Rabu, 13 September 2023
Menurut Pandangan Majelis Ulama negara kita (MUI)
Majelis Ulama negara kita yaitu lembaga pemerintah yang
membidangi masalah penyelesaian hukum warga melalui
penetapan fatwa. Setiap permasalahan hukum warga harus
dijawab oleh MUI dengan suatu ketetapan hukum untuk menjadi
arah dan pedoman bagi warga dalam bertindak. Sejauh ini
peran MUI cukup signifikan dalam menata kehidupan warga
susaha dapat berjalan di atas jalur hukum Islam.
Salah satu permasalahan yang turut di atur oleh MUI yaitu
mengenai LGBT yang belakangan ini marak dibicarakan oleh
warga . MUI telah menetapkan hukum bagi permasalahan ini
melalui Fatwa Nomor 57 Tahun 2014 tentang Lesbian, Gay, Sodomi
dan Pencabulan. Fatwa ini ditetapkan berdasar realitas
warga yang menghendaki adanya ketetapan hukum bagi
perilaku LGBT yang sedang marak terjadi dalam warga . Sebagai
lembaga yang berwenang menetapkan hukum Islam, MUI membahas
dan merumuskan fatwa mengenai kedudukan hukum LGBT menurut
Islam.
Dalam fatwa ini , MUI menetapkan sebelas butir hukum
seputar LGBT, yaitu:
1. Hubungan seksual hanya dibolehkan bagi seseorang yang
memiliki hubungan suami isteri, yaitu pasangan lelaki dan
wanita berdasar nikah yang sah secara syar’i.
2. Orientasi seksual terhadap sesama jenis yaitu kelainan yang
harus disembuhkan serta penyimpangan yang harus
diluruskan.
3. Homoseksual, baik lesbian maupun gay hukumnya haram,
dan yaitu bentuk kejahatan (jarimah). 4. Pelaku homoseksual, baik lesbian maupun gay, termasuk
biseksual dikenakan hukuman had dan/atau ta’zir oleh pihak
yang berwenang.
5. Sodomi hukumnya haram dan yaitu perbuatan keji
yang mendatangkan dosa besar (fahisyah).
6. Pelaku sodomi dikenakan hukuman ta’zir yang tingkat
hukumannya maksimal hukuman mati.
7. Aktifitas homoseksual selain dengan cara sodomi (liwath)
hukumnya haram dan pelakunya dikenakan hukuman ta’zir.
8. Aktifitas pencabulan, yakni pelampiasan nasfu seksual seperti
meraba, meremas, dan aktifitas lainnya tanpa ikatan
pernikahan yang sah, yang dilakukan oleh seseorang, baik
dilakukan kepada lain jenis maupun sesama jenis, kepada
dewasa maupun anak hukumnya haram.
9. Pelaku pencabulan sebagaimana dimaksud pada angka 8
dikenakan hukuman ta’zir.
10. Dalam hal korban dari kejahatan (jarimah) homoseksual,
sodomi, dan pencabulan yaitu anak-anak, pelakunya
dikenakan pemberatan hukuman hingga hukuman mati.
11. Melegalkan aktifitas seksual sesama jenis dan orientasi
seksual menyimpang lainnya yaitu haram.57
berdasar fatwa di atas dapat dipahami bahwa MUI
memandang perilaku LGBT sebagai bentuk penyimpangan seksual
yang haram hukumnya dan mesti dijauhi oleh umat Islam. Setiap
perilaku LGBT ada hukuman yang berat dalam bentuk had
maupun ta’zir, bahkan bila yang menjadi korban yaitu anakanak, maka hukumannya bertambah berat berupa hukuman mati.
MUI menetapkan perilaku LGBT sebagai kejahatan (jarimah), baik
lesbian, gay, biseksual dan lainnya. Maka mereka akan dikenakan
hukuman sebab perilaku ini .
MUI mempunyai sejumlah alasan maupun dalil yang
dijadikan sandaran bagi larangan LGBT. Di antaranya bahwa perilaku
LGBT telah menyimpang dari fitrah manusia yang diciptakan secara
berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan. Dan secara fitrah pula
hasrat seksual manusia kepada pasangannya yang berlainan jenis,
bukan sesama jenis. Di antara dalil yang menjelaskan tentang fitrah
manusia yaitu QS. Al-Nisa (4) : 1 dan QS. Al-Rum (30) : 21 yang
berbunyi:
a. QS. Al-Nisa (4) : 1
َ
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya
Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu
sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
(QS. Al-Nisa (4) : 1)
Ayat di atas mengandung perintah susaha manusia bertakwa
kepada Allah Swt yang telah menciptakan mereka dari tubuh yang
satu yaitu Nabi Adam as. Lalu dari tulang rusuk kiri Nabi Adam as
diciptakan pula isterinya Siti Hawa dari jenis kelamin yang lain
sebagai pasangan hidup atau isteri. Dari keduanya lalu lahirlah
keturunan manusia laki-laki dan perempuan dalam jumlah yang
banyak untuk tinggal di bumi dan memakmurkannya.
Jadi jelaslah bahwa manusia diciptakan secara berpasangpasangan, dan diperintahkan untuk menikah dengan pasangannya
yang berlainan jenis, sebagaimana pernikahan Nabi Adam dan Siti
Hawa. Pernikahan dengan lawan jenis yaitu fitrah manusia
susaha dapat berkembang biak melanjutkan keturunan. sedang
pernikahan sesama jenis yaitu perkara yang absurd (tidak
menghasilkan keturunan) dan juga melanggar fitrah manusia
sebagaimana telah ditakdirkan Allah Swt. Artinya: dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
susaha kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
ada tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Al-Rum:
21)
Ayat ini menjelaskan tentang proses penciptaan isteri bagi
Nabi Adam as maupun bagi laki-laki anak cucu Adam. Allah Swt
menciptakan pasangan hidup (isteri) bagi setiap laki-laki dari tulang
rusuk kirinya, susaha laki-laki merasa nyaman berada di samping
isterinya. lalu Allah Swt mencurahkan rasa cinta dan kasih
sayang antara pasangan kekasih susaha hidup mereka langgeng dan
bahagia. Sesungguhnya hal itu yaitu tanda-tanda kebesaran
Allah bagi manusia yang mau berfikir.
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa pernikahan yang
mampu mewujudkan kebahagian hakiki jika dilakukan dengan
pasangan yang berlainan jenis, bukan sesama jenis. Allah
menciptakan wanita sebagai pasangan bagi laki-laki, bahan baku
penciptaan wanita yaitu bagian tubuh dari laki-laki
pasangannya. Sehingga keduanya merasa cocok dan tenang hidup
bersama. sedang pernikahan sesama jenis sulit mencapai
kebahagian, sekalipun nampak ada kebahagiaan namun itu hanyalah
fatamorgana dan sementara. Biasanya hubungan sesama jenis tidak
bertahan lama.
Selain dua ayat di atas, mengenai fitrah manusia dalam
pernikahan dapat pula dipahami dari QS. Al-Nisa (4) : 3 yang
berbunyi:
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. lalu jika kamu
takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang
demikian itu yaitu lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya. (QS. Al-Nisa (4) : 3)
Ayat di atas menjelaskan tentang kebolehan melakukan
poligami bagi seorang lelaki sampai empat orang isteri yang
dianggapnya baik. Lelaki boleh berpoligami (mempunyai isteri lebih
dari satu) jika mampu berlaku adil kepada isteri-isterinya. Ayat ini
juga menunjukkan bahwa pasangan lelaki yaitu wanita, bahkan
seorang lelaki boleh menikahi sampai empat orang wanita sekaligus.
Dengan demikian sudah jelas bahwa pasangan lelaki yaitu wanita,
ini sesuai dengan fitrah kemanusiaannya, orang-orang yang
menikah sesama jenis termasuk golongan yang ingkar dan durhaka.
MUI menggunakan ketiga dalil di atas untuk menjelaskan
tentang fitrah manusia, sekaligus menjadi dalil bagi larangan
perilaku LGBT yang dianggap menyalahi fitrah. lalu untuk
menguatkan fatwa larangan LGBT, MUI juga menggunakan dalil
lainnya yang mengandung perintah kepada manusia untuk menjaga
kemaluan dan menyalurkan hasrat seksual dengan cara yang
dibenarkan oleh syara’. Allah berfirman:
ُ
Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah
mereka menahan pandanganya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu yaitu lebih suci bagi
mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang
mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman:
Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya... (QS. Al-Nur: 30-31)
Ayat di atas menunjukkan perintah kepada manusia baik
lelaki maupun perempuan untuk menjaga mata mereka dari
memandang sesuatu yang haram, dan juga menjaga kemaluan dari
melampiaskan hasrat seksual kepada yang haram dan menyimpang,
seperti berzina, liwath (sodomi) dan sihaq (lesbian). Perbuatanperbuatan ini yaitu bentuk pelampiasan hasrat seksual yang
terlarang dan menyimpang. Umat Islam dilarang melakukannya dan
harus menjaga kemaluan mereka dari perbuatan-perbuatan ini .
Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
ِ ْ َ
Artinya: Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya. kecuali
terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka
miliki, Maka Sesungguhnya mereka dalam ini tiada
tercela. (QS. Al-Ma’arij: 29-30)
Ayat di atas menjelaskan bahwa sebagian dari ciri orang
mukmin yaitu mereka yang menjaga kemaluannya dari yang haram,
sebaliknya mereka menyampaikan hajat seksualnya kepada isteri
atau budak yang dimiliki secara sah. Penyaluran syahwat secara
sah/halal tidak ada cela padanya, bahkan sangat dianjurkan.
Sebaliknya penyaluran syahwat secara haram sangat dicela, misalnya
seseorang berzina dengan selain isteri dan budaknya, sodomi dan
lain sebagainya. Allah Swt telah menetapkan cara terbaik untuk
menyalurkan hajat seksual melalui pernikahan atau memiliki budak.
lalu mengenai larangan hubungan seksual sesama
jenis, MUI memahaminya dari kandungan QS. Al-Syu’ara (26) : 165-
166 yang berbunyi:
Artinya: Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia.
dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh
Tuhanmu untukmu, bahkan kamu yaitu orang-orang yang
melampaui batas (QS. Al-Syu’ara (26) : 165-166).
Ayat ini mengisahkan tentang kaum Nabi Luth as yang
menyukai sesama jenis, padahal saat itu ada perempuanperempuan yang bisa mereka nikahi. Namun mereka tidak
menikahinya, akan namun lebih menyukai kepada sesama jenis. Allah
Swt menyebutkan mereka sebagai kaum pembangkang, sebab telah
melangkahi fitrah yang telah ditetapkan Allah susaha menyalurkan
nafsu syahwatnya kepada lawan jenis.
Dalam ayat yang lain, Allah Swt juga mengisahkan perilaku
kaum Luth as yang menyukai sesama jenis, yaitu QS. Al-‘Araf (7) : 80-
81 yang berbunyi:
Artinya: dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya).
(ingatlah) tatkala Dia berkata kepada mereka: "Mengapa
kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum
pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini)
sebelummu?" Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk
melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada
wanita, malah kamu ini yaitu kaum yang melampaui
batas. (QS.Al-‘Araf (7) : 80-81)
Dalam ayat ini dikisahkan bahwa Nabi Luth as menegur
kaumnya yang melakukan perbuatan keji (fahisyah) yang belum
pernah dilakukan oleh umat sebelum mereka, yaitu menyukai
sesama jenis (homoseksual). Padahal saat itu ada perempuanperempuan yang dapat dinikahi, namun mereka tidak menyukai dan
tidak mau menikahinya. Mereka dianggap kaum yang melampaui
batas, Allah Swt telah menurunkan azab yang dasyat sebagai
peringatan bagi mereka dan umat sesudah mereka.
Sesuai dengan maksud ayat di atas Allah juga berfirman pada
ayat lain yang bunyinya:
Artinya: Dan (ingatlah kisah) Luth, saat Dia berkata kepada
kaumnya: Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah
itu sedang kamu memperlihatkan(nya)?. Mengapa kamu
mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan
(mendatangi) wanita? sebenarnya kamu yaitu kaum yang
tidak mengetahui (akibat perbuatanmu). (QS. Al-Naml (27) :
54-55)
Ayat ini juga juga mengisahkan tentang Nabi Luth as yang
menegur kaumnya sebab menyukai sesama jenis, beliau mengajak
kaumnya untuk melihat dan memikirkan perbuatan homoseksual
yang mereka lakukan. Sesungguhnya yaitu perilaku orang
bodoh dan tidak menyadari akibat negatifnya. Kaum Nabi Luth as
sama sekali tidak peduli dengan ajakan beliau, bahkan mereka
bertambah ingkar dan menantang Nabi Luth as untuk mendatangkan
azab untuk membuktikan kekeliruan perbuatan mereka. ini
dipahami dari kandungan QS. Al-‘Ankabut (29) : 28-29 yang
berbunyi:
Artinya: Dan (ingatlah) saat Luth berkata kepada kaumnya:
"Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan
yang Amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh
seorangpun dari umat-umat sebelum kamu". Apakah
Sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun
dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat
pertemuanmu? Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya
mengatakan: "Datangkanlah kepada Kami azab Allah, jika
kamu Termasuk orang-orang yang benar". (QS. Al-‘Ankabut
(29) : 28-29)
Mereka menantang Nabi Luth as susaha mendatangkan azab
jika yang mereka lakukan itu salah, lalu tantangan mereka dijawab
oleh Allah Swt dengan menurunkan azab kepada mereka yaitu
menjungkir-balikkan negeri itu dan menurunkan hujan belerang
yang panas dari api neraka secara bertubi-tubi ke atas mereka.
Perihal bencana yang menimpa kaum Luth as diabadikan oleh Allah
Swt dalam QS. Hud : 82 yang berbunyi:
ََ Artinya: Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum
Luth itu yang di atas ke bawah (kami balikkan), dan Kami
hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan
bertubi-tubi (QS. Hud (11) : 82)
Allah Swt mengangkat negeri sodom ke langit, lalu
melemparkannya kembali ke bumi sehingga hancur berkepingkeping. Setelah itu Allah Swt menurunkan hujan belerang yang panas
dari api neraka untuk membakar tubuh mereka. Musibah yang sangat
dasyat ini ditimpakan kepada mereka akibat keingkaran dan
perbuatan keji yang mereka lakukan. Sesungguhnya musibah yang
menimpa Bangsa Sodom ini menjadi pelajaran bagi umat sekarang
untuk tidak mengulangi perbuatan yang sama, dan bukan tidak
mungkin musibah seperti itu kembali terjadi jika perilaku LGBT
kembali merajalela.
Selain Al-Quran, MUI juga menggunakan beberapa hadis
sebagai dalil larangan perilaku LGBT, antara lain:
َ
Artinya: Dari Abdullah ibn Mas’ud ra. Berkata: Nabi SAW. Bersabda:
“Tidaklah wanita bersentuhan kulit (dalam satu busana)
dengan wanita, maka ia akan membayangkannya itu
suaminya yang seolah sedang melihatnya. (HR. Al-Bukhari)
Hadis ini menjelaskan bahwa perilaku dua orang perempuan
atau lebih yang saling menyentuh anggota badan satu sama lain
dengan membayangkan seolah-olah itu suaminya yaitu
perbuatan yang haram. Perilaku yang demikian disebut sihaq
(lesbian), yaitu perempuan yang menyukai sesama jenis dan
melakukan hubungan seksual sesama perempuan. Mereka tidak
menyukai laki-laki.
Artinya: Dari Abdur Rahman ibn Abu Sa'id Al-Khudri dari ayahnya,
bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda: "Tidak boleh lelaki
melihat aurat lelaki, dan tidak boleh wanita melihat aurat
wanita, tidak boleh lelaki bersentuhan kulit dengan lelaki
dalam satu busana, dan tidak boleh wanita bersentuhan kulit
dengan wanita dalam satu busana". (HR. Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa seorang laki-laki tidak
dibolehkan melihat kepada aurat laki-laki lain, demikian pula
perempuan dilarang melihat aurat perempuan lain. Selain itu, baik
laki-laki maupun perempuan dilarang berkumpul dalam satu selimut
dengan sesama jenis, ini menunjukkan bahwa laki-laki dan
perempuan dilarang memuaskan nafsu syahwatnya kepada sesama
jenis, yaitu saling merangsang satu sama lain.
َ
Artinya: Dari Abu Hurairah, berkata: Rasulullah SAW. bersabda:
"Janganlah wanita bersentuhan kulit (tanpa busana) dengan
wanita lain, dan janganlah lelaki bersentuhan kulit (tanpa
busana) dengan lelaki lain". (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Hadis ini secara lebih spesifik melarang perempuan untuk
bersentuhan kulit dengan perempuan lain dalam keadaan tanpa
busana, artinya kedua saling merangsang satu sama lain. Demikian
pula antara laki-laki juga tidak boleh saling bersentuhan kulit sesama
laki-laki dengan tujuan untuk merangsang hasrat seksual satu sama
lain. Hadis ini menunjukkan larangan perilaku gay dan lesbian, yaitu
perilaku individu yang menyukai sesama jenis (homoseksual).
Hukum gay dan lesbian sama dengan zina, sebagaimana
dipahami dari hadis yang berbunyi:
Artinya: Dari Abu Musa, berkata: Rasulullah SAW. bersabda: "jika
lelaki menggauli lelaki, maka keduanya berzina. Dan jika
wanita menggauli wanita, maka keduanya berzina. (HR. AlBaihaqi)
Dalam hadis ini Rasulullah Saw menerangkan bahwa laki-laki
yang berhubungan seksual sesama laki-laki, dan perempuan yang
melakukan hubungan seksual sesama perempuan sama dengan
mereka telah berzina, artinya perilaku mereka dianggap sebagai
perbuatan zina sehingga mesti dihukum dengan had. Hadis ini
menunjukkan bahwa homoseksual yaitu dosa besar yang sangat
dilarang dalam Islam. Perbuatan ini tidak bedanya dengan zina
dari segi hukuman.
Dalam hadis yang lain Rasulullah Saw secara khusus
menerangkan tentang hukum lesbian, yaitu:
َ
Artinya: Dari Watsilah ibn Al-Asqa', berkata: "hubungan seksual
wanita dengan sesama wanita itu zina". (HR. Al-Baihaqi)
Hadis ini menegaskan bahwa perempuan lesbian yang
berhubungan seksual dengan pasangannya yang perempuan
sesungguhnya kedua telah berzina dan patut diberikan hukuman
had. Rasulullah Saw sangat mengkhawatirkan perbuatan
homoseksual terjadi terhadap umatnya. Sehingga dalam sebuah
hadis beliau menyebutkan bahwa hal itu salah satu yang sangat
ditakutinya jika terjadi.
Artinya: Dari 'Abdullah ibn Muhammad ibn 'Uqail, bahwasanya ia
mendengar Jabir berkata: Rasulullah SAW. bersabda:
"Sesungguhnya apa yang saya khawatirkan menimpa umatku
yaitu perbuatan umat Nabi Luth". (HR. At-Tirmidzi)
Dalam hadis ini , Rasulullah Saw menyatakan
kekhawatiran yang mendalam jika umatnya melakukan perbuatan
yang pernah dilakukan oleh kaum Nabi Luth as, yaitu homoseksual.
berdasar realitas dalam warga , ternyata kekhawatiran
beliau telah terjadi, di mana kebanyakan manusia dewasa ini telah
mempraktekkan LGBT secara terang-terangan, bahkan mereka juga
mendesak pemerintah untuk mengakui dan melegalkan perilaku
mereka dengan dalih hak asasi manusia.
Rasulullah Saw sangat melaknat pelaku homoseksual, bahkan
dalam suatu hadis beliau secara berulang kali melaknat orang-orang
yang mengerjakan perbuatan ini . Ini menunjukkan bahwa
perbuatan ini sangatlah keji dan mesti dijauhi. Beliau bersabda:
Artinya: Dari Ibn 'Abbas, bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda:
"Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan umat
Nabi Luth, Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan
umat Nabi Luth, Allah melaknat orang yang melakukan
perbuatan umat Nabi Luth". (HR. An-Nasai dan Ahmad)
Selain ayat dan hadis, dalam penetapan hukum haramnya
LGBT, MUI juga berpijak kepada ijma’ (konsensus) ulama mengenai
haramnya liwath dan aktifitas seksual sesama jenis (homoseksual).
Para ulama telah menyepakati bahwa LGBT yaitu perilaku
menyimpang dan sangat dilarang dalam Islam. Kesepakatan ulama
dalam masalah ini berdasar petunjuk dalil yang demikian jelas
mengenai larangan ini , baik al-Quran maupun hadis.
Dalam menetapkan fatwa mengenai haramnya perilaku
LGBT, MUI juga menggunakan beberapa qaidah ushuliyyah dan
fiqhiyyah, ini bertujuan untuk memastikan bahwa hukum yang
ditetapkan memenuhi aspek metodelogis. Berikut ini beberapa
kaidah yang digunakan MUI, yaitu:
- Qaidah Ushuliyyah:
1. الزرعات صاد (Sadd al-zari’ah), yaitu menutup peluang sekecil
apapun untuk terjadinya zina.
ْ
ِ (Kebijakan pemerintah
terhadap rakyatnya didasarkan pada kemaslahatan)
berdasar kaidah-kaidah ini , MUI menetapkan
perilaku LGBT sebagai perbuatan haram yang mesti dihindari.
Perbuatan ini dapat menimbulkan bahaya (mafsadat) bagi
eksistensi manusia, yaitu terancamnya keturunan. Jika perilaku
ini dibiarkan tidak dicegah, maka populasi manusia akan
berkurang secara drastis, bahkan menuju punah, sebab perilaku
ini dapat menghambat perkembangbiakan manusia.
Pemerintah harus mengambil tindakan tegas dalam masalah
ini dengan membuat suatu ketentuan untuk mengantisipasi
perkembangan perilaku LGBT dalam warga . Tindakan
pemerintah dalam ini yaitu bentuk tanggungjawab untuk
mewujudkan kemaslahatan bagi warga (rakyat) dan
menghindari kemudharatan. Pemerintah yaitu kekuatan
politik yang bertugas untuk merealisasikan hal itu.
Selain nash yang telah dikemukakan di atas, MUI juga
merujuk kepada pendapat para ulama dalam menetap hukum LGBT,
ini sebagaimana tertuang dalam salinan fatwa. Beberapa
pendapat ulama yang digunakan, yaitu:
1. Al-Syairazy
Dalam kitab Al-Muhadzdzhab, Al-Syairazy menyatakan bahwa
liwath (senggama ke dalam anus) hukumnya haram berdasar
firman Allah SWT; "Dan (ingatlah kisah) Luth, saat dia berkata
kepada kaumnya: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan "fahisyah"
(amat keji) yang belum pernah terjadi oleh seorang pun dari umatumat semesta alam". (QS. Al-A’raf: 80). Dalam ayat ini Allah SWT
menyebut liwath dengan kata "fāhisyah" (perbuatan keji).
Dalam ayat yang lain Allah Swt berfirman; "Dan janganlah
kamu mendekati perbuatan-perbuatan keji, baik yang nampak di
antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali sebab sesuatu
yang benar. Demikian itu yang diperintahkan oleh Allah kepadamu
susaha kamu memahami". (QS. Al-An'am: 151). Sebagai fakta dilarangnya perbuatan ini , Allah Swt telah menyiksa kaum Luth
dengan siksaan yang belum pernah ditimpakan kepada seorang pun
sebelumnya akibat perbuatan keji yang mereka lakukan. ini
menjadi dalil pula diharamkannya "liwath". Siapa pun melakukannya,
sedang ia termasuk orang yang dapat dikenai had zina, maka
wajiblah baginya hukuman had zina itu.58
2. Muhammad bin ‘Umar al-Razi
Dalam kitab tafsirnya Mafatihul Ghaib, beliau mengemukakan
bahwasanya Allah Swt. dalam menumbuhkan rasa cinta kasih
terhadap isteri dan anak di dalam hati manusia ada hikmah
yang sangat penting. Bahwasanya kalaulah rasa cinta itu tidak ada,
tentu tidak akan mungkin lahir anak/keturunan. Itulah hikmah cinta
yang yaitu fakta naluri manusia, sehingga eksistensi manusia
terus eksis.59
Jadi ada maksud khusus Allah menaruh rasa suka dan kasih
sayang antara laki-laki dan perempuan (suami-isteri), susaha
keduanya merasa cendrung atau mempunyai hasrat satu sama lain.
Dengan itu keturunan manusia akan terus berlangsung dan
bertambah. Ini yaitu hikmah terbesar dari fitrah manusia
diciptakan menyukai kepada lawan jenis yang harus diketahui
susaha tidak terjerumus ke dalam perilaku yang menyimpang.
3. Sulaiman bin Muhammad bin 'Umar al-Bujairimi
Dalam kitabnya Tuhfah Al-Habib, beliau mengemukakan
bahwa hukum liwath, yaitu memasukkan hasyafah (ujung kelamin
laki-laki) atau seukurannya ke dalam anus lelaki walau hamba
sahaya miliknya, atau wanita selain isteri dan budak wanitanya dan
senggama dengan binatang yaitu sama dengan hukum zina ke
dalam vagina (alat kelamin wanita).60
Dari pendapat ini dapat dipahami bahwa ada kesamaan
antara sodomi dan bersetubuh dengan binatang dengan zina
(bersetubuh dengan perempuan yang haram baginya). Persamaan
dalam kontek ini yaitu dari sisi bentuk hukumannya, yaitu dihukum
dengan had. Jika pelakunya telah menikah (muhsan), maka
hukumannya yaitu rajam. sedang pelaku yang belum menikah
(ghairu muhsan) hukumannya yaitu jilid 100 kali. 4. al-Nawawi
Dalam kitabnya Al-Minhaj Syarh Sahih Muslim, beliau
mengemukakan bahwa hadis Nabi Saw yang melarang lelaki
bergumul dengan sesama lelaki di dalam satu busana, dan demikian
pula bagi wanita dengan sesama wanita, yaitu larangan yang
mengandung hukum haram, jika terjadi sentuhan langsung (tanpa
pelapis) antara aurat keduanya. ini menjadi dalil atas
diharamkannya bersentuhan aurat sesama jenis pada bagian mana
pun. Hukum inilah yang menjadi kesepakatan di antara ulama.
Pada bagi yang lain dari kitabnya, Al-Nawawi juga
menjelaskan bahwa hadis Nabi Saw tentang anak Adam telah
ditentukan bagian terkait zina yang di antara mereka adakalanya
haqiqi (sebenarnya) dengan memasukkan farji ke dalam farji yang
haram, dan adakalanya yaitu majaz (kiasan) mengenai
berbagai hal yang memicu untuk berbuat zina, seperti melihat,
mendengar, menyentuh, mencium, berjalan, berbicara,
berkesenangan dan sebagainya terhadap wanita yang bukan
mahram. Semua itu yaitu aneka macam zina yang bersifat
majazi (kiasan). Mengenai farji menepati semua itu atau tidak,
maknanya bahwa semua itu dapat memicu zina farji atau tidak
saat tidak memasukkan farji ke dalam farji, meskipun dapat
mendorong untuk melakukannya. Allah SWT Maha Mengetahui.62
Dari itu dapat dipahami bahwa zina terbagi dua, yaitu;
pertama, zina hakiki yaitu perbuatan seorang lelaki yang
memasukkan penis ke dalam vagina perempuan yang tidak halal
baginya. Kedua, zina majazi (kiasan), yaitu melihat, mendengar,
memikirkan dan meraba aurat perempuan atau lelaki yang tidak
halal baginya dengan syahwat, selain keperluan (hajat) yang
dibolehkan. Perbuatan yang kedua disebut dengan zina dalam arti
majazi (kiasan) sebab dapat membawaki seseorang kepada zina
yang sebenarnya (hakiki) jika melakukan hal itu.
Bagi lelaki haram melihat aurat sesama lelaki, dan haram
pula bagi wanita melihat aurat sesama wanita. permasalahan ini
tidak ada perbedaan pendapat. Demikian pula hukum lelaki
melihat aurat wanita, dan wanita melihat aurat lelaki yaitu haram
berdasar ijma' ulama. Adapun batas aurat bagi selain mahram
yaitu antara sesama lelaki yaitu antara pusar dan lutut, demikian
pula antara sesama wanita. sedang antara lelaki dan perempuan
batasan auratnya seluruh tubuh, keduanya tidak boleh saling melihat
satu sama lain kecuali ada suatu keperluan.63
5. Zakaria al-Anshari
Dalam kitabnya Asna al-Mathalib, beliau mengemukakan
bahwa dua orang lelaki atau dua orang wanita haram berbaring
dalam satu busana, jika keduanya telanjang meskipun masing-masing
keduanya hanya bersebelahan di atas alas tidur sebab ada
hadits riwayat Muslim, yaitu: “Tidaklah seorang lelaki bergumul
dengan sesama lelaki di dalam satu busana, dan tidaklah pula seorang
wanita bergumul dengan seorang wanita di dalam satu busana".
6. Abdur Rauf al-Munawi
Dalam kitabnya Faidh al-Qadir, dijelaskan tentang hadits
bahwasanya hubungan seksual sesama wanita yaitu zina.
Maksud hadis ini yaitu seperti zina dalam kaitannya sama-sama
berdosa, meskipun berbeda kadar beratnya. Dalam masalah ini tidak
dikenai had (hukuman yang telah ditentukan), namun hanya dihukum
dengan ta’zir (hukuman yang tentatif) sebab dilakukan tanpa
senggama. Kata zina yang secara umum meliputi zina mata, kaki,
tangan dan mulut, yaitu kata majaz (kiasan/serupa).65
7. Ibnu Qayyim Al-Jauzi
Dalam kitabnya Al-Jawab Al-Kaafi Liman Sa’ala An Ad-Dawa’i
Al-Syaafi, beliau mengemukakan bahwa barang siapa membaca
secara seksama firman Allah SWT : “ Dan janganlah kamu mendekati
zina, sesungguhnya zina itu yaitu perbuatan yang keji. (QS. Al-Isra),
serta firman-Nya dalam menjelaskan hukum sodomi : “ Mengapa
kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu” (QS. Al-A’raf), akan
tampak perbedaan di antara keduanya. Allah SWT menyebutkan kata
fāhisyah secara nakirah dalam ayat zina, untuk menegaskan bahwa
zina yaitu bagian dari kejahatan, sementara dalam ayat sodomi
disebutkan kata ini dengan “makrifah” (diketahui) untuk
menunjukkan bahwa sodomi mengandung segala macam bentuk
kejahatan.
lalu Allah Swt. menegaskan bahwa kejahatan ini
belum pernah dilakukan oleh seorangpun di dunia ini sebelum mereka, Allah Swt berfirman; “Yang belum pernah dikerjakan oleh
seorangpun (di dunia ini ) sebelumnya“. Bahkan ditegaskan kembali
dengan redaksi ayat yang menjelaskan bahwa kejahatan ini
mendatangkan rasa jijik dalam hati serta keengganan mendengarnya,
yaitu pelampiasan nafsu seorang laki-laki kepada sesama lelaki
seperti halnya yang dilakukan kepada wanita, Allah SWT berfirman; “
Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu
(kepada mereka), bukan kepada wanita“.
lalu Allah Swt menegaskan kembali akan buruknya
perilaku sodomi yang bertentangan dengan ketentuan Allah yang
menciptakan manusia atas fitrah berpasang-pasangan dan
bahwasanya perilaku sodomi telah memutarbalikkan tabiat laki-laki
yang diciptakan oleh Allah untuk memiliki kecendrungan kepada
wanita dan bukan kepada sesama laki-laki. Oleh sebab itu, Allah
memberikan hukuman kepada mereka berupa dijungkirbalikkan
negeri tempat tinggal mereka sehingga mereka pun terbenam ke
dalam tanah. Allah SWT juga menegaskan bahwa kejahatan sodomi
yaitu kejahatan yang melampaui batas, Allah berfirman:
“Bahkan kamu yaitu orang-orang yang melampaui batas“. Maka
perhatikanlah secara seksama apakah kecaman seperti ini
disebutkan dalam hal perzinaan.66
Dalam kitab Zadul Maad, beliau juga mengemukakan bahwa
hukuman bagi pelaku sodomi sudah sesuai dengan hukum Allah.
sebab semakin besar perbuatan yang diharamkan maka semakin
berat pula hukumannya, dalam ini persetubuhan yang tidak
dibolehkan sama sekali lebih besar dosanya dari persetubuhan yang
diperbolehkan dalam kondisi tertentu, oleh sebab itu hukumannya
harus diperberat.
8. Ibnu Qudamah
Dalam kitabnya Al-Mughni dijelaskan bahwa memberikan
hukuman bagi pelaku sodomi telah menjadi konsensus (ijma’) para
sahabat, mereka telah sepakat untuk menghukum mati pelaku
sodomi, hanya saja mereka berbeda pendapat dalam tata cara
pelaksanaan hukuman mati ini .68 lalu tidak ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa hukuman had tidak
berlaku untuk orang gila dan anak kecil yang belum baligh.69
9. Al-Buhuuti
Dalam kitabnya Syarhu Muntaha Al-Iradat, dijelaskan bahwa
tidak berlaku hukum had jika pasangan pelaku sodomi dipaksa
untuk melakukan sodomi dengan pemerkosaan, ancaman
pembunuhan atau ancaman fisik lainnya.70 Pendapat ini untuk
melengkapi kedudukan hukum sodomi bagi pelaku yang tidak
mempunyai taklif (pembebanan hukum), seperti anak kecil, orang
gila, orang dipaksa dan lainnya. Mereka tidak dikenakan had atas
kesalahan mereka, sebab tidak melakukannya secara sadar.
Selain pendapat para ulama sebagaimana telah dikemukakan
di atas, MUI juga merujuk kepada konsideran fatwa MUI sebelumnya
yaitu Fatwa MUI tentang Kedudukan Waria, tanggal 9 Jumadil Akhir
1418 H, bertepatan dengan tanggal 11 Oktober 1997. Dalam fatwa
ini , MUI menyatakan bahwa waria yaitu laki-laki dan tidak
dapat dipandang sebagai kelompok (jenis kelamin) tersendiri, dan
segala perilaku waria yang menyimpang yaitu haram dan harus
diusaha kan untuk dikembalikan pada kodratnya semula. Belakangan
ini istilah waria telah diubah menjadi transgender, maka perilaku
transgender sebagaimana merujuk kepada ketentuan fatwa MUI ini
yaitu haram, dan harus dipulihkan untuk dikembalikan kepada
bawaan asalnya baik laki-laki atau perempuan.
Dengan mengacu kepada nash, ijma’ dan pendapat para
ulama di atas, MUI menetapkan hukum haram bagi perilaku LGBT.
Lembaga pertimbangan hukum ini memandang perilaku LGBT
telah menyimpang dari fitrah manusia yang telah ditakdirkan Allah
Swt, yaitu berhubungan dengan lawan jenis, bukan sesama jenis.
berdasar fatwa MUI, individu LGBT dapat dikenakan hukuman
berupa had atau ta’zir sesuai pertimbangan hakim. Untuk
pelanggaran yang lebih berat, di mana yang menjadi korban sodomi
yaitu anak-anak, maka hukumannya dapat diperberat sampai batas
maksimal hukuman mati.
Dalam menetapkan hukum bagi LGBT, MUI menempuh
tahapan pembentukan hukum yang sistematis mulai dari pencarian
nash mengenai LGBT berupa ayat Al-Quran dan Hadis,
memperhatikan ijma’ ulama, memperhatikan qaidah ushuliyyah dan
fiqhiyyah yang sesuai dengan permasalahan LGBT, dan terakhir
yaitu memperhatikan berbagai komentar ulama mengenai ini .
Setelah semua tahapan ini dilalui baru lalu ditetapkan
fatwa, yaitu LGBT hukumnya haram, dan pelakunya patut diberikan
sanksi.
B. Menurut Pandangan Jaringan Islam Liberal (JIL)
Tokoh-tokoh dari Jaringan Islam Liberal (JIL) memandang
LGBT yaitu bawaan dari seseorang yang tidak perlu
dipermasalahkan, dan bukan pula penyakit sehingga harus
disembuhkan. Tokoh-tokoh JIL membela individu LGBT secara
terang-terangan dengan berbagai argumentasi rasional. Tentang
hukum LGBT ini, antara JIL dan MUI sangat bertolak belakang
pandangannya. JIL membenarkan perilaku ini, sedang MUI
menganggapnya telah menyimpang dan perlu dicegah.
Untuk melihat bagaimana pandangan tokoh JIL mengenai
LGBT, penulis mengutip beberapa pandangan dari mereka mengenai
ini , terutama pandangan dari Ulil Abshar Abdalla yang
yaitu pemuka jaringan ini dan juga pandangan dari beberapa
tokoh lainnya yang berafiliasi kepada JIL. Untuk memudahkan,
sekaligus memastikan pandangan ini berasal dari tokoh JIL,
penulis mengutip tulisan-tulisan mengenai LGBT yang dimuat pada
website JIL yaitu islamlib.com/.
Tidak terbatas di situ, penulis juga mengutip berbagai
pandangan mereka mengenai LGBT yang dimuat media lain, baik
dalam bentuk artikel ilmiah maupun komentar mereka tentang
masalah ini. Dengan demikian pemikiran tokoh JIL mengenai LGBT
dapat tersaji dengan utuh dan komprehensif. Satu persatu
pandangan dari mereka mengenai LGBT akan disajikan untuk
dibahas dan terakhir ditarik suatu kesimpulan mengenai pemikiran
mereka dalam masalah ini.
1. Ulil Abshar Abdalla
Tokoh yang satu ini paling banyak disoroti oleh nitizen saat
membuat pernyataan mengenai LGBT dalam salah satu media online.
Dalam menyikapi isu ini ia memegang kepada dua prinsip, yaitu
prinsip sains dan prinsip "generosity" (kedermawanan dan toleransi).
Kedua prinsip ini diyakininya sangat sesuai dengan ajaran
Islam. Islam mengajarkan umatnya untuk menghargai sains dan ilmu
pengetahuan, di mana dalam Al-Quran kata “ilmu” dan derivasinya
disebut berkali-kali diberbagai tempat, ini menunjukkan betapa
pentingnya ilmu menurut Islam. Sementara itu prinsip generosity atau sikap kedermawanan
juga diperintahkan oleh Islam. Sikap generous yang maksud di sini
ialah sikap toleran, dermawan pada orang lain, menghargai mereka,
meskipun mereka mempunyai sifat, sikap dan bawaan yang berbeda.
Sikap ini sesuai dengan ajaran dalam Al-Quran yang tertuang dalam
QS. Al-Hujarat (49) : 13 yang berbunyi:
َ
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku susaha kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujarat (49) : 13)
berdasar dua prinsip ini, maka Ulil Absar Abdalla
menentukan sikapnya mengenai LGBT. Bahwasanya berdasar
prinsip sains sudah seharusnya seorang muslim bersikap terhadap
segala hal berdasar data dan bukti sains, jika masalah yang
dihadapi melibatkan fakta-fakta sains, maka mengabaikan sains jelas
tidak sesuai dengan ajaran al-Quran.
Ada dua cabang sains yang terlibat dalam penelitian soal
LGBT, yaitu psikologi/psikiatri dan biologi, terutama cabang biologi
yang berurusan dengan genetika. Untuk waktu yang lama, psikiatri di
dunia Barat menganggap bahwa homoseksualitas yaitu penyakit.
Yang pernah menonton film "Game Theory" tentang ilmuwan Inggris
yang meletakkan landasan untuk komputer modern, Alan Turing,
pasti tahu bagaimana otoritas di Inggris saat itu (pada tahun 50-an)
masih menganggap LGBT sebagai penyakit, bahkan kejahatan.
sebab itu Turing dipaksa untuk melakukan terapi yang dalam dunia
psikiatri biasa disebut "reparative therapy". Turing akhirnya bunuh
diri, sebab tak kuat menghadapi terapi itu. Otoritas sains dan politik
di Inggris hingga dekade 50-an saat Turing hidup beranggapan
bahwa homoseksualitas yaitu "mental disorder", bahkan kejahatan,
yang harus diobati. namun riset tentang homoseksualitas tak pernah berhenti.
Pada tahun 70-an, pendapat para ahli psikiatri di dunia mulai
berubah. berdasar riset-riset mereka, disimpulkan bahwa
homoseksualitas bukanlah penyakit atau "mental disorder", namun
variasi preferensi seksual yang wajar. Pada Tahun 1973, American
Psychiatric Association mencabut homoseksualitas dan lesbianisme
dari daftar penyakit mental. Dan pada 1975, American Psychological
Association juga mengambil langkah serupa. Ahli-ahli psikiatri dan
psikologi di seluruh dunia mengikuti langkah ini, tidak terkecuali di
negara kita . Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
(PPDGJ) yang menjadi acuan para ahli psikiatri di negara kita sudah
mengeluarkan homoseksualitas dan lesbianisme dari daftar penyakit
mental. Dalam PPDGK edisi II 1983 dan edisi III 1993,
homoseksualitas sudah dikeluarkan dari daftar penyakit mental.
Hingga sekarang ini, konsensus saintis di dunia sudah nyaris
final bahwa homoseksualitas bukan penyakit, dan sebab itu terapi
(reparative therapy) untuk preferensi seksual ini sama sekali tidak
disarankan, bahkan ditolak. WHO pada 1990 mengikuti konsensus
ini, bahwa homoseksualitas bukanlah penyakit, namun preferensi
yang biasa saja. Preferensi ini ada dalam dunia binatang, bahkan
dalam jumlah yang banyak, begitu juga dalam dunia manusia.
Sebaiknya, seorang Muslim dalam menyikapi soal LGBT ini bersandar
pada sains, bukan berdasar tradisi dan pendapat generasigenerasi terdahulu. Al-Quran melarang taqlid (fanatik) pada ajdad
(leluhur) tanpa dasar pengetahuan yang cukup.
Menurutnya, soal LGBT ini sudah nyaris final secara sains,
sama dengan finalnya posisi sains tentang teori gravitasi dan evolusi.
Rasanya sains susah berubah pendapat soal gravitasi dan evolusi lalu
mengingkarinya sama sekali. Sebagaimana sains juga susah
dibayangkan akan mengubah pendapatnya soal homoseksualitas ini.
Dari itu ia menyimpulkan bahwa LGBT bukanlah penyakit
menurut saintis (ilmu pengetahuan), sebab ajaran Al-Quran
mengharuskan untuk menghargai sains, maka sudah sepatutnya
pandangan umat Islam mengenai isu ini juga berubah, dan tidak
sekedar mengikuti pandangan yang diwariskan oleh tradisi leluhur.
Sementara itu prinsip generosity yang yaitu prinsip
islami mengharuskan seorang Muslim untuk menghindari sikap
homofobia, yaitu membenci individu yang memiliki preferensi
homoseksual. Seseorang boleh saja tidak sepakat dengan mereka,
bahkan membenci atau jijik pada perilaku seksual mereka. namun
ketidaksukaan kepada mereka tidak boleh menghalangi seseorang untuk bersikap adil kepada mereka. sedang Al-Quran
mengajarkan manusia untuk bersikap adil, bahkan terhadap mereka
yang tidak kita sukai sekalipun. Allah berfirman:
َ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orangorang yang selalu menegakkan (kebenaran) sebab Allah,
menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, sebab adil itu
lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (QS. Al-Maidah (5) : 8).
Menurut Ulil Absar Abdalla, ayat ini kerap dikutip oleh
Nurcholish Madjid (Cak Nur) dahulu dalam menggambarkan tentang
prinsip keadilan, sebab sikap adil itu lebih dekat kepada ketakwaan.
Manifestasi sikap adil pada kaum LGBT yaitu memberikan hak-hak
hidup yang sama pada mereka, bukan mendiskriminasikan. Salah
satu sikap adil juga yaitu tidak memaksa LGBT melakukan terapi
penyembuhan. Satu-satunya terapi yang diperbolehkan dalam satu
masalah ini yaitu manakala ada orang LGBT yang merasa terganggu
dengan kecenderungan seksualnya. Jika yang bersangkutan merasa
terganggu dengan homoseksualitas dan minta diterapi, maka
terhadapnya boleh dilakukan tindakan reparative therapy. namun
terapi ini tidak boleh dipaksakan kepada semua kaum LGBT hanya
sebab menganggap mereka melakukan penyimpangan.
Hal terakhir menurut anggapan populer bahwa LGBT dapat
menular kepada orang lain, namun menurut penelitian sejauh ini
tidak benar LGBT menular. Perilaku ini hanya bisa menular
pada orang-orang yang memang sejak awal memiliki kecenderungan
LGBT. American Psychological Associaton menyarikan konsensus
mutakhir di kalangan sains seperti ini: Although much research has
examined the possible genetic, hormonal, developmental, social, andcultural influences on sexual orientation, no findings have emerged
that permit scientists to conclude that sexual orientation is determined
by any particular factor or factors. Many think that nature and nurture
both play complex roles; most people experience little or no sense of
choice about their sexual orientation." 71
Jadi, menurut Ulil Absar Abdalla bahwa perilaku LGBT
bukanlah penyakit mental yang harus dicegah, namun hanya bawaan
yang berbeda dan dianggap sebagai preferensi seksual manusia.
berdasar perkembangan saintis sejauh ini LGBT telah
dikeluarkan dari jenis penyakit mental sehingga tidak perlu
dipermasalahkan lagi. Alasan lainnya dalam mendukung perilaku
LGBT menurut Ulil Absar Abdalla bahwa umat Islam harus memiliki
sikap generosity (kedermawanan), yaitu sikap memahami perbedaan
dan kekurangan orang lain, sehingga dapat menghormati mereka
sebagai manusia dan tidak merendahkannya, sekalipun mempunyai
sikap dan bawaan yang berbeda.
2. M. Royyan Firdaus
Dalam tulisannya dengan judul “HAM untuk LGBTI” yang
diriliskan pada website Islam Liberal menyebutkan bahwa kaum
LGBTI di negara kita sering mendapat perlakuan diskriminatif.
Komunitas ini ditempatkan pada posisi peripheral atau pinggiran di
dalam kontitusi publik yang memandang normal relasi seksual
dengan lawan jenis. Menurutnya, kontitusi publik yang ada sekarang
selalu dilegitimasi oleh kekacauan tafsir keagamaan yang
menganggap LGBTI sebagai immoral, less-religius, penyakit sosial,
menyalahi kodrat dan bahkan dituduh sebagai sekutu setan.
Tafsir keagamaan yang dihegemoni oleh heteronormativitas
juga turut melegetimasi tindakan diskriminasi terhadap pelaku
LGBTI, mulai dari mengasosiasikan kaum LGBTI dengan HIV/AIDS,
penayangan sinetron-sinetron Islam di TV yang berbau
mendiskreditkan kaum LGBTI (contohnya Sinetron “Azab bagi
Homoseksual”), razia Satpol PP, hingga pembentukan mindset negatif
pada warga terhadap mereka.
Secara teologis, penolakan terhadap kaum homoseksual
didasarkan kepada ayat-ayat Al-Quran yang menceritakan tentang
Nabi Luth as seperti QS. Al-Naml (27) : 54-58, Al-‘Araf (7) : 80-81, AlSyu’ara (26) : 160-175. Di samping itu juga berdasar beberapa
hadis Nabi seperti hadis riwayat al-Thabrani dan al-Baihaqi, Ibnu
Abbas, Ahmad, Abu Daud, Muslim dan Turmuzi. Menurut M. Royyan
Firdaus, para ulama menggunakan dalil-dalil ini untuk
menghakimi kaum LGBTI dan memandang mereka layaknya hewan.
Menurutnya, sangat naif mengaitkan azab yang terjadi pada
kaum Nabi Luth sebagai akibat dari perilaku homoseksual mereka.
Namun lebih tepat jika azab ini disebabkan oleh pengingkaran,
cemoohan dan ancaman mereka akan mengusir Nabi Luth dan tamu
kehormatannya. Azab ini juga lebih disebabkan oleh
kesombongan mereka yang menantang Allah untuk mendatangkan
azab dan siksaan kepada mereka. Sebagai bukti Allah tidak
membenci kaum LGBTI, bahwa di negara-negara yang melegalkan
perilaku ini seperti Belanda, Inggris, Kanada dan lainnya
mereka aman dan baik-baik saja.
Pada prinsipnya LGBTI termasuk varian seksual yang bersifat
sosial-budaya seperti Warok Reog di Ponorogo, Wandhu dalam
tradisi Ludruk dan tari Bugis Cirebon, dan LGBTI bersifat given
(pemberian) dari Tuhan. Menurut laporan Human Genom Project,
bahwa homoseksualitas yaitu potensi yang inheren di dalam
setiap orang. Struktur gen manusia pada mulanya yaitu perempuan,
lalu kromosom Y yang menjadikan seseorang menjadi laki-laki,
sebenarnya yaitu penyimpangan terhadap susunan kromosom
manusia. Hanya saja, di dalam diri manusia setiap manusia kadar
penyimpangannya berbeda. Bila penyimpangan bersifat total, maka
seseorang menjadi lelaki, dan jika penyimpangan bersifat tidak total,
maka muncullah jenis manusia yang lain, termasuk homoseksual.
Memperhatikan kasus-masalah diskriminasi terhadap kaum
LGBTI, seperti tuntutan negara susaha mereka melakukan terapi
untuk memulihkan sifat homoseksual jelas-jelas menunjukkan suatu
pelanggaran terhadap hak privat seseorang, sebab memaksa
mereka untuk meninggalkan identitas diri yang dianggap
menyimpang itu demi sebuah moral publik yang menggunakan
pandangan mayoritas terhadap minoritas.72
Jadi menurut M. Royyan Firdaus bahwa LGBT yaitu
bagian dari fenomena sosial budaya warga dalam melakukan
hubungan seksual. Di beberapa tempat LGBT disebutkan dengan
istilah tersendiri menurut bahasa setempat. Maka dalam
pandangannya, perilaku LGBT ini harus dihormati sebagai hak
individu, mereka tidak boleh didiskrimasi demi sebuah moral publik
yang menggunakan pandangan mayoritas terhadap minoritas.
3. Khoirul Anwar
Dalam artikelnya yang berjudul “Dalil LGBT dalam Al-Quran”
yang dimuat pada situs Islam liberal, Khoirul Anwar mengulas bahwa
tidak ada satu ayat pun dalam Al-Quran yang secara ekplisit (terang)
melarang LGBT, demikian pula tidak ada ayat yang secara terang
benderang menerima perilaku ini . Untuk itu setiap orang
berhak untuk menafsirkan maksud yang relevan berkaitan dengan
permasalahan ini.73
Dalam tulisannya, ia secara khusus menyoroti ayat-ayat AlQuran yang kerap dipahami melarang perilaku LGBT, lalu
menawarkan beberapa ayat yang membolehkan perilaku ini .
Menurutnya pendapat yang melarang LGBT mengacu kepada ayatayat yang bercerita tentang Kaum Nabi Luth as, antara lain QS. Al-
‘Araf ayat 80-81, namun sesungguhnya ayat-ayat ini
yaitu hiburan bagi Nabi Muhammad susaha mentalnya kuat
dalam menghadapi kaum Quraisy yang banyak menentang
dakwahnya. Seseorang akan sampai kepada kesimpulan ini jika
ayat ini dibaca dan dipahami secara utuh dengan
memperhatikan asbab al-nuzul (sebab turunnya ayat) dan hubungan
ayat sebelum dan sesudahnya.
Ayat ini diturunkan di Mekkah, saat penolakan
terhadap dakwah Nabi Saw oleh pembesar-pembesar Quraisy. Allah
menurunkan ayat ini untuk menyampaikan perihal rasul-rasul
terdahulu yang juga menghadapi hal yang sama saat melakukan
dakwah, dengan demikian beliau akan terhibur dan termotivasi
untuk meneruskan dakwahnya. ini dapat dipahami dari maksud
QS. Al-‘Araf ayat 34-186.
Pemahaman ini juga dapat dibuktikan dengan penyebutan
kata “Luth” dalam Al-Quran sebanyak 27 kali, semua diungkapkan
dalam bentuk narasi kisah rasul yang ditolak oleh umatnya. ini
dapat dilihat pada QS. Hud ayat 70, 74, 77, 81, 89, QS. Al-Hajj ayat 43,
QS. Al-Hijr ayat 59, 61, QS. Al-Syu’ara ayat 160, 161, 167, QS. Al-Naml
ayat 56, QS. Al-Ankabut ayat 26 dan beberapa ayat yang lainnya.
Dari ayat-ayat ini tidak dapat dipahami bentuk larangan
LGBT, melainkan sebatas hiburan bagi Nabi Saw untuk tetap tabah
dalam berdakwah. Sebaliknya menurut ayat yang lain justeru LGBT
mendapat tempat, jika menyadari bahwa keragaman orientasi
seksual yaitu sesuatu yang bersifat bawaan (fitrah/alami).
Dalam QS. Al-Isra’ ayat 84, Allah berfirman:
Artinya: Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya
masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa
yang lebih benar jalan-Nya. (QS. Al-Isra: 84).
Dalam Kitab Lisan Al-Arab, kata syakilah bermakna ciptaan
(khaliqah), bentuk (al-Syakl), haluan (thariqah), orientasi (jadilah).
Jadi setiap orang tidak perlu dipermasalahkan sikap dan bawaannya,
sejauh masih tetap menjalankan petunjuk Allah Swt. Selain itu dalam
Al-Quran juga ada janji Allah bahwa kelak penghuni surga akan
didampingi oleh anak-anak muda tampan yang tidak akan pernah
berubah menjadi tua, mereka disebut dengan “wildanun
mukhalladun” (anak-anak yang tetap muda). ini dapat ditemukan
pada QS. Al-Waqi’ah ayat 17, QS. Al-Insan ayat 19 dan Al-Thur ayat
24.
Janji-janji Alquran erat kaitannya dengan kondisi warga
yang diajak berbicara, atau sesuai dengan imajinasi warga di
mana Alquran diturunkan. Dalam kontek ini banyak di antara lakilaki yang menyukai atau mempunyai hasrat seksual terhadap anakanak muda yang tampan, sebab itu Al-Quran menjanjikan demikian
untuk menyampaikan hasrat warga .
lalu dalam QS. Al-Nur ayat 31 yang membicarakan
perintah menutup aurat, bahwa perempuan beriman boleh
menampakkan auratnya kepada “ghairi uli al-irbah min al-rijal”
(lelaki yang tidak memiliki nafsu syahwat terhadap perempuan).
Para mufassir berbeda pendapat mengenai maksud penggalan ayat
tadi, sebahagian mereka menafsirkan lelaki tua yang tidak berhasrat
lagi kepada perempuan. sedang menurut Mujahid yaitu orang
bodoh atau pandir (al-ablah). Sementara menurut Ikrimah, istilah
ini ditunjukkan kepada lelaki yang menyukai sesama jenis
(gay) atau waria (mukhannats).
74 Dari itu terlihat bahwa respon AlQuran terhadap lelaki gay yaitu suatu kewajaran, atau dalam
istilah QS. Al-Isra ayat 84 di atas sebagai syakilah, yaitu bentuk
keragaman orientasi seksual yang tidak perlu diingkari. Perbedaan
fitrah dalam ini tidak perlu dipertengkarkan, sebab hanya Allah
yang lebih mengetahui kebenaran atau hakikatnya. Kewajaran ragam orientasi seksual ini diperkuat oleh
beberapa riwayat yang menginformasikan bahwa dalam sejarah
Islam banyak orang yang menyalurkan hasrat seksual kepada sesama
jenis. Muhammad Jalal Kisyk dalam kitabnya Khawatir Muslim fi
Masalah al-Jinsiyyah mengutip pendapat Ibnu Hazmin yang
meriwayatkan bahwa Muhammad bin Abdurrahman bin Hakam,
seorang panglima perang, saat memegang tampuk kekuasaan
menggantikan ayahnya memiliki dua orang menteri (wazir) yang
muda dan berwajah tampan, setiap malam salah satu keduanya
menemani tidur bersamanya.
ini pernah diketahui oleh Ibnu Abbas saat menginap di
istananya, malam itu Ibnu Abbas melihat dua anak muda tampan
dipanggil oleh Muhammad bin Abdurrahman bin Hakam. Salah satu
keduanya dibawa masuk ke dalam kamar, Muhammad saat itu
dalam keadaan telanjang dada dan menutup pintu sedang
keduanya berada dalam satu kamar.75 Kisah roman seperti itu dalam
literatur Arab cukup mudah dijumpai, termasuk cinta sesama jenis,
homoseksual atau dalam istilah sekarang yang lebih komplek di
sebut LGBT.
Maka dapat dipahami bahwa Al-Quran tidak melarang LGBT,
bahkan memberikan tempat dengan mengakuinya sebagai preferensi
seksual pada manusia. Kedudukan individu LGBT dan selain mereka
sama/setara dalam berbuat kebajikan, dan akan dibalas sesuai
dengan perbuatan masing-masing. Adapun ayat-ayat tentang kisah
kaum Nabi Luth yang diazab oleh Allah, menurut Khairul Anwar
disebabkan sebab mereka mengkhianati Nabi Luth, mengancam
mengusirnya dan menghina tamu kehormatannya, serta menantang
Allah Swt untuk mendatangkan azab sebab perbuatan mereka. Oleh
sebab itu Allah Swt mendatangkan azab kepada mereka.
4. Ioanes Rakhmat dan Muhammad Guntur Ramli
Pandangan ini berasal dari kesimpulan diskusi yang diadakan
oleh JIL dengan tema LGBT. Diskusi ini menghadirkan pembicara dari
berbagai kalangan baik muslim maupun non muslim. Berikut hasil
diskusi yang diadakan pada hari Senin tanggal 26 Juli 2010 dengan
tema “Pandangan Kristen dan Islam tentang Homoseksualitas”.
Diskusi ini menghadirkan narasumber Ioanes Rakhmat (IR) mewakili
pandangan Kristen dan Muhammad Guntur Ramli (MGR) mewakili
pandangan Islam. Pembicara pertama IR mendekonstruksi terhadap
cara pandang sebahagian kaum Kristen yang literalistik terhadap
Alkitab sehingga memandang dan bersikap negatif kepada kaum
homoseksual. Menurutnya ada beberapa bagian dari Alkitab yang
dijadikan dasar bagi penolakan umat Kristen terhadap perilaku
homoseksual, yaitu kitab Kejadian 19, Imamat 18: 22, Imamat 20: 13,
Roma 1: 26-27, I Korintus 6:9-10, 1 Timotius 1: 9-10 dan Yudas 1:7.
IR memberi penafsiran ulang terhadap ayat-ayat ini
dengan cara meneliti konteks munculnya ayat-ayat ini maupun
secara filologis. Contohnya, Kejadian 19 yang berisi kisah Lot dan
Kota Sodom dan Gamora yang dihukum Tuhan. Menurut penafsiran
umum disisi umat Kristen bahwa kota ini diazab sebab
perilaku seksual yang dianggap menyimpang di kota ini yaitu
persetubuhan laki-laki dengan laki-laki, dan ditambah lagi dengan
adanya paksaan salah satu pihak kepada pihak lain (sodomi).
IR memberikan tafsir ulang terhadap ayat ini , bahwa
teks ini tidak menunjukkan secara jelas kepada kedurjanaan kaum
Sodom, namun teks ini lebih menekankan kepada alasan para lelaki
kota ini hendak menyodomi dua orang asing yang dipandang
mau menjadi hakim atas mereka. Pada zaman kuno di Timur Tengah
penyodomian yaitu bentuk penghinaan dari pihak yang
menang kepada pihak yang kalah atau lebih lemah. Biasanya hal itu
terjadi kepada raja yang kalah perang, atau orang asing yang
memasuki suatu tempat lalu disodomi oleh warga asli sebagai tanda
dominasi penduduk asli. Dengan demikian, teks Kejadian 19 ini tidak
dapat dijadikan dasar untuk menolak homoseksual.
Narasumber kedua Muhammad Guntur Ramli yang mewakili
Islam juga melakukan interprestasi ulang terhadap ayat-ayat alQuran mengenai homoseksual. Hal yang pertama disampaikannya
yaitu menyoal perihal agama itu sendiri yang seringkali
dikondisikan oleh pihak penguasa, yang merekonstruksi agama
sesuai dengan kehendak dan kepentingan mereka. ini
memicu pandangan Islam menjadi bias dan cenderung
memihak satu pihak atau satu jenis nalar.
Khusus mengenai homoseksual dalam keilmuan Islam,
hasilnya tentu pandangan negatif kepada kaum homoseksual tidak
dapat berubah. Sebab hal itu ditunjang dengan kuatnya nalar fikih
yang lebih menginginkan status quo ketimbang perubahan.
Menurutnya, pengabaian studi seksualitas yang terjadi selama ini
perlu dihentikan. Sarjana muslim hendaknya tidak terobsesi untuk
sekedar mencari hukum, baik moral maupun fikih bagi tema
seksualitas saja. Melainkan meluaskan penelitian dan kajian mereka ke ranah lain yakni konteks Nusantara, sebab di dalam budayabudaya Nusantara ada praktik-praktik yang sejiwa dengan
fenomena homoseksual. Beberapa contoh dapat dikemukakan di sini
seperti praktik warok di Reog, Ponorogo, wandhu dalam tradisi
lundruk, tradisi mairil di pesantren tradisional, bissu di Sulawesi
Selatan dan lain sebagainya.
Hal lain yang dapat dilakukan yaitu adanya cara pandang
berbeda terhadap Al-Quran, yaitu dengan membedakan ayat hukum
dan ayat-ayat kisah yang tentunya tidak dapat dikaitkan dengan
kaidah-kaidah hukum. Misalnya kisah Luth yang mempunyai
persamaan dengan kisah Sodom dan Gamora dalam Kejadian 19 dari
Alkitab Kristen, yang biasanya menjadi dalil untuk menentang
homoseksual. Kisah Luth ini dilihat dari satu sisi saja dan
digunakan untuk pembenaran homoseksual.
Menurut MGR, tidak semua ayat-ayat kisah dapat menjadi
landasan hukum moral atau fikih, sebab ayat-ayat itu dapat saja
yaitu metafora, seperti ayat yang menyebutkan peran ribuan
malaikat di dalam perang badar sehingga Nabi Muhammad dan
pasukannya menang. Ayat ini tidak dapat dibaca secara literal, sebab
satu malaikat saja sebenarnya sudah cukup untuk menghancurkan
lawan. Dan bila malaikat itu benar-benar ada, kenapa pada perang
Uhud yang terjadi setelah itu, Nabi dikalahkan oleh lawannya.
Selain itu, MGR juga menunjukkan penelitian Galal Kisyk yang
menemukan bahwa dalam ajaran Islam tidak ada sanksi fisik
terhadap perilaku homoseksual, sedang hadis-hadis yang banyak
dipakai untuk mengutuk homoseksual dan menjatuhkan sanksi fisik
ternyata tergolong ke dalam hadis-hadis yang lemah.76
Dari berbagai pandangan tokoh JIL di atas yang berkaitan
dengan LGBT, dapat disimpulkan bahwa mereka tidak memandang
LGBT sebagai kejahatan atau penyimpangan yang harus di basmi.
Mereka menggunakan berbagai alasan berupa perkembangan ilmu
pengetahuan (sains), sikap kedermawanan, maupun hasil
interprestasi ulang terhadap teks kitab suci mengenai LGBT. Secara
sains, LGBT dianggap normal sebagai preferensi seksual manusia
sejak lahir, lembaga kesehatan dunia seperti WHO juga telah
menghapus LGBT dari daftar penyakit mental (mental disorder) yang
harus disembuhkan.
Demikian pula berdasar interprestasi ulang terhadap teks
kitab suci mengenai LGBT, para tokoh JIL memandang penjelasan Al-
Quran maupun Bibel mengenai LGBT yaitu cerita umat
terdahulu yang mengingkari perintah Nabi mereka, melecehkan
tamu nabi mereka, sehingga Allah mendatangkan azab. Kisah-kisah
ini tidak bisa secara serta merta dijadikan sebagai dalil untuk
menghukum kaum LGBT, sebab tidak semua kisah dapat dikaitkan
dengan kaidah hukum. Namun harus diperhatikan kontek ayat kisah
itu diturunkan (asbab al-nuzul).
Dalam pandangan JIL, bahkan LGBT diakui dan mendapat
tempat dalam Alquran sebagaimana bawaan seksual yang lain.
Manusia diciptakan dengan beragam bentuk baik jenis kelamin,
bentuk fisik, termasuk bawaan seksual. Hal itu yaitu fitrah dari
Allah. Manusia diperintahkan untuk beramal sesuai dengan bawaan
(syakilah) masing-masing, dan Allah akan menerima amal ibadah
mereka tanpa memandang perbedaan itu.
C. Tinjauan Maqashid al-Syari’ah Mengenai LGBT
Syariat Islam yaitu peraturan hidup yang datang dari Allah
Swt menjadi pedoman hidup bagi seluruh umat manusia. Syariat
Islam memiliki tujuan utama yang dapat diterima oleh seluruh umat
manusia yaitu untuk mewujudkan kebaikan dan menolak kerusakan.
Dalam kajian ushul fiqh tujuan ini disebut juga dengan maqashid assyari’ah yaitu maksud dan tujuan diturunkannya syariat Islam.
Secara bahasa maqashid syari’ah terdiri dari dua kata yaitu
“maqashid” dan “syari’ah”. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan,
maqashid yaitu bentuk jama’ dari “maqsud” yang berasal dari
suku kata “qashada” yang berarti menghendaki atau memaksudkan.
Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.77
sedang syari’ah secara bahasa berarti jalan menuju sumber air,
jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju
sumber kehidupan.78
Maqashid al-Syari’ah secara istilah yaitu tujuan-tujuan
syariat Islam yang terkandung dalam setiap aturannya. Al-Syathiby
mengungkapkan tentang syari’ah dan fungsinya bagi manusia seperti
ungkapannya dalam kitab al-Muwafaqat:
Artinya: Sesungguhnya syariat itu ditetapkan bertujuan untuk
tegaknya (mewujudkan) kemashlahatan manusia di dunia
dan Akhirat”.
Pada bagian lainnya beliau menyebutkan:
Hukum-hukum diundangkan untuk kemashlahatan hamba.
Jadi tujuan hukum Islam yaitu mewujudkan kemaslahatan
hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial.
Kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan dunia ini saja namun
juga untuk kehidupan yang kekal di akhirat kelak. Al-Shatiby
merumuskan lima tujuan hukum Islam, yaitu: hifdz al-din
(memelihara agama), hifdz al-nafs (memelihara jiwa), hifdz al-’aql
(memelihara akal), hifdz al-nasl (memelihara keturunan) dan hifdz
al-māl (memelihara harta).79
Al-Ghazali juga membagi tujuan hukum Islam kepada lima
sebagaimana pembagian al-Syatiby di atas, sebagaimana dipahami
dari pernyataan beliau dalam kitab al-Mustasyfa, yaitu:
ومقصود الArtinya: Tujuan syariat itu ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta mereka. Setiap usaha untuk
memelihara prinsip ini disebut al-maṣlaḥat dan setiap usaha
merusak, mencederai yaitu mafsadat dan menolaknya
yaitu al-maṣlaḥah itu sendiri.
Dari nukilan di atas dapat dipahami bahwa tujuan hukum
Islam terbagi kepada lima macam yang menjadi prinsip umum yang
mesti diwujudkan untuk kemaslahatan hidup manusia, yaitu
pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Setiap perkara
yang mengarah kepada pemeliharaan dan perlindungan kelima hal
itu disebut maslahat. Sebaliknya setiap hal yang memicu
kerusakan dan kebinasaan lima ini dengan mafsadat.
Kelima tujuan hukum Islam ini di dalam kepustakaan
disebut juga dengan maqasid al-khamsah atau maqasid al- shari’ah.
Tujuan hukum Islam yaitu untuk ditaati dan dilaksanakan oleh
manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Agar dapat ditaati dan
dilaksanakan dengan baik dan benar, manusia wajib meningkatkan
kemampuannya untuk memahami hukum Islam dengan mempelajari
usul fiqh sebagai dasar pembentukan dan pemahaman hukum Islam
sebagai metodologinya.
Maqāṣid al-syar’iyyah yaitu salah satu konsep penting
dalam kajian hukum Islam, para ahli menjadikan teori ini sebagai
sesuatu yang harus dipahami oleh mujtahid dalam melakukan ijtihad.
Adapun inti dari teori maqāṣid al-syar’iyyah yaitu mewujudkan
maslahat. Untuk itu istilah maqāṣid al-syar’iyyah sering diidentikkan
dengan maslahat, sebab setiap penetapan hukum dalam Islam
bermuara kepada mewujudkan maslahat.
Allah Swt tidak menciptakan hukum dan aturan begitu saja,
akan namun setiap hukum dan aturan yang diciptakan dengan tujuan
dan maksud tertentu. Tujuan syari’at yaitu untuk kemaslahatan
hamba di dunia dan akhirat. Syari’at semuanya mengandung
maslahat. Setiap masalah yang menyimpang dari maslahat atau
mengandung mafsadat dapat dipastikan bukan bagian dari syari’at.
Al-Syatibi membagi maslahat kepada tiga tingkatan yaitu
maslaḥat al-dharūriyyāt (primer), maslaḥat al-ḥājiyyāt (sekunder)
dan maslaḥat al-taḥsiniyyāt (tersier). Maslaḥat al-ḍarūriyyāt yaitu
sesuatu yang mesti ada demi terwujudnya kemaslahatan agama dan
dunia. jika ini tidak ada, maka akan menimbulkan kerusakan
bahkan hilangnya hidup dan kehidupan. Contohnya makan, minum,
shalat, puasa dan ibadah-ibadah yang lainnya. Yang termasuk
maslahat atau maqāṣid al-ḍarūriyyāt ini ada lima yaitu agama (aldīn), jiwa (al-nafs), keturunan (al-nasl), harta (al-māl) dan akal (alaql).
Maslaḥat al-hajiyyat yaitu sesuatu yang mesti ada untuk
mewujudkan kemudahan dan menghilangkan kesukaran dalam
kehidupan manusia, seperti beberapa rukhṣah (dispensasi) dalam
masalah ibadah dan muamalah. sedang maṣlaḥat al-taḥsiniyyat
yaitu mengambil sesuatu yang paling baik menurut kebiasaan
warga , mewujudkan kenyamanan hidup dan kesempurnaan
akhlak, seperti menghilangkan najis, menutup aurat, berhias dan lain
sebagainya.
Pengetahuan tentang maqāṣid al-syar’iyyah sangat berperan
sebagai alat bantu dalam memahami naṡ, menyelesaikan dalil-dalil
yang bertentangan, dan juga menetapkan hukum bagi kasus-masalah
yang tidak tertampung dalam Al-Qur’an dan Sunnah secara kajian
kebahasaan (lughawiyyah). Maka kasus-masalah ini mungkin
didekati dengan pendekatan yang lain seperti ta’līliyyah83 dan
istiṣlāḥiyyah.
84 Dengan demikian hukum akan tetap mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan warga dan
perkembangan zaman.
Maqāṣid al-syar’iyyah, meminjam pernyataan Ibnu Qayyim AlJauzy bertujuan untuk menghasilkan produk hukum yang lebih hidup
(al fiqh al-hayy). Dengan teori maqāṣid al-syar’iyyah hukum yang
tekstual atau fiqh al-uṣuly diharapkan dapat menjadi fiqh al-maqāṣidy
yang konstektual dengan perkembangan sosial warga yang
senantiasa dinamis.
Berbicara maqāṣid al-syar’iyyah sesunguhnya yaitu
berbicara tentang al-maṣāliḥ dan al-mafāsid. Al-maṣāliḥ (manfaat)
yaitu hal-hal yang berguna untuk kehidupan manusia susaha
kehidupan itu menjadi lebih baik, yang berkenaan dengan agama,
jiwa, akal, kehormatan dan harta manusia. Sifatnya relatif seperti
makan, minum, berpakaian, menikah dan lain-lain. sedang almafāsid (kerusakan) yaitu hal-hal yang merusak kebutuhankebutuhan di atas. Maka tujuan dari syari’at tidak lain yaitu
mewujudkan setiap bentuk kemaslahatan dan menolak apa saja yang
dapat membawa mudharat bagi warga . Untuk terwujudnya
tujuan ini dibuatlah hukum-hukum untuk mengatur sikap dan
perilaku warga dalam menjalankan segala aktifitas