikap bersama kita terhadap tindakan­tindakan para 

teroris. h

7 Lahir dengan nama Louis Eugene Walcott pada 11 Mei 1933 di kawasan 

Bronx, New York. Louis menjadi pemimpin  the Nation of Islam sebuah komu­

nitas muslim terbesar di Amerika Serikat.

?

Sewaktu penulis berkunjung ke Boston, kota pelajar di Ameri­

ka Serikat (AS), bulan September 2002, penulis diminta 

memberikan ceramah bagi sejumlah mahasiswa asing di 

Kennedy School of Government Universitas Harvard. Penulis di­

minta para mahasiswa ini  melalui anak penulis Zannuba 

Arifah Chafsoh1 yang belajar di situ untuk program setahun lama­

nya. Saat itu minggu sore hari, penulis diminta berbicara menge­

nai situasi global saat ini, bagaimana responsi gerakan­gerakan 

dan negara­negara Muslim di dunia atas perkembangan terse­

but, dan apa akibatnya bagi Indonesia.

Sungguh sebuah tema yang besar —yang tentunya tidak 

akan dapat dikemukakan hanya dalam waktu dua jam saja, dan 

itupun termasuk dengan tanya jawabnya sekalian. Demikian pu­

la, melihat komposisi mahasiswanya yang datang dari berbagai 

negara, kiranya tidak memungkinkan untuk mengupas satu­per­

satu tema di atas. Sebab, bagi mahasiswa­mahasiswa Amerika 

Latin —misalnya, tentu tidak tahu persoalan Asia Tenggara. Dan 

begitupun mahasiswa non­Muslim tentu juga tidak mengerti 

masalah­masalah yang dihadapi kaum Muslimin. Karena itu, 

1  Putri kedua Abdurrahman Wahid yang lahir di Jombang, Jawa Timur, 

29 Oktober 1974 ini adalah Direktur Wahid Institute.  Sebelum terjun di kan­

cah politik, sarjana Desain dan Komunikasi Visual dari Universitas Trisakti dan 

Master dari Kennedy School of Government, Harvard University ini, pernah 

menjadi koresponden koran terbitan Australia, The Sydney Morning Herald 

dan The Age antara tahun 1997 dan 1999. Peraih penghargaan Australia’s Pre­

mier Journalistic Award ­ The Walkleys ini, sekarang dipercaya sebagai staf 

khusus kepresidenan, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, dalam bidang 

komunikasi politik.

 Haruskah ada kesepakatan?


penulis harus memilih masalah paling utama yang sedang ak­

tual dibicarakan di mana­mana, yaitu rencana penyerangan dan 

pem­boman AS atas Irak. Dari hal itulah baru dikemukakan hal­

hal mendasar yang menyangkut ketiga tema di atas. 

Penulis beranggapan, penyerangan dan pemboman AS 

atas Irak dapat dipastikan akan mencapai hasil yang diharapkan. 

Mungkin, mengenai masalah produksi dan penyediaan bahan 

bakar minyak bumi yang melimpah­ruah dapat diubah melalui 

penyerangan ini , atau Saddam Husein digulingkan dari pe­

merintahannya. namun  bahwa Irak akan menjadi negara penurut 

bagi AS, rasanya jauh dari kenyataan. Para pemimpin oposisi 

Irak yang menentang Saddam Husein dan baru­baru ini berkum­

pul di Gedung Putih—setelah memegang tampuk pemerintahan 

dukungan AS, belum tentu nantinya akan mengikuti kehendak 

negara Paman Sam itu. Untuk dapat bertahan, mereka harus pan­

dai­pandai menampung perasaan rakyat Irak yang benci terha­

dap campur tangan asing, dalam hal ini adalah AS. Ini semua, 

merupakan sebuah aspek saja yang harus diperhitungkan dalam 

melihat permasalahan di atas.

Sekali lagi, menjadi nyatalah bagi kita bahwa kekuatan saja 

belum tentu dapat mengubah perasaan orang banyak. Ada residu 

perasaan tidak senang, apabila kekuatan dan kekuasaan diguna­

kan secara berlebihan. Dalam jangka panjang, hanya kerugian 

bagi semua pihak saja yang terjadi akibat pertimbangan­pertim­

bangan geopolitik yang digunakan AS saat ini. Karenanya, kita 

harus berhati­hati dengan berbagai pertimbangan ini , apa­

lagi kalau tindakan yang diambil sangat dipengaruhi oleh emosi 

para pengambil keputusan. 

Tampaknya, Presiden AS George W. Bush Jr., merencana­

kan serangan dan pemboman atas Irak itu dengan pertimbang­

an mencari popularitas, karena ketidakmampuan memecahkan 

krisis ekonomi AS yang sedang terjadi. namun  bahayanya, kalau 

serangan dan pemboman besar­besaran itu tidak menghasilkan 

sikap Irak untuk mengikuti kehendak AS ­katakanlah di bidang 

minyak bumi, ditambah dengan jumlah besar penduduk sipil 

yang menjadi korban serta banyaknya serdadu AS yang gugur 

atau menderita luka­luka di kawasan ini , bisa jadi pendapat 

HaRuskaH ada kEsEPakatan?

umum di AS dapat berbalik menyalahkan presiden ini . Dan 

kemungkinan untuk itu tampaknya cukup besar, karena Saddam 

Husein menarik pasukan­pasukannya ke kawasan perkotaan, 

yang berati akan jatuh lebih banyak korban, apalagi kalau ia ber­

hasil menggerakkan perlawanan gerilya kota terhadap serangan 

AS. 

Serangan dan pemboman itu akan menimbulkan kemarah­

an luar biasa bagi kaum Muslimin di seluruh dunia terhadap 

Pemerintah AS sendiri. Karena ketidakberdayaan menghentikan 

serangan dan pemboman itu, dengan sendirinya peradaban yang 

melahirkannya yaitu peradaban Barat, ditolak sebagai mitra 

peradaban Islam ke arah kemajuan. Dengan demikian, keme­

lut psikologis yang menghinggapi diri kaum Muslimin di selu­

ruh dunia, akan semakin menjadi­jadi, minimal bagi para warga 

gerakan­gerakan Islam. Sikap keras sebagian mereka, dengan 

sendirinya semakin sulit untuk dilerai, dan perlawanan gila­gila­

an seperti bom bunuh diri di Israel­Palestina akan semakin ba­

nyak. Kalaupun tidak bertambah jumlahnya, reaksi psikologis 

yang menghinggapi para warga gerakan­gerakan Islam itu akan 

menjadi keras dan bertambah kompleks. Apalagi ditambah de­

ngan sikap Perdana Menteri Ariel Sharon2 dan Kepala Staf Ang­

katan Bersenjata Israel Jenderal Allon yang semakin keras ter­

hadap kaum pejuang Palestina, maka rasa tidak berdaya itu akan 

berubah secara kualitatif dan kuantitatif menjadi kebencian se­

makin besar terhadap “peradaban Barat”.

Bagi Indonesia, atau lebih tepatnya bagi gerakan­gerakan 

Islam moderat di negeri ini, tantangan yang dihadapi juga akan se­

makin besar. Di tengah­tengah sikap moderat kebanyakan kaum 

Muslimin di negeri ini, terdapat kelompok­kelompok “Muslim 

garis keras” yang tentu saja akan merasakan tekanan­tekanan 

psikologis yang dirasakan kaum Muslimin di seluruh dunia seba­

gai akibat dari serangan dan pemboman AS atas Irak itu. Rasa 

2 Perdana Menteri Israel dari Partai Likud sejak 7 Maret 2001. Pada 21 

November 2005, Sharon keluar dari Likud dan membentuk partai baru ber­

nama Kadima. Namun karena stroke yang mengakibatkan pendaharan otak, 

Sharon harus digantikan wakil PM, Ehud Olmert pada 11 April 2006.

tidak berdaya itu tentu akan membawa akibat­akibatnya sendiri 

yang serius bagi keadaan umat manusia dewasa ini, yaitu mem­

buat lebih tipis keinginan mencari langkah­langkah akomodatif 

antara peradaban Islam dan peradaban­peradaban lain. 

Rasa tidak berdaya itu, tentu lebih terasa di kalangan kaum 

muda dan kaum miskin perkotaan (urban poor), suatu hal yang 

sama sekali tidak dilihat oleh Presiden George Bush Jr., yang 

sudah dapat diperkirakan sebelumnya, dari kualitas pertimbang­

an­pertimbangan geopolitis yang digunakan olehnya. Di sinilah 

sebenarnya terletak pangkal masalah yang dihadapi umat manu­

sia dewasa ini. 

Di satu pihak, negara­negara yang berindustri maju, sering 

disebut sebagai negara­negara makmur (affluent countries), 

tidak penah menyadari parahnya keadaan di negara­negara 

berkembang dan lebarnya kesenjangan antara kaum kaya dan 

miskin di kawasan ini . Memang, meski peperangan terha­

dap terorisme internasional dan penegakan demokrasi telah dila­

kukan, namun  AS bukanlah contoh yang baik tentang bagaimana 

upaya menegakkan demokrasi dan menghilangkan kesenjangan 

kaya­miskin serta pembelaan terhadap negara­negara berkem­

bang yang lemah. Bahkan, AS sendiri lebih sering dianggap seba­

gai pendukung para penguasa lalim di seluruh dunia. Kalau demi­

kian, berhakkah dia berbicara tentang moral dan etika? Padahal 

perjuangan melawan terorisme internasional dan domestik, ha­

ruslah didasarkan pada acuan moral dan etika. Karena, banyak 

yang mempertanyakan hak AS untuk memberantas terorisme 

internasional, yang membunuh sangat banyak penduduk sipil 

yang dibom dan diserang dengan sebuah keputusan yang bersi­

fat unilateral.

Dengan dasar etis dan moral yang masih dipertanyakan, 

herankah kita jika banyak kaum muslimin lalu mempertanyakan 

sendi­sendi peradaban yang tidak seimbang antara yang terjadi 

dengan yang dibawakan AS sebagai negara adikuasa dan negara­

negara berteknologi maju? Karena tidak memiliki pengetahuan 

agama yang cukup, herankah jika mereka melihat sikap moderat 

mayoritas kaum muslimin, sebagai langkah menyerah bulat pada 

peradaban sekuler yang melahirkan arogansi sikap itu? Sikap 

Presiden Bush itu membebani kaum muslimin moderat dengan 

tugas yang tidak ringan, yaitu mengatasi sikap utopis di kalangan 

kaum “muslimin garis keras”. Adilkah yang demikian itu? h

HaRuskaH ada kEsEPakatan?

saat  penulis memberikan ceramah di KSG (Kennedy 

School of Government) bagi sejumlah orang mahasiswa 

Universitas Harvard, akhir September 2002 ini, ada per­

tanyaan dari seorang mahasiswa pascasarjana asal Singapura: 

mengapakah penulis memusuhi Singapura? Penulis menjawab, 

bahwa ia memang menolak arogansi sementara para pemimpin 

Singapura, yang sok tahu tentang perkembangan Islam di Tanah 

Air kita. Bahkan dua orang pejabat tinggi Singapura menyatakan 

bahwa “Muslim garis keras” akan memerintah Indonesia dalam 

waktu 50 tahun lagi. Penulis menyatakan melalui jawaban tu­

lisan —ia menjawab melalui beberapa buah media massa Indone­

sia yang masih mau memuat pernyataannya, bahwa kita tidak 

perlu mendengarkan pendapat kedua orang pemimpin Singapu­

ra tentang Islam di negeri ini, karena mereka tidak tahu apa­apa 

tentang agama ini .

Jawaban penulis ini, menunjuk pada sebuah perkembang­

an penting di negeri kita. Karena sebelumnya, para pemimpin 

kita di masa lampau menerima suapan dari sejumlah tokoh Singa­

pura, lalu mereka berada pada posisi bergantung pada ekonomi 

Singapura. Karena itu, timbulah arogansi di kalangan sementara 

tokoh negeri itu. Dari arogansi ini, lalu timbul sikap mementing­

kan pihak yang tidak penting, dan memberikan penilaian yang 

terlalu tinggi terhadap mereka. Termasuk dalam sikap ini, pan­

dangan sangat merendahkan terhadap kaum Sunni tradisional 

seperti yang ada di lingkungan Nahdlatul Ulama. Selain itu, kare­

na penulis tidak mau menggunakan kekerasan untuk memperta­


g 397 h

hankan jabatan negara, sebagai presiden yang berfungsi menjadi 

kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, sikap itu diang­

gap mereka sebagai kelemahan. Mereka tidak percaya, bahwa 

demokrasi melalui pemilihan umum akan memberikan penilai­

annya sendiri. Apalagi karena memang para tokoh Singapura itu 

tidak percaya pada demokrasi dan memperlakukannya secara 

manipulatif.

Begitulah pandangan seorang tokoh Singapura yang diang­

gap sudah mendunia, padahal postulat­postulat yang diguna­

kannya hanya berasal dari kalangan elit belaka. Tokoh ini , 

tidak pernah menyadari bahwa dunia baru sedang menggeliat, 

bangun dari tidurnya selama berabad­abad. Dunia baru itu me­

ngembangkan postulat­postulat dan premis­premisnya sendiri, 

yang harus ditangkap dengan jitu, agar tidak terjadi hal­hal yang 

merugikan semua pihak. Termasuk di dalamnya, kaum Musli­

min moderat yang sanggup mempertahankan keyakinan agama 

mereka, sambil menyerap hal­hal baik dari kemajuan pengeta­

huan dan teknologi modern.

Jelaslah dari uraian di atas, penulis tetap menganggap pen­

ting kemajuan pengetahuan dan teknologi Singapura, namun 

penulis tetap beranggapan bahwa Singapura juga memiliki keter­

batasannya sendiri. Ini berarti, sikap arogan dari sejumlah tokoh 

mereka terhadap Indonesia dan Islam harus dihilangkan, jika di­

inginkan tetap ada hubungan baik antara kedua negara. Penulis 

sendiri sangat menghargai kemampuan bangsa Singapura untuk 

maju dengan cepat, walaupun terkadang dicapai atas kerugian 

bangsa­bangsa lain di sekitarnya. Jadi harus dicari bagaimana 

mempertahankan kemajuan yang dicapai, sambil menghargai 

dengan sungguh­sungguh upaya bangsa­bangsa sekitar untuk 

maju dengan cara mereka sendiri.

Sikap memandang rendah bangsa dan negara lain —betapa 

canggihnya sekalipun ia dibungkus—, tetap akan tampak dalam 

jangka panjang. Inilah yang membuat orang­orang seperti penu­

lis berbeda pandangan dari tokoh­tokoh arogan Singapura itu. 

Walaupun penulis berbeda pandangan dari tokoh­tokoh ini , 

namun ia tidak memusuhi bangsa Singapura. Sebagai penganut 

paham non­hegemonik hubungan internasional, penulis sangat 

menghargai bangsa Singapura. namun  ini tidak berarti penulis 

menganggap Singapura patut menjadi contoh bangsa dan negara 

kita. Tentu saja persoalan­persoalan yang dihadapi negara­kota 



(city state) —yang sangat kecil seperti Singapura—, tidak sama 

dengan masalah­masalah yang dihadapi negara­bangsa (nation 

state) seperti Indonesia, yang memiliki lebih dari 200 juta pendu­

duk dan memiliki wilayah ribuan kilometer. 

Dengan sendirinya, para pemimpin negara kita harus me­

miliki wawasan dan kebijakan (policy) sendiri, yang akan me­

lahirkan kebijaksanaan (wisdom) dalam menangani berbagai 

masalah dalam menghadapi bermacam­macam sikap, termasuk 

arogansi tokoh­tokoh negara lain sekecil Singapura itu.

Penulis teringat ungkapan CEO (Chief Excutive Officer), 

pejabat ekskutif tertinggi General Motors, beberapa puluh ta­

hun yang lalu, yaitu Charlie “Engine” Wilson, bahwa apa yang 

baik bagi perusahaan ini , juga baik bagi Amerika Serikat, 

tidak berlaku dalam hubungan internasional antara Indonesia 

dan Singapura. Jelaslah dengan demikian, apa yang baik bagi 

Singapura, belum tentu baik bagi Indonesia. Sekarang saja, ke­

tika komplek serba ada seperti ITC di Mangga Dua sudah ber­

fungsi, Singapura sudah kewalahan menarik para pembeli kita. 

Demikian juga, hotel­hotel mereka yang dahulu memanfaatkan 

konsumen dari negara kita, sekarang juga dibuat pusing oleh su­

litnya menarik para pembeli bangsa kita.

Bangsa Singapura harus menyadari, pola hubungan berke­

tergantungan antara negara mereka dengan Indonesia­Ma­

laysia­Thailand­Brunei Darussalam, adalah pola hubungan ti­

dak normal, yang pada suatu saat  akan kontraproduktif dan 

merugikan Singapura sendiri. Ini berarti, sikap arogan terhadap 

bangsa­bangsa dan negara­negara sekitar, haruslah diakhiri. 

Hubungan baru harus segera dibuat atas dasar saling penghor­

matan dan kesadaran masa depan bersama yang akan penuh rin­

tangan. Sekarang saja, tekanan kegiatan ekonomi ASEAN sudah 

berpindah dari kawasan selatan ke kawasan utara persekutuan 

ini . Proyek Delta Mekong yang melibatkan Thailand­Kam­

bodia­Vietnam­Laos dan Myanmar merupakan titik baru eko­

nomi regional, walaupun proyek jalan raya, pelayaran maupun 

penerbangan BIMP­EAGA1 (Filipina–Brunei–Malaysia­Indone­

1 Brunei Darussalam Indonesia Malaysia the Philippines­East Asean 

Growth Area (BIMP­EAGA) adalah kerjasama ekonomi untuk membangun 

kawasan Brunei Darussalam, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya 

(Indonesia), Sabah, Sarawak, Labuan (Malaysia), Mindanao dan Pahlawan, 

Filipina (Filipina).

Asia dan kawasan pengembangan ASEAN Timur) masih tersen­

dat­sendat.

Kesadaran bersama ini mengambil bentuk bermacam­ma­

cam. Indonesia, umpamanya, lebih mementingkan pelabuhan 

samudera. Sementara upaya mengatasi kebakaran hutan yang 

mengganggu negara­negara tetangga, adalah antara lain dengan 

mempertimbangkan usulan Ir. Erna Witoelar agar kelompok­

kelompok masyarakat memiliki dan mengelola daerah­daerah 

pinggiran hutan, agar mereka turut bertanggungjawab dalam 

memelihara kelebatan hutan, karena ditakutkan akan merembet 

ke kawasan yang mereka miliki. Juga, kelestarian sumber­sum­

ber alam, seperti batu­bara, minyak bumi, gas alam serta barang 

tambang lainnya, akan membawa perubahan besar­besaran da­

lam mengelola ekonomi di masa depan. Di sini yang dipenting­

kan adalah bagaimana meningkatkan taraf hidup rakyat keba­

nyakan, agar mereka turut bertangungjawab atas kelestarian 

sumber­sumber alam ini . 

Ini semua berarti, Indonesia akan membuka diri terhadap 

masuknya investasi asing. Kalau ini yang selalu diingat, hubungan 

Indonesia dengan negara­negara tetangganya, atas dasar prinsip 

saling menghormati, akan menjadi lancar dan mendorong sta­

bilitas kawasan. Dan, hal itu berarti harus ada penyeimbangan 

kepentingan nasional masing­masing negara, di satu sisi dan ke­

pentingan bersama bagi kawasan yang memiliki kolektifitasnya 

sendiri, di sisi lain. h


Seorang yang dekat dengan Perdana Menteri Thaksin Shi­

nawatra (dibaca, Cinawat) mengatakan pada penulis ten­

tang ketidakmengertian orang­orang Thai tentang tidak 

terlaksananya dua buah masalah pokok yang telah disepakati an­

tara Muangthai dan Indonesia. Yang pernah dicapai antara Per­

dana Menteri Thaksin dengan penulis, dalam kapasitas sebagai 

Presiden Republik Indonesia. Tanpa pelaksanaan kedua hal itu, 

yang terjadi adalah keraguan dari pihak Muangthai, benarkah 

orang Indonesia serius dalam melaksanakan hal­hal yang telah 

disepakati? Jika dapat berjalan dengan lancar, maka sekaligus 

akan merupakan terobosan.

Kedua hal itu adalah kesepakatan untuk memproses mi­

nyak mentah Indonesia di berbagai kilang minyak Muangthai, 

tujuannya untuk mengurangi ketergantungan Indonesia kepada 

kilang­kilang minyak Singapura. Tampaknya, para pejabat Per­

tamina tidak mau bersusah payah dalam hal ini, karena hanya 

bersedia bersandar pada keinginan pemerintah Singapura saja. 

Dalam pembicaraan itu penulis menyatakan bahwa mungkin pi­

hak pemilik kilang di Singapura telah memberikan sesuatu seba­

gai sogokan kepada para pejabat Indonesia.

Hal kedua adalah menciptakan keseimbangan perdagang­

an (balance trade account) dalam perdagangan antara Indone­

sia­Muangthai. Dasar dari pemikiran itu, adalah apa yang diala­

mi oleh negara­negara Eropa setelah Perang Dunia II. Waktu itu, 

Indonesia-muangthai: sebuah 

kemungkinan memperluas kerjasama

negara­negara Eropa tidak memiliki jumlah uang yang besar, se­

hingga mereka tidak menggunakan uang sama sekali dalam per­

dagangan antar negara di Benua Eropa. Jika hampir tutup buku, 

mereka cukup membandingkan neraca pembayaran antara dua 

negara. Dari situ akan tampak, berapa tanggungan sebuah nega­

ra pada negara yang lain sebagai hasil penyeimbangan. Hanya 

jumlah berlebih itulah yang harus dibayar dalam valuta asing 

oleh sebuah negara dalam sistem penyeimbangan itu. Hal ini di­

lakukan, oleh negara­negara yang kekurangan valuta asing.

Bagi negara­negara berkembang, yang selalu kekurangan 

devisa, sebaiknya menerapkan cara ini di antara mereka. Dengan 

demikian, keseimbangan neraca perdagangan dapat dipelihara, 

tanpa menghilangkan kewajiban menyelesaikan jumlah­jumlah 

selisih antara mereka dalam neraca pembayaran. Hanya dengan 

cara inilah dapat dilakukan kerjasama untuk melawan kekuasaan 

negara­negara maju, seperti Amerika Serikat. Namun, keinginan 

mulia Muangthai justru tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah 

Indonesia sekarang, yang sedang mengalami krisis multidimen­

sional. Ini adalah hal yang sangat mengherankan Muangthai 

sendiri.

Penulis menyatakan, tidak usah heran dengan sikap terse­

but. Karena Indonesia sangat tergantung kepada mitranya dari 

negara­negara berteknologi maju, dan kurang memperhatikan 

sesama negara melarat. Ini tentu disebabkan oleh kecenderungan 

para penguasa negara untuk mencari keuntungan bagi diri sendi­

ri, baru setelah itu memikirkan kepentingan negara. Mentalitas 

inilah yang diketahui para pengusaha negara­negara berteknolo­

gi maju, hingga upeti tertentu dapat dibayarkan untuk kepenting­

an kalangan pejabat di negeri ini.

Keheranan teman­teman di Muangthai itu segera terjawab 

karena sebab­sebab tadi. Nyata benar, sikap para penyelengga­

ra pemerintahan, dapat menimbulkan dampak­dampak negatif 

bagi pertumbuhan ekonomi negeri ini. Karenanya, patutlah per­

timbangan Paul Krugman, seorang maha guru ekonomi dari MIT 

(Massachusset Institute of Technology) bahwa selama birokrasi 

pemerintah di Indonesia berjumlah terlalu besar dan belum ber­

sih betul dari korupsi, selama itu pula jangan diharapkan untuk 

IndonEsIa-muanGtHaI: sEbuaH kEmunGkInan


bisa sukses saat  keluar dari IMF (International Monetary 

Fund). Selama kebersihan birokrasi pemerintah tidak diperhati­

kan, maka jangan diharapkan akan tumbuh sikap yang meman­

dang perlu memelihara kepentingan orang banyak.

Jelas dari uraian di atas, hubungan sehat dalam perdagang­

an antar negara sangat tergantung pada kesehatan birokrasinya. 

Sikap inilah yang tidak pernah mendapatkan perhatian serius 

kita dalam peyelenggaraan kemitraan dengan sesama negara ber­

kembang, baik dalam lingkungan ASEAN maupun di luarnya.

Karena itu, kita tidak perlu heran dengan pertanyaan orang­

orang Muangthai yang menanyakan keseriusan untuk bermitra 

antara sesama Negara ASEAN, maupun antara sesama negara 

berkembang. Dan jangan heran dengan keluhan para pengamat 

luar dan dalam negeri, karena sebenarnya kita juga tahu akibat 

yang ditimbulkan penyelenggara pemerintahan, bersumber dari 

pemahaman mereka atas situasi yang dipengaruhi oleh kepen­

tingan pribadi masing­masing.

Dengan menelaah apa yang terjadi dalam proses pengam­

bilan keputusan tadi, tentu saja keinginan penulis untuk mewu­

judkan sebuah prinsip bekerjasama antara sesama negara ber­

kembang seringkali diabaikan, seperti halnya bagaimana kita 

menyambut sebuah investasi yang akan menguntungkan dae­

rah. Keinginan penulis untuk mewujudkan segala sesuatu yang 

produktif, antara para pejabat Muangthai dengan pejabat Indo­

nesia ternyata masih harus ditunda lagi, hingga entah kapan ter­

wujudnya. Jadi tidak heranlah jika kepentingan negara­negara 

berteknologi maju lebih diutamakan oleh para penyelenggara 

pemerintahan kita saat ini. h

Pada pertengahan Juni 2002, penulis pergi ke Bangkok, 

Thailand. Di kota ini , penulis menghadiri pembentuk­

an sebuah lembaga pertimbangan bagi Perserikatan Bang­

sa­Bangsa (PBB), bernama World Council for Religious Leaders 

(Dewan Dunia Pemimpin­pemimpin Agama). Dalam anggaran 

dasar lembaga pertimbangan itu, dikemukakan bahwa lembaga 

itu mengacu kepada perdamaian dunia tanpa kekerasan, dan 

harus berbicara mengenai cara­cara mencapai perjuangan perda­

maian dunia sebagai kenyataan yang paling diperlukan di dunia 

ini. Lembaga ini adalah hasil dari Konferensi Dunia untuk Aga­

ma dan Perdamaian (World Conference on Religion and Peace-

WCRP)1, yang dibuka oleh Presiden Amerika Serikat (AS) saat 

itu, Bill Clinton, tahun 2001. Penulis sendiri dan Presiden Khata­

mi dari Iran, saat  itu, tidak dapat datang karena kesibukan ma­

sing­masing di dalam negeri. Namun, ia diwakili oleh Ayatullah 

Taskhiri dan Diwan al-Taqrib Baina al-Madzâhib (Dewan Pen­

dekatan Antar Sekte). Dihadiri oleh para agamawan dari berba­

gai agama, pembentukan lembaga ini  merupakan sebuah 

kejadian penting, karena para agamawan itu mewakili para aga­

mawan se­dunia untuk memberikan pertimbangan bagi Perseri­

katan Bangsa­Bangsa (PBB). 

Walaupun fungsi badan ini hanyalah memberikan pertim­

bangan belaka, yang dapat dipakai atau dibuang oleh organisasi 

tingkat dunia itu, namun pertimbangan yang diberikan memiliki 

bobot tersendiri. Karenanya, lembaga baru ini tidak dapat begitu 

1 Lembaga yang beranggotakan tokoh­tokoh agama internasional ini 

bermarkas di New York, Amerika Serikat. Lembaga  ini membangun dialog an­

tar agama menuju perdamaian. Abdurrahman Wahid pernah terpilih sebagai 

Presiden WCRP tahun 1994­1998.

Pembentukan sebuah Forum 

di Bangkok


saja diabaikan, sebab ia merupakan langkah baru untuk memper­

kuat badan tingkat dunia seperti PBB.

Dalam pidato pembukaan, penulis mengemukakan tiga hal 

yang harus menjadi kerangka lembaga baru ini . Pertama, 

harus disadari bahwa pertimbangan yang diberikan akan me­

miliki spiritualitasnya sendiri, di tengah­tengah orientasi PBB 

sendiri yang bersandarkan filsafat materialisme dalam segenap 

teori pembangunan yang sekuler yang jauh dari ukuran­ukuran 

keagamaan. Kedua, pertimbangan yang diberikan memiliki latar 

belakang dinamika masing­masing agama yang penuh dengan 

perubahan, yang berarti ia adalah hasil dan sebuah proses yang 

belum selesai. Ketiga, proses yang menghasilkan pertimbangan­

pertimbangan itu harus dilihat dari sudut pandang dialog antar 

agama, bukannya konfrontasi antara agama dan materialisme. 

Mengenai hal pertama, sudah jelas bahwa acuan materia­

listik sekarang merupakan bahan pertimbangan satu­satunya 

bagi organisasi tingkat dunia ini . Dasar­dasar pertimbang­

an geopolitik yang benar­benar materialistik dalam orientasi, 

merupakan satu­satunya nafas dalam mengambil keputusan. 

Ini tejadi, karena lembaga tertinggi dunia itu meneruskan pro­

ses pengambilan keputusan­keputusan yang hampir seluruhnya 

didasarkan pada pemikiran materialistik masing­masing negara. 

Akibatnya, terjadilah perbenturan kepentingan, antara negara­

negara besar yang menjadi anggota Dewan Keamanan PBB. 

Dalam lingkup pikiran materialistik yang dominan, pertim­

bangan­pertimbangan spiritual yang dibawakan oleh berbagai 

agama tentu dirasa tidak diperlukan bagi PBB. namun , kemacet­

an­kemacetan dalam pengambilan keputusan yang diakibatkan 

oleh sederetan pertentangan yang ada kini, membuat setiap per­

timbangan keagamaan menjadi kebuAllah  tersendiri yang dapat 

membawa pemecahan, melalui pendekatan spiritual yang holis­

tik. Di sinilah nantinya akan terasa adanya keperluan memben­

tuk dewan baru itu.

Pertimbangan­pertimbangan spiritual itu hanya pencermi­

nan belaka dan dinamika yang terjadi di masing­masing agama. 

Aspek­aspek tradisionalisme dan pembaharuan dalam masing­

masing agama terjadi dalam skala yang sangat luas, dan meru­

pakan proses yang memberikan bekas mendalam atas perilaku 

perorangan maupun kelompok dalam masing­masing agama. Ini 

berarti, lembaga baru itu harus memperhitungkan aspek­aspek 

tradisional yang dipelihara dan langkah­langkah pembaharuan 

yang diambil oleh tiap agama. Dari pengalaman ini  baru 

dapat diperoleh pertimbangan yang matang untuk dibawa kepa­

da lembaga tertinggi dunia ini . Hanya dengan cara inilah, 

sebuah pertimbangan akan memiliki kematangan spiritual yang 

diperlukan, guna menghadapi dasar­dasar materialistik dari 

keputusan yang diambil oleh masing­masing negara. 

Sedangkan aspek ketiga yang dikemukakan penulis, yaitu 

watak saling melengkapi dan tidak konfrontatif antara berbagai 

peradaban dunia, merupakan sebuah alasan yang diperlukan di 

masa­masa yang akan datang. Hal itu telah melatarbelakangi 

keputusan­keputusan bersama berbagai cabang dan anak ca­

bang dari lembaga tertinggi dunia itu. Forum UNESCO, Komi­

sariat Tinggi PBB untuk HAM, Konferensi Lingkungan Hidup di 

Rio de Janeiro beberapa tahun lalu dan kegiatan­kegiatan seje­

nis, seluruh produk­produknya saling melengkapi dan bukannya 

menggunakan pendekatan persaingan antar berbagai perada­

ban. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa PBB memiliki dua 

jenis produk saat ini yang harus dipahami.

Kemacetan dalam pengambilan keputusan, baik kegagalan 

dalam memutuskan maupun kegagalan dalam melaksanakan 

keputusan, tampak jelas sekali akibat perbedaan kepentingan 

negara­negara besar. Karenanya, dibutuhkan pelestarian dunia 

dan isinya, berdasarkan pada sikap yang mengacu kepada kepen­

tingan bersama semua negara di masa depan. Dari sinilah PBB 

dapat menyampaikan keputusan­keputusan yang membuatnya 

menjadi badan tertinggi dunia yang diperlukan di masa depan, 

dan bukannya lembaga yang terpaku pada kemacetan­kemacetan 

di masa kini belaka. h

PEmbEntukan sEbuaH FoRum dI banGkok


islam 11



 l yang lalu. 

kEkuRanGan InFoRmasI

Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE

g 342 h

Dalam rangkaian pertemuan­pertemuan di Sakai itu ­yang, 

juga diliput oleh koran Mainichi Shimbun (yang memiliki edisi 

Jepang dan Inggris), penulis menjelaskan hakekat Islam sebagai 

agama perdamaian, yang disalah­mengerti oleh sebagian kecil 

kaum Muslimin, dengan tindakan­tindakan penuh kekerasan 

yang mereka lakukan. 

Menurut penulis, hal ini mereka lakukan karena dua hal. 

Di satu sisi, mereka hanya mementingkan institusi (kelembaga­

an) dalam Islam, yang sekarang tengah terancam di mana­mana, 

dalam masyarakat yang berteknologi maju. Mereka lupa, bahwa 

Islam juga membawakan kultur/budaya kesantrian, yang jus­

tru sekarang semakin berkembang sebagai pertahanan kaum 

Muslimin dalam menghadapi “serangan teknologi maju” itu. 

Di sisi kedua, mereka yang melakukan terorisme itu tidak per­

nah mendalami Islam sebagai bidang kajian, karena mereka ti­

dak mengenal kultur/budaya santri itu. Sebagai akibatnya, lalu 

mereka langsung mengambil dari sumber­sumber tertulis Islam 

(al-adillah al-naqliyyah), tanpa mengetahui deretan penafsiran 

yang sudah berjalan berabad­abad untuk memahami kitab suci 

al-Qur’ân dan Hadits Nabi Muhammad Saw melalui perubahan-

perubahan penafsirannya. Inilah yang membuat mengapa Islam 

memahami toleransi dan menerima pluralitas, yang berujung 

pada penerimaan mayoritas Muslim di negeri ini akan Pancasila 

dan penolakan mereka atas negara Islam melalui penghapusan 

Piagam Jakarta dari Undang­Undang Dasar (UUD) 1945. 

Dalam keterangannya, penulis menyatakan bahwa di Indo­

nesia masih terdapat kelompok­kelompok kecil dalam gerakan 

Islam yang masih menginginkan adanya negara Islam. Namun, 

mereka selalu dikalahkan dalam setiap upaya formal dalam mela­

kukan hal itu. Penulis tambahkan, ia memiliki keyakinan bahwa 

upaya­upaya ini  tidak akan pernah mencapai hasil karena 

tradisi kesantrian ini  justru semakin berkembang, kini dan 

di masa depan, dalam bentuk kultural dan bukan dalam bentuk 

politik. Ini rupanya ditangkap oleh mereka yang bertemu dengan 

penulis dan, mudah­mudahan, membuat mereka merasa aman 

dengan Islam.

eg

Sisi lain yang juga disinggung penulis, adalah kekhususan 

g 343 h

Islam, khususnya di kawasan Asia Tenggara, yang mengembang­

kan pendidikan pesantren dengan nama bermacam­macam, se­

perti pondok di Malaysia­Thailand­Kamboja serta Madrasah di 

Philipina Selatan. Lembaga ini  membuat prioritasnya sen­

diri, yang berbeda dari prioritas pendidikan yang di negara kita 

dikenal sebagai pendidikan umum. Pendidikan umum itu tidak 

memberikan tempat penting kepada etika/akhlak, dan sama se­

kali tidak menghiraukan pendidikan agama. Hal itu berakibat 

hilangnya pertimbangan moral dari pendidikan dan hanya me­

mentingkan penguasaan ketrampilan dan pengetahuan belaka. 

Sebenarnya, kalau ditinjau secara mendalam, sikap “ga­

rang” yang ditunjukkan berbagai gerakan­gerakan Islam yang 

kecil, dan sikap menggunakan kekerasan yang diperlihatkan ber­

bagai elemen teroris di negara kita, bersumber pada kurangnya 

pengetahuan akan Islam itu sendiri. Dengan mencuatnya mani­

festasi lahiriyah dalam ilmu pengetahuan dan teknologi “Barat”, 

mereka lalu menjadi ketakutan akan kekalahan Islam dari per­

adaban yang berteknologi maju. Ini tentu saja salah, karena per­

adaban adalah milik manusia secara keseluruhan. Akan terjadi 

proses perpindahan pengetahuan dan teknologi “Barat” itu ke 

seluruh peradaban­peradaban lain, termasuk peradaban Islam. 

Proses pergulatan antara kultur/budaya Islam dengan pengeta­

huan dan teknologi “Barat” itu, tentu akan mengalami perubah­

an bentuk di lingkungan masyarakat Muslim. Inilah yang tidak 

pernah ditangkap mereka, hingga mereka melakukan perlawan­

an yang acapkali berbentuk kekerasan dan tindakan teror. 

Ini semua, juga pernah dikemukakan penulis dalam cera­

mah Maulid Nabi Saw di halaman kantor harian umum Memo-

randum di Surabaya, beberapa waktu yang lalu. Bahwa, perubah­

an sosial yang terjadi di Mesir, misalnya, dibawakan atau justru 

didorong oleh perubahan bahasa dan sastra Arab yang menjadi 

bahasa dan sastra nasional. Tanpa perubahan bahasa dan sastra 

Arab sebagai bahasa nasional, perubahan sosial di negeri itu ti­

dak mungkin terjadi. Inilah jasa Dr. Thaha Husein (1889­1973)2 

2 Sejak kecil Thaha Husein telah buta. Namun kondisi itu tidak meng­

halanginya untuk terus belajar. Setelah menyelesaikan studi di Universitas 

al­Azhar dia menjadi pengajar di Universitas Mesir di Kairo. Tahun 1915 Hu­

sein pergi ke Perancis untuk studi selama 4 tahun. Di samping banyak menulis 

tentang sastra Arab, 1938 Thaha Husein menerbitkan buku berjudul Future of 

Culture in Egypt yang dinilai banyak orang sangat provokatif.  

kEkuRanGan InFoRmasI

Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE

g 344 h

dan murid­muridnya. Sebaliknya, perubahan sosial juga dapat 

mengakibatkan terjadinya perubahan bahasa dan sastra nasio­

nal, seperti dapat dilihat dalam perdebatan antara Sutan Tak­

dir Alisyahbana dengan Sanusi Pane menjelang Perang Dunia 

II, walaupun tidak membawa perubahan apa­apa pada bahasa 

dan sastra Arab di Indonesia. Ia tetap menjadi bahasa dan sas­

tra tradisional yang dibawakan dalam tembang/sya’ir Arab yang 

demikian banyak ditampilkan di Indonesia kini, dengan iringan 

musik campuran antara yang lama dan yang baru. Ini terjadi, 

karena bahasa dan sastra Arab di negeri ini dianggap sebagai 

“bahasa dan sastra Islam”, karena memang tidak menjadi bahasa 

nasional. Sebab, bahasa dan sastra nasional kita berasal dari ba­

hasa Melayu, seperti kita ketahui selama ini. Proses yang sangat 

menarik, bukan? h

g 345 h

Ulang tahun ke­101 Mahatma Gandhi, bulan Oktober 

yang lalu dirayakan secara sederhana. Tokoh pejuang 

berkebangsaan India ini terkenal dengan ajaran yang me­

nentang kekerasan (ahimsa) dan satyagraha, yang digunakan­

nya dalam perjuangan menuntut kemerdekaan secara damai bagi 

India dari tangan Inggris. Untuk itu, ia meninggalkan praktek 

hukum yang sangat menguntungkan di Afrika Selatan, dan kem­

bali ke India untuk memimpin perjuangan kemerdekaan yang 

dilakukannya tanpa kekerasaan. Kita yang melakukan peperang­

an melawan Belanda dalam menuntut kemerdekaan, cenderung 

untuk meremehkan arti perjuangan damai yang me reka lakukan. 

Sikap inilah yang perlu kita ubah, agar tidak mewarnai hubung­

an kita dengan negeri­negeri lain.

India, setelah perang kemerdekaan usai, ternyata menum­

buhkan dua hal yang sangat penting, yaitu ketundukan kepada 

hukum dan berani mengembangkan identitas bangsa ini . 

Ketundukan kepada hukum itu tampak nyata dalam kehidup­

an sehari­hari, seperti saat  seorang tamtama polisi mencatat 

dalam buku catatannya hal­hal yang membuat ia menahan/me­

nangkap seseorang. Setelah keterangan tertulis itu dibacakan ke­

pada si tertangkap, maka ia diminta menandatangani “pra/beri­

ta acara polisi” itu, maka dokumen yang bertanda tangan warga 

itu, dijadikan pegangan untuk memeriksanya dengan teliti dan 

mengadilinya di pengadilan, kalau memang ia pantas dihukum. 

Gandhi, Islam dan kekerasan

Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE

g 346 h

Dengan kata lain, hanya orang yang memang ada indikasi kuat 

secara obyektiflah yang dapat ditahan, bukannya keterangan ok-

num polisi ini . Karenanya warga negara India lebih banyak 

dilindungi oleh hukum, dibandingkan warga negara kita di nege­

ri sendiri.

Namun, ini tidak berarti undang­undang (law) di India 

sudah mencerminkan keadilan. Banyak undang­undang yang 

dihasilkan Lok Sabha (Majelis Rendah Parlemen India), tidak 

menyelesaikan masalah hak­hak anak dan perempuan, dan juga 

perlindungan kepada kerja paksa (bounded labour). Kedudukan 

pekerja paksa itu sangat rendah secara sosial,  hal ini karena di­

perkuat oleh agama Hindu dengan sistem kastanya. Datanglah 

Gandhi dengan ajakan menciptakan masyarakat tanpa kasta, 

dan memandang mereka dari kasta terbawah (sudra) sebagai 

harijan (anak Allah ). Ternyata, penolakannya atas kekerasan 

menumbuhkan rasa perikemanusiaan yang sangat dalam pada 

diri Gandhi. Dan ini pula, yang membuat orang­orang Hindu 

fundamentalis/ekstrim membunuhnya pada tahun 1948.1

eg

Islam juga mengajarkan hidup tanpa kekerasan. Satu­satu­

nya alasan untuk menggunakan kekerasan, adalah jika kaum 

Muslimin diusir dari tempat tinggal mereka (idzâ ukhirijû min 

diyârihim). Itupun masih diperdebatkan, bolehkah kaum Muslim­

in membunuh orang lain, jika jiwanya sendiri tidak terancam? 

Demikianlah Islam berjalan berabad­abad lamanya tanpa keke­

rasan, termasuk penyebaran agama ini  di negeri ini. Alang­

kah jauh bedanya dengan sikap sementara fundamentalis/teroris 

Muslim di mana­mana dewasa ini. Terjadi pergolakan berdarah 

di sementara daerah, seperti Poso, Sulawesi Tengah dan Ambon, 

Maluku. Begitu juga, mereka yang berhaluan “garis keras” di 

kalangan berbagai gerakan Islam di sini, berlalu­lalang kian­ke­

mari membawa pedang, clurit, bom, granat serta senapan rakit­

an.  Perbuatan itu jelas melanggar undang­undang, namun  tanpa 

1Pada 30 Januari 1948, Gandhi dibunuh seorang lelaki Hindu bernama 

Nathuram Godse yang marah karena kepercayaan Gandhi yang menginginkan 

rakyat Hindu dan Muslim diberikan hak yang sama. Gandhi kemudian di kre­

masi di Taman Pahlawan Rajghat, Delhi.

g 347 h

ada tindakan apapun dari pemerintah. 

Bahkan beberapa dari mereka melakukan gerakan pember­

sihan (sweeping) dan memberhentikan kendaraan untuk diperik­

sa sesuka hati. Pernah juga terjadi, dilakukan sweeping atas cof­

fee house di Kemang, Jakarta, demi untuk menegakkan syari’ah 

Islamiyah di negeri ini. Anehnya, botol­botol sandy dipecahkan 

dibuang ke lantai, karena berharga murah, sebaliknya wishky 

dan vodka yang berharga mahal dibawa pulang dalam keadaan 

utuh, mungkin untuk dijual lagi. Sikap mendua yang materialis­

tik ini memperkuat dugaan bahwa di antara para fundamentalis 

itu ada orang­orang bayaran dari luar. Masalahnya, mengapakah 

para pemimpin berbagai gerakan ini  tidak dapat mengen­

dalikan anak buah mereka ?

Sikap menggunakan kekerasan itu, juga tidak sedikit dido­

rong oleh berbagai produk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 

(DPRD I dan DPRD II) di berbagai kawasan, seperti di Suma­

tera Barat, Garut, Cianjur, Tasikmalaya dan Pemekasan yang 

berkecenderungan untuk memberlakukan syari’ah Islamiyah se­

cara formal. Umpamanya saja dalam bentuk peraturan daerah, 

mereka ingin melambangkan kuatnya semangat untuk menolak 

tindakan-tindakan yang bertentangan dengan syari’ah Islamiyah 

saat masa Orde Baru. Jadi, sebenarnya sikap itu tidak berbeda 

jauh dengan orang­orang fundamentalis itu. Karenanya, sidang 

kabinet di waktu penulis masih menjadi Presiden memutuskan 

bahwa Peraturan Daerah (Perda) yang berlawanan dengan Un­

dang­Undang Dasar (UUD) dianggap tidak berlaku. Penulis ber­

anggapan, keputusan para pendiri negara ini termasuk 7 (tujuh) 

orang pemimpin berbagai gerakan Islam, untuk memisahkan 

agama dan negara dengan menghilangkan tujuh kata dalam Pia­

gam Jakarta, masih berlaku dan belum dicabut oleh siapapun.

eg

Lalu, mengapakah ada orang­orang fundamentalis itu, yang 

umumnya terdiri dari orang­orang muda yang terampil yang ca­

kap secara teknis, namun tidak pernah jelas diri mereka secara 

psikologis? Jawabnya sebenarnya sederhana saja. Pertama kare­

na orang­orang itu melihat kaum Muslimin tertinggal jauh di be­

lakang dari orang­orang lain. Nah, “ketertinggalan” itu mereka 

kejar secara fisik, yaitu menggunakan kekerasan untuk mengha-

GandHI, Islam dan kEkERasan

Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE

g 348 h

langi kemajuan materialistik dan duniawi itu. Mereka lebih me­

mentingkan berbagai institusi kaum Muslimin, dan tidak percaya 

bahwa budaya kaum Muslimin dapat mendorong mereka untuk 

meninggalkan kelompok­kelompok lain. Jika sudah mengutama­

kan budaya, maka nantinya “mengejar ketertinggalan” dengan 

cara  penolakan atas “budaya Barat” akan dilupakan, karena keca­

kapan yang mereka miliki juga berasal dari “dunia Barat”.

Aspek kedua dari munculnya gerakan­gerakan fundamen­

talistik ini adalah proses pendangkalan agama yang menghing­

gapi kaum muda Muslimin sendiri. Mereka kebanyakan adalah 

ahli matematika dan ilmu­ilmu eksakta lainnya, para ahli eko­

nomi yang penuh dengan hitungan­hitungan rasional dan para 

dokter yang selalu bekerja secara empirik. Maka dengan sendiri­

nya tidak ada waktu bagi mereka untuk mempelajari agama Is­

lam dengan mendalam. Karenanya, mereka mencari jalan pintas 

dengan kembali kepada sumber­sumber teksual Islam seperti al­

Qur’ân dan Hadits, tanpa mempelajari berbagai penafsiran dan 

pendapat­pendapat hukum yang sudah berjalan berabad­abad 

lamanya.

Karena itulah, mereka mencukupkan diri dengan sum­

ber­sumber tekstual yang ada. Karena mereka biasa menghafal 

vademecum berbagai nama obat­obatan dan benda­benda lain, 

maka dengan mudah mereka menghafal ayat­ayat dan hadits­ha­

dits dalam jumlah besar yang menimbulkan kekaguman orang. 

Karena sumber­sumber tertulis itu diturunkan dalam abad ke­7 

sampai ke­8 masehi di Jazirah Arab, tentu dibutuhkan penafsir­

an yang kontemporer dan bertanggung jawab untuk memaha­

mi kedua sumber tertulis di atas. namun   karena pengetahuan 

mereka yang sangat terbatas tentang Islam membuat mereka 

fundamentalis. Akibatnya bagi kaum Muslimin lainnya dan bagi 

seluruh dunia pula sangat drastis. Tindak kekerasan yang sudah 

biasa mewarnai langkah­langkah mereka, dianggap oleh masya­

rakat dunia sebagai ciri khas gerakan Islam. h

g 349 h

Dalam sebuah diskusi yang diselengarakan FES (Friedrich 

Ebert Stiftung) di Singapura baru­baru ini, dalam ses­

si pertama para peserta membicarakan konsep Samuel 

Huntington tentang perbenturan antar budaya (clash of civiliza-

tions). Yang menggemparkan, beberapa peserta membicarakan 

konsep itu sebagai landasan pembenaran bagi pendapat adanya 

para teroris dari kelompok Islam, walaupun sebenarnya Islam 

sebagai jalan hidup (syari’ah) menolak penggunaan kekerasan 

termasuk terorisme dalam menentang modernitas. Mengemuka­

kan Islam sebagai jalan hidup adalah sesuatu yang wajar, karena 

perbedaan pandangan dalam cara hidup itu diperkenankan, yang 

tidak dapat diterima adalah perpecahan/pertentangan yang tim­

bul karenanya. Dengan demikian penggunaan kekerasan (teror­

isme) harus ditolak.

Seorang peserta mengemukakan, bahwa di sini terjadi se­

buah proses sangat menarik. Sebagai upaya pemberagaman, bu­

kankah universalitas konsep Samuel Huntington justru harus di­

tolak? Bukankah yang kita inginkan, justru konsep Huntington 

itu hanya merupakan kekhususan? Dimanakah batasan antara 

yang umum dan yang khusus sehingga tidak ada keraguan lagi 

mengenai konsep Huntington itu? Penulis menanggapi pernya­

taan itu dengan mengemukakan, bahwa tidak ada pertentang­

Berbeda namun  tidak Bertentangan1

1  Dalam diskursus pesantren ditemukan adanya istilah Ikhtilaf at-

Tanawwu’ (berbeda yang bersifat variatif) dan Ikhtilaf at­Tadlad (berbeda yang 

bersifat kontradiktif). Yang perlu dikedepankan adalah Ikhtilaf a-Tanawwu’ 

yang akan menghantarkan bagaimana bersikap dengan mengacu pada relativ­

isme internal. 

Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE

g 350 h

an antara yang khusus dan yang umum. Dua­duanya berjalan 

seiring, tapi pemaksaan yang umum dengan menghilangkan 

yang khusus itulah yang justru harus ditolak. Dengan demikian 

kita menolak konsep Huntington itu dengan tidak mengingkari 

haknya  untuk menyatakan konsep­konsep.

Di sinilah sebenarnya terletak kepemimpinan yang diharap­

kan, yaitu yang dapat menyampaikan kepada masyarakat luas 

bahwa penolakan suatu konsep adalah hal umum, namun dapat 

menjadi pendapat dominan dalam sebuah masyarakat. Dengan 

demikian cara hidup kaum Muslimin dapat ditegakkan, dengan 

tidak usah melanggar hak siapapun. Jadi yang harus ditolak ada­

lah pemaksaan itu sendiri, bukannya sikap ingin memberlaku­

kan sebuah cara hidup. Inilah arti penolakan terhadap penetap­

an agama sebagai ideologi negara, dan arti ini sangat dalam bagi 

gagasan pemisahan agama dari negara.

eg

Sikap para peserta untuk menolak pemaksaan sesuatu kon­

sep, benar­benar merupakan sebuah hal yang sangat menggem­

birakan. Dengan sikap para intelektual, politisi, dan jurnalis Ti­

mur dan Barat itu, menjadi jelas bahwa konsep Huntington itu 

diperiksa bersama­sama secara teliti dan terbuka. Diakui bahwa 

Huntington menggunakan standar ganda dalam menyusun kon­

sep itu. namun  ia juga mengingatkan kita kepada perbedaan­

perbedaan yang harus dihargai, antara berbagai sistem budaya. 

Ini justru menimbulkan harapan besar, akan masa depan umat 

manusia. Berbeda dengan Francis Fukuyama yang mengajukan 

konsep “Berakhirnya Sejarah” (The End of History), konsep ini 

membenarkan sikap pemerintah Amerika Serikat memiliki we­

wenang menjadi “polisi dunia” (policeman of the world). Juga 

berarti ia mempunyai hak untuk campur tangan dalam masalah 

dalam negeri orang lain. 

Sikap yang membenarkan pelanggaran wewenang oleh 

Amerika Serikat atas negara­negara lain, sangat bertentangan 

dengan pendapat Republik Rakyat Tiongkok (RRT). RRT ber­

pendapat pengeboman atas sebuah negara harus diputuskan 

secara multilateral oleh PBB, dan berdasarkan bukti­bukti yang 

kuat. Ini dapat diartikan negara itu menolak “hak­hak” Ameri­

ka Serikat untuk melakukan pengeboman atas Afghanistan dan 

g 351 h

Irak sebagai negeri yang berdaulat. Bahkan RRT berpendapat, 

tindakan Amerika Serikat itu hanya berdasarkan kepada pertim­

bangan­pertimbangan geopolitis yang belum tentu benar.

Sudah tentu, kita sangat berkepentingan dengan konsep 

Huntington itu. Bukankah di negeri kita juga ada terorisme 

—untuk “melawan” kebudayaan Barat—, yang dituduh menjadi 

bagian dari terorisme internasional. Pembenaran anggapan bah­

wa budaya Islam ataupun budaya bangsa­bangsa berkembang 

bertentangan dengan “budaya Barat”, adalah pembenaran bagi 

teroris yang merasa budaya Islam harus lebih unggul dari pada 

budaya Barat. Mungkin saja pendapat ini di dasarkan pada ha­

dits “Islam harus diunggulkan atas (cara­cara hidup) yang lain” 

(al-Islâm ya’lû wa lâ yu’lâ ‘alaih). Secara tersamar Huntington 

menyimpulkan ada keterpisahan antara budaya Islam –budaya 

non Barat— dengan budaya Barat. Justru itulah yang menjadi 

keberatan penulis dan teman­teman karena menyiratkan adanya 

perbenturan.

eg

Asal pandangan yang menganggap Islam sebagai cara hi­

dup memiliki keungulan atas cara­cara hidup lain, sebenarnya 

tidak salah. Setiap orang tentu menganggap sistemnya sendiri 

yang benar. Karena itu perbedaan cara hidup adalah sesuatu 

yang wajar. Ini termasuk dalam apa yang dimaksudkan oleh 

kitab suci al-Qur’ân : “Dan telah Ku buat kalian berbangsa-bang­

sa dan bersuku­suku bangsa, agar kalian saling mengenal (wa 

ja’alnâkum syu’ûban waqabâila li ta’ârafû)” (QS al­Hujurat 

(49):13). Perbedaan pandangan atau pendapat adalah sesuatu 

yang wajar bahkan akan memperkaya kehidupan kolektif kita, 

sehingga tidak perlu ditakuti. Kenyataan inilah yang mengiringi 

adanya perbedaan kultural (dan juga politik) antara berbagai ke­

lompok Muslimin yang ada kawasan­kawasan dunia.

Yang dilarang oleh agama Islam adalah perpecahan, bu­

kannya perbedaan pendapat. Kitab suci al-Qur’ân menyatakan ; 

“Berpeganglah kalian pada tali Allah, dan jangan terpecah­pecah 

(wa’tashimû bi hablillâh jamîan wa lâ tafarraqû)” (QS Ali Im­

ran (3): 103). Dengan demikian, perbedaan diakui namun per­

pecahan/keterpecah­belahan ditolak oleh agama Islam. Padahal 

para teroris yang mengatasnamakan Islam, justru menolak per­

bERbEda namun  tIdak bERtEntanGan

Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE

g 352 h

bedaan pandangan/pendapat itu. Jika pandangan ini diterima, 

maka artinya akan menjadi, agama Islam memerintahkan teror­

isme. Padahal agama ini  memperkenankan pengunaan ke­

kerasannya, hanya jika kaum Muslimin diusir dari tempat tinggal 

mereka, (idzâ ukhrijû min diyârihim). Jadi di sini ada perten­

tangan antara pendirian sebagian sangat kecil kaum Muslimin 

dengan ajaran agama mereka.

Ada sesuatu yang sangat menarik dalam membandingkan 

ajaran Islam dengan konsep perbenturan budaya dari Hunting­

ton itu. Penolakan atas konsep Huntington ini , berarti juga 

penolakan teoritis atas terorisme dan penggunaan kekerasan 

yang dilakukan oleh sebagian sangat kecil kaum Muslimin. Me­

nurut penulis, baik konsep ataupun pandangan ini  berasal 

dari suatu hal yang sama: rasa rendah diri yang ditutupi dengan 

kecongkakan sikap. Konsep dan pandangan ini  sangat 

mengganggu saling pengertian antara kekuatan jiwa dari buda­

ya­budaya yang saling berbeda dalam kehidupan umat manusia 

dewasa ini. h

g 353 h

BAB VII

ISLAM PERDAMAIAN 

DAN MASALAH INTERNASIONAL


g 355 h

Penulis diundang oleh UNESCO ke Paris, pada Mei 2003, 

untuk menyampaikan pidato pembukaan (keynote ad-

dress) dalam sebuah konferensi mengenai pemerintahan 

yang baik (good governance) dan etika dunia (global ethics), 

yang diadakan antara kaum Budhis dan Muslimin. Konferensi 

itu dimaksudkan untuk mencari jembatan antara agama Islam, 

yang mewakili agama­agama Ibrahim dan Budhisme yang mewa­

kili agama­agama di luar tradisi Ibrahim. 

Dalam kesempatan itu juga, penulis diminta berbicara 

mengenai asal­usul (origins) terorisme bersenjata yang sedang 

melanda dunia saat ini. Diharapkan pidato pembukaan itu akan 

mewarnai dialog ini , yang juga dihadiri oleh delegasi dari 

Persekutuan Gereja­Gereja Eropa, wakil dari pimpinan agama 

Yahudi, Gereja Kristen Orthodox Syria, wakil agama Hindu dan 

sebagainya. Dari kalangan agama Budha sendiri, hadir Dharma 

Master Hsin­Tao dari Taiwan dan Sulak Sivaraksa dari Thailand, 

di samping David Chappel dari University of California di Los 

Angeles.

Pertemuan ini  adalah yang ketiga kalinya, antara se­

bagian kaum Budhis dan kaum Muslimin (termasuk dari Tuni­

sia, Maroko, Saudi Arabia, Sudan, Tanzania dan sejumlah pemu­

ka kaum Muslimin lainnya). Pertemuan pertama terjadi tahun 

lalu di sebuah Hotel di Jakarta, disusul pertemuan di New York 

dan disudahi dengan pertemuan di Kuala Lumpur (dengan Dr. 

Chandra Muzaffar sebagai tuan rumah). Dari pertemuan­perte­

muan ini , diharapkan kelanjutan hubungan antara kaum 

Muslimin dan Budhis, disamping juga akan dilaksanakannya se­

kita dan Perdamaian


g 356 h

buah konferensi besar antar kepala negara­negara berkembang 

(developing countries) di Bandung, untuk merayakan 50 tahun 

konferensi Asia­Afrika pertama —Bandung I— pada tahun 2005 

kelak. Agenda­agenda Konferensi Bandung II harus ditetapkan 

tahun ini, untuk mempersiapkan peringatan itu sendiri di Jawa 

Barat pada waktunya nanti. Hal ini diperlukan, guna mencari 

alternatif bagi dominasi Amerika Serikat dan sekutu­sekutunya 

dalam dunia internasional (seperti terbukti dari serangan­se­

rangan atas Afghanistan dan Irak), tanpa harus berkonfrontasi 

dengan negara adi kuasa ini . 

Timbulnya sikap menolak dengan cara konfrontatif itu, ka­

rena tidak dipikirkan dengan mendalam dan jika hanya dilaku­

kan oleh sebuah negara saja. Terbukti dengan adanya rencana 

“politik luar negeri” Indonesia yang konyol –seperti keputusan 

untuk (pada akhir tahun 2003 ini) keluar dari keanggotaan Dana 

Moneter Internasional (International Monetary Funds). Pada 

saat menjadi Presiden, penulis bertanya pada seorang ekonom 

raksasa dari MIT (Massachusset Institute of Technology), Paul 

Krugman. Ia menjawab, sebaiknya Indonesia jangan keluar dari 

keanggotaan badan internasional ini . Paul Krugman yang 

juga pengkritik terbesar lembaga itu menyatakan pada penulis, 

hanya negara dengan birokrasi kecil dan bersih yang dapat ke­

luar dari IMF secara baik, sedangkan birokrasi Indonesia sangat­

lah besar dan kotor.

eg

Dalam pidato pembukaan itu, penulis menyatakan bahwa 

etika global dan pemerintahan yang baik (good governance) 

hanya akan ada artinya kalau didasarkan pada dua hal: kedaulat­

an hukum dan keadilan dalam hubungan internasional. Ini ber­

arti, negara adi­kuasa manapun harus memperhatikan kedua 

prinsip ini. Karena itu, perjuangan untuk menegakkan kedaulat­

an hukum dan keadilan dalam hubungan internasional itu harus 

mendapat perhatian utama. Pidato pembukaan itu, mendapatkan 

jawaban dan tanggapan sangat positif dari berbagai pihak, ter­

masuk Dharma Master Hsin­Tao (Taiwan) yang mewakili para 

pengikut agama Budha. Tanggapan yang sama positifnya juga 

disampaikan oleh Wolfgang Smiths dari Persekutuan Gereja­Ge­

reja Eropa dan Rabbi Alon Goshen Gottstein dari Jerusalem.

g 357 h

Penulis menyatakan pentingnya arti kedaulatan hukum, 

karena di Indonesia dan umumnya negara­negara berkembang, 

hal ini masih sangat langka. Justru pada umumnya pemerintah­

an mereka bersifat korup, mudah sekali melakukan pelanggaran 

hukum dan di sini konstitusi hampir­hampir diabaikan. Perintah 

kitab suci al-Qur’ân: “Wahai kaum Muslimin, tegakkanlah keadil-

an dan jadilah saksi bagi Allah , walaupun mengenai diri kalian 

sendiri” (yâ ayyuha alladzîna âmanû kûnû qawwâmîna bi al-

qisthi syuhadâ’a li allâhi walau ‘alâ anfusikum) (QS al­Nisa 

[4]:135), ternyata tidak dipatuhi oleh umat Islam sendiri. Yang 

lebih senang dengan capaian duniawi yang penuh ketidakadilan, 

dengan meninggalkan ketentuan­ketentuan yang dirumuskan 

oleh kitab suci agama mereka sendiri.

Dalam pidato pembukaan ini  penulis menyatakan, 

agar keadilan menjadi sifat dari etika global dan pemerintahan 

yang baik (good governance). Itu didasarkan pada pengamatan 

bahwa sebuah negara adi­kuasa, seperti Amerika Serikat dapat 

saja melaksanakan dominasi yang hanya menguntungkan diri­

nya sendiri dan merugikan kepentingan negara­negara lain. Ini 

terbukti dari serangannya atas Irak, yang terjadi dengan meng­

abaikan sikap Dewan Keamanan (DK) PBB. 

Penulis berpendapat jika dalam waktu tiga bulan Saddam 

Hussein tidak dapat ditangkap, maka tentu rakyat AS akan ribut 

minta tentara mereka ditarik dari Irak. Dan perdamaian di nege­

ri Abu Nawas itu harus ditegakkan melalui perundingan damai. 

Dengan kata lain, perubahan berbagai sistem (termasuk sistem 

politik dan pemerintahan) di Irak harus dilakukan tanpa melalui 

paksaan. Kalau tidak, pemerintah apapun yang akan menggan­

tikan Saddam Hussein akan dianggap sebagai pemerintahan 

boneka oleh rakyat Irak sendiri. Kenyataan inilah yang harus 

dipahami oleh semua pihak, termasuk AS. Dengan demikian, 

apa yang sejak berbulan­bulan ini diusulkan penulis, yaitu per­

damaian di Irak harus dikaitkan langsung dengan perdamaian 

abadi antara Palestina dan Israel, semakin menjadi relevan.

eg

Sebagai bagian dari pembentukan etika global dan peme­

rintahan baik (good governance) itu, tentu diperlukan adanya 

kampanye besar­besaran untuk membentuk pengertian yang 

kIta dan PERdamaIan


g 358 h

mendalam atas kedua hal ini . Di sinilah terletak peranan pa­

ra agamawan dan moralis dunia, dengan didukung oleh lemba­

ga­lembaga internasional seperti UNESCO. Karena itu tindakan 

sendiri­sendiri dalam pembentukan pendapat dunia, mengenai 

etika global dan pemerintahan baik itu, tidak dapat dibenarkan 

karena diragukan keberhasilannya. Harus ada dialog terus­me­

nerus antara berbagai kalangan bangsa, terutama antara para 

teoritisi dan para penerap nilai­nilai di lapangan. Di sinilah te­

rasa betapa pentingnya arti dialog seperti yang telah diseleng­

garakan oleh UNESCO di Paris itu. Minimal, bagi berbagai pihak 

di luar lingkup negara, dapat melakukan pembicaraan mengenai 

nilai­nilai global yang ingin kita tegakkan dalam pergaulan inter­

nasional. Dengan pertemuan antar berbagai agama tadi, masing­

masing pihak akan saling belajar dan menimba sumber­sumber 

spiritual, dalam membentuk pandangan hidup di masa depan.

Kesadaran seperti ini, mulai muncul akibat merajalelanya 

sinisme yang dibawa oleh “pertimbangan­pertimbangan politik 

global” (global political considerations) dan akhirnya menjadi 

satu­satunya alat pertimbangan. Pertimbangan itu —dalam ke­

rangka kajian strategis disebut sebagai “geopolitical considera-

tions”—, hanya melahirkan kepentingan antara negara­negara 

adi­kuasa (super-powers) saja, akibatnya tentu akan melumpuh­

kan negara­negara yang bukan adi­kuasa. Apalagi setelah Uni­

Soviet berantakan, maka hanya tinggal sebuah negara adi­kuasa 

yang memaksakan kehendak dan menginjak­injak hukum inter­

nasional untuk kepentingannya sendiri. Contohnya adalah pe­

nyerbuan AS atas Irak, dengan mengesampingkan peranan PBB 

melalui Dewan Keamanan.

Di masa depan, tentu saja hal ini akan membawakan reaksi 

berupa sederet tuntutan dari negara­negara berkembang akan 

sebuah tatanan yang lebih berimbang secara internasional, an­

tara negara industri maju (developed countries) dengan negara 

berkembang (developing countries). Dalam penyusunan tatanan 

baru seperti itu, tentu saja etika global dan pemerintahan yang 

baik harus memperoleh perhatian khusus, baik untuk acuan ke­

rangka baru yang hendak didirikan maupun untuk mengendali­

kan perubahan perubahan yang bakal terjadi. 

Karena itu dialog terus­menerus akan kedua hal itu harus 

dilakukan, termasuk pertukaran pikiran mengenai peranan spiri­

tualitas manusia. Dialog antara para pemeluk berbagai agama, 

g 359 h

seperti yang diselenggarakan di Paris ini , tentulah sangat 

menarik bagi kita. Pemaparan pengalaman pribadi dan pikiran 

dari para pemimpin agama, seperti Dharma Master Hsin Tao 

dari Taiwan, tentu saja harus menjadi bagian integral dari dialog 

semacam itu. h

kIta dan PERdamaIan

g 360 h

Pada akhir Februari hingga awal Maret 2003 ini, penulis 

berada di Washington DC, Amerika Serikat (AS), guna 

menghadiri sebuah konferensi perdamaian untuk kawasan 

Timur Tengah. Undangan sebagai peserta konferensi, diberikan 

oleh IIFWP (Interreligious and International Federation for 

World Peace, Federasi Internasional Antar Agama untuk Per­

damaian Dunia), yang berkedudukan di New York. Mengapakah 

penulis jauh­jauh mengikuti konferensi ini , padahal ham­

pir setiap hari demonstrasi­demonstrasi di tanah air, menuntut 

turun/lengsernya pasangan Megawati­Hamzah Haz? Penulis me­

mutuskan pergi ke negara Paman Sam itu, karena dua alasan. 

Pertama, karena perkembangan dalam negeri baru mencapai 

titik kulminasi setelah minggu kedua bulan Maret 2003. Kedua, 

karena persiapan­persiapan perang yang dilakukan oleh AS dan 

Inggris sudah berjalan sangat jauh, ­saat tulisan ini dibuat­ peng­

iriman 198.000 pasukan AS dan 40.000 tentara Inggris ke kawa­

san ini , berarti pencegahan perang lebih terasa urgensinya 

di kawasan Timur Tengah saat ini.

Tentu ada orang yang berpendapat, sikap gila dalam pen­

dirian penulis, karena menilai saat ini justru saat yang paling 

baik untuk memulai sebuah inisiatif baru guna mencari titik 

perdamaian abadi bagi kawasan Timur Tengah. Bukankah per­

siapan negara adi kuasa AS dan sekutunya Inggris Raya, meru­

pakan petunjuk tak terbantahkan akan adanya perang yang 

Perdamaian Belum terwujud

di timur tengah

g 361 h

sudah berjalan sangat jauh, hingga tidak dapat dihentikan? Bu­

kankah pertimbangan­pertimbangan geopolitik telah memaksa 

AS dan para sekutunya untuk menggunakan perang sebagai “alat 

pemaksa” atas Irak? Jawabannya, adalah bahwa dapat dibenar­

kan ucapan ahli strategi perang Jerman Von Clausewitz, bahwa 

“perang adalah kelanjutan dari diplomasi/perundingan yang ga­

gal”. Dalam pandangan penulis, sikap negara­negara besar seper­

ti Jerman, Perancis, Rusia dan Tiongkok menunjukan, bahwa 

upaya­upaya diplomatik tetap memiliki relevansi yang besar, 

dalam mencari solusi damai atas masalah Timur Tengah. Kare­

nanya, dari sekarang sampai dengan terjadinya secara aktual 

pemboman atas Irak, dapat dikatakan peluang bagi perdamaian 

di kawasan itu tetap terbuka.

Kitapun sudah terbiasa menghadapi kenyataan, bahwa 

penyelesaian sebuah konflik didapati hanya pada akhir sebuah 

proses yang panjang, dihadapan persiapan­persiapan “penuh 

kekerasan”, yang dalam bahasa asing disebut “merebut keme­

nangan dari gigitan musuh di saat­saat terakhir” (to grab peace 

from the jaw of war). Namun, hal itu tidak akan tercapai, apabi­

la dua buah tindakan tidak diambil pada waktu yang bersamaan. 

Pertama, adanya sebuah forum yang untuk kesekalian kalinya 

membicarakan dan kemudian menetapkan upaya terakhir yang 

harus dijalankan untuk menyelesaikan konflik secara damai. 

Kedua, begitu keputusan diambil, harus segera ditunjuk orang 

yang melaksanakannya, dalam waktu yang begitu sempit. 

Dengan dua persyaratan itulah, baru ada harganya untuk 

“menggunakan kesempatan dalam kesempitan”. Kesempatan 

menegakkan perdamaian abadi di kawasan ini , dan meng­

gunakan kesempitan menghadapi kenyataan pahit di kawasan 

ini .


Penulis mengajukan dalam pidato pembukaan di konferen­

si itu, bahwa perdamaian abadi di Timur Tengah hanya dapat 

dicapai, kalau penyelesaian damai atas konflik Israel-Palestina 

dikaitkan dengan perdamaian di Irak. Perdamaian antara Israel–

Palestina dapat dicapai dengan dihentikannya persiapan–persiap­

an untuk melakukan pemboman dan pengiriman pasukan­pasu­

kan ke negara Abu Nawas itu. Dengan demikian, penyelesaian 




konflik Israel-Palestina akan membawa perdamaian di Timur 

Tengah secara keseluruhan. Demikian pula, upaya perdamaian 

dapat dilakukan dengan dihentikannya pemboman atas Irak. 

Jika ternyata hal itu tidak membawa hasil, maka ucapan 

Von Clausewitz di atas harus diteruskan dengan ungkapan “pe­

rundingan/negosiasi adalah kelanjutan dari peperangan yang 

gagal”. “Kegagalan peperangan” atas Irak akan terjadi, jika Pre­

siden AS, George Bush Jr. gagal menangkap Saddam dalam wak­

tu yang cepat. Mengapa? Karena rakyat AS tidak akan bersedia 

membiayai peperangan untuk jangka waktu yang lama, walau­

pun negara ini  telah mencapai kekayaan berlimpah­limpah 

dan memiliki  persenjataan yang sangat canggih yang juga mem­

butuhkan biaya yang sangat besar untuk digunakan. Dikombi­

nasikan dengan demonstrasi di mana­mana termasuk di AS dan 

Inggris, untuk tidak menyelesaikan konflik ini  dengan ke­

kerasan, maka dapatlah diperhitungkan peperangan akan ter­

henti dengan sendirinya. 

Kalau Saddam Hussein tidak juga segera tertangkap oleh 

musuh­musuh politiknya, maka untuk menolong “muka” AS­

Inggris dan Israel, —upaya ini dilakukan agar tidak membuat 

peperangan berjalan lama— diperlukan langkah­langkah untuk 

mencapai dua pemecahan (solusi). Caranya adalah dengan men­

capai kesepakatan antara ke empat pihak (AS, Inggris, Israel dan 

Irak), yang berlanjut dengan penghentian tindak­tindak mili­

ter di kawasan Israel­Palestina dan Irak. Digabungkan dengan 

melakukan hal­hal berikut. Pertama, dengan memperkuat nega­

ra Palestina merdeka, melalui pemberian bantuan keuangan 

berupa kredit murah berjangka panjang bagi negara itu, katakan­

lah sebesar 1 miliar dolar AS. Karena dengan bantuan seperti itu, 

kebangkitan industri dan perdagangan Palestina akan terjadi 

sangat cepat, apabila para pemimpin Palestina mampu mencip­

takan pemerintahan yang bersih di masa depan. Kedua, untuk 

menghindari perang, —ini paling pahit dan sulit dilaksanakan— 

mengusahakan agar Saddam Hussein lengser dari jabatan ke­

presidenan secara sukarela, untuk memungkinkan tercapainya 

negara Palestina yang kuat secara industrial/komersial dalam 

waktu cepat.

eg

g 363 h

Untuk memungkinkan tercapainya hal ini  di atas, 

yaitu “menolong posisi” Israel dan Amerika Serikat­Inggris da­

lam percaturan politik internasional, maka diperlukan seorang 

penengah yang bersedia mondar­mandir ke AS, Inggris, Israel, 

Palestina, Libya, Irak dan negara­negara lain di Timur Tengah. 

Dengan demikian, sikap untuk menentang atau mendukung po­

sisi Israel dan Amerika Serikat­Inggris dalam kedua hal ini , 

harus dibaca sebagai sikap permulaan (initial attitudes), yang 

dapat saja berubah karena perkembangan keadaan. Sedangkan 

peranan “negotiator” (juru runding) itu, kalau tidak dilakukan 

oleh seseorang secara pribadi (seperti disebutkan di atas), dapat 

saja dilakukan oleh sekelompok orang (institusi/group). Hal itu 

telah dilakukan dalam kasus Aceh oleh Henry Dunant Center, 

sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional yang 

berkedudukan di Geneva.

Agar tercapai perdamaian abadi di kawasan itu, kesungguh­

an sikap negara­negara yang terlibat, maupun kegigihan sang 

negosiator sangatlah diperlukan. Karenanya, negosiator ini  

haruslah memperoleh dukungan kuat dari siapapun, dalam ben­

tuk bantuan logistik maupun kemudahan­kemudahan yang lain. 

Kalau tugas itu dibebankan pada seseorang, haruslah dipastikan 

orang ini  memiliki stamina yang sangat prima, dibantu oleh 

dua orang asisten yang bekerja terus­menerus selama beberapa 

bulan. Tentu saja, peranan seperti itu akan sangat menarik hati 

siapapun, hingga banyak yang ingin melakukannya. namun , tentu 

saja tidak setiap orang (termasuk para diplomat dan para negara­

wan) mampu untuk melaksanakannya. Ada sebuah persyaratan 

lain yang sangat penting dalam hal ini; negosiator itu haruslah 

dipercaya oleh semua pihak yang terlibat, yang juga membawa 

“kelayakan” bagi seorang muslim untuk tugas ini .

Itulah sebabnya, mengapa penulis bergairah untuk datang 

ke Washington DC. Pertama, untuk mengemukakan pendapat­

nya, bahwa sampai titik terakhir sekalipun, harus diupayakan pe­

nyelesaiaan damai (peaceful settlement) yang bersifat permanen 

untuk kawasan Timur Tengah. Kedua, untuk bertemu dan me­

nyampaikan beberapa hasil pemikiran pada negosiator yang di­

pilih atau ditunjuk oleh konferensi di ibu kota negara ini . 

Konferensi yang diselenggarakan di sebuah hotel di Washington, 

yang dari dalam ruangannya masih dapat terlihat bekas­bekas se­

rangan ke gedung Pentagon pada tragedi 11 September 2001 itu, 

diharapkan menjadi forum dengan kewibawaan sangat tinggi 

(prestigious body) dalam lingkup politik dunia. Di samping itu, 

penulis juga dapat memenuhi undangan berceramah pada Uni­

versitas Michigan di Ann Arbor dan disamping check up medis di 

Boston General Hospital. Perjalanan menarik walaupun sangat 

melelahkan. 

Peperangan di Irak telah terjadi, dengan dilemparnya ratu­

san buah peluru kendali dari sejumlah alat perang Amerika 

Serikat (AS) dan sekutunya. Bagi sementara orang, perang 

itu disebut sebagai penyerbuan (invasi), karena kekuatan mili­

ter yang sangat tidak berimbang antara kedua belah pihak. Pada 

waktu penulis berada di Ann Arbor, di kalangan kampus Uni­

versitas Michigan, seorang hadirin bertanya; —mengenai terjadi­

nya penyerbuan AS ke Irak, namun seorang peserta lain segera 

melakukan koreksi; —bukan penyerbuan AS, melainkan penyer­

buan George W. Bush Junior. Ini menunjukkan bahwa penen­

tangan terhadap perang itu berjumlah sangat besar, termasuk 

oleh pemerintah kita. Bahkan tiga negara anggota tetap Dewan 

Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa­Bangsa (PBB) –yakni, 

Perancis, Rusia, dan RRT menentangnya. Artinya Bush melaku­

kan penyerbuan dengan tidak ada izin dari DK­PBB, yang mem­

bawa krisisnya sendiri —minimal krisis kredibilitas bagi PBB.

Bush selalu menyatakan keinginannya untuk menghilang­

kan “semangat kejahatan” (evil spirit), dengan jalan menurunkan 

Saddam Hussein dari kursi kepresidenan Irak. Dengan demiki­

an, ia berusaha menegakkan pemerintahan demokratis yang 

kuat di Irak. namun  banyak orang meragukan niatan Bush itu, 

karena terlihat pertimbangan­pertimbangan geopolitik juga ada 

dalam memutuskan penyerangan atas Irak itu. Karena tampak­

nya Saudi Arabia —yang merupakan penghasil minyak terbesar 

di dunia— dalam kasus Israel­Palestina, telah meninggalkan ke­

dicari Perdamaian,

Perang yang didapat


g 366 h

bijakan politik luar negeri AS. Dengan demikian, peranan negeri 

itu haruslah diimbangi dengan negeri penghasil minyak terbesar 

kedua di dunia, yaitu Irak. Karena Irak masih diperintah oleh 

Saddam Hussein, dengan sendirinya iapun harus diganti dengan 

orang lain, yang lebih “terbuka” bagi tekanan­tekanan politik 

luar negeri AS, berarti Irak harus diserang. Ada pula orang yang 

menganggap faktor psikologis tidak boleh dilupakan dalam hal 

ini, yaitu Presiden Bush muda (Junior) harus memenangkan pe­

rang terhadap Saddam Hussein, yang telah menggagalkan  “keme­

nangan” Presiden Bush tua (Senior). Benar­tidaknya semua argu­

mentasi tadi, cukup beralasan untuk diajukan dalam perdebatan 

pendapat tentang penyerbuan ke Irak itu. Kalau memang benar 

adanya, maka AS dan sekutunya harus mengakhiri perang.  

Jelas, Irak harus menemukan jalannya sendiri kepada ke­

majuan dalam pembangunan ekonomi, maupun dalam menemu­

kan identitas sendiri, seperti diharapkan oleh banyak kalangan. 

Sebagaimana halnya dengan Chun Doo­Hwan1 di Korea Selatan, 

yang pada akhirnya menjadi biarawan Budha, dan dengan demi­

kian tidak dituntut oleh pengadilan di sana, sebagai bagian pen­

ting dari rekonsiliasi nasional ala Korea, maka tentu Irak pun 

akan menemukan caranya sendiri akan rekonsiliasi nasional 

tanpa campur tangan AS.


Gempuran militer atas Irak itu tentu saja menimbulkan 

reaksi keras cukup besar di seluruh dunia. Sebuah negara adi­

kuasa telah memaksakan kehendak kepada dunia, melalui penaf­

sirannya sendiri atas perkembangan yang terjadi di dunia ini, 

dengan alasan­alasannya sendiri yang berbeda dari pendapat 

resmi DK­PBB, jelas telah membuka lembaran buruk dalam tata 

hubungan internasional. 

Banyak juga orang memuji keberanian “moral” Bush 

1 Penguasa rezim militer Korea Selatan 1980­1988 ini divonis mati oleh 

pengadilan kriminal Korsel pada 26 Agustus 1996. Chun terbukti melakukan 

korupsi dan menerima suap ratusan juta dollar AS, menjadi dalang kudeta mi­

liter tahun 1979 dan tokoh utama dalam pembantaian para demonstran pro­

demokrasi di Kwangju bulan Mei 1980. Namun setelah dua tahun mendekam 

di penjara, presiden berkuasa Kim Young Sam  (1993­1998) dan penggantinya 

Kim Dae Yung (1998­2003), memberikan amnesti kepadanya.

g 367 h

dalam hal ini. namun , ada juga yang menyatakan, hancurnya 

kredibilitas PBB dan tata hukum internasional yang obyektif. 

Dampaknya, memungkinkan sebuah negara di Afrika untuk me­

nyerbu tetangganya dengan alasan yang dicari­cari. Jika ini yang 

terjadi, dapatkah AS mengerahkan kekuatan militer di seluruh 

dunia pada saat bersamaan? Inilah yang mengkhawatirkan para 

pengamat itu: hubungan internasional atas dasar penafsiran se­

pihak, tanpa ada pembenaran formal dari DK­PBB, tidak dapat 

menjamin menetapnya perdamaian dan  ketentraman dunia.

Di hari­hari pertama penyerangan atas Irak ini , ten­

tu sajian televisi CNN selalu menggambarkan tentang keperka­

saan AS.2  Setelah dua hari “membatasi diri” dalam penyerangan 

ini , di hari ketiga kekuatan militer AS yang demikian dah­

syat digelar dengan kekuatan penuh. Sebagian Irak selatan telah 

“dibebaskan” dari Saddam Hussein. Pasukan­pasukan kavaleri 

AS dari kawasan Kuwait menerobos dengan mudah wilayah Irak 

selatan, dan dalam hal ini kecepatan yang luar biasa dari pasu­

kan­pasukan kavaleri AS dan para marinir Inggris sangat menga­

gumkan. Dalam waktu sebentar saja, tanpa perlawanan berarti, 

pasukan­pasukan Irak dengan mudah begitu saja menyerah 

tanpa syarat. Karena itulah, dapat saja segera diajukan klaim 

“kemenangan” AS dan sekutu­sekutunya ditambah dengan pa­

sukan­pasukan AS yang tergabung dalam bala tentara Kurdi di 

sebelah utara Irak, jelas bahwa Baghdad dijepit dari utara dan 

selatan. Dengan demikian, kejaAllah  Baghdad tinggal menung­

gu waktu saja.

Benarkah sikap menganggap AS telah memenangkan per­

tempuran­pertempuran  ini ? Penulis justru menganggap­

nya sebagai permulaaan dari sebuah proses yang sangat panjang, 

jika AS tidak dapat menangkap Saddam Hussein dalam waktu 

beberapa bulan yang akan datang ini, maka sikap rakyat Irak 

akan berubah dengan cepat. Sikap yang selama ini diperlihat­

kan, paling tidak akan berubah menjadi sikap menolak secara 

2  Sebuah riset yang dilakukan selama tiga minggu antara bulan Mei­

Juni 2003 terhadap acara berita malam utama di enam stasiun televisi Amerika 

Serikat yaitu ABC, CBS, NBC, CNN, FOX, PBS menunjukkan: 64% waktu tayang 

ini  menghadirkan narasumber dari kelompok pendukung perang. Hanya 

10% bagi kelompok antiperang. Bahkan, khusus FOX News, 81% diberikan un­

tuk narasumber pendukung perang (Lihat: Amy Goodman & David Goodman, 

Perang Demi Uang, 2004). 


psikologis serangan demi serangan AS itu. Sikap seperti ini, jelas 

didukung oleh mayoritas bangsa­bangsa dan negara­negara di 

dunia. Jelas yang harus diperbuat oleh Saddam Hussein adalah 

menghindari penangkapan atas dirinya. Selebihnya, akan “dise­

lesaikan dengan cara damai dan dengan perundingan”. Jika Von 

Clausewitz menyatakan, perang adalah penerusan perundingan 

yang gagal, maka dapat kita katakan, perundingan damai adalah 

penerusan dari peperangan yang tidak mencapai maksudnya.

Inilah kemungkinan buruk yang tidak diperhitungkan jauh 

sebelumnya oleh Bush, yang hanya mengandalkan kemarahan 

kepada Saddam Hussein saja. Sikap seperti ini memang dapat 

saja membawa hasil cepat yang menguntungkan, namun  dapat 

juga berakibat sebaliknya. Penulis memandang rakyat AS tidak 

akan mau berperang lama­lama melawan siapapun. Karenanya, 

sangat ris kan melakukan penyerbuan besar­besaran atas negeri 

lain dalam tatanan dunia sekarang ini. Di sinilah letak arti pent­

ing dari peranan sebuah lembaga internasional —seperti PBB—. 

Paling tidak, persetujuan PBB merupakan pembenaran formal 

atas apapun yang dilakukan oleh seluruh negara atas negara 

yang lain. Jika kenyataan ini diabaikan, tidaklah menjadi soal 

jika sukses yang diperoleh, tapi jika sebaliknya, akan runtuhlah 

kewibawaan AS di mata negara­negara lain yang kecil.

Jika AS gagal menangkap Saddam Hussein, dan terpaksa 

berperang untuk jangka panjang, maka segera tindakan itu ha­

rus dihentikan, karena tuntutan rakyat Amerika Serikat sendiri 

yang tidak mau berperang lama­lama. Jika ini terjadi, maka mau 

tidak mau harus dicari formula persetujuan damai atas Irak. 

Banyak masalah terkait dengan hal itu, namun  jelas perundingan 

merupakan penyelesaian terbaik. Dalam hal ini, penulis memin­

ta agar supaya penyelesaian damai di Irak, dikaitkan langsung 

dengan upaya perdamaian antara Israel dan Palestina. Dengan 

demikian, baik Israel maupun seluruh bangsa­bangsa Arab akan 

berkepentingan untuk menjaga perdamaian ini . Ini adalah 

persyaratan sangat penting, karena hanya dengan cara demiki­

anlah sebuah perdamaian abadi dapat ditegakkan di kawasan 

Timur­Tengah. Di sinilah terletak kaitan vital antara penyelesai­

an sengketa Irak di satu pihak dan sengketa Israel­Palestina di 

pihak lain.

Perdamaian abadi antara Israel dan Palestina, hanya dapat 

dicapai manakala negara Palestina diperkuat dengan mengem­

bangkan industri dan perdagangannya. Hal itu hanya dapat di­

capai jika ada bantuan ekonomi besar­besaran, dalam bentuk 

kredit murah bagi mereka. Katakanlah pinjaman lunak selama 

dua puluh tahun, sebesar satu milyar dollar AS. Sedangkan jika 

AS­Inggris tidak dapat menangkap Saddam Hussein, maka 

pendapat umum dalam negeri maupun internasional akan me­

maksa penarikan mundur pasukan­pasukan mereka. Dalam hal 

ini, dapat diminta Saddam Hussein mengundurkan diri untuk 

kepentingan bangsa Arab secara keseluruhan, khususnya agar 

memungkinkan pemberian kredit lunak dalam jumlah demiki­

an besar kepada negara Palestina. Ini karena keyakinan penu­

lis, bahwa Saddam Hussein sangat menghormati sebuah negara 

Palestina yang merdeka, dan karena ia sendiri telah berhasil 

menunjukkan keberhasilannya dalam memimpin Irak yang dise­

rang sebuah negara adi­kuasa, seperti AS. 

Pada umumnya, kita mengikuti salah satu dari dua pandang­

an berikut. Pendapat pertama adalah, kita memandang ke­

mungkinan pemboman atas Irak oleh Amerika Serikat dan 

sekutu­sekutunya sebagai sebuah bagian dari rencana jahat un­

tuk menyerang Irak dan mengganti presidennya, Saddam Hus­

sein. Dilanjutkan dengan pandangan bahwa rencana itu adalah 

bagian dari Konspirasi Zionisme yang dipelopori Israel. Kita bo­

leh setuju atau tidak dengan pandangan ini, namun penulis me­

nolak teori komplotan/konspirasi seperti itu. namun  bagaimana 

pun pendapat seperti itu ada dan diikuti banyak orang. Karena­

nya, pendapat seperti itu harus diakui keberadaannya dan untuk 

itulah diciptakan sebuah disiplin ilmiah yang bernama studi ka­

wasan, yang berjalan seiring dengan teori­teori geopolitik dalam 

kajian internasional yang berkembang saat ini.

Sebaliknya, ada pihak lain yang memandang Irak di bawah 

pimpinan Presiden Sadam Hussein sebagai biang kerok tindak­

an­tindakan teror internasional, karena itu diperlukan pembom­

an ke Irak, untuk menggulingkan presiden ini  dari jabatan­

nya. Pemboman itu harus dilakukan secara masif, walaupun 

memakan korban sangat banyak dari penduduk Irak, belum lagi 

rusaknya kota­kota besar di Irak sebagai akibatnya, yang kes­

emuanya tidak dapat dinilai kerugiannya. Tindakan itu, dalam 

pandangan Amerika Serikat dan sekutu­sekutunya haruslah di­

lakukan dengan tujuan untuk membersihkan dunia dari teroris­

me. Kalau ini tidak dilakukan, terorisme internasional akan ber­

lanjut, dan kehidupan di negara­negara ini  akan sangat 

terganggu. Karenanya walaupun menimbulkan banyak korban, 

langkah itu harus tetap diambil untuk perdamaian dunia.

kita dan Pemboman atas Irak

Memang, kedua hal yang saling bertentangan itu terwujud 

dalam kenyataan, dan kita tidak dapat menutup mata akan ke­

adaan ini. Berarti, kita harus mengambil sikap: membenarkan 

atau menolak tindakan pemboman atas Irak itu. Memang, ini 

pilihan yang sangat sulit, namun  bagaimanapun juga pilihan ha­

rus dilakukan. Pandangan kita harus dirumuskan. Keengganan, 

ketakutan ataupun emosi kita hanya akan memperpanjang soal 

itu. Belum lagi akan munculnya sikap pihak­pihak lain terhadap 

pendirian kita itu. Karenanya, sebaiknya kita bersikap yang jelas, 

masing­masing dengan akibat­akibatnya sendiri.

Sikap itu pun tidak seluruhnya dapat dikemukakan dengan 

lugas apa adanya. Karena salah satu persyaratan hubungan inter­

nasional adalah, kemampuan untuk menyampaikan ‘bahasa’ 

yang dapat mengaitkan kepentingan bangsa atau kelompok yang 

satu dengan yang lain. Kemampuan itu yang semakin canggih itu 

untuk menutupi ambisi pribadi atau golongan yang ada. Dan sega­

la sesuatunya dirumuskan, supaya sesedikit mungkin membuat 

orang yang berpandangan lain dengan kita menjadi jengkel atau 

marah. Kita menyaksikan beberapa istilah­istilah yang berubah 

arti atau bentuk. Ini adalah konsekuensi logis dari tatanan geo­

politik yang ada. Penguasaan pendapat umum di sebuah negara, 

yang ditentukan oleh faktor­faktor yang serba geopolitis, akibat­

nya penggunaan istilah semakin menyimpang jauh dari apa yang 

dimaksudkan semula.

Salah satu contoh yang dapat dikemukakan di sini adalah 

kata “globalisasi” (penduniaan). Dalam pengertian yang kita 

gunakan sehari­hari, yang dimaksud globalisasi adalah sikap 

memberikan arti terhadap dunia atau universal. namun  segera 

terjadi perubahan arti dari kata ini , yaitu terjadi pemaksa­

an kehendak atas pemahaman orang banyak, seperti dikehen­

daki oleh kelompok­kelompok yang berjumlah kecil. Karenanya 

bagi perusahaan­perusahaan raksasa, kata globalisasi ini  

lalu berubah makna menjadi dominasi. 

Selain itu pengertian dan pemahaman kelompok yang le­

bih besar atas kata “perdagangan bebas” (free trade) yaitu kebe­

basan berdagang. Namun menurut pengertian pihak yang kecil, 

kata itu berarti sistem yang menguntungkan pihak yang mem­

kIta dan PEmboman atas IRak

punyai modal besar. Kata “modern” berarti penggusuran hal­hal 

yang  tradisional oleh yang baru, yang dianggap lebih mengun­

tungkan. Dengan demikian, tersembunyilah arti lebih dalam dari 

tradisional, oleh bentuk­bentuk baru yang dianggap modern. 

Kata “tempe” umpamanya, dipakaikan untuk menentukan 

kekurangan, kelemahan atau ketidakmampuan. Mengemukakan 

suatu istilah “bangsa tempe”, umpamanya, dianggap kalah arti 

dari bangsa yang kuat. Padahal kata tempe dalam pengunaan di 

sini, seharusnya sesuai dengan hakikatnya sebagai sesuatu yang 

memiliki gizi tinggi dan nilai berlebih. Jadi, penggunaan kata itu 

mencerminkan pandangan salah di masa lampau, bahwa hanya 

makanan yang menggunakan daging sajalah yang dianggap ber­

gizi.

Demikian pula kata “perdamaian” dalam pergaulan an­

tar­bangsa. Sekarang kata itu berarti, tidak adanya peperangan 

atau penggunaan kekerasan oleh sesuatu pihak atas pihak yang 

lain, namun dengan persyaratan dan pengertian dari pihak yang 

menang. Kata “terorisme” dapat diartikan menurut kepentingan 

geopolitik negara­negara adi kuasa, sehingga yang menentang 

pengertian ini  dianggap sebagai teroris. Berhasilkah upaya 

Presiden George W Bush Jr. mengembalikan arti kata teroris, 

pada pengertian semula, yaitu penggunaan kekerasan oleh pi­

hak­pihak yang tidak mau berunding? Kalau ini yang dimaksud­

kan oleh Presiden Amerika Serikat itu, lalu mengapakah harus 

jatuh korban puluhan ribu jiwa orang­orang yang tidak bersalah, 

akibat pemboman itu sendiri? Di sini, kita lihat terjadi perubah­

an arti kata “perdamaian” dan “terorisme”

Dengan demikian, menjadi jelaslah bagi kita bahwa tindak­

an pemboman secara masif atas Irak adalah sesuatu yang juga 

diperdebatkan secara bahasa/epistemologi, dan tidak hanya ber­

dasarkan “rasa panggilan historis” seperti dirasakan pemerintah­

an Amerika Serikat saat ini. Inilah akibat kalau penafsiran dise­

rahkan kepada sebuah negara adikuasa belaka. Lebih jauh lagi, 

sinisme kekuasaan yang didasari pertimbangan­pertimbangan 

geopolitik, lalu membuat kita menghadapi jurang pertentangan 

dan peperangan dalam ukuran yang masif. Karenanya, marilah 

kita berupaya menggunakan ukuran­ukuran moral dan etis 

g 373 h

dalam tata pergaulan internasional, walaupun banyak penguasa 

lain memaksakan kehendak dengan menggunakan kekerasan. 

Dan ini yang sebenarnya menjadi esensi ajaran Mahatma Gan­

dhi tentang ahimsa, dunia tanpa kekerasan. Islam juga menolak 

penggunaan kekerasan semaunya saja oleh siapapun, dan ke­

kerasan hanya dapat dilakukan oleh kaum muslimin, jika mere­

ka diusir dari rumah­rumah kediaman mereka (idzâ ukhrijû min 

diyârihim). 

Di sinilah terletak signifikansi dari filsafat dan moralitas, 

perdamaian dunia tidak selayaknya hanya dibatasi pengertian­

nya secara geopolitik belaka melainkan harus memasukan mora­

litas ke dalam dirinya. Dalam hal ini, moralitas harus ditentukan 

oleh kerangka multilateral seperti PBB, bukan hanya oleh sebuah 

negara adi kuasa belaka. Mungkin ini terdengar seperti lamunan 

belaka, namun bukankah cita­cita besar sering berangkat dari 

lamunan? h

kIta dan PEmboman atas IRak

g 374 h

Dalam sebuah wawancara televisi, penulis mengemuka­

kan bahwa banyak hal yang dilupakan Presiden Amerika 

Serikat, George W Bush Junior, mengenai Presiden Sad­

dam Hussein dari Irak. Bush beberapa kali mengatakan, bahwa 

tujuan Amerika Serikat melakukan penyerangan berulang kali, 

untuk menangkap Saddam Hussein yang dianggapnya menjadi 

penyebab terorisme bersimaharajalela di dunia saat ini. Jadi, ia 

merasa berkewajiban menangkap Saddam Hussein untuk mene­

gakkan pemerintahan yang kuat dan demokratis di Irak. Untuk 

tujuan itulah ia menyerang Irak secara besar­besaran. Bukan 

hanya sekadar bom yang dijatuhkan seperti hujan, melainkan 

juga dengan serangan seperempat juta orang bala tentara dari 

utara dan selatan, ditambah 40.000 orang prajurit Inggris. Ini 

berarti rangkaian serangan besar dalam ukuran perang sebenarnya.

Dilihat dari rencana semula, serangan itu seharusnya ber­

akhir dengan kemenangan mutlak dalam waktu paling akhir 3 

hari. namun  ternyata, setelah 13 hari serangan —saat  tulisan ini 

dibuat—, Saddam Hussein belum juga tertangkap. Sedang jum­

lah korban jiwa dan harta benda dalam satuan­satuan tempur 

pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat maupun kerugian 

material lainnya telah menimpa Amerika Serikat dan sekutunya 

dalam jumlah sangat besar, termasuk di dalamnya tank­tank dan 

senjata berat yang terkubur di gurun pasir. 

saddam Hussein dan kita

g 375 h

Ini belum lagi termasuk sikap negara­negara Arab lainnya 

(di luar Kuwait), yang justru cenderung bersikap netral dalam 

sengketa ini . Di satu pihak, Bush Jr, tidak mengindahkan 

keputusan Dewan Keamanan PBB, sehingga serangan yang dila­

kukannya seperti tidak memiliki legitimasi internasional, sedang 

serangan atas Irak, merusak kehormatan nasional yang dimiliki 

negara­negara Arab lainnya.

Di samping hal­hal di atas, serangan Amerika Serikat dan 

sekutu­sekutunya itu juga dilihat sebagai serangan terhadap Is­

lam. Umat Islam di seluruh dunia menyesalkan hal itu, apapun 

sebab, alasan dan argumentasi untuk mendukung sikap menolak 

serangan itu. Megawati Soekarnoputri yang tidak mau mengutuk 

serangan ini , dianggap oleh banyak kalangan gerakan Is­

lam di negeri kita, sebagai tidak membela Islam dari serangan 

(invasi) atas sebuah bangsa muslim seperti Irak. Bahkan banyak 

demonstrasi yang menuntut agar hubungan diplomatik RI­AS 

diputuskan saja, sedang produk­produk AS di boikot oleh kaum 

muslimin. Sebuah sikap konfrontatif yang sebenarnya jarang di­

perlihatkan oleh gerakan­gerakan Islam, di manapun ia berada.

Sebab utama dari reaksi seperti itu adalah inkonsistensi 

pernyataan Presiden AS George W Bush Jr, tentang hakikat se­

rangan AS atas Irak. Awalnya ia mengemukakan serangan itu di­

lakukan guna mencegah malapetaka bagi dunia, karena Saddam 

Hussein memiliki senjata pemusnah massal dalam jumlah besar 

yang ditemukan. Ternyata belakangan diketahui, senjata­senjata 

itu justru dahulu diberikan AS kepada Saddam Hussein untuk 

menyerang Iran. Ini berarti AS ikut membuat senjata­senjata ter­

sebut di masa lampau, dan sekarang cuci tangan dari kesalahan 

ini . 

Dalam kesempatan lain, Bush mengatakan bahwa Saddam 

adalah “tokoh jahat (evil figure)” yang harus dilenyapkan kare­

na melanggar hak­hak asasi manusia. Mengapa hanya Saddam 

Hussein? Bukankah ada sebuah negeri di Timur Tengah yang se­

tiap tahun menembak mati para warga negaranya, hanya karena 

mereka dianggap menjadi oposan politik bagi para penguasa 

negeri? Kalau memang Bush benar­benar ingin membela demo­

krasi, tentunya ia harus mulai dengan Benua Amerika sendiri, 

masih ada negara­negara otokrasi di benua ini , seperti Gua­

temala. Bahwa ini tidak diperbuat Bush Jr, sangat mengurangi 

kredibilitas ungkapannya itu, hingga dapat dikatakan sebagai ar­

saddam HussEIn dan kIta

gumentasi kosong. Pernyataan Bush Jr. ini  tidak punya arti 

apa­apa dan dengan demikian tidak meyakinkan siapapun.

Karena itulah terjadi demonstrasi besar­besaran di selu­

ruh dunia, apalagi di kalangan bangsa­bangsa muslim. Walau­

pun penulis sendiri dianggap sebagai “moderat”, namun penulis 

tidak dapat menerima serbuan itu sebagai sebuah langkah yang 

tepat. Baik secara militer maupun menurut diplomasi, langkah 

itu adalah sebuah tindakan gegabah dari sebuah negara adi kua­

sa atas negara lain yang lemah.

Lebih­lebih lagi, Bush Jr sama sekali “melalaikan” perhi­

tungan tujuan perangnya, yaitu menangkap Presiden Irak, Sad­

dam Hussein. Maka jika dalam waktu tiga bulan Saddam Hussein 

tidak tertangkap, haruslah dilakukan penyelesaian damai. Sangat 

sulit untuk menangkap Saddam Hussein, karena hubungan yang 

sangat baik dengan suku­suku Arab yang berpindah­pindah 

tempat (nomaden) di Irak, Jordania, dan Syria. Mungkin Sad­

dam Hussein akan mengulangi tindakannya dalam pertengahan 

abad lampau, saat  ia melarikan diri karena diancam hukuman 

mati di Irak. Dengan hubungannya yang sangat baik itu, Sad­

dam dilindungi oleh suku­suku (qabilah) dari berbagai negara, 

sehingga ia sanggup berjalan kaki dan naik unta sejauh lebih dari 

2.000 km untuk mencapai Mesir di bawah pahlawan Gamal Ab­

dul Nasser.

Karena itulah, penulis mengatakan dalam wawancara de­

ngan TV7, bahwa jangan­jangan diktum Von Clausewitz1: “pe­

rang adalah penerusan perundingan damai yang gagal” harus 

dilaksanakan secara terbalik dalam kasus Irak. Yaitu, perunding­

an damai adalah kelanjutan dari perang yang tidak mencapai 

tujuannya. Ini akan terjadi kalau dalam tiga bulan pasukan­pa­

sukan AS­Inggris tidak berhasil menangkap Saddam Hussein. 

Karena rakyat AS tentu menuntut melalui demonstrasi besar­

besaran agar pasukan AS ditarik dari Irak. Perundingan terse­

but diperlukan untuk “menolong muka” AS. Hal ini juga penulis 

sampaikan kepada Duta Besar Australia di sebuah tempat lima 

hari setelah itu, di depan para stafnya.

Menjadi jelas dari uraian di atas, bahwa pengenalan men­

dalam atas sebuah kawasan sangat diperlukan jika ingin diam­

1 Carl Von Clausewitz adalah salah seorang ahli strategi perang dari 

Prussia yang terkenal dan terkemuka di dunia.

g 377 h

bil tindakan militer atasnya. Dan pengenalan kawasan itu harus 

disertai pertimbangan objektif yang justru sangat diabaikan oleh 

Presiden Bush Jr. Arogansi yang timbul dari pengetahuannya, 

bahwa AS adalah satu­satunya negara adi kuasa yang dapat “me­

ngalahkan” negara manapun, menyingkap kenyataan serangan 

militer itu dilakukan karena pertimbangan­pertimbangan geopo­

litis, bukan pertimbangan moral. Menurut perhitungan geopolitis 

Bush Jr, Irak sebagai penghasil minyak kedua terbesar di dunia, 

dengan 116 miliar barel atau sekitar separuh dari produksi Arab 

Saudi penghasil minyak terbesar di dunia, haruslah “dikembang­

kan” sebagai imbangan Arab Saudi, karena Arab  Saudi dewasa ini 

menyimpang dari kebijaksanaan luar negeri AS. Ditambah lagi, 

karena Irak saat ini mulai menggunakan mata uang masyarakat 

Eropa, Euro dalam menyelesaikan transaksi minyaknya.

Keterusterangan pihak AS dalam menggunakan pertim­

bangan­pertimbangan ekonomis ini, haruslah disampaikan oleh 

Bush Jr, setidak­tidaknya melalui berbagai lembaga­lembaga 

non­pemerintahan di negeri Paman Sam itu. Tindakan menutup­

nutupi berbagai pertimbangan geopolitis dan finansial itu hanya 

akan mengurangi kredibilitas AS saja. Hilangnya kredibilitas itu 

akan memaksa negara ini , menggunakan kekuatan militer 

dalam hubungan dengan negeri­negeri lain. Menjadi teladan ba­

gi kita, bahwa mengendalikan sebuah negara adi kuasa tidaklah 

mudah, melainkan membutuhkan kemampuan bersabar dan 

sikap tidak memandang rendah orang lain. Apalagi hanya men­

dengarkan suara kelompok­kelompok garis keras belaka. Tidak 

mudah menjadi pemimpin dunia, bukan? h

saddam HussEIn dan kIta

Amerika Serikat (AS) telah menyerbu Irak dengan sekutu­

sekutunya, melalui peralatan militer yang sangat canggih 

dan personel tentara yang tangguh dibantu oleh sistem 

komunikasi mutakhir. Dalam waktu tiga minggu, ibu kota Bagh­

dad jatuh ke tangan pasukan AS, dan patung Saddam Hussein 

setinggi belasan meter itu dirobohkan. Anehnya, Saddam sendiri 

bersama keluarga dan menteri­menterinya tidak juga tertangkap. 

Hal ini sangat mengherankan, dan menimbulkan tanda tanya be­

sar, apakah gerangan yang terjadi. Kalau tadinya diproyeksikan 

Saddam akan tertangkap dan ia digantikan oleh seorang pemim­

pin lewat pemilu demokratis, maka sampai tulisan ini dibuat hal 

itu belum terjadi.

Karenannya kita perkirakan hanya satu dari kedua proyeksi 

di atas akan terwujud, yaitu mengganti pemerintahan Saddam de­

ngan pemerintah yang baru, itu pun belum tentu dapat diterima 

rakyat Irak. Pemerintahan yang baru itu akan melaksanakan pe­

milu dalam waktu dekat, guna mendapat legitimasi bagi dirinya. 

Dan tanpa legitimasi itu, pemerintah yang didirikan, tidak akan 

menjadi pemerintahan yang kuat. Klaim Presiden Bush akan 

menjadi suatu yang kosong dan seluruh dunia akan bertanya me­

ngapa Irak harus diserang? Jawabannya adalah, AS menyerbu 

Irak untuk kepentingan minyak bumi, alias hanya berdasarkan 

pertimbangan­pertimbangan geopolitis: “Menciptakan imbang­

an bagi Saudi Arabia yang merupakan negara penghasil minyak 

adakah Perdamaian di Irak?

bumi terbesar di dunia (dengan cadangan 260 milyar barel mi­

nyak mentah (crude oil), yang sekarang sudah mulai menyim­

pang dari kebijakan luar negeri AS dalam soal Israel.”

Dalam waktu sekitar tiga bulan atau 100 hari, jika AS ti­

dak berhasil menangkap Saddam Hussein maka rakyat AS tentu 

akan menuntut pasukan­pasukan mereka ditarik dari Irak. Jika 

ini terjadi, maka di samping adanya pemerintah yang lemah (dan 

belum tentu demokratis), maka mau tidak mau perdamaian di 

Irak menjadi opsi yang harus diperhitungkan? Di sinilah letak 

“kelalaian” dari serangan AS atas Irak itu. Sebuah serangan yang 

tidak memperhitungkan kemungkinan Saddam tidak tertangkap 

tentulah membawa resiko tersendiri, jalan selanjutnya melalui 

perdamaian untuk menyelesaikan konflik di Irak.

Kemungkinan penyelesaian damai di Irak, apalagi kalau 

PBB diserahi tugas “mengamankan” negeri itu, haruslah mem­

perhitungkan hal lain, yaitu perlunya menciptakan perdamaian 

abadi di kawasan Timur Tengah. Karena itulah, penulis meng­

usulkan perdamaian di Irak harus terkait langsung dengan per­

damaian abadi antara Palestina dan Israel. Dengan demikian, 

selanjutnya tidak ada “pengaruh­pengaruh negatif” perkembang­

an konflik antara Israel dan Palestina dengan perkembangan di 

Irak. Kalau kita berpikir secara rasional dan obyektif, tentu akan 

sampai ke tingkat itu. Dalam hal ini, apa yang dilontarkan penulis 

itu bukanlah sesuatu yang utopis dan dalam angan­angan saja.

Untuk mencapai perdamaian abadi antara Palestina dan 

Israel harus ada negara Palestina yang kuat, terutama industri 

dan perdagangannya. Hal itu hanya mungkin terjadi kalau ada 

pemerintahan yang kuat dan tangguh dalam negara Palestina 

(State of Palestine). Jika Israel memiliki industri dan perdagang­

an yang tangguh, itu tidak lain pada masa permulaanya negeri 

itu mengenal sistem Kibutz (koperasi pertanian) yang sangat 

tangguh. Sebagai tandingannya negara Palestina harus mengem­

bangkan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) yang tangguh, guna 

melakukan pembangunan industri dan perdagangan yang tang­

guh pula. Untuk hal ini , disamping pemerintahan yang mo­

derat dan kuat, juga diperlukan bantuan ekonomi secara besar­

besaran dalam bentuk kredit murah bagi negeri Palestina.

adakaH PERdamaIan dI IRak?

Israel dan Palestina yang kuat, merupakan persyaratan uta­

ma bagi perdamaian dunia kawasan Timur Tengah, sedangkan 

perdamaian seperti itu sangat tergantung kepada kemampuan 

dunia untuk menciptakan perdamaian abadi di Irak. Inilah sebab­

nya mengapa penulis mengusulkan kaitan langsung antara per­

damaian di Irak dengan antara Israel­Palestina. Sebagai orang 

luar yang memperhatikan perkembangan di kawasan Timur Te­

ngah —karena merupakan bagian dari dunia Islam yang digeluti­

nya—, maka usul itu tentunya memiliki unsur kemungkinan ga­

gal yang cukup besar, namun  ini tidak menghilangkan keharusan 

kita terus berupaya menciptakan perdamaian di manapun juga.

Usul di atas penulis kemukakan dalam berbagai forum, an­

taranya pada ujung bulan Maret 2003, dalam sebuah konferensi 

penciptaan perdamaian di seluruh dunia di selenggarakan oleh 

IIFWP (Interreligius and International Federation for World 

Peace) di Washington DC. Begitu juga hal itu penulis kemukakan 

dalam rangkaian ceramah di Michigan University, Ann Arbor, 

pada akhir Maret 2003. Penulis lagi­lagi mengemukakan hal itu 

dalam seminar yang diselenggarakan Strategic Dialogue Centre 

Universitas Netanya, Israel di New York awal Februari 2003 lalu, 

berjudul “Mencari Kerangka Perdamaian di Timur Tengah”. Da­

lam seminar di New York itu, penulis juga mengemukakan pen­

tingnya mengenal sebab­sebab terorisme yang dilakukan sebagi­

an sangat kecil kaum muslimin, dengan atas nama agama mereka, 

seperti peledakan bom di Bali 

Di antara sebab­sebab yang dikemukakan penulis adalah 

kelalaian sebagian kecil kalangan pemuda muslimin untuk mem­

bedakan antara institusi (lembaga) dan budaya (kultur) Islam. 

Jika ada yang melupakan budaya (kultur) itu, tentu ada ketakut­

an bahwa institusi (kelembagaan) ke­Islaman sedang diancam 

oleh peradaban Barat dalam bentuk modernisasi. Dengan sendiri­

nya, mereka merasa tantangan modernisasi dan ke barat­baratan 

sulit untuk dihadapi, maka mereka menggunakan segala macam 

cara (termasuk penggunaan kekerasan) dalam “mempertahan­

kan” agama yang mereka cintai.

Dalam hal itu, mereka tidak memperhitungkan nyawa para 

korban yang berjaAllah , yang terpenting “rasa puas” karena telah 

g 381 h

dapat “membela agama”. Sikap mental yang demikian ini tentu 

saja negatif dan perlu diganti dengan tindakan lain yang lebih 

positif. Hal itu akan terjadi jika pemikiran yang ada diarahkan 

kepada penciptaan kondisi damai di manapun kaum muslimin 

berada, termasuk di kawasan Timur Tengah. 

Kalau kita palingkan perhatian dari kawasan ini , 

maka akan tampak betapa besar keragaman cara hidup di kalang­

an kaum muslimin yang berbeda etnis, bahasa, agama dan bu­

daya yang mereka miliki. Kalau kita sadari hal ini dengan men­

dalam, maka tampak nyata bagi kita, bahwa ragam dan jenis 

kaum muslimin pun sangat banyak jumlahnya. Kewajiban kita 

untuk melestarikan hal itu. h

adakaH PERdamaIan dI IRak?

Judul dan sekaligus pertanyaan di atas, dapat dijawab de­

ngan berbagai cara. Secara historis, perang dunia kedua 

berakhir dengan kalahnya Adolf Hitler1 dan Jenderal Tojo2 

(Jepang) pada tahun 1945. Peperangan yang terjadi setelah itu 

secara umum dapat dianggap sebagai perang kemerdekaan