LGBT 1

Rabu, 13 September 2023

LGBT 1


Menurut Pandangan Majelis Ulama negara kita  (MUI) 
Majelis Ulama negara kita  yaitu  lembaga pemerintah yang 
membidangi masalah penyelesaian hukum warga  melalui 
penetapan fatwa. Setiap permasalahan hukum warga  harus 
dijawab oleh MUI dengan suatu ketetapan hukum untuk menjadi 
arah dan pedoman bagi warga  dalam bertindak. Sejauh ini 
peran MUI cukup signifikan dalam menata kehidupan warga  
susaha  dapat berjalan di atas jalur hukum Islam. 
Salah satu permasalahan yang turut di atur oleh MUI yaitu  
mengenai LGBT yang belakangan ini marak dibicarakan oleh 
warga . MUI telah menetapkan hukum bagi permasalahan ini 
melalui Fatwa Nomor 57 Tahun 2014 tentang Lesbian, Gay, Sodomi 
dan Pencabulan. Fatwa ini ditetapkan berdasar  realitas 
warga  yang menghendaki adanya ketetapan hukum bagi 
perilaku LGBT yang sedang marak terjadi dalam warga . Sebagai 
lembaga yang berwenang menetapkan hukum Islam, MUI membahas 
dan merumuskan fatwa mengenai kedudukan hukum LGBT menurut 
Islam. 
Dalam fatwa ini , MUI menetapkan sebelas butir hukum 
seputar LGBT, yaitu: 
1. Hubungan seksual hanya dibolehkan bagi seseorang yang 
memiliki hubungan suami isteri, yaitu pasangan lelaki dan 
wanita berdasar  nikah yang sah secara syar’i. 
2. Orientasi seksual terhadap sesama jenis yaitu  kelainan yang 
harus disembuhkan serta penyimpangan yang harus 
diluruskan. 
3. Homoseksual, baik lesbian maupun gay hukumnya haram, 
dan yaitu  bentuk kejahatan (jarimah). 4. Pelaku homoseksual, baik lesbian maupun gay, termasuk 
biseksual dikenakan hukuman had dan/atau ta’zir oleh pihak 
yang berwenang. 
5. Sodomi hukumnya haram dan yaitu  perbuatan keji 
yang mendatangkan dosa besar (fahisyah).
6. Pelaku sodomi dikenakan hukuman ta’zir yang tingkat
hukumannya maksimal hukuman mati. 
7. Aktifitas homoseksual selain dengan cara sodomi (liwath)
hukumnya haram dan pelakunya dikenakan hukuman ta’zir. 
8. Aktifitas pencabulan, yakni pelampiasan nasfu seksual seperti 
meraba, meremas, dan aktifitas lainnya tanpa ikatan
pernikahan yang sah, yang dilakukan oleh seseorang, baik 
dilakukan kepada lain jenis maupun sesama jenis, kepada 
dewasa maupun anak hukumnya haram. 
9. Pelaku pencabulan sebagaimana dimaksud pada angka 8
dikenakan hukuman ta’zir. 
10. Dalam hal korban dari kejahatan (jarimah) homoseksual, 
sodomi, dan pencabulan yaitu  anak-anak, pelakunya 
dikenakan pemberatan hukuman hingga hukuman mati. 
11. Melegalkan aktifitas seksual sesama jenis dan orientasi 
seksual menyimpang lainnya yaitu  haram.57
berdasar  fatwa di atas dapat dipahami bahwa MUI 
memandang perilaku LGBT sebagai bentuk penyimpangan seksual 
yang haram hukumnya dan mesti dijauhi oleh umat Islam. Setiap 
perilaku LGBT ada  hukuman yang berat dalam bentuk had 
maupun ta’zir, bahkan bila yang menjadi korban yaitu  anak￾anak, maka hukumannya bertambah berat berupa hukuman mati. 
MUI menetapkan perilaku LGBT sebagai kejahatan (jarimah), baik 
lesbian, gay, biseksual dan lainnya. Maka mereka akan dikenakan 
hukuman sebab perilaku ini . 
MUI mempunyai sejumlah alasan maupun dalil yang 
dijadikan sandaran bagi larangan LGBT. Di antaranya bahwa perilaku 
LGBT telah menyimpang dari fitrah manusia yang diciptakan secara 
berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan. Dan secara fitrah pula 
hasrat seksual manusia kepada pasangannya yang berlainan jenis, 
bukan sesama jenis. Di antara dalil yang menjelaskan tentang fitrah 
manusia yaitu QS. Al-Nisa (4) : 1 dan QS. Al-Rum (30) : 21 yang 
berbunyi: 
a. QS. Al-Nisa (4) : 1 
َ 
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang 
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya 
Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah 
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang 
banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan 
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu 
sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. 
(QS. Al-Nisa (4) : 1)
Ayat di atas mengandung perintah susaha  manusia bertakwa 
kepada Allah Swt yang telah menciptakan mereka dari tubuh yang 
satu yaitu Nabi Adam as. Lalu dari tulang rusuk kiri Nabi Adam as 
diciptakan pula isterinya Siti Hawa dari jenis kelamin yang lain 
sebagai pasangan hidup atau isteri. Dari keduanya lalu lahirlah 
keturunan manusia laki-laki dan perempuan dalam jumlah yang 
banyak untuk tinggal di bumi dan memakmurkannya. 
Jadi jelaslah bahwa manusia diciptakan secara berpasang￾pasangan, dan diperintahkan untuk menikah dengan pasangannya 
yang berlainan jenis, sebagaimana pernikahan Nabi Adam dan Siti 
Hawa. Pernikahan dengan lawan jenis yaitu  fitrah manusia 
susaha  dapat berkembang biak melanjutkan keturunan. sedang  
pernikahan sesama jenis yaitu  perkara yang absurd (tidak 
menghasilkan keturunan) dan juga melanggar fitrah manusia 
sebagaimana telah ditakdirkan Allah Swt. Artinya: dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia 
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, 
susaha  kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, 
dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar 
ada  tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Al-Rum: 
21)
Ayat ini menjelaskan tentang proses penciptaan isteri bagi 
Nabi Adam as maupun bagi laki-laki anak cucu Adam. Allah Swt 
menciptakan pasangan hidup (isteri) bagi setiap laki-laki dari tulang 
rusuk kirinya, susaha  laki-laki merasa nyaman berada di samping 
isterinya. lalu Allah Swt mencurahkan rasa cinta dan kasih 
sayang antara pasangan kekasih susaha  hidup mereka langgeng dan 
bahagia. Sesungguhnya hal itu yaitu  tanda-tanda kebesaran 
Allah bagi manusia yang mau berfikir. 
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa pernikahan yang 
mampu mewujudkan kebahagian hakiki jika dilakukan dengan 
pasangan yang berlainan jenis, bukan sesama jenis. Allah 
menciptakan wanita sebagai pasangan bagi laki-laki, bahan baku 
penciptaan wanita yaitu  bagian tubuh dari laki-laki 
pasangannya. Sehingga keduanya merasa cocok dan tenang hidup 
bersama. sedang  pernikahan sesama jenis sulit mencapai 
kebahagian, sekalipun nampak ada kebahagiaan namun itu hanyalah 
fatamorgana dan sementara. Biasanya hubungan sesama jenis tidak 
bertahan lama. 
Selain dua ayat di atas, mengenai fitrah manusia dalam 
pernikahan dapat pula dipahami dari QS. Al-Nisa (4) : 3 yang 
berbunyi:
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap 
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu 
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang 
kamu senangi : dua, tiga atau empat. lalu jika kamu 
takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) 
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang 
demikian itu yaitu  lebih dekat kepada tidak berbuat 
aniaya. (QS. Al-Nisa (4) : 3) 
Ayat di atas menjelaskan tentang kebolehan melakukan 
poligami bagi seorang lelaki sampai empat orang isteri yang 
dianggapnya baik. Lelaki boleh berpoligami (mempunyai isteri lebih 
dari satu) jika mampu berlaku adil kepada isteri-isterinya. Ayat ini 
juga menunjukkan bahwa pasangan lelaki yaitu  wanita, bahkan 
seorang lelaki boleh menikahi sampai empat orang wanita sekaligus. 
Dengan demikian sudah jelas bahwa pasangan lelaki yaitu  wanita, 
ini  sesuai dengan fitrah kemanusiaannya, orang-orang yang 
menikah sesama jenis termasuk golongan yang ingkar dan durhaka. 
MUI menggunakan ketiga dalil di atas untuk menjelaskan 
tentang fitrah manusia, sekaligus menjadi dalil bagi larangan 
perilaku LGBT yang dianggap menyalahi fitrah. lalu  untuk 
menguatkan fatwa larangan LGBT, MUI juga menggunakan dalil 
lainnya yang mengandung perintah kepada manusia untuk menjaga 
kemaluan dan menyalurkan hasrat seksual dengan cara yang 
dibenarkan oleh syara’. Allah berfirman: 
ُ 
Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah
mereka menahan pandanganya, dan memelihara 
kemaluannya; yang demikian itu yaitu  lebih suci bagi 
mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang
mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: 
Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan 
kemaluannya... (QS. Al-Nur: 30-31)
Ayat di atas menunjukkan perintah kepada manusia baik 
lelaki maupun perempuan untuk menjaga mata mereka dari 
memandang sesuatu yang haram, dan juga menjaga kemaluan dari 
melampiaskan hasrat seksual kepada yang haram dan menyimpang, 
seperti berzina, liwath (sodomi) dan sihaq (lesbian). Perbuatan￾perbuatan ini  yaitu  bentuk pelampiasan hasrat seksual yang 
terlarang dan menyimpang. Umat Islam dilarang melakukannya dan 
harus menjaga kemaluan mereka dari perbuatan-perbuatan ini . 
Dalam ayat yang lain Allah berfirman: 
ِ ْ َ 
Artinya: Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya. kecuali 
terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka 
miliki, Maka Sesungguhnya mereka dalam ini  tiada 
tercela. (QS. Al-Ma’arij: 29-30)
Ayat di atas menjelaskan bahwa sebagian dari ciri orang 
mukmin yaitu  mereka yang menjaga kemaluannya dari yang haram, 
sebaliknya mereka menyampaikan hajat seksualnya kepada isteri 
atau budak yang dimiliki secara sah. Penyaluran syahwat secara 
sah/halal tidak ada cela padanya, bahkan sangat dianjurkan. 
Sebaliknya penyaluran syahwat secara haram sangat dicela, misalnya 
seseorang berzina dengan selain isteri dan budaknya, sodomi dan 
lain sebagainya. Allah Swt telah menetapkan cara terbaik untuk 
menyalurkan hajat seksual melalui pernikahan atau memiliki budak. 
lalu  mengenai larangan hubungan seksual sesama 
jenis, MUI memahaminya dari kandungan QS. Al-Syu’ara (26) : 165-
166 yang berbunyi:
Artinya: Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia. 
dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh 
Tuhanmu untukmu, bahkan kamu yaitu  orang-orang yang 
melampaui batas (QS. Al-Syu’ara (26) : 165-166).
Ayat ini  mengisahkan tentang kaum Nabi Luth as yang 
menyukai sesama jenis, padahal saat  itu ada  perempuan￾perempuan yang bisa mereka nikahi. Namun mereka tidak 
menikahinya, akan namun lebih menyukai kepada sesama jenis. Allah 
Swt menyebutkan mereka sebagai kaum pembangkang, sebab telah 
melangkahi fitrah yang telah ditetapkan Allah susaha  menyalurkan 
nafsu syahwatnya kepada lawan jenis. 
Dalam ayat yang lain, Allah Swt juga mengisahkan perilaku 
kaum Luth as yang menyukai sesama jenis, yaitu QS. Al-‘Araf (7) : 80-
81 yang berbunyi: 

Artinya: dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). 
(ingatlah) tatkala Dia berkata kepada mereka: "Mengapa 
kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum 
pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) 
sebelummu?" Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk 
melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada 
wanita, malah kamu ini yaitu  kaum yang melampaui 
batas. (QS.Al-‘Araf (7) : 80-81)
Dalam ayat ini dikisahkan bahwa Nabi Luth as menegur 
kaumnya yang melakukan perbuatan keji (fahisyah) yang belum 
pernah dilakukan oleh umat sebelum mereka, yaitu menyukai 
sesama jenis (homoseksual). Padahal saat  itu ada perempuan￾perempuan yang dapat dinikahi, namun mereka tidak menyukai dan 
tidak mau menikahinya. Mereka dianggap kaum yang melampaui 
batas, Allah Swt telah menurunkan azab yang dasyat sebagai 
peringatan bagi mereka dan umat sesudah mereka. 
Sesuai dengan maksud ayat di atas Allah juga berfirman pada 
ayat lain yang bunyinya: 

Artinya: Dan (ingatlah kisah) Luth, saat  Dia berkata kepada 
kaumnya: Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah 
itu sedang kamu memperlihatkan(nya)?. Mengapa kamu 
mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan 
(mendatangi) wanita? sebenarnya kamu yaitu  kaum yang 
tidak mengetahui (akibat perbuatanmu). (QS. Al-Naml (27) : 
54-55)
Ayat ini juga juga mengisahkan tentang Nabi Luth as yang 
menegur kaumnya sebab menyukai sesama jenis, beliau mengajak 
kaumnya untuk melihat dan memikirkan perbuatan homoseksual 
yang mereka lakukan. Sesungguhnya yaitu  perilaku orang 
bodoh dan tidak menyadari akibat negatifnya. Kaum Nabi Luth as 
sama sekali tidak peduli dengan ajakan beliau, bahkan mereka 
bertambah ingkar dan menantang Nabi Luth as untuk mendatangkan 
azab untuk membuktikan kekeliruan perbuatan mereka. ini  
dipahami dari kandungan QS. Al-‘Ankabut (29) : 28-29 yang 
berbunyi:
Artinya: Dan (ingatlah) saat  Luth berkata kepada kaumnya: 
"Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan 
yang Amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh 
seorangpun dari umat-umat sebelum kamu". Apakah 
Sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun 
dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat 
pertemuanmu? Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya 
mengatakan: "Datangkanlah kepada Kami azab Allah, jika 
kamu Termasuk orang-orang yang benar". (QS. Al-‘Ankabut 
(29) : 28-29)
Mereka menantang Nabi Luth as susaha  mendatangkan azab 
jika yang mereka lakukan itu salah, lalu tantangan mereka dijawab 
oleh Allah Swt dengan menurunkan azab kepada mereka yaitu 
menjungkir-balikkan negeri itu dan menurunkan hujan belerang 
yang panas dari api neraka secara bertubi-tubi ke atas mereka. 
Perihal bencana yang menimpa kaum Luth as diabadikan oleh Allah 
Swt dalam QS. Hud : 82 yang berbunyi: 
ََ Artinya: Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum 
Luth itu yang di atas ke bawah (kami balikkan), dan Kami 
hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan 
bertubi-tubi (QS. Hud (11) : 82)
Allah Swt mengangkat negeri sodom ke langit, lalu 
melemparkannya kembali ke bumi sehingga hancur berkeping￾keping. Setelah itu Allah Swt menurunkan hujan belerang yang panas 
dari api neraka untuk membakar tubuh mereka. Musibah yang sangat 
dasyat ini ditimpakan kepada mereka akibat keingkaran dan 
perbuatan keji yang mereka lakukan. Sesungguhnya musibah yang
menimpa Bangsa Sodom ini menjadi pelajaran bagi umat sekarang 
untuk tidak mengulangi perbuatan yang sama, dan bukan tidak 
mungkin musibah seperti itu kembali terjadi jika perilaku LGBT 
kembali merajalela. 
Selain Al-Quran, MUI juga menggunakan beberapa hadis 
sebagai dalil larangan perilaku LGBT, antara lain: 
َ 
Artinya: Dari Abdullah ibn Mas’ud ra. Berkata: Nabi SAW. Bersabda: 
“Tidaklah wanita bersentuhan kulit (dalam satu busana) 
dengan wanita, maka ia akan membayangkannya itu 
suaminya yang seolah sedang melihatnya. (HR. Al-Bukhari)
Hadis ini menjelaskan bahwa perilaku dua orang perempuan 
atau lebih yang saling menyentuh anggota badan satu sama lain 
dengan membayangkan seolah-olah itu suaminya yaitu  
perbuatan yang haram. Perilaku yang demikian disebut sihaq
(lesbian), yaitu perempuan yang menyukai sesama jenis dan 
melakukan hubungan seksual sesama perempuan. Mereka tidak 
menyukai laki-laki. 
Artinya: Dari Abdur Rahman ibn Abu Sa'id Al-Khudri dari ayahnya, 
bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda: "Tidak boleh lelaki 
melihat aurat lelaki, dan tidak boleh wanita melihat aurat 
wanita, tidak boleh lelaki bersentuhan kulit dengan lelaki 
dalam satu busana, dan tidak boleh wanita bersentuhan kulit 
dengan wanita dalam satu busana". (HR. Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa seorang laki-laki tidak 
dibolehkan melihat kepada aurat laki-laki lain, demikian pula 
perempuan dilarang melihat aurat perempuan lain. Selain itu, baik 
laki-laki maupun perempuan dilarang berkumpul dalam satu selimut 
dengan sesama jenis, ini menunjukkan bahwa laki-laki dan 
perempuan dilarang memuaskan nafsu syahwatnya kepada sesama 
jenis, yaitu saling merangsang satu sama lain. 
َ 
Artinya: Dari Abu Hurairah, berkata: Rasulullah SAW. bersabda: 
"Janganlah wanita bersentuhan kulit (tanpa busana) dengan 
wanita lain, dan janganlah lelaki bersentuhan kulit (tanpa 
busana) dengan lelaki lain". (HR. Ahmad dan Abu Dawud) 
Hadis ini secara lebih spesifik melarang perempuan untuk 
bersentuhan kulit dengan perempuan lain dalam keadaan tanpa 
busana, artinya kedua saling merangsang satu sama lain. Demikian 
pula antara laki-laki juga tidak boleh saling bersentuhan kulit sesama 
laki-laki dengan tujuan untuk merangsang hasrat seksual satu sama 
lain. Hadis ini menunjukkan larangan perilaku gay dan lesbian, yaitu 
perilaku individu yang menyukai sesama jenis (homoseksual). 
Hukum gay dan lesbian sama dengan zina, sebagaimana
dipahami dari hadis yang berbunyi:
Artinya: Dari Abu Musa, berkata: Rasulullah SAW. bersabda: "jika  
lelaki menggauli lelaki, maka keduanya berzina. Dan jika  
wanita menggauli wanita, maka keduanya berzina. (HR. Al￾Baihaqi) 
Dalam hadis ini Rasulullah Saw menerangkan bahwa laki-laki 
yang berhubungan seksual sesama laki-laki, dan perempuan yang 
melakukan hubungan seksual sesama perempuan sama dengan 
mereka telah berzina, artinya perilaku mereka dianggap sebagai 
perbuatan zina sehingga mesti dihukum dengan had. Hadis ini 
menunjukkan bahwa homoseksual yaitu  dosa besar yang sangat 
dilarang dalam Islam. Perbuatan ini  tidak bedanya dengan zina 
dari segi hukuman. 
Dalam hadis yang lain Rasulullah Saw secara khusus 
menerangkan tentang hukum lesbian, yaitu: 
َ 
Artinya: Dari Watsilah ibn Al-Asqa', berkata: "hubungan seksual 
wanita dengan sesama wanita itu zina". (HR. Al-Baihaqi) 
Hadis ini menegaskan bahwa perempuan lesbian yang 
berhubungan seksual dengan pasangannya yang perempuan 
sesungguhnya kedua telah berzina dan patut diberikan hukuman 
had. Rasulullah Saw sangat mengkhawatirkan perbuatan 
homoseksual terjadi terhadap umatnya. Sehingga dalam sebuah 
hadis beliau menyebutkan bahwa hal itu salah satu yang sangat 
ditakutinya jika terjadi.
Artinya: Dari 'Abdullah ibn Muhammad ibn 'Uqail, bahwasanya ia 
mendengar Jabir berkata: Rasulullah SAW. bersabda: 
"Sesungguhnya apa yang saya khawatirkan menimpa umatku 
yaitu  perbuatan umat Nabi Luth". (HR. At-Tirmidzi)
Dalam hadis ini , Rasulullah Saw menyatakan 
kekhawatiran yang mendalam jika umatnya melakukan perbuatan 
yang pernah dilakukan oleh kaum Nabi Luth as, yaitu homoseksual. 
berdasar  realitas dalam warga , ternyata kekhawatiran 
beliau telah terjadi, di mana kebanyakan manusia dewasa ini telah 
mempraktekkan LGBT secara terang-terangan, bahkan mereka juga 
mendesak pemerintah untuk mengakui dan melegalkan perilaku 
mereka dengan dalih hak asasi manusia. 
Rasulullah Saw sangat melaknat pelaku homoseksual, bahkan 
dalam suatu hadis beliau secara berulang kali melaknat orang-orang 
yang mengerjakan perbuatan ini . Ini menunjukkan bahwa 
perbuatan ini  sangatlah keji dan mesti dijauhi. Beliau bersabda: 
Artinya: Dari Ibn 'Abbas, bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda: 
"Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan umat
Nabi Luth, Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan 
umat Nabi Luth, Allah melaknat orang yang melakukan
perbuatan umat Nabi Luth". (HR. An-Nasai dan Ahmad)

Selain ayat dan hadis, dalam penetapan hukum haramnya 
LGBT, MUI juga berpijak kepada ijma’ (konsensus) ulama mengenai 
haramnya liwath dan aktifitas seksual sesama jenis (homoseksual). 
Para ulama telah menyepakati bahwa LGBT yaitu  perilaku 
menyimpang dan sangat dilarang dalam Islam. Kesepakatan ulama 
dalam masalah ini berdasar  petunjuk dalil yang demikian jelas 
mengenai larangan ini , baik al-Quran maupun hadis. 
Dalam menetapkan fatwa mengenai haramnya perilaku 
LGBT, MUI juga menggunakan beberapa qaidah ushuliyyah dan 
fiqhiyyah, ini  bertujuan untuk memastikan bahwa hukum yang 
ditetapkan memenuhi aspek metodelogis. Berikut ini beberapa 
kaidah yang digunakan MUI, yaitu: 
- Qaidah Ushuliyyah: 
1. الزرعات صاد (Sadd al-zari’ah), yaitu menutup peluang sekecil 
apapun untuk terjadinya zina. 
ْ
ِ (Kebijakan pemerintah 
terhadap rakyatnya didasarkan pada kemaslahatan)
berdasar  kaidah-kaidah ini , MUI menetapkan 
perilaku LGBT sebagai perbuatan haram yang mesti dihindari. 
Perbuatan ini  dapat menimbulkan bahaya (mafsadat) bagi 
eksistensi manusia, yaitu terancamnya keturunan. Jika perilaku 
ini  dibiarkan tidak dicegah, maka populasi manusia akan 
berkurang secara drastis, bahkan menuju punah, sebab perilaku 
ini  dapat menghambat perkembangbiakan manusia.
Pemerintah harus mengambil tindakan tegas dalam masalah 
ini dengan membuat suatu ketentuan untuk mengantisipasi 
perkembangan perilaku LGBT dalam warga . Tindakan 
pemerintah dalam ini  yaitu  bentuk tanggungjawab untuk 
mewujudkan kemaslahatan bagi warga  (rakyat) dan 
menghindari kemudharatan. Pemerintah yaitu  kekuatan 
politik yang bertugas untuk merealisasikan hal itu. 
Selain nash yang telah dikemukakan di atas, MUI juga 
merujuk kepada pendapat para ulama dalam menetap hukum LGBT, 
ini  sebagaimana tertuang dalam salinan fatwa. Beberapa 
pendapat ulama yang digunakan, yaitu: 
1. Al-Syairazy 
Dalam kitab Al-Muhadzdzhab, Al-Syairazy menyatakan bahwa 
liwath (senggama ke dalam anus) hukumnya haram berdasar  
firman Allah SWT; "Dan (ingatlah kisah) Luth, saat  dia berkata 
kepada kaumnya: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan "fahisyah" 
(amat keji) yang belum pernah terjadi oleh seorang pun dari umat￾umat semesta alam". (QS. Al-A’raf: 80). Dalam ayat ini Allah SWT 
menyebut liwath dengan kata "fāhisyah" (perbuatan keji). 
Dalam ayat yang lain Allah Swt berfirman; "Dan janganlah 
kamu mendekati perbuatan-perbuatan keji, baik yang nampak di 
antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu 
membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali sebab sesuatu 
yang benar. Demikian itu yang diperintahkan oleh Allah kepadamu 
susaha  kamu memahami". (QS. Al-An'am: 151). Sebagai fakta dilarangnya perbuatan ini , Allah Swt telah menyiksa kaum Luth 
dengan siksaan yang belum pernah ditimpakan kepada seorang pun 
sebelumnya akibat perbuatan keji yang mereka lakukan. ini  
menjadi dalil pula diharamkannya "liwath". Siapa pun melakukannya, 
sedang  ia termasuk orang yang dapat dikenai had zina, maka 
wajiblah baginya hukuman had zina itu.58
2. Muhammad bin ‘Umar al-Razi 
Dalam kitab tafsirnya Mafatihul Ghaib, beliau mengemukakan 
bahwasanya Allah Swt. dalam menumbuhkan rasa cinta kasih 
terhadap isteri dan anak di dalam hati manusia ada  hikmah 
yang sangat penting. Bahwasanya kalaulah rasa cinta itu tidak ada, 
tentu tidak akan mungkin lahir anak/keturunan. Itulah hikmah cinta 
yang yaitu  fakta naluri manusia, sehingga eksistensi manusia 
terus eksis.59
Jadi ada maksud khusus Allah menaruh rasa suka dan kasih 
sayang antara laki-laki dan perempuan (suami-isteri), susaha  
keduanya merasa cendrung atau mempunyai hasrat satu sama lain. 
Dengan itu keturunan manusia akan terus berlangsung dan 
bertambah. Ini yaitu  hikmah terbesar dari fitrah manusia 
diciptakan menyukai kepada lawan jenis yang harus diketahui 
susaha  tidak terjerumus ke dalam perilaku yang menyimpang. 
3. Sulaiman bin Muhammad bin 'Umar al-Bujairimi 
Dalam kitabnya Tuhfah Al-Habib, beliau mengemukakan 
bahwa hukum liwath, yaitu memasukkan hasyafah (ujung kelamin 
laki-laki) atau seukurannya ke dalam anus lelaki walau hamba 
sahaya miliknya, atau wanita selain isteri dan budak wanitanya dan 
senggama dengan binatang yaitu  sama dengan hukum zina ke 
dalam vagina (alat kelamin wanita).60 
Dari pendapat ini  dapat dipahami bahwa ada kesamaan 
antara sodomi dan bersetubuh dengan binatang dengan zina 
(bersetubuh dengan perempuan yang haram baginya). Persamaan 
dalam kontek ini yaitu  dari sisi bentuk hukumannya, yaitu dihukum 
dengan had. Jika pelakunya telah menikah (muhsan), maka 
hukumannya yaitu  rajam. sedang  pelaku yang belum menikah 
(ghairu muhsan) hukumannya yaitu  jilid 100 kali. 4. al-Nawawi 
Dalam kitabnya Al-Minhaj Syarh Sahih Muslim, beliau 
mengemukakan bahwa hadis Nabi Saw yang melarang lelaki 
bergumul dengan sesama lelaki di dalam satu busana, dan demikian 
pula bagi wanita dengan sesama wanita, yaitu  larangan yang 
mengandung hukum haram, jika terjadi sentuhan langsung (tanpa 
pelapis) antara aurat keduanya. ini  menjadi dalil atas 
diharamkannya bersentuhan aurat sesama jenis pada bagian mana 
pun. Hukum inilah yang menjadi kesepakatan di antara ulama.
Pada bagi yang lain dari kitabnya, Al-Nawawi juga 
menjelaskan bahwa hadis Nabi Saw tentang anak Adam telah 
ditentukan bagian terkait zina yang di antara mereka adakalanya 
haqiqi (sebenarnya) dengan memasukkan farji ke dalam farji yang 
haram, dan adakalanya yaitu  majaz (kiasan) mengenai 
berbagai hal yang memicu untuk berbuat zina, seperti melihat, 
mendengar, menyentuh, mencium, berjalan, berbicara,
berkesenangan dan sebagainya terhadap wanita yang bukan 
mahram. Semua itu yaitu  aneka macam zina yang bersifat 
majazi (kiasan). Mengenai farji menepati semua itu atau tidak, 
maknanya bahwa semua itu dapat memicu  zina farji atau tidak 
saat  tidak memasukkan farji ke dalam farji, meskipun dapat 
mendorong untuk melakukannya. Allah SWT Maha Mengetahui.62
Dari itu dapat dipahami bahwa zina terbagi dua, yaitu; 
pertama, zina hakiki yaitu perbuatan seorang lelaki yang 
memasukkan penis ke dalam vagina perempuan yang tidak halal 
baginya. Kedua, zina majazi (kiasan), yaitu melihat, mendengar, 
memikirkan dan meraba aurat perempuan atau lelaki yang tidak 
halal baginya dengan syahwat, selain keperluan (hajat) yang 
dibolehkan. Perbuatan yang kedua disebut dengan zina dalam arti 
majazi (kiasan) sebab dapat membawaki seseorang kepada zina 
yang sebenarnya (hakiki) jika melakukan hal itu. 
Bagi lelaki haram melihat aurat sesama lelaki, dan haram 
pula bagi wanita melihat aurat sesama wanita. permasalahan ini 
tidak ada  perbedaan pendapat. Demikian pula hukum lelaki 
melihat aurat wanita, dan wanita melihat aurat lelaki yaitu  haram 
berdasar  ijma' ulama. Adapun batas aurat bagi selain mahram 
yaitu  antara sesama lelaki yaitu  antara pusar dan lutut, demikian 
pula antara sesama wanita. sedang  antara lelaki dan perempuan 
batasan auratnya seluruh tubuh, keduanya tidak boleh saling melihat 
satu sama lain kecuali ada suatu keperluan.63
5. Zakaria al-Anshari 
Dalam kitabnya Asna al-Mathalib, beliau mengemukakan 
bahwa dua orang lelaki atau dua orang wanita haram berbaring 
dalam satu busana, jika keduanya telanjang meskipun masing-masing 
keduanya hanya bersebelahan di atas alas tidur sebab ada  
hadits riwayat Muslim, yaitu: “Tidaklah seorang lelaki bergumul 
dengan sesama lelaki di dalam satu busana, dan tidaklah pula seorang 
wanita bergumul dengan seorang wanita di dalam satu busana".

6. Abdur Rauf al-Munawi 
Dalam kitabnya Faidh al-Qadir, dijelaskan tentang hadits 
bahwasanya hubungan seksual sesama wanita yaitu  zina. 
Maksud hadis ini yaitu  seperti zina dalam kaitannya sama-sama 
berdosa, meskipun berbeda kadar beratnya. Dalam masalah ini tidak 
dikenai had (hukuman yang telah ditentukan), namun hanya dihukum 
dengan ta’zir (hukuman yang tentatif) sebab dilakukan tanpa 
senggama. Kata zina yang secara umum meliputi zina mata, kaki, 
tangan dan mulut, yaitu  kata majaz (kiasan/serupa).65
7. Ibnu Qayyim Al-Jauzi 
Dalam kitabnya Al-Jawab Al-Kaafi Liman Sa’ala An Ad-Dawa’i 
Al-Syaafi, beliau mengemukakan bahwa barang siapa membaca 
secara seksama firman Allah SWT : “ Dan janganlah kamu mendekati 
zina, sesungguhnya zina itu yaitu  perbuatan yang keji. (QS. Al-Isra), 
serta firman-Nya dalam menjelaskan hukum sodomi : “ Mengapa 
kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu” (QS. Al-A’raf), akan 
tampak perbedaan di antara keduanya. Allah SWT menyebutkan kata 
fāhisyah secara nakirah dalam ayat zina, untuk menegaskan bahwa 
zina yaitu  bagian dari kejahatan, sementara dalam ayat sodomi 
disebutkan kata ini  dengan “makrifah” (diketahui) untuk 
menunjukkan bahwa sodomi mengandung segala macam bentuk 
kejahatan. 
lalu Allah Swt. menegaskan bahwa kejahatan ini  
belum pernah dilakukan oleh seorangpun di dunia ini sebelum mereka, Allah Swt berfirman; “Yang belum pernah dikerjakan oleh 
seorangpun (di dunia ini ) sebelumnya“. Bahkan ditegaskan kembali 
dengan redaksi ayat yang menjelaskan bahwa kejahatan ini  
mendatangkan rasa jijik dalam hati serta keengganan mendengarnya, 
yaitu pelampiasan nafsu seorang laki-laki kepada sesama lelaki 
seperti halnya yang dilakukan kepada wanita, Allah SWT berfirman; “ 
Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu 
(kepada mereka), bukan kepada wanita“. 
lalu Allah Swt menegaskan kembali akan buruknya
perilaku sodomi yang bertentangan dengan ketentuan Allah yang 
menciptakan manusia atas fitrah berpasang-pasangan dan 
bahwasanya perilaku sodomi telah memutarbalikkan tabiat laki-laki 
yang diciptakan oleh Allah untuk memiliki kecendrungan kepada 
wanita dan bukan kepada sesama laki-laki. Oleh sebab itu, Allah 
memberikan hukuman kepada mereka berupa dijungkirbalikkan 
negeri tempat tinggal mereka sehingga mereka pun terbenam ke 
dalam tanah. Allah SWT juga menegaskan bahwa kejahatan sodomi 
yaitu  kejahatan yang melampaui batas, Allah berfirman: 
“Bahkan kamu yaitu  orang-orang yang melampaui batas“. Maka 
perhatikanlah secara seksama apakah kecaman seperti ini 
disebutkan dalam hal perzinaan.66
Dalam kitab Zadul Maad, beliau juga mengemukakan bahwa 
hukuman bagi pelaku sodomi sudah sesuai dengan hukum Allah. 
sebab semakin besar perbuatan yang diharamkan maka semakin 
berat pula hukumannya, dalam ini  persetubuhan yang tidak 
dibolehkan sama sekali lebih besar dosanya dari persetubuhan yang 
diperbolehkan dalam kondisi tertentu, oleh sebab itu hukumannya 
harus diperberat.
8. Ibnu Qudamah 
Dalam kitabnya Al-Mughni dijelaskan bahwa memberikan 
hukuman bagi pelaku sodomi telah menjadi konsensus (ijma’) para 
sahabat, mereka telah sepakat untuk menghukum mati pelaku 
sodomi, hanya saja mereka berbeda pendapat dalam tata cara 
pelaksanaan hukuman mati ini  .68 lalu  tidak ada 
perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa hukuman had tidak 
berlaku untuk orang gila dan anak kecil yang belum baligh.69
9. Al-Buhuuti 
Dalam kitabnya Syarhu Muntaha Al-Iradat, dijelaskan bahwa 
tidak berlaku hukum had jika  pasangan pelaku sodomi dipaksa 
untuk melakukan sodomi dengan pemerkosaan, ancaman 
pembunuhan atau ancaman fisik lainnya.70 Pendapat ini untuk 
melengkapi kedudukan hukum sodomi bagi pelaku yang tidak 
mempunyai taklif (pembebanan hukum), seperti anak kecil, orang 
gila, orang dipaksa dan lainnya. Mereka tidak dikenakan had atas 
kesalahan mereka, sebab tidak melakukannya secara sadar. 
Selain pendapat para ulama sebagaimana telah dikemukakan 
di atas, MUI juga merujuk kepada konsideran fatwa MUI sebelumnya 
yaitu Fatwa MUI tentang Kedudukan Waria, tanggal 9 Jumadil Akhir 
1418 H, bertepatan dengan tanggal 11 Oktober 1997. Dalam fatwa 
ini , MUI menyatakan bahwa waria yaitu  laki-laki dan tidak 
dapat dipandang sebagai kelompok (jenis kelamin) tersendiri, dan 
segala perilaku waria yang menyimpang yaitu  haram dan harus 
diusaha kan untuk dikembalikan pada kodratnya semula. Belakangan 
ini istilah waria telah diubah menjadi transgender, maka perilaku 
transgender sebagaimana merujuk kepada ketentuan fatwa MUI ini 
yaitu  haram, dan harus dipulihkan untuk dikembalikan kepada 
bawaan asalnya baik laki-laki atau perempuan. 
Dengan mengacu kepada nash, ijma’ dan pendapat para
ulama di atas, MUI menetapkan hukum haram bagi perilaku LGBT. 
Lembaga pertimbangan hukum ini  memandang perilaku LGBT 
telah menyimpang dari fitrah manusia yang telah ditakdirkan Allah 
Swt, yaitu berhubungan dengan lawan jenis, bukan sesama jenis. 
berdasar  fatwa MUI, individu LGBT dapat dikenakan hukuman 
berupa had atau ta’zir sesuai pertimbangan hakim. Untuk 
pelanggaran yang lebih berat, di mana yang menjadi korban sodomi 
yaitu  anak-anak, maka hukumannya dapat diperberat sampai batas 
maksimal hukuman mati. 
Dalam menetapkan hukum bagi LGBT, MUI menempuh 
tahapan pembentukan hukum yang sistematis mulai dari pencarian 
nash mengenai LGBT berupa ayat Al-Quran dan Hadis, 
memperhatikan ijma’ ulama, memperhatikan qaidah ushuliyyah dan 
fiqhiyyah yang sesuai dengan permasalahan LGBT, dan terakhir
yaitu  memperhatikan berbagai komentar ulama mengenai ini . 
Setelah semua tahapan ini  dilalui baru lalu ditetapkan 
fatwa, yaitu LGBT hukumnya haram, dan pelakunya patut diberikan 
sanksi. 
B. Menurut Pandangan Jaringan Islam Liberal (JIL) 
Tokoh-tokoh dari Jaringan Islam Liberal (JIL) memandang 
LGBT yaitu  bawaan dari seseorang yang tidak perlu 
dipermasalahkan, dan bukan pula penyakit sehingga harus 
disembuhkan. Tokoh-tokoh JIL membela individu LGBT secara 
terang-terangan dengan berbagai argumentasi rasional. Tentang 
hukum LGBT ini, antara JIL dan MUI sangat bertolak belakang 
pandangannya. JIL membenarkan perilaku ini, sedang  MUI 
menganggapnya telah menyimpang dan perlu dicegah. 
Untuk melihat bagaimana pandangan tokoh JIL mengenai 
LGBT, penulis mengutip beberapa pandangan dari mereka mengenai 
ini , terutama pandangan dari Ulil Abshar Abdalla yang 
yaitu  pemuka jaringan ini dan juga pandangan dari beberapa 
tokoh lainnya yang berafiliasi kepada JIL. Untuk memudahkan, 
sekaligus memastikan pandangan ini  berasal dari tokoh JIL, 
penulis mengutip tulisan-tulisan mengenai LGBT yang dimuat pada 
website JIL yaitu islamlib.com/. 
Tidak terbatas di situ, penulis juga mengutip berbagai 
pandangan mereka mengenai LGBT yang dimuat media lain, baik 
dalam bentuk artikel ilmiah maupun komentar mereka tentang 
masalah ini. Dengan demikian pemikiran tokoh JIL mengenai LGBT 
dapat tersaji dengan utuh dan komprehensif. Satu persatu 
pandangan dari mereka mengenai LGBT akan disajikan untuk 
dibahas dan terakhir ditarik suatu kesimpulan mengenai pemikiran 
mereka dalam masalah ini. 
1. Ulil Abshar Abdalla 
Tokoh yang satu ini paling banyak disoroti oleh nitizen saat  
membuat pernyataan mengenai LGBT dalam salah satu media online. 
Dalam menyikapi isu ini ia memegang kepada dua prinsip, yaitu 
prinsip sains dan prinsip "generosity" (kedermawanan dan toleransi). 
Kedua prinsip ini  diyakininya sangat sesuai dengan ajaran 
Islam. Islam mengajarkan umatnya untuk menghargai sains dan ilmu 
pengetahuan, di mana dalam Al-Quran kata “ilmu” dan derivasinya 
disebut berkali-kali diberbagai tempat, ini menunjukkan betapa 
pentingnya ilmu menurut Islam. Sementara itu prinsip generosity atau sikap kedermawanan 
juga diperintahkan oleh Islam. Sikap generous yang maksud di sini 
ialah sikap toleran, dermawan pada orang lain, menghargai mereka, 
meskipun mereka mempunyai sifat, sikap dan bawaan yang berbeda. 
Sikap ini sesuai dengan ajaran dalam Al-Quran yang tertuang dalam 
QS. Al-Hujarat (49) : 13 yang berbunyi: 
َ 
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari 
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan 
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku susaha  kamu 
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling 
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling 
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha 
mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujarat (49) : 13)
berdasar  dua prinsip ini, maka Ulil Absar Abdalla 
menentukan sikapnya mengenai LGBT. Bahwasanya berdasar  
prinsip sains sudah seharusnya seorang muslim bersikap terhadap 
segala hal berdasar  data dan bukti sains, jika masalah yang 
dihadapi melibatkan fakta-fakta sains, maka mengabaikan sains jelas 
tidak sesuai dengan ajaran al-Quran. 
Ada dua cabang sains yang terlibat dalam penelitian soal 
LGBT, yaitu psikologi/psikiatri dan biologi, terutama cabang biologi 
yang berurusan dengan genetika. Untuk waktu yang lama, psikiatri di 
dunia Barat menganggap bahwa homoseksualitas yaitu  penyakit. 
Yang pernah menonton film "Game Theory" tentang ilmuwan Inggris 
yang meletakkan landasan untuk komputer modern, Alan Turing, 
pasti tahu bagaimana otoritas di Inggris saat itu (pada tahun 50-an) 
masih menganggap LGBT sebagai penyakit, bahkan kejahatan. 
sebab itu Turing dipaksa untuk melakukan terapi yang dalam dunia 
psikiatri biasa disebut "reparative therapy". Turing akhirnya bunuh 
diri, sebab tak kuat menghadapi terapi itu. Otoritas sains dan politik 
di Inggris hingga dekade 50-an saat Turing hidup beranggapan 
bahwa homoseksualitas yaitu  "mental disorder", bahkan kejahatan, 
yang harus diobati. namun riset tentang homoseksualitas tak pernah berhenti. 
Pada tahun 70-an, pendapat para ahli psikiatri di dunia mulai 
berubah. berdasar  riset-riset mereka, disimpulkan bahwa 
homoseksualitas bukanlah penyakit atau "mental disorder", namun 
variasi preferensi seksual yang wajar. Pada Tahun 1973, American 
Psychiatric Association mencabut homoseksualitas dan lesbianisme 
dari daftar penyakit mental. Dan pada 1975, American Psychological 
Association juga mengambil langkah serupa. Ahli-ahli psikiatri dan 
psikologi di seluruh dunia mengikuti langkah ini, tidak terkecuali di 
negara kita . Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa 
(PPDGJ) yang menjadi acuan para ahli psikiatri di negara kita  sudah 
mengeluarkan homoseksualitas dan lesbianisme dari daftar penyakit 
mental. Dalam PPDGK edisi II 1983 dan edisi III 1993, 
homoseksualitas sudah dikeluarkan dari daftar penyakit mental. 
Hingga sekarang ini, konsensus saintis di dunia sudah nyaris 
final bahwa homoseksualitas bukan penyakit, dan sebab itu terapi 
(reparative therapy) untuk preferensi seksual ini sama sekali tidak 
disarankan, bahkan ditolak. WHO pada 1990 mengikuti konsensus 
ini, bahwa homoseksualitas bukanlah penyakit, namun preferensi 
yang biasa saja. Preferensi ini ada dalam dunia binatang, bahkan 
dalam jumlah yang banyak, begitu juga dalam dunia manusia. 
Sebaiknya, seorang Muslim dalam menyikapi soal LGBT ini bersandar 
pada sains, bukan berdasar  tradisi dan pendapat generasi￾generasi terdahulu. Al-Quran melarang taqlid (fanatik) pada ajdad
(leluhur) tanpa dasar pengetahuan yang cukup. 
Menurutnya, soal LGBT ini sudah nyaris final secara sains, 
sama dengan finalnya posisi sains tentang teori gravitasi dan evolusi. 
Rasanya sains susah berubah pendapat soal gravitasi dan evolusi lalu 
mengingkarinya sama sekali. Sebagaimana sains juga susah 
dibayangkan akan mengubah pendapatnya soal homoseksualitas ini. 
Dari itu ia menyimpulkan bahwa LGBT bukanlah penyakit 
menurut saintis (ilmu pengetahuan), sebab ajaran Al-Quran 
mengharuskan untuk menghargai sains, maka sudah sepatutnya 
pandangan umat Islam mengenai isu ini juga berubah, dan tidak 
sekedar mengikuti pandangan yang diwariskan oleh tradisi leluhur. 
Sementara itu prinsip generosity yang yaitu  prinsip 
islami mengharuskan seorang Muslim untuk menghindari sikap 
homofobia, yaitu membenci individu yang memiliki preferensi 
homoseksual. Seseorang boleh saja tidak sepakat dengan mereka, 
bahkan membenci atau jijik pada perilaku seksual mereka. namun 
ketidaksukaan kepada mereka tidak boleh menghalangi seseorang untuk bersikap adil kepada mereka. sedang  Al-Quran 
mengajarkan manusia untuk bersikap adil, bahkan terhadap mereka 
yang tidak kita sukai sekalipun. Allah berfirman: 
َ 
Artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang￾orang yang selalu menegakkan (kebenaran) sebab Allah, 
menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali 
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu 
untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, sebab adil itu 
lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, 
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu 
kerjakan. (QS. Al-Maidah (5) : 8).
Menurut Ulil Absar Abdalla, ayat ini  kerap dikutip oleh 
Nurcholish Madjid (Cak Nur) dahulu dalam menggambarkan tentang 
prinsip keadilan, sebab sikap adil itu lebih dekat kepada ketakwaan. 
Manifestasi sikap adil pada kaum LGBT yaitu  memberikan hak-hak 
hidup yang sama pada mereka, bukan mendiskriminasikan. Salah 
satu sikap adil juga yaitu  tidak memaksa LGBT melakukan terapi 
penyembuhan. Satu-satunya terapi yang diperbolehkan dalam satu 
masalah ini yaitu  manakala ada orang LGBT yang merasa terganggu 
dengan kecenderungan seksualnya. Jika yang bersangkutan merasa 
terganggu dengan homoseksualitas dan minta diterapi, maka 
terhadapnya boleh dilakukan tindakan reparative therapy. namun 
terapi ini tidak boleh dipaksakan kepada semua kaum LGBT hanya 
sebab menganggap mereka melakukan penyimpangan. 
Hal terakhir menurut anggapan populer bahwa LGBT dapat 
menular kepada orang lain, namun menurut penelitian sejauh ini 
tidak benar LGBT menular. Perilaku ini  hanya bisa menular 
pada orang-orang yang memang sejak awal memiliki kecenderungan 
LGBT. American Psychological Associaton menyarikan konsensus 
mutakhir di kalangan sains seperti ini: Although much research has 
examined the possible genetic, hormonal, developmental, social, andcultural influences on sexual orientation, no findings have emerged 
that permit scientists to conclude that sexual orientation is determined 
by any particular factor or factors. Many think that nature and nurture 
both play complex roles; most people experience little or no sense of 
choice about their sexual orientation." 71
Jadi, menurut Ulil Absar Abdalla bahwa perilaku LGBT 
bukanlah penyakit mental yang harus dicegah, namun hanya bawaan 
yang berbeda dan dianggap sebagai preferensi seksual manusia. 
berdasar  perkembangan saintis sejauh ini LGBT telah 
dikeluarkan dari jenis penyakit mental sehingga tidak perlu 
dipermasalahkan lagi. Alasan lainnya dalam mendukung perilaku 
LGBT menurut Ulil Absar Abdalla bahwa umat Islam harus memiliki 
sikap generosity (kedermawanan), yaitu sikap memahami perbedaan 
dan kekurangan orang lain, sehingga dapat menghormati mereka 
sebagai manusia dan tidak merendahkannya, sekalipun mempunyai 
sikap dan bawaan yang berbeda. 
2. M. Royyan Firdaus 
Dalam tulisannya dengan judul “HAM untuk LGBTI” yang 
diriliskan pada website Islam Liberal menyebutkan bahwa kaum 
LGBTI di negara kita  sering mendapat perlakuan diskriminatif. 
Komunitas ini ditempatkan pada posisi peripheral atau pinggiran di 
dalam kontitusi publik yang memandang normal relasi seksual 
dengan lawan jenis. Menurutnya, kontitusi publik yang ada sekarang 
selalu dilegitimasi oleh kekacauan tafsir keagamaan yang 
menganggap LGBTI sebagai immoral, less-religius, penyakit sosial, 
menyalahi kodrat dan bahkan dituduh sebagai sekutu setan. 
Tafsir keagamaan yang dihegemoni oleh heteronormativitas
juga turut melegetimasi tindakan diskriminasi terhadap pelaku 
LGBTI, mulai dari mengasosiasikan kaum LGBTI dengan HIV/AIDS, 
penayangan sinetron-sinetron Islam di TV yang berbau 
mendiskreditkan kaum LGBTI (contohnya Sinetron “Azab bagi 
Homoseksual”), razia Satpol PP, hingga pembentukan mindset negatif 
pada warga  terhadap mereka. 
Secara teologis, penolakan terhadap kaum homoseksual 
didasarkan kepada ayat-ayat Al-Quran yang menceritakan tentang 
Nabi Luth as seperti QS. Al-Naml (27) : 54-58, Al-‘Araf (7) : 80-81, Al￾Syu’ara (26) : 160-175. Di samping itu juga berdasar  beberapa 
hadis Nabi seperti hadis riwayat al-Thabrani dan al-Baihaqi, Ibnu 
Abbas, Ahmad, Abu Daud, Muslim dan Turmuzi. Menurut M. Royyan 
Firdaus, para ulama menggunakan dalil-dalil ini  untuk 
menghakimi kaum LGBTI dan memandang mereka layaknya hewan. 
Menurutnya, sangat naif mengaitkan azab yang terjadi pada 
kaum Nabi Luth sebagai akibat dari perilaku homoseksual mereka. 
Namun lebih tepat jika azab ini  disebabkan oleh pengingkaran, 
cemoohan dan ancaman mereka akan mengusir Nabi Luth dan tamu 
kehormatannya. Azab ini  juga lebih disebabkan oleh 
kesombongan mereka yang menantang Allah untuk mendatangkan 
azab dan siksaan kepada mereka. Sebagai bukti Allah tidak 
membenci kaum LGBTI, bahwa di negara-negara yang melegalkan 
perilaku ini  seperti Belanda, Inggris, Kanada dan lainnya 
mereka aman dan baik-baik saja. 
Pada prinsipnya LGBTI termasuk varian seksual yang bersifat 
sosial-budaya seperti Warok Reog di Ponorogo, Wandhu dalam 
tradisi Ludruk dan tari Bugis Cirebon, dan LGBTI bersifat given
(pemberian) dari Tuhan. Menurut laporan Human Genom Project, 
bahwa homoseksualitas yaitu  potensi yang inheren di dalam 
setiap orang. Struktur gen manusia pada mulanya yaitu  perempuan, 
lalu kromosom Y yang menjadikan seseorang menjadi laki-laki, 
sebenarnya yaitu  penyimpangan terhadap susunan kromosom 
manusia. Hanya saja, di dalam diri manusia setiap manusia kadar 
penyimpangannya berbeda. Bila penyimpangan bersifat total, maka 
seseorang menjadi lelaki, dan jika penyimpangan bersifat tidak total, 
maka muncullah jenis manusia yang lain, termasuk homoseksual. 
Memperhatikan kasus-masalah diskriminasi terhadap kaum 
LGBTI, seperti tuntutan negara susaha  mereka melakukan terapi 
untuk memulihkan sifat homoseksual jelas-jelas menunjukkan suatu 
pelanggaran terhadap hak privat seseorang, sebab memaksa 
mereka untuk meninggalkan identitas diri yang dianggap 
menyimpang itu demi sebuah moral publik yang menggunakan 
pandangan mayoritas terhadap minoritas.72
Jadi menurut M. Royyan Firdaus bahwa LGBT yaitu 
bagian dari fenomena sosial budaya warga  dalam melakukan 
hubungan seksual. Di beberapa tempat LGBT disebutkan dengan 
istilah tersendiri menurut bahasa setempat. Maka dalam 
pandangannya, perilaku LGBT ini harus dihormati sebagai hak 
individu, mereka tidak boleh didiskrimasi demi sebuah moral publik 
yang menggunakan pandangan mayoritas terhadap minoritas. 
3. Khoirul Anwar 
Dalam artikelnya yang berjudul “Dalil LGBT dalam Al-Quran”
yang dimuat pada situs Islam liberal, Khoirul Anwar mengulas bahwa 
tidak ada satu ayat pun dalam Al-Quran yang secara ekplisit (terang) 
melarang LGBT, demikian pula tidak ada ayat yang secara terang 
benderang menerima perilaku ini . Untuk itu setiap orang 
berhak untuk menafsirkan maksud yang relevan berkaitan dengan 
permasalahan ini.73
Dalam tulisannya, ia secara khusus menyoroti ayat-ayat Al￾Quran yang kerap dipahami melarang perilaku LGBT, lalu  
menawarkan beberapa ayat yang membolehkan perilaku ini . 
Menurutnya pendapat yang melarang LGBT mengacu kepada ayat￾ayat yang bercerita tentang Kaum Nabi Luth as, antara lain QS. Al-
‘Araf ayat 80-81, namun sesungguhnya ayat-ayat ini  
yaitu  hiburan bagi Nabi Muhammad susaha  mentalnya kuat 
dalam menghadapi kaum Quraisy yang banyak menentang
dakwahnya. Seseorang akan sampai kepada kesimpulan ini  jika 
ayat ini  dibaca dan dipahami secara utuh dengan 
memperhatikan asbab al-nuzul (sebab turunnya ayat) dan hubungan 
ayat sebelum dan sesudahnya. 
Ayat ini  diturunkan di Mekkah, saat  penolakan 
terhadap dakwah Nabi Saw oleh pembesar-pembesar Quraisy. Allah 
menurunkan ayat ini  untuk menyampaikan perihal rasul-rasul 
terdahulu yang juga menghadapi hal yang sama saat  melakukan 
dakwah, dengan demikian beliau akan terhibur dan termotivasi 
untuk meneruskan dakwahnya. ini  dapat dipahami dari maksud 
QS. Al-‘Araf ayat 34-186. 
Pemahaman ini juga dapat dibuktikan dengan penyebutan 
kata “Luth” dalam Al-Quran sebanyak 27 kali, semua diungkapkan 
dalam bentuk narasi kisah rasul yang ditolak oleh umatnya. ini  
dapat dilihat pada QS. Hud ayat 70, 74, 77, 81, 89, QS. Al-Hajj ayat 43, 
QS. Al-Hijr ayat 59, 61, QS. Al-Syu’ara ayat 160, 161, 167, QS. Al-Naml 
ayat 56, QS. Al-Ankabut ayat 26 dan beberapa ayat yang lainnya. 
Dari ayat-ayat ini  tidak dapat dipahami bentuk larangan 
LGBT, melainkan sebatas hiburan bagi Nabi Saw untuk tetap tabah 
dalam berdakwah. Sebaliknya menurut ayat yang lain justeru LGBT 
mendapat tempat, jika menyadari bahwa keragaman orientasi 
seksual yaitu  sesuatu yang bersifat bawaan (fitrah/alami). 
Dalam QS. Al-Isra’ ayat 84, Allah berfirman: 
Artinya: Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya 
masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa
yang lebih benar jalan-Nya. (QS. Al-Isra: 84). 
Dalam Kitab Lisan Al-Arab, kata syakilah bermakna ciptaan 
(khaliqah), bentuk (al-Syakl), haluan (thariqah), orientasi (jadilah).
Jadi setiap orang tidak perlu dipermasalahkan sikap dan bawaannya, 
sejauh masih tetap menjalankan petunjuk Allah Swt. Selain itu dalam 
Al-Quran juga ada janji Allah bahwa kelak penghuni surga akan 
didampingi oleh anak-anak muda tampan yang tidak akan pernah 
berubah menjadi tua, mereka disebut dengan “wildanun 
mukhalladun” (anak-anak yang tetap muda). ini  dapat ditemukan 
pada QS. Al-Waqi’ah ayat 17, QS. Al-Insan ayat 19 dan Al-Thur ayat 
24. 
Janji-janji Alquran erat kaitannya dengan kondisi warga  
yang diajak berbicara, atau sesuai dengan imajinasi warga  di 
mana Alquran diturunkan. Dalam kontek ini banyak di antara laki￾laki yang menyukai atau mempunyai hasrat seksual terhadap anak￾anak muda yang tampan, sebab itu Al-Quran menjanjikan demikian 
untuk menyampaikan hasrat warga . 
lalu  dalam QS. Al-Nur ayat 31 yang membicarakan 
perintah menutup aurat, bahwa perempuan beriman boleh 
menampakkan auratnya kepada “ghairi uli al-irbah min al-rijal” 
(lelaki yang tidak memiliki nafsu syahwat terhadap perempuan). 
Para mufassir berbeda pendapat mengenai maksud penggalan ayat 
tadi, sebahagian mereka menafsirkan lelaki tua yang tidak berhasrat 
lagi kepada perempuan. sedang  menurut Mujahid yaitu orang 
bodoh atau pandir (al-ablah). Sementara menurut Ikrimah, istilah 
ini  ditunjukkan kepada lelaki yang menyukai sesama jenis 
(gay) atau waria (mukhannats).
74 Dari itu terlihat bahwa respon Al￾Quran terhadap lelaki gay yaitu  suatu kewajaran, atau dalam 
istilah QS. Al-Isra ayat 84 di atas sebagai syakilah, yaitu bentuk 
keragaman orientasi seksual yang tidak perlu diingkari. Perbedaan 
fitrah dalam ini  tidak perlu dipertengkarkan, sebab hanya Allah 
yang lebih mengetahui kebenaran atau hakikatnya. Kewajaran ragam orientasi seksual ini diperkuat oleh 
beberapa riwayat yang menginformasikan bahwa dalam sejarah 
Islam banyak orang yang menyalurkan hasrat seksual kepada sesama 
jenis. Muhammad Jalal Kisyk dalam kitabnya Khawatir Muslim fi 
Masalah al-Jinsiyyah mengutip pendapat Ibnu Hazmin yang 
meriwayatkan bahwa Muhammad bin Abdurrahman bin Hakam, 
seorang panglima perang, saat  memegang tampuk kekuasaan 
menggantikan ayahnya memiliki dua orang menteri (wazir) yang 
muda dan berwajah tampan, setiap malam salah satu keduanya 
menemani tidur bersamanya. 
ini  pernah diketahui oleh Ibnu Abbas saat  menginap di 
istananya, malam itu Ibnu Abbas melihat dua anak muda tampan 
dipanggil oleh Muhammad bin Abdurrahman bin Hakam. Salah satu 
keduanya dibawa masuk ke dalam kamar, Muhammad saat  itu 
dalam keadaan telanjang dada dan menutup pintu sedang  
keduanya berada dalam satu kamar.75 Kisah roman seperti itu dalam 
literatur Arab cukup mudah dijumpai, termasuk cinta sesama jenis, 
homoseksual atau dalam istilah sekarang yang lebih komplek di 
sebut LGBT. 
Maka dapat dipahami bahwa Al-Quran tidak melarang LGBT, 
bahkan memberikan tempat dengan mengakuinya sebagai preferensi 
seksual pada manusia. Kedudukan individu LGBT dan selain mereka 
sama/setara dalam berbuat kebajikan, dan akan dibalas sesuai 
dengan perbuatan masing-masing. Adapun ayat-ayat tentang kisah 
kaum Nabi Luth yang diazab oleh Allah, menurut Khairul Anwar 
disebabkan sebab mereka mengkhianati Nabi Luth, mengancam 
mengusirnya dan menghina tamu kehormatannya, serta menantang 
Allah Swt untuk mendatangkan azab sebab perbuatan mereka. Oleh 
sebab itu Allah Swt mendatangkan azab kepada mereka. 
4. Ioanes Rakhmat dan Muhammad Guntur Ramli 
Pandangan ini berasal dari kesimpulan diskusi yang diadakan 
oleh JIL dengan tema LGBT. Diskusi ini menghadirkan pembicara dari 
berbagai kalangan baik muslim maupun non muslim. Berikut hasil 
diskusi yang diadakan pada hari Senin tanggal 26 Juli 2010 dengan 
tema “Pandangan Kristen dan Islam tentang Homoseksualitas”.
Diskusi ini menghadirkan narasumber Ioanes Rakhmat (IR) mewakili 
pandangan Kristen dan Muhammad Guntur Ramli (MGR) mewakili 
pandangan Islam. Pembicara pertama IR mendekonstruksi terhadap 
cara pandang sebahagian kaum Kristen yang literalistik terhadap 
Alkitab sehingga memandang dan bersikap negatif kepada kaum 
homoseksual. Menurutnya ada beberapa bagian dari Alkitab yang 
dijadikan dasar bagi penolakan umat Kristen terhadap perilaku 
homoseksual, yaitu kitab Kejadian 19, Imamat 18: 22, Imamat 20: 13, 
Roma 1: 26-27, I Korintus 6:9-10, 1 Timotius 1: 9-10 dan Yudas 1:7. 
IR memberi penafsiran ulang terhadap ayat-ayat ini  
dengan cara meneliti konteks munculnya ayat-ayat ini  maupun 
secara filologis. Contohnya, Kejadian 19 yang berisi kisah Lot dan 
Kota Sodom dan Gamora yang dihukum Tuhan. Menurut penafsiran 
umum disisi umat Kristen bahwa kota ini  diazab sebab 
perilaku seksual yang dianggap menyimpang di kota ini  yaitu 
persetubuhan laki-laki dengan laki-laki, dan ditambah lagi dengan 
adanya paksaan salah satu pihak kepada pihak lain (sodomi). 
IR memberikan tafsir ulang terhadap ayat ini , bahwa 
teks ini tidak menunjukkan secara jelas kepada kedurjanaan kaum 
Sodom, namun teks ini lebih menekankan kepada alasan para lelaki 
kota ini  hendak menyodomi dua orang asing yang dipandang 
mau menjadi hakim atas mereka. Pada zaman kuno di Timur Tengah 
penyodomian yaitu  bentuk penghinaan dari pihak yang 
menang kepada pihak yang kalah atau lebih lemah. Biasanya hal itu 
terjadi kepada raja yang kalah perang, atau orang asing yang 
memasuki suatu tempat lalu disodomi oleh warga asli sebagai tanda 
dominasi penduduk asli. Dengan demikian, teks Kejadian 19 ini tidak 
dapat dijadikan dasar untuk menolak homoseksual. 
Narasumber kedua Muhammad Guntur Ramli yang mewakili 
Islam juga melakukan interprestasi ulang terhadap ayat-ayat al￾Quran mengenai homoseksual. Hal yang pertama disampaikannya 
yaitu  menyoal perihal agama itu sendiri yang seringkali 
dikondisikan oleh pihak penguasa, yang merekonstruksi agama 
sesuai dengan kehendak dan kepentingan mereka. ini  
memicu  pandangan Islam menjadi bias dan cenderung 
memihak satu pihak atau satu jenis nalar. 
Khusus mengenai homoseksual dalam keilmuan Islam, 
hasilnya tentu pandangan negatif kepada kaum homoseksual tidak 
dapat berubah. Sebab hal itu ditunjang dengan kuatnya nalar fikih 
yang lebih menginginkan status quo ketimbang perubahan. 
Menurutnya, pengabaian studi seksualitas yang terjadi selama ini 
perlu dihentikan. Sarjana muslim hendaknya tidak terobsesi untuk 
sekedar mencari hukum, baik moral maupun fikih bagi tema 
seksualitas saja. Melainkan meluaskan penelitian dan kajian mereka ke ranah lain yakni konteks Nusantara, sebab di dalam budaya￾budaya Nusantara ada  praktik-praktik yang sejiwa dengan 
fenomena homoseksual. Beberapa contoh dapat dikemukakan di sini 
seperti praktik warok di Reog, Ponorogo, wandhu dalam tradisi 
lundruk, tradisi mairil di pesantren tradisional, bissu di Sulawesi 
Selatan dan lain sebagainya. 
Hal lain yang dapat dilakukan yaitu  adanya cara pandang 
berbeda terhadap Al-Quran, yaitu dengan membedakan ayat hukum 
dan ayat-ayat kisah yang tentunya tidak dapat dikaitkan dengan 
kaidah-kaidah hukum. Misalnya kisah Luth yang mempunyai 
persamaan dengan kisah Sodom dan Gamora dalam Kejadian 19 dari 
Alkitab Kristen, yang biasanya menjadi dalil untuk menentang 
homoseksual. Kisah Luth ini  dilihat dari satu sisi saja dan 
digunakan untuk pembenaran homoseksual. 
Menurut MGR, tidak semua ayat-ayat kisah dapat menjadi 
landasan hukum moral atau fikih, sebab ayat-ayat itu dapat saja 
yaitu  metafora, seperti ayat yang menyebutkan peran ribuan 
malaikat di dalam perang badar sehingga Nabi Muhammad dan 
pasukannya menang. Ayat ini tidak dapat dibaca secara literal, sebab 
satu malaikat saja sebenarnya sudah cukup untuk menghancurkan 
lawan. Dan bila malaikat itu benar-benar ada, kenapa pada perang 
Uhud yang terjadi setelah itu, Nabi dikalahkan oleh lawannya. 
Selain itu, MGR juga menunjukkan penelitian Galal Kisyk yang 
menemukan bahwa dalam ajaran Islam tidak ada sanksi fisik 
terhadap perilaku homoseksual, sedang  hadis-hadis yang banyak 
dipakai untuk mengutuk homoseksual dan menjatuhkan sanksi fisik 
ternyata tergolong ke dalam hadis-hadis yang lemah.76
Dari berbagai pandangan tokoh JIL di atas yang berkaitan 
dengan LGBT, dapat disimpulkan bahwa mereka tidak memandang 
LGBT sebagai kejahatan atau penyimpangan yang harus di basmi. 
Mereka menggunakan berbagai alasan berupa perkembangan ilmu 
pengetahuan (sains), sikap kedermawanan, maupun hasil 
interprestasi ulang terhadap teks kitab suci mengenai LGBT. Secara 
sains, LGBT dianggap normal sebagai preferensi seksual manusia 
sejak lahir, lembaga kesehatan dunia seperti WHO juga telah 
menghapus LGBT dari daftar penyakit mental (mental disorder) yang 
harus disembuhkan. 
Demikian pula berdasar  interprestasi ulang terhadap teks 
kitab suci mengenai LGBT, para tokoh JIL memandang penjelasan Al-
Quran maupun Bibel mengenai LGBT yaitu  cerita umat 
terdahulu yang mengingkari perintah Nabi mereka, melecehkan 
tamu nabi mereka, sehingga Allah mendatangkan azab. Kisah-kisah 
ini  tidak bisa secara serta merta dijadikan sebagai dalil untuk 
menghukum kaum LGBT, sebab tidak semua kisah dapat dikaitkan 
dengan kaidah hukum. Namun harus diperhatikan kontek ayat kisah 
itu diturunkan (asbab al-nuzul). 
Dalam pandangan JIL, bahkan LGBT diakui dan mendapat 
tempat dalam Alquran sebagaimana bawaan seksual yang lain. 
Manusia diciptakan dengan beragam bentuk baik jenis kelamin, 
bentuk fisik, termasuk bawaan seksual. Hal itu yaitu  fitrah dari 
Allah. Manusia diperintahkan untuk beramal sesuai dengan bawaan 
(syakilah) masing-masing, dan Allah akan menerima amal ibadah
mereka tanpa memandang perbedaan itu. 
C. Tinjauan Maqashid al-Syari’ah Mengenai LGBT 
Syariat Islam yaitu  peraturan hidup yang datang dari Allah 
Swt menjadi pedoman hidup bagi seluruh umat manusia. Syariat 
Islam memiliki tujuan utama yang dapat diterima oleh seluruh umat 
manusia yaitu untuk mewujudkan kebaikan dan menolak kerusakan. 
Dalam kajian ushul fiqh tujuan ini disebut juga dengan maqashid as￾syari’ah yaitu maksud dan tujuan diturunkannya syariat Islam. 
Secara bahasa maqashid syari’ah terdiri dari dua kata yaitu 
“maqashid” dan “syari’ah”. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, 
maqashid yaitu  bentuk jama’ dari “maqsud” yang berasal dari 
suku kata “qashada” yang berarti menghendaki atau memaksudkan. 
Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.77
sedang  syari’ah secara bahasa berarti jalan menuju sumber air, 
jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju 
sumber kehidupan.78
Maqashid al-Syari’ah secara istilah yaitu  tujuan-tujuan 
syariat Islam yang terkandung dalam setiap aturannya. Al-Syathiby 
mengungkapkan tentang syari’ah dan fungsinya bagi manusia seperti 
ungkapannya dalam kitab al-Muwafaqat: 
Artinya: Sesungguhnya syariat itu ditetapkan bertujuan untuk
tegaknya (mewujudkan) kemashlahatan manusia di dunia 
dan Akhirat”. 
Pada bagian lainnya beliau menyebutkan: 
Hukum-hukum diundangkan untuk kemashlahatan hamba. 
Jadi tujuan hukum Islam yaitu  mewujudkan kemaslahatan 
hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial. 
Kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan dunia ini saja namun 
juga untuk kehidupan yang kekal di akhirat kelak. Al-Shatiby 
merumuskan lima tujuan hukum Islam, yaitu: hifdz al-din
(memelihara agama), hifdz al-nafs (memelihara jiwa), hifdz al-’aql
(memelihara akal), hifdz al-nasl (memelihara keturunan) dan hifdz 
al-māl (memelihara harta).79
Al-Ghazali juga membagi tujuan hukum Islam kepada lima 
sebagaimana pembagian al-Syatiby di atas, sebagaimana dipahami 
dari pernyataan beliau dalam kitab al-Mustasyfa, yaitu: 
ومقصود الArtinya: Tujuan syariat itu ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa, 
akal, keturunan, dan harta mereka. Setiap usaha untuk 
memelihara prinsip ini disebut al-maṣlaḥat dan setiap usaha  
merusak, mencederai yaitu  mafsadat dan menolaknya 
yaitu  al-maṣlaḥah itu sendiri. 
Dari nukilan di atas dapat dipahami bahwa tujuan hukum 
Islam terbagi kepada lima macam yang menjadi prinsip umum yang 
mesti diwujudkan untuk kemaslahatan hidup manusia, yaitu 
pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Setiap perkara 
yang mengarah kepada pemeliharaan dan perlindungan kelima hal 
itu disebut maslahat. Sebaliknya setiap hal yang memicu 
kerusakan dan kebinasaan lima ini   dengan mafsadat. 
Kelima tujuan hukum Islam ini  di dalam kepustakaan 
disebut juga dengan maqasid al-khamsah atau maqasid al- shari’ah. 
Tujuan hukum Islam yaitu  untuk ditaati dan dilaksanakan oleh 
manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Agar dapat ditaati dan 
dilaksanakan dengan baik dan benar, manusia wajib meningkatkan 
kemampuannya untuk memahami hukum Islam dengan mempelajari 
usul fiqh sebagai dasar pembentukan dan pemahaman hukum Islam 
sebagai metodologinya. 
Maqāṣid al-syar’iyyah yaitu  salah satu konsep penting 
dalam kajian hukum Islam, para ahli menjadikan teori ini sebagai 
sesuatu yang harus dipahami oleh mujtahid dalam melakukan ijtihad. 
Adapun inti dari teori maqāṣid al-syar’iyyah yaitu  mewujudkan 
maslahat. Untuk itu istilah maqāṣid al-syar’iyyah sering diidentikkan 
dengan maslahat, sebab setiap penetapan hukum dalam Islam 
bermuara kepada mewujudkan maslahat. 
Allah Swt tidak menciptakan hukum dan aturan begitu saja, 
akan namun setiap hukum dan aturan yang diciptakan dengan tujuan 
dan maksud tertentu. Tujuan syari’at yaitu  untuk kemaslahatan 
hamba di dunia dan akhirat. Syari’at semuanya mengandung 
maslahat. Setiap masalah yang menyimpang dari maslahat atau 
mengandung mafsadat dapat dipastikan bukan bagian dari syari’at.
Al-Syatibi membagi maslahat kepada tiga tingkatan yaitu 
maslaḥat al-dharūriyyāt (primer), maslaḥat al-ḥājiyyāt (sekunder) 
dan maslaḥat al-taḥsiniyyāt (tersier). Maslaḥat al-ḍarūriyyāt yaitu  
sesuatu yang mesti ada demi terwujudnya kemaslahatan agama dan 
dunia. jika  ini  tidak ada, maka akan menimbulkan kerusakan 
bahkan hilangnya hidup dan kehidupan. Contohnya makan, minum, 
shalat, puasa dan ibadah-ibadah yang lainnya. Yang termasuk 
maslahat atau maqāṣid al-ḍarūriyyāt ini ada lima yaitu agama (al￾dīn), jiwa (al-nafs), keturunan (al-nasl), harta (al-māl) dan akal (al￾aql). 
Maslaḥat al-hajiyyat yaitu  sesuatu yang mesti ada untuk 
mewujudkan kemudahan dan menghilangkan kesukaran dalam 
kehidupan manusia, seperti beberapa rukhṣah (dispensasi) dalam 
masalah ibadah dan muamalah. sedang  maṣlaḥat al-taḥsiniyyat
yaitu  mengambil sesuatu yang paling baik menurut kebiasaan 
warga , mewujudkan kenyamanan hidup dan kesempurnaan 
akhlak, seperti menghilangkan najis, menutup aurat, berhias dan lain 
sebagainya. 
Pengetahuan tentang maqāṣid al-syar’iyyah sangat berperan 
sebagai alat bantu dalam memahami naṡ, menyelesaikan dalil-dalil 
yang bertentangan, dan juga menetapkan hukum bagi kasus-masalah 
yang tidak tertampung dalam Al-Qur’an dan Sunnah secara kajian 
kebahasaan (lughawiyyah). Maka kasus-masalah ini  mungkin 
didekati dengan pendekatan yang lain seperti ta’līliyyah83 dan 
istiṣlāḥiyyah.
 84 Dengan demikian hukum akan tetap mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan warga  dan 
perkembangan zaman. 
Maqāṣid al-syar’iyyah, meminjam pernyataan Ibnu Qayyim Al￾Jauzy bertujuan untuk menghasilkan produk hukum yang lebih hidup 
(al fiqh al-hayy). Dengan teori maqāṣid al-syar’iyyah hukum yang 
tekstual atau fiqh al-uṣuly diharapkan dapat menjadi fiqh al-maqāṣidy
yang konstektual dengan perkembangan sosial warga  yang 
senantiasa dinamis.
Berbicara maqāṣid al-syar’iyyah sesunguhnya yaitu  
berbicara tentang al-maṣāliḥ dan al-mafāsid. Al-maṣāliḥ (manfaat) 
yaitu  hal-hal yang berguna untuk kehidupan manusia susaha  
kehidupan itu menjadi lebih baik, yang berkenaan dengan agama, 
jiwa, akal, kehormatan dan harta manusia. Sifatnya relatif seperti 
makan, minum, berpakaian, menikah dan lain-lain. sedang  al￾mafāsid (kerusakan) yaitu  hal-hal yang merusak kebutuhan￾kebutuhan di atas. Maka tujuan dari syari’at tidak lain yaitu  
mewujudkan setiap bentuk kemaslahatan dan menolak apa saja yang 
dapat membawa mudharat bagi warga . Untuk terwujudnya 
tujuan ini  dibuatlah hukum-hukum untuk mengatur sikap dan 
perilaku warga  dalam menjalankan segala aktifitas