Kamis, 16 November 2023

filsafat 2








Alasan utama mereka ialah bahwa 
agama jelas-jelas tidak dapat membuktikan kebenaran ajaran￾ajarannya dengan tegas, pada hal sains bisa melakukan hal itu 
(Haught, 2004:2). 
Di samping pendekatan kontras dan konflik yang 
digunakan oleh ilmuan Barat dalam melihat hubungan antara 
ilmu dan agama, terdapat juga dua pendekatan lainnya, yaitu 
pendekatan kontak dan konfirmasi. Pendekatan kontak 
maksudnya ada usaha  untuk mengadakan dialog, interaksi, 
dan usaha  penyesuaian antara ilmu dan agama, misalnya 
mengusaha kan cara bagaimana ilmu ikut mempengaruhi 
pemahaman religius dan teologis. Pendekatan konfirmasi 
maksudnya adalah usaha  menyoroti cara-cara agama 
mendukung dan menghidupkan kegiatan ilmiah. Artinya, 
sekalipun titik tolak keduanya berbeda, filsafat dan ilmu 
pengetahuan bermula dengan ragu-ragu atau tidak percaya,
sedangkan agama dimulai dengan yakin dan percaya (iman). 
sebab  dimulai dengan tidak percaya atau ragu-ragu (skeptis), 
maka filsafat dan ilmu selalu mempertanyakan sesuatu. Filsafat 
dan ilmu adalah mengenai pengetahuan, sedangkan agama 
adalah mengenai kepercayaan atau keyakinan. Pengetahuan 
tidak sama dengan keyakinan, namun keduanya memiliki  
hubungan yang erat. Keyakinan dapat menjiwai atau 
mempengaruhi ilmu pengetahuan, yang sebab  itu ilmu 
pengetahuan tidak bersifat netral atau bebas nilai.Ilmu pengetahuan menyangkut sikap mental seseorang 
dalam hubungan dengan obyek tertentu yang disadarinya 
sebagai ada atau terjadi. Bedanya, dalam hal keyakinan, maka 
obyek yang disadari sebagai ada itu tidak perlu harus ada 
sebagaimana adanya. Sebaliknya dalam hal pengetahuan obyek 
yang disadari itu memang ada sebagai adanya. Pengetahuan 
tidak sama dengan keyakinan sebab  keyakinan bisa saja keliru 
tetapi sah saja dianut sebagai keyakinan. Apa saja yang 
disadari atau diyakini sebagai ada, bisa saja tidak ada dalam 
kenyataannya. 
Sebaliknya pengetahuan tidak bisa salah atau keliru, 
sebab  begitu suatu pengetahuan terbukti salah atau keliru, 
maka tidak bisa lagi dianggap sebagai pengetahuan. Apa yang 
dianggap sebagai pengetahuan lalu berubah status menjadi 
sekedar keyakinan belaka. Contohnya, kalau 2x3=6 hanya sah 
dianggap sebagai sebuah pengetahuan kalau memang dalam 
kenyataannya 2x3=6. Semua angsa berbulu putih hanya sah 
menjadi sebuah pengetahuan kalau dalam kenyataannya 
semua angsa berwarna putih. Kalau dalam kenyataannya tidak 
demikian maka pernyataan ini  hanya menjadi sebuah 
keyakinan. sebab  itu pengetahuan selalu mengandung 
kebenaran. Atau pengetahuan selalu berarti pengetahuan 
tentang kebenaran. Namun sampai pada tingkat tertentu, 
pengetahuan selalu mengandung keyakinan, yaitu keyakinan 
mengenai kebenaran pengetahuan itu. Misalnya kalau saya 
tahu bahwa anda baik, maka saya yakin bahwa anda adalah 
orang baik. (Lihat Sonny Keraf dan Mikhael Dua, 2001:33).
 Memang pernah pada suatu masa, yaitu di zaman gelap 
abad pertengahan, antara ilmu dan agama dipertentangkan dan 
terjadi permusuhan antara keduanya. Ilmu dan filsafat menjadi 
musuh penganut agama (Kristen) pada masa itu. Sumber 
konflik adalah sebab  penganut agama itu keliru dalam 
memahami makna kalimat (ayat) yang berkaitan dengan 
filsafat dan fakta ilmiah dalam kitab suci. Penganut agama 
Kristen pada masa itu memang bermusuhan dengan ilmu 
pengetahuan, tetapi agama itu sendiri tidak pernah 
bermusuhan dengan ilmu pengetahuan, malah antara 
keduanya tidak bisa dipisahkan. 
 Seperti dikatakan oleh Mahdi Ghulsyani (1993:59) “Ilmu 
itu laksana lampu kehidupan dan agama adalah petunjuknya” 
Sesuai dengan itu, Einstein menulis dalam bukuya Out of my 
later years sbb: ”Ilmu tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu 
buta” (science without religion is lame, religion without science is 
blind). Ini berarti bahwa begitu erat hubungan antara keduanya 
sehingga kalau salah satu tidak mendampingi yang lain pada 
diri seseorang, maka kehidupan seseorang itu ibarat 
mengalami kebutaan ataupun kelumpuhan. Jadi, tanpa didasari 
dengan nilai-nilai agama maka ilmu yang dimiliki oleh 
seseorang tidak jelas akan digunakan untuk apa, dan tanpa 
dibimbing oleh ilmu maka nilai-nilai agama yang dimiliki oleh 
seseorang akan salah ketika diamalkannya. 
 Mengenai hubungan ilmu dan agama, Muhammad Hatta 
(1960:17) menulis sbb: “Ilmu mengenai soal pengetahuan, 
agama soal kepercayaan. Pengetahuan dan kepercayaan adalah 
dua macam sikap yang berlainan daripada keinsyafan manusia. 
Pelita ilmu terletak di otak, pelita agama terletak di hati. sebab  
itu ilmu dan agama dapat berjalan seiring dengan tiada 
mengganggu daerah masing-masing”.
5. Hubungan Filsafat dan Seni
Filsafat dan seni juga berkaitan erat. Kesenian berkaitan 
dengan keindahan, dan keindahan (estetika) merupakan bagian dari filsafat tentang nilai (axiologi), yaitu nilai sesuatu 
dilihat dari sudut indah atau tidak indah. Dalam karya seni 
banyak terkandung nilai-nilai filosofis, sebab  seniman 
mengungkapkan nilai-nilai keindahan itu dalam karya￾karyanya. Dalam karya seni bukan hanya mengandung nilai￾nilai keindahan, tetapi juga nilai-nilai kehidupan yang 
mencerminkan pandangan hidup. Dalam karya sastra seperti 
puisi, drama dan novel, demikian juga dalam lukisan, lagu, tari 
dan film banyak terkandung nilai-nilai filosofis. Adalah 
kenyataan bahwa banyak filosof yang juga seniman atau 
sebaliknya. Misalnya Mohammad Iqbal adalah filosof muslim 
dan sekali gus penyair yang terkenal, dan filosof 
eksistensialisme Jean Paul Sartre adalah sastrawan dan penulis 
ternama. 
6. Guna Mempelajari Filsafat
 Baik sebagai pengetahuan maupun sebagai pandangan 
hidup, mempelajari filsafat banyak manfaatnya, antara lain:
1) Filsafat akan menyadarkan kita kepada berbagai masalah 
yang kita jumpai dalam kehidupan, dan kita akan semakin 
mampu memecahkan masalah-masalah kehidupan dengan 
lebih bijaksana, sebab  dengan mempelajari filsafat akan 
memperluas wawasan kita dan melatih kita berpikir kritis,
sistematis, dan logis.
2) Filsafat akan membantu kita menentukan pandangan 
hidup yang tegas, yang menjadi pedoman dan landasan 
bagi perbuatan kita sehari-hari.
3) Dengan mendalami filsafat akan membawa kita kepada 
kemungkinan untuk menjadi ahli filsafat.
Titus, Smith, dan Nolan dalam buku Living Issues of 
Philosophy (terjemahan H.M. Rasyidi, 1984:25) mengatakan 
bahwa faedah filsafat adalah:
1) Untuk menjajagi kemungkinan adanya pemecahan￾pemecahan terhadap problem-problem filsafat dan 
memudahkan kita untuk mendapatkan pemecahannya 
menurut kita sendiri.
2) sebab  filsafat adalah satu bagian dari keyakinan￾keyakinan yang menjadi dasar perbuatan kita, maka 
pemikiran-pemikiran dalam filsafat dapat membentuk 
pengalaman-pengalaman kita.
3) Dapat memperluas bidang-bidang kesadaran kita agar kita 
dapat menjadi lebih hidup, lebih mampu membedakan, 
lebih mampu mengkritik, dan lebih pandai. 
Franz Magnis Suseno dalam bukunya Filsafat sebagai Ilmu 
Kritis (1993) menyebutkan beberapa faedah filsafat, yaitu pada 
halaman 254 bukunya itu ditulis sebagai berikut: Filsafat 
memiliki  tempat baik dalam kehidupan rohani warga , 
maupun dalam lingkungan akademik maupun secara spesifik 
diantara ilmu-ilmu lain. Dalam kehidupan rohani, warga  
filsafat membantu menjernihkan duduk permasalahan, 
membantu menyingkirkan tawaran-tawaran ideologis yang 
palsu, dan tidak membiarkan prasangka-prasangka memantap￾kan diri. 
Dalam lingkungan akademis, filsafat membantu untuk 
membuat orang berpikir mandiri, mendalam, berdasar, kritis, 
dan berani. Menurutnya, filsafat merupakan pembela akal budi 
dalam keseluruhan hidup warga , yang memungkinkan 
warga  memikirkan masalah-masalah dasar hidupnya 
secara rasional, dengan bahasa, wawasan dan argumentasi 
yang universal, yang dapat dimengerti oleh semua. Dengan 
demikian filsafat membuka cakrawala bagi diskusi berbagai 
masalah kehidupan. Selanjutnya pada halaman 255 disebutkan 
lebih khusus implikasi filsafat untuk negara kita , yaitu bahwa 
filsafat adalah sebagai wali atau pembela akal budi dalam
keseluruhan hidup warga .
Filsafat memungkinkan warga  memikirkan masalah￾masalah dasar hidupnya secara rasional, dengan bahasa, 
wawasan dan argumentasi yang universal, yang dapat 
dimengerti oleh semua, sehingga filsafat membuka cakrawala 
bagi diskusi terbuka mengenai masalah-masalah yang kita 
hadapi; Filsafat membantu kita mengambil jarak terhadap 
klaim ideologis ilmu-ilmu empiris bahwa dalam budaya 
modern ilmu-ilmu empirislah yang mendefinisikan arti 
kemanusiaan dan tujuan perkembangan warga ; Filsafat 
dapat membantu dalam mengambil sikap terbuka dan kritis 
terhadap dampak modernisasi, memungkinkan kita untuk 
berhadapan dengan meluasnya budaya modern yang memang 
tak terbentung, mengambil sikap dan menjadi pemain aktif
mempertahankan identitas kita, mengarahkan perkembangan 
sesuai dengan pandangan kita sendiri; Filsafat membantu 
menggali kekayaan kebudayaan tradisi dan filsafat negara kita  
asli secara terbuka, kritis dan kreatif; Filsafat dapat menditeksi 
kedok-kedok ideologis pelbagai ketidakadilan sosial serta 
pelanggaran-pelanggaran terhadap martabat manusia dan hak￾hak asasinya; Filsafat memungkinkan orang dari pandangan 
dunia dan agama yang berbeda untuk bersama-sama 
membahas tantangan-tantangan yang dihadapi bangsa serta 
untuk mencari pemecahan yang berorientasi pada martabat
manusia. Ia menjadi dasar untuk dialog di antara agama￾agama; Filsafat berperan sebagai penjaga rasionalitas, sebab  
dalam membangun, negara kita  membutuhkan filsafat, tanpa 
filsafat kehidupan intelektual bangsa negara kita  aka tawar dan 
kurang kreatif.
7. Kritik Terhadap Filsafat
Memang peranan filsafat pernah dikritik sebagai tidak ada 
artinya. Filsafat dipandang tidak bermanfaat bagi warga  
atau malah dapat mengganggu perkembangan ilmu pengeta￾huan. Diantara pengeritik yang keras terhadap filsafat 
diberikan oleh Odo Marquard yang mengatakan sbb: “Semula 
filsafat kompeten untuk segala apa; lalu filsafat kompeten 
untuk beberapa hal; akhirnya filsafat hanya kompeten untuk 
satu hal: yaitu untuk pengakuan inkompetensinya”.
Maksudnya ialah bahwa selama sejarahnya, ada tiga kali 
filsafat mengalami keadaan tidak memiliki kompetensi yang 
sebelumnya diklaimnya. 
Pertama, dalam tradisi Platonik, filsafat diklaim sebagai 
ajaran keselamatan, tetapi ketika kekuasaan agama samawi 
sangat kuat, ajaran keselamatan filsafat tidak sanggup 
menyaingi ajaran keselamatan yang dibawa oleh agama-agama 
Pada saat itu filsafat hanya berperan sebagai pelayan teologi 
(ancilla theologiae). Kedua, ketika munculnya ilmu-ilmu modern, 
filsafat dinilai inkompetensi berperan sebagai ilmu yang 
universal sehingga peran filsafat merosot menjadi pelayan ilmu 
pengetahuan (ancilla scientae). Dan ketiga, filsafat diharapkan 
mampu berperan untuk menciptakan tatanan yang lebih adil 
dalam kehidupan warga , namun dinilai bahwa filsafat 
juga tidak mampu memenuhi harapan itu, sebab  filsafat hanya 
bertahan sekedar sebagai filsafat sejarah demi emansipasi 
manusia (ancilla emancipationis). Menurut Jurgen Habermas 
kritik Odo Marquard itu merupakan usaha  mendeskriditkan 
filsafat atau mematikan filsafat. Dengan matinya filsafat 
diharapkan mati juga keyakinan manusia kepada kekuatan 
transenden yang benar dan mutlak, atau keyakinan akan 
kebenaran agama. (lihat Frans Magnis Suseno, 1993:246).
Dalam filsafat Islam juga dikenal adanya kritik terhadap 
filsafat. Kritik Al-Ghazali tehadap filsafat yang ditulis dalam 
bukunya Thahafut al Falasifah bukanlah berarti bahwa Al￾Ghazali memusuhi filsafat, tetapi menuduh sejumlah filosof 
Islam yang beraliran Muktazilah telah melenceng dari ajaran 
Islam sehingga mereka dianggap sebagai kafir. Namun 
tuduhan itu dijawab oleh Ibnu Rusjd dalam bukunya Thahafut 
al-Thahafut, sebagai tidak benar.



Logika merupakan salah satu sarana berpikir ilmiah
disamping bahasa, matematika, dan statistika. Logika adalah 
cabang filsafat yang memikirkan tentang hakekat berpikir itu 
sendiri, sebagaimana dikatakan oleh Popkin and Stroll (1958:
149) dalam buku mereka “Philosophy Made Simple” sbb: 
“Logic may be defined as that branch of philosophy which reflects 
upon the nature of thinking itself”. Menurut Popkin and Stroll, 
logika merupakan cabang filsafat yang sangat mendasar 
sifatnya sebab  semua cabang filsafat menggunakan kegiatan 
berpikir logis. Logika berusaha  menjawab pertanyaan sebagai 
berikut:
 Bagaimanakah berpikir yang benar?
 Apa yang membedakan argumen yang benar dengan yang 
salah?
 Adakah cara untuk mengetahui kesalahan-kesalahan dalam 
berpikir dan bila ada bagaimana?
Poespoprodjo dan T.Gilarso, dalam bukunya mereka 
“Logika: Ilmu Menalar (1999), mengatakan bahwa “Logika 
merupakan cabang ilmu, tetapi juga merupakan dasar yang 
mutlak bagi eksistensi ilmu yang secara sistematis menyelidiki, 
merumuskan, dan menerangkan asas-asas yang harus ditaati 
agar orang dapat berpikir dengan tepat, lurus, teratur.” 
Menurut mereka logika ialah ilmu tentang kecakapan menalar 
atau berpikir dengan tepat. Berpikir merupakan kegiatan akal 
untuk mengolah ilmu pengetahuan yang telah kita terima melalui indera untuk tujuan mencapai ilmu pengetahuan.
Dengan kata lain bahwa logika adalah sarana berpikir. Ahli 
logika berusaha merumuskan aturan umum untuk berpikir 
yang benar (correct reasoning) dan bukan mencoba menjelaskan 
bagaimana akal itu bekerja. 
Menurut Langeveld (1959) dalam bukunya “Menuju ke 
Pemikiran Filsafat”, logika tidak mempelajari semua syarat 
yang harus dipenuhi oleh pemikiran akal, tetapi hanya 
mengenai bentuk pemikiran saja. Logika tidak mengindahkan 
hal ikhwal isi. Logika memperhatikan peraturan tentang 
pembentukan pengertian, keputusan dan pembuktian. sebab  
itu disebut logika formal. Hal yang menyangkut isi pengertian, 
keputusan dan pembuktian itu tidak menjadi hal menarik bagi 
logika. Sebuah pembuktian atau kesimpulan adalah tepat 
apabila telah diadakan keputusan-keputusan yang diharuskan, 
dan daripadanya ditarik kesimpulan menurut aturan-aturan 
berpikir. 
Suatu kesimpulan adalah benar dan tepat apabila 
kesimpulan itu ditarik sesuai dengan aturan berpikir (premis) 
yang benar. Andaikata semua penduduk pulau Sumatera pemalas, 
dan tuan A adalah seorang penduduk pulau Sumatera, maka tuan A 
adalah pemalas. Menurut bentuknya maka seluruh rangkaian 
kalimat yang saling berhubungan dan serba benar. Disitu tidak 
dikatakan semua penduduk pulau Sumatera adalah memang 
pemalas, dan juga tidak dikatakan bahwa Tuan A adalah 
seorang penduduk pulau Sumatera. Yang dikemukakan 
hanyalah bahwa: “andai-kata……..dan andaikata, maka….”
Kalimat itu bentuknya tiada salah, tetapi mengenai isinya tidak 
dipersoalkan, mungkin belum tentu benar.Berpikir Logis 
Segi khusus yang diperhatikan dalam logika ialah tepatnya 
pemikiran kita. Suatu jalan pemikiran yang tepat yang sesuai 
dengan patokan atau aturan logika disebut logis. Sebaliknya 
jalan pikiran yang tidak memperhatikan patokan logika itu 
disebut tidak logis. Logika menganalisa unsur-unsur pemikiran 
manusia. Ada 3 unsur daripada pekerjaan berpikir, yaitu:
1) Mengerti tentang kenyataan, dan membentuk pengertian
atas dasar kenyataan itu.
2) Menyatakan hubungan antara pengertian-pengertian yang 
ada. Ini disebut putusan.
3) Membuat kesimpulan atau penyimpulan. 
Dalam logika yang dipentingkan ialah pekerjaan akal yang 
ketiga itu, yaitu penyimpulan. Jadi dengan logika kita belajar 
cara menganalisis suatu jalan pikiran, yaitu bagaimana dan atas 
dasar apa orang sampai kepada kesimpulan.
Contoh:
Dalam surat kabar dimuat sebuah gambar tentang akibat 
suatu bencana alam yang mengerikan, yaitu suatu 
pemandangan alam dengan pohon-pohon yang tumbang dan 
menimpa rumah, awan tebal yang hitam, dan dari kejauhan 
kelihatan puncak gunung api dengan asap yang kelabu. Apa 
arti fakta-fakta yang kita lihat dalam gambar itu? Apa 
hubungan antara fakta-fakta itu? Apa kesimpulan kita dengan 
melihat hubungan antara fakta-fakta itu? Apa yang telah terjadi 
disitu? Pekerjaan akal kita memikirkan itu disebut penalaran 
atau pemikiran (reasoning), yaitu penjelasan yang menunjukkan 
kaitan atau hubungan dua hal atau lebih yang atas dasar 
alasan-alasan tertentu dan dengan langkah-langkah tertentu 
kita sampai kepada suatu kesimpulan. Hubungan antara dua 
hal dapat dinyatakan dengan beberapa cara:
 Hubungan putusan yang dinyatakan dalam kalimat berita
Misalnya: “pohon itu tumbang; gunung api itu meletus, 
dan lain sebagainya”
 Hubungan sebab akibat (causal). Misalnya: pohon-pohon itu 
tumbang sebab  tanah longsor.
 Hubungan maksud atau tujuan. Misalnya: pohon-pohon itu 
ditebang untuk membuat jalan.
 Hubungan bersyarat (kondisional). Misalnya: Kalau akan 
dibangun jalan disana, maka pohon-pohon itu perlu 
ditebang.
Hubungan-hubungan itu seringkali hanya dinyatakan 
secara implicit atau tersirat. Misalnya: “pohon-pohon itu 
tumbang sebab  letusan gunung berapi”. Sebenarnya dalam 
keputusan itu ada suatu jalan pikiran yang terkandung di 
dalamnya, yang mengaitkan “pohon tumbang” dengan 
“letusan gunung api”, tetapi tidak diutarakan dengan jelas, 
lengkap, dan terurai. Untuk menganalisa jalan pikiran maka 
hal-hal yang hanya secara implisit terkandung dalam 
pemikiran itu perlu diekplisitkan, (dinyatakan secara lengkap 
dan terurai). Kemampuan untuk melihat hal-hal yang implicit 
dan mampu membuatnya menjadi ekplisit merupakan hal yang 
penting dalam pemikiran deduktif. (lihat Poespoprodjo dan 
Gilarso, 1999).
Tujuan manusia berpikir atau menalar ialah untuk 
mencari kebenaran, untuk mencapai pengetahuan yang benar. 
Tetapi seringkali dalam kenyataan hasil pemikiran manusia, 
yaitu kesimpulan ataupun alasan-alasan yang dikemukakannya 
belum tentu selalu benar. Dikatakan benar dalam arti apa yang 
dipikirkan itu sesuai dengan kenyataan atau realitas. 
Sebaliknya dikatakan salah, apabila yang dipikirkan atau 
dikatakan itu tidak sesuai dengan kenyataan atau realitas yang  sebenarnya. Dalam contoh tentang gambar di surat kabar 
ini  di atas, apabila dikatakan bahwa: “Ini terjadi sebab  
tanah longsor”, padahal dalam kenyataan tidak ada tanah yang 
longsor, maka ucapan atau penjelasan itu tidak benar sekalipun 
dikatakan dengan penuh keyakinan. Dengan kata lain 
kesimpulan itu tidak benar menurut teori koherensi tentang 
kebenaran.
Perhatikan pula contoh berikut ini, apakah kesimpulan 
yang diambil itu benar dan masuk akal?
 “Seorang peneliti ingin menemukan apa yang sebenarnya 
menyebabkan manusia itu mabuk. Untuk itu ia mengadakan 
penyelidikan dengan mencampur berbagai minuman keras. 
Mula-mula ia mencampur air dengan wiski luar negeri yang 
setelah dengan habis diteguknya maka iapun terkapar mabuk. 
Setelah siuman ia mencampur air dengan TKW, wiski local 
yang diminum di pinggir jalan sambil mengisap kretek, 
ternyata campuran inipun menyebabkan ia mabuk. Akhirnya 
dia mencampur air dengan tuak yang juga, seperti kedua 
campuran terdahulu, menyebabkan ia mabuk. Berdasarkan 
penelitian itu maka dia menyimpulkan bahwa airlah yang 
menyebabkan manusia itu mabuk”. (lihat Jujun Suriasumantri, 
1984).
3. Syarat untuk Kesimpulan yang Benar
Agar suatu pemikiran atau jalan pikiran dapat menghasil￾kan kesimpulan yang benar ada tiga syarat pokok yang harus 
dipenuhi.
a. Pemikiran itu harus berpangkal pada kenyataan atau 
titik pangkalnya (premisnya) harus benar. 
Suatu pemikiran, yang meskipun jalan pikirannya logis, 
tetapi tidak berpangkal pada kenyataan atau pada dalil yang benar, tidak akan menghasilkan kesimpulan yang 
benar, apalagi pasti. Kalau titik pangkal suatu pemikiran 
tidak pasti, maka kesimpulan yang ditarik daripadanya 
juga tidak akan pasti, bahkan mungkin salah. 
 Contoh: 
 Semua orang yang berambut gondrong adalah penjahat,
 Setiap penjahat harus dihukum. Jadi, semua orang yang 
berambut gondrong harus dihukum.
 Dalam contoh itu jalan pikirannya logis, akan tetapi 
kesimpulannya salah, sebab  titik pangkalnya salah. 
Berambut gondrong tidak sama dengan penjahat 
b. Alasan-alasan yang diajukan harus tepat dan kuat
 Kerapkali terjadi orang mengajukan pernyataan atau 
pendapat, tetapi yang sama sekali tidak didukung dengan 
alasan-alasan. Sering juga orang merasa sudah pasti dan 
yakin dalam menarik kesimpulan, padahal sebenarnya 
tidak cukup alasan, atau alasan yang dikemukakannya itu 
tidak kena, tidak kuat, atau tidak membuktikan apa-apa.
 Contoh : Tetangga saya memiliki  mobil 
 Oleh sebab  itu sayapun harus memiliki  
mobil.
Disini tidak cukup alasan untuk mengambil kesimpulan. 
Dalam hal apa saya sama dengan tetangga? Dalam hal apa 
pula tidak sama?
c. Jalan pikiran harus logis atau “sah”
Jika titik pangkal memang benar dan tepat, tetapi jalan 
pikiran tidak tepat, maka kesimpulan juga tidak akan tepat. 
Jika hubungan antara titik pangkal dengan jalan pikiran itu 
tepat dan logis, maka kesimpulan disebut “sah” atau valid. Contoh : Semua sapi itu binatang. Semua kuda itubinatang.
 Jadi sapi itu sama dengan kuda.
 Disini kalimat pertama dan kedua memang benar, tetapi 
kesimpulannya salah sebab  jalan pikiran keliru.
4. Guna Mempelajari Logika
Tugas logika ialah membahas tentang ketepatan berpikir, 
yaitu menyelidiki sifat dan cara-cara berpikir yang benar 
dengan menggunakan akal sehat atau logis. Dengan berpikir 
logis maka kesimpulan yang diambil benar dan logis pula. 
Tugas seperti itu tentu sangat berguna bagi mahasiswa yang 
berkecimpung dalam dunia ilmu pengetahuan. Pengetahuan 
logika sesungguhnya sangat praktis sifatnya, sebab  yang 
dipentingkan ialah kecakapan menggunakan aturan-aturan 
pemikiran secara tepat terhadap persoalan-persoalan konkrit 
yang kita hadapi sehari-hari, dan dengan logika dapat 
membantu kita mengembangkan kemampuan berpikir logis 
dan kritis, membentuk sikap objektif dan sikap ilmu yang 
positif. Dari seorang mahasiswa dituntut kemampuan untuk 
menyampaikan buah pikiran dengan teratur, baik secara 
tertulis maupun secara lisan. Dalam menyampaikan pendapat 
ketika diskusi-diskusi perlu dinyatakan dengan bahasa yang 
jelas dan alasan-alasan yang logis, dan ketika menyusun skripsi 
diperlukan pula kemampuan menyusunnya dengan bahasa 
yang teratur, sistematis, dan logis pula. 
Oleh sebab  itu, pengetahuan logika bagi mahasiswa dan 
ilmuan, adalah sangat diperlukan. Logika membantu manusia 
berpikir lurus, efisien, tepat, dan teratur untuk mendapatkan 
kebenaran dan menghindari kekeliruan, dan logika dapat juga 
membantu kita untuk bersikap objektif, lepas dari pelbagai 
prasangka yang subjektif
Dalam filsafat aksiologi atau filsafat nilai biasanya terdapat 
3 hal yang menjadi objek pembahasan, yaitu: 
1. Etika yang membahas tingkah laku manusia dari sudut 
pandang nilai baik dan buruk, atau benar dan salah. 
2. Estetika, yang membahas sesuatu dari sudut pandang nilai 
indah dan tidak indah.
3. Religi yang membahas sesuatu dari sudut pandang nilai 
agama atau sistem kepercayaan.
Dalam Bab ini hanya dibahas mengenai Etika dalam 
kaitannya dengan ilmu pengetahuan, yaitu mengenai:
pengertian etika, hubungan etika dengan moralitas dan norma, 
pentingnya etika dalam pengembangan ilmu pengetahuan, 
tanggung jawab ilmuan, dan budaya ilmiah.
1. Pengertian Etika 
Etika ialah cabang filsafat (bagian dari filsafat axiologi) 
yang membahas mengenai nilai dan norma moral yang 
menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Secara 
etimologi etika berasal dari bahasa Yunani „ethos‟ yang berarti 
watak dan kesusilaan. Sedangkan istilah moral berasal dari 
bahasa Latin „mores‟ (jamak) yang berarti adat atau cara hidup. 
Etika berkenaan dengan nilai baik atau buruk mengenai 
perilaku manusia. Etika dapat juga di artikan sebagai sistem 
nilai dalam kehidupan manusia baik sebagai individu maupun 
sebagai anggota warga , untuk menjadi pegangan dalam 
mengatur perilakunya. 
Menurut Popkin dan Stroll (1956), etika ialah cabang 
filsafat, yang membahas tentang perbuatan atau perilaku 
manusia dari sudut pandangan baik atau buruk, benar atau 
salah. (Ethics, the study and philosophy of human conduct, with 
emphasis on the determination of wright or wrong; one of the 
normative sciences). Selain sebagai cabang filsafat, etika 
dipandang pula sebagai ilmu, yaitu ilmu yang bersifat 
normatif, berisi norma atau nilai-nilai yang dapat 
dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Istilah lain yang 
sering disamakan dengan etika ialah: moral, susila, budi 
pekerti, karakter, dan akhlak. Istilah-istilah itu seringkali 
dipergunakan dalam pengertian yang sama, sekalipun masih 
dapat dibedakan.
2. Etika, Moralitas, dan Norma
Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pada 
pendekatan kritis dalam melihat nilai moral serta masalah￾masalah yang timbul berkaitan dengannya. Etika dapat juga 
dikatakan sebagai refleksi kritis dan rasional mengenai ajaran 
moral atau moralitas. Antara etika dengan moralitas 
memiliki  fungsi yang sama, yaitu memberi arah atau 
orientasi mengenai bagaimana kita harus berbuat dalam hidup 
ini. Keduanya memberikan pedoman bertingah laku. Bedanya 
ialah bahwa moralitas memberi petunjuk konkrit tentang 
bagaimana kita harus hidup, sedangkan etika hanya 
memberikan refleksi kritis terhadap norma itu. Moralitas 
langsung mengatakan kepada kita: “beginilah caranya anda 
harus berbuat”, sedangkan etika yang menuntut sikap kritis 
dan rasional terhadap moralitas, misalnya dengan pertanyaan 
sebagai berikut: Mengapa saya harus berbuat begini dan tidak 
begitu? Mengapa saya harus selalu jujur? Apakah saya harus 
jujur dalam segala situasi? Etika berperan membantu manusia untuk bertindak secara bebas dan dapat dipertanggung￾jawabkan, sebab  setiap tindakan manusia selalu lahir dari 
keputusan pribadi yang bebas. sebab  itu kebebasan dan 
tanggung jawab adalah dasar penting bagi pengambilan 
keputusan dan tindakan yang bersifat etis. Dalam hal ini maka 
bukan hanya akal tetapi kata hati manusia memainkan peran 
yang sangat penting. (lihat juga Robert Solomon, 1987)
Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita harus 
hidup secara baik sebagai manusia. Sistem nilai itu terkandung 
dalam ajaran berbentuk nasihat, petuah, pepatah-petitih, 
peraturan dan semacamnya yang diwariskan secara turun 
temurun dalam kebudayaan warga  tertentu. Sedangkan 
etika merupakan sikap kritis seseorang atau kelompok 
warga  dalam melaksanakan moralitas atau ajaran moral 
itu. sebab  itu moralitas bisa saja sama, tetapi sikap etis antara 
seorang dengan orang lain atau antara satu warga  dengan 
warga  yang lain dapat berbeda. Frans Magnis Suseno 
(1987:14) mengatakan bahwa Etika bukan sumber tambahan 
bagi ajaran moral, tetapi filsafat atau pemikiran kritis dan 
mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah 
sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Etika mau mengerti 
bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung 
jawab terhadap berbagai ajaran moral. 
Ada dua macam etika, yaitu etika deskriptif dan etika 
normatif. Etika deskriptif berbicara mengenai fakta apa adanya, 
yaitu mengenai nilai atau pola perilaku manusia yang terkait 
dengan situasi dan realitas konkrit yang membudaya. Misalnya 
tentang sikap orang dalam menghadapi hidup ini, dan tentang 
kondisi-kondisi yang memungkinkan manusia bertindak secara 
etis. Sedangkan etika normatif berusaha menetapkan sikap dan 
pola perilaku yang seharusnya (yang ideal) dimiliki oleh manusia. Etika normatif berbicara mengenai norma-norma 
yang menuntun tingkah laku manusia dan mengenai 
bagaimana seharusnya bertindak sesuai dengan norma-norma 
itu. Dengan etika normatif manusia diajak untuk berbuat yang 
baik dan meninggalkan yang tidak baik. Kedua macam etika 
ini  pada hakekatnya berperan menuntun manusia untuk 
mengambil sikap dalam hidupnya. Kalau etika deskriptif
memberikan fakta sebagai dasar untuk menentukan sikap, 
maka etika normatif memberikan penilaian, sekaligus 
memberikan norma sebagai dasar untuk menentukan sikap dan 
tindakan yang akan dilakukan. 
Dalam hidup kita, norma yang akan dijadikan pedoman 
bertindak itu bermacam-macam, namun dapat dibagi atas dua 
macam, yaitu norma khusus dan norma umum. Norma khusus 
adalah aturan yang berlaku dalam bidang kehidupan yang 
khusus, misalnya mengenai aturan bermain dalam olahraga, 
peraturan dalam bertamu ke rumah sakit, dan sebagainya. 
Sedangkan norma umum bersifat umum dan universal, yang 
dapat dibagi atas 3 macam, yaitu: norma sopan santun, norma 
hukum, dan norma moral.
Norma sopan santun adalah norma yang mengakur 
perilaku yang bersifat lahiriah, misalnya tatacara bertamu, tata 
cara makan, dan sebagainya. Norma sopan santun bersifat 
lahiriah dan terdapat dalam pergaulan sehari-hari, yang 
disebut etiket. Sekalipun perilaku lahiriah atau etiket itu 
mengandung kualitas moral, namun etiket tidak bersifat moral, 
atau etiket bukanlah etika. Tetapi etiket sebab  mengandung 
nilai sopan santun dalam pergaulan maka dapat dimasukkan 
sebagai bagian dari ajaran etika, yaitu etika sosial. Semakin 
tinggi kebudayaan manusia semakin banyak pula jenis etiket 
yang perlu dipelajari, namun etiket sangat bergantung kepada kebudayaan suatu warga . Etiket warga  Timur seperti 
negara kita  dalam banyak hal berbeda dengan etiket warga  
Barat. 
Norma hukum adalah norma yang dituntut dengan tegas 
oleh warga  sebab  menyangkut keselamatan dan 
kesejahteraan warga . Norma hukum itu lebih tegas dan 
pasti sebab  dijamin oleh adanya sanksi terhadap para 
pelanggarnya. Norma hukum tidak sama dengan norma moral, 
sebab  norma hukum tidak secara mutlak menentukan 
bermoral atau tidaknya seseorang. Bisa terjadi misalnya 
seseorang melanggar norma hukum sebab  menurut 
pertimbangan dan alasan yang rasional tindakannya itu adalah 
yang terbaik baginya dan bagi warga , namun secara 
hukum ia tetap dihukum. sebab  itu penilaian mengenai 
bermoral tidaknya suatu tindakan tidak bisa didasarkan pada 
pelaksanaan norma hukum. Dengan kata lain, moralitas tidak 
sama dengan legalitas.
Norma moral adalah aturan mengenai sikap dan perilaku 
seseorang dari sudut nilai baik atau buruk. Norma moral 
menjadi tolok ukur yang dipakai oleh warga  untuk 
menentukan baik baik buruknya perilaku manusia sebagai 
manusia. Walaupun pada akhirnya setiap orang dinilai dalam 
kaitan dengan tugas dan profesi yang dilaksanakannya, namun 
penilaian moral itu bukan terutama didasarkan pada tugas atau 
profesinya itu, tetapi terutama didasarkan pada perilakunya 
sebagai manusia yang melaksanakan tugas atau profesi 
tertentu. Misalnya, suatu norma moral tidak dipakai untuk 
menilai tepat tidaknya seorang dokter mengobati seorang 
pasien, tetapi terutama untuk menilai bagaimana dokter itu 
menjalankan tugasnya dengan baik sebagai manusia. Yang 
ditekankan ialah sikap dalam menjalankan atau menghadapi tugasnya sebagai dokter. Kegiatan dalam hubungan dengan 
ilmu pengetahuan berkaian erat baik dengan norma moral 
maupun dengan norma hukum. Seorang ilmuan dapat 
dikenakan sanksi hukum apabila melanggar norma moral 
ataupun norma hukum, tetapi tidak bisa dihukum kalau hanya 
melanggar norma sopan santun atau etiket. (lihat Robert 
Solomon, 1987).
3. Pentingnya Etika dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan
 Sejak pertumbuhannya ilmu tidak bisa dilepaskan dengan 
masalah-masalah moral. Contoh Galileo yang pandangan 
ilmiahnya mendapat tantangan dari kaum gereja yang 
dogmatis. Dalam perkembangannya, seperti dikemukakan oleh 
Bertrand Russell, bahwa ilmu telah berubah dari sifatnya yang 
konsepsional-kontemplatif ke penerapan konsep ilmiah dan 
masalah-masalah praktis, atau dari kontemplasi ke manipulasi. 
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah 
menimbulkan banyak persoalan moral yang berakibat 
destruktif pada manusia. Tetapi apakah itu salahnya iptek atau 
salahnya manusia, yaitu orang-orang yang tidak bertanggung 
jawab, yang tidak peduli pada etika, atau yang telah 
mengarahkan tujuan ilmu kepada yang tidak baik. Hal 
demikian terjadi sebab  manusia telah sangat mengutamakan 
akalnya dalam mengukur kebenaran pengetahuan, padahal 
akal memiliki keterbatasan.
4. Tanggung Jawab Ilmuan
Ilmuan adalah sarjana yang menguasai ilmu, yang 
memiliki cara berpikir dan berperilaku ilmiah. Mengingat 
pentingnya nilai etika dalam pengembangan ilmu pengetahuan 
maka tugas dan tanggung jawab ilmuan bukan hanya 
mengembangkan ilmu pengetahuan tetapi juga harus beretika 
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan itu. Seorang ilmuan dituntut untuk tetap konsekwen dengan nilai moral yang 
dituntut oleh ilmu itu sendiri. Dalam pandangan Islam seorang 
ilmuan (ulama) memiliki  kedudukan yang sangat terhormat. 
Sesuai dengan kedudukannya maka dalam Islam tanggung 
jawab orang yang berilmu (orang alim) adalah mengajarkan 
ilmu yang dimilikinya kepada orang-orang yang belum 
mengetahui, dan lebih dari itu tanggung jawab mereka 
sebenarnya adalah untuk meningkatkan peradaban manusia 
sebab  mereka adalah orang yang mampu untuk itu. 
Andi Hakim Nasution (1999) mengatakan bahwa 
tanggung jawab utama ilmuan terhadap dirinya sendiri, 
terhadap sesama ilmuan, dan warga  ialah: “menjamin 
kebenaran dan keterandalan penyataan-pernyataan ilmiah 
yang dibuatnya dan dapat dibuat oleh sesama ilmuan lainnya”. 
Ini berarti selain menjaga agar semua pernyataan ilmiah yang 
dibuatnya selalu benar, ia harus memberikan tanggapan 
apabila ia merasa ada pernyataan ilmiah yang dibuat oleh 
ilmuan lain tidak benar. Ini adalah tanggung jawab warga  
ilmiah sejak dari dulu. sebab  itu seorang ilmuan tidak begitu 
saja menerima pernyataan ilmuan lain walaupun ia sangat 
terkenal. Ia hanya menerima pernyataan sebagai kebenaran 
atas dasar pengamatan dan pengalaman. Jangan sampai terjadi 
“ketidak jujuran ilmiah”, seperti terjadi pada kasus Cyril Burt 
(seorang ahli psikologi di Inggeris) dan T.D. Lyssenko ahli 
genetika di Rusia, ketika zaman Stalin yang memanipulasi teori 
Mendel. (Andi Hakim Nasoetion, 1999:29)
Dalam bukunya Pengantar ke Filsafat Sains (1999:31) 
Andi Hakim Nasution menyarankan pedoman kerja bagi 
ilmuan atau warga  ilmuan, yaitu sbb:
a. Bekerjalah dengan jujur;
b. Jangan sekali-kali menukangi data;c. Selalulah bertindak tepat, teliti dan cermat;
d. Berlakulah adil terhadap pendapat orang lain yang muncul 
terlebih dahulu;
e. Jauhilah pandangan berbias terhadap data dan pemikiran 
ilmuan lain;
f. Jangan berkompromi tetapi selesaikanlah permasalahan 
yang dihadapi dengan tuntas.
Menurut Yusuf Al-Qardhawi (1986) moralitas yang 
diperlukan oleh ilmuan diantaranya yang terpenting adalah:
a. Perasaan bertanggung jawab, yaitu rasa tanggung 
jawabnya di hadapan Allah, sebab  ulama adalah pewaris 
nabi-nabi. Semakin luas penguasaan ilmu seseorang 
semakin berat pula tanggung jawabnya.
b. Amanah.Sifat amanah termasuk moralitas yang diperlukan 
atau yang dituntut dari seorang ilmuan, sebab  tidak ada 
iman bagi orang yang tidak memiliki sifat amanah, dan 
sebaliknya sifat khianat termasuh kriteria orang munafik.
c. Rendah hati. Sikap rendah hati (tawadhu) merupakah salah 
satu moralitas yang harus dimiliki oleh seorang ilmuan 
atau ulama. Orang yang benar-benar berilmu tidak akan 
diperbudak oleh perasaan ujub (mengagumi diri sendiri) 
atau sombong sebab  ia yakin benar bahwa tidak ada 
seorangpun yang lengkap dan sempurna pengetahuannya. 
Tuhan berfirman yang artinya: “Dan tidaklah aku berikan 
kepadamu ilmu kecuali hanya sedikit” (Al-Isra‟: 85).
d. Mulia („Izzah) merupakan salah satu moralitas hukum 
intelektual. 
e. Mengamalkan ilmu. Kehancuran kebanyakan manusia
adalah sebab  mereka berilmu tetapi tidak mengamalkan 
ilmu itu. f. Menyebarluaskan ilmu merupakan salah satu moralitas 
yang diperlukan oleh ilmuan atau ulama. Ilmu yang 
disembunyikan tidak mendatangkan kebaikan.
5. Budaya Ilmiah
Pokok penting dalam budaya ilmiah adalah pemakaian 
logika, sebab  di dalamnya ada analisis dan reasoning. 
Reasoning haruslah berdasarkan fakta sejujurnya dengan 
pembuktian, dengan tujuan suatu kebenaran. Selain itu 
masalah ilmu adalah masalah umum bukan masalah pribadi, 
sebab  itu di dunia akademik harus dapat dipisahkan antara 
masalah akademik dengan masalah pribadi. sebab  inti ilmu 
adalah kebenaran, maka kejujuran adalah sifat yang amat 
penting yang dituntut dari semua civitas academica. Misalnya 
hasil penelitian harus dilaporkan secara jujur. 
Plagiatisme harus dihindari sebab  hal itu amat tercela 
dalam dunia akademik. Dalam budaya ilmiah yang penuh 
kejujuran biasanya, dipergunakan kata-kata yang batasannya 
jelas, tegas sehingga tidak salah ditafsirkan. Dengan kata lain 
tidak ada basa basi (eufemisme) dalam budaya ilmiah. Francis 
Crick, pemenang Hadiah Nobel untuk DNA, mengatakan: 
Politeness is the poison of all good collaboration in science. The soul of 
collaboration is perfect candor rudeness if needed be. In science 
criticism is the height and measure of frienship” (Sopan santun 
dalam warga  adalah racun bagi semua kerjasama yang 
baik di dalam ilmu. Roh kerjasama itu ialah kejujuran, 
keterusterangan, kasar bila perlu. Di dalam ilmu pengetahuan, 
kritik berarti tingginya dan ukuran persahabatan). 
Filsafat ilmu dan budaya ilmiah adalah „saudara 
kandung‟ yang saling membantu dan memperkokoh. Seorang 
sarjana yang tidak mengetahui filsafat ilmu sukar untuk 
berbudaya ilmiah. Filsafat ilmu dan budaya ilmiah adalah  landasan yang bagi seseorang yang ingin menjadi ilmuan sejati, 
atau ingin maju, sebab  budaya ilmiah adalah kenderaaan yang 
andal untuk maju. Budaya ilmiah, disebut juga budaya 
akademik, adalah budaya atau perilaku para ilmuan atau 
warga  akademik yang sesuai dengan kaidah-kaidah 
keilmuan.
Budaya ilmiah merupakan syarat mutlak atau conditio sine 
qua non dalam mempelajari dan memajukan ilmu. Dalam 
warga  ilmiah yang tanpa budaya ilmiah maka perjalanan 
ilmu itu akan mengalami hambatan, atau melenceng ke arah 
yang non-ilmiah. Penguasaan ilmu, cara berpikir ilmiah, dan 
berperilaku ilmiah adalah hal-hal yang saling kait mengait dan 
saling mempengaruhi. Kegiatan ilmiah adalah semua kegiatan 
yang ada hubungannya dengan keilmuan, bisa berupa 
pengajaran, penelitian, simposium, seminar, ceramah ilmiah, 
forum diskusi, membuat media ilmiah, membuat artikel ilmiah, 
dan lain-lain. Kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh perguruan 
tinggi atau civitas academica disebut kegiatan akademik. 
Kegiatan ilmiah ialah kegiatan logika bukan kegiatan emosi. 
sebab  itu dalam forum ilmiah materi pembicaraan 
menyangkut gagasan, konsep, analisis dan reasoning, bukan 
hal-hal yang menyangkut emosi seperti perasaan tersinggung, 
marah, rasa malu, dan lain-lain. Masalah etika dalam ilmu 
pengetahuan erat kaitannya dengan budaya ilmiah, termasuk 
di dalamnya etika dan kebebasan akademik.
Kebebasan akademik adalah kebebasan para akademisi 
yang tertuang dalam undang-undang untuk menyatakan 
pendapatnya, menguji dalil dan kegiatan akademik lain, 
sehingga ia tidak akan terancam kehilangan pekerjaan dan 
kemudahan yang ia peroleh di institusinya. Kebebasan 
akademik menjadikan para akademisi di dalam hukum 
memiliki  hak lebih bebas dari orang awam, namun 
kebebasan itu tidak mutlak. Budaya akademik dan etika 
akademik, serta etika penelitian merupakan pagar-pagar bagi 
para ilmuan. Dalam dunia akademik atau dunia ilmiah 
terdapat penghargaan yang didasarkan kepada prestasi
seseorang dan prestasi seseorang akan dilihat dari kontribusi
ilmiahnya. Umur biologik tidak termasuk criteria untuk 
penghormatan dan penghargaan. Pembicaraan tentang budaya 
akademik, etika akademik, dan filsafat ilmu terkait satu sama 
lain, yang satu adalah cermin dari yang lain.
6. Aliran Filsafat Aksiologi
Dalam filsafat aksiologi atau filsafat nilai terdapat juga 
sejumlah aliran, antara lain: Hedonisme,Utilitarianisme, dan 
Pragmatisme.
Hedonisme ialah aliran filsafat nilai yang mementingkan 
nilai kenikmatan. Dalam filsafat Yunani klasik aliran ini 
dikembangkan oleh Epicurus (341-217 SM), dan sebab  itu 
dinamakan juga aliran Epicurean. Yang dikejar oleh 
penganutnya ialah kenikmatan (pleasure), yang dipandang hal 
itu sebagai suatu kebaikan. Jadi apa saja yang dapat membawa 
kepada kenikmatan adalah kebaikan, sedangkan hal yang 
membawa kepada ketidaknikmatan atau kesakitan adalah 
keburukan. Aliran hedonisme kemudian terpecah menjadi 
beberapa jenis, yaitu egoistic hedonism yang menekankan pada 
kenikmatan individu, universalistic hedonism yang menekankan
pada kenikmatan universal, dan psychological hedonism, yang 
menganggap bahwa perbuatan seseorang adalah sebab  ada
dorongan psikologis untuk memperoleh kenikmatan, terutama 
kenikmatan fisik.
Utilitarianime adalah aliran filsafat nilai yang 
mementingkan kegunaan. Menurut paham ini sesuatu yang 
baik atau yang benar adalah yang berguna, sebaliknya sesuatu 
yang tidak berguna berarti tidak baik atau tidak benar. Aliran 
ini dikembangkan oleh filosof Inggeris Jeremy Bentham (1748-
1832) dan John Stuart Mill (1806-1873). Pada dasarnya aliran 
ini merupakan versi baru dari aliran hedonism, dimana yang 
dimaksud dengan kegunaan ialah kebahagiaan. Bagi Bentham 
prinsip kebahagiaan itu adalah kenikmatan bagi golongan 
terbanyak, yaitu kebahagiaan terbesar bagi jumlah terbesar (the 
greatest happiness for the greatestn number). Walaupun John Stuart 
Mill berusaha mengubah sifat kuantitatif dari pada kenikmatan
yang dimaksud Bentham menjadi lebih bersifat kualitatif, 
namun tidak mengubah prinsip dasar dari aliran ini yaitu nilai 
kegunaan dalam praktek (practical consequenses).
Pragmatisme. Filsafat pragmatisme sangat berpengaruh 
di Amerika Serikat dan Inggeris. Menurut aliran ini sesuatu 
dikatakan benar apabila berguna atau bermanfaat (utility) bagi 
kehidupan, tentu saja maksudnya adalah kehidupan di dunia 
ini. Dan prinsip kegunaan atau manfaat dari aliran ini bukan
hanya menekankan pada kebahagiaan (utilitarianisme) atau 
pada kenikmatan (hedonism), tetapi ditekankanpada akibat 
praktisnya (practical cvonsequences). Pragmatisme dikenal juga 
dengan berbagai nama yaitu: instrumentalisme, fungsiona￾lisme, dan eksprimentalisme. Pelopor aliran pragmatisme ialah 
Charles Sanders Pierce (1819-1914). Tokoh lain yang terkenal 
ialah William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).
Filsafat pragmatisme berdasar pada empat prinsip utama, 
yaitu:
1. Bahwa esensi kenyataan ialah perubahan (change)
2. Bahwa manusia adalah makhluk biologis dan sosial3. Bahwa nilai-nilai bersifat relatif
4. Bahwa berpikir kritis secara cerdas adalah esensial.
 Pragmatisme tergolong filsafat materialisme, dan sebab  itu 
aliran ini menolak filsafat spekluatif dan metafisik, termasuk 
agama, dan sejalan dengan utilitarianisme, pragmatisme juga 
mengutamakan akibat dalam praktek (practical consequenses) 
sebagai ukuran baik atau benar sesuatu. Yang benarb ialah 
yang bersifat praktis atau yang dapat dikerjakan. Seorang 
pragmatis adalah orang yang mementingkan apa yang dapat 
dibuatnya, faedah dan keuntungannya, serta sesuai atauntidak 
dengan situasi ndan kenyataan. 
 Menurut pragmatisme, kenyataan atau realitas adalah hasil 
interaksi antara manusia dengan lingkungannya, dan 
kenyataan itu merupakan keseluruhan dari pengalaman 
manusia. Manusia dan lingkungan saling berinteraksi. Dunia 
ini akan bermakna hanyalah sejauh manusia memberi makna 
kepadanya. Kaum pragmatis yakin bahwa perubahan adalah 
esensi dari kenyataan, dan bahwa kita harus selalu siap 
menghadapi perubahan dalam dunia ini. sebab  itu 
pendidikan sangat penting. Pendidikan itu menurut John 
Dewey dipandang sekaligus sebagai tujuan dan alat. Sebagai 
tujuan, pendidikan itu tertuju kepada pengembangan diri 
manusia, dan sebagai alat, pendidikan merupakan cara 
manusia mencapai kemajuan.







Paradigma Sains Modern 
Fisafat sains modern dan struktur ilmu pengetahuan yang 
dibangunnya tercermin pada pengagungan terhadap rasiona￾lisme, empirisme, positivisme, obyektivisme, dan netralitas 
nilai etika. Inilah yang dikenal sebagai paradigma sains 
modern. Seluruh struktur keilmuan harus berpijak pada 
paradigma itu. Di luar paradigma itu dipandang salah, atau 
tidak ilmiah. Hal-hal mengenai nilai keilmuan yang berkaitan 
dengan agama dipandang tidak rasional dan tidak objektif, dan 
sebab  itu harus ditinggalkan. 
Dimensi-dimensi mistis dan transenden sama sekali tidak 
ada tempat dalam filsafat sains modern itu. Sains modern 
hanya mementingkan hukum-hukum empiris, yang sebenarnya 
hukum-hukum empiris itu hanya berlaku pada dunia materi, 
lepas dari dunia normatif. Dengan kata lain sains modern 
memisahkan antara lapangan berpikir empirik dengan 
lapangan berpikir normatif, yang akibatnya, dalam 
memandang dan memperlakukan alam semesta ini, sains 
modern hanya mampu menjelaskan sebab-sebab fisik saja dari 
hukum-hukum kosmos.
Pemisahan hukum empiris dengan hukum normatif telah 
menyebabkan sains modern disebut netral dan bebas nilai 
(value free). Hukum normatif mengatur hubungan antara 
mahkluk dengan penciptanya. Bagi penganut empirisme, 
hukum normatif dipandang hanya berhubungan dengan 
manusia, yang oleh Rousseau dipandang sebagai kontrak 
social, sehingga tidak ada hubungannya dengan agama. Pandangan bahwa hukum normatif hanya sebagai kontrak 
social inilah yang sebenarnya telah berhasil mengikis habis 
kesadaran agamawi dari kesadaran manusia modern, dimana 
Tuhan dengan seperangkat hukumNya dipandang tidak ada 
dalam seluruh fenomena kehidupan. (lihat Syamsul Arifin, 
1999:160). Dengan paradigma sains seperti itu, maka dapat 
disimpulkan bahwa sains modern memiliki ciri-ciri sebagai 
berikut.
1. Percaya pada rasionalitas
2. Metode ilmiah untuk mengetahui realitas
3. Mementingkan obyektivitas, dan sebab  itu ilmu bebas 
nilai (value free)
4. Reduksionisme, artinya fenomena direduksi, dan cara 
itu dipandang dominan untuk kemajuan sains
5. Universalisme
6. Kebebasan absolut
2. Sains Modern dan Sekularisme
 Menurut Syed Naquib al-Attas (1993:133), peradaban Barat 
modern telah membuat ilmu menjadi problematis sebab  di 
samping juga menghasilkan ilmu yang bermanfaat, namun juga 
telah menyebabkan kerusakan dalam kehidupan manusia. Hal
demikian disebabkan sebab  imu pengetahuan modern itu 
tidak dibangun di atas kepercayaan agama, tetapi berdasarkan 
tradisi budaya yang terkait dengan kehidupan sekuler yang 
memandang manusia hanya sebagai makhluk rasional.
 Proses sekularisasi ilmu itu dimulai pada masa Renaissance
(kebangkitan kembali) dan dilanjutkan pada masa Aufklarung 
(pencerahan), yaitu ketika tokoh Renaissance filosof Perancis 
Rene Descartes (1596-1650) menklaim bahwa akal atau rasiolah
sebagai satu-satunya kreteria untuk mengukur kebenaran, yang terkenal dengan ucapannya cogito ergo sum ( saya berpikir maka 
saya ada). Ludwig Feurbach (1804-1872), seorang teolog, 
namun merupakan salah seorang pelopor paham atheisme di 
abad modern, dalam bukunya “The Essence of Christanity”, 
menegaskan bahwa manusia adalah prinsip filsafat yang paling 
tinggi, sedangkan agama adalah mimpi akal manusia (religion is 
the dream of human mind). Karl Marx (1818 -1883) mengatakan 
bahwa agama adalah candu bagi rakyat. Baginya agama adalah 
factor sekunder, sedangkan yang primer adalah ekonomi.
Charles Darwin (1805-1882) mengatakan bahwa asal mula 
manusia bukan dari Tuhan, tetapi dari alam sebagai hasil 
adaptasinya kepada lingkungan, dan ia menyimpulkan bahwa 
Tuhan tidak berperan dalam penciptaan makhluk hidup. (lihat
The Origin of Species, 1958). Walaupun banyak pula filosof pada 
masa pencerahan, seperti Hobbes, Spinoza, Berkeley, Rousseu, 
Locke, Hume, Kant, Hegel, Feuerbach dan lain-lain, yang 
memberi tekanan bukan hanya pada rasio tertapi juga pada 
pancaindera sebagai sumber ilmu pengetahuan, namun semua 
mereka adalah pendukung sekularisme.
 Paham sekularisme dan ateisme juga berkembang dalam 
disiplin ilmu sosiologi, psikologi, dan filsafat. Auguste Comte 
(1778-1857) menganggap bahwa kepercayaan kepada agama 
merupakan bentuk keterbelakangan warga . Ahli sosiologi 
yang lain Herbert Spencer (1820-1903) mengatakan bahwa 
agama bermula dari mimpi manusia tentang adanya spirit di 
dunia lain. Ahli psikologi Sigmund Freud mengatakan bahwa 
hanya karya ilmiah satu-satunya jalan untuk menuju kearah 
ilmu pengetahuan, sementara doktrin-doktrin agama 
dipandangnya hanya sebagai ilusi. Filosof terkenal Friedrich 
Nietzsche (1844-1900) dalam bukunya Thus spoke Zarathusra
menulis bahwa “Tuhan telah mati”. Baginya agama tidak bisa 
disesuaikan dengan ilmu pengetahuan. Epistemologi Barat sekuler telah menyebabkan pula teologi 
Kristen menjadi sekuler. Kalau pada zaman pertengahan para 
teolog Kristen seperti Agustinus, Johanes Scotus, dan Thomas 
Aquinas, memodifikasi filsafat Yunani klasik supaya   sesuai 
dengan ajaran agama Kristen, maka pada abad ke-20 para 
teolog Kristen seperti Karl Barth, Gogarten, Vahanian, dan lain￾lain memodifikasi teologi Kristen supaya   sesuai dengan 
peradaban Barat modern-sekuler. Mereka membuat penafsiran 
baru terhadap Bible dan menolak penafsiran lama yang 
menyatakan ada alam lain yang lebih hebat dan lebih agamis 
dari alam ini. Mereka membantah peran dan sikap gerejawan 
yang mengklaim bahwa gereja memiliki keistimewaan social,
kekuatan, dan properti khusus. Gogarten (1887-1967) mengata￾kan bahwa sekularisasi terlepas dari apa yang mungkin telah 
berkembang darinya di dalam zaman modern adalah 
konsekwensi sah dari iman Kristen. Gabriel Vahanian, seorang 
teolog Neo-Calvinis mengatakan bahwa sekuler adalah 
kerharusan seorang Kristiani. Menurutnya kematian Tuhan 
adalah peristiwa agama dan sekaligus budaya. Dalam 
warga  yang modern dan saintifik, peristiwa-peristiwa 
dalam Bible dianggap sebagai mitos, sudah lapuk, dan tidak 
terpakai lagi. (lihat Adnin Armas dan Dinar Dewi Kania 
(2013:12).
 Proses sekularisasi ilmu pengetahuan dan proses desakra￾lisasi agama seperti ini  di atas, sudah berlangsung lama. 
Para pendukung teori sekularisasi ilmu dan agama, baik teori 
klasik sejak renaissance maupun teori yang bercampur dengan 
teori modernisasi abad ke-20, menduga bahwa agama pasti 
tidak dapat berkembang lagi. Bapak ilmu social modern seperti 
Marx, Durkheim, dan Weber, menganggap bahwa era agama 
akan lewat. Pendukung teori sekularisasi dan teori modernisasi 
abad ke-20 juga berpendapat bahwa “semakin modern 
warga , semakin kompleks penataan hidup mereka, 
semakin rasional dan individual mereka, maka akan semakin 
berkurang keagamaan mereka”. Ternyata bahwa dugaan 
seperti itu tidak benar, agama masih tetap berkembang dalam 
seluruh warga  di dunia, sebagaimana yang didukung oleh 
bukti berbagai riset yang dilakukan pada abad ke-21 ini (lihat 
Pappa Norris dan Ronald Inglehart (2009) Sekularisasi Ditinjau 
Kembali: Agama dan Politik di Dunia Dewasa ini. 
 Kenyataan seperti itu disebabkan sebab  setiap peradaban 
dibangun atas ide utama yang membentuk pandangan dunia 
(worldview), yaitu agama dalam pengertian yang luas. Berbagai 
peradaban di dunia ini menempatkan agama sebagai jantung 
peradaban, Bahkan peradaban Barat modern sebenarnya juga 
berdasarkan pada peradaban agama, yaitu agama Kristen. 
Sekalipun bersifat sekuler, namun peradaban Barat itu 
bukanlah filsafat sekuler tetapi filsafat Kristen. Walaupun 
kaum sekuler Barat tidak mengakui agama, namun agama 
semakin berkembang di berbagai negara di dunia ini, sehingga 
Peter Berger (1999) seorang pengembang teori sekularisasi, 
dalam bukunya The Secularization of the World mengatakan 
bahwa apa yang telah berlangsung di dunia selama beberapa 
dekade bukanlah sekularisasi warga , tetapi desekularisasi. 
Sekarang ini agama-agama di seluruh dunia sedang 
berkembang, dan penganut agama semakin banyak.
3. Sains dan Teknologi dan Pengaruhnya dalam Kehidupan
Sains dan teknologi, terutama sains dan teknologi modern, 
tentu memiliki kelebihan dan kekurangannya. Sudah terbukti 
bahwa sains dan teknologi telah memberikan banyak 
kemudahan bagi kehidupan manusia. Berkembangnya sains 
dan teknologi kedokteran, telah memberi pengaruh yang lebih 
baik pada kesehatan dan kesejahteraan manusia. Dengan sains 
dan teknologi komunikasi dan informasi, telah memungkinkan 
manusia dapat bergerak dan bertindak dengan lerbih cepat dan 
tepat, lebih efektif dan efisien. Demikian pula halnya dengan 
berbagai sains yang lain, baik sains fisik maupun metafisik. 
Namun sains dan teknologi modern memiliki kelemahan yang 
mendasar, yaitu bahwa sains dan teknologi ini  tidak 
memiliki roh agama yang menjadi sumber rujukan bagi 
penentuan tujuan hidup manusia. Sains tanpa agama tidak 
memungkinkan manusia hidup dengan bertujuan dan bahagia, 
sebab  manusia adalah makhluk jasmani dan sekaligus 
makhluk rohani.
Bagi mereka yang percaya bahwa manusia adalah hamba 
dan khalifah Allah swt. di bumi ini, sains dan teknologi amat 
bermakna bagi mereka sebab  dengan menguasai sains dan 
teknologi memungkinkan mereka melaksanakan tugas mereka 
dengan sempurna untuk mendapatkan keredaan Allah swt. 
Sains dan teknologi perlu dikuasai sebab  dengan sains dan 
teknologi itu manusia dapat mengambil manfaat daripadanya.
Dengan keterpaduan antara ilmu dan agama memungkinkan 
kita memahami alam semesta ini dan mengambil manfaat 
daripadanya, sehingga dengan demikian kehidupan ini akan 
menjadi lebih berarti.
 Teknologi adalah anak kandung dari sains, yang memiliki 
roh materi, yaitu mesin. Adapun watak utama dari mesin ialah 
cara kerjanya yang mekanistis. Perkembangann teknologi yang 
revoliusioner dan sangat pesat telah membawa bencana bagi 
kehidupan makhluk terutama manusia. Ketika ditemukan bom 
atom dan dipergunakan sebagai senjata pemusnah massal pada 
Perang Dunia II, telah menghancurkan kota Okinawa dan 
Nagasaki, sehingga kegunaan teknologi untuk kehidupan manusia dan kemanusiaan mulai dipertanyakan. Sifat netral 
dari sains juga dipertanyakan sebab  ternyata pengembang 
sains banyak yang berpihak kepada kepentingan pemilik 
modal. Dengan alat-alat teknologi bermesin, telah dipakai oleh 
manusia untuk merubah alam. Eksploitasi sumber daya alam 
yang berlebihan telah menyebabkan keseimbangan lingkungan 
terganggu dan menyebabkan bumi rentan terhadap bencana. 
Sains dan teknologi adalah alat untuk mencapai tujuan, namun 
untuk mencapai tujuan yang diharapkan tanpa merusak, 
penggunaan alat itu haruslah dengan bijaksana
Banyak kritik yang telah diarahkan kepada sains Barat atau 
sains modern, antara lain mengenai apakah benar sains modern 
itu bersifat obyektif atau bebas nilai? Menurut teori obyektif 
ilmu pengetahuan hanya bisa obyektif jika merujuk kepada 
suatu realitas yang sama sekali terpisah dari diri kita dan tidak 
tercampuri dengan keyakinan-keyakinan atau nilai-nilai yang 
kita yakini. Teori obyektif ini dikecam sebab  alam ini tidak 
menguraikan sendiri dirinya, tetapi para ilmuanlah yang 
memberi makna kepada pesan-pesan alam itu. sebab  itu tidak 
ada ilmu yang netral atau bebas nilai, atau obyektif. 
Kritik mengenai sains objektif itu diberikan baik oleh 
ilmuan Barat sendiri, maupun oleh ilmuan muslim. Menurut 
ilmuan Barat sendiri, seperti Thomas Kuhn, Feyerebend, Hess, 
dan Polanyi, pandangan bahwa sains bersifat obyektif sudah 
tidak dapat diterima lagi. Menurut mereka sains itu sebenarnya 
tidak netral, tetapi berupa hasil kajian yang dipengaruhi oleh 
sosio budaya setempat, dan sistem nilai warga  yang 
dimiliki oleh pengkaji itu. Inilah yang menyebabkan adanya 
sains dunia kapitalis, sains marxis, dan lain-lain.
Ilmuan muslim seperti Ziauddin Sardar, Seyyed Hossein 
Nasr, Al-Attas, dan lain-lain, berpendapat bahwa sains tidak 
mungkin obyektif sebab  ia berkembang secara tidak ilmiah. 
Sains tidak mengungkapkan kebenaran sebab  ia hanya 
melihat apa yang bisa dilihat dengan alatnya. Setiap 
pertanyaan sains sebenarnya hanyalah hipotesa, baru 
merupakan dugaan yang belum tentu benar. Nilai yang bisa 
diperoleh daripadanya bergantung dari seberapa komprehensif 
model atau alat yang dipakai. Sardar mengatakan, bahwa sains 
adalah keseluruhan riset dan penerapannya. Pandangan bahwa 
sains itu bebas nilai telah menyebabkan banyak malapetaka 
terjadi di bumi ini, sebab  sains dapat dipergunakan untuk hal￾hal yang buruk atau untuk kejahatan.
Rasionalisme Barat melahirkan para rasionalis yang 
bertuhankan akal, sedangkan rasionalisme Islam melahirkan 
rasionalis yang yakin akan keterbatasan akal. Rasionalisme 
Barat melahirkan falsafah humanisme yang mengagungkan 
manusia, yang dapat menguasai atau berbuat apa saja. Paham 
humanisme Barat itu, seperti dikatakan oleh Bertrand Russell
dalam bukunya The Impact of Science on Society, bahwa sains 
bukan saja dapat mengatasi kepintaran Tuhan, tetapi sains 
dapat digunakan untuk mengalahkan Tuhan. Ini menunjukkan 
kesombongan yang luar biasa. (lihat Shaharir, 1979).
Dalam buku “Step to An Ecology of Mind”, Gregory Bateson
(1972) menunjukkan banyak sekali kesalahan epistemologis 
Barat yang mendasari sains modern. Misalnya premis 
epistemologis, yang mengatakan bahwa “jika sesuatu itu lebih 
baik untuk kita, maka lebih banyak yang kita miliki akan lebih 
baik”. Orang yang percaya kepada premis seperti itu maka 
baginya tidak merasa bersalah untuk mengekploitasi alam ini 
habis-habisan. 
Seyyed Hossein Nasr, seorang ilmuan muslim yang 
terdidik dalam bidang sains dan ilmu keislaman, sangat kritis 
terhadap sains modern. Ia sangat konsern dengan krisis 
ekologi yang menyangkut umat manusia di bumi ini. 
Kerusakan hutan, pencemaran air dan udara, adalah sebab  
manusia tidak lagi takjub kepada diri sendiri dan alam raya 
atau kosmos, dan sebab  manusia telah miskin kesadarannya 
terhadap yang suci atau yang sakral. Dalam kondisi seperti itu 
menurut Nasr, manusia cenderung menggunakan sains dan 
teknologi untuk mengekploitasi alam demi kepentingan materi. 
Kesadaran manusia hanya terikat pada realitas fisik. 
Menurutnya, epistemologi Barat memandang realitas fisik 
adalah dominan sehingga segala hal yang bersifat metafisik 
menjadi tidak penting atau tidak berarti, dan pandangan 
demikian sangat mendasar kesalahannya. Pengetahuan tentang 
relialitas fisik tidak berbicara mengenai kebenaran tetapi hanya 
mengenai ketepatan. Pengetahuan yang hanya berdasarkan 
realitas fisik membuat kehidupan menjadi hampa, kering dan 
sempit.
Selain krisis ekologi, krisis sains modern juga berdampak 
pada krisis manusia. Dengan sains modern manusia cenderung 
diperlakukan sebagai mesin atau perpanjangan mesin, sehingga 
menyebabkan dehumanisasi. Dengan sains modern timbul 
usaha  untuk menciptakan jenis makhluk hidup baru atau 
kehidupan baru melalui rekayasa genetika, misalnya dengan 
system cloning. sebab  sains modern memutuskan hubungan 
antara manusia dengan realitas yang lebih tinggi atau Tuhan, 
menyebabkan terjadinya despiritualisasi. Manusia modern 
tidak mengerti tentang siapa dirinya (the self) yang sebenarnya. 
Dampak lainnya dari sains modern terhadap manusia ialah 
dampak psikologis, yaitu dalam bentuk meningkatnya 
penderita depresi, kegelisahan, psikosis, sakit jiwa dan 
keinginan bunuh diri.
Dampak lain lagi dari sains modern ialah apa yang 
disebut Ziauddin Sardar (1987) sebagai imperialisme 
epistemologis, yaitu dampak pada pola pikir manusia dan  perilakunya. Orang menganggap segala sesuatu yang datang 
dari Barat adalah modern, malah oleh kebanyakan orang dinilai 
sebagai pasti baik. warga  dunia, termasuk warga  
muslim, kata Ziauddin Sardar, dibentuk dengan citra dunia 
Barat. Keadaan demikian sudah berlangsung lama sekali, lebih 
dari 300 tahun, dan masih akan terus berlangsung kecuali ada 
epistemology alternatif.
Syed Naquib al-Attas mengeritik konsep Francis Bacon
bahwa untuk menyelidiki alam, manusia harus menempatkan 
alam itu pada sebuah posisi dimana alam itu dipaksa untuk 
memberikan jawabannya. Artinya harus dipisahkan antara 
pengamat dan yang diamati, antara subyek dan obyek, antara 
manusia dan alam, yang akhirnya membawa kepada 
pemisahan fakta dan nilai. sebab  sains mengamati fakta, maka 
nilai menjadi diabaikan. Demikian pula sebab  sains hanya 
dapat mengamati yang terukur, maka sifat “rohaniah” dari 
alam dan benda-benda di dalamnya dihilangkan. Inilah yang 
oleh Naquib Al-Attas disebut sekularisme. Ia juga mengeritik
teori positivisme Comte yang dilihat dari perspektif Islam
menjadi sangat bermasalah, sebab  ia meletakkan agama 
sebagai jenis pengetahuan yang sangat primitive. Teori Comte
yang membagi perkembangan berpikir manusia dalam tiga 
tingkat yaitu religius, metafisik dan positif ternyata tidak 
terbukti kebenarannya sebab  manusia ditengah perkem￾bangan sains dan teknologi yang pesat sekarang ini, masih 
tetap berpegang pada agama dan pada hal-hal yang metafisik. 
Betapapun tingginya pendidikan seseorang ternyata ia 
tetap menerima kebenaran ilmiah yang bukan berdasarkan 
metode empirisme, tetapi melalui informasi yang diperolehnya 
dari buku atau laporan orang lain. sebab  itu tidaklah benar 
apabila suatu ilmu pengetahuan hanya dapat diperoleh melalui 
metode empiris rasional. Pengetahuan tentang akhirat, tentang 
ibadah haji dll. diperoleh dari sumber-sumber yang terpercaya 
sekalipun hal itu berada di luar jangkauan akal dan empiri. 
Naquib juga mengeritk konsep desakralisasi alam oleh ilmuan 
sekuler yang melepaskan keterkaitan alam dengan segala unsur 
ketuhanan. Agama menentang desakralisasi jika desakralisasi 
diartikan sebagai meniadakan semua makna spiritual dalam 
pandangan terhadap alam. (lihat Adian, 2012)
Seperti dikatakan oleh Theodore Roszak, bahwa sains 
mendominasi budaya warga  negara-negara maju. Adanya 
mode kesadaran ilmiah, yang disebut “saintisme”, yaitu suatu
cara berpikir dimana ekperimen dan pengalaman statistical 
menjadi satu-satunya yang bisa dipercaya. Kebenaran yang 
diperoleh dengan metode ilmiah dipandang sebagai kebenaran 
yang mutlak. Ilmu sosial menjadi amat kuantitatif, perubahan 
social atau individual dipandang dapat dijelaskan secara 
kuantitatif, pengalaman dan perasaan manusia direduksikan ke 
dalam simbol-simbol matematis. Nilai-nilai seperti dikembang￾kan oleh rasionalisme, empirisme, sekularisme, dan pragma￾tisme yang semuanya itu oleh Herman Khan disebut “budaya 
inderawi”, kini menonjol dalam gaya hidup individu, baik 
dalam warga  maupun dalam pemerintahan.
Stephen Mason dalam bukunya A History of Science (1962) 
mengatakan “Dalam dunia modern Sains telah membawa 
manusia kepada sekularisasi pikiran dan pengembangan sifat 
utilitarian, di samping juga berpengaruh pada standar 
penilaian dan nilai-nilai manusia”. Sifat utilitarian daripada 
sains modern berarti bahwa pemahaman terhadap alam 
berjalan bersama sama dengan kontrol teknik terhadapnya. Ini 
tercermin pada sifat pragmatis dari sains modern, yaitu ia 
benar sebab  berguna untuk menciptakan teknologi. 
Karl R.Popper (bukunya yang terkenal ialah: The Logic of 
Scientific Discovery) menunjukkan bahwa metode keilmuan 
seperti yang dikembangkan oleh aliran positivisme dan neo 
positivisme itu didasarkan kepada suatu kekeliruan logis. 
Menurutnya tenaga pendorong sains bukan pada konfirmasi 
tetapi pada penyangkalan. Bagi Popper yang penting bukanlah 
klarifikasi (pengujian kebenaran) tatapi falsifikasi (pengujian 
kesalahan).
Thomas Kuhn (bukunya yang terkenal ialah The 
Structures of Scientic Revolutions) juga mengeritik kelemahan 
sains modern itu dengan mengemukakan konsep paradigma
untuk menjelaskan bagaimana proses kegiatan sains itu 
sebenarnya.
Adapun kritik Edward Goldsmith terhadap sains 
modern, sebagaimana ditulis dalam karangannya “Is religion a 
science? (1975) ialah bahwa “sains modern itu sekarang ini 
hanya merupakan akumulasi dari setengah kebenaran, dan atas 
dasar setengah kebenaran itulah kita mengontrol dunia, dan 
sebagai hasilnya telah membawa dunia kepada kehancuran￾nya.” 
Kritik terhadap sains modern tertuju juga kepada paham 
reduksionisme, yaitu paham bahwa segala sesuatu dapat 
dikembalikan kepada suatu konsep asasi yang dipandang pasti,
yang mekanis, yang tidak berdasarkan pada wahyu. Suatu 
anggapan dalam kajian sains ialah bahwa bentuk alam semesta 
dengan segala gejalanya dipandang sebagai memenuhi sifat 
yang bersistem, seragam dan tidak kacau, yang disebut prinsip 
parsimony. Itulah sebabnya para ilmuan sering mengembang￾kan kajian mereka dengan melakukan reduksi. Mereka hanya 
berpegang pada ilmu aqli (ilmu akal), dan menolak wahyu 
yang menjadi dasar ilmu naqli. Inilah yang membedakan sains 
Barat dengan sains yang lain. Proses sains Barat semata-mata 
berkisar pada alam maya saja dan terpisah jauh dengan agama, 
sedangkan proses sains Islam selalu terjalin dengan ilmu 
wahyu atau ilmu naqli. Inilah yang telah menyebabkan 
kegemilangan sains dan peradaban Islam pada abad ke-9 – 12 
M.
2. Kelemahan Sains Modern
 Dari berbagai kritik yang ditujukan kepada sains modern 
menunjukkan bahwa sains modern itu memiliki kelemahan 
yang mendasar, yaitu: 
1. Sains modern tidak selalu mampu membantu manusia 
memahami alam semesta secara seutuhnya, sebab  sains 
modern menggunakan pendekatan analitis dan 
reduksionistis yang mementingkan bagian-bagian, bukan 
keseluruhan. 
2. Sains modern diklaim bersifat objektif, netral, dan bebas 
nilai (value-free), padahal sains tidak selalu objektif dan 
bebas nilai, malah justru penuh dengan nilai (value-laden) 
sebab  sains selalu dipengaruhi keyakinan kita yang 
bersifat subjektif.
3. Metode verifikasi yang dipakai pengembangan sains 
modern tidak dapat dipertahankan kebenarannya sebab  
terdapat kekeliruan logis. Seperti dikemukakan oleh Karl 
Popper, kebenaran sains harus diuji dengan metode 
falsifikasi (pemeriksaaan kesalahan) bukan dengan 
metode verifikasi (pengujian kebenaran). Sehingga 
Goldsmith mengatakan bahwa sains modern hanya 
merupakan akumulasi setengah kebenaran.
4. Sains modern sangat mementingkan pemikiran logis, dan 
mengabaikan hal hal yang emosional dan kerohanian. 
Pada awal abad ke-20 ketika berkembangkan revolusi 
industri di barat, kecerdasan intelek (IQ) digunakan 
untuk menilai kepintaran seseorang. Seseorang itu 
dikatakan mencapai taraf kesempurnaan kemanusiaan 
apabila ia memiliki IQ yang tinggi. Padahal IQ 
(kecerdasan berpikir) hanya berperan 20% saja bagi 
keberhasilan hidup seseorang, sebab peran unsur EQ 
(kecerdasan emosional) dan SQ (kecerdasan spiritual) juga 
lebih menentukan (lihat Silberman, 2002).
5. sebab  sifatnya yang sekuler, maka sains modern 
berpotensi despiritualisasi kehidupan manusia. Agama 
menjadi tidak lagi menjadi pedoman hidup, semua bisa 
diciptakan atau dilakukan manusia tanpa merujuk 
kepada nilai agama. 
6. sebab  sifatnya yang materialistis dan pragmatis maka 
sains modern berpotensi dehumanisasi. Manusia 
dipandang sebagai materi atau sebagai mesin (lhomme 
machine), atau sebagai perpanjangan mesin. Sebagai mesin 
yang bersifat mekanistik, maka manusia cenderung 
bekerja secara mekanis, bukan secara alamiah menurut 
fitrahnya.
7. sebab  sifatnya yang materialistik dan pragmatik maka 
manusia cenderung terdorong untuk berbuat serakah,
sehingga berpotensi untuk merusak lingkungan.
3. Diperlukan Filsafat Sains Alternatif
 sebab  kelemahan-kelemahan yang mendasar dari sains 
modern, maka sains modern tidak dapat diandalkan lagi. Para 
ilmuan muslim berpendapat bahwa harus dicari filsafat sains 
alternatif, yaitu filsafat sains Islam (epistemology Islam)
dengan membangun paradigma keilmuan yang didalamnya terkandung hukum-hukum normatif yang berdasarkan filsafat 
Islam. Bagaimana ciri-ciri filsafat sains Islam itu telah diusulkan 
oleh sejumlah ilmuan muslim, misalnya oleh Ziauddin Sardar 
(1973) dan IFIAS (1981) (lihat bab 11 buku ini). Di samping itu 
oleh Nataatmadja (1992) dan Syamsul Arifin dkk. (1999)
diusulkan sejumlah ciri sains Islam, antara lain sebagai berikut.
1. Rasionalisme yang berakar pada nilai spiritualisme Islam. 
2. Empirisme yang tidak hanya berakar pada dunia fisik, 
tetapi juga dunia metafisik.
3. Sains yang tidak tepisah dengan agama.
4. Sains tidak netral terhadap nilai moral, agama dan 
ideologi, sebab  itu sains sarat dengan nilai, bukan bebas 
nilai. 
5. Hukum kausalitas dalam sains itu merupakan 
keniscayaan dan Allah merupakan prima causa yang 
harus ditegakkan dalam pemikiran ilmiah.
6. Nilai dan norma keilmuan inheren dalam seluruh 
struktur sains, termasuk pada pengguna sains. 
 Filsafat sains Islam atau epistemologi Islam itu sangat perlu 
diusaha kan oleh ilmuan muslim untuk mengembangkan sains 
dan teknologi yang sesuai dengan ajaran Islam dan yang dapat 
memenuhi kebutuhan umat Islam. 


1. Sumber Ilmu Menurut Islam
 Dari perspektif agama Islam, semua ilmu pengetahuan 
bersumber pada Allah SWT, yang diketahui oleh manusia 
melalui wahyuNya yang tercantum dalam kitab suci Al￾Qur‟an. Sebagai sumber pengetahuan yang utama sesungguh￾nya Al-Qur‟an telah memberikan banyak informasi dan 
petunjuk mengenai cara manusia memperoleh ilmu penge￾tahuan. Beberapa ayat Al-Qur‟an mengisyaratkan agar Al￾Qur‟an dijadikan sebagai sumber ilmu dengan memakai kata￾kata antara lain: ya‟qilun (memikirkan),dan yudabbirun 
(memperhatikan). 
 Adapun petunjuk-petunjuk Al-Qur‟an tentang cara-cara 
memperoleh pengetahuan atau kebenaran pada dasarnya ada 3 
macam, yaitu melalui panca indera, melalui akal, dan melalui 
wahyu. Dalam Al-Qur‟an ada beberapa ayat yang menyuruh 
manusia menggunakan inderanya dalam mencari ilmu 
pengetahuan, yaitu dengan penggunaan kata-kata seperti: qala 
(menimbang), qadara (ukuran/ketentuan), dan lain-lain. Kata￾kata itu menisyaratkan bahwa pengetahuan itu dapat diperoleh 
melalui observasi terhadap segala sesuatu yang merupakan 
dasar dari pemikiran, perhitungan, dan pengukuran. Terlepas 
dari kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh indera manusia, 
adalah diakui bahwa indera memilki kemampuan yang kuat dalam memperoleh pengetahuan. Dengan indera dapat 
dilakukan observasi dan ekperimen. Di dalam Al-Qur‟an 
terdapat metodologi pengetahuan yang memperkuat adanya 
pengetahuan indera itu, namun Al-Qur‟an juga menerangkan 
keterbatasan indera manusia sebagai alat untuk memperoleh 
pengetahuan yang benar. Al-Qur‟an mengecam orang-orang 
yang hanya mengandalkan inderanya untuk memperoleh 
kebenaran, misalnya yang dikisahkan oleh Al-Qur‟an tentang 
kaum Nabi Musa yang ingin melihat Tuhan secara langsung. 
Al-Qur‟an juga menyebutkan adanya realitas yang tidak bisa 
diamati dengan indera, yang menunjukkan bahwa indera itu 
terbatas jangkauannya dalam mencapai kebenaran (lihat Mehdi 
Ghulsyani, 2003).
Di atas pengetahuan indera masih ada pengetahuan yang 
lebih tinggi yaitu pengetahuan akal. Adanya pengetahuan itu 
dapat dipahami dari beberapa kata yang dipakai dalam Al￾Qur‟an seperti: tafakkur (merenungkan), ta‟aqqul (memikirkan), 
tafaqquh (memahami), dan lain-lain. Kata-kata itu menunjukkan 
kepada akal sebagai metode bagi manusia untuk memperoleh
ilmu. Meskipun hampir semua ulama dan ahli filsafat Islam 
mengakui akal sebagai sumber pengetahuan, namun pendapat 
mereka tentang tingkat kepentingannya berbeda-beda.
Sebagian ahli filsafat sangat melebihkan pentingnya akal, yaitu 
oleh ahli-ahli filsafat rasionalis atau golongan Muktazilah dan 
pengikut-pengikut Syi‟ah, yang mengatakan bahwa dengan 
akal kita akan dapat menanggapi segala sesuatu termasuk 
wujud Allah, kebaikan, keburukan dan hal-hal yang ghaib.
Sementara itu, golongan yang lebih sederhana penilaian￾nya terhadap akal ialah dari golongan ulama tasawuf, serta ahli 
fikh dan hadist, dimana mereka menghargai akal sekedarnya 
saja dan tidak mengatakan bahwa akal itu dapat menjangkau  segalanya, sebab walaupun akal itu lebih luas jangkauannya 
dari alat dria, namun ia terbatas terutama yang berkenaan 
dengan ketuhanan dan hal-hal yang ghaib. Al-Kindi (801-873) 
berpendapat bahwa alat dria manusia merupakan sumber 
pengetahuan yang utama, dan akal merupakan sumber yang 
kedua. Menurutnya (lihat Harun Nasution, 1992:18) akal 
manusia memiliki  tiga tingkatan, yaitu: 
a. akal yang bersifat potensial,
b. akal yang bersifat aktual (telah keluar dari sifat 
potensialnya),
c. akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas. 
Ini berarti bahwa akal baru memiliki  makna apabila ia 
diaktualkan, bukan hanya sebagai potensi. Menurut Ghulsyani 
(2003:107-117), sesungguhnya kebenaran akal lebih tinggi dari 
pada pengetahuan indera, namun akal dapat juga jatuh pada 
kekeliruan-kekeliruan yang berbahaya. Ada beberapa faktor 
menurutnya yang menyebab-kan terjadi distorsi pada pengeta￾huan akal, yaitu: 
a. Ketiadaan iman;
b. Mengikuti hawa nafsu, kecenderungan dan keinginan￾keinginan;
c. Cinta, benci buta, dan prasangka;
d. Takabur;
e. Taklit buta terhadap pendapat nenek moyang dan 
pemikiran jumud;
f. Tergesa-gesa dalam memutuskan;
g. Kebodohan sehingga menerima atau menolak sesuatu 
tanpa alasan;
h. Kedangkalan pengetahuan sebab  tidak mau berpikir 
secara mendalam;
i. Ketidakpedulian terhadap pentingnya kebenaran.Pentingnya Ilmu Pengetahuan
Agama Islam memberi tekanan yang sangat besar kepada 
masalah ilmu. Dalam Al-Qur‟an kata al-„ilm digunakan lebih 
dari 780 kali. Allah swt. berfirman yang artinya:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang mencipta-kan. 
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. 
Dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang menga-jarkan 
(manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada 
manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS Al-Alaq: 1-5) 
Ayat ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya 
membaca, pena, dan ajaran untuk menusia agar manusia 
memiliki ilmu pengetahuan.
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) 
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada malaikat dan 
berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu, jika 
kamu memang orang yang benar!” Mereka menjawab: “Maha-suci 
Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain apa yang telah 
Engkau ajarkan kepada Kami; Engkaulah yang maha mengetahui 
lagi maha bijaksana” (QS Al-Baqarah:31-32)
Ayat ini menunjukkan bahwa malaikatpun disuruh 
bersujud dihadapan Adam, sebab  Adam telah diberi ilmu 
(diajari nama-nama).
 “Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan 
orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS Az-Zumar: 9)
Ayat ini menegaskan bahwa adalah tidak sama antara 
orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu (mengetahui 
dengan yang tidak mengetahui)“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk 
manusia; dan tiada yang memahaminya, kecuali orang-orang 
yang berilmu.” (QS Al-Ankabut:43)
Ayat ini menegaskan bahwa hanya orang yang 
berilmulah yang memahami berbagai hal dalam alam semesta 
ciptaan Allah swt.
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba￾hambaNya, hanyalah ulama”. (QS Al-Fathir: 28).
Ini berarti bahwa hanya orang yang berilmu yang takut 
kepada Allah swt.
Terdapat sejumlah hadist yang menyatakan pentingnya 
ilmu bagi manusia, antara lain adalah:
 Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim
 Carilah ilmu walaupun di negeri cina
 Carilah ilmu sejak dari buaian sampai ke liang lahat
 Para ulama adalah pewaris para Nabi
 Orang yang paling berharga adalah yang paling banyak 
ilmunya dan yang paling hina adalah yang paling 
bodoh. (Lihat Ghulsyan, 1993 hal 39-40).
sebab  pentingnya ilmu pengetahuan maka adalah 
sangat perlu setiap muslim mempelajari ilmu. Mahdi 
Ghulsyani (1993:49) mengemukakan alasan mengapa dalam 
perspektif Al-Quran ilmu pengetahuan sangat perlu dipelajari. 
1. sebab  mencari ilmu merupakan kewajiban jika pengeta￾huan dari sesuatu ilmu itu menurut syariah merupakan 
persyaratan untuk mencapai tujuan-tujuan Islam. Misalnya 
kesehatan adalah penting dalam warga  Islam, dan 
sebab  itu mempelajari ilmu obat-obatan adalah wajib 
kifayah. Seluruh ilmu, merupakan alat untuk mendekatkan 
diri kepada Allah swt, dan selama memerankan peranan 
itu, maka ilmu itu suci, tetapi apabila tidak maka ilmu akan 
menjadi alat kesesatan. 
2. sebab  warga  yang dikehendaki oleh Al-Qur‟an 
adalah warga  yang agung dan mulia, bukan 
warga  yang takluk dan bergantung kepada orang￾orang kafir. 
3. Dalam dunia modern sekarang ini banyak masalah 
kehidupan manusia tidak dapat dipecahkan kecuali
dengan usaha  pengembangan ilmu.
3. Ilmu Yang Bermanfaat 
Dalam Islam ditegaskan bahwa orang muslim harus 
menuntut ilmu yang berguna, dan melarang mencari ilmu 
yang bahayanya lebih besar dari manfaatnya. Hadist Nabi 
mengatakan: “Sebaik-baik ilmu ialah yang bermanfaat”.
Menurut Imam Abu Rajab al-Hambali “ilmu yang bermanfaat 
adalah yang dipelajari dengan seksama dari Al-Quran dan 
Sunnah Rasulullah, serta berusaha memahami kandungan 
maknanya”. Ilmu ini  “masuk (dan menetap) ke dalam 
relung hati, yang kemudian melahirkan rasa tenang, takut, 
tunduk, merendahkan dan mengakui kelemahan diri di 
hadapan Allah Ta‟ala”. Ini berarti bahwa ilmu yang cuma 
pandai diucapkan dan dihafalkan tetapi tidak menyentuh 
apalagi masuk ke dalam hati manusia maka itu sama sekali 
bukanlah ilmu yang bermanfaat, dan ilmu seperti itu justru 
akan menjadi bencana bagi yang memilikinya, bahkan 
menjadikan pemiliknya terkena ancaman besar di akhirat.
Menurut Mahdi Ghulsyani (1993:55), ilmu yang 
bermanfaat ialah ilmu yang digunakan untuk mendapatkan 
pengetahuan tentang Allah, keridhaan dan kedekatan 
kepadaNya. Baik itu ilmu-ilmu kealaman maupun ilmu 
syariah. Sebabnya ialah sebab  tujuan hidup utama manusia 
adalah mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan 
ridhaNya. Dikatakan juga bahwa, suatu ilmu itu berguna 
apabila dapat menolong manusia dalam memainkan peranan￾nya di dunia ini sebagaimana yang telah ditentukan oleh Allah 
swt. Apabila tidak demikian maka ilmu itu tidak berguna. 
Dengan bantuan ilmu seorang muslim dapat meningkatkan 
pengetahuannya tentang Allah, membantu mengembangkan 
warga  Islam dan merealisasikan tujuan-tujuannya secara 
efektif, membimbing orang lain dalam melakukan pengabdian 
kepada Allah, dan dapat memecahkan berbagai masalah 
warga  manusia.
Istilah peradaban (bahasa negara kita ), tamaddun (bahasa 
Arab), atau civillization (bahasa Inggeris) menunjuk kepada 
pengertian kebudayaan yang lebih maju, lebih baik, lebih 
indah, lebih tinggi sifatnya, baik dalam bentuk material 
maupun dalam bentuk spiritual atau kerohanian. Di Malaysia,
untuk peradaban dipakai kata tamaddun. Menurut Syed 
Naquib al-Attas, tamaddun adalah kehidupan insan yang 
mencapai taraf kehalusan, tata susila dan kebudayaan yang 
luhur bagi seluruh warga nya.
Menurut Ibnu Khaldun, ciri tamaddun adalah majunya 
pembangunan yang berkaitan dengan peningkatan kemewahan 
kehidupan, keindahan dalam suasana dan minat warga  
kepada berbagai aspek industri, termasuk untuk keperluan 
bahan makanan, pakaian, peralatan rumah tangga dan lain 
sebagainya. Secara rinci, ciri tamaddun menurut Ibnu Khaldun 
adalah sebagai berikut:
a. Kehidupan beragama yang lebih tinggi, baik,
b. Sistem pemerintahan dan negara yang baik dan teratur
c. Sistem penulisan yang baik
d. Bentuk seni yang jelas dan tinggi
e. Kehidupan kota 
Menurut Sayyid Qutb, peradaban Islam adalah segala 
bentuk kemajuan yang dihasilkan oleh suatu warga  
seperti dalam sistem sosial, pemerintahan, politik, ekonomi dan kebudayaan yang berdasarkan syariat Islam dan bercirikan 
nilai-nilai akhlakul karimah (Islami). Pada abad ke-20 
Muhammad Abduh dalam tulisannya berjudul “al-Tamaddun” 
menyebutkan bahwa sebuah bangsa yang beradab adalah 
bangsa yang negerinya telah berkembang termasuk dalam hal 
gedung-gedung, pasar yang maju, serta juga ada di dalam 
negeri itu para pekerja, para politisi dan orang-orang yang 
terhormat. Istilah Arab lain yang biasa dipergunakan untuk 
tamaddun ialah madaniyyah dan hadarah. Penggunaan kata 
madaniyyah adalah menunjuk kepada aspek kehidupan materi 
dalam suatu warga , yang dalam arti ini dapat diterapkan 
ke dalam warga  apapun, sedangkan kata hadarah 
berkaitan dengan fenomena spiritual dan kebudayaan dalam 
kehidupan suatu warga , yang dalam arti ini hanya sesuai 
untuk warga  tertentu, dan sulit ditiru oleh warga  
yang lain. Istilah yang popular dikalangan para penulis dan 
sejarawan Arab adalah kata hadarah, sedangkan di kalangan 
sarjana dan intelektual muslim non-Arab (Turki, Persia, 
Melayu) hanya dikenal dua istilah madaniyyah dan tamaddun.
2. Sekilas Sejarah Perkembangan Peradaban Islam 
Peradaban Islam bermula ketika Nabi Muhammad saw
hijrah ke Medinah. Setelah disusun Piagam Medinah mulailah 
berkem-bang warga  Islam dengan sistem kehidupan yang 
bersifat menyeluruh. Nabi Muhammad saw diakui sebagai 
pemimpin Negara. Perkembangan selanjutnya dari peradaban 
Islam ialah pada zaman Khulafarur Rasyidin, yang terdiri atas 
4 khalifah, yaitu: Abubakar AS, Umar bin Khatab AS, Usman 
bin Affan AS, dan Ali bin Abi Thalib AS. Pada masa itu 
pembangunan Negara Islam difokuskan pada pembangunan insan, kemajuan yang menyeluruh dan seimbang, keadilan, 
perkembangan ilmu dan perkembangan wilayah.
Kemudian peradaban Islam semakin berkembang pada 
masa pemerintahan Khilafah Umayyah dan Khilafah 
„Abbasiah, yaitu periode selama 600 tahun lamanya yang biasa 
disebut sebagai era peradaban “Islam Klasik”. Kerajaan 
Khalifah Ummayah (661-750 M) adalah kekalifahan Islam 
pertama setelah masa Khulafarur Rasyidin. Ibu kota kerajaan 
pada mulanya berada di Damaskus dan kemudian di Kordoba 
Spanyol. Pada masa kerajaan Bani Ummayah tamaddun Islam 
berkembang terutama dalam bidang kemiliteran, ekonomi, dan 
pendidikan. Dalam bidang kemiliteran antara lain dipermodern 
angkatan bersenjata serta alat perangnya. Angkatan perang 
terdiri atas pasukan berkuda, memakai kenderaan, dan 
pasukan jalan kaki, prajurit terlatih dalam perang musim panas 
dan musim dingin. 
Dalam bidang ekonomi berpusat pada pertanian dan 
perdagangan. Sistem administrasi Baitul Mal juga diperbaha￾rui. Bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan mendapat 
perhatian yang sangat besar. Kota Basrah dijadikan pusat 
penyebaran ilmu, bahasa Arab dijadikan bahasa pengantar 
utama dalam kerajaan. Perkembangan ilmu bukan hanya 
dalam bidang agama tetapi juga dalam bidang sejarah dan 
geografi.
Kerajaan Bani Abbasiyah (750-1258 M) adalah kerajaan 
yang melanjutkan kekuasaan Kerajaan Bani Ummayyah. 
Disebut kerajaan Abbasyah sebab  para pendiri dan penguasa 
dinasti ini adalah keturunan Abbas, keturunan Nabi 
Muhammad SAW. Pendiri kerajaan ini ialah Abu Abbas As￾Saffah. Selama kerajaan ini berkuasa, martabat kaum muslimin 
sudah sampai pada puncak kemuliaan. Konsep-konsep 
pemerintahan dari Persia juga diadopsi oleh beberapa khalifah 
Abbasiyah dengan cara melakukan kawin silang dengan 
perempuan-perempuan Persia. Perkawinan itu melahirkan 
generasi, baru, salah satunya ialah al-Makmun.
Puncak masa keemasan peradaban Islam terjadi pada 
masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid (788-808 M) dan 
al-Makmun (813-833 M). Pada masa Khalifah Al Ma‟mun,
tahun 823 M, didirikan sebuah lembaga penelitian yang cukup 
besar dan berperan, yang bernama Baitul Hikmah. Pada 
lembaga itu terdapat perpustakaan yang lengkap dengan buku￾buku, termasuk tersedianya satu tim penerjemah teks-teks asli 
Yunani ke dalam bahasa Arab. Dari Baitul Hikmah itu unsur￾unsur kebudayaan Yunani diserab oleh kaum muslimin. 
Pada masa kegemilangan itu berkembang filsafat Islam dan 
ilmu pengetahuan. Kaum muslim pada masa itu memandang 
realitas (Tuhan, alam, dan manusia) secara holistic (kaffah). 
Kesadaran yang kaffah itulah yang menyebabkan tidak dilihat 
adanya pertentangan antara agama dengan filsafat dan ilmu 
pengetahuan. Dalam segi akidah, ilmu pengetahuan, filsafat, 
kebudayaan, ekonomi dan sistem kewarga an sangat maju, 
lebih dari masa-masa sebelumnya. Umat Islam pada masa itu 
mengamalkan budaya dan nilai-nilai Islami yang bersifat dunia 
akhirat. Keadilan tumbuh dengan baik tanpa membedakan ras 
dan suku bangsa. 
Kerajaan Abbasiyah memberi kesempatan kepada bukan 
orang Arab, khususnya orang Persia untuk memegang jabatan 
utama dalam pemerintahan, dan bahasa Persia mengalami 
perkembangan sebagai bahasa kedua setelah bahasa Arab 
sebagai lingua franca. Prasarana pendidikan seperti mesjid dan 
sekolah disediakan juga untuk tujuan pengembangan ilmu 
pengetahuan. Ilmu-ilmu yang dipelajari pada masa itu adalah Al-Quran, Hadist, Nahu, ibadah, geografi, matematika, 
astronomi, dan falsafah. Kota Baghdad yang dibangun pada 
tahun 762 M oleh Khaliah al-Mansyur, segera menjadi pusat 
kebudayaan terbesar di dunia Islam pada abad ke-9 M. (lihat 
Seyyed Hossein Nasser, 2003).
3. Tradisi Keilmuan Islam
Tahap penting dalam perkembangan dan tradisi 
keilmuan Islam ialah masuknya unsur-unsur luar ke dalam 
Islam. Salah satu unsur kebudayaan luar yang diadopsi oleh 
Islam pada permulaan perkembangannya ialah kebudayaan 
Helenisme (kebudayaan Yunani dan Romawi). Ilmuan dan 
filosof muslim pada masa itu mempelajari berbagai ilmu 
pengetahuan yang telah tumbuh dalam alam pikiran bangsa 
Yunani klasik, seperti matematika, fisika, kimia, biologi, 
astronomi, dan kedokteran. Banyak pemikiran filsafat dan ilmu 
pengetahuan dari Yunani pada masa itu diterjemahkan ke 
dalam bahasa Arab, termasuk pemikiran-pemikiran Aristoteles. 
Filosof Al Farabi dipandang sebagai komentator pemikiran￾pemikran Aristoteles. 
Namun demikian, tidak berarti bahwa kebudayaan 
Yunani itu diserap seluruhnya oleh kaum muslimin. 
Pandangan dunia bangsa Yunani yang mengandung hal-hal 
yang bersifat tahayul dan mitos tidak mungkin diserap oleh 
kaum muslim yang tradisi pemikirannya didasarkan pada 
wahyu dan sunnah Nabi, yang merupakan sumber utama dari 
ilmu pengetahuan dan filsafat Islam, sebab  hal itu 
bertentangan dengan Islam. Para ilmuan muslim mengadakan 
perubahan-perubahan terhadap tradisi pemikiran Helenisme 
yang kontemplatif dan spekulatif itu, dan mengembangkan 
tradisi berpikir empirical-ekperimental. Usaha itu dilakukan  dengan mendayagunakan perangkat-perangkat intelektual 
guna menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat 
realitas, baik yang nyata maupun yang gaib. Bertemunya Islam 
dengan budaya Helenisme di Bagdad pada zaman kekalifahan 
Abbasiah merupakan awal dari perkembangan tradisi filsafat 
Islam, sebab  sejak itu peradaban muslim kemajuannya 
melebihi perdaban dunia selama lebih dari 5 abad lamanya, 
yaitu antara tahun 656–1258 M, yang dipandang sebagai abad 
keemasan (the Golden Age) dunia Islam.
Dari tangan para ilmuan muslim itu berkembang konsep 
ilmu (sains) dan filsafat ilmu yang berdiri di atas postulat￾postulat Al-Qur‟an. Pada masa itu terkenal ilmuan muslim 
seperti Jabir Ibnu Hayyan (721-815 M) yang dipandang sebagai 
bapak alkemi modern, yang mengatakan bahwa seorang 
ilmuan seharusnya tidak mengatakan sesuatu kalau tidak 
didukung dengan bukti-bukti berdasarkan ekperimen. Ibn 
Taymiyah dan Al Biruni adalah penganjur empirisme ilmiah. 
Dalam menolak silogisme Aristoteles, Ibn Taymiyah 
mengatakan: “kenyataan ada di dunia luar, bukan dalam dunia 
pikiran.” 
Ziauddin Sardar dalam tulisannya “Why Islam Needs 
Islamic Science” (1982) mengatakan bahwa ilmuan muslim dapat 
mencapai kemajuan yang luar biasa dalam pekerjaannya, 
adalah sebab  mereka bekerja dengan cara-cara yang sesuai 
dengan Islam. Menurutnya ada tiga unsur dalam tradisi sains 
Islam yang digunakan oleh para ilmuan muslim itu, yaitu sikap 
rendah hati, pengakuan akan keterbatasan metode ilmiah, dan 
penghargaan terhadap subyek yang diamati. Kerendahhatian 
merupakan tonggak dasar dalam sains Islam. Misalnya Hasan 
Ibnu Al-Haytam ( 965-1039), dalam karya “Optics” 
menyimpulkan bahwa pengetahuannya terbatas dan mungkin 
ada kesalahan dalam karyanya itu, hanya Allah yang 
mengetahui segalanya.
4. Sumbangan Ilmuan Muslim kepada Sains Modern
Dunia Islam bagian Timur yang banyak dikuasai oleh 
golongan Asy‟ariyah mengalami stagnasi dalam bidang 
pemikiran, dimana filsafat dan sains tidak berkembang. Tetapi 
dunia Islam bagian Barat (Cordoba di Spanyol), dimana 
berkembang paham Muktazilah, umat Islam memperoleh 
kebebasan intelektual, sehingga filsafat dan sains berkembang 
dengan pesat, dan banyak terdapat ilmuan muslim yang 
terkenal, seperti Ibn Massarah, Ibn Majjah, Ibn Tuffail, Ibn.
Rusyd, dan lain-lain. Dunia Islam bagian Barat itulah yang 
membuat benang merah yang menghubungkan alam pikiran 
Yunani-Arab Islam dan alam pikiran Barat (modern). Seperti 
dikatakan oleh George Bernard Shaw dan juga oleh George 
Santilana, bahwa peradaban baru di Barat harus dicari akar￾akar intelektualnya pada tradisi filsafat Islam dimasa “The 
golden age of Islam” di Spanyol. (lihat Hossein Nasr, 2003).
Sebenarnya adalah tidak benar apa yang dikatakan oleh 
kebanyakan ilmuan Barat bahwa sains dan teknologi dipelopori 
oleh sarjana Barat, yaitu oleh Copernicus (1473-1543), dan 
Yohanes Kepler, dan diikuti oleh Galilie Galileo (1564-1642).
Mereka mengkaji tentang astronomi yang katanya dipelajari 
dari karya ilmuan Yunani seperti Ptolemy. Padahal sebenarnya 
Al-Biruni (973-1050) orang yang pertama yang menerangkan 
fenomena gerhana, bulan dan matahari secara tepat dan yang 
kemudian mengatakan bahwa matahari adalah pusat sistem 
surya. Demikian juga, sarjana Barat mengatakan bahwa 
William Harvey sebagai orang pertama yang menemukan 
fenomena peredaran darah, padahal fenomena ini  sudah 
diperbincangkan dengan terperinci oleh Ibn an-Nafis ( -1288).
(lihat Mohd Yusof Hj. Othman, 2009) 
Dunia mengakui bahwa perkembangan sains modern 
berdiri di atas sumbangan ilmuan-ilmuan muslim. Diantara 
sumbangan mereka yang terpenting ialah penemuan metode 
ekperimental yang pada gilirannya menimbulkan revolusi di 
bidang IPTEK sebagaimana dilakukan oleh Al Biruni, Al 
Haytam, Al Razi, Ibnu Sina, dan lain-lain. Al-Qur‟an menjadi 
sumber motivasi bagi mereka. Bagi para ilmuan muslim klasik 
pada masa itu, cara dan tujuan melakukan sains didasarkan 
pada cita-cita Islam. Produk daripada sains menurut mereka 
hanya boleh dipakai untuk penggunaan yang dapat diterima 
oleh Islam.
Dalam bidang kedokteran, terkenal nama Ibnu Sina dan Al￾Razi. Ibnu Sina (370-428 M) atau Avecinna , yang menulis buku 
petunjuk tentang kedokteran, yaitu tentang fisiologi, 
kebersihan, patologi, terapi, dan materi pengobatan. Karyanya 
al-Qanun fi al- Thibb merupakan encyclopedia kedokteran yang 
paling besar dalam sejarah. Al-Razi adalah tokoh pertama 
yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Muhammad 
al-Khawarizmi, ahli matematika yang juga mahir dalam 
astronomi, adalah yang mencipta ilmu aljabar. Kata “aljabar”
berasal dari judul bukunya al-Jabar wa al-Maqabalah.
Dalam bidang llmu Fisika, Hasan Ibnu Haytam (354-430 
M) yang di Eropa dikenal sebagai Alhazen, menemukan optik 
yang kemudian dipakai sebagai dasar bagi karya Roger Bacon 
dan Kepler mengenai teropong, teleskop, dan mikroskop.
Penelitian-penelitian yang dilakukan Ibnu Haytam dan 
karangannya dalam bidang ilmu falak dan metereologi 
memiliki  manfaat besar dalam menemukan hakekat-hakekat 
ilmiah yang penting. Ia membuktikan bahwa bintang-bintang
memiliki sinar khusus yang dikirimnya dan bulan mengambil 
cahaya dari matahari. Ia menghitung ketinggian lapisan udara 
yang mengelilingi bumi dan memperkirakannya sampai 15 km. 
Ia juga memberikan perhatiannya terhadap sebab-sebab 
munculnya bulan sabit, gelap, pelangi, dan juga menemukan 
kacamata pembesar pertama untuk membaca. Ibnu Haytam
juga terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa 
mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut 
teorinya, yang kemudian ternyata benar, bahwa bendalah yang
mengirim cahaya ke mata. (lihat Ahmad Fuad Basya, 2015). 
Dalam bidang ilmu filsafat terkenal Ibnu Farabi sebagai 
komentator Aristoteles, serta Ibnu Rusyd, dan Al-Kindi yang 
banyak mempengaruhi ilmuan Barat. Ibnu Rusyd (520-595 M)
yang dikenal sebagai Averroes sangat besar pengaruhnya di 
Eropa, sehingga pada waktu itu timbul gerakan kebebasan 
berpikir yang disebut gerakan Averroeisme. Berawal dari 
gerakan itulah kemudian lahir reformasi dalam bentuk gerakan 
kebangkitan kembali atau renaissance Pengaruh ilmu 
pengetahuan Islam atas Eropa sudah berlangsung sejak abad 
ke-12, yaitu dengan mempelajari terjemahan Arab yang 
diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Latin. (lihat juga Badri 
Yatim, 1993). 
Demikianlah, banyak buku yang telah ditulis mengenai 
betapa besarnya sumbangan keilmuan Islam kepada peradaban 
dunia, dengan menunjukkan bukti-bukti tentang peranan 
ilmuan muslim dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Banyak diantara ilmuan muslim itu yang ahli dalam lebih dari 
dua bidang ilmu pengetahuan.
5. Faktor pemicu  Majunya Peradaban Islam
 Sejarah mencatat bahwa pada zaman Islam klasik, lebih 
dari 500 tahun lamanya (650-1150) tamaddun Islam mencapai 
kemajuan yang sangat berarti. Itu terutama berlangsung pada 
masa pemerintahan Khilahah Abbasyah. Peradaban Islam 
berada pada abad keemasan (the golden age), sementara dunia 
Eropah pada masa itu masih berada dalam abad gelap (the dark 
age). Apa yang menyebabkan dapat dicapai kejayaan seperti 
itu? 
Ada beberapa pemicu nya.
a. Ilmu dan agama tidak dipertentangkan, keduanya saling 
mengisi. Para filosof dan ilmuan pada masa itu di samping 
memiliki keimanan yang kokoh, juga memiliki etos 
keilmuan yang kuat, mereka juga memiliki etos 
kemanusiaan yang tinggi, yaitu mereka sangat percaya 
akan kemampuan manusia dalam melaksanakan perannya 
sebagai khalifah di bumi.
b. Penguasa pada masa itu sangat mendukung usaha  para 
ilmuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan 
kebudayaan Islam, terutama pada masa pemerintahan 
khalifah Harun al-Rasyid dan Khalifah al-Makmun. Pada 
masa pemerintahan kedua khalifah itu diadakan gerakan 
penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dan juga 
didirikan perpustakaan 
c. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa￾bangsa lain yang lebih dahulu telah maju dalam ilmu 
pengetahuan. Dalam usaha  penyebaran agama Islam ke 
berbagai wilayah di dunia, Islam bertemu dengan berbagai 
kebudayaan baru yang mendorong semangat untuk 
pengembangan ilmu pengetahuan. Misalnya pemerintah 
Abbasiyah memasukkan orang-orang Persia dalam 
pemerintahan, malah juga menggunakan strategi 
perkawinan silang.
d. Kehidupan di dunia Arab pada masa itu berada dalam 
suasana yang relatif aman, sampai datang ancaman dari 
pihak luar yaitu dari bangsa Mongol di bagian Timur dan 
dari pihak Kristen di bagian Barat jazirah Arab. 
Faktor-faktor ini  dapat dipandang sebagai diantara 
sebab majunya peradaban Islam pada masa-masa awal sejarah 
Islam sampai dengan abad ke 12.
6. Faktor pemicu  Mundurnya Peradaban Islam
Terdapat dua faktor internal yang menyebabkan kemun￾duran peradaban Islam pada periode Islam klasik. 
a. Setelah memasuki abad ke 12 M kaum muslim sudah mulai 
meninggalkan tradisi berpikir filsafat, khususnya filsafat 
sains. Mereka sudah lebih cenderung mengembangkan 
kesadaran mistis dan arketisme, lari dari kesadaran kosmis 
atau dunia materi menuju ke dunia sufisme. Penafsiran 
secara rasional terhadap ayat-ayat Al-Qur‟an menjadi 
haram, pintu ijtihaj ditutup rapat-rapat, kegiatan berfilsafat 
dihujat, filosof mulai dicap sebagai kafir. Islam diredusir 
menjadi kegiatan ritual semata atau hanya sebagai ajaran 
moral. Sejak itu peradaban Islam mulai redup cahayanya.
 Memang seperti dikatakan oleh Mohammad Iqbal, bahwa 
Islam (dengan pandangan kosmologinya yang dinamis), 
pada dasarnya tidak dapat menerima kebudayaan 
Helenisme, malah oleh para ulama budaya Helenisme itu 
dipandang dapat membahayakan agama. sebab  itu dari 
kalangan kaum ulama tumbuh gerakan untuk bangkit 
melawan kaum Neo-Platonis Islam yang ada pada waktu 
itu, seperti perkumpulan “Ikhwanussafa” yang berusaha menghancurkan filsafat. Dalam karyanya “Tahafut Al￾Falasifa” Al-Ghazali menunjukkan bahwa ada 20 macam 
persoalan yang ditemuinya dalam karya-karya para filosof 
yang menurutnya merusak ajaran Islam. Sebanyak 17 
macam diantaranya dipandang sebagai bid‟ah, dan 3 
macam lainnya membuat para filosof dicap sebagai kafir 
sebab  dinilai telah menyimpang dari aqidah. Ketiga hal 
itu ialah mengenai: Qadimnya alam, penyangkalan 
terhadap pengetahuan Allah mengenai hal-hal yang 
pertikular, dan penyangkalan terhadap kebangkitan 
kembali. Pandangan Al-Ghazali itu mendapat reaksi dari 
Ibn Rusyd dari Kordoba, yang mengarang kitab Tahafut al 
Tahafut. Selain Tahafut al-Falasifa, Al-Ghazali juga 
mengarang buku penting benama “Ihya Ulumuddin”
(Menghidupkan kembali Ilmu-Ilmu Agama). Pandangan￾pandangannya dalam kitab itu telah membuatnya 
memainkan peranan rekonsiliasi antara dua kubu 
pandangan yang bertentangan dalam Islam, yaitu antara 
pandangan Eksoteris dan pandangan Esoteris. (lihat Aslam 
Hadi, 1986:60).
Dalam dunia Islam klasik telah ada dua golongan yang 
berbeda dalam filsafat ketuhanan, yaitu Asy‟ariyah yang 
berpandangan esoteris, dan Muktazilah yang eksoteris. 
Golongan Asy‟ariyah menganut pandangan yang 
deterministik (jabariah) mengenai alam dan manusia, 
artinya alam dan manusia ini sudah ditentukan sedemikian 
rupa oleh Allah dimana manusia tidak dapat 
mengubahnya. Manusia tidak memiliki kemauan bebas 
(free will) untuk berbuat lain dari yang telah ditentukan itu. 
Golongan Muktazilah ialah golongan yang berpandangan 
rasionalistis. Menurut mereka alam bersifat deterministik, 
tetapi manusia adalah indeterministik sifatnya. Artinya manusia memiliki kemauan bebas (free will) untuk 
menentukan kehidupannya. Menurut kaum Muktazilah, 
determinisme (ketertundukan) manusia hanya berlaku 
pada fungsi dirinya sebagai hamba Allah, bukan pada 
fungsi dirinya sebagai khalifah di bumi, sebagai pengelola 
dan pemakmur kehidupan dunia. sebab  itu manusia tidak 
tergantung pada nasib, tetapi memiliki kebebasan untuk 
merubah nasibnya. Kaum Asy‟ariyah menetang atau 
memusuhi filsafat, sedangkan kaum Muktazilah 
mendukung filsafat dan ilmu pengetahuan. Perseteruan 
antara kedua paham teologis-filosofis itu telah membawa 
sejarah pemikiran Islam pada titik balik yang sangat serius 
pada abad ke-12. Sejak itu peradaban Islam mengalami
kemunduran, dan terus tertinggal dari kemajuan dunia 
Barat sampai sekarang.
b. Secara gradual setelah beberapa peristiwa, kekuatan 
khilafah Abbasyiah menurun. Mereka terjebak perselisihan 
yang berada ditengah-tengah antara bangsa Arab, Persia, 
dan Turki. Sejak awal abad ke-9 M amir-amir yang 

berkuasa di provinsi bagian Timur Persia mulai 
melepaskan diri dari pemerintahan pusat kekhalifahan di 
Bagdad dan mendirikan dinasti-dinasti sendiri seperti 
dinasti Saffariah (867-908 M), dan dinansti Samaniyah (879-
999 M) yang memiliki  peran penting dari sudut 
pandang kultural sebab  mereka adalah pelindung utama 
bahasa Persia. Pergerakan dan kemajuan suku-suku Turki 
telah menyebabkan terjadinya perubahan penting baik dari 
segi politik maupun etnik. Dinasti Ghaznawiyah yang 
berasal usul Turki mengalahkan dinasti Samadiyah dan 
mendirikan kerajaan-kerajaan, dan bahkan kekuasaannya 
sampai ke India. Dinasti Turki yang penting ialah Bani 
Seljuk yang berkuasa hampai 2 abad lamanya (1035-1258 M). Meskipun berasal dari keturunan bangsa Turki, Bani 
Seljuk adalah pelaku utama khasanah budaya Persia. 
Selama masa pemerintahan mereka kesusasteraan Persia 
berkembang pesat dan Persia telah melahirkan beberapa 
penyair besar. (lihat Hossein Nasr, 2003).
Adapun sebagai faktor eksternal yang menjadi pemicu  
kemunduran itu adalah sebab  terjadinya invasi dari pihak luar 
terhadap peradaban Islam. Pada saat bagian barat wilayah 
Islam tidak terpengaruh oleh invasi bangsa Mongol, wilayah 
Timur telah dihancurkan oleh keturunan Jengis khan itu, yang 
mengawalinya dengan merebut daerah Asia Tengah, kemudian 
Persia, Irak, Syria, Palestina dan hanya terhenti oleh pasukan 
Mamalik di Semenanjung Sinai. Bangsa Mongol juga 
menghabisi kekhalifahan Abbasiyah sehingga membawa 
perubahan besar dalam bidang politik dunia Islam. Dengan 
penaklukan Baghdad dan pembunuhan terhadap khalifah 
terakhir Bani Abbas pada tahun 1258 M, dunia Islam memasuki 
fase baru sejarahnya. 
Sejak mundurnya peradaban Islam pada abad ke 13 yang 
kemudian peradaban Barat mulai maju, ternyata peradaban 
Islam masih tertinggal sampai sekarang. Para ilmuan muslim 
kontem-porer menyadari hal itu dan terus berusaha untuk 
membangun kembali peradaban Islam. Ada beberapa usaha  
yang telah dan sedang dilakukan ke arah itu sejak abad ke 15 
H, diantaranya ialah: menggagaskan dan mengembangkan 
konsep Islamisasi ilmu pengetahuan, membangun epistemologi 
sains Islam, dan memajukan kembali pendidikan bagi kaum 
muslimin.
1. Melalui Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islam adalah sebuah sistem agama, kebudayaan dan 
peradaban secara menyeluruh, dimana etika dan nilai-nilainya 
menyerap setiap aktivitas manusia, termasuk di dalamnya 
sains, yang bermakna bahwa ilmu pengetahuan atau sains
tidak mungkin bebas nilai tetapi sarat dengan nilai (value 
laden). Gagasan Islamisasi llmu pengetahuan muncul dari 
keyakinan ini , yaitu sebagai reaksi terhadap konsepsi 
sains modern yang mengatakan bahwa sains netral atau bebas 
nilai (value free). Artinya ilmu pengetahuan modern itu harus 
diislamkan.
Berbicara mengenai Islamisasi ilmu pengetahuan tidak 
dapat dilepaskan dari tiga orang ilmuan muslim yang 
dipandang sebagai penggagas atau pelopornya, yaitu Syed 
Muhammad Naquib al-Attas, Ismail Raji al-Faruqi dan Seyyed 
Hossein Nasr. Berikut ini dikemukakan secara singkat gagasan 
dan usaha  yang dilakukan mereka mengenai Islamisasi ilmu 
pengetahuan. 
Syed Muhammad Naquib al-Attas
 Profesor al-Attas adalah ilmuan warganegara Malaysia, 
lahir di Bogor, negara kita  pada 5 September 1931, putra dari 
Syed Ali Alatas, yang pada usia 5 tahun pindah ke Malaysia. 
Memperoleh gelar MA pada McGill University, Kanada (1962) 
di bidang Teologi dan Metafisika, dan gelar PhD. pada The 
School of Oriental and African Studies, The University of 
London (1966). Ia pendiri Institut Bahasa, Kesusasteraan dan
Kebudayaan Melayu, dan salah seorang pendiri Universitas 
Islam Antar Bangsa, Malaysia (1987) serta pendiri International 
Institute of Islamic Thought and Civilizations (ISTAC) dan menjadi 
pimpinannya (1989-2002). Sejak tahun tahun 1960-an al-Attas 
telah menggagas teori Islamisasi ilmu. Bukunya yang berjudul 
Preliminary Statements on a General Theory of the Islamization of the 
Malay-negara kita n archipelago ditulis tahun1969. 
 Ketika berlangsung konperensi internasional tentang 
pendidikan di Mekkah tahun 1977, al-Attas diundang sebagai 
pembicara utama dimana ia mengatakan bahwa tantangan 
terbesar yang sedang dihadapi oleh umat Islam ialah 
sekularisasi ilmu pengetahuan. Ia mengeritik proses 
sekularisasi ilmu pengetahuan yang terjadi di dunia Barat, dan 
menyampaikan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai 
solusinya. Gagasannya itu dipertajam lagi dalam bukunya 
berjudul Islam and Secularization yang ditulis tahun 1978, dan 
kemudian pada tahun 1995, ide-idenya mengenai Islamisasi 
ilmu pengetahuan dibukukan dengan judul Prolegomena to the 
Metaphysic of Islam.Dalam bukunya berjudul Islam and The Philosophy of Science 
(1989:9) al-Attas mengemukakan bahwa wahyu merupakan 
sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir mengenai 
makhluk dan Penciptanya. Wahyu merupakan dasar bagi 
kerangka metafisis untuk membahas filsafat sains sebagai 
sebuah sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran 
yang diperoleh melalui rasio dan empiri. Tanpa wahyu, realitas 
yang dipahami hanya terbatas kepada alam nyata yang 
dipandang sebagai satu-satunya realitas. Itulah sains sekuler.
Dikatakan bahwa pandangan hidup Islam terdiri dari berbagai 
konsep yang saling terkait, seperti konsep Tuhan, wahyu, 
penciptaan, psikologi manusia, ilmu, agama, kebebasan, nilai 
dan kebaikan serta kebahagiaan. sebab  itu Islam adalah 
agama dan sekaligus peradaban. Kebenaran nilai dalam Islam 
bersifat mutlak sebab  kebenaran nilai Islam akan berlaku 
sepenjang masa. 
 Gagasan Naquib al-Attas tentang Islamisasi ilmu 
pengetahuan yang telah digelutinya selama sekitar 30 tahun, 
dimanifestasikan dalam ISTAC, sebuah lembaga pendidikan 
pascasarjana yang didirikannya pada tahun 1989 di Malaysia. 
Ismail Raji al-Faruqi
 Profesor Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada 1 
Januari 1921. Pendidikan dasar dilaluinya pada College des 
Fretes di Lebanon, dan pendidikan tinggi ditempuh pada The
American University, Bairut. Setelah lulus sarjana ia kembali ke 
Palestina bekerja sebagai pegawai pemerintah. Pada tahun 1947 
ia hijrah ke Amerika Serikat, dan disana ia mulai menekuni 
dunia akademik. Ia meraih gelar Master pertama dalam bidang 
filsafat dari Universitas Indiana (1949), dan gelar Master kedua 
dari Universitas Harvard, sementara gelar doktornya diperoleh 
di Universitas Indiana. Kemudian selama 4 tahun ia 
memperdalam ilmu agama di Universitas al- Azhar, Kairo. 
Setelah itu pada tahun 1959 ia mengajar di Universitas McGill, 
Montreal, Kanada selama dua tahun. Pada tahun 1962 ia 
pindah ke Karatchi, Pakistan, terlibat dalam kegiatan riset. 
Tahun 1962 ia kembali lagi ke Amerika Serikat mengajar di 
Fakultas Agama Universitas Chicago, dan program pengkajian 
Islam di Universitas Syracuse, New York. Tahun 1968 ia pindah 
ke Universitas temple, Philadelphia dimana ia mendirikan 
Pusat Pengkajian Islam di sana. Sementara itu ia juga menjadi 
professor tamu di berbagai universits seperti di Philipina dan di 
Iran. Nasib tragis menimpanya, al-Faruqi dan isterinya Dr. Lois 
Lamya, serta keluarganya terbunuh pada tanggal 27 Mei 1986 
di Philadelphia, dalam satu kerusuhan yang dilakukan oleh 
kelompok teroris. (lihat w.w.w ummahonline.com)
Yang dimaksud dengan Islamisasi ilmu pengetahuan 
menurut Ismail Faruqi ialah mengislamkan semua ilmu, baik 
ilmu kontemporer maupun ilmu-ilmu yang menjadi tradisi 
Islam. Jadi berbeda dengan pengertian islamisasi yang 
dimaksudkan oleh Naquib al-Attas. Definisi Islamization of 
Knowledge menurut Ismail Faruqi adalah sebagai “usaha 
dalam memberikan definisi baru, mengatur data-data, memikir 
kembali argumen dan rasionalisasi berhubung data itu, menilai 
kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan, 
dan melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga semua 
disiplin itu memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi 
cita-cita Islam. 
Menurut Faruqi, tujuan islamisasi ilmu pengetahuan 
adalah untuk menghapuskan secara tuntas dualisme sistem 
pendidikan yang dihadapi oleh umat Islam saat ini, 
menggantikannya dengan paradigma Islam atau sistem 
pendidikan Islam yang dapat menanamkan serta merealisasikan visi Islam dalam ruang dan waktu. 
Dikatakannya bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan yang 
digagaskannya bersandarkan pada prinsip tauhid. Prinsip
tauhid itu dikembangkan menjadi lima macam kesatuan, yaitu: 
1) kesatuan Tuhan, 2) kesatuan ciptaan, 3) kesatuan kebenaran 
dan pengetahuan, 4) kesatuan kehidupan, dan 5) kesatuan 
kemanusiaan. (lihat Ismail Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, 
Pustaka, Bandung, 2003:38-39).
Untuk merealisasikan gagasannya ini , Ismail Faruqi 
bersama teman-temannya mendirikan Internasional Institut 
Pemikiran Islam (International Institute of Islamic Thought, IIIT) 
di Virginia, pada tahun 1981. Untuk melaksanakan rencana 
kerjanya, Ismail Faruqi menyarankan beberapa langkah sebagai 
berikut: 
1. Mengembalikan ilmu tauhid pada kedudukannya sebagai 
teras ilmu dan ilmu tertinggi dalam susunan ilmu 
pengetahuan.
2. Melaksanakan pengajaran ilmu tauhid yang lebih luas 
ruang lingkupnya dan dengan lebih berkesan dengan 
menghubungkan ilmu ini  kepada segala bidang ilmu 
modern dan segala bidang kehidupan manusia dewasa ini.
3. Menghidupkan peranan al-Quran sebagai pencetus 
kemajuan ilmu pengetahuan dan sebagai sumber prinsip￾prinsip ilmu dalam pelbagai bidang.
4. Memupuk sikap yang positif dikalangan orang Islam 
terhadap warisan intelektual tamaddun Islam zaman silam 
dan juga terhadap ilmu pengetahuan modern yang 
dihasilkan oleh orang bukan Islam
5. Mewujudkan iklim yang sehat bagi pertumbuhan ilmu, 
yaitu dengan menggalakkan factor-faktor yang dapat menyuburkan pertumbuhan ilmu dan menghapuskan 
factor-faktor yang menghalangi kemajuannya.
6. Melahirkan segolongan ilmuan yang memiliki  
pengetahuan mendalam tentang tradisi ilmu Islam dan 
pada waktu yang sama menguasai pelbagai bidang ilmu 
pengetahuan yang modern. (lihat Baharuddin Ahmad, 
1994: 139-140).
Pendidikan merupakan bagian penting dari tujuan 
programnya, dan salah satu dampak dari gagasan Islamisasi 
ilmu pengetahuan Ismail Raji al-Faruqi ialah berdirinya 
Universitas Islam Antar Bangsa di Malaysia pada tahun 1983. 
Setelah ia meninggal, namanya diabadikan dengan didirikan 
The Ismail and Lamya al-Faruqi Memorial Fund, oleh organisasi 
warga  Islam Amerika Utara (ISNA), untuk mengenang 
jasa-jasa, usaha, dan karyanya, dan untuk maksud melanjutkan 
cita-cita Islamisasi ilmu pengetahuan. 
Seyyed Hossein Nasr
Prof. Seyyed Hossein Nasr seorang ilmuan muslim 
kelahiran Iran tahun 1933 tetapi lama tinggal di Amerika 
Serikat. Ia dengan sangat gigih mengeritik sains sekuler.
Sebagai solusi terhadap gerakan sekularisasi atau desakralisasi 
ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh Barat, Hossein 
Nasr menggagaskan konsep sains sakral. Ia mengatakan bahwa 
iman tidak terpisah dari ilmu dan ilmu tidak terpisah dari 
iman. Fungsi ilmu adalah sebagai jalan menuju yang sakral. 
Menurutnya desakralisasi ilmu pengetahuan di Barat bermula 
ketika masa renaissance, yaitu ketika rasio mulai dipisahkan 
dari iman, yang kemudian seterusnya terjadilah proses 
sekularisasi, bukan saja dalam studi ilmu tetapi juga dalam 
studi agama. Namun demikian, menurut Hossein Nasr, sains 
sakral yang digagaskannya bukan hanya milik ajaran Islam, tetapi juga dimiliki oleh agama Hindu, Budha, Confusius, 
Taoisme, Majusi, Yahudi, Kristen, dan filsafat Yunani klasik. 
Namun demikian pandangannya mengenai desakralisasi ilmu 
dapat digolongkan ke dalam kegiatan Islamisasi ilmu 
pengetahuan. 
Di negara kita , gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan juga 
menarik perhatian para cendikiawan muslim. Pada tanggal 11 
November 2000 bertempat di Bandung diadakan diskusi atau 
Perdebatan Ontologis-Fungsional mengenai gagasan Islamisasi 
Sains dan Dekonstruksi Sains Modern. (lihat Muflich 
Hasbullah, 2000). Mengenai gagasan Islamisasi ilmu 
pengetahuan yang dibahas dalam diskusi itu, ternyata ada 
yang pro dan ada yang kontra, dan masing-masing pihak 
mengemukakan alasan-alasan yang mendasar. 
Pihak pro menganggap bahwa sistem sains yang banyak 
dikembangkan oleh kaum muslimin sekarang ini adalah sistem 
sains Barat yang bersifat sekuler, banyak mengandung nilai 
yang bertentangan dengan Islam, dan yang mengancam 
kelangsungan kehidupan umat manusia dan lingkungannya. 
sebab  itu sistem pendidikan yang sekuler itu perlu diislamkan 
sebagaimana pernah berkembang dalam peradaban Islam pada 
masa “the golden age of Islam”. Bagi yang kontra antara lain 
berpendapat bahwa sebenarnya tidaklah mudah mengislamkan 
ilmu pengetahuan modern itu, sebab  selain harus mampu 
mengidentifikasi dan memahami dengan benar pandangan 
hidup Islam, tentu harus pula memahami sejarah dan esensi 
peradaban Barat yang mendasari sains modern itu. Apakah mungkin dikembangkan suatu filsafat sains 
Islam? Bagaimana pandangan ilmuan muslin tentang itu? Pada 
tahun 1985, Mahmud Ahmed mengadakan suatu penelitian 
tentang “Etos Islam dan Ilmuan Muslim” untuk mengetahui 
sikap ilmuan muslim, yang muda dan senior terhadap sains 
modern dan tanggapan mereka terhadap sains Islam. 
Ditemukan bahwa para ilmuan muda cenderung waspada 
terhadap nilai-nilai inheren dari sains modern. Selain itu 
sebanyak 71 % dari mereka yakin bahwa nilai-nilai Islam dapat 
menjadi dasar bagi kegiatan keilmuan, sementara hanya 50% 
dari kalangan yang lebih tua yang merasa yakin mengenai hal 
itu. Para ilmuan muslim pada umumnya sepakat mengenai 
perlunya dibentuk sains yang islami, yaitu dengan alasan 
sebagai berikut:
a. Umat Islam memerlukan sebuah sistem sains untuk 
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik yang bersifat 
material maupun spiritual, sebab  sistem sains yang ada 
kini dipandang belum mampu menenuhi kebutuhan 
ini . Sebabnya sebab  sains modern mengandung 
nilai-nilai khas Barat, yang banyak diantaranya yang 
bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Selain itu juga 
sebab  telah terbukti bahwa sains modern itu 
menimbulkan ancaman bagi kelangsungan hidup umat 
manusia.
d. Secara sosiologis umat Islam yang tinggal di daerah yang 
geografis dan kebudayaannya berbeda dengan Barat tentu 
memerlukan suatu sains yang berbeda pula, sebab  sains 
Barat diciptakan guna memenuhi kebutuhan warga ￾nya sendiri.
Umat Islam pernah memiliki suatu peradaban Islam 
dimana sains berkembang sesuai dengan nilai-nilai dan 
kebutuhan umat Islam. Jadi syarat-syarat untuk itu 
sebenarnya mampu dipenuhi, yaitu mencipta kembali 
sians Islam.
f. sebab  belum ada sistem pendidikan yang sesuai dengan 
nilai-nilai Islam. Sistem pendidikan di negara muslim 
sudah terjebak dalam dualisme, yaitu ilmu agama dan 
ilmu sekuler yang memberi tekanan ataupun 
mengabaikan pada salah satu dari keduanya. 
Konsep Sains Islam menurut IFIAS 
Pada tahun 1981 telah diadakan sebuah seminar tentang 
“Pengetahuan dan Nilai” di Stockholm yang diselenggarakan 
oleh International Federation of Institutes of Advance Study (IFIAS) 
yang telah berhasil menentukan 10 konsep Islami yang secara 
bersama-sama membentuk kerangka nilai sains Islam. Konsep 
Islami itu mencakup sifat dasar penelitian ilmiah. Kedudukan 
ke 10 konsep ini  digambarkan dalam diagram sebagai 
berikut:
Gambaran Diagramatik Konsep Islam
Yang Mencakup Sifat Dasar Penelitian Ilmiah
(lihat Nasim Butt, 1996)
1. Tauhid (keesaan Allah)
2. Khilafah (kekhalifahan manusia)
3. Ibadah (ibadah)
4. „Ilm (pengetahuan)
5. Halal (diperbolehkan)
6. Haram (dilarang)
7. „Adl (keadilan)
8. Zhulm (kezaliman)
9. Ishtislah (kemaslahatan umum)
10. Dhiya (kecerobohan)
Inti konsep paradigma sains Islam ialah Tauhid, Khilafah, 
dan „Ibadah, konsep yang menjabarkan peran dan tujuan 
kehidupan manusia, untuk membuat kehidupan manusia dan 
alam menjadi lebih berarti. IFIAS berpendapat bahwa ilmuan 
muslim, lembaga-lembaga, serta pusat sains Islam perlu
memiliki tujuan utama untuk meningkatkan keadilan dan 
kemaslahatan manusia sementara dalam waktu yang 
bersamaan mampu meredam atau menekan kezaliman dan 
kecerobohan (zhulm dan dhiya). Gerakan mencari epistemologi
Islam ini  semakin nyata dengan terbitnya majalah Afkar 
(Inquiry) pada tahun 1984 dimana di dalamnya banyak dibahas 
mengenai epistemologi Islam.
Konsep Episemologi Islam menurut Ziauddin Sardar 
Ziauddin Sardar adalah seorang jurnalis dan intelektual 
Islam asal Pakistan yang dibesarkan di Inggeris. Dalam 
bukunya “Jihad Intelektual (1988), Ziauddin Sardar menjelas￾kan bahwa worldview (pandangan dunia) tentang Islam masih 
belum tepat. Banyak intelektual muslim memandang Islam 
dalam makna yang sangat sempit dan mengikat. Gambaran 
tentang cara hidup Islam sering digambarkan dalam bentuk 
atomic dan segregated (terpisah-pisah). Menurut Sardar, Islam 
harus dilihat sebagai peradaban. Ia menegaskan bahwa “hanya 
dengan mendekati Islam sebagai peradaban masa depan, dan 
hanya dengan menyajikan Islam sebagai suatu peradaban yang 
hidup dan dinamis, kita dapat menggapai tantangan yang 
menghadang dari Barat secara sungguh-sungguh.”
sebab  itu, dalam usaha  membangun kembali peradaban 
muslim, membutuhkan pendekatan terhadap Islam sebagai peradaban. Hal itu secara esensial merupakan suatu proses 
elaborasi pandangan dunia Islam, dimana proses teoritis dan 
praktis saling membantu satu sama lain (teori membentuk 
praktek dan perilaku, dan praktek mempertajam teori). 
Peradaban muslim menurutnya merupakan sebuah kontinum 
sejarah: ia ada pada masa lampau, ada pada masa kini, dan ada 
pada masa depan. Menurutnya ada 7 (tujuh) bidang peradaban 
yang memerlukan elaborasi dan merupakan prasyarat pokok 
untuk merekonstruksi peradaban muslim. Ketujuh bidang itu 
ialah:
1. Pandangan dunia (worldview) tentang Islam
2. Epistemologi
3. Syariah
4. Struktur Sosial politik
5. Kegiatan ekonomi
6. Sains dan teknologi
7. Lingkungan
Kedudukan dan peran ke-7 bidang ini  digambarkan 
dalam bentuk sekuntum bunga, yaitu sebagai berikut:Sekuntum bunga yang dimaksud terdiri atas inti bunga 
dan kelopak bunga. Pada inti bunga terdapat tiga lapis yang 
meliputi Pandangan dunia (worldview) Islam, Epistemologi 
Islam, dan Syariah, sedangkan pada kelopak bunga tergambar 
empat bidang kehidupan atau aspek peradaban (bisa saja 
sekuntum bunga memiliki lebih dari empat kelopak bunga).
3. Melalui Pendidikan 
Dalam hubungan dengan pendidikan, salah satu masalah 
utama yang dihadapi umat Islam ialah adanya dualisme dalam 
sistem pendidikan, yaitu sistem pendidikan Islam dan sistem 
pendidikan sekuler, atau yang sering disebut dualisme antara 
pendidikan agama dan pendidikan umum. Menurut Mahdi 
Ghulsyani (1983) hal itu terjadi sebab  banyak madrasah atau 
lembaga pendidikan Islam tidak lagi memasukkan dalam 
kurikulumnya seluruh ilmu-ilmu kealaman kecuali astronomi 
dan matematika. Selain itu orang Islam yang menuntut ilmu￾ilmu empiris kebanyakan terasing dari ilmu-ilmu agama. 
Akibat dari pada penghapusan studi ilmu-ilmu kealaman 
dalam kurikulum madrasah dan kurangnya hubungan sarjana￾sarjana agama dengan sumber-sumber ilmu modern, telah 
menimbulkan munculnya dua aliran intelektual dikalangan 
muslim, yaitu: (a) kaum muslim yang berada di bawah 
pengaruh kemajuan Iptek Barat yang berdasarkan pada 
empiris, malah ada yang mencoba menafsirkan Al-Quran dan 
hadit sesuai dengan pengetahuan ilmu empiris ini , dan (b) 
sarjana yang menganggap teori-teori ilmiah bertentangan 
dengan doktrin Islam dan sebab  itu menentang sains dan 
hanya memegang agama, sehingga terjadi dualisme dan 
menciptakan konflik antara ilmu dan agama. Ghulsyani 
mengatakan: “Jika garis demarkasi antara agama dan ilmu 
pengetahuan dibuat jelas, maka tidak ada alasan bagi konflikantara keduanya, malahan mereka akan saling menyempurna￾kan. 
Terjadinya dikotomi dan konflik antara agama dan ilmu 
pengetahuan merupakan fator penting yang telah 
menyebabkan kemunduran peradaban Islam. Mengenai 
dualisme dalam sistem pendidikan Islam itu Ahmad Syafii 
Ma’arif mengatakan apabila konsep dualisme dikotomis 
berhasil ditumbangkan, dalam jangka panjang sistem 
pendidikan Islam akan berubah secara keseluruhan. Tindakan 
peleburan itu tentu saja merupakan langkah strategis, asalkan 
peleburan ini  berdasarkan rumusan filofofis, metodologi 
keilmuan, proses, sampai pada tingkat departemental, sehingga 
tidak ada lagi pengkotakan-pengkotakan ilmu ke dalam “ilmu 
umum” dan “ilmu agama”. Mencermati masalah ini  maka 
salah satu usaha yang harus dilakukan oleh umat Islam di 
berbagai warga  muslim ialah memperbaharui sistem 
pendidikannya, terutama dalam usaha  menghilangkan 
dualisme sistem pendidikan itu.
Di negara kita , usaha  memperbaharui sistem pendidikan 
Islam untuk menghilangkan dualisme pendidikan itu menjadi 
perhatian berbagai organisasi warga  dan cendekiawan 
muslim. Ada yang berusaha menyatukan sistem pendidikan 
tradisional di madrasah dan pesantren yang sangat 
menekankan pada pengetahuan agama Islam dengan sistem 
sekolah warisan kolonial yang mementingkan pengetahuan 
umum. Namun usaha seperti itu belum banyak berhasil dalam 
usaha  menghilangkan dualisme dikotomis dalam pendidikan 
Islam di negara kita .
Hujair AH Sanaky, dalam bukunya “Pembaharuan 
Pendidikan Islam”Menuju warga  Madani negara kita  (2015),
menyarankan konsep pendidikan madani yang memberdaya-kan dan membebaskan, yaitu pendidikan yang berbasis pada 10 
nilai Islami, yaitu: religious, demokrasi, sikap toleransi, hukum, 
sikap egalitarian, menjunjung tinggi martabat manusia, 
kemajemukan budaya, wawasan global, anti kekerasan dan anti 
korupsi. Saran ini  didasarkan pada hasil analisisnya 
terhadap tiga macam corak sistem pendidikan Islam yang 
sudah lama berkembang di negara kita , yaitu: corak tradisional 
klasik, corak modern sekuler, dan corak konvergensi. 
 Di Malaysia, juga berkembang berbagai gagasan untuk
memperbaharui sistem pendidikan Islam di negeri itu. Syed 
Naguib Al-Attas melalui ISTAC dan Universiti Islam Antar 
Bangsa di Malaysia sedang terus mengembangkan konsep 
mengenai sistem pendidikan Islami dan filsafat Sains Islam 
yang sesuai dengan nilai-nilai dan etika Islam.
4. Saran-Saran Ilmuan Muslim
Dalam hubungan dengan usaha  membangun kembali 
peradaban Islam, berikut ini akan dikemukakan pendapat dan 
saran sejumlah ilmuan muslim.
Mahdi Gholsyani, ilmuan muslim asal Iran lahir tahun 
1939 di Isfahan. Dalam bukunya “Sains Islam Menurut Al￾Quran” (2003:60) ia mengatakan bahwa dunia muslim perlu 
berusaha  untuk membawa kebangkitan kembali dunia 
keilmuan. Dalam hal itu ia menyarankan:
1. supaya   umat Islam mempelajari semua ilmu yang berguna 
dari orang lain, seperti yang pernah dilakukan oleh para 
sarjana dan ulama pada abad-abad pertama zaman Islam. 
Kita harus mampu membebaskan pengetahuan ilmiah dari 
penafsiran materialistik Barat dan mengembalikannya ke 
dalam konteks pandangan dunia dan ideologi Islam.2. Bentuk gabungan yang ada antara ilmu-ilmu agama dan 
ilmu-ilmu kealaman pada zaman puncak tamaddun Islam 
harus dibangun kembali, sebab  titik akhir antara agama 
dan ilmu-ilmu kealaman tidak ada konflik. Agama 
mengajarkan bahwa seluruh penciptaan diorientasikan 
kepada Allah. 
3. Negara-negara muslim perlu mengambil langkah untuk 
melatih para spesialis di dalam segala bidang keilmuan dan 
industri yang penting. Pusat-pusat riset harus didirikan 
oleh seluruh komunitas muslim, sehingga sarjana muslim 
dapat bekerja tanpa kecemasan.
4. Penyelidikan ilmiah harus dipikirkan sebagai sebuah 
pencarian penting dan mendasar, dan bukan seadanya. 
Mengimpor teknologi harus disertai dengan riset yang asli 
(indigenous).
5. Harus ada kerjasama antara negara muslim dalam masalah 
iptek. Perlu diciptakan jaringan komunikasi antar 
universitas, dan kerjasama lembaga R&D harus dibentuk 
antara negara muslim dimana para ilmuan muslim dapat 
bekerjasama.
Nurcholis Madjid (1939-2012) seorang tokoh 
cendekiawan muslim negara kita , dalam bukunya “Kaki Langit 
Peradaban Islam” (1977) menulis bahwa ilmu pengetahuan 
dan seluruh peradaban Islam adalah ilmu pengetahuan dan 
peradaban yang berlandaskan iman kepada ajaran-ajaran Allah, 
yang dikembangkan dengan mengambil keseluruhan warisan 
kemanusiaan setelah dipisahkan mana yang benar dan mana 
yang salah, yang baik dan yang buruk, yang haq dari yang 
bathil. Hasilnya ialah ilmu pengetahuan dan peradaban yang 
kosmopolit dan universal, menjadi milik semua umat manusia 
dan bermanfaat untuk seluruh umat manusia. Ia juga menulis bahwa warga  Islam klasik itu merupakan warga 
manusia yang pertama menginternasionalkan ilmu pengeta￾huan, yang sebelumnya bersifat parokhialistik (kedaerahan, 
primordial). Dan mereka sangat tinggi etos keilmuannya. Pada 
zaman pra modern tidak ada warga  manusia yang 
memiliki etos keilmuan yang begitu tinggi seperti pada 
warga  muslim. Etos keilmuan itulah yang kemudian
diwariskan oleh peradaban Islam kepada Barat, kemudian 
dikembangkan oleh Barat begitu rupa, sehingga mereka justru 
mendahului kaum muslim memasuki zaman modern, dan 
membuat kaum muslim dalam kesulitan yang besar.
Dalam usaha  membangun kembali ilmu pengetahuan dan 
peradaban Islam, Nurcholis Madjid (1977:16) menyarankan 
beberapa hal yang diperlukan oleh umat Islam, yaitu:
1. Membangkitkan kembali etos intelektual Islam klasik, yaitu 
keyakinan bahwa bahwa ilmu pengetahuan adalah 
universal, bersifat kosmopolit, dan sikap ilmuan tidak 
parochialistik.
2. Membangkitkan kembali etos kemanusiaan, yaitu sikap 
percaya kepada manusia dan kekuatannya, sebab inilah 
yang merupakan dasar kosmopolitanisme Islam masa 
lampau.
3. Berpandangan optimistik dan positif terhadap alam, sebab  
Quran menegaskan bahwa alam ini baik dan berguna.
4. Perlu dikembangkan berbagai nilai asasi yang lain, yang 
selain benar dan baik pada dirinya, juga merupakan 
pendukung bagi kreativitas ilmiah, misalnya nilai 
kebebasan berpikir, berpendapat dan berbicara, sikap 
demokratis yang ditandai dengan kesanggupan meng￾hargai pandangan yang berbeda, semangat keterbukaan, gemar belajar dimana saja, berpaham kemajemukan, dan 
sebagainya.
5. Berpandangan jauh ke depan berdasarkan iman kepada 
Allah swt.
Fazlur Rahman (1919-1988) tokoh ilmuan muslim asal 
Pakistan, seorang yang dikenal sebagai juru bicara 
Neomodernisme Islam. Ia sangat kritis terhadap gagasan 
Islamisasi ilmu pengetahuan dan usaha  mencari epistemologi 
Islam. Dalam tulisannya berjudul Islamisasi Ilmu: Sebuah 
Respon (2000:66) ia mengatakan bahwa yang sangat perlu 
dilakukan ialah mendidik sebanyak mungkin para pemikir atau 
ilmuan muslim yang memiliki kapasitas berfikir konstruktif 
dan positif sebab seorang ilmuan muslim dengan sendirinya 
akan menghasilkan ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada 
nilai-nilai Islam. Ia menawarkan pendekatan “mengislamkan” 
pendidikan sekuler modern yang secara umum telah 
berkembang di dunia Barat, yaitu dengan mengisinya dengan 
konsep tertentu dari Islam. Dengan pendekatan ini menurutnya 
akan dapat dicapai dua tujuan (a) membentuk watak siswa dan 
mahasiswa dengan nilai Islam, dan (b) para ahli yang 
berpendidikan modern akan meningkatkan karya dalam 
bidangnya masing-masing dengan perspektif Islam. 
Osman Bakar, seorang tokoh ilmuan muslim dari 
Malaysia, dalam bukunya “Tauhid & Sains : Perspektif Islam 
tentang Agama dan Sains” (2008:399) mengatakan bahwa umat 
Islam sekarang perlu membulatkan tekat untuk menghidupkan 
kembali tamaddun Ilmu berdasarkan tauhid sesuai dengan 
tuntutan agama Islam. Dalam bukunya itu dia menyarankan 
beberapa langkah program sebagai berikut:1. Perlu kesadaran religious sebagai daya dorong untuk 
menuntut sains dan teknologi. Dari pemahaman yang 
benar tentang semangat tauhid mengalirlah penghargaan 
terhadap pengetahuan.
2. Perlu ketaatan pada syariah sebab  itu mengilhami studi 
atas berbagai ilmu.
3. Perlu adanya gerakan penerjemahan besar-besaran yang 
bertahanlama selama berabad-abad.
4. Perlu disuburkan filsafat yang tertuju pada pengajaran, 
kemajuan dan pengembangan ilmu pengetahuan
5. Perlu diperluas santunan bagi aktivitas sains dan teknologi 
oleh pemerintah.
6. Perlu adanya iklim intelektual yang sehat sebagaimana 
diilustrasikan oleh fakta bahwa para sarjana dari berbagai 
mashab pemikiran (hukum, teologi, filsafat, dan spiritual) 
melangsungkan debat intelektual secara jujur dan rasional 
tetapi dalam semangat saling menghormati. Perdebatan 
ilmiah antara Ibnu Sina dan Al-Biruni pada abad kesepuluh 
merupakan salah satu yang paling luar biasa dalam sejarah 
intelektual Islam.
7. Perlu adanya peran penting yang dimainkan oleh lembaga￾lembaga pendidikan dan ilmiah, terutama oleh universitas￾universitas.
8. Perlu adanya keseimbangan yang dicapai oleh perspektif￾perspektif intelektual Islam yang utama.
Menurut Osman Bakar ke-8 macam hal ini  diatas 
merupakan factor internal terpenting yang menyebabkan 
keunggulan prestasi kaum muslimin di masa lampau di bidang 
sains dan teknologi, atau faktor pemicu  kemajuan peradaban 
Islam pada periode “the golden age”. Faktor-faktor pemicu  
kegemilangan peradaban Islam di masa lampau itu dipandang patut dijadikan inspirasi dan dipakai sebagai langkah-langkah 
positif dalam usaha membangun kembali peradaban Islam 
yang pada masa sekarang ini, yang sudah jauh merosot 
dibandingkan ketika periode keemasan.