kitab Samuel

kitab Samuel


 


Didirikan pada tahun 1997, Thirdmill adalah pelayanan Kristen Injili nirlaba yang 

bertujuan memberikan: 

Pendidikan Alkitab. Bagi Dunia. Tanpa Biaya. 

Tujuan kami adalah menyediakan pendidikan Kristen secara cuma-cuma bagi 

ratusan ribu gembala sidang dan pemimpin Kristen di seluruh dunia yang tidak 

dapat memperoleh pelatihan yang memadai untuk pelayanan. Kami berupaya 

meraih sasaran ini dengan menyediakan dan mendistribusikan secara global 

sebuah kurikulum seminari multimedia yang unik dalam bahasa Inggirs, Arab, 

Mandarin, Rusia, dan Spanyol. Kurikulum kami juga diterjemahkan kedalam 

belasan bahasa lain melalui mitra-mitra pelayanan kami. Kurikulum ini terdiri dari 

tayangan video, bahan cetakan, dan bacaan internet. Kurikulum dirancang untuk 

dipergunakan oleh sekolah-sekolah, kelompok-kelompok, maupun individu-individu, 

baik secara daring maupun dalam komunitas-komunitas studi. 

Selama bertahun-tahun kami telah mengembangkan sebuah metode yang hemat 

biaya untuk memproduksi pelajaran-pelajaran multimedia dengan konten dan 

kualitas terbaik, yang telah berhasil meraih penghargaan. Penulis-penulis dan 

editor-editor kami adalah para pendidik yang telah mengenyam pendidikan teologis, 

penerjemah-penerjemah kami adalah native speaker bahasa terkait yang mahir di 

bidang teologi, dan pelajaran kami memuat wawasan dari beratus-ratus guru besar 

seminari dan gembala sidang yang dihormati dari seluruh dunia. Di samping itu, 

para perancang grafis kami, para ilustrator, dan para produser, mengikuti standar 

produksi tertinggi dengan menggunakan sarana dan teknik mutakhir yang canggih. 

Untuk mencapai sasaran distribusi kami, Thirdmill membentuk kemitraan strategis 

dengan gereja-gereja, seminari-seminari, sekolah-sekolah Alkitab, misionari-

misionari, radio-radio siaran Kristen, penyedia layanan televisi satelit, dan 

organisasi-organisasi lain. Relasi ini telah menghasilkan distribusi pelajaran-

pelajaran video yang tak terhitung banyaknya kepada para pemimpin setempat, 

gembala-gembala dan murid-murid seminari di berbagai negara. Situs internet kami 

juga berfungsi sebagai sarana distribusi dan menyediakan materi tambahan untuk 

melengkapi pelajaran-pelajaran kami, termasuk materi bagaimana caranya memulai 

komunitas studi Anda sendiri. 

Thirdmill diakui oleh IRS sebagai badan hukum 501(c)(3). Kami bergantung pada 

kontribusi dan kedermawanan gereja-gereja, yayasan-yayasan, bisnis-bisnis, dan 

individu-individu. Kontribusi ini mendapat pengurangan pajak. 

Sebagian besar dari kita pasti pernah mengenal beberapa pemimpin yang memulai 

pekerjaan besar dan mulia, tetapi berakhir dengan kegagalan. Ketika hal ini terjadi, kita 

sering bertanya hal lain yang akan timbul di masa depan. Inilah yang terjadi pada bangsa 

Israel kuno sebagai penerima pertama kitab Perjanjian Lama yang kita kenal sebagai 1 

dan 2 Samuel. Allah memberitahu mereka bahwa keturunan Raja Daud akan melindungi 

bangsa mereka dan memperluas pemerintahan Allah hingga ke ujung bumi. Namun 

seiring bergulirnya waktu, ketika Daud dan keluarganya gagal, banyak orang di Israel 

bertanya-tanya tentang hal yang akan terjadi. Dalam pimpinan Roh Allah, penulis kitab 

Samuel mengakui bahwa Daud dan keturunannya telah membawa banyak kesusahan bagi 

Israel. Akan tetapi ia menulis kitabnya untuk meneguhkan bahwa keluarga Daud tetap 

akan membawa berkat besar bagi Israel dan memperluas kerajaan Allah ke seluruh bumi. 

Pelajaran pertama dalam seri Kitab Samuel ini kami beri judul, “Pengantar Kitab 

Samuel.” Dalam pelajaran ini, kita akan melihat bagaimana kitab ini pertama-tama 

mengimbau bangsa Israel kuno untuk tetap berharap pada janji-janji Allah kepada 

keluarga Daud. Kita juga akan melihat cara kitab ini mendorong kita untuk menaruh 

segenap pengharapan kita untuk masa depan kerajaan Allah di dalam Yesus, anak Daud 

yang agung, sempurna dan benar. 

Perlu kita ingat terlebih dahulu, bahwa saat ini hampir semua pengikut Kristus 

merujuk kitab Samuel ini terdiri dari dua kitab, bukan satu kitab. Jadi mungkin agak 

janggal jika menyebut kita ini sebagai satu kitab. Tetapi tulisan Origen di abad ketiga dan 

Jerome di abad keempat meneguhkan bahwa 1 dan 2 Samuel aslinya adalah satu kitab 

utuh. Ada kemungkinan kitab ini dibagi menjadi dua bagian karena keterbatasan 

gulungan kitab di zaman dahulu dalam terjemahan bahasa Yunani kuno dari Perjanjian 

Lama, yang kita kenal sebagai Septuaginta. Sejauh yang kita ketahui, naskah Ibrani 

pertama yang membagi kitab Samuel menjadi dua bagian, baru diterbitkan sekitar awal 

abad 16 Masehi. Oleh karena itu, kita akan mengikuti tradisi Ibrani kuno dan 

menyebutnya sebagai satu kitab — bukan dua kitab — Samuel. Kita hanya akan 

menyebut 1 dan 2 Samuel untuk mengutip pasal-pasal dan ayat-ayat tertentu. 

Pelajaran pendahuluan kita untuk kitab Samuel ini dibagi tiga bagian. Pertama, 

kita akan meneliti latar belakangnya. Siapa yang menulisnya dan kapan? Kedua, kita 

akan melihat desain keseluruhannya. Bagaimana dan alasan kitab Samuel ditulis? 

Kemudian ketiga, kita akan mempelajari penerapannya secara Kristiani. Apa maknanya 

bagi kita hari ini? Mari kita mulai dengan beberapa hal latar belakang yang penting untuk 

memahami kitab ini.    

 

 

 

LATAR BELAKANG 

 

 

Berdasarkan kesaksian Kristus dan para rasul dan nabi-nabi abad pertama, orang 

Kristen memilliki kepercayaan yang benar bahwa Roh Kudus mengilhami kitab Samuel. 

Jadi, siapa pun yang menulisnya, kitab ini memiliki otoritas ilahi atas segenap umat Allah 

sepanjang zaman. Namun pada saat bersamaan, Roh Kudus juga mengilhami manusia 

penulisnya agar kitab ini mengulas situasi yang dihadapi penulis dan bangsa Israel kuno 

di masa itu. Semakin kita mengerti lebih banyak tentang penulis manusia dari kitab ini, 

semakin mudah kita memahami alasan Allah memberi umat-Nya kitab Samuel, dan juga 

hal yang Allah inginkan untuk kita terapkan dalam kehidupan kita hari ini.  

Untuk menelusuri penulis kitab Samuel, kita akan mulai dengan pandangan 

tradisional kuno. Kemudian kita akan merangkum pandangan kritis modern yang umum. 

Dan terakhir, kita akan melihat beberapa pandangan injili terkini untuk memandu kita 

dalam pelajaran ini. Mari kita melihat pandangan tradisional tentang sang penulis. 

  

 

Pandangan Tradisional 

 

Pandangan tradisional Yahudi kuno dan Kristen tentang penulis kitab Samuel kita 

temukan dalam Talmud Babilon (Babylonian Talmud), yang berisi ulasan dan ajaran 

tradisional para rabi. Dalam rangkaian pertanyaan dan jawaban tentang berbagai kitab 

Perjanjian Lama, dalam Traktat Baba Bathra 14b, kita membaca kata-kata ini: 

 

Samuel menulis kitab yang menyandang namanya serta Kitab 

Hakim-hakim dan Rut.  

 

Di sini kita melihat bahwa para rabi zaman dahulu menunjuk Samuel sebagai 

penulis kitab Samuel dan juga Hakim-hakim dan Rut. Pandangan ini mencerminkan 

tradisi Yahudi kuno dan Kristen yang mengasosiasikan kitab-kitab Perjanjian Lama 

dengan para nabi sebagai tokoh yang menonjol. 

Meskipun pernyataan Talmud ini diyakini banyak orang di zaman dahulu, namun 

hampir tidak ada bukti positif yang mendukung pandangan ini. Perlu kita singgung 

bahwa 1 Tawarikh 29:29 merujuk kepada gulungan kitab yang dinamakan “riwayat 

Samuel, pelihat itu.” Tetapi kemungkinan besar ayat ini merujuk kepada kumpulan 

nubuat Samuel di luar kanon Alkitab, seperti “riwayat nabi Natan” dan “riwayat Gad,” 

yang juga disebutkan dalam kitab Tawarikh. Kita harus selalu ingat bahwa 1 Samuel 25:1 

mencatat kematian nabi Samuel sebelum beberapa peristiwa yang dcatat kemudian dalam 

2 Samuel. Jadi, meskipun ada beberapa tulisan dari “riwayat Samuel,” atau naskah yang 

serupa, yang dimasukkan dalam kitab ini, kita dapat yakin bahwa orang lainlah, bukan 

nabi Samuel sendiri, yang menulis kitab ini.  

 


 

 

-3- 

 

Ada satu hal yang menarik tentang Perjanjian Lama, yaitu banyak 

dari kitab-kitabnya bersifat anonim, termasuk kitab 1 dan 2 Samuel. 

Kita tidak tahu siapa sebenarnya penulisnya. Kita memiliki petunjuk 

dalam 1 Tawarikh 29:29 bahwa baik Samuel maupun Natan dan Gad 

meninggalkan catatan-catatan tertulis tentang pelayanan kenabian 

mereka. Jadi, siapa pun yang menyusun kitab-kitab itu dalam bentuk 

akhirnya pasti mempunyai akses pada sumber aslinya, bahkan dari 

Samuel sendiri. Tetapi karena 1 Samuel 25 mengisahkan bahwa ia 

wafat, jelas ia tidak menyelesaikan kedua kitab atas namanya itu.    

 

— Dr. Herbert D. Ward 

 

Di zaman kita, hampir tidak ada orang yang meneguhkan pandangan tradisional 

kuno tentang penulis Samuel. Sebaliknya, banyak penafsir modern yang mendukung 

pandangan kritis terkait hal ini — pendapat yang diyakini oleh cendekiawan modern yang 

menolak otoritas penuh Alkitab.  

 

 

Pandangan Kritis 

 

Seperti telah kita bahas di seri-seri lain, para penafsir kritis sangat terpengaruh 

oleh pandangan Martin Noth. Buku Noth, The Deuteronomistic History, pertama terbit di 

Jerman tahun 1943. Dalam bukunya, Noth menegaskan bahwa kitab Ulangan, Yosua, 

Hakim-hakim, Samuel dan Raja-raja, diselesaikan sebagai kesatuan oleh seorang juru 

tulis atau sekelompok juru tulis. Rut tidak termasuk di sini. Noth menyebut juru tulis ini 

“Sang Deuteronomis.” Menurut Noth, Deuteronomis adalah penulis kitab-kitab ini 

semasa pembuangan ke Babel. Kemudian seluruh Sejarah Deuteronomis ditulis dengan 

satu tujuan utama, yaitu untuk menunjukkan bahwa hukuman pembuangan yang 

menimpa kerajaan utara Israel dan kerajaan selatan Yehuda memang layak mereka 

terima. 

Sulit dipungkiri bahwa kitab-kitab Perjanjian Lama ini memang mempunyai 

kemiripan kosa kata, gaya bahasa dan perspektif teologis. Oleh karena itu, para 

cendekiawan kritis umumnya mendukung perspektif Noth. Namun belakangan ini, 

beberapa cendekiawan kritis memodifikasi pandangan Noth dalam berbagai cara. Salah 

satu hal terpenting adalah pendapat mereka bahwa Noth tidak memperhitungkan ciri-ciri 

khas dari masing-masing kitab dalam Sejarah Deuteronomis. 

Perlu kita sebutkan bahwa Noth dan para komentator kritis lain mengatakan 

bahwa kitab Samuel memuat beberapa sumber sastra yang dapat dikenali, yang sudah ada 

sebelumnya. Contohnya, beberapa orang mengatakan ada sumber tersendiri untuk kisah 

Eli dan Samuel dalam 1 Samuel 1–3. Pihak lain berpendapat bahwa kita dapat menyusun 

ulang sebuah narasi dasar independen, dari kisah tentang tabut perjanjian dalam 1 Samuel 

4–6. Beberapa orang mengatakan bahwa 2 Samuel 6 berasal dari sumber yang sama ini. 

Banyak penafsir juga berpendapat bahwa penyusun terakhir kitab Samuel menjalin kisah-

kisah pro- dan anti-monarki yang sudah ada sebelumnya dalam 1 Samuel 7–15. Para 

cendekiawan kritis yang lain menegaskan bahwa beberapa kisah suksesi muncul dalam 2 

Samuel 9–20 and 1 Raja-raja 1, 2. Menurut pandangan tersebut, sumber inilah yang 


 

 

-4- 

 

awalnya menjelaskan mengapa Salomo yang menjadi raja Israel, dan bukan putra Daud 

yang lain. 

Meskipun mungkin sumber-sumber hipotetis ini atau yang serupa memang ada, 

namun kita tidak dapat memastikannya. Terlalu berfokus pada hal ini sering kali 

menimbulkan penafsiran yang keliru dari kitab Samuel. Pandangan ini cenderung 

mencerminkan keyakinan tentang perkembangan iman Israel yang bertentangan dengan 

Alkitab. Dan yang lebih penting, hal ini menghambat penafsiran kitab Samuel 

sebagaimana adanya sekarang, seutuhnya, dalam kanon Alkitab. 

 

Para cendekiawan telah meneliti kitab Ulangan hingga Raja-raja, dan 

mereka melihat sesuatu yang benar-benar ada di sana. Mereka 

melihat bahwa banyak frasa yang awalnya muncul dalam Ulangan 

digunakan lagi dalam Yosua, Hakim-hakim, Samuel dan Raja-raja. 

Banyak kata-kata, terminologi, konsep, gambaran umum dan frasa 

umum yang digunakan berulang-ulang dalam kitab-kitab ini. 

Bagaimana kita menjelaskan hal ini? … Satu cara pendekatan yang 

benar-benar berpegang pada yang tertulis dalam naskah itu sendiri, 

adalah meneliti kitab-kitab itu dan mengatakan, misalnya, kitab 

Ulangan menyebutkan di beberapa ayatnya akan tanggung jawab 

Musa untuk tulisan itu, dan ada ayat-ayat lain yang semuanya 

menunjukkan besarnya pengaruh Musa. Saya pikir kita tidak perlu 

heran jika kita temui Musa menggunakan berbagai ekspresi dalam 

Ulangan, kemudian kita lihat penulis-penulis pasca Musa 

menggunakan gaya bahasa dan konsep yang mereka pelajari dari 

Ulangan. Jadi sebenarnya mereka menggambarkan dunia melalui 

sesuatu yang dapat kita sebut sebagai “lensa” yang berdasar pada 

kitab Ulangan. Demikian penjelasan saya tentang hal ini. Menurut 

saya ada cara yang lebih baik dan lebih alkitabiah untuk menjelaskan 

gaya ekspresi dan pendeskripsian yang berasal dari Ulangan 

daripada hipotesa Deuteronomis. Saya rasa kemungkinan besar Musa 

memang memiliki pengaruh besar seperti yang diindikasikan naskah 

ini, dan para penulis Alkitab sesudahnya sangat dipengaruhi oleh 

caranya mendeskripsikan hal-hal itu.   

 

— Dr. James M. Hamilton 

 

 

Dengan tetap mengingat pandangan tradisional dan kritis dari kepenulisan  Kitab Samuel, 

kini mari kita beralih pada beberapa pandangan injili kontemporer yang kita ikuti dalam 

serial ini. Pandangan ini adalah pandangan yang dipegang oleh para ahli modern yang 

mendukung otoritas penuh Alkitab. 

 

Pandangan Injili 

 

Ciri khas pandangan Injili adalah menentukan pendirian kita tentang penulis 

sebanyak mungkin dari kesaksian Alkitab itu sendiri. Tetapi baik kitab Samuel, maupun 


 

 

-5- 

 

bagian lain Perjanjian Lama atau Baru, tidak mengidentifikasi penulis kitab Samuel. 

Kitab ini bersifat anonim. Jadi kita tidak dapat mengatakan secara pasti penulis kitab ini. 

Namun, jika kita meneliti isi kitab ini, kita dapat mengenali sedikitnya dua wawasan 

penting tentang penulisnya. 

Pertama, perlu kita perhatikan bahwa penulis kitab Samuel menghimpun dari 

beragam sumber. Artinya ia tidak menulis kitab ini de novo, atau benar-benar dari awal. 

Namun, ia menyusun kitabnya dengan cara menjalin tulisannya sendiri dengan nahir dari 

berbagai sumber yang sudah ada sebelumnya. Kita perlu berhati-hati untuk menghindari 

spekulasi para cendekiawan kritis terkait hal ini. Tetapi kita tahu bahwa kitab-kitab 

sejarah Alkitab yang lain, seperti Raja-raja dan Tawarikh, sering kali mengutip catatan 

tertulis yang diperoleh penulisnya dari orang lain. Demikian juga halnya dengan penulis 

kitab ini. 

Setidaknya, 2 Samuel 1:18 secara eksplisit merujuk pada “Kitab” — atau 

gulungan kitab — “Orang Jujur” sebagai sumber tulisan yang sudah ada sebelumnya. 

Yosua 10:13 menyebutkan sumber yang sama ini. Selain itu, kemiripan 2 Samuel 22 

dengan Mazmur 18 mengindikasikan bahwa penulis kita memasukkan satu “Mazmur 

Raja Daud” yang terkenal dalam kitabnya. Selanjutnya, judul yang mengawali 2 Samuel 

23:1-7 sebagai “Perkataan terakhir Daud,” mengindikasikan bahwa penulis kita 

mengambil  dari catatan-catatan resmi yang sudah lebih dulu ada di istana raja Daud. 

Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa seperti beberapa penulis Alkitab lainnya, penulis 

kitab Samuel menggunakan sumber-sumber tulisan yang sudah ada ketika menyusun 

kitabnya. 

Penting untuk kita ketahui bahwa penulis kitab Samuel menghimpun berbagai 

sumber, karena ini berdampak atas penafsiran kitab ini dalam banyak cara. Salah satu 

contohnya adalah, hal ini menolong kita untuk memahami kualitas sastra kitab Samuel. 

Ketika kita membaca kitab ini, sulit dipungkiri bahwa berbagai perikop menunjukkan 

gaya sastra yang sangat berbeda. Setidaknya beberapa variasi gaya ini mungkin 

disebabkan karena penulis kitab ini mengambil dari berbagai sumber. Di samping itu, 

penggunaan sumber lain juga menjelaskan alasan alur cerita kitab ini sering tidak 

mengalir seperti yang kita harapkan. Ada kalanya kitab ini terkesan tidak terpisah-pisah. 

Penggunaan sumber lain juga menolong kita memahami alasan kitab ini sering 

mengulang tulisan yang mirip. 

Ketergantungan penulis pada sumber-sumber tulisan menjelaskan beberapa 

referensi terkait waktu dalam kitab ini. Setidaknya tujuh kali kitab Samuel menyebutkan 

bahwa suatu keadaan tertentu masih berlaku “sampai hari ini.” Kita melihat dalam seri-

seri lain bahwa ekspresi ini juga muncul dalam kitab Ulangan, Yosua, Hakim-hakim dan 

Raja-raja. Ada kalanya, misalnya dalam 1 Raja-raja 8:8, ekspresi “sampai hari ini” jelas 

merujuk pada waktu dari sumber yang lebih awal, bukan pada waktu penulisan terakhir 

kitab itu. Karena itu, ketika mempelajari kitab Samuel, kita harus selalu ingat bahwa 

penulis mengedit dan memasukkan tulisan-tulisan yang sudah ada sebelumnya ke dalam 

kitabnya.  

Selain mengakui bahwa penulis Samuel mengumpulkan berbagai sumber, kita 

juga yakin bahwa ia seorang pemimpin di zaman Israel kuno. Kita tahu bahwa penulis ini 

bukan orang biasa dari kenyataan bahwa ia memiliki akses pada nasakah-naskah seperti 

Alkitab, Kitab Orang Jujur dan naskah kerajaan. Di zaman dahulu, tulisan-tulisan 

semacam ini hanya tersedia bagi para bangsawan dan kaum Lewi. Jadi, penulis ini 


 

 

-6- 

 

pastilah salah satu pemimpin atau bekerja melayani para pemimpin Israel di zaman itu.   

Status sosial penulis ini memberi kita beberapa ekspektasi penting saat kita 

menelusuri kitab Samuel. Contohnya, segera terlihat bahwa penulis adalah seorang  

pemimpin Israel yang menulis bagi para pemimpin Israel lainnya. Ia tidak menulis 

kitabnya untuk dibaca oleh setiap orang Israel awam. Karya literatur kesusasteraan tidak 

diterbitkan dan didistribusikan secara luas pada zaman Israel kuno. Jadi sekalipun 

gulungan kitab Samuel tersedia bagi umum, kebanyakan orang Israel tidak dapat 

membacanya. Adalah tugas para bangsawan, orang-orang Lewi, tua-tua dan para 

pemimpin lain untuk mempelajari kitab ini serta menyebarkan dan menerapkan isinya 

dalam kehidupan rakyat biasa.  

Kenyataan bahwa sang penulis adalah seorang pemimpin yang menulis bagi para 

pemimpin lain menolong kita untuk memahami wawasan kebangsaan dalam kitabnya. 

Kitab Samuel memang mengisahkan berbagai tantangan yang dihadapi orang-orang 

awam sehari-hari, baik pria, wanita maupun anak-anak. Namun, sebagai pemimpin Israel, 

penulis terutama menyorot isu politik kebangsaan dan isu agama yang dihadapi seluruh 

Israel. Kita harus mengorientasikan penafsiran kitab ini pada isu-isu semacam ini.  

Setelah kita meneliti penulis kitab Samuel, kini kita akan beranjak pada dimensi 

kedua latar belakang kitab: waktu penulisan terakhir. Kapankah kitab ini ditulis? 

 

 

WAKTU 

 

Kita tahu bahwa para penafsir telah mengidentifikasi beberapa periode sejarah 

yang berbeda untuk penulisan kitab Samuel. Bangsa Yahudi kuno dan orang-orang 

Kristen zaman dahulu memperkirakan waktu kitab ini amat dekat dengan peristiwa-

peristiwa yang dicatat di dalamnya, yaitu sekitar abad ke 10 S.M. Sebaliknya, para 

cendekiawan kritis modern berpendapat kitab ini mencapai bentuk akhirnya selama 

pembuangan ke Babel. Memang tidak mungkin mengidentifikasi secara tepat kapan kitab 

ini selesai ditulis. Namun, seperti banyak kitab Perjanjian Lama yang lain, kita dapat 

menetapkan waktu paling awal dan paling akhir kemungkinan kitab ini selesai ditulis. 

Mari kita mulai dengan kemungkinan waktu paling akhir ditulisnya kitab Samuel. 

Cara terbaik menentukan batas waktunya adalah dengan memperhatikan tempatnya 

dalam apa yang dinamakan Sejarah Awal Israel, yaitu sejarah yang tercatat dalam kitab 

Kejadian hingga Raja-raja, kecuali kitab Rut. Semua kitab ini bersama membentuk 

serangkaian mata rantai, setiap kitab melanjutkan kisah dari kitab sebelumnya.  

Kelima kitab pertama — Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan — 

berasal dari zaman Musa dan membentuk tautan-tautan pertama dalam rantai Sejarah 

Awal. Kitab-kitab lainnya — Yosua, Hakim-hakim, Samuel dan Raja-raja — membentuk 

bagian Deuteronomis berikutnya dari sejarah ini. Kitab-kitab ini sangat tergantung pada 

pandangan teologis dari kitab Ulangan. Kitab Yosua dimulai dengan kematian Musa dan 

lanjut hingga kematian Yosua. Kitab Hakim-hakim mengisahkan masa setelah kematian 

Yosua. Kitab Samuel dimulai dengan tampilnya Samuel sebagai hakim terakhir Israel dan 

diakhiri dengan pemerintahan Daud. Kitab Raja-raja melanjutkan kitab Samuel, dimulai 

dengan kematian Daud dan diakhiri dengan pembuangan ke Babel. Jika kita bandingkan 

kitab Samuel dengan pasal-pasal awal Raja-raja, satu hal tampak jelas: Penulis Raja-raja 

mengetahui catatan kehidupan Daud sebagaimana tercatat dalam kitab Samuel. Faktor ini 


 

 

-7- 

 

adalah indikasi kuat bahwa kitab Samuel sudah selesai ditulis sebelum Raja-raja ditulis.  

Pengamatan ini penting karena kita dapat memperkirakan kapan kitab Raja-raja 

ditulis. Kitab ini diakhiri dengan 2 Raja-raja 25:27-30 ketika Yoyakhin, keturunan raja 

Daud, dibebaskan dari penjara Babel pada tahun 561 S.M. Kitab Raja-raja tidak 

menceritakan kembalinya Israel dari pembuangan di Babel pada tahun 538 S.M. karena 

itu kita cukup yakin bahwa Raja-raja ditulis antara 561 S.M. dan 538 S.M.Oleh karena 

kitab Samuel selesai sebelum kitab Raja-raja, dapat kita simpulkan bahwa waktu terakhir 

penulisan kitab Samuel adalah tahun 538 S.M., sebelum masa pembuangan di Babel 

berakhir.  

 

Sulit untuk mengetahui secara tepat waktu penulisan 1 dan 2 Samuel 

dan mencapai bentuk akhirnya. Tetapi jika kita melihat 1 dan 2 

Samuel dengan mengingat keseluruhan Perjanjian Lama, ada 

beberapa indikasi yang setidaknya dapat memberi kita kemungkinan 

waktu terakhir penyelesaiannya. Jika kita melihat 1 Tawarikh, kitab 

ini mengambil cukup banyak dari kitab 1 dan 2 Samuel dan 

mengenalnya. Karena kitab 1 dan 2 Tawarikh ditulis selama era 

pasca-pembuangan, ketika orang-orang yang dibuang telah kembali 

ke Yerusalem, maka setidaknya dapat kita katakan kitab Samuel 

pasti selesai sebelum masa itu… Tetapi kita juga melihat indikasi-

indikasi lain di seluruh Alkitab, pengetahuan tentang unsur-unsur 

lain yang kita lihat dalam kitab 1 dan 2 Samuel. Ada pengetahuan 

tentang perjanjian Daud yang tercermin, misalnya, dalam Mazmur 

89… Jadi, pasti ada pengetahuan tentang ajaran yang kita lihat 

dalam kitab 1 dan 2 Samuel yang tampaknya mengenal masa sebelum 

pembuangan, selama pembuangan dan sesudah pembuangan. Tetapi 

tentang waktu selesainya dalam bentuk akhir, setidaknya dapat kita 

katakan kitab ini diselesaikan sebelum era pasca-pembuangan.  

 

— Andrew Abernethy, Ph.D.  

 

Dengan mengingat kemungkinan waktu paling akhir yaitu pembuangan ke Babel, 

mari kita beralih pada kemungkinan waktu paling awal penyelesaian kitab Samuel. 

Seperti yang akan kita amati, isi dari kitab Samuel jelas mengindikasikan bahwa tidak 

mungkin kitab ini ditulis sebelum era kerajaan yang terpecah. 

Alkitab menceritakan bahwa di tahun 930 S.M., Yerobeam I memimpin suku-

suku utara Israel dalam pemberontakan terhadap keturunan Daud. Pemberontakannya 

berujung pada terbentuknya kerajaan utara Israel — yang sering disebut Efraim — dan 

kerajaan selatan Yehuda. Penulis kitab Samuel beberapa kali mengindikasikan bahwa dia 

mengetahui tentang perpecahan umat Allah menjadi dua kerajaan ini.  Contohnya, 1 

Samuel 11:8 membedakan antara “orang Israel dan … orang Yehuda.” 1 Samuel 18:16 

mengatakan bahwa “seluruh orang Israel dan orang Yehuda mengasihi Daud.” Kita juga 

membaca dalam 2 Samuel 5:5 bahwa Daud memerintah “atas seluruh Israel dan 

Yehuda.” Dalam 2 Samuel 12:8, Allah berkata bahwa Ia telah memberikan kepada Daud 

“Israel dan … Yehuda.” 2 Samuel 21:2 menceritakan kegiatan Saul “untuk kepentingan 

orang Israel dan Yehuda.” Dan dalam 2 Samuel 24:1 kita melihat semua suku itu 


 

 

-8- 

 

dideskripsikan sebagai “orang Israel dan orang Yehuda.” Pembedaan antara Israel dan 

Yehuda yang berulang kali ini merupakan indikasi kuat bahwa penulis tidak mungkin 

menulis kitab ini sebelum perpecahan Israel dan Yehuda di tahun 930 S.M. 

Jika kita pertimbangkan semua faktor ini, kita dapat melihat bahwa kemungkinan 

waktu paling awal penyelesaian kitab ini adalah dalam era kerajaan yang terpecah, 

setelah 930 S.M. Dan kemungkinan waktu paling akhir adalah selama pembuangan ke 

Babel, sebelum 538 S.M. 

Sejauh ini, kita telah meneliti penulis dan waktu penulisan kitab Samuel. Kini 

marilah kita beranjak pada aspek lain dari latar belakangnya: situasi yang dihadapi umat 

Allah ketika kitab ini ditulis.  

 

SITUASI 

 

Sebagai pemimpin yang memiliki akses pada Alkitab, penulis Samuel tahu benar 

bahwa situasi yang dihadapi dirinya dan pembacanya telah menimbulkan krisis iman 

yang dahsyat. Di satu sisi, ia mengenal sejarah mereka. Allah telah menugaskan Adam 

dan Hawa, dan kemudian Nuh, untuk memenuhi bumi sebagai pelayanan kepada-Nya. 

Allah memanggil Abraham dan keturunannya untuk memelopori pelaksanaan misi global 

ini. Kemudian Allah menetapkan Musa untuk mempersatukan umat-Nya dan 

menempatkan mereka di tanah perjanjian, dan dari sana kerajaan Allah akan diperluas ke 

seluruh dunia. Allah juga menetapkan Daud dan keluarganya sebagai dinasti tetap atas 

Israel untuk memimpin mereka dalam melaksanakan tujuan mereka.  

Tetapi di sisi lain, ketika penulis menulis kitab ini, situasi yang dihadapi umat 

Allah tidak sesuai dengan pengharapan mereka atas keluarga Daud. Memang banyak 

kesalahan dilakukan yang mengakibatkan keadaan Israel yang menyedihkan, baik selama 

era kerajaan yang terpecah maupun saat pembuangan ke Babel. Namun Alkitab 

menyatakan bahwa hal ini terjadi karena dosa-dosa keturunan Daud, terutama atas 

penyembahan berhala dan ketidaksetiaan kepada Allah. Perikop seperti 1 Raja-raja 

11:29-40 dan 12:1-24, meletakkan beban tanggung jawab atas perpecahan monarki secara 

langsung atas keturunan Daud. Dan perikop seperti 2 Raja-raja 20:12-19 dan 21:10-15 

mengindikasikan bahwa pembuangan ke Babel juga terutama diakibatkan oleh kegagalan 

keluarga Daud. 

Kegagalan keturunan Daud sangat menggoncangkan iman umat Allah. Ketika 

hukuman Allah menghancurkan pengharapan mereka, mereka meragukan apakah mereka 

dapat terus menaruh kepercayaan mereka pada keturunan Daud. Mungkin Allah telah 

meninggalkan keturunan Daud. Mungkin mereka selama ini keliru. Dalam situasi yang 

meresahkan inilah Allah memanggil sang penulis untuk menulis kitab Samuel. Ia menulis 

untuk memperbarui pengharapan Israel pada keturunan Daud. 

Setelah melihat latar belakang kitab Samuel, kini marilah kita meneliti topik 

utama kedua, yaitu pola kitab ini. Bagaimana penulis merancang kitabnya? Bagaimana 

dia menyusun isinya dengan tujuan membahas situasi yang sedang dihadapi dirinya dan 

pembaca aslinya? Dan pengharapan apa yang disodorkan kitab ini pada umat Allah? 

 

 

 


 

 

-9- 

 

DESAIN 

 

Ketika kita meneliti pola kitab Samuel, kita harus ingat bahwa penulis kitab ini 

seolah-olah berdiri di antara dua dunia. Dunia dari peristiwa-peristiwa yang 

dikisahkannya dan dunia tempat dia dan pembaca aslinya hidup. Ia mendedikasikan diri 

untuk memberikan laporan yang benar tentang apa yang terjadi di masa lalu. Tetapi ia 

juga mendedikasikan diri untuk menulis tentang masa lalu dengan cara yang menyentuh 

umat Israel di zaman itu. Sayangnya, para penafsir Injili sering kali gagal mengenali 

pembedaan ini ketika mereka membahas kitab Samuel. Karena itu kita akan terlebih 

dahulu membahas sejenak kedua pengaruh tersebut terhadap pola kitab ini.  

Di satu sisi, dengan inspirasi Roh Kudus, penulis kitab Samuel bertekad memberi 

cerita yang benar kepada pembacanya akan apa yang terjadi di masa lalu, jauh sebelum ia 

menulis kitabnya. Ia menulis tentang apa yang kita sebut “dunia itu,” dunia dari 

peristiwa-peristiwa historis yang dikisahkan dalam kitabnya. Peristiwa pertama yang 

dicatatnya adalah kelahiran Samuel dalam 1 Samuel 1:1-28. Bukti-bukti Alkitab dan 

arkeologis menunjukkan bahwa Samuel dilahirkan sekitar tahun 1070 S.M. 

Peristiwa historis terakhir yang dicatatnya adalah kata-kata terakhir Daud dalam 2 

Samuel 23:1-7. Pidato ini mungkin adalah salah satu deklarasi kerajaan resmi yang 

terakhir dari Daud, yang diucapkan menjelang kematiannya sekitar 970 S.M. Jadi, kitab 

Samuel mengisahkan kurang lebih satu abad dari sejarah Israel, mulai dari sekitar 1070 

S.M. hingga sekitar 970 S.M. 

Abad itu adalah abad yang amat penting dan sulit untuk diabaikan dalam 

perkembangan kerajaan Allah di zaman Perjanjian Lama. Ini adalah masa transisi yang 

besar bagi Israel. Ketika Samuel lahir, Israel berada dalam kondisi kacau balau di bawah 

kepemimpinan buruk dari para hakim dan kaum Lewi. Tetapi saat Daud menyampaikan 

kata-kata terakhirnya, Allah telah menetapkan Daud dan keturunannya sebagai dinasti 

yang permanen atas semua suku Israel. Penulis kitab Samuel merancang kitabnya untuk 

menjelaskan bagaimana beberapa peristiwa penting membawa perubahan dramatis di 

Israel. 

Telah kita katakan tadi bahwa semua peristiwa yang dicatat dalam kitab Samuel 

merupakan bagian dari apa yang kita sebut “dunia itu.” Tetapi di sisi lain, penulis juga 

bertekad membicarakan waktu dan situasi di masa dia dan pembaca aslinya hidup. Kita 

menyebut ini “dunia mereka,” dunia penulis dan pembacanya, jauh setelah era sejarah 

yang dikisahkan dalam kitabnya. Ia menulis tentang apa yang terjadi di “dunia itu,” baik 

di masa kerajaan yang terpecah maupun masa pembuangan ke Babel, untuk mengajar 

umat Allah tentang maknanya bagi “dunia mereka.” Dan sasaran inilah yang membentuk 

desain kitabnya. Catatan masa lampau yang ditulisnya bukan fakta-fakta kaku yang 

terkesan tidak relevan. Ia menulis kisahnya sehingga relevan bagi tantangan-tantangan 

yang dihadapi pembaca aslinya.  

Seperti para penulis Alkitab lainnya, penulis melakukan hal ini dalam tiga cara. 

Pertama, ia menunjukkan latar belakang sejarah — asal usul sejarah dari realita yang 

pembacanya hadapi di zaman mereka. Kedua, ia mendeskripsikan tokoh-tokoh dalam 

kitabnya untuk menampilkan model yang dapat ditiru atau ditolak oleh pembacanya. 

Ketiga, ia menulis tentang sejumlah peristiwa di “dunia itu” yang merupakan bayangan 

masa depan dari pengalaman pembacanya di “dunia mereka.” Dengan cara ini, ia 


 

 

-10- 

 

memberi arahan dalam menghadapi tantangan-tantangan yang dihadapi pembaca aslinya. 

Kita akan menelusuri pola kitab ini dalam dua tahap. Pertama, kita akan 

memperkenalkan struktur dan isinya yang ekstensif. Dan kedua, kita akan melihat 

bagaimana struktur dan isi ini mengungkapkan tujuan utama penulis. Mari kita mulai 

dengan rangkuman struktur dan isi kitab Samuel. 

 

 

STRUKTUR DAN ISI 

 

Kitab Samuel begitu kompleks sehingga kita sering terlarut untuk memperhatikan 

detailnya yang amat banyak, hingga tidak melihat bahwa kitab ini sangat selektif dan 

ditata dengan terampil. Sebenarnya, penulis hanya menulis tentang beberapa orang dan 

beberapa peristiwa, dan ia menata semuanya dengan cermat untuk mencapai sasarannya. 

Jika kita dapat mengenali ciri-ciri kitab ini, kita akan lebih mampu memahami makna 

aslinya dan bagaimana kita harus menerapkannya dalam kehidupan kita hari ini. 

Secara garis besar, Roh Allah menuntun penulis kitab ini untuk berfokus pada tiga 

tokoh utama: Samuel, Saul dan Daud. Ia juga menuntun penulis untuk menarik beberapa 

keterkaitan logis antara ketiga tokoh ini. Penulis mengawali dengan kenyataan bahwa 

Allah telah menetapkan Samuel sebagai orang yang membawa Israel memasuki era 

kerajaan. Kemudian ia berfokus pada kegagalan Saul sebagai raja pertama Israel. Dan 

akhirnya, ia menunjukkan bahwa Allah telah menetapkan kerajaan dan dinasti Daud 

sebagai sarana untuk memperkuat dan memperluas kerajaan-Nya. Gabungan dari tiga 

bagian ini mengungkapkan penilaian logis sang penulis tentang bagaimana Allah 

membawa Israel dari zaman hakim-hakim ke zaman monarki Daud.  

 

Struktur sastra 1 and 2 Samuel sebenarnya berkisar seputar tiga raja, 

atau lebih baik saya katakan, tiga pribadi. Samuel merupakan tokoh 

utama … kemudian Saul menjadi tokoh utama. Lalu muncul Daud … 

tetapi Saul terus menjadi tokoh utama ketika ia memburu Daud 

keliling negeri, dan akhirnya pada akhir 1 Samuel, Saul terbunuh, 

dan kemudian 2 Samuel berkisah tentang Daud. Jadi, ketiga tokoh 

itulah yang memberi struktur pada kedua kitab ini.  

 

— Dr. John Oswalt 

 

Dengan mengingat pokok-pokok penting kitab ini, kita dapat melihat bahwa, 

secara keseluruhan, kitab Samuel terdiri dari tiga bagian utama: pendahuluan menuju 

kerajaan dalam 1 Samuel 1–7; kegagalan Saul sebagai raja dalam 1 Samuel 8–2 Samuel 1; 

dan kerajaan Daud yang langgeng dalam 2 Samuel 2–24. Mari kita melihat pendahuluan 

menjelang era kerajaan terlebih dahulu. 

 

 

Pendahuluan Menuju Kerajaan (1 Samuel 1–7) 

 

Perlu dicatat dari awal bahwa penulis mengidealkan Samuel. Ia mengaguminya 

sebagai pemberian ajaib dari Allah dan sebagai sosok dengan karakter moral yang patut 


 

 

-11- 

 

diteladani. Menurut kitab ini, Samuel begitu ideal sehingga Allah tidak hanya 

memberkati Samuel, tetapi juga seluruh Israel melalui dirinya. Tentu saja, penulis 

maupun pembaca aslinya tahu dari Alkitab dan dari pengalaman umum bahwa Samuel 

adalah seorang yang berdosa. Jadi, kita yakin mereka menyadari kompleksitas karakter 

moral Samuel. Tetapi alih-alih menunjukkan kesalahan-kesalahan Samuel, penulis 

sengaja menyanjung Samuel dan pelayanannya kepada Allah. Ia melakukan hal ini untuk 

menekankan mengapa Allah mengutus, memperlengkapi dan melayakkan Samuel 

sebagai individu yang memperkenalkan kerajaan kepada Israel, dengan mula-mula 

mengurapi Saul dan kemudian Daud. 

 

Tahun-tahun Awal Samuel (1 Samuel 1:1–2:11). Gambaran Samuel yang sangat 

ideal ini dibagi menjadi dua bagian utama. Pertama, kita menemukan catatan tahun-tahun 

awal Samuel, mulai kelahirannya sampai ia disapih, dalam 1 Samuel 1:1–2:11. Di sini, 

penulis menggarisbawahi bahwa kelahiran Samuel adalah jawaban mujizat Allah atas doa 

ibunya yang saleh, dan menandakan hari baru bagi Israel.  

Kitab Samuel dimulai dengan seorang pria bernama Elkana yang mempunyai dua 

istri, Hana dan Penina. Penina mempunyai banyak anak, tetapi Hana mandul, sehingga 

Penina bersikap jahat kepada Hana. Dalam kesedihannya, Hana berdoa dan bernazar, jika 

Allah memberinya seorang putra, ia akan memberikan putranya kepada Tuhan untuk 

melayani Tuhan seumur hidupnya. Dan Allah menjawab doanya secara ajaib.    

Samuel lahir ketika Israel sedang tenggelam dalam kegagalan era hakim-hakim, 

suatu era yang ditandai dengan kekacauan dan kerusakan moral. Tetapi dengan lahirnya 

Samuel, kini ada alasan untuk percaya bahwa Allah akan mengirim seorang raja bagi 

Israel. Kita melihat pengharapan ini dalam 2:10, ketika Hana menutup pujian-Nya kepada 

Allah atas kelahiran Samuel dengan kata-kata ini:  

 

Orang yang berbantah dengan TUHAN akan dihancurkan; atas mereka Ia 

mengguntur di langit. TUHAN mengadili bumi sampai ke ujung-

ujungnya; Ia memberi kekuatan kepada raja yang diangkat-Nya dan 

meninggikan tanduk kekuatan orang yang diurapi-Nya (1 Samuel 2:10). 

 

Di masa Israel sedang mengalami kemelut internal dan kesusahan dari penjajah 

asing, Hana menunjukkan iman yang luar biasa. Mujizat kelahiran Samuel meyakinkan 

dia bahwa “orang yang berbantah dengan TUHAN akan dihancurkan” dan bahwa Allah 

“mengguntur di langit” atas mereka. Hana juga yakin bahwa Allah akan “mengadili bumi 

sampai ke ujung-ujungnya.” Ia akan memperluas otoritas kerajaan-Nya malampaui batas-

batas Israel dengan menghakimi semua bangsa. Tetapi perhatikan juga bagaimana Hana 

percaya Allah akan memperluas kerajaan-Nya di seluruh bumi, yaitu dengan “memberi 

kekuatan kepada raja yang diangkat-Nya” dan “meninggikan tanduk kekuatan orang 

yang diurapi-Nya” dengan kemenangan atas musuh-musuhnya. Sebelum era Samuel, 

Israel belum pernah mempunyai seorang raja. Melalui pujian Hana, penulis 

memperkenalkan kontribusi Samuel yang paling bermakna bagi sejarah Israel. Sejak 

lahirnya, Samuel dipanggil Allah untuk membawa Israel masuk ke era kerajaan. 

 

Transisi Kepemimpinan (1 Samuel 2:12–7:17). Bagian kedua terdapat dalam 2:12–

7:17, yaitu transisi kepemimpinan dari Eli dan putra-putranya kepada Samuel. Eli dan 


 

 

-12- 

 

putra-putranya seperti juga Samuel, berasal dari suku Lewi,. Pasal-pasal terakhir kitab 

Hakim-hakim mengisahkan bahwa seputar masa itu, sejumlah orang Lewi tidak lagi setia 

kepada Allah dan menyebabkan Israel tidak menaati hukum Allah. Begitu pula halnya 

dengan Eli dan putra-putranya yang melayani di tempat tabut perjanjian di Silo. Tetapi 

transisi kepemimpinan kepada Samuel merupakan hari baru bagi Israel. Penulis 

menunjukkan dengan jelas dalam pasal-pasal ini bahwa Allah sendirilah yang 

menetapkan transisi dari otoritas Lewi yang utama ini. Samuel melayani Allah dengan 

benar dan rendah hati, sebagai nabi dari suku Lewi yang paling menonjol di seluruh 

Israel. Dan setelah Samuel meraih posisi ini, ia membawa bangsa Israel ke dalam era 

baru dalam sejarahnya, yaitu era kerajaan.   

 

Kitab Hakim-hakim adalah kitab yang menarik, yang mengisahkan 

bahwa Allah selalu membangkitkan seorang hakim sebagai pemimpin 

umat Israel di waktu perang, juga untuk menyelesaikan pertikaian di 

antara mereka dan sebagainya. Tetapi setelah Simson menjadi hakim 

terakhir sebelum kitab Samuel, maka pada masa Samuel tidak ada 

hakim sama sekali. Jadi tidak ada hakim yang memimpin umat pada 

waktu itu. Tetapi dengan adanya kitab Samuel, yang mengisahkan 

bagaimana Samuel dilahirkan dan kemudian menjadi pemimpin 

Israel, maka ia seolah-olah menjadi hakim seperti hakim-hakim 

sebelumnya. Ia mampu memimpin mereka berperang, mampu 

menyelesaikan pertikaian dan hal-hal lain. 

 

— Rev. Dr. Humphrey Akogyeram 

 

Setelah menulis pendahuluan menjelang kerajaan dalam 1 Samuel 1–7, penulis 

kitab Samuel beralih kepada kegagalan Saul sebagai raja dalam 1 Samuel 8–2 Samuel 1. 

 

 

Kegagalan Saul Sebagai Raja (1 Samuel 8–2 Samuel 1) 

 

Secara keseluruhan, penulis menampilkan kontras menyolok antara Samuel dan 

Saul dengan menulis karakter negatif tentang Saul. Kita tahu dari Alkitab dan 

pengalaman bahwa Allah memberikan anugerah umum kepada orang-orang yang paling 

berdosa sekalipun, supaya kehidupan mereka tidak sepenuhnya hancur. Dan penulis 

mengakui bahwa Allah telah memilih Saul, dan bahwa Samuel mengurapi dia sebagai 

raja. Ia juga menulis bahwa Allah memberkati Saul dengan dukungan semua suku Israel 

dan dengan kemenangan militer pada awal pemerintahannya. Namun, fokus penulis yang 

utama adalah mengapa Samuel menghentikan dukungannya kepada Saul dan mulai 

menentangnya. Saul berulang kali memberontak kepada Allah, dan penghakiman ilahi 

menimpa dia dan keluarganya. Dosa Saul begitu besar sehingga roh jahat membuatnya 

gila, hingga ia terus mengejar Daud dan menyusahkan bangsa Israel tanpa alasan yang 

dapat dibenarkan. Gambaran watak Saul yang negatif ini menunjukkan pada para 

pembaca asli bahwa pengharapan mereka untuk kerajaan Allah yang mulia di seluruh 

dunia tidak terletak di keluarga Saul. Bahkan, pengharapan mereka untuk masa depan 

seharusnya tidak diletakkan pada raja mana pun kecuali raja yang ditetapkan Allah 


 

 

-13- 

 

sebagai pengganti Saul, yaitu Daud.   

 

Tahun-tahun Awal Saul (1 Samuel 8–15). Secara garis besar, kegagalan Saul 

sebagai raja dibagi menjadi dua bagian utama yang sejajar dengan pembagian bab 

pendahuluan sebelum era kerajaan. Mula-mula dikisahkan tahun-tahun awal Saul, dalam 

1 Samuel 8–15, sebelum Daud muncul dalam kehidupan Saul.  

Singkatnya, perikop ini berfokus pada bagaimana Saul menjadi raja dengan 

dukungan Samuel, mempersatukan suku-suku Israel, dan memimpin mereka dalam 

beberapa kemenangan gemilang atas musuh-musuh Israel. Tetapi tidak lama setelah itu 

Saul berpaling dari Allah dan menimbulkan masalah bagi dirinya dan Israel. Bahkan ia 

secara terang-terangan melanggar hukum Musa dan perintah nubuat Samuel sehingga 

Allah memerintahkan Samuel untuk menolak dia dan segenap garis keturunannya dari 

kerajaan. Simaklah deklarasi penghakiman Samuel terhadap Saul dan keluarganya dalam 

1 Samuel 15:28-29:  

 

Berkatalah Samuel kepada [Saul]: “TUHAN telah mengoyakkan dari 

padamu jabatan raja atas Israel pada hari ini dan telah memberikannya 

kepada orang lain yang lebih baik dari padamu. Lagi Sang Mulia dari 

Israel tidak berdusta dan Ia tidak tahu menyesal; sebab Ia bukan manusia 

yang harus menyesal” (1 Samuel 15:28-29). 

 

Di sini kita lihat bahwa Allah tidak hanya mengoyakkan jabatan raja Israel dari 

Saul untuk sementara, melainkan Allah akan memberikannya “kepada orang lain yang 

lebih baik dari [Saul].” Allah — “Sang Mulia dari Israel” — tidak seperti manusia “yang 

harus menyesal,” atau, sering diterjemahkan, yang harus “bertobat.” Apa pun yang terjadi 

di masa depan, Allah tidak akan membalikkan penolakan-Nya atas keturunan Saul. Dan 

Ia tidak akan membalikkan keputusan-Nya untuk memberikan takhta Israel kepada 

seorang lain — yaitu Daud.  

 

Transisi Kepemimpinan (1 Samuel 16–2 Samuel 1). Setelah mengisahkan tahun-

tahun awal Saul, penulis melanjutkan dengan bagian utama kedua dari kegagalan Saul 

sebagai raja, transisi kepemimpinan dalam 1 Samuel 16–2 Samuel 1.  

Seperti Allah mengesahkan transisi otoritas Lewi dari Eli dan putra-putranya 

kepada Samuel, Allah juga mengesahkan transisi otoritas kerajaan dari Saul kepada 

Daud. Dari beberapa perjumpaan antara Saul dan Daud, terlihat bahwa patutlah jika Saul 

tidak diperkenan Allah. Ia dipengaruhi roh jahat dan terhanyut dalam kegilaan. Ia 

berulang kali menyalahgunakan otoritasnya sebagai raja. Tanpa alasan yang dapat 

dibenarkan, ia berusaha membunuh Daud. Dan dalam adegan terakhir kehidupannya, ia 

bahkan meminta nasihat pada orang mati. Akibatnya, Saul dan putra-putranya tewas 

dalam pertempuran melawan orang Filistin. Tetapi sepanjang waktu ini, Allah 

memberkati Daud. Daud tidak bersalah dan menanggapi kemurahan Allah dengan 

kerendahan hati terhadap Saul dan kesetiaan kepada Allah. Dengan menampilkan kontras 

antara Saul dan Daud seperti ini, penulis menunjukkan tanpa keraguan bahwa Allah telah 

menolak Saul sepenuhnya dan membangkitkan Daud untuk menggantikan Saul sebagai 

raja Israel.     

 


 

 

-14- 

 

Raja Saul dan Raja Daud sangat berbeda. Perbedaan terbesarnya 

adalah yang seorang menggambarkan raja yang jahat dan yang lain 

menggambarkan raja yang baik. Saul memenuhi semua pengharapan 

lahiriah untuk dapat menjadi raja yang besar. Ia berasal dari 

keluarga terpandang. Ia lebih tinggi sekepala dari setiap orang Israel. 

Jadi, ia memenuhi semua pengharapan lahiriah, namun sayangnya ia 

gagal total dalam berbagai aspek sebagai raja dari umat Allah… Ia 

menunjukkan bahwa ia lebih takut kepada manusia ketimbang 

kepada Allah. Mereka diperintahkan secara khusus oleh Allah untuk 

memusnahkan sebuah kota, dan mereka pergi dan memenangkan 

pertempuran dengan pertolongan Allah, tetapi para prajurit 

menyimpan beberapa barang rampasan bagi diri mereka. Dan Raja 

Saul mengizinkannya… Maka Samuel menyatakan bahwa akibatnya 

kerajaan akan diambil dari padanya. Sebaliknya, Raja Daud sangat 

berbeda. Menarik sekali bagaimana Samuel datang ke rumah Isai, 

sebuah keluarga lain di Israel. Allah mengutus dia kesana untuk 

mengurapi raja Israel berikutnya. Maka Samuel meminta Isai untuk 

membawa masuk putra-putranya untuk melihat mereka semua dan 

melihat siapa yang akan dipanggil Allah. Isai membawa tujuh orang 

putranya tetapi tidak mengikutsertakan putra bungsunya, Daud, 

dalam upacara itu. Daud sedang berada di ladang menggembalakan 

domba. Ketika Samuel melihat putra sulung Isai, Eliab, ia terpancing 

untuk mengandalkan penampilan lahiriah. Ia melihat perawakan 

Eliab yang tinggi, dan sikapnya yang agung, dan berpikir, “Sungguh, 

di hadapan TUHAN sekarang berdiri yang diurapi-Nya.” Tetapi 

Allah berfirman, “Janganlah pandang parasnya atau perawakan 

yang tinggi. Manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN 

melihat hati.” Allah tidak memilih satu pun dari ketujuh saudara itu. 

Akhirnya mereka pergi dan menjemput Daud, si bungsu, dari ladang, 

dan Allah berfirman bahwa inilah pilihan-Nya.   

 

— Dr. Doug Falls 

 

 

Kerajaan Daud yang Langgeng (2 Samuel 2–24) 

 

Setelah kita melihat pendahuluan kitab Samuel menjelang era kerajaan dan 

dilanjutkan dengan kegagalan Saul sebagai raja, kini kita beralih pada bagian terakhir 

kitab ini: kerajaan Daud yang langgeng.  

Kita telah melihat bagaimana penulis menyorot kegagalan-kegagalan Saul untuk 

menjelaskan mengapa Allah menolak Saul dan keturunannya dari takhta Israel. Namun, 

deskripsi karakter Daud dalam kitab Samuel jauh lebih seimbang. Kitab ini banyak 

menyorot kualitas positif Daud dan prestasinya, seperti kemenangannya dalam 

peperangan dan kerendahan hatinya di hadapan Allah. Tetapi kitab ini juga dengan terus 

terang mengakui kegagalan moral Daud yang serius dan masalah yang ditimbulkannya 

bagi keluarganya dan bagi Israel. Namun, terlepas dari segala kegagalannya, penulis 


 

 

-15- 

 

menyatakan bahwa Allah sangat berkenan pada Daud. Dan karena perkenan Allah, 

dinasti Daud akan tetap memimpin perluasan kerajaan Allah di seluruh dunia.  

Kerajaan Daud yang langgeng dikisahkan dalam 2 Samuel 2–24. Ini bagian yang 

terpanjang dari kitab ini, dan polanya berbeda dari kedua bagian sebelumnya. Bagian ini 

dibagi menjadi tiga bagian yang panjang: tahun-tahun awal Daud yang penuh berkat 

dalam pasal 2–9, tahun-tahun kemudian yang dikutuk dalam pasal 10–20, dan rangkuman 

kebaikan pemerintahan Daud dalam pasal 21–24. 

 

Berkat-berkat Awal (2 Samuel 2–9). Tahun-tahun awal Daud yang diberkati 

mengisahkan bagaimana Daud naik takhta menjadi raja atas seluruh Israel setelah 

kematian Saul, mula-mula di Hebron dan kemudian di Yerusalem. Sepanjang perikop ini 

Allah memberkati Daud dan Israel sebagai tanggapan atas kesetiaan Daud kepada-Nya. 

Daud meraih banyak kemenangan atas musuh-musuh Israel. Dan meskipun ada 

pemberontakan melawan Daud di dalam Israel, dukungan bagi dirinya bertambah, bahkan 

dari beberapa orang yang dahulunya melayani Saul dan keluarganya. Puncak dari tahun-

tahun Daud yang diberkati adalah janji Allah bahwa Daud akan memipin keluarga 

kerajaan Israel secara permanen. Simaklah Firman Allah kepada Daud melalui nabi 

Natan dalam 2 Samuel 7:16: 

 

Keluarga dan kerajaanmu akan kokoh untuk selama-lamanya di hadapan-

Ku, takhtamu akan kokoh untuk selama-lamanya (2 Samuel 7:16).  

 

Kontras dengan penolakan permanen Allah terhadap Saul dan keluarganya, di sini 

Allah berjanji bahwa keluarga dan kerajaan Daud dan takhtanya akan kokoh. Dan dua 

kali Allah menegaskan bahwa ini akan berlaku “untuk selama-lamanya” — ad olam 

(ʭʕʬˣʲʚʣʔˆ) dalam bahasa Ibrani. 

Di ayat lain di pasal 7, Allah memperingatkan bahwa apabila putra-putra raja 

Daud berpaling dari Dia, Ia akan menghukum mereka untuk waktu tertentu. Dan 

ancaman ini digenapi secara dramatis dalam pembuangan Yehuda. Namun Allah 

memberkati Daud dengan janji bahwa keluarganya tidak akan dilenyapkan seluruhnya, 

tetapi akan tetap bertahan, apa pun yang terjadi di masa depan.  

 

Kutukan Setelahnya (2 Samuel 10–20). Setelah tahun-tahun awal penuh berkat, 

bagian kedua pemerintahan Daud mengisahkan tahun-tahun berikutnya yang dikutuk 

dalam 2 Samuel 10–20. Perikop ini sangat dikenal karena mencakup penyalahgunaan 

terburuk kekuasaan raja Daud: dosa perzinahannya dengan Batsyeba dan pembunuhan 

terhadap Uria orang Het, suami Batsyeba. Karena kejahatan ini, Allah mengutuk Daud 

dengan kematian putra pertama Batsyeba. Tetapi Allah tetap berespon dengan kemurahan 

pada pertobatan Daud yang tulus, meskipun Ia memperingatkan bahwa kerajaan Daud 

akan dirundung banyak masalah. Dan ini memang terjadi. Keluarga Daud dan seluruh 

bangsa Israel menderita sepanjang hidup Daud karena dosanya. Namun, kita membaca 

dalam 2 Samuel 12:24-25, bahkan di bagian pemerintahan Daud ini pun, Allah tidak 

melanggar janji-Nya, yaitu dinasti yang langgeng bagi Daud. Simaklah perikop ini:  

 

[Batsyeba] melahirkan seorang anak laki-laki, lalu Daud memberi nama 

Salomo kepada anak itu. TUHAN mengasihi anak ini dan dengan 

perantaraan nabi Natan Ia menyuruh menamakan anak itu Yedija (2 


 

 

-16- 

 

Samuel 12:24-25). 

 

“Salomo” adalah nama takhta putra Daud, artinya “manusia damai.” Tetapi 

melalui nabi Natan, Tuhan memberinya nama pribadi “Yedija,” artinya “dikasihi 

Yahweh,” “karena Tuhan mengasihi[nya].” Kasih khusus Allah kepada Salomo 

meneguhkan bahwa perkenan Allah terus berlangsung bagi Daud dan keturunannya. 

 

Kebaikan yang Terus-Menerus (2 Samuel 21–24). Setelah mendeskripsikan tahun-

tahun awal Daud yang positif dan tahun-tahun bermasalah setelahnya, dalam 2 Samuel 

21–24 penulis memberi pembacanya sebuah rangkuman kebaikan yang terjadi selama 

pemerintahan Daud. Banyak penafsir yang menyebut rangkuman ini sebagai “pelengkap” 

kitab Samuel. Di sini dikisahkan berbagai peristiwa pada berbagai waktu selama 

pemerintahan Daud dan disusun berdasarkan topik, bukan secara kronologis. 

Dalam perikop ini, kita membaca bahwa Allah memberi wahyu khusus melalui 

Daud yang menjamin kepastian masa depan dinastinya sepanjang masa. Allah juga 

memberi dia prajurit-prajurit perkasa yang meraih kemenangan-kemenangan yang 

gemilang. Dan Allah menetapkan Daud sebagai raja yang oleh doa syafaatnya menerima 

pengampunan dan pemulihan bagi segenap bangsa. Prestasi  positif ini ditempatkan pada 

akhir pemerintahan Daud untuk memberikan kesan mendalam pada pembaca asli kitab 

ini. Terlepas dari semua masalah yang ditimbulkan Daud dan keturunannya bagi Israel, 

kebaikan-kebaikan yang berkaitan dengan pemerintahan Daud tidak lenyap. Perkenan 

Allah kepada Daud sepanjang hidupnya menunjukkan berkat-berkat yang masih dapat 

dibawa oleh raja-raja saleh keturunan Daud bagi Israel. Penulis kitab Samuel 

mengutarakan tema ini dalam 2 Samuel 22:51. Berikut perkataan Daud di ayat tersebut:  

 

[Allah] mengaruniakan keselamatan yang besar kepada raja yang 

diangkat-Nya, dan menunjukkan kasih setia kepada orang yang diurapi-

Nya, kepada Daud dan anak cucunya untuk selamanya (2 Samuel 22:51).  

 

Ayat ini merujuk pada 1 Samuel 2:10. Di awal kitab ini, penulis mencatat 

pernyataan Hana yang yakin bahwa Allah “mengadili bumi sampai ke ujung-ujungnya” 

dengan meninggikan “raja yang diangkat-Nya” dan memberi kemenangan kepada ”orang 

yang diurapi-Nya.” Dalam 2 Samuel 22:51, Daud menggemakan keyakinan Hana dengan 

mengatakan bahwa Allah mengaruniakan keselamatan yang besar — artinya pembebasan 

besar melalui kemenangan dalam peperangan. Dan pembebasan ini akan diterima “raja 

yang diangkat-Nya” ketika Allah “menunjukkan kasih setia kepada orang yang diurapi-

Nya.” Tetapi pujian Daud selangkah lebih jauh dari pujian Hana. Ia mengidentifikasi 

penerima pembebasan dan kasih setia Allah sebagai “Daud dan anak cucunya.” Dan ia 

menyatakan bahwa mereka akan menerima berkat ini “untuk selamanya.” 

Rangkuman struktur dan isi kitab Samuel ini membawa kita pada ciri kedua 

rancangannya: tujuan keseluruhan kitab ini. Dampak apa yang penulis harapkan pada 

pembaca aslinya?  

 

 

TUJUAN KESELURUHAN  

 


 

 

-17- 

 

Seorang penulis yang menulis buku yang begitu panjang dan kompleks seperti 

kitab Samuel, pasti mempunyai banyak sasaran. Ia menyusun bukunya untuk memberi 

informasi kepada pembacanya, mengubah perilaku pembacanya, dan mempengaruhi 

emosi mereka dalam berbagai cara. Demikian juga dengan kitab Samuel. Bagian-bagian 

kecil kitab ini mengusung amat banyak isu spesifik yang berdampak atas kehidupan 

pembaca aslinya. Tetapi pada saat yang sama, penulis menjalin setiap bagian kecil 

kitabnya dengan memikirkan satu tujuan keseluruhan. 

Tujuan keseluruhan penulis dapat dirangkum dalam banyak cara, tetapi untuk seri 

ini, kita akan merangkumnya sebagai berikut:  

 

Penulis kitab Samuel menjelaskan transisi Israel menuju kerajaan 

mencapai puncaknya dalam perjanjian Allah dengan Daud agar 

Israel menaruh pengharapan mereka akan kerajaan Allah dalam 

pemerintahan keluarga Daud yang benar.  

 

Rangkuman  ini menunjukkan bahwa dalam skala besar ada dua sisi dari tujuan 

penulis. Di satu sisi, ia berfokus pada transisi Israel menuju kerajaan yang mencapai 

puncaknya dalam perjanjian Allah dengan Daud. Di sisi lain, ia menulis supaya Israel 

menaruh pengharapan mereka akan kerajaan Allah dalam pemerintahan keluarga Daud 

yang benar. Mari kita uraikan kedua sisi tujuan penulis. 

Telah kita katakan bahwa kitab Samuel menyorot apa yang kita sebut “dunia itu” 

— abad ketika Allah memimpin Israel dari era hakim-hakim menuju era kerajaan. Yang 

menyedihkan, sepanjang Perjanjian Lama, umat Israel kuno sering menyimpang dari 

jalan Allah karena mereka melupakan apa yang telah Allah lakukan bagi mereka di masa 

lalu. Karena itu penulis dengan teliti memberi pembacanya catatan sejarah masa lalu 

yang benar dan dapat dipercaya sepenuhnya. 

Tentu penulis tidak mungkin dapat mengisahkan semua hal yang terjadi selama 

abad transisi Israel menuju kerajaan. Maka ia memilih untuk berfokus pada masa hidup 

tiga orang pemimpin utama di Israel: Samuel, Saul dan Daud. Ia mengisahkan kehidupan 

ketiga orang ini untuk menegakkan fakta sejarah yang penting bagi bangsa Israel. 

Rangkuman tujuan kita menjelaskan bahwa semua peristiwa dalam kehidupan 

Samuel, Saul dan Daud mencapai kulminasi dalam perjanjian Allah dengan Daud. Ketika 

Allah membuat perjanjian dengan Daud maka barulah transisi menuju kerajaan itu 

selesai. 

Dalam seri-seri lain telah kami jelaskan secara rinci cara Alkitab mengajarkan 

bahwa Allah mengatur setiap tahap dari kerajaan-Nya di bumi melalui perjanjian. Allah 

mengadakan perjanjian dengan seluruh umat manusia dalam Adam dan Nuh. Ia 

mengadakan perjanjian dengan umat Israel melalui Abraham, Musa dan Daud. Dan para 

nabi Perjanjian Lama meramalkan bahwa setelah masa pembuangan Israel berakhir, 

Allah akan mengadakan perjanjian baru dengan umat-Nya. Setiap perjanjian ini 

penekanannya berbeda, sesuai dengan situasi waktu pengadaannya. Jadi, setiap perjanjian 

mencakup kebijakan perjanjian-perjanjian sebelumnya, dan juga menerapkan kebijakan 

sebelumnya itu dalam cara-cara baru. 

Bagaimana pun juga, semua perjanjian Allah diinisiasi dan ditopang oleh 

kebaikan Allah. Semua perjanjian menuntut kesetiaan dan rasa syukur sebagai respons 

atas kebaikan Allah. Dan semua mengungkapkan konsekuensinya berupa berkat atas 


 

 

-18- 

 

ketaatan dan kutuk atas ketidaktaatan. 

Pada umumnya para penafsir sependapat bahwa nubuat Natan dalam 2 Samuel 

7:1-17, adalah peristiwa di mana Allah mengadakan perjanjian-Nya dengan Daud. Istilah 

“perjanjian” — berith (ʺʩ ʑʸ ʍʡ) dalam bahasa Ibrani — tidak muncul dalam perikop ini. 

Tetapi Natan menyampaikan kata-kata ini kepada Daud pada saat puncak tahun-tahun 

awalnya yang penuh berkat, dan ini merupakan kebijakan dasar perjanjian Allah dengan 

Daud. Selain itu, pada akhir kitab Samuel, penulis secara eksplisit merujuk pada 

perjanjian Allah dengan Daud. Simaklah perkataan Daud dalam 2 Samuel 23:5:  

 

Sebab [Allah] menegakkan bagiku suatu perjanjian kekal, teratur dalam 

segala-galanya dan terjamin (2 Samuel 23:5). 

 

Daud mengatakan bahwa Allah mengadakan suatu “perjanjian kekal” dengan dia 

— berith olam (   ʺʩ ʑʸ ʍʡʭʕʬˣʲ) dalam bahasa Ibrani. Perjanjian ini tidak akan berakhir, “teratur 

dalam segala-galanya,” sehingga “terjamin” sepenuhnya. Dengan kata lain, perjanjian 

Allah dengan Daud menjamin bahwa keturunannya akan memerintah Israel untuk 

selamanya. Mazmur 89 dan 132 juga mengindikasikan bahwa sejak saat itu, dinasti Daud 

merupakan ciri permanen dari kerajaan Allah.   

 

Janji Allah kepada Daud dalam 2 Samuel 7 sangat besar maknanya 

bagi sejarah penebusan. Pasal ini sangat penting dalam memahami 

sejarah penebusan secara umum… Kita melihat di sini apa yang 

dinamakan perjanjian Daud. Ini perjanjian yang sangat penting, di 

sini kita melihat suatu perspektif baru tentang Juruselamat, yaitu 

bahwa Juruselamat ini adalah anak Daud. Istilah “anak Daud” 

bukan istilah biasa dalam Alkitab. Setiap kali kita membaca “anak 

Daud,” kita perlu ingat akan kata “raja.” Daud adalah raja, dan 

dalam pasal ini, Tuhan berjanji kepadanya bahwa anaknya akan 

duduk di atas takhta, takhta kerajaan, untuk selamanya. Salah satu 

keturunan Daud akan menjadi raja untuk selamanya di atas takhta 

Daud.   

 

— Mr. Sherif Atef Fahim 

 

Allah bermurah hati kepada Daud dan keluarganya dengan menetapkan mereka 

sebagai dinasti Israel yang permanen, tetapi Allah juga menuntut pelayanan yang setia 

dari mereka. Konsekuensinya adalah mereka akan menerima berkat Allah untuk ketaatan 

dan kutuk untuk ketidaktaatan mereka. Simaklah 2 Samuel 7:14-15 dan persyaratan 

dalam perjanjian Allah dengan Daud terkait Salomo, pewaris pertama takhta Daud:  

 

Apabila ia melakukan kesalahan, maka Aku akan menghukum dia dengan 

rotan yang dipakai orang dan dengan pukulan yang diberikan anak-anak 

manusia. Tetapi kasih setia-Ku tidak akan hilang dari padanya, seperti 

yang Kuhilangkan dari pada Saul, yang telah Kujauhkan dari hadapanmu 

(2 Samuel 7:14-15). 

 


 

 

-19- 

 

Mazmur 89 dan 132 berisi penekanan serupa pada tuntutan Allah atas kesetiaan 

keturunan Daud. Tetapi dalam perikop ini, kita melihat bahwa Allah akan menghukum 

keluarga Daud apabila mereka jatuh dalam dosa. Ia akan menghajar keluarga Daud 

“dengan rotan yang dipakai orang dan dengan pukulan yang diberikan anak-anak 

manusia”; dengan kata lain, dengan kesulitan dari musuh-musuh mereka. 

Dengan penetapan perjanjian Allah dengan Daud, telah terbit hari baru. Allah 

menegaskan bahwa “kasih setia-[Nya] tidak akan hilang” dari keluarga Daud, seperti 

telah Dia “hilangkan dari pada Saul.” Jadi meskipun Allah sepenuhnya menolak Saul dan 

keturunannya dari takhta Israel, Allah menegaskan bahwa Ia tidak akan melakukan hal 

serupa terhadap keluarga Daud. Terlepas dari segala kesulitan yang ditimbulkan Daud 

dan putra-putranya bagi Israel, dinasti Daud akan mewakili umat Israel di hadapan Allah 

untuk selama-lamanya.   

Telah kita lihat bahwa penulis kita menampilkan perjanjian Allah dengan Daud 

sebagai kulminasi transisi Israel menuju era kerajaan. Kini mari kita beranjak kepada sisi 

kedua tujuan keseluruhannya. Ia menulis kitab ini agar Israel menaruh pengharapan 

mereka untuk kerajaan Allah pada pemerintahan yang benar dari keluarga Daud.  

 

Tujuan sastra kitab Samuel adalah menunjukkan bahwa Israel boleh 

yakin pada garis keturunan Daud, meskipun ada banyak masalah 

dan penderitaan bagi Israel yang disebabkan oleh ketidaksetiaan 

keluarga Daud. Penulis ingin menunjukkan bahwa Daud dan 

keluarganya telah dipilih Allah menjadi dinasti yang memerintah, 

dan melalui kitabnya ia hendak menunjukkan bahwa Israel harus 

menaruh keyakinan pada garis keturunan Daud, terlepas dari segala 

kegagalan dinasti Daud.  

 

— Dr. David Correa 

 

Kita tahu bahwa penulis kitab Samuel menulis tentang “dunia itu” di masa lampau 

untuk membahas tantangan yang dihadapi pembaca aslinya di “dunia mereka.” Bagi 

mereka yang hidup di masa kerajaan yang terpecah maupun di masa pembuangan ke 

Babel, satu hal sudah jelas. Sepanjang abad-abad ini, Allah menjatuhkan banyak kutuk 

atas umat-Nya karena dosa-dosa keluarga Daud. Mereka menderita perpecahan, kesulitan 

ekonomi, sakit penyakit, dan kekalahan dalam perang. Dan akhirnya, umat Allah dan 

keturunan Daud dibuang dari Tanah Perjanjian. 

Semua kesulitan ini menimbulkan banyak pertanyaan bagi para pemimpin Israel. 

Apa yang harus mereka lakukan? Kemana mereka harus mencari pertolongan? Banyak 

dari mereka kehilangan harapan akan masa depan yang lebih baik. Orang-orang lain 

mengandalkan dirinya sendiri, ilah-ilah lain, aliansi dengan bangsa-bangsa lain, keluarga 

kerajaan yang baru — mengandalkan apa saja kecuali keluarga Daud yang gagal. Tetapi 

penulis menegaskan bahwa hanya ada satu respons yang berkenan pada Allah. 

Pertama, mereka tidak boleh kehilangan harapan mereka akan kerajaan Allah. 

Meskipun semua kesulitan yang dialami pembaca asli sangat menyulitkan bagi banyak 

orang di Israel, penulis dengan gigih menegaskan bahwa kerajaan Allah tidak akan gagal.     

Sejak permulaan zaman Allah telah mengungkapkan bahwa sejarah akan 

mencapai takdir akhirnya saat Ia menegakkan pemerintahan-Nya atas segenap bumi 


 

 

-20- 

 

melalui pelayanan setia umat manusia. Musa mengajarkan keyakinan dasar ini dalam 

kisahnya tentang perjanjian Allah dengan Adam. Sebagai gambar Allah, Adam dan Hawa 

ditugaskan memenuhi bumi dan menaklukkannya, memperluas keajaiban taman Eden 

Allah ke seluruh dunia. Dalam perjanjian-Nya dengan Nuh, Allah meneguhkan kembali 

amanat ini. Umat Allah yang setia, yang hidup di dunia yang jatuh dalam dosa, diberi hak 

istimewa dan kewajiban untuk menaklukkan bumi dan memenuhinya dengan gambaran 

Allah. Dalam perjanjian-Nya dengan Abraham, Allah menyatakan bahwa bangsa Israel 

adalah satu-satunya keluarga di atas bumi yang dipilih untuk memimpin seluruh umat 

manusia mengubah dunia menjadi kerajaan Allah. Dalam perjanjian-Nya dengan Musa, 

Allah membentuk kedua belas suku Israel menjadi satu bangsa dan menempatkan mereka 

di Tanah Perjanjian. Inilah tanah air mereka, dari sini mereka akan memperluas kerajaan 

Allah hingga ke ujung bumi. Dan dalam perjanjian-Nya dengan Daud, Allah menetapkan 

keluarga kerajaan yang akan memimpin bangsa Israel menuju takdir agung ini.  

Tetapi ketika penulis menulis kitab Samuel, banyak orang di Israel merasa sulit 

mempercayai janji Allah kepada Daud. Umat Israel sedang mengalami kutuk Allah yang 

dahsyat, dan semua kesulitan ini menimpa mereka justru karena keluarga Daud. Maka 

tidak heran jika di awal kitabnya, sang penulis menceritakan keyakinan Hana tentang 

masa depan kerajaan Allah. Dengarkan lagi pujian Hana dalam 1 Samuel 2:10:  

 

Orang yang berbantah dengan TUHAN akan dihancurkan; atas mereka Ia 

mengguntur di langit. TUHAN mengadili bumi sampai ke ujung-

ujungnya; Ia memberi kekuatan kepada raja yang diangkat-Nya dan 

meninggikan tanduk kekuatan orang yang diurapi-Nya (1 Samuel 2:10). 

 

Hana tidak kehilangan harapan untuk pemerintahan Allah di seluruh dunia. Ia 

melihat apa yang Allah lakukan di zamannya dan ia yakin bahwa, “TUHAN mengadili 

bumi sampai ke ujung-ujungnya.” Dan ia mempercayai hal ini karena ia tahu bahwa 

Allah “memberi kekuatan kepada raja yang diangkat-Nya dan meninggikan tanduk 

kekuatan orang yang diurapi-Nya” dengan kemenangan-kemenangan gemilang.  

Di seluruh kitabnya, penulis kitab Samuel mengajak pembaca aslinya untuk 

mengikuti teladan Hana. Mereka tidak boleh kehilangan pengharapan. Meskipun 

mengalami banyak kesulitan, Israel harus memperbarui keyakinan mereka bahwa 

kerajaan Allah akan meluas ke seluruh dunia melalui raja yang dipilih Allah, orang yang 

diurapi-Nya. 

Ada satu persyaratan penting yang diungkapkan kitab Samuel mengenai 

pengharapan akan kerajaan Allah ini. Seperti dikatakan dalam rangkuman tadi, 

pengharapan Israel haruslah diletakkan pada pemerintahan dinasti Daud yang benar. 

Penulis kitab Samuel menegaskan bahwa masa depan kerajaan Allah terletak pada 

keluarga Daud dan bukan siapa pun yang lain. Terlebih lagi, Allah telah menetapkan 

bahwa masa depan cemerlang ini adalah dalam pemerintahan dinasti Daud yang benar. 

Penulis kitab Samuel telah menjelaskan bahwa perjanjian Allah dengan Daud 

adalah kulminasi transisi Israel menuju era kerajaan. Dan perjanjian ini meneguhkan 

bahwa apa pun yang dilakukan anak-anak Daud, betapa pun jauhnya mereka berpaling 

dari Allah, Allah tidak akan menggantikan dinasti Daud dengan dinasti lain. Jika kita 

perhatikan berapa banyak masalah yang ditimbulkan para putra Daud bagi pembaca asli, 

kita dapat mengerti mengapa penulis harus menekankan keyakinan ini. Bagaimana orang 


 

 

-21- 

 

Israel, yang paling setia sekalipun, dapat percaya bahwa keluarga kerajaan ini akan 

memimpin mereka ke arah yang benar dan bukan kepada penderitaan yang lebih besar di 

bawah penghakiman Allah? Penulis bersikeras bahwa Israel tidak boleh berpaling kepada 

raja-raja bangsa-bangsa lain dan menyembah allah-allah palsu mereka, bahkan juga tidak 

boleh berpaling kepada raja-raja Israel lainnya — baik keturunan Saul maupun raja-raja 

yang memerintah atas kerajaan utara. Mereka tidak boleh berpaling pada siapa pun 

kecuali raja-raja dari dinasti Daud. 

Tentu saja keyakinan pada dinasti Daud ini tidak berarti Allah akan mencurahkan 

berkat atas umat-Nya dan memperluas kerajaan-Nya ke ujung bumi melalui setiap raja 

dari keluarga Daud. Sama sekali tidak. Penulis menegaskan bahwa Daud sendiri dijatuhi 

kutukan Allah ketika ia melanggar hukum Allah. Selain itu, penulis dan pembaca aslinya 

tahu bahwa segala kesusahan kerajaan yang terpecah dan pembuangan telah menimpa 

mereka karena kegagalan para putra Daud. Karena itu, penulis menegaskan bahwa Israel 

 harus memiliki seorang anak Daud yang menaati perintah Allah — seorang anak 

Daud yang memerintah dalam kebenaran. Simaklah caranya penulis mengutarakan 

pengharapan Israel dalam 2 Samuel 23:3-5. Dalam “Perkataan Daud yang terakhir,” kita 

membaca:  

 

Allah Israel berfirman, gunung batu Israel berkata kepadaku: Apabila 

seorang memerintah manusia dengan adil, memerintah dengan takut akan 

Allah, ia bersinar seperti fajar di waktu pagi, pagi yang tidak berawan, 

yang sesudah hujan membuat berkilauan rumput muda di tanah. Bukankah 

seperti itu keluargaku di hadapan Allah? Sebab Ia menegakkan bagiku 

suatu perjanjian kekal, teratur dalam segala-galanya dan terjamin (2 

Samuel 23:3-5). 

 

Di sini, Daud mulai dengan mengutarakan kepastian dari hal yang diucapkannya. 

Perkataan ini bukanlah pendapatnya, melainkan datang dari “Allah Israel,” “gunung batu 

Israel.” Daud kemudian menyatakan bahwa Israel harus merindukan seorang raja yang 

akan membawa berkat Allah kepada mereka. Raja seperti itu “bersinar seperti fajar di 

waktu pagi” setelah malam gelap yang panjang, seperti “pagi yang tidak berawan” dan 

“hujan” yang membuat tanaman bertumbuh. Dimanakah mereka dapat menemukan raja 

itu? Daud menjawab: “Bukankah seperti itu keluargaku di hadapan Allah? Sebab Ia 

menegakkan bagiku suatu perjanjian kekal.” 

Karena perjanjian kekal Allah dengan Daud, tidak mungkin ada berkat Allah bagi 

Israel di luar keluarga Daud. Tetapi berkat ini tidak datang melalui setiap orang yang 

mewakili keluarga Daud. Hanya ada satu raja dari keluarga Daud yang dapat membawa 

Israel keluar dari penderitaan mereka dan masuk ke dalam berkat Allah. Seperti 

dikatakan Daud, dialah yang akan “memerintah manusia dengan adil, memerintah dengan 

takut akan Allah.” Hanya raja yang benar yang akan membawa Israel kembali ke dalam 

keajaiban kemurahan Allah. Jadi, satu-satunya pengharapan yang dimiliki Israel untuk 

pencurahan berkat Allah adalah pemerintahan putra Daud yang benar.  

Sejauh ini dalam pengantar kitab Samuel kita telah menelusuri beberapa aspek 

penting dari latar belakang kitab dan rancangannya. Kini kita akan beranjak ke topik 

utama ketiga dari pelajaran ini: penerapan Kristen dari kitab Samuel. 


 

 

-22- 

 

 

 

 

PENERAPAN KRISTIANI 

 

Telah kita lihat bahwa penulis menulis kitab Samuel pada waktu bangsa Israel 

zaman dahulu sedang menderita di bawah hukuman Allah — baik selama era kerajaan 

terpecah maupun pembuangan ke Babel. Ia mendesain kitabnya terutama supaya para 

pemimpin Israel dapat membimbing umatnya untuk menaruh pengharapan mereka pada 

keluarga kerajaan Daud. Mengenali tujuan penulis tentunya dapat membantu kita 

memahami banyak aspek dari kitabnya. Tetapi sering kali ketika para pelajar Alkitab 

mulai dengan berfokus pada orientasi asli kitab Samuel, mereka merasa sulit untuk 

menerapkannya pada iman Kristen mereka. Kita hidup dalam situasi yang berbeda dari 

mereka yang pertama menerima kitab itu. Kita terikat dengan Allah oleh perjanjian baru 

dalam Kristus. Dan umat Allah sekarang tersebar di semua bangsa di bumi. Jadi apa 

relevansi kitab Samuel bagi kita? Sebagai orang percaya zaman Perjanjian Baru, apa 

yang harus kita lakukan ketika menerapkan kitab Samuel? 

Ada banyak cara untuk menjawab pertanyaan tentang penerapan Kristiani kitab 

Samuel. Tetapi waktu hanya mengizinkan kita menyebutkan dua ajaran Alkitab yang 

mengaitkan makna asli kitab ini dengan iman Perjanjian Baru kita. Pertama, kita akan 

meneliti konsep Alkitab dari perjanjian Allah, dan kedua, kita akan menelusuri konsep 

kerajaan Allah. Mari kita mulai dengan perjanjian Allah.  

 

 

PERJANJIAN ALLAH 

 

Di awal pelajaran ini telah kami katakan bahwa penulis kitab Samuel tahu akan 

lima perjanjian utama telah Allah tetapkan dalam sejarah Alkitab. Ini adalah perjanjian 

Allah dengan segenap umat manusia di dalam Adam dan Nuh dan perjanjian khusus-Nya 

dengan Israel di dalam Abraham, Musa dan Daud. Ia juga tahu bahwa para nabi Israel 

memprediksi adanya satu perjanjian lain — perjanjian pembaruan yang akan Allah 

adakan dengan umat-Nya setelah pembuangan Israel berakhir. Perjanjian ini sering kita 

deskripsikan sebagai “perjanjian baru.” Perjanjian masa depan ini disebut secara eksplisit 

selama era kerajaan terpecah dalam Hosea 2:17, juga dalam perikop seperti Yesaya 54:10 

dan Yehezkiel 34:25; 37:26. 

 

 

Pendahuluan Menuju Kerajaan (1 Samuel 1–7) 

 

Bagian pertama kitab Samuel — pendahuluan menjelang era kerajaan — tidak 

memakai kata “perjanjian.” Tetapi penulis menampilkan setiap peristiwa dalam bagian 

ini berkenaan dengan perjanjian yang Allah adakan dengan Musa di Gunung Sinai. 

Singkatnya, perjanjian Musa berfokus pada dinamika kebaikan Allah kepada Israel 

sebagai bangsa yang hidup di Tanah Perjanjian. Perjanjian ini menjelaskan tuntutan 


 

 

-23- 

 

kesetiaan umat Israel menurut hukum Musa, dan menekankan konsekuensi kutuk dan 

berkat yang akan mereka terima sebagai respons atas ketidaktaatan dan ketaatan mereka.  

Akan kita lihat nanti bahwa dalam pendahuluan menjelang kerajaan, penulis 

berfokus secara khusus pada kebaikan Allah dengan membangkitkan Samuel sebagai 

pemimpin baru Israel. Ia juga meneguhkan standar hukum Musa untuk kesetiaan 

manusia, terutama tata cara Musa untuk ibadah. Dan ia menjelaskan konsekuensi kutuk 

dan berkat atas ketidaktaatan dan ketaatan kepada standar ini. Ia menjelaskan bagaimana 

kutuk Allah menimpa keluarga Eli karena ketidaktaatan mereka dan bagaimana 

ketidaktaatan mereka membawa kutuk atas bangsa Israel. Ia juga menjelaskan bagaimana 

berkat Allah turun atas Hana dan Samuel karena ketaatan mereka pada tata cara ibadah 

Musa dan tindakan mereka tersebut membawa berkat bagi Israel.  

 

 

Kegagalan Saul Sebagai Raja (1 Samuel 8–2 Samuel 1) 

 

Penulis juga merujuk pada perjanjian Allah dengan Musa di bagian kedua 

kitabnya — kegagalan Saul sebagai raja. Dalam pelajaran berikutnya akan kita 

diskusikan lebih lanjut bahwa di bagian kitab ini, Allah menunjukkan kemurahan kepada 

Israel dengan mengabulkan permintaan mereka untuk seorang raja. Penulis memperluas 

fokusnya pada tuntutan kesetiaan manusia, tidak hanya mencakup peraturan Musa untuk 

ibadah, tetapi juga peraturannya tentang penyalahgunaan otoritas raja di Israel. Penulis 

memaparkan kutuk Allah atas Saul karena ketidaktaatannya yang terang-terangan, dan 

mencatat bagaimana tindakan Saul membawa kutuk atas Israel. Ia juga menyoroti berkat 

Allah kepada Daud karena ketaatannya yang rendah hati dan mendeskripsikan bagaimana 

tindakan Daud membawa berkat bagi seluruh bangsa Israel. 

 

 

Pemerintahan Daud yang Langgeng (2 Samuel 2–24) 

 

Di bagian ketiga kitab Samuel — pemerintahan Daud yang langgeng — penulis 

menyorot perjanjian Allah dengan Daud. Dalam perjanjian ini, Allah menata kembali 

dinamika perjanjian-Nya dengan Musa untuk menunjukkan pemusatan baru pada Daud 

dan dinastinya. Akan kita lihat lebih jelas dalam pelajaran berikut bahwa penulis 

menyorot kenyataan bahwa Allah mencurahkan kemurahan besar pada Israel dengan 

menetapkan keluarga Daud sebagai dinasti permanen Israel. Tentu saja, standar hukum 

Taurat Musa tetap berlaku, terutama peraturannya untuk ibadah dan kerajaan. Maka 

penulis tetap berfokus pada tuntutan kesetiaan manusia dalam tata cara Musa untuk 

ibadah dan pembatasannya untuk mencegah penyalahgunaan otoritas raja. Namun 

penetapan Allah atas keluarga Daud sebagai keluarga kerajaan permanen sangat besar 

pengaruhnya atas cara Allah menerapkan konsekuensi-konseuensi perjanjian-Nya. Sejak 

saat itu, Daud dan keturunannya mewakili kedua belas suku Israel di hadapan Allah. 

Akibatnya, kutuk dan berkat yang diterima Israel sangat tergantung pada ketidaktaatan 

dan ketaatan keturunan Daud. 

Perhatian penulis pada dinamika perjanjian Allah dengan Musa dan Daud 

menunjukkan keterkaitan penting antara kitab Samuel dan iman Kristen. Kami telah 

menjelaskan keterkaitan ini secara lebih rinci dalam seri-seri lain, tetapi akan berguna 


 

 

-24- 

 

bagi kita untuk merangkumnya di sini. Menurut ajaran Perjanjian Baru, perjanjian baru 

menata ulang dinamika perjanjian-perjanjian Allah sebelumnya dengan cara berfokus 

pada peran khusus Yesus dalam sejarah Alkitab. Sebagai pewaris terakhir yang benar dari 

takhta Daud, Yesus adalah peragaan kemurahan Allah yang terbesar bagi umat-Nya di 

waktu kesusahan yang berat. Yesus memenuhi setiap standar dari kesetiaan manusia 

sepanjang penderitaan dalam hidup-Nya dan dalam kematian-Nya di atas salib. Dan oleh 

karena ketaatan-Nya yang sempurna, Yesus menerima berkat Bapa yang tak 

berkesudahan dalam kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga.   

 

Allah memberikan janji yang sangat besar dan indah kepada Daud 

dalam 2 Samuel 7, janji yang memiliki signifikansi dahsyat karena 

membentuk seluruh sejarah penebusan sesudahnya… Janji ini 

mengantisipasi Yesus Kristus yang diturunkan oleh Daud dan yang 

membangun Bait Allah yang lebih besar, bukan bangunan yang 

terbuat dari batu, tetapi Bait umat Allah, yaitu gereja… Dan Yesus 

Kristus ini, keturunan Daud, bangkit dari antara orang mati dan 

memerintah atas kerajaan Daud untuk selamanya. Jadi, janji dalam 

 2 Samuel 7 ini amat luas jangkauannya dan membentuk Perjanjian 

Lama selanjutnya, dan juga perspektif Perjanjian Baru, yang 

menyatakan lebih dari satu kali, dalam ayat-ayat penting, bahwa 

Yesus Kristus adalah keturunan Daud.  

 

— Rev. Dr. Emad A. Mikhail 

 

Seperti halnya kitab Samuel mengakui peran penting para pemimpin Israel, 

Samuel, Saul dan Daud, dalam perjanjian, demikianlah kita harus mengakui Kristus 

sebagai perantara sempurna dari perjanjian baru. Kitab Samuel memberi banyak contoh 

dari para pemimpin Israel yang tidak taat maupun yang taat pada tuntutan Allah untuk 

kesetiaan manusia. Tetapi sebagai anak Daud yang agung, Yesus merupakan kontras 

yang menyolok dari setiap contoh ketidaktaatan dalam kitab Samuel. Lebih jauh, 

kesempurnaan Yesus yang tidak ada tandingannya jauh melampaui setiap contoh 

ketaatan. Oleh karena itu Perjanjian Baru mengajak kita untuk menaruh segenap 

pengharapan kita pada Yesus. Yesus pasti akan melepaskan setiap orang percaya yang 

sejati dari kutuk kekal yang akan ditumpahkan Allah pada penghakiman akhir. Dan 

Yesus akan mengaruniakan kepada setiap orang percaya yang sejati berkat kekal yang 

akan Allah limpahkan pada penghakiman akhir.  

Kitab Samuel juga menunjuk pada dinamika perjanjian Allah dalam kehidupan 

sehari-hari setiap orang Israel zaman dahulu. Demikian pula Perjanjian Baru menjelaskan 

bagaimana penerapan perjanjian baru ini dalam kehidupan sehari-hari pengikut Kristus. 

Sebelum kedatangan Kristus kembali dalam kemuliaan, setiap ungkapan kemurahan 

Allah kepada umat-Nya dalam kitab Samuel mengingatkan kita akan cara-cara Allah 

menunjukkan kemurahan kepada gereja-Nya. Setiap tuntutan kesetiaan manusia dalam 

kitab Samuel mengingatkan kita tentang cara Perjanjian Baru menuntut kita untuk 

menunjukkan kesetiaan diiringi rasa syukur kepada Allah untuk semua yang Ia lakukan 

bagi kita di dalam Kristus. Setiap kali kitab Samuel mencatat kutuk dan berkat sementara 

yang menimpa Israel, kita dapat merenungkan bagaimana Kristus dalam hikmat-Nya 


 

 

-25- 

 

yang tak tertandingi, mencurahkan kutuk sementara untuk mendisiplin gereja-Nya dan 

melimpahkan berkat sementara sebagai pahala bagi gereja-Nya. Jadi ketika kita 

mempelajari kitab Samuel dengan mengingat ajaran Perjanjian Baru, kita mendapat 

banyak peluang untuk menerapkannya pada kehidupan kita sehari-hari.  

Penerapan Kristiani kitab Samuel dapat dilakukan karena penekanannya pada 

perjanjian ilahi. Namun kita juga harus melihat bagaimana tema Alkitab tentang kerajaan 

Allah menolong kita menerapkan kitab ini pada kehidupan kita di masa kini. 

 

 

KERAJAAN ALLAH  

 

Penulis kitab Samuel menyusun tiap aspek kitabnya dengan mengingat satu 

sasaran pokok yang menyeluruh. Ia mengajak Israel agar mengharapkan perluasan 

kerajaan Allah melalui pemerintahan yang benar dari keluarga Daud. Sayangnya, banyak 

orang Kristen modern telah kehilangan pandangan tentang pentingnya perluasan kerajaan 

Allah dalam iman Kristen. Karena itu kita mengalami kesulitan menerapkan tema utama 

kitab Samuel ini pada kehidupan kita sendiri. Sebenarnya, Kristus dan para rasul dan 

nabi-Nya di abad pertama telah menjelaskan satu hal: iman Perjanjian Baru tidak pernah 

mengurangi pengharapan akan kerajaan Allah. Sebaliknya, dalam Perjanjian Baru tampak 

jelas bahwa pengharapan yang ditekankan penulis kitab Samuel bagi pembaca aslinya 

digenapi dalam kerajaan Kristus. 

Untuk melihat kebenaran hal ini, kita harus ingat apa yang terjadi di Israel di 

antara waktu penulisan Samuel dan abad Perjanjian Baru. Kitab-kitab Tawarikh, Ezra, 

Hagai dan Zakharia, mengisahkan bahwa sekitar 538 S.M. perwakilan dari semua suku 

Israel kembali dari Babel ke Yerusalem. Mereka membawa pengharapan besar bahwa 

keturunan Daud, Zerubabel, akan memimpin mereka membangun kembali dan 

memperluas kerajaan Allah. Tetapi dari kitab-kitab ini terlihat bahwa Zerubabel gagal 

memerintah dalam kebenaran. Setelah beberapa prestasi awal di bawah kepemimpinan 

Zerubabel, kita tidak mendengar apa-apa lagi tentang dirinya. Umat Israel tetap 

meninggalkan Allah dan akibatnya Allah mencurahkan makin banyak kutuk atas mereka. 

Sebagian besar umat Allah tetap berdiam di luar Tanah Perjanjian, dan bagian kecil yang 

kembali ke Tanah Perjanjian menderita di bawah penindasan bangsa-bangsa non-Yahudi 

dan ilah-ilah palsu mereka. Selama lebih dari lima abad, bangsa Babel, Media dan Persia, 

Yunani, dan Roma, memerintah atas umat Allah. Tidak muncul anak Daud yang benar, 

dan kerajaan Allah nyaris musnah dari muka bumi. 

Namun, sepanjang abad-abad ini masih selalu ada orang-orang Israel yang tetap 

percaya. Mereka tahu Allah telah berjanji melalui nabi-nabi-Nya bahwa di hari-hari 

akhir, pada tahap akhir sejarah, Ia akan mengutus anak Daud yang benar kepada mereka. 

Anak yang benar ini akan mengadakan pendamaian terakhir bagi dosa, dan Allah akan 

membangkitkan Dia untuk duduk di atas takhta Daud, leluhurnya. Dari takhta Daud Ia 

akan memperluas kerajaan Allah ke seluruh dunia dan membawa penghakiman dan 

berkat-berkat kekal. 

Janji ini adalah inti Injil Kristen — kabar baik kerajaan Allah di dalam Kristus. 

Setelah penantian selama 500 tahun lebih, Yesus, anak Daud yang benar sepenuhnya, 

dilahirkan. Dialah raja Israel yang benar, yang memperluas kerajaan Allah hingga ke 

ujung-ujung bumi. 


 

 

-26- 

 

Ajaran inti mengenai kerajaan Allah dalam Kristus sangat menyolok dalam 

pemikiran para penulis Perjanjian Baru. Jelas bahwa para penulis ini memandang Yesus 

sebagai penggenapan dari setiap pengharapan dalam kitab Samuel pada keluarga Daud. 

Contohnya, Lukas, yang menulis kitab Injil Lukas dan Kisah Para Rasul, beberapa kali 

merujuk secara eksplisit pada penggenapan Kristus atas peristiwa-peristiwa dari kitab 

Samuel. Dua kali ia menimba dari bagian pertama Samuel, pendahuluan sebelum era 

kerajaan. Dalam Lukas 1:46-55, kita membaca nyanyian pujian Maria kepada Allah 

sementara ia menantikan kelahiran Yesus. Simaklah perkataan Maria dalam ayat 51-53:  

 

[Allah] memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan 

mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya; Ia menurunkan 

orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang 

yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, 

dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa (Lukas 1:51-

53). 

 

Banyak penafsir mengatakan bahwa bagian ini dan bagian lain dari nyanyian 

Maria mirip dengan nyanyian pujian Hana atas kelahiran Samuel dalam 1 Samuel 2:1-10. 

Hana bersukaria karena Allah mengawali hari baru dengan mencurahkan kutuk atas 

musuh-musuh-Nya dan berkat bagi umat-Nya yang setia. Dan Maria bersukaria karena 

kenyataan bahwa Allah melakukan hal yang sama melalui kelahiran putranya, Yesus. 

Dengan cara yang serupa, Injil Lukas merujuk pada pendahuluan kitab Samuel sebelum 

era kerajaan ketika mengisahkan masa muda Yesus. Dalam Lukas 2:52, Lukas menulis: 

 

Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, 

dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia (Lukas 2:52). 

 

Sekarang simaklah kata-kata dalam 1 Samuel 2:26: 

 

Samuel yang muda itu, semakin besar dan semakin disukai, baik di 

hadapan TUHAN maupun di hadapan manusia. (1 Samuel 2:26).  

 

Ayat ini mendeskripsikan Samuel ketika Allah mengangkat dia menjadi 

pemimpin di Israel dan menjatuhkan kutuk atas Eli dan anak-anaknya. Dan Lukas 

mendeskripsikan Yesus dalam cara yang serupa ketika Allah mengangkat Dia menjadi 

pemimpin Israel, kontras dengan para pemimpin Israel yang sesat di zaman Yesus.  

Lukas juga menimba dari bagian kedua kitab Samuel — kegagalan Saul sebagai 

raja — untuk menyorot Yesus sebagai anak Daud yang benar. Dalam Lukas 6:1-5, Lukas 

mencatat bagaimana orang-orang Farisi menguntit Yesus dan menuduh Dia dan murid-

murid-Nya melanggar hari Sabat. Dalam ayat 3, Yesus mempertahankan tindakan-Nya 

dengan membandingkan diri dengan Daud ketika Daud dan para pengikutnya memakan 

roti kudus sajian di hadapan Tuhan ketika mereka sedang dikejar-kejar Saul. Cerita ini 

kita baca dalam 1 Samuel 21:1-6. Kita tahu bahwa Allah menjatuhkan kutuk pada Saul 

karena hendak membunuh Daud, tetapi Allah memberkati Daud karena ia tidak bersalah. 

Dengan mencatat rujukan Yesus pada kitab Samuel, Lukas menunjukkan bahwa Yesus 

adalah anak Daud yang benar. 


 

 

-27- 

 

Terakhir, Lukas juga menimba dari bagian terakhir kitab Samuel — pemerintahan 

Daud yang langgeng — dalam Kisah Para Rasul 2:14-41, di mana ia mengisahkan 

khotbah Petrus pada hari Pentakosta. Dalam ayat 30 dan 31, Petrus menjelaskan mengapa 

Allah membangkitkan Yesus dari antara orang mati:  

 

Allah telah berjanji kepada [Daud] dengan mengangkat sumpah, bahwa Ia 

akan mendudukkan seorang dari keturunan Daud sendiri di atas takhtanya. 

Karena itu [Daud] telah melihat ke depan dan telah berbicara tentang 

kebangkitan Mesias (Kisah Para Rasul 2:30-31).  

 

Kata-kata Petrus di sini merujuk kepada perjanjian Allah dengan Daud dalam 2 

Samuel 7:12-13 ketika Allah berjanji:  

 

Aku akan membangkitkan keturunanmu yang kemudian, anak kandungmu 

… dan Aku akan mengokohkan takhta kerajaannya untuk selama-lamanya 

(2 Samuel 7:12-13). 

 

Lukas menunjukkan bahwa kenaikan Yesus ke takhta surgawi adalah bukti bahwa 

Yesus adalah anak Daud yang benar, yang ditetapkan untuk memperluas kerajaan Allah 

ke seluruh dunia. Sama seperti para penulis Perjanjian Baru lainnya, setiap rujukan yang 

dibuat Lukas pada kitab Samuel menekankan satu tema: Yesus adalah anak Daud yang 

benar, yang menggenapi pengharapan Israel bahwa kerajaan Allah kelak akan menyebar 

ke ujung-ujung bumi.  

 

Mesias masa depan ini adalah keturunan Daud karena Daud berasal 

dari suku Yehuda, suku yang disebut secara khusus dalam berkat 

Yakub sebelum ia wafat. Yakub mengatakan “tongkat kerajaan” — 

lambang raja — “tidak akan beranjak dari Yehuda.” Dan nubuat ini 

akan digenapi. Dari suku Yehuda, hanya Yesus Kristuslah raja yang 

berkenan di hati Allah. Ketika Yesus dilahirkan, Ia menggenapi janji, 

kesetiaan, anugerah, keselamatan dari Allah, semua sekaligus. 

Melalui Kristus, Allah melaksanakan kehendak-Nya untuk 

menyelamatkan umat manusia melalui kasih karunia, yang telah 

dijanjikan-Nya dalam Perjanjian Lama, yang tidak dapat diraih 

manusia melalui hukum Taurat.  

 

— Rev. Dr. Stephen Tong 

 

Namun, seperti kita lihat dalam seri-seri lain, Lukas dan semua penulis Perjanjian 

Baru lainnya menjelaskan bahwa Yesus tidak menggenapi pengharapan ini secara tiba-

tiba atau semuanya sekaligus. Sebaliknya, berulang kali para penulis Perjanjian Baru 

menjelaskan bahwa Yesus membawa kerajaan Allah ke bumi dalam tiga tahap. 

Ia mulai menggenapi pengharapan dalam kitab Samuel saat inagurasi kerajaan-

Nya dalam kedatangan-Nya yang pertama. Ia terus memperluas pemerintahan-Nya dalam 

kebenaran selama kelanjutan kerajaan-Nya di sepanjang sejarah gereja. Dan Ia akan 

membawa kerajaan Allah sepenuhnya saat Ia datang kembali dalam kemuliaan pada 


 

 

-28- 

 

penyempurnaan kerajaan-Nya. Tiga pandangan dari pemerintahan Kristus sebagai anak 

Daud begitu penting bagi iman Kristen sehingga kita harus selalu menerapkan kitab 

Samuel dalam pengertian dari tiga tahap kerajaan Kristus ini.  

 

 

Inaugurasi 

 

Pertama, sebagai pengikut Kristus, kita menerapkan kitab Samuel dalam 

kehidupan kita dengan memandang kembali pada inagurasi kerajaan Kristus. Selama 

pelayanan-Nya di bumi, Yesus telah memenuhi setiap tuntutan kesetiaan manusia dan 

menjamin keselamatan kekal bagi semua orang yang percaya kepada-Nya. Sebagai hasil 

ketaatan Yesus, Roh Allah membangkitkan Dia dari antara orang mati, dan Ia naik ke 

takhta-Nya di surga.  

Dalam inaugurasi kerajaan-Nya, Yesus mulai menghancurkan kuasa Iblis dan 

membuka jalan bagi manusia di seluruh dunia untuk dilepaskan dari cengkeraman Iblis. 

Dan dari takhta-Nya di surga, Yesus mencurahkan Roh-Nya ke atas gereja-Nya sebagai 

pendahuluan dari berkat-berkat di dunia yang akan datang. Jadi, ketika kita membaca 

imbauan kitab Samuel kepada Israel untuk memperbarui pengharapan mereka akan 

kerajaan Allah, kita harus meletakkan pengharapan kita dalam karya yang telah Kristus 

kerjakan sebagai anak Daud yang agung dalam inagurasi kerajaan-Nya. 

 

 

Kelanjutan  

 

Kedua, kita juga harus siap menerapkan kitab Samuel pada kelanjutan kerajaan 

Kristus di sepanjang sejarah gereja. Selama lebih dari 2000 tahun, Yesus telah 

memperluas pemerintahan-Nya hari lepas hari dari takhta-Nya di surga. Dan setiap saat 

Ia menggenapi semakin banyak dari pengharapan-pengharapan yang diletakkan penulis 

Samuel pada pemerintahan keluarga Daud yang benar. Melalui pemberitaan Injil, Kristus 

melanjutkan penaklukan musuh-musuh Allah. Ia telah membebaskan tak terhitung 

banyaknya pria, wanita dan anak-anak di seluruh dunia dari cengkeraman kerajaan 

kegelapan. Dan kita boleh yakin bahwa Ia akan terus melakukan hal itu sepanjang sejarah 

gereja. 

Penulis Samuel mengimbau pembaca aslinya agar berharap pada pemerintahan 

keturunan Daud yang benar ketika mereka menghadapi kesulitan-kesulitan besar. Begitu 

pula kita harus mengarahkan hati kita kepada keberhasilan Kristus sebagai raja selama 

kelanjutan kerajaan-Nya. 

 

 

Penyempurnaan  

 

Dan terakhir, Perjanjian Baru juga mengajar kita untuk menerapkan kitab Samuel 

dengan mengarahkan hati kita kepada Penyempurnaan kerajaan Kristus saat kedatangan-

Nya dalam kemuliaan. Kita tidak hanya memandang ke masa lalu dan masa kini, tetapi 

juga ke masa depan untuk penggenapan pemerintahan Kristus yang benar. Saat Kristus 


 

 

-29- 

 

datang kembali dalam kemuliaan, semua musuh Allah akan jatuh di bawah kutuk kekal-

Nya, dan umat tebusan-Nya akan hidup dalam kelimpahan berkat Allah dalam ciptaan 

baru.  

Setiap bagian kitab Samuel dirancang untuk memanggil Israel agar memulihkan 

pengharapan mereka bagi pembaruan bumi melalui pemerintahan yang benar dari 

keturunan Daud. Karena itulah, setiap bagian kitab ini memanggil kita untuk 

memperbarui pengharapan kita dalam pemerintahan yang benar yang akan Kristus 

tegakkan di seluruh ciptaan saat Ia datang kembali dalam kemuliaan. 

 

 

 

 

  

Dalam pengantar kitab Samuel ini, kita telah meneliti latar belakangnya dan 

mempelajari tentang penulisnya, waktunya, dan situasi penulisan. Kita telah melihat 

bagaimana kitab Samuel dirancang untuk mengajak umat Israel memperbarui 

pengharapan mereka akan pemerintahan yang benar dari keturunan Daud. Dan terakhir, 

kita melihat bagaimana penerapan Kristiani dari penekanan kitab ini atas perjanjian-

perjanjian ilahi dan kerajaan Allah, seharusnya memperkuat iman kita kepada Kristus 

sebagai perantara yang sempurna dari perjanjian baru yang akan membawa kerajaan 

Allah ke bumi seperti di surga.  

Allah awalnya memberikan kitab Samuel kepada umat-Nya zaman dahulu ketika 

banyak orang di Israel telah kehilangan harapan. Kesulitan-kesulitan dalam hidup kita 

juga sering kali menyebabkan kita kehilangan harapan. Namun penulis kitab Samuel 

menguatkan hati bangsa Israel agar menanggalkan setiap beban yang menghalangi 

mereka dan kembali meyakini bahwa kerajaan Allah akan mencapai sasaran terakhirnya. 

Sementara kita belajar bagaimana penulis kitab Samuel menuntun Israel ke arah ini, kita 

akan mendapati banyak peluang untuk menanggalkan setiap beban rintangan dalam hidup 

kita sendiri. Yesus, anak Daud yang benar, telah datang, dan Allah telah mendudukkan 

Dia di atas takhta-Nya. Setiap hari Yesus memperluas pemerintahan Allah semakin lebar. 

Dan kitab ini meyakinkan kita, melalui karya Allah dalam kehidupan Samuel, Saul dan 

Daud, bahwa kerajaan Allah tidak akan gagal. Kristus akan datang kembali dalam 

kemuliaan untuk menghakimi seluruh bumi. Dan semua orang yang percaya kepada-Nya 

akan memerintah bersama-Nya dalam keajaiban kerajaan Allah yang akan datang.