Rabu, 13 September 2023
terbesar dunia seperti PBB juga telah mengakui perilaku LGBT
sebagai bagian dari hak asasi manusia yang harus dihormati. Pada
awalnya perilaku ini dianggap sebagai gangguan jiwa dan
penyakit sosial, akan namun perlahan-lahan anggapan ini telah
dihapuskan.
Perkembangan LGBT di negara kita
Sinyo menjelaskan kaum homoseksual mulai bermunculan di
kota-kota besar pada zaman Hindia Belanda. Di negara kita ada
komunitas kecil LGBT walaupun pada saat zaman Hindia Belanda
ini belum muncul sebagai pergerakan sosial. Pada sekitar tahun
1968 istilah wadam (wanita adam) digunakan sebagai pengganti kata
banci atau bencong yang dianggap bercitra negatif. Sehingga
didirikan organisasi wadam yang pertama, dibantu serta difasilitasi
oleh gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin. Organisasi wadam ini
bernama Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD).
Pada tahun 1980 sebab Adam yaitu nama nabi bagi
umat Islam maka sebagian besar tokoh Islam keberatan mengenai
singkatan dari Wadam sehingga nama Wadam diganti menjadi waria
(wanita-pria). Organisasi terbuka yang menaungi kaum gay pertama
berdiri di negara kita tanggal 1 Maret 1982, sehingga yaitu hari
yang bersejarah bagi kaum LGBT negara kita . Organisasi ini
bernama Lambda. Lambda memiliki sekretariat di Solo. Cabangcabang Lamda lalu berdiri dikota besar lainnya seperti
Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta. Mereka menerbitkan buletin
dengan nama G: Gaya Hidup Ceria pada tahun 1982-1984.
Pada tahun 1985 berdiri juga komunitas gay di Yogyakarta.
Organisasi ini bernama Persaudaraan Gay Yogyakarta (PGY).
Tahun 1988 PGY berubah nama menjadi negara kita n Gay Society
(IGS). Tanggal 1 Agustus 1987 berdiri kembali komunitas gay di
negara kita , yaitu berdirinya Kelompok Kerja Lesbian dan Gaya
Nusantara (KKLGN) yang lalu disingkat menjadi GAYa
Nusantara (GN). GN didirikan di Pasuruan, Surabaya sebagai penerus
Lambda negara kita . GN menerbitkan majalah GAYa Nusantara. Tahun
90-an muncul organisasi gay dihampir semua kota besar di negara kita
seperti Pekanbaru, Bandung, Jakarta, Denpasar, dan Malang.41
Pada akhir tahun 1993 diadakan pertemuan pertama antar
komunitas LGBT di negara kita . Pertemuan ini diselenggarakan
di Kaliurang, Yogyakarta dan diberi nama Kongres Lesbian dan Gay
negara kita I atau yang dikenal sebagai KLG I. Jumlah peserta yang
hadir kurang lebih 40-an dari seluruh negara kita yang mewakili
daerahnya masing-masing. GAYa Nusantara mendapat mandat untuk
mengatur dan memantau perkembangan Jaringan Lesbian dan Gay
negara kita (JLGI). KLG II dilaksanakan pada bulan Desember 1995 di
Lembang, Jawa Barat. Peserta yang hadir melebihi dari KLG I dan
datang dari berbagai daerah di negara kita .
Tanggal 22 Juli 1996, salah satu partai politik di negara kita
yaitu Partai Rakyat Demokratik (PRD), mencatat diri sebagai partai
pertama di negara kita yang mengakomodasi hak-hak kaum
homoseksual dan transeksual dalam manifestonya. lalu KLG III
diselenggarakan di Denpasar, Bali pada bulan November 1997. KLG
III yaitu pertama kalinya para wartawan diperbolehkan
meliput kongres di luar sidang-sidang. Hasil kongres ini yaitu
peninjauan kembali efektivitas kongres-kongres sebelumnya
sehingga untuk sementara akan diadakan rapat kerja nasional
sebagai gantinya.
Untuk pertama kalinya Gay Pride dirayakan secara terbuka di
kota Surabaya pada bulan Juni tahun 1999. Acara ini
yaitu kerja sama antara GN dan Persatuan Waria Kota
Surabaya (PERWAKOS). Pada tahun ini juga Rakernas yang
rencananya akan diselenggarakan di Solo batal dilaksanakan sebab
mendapat ancaman dari Front Pembela Islam Surakarta (FPIS).
Tanggal 7 November 1999 pasangan gay Dr. Mamoto Gultom (41)
dan Hendry M. Sahertian (30) melakukan pertunangan dan
dilanjutkan dengan mendirikan Yayasan Pelangi Kasih Nusantara
(YPKN). Yayasan ini bergerak dalam bidang pencegahan dan
penyuluhan tentang penyakit HIV/AIDS dikalangan komunitas gay di
negara kita .
Di negara kita gay dan lesbian yaitu kategori identitas
seksual yang relatif baru. Menurut Boellstorff tidak ada orang di
negara kita menyebut diri mereka gay atau lesbi pada tahun 900,
1400, 1900 atau mungkin bahkan sampai 1960. Pada awal 80-an
baru pemakaian istilah gay dan lesbian tersebar secara nasional.
Oetomo mengungkapkan bahwa dalam warga
Nusantara perilaku homoseksual sudah dikenal oleh bangsa ini sejak
dulu dengan bermacam-macam cara dan tipologinya, yaitu:
a. Hubungan homoseksual dikenal dan diakui dengan indikasi
pertama muncul istilah yang mengacu pada hubungan
homoseksual seperti istilah induk jawi anak jawi yang
ditemukan pada warga Minangkabau tradisional yaitu
hubungan antara laki-laki dewasa yang menjadi pembimbing
dalam proses belajar laki-laki remaja namun sering kali
melibatkan juga aspek emosional bahkan seksual. Di Madura
dikenal istilah dalaq untuk merujuk pada persahabatan dua
anak atau remaja laki-laki, kata kerja dalaq berarti
melakukan genito-anal (penis dan anus). Indikasi kedua
yaitu adanya laporan dari sarjana barat mengenai
hubungan seksual laki-laki seperti yang ditemukan pada
warga Aceh dan hubungan homoseksual laki-laki dan
perempuan pada warga Bali.
b. Hubungan seksual dilembagakan dalam rangka pencarian
kesaktian atau mempertahankan sakralitas. Misalnya
ditemukan pada budaya warok di Ponorogo, dengan remaja
sesama jenisnya (gemblak) yang diperlakukan sebagai
pengganti pasangan lawan jenis untuk hubungan seksual.
c. Orang berperilaku homoseksual diberi jabatan sakral.
Misalnya basir di suku Dayak Ngaju yang bertindak sebagai
perantara dengan dunia arwah, tadu mburake di Toraja
Pamona yang bertindak sebagai shaman, dan bissu di
Makassar yang bertindak sebagai penjaga pustaka istana
kerajaan.
d. Perilaku homoseksual dijadikan bagian ritus inisiasi seperti
yang ditemukan pada beberapa suku di Papua melalui
penggunaan hubungan genito-oral dan genito-anal antara
remaja dan laki-laki dewasa.
e. Perilaku homoseksual dilembagakan dalam seni dan
pertunjukan seperti pada tari Lenong di Betawi, tari
Gandrung di Banyuwangi, pertunjukan Ludruk, tari bedhaya
di Jawa, pertunjukan Sandhur di Madura dan tari Masri di
Makassar. negara kita masih menjadi negara yang belum ramah terhadap
homoseksualitas. warga menganggap bahwa homoseksualitas
yaitu sesuatu yang salah dan menakutkan atau dikatakan sebagai
homophobia. Weinberg mengartikan homophobia sebagai ketakutan
terhadap homoseksual dan bentuk-bentuk lain yang menunjukan
keintiman dua jenis kelamin yang sama. Guy Hocquenhem seorang
pemikir Prancis mengatakan bahwa masalah yang ada sekarang ini
bukanlah pada homoseksualitas tapi warga lah yang menjadi
masalah.
Laporan survei yang dikeluarkan oleh ILGA (the International
Lesbian, Gay, Bisexsual, Trans and Intersexed Association) pada bulan
Mei 2010 tentang kebijakan dibeberapa negara yang melarang
aktivitas sesama jenis antara dua orang dewasa. Pada bagian
negara kita ditulis bahwa hubungan sesama jenis, baik dengan
perempuan atau laki-laki, tidak dilarang jika mengacu pada KUHP
pasal 292. Secara eksplisit menyatakan pelarangan hubungan sesama
jenis, jika dilakukan dengan anak di bawah umur. Pada Pasal 292
KUHP yaitu orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan
cabul dengan orang lain sama kelamin, yang diketahui atau
sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun. Dalam Rancangan Aksi
Nasional HAM RI tahun 2004-2009, pemerintah dengan tegas
menyebutkan LGBT yaitu kelompok yang harus dilindungi. Namun
visi itu masih dilakukan dengan setengah hati. Diskriminasi terhadap
LGBT paling tampak akhir-akhir ini yaitu tidak adanya
perlindungan bagi komunitas LGBT yang mendapat perlakuan tidak
menyenangkan dan bahkan dapat berujung kekerasan.44
Tercatat beberapa masalah kekerasan yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok fundamentalis terhadap komunitas LGBT di
negara kita . Antara lain masalah penolakan dan pengusiran konferensi
ILGA-Asia (International Lesbian gay Association) ke-4 yang
rencananya akan diadakan di Surabaya pada Maret 2010. lalu
pembubaran pelatihan Hak Asasi Manusia bagi komunitas
transgender yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia pada bulan April 2010. Lalu seminar HIV & AIDS di Bandung
dan peringatan Hari Internasional Melawan Homophobia di
Yogyakarta juga mendapat ancaman dan akhirnya dibatalkan pada
bulan Mei 2010. Dalam masalah ini kebebasan berkumpul dan ekspresi komunitas LGBT sebagai warga negara tidak dilindungi oleh
pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 UUD 1945.
Dilihat dari beberapa masalah ini dibeberapa daerah
dapat menjelaskan tingkat homophobia yang tinggi. Akhirnya LGBT
setiap tanggal 17 Mei memperingati hari melawan homophobia.
Peringatan hari melawan kebencian pada homoseksual yang disebut
dengan International Day Againts Homophobia-Transphobia
(IDAHOT) jatuh setiap tanggal 17 Mei. Adapun tanggal ini
dipilih untuk mengingatkan pada keputusan Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) sebab tanggal 17 Mei 1990 secara resmi
mengeluarkan homoseksual-transgender bukan sebagai gangguan
jiwa. Momen itu yang lalu pada tanggal 26-29 Juli 2006 dalam
sebuah konferensi International di Montreal-Kanada tentang
seksualitas memutuskan 17 Mei sebagai hari yang diperingati
sebagai hari melawan homophobia-transphobia diseluruh dunia.46
Masih sedikit sekali warga yang dapat menerima
keberadaan waria. Di dalam Sosiologi disebutkan bahwa waria
yaitu suatu transgender, di mana dari sikap atau perilaku maskulin
merubah dirinya ke feminim dalam menjalani kehidupan sehariharinya, tanpa harus melakukan perubahan-perubahan yang
mendasar pada kondisi fisiknya, termasuk melakukan operasi.
Dikarenakan ketakutan warga terhadap transgender, ini
memicu kehidupan transgender menjadi lebih terbatas dalam
peran diwarga . Pandangan warga yang negatif terhadap
transgender dan sungkan untuk bergaul dengan mereka membuat
transgender terkesan eksklusif, sehingga muncullah stereotif dari
warga .
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
perkembangan LGBT di negara kita sudah cukup pesat, ditandai
dengan jumlah individu LGBT yang cenderung meningkat dari tahun
ke tahun. lalu berbagai organisasi yang menaungi kaum
LGBT juga bertambah dan semakin refresif dalam memperjuangkan
hak-hak mereka di muka publik. Namun sampai saat ini negara
negara kita belum menetapkan sebuah peraturan yang melegalkan
perilaku LGBT, sekalipun keberadaan mereka tetap dilindungi dalam
kerangka hak asasi manusia. Kurangnya pengaruh kaum LGBT
dimuka hukum, sebab mayoritas warga negara kita yang
beragama Islam menolak keberadaan mereka, yang dianggap
melanggar fitrah dan ketentuan syari’at Islam. di sini agama menjadi
benteng yang mampu menghambat perkembangan LGBT dalam
warga .
Homoseksual yaitu hubungan penyimpangan seksual
normal. ini bisa terjadi sebab beberapa faktor, seperti
keturunan, lingkungan, dan lain-lain. Gaya hidup homoseksual yaitu
gaya hidup di mana penganut gaya hidup ini memiliki orientasi
seksual yang menyimpang, mereka berinteraksi seksual dengan
sesama jenis, bahkan berhubungan sesama jenis. Ada berbagai faktor
yang menjadi penyebab munculnya perilaku LGBT, yaitu:
1. Biologis
Kombinasi atau rangkaian tertentu di dalam genetik seperti
susunan kromosom, struktur otak, ketidakseimbangan hormon dan
kelainan susunan syaraf diperkirakan mempengaruhi seseorang
menjadi individu LGBT. Namun faktor biologis yang mempengaruhi
seseorang menjadi LGBT ini masih terus-menerus diteliti dan dikaji
lebih lanjut oleh para pakar di bidangnya.
2. Lingkungan
Lingkungan diperkirakan turut mempengaruhi seseorang
menjadi gay. Faktor lingkungan ini terdiri atas:
a. Budaya
Pada dasarnya budaya dan adat istiadat yang berlaku dalam
suatu kelompok warga tertentu sedikit banyak mempengaruhi
pribadi masing-masing orang dalam kelompok warga ini .
Demikian pula dengan budaya dan adat istiadat yang mengandung
unsur homoseksualitas dapat mempengaruhi seseorang menjadi gay.
Mulai dari cara berinteraksi dengan lingkungan, nilai-nilai yang
dianut, sikap, pandangan maupun pola pemikiran tertentu terutama
berkaitan dengan orientasi, tindakan dan identitas seksual
seseorang.
b. Pola Asuh
Cara mengasuh seorang anak juga dapat mempengaruhi
seseorang menjadi gay. Sejak dini seorang anak telah dikenalkan
pada identitas mereka sebagai seorang pria atau perempuan.
Pengenalan identitas diri ini tidak hanya sebatas pada sebutan namun juga pada makna di balik sebutan pria atau perempuan
ini , yang meliputi:
1) Kriteria penampilan fisik, seperti pemakaian baju, penataan
rambut, perawatan tubuh yang sesuai dan sebagainya.
2) sifat fisik, seperti perbedaan alat kelamin pria dan
wanita. Pria pada umumnya memiliki kondisi fisik yang lebih
kuat dibandingkan dengan wanita. Pria pada umumnya
tertarik dengan kegiatan-kegiatan yang mengandalkan
tenaga atau otot kasar sementara wanita pada umumnya
lebih tertarik pada kegiatan-kegiatan yang mengandalkan
otot halus.
3) sifat sifat, seperti pria pada umumnya lebih
menggunakan logika atau pikiran sementara wanita pada
umumnya cenderung lebih menggunakan perasaan dan
emosi. Pria pada umumnya lebih menyukai kegiatan-kegiatan
yang membangkitkan adrenalin, menuntut kekuatan dan
kecepatan, sementara wanita lebih menyukai kegiatankegiatan yang bersifat halus, menuntut kesabaran dan
ketelitian.
4) sifat tuntutan dan harapan, untuk warga yang
menganut sistem paternalistik maka tuntutan bagi para pria
yaitu untuk menjadi kepala keluarga dan bertanggung
jawab atas kelangsungan hidup keluarganya. Dengan
demikian pria dituntut untuk menjadi figur yang kuat, tegar,
tegas, berani, dan siap melindungi yang lebih lemah (seperti
istri dan anak-anak). Sementara untuk warga yang
menganut sistem maternalistik maka berlaku sebaliknya
bahwa wanita dituntut untuk menjadi kepala keluarga.
3. Figur
Dalam proses pembentukan identitas seksual, seorang anak
pertama-tama akan melihat pada orang tua mereka sendiri yang
berjenis kelamin sama dengannya. Anak laki-laki melihat pada
ayahnya dan anak perempuan melihat pada ibunya. lalu
mereka juga melihat pada teman bermain yang berjenis kelamin
sama dengannya. Homoseksual terbentuk saat anak-anak ini gagal
mengidentifikasi dan mengasimilasi apa, siapa dan bagaimana
menjadi dan menjalani peran sesuai dengan identitas seksual mereka
berdasar nilai-nilai universal pria dan wanita. Kegagalan mengidentifikasi dan mengasimilasi identitas
seksual ini dapat dikarenakan figur yang dilihat dan menjadi contoh
untuknya tidak memerankan peran identitas seksual mereka sesuai
dengan nilai-nilai universal yang berlaku. Misalnya, ibu yang terlalu
mendominasi dan ayah yang tidak memiliki ikatan emosional dengan
anak-anaknya. Ayah tampil sebagai figur yang lemah dan tidak
berdaya atau orang tua yang homoseksual.
4. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang-orang tidak
bertanggung jawab terhadap orang lain yang berjenis kelamin sama
yaitu salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang menjadi gay.
Banyak hal yang memicu seseorang melakukan kekerasan
seksual semacam ini, antara lain yaitu hasrat seksual/nafsu, fantasi
seksual, pelampiasan kemarahan/dendam dan ajang membully orang
lain seperti perpeloncoan dari senior kepada junior, membully teman
yang culun dan sebagainya.
Pada dasarnya semua orang yang melakukan hubungan
seksual terhadap orang lain tanpa adanya persetujuan dari orang
ini sudah termasuk ke dalam kategori melakukan kekerasan
seksual. Bentuk kekerasan seksual yang dilakukan sangat bervariasi.
Mulai dari memegang alat kelamin sesama jenis, menginjak-injak,
memaksa untuk melakukan sesuatu hal terhadap alat kelaminnya
sendiri maupun alat kelamin si pelaku, hingga menggunakan alat-alat
tertentu sebagai media dalam melakukan kekerasan seksual.
Kekerasan seksual seperti ini menempatkan korban dalam
sebuah situasi yang sangat ekstrim, tidak menyenangkan,
mengancam jiwa, tidak aman, meresahkan, kacau dan
membingungkan. Ini menjadi sebuah pengalaman traumatik dalam
diri korban. Pengalaman demikian dapat mengganggu kondisi
psikologis korban. Ia berusaha untuk menghindari ingatan mengenai
kejadian ini yang membuatnya sangat tidak nyaman dan sangat
terluka atau sakit.
Setiap hal yang memicu ingatannya terhadap kejadian
ini membuatnya menjadi sangat resah. Kadang muncul rasa
marah dan seringkali baik disadari maupun tanpa disadari korban
melakukan usaha untuk merusak atau menyakiti dirinya sendiri. Hal
ini dinamakan trauma psikologis atau pengalaman traumatik.
Pengalaman traumatik tidak hanya terbatas pada pengalaman
kekerasan seksual. Melihat seseorang yang melakukan kekerasanseksual ataupun melakukan hubungan homoseksual juga dapat
menjadi sebuah pengalaman traumatik bagi seseorang.
5. Biologis dan lingkungan
Faktor biologis dan lingkungan berkontribusi terhadap
orientasi seksual. Lingkungan turut mengambil bagian dan bukan
semata-mata pilihan dari seseorang untuk menjadi gay. Faktor-faktor
yang mempengaruhi perkembangan seseorang (faktor lingkungan)
dikombinasikan dengan rangkaian genetik (faktor biologis) yang
mempengaruhi persepsi, maka secara keseluruhan akan
menumbuhkan atau membentuk seseorang menjadi gay.
Di era modernisasi manusia dihadapkan kepada berbagai isu
aktual yang menarik untuk dibicarakan, baik dalam bingkai
pembicaraan informal maupun dalam konteks resmi dengan
melibatkan kaidah sainstifik (ilmu pengetahuan). Salah satu isu yang
sedang hangat diperbincangkan belakangan ini yaitu fenomena
LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) yang marak terjadi
dalam warga , banyak kalangan yang menolak fenomena ini
sebab dianggap berbahaya bagi eksistensi manusia, namun
sementara pihak menerima bahkan membela perilaku ini sebagai
bentuk hak individu yang perlu dihormati dan dilindungi.
Persoalan LGBT telah menjadi objek perdebatan yang cukup
lama dalam sejarah peradaban umat manusia. Norma warga
yang mengutuk berbagai macam penyimpangan seksual
mendapatkan tantangan dari kelompok yang merasa dirugikan atas
norma-norma ini . Perdebatan semacam ini menjadi semakin
terlihat setelah muncul kampanye yang dilakukan oleh gerakan LGBT
yang bermula di dalam warga Barat. Cikal bakal lahirnya
gerakan ini yaitu pembentukan Gay Liberation Front (GLF) di
London Tahun 1970,1 yang terinspirasi dari gerakan pembebasan
sebelumnya di Stonewall, Amerika Serikat Tahun 1969.
2
Secara terminologis, LGBT mengacu pada komponenkomponen orientasi seksual yang tidak lazim dalam konteks sosial
dan keagamaan. Lesbian yaitu ketertarikan seksual seorang
perempuan terhadap perempuan lainnya. Gay yaitu ketertarikan
seksual seorang lelaki pada lelaki lainnya. Biseksual yaitu
ketertarikan seksual seseorang baik terhadap sesama jenis maupun
lawan jenis. Dan Transgender yaitu pengubahan/transformasi diri dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya (awalnya lelaki
lalu mengubah dirinya menjadi perempuan atau sebaliknya).3
Perilaku LGBT telah terjadi dalam warga sejak lama
diberbagai belahan dunia, dan terus berlangsung hingga saat ini. Di
zaman kekaisaran Romawi, ada sejumlah orang yang memiliki
orientasi seksual sejenis, misalnya Nero seorang kaisar Romawi (54-
68 M) yang memiliki empat orang isteri. Isteri terakhirnya bernama
Sporus yaitu transgender, yang awalnya seorang lelaki lalu
diperintahkan untuk mengubah dirinya menjadi perempuan.
lalu seorang mantan gladiator, Spartacus, yang memberontak
pada tahun 73-71 SM memiliki sepasang pengikut yaitu Agron dan
Nasir, keduanya yaitu pasangan sesama jenis. Di era modern,
seorang pendongeng terkenal asal Denmark, Hans-Christian
Andersen (1805-1875) yaitu pesohor dunia yang juga yaitu
biseksual. Andersen, secara diam-diam terlibat dalam hubungan
percintaan dengan sahabat lelakinya, Edvard Collins.
4
Al-Quran, kitab suci umat Islam juga mengisaratkan
fenomena LGBT yang terjadi dalam warga , antara lain dalam
QS. Al-Naml (27) : 54-55 yang berbunyi:
Artinya: dan (ingatlah kisah) Luth, saat Dia berkata kepada
kaumnya: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah
(keji) itu sedang kamu memperlihatkan (nya). Mengapa
kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu),
bukan (mendatangi) wanita? sebenarnya kamu yaitu kaum
yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)". (QS. Al-Naml
(27) : 54-55)
Dalam ayat yang lain yaitu QS. Al-Syu’ara Allah Swt juga
berfirman:
ْ َ Artinya: Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia,
dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh
Tuhanmu untukmu, bahkan kamu yaitu orang-orang yang
melampaui batas". (QS. Al-Syu’ara (26) : 165-166)
Kedua ayat di atas mengisahkan tentang kaum Nabi Luth
yang mempunyai kebiasaan menyukai sesama jenis (homoseksual),
Allah Swt menyebutkan hal itu sebagai perbuatan keji (faahisyah)
dan melampaui batas. Lalu memerintahkan mereka menjauhi dan
mengubah orientasi seksual ini dari homoseksual kepada
heteroseksual (menyukai lawan jenis). Allah Swt menyebutkan
perempuan yaitu pasangan bagi lelaki untuk menjadi isteri dan
mitra seksualnya. Hubungan seksual yang normal yaitu jika
dilakukan antara lekaki dan perempuan, sedang hubungan
seksual sesama jenis yaitu penyimpangan yang harus
dihindari.5
Dalam hadis juga ada penjelasan mengenai LGBT, antara
lain hadis yang diriwayatkan oleh Muslim yang berbunyi:
Artinya: Dari 'Abdurrahman ibn Abu Sa'id Al-Khudri dari ayahnya,
bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda: "Tidak boleh lelaki
melihat aurat lelaki, dan tidak boleh wanita melihat aurat
wanita, tidak boleh lelaki bersentuhan kulit dengan lelaki
dalam satu busana, dan tidak boleh wanita bersentuhan kulit
dengan wanita dalam satu busana". (HR. Muslim).
berdasar kandungan ayat dan hadis di atas dapat
dipahami bahwa perilaku LGBT atau penyimpangan seksual
yaitu suatu larangan dalam Islam. Hal itu telah menjadi prinsip
yang kokoh dan tidak boleh dilangkahi, naṡ menunjukkan kepada
hukum LGBT secara relatif jelas, sehingga sukar memahami maksud
lain di luar maksud ini .
Fenomena LGBT lahir dan tumbuh dalam dinamika
warga yang kompleks tanpa memandang ideologi negara
tempat ia lahir. Dinamika ini tidak memandang isu politik,
ekonomi maupun budaya, ia lahir dari sebuah pengalaman empiris
individu yang secara personal tidak merasa nyaman dengan kondisi
tubuh dan jiwanya. Ada banyak faktor yang menjadi sebab
munculnya LGBT, salah satunya yaitu pengaruh lingkungan di mana
homoseksual dianggap sesuatu yang biasa atau umum. saat tidak
ada nilai-nilai moral atau agama yang membekali dirinya, seseorang
akan mudah terpengaruh dengan kebiasaan yang tidak lurus yang
ada di lingkungannya.
Pengalaman buruk dalam pengasuhan keluarga juga menjadi
faktor muncul LGBT, seperti memiliki ibu yang dominan sehingga
anak tidak memperoleh gambaran seorang tokoh laki-laki, atau
sebaliknya. Faktor lainnya yaitu pengalaman seksual dini sebab
menyaksikan gambar-gambar porno di televisi, internet, komik
ataupun media lainnya. Anak-anak sangat mudah terpengaruh
dengan tontonan ini dan cenderung mempraktekkan apa yang biasa ia saksikan. LGBT dapat pula disebabkan oleh faktor kelainan
otak, genetik maupun faktor psikologi.
Selain faktor di atas, pengaruh budaya Eropa yang
memberikan ruang yang luas untuk mengekpresikan perasaan bagi
setiap individu turut menginjeksi perkembangan perilaku LGBT di
berbagai belahan dunia yang lain, tidak terkecuali negara kita . Melalui
hegemoni imperialisme dan kolonialisme, negara-negara Eropa telah
merevitalisasi isu LGBT menjadi isu global yang mewabah sejak abad
ke-17.
Bahkan menurut Menteri Pertanahan RI Ryamizard Ryacudu,
isu LGBT yaitu bagian dari proxi war atau perang proxi yang
diagendakan oleh negara-negara maju untuk menguasai suatu
bangsa, tanpa perlu mengirim pasukan militer. Ancaman perang
proxi itu berbahaya bagi negara kita sebab negara lain yang memiliki
kepentingan tidak langsung berhadapan. Perang modern tidak lagi
menggunakan senjata, melainkan menggunakan pemikiran. Perang
alutsista tidak berbahaya, namun yang berbahaya yaitu perang
dalam bentuk cuci otak yang membelokkan pemahaman terhadap
ideologi negara. sebab itu, aksi pendukung LGBT yang meminta
komunitasnya dilegalkan ini wajib diwaspadai.8
Kehadiran LGBT di negara kita telah menimbulkan polemik
yang luas, mayoritas warga menolak perilaku ini sebab
dianggap bertentangan dengan nilai moral dan teologis yang dianut.
Sehingga individu-individu LGBT banyak mendapat kritikan dan
penolakan di mana-mana, terutama organisasi keagamaan dan
lembaga pendidikan. Organisasi umat Islam terbesar di negara kita
Nahdlatul Ulama secara tegas menolak keberadaan kelompok LGBT
di negara kita yang dinilai bertentangan dengan moral dan budaya
bangsa. Sebelumnya, Menteri Riset dan Teknologi-Pendidikan Tinggi,
M. Nasir juga dengan tegas menolak keberadaan LGBT di kampus
yang dianggap melanggar kesusilaan dan standar nilai yang dijaga.
Majelis Ulama negara kita melalui Komisi Fatwa juga telah
mengeluarkan fatwa tentang keharaman LGBT. Penetapan fatwa ini
didasari atas maraknya kasus-masalah penyimpangan seksual jika
ditinjau dari sudut pandang Islam yaitu tindakan luar biasa
(menyimpang). Hukum Islam sangat menghargai kehormatan dan
melindungi keturunan, sedang LGBT yaitu perilaku yang
dapat mengancam eksistensi kehormatan dan keturunan manusia,
untuk itu sebagai wujud tanggung jawab sosial keulamaan, MUI
merespon isu LGBT dengan melakukan pembahasan sekaligus
menetapkan fatwa keharaman perilaku ini .10
Majelis-majelis agama yang terdiri dari agama Islam, Katolik,
Budha dan Khonghucu juga menyatakan penolakannya terhadap
perilaku LGBT dengan alasan perilaku ini yaitu kelainan
dan penyimpangan seksual. Majelis agama memandang aktivitas
LGBT bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 pasal 29 ayat 1
serta UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Aktivitas LGBT
juga dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran dari agama
manapun.
Majelis agama menolak segala bentuk propaganda, dukungan
dan promosi terhadap usaha legalisasi dan perkembangan LGBT di
negara kita . Mereka juga mendesak pemerintah untuk melarang segala
bentuk dukungan dana yang diperuntukkan bagi kampanye dan
sosialisasi aktivitas LGBT. Pemerintah diminta untuk mewaspadai
gerakan atau intervensi pihak manapun yang berdalih Hak Asasi
Manusia (HAM) dan demokrasi untuk mendukung LGBT.
Sekalipun arus penolakan terhadap perilaku LGBT cukup
besar, namun ada juga pihak-pihak yang mendukung perilaku
ini berlaku di negara kita . Pihak yang paling santer menyuarakan
dukungan kepada komunitas ini yaitu Jaringan Islam Liberal (JIL)
yang secara massif memberikan dukungan dan pembelaan terhadap
gerakan LGBT di negara kita . Di antara tokohnya seperti Ulil Abshar
Abdala, Khoirul Anam, Luthfie Syaukani, Musdah Mulia, Zuhaeri
Misrawi secara khusus memberikan pembelaan terhadap LGBT baik
melalui tulisan, media sosial maupun diskusi-diskusi yang di hadiri
oleh mereka.
Dalam pandangan JIL, LGBT tidaklah bertentangan dengan
nilai moral dan agama. Dalam al-Quran tidak ada satu ayat pun yang
secara tegas menolak ataupun menerima LGBT, sehingga setiap
orang berhak untuk menggali dan menginterprestasi makna yang
lebih relevan dan humanis tentang persoalan ini.12 Bahkan Ulil AbsarAbdalla meragukan kebenaran kisah kaum Sodom yang diceritakan
al-Quran, ia menyebutkan cerita ini serupa dengan kisah dalam
agama Yahudi yang secara historis diragukan kebenarannya.
Diskursus hukum LGBT menurut Islam masih berlangsung
hangat sampai sekarang di antara pihak yang menolak dan yang
menerima perilaku ini . Masing-masing mempunyai dasar
hukum dan alasan masing-masing dalam menyimpulkan kedudukan
hukum LGBT. Kalangan yang saling berbeda pandangan mengenai
permasalahan ini antara lain yaitu Majelis Ulama negara kita (MUI)
dan Jaringan Islam Liberal (JIL). MUI memfatwakan hukum LGBT
yaitu haram sebagaimana tertuang dalam Fatwa Nomor 57 Tahun
2014 Tentang Lesbian, Gay, Sodomi dan Pencabulan. sedang
kalangan JIL membenarkan perilaku ini sebagai bawaan
individu yang perlu dihormati dan dilindungi. Mereka mengatakan
tidak ada pertimbangan khusus untuk menolak LGBT dalam Islam,
dan bahwa pelarangan hal itu hanya yaitu tendensi para
ulama,
Diskursus hukum mengenai LGBT menarik dikaji untuk
mengetahui landasan hukum dan metodelogi yang digunakan oleh
masing-masing pihak dalam memahami kedudukan hukum LGBT.
MUI maupun JIL yaitu dua organisasi tempat berkumpulnya
para cendikiawan muslim yang masing-masing mempunyai kapasitas
yang mumpuni dalam memahami dan memberi solusi terhadap
permasalahan umat. Namun keduanya dalam masalah tertentu sering
berbeda pendapat dikarenakan perbedaan landasan hukum, model
penafsiran maupun metodelogi yang digunakan oleh masing-masing.
Dari latar belakang ini penulis menarik untuk mengkaji
perbedaan pendapat tentang hukum LGBT menurut MUI dan JIL,
guna mengetahui landasan hukum, model penafsiran dan metodelogi
yang digunakan kedua kelompok ini dalam memahami kedudukan
hukum LGBT menurut Islam. Argumentasi dari keduanya akan
dikomparasikan untuk mencari persamaan dan perbedaaannya.
lalu masing-masing pendapat akan dianalisis menggunakan
teori maqāṣid al-syar’iyyah untuk mengetahui mana yang lebih sesuai
dengan prinsip dan cita hukum Islam. Adapun sasaran dari kajian ini penulis dapat merinci secara
lebih spesifik topik kajian, yaitu (1) landasan hukum LGBT menurut
Majelis Ulama negara kita dan Jaringan Islam Liberal. (2) Pendekatan
yang ditempuh oleh Majelis Ulama negara kita dan Jaringan Islam
Liberal dalam menetapkan hukum LGBT. Dan (3) Tinjauan maqāṣid
al-syar’iyyah terhadap hukum LGBT menurut Majelis Ulama
negara kita dan Jaringan Islam Liberal.
Pembahasan buku ini bertujuan untuk mendeskripsikan
landasan hukum LGBT menurut Majelis Ulama negara kita dan
Jaringan Islam Liberal, pendekatan yang digunakan Majelis Ulama
negara kita dan Jaringan Islam Liberal dalam menetapkan hukum
LGBT dan tinjauan maqāṣid al-syar’iyyah terhadap hukum LGBT
menurut Majelis Ulama negara kita dan Jaringan Islam Liberal.
Sebelumnya juga ada beberapa tulisan yang membahas
tentang LGBT dan hal terkait dengannya, yaitu:
1. Ayub, jurnal pada UNIDA Gontor dan YDSA Surabaya dengan
judul; Penyimpangan Orientasi Seksual (Kajian Psikologis dan
Teologis), yang membahas persoalan LGBT dari perspektif
psikologis dan teologis dengan membatasi bahasan pada
persoalan homoseksualitas. Hasil penelitian menunjukan
bahwa homoseksualitas yaitu sebuah kelainan psikologis,
bukan semata-mata faktor genetik. Orientasi seksual ini
dapat dirubah melalui terapi. Sebagai muslim, pandangan
terhadap homoseksualitas (liwāţ dan sihāq) haruslah
didasarkan atas wahyu, bukan evolusi nilai warga .
Patokan normal dan abnormal yaitu fitrah penciptaan
manusia di alam wahyu. Fitrah manusia yaitu menjadi
hamba Allah yang senantiasa mematuhi-Nya, termasuk
menghindari homoseksualitas.
2. Abdul Halim Iskandar, makalah dengan judul; Konstruksi Dalil
Relijiusitas, Sosiologis, dan Yuridis dalam usaha Penolakan
Pelembagaan LGBT di negara kita , membahas tentang dalil
agama, norma sosial dan aturan perundang-undangan yang
dianut oleh warga negara kita berkaitan dengan larangan
LGBT. Kesimpulan pembahasan bahwa Islam tidak
mengajarkan toleransi terhadap pelaku LGBT meski
pelakunya ahli ibadah yang taat. Diskursus dalam Islam
hanya mengenal khunsa (orang yang memiliki dua alat
kelamin atau tidak berkelamin sama sekali), al murajjilat
(banci perempuan yang berperilaku mirip laki) dan al
mutakhannitsat (banci laki-laki berperilaku mirip perempuan). Dalam koridor kebudayaan, LGBT memiliki
potensi besar mereduksi kebudayaan asli negara kita yang
digerakkan oleh elite global dengan tujuan depopulasi agar
warga dunia berkurang dan habisnya kemiskinan.
Peraturan perundang-undangan di negara kita juga menentang
pelembagaan LGBT di negara kita , misalnya UU Perkawinan
Tahun 1974 yang mendefinisikan secara jelas tentang
perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasar Ketuhanan yang Maha Esa.
3. Shinstya Kristina, Jurnal pada FISIP Universitas Airlangga
dengan judul; Informasi dan Homoseksual-Gay (Studi
Etnometodologi Mengenai Informasi dan Gay pada Komunitas
GAYa Nusantara Surabaya), membahas tentang bagaimana
gay menginterpretasikan dunia homoseksual mereka pada
komunitas GAYa Nusantara Surabaya. Hasil penelitian yaitu
(1) Kaum homoseksual di saat dilabeli oleh warga
cenderung menunjukkan eksistensinya dalam upanya untuk
memperoleh kesamaan hak dan kesetaraan gender. ini
ditunjukkan dengan semakin besarnya usaha untuk mencari
informasi yang penting agar mereka dapat diterima sebagai
bagian dari warga . (2) Setiap gay memiliki pemahaman
yang berbeda akan informasi, tergantung bagaimana mereka
menginterpretasikannya sesuai dengan pengalaman hidup
kesehariannya. (3) ada empat gambaran umum
informasi yang dipahami oleh homoseksual yaitu informasi
yang terkait dengan kesehatan, pertemanan, pekerjaan dan
juga personal mereka.
4. Abd. Azis Ramadhani, Tesis pada Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin Makasar dengan judul; Homoseksual dalam
Perspektif Hukum Pidana dan Hukum Islam (Suatu Studi
komparatif Normatif), membahas tentang perbedaan
pandangan terhadap homoseksual antara Hukum Islam dan
Hukum Pidana dan bentuk sanksi yang diberikan terhadap
pelaku homoseksual menurut Hukum Islam dan Hukum
Pidana. Hasil penelitian yaitu persamaan antara Hukum
Islam dan Hukum Pidana mengenai homoseksual yaitu
pemberian perlindungan terhadap hak asasi manusia,
membuat pelaku jera, mendidik warga dan pembalasan.
sedang perbedaannya yaitu perlindungan hukum terhadap hak-hak asasi pihak-pihak yang menjadi korban,
dalam KUHP kurang maksimal, sedang dalam hukum
pidana Islam maksimal. lalu mengenai jenis hukuman
bagi pelaku homoseksual dalam KUHP Pasal 292 diancam
dengan pidana 5 tahun penjara, sedang dalam hukum
pidana Islam, yaitu ghairu muhsan (belum menikah) dipukul
100 kali, dan kalau muhsan (sudah menikah) dirajam sampai
mati. Namun saat ini dalam RUU-KUHP 2004 ada
penambahan untuk masa hukuman 5 tahun menjadi 7 tahun
penjara.
Dari beberapa hasil penelitian dan tulisan di atas mengenai
LGBT tidak ada satupun yang membahas tentang diskursus hukum
LGBT di negara kita antara Majelis Ulama negara kita (MUI) dan
Jaringan Islam Liberal (JIL). Maka buku ini memilih topik ini
guna melengkapi khazanah ilmu pengetahuan mengenai persoalan
LGBT, khususnya dari aspek hukum Islam dan kemanusiaan. Buku ini
berawal dari penelitian penulis mengenai ini , lalu disajikan dalam
bentuk seperti yang ada ditangan pembaca saat ini.