sejarah al-quran 2

sejarah al-quran 2


 


otoritas bagi dirinya yang berada di luar kontrol mereka, yang

sekaligus tidak berkontradiksi dengan wahyu-wahyu

terdahulunya. Ia kemudian berpaling kepada nabi-nabi

terdahulu yang tidak dapat membantahnya.86

Pernyataan di atas merupakan formula klasik yang dirumuskan

kalangan orientalis pada umumnya untuk menunjukkan bahwa

saat  kaum Yahudi dan Kristen di Madinah menolak mengakui

risalah kenabian Muhammad, ia lalu berpaling kepada Ibrahim –

yang dikatakan di dalam al-Quran bukan seorang Yahudi atau

Kristen, namun  seorang yang hanîf dan muslim87  – dan pada titik

inilah terjadi “nasionalisasi” atau “arabisasi” Islam. Kiblat – arah

dalam shalat – yang semula ke Yerusalem, diubah menghadap ke

Ka‘bah di Makkah; sementara ziarah keagamaan ke Ka‘bah

ditetapkan sebagai salah satu rukun Islam.88

Pandangan tentang “nasionalisasi” atau “arabisasi” Islam ini

secara sederhana dapat ditolak dengan mengemukakan bahwa

monoteisme al-Quran yang sejak semula terkait erat dengan

humanisme dan rasa keadilan sosio-ekonomik, bukanlah sesuatu

yang khas Arab. Bahwa Nabi dengan segera terlibat konflik dengan

kaum-kaum Yahudi Madinah, merupakan suatu kenyataan historis

yang tidak dapat dipungkiri siapapun. Hal ini dirujuk al-Quran

dalam berbagai kesempatan.89  Argumentasi tentang peran Yahudi

dalam kasus perpindahan kiblat tampaknya terlalu dibesar-besarkan.

Bukti semacam ini tentunya lebih berbobot jika dapat diperlihatkan

bahwa dalam rangka mengambil hati orang-orang Yahudi, Nabi telah

menunjuk Yerusalem sebagai kiblat setibanya di Madinah. Namun,

kenyataan historisnya tidaklah demikian. Berkiblat ke Yerusalem

tampaknya diperintahkan di Makkah saat  kaum Muslimin yang

tertindas tidak diperbolehkan pergi ke Ka‘bah – pusat keagamaan

seluruh bangsa Arab – untuk melakukan shalat. Penunjukan Yerusalem

sebagai kiblat juga pada hakikatnya ditujukan untuk menegaskan

perbedaan mendasar antara penyembah berhala dan kaum Muslimin.

Al-Quran sendiri mengatakan: “Dan tidaklah Kami jadikan kiblat

yang kamu ikuti sebelum ini (yakni Yerusalem) kecuali cuma hanya  untuk

mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke

belakang” (2:143).

Sementara penetapan haji ke Makkah tentu saja tidak ada

hubungannya dengan sikap orang-orang Yahudi Madinah terhadap

Nabi dan misi kenabiannya, namun  lebih didasarkan pada

pertimbangan yang bersifat politik dan ekonomik. Kekuasaan politik

dan ekonomik yang dimiliki Makkah – sebagai tempat suci yang

diziarahi seluruh bangsa Arab – jelas merupakan faktor penentu

diwajibkannya ziarah ke Makkah, disamping adanya kepercayaan

tentang kesucian Ka‘bah yang mesti ditegakkan kembali selaras

dengan tradisi keagamaan Ibrahim. sebab  itu, kontrol politik atas

Makkah mesti diperoleh Nabi untuk membuat perubahan-

perubahan ritual dan sosio-religius lainnya menjadi memungkinkan,

dan inilah yang diusaha kannya segera sesudah  hijrah ke Madinah.

Lebih jauh, jelas tidak ada untungnya bagi Nabi dan Islam untuk

melakukan kompromi dengan segelintir kaum Yahudi Madinah –

sekalipun posisi mereka sangat strategis di kota ini  – dengan

melepaskan Makkah dan, konsekuensinya, daerah-daerah Arab

lainnya.90

Di samping itu, Nabi juga menyerang kafilah-kafilah dagang

Makkah yang hendak ke atau kembali dari Siria, tidak cuma hanya  untuk

mendapatkan pampasan perang, namun  terutama untuk mengisolasi

Makkah secara ekonomik agar warga  kota ini  tunduk

kepada Islam. Dengan demikian, tindakan razia terhadap kafilah-

kafilah dagang ini jelas merupakan suatu strategi militer yang

cemerlang. Permusuhan aktif yang sejak semula ditunjukkan orang-

orang Makkah kepada Islam dan pandangan mereka tentang Nabi

beserta kaum Muhajirin sebagai buronan atau pengkhianat yang

mesti dimusnahkan, barangkali telah membuat Nabi mengambil

tindakan untuk melakukan penyergapan terhadap kafilah-kafilah

dagang Makkah. Dengan kata lain, keadaan perang telah tercipta di

antara kedua belah pihak. Al-Quran sendiri memberi kesaksian yang

jelas tentangnya saat  merujuk kepada suatu bentrokan yang terjadi

antara suatu kafilah niaga Makkah dengan sekelompok Muhajirin

dalam bulan “haram” – bulan yang menurut norma antar-suku

Arabia dilarang melakukan peperangan.91  Dalam 2:217 disebutkan:

Mereka bertanya kepadamu tentang peperangan dalam bulan

haram. Katakanlah: Berperang dalam bulan itu yaitu  dosa

besar; namun , lebih berat lagi yaitu  menghalangi manusia dari

jalan Allah dan kafir kepada-Nya, dan (menghalangi) orang

memasuki Masjid al-Haram serta mengusir mereka dari

dalamnya. Mengusir orang dari kampung halamannya yaitu 

lebih berat di sisi Allah. Dan berbuat fitnah itu lebih berat dari

pada membunuh. Mereka (orang-orang Makkah) akan terus

memerangi kamu sampai berhasil memurtadkan kamu dari

agamamu, seandainya mereka sanggup.

Dengan demikian, dari bagian al-Quran di atas, dapat

disimpulkan bahwa serangkaian operasi militer atau razia yang

dilancarkan kaum Muslimin dari Madinah terhadap kafilah-kafilah

dagang Makkah bukanlah tanpa provokasi sebelumnya dari orang-

orang Quraisy. Ketegangan-ketegangan ini akhirnya memuncak

dalam suatu peperangan terbuka di Badr, yang terletak beberapa

mil di barat daya Madinah. Suatu kafilah niaga Makkah yang

dipimpin Abu Sufyan, dengan sokongan 900 prajurit dari Makkah,

berhadapan dengan kurang lebih 300 tentara Muslim yang dipimpin

langsung Nabi pada bulan Ramadlan tahun ke-2 Hijriyah.

Hasilnya, kekalahan besar diderita pihak Makkah dan beberapa

pemimpin mereka tewas dalam pertempuran – diperkirakan sekitar

70 orang Quraisy, termasuk pemimpin aristokrat Makkah, Abu Jahal

– serta banyak di antaranya yang tertawan pasukan Muslim. Sebagian

dari tawanan dilepaskan dengan tebusan, sementara sebagian lagi

dibebaskan dengan syarat mengajarkan kaum Muslimin membaca

dan menulis. Al-Quran menyebut kemenangan dalam Perang Badr

direbut berkat pertolongan Allah: “Sesungguhnya Allah telah

menolong kamu di Badr, padahal kamu (saat  itu) dalam keadaan

lemah. sebab  itu, bertakwalah kepada Allah, susaha  kamu

mensyukurinya” (3:123).92

Segera sesudah  Perang Badr, Nabi menandatangani sebuah pakta

dengan beberapa suku Badui yang kuat. Hubungan ini dijalin suku-

suku ini  lantaran melihat kekuatan kaum Muslimin yang

semakin meningkat dari waktu ke waktu. Dalam pakta itu, kedua

belah pihak bersumpah untuk saling tolong-menolong. namun ,

pakta ini tidak bertahan lama. Selang beberapa waktu kemudian,

Nabi menyerang suku Yahudi Madinah, banu Qainuqa, yang

berkomplot dengan orang-orang Makkah dalam melanggar isi

Piagam Madinah dan memaksa mereka angkat kaki ke

Transyordania.

Kekalahan pahit di Badr dan tetap dilakukannya razia terhadap

kafilah-kafilah dagang Makkah telah membuat orang-orang Quraisy

memandang perlu diambil langkah-langkah yang lebih tegas untuk

membalas kekalahan mereka. Pada 3H/625, 3000 prajurit Makkah

di bawah pimpinan Abu Sufyan bergerak ke Madinah. Di bawah

desakan para sahabat – yang sebenarnya bertentangan dengan

penilaiannya tentang memerangi pasukan Quraisy di kota Madinah

– Nabi memutuskan berperang di dekat Uhud.

Pada mulanya, pihak Makkah terdesak dalam pertempuran.

namun , pasukan pemanah Muslim yang ditempatkan di atas bukit

untuk melindungi balatentara Muslim lainnya, meninggalkan

posisi strategis mereka dan terjun ke kancah pertempuran, sebab 

khawatir tidak akan diperhitungkan dalam pembagian pampasan

perang. Akhirnya, keadaan berbalik secara drastis: pasukan Mus-

lim diporakporandakan bala tentara Makkah, dan tersebar desas-

desus bahwa Nabi –  yang terluka – telah gugur.93

Orang-orang Makkah tidak lagi melanjutkan pertempuran dan

kembali ke kota mereka dengan kemenangan gilang-gemilang di

tangan. Banyak sahabat Nabi yang gugur dalam pertempuran

Uhud, termasuk Hamzah ibn Abd al-Muthalib, dan kekalahan

balatentara Muslim ini juga memberi andil yang cukup besar dalam

menjatuhkan pamor mereka. Namun, dengan penuh kesabaran

Nabi berusaha  membangun kembali kekuatan moral pengikutnya.

Al-Quran, disamping mengeritik kaum Muslimin, juga menghibur

dan membangkitkan kembali semangat mereka sesudah  kekalahan

pahit ini .94  Sementara itu, orang-orang Yahudi Madinah yang

tidak ikut berpartisipasi dalam Perang Uhud tidak lagi

merahasiakan kegembiraan mereka atas kemalangan yang menimpa

kaum Muslimin. Demikian pula, suku-suku Badui yang terikat

pakta dengan kaum Muslimin tidak lagi menunjukkan sikap

bersahabat.

Pada 4H/624, salah satu suku Yahudi Madinah, banu Nadlir,

diusir dari kota itu lantaran sikap permusuhan yang mereka

tunjukkan kepada kaum Muslimin dan kecurigaan akan maksud

mereka membunuh Nabi. Mereka diperintahkan meninggalkan

Madinah dalam jangka waktu 10 hari dan diperkenankan membawa

segala harta bendanya. Pada mulanya, suku ini menyatakan

kesediaannya untuk angkat kaki, namun  Abd Allah ibn Ubay –

pemimpin kaum munafik Madinah – membujuk mereka agar tetap

tinggal dalam benteng dan berjanji akan mengirimkan bantuan

militer.

Berharap akan memperoleh bantuan – di samping dari Ubay,

juga dari banu Qurayzhah – mereka bersiap siaga untuk mengadakan

perlawanan kepada kaum Muslimin. saat  batas waktu yang

ditetapkan telah habis, kaum Muslimin mengepung benteng banu

Nadlir. Bala bantuan yang diharapkan suku Yahudi ini tidak kunjung

tiba. Akhirnya, sesudah  kaum Muslimin mulai menebang pohon-

pohon kurma mereka, banu Nadlir menyerah serta terusir

sebagiannya ke Siria dan sebagian lagi ke Khaibar. Kisah pengusiran

suku Yahudi ini  dituturkan al-Quran dalam 59:1-17.

Sementara kaum Muslimin tengah berusaha  memulihkan

kondisinya, suatu ancaman besar kembali datang dari Makkah.

Kaum Quraisy, atas hasutan orang-orang Yahudi Khaibar dan

dengan bantuan suku-suku Badui lainnya mengerahkan sekitar

10.000 prajurit untuk menduduki Madinah. Mereka sadar bahwa

kemenangan di Uhud tidak begitu menentukan dan yaitu  lebih

penting menaklukkan Madinah untuk memadamkan api Islam.

Pada 5H/627, bergeraklah pasukan besar ini  ke Madinah yang

membuat warga  Muslim di kota itu sangat kuatir. Kekuatiran

ini semakin menjadi-jadi lantaran sikap yang dipertontonkan kaum

munafik dan diketahuinya kenyataan bahwa kaum Yahudi Madinah

lainnya, banu Qurayzhah, menggalang persekutuan dengan orang-

orang Makkah.95

Nabi, atas saran  sahabat Salman al-Farisi, memerintahkan

penggalian parit-parit di depan bagian-bagian kota yang tidak

terlindungi. Balatentara Makkah beserta sekutu-sekutunya

mengepung kota Madinah, namun  tidak berhasil memasuki, apalagi

mendudukinya. Pengepungan ini memakan waktu lama dan

berlarut-larut, sehingga melemahkan para pengepung itu sendiri.

Akhirnya, dengan kerugian sangat besar, pasukan pengepung pun

mengundurkan diri dan kembali ke Makkah. Kaum Muslimin

mengakhiri Perang “Parit” (khandaq, kata pinjaman dari bahasa

Persia) – demikian lazimnya perujukan kepada peperangan ini

dalam rekaman-rekaman sejarah – dengan kemenangan yang gilang

gemilang.

Perilaku suku-suku Badui, kaum munafik dan orang-orang

Yahudi selama beberapa kali peperangan barangkali cukup relevan

diamati sejenak. Apabila kaum Muslimin memperoleh kemenangan

dalam pertempuran, maka orang-orang Badui sangat bersemangat

untuk menggalang pakta perdamaian dan saling tolong-menolong

dengan kaum Muslimin; namun bila keadaan sebaliknya yang

terjadi, maka orang-orang Badui itu mengkhianati pakta-pakta yang

mereka buat. Al-Quran menggambarkan perilaku suku-suku Badui

ini sebagai berikut: “Orang-orang Badui itu yaitu  yang paling

hebat kekufuran dan kemunafikannya serta yang paling condong

tidak melakukan batasan-batasan yang diturunkan Allah kepada

Rasul-Nya” (9:97). Sementara orang-orang munafik, yang

merupakan musuh dalam selimut, terlihat menghilang dengan

meninggalnya  Abd Allah ibn Ubay pada 9H/631.

Dalam kaitannya dengan kaum Yahudi, seperti telah diutarakan

di atas, mereka secara terang-terangan maupun gelap-gelapan telah

menjalin hubungan dengan Makkah dan kaum munafik. Al-Quran

berulang kali mempersalahkan mereka sebagai orang-orang yang

melanggar pakta-pakta.96  Itulah sebabnya, sesudah  setiap peperangan

besar, Nabi berpaling kepada salah satu suku Yahudi dan

mempersalahkannya lantaran tidak setia kepada perjanjian yang

dibuat: sesudah  Badr, banu Qainuqa dipersalahkan dan diusir dari

Madinah; sesudah  Uhud, giliran banu Nadlir mendapatkan

perlakuan yang sama; dan sesudah  Perang Khandaq – dimana kaum

Yahudi Khaibar dan banu Qurayzhah menjalin persekongkolan

dengan orang-orang Makkah – suku Yahudi terakhir di Madinah

itu diserang kaum Muslimin. Peperangan yang mengakibatkan

dibantainya beberapa  besar orang-orang Yahudi banu Qurayzhah

ini, dan mengakibatkan punahnya suku ini , dirujuk al-Quran

di beberapa tempat.97

sesudah  melakukan “pembersihan” Yahudi di Madinah, kaum

Muslimin tetap melanjutkan sergapan terhadap kafilah-kafilah

dagang Makkah hingga 6H/626-7. Beberapa serbuan juga dilakukan

terhadap suku-suku Badui untuk menghukum mereka atas

pelanggaran-pelanggaran perjanjian yang dilakukan. Salah satu

ekspedisi punitif ini yaitu  yang dilakukan terhadap banu

Mushthaliq pada 5H. Ekspedisi ini menarik disebut, sebab  terkait

dengan suatu peristiwa yang menimpa Aisyah, (w. 678), salah satu

istri Nabi, dan menyebabkan ketegangan antara kaum Muhajirin

dan Anshar. Aisyah, yang tertinggal di suatu tempat sesudah 

ekspedisi itu, ditemukan dan dibawa pulang ke Madinah oleh

Shafwan ibn Mu‘aththal. Kejadian ini menimbulkan desas-desus

di kalangan kaum Muslimin yang membahayakan posisi Aisyah

sebagai isteri Nabi serta mengancam putusnya pertalian saudara

antara Muhajirin dan Anshar.  Akhirnya, wahyu turun

menyelamatkan Aisyah dari berbagai desas-desus dan mencairkan

ketegangan antara kedua pengikut Nabi ini .98

Pada penghujung 6H, posisi Nabi di Madinah semakin mapan.

Sekalipun masih menjadi buronan orang-orang Makkah dan tidak

diperkenankan berziarah ke tempat-tempat suci di kota ini ,

Nabi – mungkin melalui sejenis agensi rahasia yang dijalin lewat

klannya – mengetahui opini publik yang berkembang di Makkah

(cf. 48:11-17; 60:7-9). Jumlah yang makin membesar di kalangan

warga  kota ini telah lelah berperang. Mereka mulai berpikir

bahwa yaitu  lebih menguntungkan bagi perniagaan Makkah, jika

perdamaian diwujudkan dengan musuh bebuyutannya yang tidak

terkalahkan, khususnya sesudah  Islam mewajibkan pengikutnya

berziarah ke Makkah.

Melihat kondisi Makkah semacam itu, pada 6H/628, Nabi

menyatakan keinginannya untuk melakukan umrah ke kota

ini . Bersama pengikutnya, Muhammad bergerak dari Madinah

ke Makkah. Ada bagian al-Quran yang mengisahkan bahwa Nabi

mengajak suku-suku Badui tertentu untuk menemaninya dalam

perjalanan itu, namun  mereka menolak ajakannya (48:llf.). saat 

mendekati Makkah, beberapa  prajurit dikirim dari dalam kota

untuk menahan kaum Muslimin. sebab  itu, Nabi memutuskan

berkemah di Hudaibiyah dan melakukan negosiasi dengan orang-

orang Quraisy. Ia mengutus Utsman ibn Affan (w. 656) ke Makkah

untuk berunding. namun , saat  tidak ada  tanda-tanda bahwa

Utsman akan kembali dan muncul desas-desus bahwa ia telah

dibunuh, Nabi mengumpulkan pengikutnya serta mengambil

sumpah setia mereka – dikenal sebagai bay‘ah al-ridlwãn dan dirujuk

dalam 48:10,18 – untuk memerangi suku Quraisy hingga

kemenangan akhir tercapai. Akibat sumpah setia ini, kaum Quraisy

melepas Utsman dan mengirim utusan untuk melakukan

perundingan dengan kaum Muslimin, yang berujung dengan

ditandatanganinya Perjanjian Hudaibiyah.

Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa kaum Muslimin akan

menunda ibadah umrahnya hingga tahun depan. Sebenarnya klausa

ini ditentang keras sebagian pengikut Nabi, namun  kenyataan bahwa

orang-orang Quraisy terpaksa berunding dan membuat  perjanjian

dengan   kaum  Muslimin  dalam kedudukan  yang  setara, jelas

merupakan suatu kemenangan diplomatik yang besar bagi kaum

Muslimin. Para sejarawan Barat modern bahkan memandang

perjanjian ini  sebagai suatu langkah diplomasi Nabi yang

piawai.99  sesudah  penandatanganan perjanjian Hudaibiyah,

Muhammad dan pengikutnya kembali ke Madinah.

Pada permulaan 7H (628-9), Nabi dan pengikutnya

menaklukkan oase kaya Khaibar, yang dihuni orang-orang Yahudi.

Koloni Yahudi lainnya, Wadi al-Qura, juga jatuh ke tangan kaum

Muslimin dalam ekspedisi ini, yang mendatangkan banyak

pampasan  perang bagi mereka.100   Suatu hal baru  dilembagakan

Nabi dalam penaklukan Khaibar, yang pada masa-masa selanjutnya

dipraktekkan dalam penyebarluasan domain politik Islam: Nabi

tidak menghukum mati atau mengusir warga  Khaibar, namun 

membiarkan mereka sebagaimana adanya dan mengharuskan

membayar iuran setiap tahun. Belakangan, dalam terminologi fiqh,

orang-orang taklukan semacam ini disebut dzimmî serta iuran yang

mesti dibayar disebut jizyah (pajak kepala) dan kharaj (pajak tanah).

Sesuai dengan isi perjanjian Hudaibiyah, pada 7H/629

Muhammad beserta pengikutnya melakukan umrah ke Makkah.

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  47

Salah satu peristiwa yang signifikan di sini yaitu  masuk Islamnya

beberapa pemuka Quraisy yang penting seperti Amr ibn al-Ash

(w. 663) dan Khalid ibn Walid (w. 642). sesudah  itu, Nabi tetap

melakukan ekspedisi-ekspedisi militernya. Suatu ekspedisi ke

Transyordania yang dipimpin Zayd ibn Tsabit (w. 655) mengalami

kekalahan di  Mu’ta.  namun , beberapa   besar  suku  Yahudi  kini

mulai  melihat sisi-sisi positif bila bergabung dengan kaum

Muslimin. Akhirnya, suku-suku ini – bahkan suku-suku besar

seperti banu Sulaim – bergabung dengan kaum Muslimin dan

menyatakan keislamannya.

Di perkirakan pada masa inilah Muhammad mengirim surat

kepada Raja Ethiopia, Gubernur Mesir, Kaisar Bizantium serta

Persia, dan lainnya, yang berisi seruan kepada mereka untuk

memeluk Islam. Sebagian besar penulis Barat meragukan keabsahan

surat-surat ini  dan menilainya sebagai rekayasa belakangan

untuk menguniversalkan risalah yang dibawa Nabi. Skeptisisme

ini dikedepankan demi membela sudut pandang mereka tentang

Islam sebagai agama nasional Arab. namun , sebagaimana telah

ditunjukkan, gagasan tentang agama nasional itu sama sekali tidak

memiliki basis yang kuat.

Lantaran pelanggaran yang dilakukan orang-orang Quraisy

terhadap perjanjian Hudaibiyah – yakni dengan mendukung suku

Bakr melawan suku Khuza‘ah yang terikat perjanjian tolong-

menolong dengan kaum Muslimin – maka dengan dukungan bala-

tentara sebesar 10.000 prajurit Nabi bergerak ke Makkah untuk

menaklukkannya pada 8H/629. saat  pasukan Muslim tiba di

luar kota ini , pemuka-pemuka suku Quraisy – diantaranya

Abu Sufyan – diutus untuk merundingkan penyerahan kota

Makkah secara damai. Akhirnya, Nabi memasuki kota kelahirannya

praktis tanpa perlawanan dan hampir seluruh warga  kota

ini  menyatakan keimanan kepada risalah yang dibawanya.

Amnesti diumumkan bagi seluruh musuh Islam, dan berhala-

berhala penghias Ka‘bah dihancurkan.

Tahap akhir kehidupan Muhammad ditandai dengan meluas

otoritasnya ke sebagian besar penjuru Arabia. Selama dua tahun

sesudah  fath makkah, sebagian besar warga  Arabia secara suka

rela memeluk Islam. Sementara kota Thaif dan suku-suku Hawazin

melakukan perlawanan sengit. namun , yang lebih dahulu diserbu

yaitu  suku-suku Hawazin. Dalam pertempuran melawan suku-

suku ini  di Hunain, hampir saja pasukan Muslim menghadapi

bencana lantaran rasa percaya diri yang berlebihan sebab 

berjumlah lebih besar dari musuh.101   Akhirnya, kemenangan bisa

mereka peroleh.

Langkah selanjutnya yaitu  menundukkan Thaif. Balatentara

Muslim mengepung kota itu yang berkesudahan dengan pernyataan

keislaman warga nya. sesudah  peristiwa ini, tidak ada lagi

konsentrasi suku-suku pengembara di Arabia – selain di bagian

utara – yang cukup kuat berperang melawan kaum Muslimin.

Sekitar 9H/ 630-1, sebagian besar suku-suku di Arabia mengirim

delegasi-delegasi ke Madinah untuk menyatakan ketundukannya

kepada kaum Muslimin dan merundingkan syarat-syarat

persekutuan sehubungan dengan pengakuan keislaman mereka.102

Pada tahun yang sama, Nabi beserta 30.000 prajurit Muslim

melakukan suatu ekspedisi militer terhadap kelompok-kelompok

Kristen di Transyordania. Ekspedisi ini, yang mencatat sukses besar,

tampaknya memiliki tujuan strategis untuk membuka rute

perluasan Islam ke Siria. Selama masa perhentian di Tabuk,

beberapa  negeri Kristen dan Yahudi di bagian utara Arabia – seperti

Raja Kristen Yuhanna di Aila, orang-orang Adzruh dan kaum

Yahudi di kota pelabuhan Makna – menyatakan ketundukannya

kepada otoritas kaum Muslimin. Sementara itu, kota penting

Dumat al-Jandal berhasil ditaklukkan pasukan Muslim di bawah

pimpinan Khalid ibn Walid. Al-Quran merujuk ekspedisi ini di

beberapa tempat.103

Pada 10H/632, Nabi menunaikan ibadah haji ke Makkah, yang

merupakan ibadah haji terakhir baginya. Dalam kesempatan

pelaksanaan ibadah ini  ia menyampaikan suatu khutbah yang

menekankan persaudaraan kaum Muslimin, persamaan harkat dan

martabat manusia tanpa memandang warna kulit dan asal-usul

etnis, serta menggantikan pertalian darah kesukuan dengan ikatan

keimanan. Khutbah ini merangkum berbagai pembaruan moral,

sosio-ekonomik dan keagamaan yang dicanangkan Muhammad.

Sekembalinya ke Madinah, Nabi jatuh sakit dan dipanggil

pulang ke hadirat Ilahi pada 13 Rabi‘ al-Awwal 11H, bertepatan

dengan 8 Juni 632. Sebelum ajal menjemputnya, Nabi masih sempat

merencanakan suatu ekspedisi ke utara, di luar tapal batas Arabia.

Hal ini menunjukkan bahwa Nabi secara pasti tidak akan

membatasi perkembangan Islam cuma hanya  di jazirah Arab. Baginya,

Islam harus melangkah ke luar jazirah ini . berdasar  logika

semacam ini, keberadaan surat-surat yang ditulis Nabi kepada Raja

Ethiopia, Gubernur Mesir, dan kaisar-kaisar Bizantium serta Per-

sia, yang berisi seruan kepada mereka untuk memeluk Islam, pada

prinsipnya dapat diterima sekalipun teks surat-surat ini  yang

kita warisi dewasa ini bisa diragukan otentisitasnya. Nabi

tampaknya telah menggariskan tekad bahwa Islam mesti melangkah

ke luar Arabia, sejalan dengan universalitas risalah yang

didengungkannya.


BAB 2

Asal-Usul al-Quran

Derivasi dan Sinonim

Kitab suci kaum Muslimin, yang berisi kumpulan wahyu Ilahi

yang diturunkan kepada Nabi Muhammad selama kurang lebih

23 tahun, secara populer dirujuk dengan nama “al-Qur’ãn” (



). Sebagian besar sarjana Muslim memandang nama ini 

secara sederhana merupakan kata benda bentukan (mashdar) dari

kata kerja (fi‘l ) qara’a ( 

), “membaca.” D engan demikian al-qur’ãn

( 

) bermakna “bacaan” atau “yang dibaca” (maqrû’). 1   Dalam

manuskrip al-Quran beraksara kufi yang awal, kata ini ditulis tanpa

memakai  hamzah – yakni al-qurãn – dan hal ini telah

menyebabkan beberapa  kecil sarjana Muslim memandang bahwa

terma itu diturunkan dari akar kata qarana (

 ), “menggabungkan

sesuatu dengan sesuatu yang lain” atau “mengumpulkan,” dan al-

qurãn (  

 ) berarti “kumpulan” atau “gabungan.”2  namun ,

pandangan minoritas ini harus diberi catatan bahwa penghilangan

hamzah merupakan suatu karakteristik dialek Makkah atau Hijazi,3

dan karakteristik tulisan al-Quran dalam aksara kufi yang awal. Di

samping itu, sebagaimana akan ditunjukkan di bawah, terma qur’ãn

bertalian erat dengan akar kata qara’a dalam penggunaan al-Quran

sendiri.

Para sarjana Barat yang belakangan pada umumnya menerima

pandangan Friedrich Schwally bahwa kata qur’ãn merupakan derivasi

(isytiqãq) dari bahasa Siria atau Ibrani: qeryãnã, qiryãnî (“lectio,”

“bacaan” atau “yang dibaca”), yang digunakan dalam liturgi Kristen.4

Kemungkinan terjadinya pinjaman dari bahasa Semit lainnya dalam

kasus ini bisa saja dibenarkan, mengingat kontak-kontak yang


dilakukan orang-orang Arab dengan dunia di luarnya.5  Lewat

kontak-kontak semacam itu, berbagai kata non-Arab telah

dimasukkan ke dalam bahasa Arab atau “diarabkan.” namun ,

sebagaimana akan ditunjukan di bawah, terma qur’ãn – dalam

kaitannya dengan kitab suci kaum Muslimin – pada prinsipnya

berasal dari penggunaan al-Quran sendiri yang didasarkan pada

bentuk mashdar fu‘lãn dari akar kata qara’a.

Kata kerja qara’a ( 

) dan berbagai bentuk konjugasinya

(tashrîf) muncul 17 kali di dalam al-Quran. Kata kerja ini, dengan

rujukan kepada pembacaan wahyu (al-Quran) oleh Muhammad,

muncul dalam beberapa kesempatan (16:98; 17:45,106 cf. 7:204;

84:21).6  namun , dalam konteks lainnya (75:18; 87:6), disebutkan

bahwa Tuhanlah yang membacakan wahyu kepada Muhammad.

Dalam 73:20, ada  dua kali perintah membacakan bagian-bagian

termudah al-Quran, yang ditujukan kepada pengikut-pengikut

Muhammad saat  itu. Sementara dalam 26:198 f., dikatakan bahwa

jika al-Quran diturunkan kepada seorang non-Arab (a‘jam) lalu ia

bacakan kepada orang-orang kafir (Makkah), maka orang-orang

ini  tidak akan mempercayainya. Jadi, dalam keseluruhan

konteks yang telah dikemukakan, bisa dilihat pertalian erat antara

akar kata qara’a dengan al-Quran, yang membuktikan bahwa terma

al-qur’ãn memang diturunkan dari akar kata ini .

Kemunculan kata kerja qara’a – dengan makna “membaca” –

dalam konteks-konteks al-Quran lainnya tidak dikaitkan dengan

qur’ãn, namun  dengan kitãb. Dalam 17:93, Muhammad ditantang

orang-orang kafir untuk mendatangkan dari “langit” sebuah kitab

yang dapat mereka “baca” sebagai bukti kerasulannya. Dalam tiga

bagian al-Quran lainnya (17:14,71; dan 69:19), kata kerja ini 

dikaitkan dengan “pembacaan” kitab rekaman perbuatan manusia

di Hari Penghabisan. Konteks terakhir (10: 94) merujuk kepada

orang-orang tertentu yang sezaman dengan Nabi – barangkali

menunjuk kepada orang-orang Yahudi dan Kristen – sebagai “or-

ang-orang yang membaca kitab sebelum kamu.” Jadi, dalam konteks

apapun,  kata kerja qara’a digunakan al-Quran dalam pengertian

“membaca,” baik dikaitkan dengan qur’ãn ataupun kitãb.

Kata qur’ãn, baik dengan atau tanpa kata sandang tertentu

(’adãt al-ta‘rîf, yakni al-), muncul sekitar 70 kali di dalam al-Quran

dengan pengertian yang beragam. Dalam 75:17-18, kata ini


digunakan untuk merujuk wahyu-wahyu individual yang

disampaikan satu-per-satu kepada Nabi,7  atau sebagai suatu istilah

umum untuk wahyu Ilahi yang diturunkan bagian demi bagian.8

Sementara pada sebagian konteks lainnya, al-qur’ãn – terkadang

tanpa artikel penentu (al ) – disebut sebagai suatu versi berbahasa

Arab dari al-kitãb yang ada di Lawh mahfûzh.9  Kata ini juga

merujuk kepada sekumpulan wahyu Ilahi yang diperintahkan

untuk dibaca.10  namun , penggunaan terma al-qur’ãn yang paling

dekat dengan pengertian yang dipahami dewasa ini – yakni sebagai

kitab suci kaum Muslimin – ada  di dalam suatu konteks

(9:111), di mana kata ini disebut secara bergandengan dengan dua

kitab suci lain (Tawrat dan Injil) dalam suatu konstruksi (tarkîb)

yang memberi kesan tentang tiga kitab suci yang paralel.

Sebagai alternatif untuk kata al-qur’ãn, kitab suci kaum

Muslimin juga lazim dirujuk dengan terma al-kitãb (

). Kata

ini muncul di dalam al-Quran sebanyak 255 kali dalam bentuk

tunggal dan 6 kali dalam bentuk jamak (kutub). Penggunaan kata

kitãb yang paling sering di dalam al-Quran yaitu  dalam kaitannya

dengan wahyu Tuhan kepada para nabi. Jadi, kepada para nabi

sebelum Muhammad telah diturunkan kitãb (2:213; 3:81; dll.). Kitãb

telah diturunkan Tuhan kepada anak keturunan Nuh dan Ibrahim

(57:26; 4:54; 6:84-89; 29:27), kepada Bani Israel (40:53; 45:16; dll.),

kepada Musa (2:53,87; 6:154; 11:110; 41:45; 17:2; 23:49; 25:35;

37:117; 28:43; 32:23; dll.), kepada Yahya (19:12) dan kepada Isa

(3:48; 5:110; dll.). Sementara kepada Muhammad sendiri juga

diturunkan kitãb yang mengkonfirmasi kitab-kitab wahyu

sebelumnya (3:43; 2:89; 3:7; 4:105; 5:48; 6:92; 16:64; 46:12,30; dll.).

Makna khusus yang baru dikemukakan ini – yakni sebagai

wahyu Tuhan yang diturunkan kepada para nabi – mesti dipisahkan

dari makna kata kitãb lainnya yang digunakan di dalam al-Quran.

Kata ini secara sederhana bisa berarti “sesuatu yang tertulis” atau

“sepucuk surat” (24:33; 27:28 f.). Dalam kaitannya dengan Hari

Akhirat, kata kitãb bisa bermakna “rekaman tertulis” perbuatan

manusia (17:71; 69:19-25; 84:7,10; 18:49; 39:69; dll.) yang dipegang

malaikat pengawas manusia (82:10-12), dan akan dibentangkan

terbuka di Hari Penghisaban (81:10). Kata kitãb juga secara khusus

dikaitkan dengan pengetahuan Tuhan (6:38,59; 10:61; 11:6; 22:70;

27:74 f.; 34:3; dll.), atau kejadian-kejadian yang telah ditetapkan


Tuhan sebelumnya (17:58; 35:11; 57:22; dll.). Orang-orang yang

meninggal dikatakan menetap dalam kitãb Tuhan hingga Hari

Berbangkit (30:56).

Dua istilah lain – yakni sûrah () dan âyah () – mesti

dikemukakan di sini dalam rangka melengkapkan pengenalan dan

pemahaman kita mengenai asal-usul al-Quran. Kedua kata ini 

kini telah menjadi istilah-istilah teknis yang digunakan untuk

merujuk bagian-bagian tertentu di dalam tubuh al-Quran. Sûrah

merupakan nama yang digunakan untuk merujuk “bab” al-Quran

yang seluruhnya berjumlah 114 – menurut perhitungan mushaf

utsmani yang disepakati. Sementara ãyah digunakan untuk merujuk

bagian yang lebih kecil dari surat. Jumlah ayat sangat bervariasi di

dalam ke-114 surat dan tidak ada  kesepakatan di kalangan

sarjana Muslim mengenai penghitungan jumlah keseluruhannya.

Kata sûrah muncul sembilan kali di dalam al-Quran dalam

bentuk tunggal dan satu kali dalam bentuk jamak (suwar ). 11

Penggunaannya di dalam al-Quran merujuk kepada suatu unit

wahyu yang “diturunkan” Tuhan (9:64,86,124,127; 24:1; 47:20),

bukan dalam pengertian “surat” yang dipahami dewasa ini. Secara

kontekstual, penggunaan kata sûrah sebagai suatu unit wahyu

memiliki kemiripan dengan beberapa penggunaan kata ãyah, qur’ãn

dan kitãb di dalam al-Quran. Musuh-musuh Nabi ditantang

mendatangkan “suatu sûrah yang semisalnya” (2:23; 10:38) atau

“sepuluh suwar yang semisalnya” (11:13 cf. 28:49, di mana

tantangannya yaitu  mendatangkan suatu kitãb dari Tuhan). Jadi,

terlihat bahwa makna umum kata sûrah yang bisa disimpulkan di

sini yaitu  unit wahyu terpisah yang diturunkan  kepada Nabi

dari waktu ke waktu. namun , al-Quran tidak memberi indikasi apa

pun tentang panjang pendeknya unit wahyu ini .

Istilah berikutnya, ãyah (jamak: ãyãt), muncul sekitar 400 kali

dalam al-Quran, baik dalam bentuk tunggal maupun jamak.

Penggunaan kata ini di dalam al-Quran dapat dikelompokkan ke

dalam empat konteks (siyãq). Dalam konteks pertama, kata ãyah

merujuk kepada fenomena kealaman – termasuk manusia – yang

disebut sebagai “tanda-tanda” (ãyãt) kemahakuasaan dan karunia

Tuhan (45:3-4; 41:37,39; 42:29,32; 2:28; 10:4; 22:66; 30:40,46; 16:14;

36:73; dll.).

Dalam konteks kedua, kata ãyah diterapkan kepada peristiwa-

peristiwa atau obyek-obyek luar biasa yang dikaitkan dengan tugas

seorang utusan Tuhan dan cenderung mengkonfirmasi pesan

ketuhanan yang dibawanya (43:46-48; 40:78; 17:59; 20:17-24; 27:12-

14; 7:130-136; 7:73; 3:49; 15:73-75; 29:24; 54:15; dll.). Seirama dengan

ini, oposan-oposan Nabi Muhammad juga menuntutnya mem-

pertunjukkan suatu “tanda” (2:118; 6:37; 10:20; 13:7; 20:133; 21:5;

29:50), yang tentu saja tidak merujuk kepada “ayat-ayat” al-Quran,

namun  kepada mukjizat. Sebagaimana disebutkan dalam 40:78,

penciptaan “tanda-tanda” merupakan hak privilese eksklusif Tuhan

dan tidak seorang rasul pun yang diberi kekuasaan untuk

menciptakannya atas kehendak pribadi. Seandainya suatu “tanda”

dari jenis mukjizat ini dibawa Muhammad kepada mereka, maka

mereka – seperti ditegaskan dalam 30:58 – tetap tidak akan beriman.

Jadi, sehubungan dengan Muhammad, al-Quran pada faktanya

menolak bahwa ia memiliki mukjizat dalam pengertian

supranatural (mã fawqa al-fithrah). Namun, dalam tahun-tahun

terakhir kehidupannya, beberapa keberhasilan eksternal Nabi

dirujuk sebagai “tanda,” seperti janji perolehan pampasan perang

yang berlimpah (48:20) dan kemenangan dalam Perang Badr (3:13).

Bahkan, mayoritas sarjana Muslim memandang bahwa al-Quran

itu sendiri yaitu  mukjizat terbesar Nabi (cf. 11:12-13; 6:33-35; dll.).12

Dalam konteks ketiga, kata ãyah merujuk kepada “tanda-tanda”

yang dibacakan oleh rasul-rasul yang diutus Tuhan (39: 71; 6:130

cf. 67:8; 40:50), atau dalam kebanyakan kasus dibacakan oleh

Muhammad sendiri (31:7; 45:25; 46:7; 62:2; 65:11; dll.). Pembacaan

“tanda-tanda” ini menambah keyakinan kaum beriman, namun  para

penentang Nabi mengeritiknya sebagai “dongeng-dongeng masa

silam” (asãthîr al-awwalîn, 6:25; 8:31; 16:24; 23:83; 25:5; 27:68; 46:17;

68:15; 83:13) – di dalam al-Quran, terma asãthîr al-awwalîn merujuk

kepada kisah pengazaban umat-umat terdahulu (misalnya 8:31 dan

68:15) dan kebangkitan kembali pada Hari Pengadilan (misalnya

23:83; 27:68; 46:17).

Dalam konteks terakhir – yakni konteks keempat – kata ãyah

disebut sebagai bagian al-qur’ãn atau kitãb atau sûrah (10:1; 11:1;

13:1; 15:1; 24:1; 26:2; 27:1; 28:2; 31:2; dll.), yang diturunkan Tuhan

(2:99,202; 3:108; 22:16; 24:34; dll.). Dengan demikian, kata ãyah

dalam konteks ini memiliki makna unit dasar wahyu terkecil, selaras

dengan pemahaman kita dewasa ini tentangnya. namun , sebagaimana


dengan sûrah, al-Quran juga tidak memberi indikasi tentang

panjang pendeknya unit-unit wahyu ini .

Jika hadits dimasukkan ke dalam pertimbangan untuk melihat

panjang pendeknya unit-unit wahyu yang diterima Nabi, maka

jawaban yang diperoleh sangat beragam. ada  berita yang

mengabarkan bahwa Muhammad menerima wahyu al-Quran secara

ayat per ayat atau huruf per huruf,  kecuali surat 19 dan 12 yang

turun sekaligus.13  Menurut pandangan lain, Nabi menerima satu

atau dua ayat,14  satu hingga lima ayat atau lebih, lima hingga

sepuluh ayat, dan lain-lain.15  Sekalipun tidak ada kejelasan dari al-

Quran dan hadits tentang panjang pendeknya unit wahyu yang

diterima Nabi, gagasan tentang unit wahyu barangkali bisa dibangun

dengan mencermati konteks literer al-Quran sendiri – baik dalam

bentuk peralihan akhiran rima serta peralihan gagasan dalam suatu

surat – dan mengeksploitasi perbendaharaan klasik Islam, semisal

riwayat-riwayat asbãb al-nuzûl dan lainnya. Langkah semacam ini

tentunya akan sangat membantu dalam usaha  menyusun aransemen

kronologis unit-unit wahyu yang diterima Nabi.

Istilah teknis lainnya yang digunakan di dalam al-Quran untuk

merujuk wahyu yang diturunkan kepada Muhammad akan dibahas

secara singkat berikut ini.16  ada  tiga kata benda (ism) dari

kata kerja dzakara (), “mengingat” atau “menyebut,” yang

digunakan untuk wahyu dalam pengertian “peringatan.” Jadi kata

dzikr () ada  antara lain dalam 7: 63,69; 12:104; 15:6,9; 16:44;

38:37; 68:52; dan 81:27. Kata dzikrã () ditemukan antara lain

dalam 6:69,90; 11:114,120; dan 74: 31. Sementara kata tadzkirah

( ) ada  antara lain dalam 69:48; 73:19; dan 76:29. Sepanjang

ketiga kata benda ini diterapkan kepada pesan yang diwahyukan

atau suatu bagian darinya, maka penekanannya yaitu  pada aspek

“peringatan” yang dikandungnya. Dalam beberapa bagian al-Quran,

Muhammad diperintahkan untuk memberi peringatan kepada

manusia (50:45; 51:55; 52:29; dll.), dan dalam 88:21 ia sendiri disebut

sebagai seorang pemberi peringatan (mudzakkir).

Di sebelas  tempat di dalam al-Quran, wahyu yang diturunkan

kepada Muhammad juga dirujuk sebagai tanzîl (), “yang

diturunkan.” Dalam bagian awal surat-surat 32, 39, 40, 45 dan 46,

kata tanzîl dikaitkan dengan kata kitâb dalam konstruksi tanzîl al-

kitâb. Sementara dalam surat 41 disebutkan: “Hã-Mîm () suatu

tanzîl dari Yang Maha Pengasih … suatu kitâb….” Dalam konstruksi

semacam ini, tanzîl bisa bermakna “apa-apa yang diturunkan” atau

“suatu pesan yang diwahyukan,” sebagaimana bisa dilihat dalam

26:192; 56:80; dan 69:43. Dengan demikian, jika terma ini

dipandang sebagai nama alternatif untuk al-Quran atau bagiannya,

maka ia memberi penekanan terhadap karakter kewahyuan al-

Quran atau bagiannya.

Nama alternatif lain yang digunakan untuk al-Quran, menurut

mayoritas sarjana Muslim, yaitu  furqãn (

). Para mufassir Mus-

lim berusaha  mengaitkan istilah ini dengan kata kerja faraqa,

“diskriminasi, memisahkan, membedakan,” dan menjelaskannya

memiliki makna teologis “pembeda antara yang hak dan batil.”

Namun, makna semacam ini barangkali tidak dapat ditemukan

dalam penggunaan kata furqãn oleh al-Quran. Dalam beberapa 

konteks di mana kata furqãn dikaitkan dengan sesuatu yang

diturunkan Tuhan kepada Muhammad (8:29,41; 2:185; 3:3f.; 25:1),

terlihat bahwa kata ini  sangat mungkin bermakna

“pertolongan” atau “salvasi”17  – yang bisa disinonimkan dengan

nashr – mengingat signifikansi kemenangan dalam Perang Badr,

yang merupakan konsteks sebagian ayat-ayat ini , diperoleh

berkat pertolongan Tuhan. Makna semacam ini bisa diterapkan

terhadap dua konteks al-Quran lainnya (2:53 dan 21:48) yang

menyebutkan pemberian furqãn kepada Musa. Pemberian furqãn

di sini mungkin merujuk kepada pertolongan Tuhan saat 

menyelamatkan orang-orang Israel keluar dari Mesir.18  Dengan

demikian, sejauh furqãn dipandang sebagai suatu bagian al-Quran,

maka hal ini terletak pada aspeknya yang mengekspresikan

signifikansi kemenangan kaum Muslimin dalam Perang Badr atas

pertolongan Tuhan.

Terma terakhir yang relevan disinggung di sini yaitu  hikmah

( ), “kebijaksanaan” atau sophia. Kata ini di dalam al-Quran

tidak cuma hanya  diasosiasikan dengan ãyah dan kitãb (2:129, 151; 3:164;

62:2), namun  dalam 2:231 dan 4:113, misalnya, ada  rujukan

kepada penurunannya. Dalam 33:34 disebutkan bahwa ãyah dan

hikmah dibacakan di rumah istri-istri Nabi. Sangat mungkin bahwa

hikmah merujuk kepada aturan-aturan kewarga an yang

diwahyukan Tuhan di dalam al-Quran, sebab  – mengingat pertalian

eratnya dengan kata kitâb, dan derivasinya dari akar kata hakama


– dalam 4:105 Muhammad diperintahkan untuk mengadili

(tahkum) manusia berdasar  kitâb yang diturunkan kepadanya.

beberapa  mufassir Muslim berusaha  menafsirkan kata hikmah

dengan tindakan ekstra-quranik (Sunnah) Nabi, namun  makna

semacam ini tidak cocok diterapkan terhadap 33:34 yang dirujuk

di atas.

Uraian yang telah dikemukakan sejauh ini memperlihatkan

bahwa baik dari segi derivasi (isytiqãq) ataupun sinonim (murãdif )

terma al-Quran, kesemuanya menggagaskan suatu konsepsi yang

padu dan kohesif tentang karakter kewahyuan al-Quran. Jadi, dalam

nama alternatif apa pun yang dinisbatkan al-Quran terhadap

dirinya, kesemuanya kembali kepada gagasan tentang asal-usul

ilahiahnya, bahwa ia bersumber dari Allah, Tuhan semesta alam.

Tentang Sumber-sumber al-Quran

Kaum Muslimin pada umumnya meyakini bahwa al-Quran

bersumber dari Allah, dan al-Quran sendiri – seperti ditunjukkan

di atas – juga mengkonfirmasinya. Keyakinan tentang sumber

ilahiah wahyu-wahyu yang diterima Muhammad merupakan

keyakinan standar dalam sistem teologi Islam. Tanpa keyakinan

semacam itu, tidak seorang pun yang dapat mengklaim dirinya

sebagai Muslim, bahkan dalam suatu pengertian nominal. namun ,

keyakinan ini  telah mendapat tantangan serius saat 

diproklamasikan pertama kali oleh al-Quran dan berlanjut hingga

dewasa ini di kalangan tertentu pengamat Islam non-Muslim.

Pengakuan Muhammad bahwa ia merupakan penerima wahyu

dari Tuhan semesta alam untuk disampaikan kepada seluruh umat

manusia mendapat tantangan keras dari orang Arab yang sezaman

dengannya. Al-Quran sendiri tidak menyembunyikan adanya

oposisi yang serius terhadap Nabi, namun  justeru merekam rentetan

peristiwa ini  tanpa memutarbalikkan pandangan-pandangan

negatif para oposan kontemporer Nabi mengenai asal-usul genetik

atau sumber wahyu yang diterimanya – termasuk ejekan dan celaan

musuh-musuh Muhammad – berikut bantahan terhadap

miskonsepsi mereka.

Dalam dua bagian al-Quran (52:29 dan 69:42), para penentang

Nabi memandangnya sebagai kãhin (“tukang tenung”) dan wahyu-

62  /  TAUFIK ADNAN AMAL

wahyu yang disampaikannya sebagai “perkataan tukang tenung.”

Demikian pula, dalam beberapa bagian al-Quran (21:5; 37:36; 52:30

cf. 69:41)  ia dituduh sebagai syã‘ir (“penyair”), atau di tempat lain

(15:6; 68:51; 7:184; 37:36; 44:14; 23:70; 34:8; 51:52) sebagai majnûn

(“kerasukan jin atau berada di bawah pengaruhnya”).19  beberapa 

bagian al-Quran lainnya menginformasikan bahwa Muhammad

dianggap para penentangnya sebagai sãhir (“tukang sihir,” 10:2;

38:4; 51:52) atau mashûr (“korban sihir,” 17:47; 25:8), dan wahyu-

wahyu yang diterimanya sebagai sihr (“sihir,” 6:7; 11:7; 21:3; 34:43;

37:15; 43:30; 46:7; 52:15; 54:2; 74:2).

Berbagai gagasan para penentang Nabi di atas secara eksplisit

mengungkapkan bahwa sumber inspirasi al-Quran berasal dari ruh-

ruh jahat atau kekuatan-kekuatan setaniah, bukan dari Allah. Dalam

konsepsi pagan Arab, baik tukang tenung, penyair ataupun

penyihir, semuanya dibantu untuk mengetahui persoalan gaib oleh

jin atau setan.20  Terhadap konsepsi ini, al-Quran mengemukakan

bahwa jin-jin telah mencapai langit yang ternyata dijaga ketat dan

penuh dengan bintang-bintang penyambar, serta dari tempat

tersembunyi mereka berusaha  menguping “berita-berita langit.”

namun , sesudah  pengutusan  Muhammad, tak satu pun di antara

mereka yang bisa berbuat demikian (72:8-9). Hal senada juga

dikatakan berulangkali oleh al-Quran sehubungan dengan setan-

setan yang secara sembunyi-sembunyi berusaha mencuri berita

langit, namun  dihalau dengan sambaran bintang (15:16-18; 67:5;

dll.). Jadi, bagi al-Quran, berita-berita langit yang  disampaikan

Muhammad, tidaklah berasal dari inspirasi setaniah atau jin, sebab 

sejak pengutusannya, baik jin maupun setan tidak lagi bisa

mendekati “langit.”

Berbagai tuduhan yang dilayangkan para penentang al-Quran

kepada Muhammad tentang sumber-sumber setaniah wahyunya –

sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai konteks al-Quran di atas

– pada hakekatnya dilatarbelakangi oleh ketidakpercayaan mereka

kepada pekabaran yang didakwahkannya tentang azab Tuhan yang

akan menimpa mereka, seperti tercermin dalam kisah pengazaban

umat-umat terdahulu, atau akan menimpa mereka kelak di Hari

Berbangkit. Dalam bab lalu telah ditunjukkan bahwa dakwah Nabi

semacam ini merupakan gagasan yang nonsen bagi orang-orang

pagan Arab, sebab  dalam weltanschauung mereka eksistensi satu-


satunya yang dikenal yaitu  kehidupan di dunia ini, dan yang

dapat membinasakannya cuma hanya lah masa (dahr).

Selain respon tentang sumber setaniah al-Quran, dalam

berbagai kesempatan kitab suci ini juga membantah tuduhan para

oposan Nabi. Sebagian besar konteks ayat-ayat al-Quran yang

dirujuk di atas memuat bantahan terhadap tuduhan ini .

Dalam 69:40-43, misalnya, disebutkan: “Sungguh ia (al-Quran)

merupakan perkataan rasul yang mulia, bukan perkataan penyair

… dan bukan pula perkataan tukang tenung…. Suatu tanzîl dari

Tuhan semesta alam.” Demikian pula, dalam 36:69 dinyatakan:

“Kami tidak mengajarkannya syair, dan (syair itu) tidak layak

baginya.” Di tempat lain (7:184 cf. 81:22), al-Quran menegaskan:

“Teman mereka itu (Muhammad) tidaklah kerasukan jin; ia

cuma hanya lah seorang pemberi peringatan yang jelas.” Tentang konsepsi

al-Quran sebagai sihir, kitab suci ini membantahnya: “Apakah

(pekabaran al-Quran) ini sihir atau apakah kalian buta?”(52:15).

Sementara tentang sumber-sumber setaniah wahyu yang diterima

Nabi, al-Quran memberi respon: “Dan ia (al-Quran) bukanlah

perkataan setan yang terkutuk” (81:25), “Setan-setan tidaklah

membawanya (al-Quran) turun; mereka tidak patut dan tidak kuasa

berbuat demikian. Sesungguhnya mereka dihalangi untuk

mendengar-kannya (al-Quran)” (26:210-212). Bagi al-Quran, setan-

setan justeru memberi inspirasi kepada pendusta yang banyak

berbuat dosa: “Inginkah engkau Aku kabarkan kepada siapa setan-

setan itu turun? Mereka turun kepada setiap pendusta yang banyak

dosanya” (26:221-222). Jadi, dalam berbagai sanggahan al-Quran

ini selalu ditegaskan bahwa Allah-lah yang merupakan sumber

inspirasi wahyu Muhammad.

Di samping gagasan-gagasan di atas, para oposan kontemporer

Nabi juga menuduhnya membuat-buat atau mengada-adakan al-

Quran (10:38; 11:13; 32:3; 46:8; 25:4; 34:8,43; 21:5; 16:101).

Sehubungan dengan gagasan tentang al-Quran sebagai rekayasa

imajinasi kreatif Muhammad, Nabi diperintahkan menjawab: “Jika

aku (Muhammad) mengada-adakannya, maka kamu tidak memiliki

kekuasaan sedikit pun untuk menghalangi aku (Muhammad) dari

(azab) Allah” (46:8). Di bagian lainnya (16: 102), al-Quran merespon:

“Ruh Kudus telah menurunkannya (al-Quran) dari Tuhanmu

dengan benar, untuk meneguhkan orang-orang yang beriman dan


sebagai petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang

berserah diri.” Dalam responnya yang lebih keras, kitab suci ini

bahkan menantang para oposan Nabi untuk membuat perkataan

(hadîts) semisal wahyu yang diterima Nabi (52:34), atau suatu surat

(10:38; 2:23), atau sepuluh surat (11:13), atau suatu kitab semisal

al-Quran (17:88; 28:49).21

Aspek tantangan (tahaddî ) yang disebutkan terakhir di atas,

telah dikembangkan sedemikian rupa di dalam ‘ulûm al-qur’ãn

untuk menopang doktrin i‘jãz al-qur’ãn dari segi kualitas bahasanya.

Di sini, ditekankan bahwa ketidakmampuan manusia untuk

menandingi bahasa al-Quran merupakan salah satu bukti

kemukjizatan kitab suci ini . namun , lantaran penekanan yang

berlebihan terhadap doktrin ini,  ayat-ayat tantangan di atas telah

dikemukakan dalam urutan kronologis pewahyuan terbalik – yakni

tahapan pertama yaitu  tantangan mendatangkan suatu kitab

semisal al-Quran (17:88; 28:49), tahapan kedua yaitu  tantangan

mendatangkan sepuluh surat semisal al-Quran (11:13), dan tahapan

ketiga yaitu  tantangan mendatangkan satu surat semisal al-Quran

(10:38).22

Merupakan hal yang logis jika tantangan semacam ini diajukan

selaras dengan perkembangan kuantitas wahyu yang ada di tangan

Nabi dari waktu ke waktu. Jadi, saat  kepada Nabi baru diturunkan

beberapa surat, oposan-oposannya ditantang untuk mendatangkan

perkataan atau sebuah surat yang semisal itu. saat  belasan surat

telah diwahyukan kepada Nabi, mereka ditantang untuk

mendatangkan sepuluh surat semisal itu. Dan saat  wahyu-wahyu

al-Quran dalam perbendaharaan Nabi telah mengambil bentuk

seperti kitãb, maka para oposan Muhammad ditantang untuk

mendatangkan yang seperti itu.

Di samping gagasan tentang sumber-sumber setaniah al-Quran

di atas, Para penentang Nabi juga menuduhnya memperoleh

pengetahuan wahyu lewat transmisi manusiawi (6:105; 16:103; 44:14;

25:4). Pengetahuan wahyu yang diperolehnya  yaitu  “dongeng-

dongeng masa silam” (asãthîr al-awwalîn) yang telah disalinnya

dan didiktekan kepadanya tiap pagi dan petang (25:5). Secara

singkat, dapat dikemukakan bahwa para oposan Nabi

memandangnya memperoleh inspirasi qurani dari sumber-sumber

ahli kitab – yakni kaum Yahudi dan Kristen.23  namun , Al-Quran

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  65

menyanggah pandangan ini dengan menegaskan bahwa

Muhammad tidak pernah membaca suatu kitab suci pun dan tidak

pernah pula menulisnya; sebab  jika seandainya terjadi demikian,

para penentang Nabi akan memiliki argumen yang kuat untuk

meragukannya (29:48). Demikian pula, dugaan bahwa yang telah

mengajarkan al-Quran kepada Muhammad yaitu  orang asing

(a‘jamî), ditolak dengan mengemukakan bahwa al-Quran yang

diwahyukan kepada Muhammad itu dalam bahasa Arab yang jelas,

yang tentunya berbeda dari tutur kata a‘jamî (16:103).  Sementara

yang disebut-sebut para penentang Nabi sebagai asãthîr al-awwalîn,

ditegaskan al-Quran bersumber dari Tuhan: “ Ia (asãthîr al-awwalîn)

diturunkan oleh yang mengetahui rahasia langit dan bumi, (Allah)

yang maha pengampun lagi maha penyayang” (25:5-6).

Salah satu bagian al-Quran yang secara ringkas mengungkapkan

gagasan-gagasan para oposan Nabi sehubungan dengan sumber-

sumber atau asal-usul genetik wahyu yang diterimanya, berikut

respon al-Quran terhadapnya, yaitu   25:4-9 berikut ini:

Orang-orang kafir (penentang Muhammad) itu berkata:

“(pekabaran al-Quran) ini tidak lain cuma hanya  suatu kebohongan

yang direkayasanya, dan dia tentunya dibantu oleh kaum lain.”

Sungguh mereka telah berbuat zalim dan berdusta. Dan mereka

berkata: “Inilah dongeng-dongeng masa silam yang telah

disalinnya untuk dirinya dan didiktekan kepadanya tiap pagi

dan petang.” Katakanlah (hai Muhammad): “Ia diturunkan

oleh yang mengetahui rahasia langit dan bumi, (Allah) yang

maha pengampun lagi maha penyayang.” Dan mereka berkata:

“mengapa rasul ini memakan makanan dan berjalan-jalan di

pasar? Mengapa tidak diturunkan malaikat kepadanya agar

memberi peringatan bersamanya? Dan (mengapa) tidak

diberikan kepadanya harta kekayaan atau kebun yang hasilnya

dapat dia nikmati?” Dan orang-orang yang zalim itu berkata:

“Kalian cuma hanya  mengikuti seorang lelaki yang terkena sihir.”

Lihatlah bagaimana mereka telah membuat perumpamaan-

perumpamaan tentang kamu (Muhammad). Mereka telah

tersesat dan tidak dapat menemukan jalan (yang benar).

Jadi, tanpa memutarbalikan fakta, al-Quran telah merekam

rentetan kejadian sehubungan dengan oposisi dan sudut-sudut

pandang orang yang semasa dengan Nabi mengenai asal-usul atau

sumber inspirasi wahyu yang diterimanya. Serempak dengan itu,

al-Quran juga merespon atau membantah berbagai tuduhan dan

miskonsepsi para oposan kontemporer Nabi. Sebagaimana terlihat,

respon spesifik al-Quran terhadap  berbagai gagasan dan tuduhan

para penentang Muhammad memang berbeda untuk setiap

kasusnya. namun , dalam berbagai jawaban ini , kitab suci ini

selalu menekankan asal-usul ilahiahnya: Wahyu yang diterima

Muhammad itu bersumber dari Tuhan semesta alam.

Berbagai gagasan para oposan kontemporer Nabi tentang asal-

usul atau sumber al-Quran terlihat memiliki kemiripan dengan

konsepsi yang dikembangkan di Barat sejak abad pertengahan

hingga dewasa ini. Bahkan, dalam kasus-kasus tertentu, konsepsi

yang diajukan sarjana Barat terlihat lebih ekstensif dan tidak jarang

berbau apologetik. Pada abad pertengahan di Barat, Muhammad

digagaskan sebagai penipu, pseudo-propheta, tukang sihir, serta

ajaran al-Quran yang didakwahkannya itu tidak lain dari suatu

bentuk Kristen yang sesat dan penuh bidah.24

Gagasan-gagasan Barat abad pertengahan di atas, yang lebih

merupakan mitos dan fiksi imajinatif, memiliki pengaruh kuat di

kalangan sarjana Barat pada masa-masa selanjutnya, dan terlihat

sulit dienyahkan dari benak warga  Barat hingga dewasa ini.

namun , konsepsi abad pertengahan itu secara sederhana bisa

diabaikan sebab  tidak ditopang dan dilandasi oleh penelitian

ilmiah yang serius. Kepentingan utama yang ada di balik

penggagasannya lebih bersifat apologetik, sebab  difokuskan pada

pembelaan keyakinan kristiani serta penyemaian rasa percaya diri

di kalangan umat Kristen. Gagasan ini secara reflektif

mengungkapkan bahwa walaupun umat Islam – musuh bebuyutan

Kristen dalam serangkaian Perang Salib saat  itu – secara politik

lebih superior dibandingkan umat Kristen, secara religius kaum

anti-Kristus  itu  –  salah satu istilah yang dilabelkan  kepada umat

Islam  – memeluk agama yang lebih inferior dari agama Kristen.

Gagasan-gagasan Barat abad pertengahan itu tentu saja tidak

dapat disejajarkan dengan gagasan-gagasan Barat modern jika dilihat

pada tataran saintifik dan sofistikasinya. Karya Barat modern yang

berusaha  melacak sumber-sumber al-Quran bisa dikatakan bermula

pada 1833 dengan publikasi karya Abraham Geiger, Was hat

Mohammed aus dem Judentum aufgenommen?25  Sebagaimana

tercermin dari judulnya – “Apa yang telah Diadopsi Muhammad

dari Agama Yahudi?” – karya ini memusatkan perhatian pada anasir

Yahudi di dalam al-Quran. Dalam penelitiannya, Geiger sampai

kepada kesimpulan bahwa seluruh ajaran Muhammad yang

tertuang di dalam al-Quran sejak sebermula telah menunjukkan

sendiri asal-usul Yahudinya secara transparan: Tidak cuma hanya  sebagian

besar kisah para nabi, namun  berbagai ajaran dan aturan al-Quran

pada faktanya juga bersumber dari tradisi Yahudi.26  Namun, selama

hampir setengah abad sesudah  publikasi karya Geiger, tidak terlihat

teolog Yahudi yang melanjutkan tradisi penelitian ini. Baru pada

1878, H. Hirschfeld mengikuti jejak Geiger dengan publikasinya,

Juedische Elemente im Koran (“Anasir Yahudi dalam al-Quran”),

yang mengkonfirmasi lebih jauh temuan-temuan pendahulunya.

sesudah  kemunculan kedua karya di atas, beberapa  besar sarjana

Barat mulai menaruh perhatian serius terhadap pelacakan asal-

usul genetik al-Quran. Terjadi semacam peperangan akademik

antara sarjana-sarjana yang memandang al-Quran tidak lebih dari

tiruan rentan tradisi Yahudi dan sarjana-sarjana yang menganggap

agama Kristen sebagai sumber utamanya. Sarjana-sarjana Yahudi

berusaha  keras membuktikan bahwa asal-usul genetik al-Quran

secara sepenuhnya berada dalam tradisi Yahudi dan bahwa

Muhammad merupakan murid seorang Yahudi tertentu. Karya-

karya kesarjanaan Yahudi jenis ini antara lain ditulis oleh J.

Horovitz, Jewish Proper Names and Derivatives in the Koran

(“Nama Diri Yahudi dan Derivasinya dalam al-Quran,” 1925,

dicetak-ulang, 1964), C.C. Torey, The Jewish Foundation of Islam

(“Fondasi Yahudi Agama Islam,” 1933, dicetak-ulang, 1967), dan

Abraham I. Katsch, Judaism and the Koran (“Agama Yahudi dan

al-Quran,” 1962).27  Pencetakan-ulang karya-karya kesarjanaan

Yahudi itu memperlihatkan secara gamblang pengaruh gagasan

lama yang masih melekat di dunia akademik Barat. namun , kajian-

kajian kesarjanaan Yahudi ini mencapai titik kulminasi yang tragis

dengan terbitnya karya J. Wansbrough, Quranic Studies: Sources

and Methods of Scriptural Interpretation (“Kajian-kajian al-Quran:

Sumber dan Metode Tafsir Kitab Suci,” l977). Dalam buku ini,

Wansbrough melangkah lebih jauh dengan menegaskan bahwa al-

Quran merupakan hasil “konspirasi” antara Muhammad dan

pengikut-pengikutnya pada dua abad pertama Islam yang secara

sepenuhnya berada di bawah pengaruh Yahudi.28

Sementara para sarjana Kristen juga melakukan usaha  senada

dan berusaha membuktikan bahwa al-Quran itu tidak lebih dari

gema sumbang tradisi kristiani dan bahwa Muhammad cuma hanya lah

seorang pengikut Kristen yang mengajarkan suatu bentuk aneh agama

Kristen. Karya kesarjanaan Kristen modern yang awal tentang sumber-

sumber kristiani al-Quran ditulis Karl Friedrich Gerock, Versuch

einer Darstellung der Christologie des Korans (“usaha  Peng-

ungkapan Kristologi al-Quran,” terbit pertama kali pada 1839).

sesudah  suatu tenggang waktu yang cukup lama, muncul karya-

karya kesarjanaan Kristen lainnya tentang topik ini, seperti yang

disusun oleh Manneval, La Christologie du Koran (“Kristologi al-

Quran,”1887), Tor Andrae, Der Ursprung des Islams und das

Christentum (“Asal-usul Islam dan Agama Kristen,” 1926), dan J.

Henninger, Spuren christlicher Glaubenswahrheiten im Koran

(“Jejak Kebenaran Kepercayaan Kristen dalam al-Quran,” 1951).

namun , salah satu karya kesarjanaan Kristen paling menonjol dan

berpengaruh dalam kategori ini ditulis oleh Richard Bell, The

Origin of Islam in its Christian Environment (“Asal-usul Islam

dalam Lingkungan Kristennya,” 1926).

Di samping karya-karya yang menitikberatkan asal-usul al-

Quran dalam salah satu dari kedua tradisi keagamaan semit, yakni

Yahudi dan Kristen, ada  juga karya-karya kesarjanaan Barat

lainnya yang menekankan pengaruh kedua tradisi keagamaan

ini  secara serempak terhadap kitab suci kaum Muslimin.

Karya-karya kategori terakhir ini antara lain ditulis oleh W.

Rudolph, Die Abhaengigkeit des Qorans von Judentum und

Christentum (“Ketergantungan al-Quran pada Agama Jahudi dan

Kristen,” 1922), dan D. Masson, Le Coran et la Revelation Judeo-

Chretienne (“Al-Quran dan Wahyu Yahudi-Kristen,” dua jilid,

1958). Sementara beberapa  sarjana Barat lain, seperti W.M. Watt

dan H.A.R. Gibb, memperluas gagasan terakhir ini dengan

menegaskan bahwa latar belakang kelahiran Islam atau al-Quran

yaitu  milieu Arab, walaupun banyak unsur-unsur Yudeo-Kristiani

yang diserap dalam formasi dan perkembangannya.

Gagasan-gagasan yang berkembang di kalangan sarjana Barat

modern tentang asal-usul atau sumber-sumber al-Quran di atas,

sebenarnya dipijakkan pada asumsi tentang difusi agama Yahudi

dan Kristen pada masa pra-Islam maupun pada masa awal Islam.

namun , asumsi semacam ini tampaknya tidak mendapat

pembenaran dari informasi-informasi historis yang ada  di

dalam al-Quran sendiri, jika kitab suci ini dipandang –  dan sudah

semestinya dijadikan – sebagai sumber sejarah yang otoritatif.

Uraian-uraian dalam bab lalu justeru menunjukkan bahwa

pengaruh kedua tradisi keagamaan ini  terhadap milieu

intelektual Arab terlihat tidak begitu meyakinkan.30  Memang benar

bahwa ajaran-ajaran kedua tradisi itu telah cukup dikenal di

kalangan orang-orang Arab. Al-Quran sendiri bahkan

mengemukakan adanya usaha  dari orang-orang Yahudi dan Kristen

dalam skala besar-besaran ataupun kecil-kecilan untuk menarik

orang-orang Arab ke dalam agamanya masing-masing. namun , usaha 

ini tidak membuahkan hasil yang baik lantaran implikasi politik

kedua agama ini , dan – lebih dari itu – orang-orang Arab

terlihat lebih setia mengikuti tradisi “bapak-bapak kami.”

Kemiripan ajaran al-Quran dengan tradisi Yudeo-Kristiani juga

dijadikan sebagai basis oleh para sarjana Barat untuk teori mereka

bahwa sumber inspirasi al-Quran yaitu  Perjanjian Lama dan

Perjanjian Baru – Tawrat dan Injil dalam istilah al-Quran. namun ,

kaum Muslimin barangkali akan menisbatkan kemiripan dalam

ketiga tradisi agama Ibrahim ini kepada kesamaan sumber kitab

suci masing-masing agama ini . Menurut keyakinan Islam,

seluruh kitab suci – bahkan di luar ketiga tradisi keagamaan Semit

itu – bersumber dari Allah, dan rasul yang menyampaikan kitab

suci itu diutus oleh-Nya. Al-Quran memang menyebutkan bahwa

para nabi diutus untuk menyeru kaum-kaum dan bangsa-bangsa

yang berbeda pada masa-masa yang berbeda, namun risalah yang

mereka sampaikan yaitu  universal dan identik. Semua risalah

ini  terpancar dari sumber tunggal: umm al-kitãb  (“induk

segala kitab,” 43:4; 13:39) atau kitãb maknûn (“kitab yang

tersembunyi,” 56:78) atau lawh mahfûzh (“luh yang terpelihara,”

85:22), yang merupakan esensi Pengetahuan Tuhan. Dari esensi

kitab primordial inilah wahyu-wahyu diturunkan kepada para

utusan Tuhan. Tawrat (2:53,87; 3:3,65; 5:44; 6:91; dll.) dan Zabur

(4:163; 17:55) – merujuk kepada Perjanjian Lama – serta Injil

(3:3,48,65; 5:46; 57:27; dll.), semuanya bersumber dari Allah. sebab 

semua risalah Tuhan itu universal dan identik, maka manusia mesti

mengimani seluruhnya. Di dalam al-Quran, di samping disebutkan

kewajiban untuk mengimani kitab suci agama Yahudi dan Kristen,

Muhammad juga diperintahkan untuk mendeklarasikan: “Aku

beriman kepada seluruh kitab yang diturunkan Allah” (42:15 cf.

2:285; 4:136; 2:177). sebab  itu, agama Allah tidak dapat dipecah-

pecah. Demikian juga dengan kenabian: Al-Quran mengharuskan

keimanan kepada nabi-nabi pembawa risalah Tuhan tanpa

diskriminasi (2:136,285; 3:84; 4:152; dll.). Bagi al-Quran, “tidak

ada satu umat pun yang tidak pernah didatangi seorang pemberi

peringatan” (35:24 cf. 13:7). Jadi, berbagai kemiripan dalam ajaran

agama-agama bukanlah disebabkan agama yang satu mengadopsi

ajaran agama lain, namun  sebab  tiap-tiap agama ini  berasal

dari satu sumber: Tuhan semesta alam.

Sekalipun uraian di atas mungkin bagi sementara kalangan

dipandang tidak memuaslegakan dan lebih bersifat dogmatis, namun 

cuma hanya  jawaban semacam itulah yang barangkali bisa dikemukakan

jika dikaitkan dengan perspektif al-Quran tentangnya. Di kalangan

sarjana Barat sendiri pun masalah pelacakan sumber-sumber al-

Quran masih tetap merupakan bidang garap yang kontroversial.

Kajian-kajian semacam ini, misalnya, mendapat justifikasi dari W.M.

Watt. Ia mengemukakan dua alasan penting tentang relevansinya:

(i) kajian tentang sumber-sumber al-Quran tidak akan

menghilangkan gagasan-gagasan yang sumbernya ditemukan dan

juga tidak akan mengurangi nilai kebenaran serta validitas kitab

suci ini ; dan (ii) orang-orang yang menerima doktrin bahwa

al-Quran merupakan verbum dei (kalãm Allãh) yang qadîm bahkan

dapat mengkaji “sumber-sumber” dalam artian pengaruh-pengaruh

eksternal terhadap pemikiran orang-orang Arab pada masa

Muhammad. “Jika kedua butir ini diterima, akan terlihat bahwa

kajian tentang sumber-sumber dan pengaruh – di samping

merupakan hal yang sudah semestinya – memiliki tingkatan interes

yang moderat.”31

Meskipun karya-karya tentang asal-usul genetik al-Quran yang

ditulis para sarjana Barat belakangan ini terlihat lebih serius

ketimbang karya-karya sebelumnya, dan sekalipun ada beberapa 

sarjana yang menjustifikasi dan membela mati-matian kepentingan

studi-studi semacam itu, usaha  rekonstruksi elemen-elemen asing

al-Quran juga mendapat kecaman keras dari kalangan sarjana Barat

sendiri. Franz Rosenthal, misalnya, mengemukakan bahwa

meskipun kajian-kajian semacam itu berhasil menemukan bukti

yang meyakinkan mengenai pengaruh asing terhadap formasi spiri-

tual dan intelektual Muhammad, usaha -usaha  ini  “tidak

mungkin menjelaskan secara memuaskan keberhasilan Nabi dalam

menciptakan sesuatu dan mentransformasikannya ke dalam suatu

kekuatan abadi yang mempengaruhi seluruh umat manusia ….”32

Lebih jauh, Rosenthal bahkan menilai bahwa kajian-kajian semacam

ini cuma hanya  menyentuh kulit luar dan tidak pernah mencapai

intinya.33

Bahwa kajian tentang asal-usul genetik al-Quran serta berbagai

pendekatan yang digunakan di dalamnya memiliki kepentingan

historis tertentu, merupakan kenyataan yang tidak dapat dibantah.

Akan namun , merupakan suatu fakta yang tidak dapat ditolak bahwa

studi-studi semacam ini cuma hanya  memiliki manfaat yang sangat

terbatas dalam kaitannya dengan pemahaman al-Quran dan

gagasan-gagasannya. Sebaliknya, telaah-telaah semacam ini bahkan

cenderung mengaburkan dan mendistorsi kandungan kitab suci

itu. Lebih jauh, asumsi yang mendasari kajian-kajian ini  yaitu 

praduga abad pertengahan bahwa Muhammad yaitu  “pengarang”

al-Quran. Apabila kitab suci itu merupakan rekayasa yang sadar

dari imajinasi kreatif Nabi, maka sumber-sumbernya secara pasti

dapat dilacak dalam milieunya. Prasangka semacam ini, seperti

telah disinggung di atas, justeru disangkal dengan tegas oleh al-

Quran sendiri saat  menolak dakwaan-dakwaan senada yang

diajukan oposan kontemporer Nabi. Barangkali inilah sebabnya

mengapa Seyyed Hossein Nasr – sehubungan dengan prasangka

Barat mengenai asal-usul genetik al-Quran – menyatakan

keheranannya: “Pandangan semacam itu (yakni tentang asal-usul

non-ilahiah al-Quran – pen.) wajar dipertahankan oleh orang yang

menolak secara sepenuhnya seluruh wahyu, namun  yaitu  aneh

mendengar pandangan-pandangan ini  dikemukakan para

penulis yang sering menerima Kristen dan Yahudi sebagai

kebenaran yang diwahyukan.”

Wahyu Ilahi dan Nabi

Uraian-uraian tentang derivasi, sinonim dan sumber-sumber

al-Quran di atas dengan jelas memperlihatkan bagaimana konsepsi

kitab suci itu mengenai asal-usul dirinya. Wahyu-wahyu qurani

yang diterima Nabi, menurut gagasan ini, bersumber dari Allah.

Wahyu-wahyu ini , sebagaimana dengan wahyu-wahyu lain yang

diterima nabi-nabi sebelum Muhammad, terpancar dari “Luh yang

Terpelihara” (lawh mahfûzh, 85:22), yang cuma hanya  dapat disentuh

oleh yang disucikan  (56:79).  Luh  ini  juga  disebut  sebagai “Kitab

yang Tersembunyi” (kitãb maknûn, 56:78), atau “Induk Segala Kitab”

(umm al-kitãb, 13:39; 43:4), sebagaimana lazimnya ditafsirkan

demikian di kalangan sarjana Muslim. Dari esensi kitab primordial

inilah Jibril datang dan menyampaikan wahyu ilahi kepada Nabi.

Pernyataan sederhana ini mencakup permasalahan luas tentang

wahyu Ilahi dan Nabi  yang akan didiskusikan berikut ini.

Kata wahyu (! "#$) beserta kata bentukan lain darinya

merupakan kata-kata yang frekuensi penggunaannya paling banyak

di dalam al-Quran. Kata-kata ini telah menjadi istilah-istilah teknis

dalam terminologi Islam, khususnya untuk merujuk komunikasi

pesan Ilahi kepada para nabi.35  Di dalam al-Quran sendiri,

penggunaan kata wahy dan kata-kata bentukannya tidak cuma hanya 

dibatasi bagi para nabi, namun  juga digunakan secara umum untuk

melukiskan bentuk komunikasi yang dijalin antara sesama manusia

atau antara Tuhan dengan makhluk-Nya – termasuk para nabi.

Jadi kata awhã (%$ ) digunakan dalam pengertian “memberi

isyarat” atau “menunjukkan” guna menggambarkan komunikasi

yang dilakukan Zakariya – sesudah  menjadi bisu – kepada kaumnya

(19:11). Dalam 6:112, dikatakan bahwa setan di kalangan jin dan

manusia saling “membisikkan” atau “memberi tahu secara

sembunyi-sembunyi” (yûhî ba‘dluhum ba‘dlan)  gagasan-gagasan

muluk (cf. 6:121). Penerima wahyu,  bahkan dari Tuhan, tidak

selalu seorang nabi. Kepada malaikat,  Tuhan mewahyukan (yûhî,

“memerintahkan”) agar meneguhkan pendirian orang-orang

beriman (8:12); dan kepada ibu Nabi Musa, Tuhan mewahyukan

(awhã, “memberi ilham”) agar menyusui anaknya (28:7). Bahkan,

kepada lebah pun Tuhan mewahyukan (awhaynã, “memberi ilham”)

untuk membuat sarangnya di bukit-bukit dan pohon-pohon serta 

rumah-rumah yang dibuat manusia (16:68). Pada Hari Penghabisan,

bumi akan mengeluarkan beban beratnya sebab Tuhan telah

“memerintahkan” (awhã) kepadanya untuk melakukan hal ini 

(99:1-5). Demikian pula, Tuhan “memerintahkan” (awhã) kepada

setiap lapis langit tugas-tugas khususnya.

Dalam beberapa  bagian al-Quran, kata-kata senada juga

digunakan untuk merujuk komunikasi pesan ilahi kepada para

nabi sebelum Muhammad (12:109; 16:43; 21:7,25; dll.): seperti

kepada Nuh (23:27; 11:36-37; dll.), Musa (7:160; 20:13,77; 26:52,63;

dll.), Yusuf (12:15), dan lain-lain. Pesan yang dikomunikasikan,

dalam kebanyakan kasus, berupa perintah untuk melakukan

sesuatu. Jadi, kepada Nuh, misalnya, “diperintahkan” membuat

bahtera berdasar  “wahyu”. Begitu juga, kepada Musa

“diperintahkan” untuk melakukan eksodus di malam hari,

memukul laut dan batu karang dengan tongkatnya. Terkadang,

yang diwahyukan kepada para nabi yaitu  doktrin: “Katakanlah:

‘Sesungguhnya diwahyukan kepadaku bahwa Tuhanmu yaitu 

Tuhan yang esa’” (18:110; 21:108; 41:6; dll.).

namun , obyek utama wahyu di dalam al-Quran yaitu 

Muhammad. Dalam 13:30 disebutkan bahwa ia diutus untuk

membacakan apa-apa yang “diwahyukan” kepadanya; bahwa

petunjuk yang diperolehnya disebabkan oleh apa-apa yang

“diwahyukan” kepadanya (34:50). warga  kontemporer Nabi

keheranan sebab  ia menerima wahyu untuk memberi peringatan

dan kabar gembira (10:2). namun , Muhammad diperintahkan

mengatakan: “Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa

perbendaharaan Allah ada padaku, dan aku tidak pula mengetahui

yang gaib. Aku juga tidak mengatakan kepadamu bahwa aku ini

malaikat. Sesungguhnya aku cuma hanya  mengikuti apa-apa yang

diwahyukan kepadaku” (6:50).

Bahwa wahyu yang diterima Muhammad memiliki asal-usul

ilahiah, seperti telah ditunjukkan di bagian yang lalu, selalu

ditegaskan oleh al-Quran. Dalam 53:3-4 disebutkan: “Dan tidaklah

ia (Muhammad) berbicara mengikuti hawa nafsunya. Sungguh

(ucapannya) itu tidak lain yaitu  wahyu yang diwahyukan” (cf.

6:93). Sementara di beberapa  bagian al-Quran lainnya Muhammad

diperintahkan cuma hanya  mengikuti apa-apa yang diwahyukan

Tuhannya (6:50,106; 7:203; 10:109; 33:2; 46:9; 43:43; dll.). Ia tidak

74  /  TAUFIK ADNAN AMAL

mengharamkan makanan apa pun – kecuali bangkai, darah, daging

babi atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah – sebab 

tidak menemukan larangan semacam itu eksis di dalam wahyu

yang diwahyukan kepadanya (6:145).

Kandungan wahyu yang diterima Muhammad dilukiskan

dengan berbagai cara di dalam al-Quran. Kisah keluarga Imran di

dalam surat 3 diinterupsi oleh suatu ayat (3:44) yang menyatakan:

“Itulah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan

kepadamu (Muhammad).” Sementara kisah Yusuf diawali dengan

pernyataan: “Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) kisah pal-

ing bagus dengan mewahyukan al-Quran ini kepadamu” (12:3).

Demikian pula, Allah mewahyukan kepada Muhammad untuk

mengikuti agama Ibrahim (16:123). Dan pengetahuannya tentang

beberapa  jin yang mendengar pembacaan al-Quran juga dinisbatkan

kepada wahyu ilahi (72:1), sebagaimana pengetahuannya tentang

perbantahan di kalangan malaikat pada waktu penciptaan manusia

(38:69 ff.).

Berbagai terma lain juga digunakan di dalam al-Quran untuk

menunjukkan kandungan wahyu. Dalam 5:48 disebutkan bahwa

Tuhan telah menurunkan kepada Muhammad al-kitãb dengan

kebenaran (cf. 13:1; 34:6; 22:54; 35:31; 47:2; 6:114; 4:105; 39:2,41;

3:3; 42:17; 32:3; 17:105; dll.), yang mengkonfirmasikan kitab-kitab

sebelumnya dan pelindung atasnya (cf. 6:92; 2:97; 35:31; 46:30;

6:92; 10:37; 12:111; dll.).36  Lebih jauh, kandungan wahyu juga

disebut sebagai ‘ilm (“ilmu,” 3:61; 2:120,145; 13:37; 45:17; cf. 30:29),

hikmah, (“hikmah,” 17:39; cf. 2:151,231,269; 3:164; 33:34; dll.),

hudã (“petunjuk,” 45:11,20; 3:138; 7:52,203; 12:111; dll.), syifã’

(“penawar,” 41:44; 10:57; 17:82), nûr (“cahaya,” 4:174; 5:15f.; 7:157;

42:52; 64:8), dan lain-lain. Sementara tujuan pewahyuan al-Quran

disebut dalam 6:19, “Dan al-Quran ini diwahyukan kepadaku agar

aku memberi peringatan kepadamu dengannya dan kepada orang-

orang yang sampai kepadanya (al-Quran)” (cf. 42:7; 6:92).

Deskripsi-deskripsi di atas dengan jelas memperlihatkan betapa

luas dan dalamnya kandungan semantik terma wahy dan awhã

dalam penggunaan al-Quran. Kata awhã barangkali memiliki

pengertian mendasar “komunikasi suatu gagasan melalui bisikan

yang cepat atau desakan.” 37  Pengertian ini selaras dengan contoh-

contoh yang diberikan di dalam kamus-kamus,38  di mana

ditunjukkan bahwa kecepatan atau kesekilasan merupakan bagian

dari konotasi akar kata ini . Dengan demikian, wahy secara

umum dapat bermakna gagasan yang dibisikkan, yang didesak

untuk ditindakkan atau dilakukan.

Namun yang menjadi kunci di sini yaitu  bagaimana proses

pewahyuan al-Quran kepada Muhammad. Al-Quran cuma hanya 

mengemukakan beberapa  kecil petunjuk tentang hal ini. Gambaran

paling lengkap tentang mekanisme wahyu – yang dalam

kenyataannya paling sering dijadikan obyek spekulasi tafsir

beberapa  besar sarjana Muslim – ada  dalam 42: 51-52, yang

dapat dikemukakan sebagai berikut:

Artinya:

Dan Allah tidak berkata-kata kepada seorang manusia pun

kecuali:

(a) (melalui) wahyu

atau (b) dari balik tabir

atau (c) Dia mengutus utusan

yang mewahyukan dengan seizinnya apa-apa yang Dia

kehendaki ….

Dan demikianlah telah Kami wahyukan kepadamu Ruh dari

perintah Kami….

Sebelum melangkah lebih jauh, perlu ditegaskan di sini bahwa

permulaan bagian al-Quran di atas menafikan kemungkinan Tuhan

berbicara secara langsung kepada manusia, kecuali lewat ketiga

modus taklîm di atas. Tentang model wahyu pertama (a), ada 

suatu consensus doctorum di kalangan sarjana Muslim bahwa yang

dimaksudkan dengan wahy di sini sinonim dengan ilhãm,

“inspirasi,”39  dan biasanya ditafsirkan sebagai “impian yang benar”

(ru’yat al-shãlihah). Penafsiran semacam ini bisa disimpulkan dari

penuturan al-Quran tentang kisah penyembelihan Ismail, putera

Nabi Ibrahim (39:101-112).40  Tentang model wahyu kedua (b),

biasanya ditafsirkan sebagai kalam ilahi dari balik tabir tanpa

melalui perantara, seperti dialami Nabi Musa (4:164; 7:143-144;

28:30; cf. 2:253). Sementara model wahyu ketiga (c), yakni lewat

perantaraan utusan spiritual, umumnya ditafsirkan sebagai

penyampaian wahyu Ilahi kepada nabi-nabi melalui perantaraan

malaikat Jibril atau Ruh Kudus. Bentuk pewahyuan terakhir inilah

– seperti terlihat dalam bagian akhir kutipan al-Quran di atas (42:52)

– yang dialami Muhammad.

Bahwa Jibril merupakan agen wahyu atau utusan spiritual yang

menyampaikan wahyu Ilahi kepada Muhammad, dikonfirmasi al-

Quran di beberapa tempat lainnya (2:97; 16:102; 26: 192-194; dll.).

Bahkan dalam bagian-bagian al-Quran ini dijelaskan bahwa Jibril

menyampaikan wahyu Ilahi ke dalam hati Nabi. Jadi dalam 26:192-

193, misalnya, disebutkan: “Dan sesungguhnya (al-Quran) ini

diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dia dibawa turun oleh al-

rûh al-amîn, ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi

salah seorang pemberi peringatan.” Dengan demikian, wahyu dan

agennya jelas bersifat spiritual dan internal bagi Muhammad. Hal

ini juga dinyatakan dalam bagian al-Quran lainnya: “Jika Tuhan

menghendaki, maka akan Dia tutup mata hatimu (hai

Muhammad), sehingga tidak akan ada lagi wahyu yang datang

kepadamu” (42:24; cf. 17:85-86).

Jibril – agen spiritual penyampai wahyu Ilahi kepada

Muhammad – cuma hanya  disebutkan tiga kali di dalam al-Quran (2:97,

98; 66:4), dan keseluruhannya berasal dari periode Madinah. Dari

tiga kali pemunculan ini , seperti telah disinggung di atas,

cuma hanya  satu kali saja yang bertalian dengan pewahyuan al-Quran

(2:97). Pemunculannya yang sangat belakangan ini telah

menimbulkan spekulasi di kalangan sarjana Barat tentang pengaruh

tradisi Yudeo-Kristiani dalam identifikasi ini . Gagasan umum

yang dikembangkan di sini bisa diilustrasikan dengan ungkapan

W.M. Watt:

Pengalaman Muhammad tentang pewahyuan telah

ditafsirkannya dalam berbagai cara. Pertama kali ia

menganggap bahwa Tuhanlah yang berkata-kata secara langsung

kepadanya, sebagaimana anggapannya bahwa Tuhanlah yang

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  77

menampakkan dirinya kepadanya dalam rukyah-rukyahnya.

Kemudian, ..., gagasan ini ditolak untuk mendukung ide bahwa

suatu Ruh dihunjamkan ke dalam dirinya. Belakangan, saat 

semakin akrab dengan gagasan-gagasan orang Yahudi dan

Kristen, yang darinya ia belajar mengenai malaikat sebagai

utusan Tuhan, Muhammad menganggap bahwa malaikatlah

yang membawa pesan ketuhanan kepadanya. Akhirnya, ia

memandang Jibril sebagai malaikat khusus yang membisikkan

pesan-pesan ilahi kepadanya atas nama Tuhan.41

Pandangan di atas mencerminkan suatu kegagalan dalam

mengapresiasi perkembangan misi kenabian Muhammad dalam

bentangan historisnya. Identifikasi-identifikasi tentang agen wahyu,

dalam kenyataannya berkembang selaras dengan perkembangan

misi ini , dan baru mencapai bentuk finalnya sesudah  Perang

Badr.42  Dalam proses perkembangan ini, al-Quran pada mulanya

menerima aspek-aspek tertentu keyakinan atau world-view

warga  Arab, sebab  tidak mungkin mengubahnya dalam

sesaat . Kepercayaan-kepercayaan pagan Arab itu kemudian

ditransformasikan atau diganti secara gradual dengan unsur-unsur

islami, hingga mencapai bentuk finalnya. Proses perkembangan

semacam ini, pada faktanya, terjadi dalam hampir keseluruhan

gagasan keagamaan Islam.43

Sebagai utusan spiritual yang menyampaikan pesan-pesan ilahi

kepada para nabi, Jibril lebih  sering diidentifikasi di dalam al-

Quran sebagai rûh,44  serta di beberapa tempat sebagai malã’ikah

(“malikat”),45  rasûl karîm (“utusan mulia”),46  syadîd al-quwã (“yang

sangat kuat”, 53:5 cf. 81:20), dzû mirrah (“yang