LGBT 3

Rabu, 13 September 2023

LGBT 3



kejayaannya, khususnya di negara-negara Eropa. Bahkan organisasi 
terbesar dunia seperti PBB juga telah mengakui perilaku LGBT 
sebagai bagian dari hak asasi manusia yang harus dihormati. Pada 
awalnya perilaku ini  dianggap sebagai gangguan jiwa dan 
penyakit sosial, akan namun perlahan-lahan anggapan ini  telah 
dihapuskan. 
Perkembangan LGBT di negara kita  
Sinyo menjelaskan kaum homoseksual mulai bermunculan di 
kota-kota besar pada zaman Hindia Belanda. Di negara kita  ada  
komunitas kecil LGBT walaupun pada saat zaman Hindia Belanda 
ini  belum muncul sebagai pergerakan sosial. Pada sekitar tahun 
1968 istilah wadam (wanita adam) digunakan sebagai pengganti kata 
banci atau bencong yang dianggap bercitra negatif. Sehingga 
didirikan organisasi wadam yang pertama, dibantu serta difasilitasi 
oleh gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin. Organisasi wadam ini  
bernama Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD). 
Pada tahun 1980 sebab Adam yaitu  nama nabi bagi 
umat Islam maka sebagian besar tokoh Islam keberatan mengenai 
singkatan dari Wadam sehingga nama Wadam diganti menjadi waria 
(wanita-pria). Organisasi terbuka yang menaungi kaum gay pertama 
berdiri di negara kita  tanggal 1 Maret 1982, sehingga yaitu  hari 
yang bersejarah bagi kaum LGBT negara kita . Organisasi ini  
bernama Lambda. Lambda memiliki sekretariat di Solo. Cabang￾cabang Lamda lalu berdiri dikota besar lainnya seperti 
Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta. Mereka menerbitkan buletin 
dengan nama G: Gaya Hidup Ceria pada tahun 1982-1984. 
Pada tahun 1985 berdiri juga komunitas gay di Yogyakarta. 
Organisasi ini  bernama Persaudaraan Gay Yogyakarta (PGY). 
Tahun 1988 PGY berubah nama menjadi negara kita n Gay Society 
(IGS). Tanggal 1 Agustus 1987 berdiri kembali komunitas gay di 
negara kita , yaitu berdirinya Kelompok Kerja Lesbian dan Gaya 
Nusantara (KKLGN) yang lalu disingkat menjadi GAYa 
Nusantara (GN). GN didirikan di Pasuruan, Surabaya sebagai penerus 
Lambda negara kita . GN menerbitkan majalah GAYa Nusantara. Tahun 
90-an muncul organisasi gay dihampir semua kota besar di negara kita  
seperti Pekanbaru, Bandung, Jakarta, Denpasar, dan Malang.41 
Pada akhir tahun 1993 diadakan pertemuan pertama antar 
komunitas LGBT di negara kita . Pertemuan ini  diselenggarakan 
di Kaliurang, Yogyakarta dan diberi nama Kongres Lesbian dan Gay 
negara kita  I atau yang dikenal sebagai KLG I. Jumlah peserta yang 
hadir kurang lebih 40-an dari seluruh negara kita  yang mewakili 
daerahnya masing-masing. GAYa Nusantara mendapat mandat untuk 
mengatur dan memantau perkembangan Jaringan Lesbian dan Gay 
negara kita  (JLGI). KLG II dilaksanakan pada bulan Desember 1995 di 
Lembang, Jawa Barat. Peserta yang hadir melebihi dari KLG I dan 
datang dari berbagai daerah di negara kita . 
Tanggal 22 Juli 1996, salah satu partai politik di negara kita  
yaitu Partai Rakyat Demokratik (PRD), mencatat diri sebagai partai 
pertama di negara kita  yang mengakomodasi hak-hak kaum 
homoseksual dan transeksual dalam manifestonya. lalu KLG III 
diselenggarakan di Denpasar, Bali pada bulan November 1997. KLG 
III yaitu  pertama kalinya para wartawan diperbolehkan 
meliput kongres di luar sidang-sidang. Hasil kongres ini yaitu  
peninjauan kembali efektivitas kongres-kongres sebelumnya 
sehingga untuk sementara akan diadakan rapat kerja nasional 
sebagai gantinya. 
Untuk pertama kalinya Gay Pride dirayakan secara terbuka di 
kota Surabaya pada bulan Juni tahun 1999. Acara ini  
yaitu  kerja sama antara GN dan Persatuan Waria Kota 
Surabaya (PERWAKOS). Pada tahun ini juga Rakernas yang 
rencananya akan diselenggarakan di Solo batal dilaksanakan sebab 
mendapat ancaman dari Front Pembela Islam Surakarta (FPIS). 
Tanggal 7 November 1999 pasangan gay Dr. Mamoto Gultom (41) 
dan Hendry M. Sahertian (30) melakukan pertunangan dan 
dilanjutkan dengan mendirikan Yayasan Pelangi Kasih Nusantara 
(YPKN). Yayasan ini bergerak dalam bidang pencegahan dan 
penyuluhan tentang penyakit HIV/AIDS dikalangan komunitas gay di 
negara kita .
Di negara kita  gay dan lesbian yaitu  kategori identitas 
seksual yang relatif baru. Menurut Boellstorff tidak ada orang di 
negara kita  menyebut diri mereka gay atau lesbi pada tahun 900, 
1400, 1900 atau mungkin bahkan sampai 1960. Pada awal 80-an 
baru pemakaian istilah gay dan lesbian tersebar secara nasional. 
Oetomo mengungkapkan bahwa dalam warga  
Nusantara perilaku homoseksual sudah dikenal oleh bangsa ini sejak 
dulu dengan bermacam-macam cara dan tipologinya, yaitu: 
a. Hubungan homoseksual dikenal dan diakui dengan indikasi 
pertama muncul istilah yang mengacu pada hubungan 
homoseksual seperti istilah induk jawi anak jawi yang 
ditemukan pada warga  Minangkabau tradisional yaitu 
hubungan antara laki-laki dewasa yang menjadi pembimbing 
dalam proses belajar laki-laki remaja namun sering kali 
melibatkan juga aspek emosional bahkan seksual. Di Madura 
dikenal istilah dalaq untuk merujuk pada persahabatan dua 
anak atau remaja laki-laki, kata kerja dalaq berarti 
melakukan genito-anal (penis dan anus). Indikasi kedua 
yaitu  adanya laporan dari sarjana barat mengenai 
hubungan seksual laki-laki seperti yang ditemukan pada 
warga  Aceh dan hubungan homoseksual laki-laki dan 
perempuan pada warga  Bali. 
b. Hubungan seksual dilembagakan dalam rangka pencarian 
kesaktian atau mempertahankan sakralitas. Misalnya 
ditemukan pada budaya warok di Ponorogo, dengan remaja 
sesama jenisnya (gemblak) yang diperlakukan sebagai 
pengganti pasangan lawan jenis untuk hubungan seksual. 
c. Orang berperilaku homoseksual diberi jabatan sakral. 
Misalnya basir di suku Dayak Ngaju yang bertindak sebagai 
perantara dengan dunia arwah, tadu mburake di Toraja 
Pamona yang bertindak sebagai shaman, dan bissu di 
Makassar yang bertindak sebagai penjaga pustaka istana 
kerajaan. 
d. Perilaku homoseksual dijadikan bagian ritus inisiasi seperti 
yang ditemukan pada beberapa suku di Papua melalui 
penggunaan hubungan genito-oral dan genito-anal antara 
remaja dan laki-laki dewasa. 
e. Perilaku homoseksual dilembagakan dalam seni dan 
pertunjukan seperti pada tari Lenong di Betawi, tari 
Gandrung di Banyuwangi, pertunjukan Ludruk, tari bedhaya
di Jawa, pertunjukan Sandhur di Madura dan tari Masri di 
Makassar. negara kita  masih menjadi negara yang belum ramah terhadap 
homoseksualitas. warga  menganggap bahwa homoseksualitas 
yaitu  sesuatu yang salah dan menakutkan atau dikatakan sebagai 
homophobia. Weinberg mengartikan homophobia sebagai ketakutan 
terhadap homoseksual dan bentuk-bentuk lain yang menunjukan 
keintiman dua jenis kelamin yang sama. Guy Hocquenhem seorang 
pemikir Prancis mengatakan bahwa masalah yang ada sekarang ini 
bukanlah pada homoseksualitas tapi warga lah yang menjadi 
masalah. 
Laporan survei yang dikeluarkan oleh ILGA (the International 
Lesbian, Gay, Bisexsual, Trans and Intersexed Association) pada bulan 
Mei 2010 tentang kebijakan dibeberapa negara yang melarang 
aktivitas sesama jenis antara dua orang dewasa. Pada bagian 
negara kita  ditulis bahwa hubungan sesama jenis, baik dengan 
perempuan atau laki-laki, tidak dilarang jika mengacu pada KUHP 
pasal 292. Secara eksplisit menyatakan pelarangan hubungan sesama 
jenis, jika dilakukan dengan anak di bawah umur. Pada Pasal 292 
KUHP yaitu orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan 
cabul dengan orang lain sama kelamin, yang diketahui atau 
sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur diancam dengan 
pidana penjara paling lama lima tahun. Dalam Rancangan Aksi 
Nasional HAM RI tahun 2004-2009, pemerintah dengan tegas 
menyebutkan LGBT yaitu  kelompok yang harus dilindungi. Namun 
visi itu masih dilakukan dengan setengah hati. Diskriminasi terhadap 
LGBT paling tampak akhir-akhir ini yaitu  tidak adanya 
perlindungan bagi komunitas LGBT yang mendapat perlakuan tidak 
menyenangkan dan bahkan dapat berujung kekerasan.44 
Tercatat beberapa masalah kekerasan yang dilakukan oleh 
kelompok-kelompok fundamentalis terhadap komunitas LGBT di 
negara kita . Antara lain masalah penolakan dan pengusiran konferensi 
ILGA-Asia (International Lesbian gay Association) ke-4 yang 
rencananya akan diadakan di Surabaya pada Maret 2010. lalu  
pembubaran pelatihan Hak Asasi Manusia bagi komunitas 
transgender yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi 
Manusia pada bulan April 2010. Lalu seminar HIV & AIDS di Bandung 
dan peringatan Hari Internasional Melawan Homophobia di 
Yogyakarta juga mendapat ancaman dan akhirnya dibatalkan pada 
bulan Mei 2010. Dalam masalah ini kebebasan berkumpul dan ekspresi komunitas LGBT sebagai warga negara tidak dilindungi oleh 
pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 UUD 1945.
Dilihat dari beberapa masalah ini  dibeberapa daerah 
dapat menjelaskan tingkat homophobia yang tinggi. Akhirnya LGBT 
setiap tanggal 17 Mei memperingati hari melawan homophobia. 
Peringatan hari melawan kebencian pada homoseksual yang disebut 
dengan International Day Againts Homophobia-Transphobia
(IDAHOT) jatuh setiap tanggal 17 Mei. Adapun tanggal ini  
dipilih untuk mengingatkan pada keputusan Organisasi Kesehatan 
Dunia (WHO) sebab tanggal 17 Mei 1990 secara resmi
mengeluarkan homoseksual-transgender bukan sebagai gangguan 
jiwa. Momen itu yang lalu pada tanggal 26-29 Juli 2006 dalam 
sebuah konferensi International di Montreal-Kanada tentang 
seksualitas memutuskan 17 Mei sebagai hari yang diperingati 
sebagai hari melawan homophobia-transphobia diseluruh dunia.46
Masih sedikit sekali warga  yang dapat menerima
keberadaan waria. Di dalam Sosiologi disebutkan bahwa waria 
yaitu  suatu transgender, di mana dari sikap atau perilaku maskulin 
merubah dirinya ke feminim dalam menjalani kehidupan sehari￾harinya, tanpa harus melakukan perubahan-perubahan yang 
mendasar pada kondisi fisiknya, termasuk melakukan operasi. 
Dikarenakan ketakutan warga  terhadap transgender, ini  
memicu  kehidupan transgender menjadi lebih terbatas dalam 
peran diwarga . Pandangan warga  yang negatif terhadap 
transgender dan sungkan untuk bergaul dengan mereka membuat 
transgender terkesan eksklusif, sehingga muncullah stereotif dari 
warga .
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa 
perkembangan LGBT di negara kita  sudah cukup pesat, ditandai 
dengan jumlah individu LGBT yang cenderung meningkat dari tahun 
ke tahun. lalu  berbagai organisasi yang menaungi kaum 
LGBT juga bertambah dan semakin refresif dalam memperjuangkan 
hak-hak mereka di muka publik. Namun sampai saat ini negara 
negara kita  belum menetapkan sebuah peraturan yang melegalkan 
perilaku LGBT, sekalipun keberadaan mereka tetap dilindungi dalam 
kerangka hak asasi manusia. Kurangnya pengaruh kaum LGBT 
dimuka hukum, sebab mayoritas warga  negara kita  yang 
beragama Islam menolak keberadaan mereka, yang dianggap 
melanggar fitrah dan ketentuan syari’at Islam. di sini agama menjadi 
benteng yang mampu menghambat perkembangan LGBT dalam 
warga . 
 
Homoseksual yaitu  hubungan penyimpangan seksual
normal. ini  bisa terjadi sebab beberapa faktor, seperti 
keturunan, lingkungan, dan lain-lain. Gaya hidup homoseksual yaitu  
gaya hidup di mana penganut gaya hidup ini  memiliki orientasi 
seksual yang menyimpang, mereka berinteraksi seksual dengan 
sesama jenis, bahkan berhubungan sesama jenis. Ada berbagai faktor 
yang menjadi penyebab munculnya perilaku LGBT, yaitu: 
1. Biologis 
Kombinasi atau rangkaian tertentu di dalam genetik seperti 
susunan kromosom, struktur otak, ketidakseimbangan hormon dan 
kelainan susunan syaraf diperkirakan mempengaruhi seseorang 
menjadi individu LGBT. Namun faktor biologis yang mempengaruhi 
seseorang menjadi LGBT ini masih terus-menerus diteliti dan dikaji 
lebih lanjut oleh para pakar di bidangnya. 
2. Lingkungan
Lingkungan diperkirakan turut mempengaruhi seseorang 
menjadi gay. Faktor lingkungan ini terdiri atas: 
a. Budaya 
Pada dasarnya budaya dan adat istiadat yang berlaku dalam 
suatu kelompok warga  tertentu sedikit banyak mempengaruhi 
pribadi masing-masing orang dalam kelompok warga  ini . 
Demikian pula dengan budaya dan adat istiadat yang mengandung 
unsur homoseksualitas dapat mempengaruhi seseorang menjadi gay. 
Mulai dari cara berinteraksi dengan lingkungan, nilai-nilai yang 
dianut, sikap, pandangan maupun pola pemikiran tertentu terutama 
berkaitan dengan orientasi, tindakan dan identitas seksual 
seseorang. 
b. Pola Asuh 
Cara mengasuh seorang anak juga dapat mempengaruhi 
seseorang menjadi gay. Sejak dini seorang anak telah dikenalkan 
pada identitas mereka sebagai seorang pria atau perempuan. 
Pengenalan identitas diri ini tidak hanya sebatas pada sebutan namun juga pada makna di balik sebutan pria atau perempuan 
ini , yang meliputi: 
1) Kriteria penampilan fisik, seperti pemakaian baju, penataan 
rambut, perawatan tubuh yang sesuai dan sebagainya.
2) sifat  fisik, seperti perbedaan alat kelamin pria dan 
wanita. Pria pada umumnya memiliki kondisi fisik yang lebih 
kuat dibandingkan dengan wanita. Pria pada umumnya 
tertarik dengan kegiatan-kegiatan yang mengandalkan
tenaga atau otot kasar sementara wanita pada umumnya 
lebih tertarik pada kegiatan-kegiatan yang mengandalkan 
otot halus. 
3) sifat  sifat, seperti pria pada umumnya lebih 
menggunakan logika atau pikiran sementara wanita pada 
umumnya cenderung lebih menggunakan perasaan dan 
emosi. Pria pada umumnya lebih menyukai kegiatan-kegiatan 
yang membangkitkan adrenalin, menuntut kekuatan dan
kecepatan, sementara wanita lebih menyukai kegiatan￾kegiatan yang bersifat halus, menuntut kesabaran dan 
ketelitian. 
4) sifat  tuntutan dan harapan, untuk warga  yang 
menganut sistem paternalistik maka tuntutan bagi para pria 
yaitu  untuk menjadi kepala keluarga dan bertanggung 
jawab atas kelangsungan hidup keluarganya. Dengan 
demikian pria dituntut untuk menjadi figur yang kuat, tegar, 
tegas, berani, dan siap melindungi yang lebih lemah (seperti 
istri dan anak-anak). Sementara untuk warga  yang 
menganut sistem maternalistik maka berlaku sebaliknya 
bahwa wanita dituntut untuk menjadi kepala keluarga. 
3. Figur 
Dalam proses pembentukan identitas seksual, seorang anak 
pertama-tama akan melihat pada orang tua mereka sendiri yang 
berjenis kelamin sama dengannya. Anak laki-laki melihat pada 
ayahnya dan anak perempuan melihat pada ibunya. lalu 
mereka juga melihat pada teman bermain yang berjenis kelamin 
sama dengannya. Homoseksual terbentuk saat  anak-anak ini gagal 
mengidentifikasi dan mengasimilasi apa, siapa dan bagaimana 
menjadi dan menjalani peran sesuai dengan identitas seksual mereka 
berdasar  nilai-nilai universal pria dan wanita. Kegagalan mengidentifikasi dan mengasimilasi identitas 
seksual ini dapat dikarenakan figur yang dilihat dan menjadi contoh 
untuknya tidak memerankan peran identitas seksual mereka sesuai 
dengan nilai-nilai universal yang berlaku. Misalnya, ibu yang terlalu 
mendominasi dan ayah yang tidak memiliki ikatan emosional dengan 
anak-anaknya. Ayah tampil sebagai figur yang lemah dan tidak 
berdaya atau orang tua yang homoseksual. 
4. Kekerasan Seksual 
Kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang-orang tidak 
bertanggung jawab terhadap orang lain yang berjenis kelamin sama 
yaitu  salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang menjadi gay. 
Banyak hal yang memicu  seseorang melakukan kekerasan 
seksual semacam ini, antara lain yaitu  hasrat seksual/nafsu, fantasi 
seksual, pelampiasan kemarahan/dendam dan ajang membully orang 
lain seperti perpeloncoan dari senior kepada junior, membully teman 
yang culun dan sebagainya. 
Pada dasarnya semua orang yang melakukan hubungan 
seksual terhadap orang lain tanpa adanya persetujuan dari orang 
ini  sudah termasuk ke dalam kategori melakukan kekerasan 
seksual. Bentuk kekerasan seksual yang dilakukan sangat bervariasi. 
Mulai dari memegang alat kelamin sesama jenis, menginjak-injak, 
memaksa untuk melakukan sesuatu hal terhadap alat kelaminnya 
sendiri maupun alat kelamin si pelaku, hingga menggunakan alat-alat 
tertentu sebagai media dalam melakukan kekerasan seksual. 
Kekerasan seksual seperti ini menempatkan korban dalam 
sebuah situasi yang sangat ekstrim, tidak menyenangkan, 
mengancam jiwa, tidak aman, meresahkan, kacau dan 
membingungkan. Ini menjadi sebuah pengalaman traumatik dalam 
diri korban. Pengalaman demikian dapat mengganggu kondisi 
psikologis korban. Ia berusaha untuk menghindari ingatan mengenai 
kejadian ini  yang membuatnya sangat tidak nyaman dan sangat 
terluka atau sakit. 
Setiap hal yang memicu ingatannya terhadap kejadian
ini  membuatnya menjadi sangat resah. Kadang muncul rasa 
marah dan seringkali baik disadari maupun tanpa disadari korban 
melakukan usaha  untuk merusak atau menyakiti dirinya sendiri. Hal 
ini dinamakan trauma psikologis atau pengalaman traumatik. 
Pengalaman traumatik tidak hanya terbatas pada pengalaman 
kekerasan seksual. Melihat seseorang yang melakukan kekerasanseksual ataupun melakukan hubungan homoseksual juga dapat 
menjadi sebuah pengalaman traumatik bagi seseorang.
5. Biologis dan lingkungan 
Faktor biologis dan lingkungan berkontribusi terhadap 
orientasi seksual. Lingkungan turut mengambil bagian dan bukan 
semata-mata pilihan dari seseorang untuk menjadi gay. Faktor-faktor 
yang mempengaruhi perkembangan seseorang (faktor lingkungan) 
dikombinasikan dengan rangkaian genetik (faktor biologis) yang 
mempengaruhi persepsi, maka secara keseluruhan akan
menumbuhkan atau membentuk seseorang menjadi gay. 

Di era modernisasi manusia dihadapkan kepada berbagai isu 
aktual yang menarik untuk dibicarakan, baik dalam bingkai 
pembicaraan informal maupun dalam konteks resmi dengan 
melibatkan kaidah sainstifik (ilmu pengetahuan). Salah satu isu yang 
sedang hangat diperbincangkan belakangan ini yaitu  fenomena 
LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) yang marak terjadi 
dalam warga , banyak kalangan yang menolak fenomena ini 
sebab dianggap berbahaya bagi eksistensi manusia, namun 
sementara pihak menerima bahkan membela perilaku ini sebagai 
bentuk hak individu yang perlu dihormati dan dilindungi. 
 Persoalan LGBT telah menjadi objek perdebatan yang cukup 
lama dalam sejarah peradaban umat manusia. Norma warga  
yang mengutuk berbagai macam penyimpangan seksual 
mendapatkan tantangan dari kelompok yang merasa dirugikan atas 
norma-norma ini . Perdebatan semacam ini menjadi semakin 
terlihat setelah muncul kampanye yang dilakukan oleh gerakan LGBT 
yang bermula di dalam warga  Barat. Cikal bakal lahirnya 
gerakan ini yaitu  pembentukan Gay Liberation Front (GLF) di 
London Tahun 1970,1 yang terinspirasi dari gerakan pembebasan 
sebelumnya di Stonewall, Amerika Serikat Tahun 1969.
2
Secara terminologis, LGBT mengacu pada komponen￾komponen orientasi seksual yang tidak lazim dalam konteks sosial 
dan keagamaan. Lesbian yaitu  ketertarikan seksual seorang 
perempuan terhadap perempuan lainnya. Gay yaitu  ketertarikan 
seksual seorang lelaki pada lelaki lainnya. Biseksual yaitu  
ketertarikan seksual seseorang baik terhadap sesama jenis maupun 
lawan jenis. Dan Transgender yaitu  pengubahan/transformasi diri dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya (awalnya lelaki 
lalu mengubah dirinya menjadi perempuan atau sebaliknya).3
Perilaku LGBT telah terjadi dalam warga  sejak lama 
diberbagai belahan dunia, dan terus berlangsung hingga saat ini. Di 
zaman kekaisaran Romawi, ada  sejumlah orang yang memiliki 
orientasi seksual sejenis, misalnya Nero seorang kaisar Romawi (54-
68 M) yang memiliki empat orang isteri. Isteri terakhirnya bernama 
Sporus yaitu  transgender, yang awalnya seorang lelaki lalu 
diperintahkan untuk mengubah dirinya menjadi perempuan. 
lalu seorang mantan gladiator, Spartacus, yang memberontak 
pada tahun 73-71 SM memiliki sepasang pengikut yaitu Agron dan 
Nasir, keduanya yaitu  pasangan sesama jenis. Di era modern, 
seorang pendongeng terkenal asal Denmark, Hans-Christian 
Andersen (1805-1875) yaitu  pesohor dunia yang juga yaitu  
biseksual. Andersen, secara diam-diam terlibat dalam hubungan 
percintaan dengan sahabat lelakinya, Edvard Collins.
4
Al-Quran, kitab suci umat Islam juga mengisaratkan 
fenomena LGBT yang terjadi dalam warga , antara lain dalam 
QS. Al-Naml (27) : 54-55 yang berbunyi: 

Artinya: dan (ingatlah kisah) Luth, saat  Dia berkata kepada 
kaumnya: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah 
(keji) itu sedang kamu memperlihatkan (nya). Mengapa 
kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), 
bukan (mendatangi) wanita? sebenarnya kamu yaitu  kaum 
yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)". (QS. Al-Naml 
(27) : 54-55)
Dalam ayat yang lain yaitu QS. Al-Syu’ara Allah Swt juga 
berfirman: 
ْ َ Artinya: Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, 
dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh 
Tuhanmu untukmu, bahkan kamu yaitu  orang-orang yang 
melampaui batas". (QS. Al-Syu’ara (26) : 165-166) 
Kedua ayat di atas mengisahkan tentang kaum Nabi Luth 
yang mempunyai kebiasaan menyukai sesama jenis (homoseksual), 
Allah Swt menyebutkan hal itu sebagai perbuatan keji (faahisyah)
dan melampaui batas. Lalu memerintahkan mereka menjauhi dan 
mengubah orientasi seksual ini  dari homoseksual kepada 
heteroseksual (menyukai lawan jenis). Allah Swt menyebutkan 
perempuan yaitu  pasangan bagi lelaki untuk menjadi isteri dan 
mitra seksualnya. Hubungan seksual yang normal yaitu  jika 
dilakukan antara lekaki dan perempuan, sedang  hubungan 
seksual sesama jenis yaitu  penyimpangan yang harus 
dihindari.5
Dalam hadis juga ada  penjelasan mengenai LGBT, antara 
lain hadis yang diriwayatkan oleh Muslim yang berbunyi: 

Artinya: Dari 'Abdurrahman ibn Abu Sa'id Al-Khudri dari ayahnya, 
bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda: "Tidak boleh lelaki 
melihat aurat lelaki, dan tidak boleh wanita melihat aurat 
wanita, tidak boleh lelaki bersentuhan kulit dengan lelaki 
dalam satu busana, dan tidak boleh wanita bersentuhan kulit 
dengan wanita dalam satu busana". (HR. Muslim). 
berdasar  kandungan ayat dan hadis di atas dapat 
dipahami bahwa perilaku LGBT atau penyimpangan seksual 
yaitu  suatu larangan dalam Islam. Hal itu telah menjadi prinsip 
yang kokoh dan tidak boleh dilangkahi, naṡ menunjukkan kepada 
hukum LGBT secara relatif jelas, sehingga sukar memahami maksud 
lain di luar maksud ini . 
Fenomena LGBT lahir dan tumbuh dalam dinamika 
warga  yang kompleks tanpa memandang ideologi negara 
tempat ia lahir. Dinamika ini  tidak memandang isu politik, 
ekonomi maupun budaya, ia lahir dari sebuah pengalaman empiris 
individu yang secara personal tidak merasa nyaman dengan kondisi 
tubuh dan jiwanya. Ada banyak faktor yang menjadi sebab 
munculnya LGBT, salah satunya yaitu  pengaruh lingkungan di mana 
homoseksual dianggap sesuatu yang biasa atau umum. saat  tidak 
ada nilai-nilai moral atau agama yang membekali dirinya, seseorang 
akan mudah terpengaruh dengan kebiasaan yang tidak lurus yang 
ada di lingkungannya. 
Pengalaman buruk dalam pengasuhan keluarga juga menjadi 
faktor muncul LGBT, seperti memiliki ibu yang dominan sehingga 
anak tidak memperoleh gambaran seorang tokoh laki-laki, atau 
sebaliknya. Faktor lainnya yaitu  pengalaman seksual dini sebab 
menyaksikan gambar-gambar porno di televisi, internet, komik 
ataupun media lainnya. Anak-anak sangat mudah terpengaruh 
dengan tontonan ini  dan cenderung mempraktekkan apa yang biasa ia saksikan. LGBT dapat pula disebabkan oleh faktor kelainan 
otak, genetik maupun faktor psikologi.
Selain faktor di atas, pengaruh budaya Eropa yang 
memberikan ruang yang luas untuk mengekpresikan perasaan bagi 
setiap individu turut menginjeksi perkembangan perilaku LGBT di 
berbagai belahan dunia yang lain, tidak terkecuali negara kita . Melalui 
hegemoni imperialisme dan kolonialisme, negara-negara Eropa telah 
merevitalisasi isu LGBT menjadi isu global yang mewabah sejak abad 
ke-17. 
Bahkan menurut Menteri Pertanahan RI Ryamizard Ryacudu, 
isu LGBT yaitu  bagian dari proxi war atau perang proxi yang 
diagendakan oleh negara-negara maju untuk menguasai suatu 
bangsa, tanpa perlu mengirim pasukan militer. Ancaman perang 
proxi itu berbahaya bagi negara kita  sebab negara lain yang memiliki 
kepentingan tidak langsung berhadapan. Perang modern tidak lagi 
menggunakan senjata, melainkan menggunakan pemikiran. Perang 
alutsista tidak berbahaya, namun yang berbahaya yaitu  perang 
dalam bentuk cuci otak yang membelokkan pemahaman terhadap 
ideologi negara. sebab itu, aksi pendukung LGBT yang meminta 
komunitasnya dilegalkan ini  wajib diwaspadai.8
Kehadiran LGBT di negara kita  telah menimbulkan polemik 
yang luas, mayoritas warga  menolak perilaku ini  sebab 
dianggap bertentangan dengan nilai moral dan teologis yang dianut. 
Sehingga individu-individu LGBT banyak mendapat kritikan dan 
penolakan di mana-mana, terutama organisasi keagamaan dan 
lembaga pendidikan. Organisasi umat Islam terbesar di negara kita  
Nahdlatul Ulama secara tegas menolak keberadaan kelompok LGBT 
di negara kita  yang dinilai bertentangan dengan moral dan budaya 
bangsa. Sebelumnya, Menteri Riset dan Teknologi-Pendidikan Tinggi, 
M. Nasir juga dengan tegas menolak keberadaan LGBT di kampus 
yang dianggap melanggar kesusilaan dan standar nilai yang dijaga.
Majelis Ulama negara kita  melalui Komisi Fatwa juga telah 
mengeluarkan fatwa tentang keharaman LGBT. Penetapan fatwa ini 
didasari atas maraknya kasus-masalah penyimpangan seksual jika 
ditinjau dari sudut pandang Islam yaitu  tindakan luar biasa 
(menyimpang). Hukum Islam sangat menghargai kehormatan dan 
melindungi keturunan, sedang  LGBT yaitu  perilaku yang 
dapat mengancam eksistensi kehormatan dan keturunan manusia, 
untuk itu sebagai wujud tanggung jawab sosial keulamaan, MUI 
merespon isu LGBT dengan melakukan pembahasan sekaligus 
menetapkan fatwa keharaman perilaku ini .10 
Majelis-majelis agama yang terdiri dari agama Islam, Katolik, 
Budha dan Khonghucu juga menyatakan penolakannya terhadap 
perilaku LGBT dengan alasan perilaku ini  yaitu  kelainan 
dan penyimpangan seksual. Majelis agama memandang aktivitas 
LGBT bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 pasal 29 ayat 1 
serta UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Aktivitas LGBT 
juga dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran dari agama 
manapun.
Majelis agama menolak segala bentuk propaganda, dukungan 
dan promosi terhadap usaha  legalisasi dan perkembangan LGBT di 
negara kita . Mereka juga mendesak pemerintah untuk melarang segala 
bentuk dukungan dana yang diperuntukkan bagi kampanye dan 
sosialisasi aktivitas LGBT. Pemerintah diminta untuk mewaspadai 
gerakan atau intervensi pihak manapun yang berdalih Hak Asasi 
Manusia (HAM) dan demokrasi untuk mendukung LGBT.
Sekalipun arus penolakan terhadap perilaku LGBT cukup 
besar, namun ada juga pihak-pihak yang mendukung perilaku 
ini  berlaku di negara kita . Pihak yang paling santer menyuarakan 
dukungan kepada komunitas ini yaitu  Jaringan Islam Liberal (JIL) 
yang secara massif memberikan dukungan dan pembelaan terhadap 
gerakan LGBT di negara kita . Di antara tokohnya seperti Ulil Abshar 
Abdala, Khoirul Anam, Luthfie Syaukani, Musdah Mulia, Zuhaeri 
Misrawi secara khusus memberikan pembelaan terhadap LGBT baik 
melalui tulisan, media sosial maupun diskusi-diskusi yang di hadiri 
oleh mereka. 
Dalam pandangan JIL, LGBT tidaklah bertentangan dengan 
nilai moral dan agama. Dalam al-Quran tidak ada satu ayat pun yang 
secara tegas menolak ataupun menerima LGBT, sehingga setiap 
orang berhak untuk menggali dan menginterprestasi makna yang 
lebih relevan dan humanis tentang persoalan ini.12 Bahkan Ulil AbsarAbdalla meragukan kebenaran kisah kaum Sodom yang diceritakan 
al-Quran, ia menyebutkan cerita ini  serupa dengan kisah dalam 
agama Yahudi yang secara historis diragukan kebenarannya.
Diskursus hukum LGBT menurut Islam masih berlangsung 
hangat sampai sekarang di antara pihak yang menolak dan yang 
menerima perilaku ini . Masing-masing mempunyai dasar 
hukum dan alasan masing-masing dalam menyimpulkan kedudukan 
hukum LGBT. Kalangan yang saling berbeda pandangan mengenai 
permasalahan ini antara lain yaitu  Majelis Ulama negara kita  (MUI) 
dan Jaringan Islam Liberal (JIL). MUI memfatwakan hukum LGBT 
yaitu  haram sebagaimana tertuang dalam Fatwa Nomor 57 Tahun 
2014 Tentang Lesbian, Gay, Sodomi dan Pencabulan. sedang  
kalangan JIL membenarkan perilaku ini  sebagai bawaan 
individu yang perlu dihormati dan dilindungi. Mereka mengatakan 
tidak ada pertimbangan khusus untuk menolak LGBT dalam Islam, 
dan bahwa pelarangan hal itu hanya yaitu  tendensi para 
ulama,
Diskursus hukum mengenai LGBT menarik dikaji untuk 
mengetahui landasan hukum dan metodelogi yang digunakan oleh 
masing-masing pihak dalam memahami kedudukan hukum LGBT. 
MUI maupun JIL yaitu  dua organisasi tempat berkumpulnya 
para cendikiawan muslim yang masing-masing mempunyai kapasitas 
yang mumpuni dalam memahami dan memberi solusi terhadap 
permasalahan umat. Namun keduanya dalam masalah tertentu sering 
berbeda pendapat dikarenakan perbedaan landasan hukum, model 
penafsiran maupun metodelogi yang digunakan oleh masing-masing. 
Dari latar belakang ini  penulis menarik untuk mengkaji 
perbedaan pendapat tentang hukum LGBT menurut MUI dan JIL, 
guna mengetahui landasan hukum, model penafsiran dan metodelogi 
yang digunakan kedua kelompok ini dalam memahami kedudukan 
hukum LGBT menurut Islam. Argumentasi dari keduanya akan 
dikomparasikan untuk mencari persamaan dan perbedaaannya. 
lalu  masing-masing pendapat akan dianalisis menggunakan 
teori maqāṣid al-syar’iyyah untuk mengetahui mana yang lebih sesuai 
dengan prinsip dan cita hukum Islam. Adapun sasaran dari kajian ini penulis dapat merinci secara 
lebih spesifik topik kajian, yaitu (1) landasan hukum LGBT menurut 
Majelis Ulama negara kita  dan Jaringan Islam Liberal. (2) Pendekatan 
yang ditempuh oleh Majelis Ulama negara kita  dan Jaringan Islam 
Liberal dalam menetapkan hukum LGBT. Dan (3) Tinjauan maqāṣid 
al-syar’iyyah terhadap hukum LGBT menurut Majelis Ulama 
negara kita  dan Jaringan Islam Liberal. 
Pembahasan buku ini bertujuan untuk mendeskripsikan
landasan hukum LGBT menurut Majelis Ulama negara kita  dan 
Jaringan Islam Liberal, pendekatan yang digunakan Majelis Ulama 
negara kita  dan Jaringan Islam Liberal dalam menetapkan hukum 
LGBT dan tinjauan maqāṣid al-syar’iyyah terhadap hukum LGBT 
menurut Majelis Ulama negara kita  dan Jaringan Islam Liberal. 
Sebelumnya juga ada  beberapa tulisan yang membahas 
tentang LGBT dan hal terkait dengannya, yaitu: 
1. Ayub, jurnal pada UNIDA Gontor dan YDSA Surabaya dengan 
judul; Penyimpangan Orientasi Seksual (Kajian Psikologis dan 
Teologis), yang membahas persoalan LGBT dari perspektif 
psikologis dan teologis dengan membatasi bahasan pada 
persoalan homoseksualitas. Hasil penelitian menunjukan 
bahwa homoseksualitas yaitu  sebuah kelainan psikologis, 
bukan semata-mata faktor genetik. Orientasi seksual ini  
dapat dirubah melalui terapi. Sebagai muslim, pandangan 
terhadap homoseksualitas (liwāţ dan sihāq) haruslah 
didasarkan atas wahyu, bukan evolusi nilai warga . 
Patokan normal dan abnormal yaitu  fitrah penciptaan 
manusia di alam wahyu. Fitrah manusia yaitu  menjadi 
hamba Allah yang senantiasa mematuhi-Nya, termasuk 
menghindari homoseksualitas. 
2. Abdul Halim Iskandar, makalah dengan judul; Konstruksi Dalil 
Relijiusitas, Sosiologis, dan Yuridis dalam usaha  Penolakan 
Pelembagaan LGBT di negara kita , membahas tentang dalil 
agama, norma sosial dan aturan perundang-undangan yang 
dianut oleh warga  negara kita  berkaitan dengan larangan 
LGBT. Kesimpulan pembahasan bahwa Islam tidak 
mengajarkan toleransi terhadap pelaku LGBT meski 
pelakunya ahli ibadah yang taat. Diskursus dalam Islam 
hanya mengenal khunsa (orang yang memiliki dua alat 
kelamin atau tidak berkelamin sama sekali), al murajjilat
(banci perempuan yang berperilaku mirip laki) dan al 
mutakhannitsat (banci laki-laki berperilaku mirip perempuan). Dalam koridor kebudayaan, LGBT memiliki
potensi besar mereduksi kebudayaan asli negara kita  yang 
digerakkan oleh elite global dengan tujuan depopulasi agar 
warga  dunia berkurang dan habisnya kemiskinan.
Peraturan perundang-undangan di negara kita  juga menentang 
pelembagaan LGBT di negara kita , misalnya UU Perkawinan 
Tahun 1974 yang mendefinisikan secara jelas tentang
perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria 
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan 
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal 
berdasar  Ketuhanan yang Maha Esa. 
3. Shinstya Kristina, Jurnal pada FISIP Universitas Airlangga 
dengan judul; Informasi dan Homoseksual-Gay (Studi 
Etnometodologi Mengenai Informasi dan Gay pada Komunitas 
GAYa Nusantara Surabaya), membahas tentang bagaimana 
gay menginterpretasikan dunia homoseksual mereka pada 
komunitas GAYa Nusantara Surabaya. Hasil penelitian yaitu  
(1) Kaum homoseksual di saat dilabeli oleh warga  
cenderung menunjukkan eksistensinya dalam upanya untuk 
memperoleh kesamaan hak dan kesetaraan gender. ini  
ditunjukkan dengan semakin besarnya usaha  untuk mencari 
informasi yang penting agar mereka dapat diterima sebagai 
bagian dari warga . (2) Setiap gay memiliki pemahaman 
yang berbeda akan informasi, tergantung bagaimana mereka 
menginterpretasikannya sesuai dengan pengalaman hidup 
kesehariannya. (3) ada  empat gambaran umum 
informasi yang dipahami oleh homoseksual yaitu informasi 
yang terkait dengan kesehatan, pertemanan, pekerjaan dan 
juga personal mereka. 
4. Abd. Azis Ramadhani, Tesis pada Fakultas Hukum Universitas 
Hasanuddin Makasar dengan judul; Homoseksual dalam 
Perspektif Hukum Pidana dan Hukum Islam (Suatu Studi 
komparatif Normatif), membahas tentang perbedaan 
pandangan terhadap homoseksual antara Hukum Islam dan 
Hukum Pidana dan bentuk sanksi yang diberikan terhadap 
pelaku homoseksual menurut Hukum Islam dan Hukum 
Pidana. Hasil penelitian yaitu  persamaan antara Hukum 
Islam dan Hukum Pidana mengenai homoseksual yaitu  
pemberian perlindungan terhadap hak asasi manusia, 
membuat pelaku jera, mendidik warga  dan pembalasan. 
sedang  perbedaannya yaitu  perlindungan hukum terhadap hak-hak asasi pihak-pihak yang menjadi korban, 
dalam KUHP kurang maksimal, sedang  dalam hukum 
pidana Islam maksimal. lalu  mengenai jenis hukuman 
bagi pelaku homoseksual dalam KUHP Pasal 292 diancam 
dengan pidana 5 tahun penjara, sedang  dalam hukum 
pidana Islam, yaitu ghairu muhsan (belum menikah) dipukul 
100 kali, dan kalau muhsan (sudah menikah) dirajam sampai 
mati. Namun saat ini dalam RUU-KUHP 2004 ada 
penambahan untuk masa hukuman 5 tahun menjadi 7 tahun 
penjara. 
Dari beberapa hasil penelitian dan tulisan di atas mengenai 
LGBT tidak ada satupun yang membahas tentang diskursus hukum 
LGBT di negara kita  antara Majelis Ulama negara kita  (MUI) dan 
Jaringan Islam Liberal (JIL). Maka buku ini memilih topik ini  
guna melengkapi khazanah ilmu pengetahuan mengenai persoalan 
LGBT, khususnya dari aspek hukum Islam dan kemanusiaan. Buku ini 
berawal dari penelitian penulis mengenai ini , lalu disajikan dalam 
bentuk seperti yang ada ditangan pembaca saat ini.