sejarah al-quran 1


 


sejarah al-quran




AL-QURAN bagi kaum Muslimin yaitu  verbum dei (kalãmu-

Allãh) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad melalui

perantaraan Jibril selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Kitab

suci ini memiliki kekuatan luar biasa yang berada di luar

kemampuan apapun: “Seandainya Kami turunkan al-Quran ini

kepada sebuah gunung, maka kamu akan melihatnya tunduk

terpecah-belah sebab  gentar kepada Allah” (59:21). Kandungan

pesan Ilahi yang disampaikan Nabi pada permulaan abad ke-7 itu

telah meletakkan basis untuk kehidupan individual dan sosial kaum

Muslimin dalam segala aspeknya. Bahkan, warga  Muslim

mengawali eksistensinya dan memperoleh kekuatan hidup dengan

merespon dakwah al-Quran. Itulah sebabnya, al-Quran berada tepat

di jantung kepercayaan Muslim dan berbagai pengalaman

keagamaannya. Tanpa pemahaman yang semestinya terhadap al-

Quran, kehidupan, pemikiran dan kebudayaan kaum Muslimin

tentunya akan sulit dipahami.

Al-Quran memang tergolong ke dalam beberapa  kecil kitab

suci yang memiliki pengaruh amat luas dan mendalam terhadap

jiwa manusia. Kitab ini telah digunakan kaum Muslimin untuk

mengabsahkan perilaku, menjustifikasi tindakan peperangan,

melandasi berbagai aspirasi, memelihara berbagai harapan, dan

memperkukuh identitas kolektif.1  Ia juga digunakan dalam

kebaktian-kebaktian publik dan pribadi kaum Muslimin, serta

dilantunkan dalam berbagai acara resmi dan keluarga.2

Pembacaannya dipandang sebagai tindak kesalehan dan

pelaksanaan ajarannya merupakan kewajiban setiap Muslim.

ini

beberapa  pengamat Barat memandang al-Quran sebagai suatu

kitab yang sulit dipahami dan diapresiasi.3  Bahasa, gaya, dan

aransemen kitab ini pada umumnya telah menimbulkan masalah

khusus bagi mereka.4  Masa pewahyuannya yang terbentang sekitar

dua puluh tahunan, merefleksikan perubahan-perubahan

lingkungan, perbedaan dalam gaya dan kandungan, bahkan

ajarannya. Sekalipun bahasa Arab yang digunakannya dapat

dipahami, ada  bagian-bagian di dalamnya yang sulit

dipahami.5  Kaum Muslimin sendiri, dalam rangka memahaminya,

telah menghasilkan berton-ton kitab tafsîr yang berusaha 

menjelaskan makna pesannya. Sekalipun demikian, beberapa  besar

mufassir Muslim masih tetap memandang kitab itu mengandung

bagian-bagian mutasyãbihãt yang, menurut mereka, maknanya

cuma hanya  diketahui oleh Tuhan.

Sejak pewahyuannya hingga kini, al-Quran telah mengarungi

sejarah panjang selama empat belas abad lebih. Diawali dengan

penerimaan pesan ketuhanan al-Quran oleh Muhammad,

kemudian penyampaiannya kepada generasi pertama Islam yang

telah menghafal dan merekamnya secara tertulis, hingga stabilisasi

teks dan bacaannya yang mencapai kemajuan berarti pada abad

ke-3H/9 dan abad ke-4H/10 serta berkulminasi dengan penerbitan

edisi standar al-Quran di Mesir pada 1342H/1923, kitab suci kaum

Muslimin ini masih menyimpan beberapa  misteri dalam berbagai

tahapan perjalanan kesejarahannya.

Telah banyak buku yang ditulis kesarjanaan Islam dan Barat

untuk mengungkapkan perjalanan kesejarahan al-Quran. namun ,

karya-karya kesarjanaan Muslim pada umumnya disusun mengikuti

sudut pandang resmi ortodoksi Islam yang rentan terhadap kritik

sejarah. Demikian pula, dekonstruksi dan evaluasi Barat atas sejarah

al-Quran, dalam kebanyakan kasus, dipijakkan pada prasangka

religius – terutama dari tradisi Yudeo-Kristiani – atau prasangka

intelektual dalam bentuk prakonsepsi gagasan dan kategori, serta

prasangka kultural yang berakar pada etnosentrisme Barat. Kajian-

kajian Barat juga sering tidak simpatik dan, hingga taraf tertentu,

telah mengaduk-aduk berbagai prasangka dogmatis umat Islam.6

Di sisi lain, beberapa  karya tentang sejarah al-Quran yang telah

masuk ke pasaran warga  Muslim Indonesia, selain bisa

dihitung dengan jari, terlihat masih miskin dari segi kandungan


dan kualitasnya. Beberapa karya terjemahan  dari bahasa Arab,7

tampak  tidak  kritis dan analitis, serta – dalam kebanyakan kasus

– lebih merefleksikan perspektif ortodoksi Islam tentang sejarah

al-Quran. Pengecualiannya yaitu  karya Abu Abd Allah az-Zanjani,

Tarîkh al-Qur’ãn, yang dalam beberapa butir tertentu merefleksikan

sudut pandang Syi‘ah anutannya – seperti pandangan tentang

mushaf al-Quran yang telah “terkumpul” seluruhnya pada masa

Nabi oleh Ali ibn Abi Thalib, bahkan lengkap dengan takwil dan

tafsirnya.8  Lebih jauh, karya az-Zanjani juga memiliki kelemahan

yang sama dengan karya-karya kesarjanaan Muslim lainnya.

Karya rintisan sarjana Indonesia di bidang sejarah al-Quran

ditulis Adnan Lubis, Tãrîkh al-Qur’ãn – terbit di Medan pada

1941.9   sesudah  itu, muncul karya Abu Bakar Aceh, Sejarah al-

Qur’ãn (1948).10  Meskipun mengaku mendapat inspirasi dari karya-

karya kesarjanaan Barat tentang sejarah al-Quran,11  karya Aceh

memiliki kandungan yang tidak sistematis menurut ukuran

penulisan sejarah. Bahan-bahan yang secara ketat tidak dihitung

sebagai bagian sejarah al-Quran dimasukkan ke dalam bukunya

tanpa pandang bulu.12

Karya kesarjanaan Muslim Indonesia lainnya yaitu  Sejarah

al-Quran, disusun H.A. Mustofa.13  Sebagaimana rata-rata karya

kesarjanaan Islam, buku ini – selain kandungannya relatif miskin

dan memprihatinkan – juga terlihat tidak kritis dalam mem-

perlakukan data kesejarahan al-Quran. Disamping itu, pada level

saintifik, karya ini terlihat sangat menyedihkan dengan non-

eksistensinya rujukan kepada sumber-sumber informasi yang

digunakan penulisnya.

Dari pertimbangan-pertimbangan di atas, terlihat bahwa suatu

rekonstruksi sejarah al-Quran yang bisa bertahan terhadap kritik

sejarah, dan sekaligus bisa berhadapan dengan berbagai prasangka

Barat, yaitu  kebutuhan yang cukup mendesak. Kajian ini ingin

melakukan rekonstruksi semacam itu dengan menelusuri masalah-

masalah utama tentang asal-usul dan pewahyuan al-Quran,

pengumpulannya, serta stabilisasi teks dan bacaannya. Dengan

demikian, permasalahan-permasalahan yang menjadi objek studi

ini bisa dikatakan mencakup keseluruhan etape perjalanan historis

al-Quran. Hasil kajiannya diharapkan bisa memberikan kontribusi

yang signifikan di bidang sejarah kitab suci kaum Muslimin.


Sesuai dengan tujuan utamanya, kajian ini mesti berpegang

secara ketat pada pendekatan sejarah. Namun, sebab  beberapa

bagian dari sejarah ini  melibatkan intensitas pemahaman

keagamaan, maka interpretasi yang dilakukan di sini tidak cuma hanya 

bersifat historis semata, namun  juga bersifat islami. Data kesejarahan

di sini tidak diperlakukan sebagai sekadar data mati untuk

dianalisis, namun  sebagai sesuatu yang memiliki implikasi religius

bagi masa depan kaum Muslimin dan kitab sucinya. sebab  itu,

kajian ini juga bersifat preskriptif dan diharapkan bisa

menyumbangkan perspektif-perspektif yang baru dan segar dalam

studi-studi al-Quran.

Dalam penelusuran jejak historis al-Quran, asal-usul, dan

perjalanan kesejarahannya yang awal, kitab suci itu akan

diperlakukan dan digunakan sebagai sumber primer. Sebagaimana

diakui, al-Quran merupakan rekaman otentik berbagai aspek

kesejarahan pra-Islam dan pada masa pewahyuannya. Sumber-

sumber lainnya, seperti hadits dan karya-karya klasik ataupun

modern kesarjanaan Muslim, akan digunakan secara kritis dalam

penelusuran ini . Demikian pula, karya-karya kesarjanaan Barat

yang bertalian dengan kajian al-Quran – baik tentang sejarah al-

Quran ataupun lainnya – juga akan dieksploitasi dengan cara yang

sama. Dalam beberapa  kasus, akan dilakukan evaluasi terhadap

gagasan-gagasan kesarjanaan Muslim dan Barat tentang berbagai

aspek kesejarahan al-Quran. Sementara keragaman tradisi teks dan

bacaan al-Quran, terutama menyangkut mushaf-mushaf pra-

utsmani, akan didekati dengan memanfaatkan edisi standar al-

Quran  Mesir (1923) – yang memakai  kiraah Hafsh ‘an Ashim

–  sebagai pijakan.

Kajian tentang perjalanan historis al-Quran ini dituangkan ke

dalam tiga bagian utama. Bagian pertama akan mengungkapkan

asal-usul dan pewahyuan al-Quran. Bagian ini terdiri dari tiga bab:

bab pertama berusaha  meletakkan al-Quran dalam latar

kesejarahannya – baik dalam konteks situasi sosio-politik serta

religius Arabia menjelang dan pada saat pewahyuan al-Quran,

maupun dalam konteks kehidupan Nabi Muhammad sendiri. Bab

kedua berusaha  menelusuri asal-usul al-Quran dari gagasan kitab

suci ini  dan gagasan-gagasan lain yang berusaha  memberi

gambaran mengenainya. Pembicaraan tentang asal-usul al-Quran


akan mengarah pada diskusi tentang hubungan wahyu ilahi dan

Nabi yang juga dibahas dalam bab ini. Sementara pewahyuan

bagian-bagian al-Quran, yang menelaah secara kronologis sekuensi

pewahyuannya menurut berbagai sudut pandang, akan

dikemukakan dalam bab ketiga.

Bagian kedua akan mendiskusikan pengumpulan al-Quran,

baik dalam bentuk hafalan dan – terutama sekali – dalam bentuk

tulisan. Aktivitas pengumpulan al-Quran (jam‘u-l-qur’ãn) bermula

pada masa Nabi dan berujung dengan kodifikasi resmi pada masa

kekhalifahan Utsman ibn Affan. Bagian ini terdiri dari empat bab.

Dalam bab keempat akan dilacak berbagai usaha  awal dalam

pengumpulan al-Quran pada masa kehidupan Nabi dan beberapa

saat sesudah  wafatnya. Kandungan kumpulan al-Quran yang awal

ini juga akan didiskusikan di dalam bab ini . Beberapa

kumpulan al-Quran yang berpengaruh sesudah  wafatnya Nabi

hingga beberapa saat sesudah  promulgasi mushaf resmi utsmani

akan dikemukakan dalam bab kelima, berikut paparan tentang

berbagai perbedaan yang eksis didalamnya dengan tradisi teks dan

bacaan utsmani. Kodifikasi mushaf utsmani dibahas dalam bab

selanjutnya – bab keenam – disertai paparan tentang penyebaran,

varian-varian, dan berbagai karakteristik utamanya. Bagian kedua

ini diakhiri dengan suatu bab tentang otentisitas dan integritas

mushaf utsmani. Berbagai gagasan yang dikemukakan sejauh ini

tentangnya, baik dari kalangan Muslim ataupun non-Muslim, akan

dieksplorasi secara kritis.

Bagian ketiga, terdiri dari dua bab, akan mengungkapkan

berbagai proses yang mengarah dan berujung pada stabilisasi teks

dan bacaan al-Quran. Proses stabilisasi teks al-Quran diawali dengan

standardisasi mushaf utsmani dan dicapai dengan serangkaian

usaha  eksperimental untuk menyempurnakan aksara Arab, yang

memperoleh bentuk finalnya pada penghujung abad ke-3H/9. Bab

kedelapan dipusatkan untuk menelaah proses penyempurnaan

aksara ini . Sementara proses stabilisasi bacaan al-Quran juga

dicapai melalui serangkaian usaha  unifikasi bacaan yang berjalan

berdampingan dengan penyempurnaan aksara Arab sesudah 

dipromulgasikannya mushaf utsmani. Proses ini mencapai

kemajuan sangat berarti pada permulaan abad ke-4H/10 – dengan

diterimanya gagasan Ibn Mujahid mengenai kiraah tujuh – dan

berkulminasi pada 1923 dengan terbitnya al-Quran edisi standar

Mesir, yang memakai  bacaan Hafsh ‘an Ashim dan menjadi

panutan mayoritas umat Islam. Proses unifikasi bacaan ini dibahas

dalam bab kesembilan.

Berbagai simpulan yang dapat ditarik dari kajian ini akan

diketengahkan dalam bagian penutup, disertai beberapa implikasi

penelitian. Di samping itu, dua lampiran yang mengungkapkan

respon umat manusia terhadap al-Quran juga disertakan. Lampiran

pertama mengemukakan beberapa respon kaum Muslimin terhadap

al-Quran, lewat pembacaan dan penghafalan kitab suci ini ,

penerjemahan, serta penafsirannya. Sedangkan lampiran kedua

mendiskusikan respon kesarjanaan Barat terhadap al-Quran melalui

terjemahan, suntingan dan kajiannya.


BAGIAN PERTAMA

Asal-usul dan Pewahyuan

al-Quran

BAGIAN INI mengungkapkan asal-usul dan

pewahyuan al-Quran, yang dituangkan ke dalam

tiga bab: bab pertama mencoba meletakkan al-

Quran dalam latar kesejarahannya – baik dalam

konteks situasi sosio-politik serta religius Arabia

menjelang dan pada saat pewahyuan al-Quran,

maupun dalam konteks kehidupan Nabi

Muhammad sendiri. Bab kedua berusaha 

menelusuri asal-usul al-Quran dari gagasan kitab

suci ini  dan gagasan-gagasan lain yang

berusaha  memberi gambaran mengenainya.

Pembicaraan tentang asal-usul al-Quran akan

mengarah pada diskusi tentang hubungan wahyu

ilahi dan Nabi. Sementara pewahyuan bagian-

bagian al-Quran, yang menelaah secara kronologis

sekuensi pewahyuannya menurut berbagai sudut

pandang, akan dikemukakan dalam bab ketiga.




BAB 1

Latar Kesejarahan

Situasi Politik

JAZIRAH ARAB terletak sangat terisolasi, baik dari sisi daratan

maupun lautan. Kawasan ini – tempat Muhammad tampil

dengan pekabaran ilahinya pada abad ke-7 perhitungan tahun

Masehi – sebenarnya terletak di pojok kultural yang mematikan.

Sejarah dunia yang besar telah jauh meninggalkannya. Perselisihan

yang membawa peperangan antar suku berlangsung dalam skala

besar-besaran di stepa-stepa jazirah ini . Dari sudut pandang

negara-negara adikuasa, Arabia merupakan kawasan terpencil dan

biadab, sekalipun memiliki posisi cukup penting sebagai kawasan

penyangga dalam ajang perebutan kekuasaan politik di Timur

Tengah, yang saat  itu didominasi dua imperium raksasa:

Bizantium dan Persia.

Kekaisaran Bizantium atau Kekaisaran Romawi Timur –

dengan ibu kota Konstantinopel – merupakan bekas Imperium

Romawi dari masa klasik. Pada permulaan abad ke-7, wilayah im-

perium ini telah meliputi Asia Kecil, Siria, Mesir dan bagian

tenggara Eropa hingga Danube. Pulau-pulau di Laut Tengah dan

sebagian daerah Italia serta beberapa  kecil wilayah di pesisir Afrika

Utara juga berada di bawah kekuasaannya.

Saingan berat Bizantium dalam perebutan kekuasaan di Timur

Tengah yaitu  Persia.  saat  itu, imperium ini berada di bawah

kekuasaan dinasti Sasanid (Sasaniyah). Ibu kota Persia yaitu  al-

Mada’in, terletak sekitar dua puluh mil di sebelah tenggara kota

Bagdad yang sekarang. Wilayah kekuasaannya terbentang dari Irak

dan Mesopotamia hingga pedalaman timur Iran dewasa ini serta

Afganistan.

12  /  TAUFIK ADNAN AMAL

Perebutan kekuasaan kedua imperium adidaya di atas memiliki

pengaruh nyata terhadap situasi politik di Arabia saat  itu. Kira-

kira pada 521, Kerajaan Kristen Abisinia dengan dukungan penuh

– dan mungkin atas desakan – Bizantium menyerbu serta

menaklukkan dataran tinggi Yaman yang subur di barat daya

Arabia. Memandang serbuan ini  sebagai ancaman terhadap

kekuasaannya, Dzu Nuwas – penguasa Arabia Selatan pro-Persia –

bereaksi dengan membantai orang-orang Kristen Najran yang

menolak memeluk agama Yahudi. Peristiwa pembantaian ini, terjadi

di sekitar 523, memiliki pengaruh traumatik terhadap keseluruhan

jazirah Arab dan dirujuk dalam suatu bagian al-Quran (85:4-8).

Atas desakan dan dukungan Bizantium, pada 525 Dzu Nuwas

berhasil digulingkan dari takhtanya lewat suatu ekspedisi yang

dilakukan orang-orang Abisinia. namun , sekitar 575, dataran tinggi

Yaman kembali jatuh ke tangan Persia.

Menjelang lahirnya Nabi Muhammad, penguasa Abisinia di

Yaman –  Abraham, atau lebih populer dirujuk dalam literatur

Islam sebagai Abrahah – melakukan invasi ke Makkah, namun  gagal

menaklukkan kota ini  lantaran epidemi cacar yang menimpa

bala tentaranya. Ekspedisi ini – dirujuk al-Quran dalam surat 105

– pada prinsipnya memiliki tujuan yang secara sepenuhnya berada

di dalam kerangka politik internasional saat  itu, yaitu usaha 

Bizantium untuk menyatukan suku-suku Arab di bawah

pengaruhnya guna menentang Persia. Sementara para sejarawan

Muslim menambahkan tujuan lain untuknya. Menurut mereka,

ekspedisi ini  – terjadi kira-kira pada 5521  – dimaksudkan untuk

menghancurkan Ka‘bah dalam rangka menjadikan gereja megah

di San‘a, yang dibangun Abrahah, sebagai pusat ziarah keagamaan

di Arabia.2

usaha  kedua imperium adikuasa itu dalam rangka memperoleh

kontrol politik atas jazirah Arabia biasanya dilakukan secara tidak

langsung, seperti dengan jalan mendukung penguasa-penguasa kecil

di perbatasan kawasan ini . Kontrol politik Persia atas beberapa 

kota kecil di pesisir timur dan selatan Arabia, misalnya, diperoleh

dengan mendukung kelompok-kelompok politik pro-Persia di

daerah-daerah ini . Suatu insiden yang terjadi di Makkah sekitar

590 – biasanya dikaitkan dengan nama Utsman ibn al-Huwairits –

dapat dilihat sebagai usaha  Bizantium untuk memperoleh kontrol


politik atas kota itu dengan jalan membantu orang yang pro-

Bizantium ini menjadi penguasanya. namun , orang-orang Makkah

terlihat tidak berminat menjadi bawahan salah satu adikuasa dunia,

lantaran implikasi politiknya, dan orang dukungan Bizantium itu

dipaksa kabur dari kota mereka.

Pada permulaan abad ke-7, Persia mencatat serangkaian

kemajuan berarti dalam  usaha   perluasan  pengaruh  politiknya.

Pada 611 balatentaranya berhasil menaklukkan kota Raha,

kemudian bergerak ke selatan dan menundukkan satu demi satu

wilayah Imperium Bizantium. Siria jatuh ke tangannya pada 613,

menyusul Yerusalem pada 614 dan Mesir pada 617. Bahkan, pada

626 pasukan Persia mengepung Konstantinopel, meskipun

berlangsung sangat singkat dan tidak membawa hasil. Namun,

penjarahan Yerusalem yang dilakukan sesudah  suatu pemberontakan

terhadap garnisun Persia, pembantaian warga  kota ini 

dan dibawa larinya benda yang dipandang sebagai salib suci, telah

membangkitkan emosi keagamaan orang-orang Kristen di seluruh

wilayah Imperium Bizantium. Kejadian ini tentunya sangat

kondusif bagi Heraclius – penguasa tertinggi Bizantium saat  itu

– untuk menggalang kembali kekuatan militernya. sesudah 

menghadapi orang-orang Avar yang menyerang Konstantinopel

dari utara, pada 622 Heraclius memusatkan perhatian untuk

menghadapi Persia. Suatu invasi yang berani ke Irak dilakukannya

pada 627. Walaupun balatentara Bizantium segera ditarik mundur

sesudah  penyerbuan itu, namun ketegangan-ketegangan yang muncul

di dalam negeri Persia, akibat peperangan berkepanjangan, mulai

terasa. Kurang lebih setahun sebelumnya, Khusru II –  penguasa

Persia waktu itu – dibunuh; dan penggantinya yang memiliki

banyak musuh di dalam negeri lebih menginginkan perdamaian.

Peperangan akbar antara kedua imperium adikuasa ini pun

berakhir. Negosiasi penyerahan propinsi-propinsi Bizantium yang

direbut Persia berjalan berlarut-larut hingga pertengahan 629.

Akhirnya, pada penghujung tahun itu Heraclius kembali ke

Konstantinopel dengan kemenangan di tangan.

Perebutan kekuasaan yang berkepanjangan antara Bizantium

dan Persia, seperti telah diutarakan, mendapat perhatian serius

dari orang-orang Arab saat  itu, lantaran relevansi politiknya yang

nyata terhadap mereka. Tentang perebutan kekuasaan kedua


adikuasa ini , al-Quran menuturkan: “Telah dikalahkan bangsa

Romawi di negeri terdekat yang sesudah  kekalahan itu mereka akan

memperoleh kemenangan dalam beberapa tahun lagi …” (30:2-4).

Bagian awal pernyataan ini merujuk kepada serangkaian kekalahan

yang dialami Bizantium pada permulaan abad ke-7 – khususnya

warga an Yerusalem oleh balatentara Persia. Sementara bagian

selanjutnya merupakan prediksi tentang kemenangan akhir

Bizantium atas Persia pada perempatan kedua abad yang sama.

Kehidupan di Jazirah Arab

Risalah yang dibawa Muhammad memiliki keterkaitan yang

erat dengan milieu dunia perniagaan warga  perkotaan Arab

saat  itu. Tanah air pertama Islam, Makkah, merupakan pusat

perniagaan yang sangat makmur. Sementara tanah air keduanya,

Yatsrib – atau kemudian berganti nama dan lebih populer dengan

Madinah – yaitu  oase kaya yang juga merupakan kota niaga,

sekalipun tidak sebesar Makkah. Meskipun Madinah memiliki

peran sentral yang amat vital dalam evolusi eksternal misi kenabian

Muhammad, namun milieu komersial Makkahlah yang tampaknya

paling mendominasi ungkapan-ungkapan al-Quran.

Pada penghujung abad ke-6, para pedagang besar kota Makkah

telah memperoleh kontrol monopoli atas perniagaan yang lewat

bolak-balik dari pinggiran pesisir barat Arabia ke Laut Tengah.

Kafilah-kafilah dagang yang biasanya pergi ke selatan di musim

dingin dan ke utara di musim panas, dirujuk dalam al-Quran (106:2).

Rute ke selatan yaitu  ke Yaman, namun  biasanya juga diperluas ke

Abisinia. Sementara rute ke utara yaitu  ke Siria. Di tangan kafilah-

kafilah dagang inilah orang-orang Makkah mempertaruhkan

eksistensinya yang asasi. Di lembah kota Makkah yang tandus,

pertanian maupun peternakan yaitu  impian indah di siang bolong.

Kota ini sangat bergantung pada impor bahan makanan. sebab 

itu, kehidupan ekonominya yang khas yaitu  di bidang perniagaan

dan kemungkinan besar cuma hanya  bersifat moneter.3

Perdagangan dan urusan-urusan finansial yang bertalian

dengannya menjanjikan satu-satunya penghasilan bagi warga 

kota Makkah. Bahkan, secara ekonomis, hampir setiap orang

menaruh minat yang besar pada kafilah-kafilah dagang. Penjarahan


atas suatu kafilah ataupun musibah lain yang menimpanya akan

merupakan pukulan berat dan bencana bagi warga  kota

ini . Itulah sebabnya, susaha  keamanan kafilah-kafilah

terjamin, orang-orang Quraisy harus melakukan negosiasi dengan

negara-negara tetangganya dan menjalin hubungan baik dengan

suku-suku pengembara di berbagai bagian rute perniagaan.

Empat bersaudara anggota suku Quraisy dari keluarga Abd al-

Manaf – Hasyim, al-Muthalib, Abd al-Syams dan Naufal – dikabarkan

telah memperoleh jaminan keamanan4  dari penguasa-penguasa

Bizantium, Persia, Abisinia dan Himyari. Hasyim dilaporkan

memperoleh jaminan keamanan dari beberapa  penguasa, termasuk

dari Qayshar Bizantium; al-Muthalib juga memperoleh perjanjian

yang sama dari penguasa Yaman; Abd al-Syams mendapatkannya

dari penguasa Abisinia; dan Naufal memperolehnya dari Kisra Per-

sia. Jaminan keamanan sejenis juga diperoleh dari suku-suku Arab

di sepanjang perjalanan keempat bersaudara anggota suku Quraisy

itu.5  Jadi, bisa dikatakan bahwa imperium niaga  orang-orang

Makkah dalam kenyataannya dibangun  keluarga Abd al-Manaf lewat

pakta-pakta perniagaan mereka.

Supremasi kaum Quraisy di dunia perniagaan, dalam

kenyataannya, memiliki fondasi religius. Mereka berdiam di dalam

suatu kawasan yang dipandang suci seluruh suku Arab. Suku-suku

ini bahkan rela meregang nyawa mempertahankan gagasan tentang

kesucian Makkah.6  Lebih jauh, mereka juga merupakan penjaga

Ka‘bah, dengan “batu hitam” (al-hajar al-aswad) beserta segala

berhala di dalamnya, yang merupakan tempat suci yang diziarahi

orang dari berbagai penjuru Arabia Barat. Jadi, Ka‘bah jelas

merupakan tempat suci yang memiliki posisi sentral bagi suku-

suku di Arabia Barat, dan hal ini tentunya sangat menguntungkan

bagi aktivitas niaga yang dijalankan orang-orang Makkah.7

Meskipun kata tãjir (“pedagang”) tidak digunakan di dalam

al-Quran dan kata tijãrah (“perniagaan”) cuma hanya  disebutkan dalam

sembilan kesempatan,8   perniagaan  merupakan  tema  sentral

dalam  kehidupan  yang  tercermin dalam perbendaharaan kata

yang digunakan kitab suci ini . Seorang sarjana Amerika

beragama Yahudi, C.C. Torrey, yang melakukan penelitian tentang

hal ini, sampai kepada kesimpulan bahwa istilah-istilah perniagaan

digunakan kitab suci ini  untuk mengungkapkan butir-butir

doktrin yang paling mendasar, bukan sekadar kiasan-kiasan

ilustratif.9  Ia menganalisis terma-terma perniagaan  dalam kategori-

kategori berikut: terma-terma matematik (hisãb, al-hasîb, ahshã),

takaran dan ukuran (wazana, mîzãn, tsaqula, mitsqãl), pembayaran

dan upah (jazã, tsawwaba, tsawãb, waffã, ajr, kasaba), kerugian dan

penipuan (khasira, bakhasa, zhalama, alata, naqasha), jual-beli

(syarã, isytarã, bã‘a, tijãrah, tsaman, rabiha), serta pinjam-meminjam

dan jaminan (qardl, aslafa, rahîn).10

Ungkapan-ungkapan dari dunia perniagaan memang

menghiasi lembaran-lembaran al-Quran dan digunakan untuk

mengungkapkan ajaran-ajarannya yang asasi. Hisãb (), suatu

istilah yang lazim digunakan untuk perhitungan untung-rugi dalam

dunia perniagaan, muncul di beberapa tempat dalam al-Quran

sebagai salah satu nama bagi Hari Kiamat (yawm al-hisãb),11  saat 

perhitungan terhadap segala perbuatan manusia dilakukan dengan

sangat cepat (sari‘ al-hisãb).12  Sementara kata hasîb (“pembuat

perhitungan,” “penghitung”) dinisbatkan kepada Tuhan dalam

kaitannya dengan perbuatan manusia.13  Gagasan utama yang

mendasari “perhitungan” ilahi yaitu  kitãb, yang merekam segala

perbuatan baik dan buruk manusia.14  Timbangan akan dipasang

di Hari Perhitungan dan seluruh perbuatan manusia akan ditakar.15

Setiap orang akan bertanggungjawab atas segala perbuatan yang

telah dilakukannya.16  Perbuatan baik dan direstui akan memperoleh

imbalan atau upah; sebaliknya, perbuatan buruk dan dikutuk akan

diganjar azab neraka. Kata-kata kerja kasaba (“memperoleh

keuntungan,” “berusaha,” “berbisnis”), jazã (“membayarkan,”

“memberi upah,” “ganjaran,” “imbalan”), ãjara (“memberi upah,”

“membayar nilai kontrak,” “imbalan”), serta berbagai bentuk

konjugasinya, sering digunakan al-Quran dalam konteks-konteks

semacam ini.17

Ungkapan-ungkapan dari dunia perniagaan lainnya yang lazim

digunakan dalam warga  niaga Makkah, seperti “menjual,”

“membeli” – atau “barter” – dan “transaksi” pada umumnya, juga

digunakan al-Quran untuk mengungkapkan gagasan-gagasan

keagamaan Islam yang mendasar. Dalam 9:111, disebutkan:

“Sesungguhnya Tuhan telah membarter (isytarã ) dari orang-orang

beriman diri dan harta mereka dengan memberikan surga kepada

mereka … maka bergembiralah dengan transaksi (bay‘ ) yang telah

kamu lakukan, dan itulah kemenangan yang besar.” Orang-orang

beriman dinyatakan sebagai “Orang-orang yang menjual (yasyrûna)

kehidupan dunia ini dengan kehidupan akhirat” (4:74).18  Sementara

orang-orang tidak beriman dikatakan “Telah membarter (isytarawû)

kesesatan dengan petunjuk” (2:l6),19  atau “kekafiran dengan

keimanan” (3:l77). Lebih jauh, kata bay‘ di beberapa tempat dalam

al-Quran juga dihubungkan dengan Pengadilan Akhirat, dan

disebutkan bahwa pada hari itu tidak ada lagi transaksi (2:254; 14:31).

Beberapa ilustrasi istilah perniagaan-teologis yang dikemukakan

di atas cuma hanya  merupakan sebagian kecil dari ungkapan-ungkapan

al-Quran yang memiliki sentuhan erat dengan dunia bisnis Makkah.

ada  berbagai konteks lainnya di dalam al-Quran, di mana istilah-

istilah perniagaan lain telah digunakan untuk mengekspresikan

ajaran-ajaran mendasar kitab suci ini .20  Bahkan, dalam konteks

Madaniyah, istilah-istilah semacam itu juga sering digunakan dalam

bagian-bagian al-Quran yang berhubungan dengan ketentuan-

ketentuan hukum bagi kaum Muslimin. Kata mîzãn (“timbangan”),

misalnya, digunakan dalam 6:151-152: “Katakanlah: Marilah

kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu …Dan

sempurnakanlah takaran dan timbangan (mîzãn) dengan adil.”

Demikian pula, kata ajr/ujûr (“imbalan”),  digunakan dengan makna

mahar perkawinan dalam 4:24-25; 5:5; 33:50; dan 60:10. Sementara

dalam 65:6, ujûr diperintahkan untuk diberikan kepada wanita-wanita

dalam masa ‘iddah yang menyusui anak.

Namun, di tengah-tengah warga  niaga ini, sebagaimana

halnya dalam warga -warga  niaga pada umumnya, muncul

masalah-masalah akut bertalian dengan disekuilibrium dan

pergolakan sosial. Praktek-praktek perekonomian yang tidak etis dan

eksploitatif, selain memperlebar jurang pemisah antara yang kaya

dan  miskin, juga telah mengancam kohesi sosial warga  Makkah.

Al-Quran menyinggung kecurangan yang dilakukan pedagang-

pedagang Makkah dalam takar-menakar dan timbang-menimbang,21

serta praktek riba yang merupakan fenomena umum di Makkah

maupun Madinah.22  Sementara eksistensi beberapa  orang tertindas

serta neraka perbudakan dan orang-orang sewaan juga memiliki andil

dalam memperlebar kesenjangan sosial di Makkah.23

Sekalipun orang-orang Makkah secara konstan sibuk dalam

aktivitas niaganya, mereka tetap mempertahankan ciri

pengembaraannya. Baru beberapa generasi mereka meninggalkan

kehidupan nomadik untuk menetap di Makkah, dan rentang waktu

yang belum begitu lama ini tentunya belum dapat mengubah

karakter ini . Kesibukan rata-rata orang Arab dalam dunia

bisnis bisa juga dikaitkan dengan pandangan dunia nomadik

mereka tentang kehidupan. Orang-orang yang menaruh perhatian

pada kebudayaan Arab mengenal dengan baik realisme sederhana

yang mencirikan weltanschauung pagan Arab. Realisme ini

bertalian secara intim dengan iklim padang pasir yang kejam.

Bagi orang Arab, dunia yang fana ini merupakan satu-satunya

dunia yang eksis. Eksistensi di luar batas dunia merupakan hal

yang nonsen. Konsepsi tentang eksistensi yang secara khas

mencirikan pandangan dunia pagan Arab ini direkam dalam

berbagai bagian al-Quran. Dalam 45:24 disebutkan: “Mereka

berkata:  Kehidupan kita cuma hanya lah  di dunia ini, kita mati dan

kita hidup serta tidak ada yang membinasakan kita kecuali masa.”

Kemungkinan akan dibangkitkannya manusia dalam kehidupan

mendatang sama sekali merupakan konsepsi yang asing dan berada

di luar benak orang-orang Arab. Selain penegasan pagan Arab

tentang eksistensi satu-satunya di dunia ini, dalam 6:29 juga

dikemukakan penolakan mereka terhadap eksistensi di luar dunia:

“Kehidupan kita cuma hanya lah di dunia ini, kita sama sekali tidak

akan dibangkitkan.”24

Konsepsi pesimistik – sekalipun dipandang realistik – tentang

kehidupan di muka bumi ini memiliki implikasi yang jauh

menjangkau dalam kehidupan padang pasir. Pengejaran terhadap

kenikmatan semu duniawi yang dilakukan dengan berbagai cara –

mulai dari penjarahan kafilah-kafilah dagang dan suku-suku lemah

hingga praktek-praktek ekonomi yang eksploitatif dan tidak

bermoral – merupakan fenomena umum di Arabia. Jika kehidupan

cuma hanya  terbatas di dunia ini dan suatu saat  “masa” (dahr) secara

pasti akan membinasakan manusia, maka solusi paling realistik

yaitu  hedonisme atau carpe diem. Bahkan, dalam konsepsi pa-

gan Arab, penumpukan kekayaan dalam rangka pengejaran

kesenangan duniawi dipandang bisa memberikan kehidupan abadi

(khulûd) kepada manusia di dunia.25

Telah dikemukakan di atas bahwa  orang-orang Makkah

memiliki  pertalian yang sangat erat dengan padang pasir dan

tetap berusaha  mempertahankan ciri kehidupan nomadiknya.

Pijakan utama kehidupan di padang pasir yaitu  penggembalaan

dan pengembangbiakan ternak, terutama unta yang memiliki daya

tahan tinggi di lingkungan seperti itu. Dengan menjual kelebihan

unta atau menerima upah sebagai penjamin keamanan kafilah-

kafilah dagang, kaum pengembara bisa membeli kurma dari oase-

oase dan bahkan barang mewah seperti khamr (anggur). Pada

musim penghujan atau musim semi, banyak lembah dan ngarai

yang ditumbuhi sayur-mayur secara berlimpah ruah namun  berumur

pendek, yang darinya unta-unta memperoleh makanan serta cairan

untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Walaupun demikian, curah

hujan di Arabia tidak teratur, dan kaum pengembara mesti

mengubah geraknya selaras dengan perubahan iklim. saat  sayur-

mayur musim semi telah menghilang, pengembara harus pergi ke

daerah-daerah terpencil lainnya yang memiliki mata air dan semak

belukar yang masih tetap hijau.

Kejamnya kehidupan di padang pasir turut mendominasi

tamsilan al-Quran di berbagai tempat. Kejadian di Hari Kiamat,

misalnya, digambarkan laksana gunung-gunung yang berubah

menjadi tumpukan pasir yang beterbangan (73:l4)26  – suatu

gambaran yang intensitasnya melebihi badai padang pasir yang

mesti dihadapi para pengembara. Situasi semacam ini juga

ditamsilkan al-Quran sehubungan dengan perbuatan orang-orang

kafir. Dalam 14:18 dikatakan bahwa amalan-amalan mereka seperti

debu pasir yang beterbangan dihempas angin ribut. Gambaran

lainnya tentang perbuatan orang kafir yaitu  amalan mereka

laksana fatamorgana yang dari jauh terlihat seperti sumber air,

namun  saat  mereka sampai di sana tidak ada  sesuatu pun

kecuali Allah (24:39). Sementara gambaran yang bertalian dengan

minimnya curah hujan di Arabia – yang dengannya tanah-tanah

“mati” menjadi “hidup” –  bisa ditemukan dalam berbagai konteks

al-Quran lainnya.27

Lantaran tekanan populasi yang berkesinambungan terhadap

persediaan makanan, perjuangan untuk mempertahankan eksistensi

melawan saingan-saingan tidak pernah berakhir. Untuk

menghadapi musuh dan tolong-menolong melawan keganasan

alam,  orang-orang Arab menyatukan dirinya ke dalam kelompok-

kelompok yang biasanya didasarkan pada pertalian darah.

Kelompok-kelompok ini relatif  kecil  dan  biasanya dirujuk dengan

istilah banû (“anak keturunan,” “keluarga,” “klan”). namun , untuk

tujuan tertentu, kelompok-kelompok kecil bergabung dengan

kelompok-kelompok lainnya – baik berdasar  pertalian keluarga

yang nyata maupun artifisial melalui keturunan nenek moyang

yang sama – dan membentuk suatu qawm (“suku”). Suku-suku,

berdasar  tujuan dan kepentingan tertentu, terkadang bergabung

dengan suku-suku lainnya untuk membentuk federasi suku-suku.

sesudah  hijrah ke Madinah, Nabi terlihat membentuk federasi

kesukuan semacam itu berdasar  Piagam Madinah.

Selain beranggotakan warga penuh berdasar  kelahiran,

keanggotaan suatu suku atau kaum biasanya diperluas mencakup

orang-orang atau suku-suku yang meminta perlindungan.

Pertambahan anggota kesukuan antara lain mengambil  bentuk

seperti  halîf  (“sekutu berdasar  kontrak”),  jãr (“tetangga yang

dilindungi”),  dan mawlã (“klien”). Dengan demikian, tampak

bahwa struktur sosial Arabia pra-Islam dan pada masa awal Islam

yaitu  kesukuan. Suku, atau sub-kelasnya (banû), bagi orang-

orang Arab, tidak cuma hanya  merupakan satu-satunya unit atau basis

kehidupan sosial, namun  lebih jauh juga mencerminkan prinsip

perilaku tertinggi. Solidaritas kesukuan merupakan basis

keseluruhan gagasan moral paling mendasar yang di atasnya

warga  Arab dibangun. Menjunjung tinggi ikatan kekeluargaan

berdasar  pertalian darah melebihi segalanya di dunia ini, dan

melakukan segala sesuatu yang bisa mengangkat kehormatan serta

keharuman nama suku, merupakan tugas suci yang dibebankan

kepada setiap individu anggota suatu suku.

Kesetiakawanan kesukuan memang merupakan prasyarat

mutlak dalam kehidupan liar di padang pasir. Tanpa suatu taraf

solidaritas yang tinggi, tidak ada harapan bagi siapa pun untuk

meraih keberhasilan dalam mempertahankan eksistensi di tengah-

tengah iklim dan kondisi sosial padang pasir yang kejam. Dalam

taraf yang lebih jauh, solidaritas kesukuan mengharuskan seseorang

berpihak secara membabi-buta kepada saudara-saudara sesukunya

tanpa peduli apakah mereka keliru atau benar. Durayd ibn al-

Simmah, seorang penyair pra-Islam, secara efektif memperlihatkan

hal ini dalam sebuah syairnya:

saat  mereka menolak saranku, aku tetap berpihak kepada

mereka sekalipun dengan sepenuhnya mengetahui

Bahwa aku berada dalam kekeliruan yang nyata saat 

meninggalkan jalan yang tepat

Aku cuma hanya lah anggota (suku) Gaziyah. Jika mereka menempuh

jalan keliru,

Maka aku harus melakukan hal senada, sama seperti aku

mengikuti mereka  saat  mereka memilih jalan benar.28

Solidaritas kesukuan tidak cuma hanya  merupakan karakteristik asasi

kehidupan di padang pasir, namun  juga di kota-kota seperti Makkah

dan Madinah, serta bertalian erat dengan gagasan lex talionis (balas

dendam). Dalam kehidupan di jazirah Arabia, pada umumnya

seseorang akan berusaha  menghindari mencelakai atau membunuh

orang lain, jika orang ini  berasal dari suatu suku kuat yang

pasti akan menuntut balas atasnya. Menurut prinsip lex talionis,

bukanlah hal mutlak bahwa si pembunuh yang mesti dieksekusi

dalam balas dendam, namun  siapa saja dari suku atau klan si

pembunuh yang berstatus sama dengan korban. Pada suatu

kesempatan di masa pra-Islam, seorang kepala suku dibunuh, dan

seorang anak muda yang berasal dari suku si pembunuh dibantai

dalam rangka balas dendam. namun  suku yang menuntut balas

belum merasa puas sebab  memandang nyawa anak muda itu tidak

lebih berharga dari tali sepatu kepala suku terbunuh. Akibatnya,

pecah peperangan sengit antar-suku yang banyak menumpahkan

darah.29

yaitu  menarik bahwa secara politik Muhammad terlihat telah

menikmati keuntungan dari sistem perlindungan kesukuan di dalam

warga  kota Makkah, khususnya pada tahun-tahun pertama

aktivitas kenabiannya. Ia bisa bertahan hidup di kota ini, sekalipun

dengan oposisi yang sangat keras,  sebab  berasal dari  banû Hasyim

– suatu klan yang relatif cukup kuat di Makkah. Klan ini, berdasar 

prinsip solidaritas kesukuan, terikat kehormatan untuk menuntut

balas atas setiap kerugian yang menimpanya, sekalipun banyak

anggota klan ini  tidak bersetuju dengan agama barunya. namun ,

sesudah  klan ini menarik perlindungan atasnya pada masa

kepemimpinan Abu Lahab – barangkali inilah yang melatarbelakangi

kecaman keras al-Quran terhadapnya dalam 111:1-5 – Nabi

melakukan hijrah ke Madinah. Di kota ini beberapa klan tertentu,

yang menerima risalah kenabiannya, bersedia memberikan jaminan

keamanan kepadanya.30

Semangat kesukuan di kalangan orang-orang Arab pra-Islam

memang tidak sebanding dengan konsep nasionalisme, seperti

dipahami dewasa ini, sebab  dasar keterikatan mereka yaitu  kepada

suku atau kaum. Walaupun demikian, ada  adat-istiadat yang

diterima secara luas dan lazimnya dikenal sebagai muruwwah

(“kebajikan-kebajikan utama”). Muruwwah, antara lain, terdiri dari

keberanian, kedermawanan dan memegang janji. Selain itu, lex

talionis – seperti diuraikan di atas – juga tercakup ke dalamnya.

yaitu  hal yang wajar dalam berbagai kondisi padang pasir

yang kejam jika keberanian memperoleh tempat tertinggi di antara

kebajikan-kebajikan utama lainnya. Di padang-padang tandus

Arabia, di mana kekuatan-kekuatan alam sangat bengis terhadap

manusia dan  penjarahan antar-suku –  dipandang sebagai olahraga

nasional, bukan suatu kejahatan – hampir merupakan satu-satunya

alternatif terhadap kematian, tidak ada yang dapat memungkiri

pentingnya kekuatan fisik dan  kecakapan militer.  Kehormatan

suku di kalangan pagan Arab, hingga taraf  yang jauh, merupakan

masalah keberanian. Bagi orang-orang Arab Badui, perkelahian

berdarah – apakah bersifat kesukuan atau individual – merupakan

sumber dan dorongan utama kehidupan. Dengan demikian,

keberanian tidaklah dipandang secara sederhana sebagai senjata

untuk mempertahankan diri: ia merupakan sesuatu yang lebih positif

dan agresif.

Demikian pula, dalam kondisi padang pasir yang sulit,

merupakan hal amat mulia jika kedermawanan diberi tempat tinggi

dalam daftar kebajikan utama. Kebutuhan akan bahan-bahan pokok

yang sangat sulit diperoleh, telah membuat tindakan kedermawanan

sebagai salah satu aspek penting dalam perjuangan mempertahankan

eksistensi. Dalam pandangan orang-orang Arab, kedermawanan

bertalian erat dengan konsep kemuliaan, dan dianggap sebagai bukti

kemuliaan sejati seseorang. Bagi seorang pagan Arab, kedermawanan

bukan sekadar manifestasi dari rasa solidaritas kesukuannya, sebab 

sangat sering kedermawanan diperluas kepada orang-orang asing di

luar keanggotaan sukunya. Tindakan kemurahan hatinya juga tidak

selalu didorong oleh motif berbuat baik. Baginya, kedermawanan

terutama sekali merupakan tindakan untuk membuktikan kemuliaan

dan, sebab  itu, selalu dipamerkan.31

Sementara memegang janji di kalangan orang-orang Arab

merupakan salah satu kebajikan tertinggi lainnya yang paling khas.

Sebagaimana yang dapat diduga, kebajikan utama ini berhubungan

intim dengan masalah pertalian darah, dan  dalam  kebanyakan

kasus dipraktekkan dalam ikatan kesukuan.  Kebajikan memegang

janji memanifestasikan dirinya dalam kerelaan seseorang untuk

berkorban nyawa tanpa pamrih demi membela sesama anggota suku

atau klan, sebab  secara primordial ia terikat janji dan kehormatan

untuk melakukan hal ini . Dalam skala yang lebih luas, nilai

keteguhan memegang janji – dengan mempertimbangkan sulitnya

kehidupan di padang pasir – terlihat sangat penting, serta dijelmakan

dalam pakta-pakta antar suku dan institusi yang dikenal sebagai

“empat bulan suci,”32  saat  seluruh pertikaian dan peperangan

mesti dihentikan dalam rangka memberi kesempatan kepada para

peziarah untuk melakukan ziarah ke kota-kota suci dan kepada

para pedagang untuk melakukan perniagaan.

Hal-hal yang bertalian dengan kehormatan (code of honor) di

kalangan orang Arab, yang sebagiannya telah diungkapkan di atas,

memiliki kedudukan penting sebagai latar historis untuk memahami

berbagai gagasan moral al-Quran. Nilai-nilai kesukuan Arab itu

sebagiannya ditolak secara tegas oleh al-Quran dan sebagian lagi

diterima, dimodifikasi serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan

Islam. Lebih tegas lagi, nilai-nilai lama ini  secara radikal telah

mengalami transformasi dan tercabut dari bentuk tradisional

kehidupan kesukuan Arab.33

Sisi lain dari kehidupan di jazirah Arab yaitu  pertanian. Di

samping Yaman, ada  beberapa  oase di bagian barat Arabia yang

pekerjaan utama warga nya yaitu  bertani. Yang terpenting dari

oase-oase ini yaitu  Madinah. Panenan utama daerah ini yaitu 

kurma, namun  tanaman pangan lain juga dihasilkannya. yaitu 

menarik bahwa dalam perkembangan pertanian di Madinah

maupun di oase-oase lain orang Yahudilah yang memainkan peran

utama. Peran ini barangkali tidak lazim jika dikaitkan dengan

eksistensi mereka sebagai pedagang dan penyandang dana di berbagai

belahan dunia lain sejak abad pertengahan hingga kini. Sekalipun

orang-orang Arab tertentu lebih belakangan menetap di Madinah

dibandingkan orang-orang Yahudi, namun  secara politik mereka

lebih dominan. Di oase-oase lain seperti Tayma, Fadak, Wadi al-

Qura, dan Khaibar, pemukim utamanya juga orang-orang Yahudi.

Namun asal-asul etnis suku-suku dan klan-klan Yahudi di kawasan

“hijau” ini tidak begitu jelas. Dalam kebanyakan kasus, mereka

telah mengadopsi bentuk-bentuk kewarga an dan adat-istiadat

Arab, serta cuma hanya  berbeda dalam agama.

Sisi “hijau” jazirah Arab ini dikemukakan al-Quran dalam

beberapa kesempatan. Sistem irigasi canggih di Arabia Selatan dan

kemusnahannya – sering disebut sebagai bobolnya bendungan

Ma’arib di sekitar 450 – dirujuk dalam 34:16. Masih ada 

beberapa rujukan lainnya di dalam kitab suci ini  kepada

pertanian yang telah memakai  sistem irigasi.34  namun , bentuk

pertanian yang dipraktekkan di luar oase-oase di Arabia pada

umumnya bersifat musiman sebab  ketergantungan yang sangat

pada curah hujan, seperti ditamsilkan al-Quran dalam berbagai

kesempatan.35

Suasana Keagamaan

Sebagaimana telah dikemukakan, di oase-oase sekitar Madinah

– Tayma, Fadak, Khaibar, Wadi al-Qura – dan di kota itu sendiri

serta Yaman, ada  beberapa  pemukiman Yahudi. Keberadaan

orang-orang Yahudi di Arabia mungkin bisa ditelusuri mulai abad

pertama Masehi. Penaklukan Yerusalem oleh Kaisar Titus (sekitar

70) serta penumpasan pemberontakan Bar Kochba (sekitar 135)

barangkali telah membuat beberapa  orang Yahudi di kota ini 

terpaksa meninggalkan negerinya untuk mengembara, dan

kemudian menetap di Arabia.36  Alfred Guillaume menyebutkan

enam kota Arab – Hijr, Ula, Tayma, Khaibar, Thaif dan Madinah

– yang menjadi tempat pemukiman Yahudi.37  Kota Makkah tidak

dimasuki, sebab  merupakan pusat penyembahan berhala.

Sekalipun demikian, orang-orang Quraisy mengenal dengan baik

agama Yahudi, sebab  kota itu berada di jalur perniagaan Yaman

dan Siria.

Berbeda dengan teori di atas, C. C. Torrey mengemukakan

dugaan tentang eksistensi suatu “koloni besar” kaum Yahudi di

kota  Makkah.38   namun ,  pandangan  ini tidak dilandasi dengan

bukti-bukti yang kuat. Mungkin saja ada satu-dua orang Yahudi di

Makkah, namun di dalam al-Quran maupun literatur-literatur

kesejarahan yang ditulis kaum Muslimin, tidak ditemukan sedikit

keterangan pun mengenai keberadaan warga  Yahudi dalam

jumlah besar di kota itu.39

Berbeda dengan kaum Yahudi, orang-orang Kristen di Arabia

memiliki posisi yang tidak begitu baik ditinjau dari sisi difusi dan

kohesinya. Pengikut-pengikut Isa al-Masih ini tidak terkonsentrasi

di oase-oase. Meskipun demikian, agama Kristen memiliki beberapa 

pengikut dari kalangan orang Badui yang tinggal di dekat

perbatasan Siria dan di Yaman – khususnya saat  negeri ini berada

di bawah kekuasaan Abisinia – serta di Hira. Di Siria dan Yaman,

pemeluk Kristennya mengikuti sekte monofisit,40  sementara orang-

orang Kristen Hira menganut paham nestorian.41  Di Makkah

sendiri ada beberapa  individu terpencil – seperti Waraqah ibn Nawfal,

sepupu isteri pertama Muhammad, Khadijah – yang menjadi

pengikut Kristus.

berdasar  kenyataan-kenyataan historis seperti di atas,

beberapa penulis Barat modern telah mengajukan beberapa 

spekulasi sehubungan dengan situasi keagamaan di Arabia dalam

kaitannya dengan gagasan-gagasan religius Yudeo-Kristiani.

Dikatakan bahwa sebelum kedatangan Islam milieu intelektual

Arabia telah dirembesi gagasan-gagasan Yudeo-Kristiani.42

Sementara penulis-penulis Barat lainnya memberi tekanan pada

salah satu dari kedua tradisi keagamaan Semit itu sebagai telah

mempengaruhi alam pikiran orang-orang Arab. Richard Bell,

misalnya, lebih menitikberatkan pada gagasan Kristen,43  sedangkan

C.C. Torrey pada gagasan Yahudi44. Namun, berbagai spekulasi ini

pada akhirnya ditujukan untuk menjelaskan “sumber-sumber” atau

asal-usul genetik al-Quran. Permasalahan ini akan dibahas dalam

bab mendatang. Di sini cuma hanya  akan ditelusuri sampai sejauh mana

gagasan-gagasan Yudeo-Kristiani telah mendapat tempat dalam

milieu intelektual Arab.

Bahwa ajaran-ajaran tradisi Yudeo-Kristiani telah dikenal oleh

kebanyakan orang Arab, yaitu  suatu kenyataan historis yang tidak

dapat dipungkiri siapa pun. Al-Quran sendiri mengkonfirmasi hal

ini. Dalam 27:67-68 disebutkan: “Orang-orang kafir itu berkata:

Apakah kita akan dihidupkan kembali sesudah  kita dan bapak-

bapak kita menjadi tanah? Sesungguhnya hal ini telah dijanjikan

kepada kita dan bapak-bapak kita di masa lalu; ini tidak lain

cuma hanya lah dongengan-dongengan masa silam.”45  Kutipan dari al-

Quran ini memang memperlihatkan oposisi yang ditunjukkan

orang-orang Arab (Makkah) kepada ajaran kebangkitan kembali

manusia yang didakwahkan Nabi. namun , ungkapan “Sesungguhnya

hal ini telah dijanjikan kepada kita dan bapak-bapak kita di masa

lalu,”46  juga menjelaskan bahwa ajaran-ajaran tradisi keagamaan

Yudeo-Kristiani telah banyak dikenal di Arabia. Bahkan, ungkapan

ini lebih jauh menyiratkan petunjuk bahwa orang-orang Yahudi

dan Kristen pernah secara aktif melakukan agitasi religius guna

menarik orang-orang Arab – baik dalam skala besar-besaran maupun

kecil-kecilan – ke dalam agama mereka. usaha  ini  terlihat

cuma hanya  membawa hasil terbatas, sebab  selain kedua agama ini 

– terutama Kristen – memiliki implikasi politik, kebanyakan or-

ang Arab lebih suka mengikuti tradisi nenek moyangnya atau tradisi

“bapak-bapak kami.”47  Sekalipun, menurut al-Quran, nenek

moyang atau bapak-bapak mereka tidak mengetahui sesuatupun

dan tidak mendapat petunjuk48 .

Meskipun ada individu-individu tertentu dari kalangan

pemeluk agama Yahudi dan Kristen di Arabia yang telah menerima

ajaran-ajaran agama mereka secara sistematis49  – belakangan

sebagiannya menyatakan keimanan kepada risalah yang dibawa

Muhammad, dan sebagian lagi tidak50  – kebanyakan orang Arab

yang mengikuti kedua tradisi keagamaan Semit ini memiliki

pengetahuan yang “kacau-balau” tentang agamanya, dan dalam

kasus-kasus tertentu kedua tradisi keagamaan  ini  telah

diadaptasikan dengan lingkungan  kultural  mereka. Sebagian

pribumi (ummiyyûn) Arab yang beragama Yahudi, misalnya, “tidak

mengetahui al-Kitab (Tawrat) kecuali khayalan belaka dan mereka

cuma hanya  menduga-duga” (2:78). Bahkan, al-Quran mentamsilkan orang-

orang Yahudi yang memiliki Tawrat namun  tidak memperoleh

manfaat darinya sebagai keledai yang dibebani kitab (62:5).

Dikatakan bahwa orang-orang Yahudi, sebagaimana halnya orang-

orang Kristen, telah menjadikan pendeta dan rahib mereka sebagai

arbãb (bentuk jamak dari rabb, “tuhan”) selain Allah (9:3l). Juga

ada  kepercayaan yang berkembang di kalangan Yahudi Arab

bahwa Uzair (Ezra) yaitu  “putra Allah” (9:30), suatu kepercayaan

yang barangkali cuma hanya  mendapat tempat di kalangan orang-orang

Yahudi Arab saat  itu serta tidak terbukti eksis dalam keyakinan

orang-orang Yahudi di berbagai belahan dunia lainnya. Kepercayaan

Yahudi Arab ini barangkali telah mengalami proses arabisasi

mengikuti kepercayaan tradisional Arab pra-Islam yang memandang

Tuhan memiliki anak-anak sebagai perantara. Di sisi lain, orang-

orang Yahudi Arab berkeyakin bahwa, berbeda dengan manusia

pada umumnya, mereka mempunyai hubungan keakraban yang

khusus dengan Tuhan (62:6).

Sehubungan dengan pemeluk agama Kristen dari kalangan

orang Arab, dikabarkan bahwa keseluruhan yang mereka ketahui

dari kepercayaan Kristen cuma hanya lah minum anggur (khamr).51

Informasi-informasi yang diberikan al-Quran juga menunjukkan

bahwa  orang-orang Arab  Kristen ini bukanlah  pengikut aliran

ortodoksi agama ini , yang menjadi mazhab resmi di Impe-

rium Bizantium. Mereka pada dasarnya yaitu  pengikut sekte

monofisit dan nestorian yang merupakan representasi Gereja Timur.

Kalau tidak, tentunya Muhammad – misalnya – tidak akan

mengenal ajaran mereka bahwa bukan pribadi Isa sendiri yang

disalib, melainkan orang lain (4:157); dan bahwa ajaran trinitas

Kristen bukanlah terdiri dari Bapak, Anak dan Ruh Kudus, namun 

Tuhan, Yesus dan Maryam (5:116).

Di tiga tempat dalam al-Quran disebutkan pemeluk agama

lainnya, yakni shãbi’ûn, bersama-sama ahli kitab.52  Nama ini

biasanya dikaitkan dengan pengikut dua sekte keagamaan yang

terpisah: (i) Orang Mandean atau Subba yang mempraktekkan

ritus baptis di Mesopotamia; dan (ii) orang Sabean di Harran yang

merupakan sekte pagan penyembah bintang. Tidak jelas sekte

manakah yang dimaksudkan al-Quran dengan istilah shãbi’ûn.

Para ahli berbeda pendapat tentang hal ini.53  namun , keberadaan

kedua pengikut sekte ini  di dan di sekitar Makkah serta

Madinah tidak dapat ditelusuri jejaknya.

Dalam rujukan terakhir al-Quran di atas (22:l7) juga disebutkan

pengikut agama Majusiyah, yakni orang-orang Majus. Bagian al-

Quran ini merupakan rujukan satu-satunya kepada majûs. Pengikut

agama Majusiyah ada  di Yaman, Oman, Bahrain dan di Per-

sia sendiri, tempat asal agama ini . Pada masa penyebarluasan

Islam yang belakangan, baik orang-orang shãbi’ûn maupun majûs

diperlakukan sebagai ahli kitab.

Secara ketat, masalah keagamaan di Arabia pada umumnya

yaitu  politeisme. Sekalipun kebanyakan orang Arab mengakui

dan menerima gagasan tentang Allah sebagai pencipta alam semesta

dan manusia,54  yang  menundukkan matahari dan bulan,55  serta

yang menurunkan hujan, lalu dengannya Dia menghidupkan bumi

sesudah matinya,56  namun  penyembahan aktual mereka pada

faktanya ditujukan kepada tuhan-tuhan lain yang dipandang

sebagai perantara-perantara kepada Allah. Konsepsi pagan semacam

ini direkam al-Quran dalam beberapa kesempatan.57  Selain itu, al-

Quran juga mengemukakan nama tuhan-tuhan – atau tepatnya

dewi-dewi – ini : al-lãt, al-‘uzzã, dan al-manãt, yang dipandang

kaum pagan Arab sebagai puteri-puteri Tuhan,58  serta wadd, suwã‘,

yagûts, dan nasr, yang merupakan dewa-dewa Arab kuno.59  Namun,

dalam situasi-situasi tertentu, mereka biasanya menganut

monoteisme temporal tanpa peduli akan implikasi sikap ini .

saat  berada dalam keadaan bahaya, mereka biasanya mengesakan

tuhan dengan ketulusan yang sangat. namun , sesudah  lepas dari

marabahaya, mereka melupakan apa yang telah lalu dan kembali

menyekutukan Tuhan.60

Bahwa kaum pagan Arab melalaikan kewajiban menyembah

Tuhan dalam kehidupan keseharian mereka, namun  dalam situasi-

situasi terjepit selalu ingat kepada-Nya, ditunjukkan al-Quran

dengan mengatakan bahwa sumpah-sumpah paling sakral yang

lazim digunakan pada masa pra-Islam yaitu  sumpah-sumpah yang

menyebut kata allãh.61  Demikian pula, menjelang kelahiran seorang

anak, suami-istri biasanya  memohon kepada Tuhan agar diberi anak

yang saleh. namun , sesudah  diberi, mereka kembali menyekutukan

Allah.62  Selain itu, kaum pagan Arab juga mengenal Allah sebagai

Tuhan pemilik Ka‘bah, rabb al-bayt (l06:3).

Dari kepercayaan politeisme di atas – di mana Allah dipandang

sebagai Tuhan Tertinggi di samping tuhan-tuhan atau dewa-dewi

lain yang lebih rendah63  – individu-individu tertentu di Arabia

bergerak kepada kepercayaan terhadap satu tuhan saja. Gagasan

Yudeo-Kristiani, terutama tentang monoteisme, barangkali turut

memberi andil pada munculnya kesadaran keagamaan ini .

namun , watak dan kandungan ekspresi keagamaannya terlihat lebih

bersifat kearaban. Contohnya, Umaiyah ibn Abi al-Salt – orang

sezaman Nabi yang berasal dari Thaif – melukiskan agamanya

dalam salah satu kumpulan sajak sebagai “hanifisme” dan

“monoteisme.”64  Kesejatian kumpulan sajak yang ditulis al-Salt

ini, yang berbicara tentang dîn al-hanîfîyah sebagai satu-satunya

agama yang bisa bertahan hingga Hari Kebangkitan, memang telah

diragukan beberapa  peneliti.65  Namun, keberadaan orang-orang

Arab tertentu yang menganut kepercayaan monoteistik semacam

itu pada masa pra-Islam merupakan suatu kenyataan historis yang

tidak dapat dipungkiri.

Kehidupan Nabi Muhammad

Muhammad saw. dilahirkan di Makkah sekitar 570, di tengah-

tengah keluarga atau klan (banû) Hasyim dari suku Quraisy yang

pamornya saat  itu tengah surut.66  Ayahnya, Abd Allah, yaitu 

seorang pedagang – sebagaimana profesi rata-rata orang Quraisy –

yang meninggal saat  ia masih berada dalam kandungan ibunya,

Aminah. saat  berusia sekitar 6 tahun, ibunya menyusul kepergian

ayahnya, dan si kecil Muhammad lalu diasuh kakeknya, Abd al-

Muththalib, yang juga meninggal saat  ia berusia sekitar 8 tahun.

Selanjutnya, Muhammad diasuh pamannya, Abu Thalib, pemimpin

banu Hasyim yang relatif miskin, namun  terhormat. Orang inilah

yang memberikan “perlindungan” kepada Nabi dan membelanya

secara mati-matian dari berbagai tantangan berat yang diajukan

pemuka-pemuka suku Quraisy terhadap agama baru yang

didakwahkannya, sekalipun terlihat bahwa Abu Thalib sendiri tidak

pernah menerima atau meyakini kepercayaan keponakannya.

Solidaritas kesukuan, yang merupakan karakteristik asasi kode etik

(muruwwah) suku-suku di Arabia, memang mengharuskan Abu

Thalib melindungi dan menuntut balas atas setiap kerugian yang

diderita Muhammad.

Sementara keyatiman dan kepapaan Muhammad dalam

kehidupan awalnya dikonfirmasi al-Quran dalam 93:6-8:

Bukankah Dia (Tuhanmu) mendapatimu sebagai yatim lalu

Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu dalam keadaan

bingung lalu Dia memberimu petunjuk. Dan Dia mendapatimu

dalam keadaan kekurangan lalu Dia memberikan kecukupan.

Ayat pertama (93:6) yang dikutip di atas memberi petunjuk

tentang keyatiman Muhammad. Ayat terakhir (9:8) meng-

ungkapkan kehidupan  awalnya yang penuh kekurangan. Sementara

ayat yang berada di antara keduanya (93:7) – yang mengindikasikan

tentang jalan sesat (dlãll) yang ditempuh Muhammad pada masa

mudanya, sebelum beroleh petunjuk (hudã) – dipersengketakan

maknanya di kalangan mufassir Muslim. beberapa  mufassir

mengungkapkan bahwa yang dimaksudkan dengan kesesatan di

sini yaitu  kekafiran, berdasar  beberapa riwayat yang

mengemukakan bahwa Muhammad berada dalam urusan kaumnya

(kekafiran) hingga 40 tahun. Sementara mufassir lain yang

menekankan doktrin ma‘shûm – yakni para nabi terpelihara dari

dosa besar maupun dosa kecil baik sebelum maupun sesudah

pengangkatannya sebagai nabi – menolak pengertian kekafiran

semacam itu, dan berusaha  menjelaskan “kesesatan” ini  sebagai

“tersesat” di lorong-lorong kota Makkah, “tersesat” dari rumah

Halimah – pengampu yang menyusuinya saat  kecil – atau dengan

menakwilkannya sehingga yang “tersesat” yaitu  kaum Nabi.67

Sekalipun Muhammad berasal dari banu Hasyim yang

dihormati di Makkah, akan namun  secara personal tampaknya ia –

sebelum pengutusannya sebagai nabi – tidak begitu diperhitungkan

di kalangan warga  kota ini . Hal ini bisa dilihat dari protes

yang dikemukakan kaumnya saat  ia memperoleh wahyu Tuhan,

sebagaimana direkam al-Quran dalam 43:31, “Dan mereka berkata:

‘Mengapa al-Quran ini tidak diturunkan kepada orang kuat dari

salah satu dari dua negeri (yakni Makkah dan Thaif) ini’.”

Bagian al-Quran lainnya bisa dijadikan indikasi tentang hal

ini, apabila disepakati bahwa kisah-kisah nabi terdahulu pada

faktanya merujuk kepada situasi yang dihadapi Nabi. Bagian al-

Quran ini  yaitu  11:91, yang mengisahkan protes yang

dikemukakan kaum Nabi Syu‘aib kepadanya:

Dan mereka berkata: “Hai Syu‘aib, kami tidak banyak mengerti

tentang apa yang kamu katakan. namun  sesungguhnya kami

melihat bahwa kamu merupakan seorang yang lemah di antara

kami. Kalau tidak sebab  keluargamu tentu kami telah

merajammu. Dan kamu bukanlah orang yang berwibawa di

sisi kami.”

Di samping hal-hal di atas, yang secara umum tidak begitu

berarti atau bahkan bisa dikatakan “tidak mengungkapkan sesuatu

pun,”68  cuma hanya  sedikit yang diketahui tentang bagian kehidupan

Muhammad sebelum pengangkatannya sebagai Nabi. Berpijak pada

al-Quran dan laporan-laporan sejaman, dapat dipastikan bahwa

Muhammad yaitu  seorang yang suka bermeditasi atau bertafakur,

introvert, pemalu, agak penyendiri, dan concern akan kegelapan

yang tengah menyelimuti warga nya. Semasa muda, ia dikenal

sebagai al-amîn (“orang yang dapat dipercaya”), yang merupakan

indikasi tentang kejujuran dan kepekaan moralnya yang tinggi.

Pada usia dua puluhan, ia menjalankan misi dagang Khadijah

(w. 619), seorang janda kaya Makkah, ke Siria – suatu pengalaman

yang pernah dijalani semasa kecilnya bersama pamannya, Abu

Thalib. Khadijah, yang kagum akan kejujuran Muhammad,

kemudian meminangnya sebagai suami. saat  itu, Muhammad

berusia sekitar 25 tahun dan Khadijah sekitar 40 tahun. Selama

lima belas tahun berikutnya Muhammad terlihat melanjutkan

perniagaan dengan modal bersama dan tidak menikah hingga

wafatnya Khadijah, saat  Nabi berusia sekitar 50 tahun.

Tahap selanjutnya kehidupan Muhammad dimulai saat  ia

berusia sekitar 40 tahun. Sebagaimana diketahui dari laporan-

laporan sezaman, beberapa waktu sesudah  menikah dengan

Khadijah, Muhammad secara teratur pergi ke Gua Hira yang

terletak tidak jauh di sebelah utara kota Makkah. Keluhuran budi

pekerti telah mendorongnya melakukan tahannuts – biasa diartikan

sebagai tabarrur, melakukan perbuatan bajik (birr) dengan memberi

makan fakir miskin, atau ta‘abbud, beribadah, atau keduanya, yakni

tabarrur dan ta‘abbud 69  – ke gua itu untuk beberapa hari dan

terkadang beberapa minggu.

Selama dalam tahannuts Muhammad melakukan renungan-

renungan mendalam. Yang direnungkannya tidak diragukan lagi

yaitu  masalah-masalah tentang Tuhan, Pencipta yang Mutlak dan

Pemelihara alam semesta, serta tentang ciptaannya – khususnya

masalah-masalah kewarga an manusia: disparitas sosio-

ekonomik, praktek-praktek niaga para pedagang kaya yang

eksploitatif dan amoral, serta cara penghamburan kekayaan yang

tidak  bertanggungjawab dalam kaitannya dengan nestapa fakir

miskin, yatim piatu dan orang-orang tertindas, seperti tercermin

dalam praktek warga  Quraisy.

Proses batiniah pengalaman religio-moral ini  mencapai

puncaknya pada suatu malam – belakangan dirayakan kaum

Muslimin sebagai “malam keputusan” (laylatu-l-qadr) – saat  ia

sedang tenggelam dalam relung renungan terdalam di Gua Hira.

Muhammad diseru oleh utusan wahyu, Jibril, kepada risalah Tuhan.

Ia melihat utusan spiritual ini dalam suatu visi (ru’yah) di “ufuk

tertinggi”. Mengalami ledakan spiritual yang tiba-tiba, Muhammad

merasa pasif secara total. Ia pulang ke rumah dalam keadaan

menggigil bersimbah keringat, kemudian mengisahkan pengalaman

batin itu kepada istrinya. Khadijah menenangkannya dengan

menegaskan kesejatian pengalaman penerimaan wahyu ini ,

sebab  Muhammad dalam kenyataannya yaitu  orang yang baik

dan tidak mungkin dirasuki ruh jahat. sesudah  itu, ia tidak pernah

lagi ke Gua Hira untuk bertafakur, namun  memulai misi historisnya

sebagai utusan Allah untuk umat manusia.

Pengalaman pertama kenabian Muhammad, menurut riwayat,

terjadi saat  ia berusia sekitar 40 tahun atau lebih sedikit, kira-

kira pada tahun ke-13 atau ke-15 atau ke-10 sebelum Hijriah.70

Hal ini barangkali secara tidak langsung dikonfirmasi oleh al-Quran

(10:16). Pernyataan al-Quran dalam ayat ini – “Sesungguhnya aku

telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya (sebelum

pewahyuan al-Quran)” – memang mengindikasikan bahwa saat 

diangkat sebagai nabi, Muhammad bukan lagi anak muda berusia

remaja. Ia berada dalam usia matang untuk pengalaman kenabian

ini .

Muhammad tidak pernah berkeinginan menjadi nabi atau

secara sadar mempersiapkan diri untuk itu. Hal ini dengan jelas

dikemukakan al-Quran di beberapa tempat.71  Namun, secara

naturalistik, dapat dikatakan bahwa ia – walaupun tanpa

disadarinya – telah mempersiapkan diri untuk diangkat menjadi

nabi. Sejak kecil ia memiliki kepekaan yang intensif dan alami

terhadap masalah-masalah moral yang dihadapi manusia. Kepekaan

ini semakin tajam saat  ia menjadi yatim piatu dalam usia yang

masih belia. Muhammad tentu saja tidak berusaha  secara sadar

untuk menambah kemampuan-kemampuan alaminya melebihi

manusia-manusia lain, sehingga saat  seluruh faktor alami itu

berkolaborasi menuju suatu tujuan yang sangat kuat, maka hal ini

harus dikembalikan kepada Tuhan.

saat  orang-orang pagan Arab mempermasalahkan

penunjukkannya sebagai nabi dan mempertanyakan kenapa wahyu

ilahi tidak diturunkan kepada “orang besar” di Makkah dan Thaif

(43:31), al-Quran mengemukakan jawaban yang bersifat religius

dan naturalistik. Pada sisi religius dikatakan: “apakah mereka yang

mendistribusikan rahmat Tuhanmu?” (43:32). Sementara jawaban

naturalistik terungkap dalam 6:l24: “Allah mengetahui di mana

menempatkan kerasulan-Nya.”72

Pada mulanya, Muhammad mendakwahkan risalah

kenabiannya secara privat kepada keluarga dan teman-teman

dekatnya. Istrinya, Khadijah, dan keponakannya, Ali ibn Abi Thalib

(w.661), merupakan orang-orang pertama yang membenarkan

kerasulannya. Pada umumnya, pengikut-pengikut awal Nabi berasal

dari kalangan tertindas yang tidak memiliki posisi sosial penting,

meskipun beberapa di antaranya yaitu  pedagang kaya – seperti

Abu Bakr al-Shiddiq (w. 634) – dan individu-individu yang

mengalami fermentasi keagamaan – seperti Utsman ibn Maz’un.

namun , aristokrasi pedagang Makkah, yang memiliki pengaruh besar

dalam warga , menolak dakwah Nabi dan memakai 

pengaruh mereka untuk membendungnya.73  Mereka memandang

dakwah Islam sebagai suatu ancaman terhadap tradisi “bapak-bapak

kami,” yaitu politeisme, yang darinya mereka beroleh keuntungan

material dan privilese sosial-ekonomi.

Sekitar dua tahun sesudah  pewahyuan pertama, saat  Nabi

menyampaikan pesan-pesan Ilahi secara terbuka kepada khalayak

ramai, timbul suatu oposisi yang aktif terhadap Islam, dan para

pengikutnya yang tidak begitu kuat mengalami penindasan keji.

Pemuka suku Quraisy mencoba membujuk Abu Thalib susaha 

mempengaruhi keponakannya agar menghentikan dakwahnya, atau

menarik perlindungan banu Hasyim terhadap Nabi, namun usaha 

ini mengalami kegagalan. Mereka juga menyebarkan propaganda

di kalangan pemimpin-pemimpin suku di Arabia pada musim haji

yang isinya menentang Muhammad, namun  aksi ini malah

menghasilkan efek sebaliknya: nama Nabi dan misi kenabiannya

semakin dikenal secara luas di berbagai penjuru jazirah Arab.

Di tengah kondisi yang mengharu-biru ini, al-Quran

mengekspresikan diri dalam berbagai cara. Kitab ini sering

mengecam orang Makkah dengan ungkapan-ungkapan bahwa

mereka tidak mengerti, mereka tuli, bisu dan buta, hati mereka

terkunci, mereka laksana binatang bahkan lebih sesat lagi, dan

sebagainya.74  Situasi Makkah di kala itu sering dihubungkan

dengan umat-umat terdahulu yang diazab Allah sebab  tidak

mendengar seruan nabi-nabi mereka.75  Di sisi lain, al-Quran

menegaskan bahwa kitab suci ini  tidak diturunkan kepada

Nabi agar ia menderita (20:2), serta menghiburnya agar tidak

bersedih sebab  keingkaran kaumnya terhadap ajaran yang

dibawanya (18:6). Muhammad cuma hanya lah seorang “pewarta kabar

gembira” (basyîr) dan “pemberi peringatan” (nadzîr).76  Bukanlah

tugasnya untuk menjaga atau memaksa orang-orang yang ingkar

itu (88:22; 50:45); “sesungguhnya Allah-lah yang memberi

pendengaran (yakni membuat mereka mendengar petunjuk) kepada

siapa saja yang Dia kehendaki, dan engkau (Muhammad) tidak

dapat membuat orang-orang di dalam kubur bisa mendengar”

(35:22). Jika Tuhan menghendaki, maka umat manusia di dunia

ini seluruhnya akan diberi hidayah dan menjadi satu kaum (5:48;

6:35; 10: 99; dll.).

Menghadapi penyiksaan sistematis terhadap pengikut-

pengikutnya yang rentan – dirujuk dalam al-Quran di beberapa

tempat77  – Muhammad menasehati mereka untuk berhijrah secara

temporal ke Ethiopia (Habsyi). Pada 615, beberapa orang

pengikutnya menuruti saran ini . Di waktu yang sama,

beberapa pemuka Quraisy yang berpengaruh dan kuat – paling

terkenal di antaranya yaitu  Hamzah ibn Abd al-Muthalib (w.

625) dan Umar ibn Khaththab (w. 644) – menyatakan keimanannya

kepada risalah Nabi. Panik menghadapi perkembangan baru ini,

anggota-anggota penting majelis syura Makkah memutuskan

memboikot klan Nabi, banu Hasyim. Sekalipun tindakan

ekskomunikasi atau pengucilan ini telah menyebabkan penderitaan

yang sangat bagi banu Hasyim, tindakan itu pada umumnya

dipandang tidak membawa hasil yang diharapkan. Anggota-anggota

klan lain, yang terkait dengan banu Hasyim, secara sembunyi-

sembunyi menyuplai bahan makanan dan bantuan-bantuan

lainnya.

Menyadari bahwa mereka tidak dapat membungkam dakwah

Nabi atau menghancurkan gerakannya, orang-orang Quraisy

mencoba menempuh jalan kompromi. Mereka berjanji akan

mengikuti agama Nabi jika ia mengenyampingkan pengikut-

pengikutnya dari kelas rendahan, sebab  merupakan hal yang tidak

patut bila mereka mesti duduk berdampingan dengan orang-or-

ang seperti itu, khususnya saat  pemuka-pemuka suku Arab

ini  mengunjungi Nabi. namun , al-Quran memberi peringatan

keras kepada Muhammad susaha  tidak meninggalkan pengikut-

pengikut setianya demi memenuhi tuntutan elit Quraisy.78

Sebelum mengajukan tawaran kompromi, orang-orang Quraisy

telah berusaha  melakukan negosiasi dengan Muhammad mengenai

beberapa  masalah doktrinal yang diajarkannya: Jika Nabi

memodifikasi ajarannya untuk mengakomodasikan dewa-dewa

lokal mereka sebagai perantara-perantara manusia  kepada Tuhan,

dan barangkali menghapuskan gagasan tentang kebangkitan

kembali manusia, maka mereka akan menjadi muslim. Tentang

kebangkitan kembali, tidak ada kompromi yang  bisa ditawarkan.

Sementara tentang dewa-dewa perantara, dalam riwayat dikatakan

bahwa pada masa hijrah ke Ethiopia, saat  janin warga  Mus-

lim tengah berada dalam situasi sangat genting, Nabi suatu saat 

cenderung kepada kompromi dan membacakan beberapa ayat

dalam surat 53 yang memperkenankan syafaat dewa-dewa pagan

Arab.79  Namun, ayat-ayat ini segera dihapus dan diganti dengan

ayat-ayat yang kini ada  di dalam surat ini .

Bahwa orang-orang Makkah telah berulangkali membujuk

Muhammad agar mau berkompromi, disinggung al-Quran dalam

beberapa  kesempatan.80  namun , usaha  ini tidak membawa hasil

yang semestinya, sehingga orang-orang Quraisy mulai menyusun

rencana untuk mengusir Nabi dari kota Makkah. Dalam l7:76

disebutkan: “Sungguh mereka hampir membuatmu gelisah di sana

(Makkah) agar engkau terusir dari sana. Jika demikian halnya, maka

mereka tidak akan hidup sepeninggalmu kecuali untuk sebentar

saja.” Apabila kisah-kisah para nabi sebelum Muhammad

dipandang mencerminkan situasi yang dihadapi Nabi – yang tentu

saja dapat dijustifikasi serta didukung berbagai riwayat yang sampai

kepada kita melalui biografi-biografi (sîrah) Nabi – maka dapat

diinventarisasi rencana-rencana yang dibuat para penentang Islam

dari kalangan kaum Quraisy untuk membunuhnya, misalnya

dengan membakarnya hidup-hidup (21: 68; 29:24), merajamnya

(11:91; 18:20; 19:46; 44:20; 36:18), atau membunuhnya saat  sedang

tidur (27:49).

Pada 619, Khadijah dan Abu Thalib secara berturut-turut

meninggal. Kepergian kedua orang ini merupakan suatu kehilangan

yang sangat berat bagi Nabi. Ia kehilangan bantuan duniawi yang

sangat penting baginya untuk mempertahankan kelangsungan

misinya. Pemimpin baru banu Hasyim, Abu Lahab, menarik

perlindungan klannya atas Muhammad. Tindakan ini dikecam

keras dalam surat 111. Menghadapi situasi kritis semacam itu,

Nabi berusaha  mencari dukungan bagi perjuangannya dengan

mengunjungi kota Thaif dan berdakwah di sana. Di kota ini ,

ia tidak cuma hanya  diperlakukan secara keji, namun  juga dilempari batu,

dan akhirnya terpaksa kembali ke Makkah.

Sekembalinya ke Makkah, Muhammad mengunjungi kemah-

kemah suku Arab yang datang ke kota itu untuk melakukan ziarah

tahunan (haji). Di sini, ia berdakwah dan mendapat sambutan

positif dari sekelompok peziarah yang berasal dari Yatsrib

(Madinah). Para peziarah ini bahkan mengundangnya ke Yatsrib

untuk tinggal bersama mereka serta memberikan jaminan

keamanan atasnya. sesudah  membahas syarat-syarat kepindahan

selama dua musim haji, akhirnya suatu perjanjian – dikenal sebagai

Perjanjian Aqabah – disepakati. Pada 622, Muhammad, dengan

ditemani Abu Bakr, berhijrah dari Makkah ke Madinah.81  Peristiwa

eksodus ini, pada masa pemerintahan Khalifah ke-2, Umar ibn

Khaththab, dijadikan sebagai tonggak inisiasi era Islam.

Langkah pertama yang dilakukan Nabi setiba di Madinah

yaitu  membangun masjid, tempat sembahyang yang merupakan

pusat kehidupan Islam. Al-Quran merujuk peristiwa ini (9:108 f.)

dengan menegaskan bahwa masjid ini  didirikan atas dasar

ketakwaan. Langkah lain yang dilakukan Nabi di waktu itu yaitu 

menciptakan fondasi kewarga an dengan mengikat tali

persaudaraan antara kaum Muslimin yang berhijrah mengikutinya

(muhãjirûn) dan warga  setempat yang menerima klaim

kenabiannya (anshãr,“penolong”). Sebagaimana diketahui dari

berbagai riwayat, mayoritas populasi Arab di Madinah segera

menyatakan keimanan mereka pada waktu Muhammad tiba di

kota ini  atau segera sesudah  itu.

Namun, masalah politik yang genting kini muncul, sebab  –

menurut hukum kesukuan Quraisy – Nabi dan para pengikutnya

yang berasal dari Makkah dipandang sebagai buronan atau

pengkhianat yang harus dimusnahkan sekalipun berdomisili di

Madinah. Sementara warga  kota Madinah sendiri terpecah

belah. Di samping dua suku besar – yakni Aus dan Khazraj – yang

saling bermusuhan, ada tiga suku Yahudi lainnya di Madinah:

banu Qainuqa, banu Qurayzhah dan banu Nadir. Sekalipun suku-

suku Yahudi ini terpecah-belah dan memihak kepada salah satu

dari kedua suku besar di atas, mereka merupakan suatu kelompok

tersendiri.

Di sisi lain, di kalangan kedua suku Arab yang telah menerima

Islam ada  sekelompok orang yang disebut al-Quran sebagai

munãfiqûn. Kelompok ini yaitu  pengikut Abd Allah ibn Ubay

yang berasal dari suku Khazraj. saat  Muhammad tiba di

Madinah, Abd Allah ibn Ubay secara lahiriah menyatakan

keislamannya, namun  secara diam-diam menyembunyikan rencana

menggerogoti Islam. Orang-orang munafik inilah yang secara

rahasia menggalang hubungan dengan orang-orang pagan Makkah

dan suku-suku Yahudi, serta secara konstan melancarkan intrik-

intrik terhadap kaum muslimin.82

Dalam beberapa bulan sesudah  tiba di Madinah, Muhammad

berembuk dengan warga  kota ini  dan menghasilkan

suatu kesepakatan yang tertuang dalam Piagam Madinah, atau –

sebagaimana biasa diistilahkan – Konstitusi Madinah. Piagam

ini merupakan dasar pembentukan federasi suku-suku di kota

itu berpijak pada tradisi kesukuan Arab yang ada. Isinya

menguraikan hak dan kewajiban seluruh kelompok yang berdiam

di kota ini . Nabi diakui sebagai kepala arbitrator Madinah

untuk menyelesai-kan segala perselisilahan antar-komunal. Orang-

orang Yahudi diberi jaminan otonomi keagamaan dan kultural,

serta diakui sebagai suatu komunitas bersama-sama kaum

Muslimin. namun , kesepakatan yang tertuang dalam Piagam

Madinah ini tidak bertahan lama,83  lantaran perubahan situasi

dan kondisi yang sangat cepat.

Dokumen piagam ini  ada  antara lain dalam biografi

Nabi yang disusun Ibn Ishaq (w. 768).84  Seluruh sarjana, baik Mus-

lim maupun Barat, memberi kata sepakat tentang otentisitasnya.85

Yang menjadi masalah di kalangan mereka yaitu  apakah dokumen

38  /  TAUFIK ADNAN AMAL

itu merupakan dokumen tunggal atau terdiri dari beberapa

dokumen. Julius Wellhausen memandangnya sebagai satu kesatuan,

dan menduganya dibuat antara tahun pertama Hijriyah hingga

sebelum Perang Badr. Sementara W.M. Watt dan R.B. Serjeant

menganggapnya terdiri dari beberapa pakta yang digabung ke dalam

satu dokumen. Paruhan pertama dokumen itu, menurut Watt,

berasal dari masa sebelum Badr, dan sisanya dari berbagai masa

sesudah  Badr.

Serjeant memberikan penanggalan lebih rinci terhadap berbagai

pakta dalam Piagam Madinah. Menurutnya, piagam ini terdiri

dari delapan dokumen terpisah yang, secara umum, disusun

menurut tatanan pembuatannya. Dokumen 1 dan 2 merupakan

pakta yang dibuat segera sesudah  Muhammad tiba di Madinah.

Dokumen 3 dan 4 dibuat sebelum Badr dan mendefinisikan

hubungan Muslim-Yahudi di dalam warga  Madinah.

Dokumen 5 mengakui kembali status orang-orang  Yahudi sesudah 

ketegangan antara mereka dan umat Islam pasca-Badr. Dokumen

6, yang memproklamasikan Madinah sebagai wilayah suci (harãm),

berasal dari masa belakangan. Dokumen 7 kembali menekankan

hubungan Muslim-Yahudi, yang kali ini mengungkapkan aliansi

antara kaum Muslimin dan banu Qurayzhah, segera sebelum

pengepungan Madinah pada 5H/627. Dokumen terakhir

merupakan ketentuan tambahan untuk dokumen 6 tentang

kesakralan Madinah.

sesudah  berhasil melakukan konsolidasi di Madinah, Nabi

beralih pada tugas lainnya yang merupakan faktor penentu dalam

tugas kenabiannya, yakni mengislamkan Makkah. Sebagaimana

diketahui, Makkah – di samping pengaruh komersial dan politiknya

– merupakan suatu kota yang menjadi pusat keagamaan orang-

orang Arab. Dengan menarik kota ini  menerima Islam, agama

ini tentunya akan menyebar ke daerah-daerah Arab lainnya. sebab 

itu, kurang lebih satu tahun sesudah  hijrah, Ka‘bah di Makkah

dinyatakan al-Quran sebagai objek haji, atau “tempat berkumpul

dan tempat yang aman bagi manusia” (2:125). Sekitar enam bulan

kemudian, tempat ini  ditetapkan sebagai arah yang dituju

dalam shalat, menggantikan posisi Yerusalem (2:142-150).

Pada titik ini, beberapa  penulis Barat mengungkapkan bahwa

tindakan-tindakan di atas merupakan indikasi yang kuat kepada

“nasionalisasi” atau “arabisasi” Islam yang dilakukan Nabi sebab 

dikecewakan orang-orang Yahudi Madinah yang menolak

mengikutinya. Snouck Hurgronje, sehubungan dengan teori

“arabisasi” ini, misalnya, mengemukakan:

Pada mulanya, Muhammad yakin bahwa ia membawa kepada

orang-orang Arab apa yang diterima orang-orang Kristen dari

Isa, orang-orang Yahudi dari Musa, dan seterusnya, serta untuk

menentang orang-orang kafir ia dengan penuh keyakinan

menyebut sebagai bukti “orang-orang berilmu” (16:41; 21:7),

yang kepadanya seseorang cuma hanya  perlu bertanya dalam rangka

memperoleh konfirmasi tentang kebenaran ajarannya. Di

Madinah ia mengalami kekecewaan, sebab   para ahli kitab

tidak mau mengakuinya. sebab  itu, ia mengusaha kan suatu


sejarah al-quran 2


 


otoritas bagi dirinya yang berada di luar kontrol mereka, yang

sekaligus tidak berkontradiksi dengan wahyu-wahyu

terdahulunya. Ia kemudian berpaling kepada nabi-nabi

terdahulu yang tidak dapat membantahnya.86

Pernyataan di atas merupakan formula klasik yang dirumuskan

kalangan orientalis pada umumnya untuk menunjukkan bahwa

saat  kaum Yahudi dan Kristen di Madinah menolak mengakui

risalah kenabian Muhammad, ia lalu berpaling kepada Ibrahim –

yang dikatakan di dalam al-Quran bukan seorang Yahudi atau

Kristen, namun  seorang yang hanîf dan muslim87  – dan pada titik

inilah terjadi “nasionalisasi” atau “arabisasi” Islam. Kiblat – arah

dalam shalat – yang semula ke Yerusalem, diubah menghadap ke

Ka‘bah di Makkah; sementara ziarah keagamaan ke Ka‘bah

ditetapkan sebagai salah satu rukun Islam.88

Pandangan tentang “nasionalisasi” atau “arabisasi” Islam ini

secara sederhana dapat ditolak dengan mengemukakan bahwa

monoteisme al-Quran yang sejak semula terkait erat dengan

humanisme dan rasa keadilan sosio-ekonomik, bukanlah sesuatu

yang khas Arab. Bahwa Nabi dengan segera terlibat konflik dengan

kaum-kaum Yahudi Madinah, merupakan suatu kenyataan historis

yang tidak dapat dipungkiri siapapun. Hal ini dirujuk al-Quran

dalam berbagai kesempatan.89  Argumentasi tentang peran Yahudi

dalam kasus perpindahan kiblat tampaknya terlalu dibesar-besarkan.

Bukti semacam ini tentunya lebih berbobot jika dapat diperlihatkan

bahwa dalam rangka mengambil hati orang-orang Yahudi, Nabi telah

menunjuk Yerusalem sebagai kiblat setibanya di Madinah. Namun,

kenyataan historisnya tidaklah demikian. Berkiblat ke Yerusalem

tampaknya diperintahkan di Makkah saat  kaum Muslimin yang

tertindas tidak diperbolehkan pergi ke Ka‘bah – pusat keagamaan

seluruh bangsa Arab – untuk melakukan shalat. Penunjukan Yerusalem

sebagai kiblat juga pada hakikatnya ditujukan untuk menegaskan

perbedaan mendasar antara penyembah berhala dan kaum Muslimin.

Al-Quran sendiri mengatakan: “Dan tidaklah Kami jadikan kiblat

yang kamu ikuti sebelum ini (yakni Yerusalem) kecuali cuma hanya  untuk

mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke

belakang” (2:143).

Sementara penetapan haji ke Makkah tentu saja tidak ada

hubungannya dengan sikap orang-orang Yahudi Madinah terhadap

Nabi dan misi kenabiannya, namun  lebih didasarkan pada

pertimbangan yang bersifat politik dan ekonomik. Kekuasaan politik

dan ekonomik yang dimiliki Makkah – sebagai tempat suci yang

diziarahi seluruh bangsa Arab – jelas merupakan faktor penentu

diwajibkannya ziarah ke Makkah, disamping adanya kepercayaan

tentang kesucian Ka‘bah yang mesti ditegakkan kembali selaras

dengan tradisi keagamaan Ibrahim. sebab  itu, kontrol politik atas

Makkah mesti diperoleh Nabi untuk membuat perubahan-

perubahan ritual dan sosio-religius lainnya menjadi memungkinkan,

dan inilah yang diusaha kannya segera sesudah  hijrah ke Madinah.

Lebih jauh, jelas tidak ada untungnya bagi Nabi dan Islam untuk

melakukan kompromi dengan segelintir kaum Yahudi Madinah –

sekalipun posisi mereka sangat strategis di kota ini  – dengan

melepaskan Makkah dan, konsekuensinya, daerah-daerah Arab

lainnya.90

Di samping itu, Nabi juga menyerang kafilah-kafilah dagang

Makkah yang hendak ke atau kembali dari Siria, tidak cuma hanya  untuk

mendapatkan pampasan perang, namun  terutama untuk mengisolasi

Makkah secara ekonomik agar warga  kota ini  tunduk

kepada Islam. Dengan demikian, tindakan razia terhadap kafilah-

kafilah dagang ini jelas merupakan suatu strategi militer yang

cemerlang. Permusuhan aktif yang sejak semula ditunjukkan orang-

orang Makkah kepada Islam dan pandangan mereka tentang Nabi

beserta kaum Muhajirin sebagai buronan atau pengkhianat yang

mesti dimusnahkan, barangkali telah membuat Nabi mengambil

tindakan untuk melakukan penyergapan terhadap kafilah-kafilah

dagang Makkah. Dengan kata lain, keadaan perang telah tercipta di

antara kedua belah pihak. Al-Quran sendiri memberi kesaksian yang

jelas tentangnya saat  merujuk kepada suatu bentrokan yang terjadi

antara suatu kafilah niaga Makkah dengan sekelompok Muhajirin

dalam bulan “haram” – bulan yang menurut norma antar-suku

Arabia dilarang melakukan peperangan.91  Dalam 2:217 disebutkan:

Mereka bertanya kepadamu tentang peperangan dalam bulan

haram. Katakanlah: Berperang dalam bulan itu yaitu  dosa

besar; namun , lebih berat lagi yaitu  menghalangi manusia dari

jalan Allah dan kafir kepada-Nya, dan (menghalangi) orang

memasuki Masjid al-Haram serta mengusir mereka dari

dalamnya. Mengusir orang dari kampung halamannya yaitu 

lebih berat di sisi Allah. Dan berbuat fitnah itu lebih berat dari

pada membunuh. Mereka (orang-orang Makkah) akan terus

memerangi kamu sampai berhasil memurtadkan kamu dari

agamamu, seandainya mereka sanggup.

Dengan demikian, dari bagian al-Quran di atas, dapat

disimpulkan bahwa serangkaian operasi militer atau razia yang

dilancarkan kaum Muslimin dari Madinah terhadap kafilah-kafilah

dagang Makkah bukanlah tanpa provokasi sebelumnya dari orang-

orang Quraisy. Ketegangan-ketegangan ini akhirnya memuncak

dalam suatu peperangan terbuka di Badr, yang terletak beberapa

mil di barat daya Madinah. Suatu kafilah niaga Makkah yang

dipimpin Abu Sufyan, dengan sokongan 900 prajurit dari Makkah,

berhadapan dengan kurang lebih 300 tentara Muslim yang dipimpin

langsung Nabi pada bulan Ramadlan tahun ke-2 Hijriyah.

Hasilnya, kekalahan besar diderita pihak Makkah dan beberapa

pemimpin mereka tewas dalam pertempuran – diperkirakan sekitar

70 orang Quraisy, termasuk pemimpin aristokrat Makkah, Abu Jahal

– serta banyak di antaranya yang tertawan pasukan Muslim. Sebagian

dari tawanan dilepaskan dengan tebusan, sementara sebagian lagi

dibebaskan dengan syarat mengajarkan kaum Muslimin membaca

dan menulis. Al-Quran menyebut kemenangan dalam Perang Badr

direbut berkat pertolongan Allah: “Sesungguhnya Allah telah

menolong kamu di Badr, padahal kamu (saat  itu) dalam keadaan

lemah. sebab  itu, bertakwalah kepada Allah, susaha  kamu

mensyukurinya” (3:123).92

Segera sesudah  Perang Badr, Nabi menandatangani sebuah pakta

dengan beberapa suku Badui yang kuat. Hubungan ini dijalin suku-

suku ini  lantaran melihat kekuatan kaum Muslimin yang

semakin meningkat dari waktu ke waktu. Dalam pakta itu, kedua

belah pihak bersumpah untuk saling tolong-menolong. namun ,

pakta ini tidak bertahan lama. Selang beberapa waktu kemudian,

Nabi menyerang suku Yahudi Madinah, banu Qainuqa, yang

berkomplot dengan orang-orang Makkah dalam melanggar isi

Piagam Madinah dan memaksa mereka angkat kaki ke

Transyordania.

Kekalahan pahit di Badr dan tetap dilakukannya razia terhadap

kafilah-kafilah dagang Makkah telah membuat orang-orang Quraisy

memandang perlu diambil langkah-langkah yang lebih tegas untuk

membalas kekalahan mereka. Pada 3H/625, 3000 prajurit Makkah

di bawah pimpinan Abu Sufyan bergerak ke Madinah. Di bawah

desakan para sahabat – yang sebenarnya bertentangan dengan

penilaiannya tentang memerangi pasukan Quraisy di kota Madinah

– Nabi memutuskan berperang di dekat Uhud.

Pada mulanya, pihak Makkah terdesak dalam pertempuran.

namun , pasukan pemanah Muslim yang ditempatkan di atas bukit

untuk melindungi balatentara Muslim lainnya, meninggalkan

posisi strategis mereka dan terjun ke kancah pertempuran, sebab 

khawatir tidak akan diperhitungkan dalam pembagian pampasan

perang. Akhirnya, keadaan berbalik secara drastis: pasukan Mus-

lim diporakporandakan bala tentara Makkah, dan tersebar desas-

desus bahwa Nabi –  yang terluka – telah gugur.93

Orang-orang Makkah tidak lagi melanjutkan pertempuran dan

kembali ke kota mereka dengan kemenangan gilang-gemilang di

tangan. Banyak sahabat Nabi yang gugur dalam pertempuran

Uhud, termasuk Hamzah ibn Abd al-Muthalib, dan kekalahan

balatentara Muslim ini juga memberi andil yang cukup besar dalam

menjatuhkan pamor mereka. Namun, dengan penuh kesabaran

Nabi berusaha  membangun kembali kekuatan moral pengikutnya.

Al-Quran, disamping mengeritik kaum Muslimin, juga menghibur

dan membangkitkan kembali semangat mereka sesudah  kekalahan

pahit ini .94  Sementara itu, orang-orang Yahudi Madinah yang

tidak ikut berpartisipasi dalam Perang Uhud tidak lagi

merahasiakan kegembiraan mereka atas kemalangan yang menimpa

kaum Muslimin. Demikian pula, suku-suku Badui yang terikat

pakta dengan kaum Muslimin tidak lagi menunjukkan sikap

bersahabat.

Pada 4H/624, salah satu suku Yahudi Madinah, banu Nadlir,

diusir dari kota itu lantaran sikap permusuhan yang mereka

tunjukkan kepada kaum Muslimin dan kecurigaan akan maksud

mereka membunuh Nabi. Mereka diperintahkan meninggalkan

Madinah dalam jangka waktu 10 hari dan diperkenankan membawa

segala harta bendanya. Pada mulanya, suku ini menyatakan

kesediaannya untuk angkat kaki, namun  Abd Allah ibn Ubay –

pemimpin kaum munafik Madinah – membujuk mereka agar tetap

tinggal dalam benteng dan berjanji akan mengirimkan bantuan

militer.

Berharap akan memperoleh bantuan – di samping dari Ubay,

juga dari banu Qurayzhah – mereka bersiap siaga untuk mengadakan

perlawanan kepada kaum Muslimin. saat  batas waktu yang

ditetapkan telah habis, kaum Muslimin mengepung benteng banu

Nadlir. Bala bantuan yang diharapkan suku Yahudi ini tidak kunjung

tiba. Akhirnya, sesudah  kaum Muslimin mulai menebang pohon-

pohon kurma mereka, banu Nadlir menyerah serta terusir

sebagiannya ke Siria dan sebagian lagi ke Khaibar. Kisah pengusiran

suku Yahudi ini  dituturkan al-Quran dalam 59:1-17.

Sementara kaum Muslimin tengah berusaha  memulihkan

kondisinya, suatu ancaman besar kembali datang dari Makkah.

Kaum Quraisy, atas hasutan orang-orang Yahudi Khaibar dan

dengan bantuan suku-suku Badui lainnya mengerahkan sekitar

10.000 prajurit untuk menduduki Madinah. Mereka sadar bahwa

kemenangan di Uhud tidak begitu menentukan dan yaitu  lebih

penting menaklukkan Madinah untuk memadamkan api Islam.

Pada 5H/627, bergeraklah pasukan besar ini  ke Madinah yang

membuat warga  Muslim di kota itu sangat kuatir. Kekuatiran

ini semakin menjadi-jadi lantaran sikap yang dipertontonkan kaum

munafik dan diketahuinya kenyataan bahwa kaum Yahudi Madinah

lainnya, banu Qurayzhah, menggalang persekutuan dengan orang-

orang Makkah.95

Nabi, atas saran  sahabat Salman al-Farisi, memerintahkan

penggalian parit-parit di depan bagian-bagian kota yang tidak

terlindungi. Balatentara Makkah beserta sekutu-sekutunya

mengepung kota Madinah, namun  tidak berhasil memasuki, apalagi

mendudukinya. Pengepungan ini memakan waktu lama dan

berlarut-larut, sehingga melemahkan para pengepung itu sendiri.

Akhirnya, dengan kerugian sangat besar, pasukan pengepung pun

mengundurkan diri dan kembali ke Makkah. Kaum Muslimin

mengakhiri Perang “Parit” (khandaq, kata pinjaman dari bahasa

Persia) – demikian lazimnya perujukan kepada peperangan ini

dalam rekaman-rekaman sejarah – dengan kemenangan yang gilang

gemilang.

Perilaku suku-suku Badui, kaum munafik dan orang-orang

Yahudi selama beberapa kali peperangan barangkali cukup relevan

diamati sejenak. Apabila kaum Muslimin memperoleh kemenangan

dalam pertempuran, maka orang-orang Badui sangat bersemangat

untuk menggalang pakta perdamaian dan saling tolong-menolong

dengan kaum Muslimin; namun bila keadaan sebaliknya yang

terjadi, maka orang-orang Badui itu mengkhianati pakta-pakta yang

mereka buat. Al-Quran menggambarkan perilaku suku-suku Badui

ini sebagai berikut: “Orang-orang Badui itu yaitu  yang paling

hebat kekufuran dan kemunafikannya serta yang paling condong

tidak melakukan batasan-batasan yang diturunkan Allah kepada

Rasul-Nya” (9:97). Sementara orang-orang munafik, yang

merupakan musuh dalam selimut, terlihat menghilang dengan

meninggalnya  Abd Allah ibn Ubay pada 9H/631.

Dalam kaitannya dengan kaum Yahudi, seperti telah diutarakan

di atas, mereka secara terang-terangan maupun gelap-gelapan telah

menjalin hubungan dengan Makkah dan kaum munafik. Al-Quran

berulang kali mempersalahkan mereka sebagai orang-orang yang

melanggar pakta-pakta.96  Itulah sebabnya, sesudah  setiap peperangan

besar, Nabi berpaling kepada salah satu suku Yahudi dan

mempersalahkannya lantaran tidak setia kepada perjanjian yang

dibuat: sesudah  Badr, banu Qainuqa dipersalahkan dan diusir dari

Madinah; sesudah  Uhud, giliran banu Nadlir mendapatkan

perlakuan yang sama; dan sesudah  Perang Khandaq – dimana kaum

Yahudi Khaibar dan banu Qurayzhah menjalin persekongkolan

dengan orang-orang Makkah – suku Yahudi terakhir di Madinah

itu diserang kaum Muslimin. Peperangan yang mengakibatkan

dibantainya beberapa  besar orang-orang Yahudi banu Qurayzhah

ini, dan mengakibatkan punahnya suku ini , dirujuk al-Quran

di beberapa tempat.97

sesudah  melakukan “pembersihan” Yahudi di Madinah, kaum

Muslimin tetap melanjutkan sergapan terhadap kafilah-kafilah

dagang Makkah hingga 6H/626-7. Beberapa serbuan juga dilakukan

terhadap suku-suku Badui untuk menghukum mereka atas

pelanggaran-pelanggaran perjanjian yang dilakukan. Salah satu

ekspedisi punitif ini yaitu  yang dilakukan terhadap banu

Mushthaliq pada 5H. Ekspedisi ini menarik disebut, sebab  terkait

dengan suatu peristiwa yang menimpa Aisyah, (w. 678), salah satu

istri Nabi, dan menyebabkan ketegangan antara kaum Muhajirin

dan Anshar. Aisyah, yang tertinggal di suatu tempat sesudah 

ekspedisi itu, ditemukan dan dibawa pulang ke Madinah oleh

Shafwan ibn Mu‘aththal. Kejadian ini menimbulkan desas-desus

di kalangan kaum Muslimin yang membahayakan posisi Aisyah

sebagai isteri Nabi serta mengancam putusnya pertalian saudara

antara Muhajirin dan Anshar.  Akhirnya, wahyu turun

menyelamatkan Aisyah dari berbagai desas-desus dan mencairkan

ketegangan antara kedua pengikut Nabi ini .98

Pada penghujung 6H, posisi Nabi di Madinah semakin mapan.

Sekalipun masih menjadi buronan orang-orang Makkah dan tidak

diperkenankan berziarah ke tempat-tempat suci di kota ini ,

Nabi – mungkin melalui sejenis agensi rahasia yang dijalin lewat

klannya – mengetahui opini publik yang berkembang di Makkah

(cf. 48:11-17; 60:7-9). Jumlah yang makin membesar di kalangan

warga  kota ini telah lelah berperang. Mereka mulai berpikir

bahwa yaitu  lebih menguntungkan bagi perniagaan Makkah, jika

perdamaian diwujudkan dengan musuh bebuyutannya yang tidak

terkalahkan, khususnya sesudah  Islam mewajibkan pengikutnya

berziarah ke Makkah.

Melihat kondisi Makkah semacam itu, pada 6H/628, Nabi

menyatakan keinginannya untuk melakukan umrah ke kota

ini . Bersama pengikutnya, Muhammad bergerak dari Madinah

ke Makkah. Ada bagian al-Quran yang mengisahkan bahwa Nabi

mengajak suku-suku Badui tertentu untuk menemaninya dalam

perjalanan itu, namun  mereka menolak ajakannya (48:llf.). saat 

mendekati Makkah, beberapa  prajurit dikirim dari dalam kota

untuk menahan kaum Muslimin. sebab  itu, Nabi memutuskan

berkemah di Hudaibiyah dan melakukan negosiasi dengan orang-

orang Quraisy. Ia mengutus Utsman ibn Affan (w. 656) ke Makkah

untuk berunding. namun , saat  tidak ada  tanda-tanda bahwa

Utsman akan kembali dan muncul desas-desus bahwa ia telah

dibunuh, Nabi mengumpulkan pengikutnya serta mengambil

sumpah setia mereka – dikenal sebagai bay‘ah al-ridlwãn dan dirujuk

dalam 48:10,18 – untuk memerangi suku Quraisy hingga

kemenangan akhir tercapai. Akibat sumpah setia ini, kaum Quraisy

melepas Utsman dan mengirim utusan untuk melakukan

perundingan dengan kaum Muslimin, yang berujung dengan

ditandatanganinya Perjanjian Hudaibiyah.

Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa kaum Muslimin akan

menunda ibadah umrahnya hingga tahun depan. Sebenarnya klausa

ini ditentang keras sebagian pengikut Nabi, namun  kenyataan bahwa

orang-orang Quraisy terpaksa berunding dan membuat  perjanjian

dengan   kaum  Muslimin  dalam kedudukan  yang  setara, jelas

merupakan suatu kemenangan diplomatik yang besar bagi kaum

Muslimin. Para sejarawan Barat modern bahkan memandang

perjanjian ini  sebagai suatu langkah diplomasi Nabi yang

piawai.99  sesudah  penandatanganan perjanjian Hudaibiyah,

Muhammad dan pengikutnya kembali ke Madinah.

Pada permulaan 7H (628-9), Nabi dan pengikutnya

menaklukkan oase kaya Khaibar, yang dihuni orang-orang Yahudi.

Koloni Yahudi lainnya, Wadi al-Qura, juga jatuh ke tangan kaum

Muslimin dalam ekspedisi ini, yang mendatangkan banyak

pampasan  perang bagi mereka.100   Suatu hal baru  dilembagakan

Nabi dalam penaklukan Khaibar, yang pada masa-masa selanjutnya

dipraktekkan dalam penyebarluasan domain politik Islam: Nabi

tidak menghukum mati atau mengusir warga  Khaibar, namun 

membiarkan mereka sebagaimana adanya dan mengharuskan

membayar iuran setiap tahun. Belakangan, dalam terminologi fiqh,

orang-orang taklukan semacam ini disebut dzimmî serta iuran yang

mesti dibayar disebut jizyah (pajak kepala) dan kharaj (pajak tanah).

Sesuai dengan isi perjanjian Hudaibiyah, pada 7H/629

Muhammad beserta pengikutnya melakukan umrah ke Makkah.

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  47

Salah satu peristiwa yang signifikan di sini yaitu  masuk Islamnya

beberapa pemuka Quraisy yang penting seperti Amr ibn al-Ash

(w. 663) dan Khalid ibn Walid (w. 642). sesudah  itu, Nabi tetap

melakukan ekspedisi-ekspedisi militernya. Suatu ekspedisi ke

Transyordania yang dipimpin Zayd ibn Tsabit (w. 655) mengalami

kekalahan di  Mu’ta.  namun , beberapa   besar  suku  Yahudi  kini

mulai  melihat sisi-sisi positif bila bergabung dengan kaum

Muslimin. Akhirnya, suku-suku ini – bahkan suku-suku besar

seperti banu Sulaim – bergabung dengan kaum Muslimin dan

menyatakan keislamannya.

Di perkirakan pada masa inilah Muhammad mengirim surat

kepada Raja Ethiopia, Gubernur Mesir, Kaisar Bizantium serta

Persia, dan lainnya, yang berisi seruan kepada mereka untuk

memeluk Islam. Sebagian besar penulis Barat meragukan keabsahan

surat-surat ini  dan menilainya sebagai rekayasa belakangan

untuk menguniversalkan risalah yang dibawa Nabi. Skeptisisme

ini dikedepankan demi membela sudut pandang mereka tentang

Islam sebagai agama nasional Arab. namun , sebagaimana telah

ditunjukkan, gagasan tentang agama nasional itu sama sekali tidak

memiliki basis yang kuat.

Lantaran pelanggaran yang dilakukan orang-orang Quraisy

terhadap perjanjian Hudaibiyah – yakni dengan mendukung suku

Bakr melawan suku Khuza‘ah yang terikat perjanjian tolong-

menolong dengan kaum Muslimin – maka dengan dukungan bala-

tentara sebesar 10.000 prajurit Nabi bergerak ke Makkah untuk

menaklukkannya pada 8H/629. saat  pasukan Muslim tiba di

luar kota ini , pemuka-pemuka suku Quraisy – diantaranya

Abu Sufyan – diutus untuk merundingkan penyerahan kota

Makkah secara damai. Akhirnya, Nabi memasuki kota kelahirannya

praktis tanpa perlawanan dan hampir seluruh warga  kota

ini  menyatakan keimanan kepada risalah yang dibawanya.

Amnesti diumumkan bagi seluruh musuh Islam, dan berhala-

berhala penghias Ka‘bah dihancurkan.

Tahap akhir kehidupan Muhammad ditandai dengan meluas

otoritasnya ke sebagian besar penjuru Arabia. Selama dua tahun

sesudah  fath makkah, sebagian besar warga  Arabia secara suka

rela memeluk Islam. Sementara kota Thaif dan suku-suku Hawazin

melakukan perlawanan sengit. namun , yang lebih dahulu diserbu

yaitu  suku-suku Hawazin. Dalam pertempuran melawan suku-

suku ini  di Hunain, hampir saja pasukan Muslim menghadapi

bencana lantaran rasa percaya diri yang berlebihan sebab 

berjumlah lebih besar dari musuh.101   Akhirnya, kemenangan bisa

mereka peroleh.

Langkah selanjutnya yaitu  menundukkan Thaif. Balatentara

Muslim mengepung kota itu yang berkesudahan dengan pernyataan

keislaman warga nya. sesudah  peristiwa ini, tidak ada lagi

konsentrasi suku-suku pengembara di Arabia – selain di bagian

utara – yang cukup kuat berperang melawan kaum Muslimin.

Sekitar 9H/ 630-1, sebagian besar suku-suku di Arabia mengirim

delegasi-delegasi ke Madinah untuk menyatakan ketundukannya

kepada kaum Muslimin dan merundingkan syarat-syarat

persekutuan sehubungan dengan pengakuan keislaman mereka.102

Pada tahun yang sama, Nabi beserta 30.000 prajurit Muslim

melakukan suatu ekspedisi militer terhadap kelompok-kelompok

Kristen di Transyordania. Ekspedisi ini, yang mencatat sukses besar,

tampaknya memiliki tujuan strategis untuk membuka rute

perluasan Islam ke Siria. Selama masa perhentian di Tabuk,

beberapa  negeri Kristen dan Yahudi di bagian utara Arabia – seperti

Raja Kristen Yuhanna di Aila, orang-orang Adzruh dan kaum

Yahudi di kota pelabuhan Makna – menyatakan ketundukannya

kepada otoritas kaum Muslimin. Sementara itu, kota penting

Dumat al-Jandal berhasil ditaklukkan pasukan Muslim di bawah

pimpinan Khalid ibn Walid. Al-Quran merujuk ekspedisi ini di

beberapa tempat.103

Pada 10H/632, Nabi menunaikan ibadah haji ke Makkah, yang

merupakan ibadah haji terakhir baginya. Dalam kesempatan

pelaksanaan ibadah ini  ia menyampaikan suatu khutbah yang

menekankan persaudaraan kaum Muslimin, persamaan harkat dan

martabat manusia tanpa memandang warna kulit dan asal-usul

etnis, serta menggantikan pertalian darah kesukuan dengan ikatan

keimanan. Khutbah ini merangkum berbagai pembaruan moral,

sosio-ekonomik dan keagamaan yang dicanangkan Muhammad.

Sekembalinya ke Madinah, Nabi jatuh sakit dan dipanggil

pulang ke hadirat Ilahi pada 13 Rabi‘ al-Awwal 11H, bertepatan

dengan 8 Juni 632. Sebelum ajal menjemputnya, Nabi masih sempat

merencanakan suatu ekspedisi ke utara, di luar tapal batas Arabia.

Hal ini menunjukkan bahwa Nabi secara pasti tidak akan

membatasi perkembangan Islam cuma hanya  di jazirah Arab. Baginya,

Islam harus melangkah ke luar jazirah ini . berdasar  logika

semacam ini, keberadaan surat-surat yang ditulis Nabi kepada Raja

Ethiopia, Gubernur Mesir, dan kaisar-kaisar Bizantium serta Per-

sia, yang berisi seruan kepada mereka untuk memeluk Islam, pada

prinsipnya dapat diterima sekalipun teks surat-surat ini  yang

kita warisi dewasa ini bisa diragukan otentisitasnya. Nabi

tampaknya telah menggariskan tekad bahwa Islam mesti melangkah

ke luar Arabia, sejalan dengan universalitas risalah yang

didengungkannya.


BAB 2

Asal-Usul al-Quran

Derivasi dan Sinonim

Kitab suci kaum Muslimin, yang berisi kumpulan wahyu Ilahi

yang diturunkan kepada Nabi Muhammad selama kurang lebih

23 tahun, secara populer dirujuk dengan nama “al-Qur’ãn” (



). Sebagian besar sarjana Muslim memandang nama ini 

secara sederhana merupakan kata benda bentukan (mashdar) dari

kata kerja (fi‘l ) qara’a ( 

), “membaca.” D engan demikian al-qur’ãn

( 

) bermakna “bacaan” atau “yang dibaca” (maqrû’). 1   Dalam

manuskrip al-Quran beraksara kufi yang awal, kata ini ditulis tanpa

memakai  hamzah – yakni al-qurãn – dan hal ini telah

menyebabkan beberapa  kecil sarjana Muslim memandang bahwa

terma itu diturunkan dari akar kata qarana (

 ), “menggabungkan

sesuatu dengan sesuatu yang lain” atau “mengumpulkan,” dan al-

qurãn (  

 ) berarti “kumpulan” atau “gabungan.”2  namun ,

pandangan minoritas ini harus diberi catatan bahwa penghilangan

hamzah merupakan suatu karakteristik dialek Makkah atau Hijazi,3

dan karakteristik tulisan al-Quran dalam aksara kufi yang awal. Di

samping itu, sebagaimana akan ditunjukkan di bawah, terma qur’ãn

bertalian erat dengan akar kata qara’a dalam penggunaan al-Quran

sendiri.

Para sarjana Barat yang belakangan pada umumnya menerima

pandangan Friedrich Schwally bahwa kata qur’ãn merupakan derivasi

(isytiqãq) dari bahasa Siria atau Ibrani: qeryãnã, qiryãnî (“lectio,”

“bacaan” atau “yang dibaca”), yang digunakan dalam liturgi Kristen.4

Kemungkinan terjadinya pinjaman dari bahasa Semit lainnya dalam

kasus ini bisa saja dibenarkan, mengingat kontak-kontak yang


dilakukan orang-orang Arab dengan dunia di luarnya.5  Lewat

kontak-kontak semacam itu, berbagai kata non-Arab telah

dimasukkan ke dalam bahasa Arab atau “diarabkan.” namun ,

sebagaimana akan ditunjukan di bawah, terma qur’ãn – dalam

kaitannya dengan kitab suci kaum Muslimin – pada prinsipnya

berasal dari penggunaan al-Quran sendiri yang didasarkan pada

bentuk mashdar fu‘lãn dari akar kata qara’a.

Kata kerja qara’a ( 

) dan berbagai bentuk konjugasinya

(tashrîf) muncul 17 kali di dalam al-Quran. Kata kerja ini, dengan

rujukan kepada pembacaan wahyu (al-Quran) oleh Muhammad,

muncul dalam beberapa kesempatan (16:98; 17:45,106 cf. 7:204;

84:21).6  namun , dalam konteks lainnya (75:18; 87:6), disebutkan

bahwa Tuhanlah yang membacakan wahyu kepada Muhammad.

Dalam 73:20, ada  dua kali perintah membacakan bagian-bagian

termudah al-Quran, yang ditujukan kepada pengikut-pengikut

Muhammad saat  itu. Sementara dalam 26:198 f., dikatakan bahwa

jika al-Quran diturunkan kepada seorang non-Arab (a‘jam) lalu ia

bacakan kepada orang-orang kafir (Makkah), maka orang-orang

ini  tidak akan mempercayainya. Jadi, dalam keseluruhan

konteks yang telah dikemukakan, bisa dilihat pertalian erat antara

akar kata qara’a dengan al-Quran, yang membuktikan bahwa terma

al-qur’ãn memang diturunkan dari akar kata ini .

Kemunculan kata kerja qara’a – dengan makna “membaca” –

dalam konteks-konteks al-Quran lainnya tidak dikaitkan dengan

qur’ãn, namun  dengan kitãb. Dalam 17:93, Muhammad ditantang

orang-orang kafir untuk mendatangkan dari “langit” sebuah kitab

yang dapat mereka “baca” sebagai bukti kerasulannya. Dalam tiga

bagian al-Quran lainnya (17:14,71; dan 69:19), kata kerja ini 

dikaitkan dengan “pembacaan” kitab rekaman perbuatan manusia

di Hari Penghabisan. Konteks terakhir (10: 94) merujuk kepada

orang-orang tertentu yang sezaman dengan Nabi – barangkali

menunjuk kepada orang-orang Yahudi dan Kristen – sebagai “or-

ang-orang yang membaca kitab sebelum kamu.” Jadi, dalam konteks

apapun,  kata kerja qara’a digunakan al-Quran dalam pengertian

“membaca,” baik dikaitkan dengan qur’ãn ataupun kitãb.

Kata qur’ãn, baik dengan atau tanpa kata sandang tertentu

(’adãt al-ta‘rîf, yakni al-), muncul sekitar 70 kali di dalam al-Quran

dengan pengertian yang beragam. Dalam 75:17-18, kata ini


digunakan untuk merujuk wahyu-wahyu individual yang

disampaikan satu-per-satu kepada Nabi,7  atau sebagai suatu istilah

umum untuk wahyu Ilahi yang diturunkan bagian demi bagian.8

Sementara pada sebagian konteks lainnya, al-qur’ãn – terkadang

tanpa artikel penentu (al ) – disebut sebagai suatu versi berbahasa

Arab dari al-kitãb yang ada di Lawh mahfûzh.9  Kata ini juga

merujuk kepada sekumpulan wahyu Ilahi yang diperintahkan

untuk dibaca.10  namun , penggunaan terma al-qur’ãn yang paling

dekat dengan pengertian yang dipahami dewasa ini – yakni sebagai

kitab suci kaum Muslimin – ada  di dalam suatu konteks

(9:111), di mana kata ini disebut secara bergandengan dengan dua

kitab suci lain (Tawrat dan Injil) dalam suatu konstruksi (tarkîb)

yang memberi kesan tentang tiga kitab suci yang paralel.

Sebagai alternatif untuk kata al-qur’ãn, kitab suci kaum

Muslimin juga lazim dirujuk dengan terma al-kitãb (

). Kata

ini muncul di dalam al-Quran sebanyak 255 kali dalam bentuk

tunggal dan 6 kali dalam bentuk jamak (kutub). Penggunaan kata

kitãb yang paling sering di dalam al-Quran yaitu  dalam kaitannya

dengan wahyu Tuhan kepada para nabi. Jadi, kepada para nabi

sebelum Muhammad telah diturunkan kitãb (2:213; 3:81; dll.). Kitãb

telah diturunkan Tuhan kepada anak keturunan Nuh dan Ibrahim

(57:26; 4:54; 6:84-89; 29:27), kepada Bani Israel (40:53; 45:16; dll.),

kepada Musa (2:53,87; 6:154; 11:110; 41:45; 17:2; 23:49; 25:35;

37:117; 28:43; 32:23; dll.), kepada Yahya (19:12) dan kepada Isa

(3:48; 5:110; dll.). Sementara kepada Muhammad sendiri juga

diturunkan kitãb yang mengkonfirmasi kitab-kitab wahyu

sebelumnya (3:43; 2:89; 3:7; 4:105; 5:48; 6:92; 16:64; 46:12,30; dll.).

Makna khusus yang baru dikemukakan ini – yakni sebagai

wahyu Tuhan yang diturunkan kepada para nabi – mesti dipisahkan

dari makna kata kitãb lainnya yang digunakan di dalam al-Quran.

Kata ini secara sederhana bisa berarti “sesuatu yang tertulis” atau

“sepucuk surat” (24:33; 27:28 f.). Dalam kaitannya dengan Hari

Akhirat, kata kitãb bisa bermakna “rekaman tertulis” perbuatan

manusia (17:71; 69:19-25; 84:7,10; 18:49; 39:69; dll.) yang dipegang

malaikat pengawas manusia (82:10-12), dan akan dibentangkan

terbuka di Hari Penghisaban (81:10). Kata kitãb juga secara khusus

dikaitkan dengan pengetahuan Tuhan (6:38,59; 10:61; 11:6; 22:70;

27:74 f.; 34:3; dll.), atau kejadian-kejadian yang telah ditetapkan


Tuhan sebelumnya (17:58; 35:11; 57:22; dll.). Orang-orang yang

meninggal dikatakan menetap dalam kitãb Tuhan hingga Hari

Berbangkit (30:56).

Dua istilah lain – yakni sûrah () dan âyah () – mesti

dikemukakan di sini dalam rangka melengkapkan pengenalan dan

pemahaman kita mengenai asal-usul al-Quran. Kedua kata ini 

kini telah menjadi istilah-istilah teknis yang digunakan untuk

merujuk bagian-bagian tertentu di dalam tubuh al-Quran. Sûrah

merupakan nama yang digunakan untuk merujuk “bab” al-Quran

yang seluruhnya berjumlah 114 – menurut perhitungan mushaf

utsmani yang disepakati. Sementara ãyah digunakan untuk merujuk

bagian yang lebih kecil dari surat. Jumlah ayat sangat bervariasi di

dalam ke-114 surat dan tidak ada  kesepakatan di kalangan

sarjana Muslim mengenai penghitungan jumlah keseluruhannya.

Kata sûrah muncul sembilan kali di dalam al-Quran dalam

bentuk tunggal dan satu kali dalam bentuk jamak (suwar ). 11

Penggunaannya di dalam al-Quran merujuk kepada suatu unit

wahyu yang “diturunkan” Tuhan (9:64,86,124,127; 24:1; 47:20),

bukan dalam pengertian “surat” yang dipahami dewasa ini. Secara

kontekstual, penggunaan kata sûrah sebagai suatu unit wahyu

memiliki kemiripan dengan beberapa penggunaan kata ãyah, qur’ãn

dan kitãb di dalam al-Quran. Musuh-musuh Nabi ditantang

mendatangkan “suatu sûrah yang semisalnya” (2:23; 10:38) atau

“sepuluh suwar yang semisalnya” (11:13 cf. 28:49, di mana

tantangannya yaitu  mendatangkan suatu kitãb dari Tuhan). Jadi,

terlihat bahwa makna umum kata sûrah yang bisa disimpulkan di

sini yaitu  unit wahyu terpisah yang diturunkan  kepada Nabi

dari waktu ke waktu. namun , al-Quran tidak memberi indikasi apa

pun tentang panjang pendeknya unit wahyu ini .

Istilah berikutnya, ãyah (jamak: ãyãt), muncul sekitar 400 kali

dalam al-Quran, baik dalam bentuk tunggal maupun jamak.

Penggunaan kata ini di dalam al-Quran dapat dikelompokkan ke

dalam empat konteks (siyãq). Dalam konteks pertama, kata ãyah

merujuk kepada fenomena kealaman – termasuk manusia – yang

disebut sebagai “tanda-tanda” (ãyãt) kemahakuasaan dan karunia

Tuhan (45:3-4; 41:37,39; 42:29,32; 2:28; 10:4; 22:66; 30:40,46; 16:14;

36:73; dll.).

Dalam konteks kedua, kata ãyah diterapkan kepada peristiwa-

peristiwa atau obyek-obyek luar biasa yang dikaitkan dengan tugas

seorang utusan Tuhan dan cenderung mengkonfirmasi pesan

ketuhanan yang dibawanya (43:46-48; 40:78; 17:59; 20:17-24; 27:12-

14; 7:130-136; 7:73; 3:49; 15:73-75; 29:24; 54:15; dll.). Seirama dengan

ini, oposan-oposan Nabi Muhammad juga menuntutnya mem-

pertunjukkan suatu “tanda” (2:118; 6:37; 10:20; 13:7; 20:133; 21:5;

29:50), yang tentu saja tidak merujuk kepada “ayat-ayat” al-Quran,

namun  kepada mukjizat. Sebagaimana disebutkan dalam 40:78,

penciptaan “tanda-tanda” merupakan hak privilese eksklusif Tuhan

dan tidak seorang rasul pun yang diberi kekuasaan untuk

menciptakannya atas kehendak pribadi. Seandainya suatu “tanda”

dari jenis mukjizat ini dibawa Muhammad kepada mereka, maka

mereka – seperti ditegaskan dalam 30:58 – tetap tidak akan beriman.

Jadi, sehubungan dengan Muhammad, al-Quran pada faktanya

menolak bahwa ia memiliki mukjizat dalam pengertian

supranatural (mã fawqa al-fithrah). Namun, dalam tahun-tahun

terakhir kehidupannya, beberapa keberhasilan eksternal Nabi

dirujuk sebagai “tanda,” seperti janji perolehan pampasan perang

yang berlimpah (48:20) dan kemenangan dalam Perang Badr (3:13).

Bahkan, mayoritas sarjana Muslim memandang bahwa al-Quran

itu sendiri yaitu  mukjizat terbesar Nabi (cf. 11:12-13; 6:33-35; dll.).12

Dalam konteks ketiga, kata ãyah merujuk kepada “tanda-tanda”

yang dibacakan oleh rasul-rasul yang diutus Tuhan (39: 71; 6:130

cf. 67:8; 40:50), atau dalam kebanyakan kasus dibacakan oleh

Muhammad sendiri (31:7; 45:25; 46:7; 62:2; 65:11; dll.). Pembacaan

“tanda-tanda” ini menambah keyakinan kaum beriman, namun  para

penentang Nabi mengeritiknya sebagai “dongeng-dongeng masa

silam” (asãthîr al-awwalîn, 6:25; 8:31; 16:24; 23:83; 25:5; 27:68; 46:17;

68:15; 83:13) – di dalam al-Quran, terma asãthîr al-awwalîn merujuk

kepada kisah pengazaban umat-umat terdahulu (misalnya 8:31 dan

68:15) dan kebangkitan kembali pada Hari Pengadilan (misalnya

23:83; 27:68; 46:17).

Dalam konteks terakhir – yakni konteks keempat – kata ãyah

disebut sebagai bagian al-qur’ãn atau kitãb atau sûrah (10:1; 11:1;

13:1; 15:1; 24:1; 26:2; 27:1; 28:2; 31:2; dll.), yang diturunkan Tuhan

(2:99,202; 3:108; 22:16; 24:34; dll.). Dengan demikian, kata ãyah

dalam konteks ini memiliki makna unit dasar wahyu terkecil, selaras

dengan pemahaman kita dewasa ini tentangnya. namun , sebagaimana


dengan sûrah, al-Quran juga tidak memberi indikasi tentang

panjang pendeknya unit-unit wahyu ini .

Jika hadits dimasukkan ke dalam pertimbangan untuk melihat

panjang pendeknya unit-unit wahyu yang diterima Nabi, maka

jawaban yang diperoleh sangat beragam. ada  berita yang

mengabarkan bahwa Muhammad menerima wahyu al-Quran secara

ayat per ayat atau huruf per huruf,  kecuali surat 19 dan 12 yang

turun sekaligus.13  Menurut pandangan lain, Nabi menerima satu

atau dua ayat,14  satu hingga lima ayat atau lebih, lima hingga

sepuluh ayat, dan lain-lain.15  Sekalipun tidak ada kejelasan dari al-

Quran dan hadits tentang panjang pendeknya unit wahyu yang

diterima Nabi, gagasan tentang unit wahyu barangkali bisa dibangun

dengan mencermati konteks literer al-Quran sendiri – baik dalam

bentuk peralihan akhiran rima serta peralihan gagasan dalam suatu

surat – dan mengeksploitasi perbendaharaan klasik Islam, semisal

riwayat-riwayat asbãb al-nuzûl dan lainnya. Langkah semacam ini

tentunya akan sangat membantu dalam usaha  menyusun aransemen

kronologis unit-unit wahyu yang diterima Nabi.

Istilah teknis lainnya yang digunakan di dalam al-Quran untuk

merujuk wahyu yang diturunkan kepada Muhammad akan dibahas

secara singkat berikut ini.16  ada  tiga kata benda (ism) dari

kata kerja dzakara (), “mengingat” atau “menyebut,” yang

digunakan untuk wahyu dalam pengertian “peringatan.” Jadi kata

dzikr () ada  antara lain dalam 7: 63,69; 12:104; 15:6,9; 16:44;

38:37; 68:52; dan 81:27. Kata dzikrã () ditemukan antara lain

dalam 6:69,90; 11:114,120; dan 74: 31. Sementara kata tadzkirah

( ) ada  antara lain dalam 69:48; 73:19; dan 76:29. Sepanjang

ketiga kata benda ini diterapkan kepada pesan yang diwahyukan

atau suatu bagian darinya, maka penekanannya yaitu  pada aspek

“peringatan” yang dikandungnya. Dalam beberapa bagian al-Quran,

Muhammad diperintahkan untuk memberi peringatan kepada

manusia (50:45; 51:55; 52:29; dll.), dan dalam 88:21 ia sendiri disebut

sebagai seorang pemberi peringatan (mudzakkir).

Di sebelas  tempat di dalam al-Quran, wahyu yang diturunkan

kepada Muhammad juga dirujuk sebagai tanzîl (), “yang

diturunkan.” Dalam bagian awal surat-surat 32, 39, 40, 45 dan 46,

kata tanzîl dikaitkan dengan kata kitâb dalam konstruksi tanzîl al-

kitâb. Sementara dalam surat 41 disebutkan: “Hã-Mîm () suatu

tanzîl dari Yang Maha Pengasih … suatu kitâb….” Dalam konstruksi

semacam ini, tanzîl bisa bermakna “apa-apa yang diturunkan” atau

“suatu pesan yang diwahyukan,” sebagaimana bisa dilihat dalam

26:192; 56:80; dan 69:43. Dengan demikian, jika terma ini

dipandang sebagai nama alternatif untuk al-Quran atau bagiannya,

maka ia memberi penekanan terhadap karakter kewahyuan al-

Quran atau bagiannya.

Nama alternatif lain yang digunakan untuk al-Quran, menurut

mayoritas sarjana Muslim, yaitu  furqãn (

). Para mufassir Mus-

lim berusaha  mengaitkan istilah ini dengan kata kerja faraqa,

“diskriminasi, memisahkan, membedakan,” dan menjelaskannya

memiliki makna teologis “pembeda antara yang hak dan batil.”

Namun, makna semacam ini barangkali tidak dapat ditemukan

dalam penggunaan kata furqãn oleh al-Quran. Dalam beberapa 

konteks di mana kata furqãn dikaitkan dengan sesuatu yang

diturunkan Tuhan kepada Muhammad (8:29,41; 2:185; 3:3f.; 25:1),

terlihat bahwa kata ini  sangat mungkin bermakna

“pertolongan” atau “salvasi”17  – yang bisa disinonimkan dengan

nashr – mengingat signifikansi kemenangan dalam Perang Badr,

yang merupakan konsteks sebagian ayat-ayat ini , diperoleh

berkat pertolongan Tuhan. Makna semacam ini bisa diterapkan

terhadap dua konteks al-Quran lainnya (2:53 dan 21:48) yang

menyebutkan pemberian furqãn kepada Musa. Pemberian furqãn

di sini mungkin merujuk kepada pertolongan Tuhan saat 

menyelamatkan orang-orang Israel keluar dari Mesir.18  Dengan

demikian, sejauh furqãn dipandang sebagai suatu bagian al-Quran,

maka hal ini terletak pada aspeknya yang mengekspresikan

signifikansi kemenangan kaum Muslimin dalam Perang Badr atas

pertolongan Tuhan.

Terma terakhir yang relevan disinggung di sini yaitu  hikmah

( ), “kebijaksanaan” atau sophia. Kata ini di dalam al-Quran

tidak cuma hanya  diasosiasikan dengan ãyah dan kitãb (2:129, 151; 3:164;

62:2), namun  dalam 2:231 dan 4:113, misalnya, ada  rujukan

kepada penurunannya. Dalam 33:34 disebutkan bahwa ãyah dan

hikmah dibacakan di rumah istri-istri Nabi. Sangat mungkin bahwa

hikmah merujuk kepada aturan-aturan kewarga an yang

diwahyukan Tuhan di dalam al-Quran, sebab  – mengingat pertalian

eratnya dengan kata kitâb, dan derivasinya dari akar kata hakama


– dalam 4:105 Muhammad diperintahkan untuk mengadili

(tahkum) manusia berdasar  kitâb yang diturunkan kepadanya.

beberapa  mufassir Muslim berusaha  menafsirkan kata hikmah

dengan tindakan ekstra-quranik (Sunnah) Nabi, namun  makna

semacam ini tidak cocok diterapkan terhadap 33:34 yang dirujuk

di atas.

Uraian yang telah dikemukakan sejauh ini memperlihatkan

bahwa baik dari segi derivasi (isytiqãq) ataupun sinonim (murãdif )

terma al-Quran, kesemuanya menggagaskan suatu konsepsi yang

padu dan kohesif tentang karakter kewahyuan al-Quran. Jadi, dalam

nama alternatif apa pun yang dinisbatkan al-Quran terhadap

dirinya, kesemuanya kembali kepada gagasan tentang asal-usul

ilahiahnya, bahwa ia bersumber dari Allah, Tuhan semesta alam.

Tentang Sumber-sumber al-Quran

Kaum Muslimin pada umumnya meyakini bahwa al-Quran

bersumber dari Allah, dan al-Quran sendiri – seperti ditunjukkan

di atas – juga mengkonfirmasinya. Keyakinan tentang sumber

ilahiah wahyu-wahyu yang diterima Muhammad merupakan

keyakinan standar dalam sistem teologi Islam. Tanpa keyakinan

semacam itu, tidak seorang pun yang dapat mengklaim dirinya

sebagai Muslim, bahkan dalam suatu pengertian nominal. namun ,

keyakinan ini  telah mendapat tantangan serius saat 

diproklamasikan pertama kali oleh al-Quran dan berlanjut hingga

dewasa ini di kalangan tertentu pengamat Islam non-Muslim.

Pengakuan Muhammad bahwa ia merupakan penerima wahyu

dari Tuhan semesta alam untuk disampaikan kepada seluruh umat

manusia mendapat tantangan keras dari orang Arab yang sezaman

dengannya. Al-Quran sendiri tidak menyembunyikan adanya

oposisi yang serius terhadap Nabi, namun  justeru merekam rentetan

peristiwa ini  tanpa memutarbalikkan pandangan-pandangan

negatif para oposan kontemporer Nabi mengenai asal-usul genetik

atau sumber wahyu yang diterimanya – termasuk ejekan dan celaan

musuh-musuh Muhammad – berikut bantahan terhadap

miskonsepsi mereka.

Dalam dua bagian al-Quran (52:29 dan 69:42), para penentang

Nabi memandangnya sebagai kãhin (“tukang tenung”) dan wahyu-

62  /  TAUFIK ADNAN AMAL

wahyu yang disampaikannya sebagai “perkataan tukang tenung.”

Demikian pula, dalam beberapa bagian al-Quran (21:5; 37:36; 52:30

cf. 69:41)  ia dituduh sebagai syã‘ir (“penyair”), atau di tempat lain

(15:6; 68:51; 7:184; 37:36; 44:14; 23:70; 34:8; 51:52) sebagai majnûn

(“kerasukan jin atau berada di bawah pengaruhnya”).19  beberapa 

bagian al-Quran lainnya menginformasikan bahwa Muhammad

dianggap para penentangnya sebagai sãhir (“tukang sihir,” 10:2;

38:4; 51:52) atau mashûr (“korban sihir,” 17:47; 25:8), dan wahyu-

wahyu yang diterimanya sebagai sihr (“sihir,” 6:7; 11:7; 21:3; 34:43;

37:15; 43:30; 46:7; 52:15; 54:2; 74:2).

Berbagai gagasan para penentang Nabi di atas secara eksplisit

mengungkapkan bahwa sumber inspirasi al-Quran berasal dari ruh-

ruh jahat atau kekuatan-kekuatan setaniah, bukan dari Allah. Dalam

konsepsi pagan Arab, baik tukang tenung, penyair ataupun

penyihir, semuanya dibantu untuk mengetahui persoalan gaib oleh

jin atau setan.20  Terhadap konsepsi ini, al-Quran mengemukakan

bahwa jin-jin telah mencapai langit yang ternyata dijaga ketat dan

penuh dengan bintang-bintang penyambar, serta dari tempat

tersembunyi mereka berusaha  menguping “berita-berita langit.”

namun , sesudah  pengutusan  Muhammad, tak satu pun di antara

mereka yang bisa berbuat demikian (72:8-9). Hal senada juga

dikatakan berulangkali oleh al-Quran sehubungan dengan setan-

setan yang secara sembunyi-sembunyi berusaha mencuri berita

langit, namun  dihalau dengan sambaran bintang (15:16-18; 67:5;

dll.). Jadi, bagi al-Quran, berita-berita langit yang  disampaikan

Muhammad, tidaklah berasal dari inspirasi setaniah atau jin, sebab 

sejak pengutusannya, baik jin maupun setan tidak lagi bisa

mendekati “langit.”

Berbagai tuduhan yang dilayangkan para penentang al-Quran

kepada Muhammad tentang sumber-sumber setaniah wahyunya –

sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai konteks al-Quran di atas

– pada hakekatnya dilatarbelakangi oleh ketidakpercayaan mereka

kepada pekabaran yang didakwahkannya tentang azab Tuhan yang

akan menimpa mereka, seperti tercermin dalam kisah pengazaban

umat-umat terdahulu, atau akan menimpa mereka kelak di Hari

Berbangkit. Dalam bab lalu telah ditunjukkan bahwa dakwah Nabi

semacam ini merupakan gagasan yang nonsen bagi orang-orang

pagan Arab, sebab  dalam weltanschauung mereka eksistensi satu-


satunya yang dikenal yaitu  kehidupan di dunia ini, dan yang

dapat membinasakannya cuma hanya lah masa (dahr).

Selain respon tentang sumber setaniah al-Quran, dalam

berbagai kesempatan kitab suci ini juga membantah tuduhan para

oposan Nabi. Sebagian besar konteks ayat-ayat al-Quran yang

dirujuk di atas memuat bantahan terhadap tuduhan ini .

Dalam 69:40-43, misalnya, disebutkan: “Sungguh ia (al-Quran)

merupakan perkataan rasul yang mulia, bukan perkataan penyair

… dan bukan pula perkataan tukang tenung…. Suatu tanzîl dari

Tuhan semesta alam.” Demikian pula, dalam 36:69 dinyatakan:

“Kami tidak mengajarkannya syair, dan (syair itu) tidak layak

baginya.” Di tempat lain (7:184 cf. 81:22), al-Quran menegaskan:

“Teman mereka itu (Muhammad) tidaklah kerasukan jin; ia

cuma hanya lah seorang pemberi peringatan yang jelas.” Tentang konsepsi

al-Quran sebagai sihir, kitab suci ini membantahnya: “Apakah

(pekabaran al-Quran) ini sihir atau apakah kalian buta?”(52:15).

Sementara tentang sumber-sumber setaniah wahyu yang diterima

Nabi, al-Quran memberi respon: “Dan ia (al-Quran) bukanlah

perkataan setan yang terkutuk” (81:25), “Setan-setan tidaklah

membawanya (al-Quran) turun; mereka tidak patut dan tidak kuasa

berbuat demikian. Sesungguhnya mereka dihalangi untuk

mendengar-kannya (al-Quran)” (26:210-212). Bagi al-Quran, setan-

setan justeru memberi inspirasi kepada pendusta yang banyak

berbuat dosa: “Inginkah engkau Aku kabarkan kepada siapa setan-

setan itu turun? Mereka turun kepada setiap pendusta yang banyak

dosanya” (26:221-222). Jadi, dalam berbagai sanggahan al-Quran

ini selalu ditegaskan bahwa Allah-lah yang merupakan sumber

inspirasi wahyu Muhammad.

Di samping gagasan-gagasan di atas, para oposan kontemporer

Nabi juga menuduhnya membuat-buat atau mengada-adakan al-

Quran (10:38; 11:13; 32:3; 46:8; 25:4; 34:8,43; 21:5; 16:101).

Sehubungan dengan gagasan tentang al-Quran sebagai rekayasa

imajinasi kreatif Muhammad, Nabi diperintahkan menjawab: “Jika

aku (Muhammad) mengada-adakannya, maka kamu tidak memiliki

kekuasaan sedikit pun untuk menghalangi aku (Muhammad) dari

(azab) Allah” (46:8). Di bagian lainnya (16: 102), al-Quran merespon:

“Ruh Kudus telah menurunkannya (al-Quran) dari Tuhanmu

dengan benar, untuk meneguhkan orang-orang yang beriman dan


sebagai petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang

berserah diri.” Dalam responnya yang lebih keras, kitab suci ini

bahkan menantang para oposan Nabi untuk membuat perkataan

(hadîts) semisal wahyu yang diterima Nabi (52:34), atau suatu surat

(10:38; 2:23), atau sepuluh surat (11:13), atau suatu kitab semisal

al-Quran (17:88; 28:49).21

Aspek tantangan (tahaddî ) yang disebutkan terakhir di atas,

telah dikembangkan sedemikian rupa di dalam ‘ulûm al-qur’ãn

untuk menopang doktrin i‘jãz al-qur’ãn dari segi kualitas bahasanya.

Di sini, ditekankan bahwa ketidakmampuan manusia untuk

menandingi bahasa al-Quran merupakan salah satu bukti

kemukjizatan kitab suci ini . namun , lantaran penekanan yang

berlebihan terhadap doktrin ini,  ayat-ayat tantangan di atas telah

dikemukakan dalam urutan kronologis pewahyuan terbalik – yakni

tahapan pertama yaitu  tantangan mendatangkan suatu kitab

semisal al-Quran (17:88; 28:49), tahapan kedua yaitu  tantangan

mendatangkan sepuluh surat semisal al-Quran (11:13), dan tahapan

ketiga yaitu  tantangan mendatangkan satu surat semisal al-Quran

(10:38).22

Merupakan hal yang logis jika tantangan semacam ini diajukan

selaras dengan perkembangan kuantitas wahyu yang ada di tangan

Nabi dari waktu ke waktu. Jadi, saat  kepada Nabi baru diturunkan

beberapa surat, oposan-oposannya ditantang untuk mendatangkan

perkataan atau sebuah surat yang semisal itu. saat  belasan surat

telah diwahyukan kepada Nabi, mereka ditantang untuk

mendatangkan sepuluh surat semisal itu. Dan saat  wahyu-wahyu

al-Quran dalam perbendaharaan Nabi telah mengambil bentuk

seperti kitãb, maka para oposan Muhammad ditantang untuk

mendatangkan yang seperti itu.

Di samping gagasan tentang sumber-sumber setaniah al-Quran

di atas, Para penentang Nabi juga menuduhnya memperoleh

pengetahuan wahyu lewat transmisi manusiawi (6:105; 16:103; 44:14;

25:4). Pengetahuan wahyu yang diperolehnya  yaitu  “dongeng-

dongeng masa silam” (asãthîr al-awwalîn) yang telah disalinnya

dan didiktekan kepadanya tiap pagi dan petang (25:5). Secara

singkat, dapat dikemukakan bahwa para oposan Nabi

memandangnya memperoleh inspirasi qurani dari sumber-sumber

ahli kitab – yakni kaum Yahudi dan Kristen.23  namun , Al-Quran

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  65

menyanggah pandangan ini dengan menegaskan bahwa

Muhammad tidak pernah membaca suatu kitab suci pun dan tidak

pernah pula menulisnya; sebab  jika seandainya terjadi demikian,

para penentang Nabi akan memiliki argumen yang kuat untuk

meragukannya (29:48). Demikian pula, dugaan bahwa yang telah

mengajarkan al-Quran kepada Muhammad yaitu  orang asing

(a‘jamî), ditolak dengan mengemukakan bahwa al-Quran yang

diwahyukan kepada Muhammad itu dalam bahasa Arab yang jelas,

yang tentunya berbeda dari tutur kata a‘jamî (16:103).  Sementara

yang disebut-sebut para penentang Nabi sebagai asãthîr al-awwalîn,

ditegaskan al-Quran bersumber dari Tuhan: “ Ia (asãthîr al-awwalîn)

diturunkan oleh yang mengetahui rahasia langit dan bumi, (Allah)

yang maha pengampun lagi maha penyayang” (25:5-6).

Salah satu bagian al-Quran yang secara ringkas mengungkapkan

gagasan-gagasan para oposan Nabi sehubungan dengan sumber-

sumber atau asal-usul genetik wahyu yang diterimanya, berikut

respon al-Quran terhadapnya, yaitu   25:4-9 berikut ini:

Orang-orang kafir (penentang Muhammad) itu berkata:

“(pekabaran al-Quran) ini tidak lain cuma hanya  suatu kebohongan

yang direkayasanya, dan dia tentunya dibantu oleh kaum lain.”

Sungguh mereka telah berbuat zalim dan berdusta. Dan mereka

berkata: “Inilah dongeng-dongeng masa silam yang telah

disalinnya untuk dirinya dan didiktekan kepadanya tiap pagi

dan petang.” Katakanlah (hai Muhammad): “Ia diturunkan

oleh yang mengetahui rahasia langit dan bumi, (Allah) yang

maha pengampun lagi maha penyayang.” Dan mereka berkata:

“mengapa rasul ini memakan makanan dan berjalan-jalan di

pasar? Mengapa tidak diturunkan malaikat kepadanya agar

memberi peringatan bersamanya? Dan (mengapa) tidak

diberikan kepadanya harta kekayaan atau kebun yang hasilnya

dapat dia nikmati?” Dan orang-orang yang zalim itu berkata:

“Kalian cuma hanya  mengikuti seorang lelaki yang terkena sihir.”

Lihatlah bagaimana mereka telah membuat perumpamaan-

perumpamaan tentang kamu (Muhammad). Mereka telah

tersesat dan tidak dapat menemukan jalan (yang benar).

Jadi, tanpa memutarbalikan fakta, al-Quran telah merekam

rentetan kejadian sehubungan dengan oposisi dan sudut-sudut

pandang orang yang semasa dengan Nabi mengenai asal-usul atau

sumber inspirasi wahyu yang diterimanya. Serempak dengan itu,

al-Quran juga merespon atau membantah berbagai tuduhan dan

miskonsepsi para oposan kontemporer Nabi. Sebagaimana terlihat,

respon spesifik al-Quran terhadap  berbagai gagasan dan tuduhan

para penentang Muhammad memang berbeda untuk setiap

kasusnya. namun , dalam berbagai jawaban ini , kitab suci ini

selalu menekankan asal-usul ilahiahnya: Wahyu yang diterima

Muhammad itu bersumber dari Tuhan semesta alam.

Berbagai gagasan para oposan kontemporer Nabi tentang asal-

usul atau sumber al-Quran terlihat memiliki kemiripan dengan

konsepsi yang dikembangkan di Barat sejak abad pertengahan

hingga dewasa ini. Bahkan, dalam kasus-kasus tertentu, konsepsi

yang diajukan sarjana Barat terlihat lebih ekstensif dan tidak jarang

berbau apologetik. Pada abad pertengahan di Barat, Muhammad

digagaskan sebagai penipu, pseudo-propheta, tukang sihir, serta

ajaran al-Quran yang didakwahkannya itu tidak lain dari suatu

bentuk Kristen yang sesat dan penuh bidah.24

Gagasan-gagasan Barat abad pertengahan di atas, yang lebih

merupakan mitos dan fiksi imajinatif, memiliki pengaruh kuat di

kalangan sarjana Barat pada masa-masa selanjutnya, dan terlihat

sulit dienyahkan dari benak warga  Barat hingga dewasa ini.

namun , konsepsi abad pertengahan itu secara sederhana bisa

diabaikan sebab  tidak ditopang dan dilandasi oleh penelitian

ilmiah yang serius. Kepentingan utama yang ada di balik

penggagasannya lebih bersifat apologetik, sebab  difokuskan pada

pembelaan keyakinan kristiani serta penyemaian rasa percaya diri

di kalangan umat Kristen. Gagasan ini secara reflektif

mengungkapkan bahwa walaupun umat Islam – musuh bebuyutan

Kristen dalam serangkaian Perang Salib saat  itu – secara politik

lebih superior dibandingkan umat Kristen, secara religius kaum

anti-Kristus  itu  –  salah satu istilah yang dilabelkan  kepada umat

Islam  – memeluk agama yang lebih inferior dari agama Kristen.

Gagasan-gagasan Barat abad pertengahan itu tentu saja tidak

dapat disejajarkan dengan gagasan-gagasan Barat modern jika dilihat

pada tataran saintifik dan sofistikasinya. Karya Barat modern yang

berusaha  melacak sumber-sumber al-Quran bisa dikatakan bermula

pada 1833 dengan publikasi karya Abraham Geiger, Was hat

Mohammed aus dem Judentum aufgenommen?25  Sebagaimana

tercermin dari judulnya – “Apa yang telah Diadopsi Muhammad

dari Agama Yahudi?” – karya ini memusatkan perhatian pada anasir

Yahudi di dalam al-Quran. Dalam penelitiannya, Geiger sampai

kepada kesimpulan bahwa seluruh ajaran Muhammad yang

tertuang di dalam al-Quran sejak sebermula telah menunjukkan

sendiri asal-usul Yahudinya secara transparan: Tidak cuma hanya  sebagian

besar kisah para nabi, namun  berbagai ajaran dan aturan al-Quran

pada faktanya juga bersumber dari tradisi Yahudi.26  Namun, selama

hampir setengah abad sesudah  publikasi karya Geiger, tidak terlihat

teolog Yahudi yang melanjutkan tradisi penelitian ini. Baru pada

1878, H. Hirschfeld mengikuti jejak Geiger dengan publikasinya,

Juedische Elemente im Koran (“Anasir Yahudi dalam al-Quran”),

yang mengkonfirmasi lebih jauh temuan-temuan pendahulunya.

sesudah  kemunculan kedua karya di atas, beberapa  besar sarjana

Barat mulai menaruh perhatian serius terhadap pelacakan asal-

usul genetik al-Quran. Terjadi semacam peperangan akademik

antara sarjana-sarjana yang memandang al-Quran tidak lebih dari

tiruan rentan tradisi Yahudi dan sarjana-sarjana yang menganggap

agama Kristen sebagai sumber utamanya. Sarjana-sarjana Yahudi

berusaha  keras membuktikan bahwa asal-usul genetik al-Quran

secara sepenuhnya berada dalam tradisi Yahudi dan bahwa

Muhammad merupakan murid seorang Yahudi tertentu. Karya-

karya kesarjanaan Yahudi jenis ini antara lain ditulis oleh J.

Horovitz, Jewish Proper Names and Derivatives in the Koran

(“Nama Diri Yahudi dan Derivasinya dalam al-Quran,” 1925,

dicetak-ulang, 1964), C.C. Torey, The Jewish Foundation of Islam

(“Fondasi Yahudi Agama Islam,” 1933, dicetak-ulang, 1967), dan

Abraham I. Katsch, Judaism and the Koran (“Agama Yahudi dan

al-Quran,” 1962).27  Pencetakan-ulang karya-karya kesarjanaan

Yahudi itu memperlihatkan secara gamblang pengaruh gagasan

lama yang masih melekat di dunia akademik Barat. namun , kajian-

kajian kesarjanaan Yahudi ini mencapai titik kulminasi yang tragis

dengan terbitnya karya J. Wansbrough, Quranic Studies: Sources

and Methods of Scriptural Interpretation (“Kajian-kajian al-Quran:

Sumber dan Metode Tafsir Kitab Suci,” l977). Dalam buku ini,

Wansbrough melangkah lebih jauh dengan menegaskan bahwa al-

Quran merupakan hasil “konspirasi” antara Muhammad dan

pengikut-pengikutnya pada dua abad pertama Islam yang secara

sepenuhnya berada di bawah pengaruh Yahudi.28

Sementara para sarjana Kristen juga melakukan usaha  senada

dan berusaha membuktikan bahwa al-Quran itu tidak lebih dari

gema sumbang tradisi kristiani dan bahwa Muhammad cuma hanya lah

seorang pengikut Kristen yang mengajarkan suatu bentuk aneh agama

Kristen. Karya kesarjanaan Kristen modern yang awal tentang sumber-

sumber kristiani al-Quran ditulis Karl Friedrich Gerock, Versuch

einer Darstellung der Christologie des Korans (“usaha  Peng-

ungkapan Kristologi al-Quran,” terbit pertama kali pada 1839).

sesudah  suatu tenggang waktu yang cukup lama, muncul karya-

karya kesarjanaan Kristen lainnya tentang topik ini, seperti yang

disusun oleh Manneval, La Christologie du Koran (“Kristologi al-

Quran,”1887), Tor Andrae, Der Ursprung des Islams und das

Christentum (“Asal-usul Islam dan Agama Kristen,” 1926), dan J.

Henninger, Spuren christlicher Glaubenswahrheiten im Koran

(“Jejak Kebenaran Kepercayaan Kristen dalam al-Quran,” 1951).

namun , salah satu karya kesarjanaan Kristen paling menonjol dan

berpengaruh dalam kategori ini ditulis oleh Richard Bell, The

Origin of Islam in its Christian Environment (“Asal-usul Islam

dalam Lingkungan Kristennya,” 1926).

Di samping karya-karya yang menitikberatkan asal-usul al-

Quran dalam salah satu dari kedua tradisi keagamaan semit, yakni

Yahudi dan Kristen, ada  juga karya-karya kesarjanaan Barat

lainnya yang menekankan pengaruh kedua tradisi keagamaan

ini  secara serempak terhadap kitab suci kaum Muslimin.

Karya-karya kategori terakhir ini antara lain ditulis oleh W.

Rudolph, Die Abhaengigkeit des Qorans von Judentum und

Christentum (“Ketergantungan al-Quran pada Agama Jahudi dan

Kristen,” 1922), dan D. Masson, Le Coran et la Revelation Judeo-

Chretienne (“Al-Quran dan Wahyu Yahudi-Kristen,” dua jilid,

1958). Sementara beberapa  sarjana Barat lain, seperti W.M. Watt

dan H.A.R. Gibb, memperluas gagasan terakhir ini dengan

menegaskan bahwa latar belakang kelahiran Islam atau al-Quran

yaitu  milieu Arab, walaupun banyak unsur-unsur Yudeo-Kristiani

yang diserap dalam formasi dan perkembangannya.

Gagasan-gagasan yang berkembang di kalangan sarjana Barat

modern tentang asal-usul atau sumber-sumber al-Quran di atas,

sebenarnya dipijakkan pada asumsi tentang difusi agama Yahudi

dan Kristen pada masa pra-Islam maupun pada masa awal Islam.

namun , asumsi semacam ini tampaknya tidak mendapat

pembenaran dari informasi-informasi historis yang ada  di

dalam al-Quran sendiri, jika kitab suci ini dipandang –  dan sudah

semestinya dijadikan – sebagai sumber sejarah yang otoritatif.

Uraian-uraian dalam bab lalu justeru menunjukkan bahwa

pengaruh kedua tradisi keagamaan ini  terhadap milieu

intelektual Arab terlihat tidak begitu meyakinkan.30  Memang benar

bahwa ajaran-ajaran kedua tradisi itu telah cukup dikenal di

kalangan orang-orang Arab. Al-Quran sendiri bahkan

mengemukakan adanya usaha  dari orang-orang Yahudi dan Kristen

dalam skala besar-besaran ataupun kecil-kecilan untuk menarik

orang-orang Arab ke dalam agamanya masing-masing. namun , usaha 

ini tidak membuahkan hasil yang baik lantaran implikasi politik

kedua agama ini , dan – lebih dari itu – orang-orang Arab

terlihat lebih setia mengikuti tradisi “bapak-bapak kami.”

Kemiripan ajaran al-Quran dengan tradisi Yudeo-Kristiani juga

dijadikan sebagai basis oleh para sarjana Barat untuk teori mereka

bahwa sumber inspirasi al-Quran yaitu  Perjanjian Lama dan

Perjanjian Baru – Tawrat dan Injil dalam istilah al-Quran. namun ,

kaum Muslimin barangkali akan menisbatkan kemiripan dalam

ketiga tradisi agama Ibrahim ini kepada kesamaan sumber kitab

suci masing-masing agama ini . Menurut keyakinan Islam,

seluruh kitab suci – bahkan di luar ketiga tradisi keagamaan Semit

itu – bersumber dari Allah, dan rasul yang menyampaikan kitab

suci itu diutus oleh-Nya. Al-Quran memang menyebutkan bahwa

para nabi diutus untuk menyeru kaum-kaum dan bangsa-bangsa

yang berbeda pada masa-masa yang berbeda, namun risalah yang

mereka sampaikan yaitu  universal dan identik. Semua risalah

ini  terpancar dari sumber tunggal: umm al-kitãb  (“induk

segala kitab,” 43:4; 13:39) atau kitãb maknûn (“kitab yang

tersembunyi,” 56:78) atau lawh mahfûzh (“luh yang terpelihara,”

85:22), yang merupakan esensi Pengetahuan Tuhan. Dari esensi

kitab primordial inilah wahyu-wahyu diturunkan kepada para

utusan Tuhan. Tawrat (2:53,87; 3:3,65; 5:44; 6:91; dll.) dan Zabur

(4:163; 17:55) – merujuk kepada Perjanjian Lama – serta Injil

(3:3,48,65; 5:46; 57:27; dll.), semuanya bersumber dari Allah. sebab 

semua risalah Tuhan itu universal dan identik, maka manusia mesti

mengimani seluruhnya. Di dalam al-Quran, di samping disebutkan

kewajiban untuk mengimani kitab suci agama Yahudi dan Kristen,

Muhammad juga diperintahkan untuk mendeklarasikan: “Aku

beriman kepada seluruh kitab yang diturunkan Allah” (42:15 cf.

2:285; 4:136; 2:177). sebab  itu, agama Allah tidak dapat dipecah-

pecah. Demikian juga dengan kenabian: Al-Quran mengharuskan

keimanan kepada nabi-nabi pembawa risalah Tuhan tanpa

diskriminasi (2:136,285; 3:84; 4:152; dll.). Bagi al-Quran, “tidak

ada satu umat pun yang tidak pernah didatangi seorang pemberi

peringatan” (35:24 cf. 13:7). Jadi, berbagai kemiripan dalam ajaran

agama-agama bukanlah disebabkan agama yang satu mengadopsi

ajaran agama lain, namun  sebab  tiap-tiap agama ini  berasal

dari satu sumber: Tuhan semesta alam.

Sekalipun uraian di atas mungkin bagi sementara kalangan

dipandang tidak memuaslegakan dan lebih bersifat dogmatis, namun 

cuma hanya  jawaban semacam itulah yang barangkali bisa dikemukakan

jika dikaitkan dengan perspektif al-Quran tentangnya. Di kalangan

sarjana Barat sendiri pun masalah pelacakan sumber-sumber al-

Quran masih tetap merupakan bidang garap yang kontroversial.

Kajian-kajian semacam ini, misalnya, mendapat justifikasi dari W.M.

Watt. Ia mengemukakan dua alasan penting tentang relevansinya:

(i) kajian tentang sumber-sumber al-Quran tidak akan

menghilangkan gagasan-gagasan yang sumbernya ditemukan dan

juga tidak akan mengurangi nilai kebenaran serta validitas kitab

suci ini ; dan (ii) orang-orang yang menerima doktrin bahwa

al-Quran merupakan verbum dei (kalãm Allãh) yang qadîm bahkan

dapat mengkaji “sumber-sumber” dalam artian pengaruh-pengaruh

eksternal terhadap pemikiran orang-orang Arab pada masa

Muhammad. “Jika kedua butir ini diterima, akan terlihat bahwa

kajian tentang sumber-sumber dan pengaruh – di samping

merupakan hal yang sudah semestinya – memiliki tingkatan interes

yang moderat.”31

Meskipun karya-karya tentang asal-usul genetik al-Quran yang

ditulis para sarjana Barat belakangan ini terlihat lebih serius

ketimbang karya-karya sebelumnya, dan sekalipun ada beberapa 

sarjana yang menjustifikasi dan membela mati-matian kepentingan

studi-studi semacam itu, usaha  rekonstruksi elemen-elemen asing

al-Quran juga mendapat kecaman keras dari kalangan sarjana Barat

sendiri. Franz Rosenthal, misalnya, mengemukakan bahwa

meskipun kajian-kajian semacam itu berhasil menemukan bukti

yang meyakinkan mengenai pengaruh asing terhadap formasi spiri-

tual dan intelektual Muhammad, usaha -usaha  ini  “tidak

mungkin menjelaskan secara memuaskan keberhasilan Nabi dalam

menciptakan sesuatu dan mentransformasikannya ke dalam suatu

kekuatan abadi yang mempengaruhi seluruh umat manusia ….”32

Lebih jauh, Rosenthal bahkan menilai bahwa kajian-kajian semacam

ini cuma hanya  menyentuh kulit luar dan tidak pernah mencapai

intinya.33

Bahwa kajian tentang asal-usul genetik al-Quran serta berbagai

pendekatan yang digunakan di dalamnya memiliki kepentingan

historis tertentu, merupakan kenyataan yang tidak dapat dibantah.

Akan namun , merupakan suatu fakta yang tidak dapat ditolak bahwa

studi-studi semacam ini cuma hanya  memiliki manfaat yang sangat

terbatas dalam kaitannya dengan pemahaman al-Quran dan

gagasan-gagasannya. Sebaliknya, telaah-telaah semacam ini bahkan

cenderung mengaburkan dan mendistorsi kandungan kitab suci

itu. Lebih jauh, asumsi yang mendasari kajian-kajian ini  yaitu 

praduga abad pertengahan bahwa Muhammad yaitu  “pengarang”

al-Quran. Apabila kitab suci itu merupakan rekayasa yang sadar

dari imajinasi kreatif Nabi, maka sumber-sumbernya secara pasti

dapat dilacak dalam milieunya. Prasangka semacam ini, seperti

telah disinggung di atas, justeru disangkal dengan tegas oleh al-

Quran sendiri saat  menolak dakwaan-dakwaan senada yang

diajukan oposan kontemporer Nabi. Barangkali inilah sebabnya

mengapa Seyyed Hossein Nasr – sehubungan dengan prasangka

Barat mengenai asal-usul genetik al-Quran – menyatakan

keheranannya: “Pandangan semacam itu (yakni tentang asal-usul

non-ilahiah al-Quran – pen.) wajar dipertahankan oleh orang yang

menolak secara sepenuhnya seluruh wahyu, namun  yaitu  aneh

mendengar pandangan-pandangan ini  dikemukakan para

penulis yang sering menerima Kristen dan Yahudi sebagai

kebenaran yang diwahyukan.”

Wahyu Ilahi dan Nabi

Uraian-uraian tentang derivasi, sinonim dan sumber-sumber

al-Quran di atas dengan jelas memperlihatkan bagaimana konsepsi

kitab suci itu mengenai asal-usul dirinya. Wahyu-wahyu qurani

yang diterima Nabi, menurut gagasan ini, bersumber dari Allah.

Wahyu-wahyu ini , sebagaimana dengan wahyu-wahyu lain yang

diterima nabi-nabi sebelum Muhammad, terpancar dari “Luh yang

Terpelihara” (lawh mahfûzh, 85:22), yang cuma hanya  dapat disentuh

oleh yang disucikan  (56:79).  Luh  ini  juga  disebut  sebagai “Kitab

yang Tersembunyi” (kitãb maknûn, 56:78), atau “Induk Segala Kitab”

(umm al-kitãb, 13:39; 43:4), sebagaimana lazimnya ditafsirkan

demikian di kalangan sarjana Muslim. Dari esensi kitab primordial

inilah Jibril datang dan menyampaikan wahyu ilahi kepada Nabi.

Pernyataan sederhana ini mencakup permasalahan luas tentang

wahyu Ilahi dan Nabi  yang akan didiskusikan berikut ini.

Kata wahyu (! "#$) beserta kata bentukan lain darinya

merupakan kata-kata yang frekuensi penggunaannya paling banyak

di dalam al-Quran. Kata-kata ini telah menjadi istilah-istilah teknis

dalam terminologi Islam, khususnya untuk merujuk komunikasi

pesan Ilahi kepada para nabi.35  Di dalam al-Quran sendiri,

penggunaan kata wahy dan kata-kata bentukannya tidak cuma hanya 

dibatasi bagi para nabi, namun  juga digunakan secara umum untuk

melukiskan bentuk komunikasi yang dijalin antara sesama manusia

atau antara Tuhan dengan makhluk-Nya – termasuk para nabi.

Jadi kata awhã (%$ ) digunakan dalam pengertian “memberi

isyarat” atau “menunjukkan” guna menggambarkan komunikasi

yang dilakukan Zakariya – sesudah  menjadi bisu – kepada kaumnya

(19:11). Dalam 6:112, dikatakan bahwa setan di kalangan jin dan

manusia saling “membisikkan” atau “memberi tahu secara

sembunyi-sembunyi” (yûhî ba‘dluhum ba‘dlan)  gagasan-gagasan

muluk (cf. 6:121). Penerima wahyu,  bahkan dari Tuhan, tidak

selalu seorang nabi. Kepada malaikat,  Tuhan mewahyukan (yûhî,

“memerintahkan”) agar meneguhkan pendirian orang-orang

beriman (8:12); dan kepada ibu Nabi Musa, Tuhan mewahyukan

(awhã, “memberi ilham”) agar menyusui anaknya (28:7). Bahkan,

kepada lebah pun Tuhan mewahyukan (awhaynã, “memberi ilham”)

untuk membuat sarangnya di bukit-bukit dan pohon-pohon serta 

rumah-rumah yang dibuat manusia (16:68). Pada Hari Penghabisan,

bumi akan mengeluarkan beban beratnya sebab Tuhan telah

“memerintahkan” (awhã) kepadanya untuk melakukan hal ini 

(99:1-5). Demikian pula, Tuhan “memerintahkan” (awhã) kepada

setiap lapis langit tugas-tugas khususnya.

Dalam beberapa  bagian al-Quran, kata-kata senada juga

digunakan untuk merujuk komunikasi pesan ilahi kepada para

nabi sebelum Muhammad (12:109; 16:43; 21:7,25; dll.): seperti

kepada Nuh (23:27; 11:36-37; dll.), Musa (7:160; 20:13,77; 26:52,63;

dll.), Yusuf (12:15), dan lain-lain. Pesan yang dikomunikasikan,

dalam kebanyakan kasus, berupa perintah untuk melakukan

sesuatu. Jadi, kepada Nuh, misalnya, “diperintahkan” membuat

bahtera berdasar  “wahyu”. Begitu juga, kepada Musa

“diperintahkan” untuk melakukan eksodus di malam hari,

memukul laut dan batu karang dengan tongkatnya. Terkadang,

yang diwahyukan kepada para nabi yaitu  doktrin: “Katakanlah:

‘Sesungguhnya diwahyukan kepadaku bahwa Tuhanmu yaitu 

Tuhan yang esa’” (18:110; 21:108; 41:6; dll.).

namun , obyek utama wahyu di dalam al-Quran yaitu 

Muhammad. Dalam 13:30 disebutkan bahwa ia diutus untuk

membacakan apa-apa yang “diwahyukan” kepadanya; bahwa

petunjuk yang diperolehnya disebabkan oleh apa-apa yang

“diwahyukan” kepadanya (34:50). warga  kontemporer Nabi

keheranan sebab  ia menerima wahyu untuk memberi peringatan

dan kabar gembira (10:2). namun , Muhammad diperintahkan

mengatakan: “Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa

perbendaharaan Allah ada padaku, dan aku tidak pula mengetahui

yang gaib. Aku juga tidak mengatakan kepadamu bahwa aku ini

malaikat. Sesungguhnya aku cuma hanya  mengikuti apa-apa yang

diwahyukan kepadaku” (6:50).

Bahwa wahyu yang diterima Muhammad memiliki asal-usul

ilahiah, seperti telah ditunjukkan di bagian yang lalu, selalu

ditegaskan oleh al-Quran. Dalam 53:3-4 disebutkan: “Dan tidaklah

ia (Muhammad) berbicara mengikuti hawa nafsunya. Sungguh

(ucapannya) itu tidak lain yaitu  wahyu yang diwahyukan” (cf.

6:93). Sementara di beberapa  bagian al-Quran lainnya Muhammad

diperintahkan cuma hanya  mengikuti apa-apa yang diwahyukan

Tuhannya (6:50,106; 7:203; 10:109; 33:2; 46:9; 43:43; dll.). Ia tidak

74  /  TAUFIK ADNAN AMAL

mengharamkan makanan apa pun – kecuali bangkai, darah, daging

babi atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah – sebab 

tidak menemukan larangan semacam itu eksis di dalam wahyu

yang diwahyukan kepadanya (6:145).

Kandungan wahyu yang diterima Muhammad dilukiskan

dengan berbagai cara di dalam al-Quran. Kisah keluarga Imran di

dalam surat 3 diinterupsi oleh suatu ayat (3:44) yang menyatakan:

“Itulah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan

kepadamu (Muhammad).” Sementara kisah Yusuf diawali dengan

pernyataan: “Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) kisah pal-

ing bagus dengan mewahyukan al-Quran ini kepadamu” (12:3).

Demikian pula, Allah mewahyukan kepada Muhammad untuk

mengikuti agama Ibrahim (16:123). Dan pengetahuannya tentang

beberapa  jin yang mendengar pembacaan al-Quran juga dinisbatkan

kepada wahyu ilahi (72:1), sebagaimana pengetahuannya tentang

perbantahan di kalangan malaikat pada waktu penciptaan manusia

(38:69 ff.).

Berbagai terma lain juga digunakan di dalam al-Quran untuk

menunjukkan kandungan wahyu. Dalam 5:48 disebutkan bahwa

Tuhan telah menurunkan kepada Muhammad al-kitãb dengan

kebenaran (cf. 13:1; 34:6; 22:54; 35:31; 47:2; 6:114; 4:105; 39:2,41;

3:3; 42:17; 32:3; 17:105; dll.), yang mengkonfirmasikan kitab-kitab

sebelumnya dan pelindung atasnya (cf. 6:92; 2:97; 35:31; 46:30;

6:92; 10:37; 12:111; dll.).36  Lebih jauh, kandungan wahyu juga

disebut sebagai ‘ilm (“ilmu,” 3:61; 2:120,145; 13:37; 45:17; cf. 30:29),

hikmah, (“hikmah,” 17:39; cf. 2:151,231,269; 3:164; 33:34; dll.),

hudã (“petunjuk,” 45:11,20; 3:138; 7:52,203; 12:111; dll.), syifã’

(“penawar,” 41:44; 10:57; 17:82), nûr (“cahaya,” 4:174; 5:15f.; 7:157;

42:52; 64:8), dan lain-lain. Sementara tujuan pewahyuan al-Quran

disebut dalam 6:19, “Dan al-Quran ini diwahyukan kepadaku agar

aku memberi peringatan kepadamu dengannya dan kepada orang-

orang yang sampai kepadanya (al-Quran)” (cf. 42:7; 6:92).

Deskripsi-deskripsi di atas dengan jelas memperlihatkan betapa

luas dan dalamnya kandungan semantik terma wahy dan awhã

dalam penggunaan al-Quran. Kata awhã barangkali memiliki

pengertian mendasar “komunikasi suatu gagasan melalui bisikan

yang cepat atau desakan.” 37  Pengertian ini selaras dengan contoh-

contoh yang diberikan di dalam kamus-kamus,38  di mana

ditunjukkan bahwa kecepatan atau kesekilasan merupakan bagian

dari konotasi akar kata ini . Dengan demikian, wahy secara

umum dapat bermakna gagasan yang dibisikkan, yang didesak

untuk ditindakkan atau dilakukan.

Namun yang menjadi kunci di sini yaitu  bagaimana proses

pewahyuan al-Quran kepada Muhammad. Al-Quran cuma hanya 

mengemukakan beberapa  kecil petunjuk tentang hal ini. Gambaran

paling lengkap tentang mekanisme wahyu – yang dalam

kenyataannya paling sering dijadikan obyek spekulasi tafsir

beberapa  besar sarjana Muslim – ada  dalam 42: 51-52, yang

dapat dikemukakan sebagai berikut:

Artinya:

Dan Allah tidak berkata-kata kepada seorang manusia pun

kecuali:

(a) (melalui) wahyu

atau (b) dari balik tabir

atau (c) Dia mengutus utusan

yang mewahyukan dengan seizinnya apa-apa yang Dia

kehendaki ….

Dan demikianlah telah Kami wahyukan kepadamu Ruh dari

perintah Kami….

Sebelum melangkah lebih jauh, perlu ditegaskan di sini bahwa

permulaan bagian al-Quran di atas menafikan kemungkinan Tuhan

berbicara secara langsung kepada manusia, kecuali lewat ketiga

modus taklîm di atas. Tentang model wahyu pertama (a), ada 

suatu consensus doctorum di kalangan sarjana Muslim bahwa yang

dimaksudkan dengan wahy di sini sinonim dengan ilhãm,

“inspirasi,”39  dan biasanya ditafsirkan sebagai “impian yang benar”

(ru’yat al-shãlihah). Penafsiran semacam ini bisa disimpulkan dari

penuturan al-Quran tentang kisah penyembelihan Ismail, putera

Nabi Ibrahim (39:101-112).40  Tentang model wahyu kedua (b),

biasanya ditafsirkan sebagai kalam ilahi dari balik tabir tanpa

melalui perantara, seperti dialami Nabi Musa (4:164; 7:143-144;

28:30; cf. 2:253). Sementara model wahyu ketiga (c), yakni lewat

perantaraan utusan spiritual, umumnya ditafsirkan sebagai

penyampaian wahyu Ilahi kepada nabi-nabi melalui perantaraan

malaikat Jibril atau Ruh Kudus. Bentuk pewahyuan terakhir inilah

– seperti terlihat dalam bagian akhir kutipan al-Quran di atas (42:52)

– yang dialami Muhammad.

Bahwa Jibril merupakan agen wahyu atau utusan spiritual yang

menyampaikan wahyu Ilahi kepada Muhammad, dikonfirmasi al-

Quran di beberapa tempat lainnya (2:97; 16:102; 26: 192-194; dll.).

Bahkan dalam bagian-bagian al-Quran ini dijelaskan bahwa Jibril

menyampaikan wahyu Ilahi ke dalam hati Nabi. Jadi dalam 26:192-

193, misalnya, disebutkan: “Dan sesungguhnya (al-Quran) ini

diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dia dibawa turun oleh al-

rûh al-amîn, ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi

salah seorang pemberi peringatan.” Dengan demikian, wahyu dan

agennya jelas bersifat spiritual dan internal bagi Muhammad. Hal

ini juga dinyatakan dalam bagian al-Quran lainnya: “Jika Tuhan

menghendaki, maka akan Dia tutup mata hatimu (hai

Muhammad), sehingga tidak akan ada lagi wahyu yang datang

kepadamu” (42:24; cf. 17:85-86).

Jibril – agen spiritual penyampai wahyu Ilahi kepada

Muhammad – cuma hanya  disebutkan tiga kali di dalam al-Quran (2:97,

98; 66:4), dan keseluruhannya berasal dari periode Madinah. Dari

tiga kali pemunculan ini , seperti telah disinggung di atas,

cuma hanya  satu kali saja yang bertalian dengan pewahyuan al-Quran

(2:97). Pemunculannya yang sangat belakangan ini telah

menimbulkan spekulasi di kalangan sarjana Barat tentang pengaruh

tradisi Yudeo-Kristiani dalam identifikasi ini . Gagasan umum

yang dikembangkan di sini bisa diilustrasikan dengan ungkapan

W.M. Watt:

Pengalaman Muhammad tentang pewahyuan telah

ditafsirkannya dalam berbagai cara. Pertama kali ia

menganggap bahwa Tuhanlah yang berkata-kata secara langsung

kepadanya, sebagaimana anggapannya bahwa Tuhanlah yang

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  77

menampakkan dirinya kepadanya dalam rukyah-rukyahnya.

Kemudian, ..., gagasan ini ditolak untuk mendukung ide bahwa

suatu Ruh dihunjamkan ke dalam dirinya. Belakangan, saat 

semakin akrab dengan gagasan-gagasan orang Yahudi dan

Kristen, yang darinya ia belajar mengenai malaikat sebagai

utusan Tuhan, Muhammad menganggap bahwa malaikatlah

yang membawa pesan ketuhanan kepadanya. Akhirnya, ia

memandang Jibril sebagai malaikat khusus yang membisikkan

pesan-pesan ilahi kepadanya atas nama Tuhan.41

Pandangan di atas mencerminkan suatu kegagalan dalam

mengapresiasi perkembangan misi kenabian Muhammad dalam

bentangan historisnya. Identifikasi-identifikasi tentang agen wahyu,

dalam kenyataannya berkembang selaras dengan perkembangan

misi ini , dan baru mencapai bentuk finalnya sesudah  Perang

Badr.42  Dalam proses perkembangan ini, al-Quran pada mulanya

menerima aspek-aspek tertentu keyakinan atau world-view

warga  Arab, sebab  tidak mungkin mengubahnya dalam

sesaat . Kepercayaan-kepercayaan pagan Arab itu kemudian

ditransformasikan atau diganti secara gradual dengan unsur-unsur

islami, hingga mencapai bentuk finalnya. Proses perkembangan

semacam ini, pada faktanya, terjadi dalam hampir keseluruhan

gagasan keagamaan Islam.43

Sebagai utusan spiritual yang menyampaikan pesan-pesan ilahi

kepada para nabi, Jibril lebih  sering diidentifikasi di dalam al-

Quran sebagai rûh,44  serta di beberapa tempat sebagai malã’ikah

(“malikat”),45  rasûl karîm (“utusan mulia”),46  syadîd al-quwã (“yang

sangat kuat”, 53:5 cf. 81:20), dzû mirrah (“yang