kitab Samuel
Didirikan pada tahun 1997, Thirdmill adalah pelayanan Kristen Injili nirlaba yang
bertujuan memberikan:
Pendidikan Alkitab. Bagi Dunia. Tanpa Biaya.
Tujuan kami adalah menyediakan pendidikan Kristen secara cuma-cuma bagi
ratusan ribu gembala sidang dan pemimpin Kristen di seluruh dunia yang tidak
dapat memperoleh pelatihan yang memadai untuk pelayanan. Kami berupaya
meraih sasaran ini dengan menyediakan dan mendistribusikan secara global
sebuah kurikulum seminari multimedia yang unik dalam bahasa Inggirs, Arab,
Mandarin, Rusia, dan Spanyol. Kurikulum kami juga diterjemahkan kedalam
belasan bahasa lain melalui mitra-mitra pelayanan kami. Kurikulum ini terdiri dari
tayangan video, bahan cetakan, dan bacaan internet. Kurikulum dirancang untuk
dipergunakan oleh sekolah-sekolah, kelompok-kelompok, maupun individu-individu,
baik secara daring maupun dalam komunitas-komunitas studi.
Selama bertahun-tahun kami telah mengembangkan sebuah metode yang hemat
biaya untuk memproduksi pelajaran-pelajaran multimedia dengan konten dan
kualitas terbaik, yang telah berhasil meraih penghargaan. Penulis-penulis dan
editor-editor kami adalah para pendidik yang telah mengenyam pendidikan teologis,
penerjemah-penerjemah kami adalah native speaker bahasa terkait yang mahir di
bidang teologi, dan pelajaran kami memuat wawasan dari beratus-ratus guru besar
seminari dan gembala sidang yang dihormati dari seluruh dunia. Di samping itu,
para perancang grafis kami, para ilustrator, dan para produser, mengikuti standar
produksi tertinggi dengan menggunakan sarana dan teknik mutakhir yang canggih.
Untuk mencapai sasaran distribusi kami, Thirdmill membentuk kemitraan strategis
dengan gereja-gereja, seminari-seminari, sekolah-sekolah Alkitab, misionari-
misionari, radio-radio siaran Kristen, penyedia layanan televisi satelit, dan
organisasi-organisasi lain. Relasi ini telah menghasilkan distribusi pelajaran-
pelajaran video yang tak terhitung banyaknya kepada para pemimpin setempat,
gembala-gembala dan murid-murid seminari di berbagai negara. Situs internet kami
juga berfungsi sebagai sarana distribusi dan menyediakan materi tambahan untuk
melengkapi pelajaran-pelajaran kami, termasuk materi bagaimana caranya memulai
komunitas studi Anda sendiri.
Thirdmill diakui oleh IRS sebagai badan hukum 501(c)(3). Kami bergantung pada
kontribusi dan kedermawanan gereja-gereja, yayasan-yayasan, bisnis-bisnis, dan
individu-individu. Kontribusi ini mendapat pengurangan pajak.
Sebagian besar dari kita pasti pernah mengenal beberapa pemimpin yang memulai
pekerjaan besar dan mulia, tetapi berakhir dengan kegagalan. Ketika hal ini terjadi, kita
sering bertanya hal lain yang akan timbul di masa depan. Inilah yang terjadi pada bangsa
Israel kuno sebagai penerima pertama kitab Perjanjian Lama yang kita kenal sebagai 1
dan 2 Samuel. Allah memberitahu mereka bahwa keturunan Raja Daud akan melindungi
bangsa mereka dan memperluas pemerintahan Allah hingga ke ujung bumi. Namun
seiring bergulirnya waktu, ketika Daud dan keluarganya gagal, banyak orang di Israel
bertanya-tanya tentang hal yang akan terjadi. Dalam pimpinan Roh Allah, penulis kitab
Samuel mengakui bahwa Daud dan keturunannya telah membawa banyak kesusahan bagi
Israel. Akan tetapi ia menulis kitabnya untuk meneguhkan bahwa keluarga Daud tetap
akan membawa berkat besar bagi Israel dan memperluas kerajaan Allah ke seluruh bumi.
Pelajaran pertama dalam seri Kitab Samuel ini kami beri judul, “Pengantar Kitab
Samuel.” Dalam pelajaran ini, kita akan melihat bagaimana kitab ini pertama-tama
mengimbau bangsa Israel kuno untuk tetap berharap pada janji-janji Allah kepada
keluarga Daud. Kita juga akan melihat cara kitab ini mendorong kita untuk menaruh
segenap pengharapan kita untuk masa depan kerajaan Allah di dalam Yesus, anak Daud
yang agung, sempurna dan benar.
Perlu kita ingat terlebih dahulu, bahwa saat ini hampir semua pengikut Kristus
merujuk kitab Samuel ini terdiri dari dua kitab, bukan satu kitab. Jadi mungkin agak
janggal jika menyebut kita ini sebagai satu kitab. Tetapi tulisan Origen di abad ketiga dan
Jerome di abad keempat meneguhkan bahwa 1 dan 2 Samuel aslinya adalah satu kitab
utuh. Ada kemungkinan kitab ini dibagi menjadi dua bagian karena keterbatasan
gulungan kitab di zaman dahulu dalam terjemahan bahasa Yunani kuno dari Perjanjian
Lama, yang kita kenal sebagai Septuaginta. Sejauh yang kita ketahui, naskah Ibrani
pertama yang membagi kitab Samuel menjadi dua bagian, baru diterbitkan sekitar awal
abad 16 Masehi. Oleh karena itu, kita akan mengikuti tradisi Ibrani kuno dan
menyebutnya sebagai satu kitab — bukan dua kitab — Samuel. Kita hanya akan
menyebut 1 dan 2 Samuel untuk mengutip pasal-pasal dan ayat-ayat tertentu.
Pelajaran pendahuluan kita untuk kitab Samuel ini dibagi tiga bagian. Pertama,
kita akan meneliti latar belakangnya. Siapa yang menulisnya dan kapan? Kedua, kita
akan melihat desain keseluruhannya. Bagaimana dan alasan kitab Samuel ditulis?
Kemudian ketiga, kita akan mempelajari penerapannya secara Kristiani. Apa maknanya
bagi kita hari ini? Mari kita mulai dengan beberapa hal latar belakang yang penting untuk
memahami kitab ini.
LATAR BELAKANG
Berdasarkan kesaksian Kristus dan para rasul dan nabi-nabi abad pertama, orang
Kristen memilliki kepercayaan yang benar bahwa Roh Kudus mengilhami kitab Samuel.
Jadi, siapa pun yang menulisnya, kitab ini memiliki otoritas ilahi atas segenap umat Allah
sepanjang zaman. Namun pada saat bersamaan, Roh Kudus juga mengilhami manusia
penulisnya agar kitab ini mengulas situasi yang dihadapi penulis dan bangsa Israel kuno
di masa itu. Semakin kita mengerti lebih banyak tentang penulis manusia dari kitab ini,
semakin mudah kita memahami alasan Allah memberi umat-Nya kitab Samuel, dan juga
hal yang Allah inginkan untuk kita terapkan dalam kehidupan kita hari ini.
Untuk menelusuri penulis kitab Samuel, kita akan mulai dengan pandangan
tradisional kuno. Kemudian kita akan merangkum pandangan kritis modern yang umum.
Dan terakhir, kita akan melihat beberapa pandangan injili terkini untuk memandu kita
dalam pelajaran ini. Mari kita melihat pandangan tradisional tentang sang penulis.
Pandangan Tradisional
Pandangan tradisional Yahudi kuno dan Kristen tentang penulis kitab Samuel kita
temukan dalam Talmud Babilon (Babylonian Talmud), yang berisi ulasan dan ajaran
tradisional para rabi. Dalam rangkaian pertanyaan dan jawaban tentang berbagai kitab
Perjanjian Lama, dalam Traktat Baba Bathra 14b, kita membaca kata-kata ini:
Samuel menulis kitab yang menyandang namanya serta Kitab
Hakim-hakim dan Rut.
Di sini kita melihat bahwa para rabi zaman dahulu menunjuk Samuel sebagai
penulis kitab Samuel dan juga Hakim-hakim dan Rut. Pandangan ini mencerminkan
tradisi Yahudi kuno dan Kristen yang mengasosiasikan kitab-kitab Perjanjian Lama
dengan para nabi sebagai tokoh yang menonjol.
Meskipun pernyataan Talmud ini diyakini banyak orang di zaman dahulu, namun
hampir tidak ada bukti positif yang mendukung pandangan ini. Perlu kita singgung
bahwa 1 Tawarikh 29:29 merujuk kepada gulungan kitab yang dinamakan “riwayat
Samuel, pelihat itu.” Tetapi kemungkinan besar ayat ini merujuk kepada kumpulan
nubuat Samuel di luar kanon Alkitab, seperti “riwayat nabi Natan” dan “riwayat Gad,”
yang juga disebutkan dalam kitab Tawarikh. Kita harus selalu ingat bahwa 1 Samuel 25:1
mencatat kematian nabi Samuel sebelum beberapa peristiwa yang dcatat kemudian dalam
2 Samuel. Jadi, meskipun ada beberapa tulisan dari “riwayat Samuel,” atau naskah yang
serupa, yang dimasukkan dalam kitab ini, kita dapat yakin bahwa orang lainlah, bukan
nabi Samuel sendiri, yang menulis kitab ini.
-3-
Ada satu hal yang menarik tentang Perjanjian Lama, yaitu banyak
dari kitab-kitabnya bersifat anonim, termasuk kitab 1 dan 2 Samuel.
Kita tidak tahu siapa sebenarnya penulisnya. Kita memiliki petunjuk
dalam 1 Tawarikh 29:29 bahwa baik Samuel maupun Natan dan Gad
meninggalkan catatan-catatan tertulis tentang pelayanan kenabian
mereka. Jadi, siapa pun yang menyusun kitab-kitab itu dalam bentuk
akhirnya pasti mempunyai akses pada sumber aslinya, bahkan dari
Samuel sendiri. Tetapi karena 1 Samuel 25 mengisahkan bahwa ia
wafat, jelas ia tidak menyelesaikan kedua kitab atas namanya itu.
— Dr. Herbert D. Ward
Di zaman kita, hampir tidak ada orang yang meneguhkan pandangan tradisional
kuno tentang penulis Samuel. Sebaliknya, banyak penafsir modern yang mendukung
pandangan kritis terkait hal ini — pendapat yang diyakini oleh cendekiawan modern yang
menolak otoritas penuh Alkitab.
Pandangan Kritis
Seperti telah kita bahas di seri-seri lain, para penafsir kritis sangat terpengaruh
oleh pandangan Martin Noth. Buku Noth, The Deuteronomistic History, pertama terbit di
Jerman tahun 1943. Dalam bukunya, Noth menegaskan bahwa kitab Ulangan, Yosua,
Hakim-hakim, Samuel dan Raja-raja, diselesaikan sebagai kesatuan oleh seorang juru
tulis atau sekelompok juru tulis. Rut tidak termasuk di sini. Noth menyebut juru tulis ini
“Sang Deuteronomis.” Menurut Noth, Deuteronomis adalah penulis kitab-kitab ini
semasa pembuangan ke Babel. Kemudian seluruh Sejarah Deuteronomis ditulis dengan
satu tujuan utama, yaitu untuk menunjukkan bahwa hukuman pembuangan yang
menimpa kerajaan utara Israel dan kerajaan selatan Yehuda memang layak mereka
terima.
Sulit dipungkiri bahwa kitab-kitab Perjanjian Lama ini memang mempunyai
kemiripan kosa kata, gaya bahasa dan perspektif teologis. Oleh karena itu, para
cendekiawan kritis umumnya mendukung perspektif Noth. Namun belakangan ini,
beberapa cendekiawan kritis memodifikasi pandangan Noth dalam berbagai cara. Salah
satu hal terpenting adalah pendapat mereka bahwa Noth tidak memperhitungkan ciri-ciri
khas dari masing-masing kitab dalam Sejarah Deuteronomis.
Perlu kita sebutkan bahwa Noth dan para komentator kritis lain mengatakan
bahwa kitab Samuel memuat beberapa sumber sastra yang dapat dikenali, yang sudah ada
sebelumnya. Contohnya, beberapa orang mengatakan ada sumber tersendiri untuk kisah
Eli dan Samuel dalam 1 Samuel 1–3. Pihak lain berpendapat bahwa kita dapat menyusun
ulang sebuah narasi dasar independen, dari kisah tentang tabut perjanjian dalam 1 Samuel
4–6. Beberapa orang mengatakan bahwa 2 Samuel 6 berasal dari sumber yang sama ini.
Banyak penafsir juga berpendapat bahwa penyusun terakhir kitab Samuel menjalin kisah-
kisah pro- dan anti-monarki yang sudah ada sebelumnya dalam 1 Samuel 7–15. Para
cendekiawan kritis yang lain menegaskan bahwa beberapa kisah suksesi muncul dalam 2
Samuel 9–20 and 1 Raja-raja 1, 2. Menurut pandangan tersebut, sumber inilah yang
-4-
awalnya menjelaskan mengapa Salomo yang menjadi raja Israel, dan bukan putra Daud
yang lain.
Meskipun mungkin sumber-sumber hipotetis ini atau yang serupa memang ada,
namun kita tidak dapat memastikannya. Terlalu berfokus pada hal ini sering kali
menimbulkan penafsiran yang keliru dari kitab Samuel. Pandangan ini cenderung
mencerminkan keyakinan tentang perkembangan iman Israel yang bertentangan dengan
Alkitab. Dan yang lebih penting, hal ini menghambat penafsiran kitab Samuel
sebagaimana adanya sekarang, seutuhnya, dalam kanon Alkitab.
Para cendekiawan telah meneliti kitab Ulangan hingga Raja-raja, dan
mereka melihat sesuatu yang benar-benar ada di sana. Mereka
melihat bahwa banyak frasa yang awalnya muncul dalam Ulangan
digunakan lagi dalam Yosua, Hakim-hakim, Samuel dan Raja-raja.
Banyak kata-kata, terminologi, konsep, gambaran umum dan frasa
umum yang digunakan berulang-ulang dalam kitab-kitab ini.
Bagaimana kita menjelaskan hal ini? … Satu cara pendekatan yang
benar-benar berpegang pada yang tertulis dalam naskah itu sendiri,
adalah meneliti kitab-kitab itu dan mengatakan, misalnya, kitab
Ulangan menyebutkan di beberapa ayatnya akan tanggung jawab
Musa untuk tulisan itu, dan ada ayat-ayat lain yang semuanya
menunjukkan besarnya pengaruh Musa. Saya pikir kita tidak perlu
heran jika kita temui Musa menggunakan berbagai ekspresi dalam
Ulangan, kemudian kita lihat penulis-penulis pasca Musa
menggunakan gaya bahasa dan konsep yang mereka pelajari dari
Ulangan. Jadi sebenarnya mereka menggambarkan dunia melalui
sesuatu yang dapat kita sebut sebagai “lensa” yang berdasar pada
kitab Ulangan. Demikian penjelasan saya tentang hal ini. Menurut
saya ada cara yang lebih baik dan lebih alkitabiah untuk menjelaskan
gaya ekspresi dan pendeskripsian yang berasal dari Ulangan
daripada hipotesa Deuteronomis. Saya rasa kemungkinan besar Musa
memang memiliki pengaruh besar seperti yang diindikasikan naskah
ini, dan para penulis Alkitab sesudahnya sangat dipengaruhi oleh
caranya mendeskripsikan hal-hal itu.
— Dr. James M. Hamilton
Dengan tetap mengingat pandangan tradisional dan kritis dari kepenulisan Kitab Samuel,
kini mari kita beralih pada beberapa pandangan injili kontemporer yang kita ikuti dalam
serial ini. Pandangan ini adalah pandangan yang dipegang oleh para ahli modern yang
mendukung otoritas penuh Alkitab.
Pandangan Injili
Ciri khas pandangan Injili adalah menentukan pendirian kita tentang penulis
sebanyak mungkin dari kesaksian Alkitab itu sendiri. Tetapi baik kitab Samuel, maupun
-5-
bagian lain Perjanjian Lama atau Baru, tidak mengidentifikasi penulis kitab Samuel.
Kitab ini bersifat anonim. Jadi kita tidak dapat mengatakan secara pasti penulis kitab ini.
Namun, jika kita meneliti isi kitab ini, kita dapat mengenali sedikitnya dua wawasan
penting tentang penulisnya.
Pertama, perlu kita perhatikan bahwa penulis kitab Samuel menghimpun dari
beragam sumber. Artinya ia tidak menulis kitab ini de novo, atau benar-benar dari awal.
Namun, ia menyusun kitabnya dengan cara menjalin tulisannya sendiri dengan nahir dari
berbagai sumber yang sudah ada sebelumnya. Kita perlu berhati-hati untuk menghindari
spekulasi para cendekiawan kritis terkait hal ini. Tetapi kita tahu bahwa kitab-kitab
sejarah Alkitab yang lain, seperti Raja-raja dan Tawarikh, sering kali mengutip catatan
tertulis yang diperoleh penulisnya dari orang lain. Demikian juga halnya dengan penulis
kitab ini.
Setidaknya, 2 Samuel 1:18 secara eksplisit merujuk pada “Kitab” — atau
gulungan kitab — “Orang Jujur” sebagai sumber tulisan yang sudah ada sebelumnya.
Yosua 10:13 menyebutkan sumber yang sama ini. Selain itu, kemiripan 2 Samuel 22
dengan Mazmur 18 mengindikasikan bahwa penulis kita memasukkan satu “Mazmur
Raja Daud” yang terkenal dalam kitabnya. Selanjutnya, judul yang mengawali 2 Samuel
23:1-7 sebagai “Perkataan terakhir Daud,” mengindikasikan bahwa penulis kita
mengambil dari catatan-catatan resmi yang sudah lebih dulu ada di istana raja Daud.
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa seperti beberapa penulis Alkitab lainnya, penulis
kitab Samuel menggunakan sumber-sumber tulisan yang sudah ada ketika menyusun
kitabnya.
Penting untuk kita ketahui bahwa penulis kitab Samuel menghimpun berbagai
sumber, karena ini berdampak atas penafsiran kitab ini dalam banyak cara. Salah satu
contohnya adalah, hal ini menolong kita untuk memahami kualitas sastra kitab Samuel.
Ketika kita membaca kitab ini, sulit dipungkiri bahwa berbagai perikop menunjukkan
gaya sastra yang sangat berbeda. Setidaknya beberapa variasi gaya ini mungkin
disebabkan karena penulis kitab ini mengambil dari berbagai sumber. Di samping itu,
penggunaan sumber lain juga menjelaskan alasan alur cerita kitab ini sering tidak
mengalir seperti yang kita harapkan. Ada kalanya kitab ini terkesan tidak terpisah-pisah.
Penggunaan sumber lain juga menolong kita memahami alasan kitab ini sering
mengulang tulisan yang mirip.
Ketergantungan penulis pada sumber-sumber tulisan menjelaskan beberapa
referensi terkait waktu dalam kitab ini. Setidaknya tujuh kali kitab Samuel menyebutkan
bahwa suatu keadaan tertentu masih berlaku “sampai hari ini.” Kita melihat dalam seri-
seri lain bahwa ekspresi ini juga muncul dalam kitab Ulangan, Yosua, Hakim-hakim dan
Raja-raja. Ada kalanya, misalnya dalam 1 Raja-raja 8:8, ekspresi “sampai hari ini” jelas
merujuk pada waktu dari sumber yang lebih awal, bukan pada waktu penulisan terakhir
kitab itu. Karena itu, ketika mempelajari kitab Samuel, kita harus selalu ingat bahwa
penulis mengedit dan memasukkan tulisan-tulisan yang sudah ada sebelumnya ke dalam
kitabnya.
Selain mengakui bahwa penulis Samuel mengumpulkan berbagai sumber, kita
juga yakin bahwa ia seorang pemimpin di zaman Israel kuno. Kita tahu bahwa penulis ini
bukan orang biasa dari kenyataan bahwa ia memiliki akses pada nasakah-naskah seperti
Alkitab, Kitab Orang Jujur dan naskah kerajaan. Di zaman dahulu, tulisan-tulisan
semacam ini hanya tersedia bagi para bangsawan dan kaum Lewi. Jadi, penulis ini
-6-
pastilah salah satu pemimpin atau bekerja melayani para pemimpin Israel di zaman itu.
Status sosial penulis ini memberi kita beberapa ekspektasi penting saat kita
menelusuri kitab Samuel. Contohnya, segera terlihat bahwa penulis adalah seorang
pemimpin Israel yang menulis bagi para pemimpin Israel lainnya. Ia tidak menulis
kitabnya untuk dibaca oleh setiap orang Israel awam. Karya literatur kesusasteraan tidak
diterbitkan dan didistribusikan secara luas pada zaman Israel kuno. Jadi sekalipun
gulungan kitab Samuel tersedia bagi umum, kebanyakan orang Israel tidak dapat
membacanya. Adalah tugas para bangsawan, orang-orang Lewi, tua-tua dan para
pemimpin lain untuk mempelajari kitab ini serta menyebarkan dan menerapkan isinya
dalam kehidupan rakyat biasa.
Kenyataan bahwa sang penulis adalah seorang pemimpin yang menulis bagi para
pemimpin lain menolong kita untuk memahami wawasan kebangsaan dalam kitabnya.
Kitab Samuel memang mengisahkan berbagai tantangan yang dihadapi orang-orang
awam sehari-hari, baik pria, wanita maupun anak-anak. Namun, sebagai pemimpin Israel,
penulis terutama menyorot isu politik kebangsaan dan isu agama yang dihadapi seluruh
Israel. Kita harus mengorientasikan penafsiran kitab ini pada isu-isu semacam ini.
Setelah kita meneliti penulis kitab Samuel, kini kita akan beranjak pada dimensi
kedua latar belakang kitab: waktu penulisan terakhir. Kapankah kitab ini ditulis?
WAKTU
Kita tahu bahwa para penafsir telah mengidentifikasi beberapa periode sejarah
yang berbeda untuk penulisan kitab Samuel. Bangsa Yahudi kuno dan orang-orang
Kristen zaman dahulu memperkirakan waktu kitab ini amat dekat dengan peristiwa-
peristiwa yang dicatat di dalamnya, yaitu sekitar abad ke 10 S.M. Sebaliknya, para
cendekiawan kritis modern berpendapat kitab ini mencapai bentuk akhirnya selama
pembuangan ke Babel. Memang tidak mungkin mengidentifikasi secara tepat kapan kitab
ini selesai ditulis. Namun, seperti banyak kitab Perjanjian Lama yang lain, kita dapat
menetapkan waktu paling awal dan paling akhir kemungkinan kitab ini selesai ditulis.
Mari kita mulai dengan kemungkinan waktu paling akhir ditulisnya kitab Samuel.
Cara terbaik menentukan batas waktunya adalah dengan memperhatikan tempatnya
dalam apa yang dinamakan Sejarah Awal Israel, yaitu sejarah yang tercatat dalam kitab
Kejadian hingga Raja-raja, kecuali kitab Rut. Semua kitab ini bersama membentuk
serangkaian mata rantai, setiap kitab melanjutkan kisah dari kitab sebelumnya.
Kelima kitab pertama — Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan —
berasal dari zaman Musa dan membentuk tautan-tautan pertama dalam rantai Sejarah
Awal. Kitab-kitab lainnya — Yosua, Hakim-hakim, Samuel dan Raja-raja — membentuk
bagian Deuteronomis berikutnya dari sejarah ini. Kitab-kitab ini sangat tergantung pada
pandangan teologis dari kitab Ulangan. Kitab Yosua dimulai dengan kematian Musa dan
lanjut hingga kematian Yosua. Kitab Hakim-hakim mengisahkan masa setelah kematian
Yosua. Kitab Samuel dimulai dengan tampilnya Samuel sebagai hakim terakhir Israel dan
diakhiri dengan pemerintahan Daud. Kitab Raja-raja melanjutkan kitab Samuel, dimulai
dengan kematian Daud dan diakhiri dengan pembuangan ke Babel. Jika kita bandingkan
kitab Samuel dengan pasal-pasal awal Raja-raja, satu hal tampak jelas: Penulis Raja-raja
mengetahui catatan kehidupan Daud sebagaimana tercatat dalam kitab Samuel. Faktor ini
-7-
adalah indikasi kuat bahwa kitab Samuel sudah selesai ditulis sebelum Raja-raja ditulis.
Pengamatan ini penting karena kita dapat memperkirakan kapan kitab Raja-raja
ditulis. Kitab ini diakhiri dengan 2 Raja-raja 25:27-30 ketika Yoyakhin, keturunan raja
Daud, dibebaskan dari penjara Babel pada tahun 561 S.M. Kitab Raja-raja tidak
menceritakan kembalinya Israel dari pembuangan di Babel pada tahun 538 S.M. karena
itu kita cukup yakin bahwa Raja-raja ditulis antara 561 S.M. dan 538 S.M.Oleh karena
kitab Samuel selesai sebelum kitab Raja-raja, dapat kita simpulkan bahwa waktu terakhir
penulisan kitab Samuel adalah tahun 538 S.M., sebelum masa pembuangan di Babel
berakhir.
Sulit untuk mengetahui secara tepat waktu penulisan 1 dan 2 Samuel
dan mencapai bentuk akhirnya. Tetapi jika kita melihat 1 dan 2
Samuel dengan mengingat keseluruhan Perjanjian Lama, ada
beberapa indikasi yang setidaknya dapat memberi kita kemungkinan
waktu terakhir penyelesaiannya. Jika kita melihat 1 Tawarikh, kitab
ini mengambil cukup banyak dari kitab 1 dan 2 Samuel dan
mengenalnya. Karena kitab 1 dan 2 Tawarikh ditulis selama era
pasca-pembuangan, ketika orang-orang yang dibuang telah kembali
ke Yerusalem, maka setidaknya dapat kita katakan kitab Samuel
pasti selesai sebelum masa itu… Tetapi kita juga melihat indikasi-
indikasi lain di seluruh Alkitab, pengetahuan tentang unsur-unsur
lain yang kita lihat dalam kitab 1 dan 2 Samuel. Ada pengetahuan
tentang perjanjian Daud yang tercermin, misalnya, dalam Mazmur
89… Jadi, pasti ada pengetahuan tentang ajaran yang kita lihat
dalam kitab 1 dan 2 Samuel yang tampaknya mengenal masa sebelum
pembuangan, selama pembuangan dan sesudah pembuangan. Tetapi
tentang waktu selesainya dalam bentuk akhir, setidaknya dapat kita
katakan kitab ini diselesaikan sebelum era pasca-pembuangan.
— Andrew Abernethy, Ph.D.
Dengan mengingat kemungkinan waktu paling akhir yaitu pembuangan ke Babel,
mari kita beralih pada kemungkinan waktu paling awal penyelesaian kitab Samuel.
Seperti yang akan kita amati, isi dari kitab Samuel jelas mengindikasikan bahwa tidak
mungkin kitab ini ditulis sebelum era kerajaan yang terpecah.
Alkitab menceritakan bahwa di tahun 930 S.M., Yerobeam I memimpin suku-
suku utara Israel dalam pemberontakan terhadap keturunan Daud. Pemberontakannya
berujung pada terbentuknya kerajaan utara Israel — yang sering disebut Efraim — dan
kerajaan selatan Yehuda. Penulis kitab Samuel beberapa kali mengindikasikan bahwa dia
mengetahui tentang perpecahan umat Allah menjadi dua kerajaan ini. Contohnya, 1
Samuel 11:8 membedakan antara “orang Israel dan … orang Yehuda.” 1 Samuel 18:16
mengatakan bahwa “seluruh orang Israel dan orang Yehuda mengasihi Daud.” Kita juga
membaca dalam 2 Samuel 5:5 bahwa Daud memerintah “atas seluruh Israel dan
Yehuda.” Dalam 2 Samuel 12:8, Allah berkata bahwa Ia telah memberikan kepada Daud
“Israel dan … Yehuda.” 2 Samuel 21:2 menceritakan kegiatan Saul “untuk kepentingan
orang Israel dan Yehuda.” Dan dalam 2 Samuel 24:1 kita melihat semua suku itu
-8-
dideskripsikan sebagai “orang Israel dan orang Yehuda.” Pembedaan antara Israel dan
Yehuda yang berulang kali ini merupakan indikasi kuat bahwa penulis tidak mungkin
menulis kitab ini sebelum perpecahan Israel dan Yehuda di tahun 930 S.M.
Jika kita pertimbangkan semua faktor ini, kita dapat melihat bahwa kemungkinan
waktu paling awal penyelesaian kitab ini adalah dalam era kerajaan yang terpecah,
setelah 930 S.M. Dan kemungkinan waktu paling akhir adalah selama pembuangan ke
Babel, sebelum 538 S.M.
Sejauh ini, kita telah meneliti penulis dan waktu penulisan kitab Samuel. Kini
marilah kita beranjak pada aspek lain dari latar belakangnya: situasi yang dihadapi umat
Allah ketika kitab ini ditulis.
SITUASI
Sebagai pemimpin yang memiliki akses pada Alkitab, penulis Samuel tahu benar
bahwa situasi yang dihadapi dirinya dan pembacanya telah menimbulkan krisis iman
yang dahsyat. Di satu sisi, ia mengenal sejarah mereka. Allah telah menugaskan Adam
dan Hawa, dan kemudian Nuh, untuk memenuhi bumi sebagai pelayanan kepada-Nya.
Allah memanggil Abraham dan keturunannya untuk memelopori pelaksanaan misi global
ini. Kemudian Allah menetapkan Musa untuk mempersatukan umat-Nya dan
menempatkan mereka di tanah perjanjian, dan dari sana kerajaan Allah akan diperluas ke
seluruh dunia. Allah juga menetapkan Daud dan keluarganya sebagai dinasti tetap atas
Israel untuk memimpin mereka dalam melaksanakan tujuan mereka.
Tetapi di sisi lain, ketika penulis menulis kitab ini, situasi yang dihadapi umat
Allah tidak sesuai dengan pengharapan mereka atas keluarga Daud. Memang banyak
kesalahan dilakukan yang mengakibatkan keadaan Israel yang menyedihkan, baik selama
era kerajaan yang terpecah maupun saat pembuangan ke Babel. Namun Alkitab
menyatakan bahwa hal ini terjadi karena dosa-dosa keturunan Daud, terutama atas
penyembahan berhala dan ketidaksetiaan kepada Allah. Perikop seperti 1 Raja-raja
11:29-40 dan 12:1-24, meletakkan beban tanggung jawab atas perpecahan monarki secara
langsung atas keturunan Daud. Dan perikop seperti 2 Raja-raja 20:12-19 dan 21:10-15
mengindikasikan bahwa pembuangan ke Babel juga terutama diakibatkan oleh kegagalan
keluarga Daud.
Kegagalan keturunan Daud sangat menggoncangkan iman umat Allah. Ketika
hukuman Allah menghancurkan pengharapan mereka, mereka meragukan apakah mereka
dapat terus menaruh kepercayaan mereka pada keturunan Daud. Mungkin Allah telah
meninggalkan keturunan Daud. Mungkin mereka selama ini keliru. Dalam situasi yang
meresahkan inilah Allah memanggil sang penulis untuk menulis kitab Samuel. Ia menulis
untuk memperbarui pengharapan Israel pada keturunan Daud.
Setelah melihat latar belakang kitab Samuel, kini marilah kita meneliti topik
utama kedua, yaitu pola kitab ini. Bagaimana penulis merancang kitabnya? Bagaimana
dia menyusun isinya dengan tujuan membahas situasi yang sedang dihadapi dirinya dan
pembaca aslinya? Dan pengharapan apa yang disodorkan kitab ini pada umat Allah?
-9-
DESAIN
Ketika kita meneliti pola kitab Samuel, kita harus ingat bahwa penulis kitab ini
seolah-olah berdiri di antara dua dunia. Dunia dari peristiwa-peristiwa yang
dikisahkannya dan dunia tempat dia dan pembaca aslinya hidup. Ia mendedikasikan diri
untuk memberikan laporan yang benar tentang apa yang terjadi di masa lalu. Tetapi ia
juga mendedikasikan diri untuk menulis tentang masa lalu dengan cara yang menyentuh
umat Israel di zaman itu. Sayangnya, para penafsir Injili sering kali gagal mengenali
pembedaan ini ketika mereka membahas kitab Samuel. Karena itu kita akan terlebih
dahulu membahas sejenak kedua pengaruh tersebut terhadap pola kitab ini.
Di satu sisi, dengan inspirasi Roh Kudus, penulis kitab Samuel bertekad memberi
cerita yang benar kepada pembacanya akan apa yang terjadi di masa lalu, jauh sebelum ia
menulis kitabnya. Ia menulis tentang apa yang kita sebut “dunia itu,” dunia dari
peristiwa-peristiwa historis yang dikisahkan dalam kitabnya. Peristiwa pertama yang
dicatatnya adalah kelahiran Samuel dalam 1 Samuel 1:1-28. Bukti-bukti Alkitab dan
arkeologis menunjukkan bahwa Samuel dilahirkan sekitar tahun 1070 S.M.
Peristiwa historis terakhir yang dicatatnya adalah kata-kata terakhir Daud dalam 2
Samuel 23:1-7. Pidato ini mungkin adalah salah satu deklarasi kerajaan resmi yang
terakhir dari Daud, yang diucapkan menjelang kematiannya sekitar 970 S.M. Jadi, kitab
Samuel mengisahkan kurang lebih satu abad dari sejarah Israel, mulai dari sekitar 1070
S.M. hingga sekitar 970 S.M.
Abad itu adalah abad yang amat penting dan sulit untuk diabaikan dalam
perkembangan kerajaan Allah di zaman Perjanjian Lama. Ini adalah masa transisi yang
besar bagi Israel. Ketika Samuel lahir, Israel berada dalam kondisi kacau balau di bawah
kepemimpinan buruk dari para hakim dan kaum Lewi. Tetapi saat Daud menyampaikan
kata-kata terakhirnya, Allah telah menetapkan Daud dan keturunannya sebagai dinasti
yang permanen atas semua suku Israel. Penulis kitab Samuel merancang kitabnya untuk
menjelaskan bagaimana beberapa peristiwa penting membawa perubahan dramatis di
Israel.
Telah kita katakan tadi bahwa semua peristiwa yang dicatat dalam kitab Samuel
merupakan bagian dari apa yang kita sebut “dunia itu.” Tetapi di sisi lain, penulis juga
bertekad membicarakan waktu dan situasi di masa dia dan pembaca aslinya hidup. Kita
menyebut ini “dunia mereka,” dunia penulis dan pembacanya, jauh setelah era sejarah
yang dikisahkan dalam kitabnya. Ia menulis tentang apa yang terjadi di “dunia itu,” baik
di masa kerajaan yang terpecah maupun masa pembuangan ke Babel, untuk mengajar
umat Allah tentang maknanya bagi “dunia mereka.” Dan sasaran inilah yang membentuk
desain kitabnya. Catatan masa lampau yang ditulisnya bukan fakta-fakta kaku yang
terkesan tidak relevan. Ia menulis kisahnya sehingga relevan bagi tantangan-tantangan
yang dihadapi pembaca aslinya.
Seperti para penulis Alkitab lainnya, penulis melakukan hal ini dalam tiga cara.
Pertama, ia menunjukkan latar belakang sejarah — asal usul sejarah dari realita yang
pembacanya hadapi di zaman mereka. Kedua, ia mendeskripsikan tokoh-tokoh dalam
kitabnya untuk menampilkan model yang dapat ditiru atau ditolak oleh pembacanya.
Ketiga, ia menulis tentang sejumlah peristiwa di “dunia itu” yang merupakan bayangan
masa depan dari pengalaman pembacanya di “dunia mereka.” Dengan cara ini, ia
-10-
memberi arahan dalam menghadapi tantangan-tantangan yang dihadapi pembaca aslinya.
Kita akan menelusuri pola kitab ini dalam dua tahap. Pertama, kita akan
memperkenalkan struktur dan isinya yang ekstensif. Dan kedua, kita akan melihat
bagaimana struktur dan isi ini mengungkapkan tujuan utama penulis. Mari kita mulai
dengan rangkuman struktur dan isi kitab Samuel.
STRUKTUR DAN ISI
Kitab Samuel begitu kompleks sehingga kita sering terlarut untuk memperhatikan
detailnya yang amat banyak, hingga tidak melihat bahwa kitab ini sangat selektif dan
ditata dengan terampil. Sebenarnya, penulis hanya menulis tentang beberapa orang dan
beberapa peristiwa, dan ia menata semuanya dengan cermat untuk mencapai sasarannya.
Jika kita dapat mengenali ciri-ciri kitab ini, kita akan lebih mampu memahami makna
aslinya dan bagaimana kita harus menerapkannya dalam kehidupan kita hari ini.
Secara garis besar, Roh Allah menuntun penulis kitab ini untuk berfokus pada tiga
tokoh utama: Samuel, Saul dan Daud. Ia juga menuntun penulis untuk menarik beberapa
keterkaitan logis antara ketiga tokoh ini. Penulis mengawali dengan kenyataan bahwa
Allah telah menetapkan Samuel sebagai orang yang membawa Israel memasuki era
kerajaan. Kemudian ia berfokus pada kegagalan Saul sebagai raja pertama Israel. Dan
akhirnya, ia menunjukkan bahwa Allah telah menetapkan kerajaan dan dinasti Daud
sebagai sarana untuk memperkuat dan memperluas kerajaan-Nya. Gabungan dari tiga
bagian ini mengungkapkan penilaian logis sang penulis tentang bagaimana Allah
membawa Israel dari zaman hakim-hakim ke zaman monarki Daud.
Struktur sastra 1 and 2 Samuel sebenarnya berkisar seputar tiga raja,
atau lebih baik saya katakan, tiga pribadi. Samuel merupakan tokoh
utama … kemudian Saul menjadi tokoh utama. Lalu muncul Daud …
tetapi Saul terus menjadi tokoh utama ketika ia memburu Daud
keliling negeri, dan akhirnya pada akhir 1 Samuel, Saul terbunuh,
dan kemudian 2 Samuel berkisah tentang Daud. Jadi, ketiga tokoh
itulah yang memberi struktur pada kedua kitab ini.
— Dr. John Oswalt
Dengan mengingat pokok-pokok penting kitab ini, kita dapat melihat bahwa,
secara keseluruhan, kitab Samuel terdiri dari tiga bagian utama: pendahuluan menuju
kerajaan dalam 1 Samuel 1–7; kegagalan Saul sebagai raja dalam 1 Samuel 8–2 Samuel 1;
dan kerajaan Daud yang langgeng dalam 2 Samuel 2–24. Mari kita melihat pendahuluan
menjelang era kerajaan terlebih dahulu.
Pendahuluan Menuju Kerajaan (1 Samuel 1–7)
Perlu dicatat dari awal bahwa penulis mengidealkan Samuel. Ia mengaguminya
sebagai pemberian ajaib dari Allah dan sebagai sosok dengan karakter moral yang patut
-11-
diteladani. Menurut kitab ini, Samuel begitu ideal sehingga Allah tidak hanya
memberkati Samuel, tetapi juga seluruh Israel melalui dirinya. Tentu saja, penulis
maupun pembaca aslinya tahu dari Alkitab dan dari pengalaman umum bahwa Samuel
adalah seorang yang berdosa. Jadi, kita yakin mereka menyadari kompleksitas karakter
moral Samuel. Tetapi alih-alih menunjukkan kesalahan-kesalahan Samuel, penulis
sengaja menyanjung Samuel dan pelayanannya kepada Allah. Ia melakukan hal ini untuk
menekankan mengapa Allah mengutus, memperlengkapi dan melayakkan Samuel
sebagai individu yang memperkenalkan kerajaan kepada Israel, dengan mula-mula
mengurapi Saul dan kemudian Daud.
Tahun-tahun Awal Samuel (1 Samuel 1:1–2:11). Gambaran Samuel yang sangat
ideal ini dibagi menjadi dua bagian utama. Pertama, kita menemukan catatan tahun-tahun
awal Samuel, mulai kelahirannya sampai ia disapih, dalam 1 Samuel 1:1–2:11. Di sini,
penulis menggarisbawahi bahwa kelahiran Samuel adalah jawaban mujizat Allah atas doa
ibunya yang saleh, dan menandakan hari baru bagi Israel.
Kitab Samuel dimulai dengan seorang pria bernama Elkana yang mempunyai dua
istri, Hana dan Penina. Penina mempunyai banyak anak, tetapi Hana mandul, sehingga
Penina bersikap jahat kepada Hana. Dalam kesedihannya, Hana berdoa dan bernazar, jika
Allah memberinya seorang putra, ia akan memberikan putranya kepada Tuhan untuk
melayani Tuhan seumur hidupnya. Dan Allah menjawab doanya secara ajaib.
Samuel lahir ketika Israel sedang tenggelam dalam kegagalan era hakim-hakim,
suatu era yang ditandai dengan kekacauan dan kerusakan moral. Tetapi dengan lahirnya
Samuel, kini ada alasan untuk percaya bahwa Allah akan mengirim seorang raja bagi
Israel. Kita melihat pengharapan ini dalam 2:10, ketika Hana menutup pujian-Nya kepada
Allah atas kelahiran Samuel dengan kata-kata ini:
Orang yang berbantah dengan TUHAN akan dihancurkan; atas mereka Ia
mengguntur di langit. TUHAN mengadili bumi sampai ke ujung-
ujungnya; Ia memberi kekuatan kepada raja yang diangkat-Nya dan
meninggikan tanduk kekuatan orang yang diurapi-Nya (1 Samuel 2:10).
Di masa Israel sedang mengalami kemelut internal dan kesusahan dari penjajah
asing, Hana menunjukkan iman yang luar biasa. Mujizat kelahiran Samuel meyakinkan
dia bahwa “orang yang berbantah dengan TUHAN akan dihancurkan” dan bahwa Allah
“mengguntur di langit” atas mereka. Hana juga yakin bahwa Allah akan “mengadili bumi
sampai ke ujung-ujungnya.” Ia akan memperluas otoritas kerajaan-Nya malampaui batas-
batas Israel dengan menghakimi semua bangsa. Tetapi perhatikan juga bagaimana Hana
percaya Allah akan memperluas kerajaan-Nya di seluruh bumi, yaitu dengan “memberi
kekuatan kepada raja yang diangkat-Nya” dan “meninggikan tanduk kekuatan orang
yang diurapi-Nya” dengan kemenangan atas musuh-musuhnya. Sebelum era Samuel,
Israel belum pernah mempunyai seorang raja. Melalui pujian Hana, penulis
memperkenalkan kontribusi Samuel yang paling bermakna bagi sejarah Israel. Sejak
lahirnya, Samuel dipanggil Allah untuk membawa Israel masuk ke era kerajaan.
Transisi Kepemimpinan (1 Samuel 2:12–7:17). Bagian kedua terdapat dalam 2:12–
7:17, yaitu transisi kepemimpinan dari Eli dan putra-putranya kepada Samuel. Eli dan
-12-
putra-putranya seperti juga Samuel, berasal dari suku Lewi,. Pasal-pasal terakhir kitab
Hakim-hakim mengisahkan bahwa seputar masa itu, sejumlah orang Lewi tidak lagi setia
kepada Allah dan menyebabkan Israel tidak menaati hukum Allah. Begitu pula halnya
dengan Eli dan putra-putranya yang melayani di tempat tabut perjanjian di Silo. Tetapi
transisi kepemimpinan kepada Samuel merupakan hari baru bagi Israel. Penulis
menunjukkan dengan jelas dalam pasal-pasal ini bahwa Allah sendirilah yang
menetapkan transisi dari otoritas Lewi yang utama ini. Samuel melayani Allah dengan
benar dan rendah hati, sebagai nabi dari suku Lewi yang paling menonjol di seluruh
Israel. Dan setelah Samuel meraih posisi ini, ia membawa bangsa Israel ke dalam era
baru dalam sejarahnya, yaitu era kerajaan.
Kitab Hakim-hakim adalah kitab yang menarik, yang mengisahkan
bahwa Allah selalu membangkitkan seorang hakim sebagai pemimpin
umat Israel di waktu perang, juga untuk menyelesaikan pertikaian di
antara mereka dan sebagainya. Tetapi setelah Simson menjadi hakim
terakhir sebelum kitab Samuel, maka pada masa Samuel tidak ada
hakim sama sekali. Jadi tidak ada hakim yang memimpin umat pada
waktu itu. Tetapi dengan adanya kitab Samuel, yang mengisahkan
bagaimana Samuel dilahirkan dan kemudian menjadi pemimpin
Israel, maka ia seolah-olah menjadi hakim seperti hakim-hakim
sebelumnya. Ia mampu memimpin mereka berperang, mampu
menyelesaikan pertikaian dan hal-hal lain.
— Rev. Dr. Humphrey Akogyeram
Setelah menulis pendahuluan menjelang kerajaan dalam 1 Samuel 1–7, penulis
kitab Samuel beralih kepada kegagalan Saul sebagai raja dalam 1 Samuel 8–2 Samuel 1.
Kegagalan Saul Sebagai Raja (1 Samuel 8–2 Samuel 1)
Secara keseluruhan, penulis menampilkan kontras menyolok antara Samuel dan
Saul dengan menulis karakter negatif tentang Saul. Kita tahu dari Alkitab dan
pengalaman bahwa Allah memberikan anugerah umum kepada orang-orang yang paling
berdosa sekalipun, supaya kehidupan mereka tidak sepenuhnya hancur. Dan penulis
mengakui bahwa Allah telah memilih Saul, dan bahwa Samuel mengurapi dia sebagai
raja. Ia juga menulis bahwa Allah memberkati Saul dengan dukungan semua suku Israel
dan dengan kemenangan militer pada awal pemerintahannya. Namun, fokus penulis yang
utama adalah mengapa Samuel menghentikan dukungannya kepada Saul dan mulai
menentangnya. Saul berulang kali memberontak kepada Allah, dan penghakiman ilahi
menimpa dia dan keluarganya. Dosa Saul begitu besar sehingga roh jahat membuatnya
gila, hingga ia terus mengejar Daud dan menyusahkan bangsa Israel tanpa alasan yang
dapat dibenarkan. Gambaran watak Saul yang negatif ini menunjukkan pada para
pembaca asli bahwa pengharapan mereka untuk kerajaan Allah yang mulia di seluruh
dunia tidak terletak di keluarga Saul. Bahkan, pengharapan mereka untuk masa depan
seharusnya tidak diletakkan pada raja mana pun kecuali raja yang ditetapkan Allah
-13-
sebagai pengganti Saul, yaitu Daud.
Tahun-tahun Awal Saul (1 Samuel 8–15). Secara garis besar, kegagalan Saul
sebagai raja dibagi menjadi dua bagian utama yang sejajar dengan pembagian bab
pendahuluan sebelum era kerajaan. Mula-mula dikisahkan tahun-tahun awal Saul, dalam
1 Samuel 8–15, sebelum Daud muncul dalam kehidupan Saul.
Singkatnya, perikop ini berfokus pada bagaimana Saul menjadi raja dengan
dukungan Samuel, mempersatukan suku-suku Israel, dan memimpin mereka dalam
beberapa kemenangan gemilang atas musuh-musuh Israel. Tetapi tidak lama setelah itu
Saul berpaling dari Allah dan menimbulkan masalah bagi dirinya dan Israel. Bahkan ia
secara terang-terangan melanggar hukum Musa dan perintah nubuat Samuel sehingga
Allah memerintahkan Samuel untuk menolak dia dan segenap garis keturunannya dari
kerajaan. Simaklah deklarasi penghakiman Samuel terhadap Saul dan keluarganya dalam
1 Samuel 15:28-29:
Berkatalah Samuel kepada [Saul]: “TUHAN telah mengoyakkan dari
padamu jabatan raja atas Israel pada hari ini dan telah memberikannya
kepada orang lain yang lebih baik dari padamu. Lagi Sang Mulia dari
Israel tidak berdusta dan Ia tidak tahu menyesal; sebab Ia bukan manusia
yang harus menyesal” (1 Samuel 15:28-29).
Di sini kita lihat bahwa Allah tidak hanya mengoyakkan jabatan raja Israel dari
Saul untuk sementara, melainkan Allah akan memberikannya “kepada orang lain yang
lebih baik dari [Saul].” Allah — “Sang Mulia dari Israel” — tidak seperti manusia “yang
harus menyesal,” atau, sering diterjemahkan, yang harus “bertobat.” Apa pun yang terjadi
di masa depan, Allah tidak akan membalikkan penolakan-Nya atas keturunan Saul. Dan
Ia tidak akan membalikkan keputusan-Nya untuk memberikan takhta Israel kepada
seorang lain — yaitu Daud.
Transisi Kepemimpinan (1 Samuel 16–2 Samuel 1). Setelah mengisahkan tahun-
tahun awal Saul, penulis melanjutkan dengan bagian utama kedua dari kegagalan Saul
sebagai raja, transisi kepemimpinan dalam 1 Samuel 16–2 Samuel 1.
Seperti Allah mengesahkan transisi otoritas Lewi dari Eli dan putra-putranya
kepada Samuel, Allah juga mengesahkan transisi otoritas kerajaan dari Saul kepada
Daud. Dari beberapa perjumpaan antara Saul dan Daud, terlihat bahwa patutlah jika Saul
tidak diperkenan Allah. Ia dipengaruhi roh jahat dan terhanyut dalam kegilaan. Ia
berulang kali menyalahgunakan otoritasnya sebagai raja. Tanpa alasan yang dapat
dibenarkan, ia berusaha membunuh Daud. Dan dalam adegan terakhir kehidupannya, ia
bahkan meminta nasihat pada orang mati. Akibatnya, Saul dan putra-putranya tewas
dalam pertempuran melawan orang Filistin. Tetapi sepanjang waktu ini, Allah
memberkati Daud. Daud tidak bersalah dan menanggapi kemurahan Allah dengan
kerendahan hati terhadap Saul dan kesetiaan kepada Allah. Dengan menampilkan kontras
antara Saul dan Daud seperti ini, penulis menunjukkan tanpa keraguan bahwa Allah telah
menolak Saul sepenuhnya dan membangkitkan Daud untuk menggantikan Saul sebagai
raja Israel.
-14-
Raja Saul dan Raja Daud sangat berbeda. Perbedaan terbesarnya
adalah yang seorang menggambarkan raja yang jahat dan yang lain
menggambarkan raja yang baik. Saul memenuhi semua pengharapan
lahiriah untuk dapat menjadi raja yang besar. Ia berasal dari
keluarga terpandang. Ia lebih tinggi sekepala dari setiap orang Israel.
Jadi, ia memenuhi semua pengharapan lahiriah, namun sayangnya ia
gagal total dalam berbagai aspek sebagai raja dari umat Allah… Ia
menunjukkan bahwa ia lebih takut kepada manusia ketimbang
kepada Allah. Mereka diperintahkan secara khusus oleh Allah untuk
memusnahkan sebuah kota, dan mereka pergi dan memenangkan
pertempuran dengan pertolongan Allah, tetapi para prajurit
menyimpan beberapa barang rampasan bagi diri mereka. Dan Raja
Saul mengizinkannya… Maka Samuel menyatakan bahwa akibatnya
kerajaan akan diambil dari padanya. Sebaliknya, Raja Daud sangat
berbeda. Menarik sekali bagaimana Samuel datang ke rumah Isai,
sebuah keluarga lain di Israel. Allah mengutus dia kesana untuk
mengurapi raja Israel berikutnya. Maka Samuel meminta Isai untuk
membawa masuk putra-putranya untuk melihat mereka semua dan
melihat siapa yang akan dipanggil Allah. Isai membawa tujuh orang
putranya tetapi tidak mengikutsertakan putra bungsunya, Daud,
dalam upacara itu. Daud sedang berada di ladang menggembalakan
domba. Ketika Samuel melihat putra sulung Isai, Eliab, ia terpancing
untuk mengandalkan penampilan lahiriah. Ia melihat perawakan
Eliab yang tinggi, dan sikapnya yang agung, dan berpikir, “Sungguh,
di hadapan TUHAN sekarang berdiri yang diurapi-Nya.” Tetapi
Allah berfirman, “Janganlah pandang parasnya atau perawakan
yang tinggi. Manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN
melihat hati.” Allah tidak memilih satu pun dari ketujuh saudara itu.
Akhirnya mereka pergi dan menjemput Daud, si bungsu, dari ladang,
dan Allah berfirman bahwa inilah pilihan-Nya.
— Dr. Doug Falls
Kerajaan Daud yang Langgeng (2 Samuel 2–24)
Setelah kita melihat pendahuluan kitab Samuel menjelang era kerajaan dan
dilanjutkan dengan kegagalan Saul sebagai raja, kini kita beralih pada bagian terakhir
kitab ini: kerajaan Daud yang langgeng.
Kita telah melihat bagaimana penulis menyorot kegagalan-kegagalan Saul untuk
menjelaskan mengapa Allah menolak Saul dan keturunannya dari takhta Israel. Namun,
deskripsi karakter Daud dalam kitab Samuel jauh lebih seimbang. Kitab ini banyak
menyorot kualitas positif Daud dan prestasinya, seperti kemenangannya dalam
peperangan dan kerendahan hatinya di hadapan Allah. Tetapi kitab ini juga dengan terus
terang mengakui kegagalan moral Daud yang serius dan masalah yang ditimbulkannya
bagi keluarganya dan bagi Israel. Namun, terlepas dari segala kegagalannya, penulis
-15-
menyatakan bahwa Allah sangat berkenan pada Daud. Dan karena perkenan Allah,
dinasti Daud akan tetap memimpin perluasan kerajaan Allah di seluruh dunia.
Kerajaan Daud yang langgeng dikisahkan dalam 2 Samuel 2–24. Ini bagian yang
terpanjang dari kitab ini, dan polanya berbeda dari kedua bagian sebelumnya. Bagian ini
dibagi menjadi tiga bagian yang panjang: tahun-tahun awal Daud yang penuh berkat
dalam pasal 2–9, tahun-tahun kemudian yang dikutuk dalam pasal 10–20, dan rangkuman
kebaikan pemerintahan Daud dalam pasal 21–24.
Berkat-berkat Awal (2 Samuel 2–9). Tahun-tahun awal Daud yang diberkati
mengisahkan bagaimana Daud naik takhta menjadi raja atas seluruh Israel setelah
kematian Saul, mula-mula di Hebron dan kemudian di Yerusalem. Sepanjang perikop ini
Allah memberkati Daud dan Israel sebagai tanggapan atas kesetiaan Daud kepada-Nya.
Daud meraih banyak kemenangan atas musuh-musuh Israel. Dan meskipun ada
pemberontakan melawan Daud di dalam Israel, dukungan bagi dirinya bertambah, bahkan
dari beberapa orang yang dahulunya melayani Saul dan keluarganya. Puncak dari tahun-
tahun Daud yang diberkati adalah janji Allah bahwa Daud akan memipin keluarga
kerajaan Israel secara permanen. Simaklah Firman Allah kepada Daud melalui nabi
Natan dalam 2 Samuel 7:16:
Keluarga dan kerajaanmu akan kokoh untuk selama-lamanya di hadapan-
Ku, takhtamu akan kokoh untuk selama-lamanya (2 Samuel 7:16).
Kontras dengan penolakan permanen Allah terhadap Saul dan keluarganya, di sini
Allah berjanji bahwa keluarga dan kerajaan Daud dan takhtanya akan kokoh. Dan dua
kali Allah menegaskan bahwa ini akan berlaku “untuk selama-lamanya” — ad olam
(ʭʕʬˣʲʚʣʔˆ) dalam bahasa Ibrani.
Di ayat lain di pasal 7, Allah memperingatkan bahwa apabila putra-putra raja
Daud berpaling dari Dia, Ia akan menghukum mereka untuk waktu tertentu. Dan
ancaman ini digenapi secara dramatis dalam pembuangan Yehuda. Namun Allah
memberkati Daud dengan janji bahwa keluarganya tidak akan dilenyapkan seluruhnya,
tetapi akan tetap bertahan, apa pun yang terjadi di masa depan.
Kutukan Setelahnya (2 Samuel 10–20). Setelah tahun-tahun awal penuh berkat,
bagian kedua pemerintahan Daud mengisahkan tahun-tahun berikutnya yang dikutuk
dalam 2 Samuel 10–20. Perikop ini sangat dikenal karena mencakup penyalahgunaan
terburuk kekuasaan raja Daud: dosa perzinahannya dengan Batsyeba dan pembunuhan
terhadap Uria orang Het, suami Batsyeba. Karena kejahatan ini, Allah mengutuk Daud
dengan kematian putra pertama Batsyeba. Tetapi Allah tetap berespon dengan kemurahan
pada pertobatan Daud yang tulus, meskipun Ia memperingatkan bahwa kerajaan Daud
akan dirundung banyak masalah. Dan ini memang terjadi. Keluarga Daud dan seluruh
bangsa Israel menderita sepanjang hidup Daud karena dosanya. Namun, kita membaca
dalam 2 Samuel 12:24-25, bahkan di bagian pemerintahan Daud ini pun, Allah tidak
melanggar janji-Nya, yaitu dinasti yang langgeng bagi Daud. Simaklah perikop ini:
[Batsyeba] melahirkan seorang anak laki-laki, lalu Daud memberi nama
Salomo kepada anak itu. TUHAN mengasihi anak ini dan dengan
perantaraan nabi Natan Ia menyuruh menamakan anak itu Yedija (2
-16-
Samuel 12:24-25).
“Salomo” adalah nama takhta putra Daud, artinya “manusia damai.” Tetapi
melalui nabi Natan, Tuhan memberinya nama pribadi “Yedija,” artinya “dikasihi
Yahweh,” “karena Tuhan mengasihi[nya].” Kasih khusus Allah kepada Salomo
meneguhkan bahwa perkenan Allah terus berlangsung bagi Daud dan keturunannya.
Kebaikan yang Terus-Menerus (2 Samuel 21–24). Setelah mendeskripsikan tahun-
tahun awal Daud yang positif dan tahun-tahun bermasalah setelahnya, dalam 2 Samuel
21–24 penulis memberi pembacanya sebuah rangkuman kebaikan yang terjadi selama
pemerintahan Daud. Banyak penafsir yang menyebut rangkuman ini sebagai “pelengkap”
kitab Samuel. Di sini dikisahkan berbagai peristiwa pada berbagai waktu selama
pemerintahan Daud dan disusun berdasarkan topik, bukan secara kronologis.
Dalam perikop ini, kita membaca bahwa Allah memberi wahyu khusus melalui
Daud yang menjamin kepastian masa depan dinastinya sepanjang masa. Allah juga
memberi dia prajurit-prajurit perkasa yang meraih kemenangan-kemenangan yang
gemilang. Dan Allah menetapkan Daud sebagai raja yang oleh doa syafaatnya menerima
pengampunan dan pemulihan bagi segenap bangsa. Prestasi positif ini ditempatkan pada
akhir pemerintahan Daud untuk memberikan kesan mendalam pada pembaca asli kitab
ini. Terlepas dari semua masalah yang ditimbulkan Daud dan keturunannya bagi Israel,
kebaikan-kebaikan yang berkaitan dengan pemerintahan Daud tidak lenyap. Perkenan
Allah kepada Daud sepanjang hidupnya menunjukkan berkat-berkat yang masih dapat
dibawa oleh raja-raja saleh keturunan Daud bagi Israel. Penulis kitab Samuel
mengutarakan tema ini dalam 2 Samuel 22:51. Berikut perkataan Daud di ayat tersebut:
[Allah] mengaruniakan keselamatan yang besar kepada raja yang
diangkat-Nya, dan menunjukkan kasih setia kepada orang yang diurapi-
Nya, kepada Daud dan anak cucunya untuk selamanya (2 Samuel 22:51).
Ayat ini merujuk pada 1 Samuel 2:10. Di awal kitab ini, penulis mencatat
pernyataan Hana yang yakin bahwa Allah “mengadili bumi sampai ke ujung-ujungnya”
dengan meninggikan “raja yang diangkat-Nya” dan memberi kemenangan kepada ”orang
yang diurapi-Nya.” Dalam 2 Samuel 22:51, Daud menggemakan keyakinan Hana dengan
mengatakan bahwa Allah mengaruniakan keselamatan yang besar — artinya pembebasan
besar melalui kemenangan dalam peperangan. Dan pembebasan ini akan diterima “raja
yang diangkat-Nya” ketika Allah “menunjukkan kasih setia kepada orang yang diurapi-
Nya.” Tetapi pujian Daud selangkah lebih jauh dari pujian Hana. Ia mengidentifikasi
penerima pembebasan dan kasih setia Allah sebagai “Daud dan anak cucunya.” Dan ia
menyatakan bahwa mereka akan menerima berkat ini “untuk selamanya.”
Rangkuman struktur dan isi kitab Samuel ini membawa kita pada ciri kedua
rancangannya: tujuan keseluruhan kitab ini. Dampak apa yang penulis harapkan pada
pembaca aslinya?
TUJUAN KESELURUHAN
-17-
Seorang penulis yang menulis buku yang begitu panjang dan kompleks seperti
kitab Samuel, pasti mempunyai banyak sasaran. Ia menyusun bukunya untuk memberi
informasi kepada pembacanya, mengubah perilaku pembacanya, dan mempengaruhi
emosi mereka dalam berbagai cara. Demikian juga dengan kitab Samuel. Bagian-bagian
kecil kitab ini mengusung amat banyak isu spesifik yang berdampak atas kehidupan
pembaca aslinya. Tetapi pada saat yang sama, penulis menjalin setiap bagian kecil
kitabnya dengan memikirkan satu tujuan keseluruhan.
Tujuan keseluruhan penulis dapat dirangkum dalam banyak cara, tetapi untuk seri
ini, kita akan merangkumnya sebagai berikut:
Penulis kitab Samuel menjelaskan transisi Israel menuju kerajaan
mencapai puncaknya dalam perjanjian Allah dengan Daud agar
Israel menaruh pengharapan mereka akan kerajaan Allah dalam
pemerintahan keluarga Daud yang benar.
Rangkuman ini menunjukkan bahwa dalam skala besar ada dua sisi dari tujuan
penulis. Di satu sisi, ia berfokus pada transisi Israel menuju kerajaan yang mencapai
puncaknya dalam perjanjian Allah dengan Daud. Di sisi lain, ia menulis supaya Israel
menaruh pengharapan mereka akan kerajaan Allah dalam pemerintahan keluarga Daud
yang benar. Mari kita uraikan kedua sisi tujuan penulis.
Telah kita katakan bahwa kitab Samuel menyorot apa yang kita sebut “dunia itu”
— abad ketika Allah memimpin Israel dari era hakim-hakim menuju era kerajaan. Yang
menyedihkan, sepanjang Perjanjian Lama, umat Israel kuno sering menyimpang dari
jalan Allah karena mereka melupakan apa yang telah Allah lakukan bagi mereka di masa
lalu. Karena itu penulis dengan teliti memberi pembacanya catatan sejarah masa lalu
yang benar dan dapat dipercaya sepenuhnya.
Tentu penulis tidak mungkin dapat mengisahkan semua hal yang terjadi selama
abad transisi Israel menuju kerajaan. Maka ia memilih untuk berfokus pada masa hidup
tiga orang pemimpin utama di Israel: Samuel, Saul dan Daud. Ia mengisahkan kehidupan
ketiga orang ini untuk menegakkan fakta sejarah yang penting bagi bangsa Israel.
Rangkuman tujuan kita menjelaskan bahwa semua peristiwa dalam kehidupan
Samuel, Saul dan Daud mencapai kulminasi dalam perjanjian Allah dengan Daud. Ketika
Allah membuat perjanjian dengan Daud maka barulah transisi menuju kerajaan itu
selesai.
Dalam seri-seri lain telah kami jelaskan secara rinci cara Alkitab mengajarkan
bahwa Allah mengatur setiap tahap dari kerajaan-Nya di bumi melalui perjanjian. Allah
mengadakan perjanjian dengan seluruh umat manusia dalam Adam dan Nuh. Ia
mengadakan perjanjian dengan umat Israel melalui Abraham, Musa dan Daud. Dan para
nabi Perjanjian Lama meramalkan bahwa setelah masa pembuangan Israel berakhir,
Allah akan mengadakan perjanjian baru dengan umat-Nya. Setiap perjanjian ini
penekanannya berbeda, sesuai dengan situasi waktu pengadaannya. Jadi, setiap perjanjian
mencakup kebijakan perjanjian-perjanjian sebelumnya, dan juga menerapkan kebijakan
sebelumnya itu dalam cara-cara baru.
Bagaimana pun juga, semua perjanjian Allah diinisiasi dan ditopang oleh
kebaikan Allah. Semua perjanjian menuntut kesetiaan dan rasa syukur sebagai respons
atas kebaikan Allah. Dan semua mengungkapkan konsekuensinya berupa berkat atas
-18-
ketaatan dan kutuk atas ketidaktaatan.
Pada umumnya para penafsir sependapat bahwa nubuat Natan dalam 2 Samuel
7:1-17, adalah peristiwa di mana Allah mengadakan perjanjian-Nya dengan Daud. Istilah
“perjanjian” — berith (ʺʩ ʑʸ ʍʡ) dalam bahasa Ibrani — tidak muncul dalam perikop ini.
Tetapi Natan menyampaikan kata-kata ini kepada Daud pada saat puncak tahun-tahun
awalnya yang penuh berkat, dan ini merupakan kebijakan dasar perjanjian Allah dengan
Daud. Selain itu, pada akhir kitab Samuel, penulis secara eksplisit merujuk pada
perjanjian Allah dengan Daud. Simaklah perkataan Daud dalam 2 Samuel 23:5:
Sebab [Allah] menegakkan bagiku suatu perjanjian kekal, teratur dalam
segala-galanya dan terjamin (2 Samuel 23:5).
Daud mengatakan bahwa Allah mengadakan suatu “perjanjian kekal” dengan dia
— berith olam ( ʺʩ ʑʸ ʍʡʭʕʬˣʲ) dalam bahasa Ibrani. Perjanjian ini tidak akan berakhir, “teratur
dalam segala-galanya,” sehingga “terjamin” sepenuhnya. Dengan kata lain, perjanjian
Allah dengan Daud menjamin bahwa keturunannya akan memerintah Israel untuk
selamanya. Mazmur 89 dan 132 juga mengindikasikan bahwa sejak saat itu, dinasti Daud
merupakan ciri permanen dari kerajaan Allah.
Janji Allah kepada Daud dalam 2 Samuel 7 sangat besar maknanya
bagi sejarah penebusan. Pasal ini sangat penting dalam memahami
sejarah penebusan secara umum… Kita melihat di sini apa yang
dinamakan perjanjian Daud. Ini perjanjian yang sangat penting, di
sini kita melihat suatu perspektif baru tentang Juruselamat, yaitu
bahwa Juruselamat ini adalah anak Daud. Istilah “anak Daud”
bukan istilah biasa dalam Alkitab. Setiap kali kita membaca “anak
Daud,” kita perlu ingat akan kata “raja.” Daud adalah raja, dan
dalam pasal ini, Tuhan berjanji kepadanya bahwa anaknya akan
duduk di atas takhta, takhta kerajaan, untuk selamanya. Salah satu
keturunan Daud akan menjadi raja untuk selamanya di atas takhta
Daud.
— Mr. Sherif Atef Fahim
Allah bermurah hati kepada Daud dan keluarganya dengan menetapkan mereka
sebagai dinasti Israel yang permanen, tetapi Allah juga menuntut pelayanan yang setia
dari mereka. Konsekuensinya adalah mereka akan menerima berkat Allah untuk ketaatan
dan kutuk untuk ketidaktaatan mereka. Simaklah 2 Samuel 7:14-15 dan persyaratan
dalam perjanjian Allah dengan Daud terkait Salomo, pewaris pertama takhta Daud:
Apabila ia melakukan kesalahan, maka Aku akan menghukum dia dengan
rotan yang dipakai orang dan dengan pukulan yang diberikan anak-anak
manusia. Tetapi kasih setia-Ku tidak akan hilang dari padanya, seperti
yang Kuhilangkan dari pada Saul, yang telah Kujauhkan dari hadapanmu
(2 Samuel 7:14-15).
-19-
Mazmur 89 dan 132 berisi penekanan serupa pada tuntutan Allah atas kesetiaan
keturunan Daud. Tetapi dalam perikop ini, kita melihat bahwa Allah akan menghukum
keluarga Daud apabila mereka jatuh dalam dosa. Ia akan menghajar keluarga Daud
“dengan rotan yang dipakai orang dan dengan pukulan yang diberikan anak-anak
manusia”; dengan kata lain, dengan kesulitan dari musuh-musuh mereka.
Dengan penetapan perjanjian Allah dengan Daud, telah terbit hari baru. Allah
menegaskan bahwa “kasih setia-[Nya] tidak akan hilang” dari keluarga Daud, seperti
telah Dia “hilangkan dari pada Saul.” Jadi meskipun Allah sepenuhnya menolak Saul dan
keturunannya dari takhta Israel, Allah menegaskan bahwa Ia tidak akan melakukan hal
serupa terhadap keluarga Daud. Terlepas dari segala kesulitan yang ditimbulkan Daud
dan putra-putranya bagi Israel, dinasti Daud akan mewakili umat Israel di hadapan Allah
untuk selama-lamanya.
Telah kita lihat bahwa penulis kita menampilkan perjanjian Allah dengan Daud
sebagai kulminasi transisi Israel menuju era kerajaan. Kini mari kita beranjak kepada sisi
kedua tujuan keseluruhannya. Ia menulis kitab ini agar Israel menaruh pengharapan
mereka untuk kerajaan Allah pada pemerintahan yang benar dari keluarga Daud.
Tujuan sastra kitab Samuel adalah menunjukkan bahwa Israel boleh
yakin pada garis keturunan Daud, meskipun ada banyak masalah
dan penderitaan bagi Israel yang disebabkan oleh ketidaksetiaan
keluarga Daud. Penulis ingin menunjukkan bahwa Daud dan
keluarganya telah dipilih Allah menjadi dinasti yang memerintah,
dan melalui kitabnya ia hendak menunjukkan bahwa Israel harus
menaruh keyakinan pada garis keturunan Daud, terlepas dari segala
kegagalan dinasti Daud.
— Dr. David Correa
Kita tahu bahwa penulis kitab Samuel menulis tentang “dunia itu” di masa lampau
untuk membahas tantangan yang dihadapi pembaca aslinya di “dunia mereka.” Bagi
mereka yang hidup di masa kerajaan yang terpecah maupun di masa pembuangan ke
Babel, satu hal sudah jelas. Sepanjang abad-abad ini, Allah menjatuhkan banyak kutuk
atas umat-Nya karena dosa-dosa keluarga Daud. Mereka menderita perpecahan, kesulitan
ekonomi, sakit penyakit, dan kekalahan dalam perang. Dan akhirnya, umat Allah dan
keturunan Daud dibuang dari Tanah Perjanjian.
Semua kesulitan ini menimbulkan banyak pertanyaan bagi para pemimpin Israel.
Apa yang harus mereka lakukan? Kemana mereka harus mencari pertolongan? Banyak
dari mereka kehilangan harapan akan masa depan yang lebih baik. Orang-orang lain
mengandalkan dirinya sendiri, ilah-ilah lain, aliansi dengan bangsa-bangsa lain, keluarga
kerajaan yang baru — mengandalkan apa saja kecuali keluarga Daud yang gagal. Tetapi
penulis menegaskan bahwa hanya ada satu respons yang berkenan pada Allah.
Pertama, mereka tidak boleh kehilangan harapan mereka akan kerajaan Allah.
Meskipun semua kesulitan yang dialami pembaca asli sangat menyulitkan bagi banyak
orang di Israel, penulis dengan gigih menegaskan bahwa kerajaan Allah tidak akan gagal.
Sejak permulaan zaman Allah telah mengungkapkan bahwa sejarah akan
mencapai takdir akhirnya saat Ia menegakkan pemerintahan-Nya atas segenap bumi
-20-
melalui pelayanan setia umat manusia. Musa mengajarkan keyakinan dasar ini dalam
kisahnya tentang perjanjian Allah dengan Adam. Sebagai gambar Allah, Adam dan Hawa
ditugaskan memenuhi bumi dan menaklukkannya, memperluas keajaiban taman Eden
Allah ke seluruh dunia. Dalam perjanjian-Nya dengan Nuh, Allah meneguhkan kembali
amanat ini. Umat Allah yang setia, yang hidup di dunia yang jatuh dalam dosa, diberi hak
istimewa dan kewajiban untuk menaklukkan bumi dan memenuhinya dengan gambaran
Allah. Dalam perjanjian-Nya dengan Abraham, Allah menyatakan bahwa bangsa Israel
adalah satu-satunya keluarga di atas bumi yang dipilih untuk memimpin seluruh umat
manusia mengubah dunia menjadi kerajaan Allah. Dalam perjanjian-Nya dengan Musa,
Allah membentuk kedua belas suku Israel menjadi satu bangsa dan menempatkan mereka
di Tanah Perjanjian. Inilah tanah air mereka, dari sini mereka akan memperluas kerajaan
Allah hingga ke ujung bumi. Dan dalam perjanjian-Nya dengan Daud, Allah menetapkan
keluarga kerajaan yang akan memimpin bangsa Israel menuju takdir agung ini.
Tetapi ketika penulis menulis kitab Samuel, banyak orang di Israel merasa sulit
mempercayai janji Allah kepada Daud. Umat Israel sedang mengalami kutuk Allah yang
dahsyat, dan semua kesulitan ini menimpa mereka justru karena keluarga Daud. Maka
tidak heran jika di awal kitabnya, sang penulis menceritakan keyakinan Hana tentang
masa depan kerajaan Allah. Dengarkan lagi pujian Hana dalam 1 Samuel 2:10:
Orang yang berbantah dengan TUHAN akan dihancurkan; atas mereka Ia
mengguntur di langit. TUHAN mengadili bumi sampai ke ujung-
ujungnya; Ia memberi kekuatan kepada raja yang diangkat-Nya dan
meninggikan tanduk kekuatan orang yang diurapi-Nya (1 Samuel 2:10).
Hana tidak kehilangan harapan untuk pemerintahan Allah di seluruh dunia. Ia
melihat apa yang Allah lakukan di zamannya dan ia yakin bahwa, “TUHAN mengadili
bumi sampai ke ujung-ujungnya.” Dan ia mempercayai hal ini karena ia tahu bahwa
Allah “memberi kekuatan kepada raja yang diangkat-Nya dan meninggikan tanduk
kekuatan orang yang diurapi-Nya” dengan kemenangan-kemenangan gemilang.
Di seluruh kitabnya, penulis kitab Samuel mengajak pembaca aslinya untuk
mengikuti teladan Hana. Mereka tidak boleh kehilangan pengharapan. Meskipun
mengalami banyak kesulitan, Israel harus memperbarui keyakinan mereka bahwa
kerajaan Allah akan meluas ke seluruh dunia melalui raja yang dipilih Allah, orang yang
diurapi-Nya.
Ada satu persyaratan penting yang diungkapkan kitab Samuel mengenai
pengharapan akan kerajaan Allah ini. Seperti dikatakan dalam rangkuman tadi,
pengharapan Israel haruslah diletakkan pada pemerintahan dinasti Daud yang benar.
Penulis kitab Samuel menegaskan bahwa masa depan kerajaan Allah terletak pada
keluarga Daud dan bukan siapa pun yang lain. Terlebih lagi, Allah telah menetapkan
bahwa masa depan cemerlang ini adalah dalam pemerintahan dinasti Daud yang benar.
Penulis kitab Samuel telah menjelaskan bahwa perjanjian Allah dengan Daud
adalah kulminasi transisi Israel menuju era kerajaan. Dan perjanjian ini meneguhkan
bahwa apa pun yang dilakukan anak-anak Daud, betapa pun jauhnya mereka berpaling
dari Allah, Allah tidak akan menggantikan dinasti Daud dengan dinasti lain. Jika kita
perhatikan berapa banyak masalah yang ditimbulkan para putra Daud bagi pembaca asli,
kita dapat mengerti mengapa penulis harus menekankan keyakinan ini. Bagaimana orang
-21-
Israel, yang paling setia sekalipun, dapat percaya bahwa keluarga kerajaan ini akan
memimpin mereka ke arah yang benar dan bukan kepada penderitaan yang lebih besar di
bawah penghakiman Allah? Penulis bersikeras bahwa Israel tidak boleh berpaling kepada
raja-raja bangsa-bangsa lain dan menyembah allah-allah palsu mereka, bahkan juga tidak
boleh berpaling kepada raja-raja Israel lainnya — baik keturunan Saul maupun raja-raja
yang memerintah atas kerajaan utara. Mereka tidak boleh berpaling pada siapa pun
kecuali raja-raja dari dinasti Daud.
Tentu saja keyakinan pada dinasti Daud ini tidak berarti Allah akan mencurahkan
berkat atas umat-Nya dan memperluas kerajaan-Nya ke ujung bumi melalui setiap raja
dari keluarga Daud. Sama sekali tidak. Penulis menegaskan bahwa Daud sendiri dijatuhi
kutukan Allah ketika ia melanggar hukum Allah. Selain itu, penulis dan pembaca aslinya
tahu bahwa segala kesusahan kerajaan yang terpecah dan pembuangan telah menimpa
mereka karena kegagalan para putra Daud. Karena itu, penulis menegaskan bahwa Israel
harus memiliki seorang anak Daud yang menaati perintah Allah — seorang anak
Daud yang memerintah dalam kebenaran. Simaklah caranya penulis mengutarakan
pengharapan Israel dalam 2 Samuel 23:3-5. Dalam “Perkataan Daud yang terakhir,” kita
membaca:
Allah Israel berfirman, gunung batu Israel berkata kepadaku: Apabila
seorang memerintah manusia dengan adil, memerintah dengan takut akan
Allah, ia bersinar seperti fajar di waktu pagi, pagi yang tidak berawan,
yang sesudah hujan membuat berkilauan rumput muda di tanah. Bukankah
seperti itu keluargaku di hadapan Allah? Sebab Ia menegakkan bagiku
suatu perjanjian kekal, teratur dalam segala-galanya dan terjamin (2
Samuel 23:3-5).
Di sini, Daud mulai dengan mengutarakan kepastian dari hal yang diucapkannya.
Perkataan ini bukanlah pendapatnya, melainkan datang dari “Allah Israel,” “gunung batu
Israel.” Daud kemudian menyatakan bahwa Israel harus merindukan seorang raja yang
akan membawa berkat Allah kepada mereka. Raja seperti itu “bersinar seperti fajar di
waktu pagi” setelah malam gelap yang panjang, seperti “pagi yang tidak berawan” dan
“hujan” yang membuat tanaman bertumbuh. Dimanakah mereka dapat menemukan raja
itu? Daud menjawab: “Bukankah seperti itu keluargaku di hadapan Allah? Sebab Ia
menegakkan bagiku suatu perjanjian kekal.”
Karena perjanjian kekal Allah dengan Daud, tidak mungkin ada berkat Allah bagi
Israel di luar keluarga Daud. Tetapi berkat ini tidak datang melalui setiap orang yang
mewakili keluarga Daud. Hanya ada satu raja dari keluarga Daud yang dapat membawa
Israel keluar dari penderitaan mereka dan masuk ke dalam berkat Allah. Seperti
dikatakan Daud, dialah yang akan “memerintah manusia dengan adil, memerintah dengan
takut akan Allah.” Hanya raja yang benar yang akan membawa Israel kembali ke dalam
keajaiban kemurahan Allah. Jadi, satu-satunya pengharapan yang dimiliki Israel untuk
pencurahan berkat Allah adalah pemerintahan putra Daud yang benar.
Sejauh ini dalam pengantar kitab Samuel kita telah menelusuri beberapa aspek
penting dari latar belakang kitab dan rancangannya. Kini kita akan beranjak ke topik
utama ketiga dari pelajaran ini: penerapan Kristen dari kitab Samuel.
-22-
PENERAPAN KRISTIANI
Telah kita lihat bahwa penulis menulis kitab Samuel pada waktu bangsa Israel
zaman dahulu sedang menderita di bawah hukuman Allah — baik selama era kerajaan
terpecah maupun pembuangan ke Babel. Ia mendesain kitabnya terutama supaya para
pemimpin Israel dapat membimbing umatnya untuk menaruh pengharapan mereka pada
keluarga kerajaan Daud. Mengenali tujuan penulis tentunya dapat membantu kita
memahami banyak aspek dari kitabnya. Tetapi sering kali ketika para pelajar Alkitab
mulai dengan berfokus pada orientasi asli kitab Samuel, mereka merasa sulit untuk
menerapkannya pada iman Kristen mereka. Kita hidup dalam situasi yang berbeda dari
mereka yang pertama menerima kitab itu. Kita terikat dengan Allah oleh perjanjian baru
dalam Kristus. Dan umat Allah sekarang tersebar di semua bangsa di bumi. Jadi apa
relevansi kitab Samuel bagi kita? Sebagai orang percaya zaman Perjanjian Baru, apa
yang harus kita lakukan ketika menerapkan kitab Samuel?
Ada banyak cara untuk menjawab pertanyaan tentang penerapan Kristiani kitab
Samuel. Tetapi waktu hanya mengizinkan kita menyebutkan dua ajaran Alkitab yang
mengaitkan makna asli kitab ini dengan iman Perjanjian Baru kita. Pertama, kita akan
meneliti konsep Alkitab dari perjanjian Allah, dan kedua, kita akan menelusuri konsep
kerajaan Allah. Mari kita mulai dengan perjanjian Allah.
PERJANJIAN ALLAH
Di awal pelajaran ini telah kami katakan bahwa penulis kitab Samuel tahu akan
lima perjanjian utama telah Allah tetapkan dalam sejarah Alkitab. Ini adalah perjanjian
Allah dengan segenap umat manusia di dalam Adam dan Nuh dan perjanjian khusus-Nya
dengan Israel di dalam Abraham, Musa dan Daud. Ia juga tahu bahwa para nabi Israel
memprediksi adanya satu perjanjian lain — perjanjian pembaruan yang akan Allah
adakan dengan umat-Nya setelah pembuangan Israel berakhir. Perjanjian ini sering kita
deskripsikan sebagai “perjanjian baru.” Perjanjian masa depan ini disebut secara eksplisit
selama era kerajaan terpecah dalam Hosea 2:17, juga dalam perikop seperti Yesaya 54:10
dan Yehezkiel 34:25; 37:26.
Pendahuluan Menuju Kerajaan (1 Samuel 1–7)
Bagian pertama kitab Samuel — pendahuluan menjelang era kerajaan — tidak
memakai kata “perjanjian.” Tetapi penulis menampilkan setiap peristiwa dalam bagian
ini berkenaan dengan perjanjian yang Allah adakan dengan Musa di Gunung Sinai.
Singkatnya, perjanjian Musa berfokus pada dinamika kebaikan Allah kepada Israel
sebagai bangsa yang hidup di Tanah Perjanjian. Perjanjian ini menjelaskan tuntutan
-23-
kesetiaan umat Israel menurut hukum Musa, dan menekankan konsekuensi kutuk dan
berkat yang akan mereka terima sebagai respons atas ketidaktaatan dan ketaatan mereka.
Akan kita lihat nanti bahwa dalam pendahuluan menjelang kerajaan, penulis
berfokus secara khusus pada kebaikan Allah dengan membangkitkan Samuel sebagai
pemimpin baru Israel. Ia juga meneguhkan standar hukum Musa untuk kesetiaan
manusia, terutama tata cara Musa untuk ibadah. Dan ia menjelaskan konsekuensi kutuk
dan berkat atas ketidaktaatan dan ketaatan kepada standar ini. Ia menjelaskan bagaimana
kutuk Allah menimpa keluarga Eli karena ketidaktaatan mereka dan bagaimana
ketidaktaatan mereka membawa kutuk atas bangsa Israel. Ia juga menjelaskan bagaimana
berkat Allah turun atas Hana dan Samuel karena ketaatan mereka pada tata cara ibadah
Musa dan tindakan mereka tersebut membawa berkat bagi Israel.
Kegagalan Saul Sebagai Raja (1 Samuel 8–2 Samuel 1)
Penulis juga merujuk pada perjanjian Allah dengan Musa di bagian kedua
kitabnya — kegagalan Saul sebagai raja. Dalam pelajaran berikutnya akan kita
diskusikan lebih lanjut bahwa di bagian kitab ini, Allah menunjukkan kemurahan kepada
Israel dengan mengabulkan permintaan mereka untuk seorang raja. Penulis memperluas
fokusnya pada tuntutan kesetiaan manusia, tidak hanya mencakup peraturan Musa untuk
ibadah, tetapi juga peraturannya tentang penyalahgunaan otoritas raja di Israel. Penulis
memaparkan kutuk Allah atas Saul karena ketidaktaatannya yang terang-terangan, dan
mencatat bagaimana tindakan Saul membawa kutuk atas Israel. Ia juga menyoroti berkat
Allah kepada Daud karena ketaatannya yang rendah hati dan mendeskripsikan bagaimana
tindakan Daud membawa berkat bagi seluruh bangsa Israel.
Pemerintahan Daud yang Langgeng (2 Samuel 2–24)
Di bagian ketiga kitab Samuel — pemerintahan Daud yang langgeng — penulis
menyorot perjanjian Allah dengan Daud. Dalam perjanjian ini, Allah menata kembali
dinamika perjanjian-Nya dengan Musa untuk menunjukkan pemusatan baru pada Daud
dan dinastinya. Akan kita lihat lebih jelas dalam pelajaran berikut bahwa penulis
menyorot kenyataan bahwa Allah mencurahkan kemurahan besar pada Israel dengan
menetapkan keluarga Daud sebagai dinasti permanen Israel. Tentu saja, standar hukum
Taurat Musa tetap berlaku, terutama peraturannya untuk ibadah dan kerajaan. Maka
penulis tetap berfokus pada tuntutan kesetiaan manusia dalam tata cara Musa untuk
ibadah dan pembatasannya untuk mencegah penyalahgunaan otoritas raja. Namun
penetapan Allah atas keluarga Daud sebagai keluarga kerajaan permanen sangat besar
pengaruhnya atas cara Allah menerapkan konsekuensi-konseuensi perjanjian-Nya. Sejak
saat itu, Daud dan keturunannya mewakili kedua belas suku Israel di hadapan Allah.
Akibatnya, kutuk dan berkat yang diterima Israel sangat tergantung pada ketidaktaatan
dan ketaatan keturunan Daud.
Perhatian penulis pada dinamika perjanjian Allah dengan Musa dan Daud
menunjukkan keterkaitan penting antara kitab Samuel dan iman Kristen. Kami telah
menjelaskan keterkaitan ini secara lebih rinci dalam seri-seri lain, tetapi akan berguna
-24-
bagi kita untuk merangkumnya di sini. Menurut ajaran Perjanjian Baru, perjanjian baru
menata ulang dinamika perjanjian-perjanjian Allah sebelumnya dengan cara berfokus
pada peran khusus Yesus dalam sejarah Alkitab. Sebagai pewaris terakhir yang benar dari
takhta Daud, Yesus adalah peragaan kemurahan Allah yang terbesar bagi umat-Nya di
waktu kesusahan yang berat. Yesus memenuhi setiap standar dari kesetiaan manusia
sepanjang penderitaan dalam hidup-Nya dan dalam kematian-Nya di atas salib. Dan oleh
karena ketaatan-Nya yang sempurna, Yesus menerima berkat Bapa yang tak
berkesudahan dalam kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga.
Allah memberikan janji yang sangat besar dan indah kepada Daud
dalam 2 Samuel 7, janji yang memiliki signifikansi dahsyat karena
membentuk seluruh sejarah penebusan sesudahnya… Janji ini
mengantisipasi Yesus Kristus yang diturunkan oleh Daud dan yang
membangun Bait Allah yang lebih besar, bukan bangunan yang
terbuat dari batu, tetapi Bait umat Allah, yaitu gereja… Dan Yesus
Kristus ini, keturunan Daud, bangkit dari antara orang mati dan
memerintah atas kerajaan Daud untuk selamanya. Jadi, janji dalam
2 Samuel 7 ini amat luas jangkauannya dan membentuk Perjanjian
Lama selanjutnya, dan juga perspektif Perjanjian Baru, yang
menyatakan lebih dari satu kali, dalam ayat-ayat penting, bahwa
Yesus Kristus adalah keturunan Daud.
— Rev. Dr. Emad A. Mikhail
Seperti halnya kitab Samuel mengakui peran penting para pemimpin Israel,
Samuel, Saul dan Daud, dalam perjanjian, demikianlah kita harus mengakui Kristus
sebagai perantara sempurna dari perjanjian baru. Kitab Samuel memberi banyak contoh
dari para pemimpin Israel yang tidak taat maupun yang taat pada tuntutan Allah untuk
kesetiaan manusia. Tetapi sebagai anak Daud yang agung, Yesus merupakan kontras
yang menyolok dari setiap contoh ketidaktaatan dalam kitab Samuel. Lebih jauh,
kesempurnaan Yesus yang tidak ada tandingannya jauh melampaui setiap contoh
ketaatan. Oleh karena itu Perjanjian Baru mengajak kita untuk menaruh segenap
pengharapan kita pada Yesus. Yesus pasti akan melepaskan setiap orang percaya yang
sejati dari kutuk kekal yang akan ditumpahkan Allah pada penghakiman akhir. Dan
Yesus akan mengaruniakan kepada setiap orang percaya yang sejati berkat kekal yang
akan Allah limpahkan pada penghakiman akhir.
Kitab Samuel juga menunjuk pada dinamika perjanjian Allah dalam kehidupan
sehari-hari setiap orang Israel zaman dahulu. Demikian pula Perjanjian Baru menjelaskan
bagaimana penerapan perjanjian baru ini dalam kehidupan sehari-hari pengikut Kristus.
Sebelum kedatangan Kristus kembali dalam kemuliaan, setiap ungkapan kemurahan
Allah kepada umat-Nya dalam kitab Samuel mengingatkan kita akan cara-cara Allah
menunjukkan kemurahan kepada gereja-Nya. Setiap tuntutan kesetiaan manusia dalam
kitab Samuel mengingatkan kita tentang cara Perjanjian Baru menuntut kita untuk
menunjukkan kesetiaan diiringi rasa syukur kepada Allah untuk semua yang Ia lakukan
bagi kita di dalam Kristus. Setiap kali kitab Samuel mencatat kutuk dan berkat sementara
yang menimpa Israel, kita dapat merenungkan bagaimana Kristus dalam hikmat-Nya
-25-
yang tak tertandingi, mencurahkan kutuk sementara untuk mendisiplin gereja-Nya dan
melimpahkan berkat sementara sebagai pahala bagi gereja-Nya. Jadi ketika kita
mempelajari kitab Samuel dengan mengingat ajaran Perjanjian Baru, kita mendapat
banyak peluang untuk menerapkannya pada kehidupan kita sehari-hari.
Penerapan Kristiani kitab Samuel dapat dilakukan karena penekanannya pada
perjanjian ilahi. Namun kita juga harus melihat bagaimana tema Alkitab tentang kerajaan
Allah menolong kita menerapkan kitab ini pada kehidupan kita di masa kini.
KERAJAAN ALLAH
Penulis kitab Samuel menyusun tiap aspek kitabnya dengan mengingat satu
sasaran pokok yang menyeluruh. Ia mengajak Israel agar mengharapkan perluasan
kerajaan Allah melalui pemerintahan yang benar dari keluarga Daud. Sayangnya, banyak
orang Kristen modern telah kehilangan pandangan tentang pentingnya perluasan kerajaan
Allah dalam iman Kristen. Karena itu kita mengalami kesulitan menerapkan tema utama
kitab Samuel ini pada kehidupan kita sendiri. Sebenarnya, Kristus dan para rasul dan
nabi-Nya di abad pertama telah menjelaskan satu hal: iman Perjanjian Baru tidak pernah
mengurangi pengharapan akan kerajaan Allah. Sebaliknya, dalam Perjanjian Baru tampak
jelas bahwa pengharapan yang ditekankan penulis kitab Samuel bagi pembaca aslinya
digenapi dalam kerajaan Kristus.
Untuk melihat kebenaran hal ini, kita harus ingat apa yang terjadi di Israel di
antara waktu penulisan Samuel dan abad Perjanjian Baru. Kitab-kitab Tawarikh, Ezra,
Hagai dan Zakharia, mengisahkan bahwa sekitar 538 S.M. perwakilan dari semua suku
Israel kembali dari Babel ke Yerusalem. Mereka membawa pengharapan besar bahwa
keturunan Daud, Zerubabel, akan memimpin mereka membangun kembali dan
memperluas kerajaan Allah. Tetapi dari kitab-kitab ini terlihat bahwa Zerubabel gagal
memerintah dalam kebenaran. Setelah beberapa prestasi awal di bawah kepemimpinan
Zerubabel, kita tidak mendengar apa-apa lagi tentang dirinya. Umat Israel tetap
meninggalkan Allah dan akibatnya Allah mencurahkan makin banyak kutuk atas mereka.
Sebagian besar umat Allah tetap berdiam di luar Tanah Perjanjian, dan bagian kecil yang
kembali ke Tanah Perjanjian menderita di bawah penindasan bangsa-bangsa non-Yahudi
dan ilah-ilah palsu mereka. Selama lebih dari lima abad, bangsa Babel, Media dan Persia,
Yunani, dan Roma, memerintah atas umat Allah. Tidak muncul anak Daud yang benar,
dan kerajaan Allah nyaris musnah dari muka bumi.
Namun, sepanjang abad-abad ini masih selalu ada orang-orang Israel yang tetap
percaya. Mereka tahu Allah telah berjanji melalui nabi-nabi-Nya bahwa di hari-hari
akhir, pada tahap akhir sejarah, Ia akan mengutus anak Daud yang benar kepada mereka.
Anak yang benar ini akan mengadakan pendamaian terakhir bagi dosa, dan Allah akan
membangkitkan Dia untuk duduk di atas takhta Daud, leluhurnya. Dari takhta Daud Ia
akan memperluas kerajaan Allah ke seluruh dunia dan membawa penghakiman dan
berkat-berkat kekal.
Janji ini adalah inti Injil Kristen — kabar baik kerajaan Allah di dalam Kristus.
Setelah penantian selama 500 tahun lebih, Yesus, anak Daud yang benar sepenuhnya,
dilahirkan. Dialah raja Israel yang benar, yang memperluas kerajaan Allah hingga ke
ujung-ujung bumi.
-26-
Ajaran inti mengenai kerajaan Allah dalam Kristus sangat menyolok dalam
pemikiran para penulis Perjanjian Baru. Jelas bahwa para penulis ini memandang Yesus
sebagai penggenapan dari setiap pengharapan dalam kitab Samuel pada keluarga Daud.
Contohnya, Lukas, yang menulis kitab Injil Lukas dan Kisah Para Rasul, beberapa kali
merujuk secara eksplisit pada penggenapan Kristus atas peristiwa-peristiwa dari kitab
Samuel. Dua kali ia menimba dari bagian pertama Samuel, pendahuluan sebelum era
kerajaan. Dalam Lukas 1:46-55, kita membaca nyanyian pujian Maria kepada Allah
sementara ia menantikan kelahiran Yesus. Simaklah perkataan Maria dalam ayat 51-53:
[Allah] memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan
mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya; Ia menurunkan
orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang
yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar,
dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa (Lukas 1:51-
53).
Banyak penafsir mengatakan bahwa bagian ini dan bagian lain dari nyanyian
Maria mirip dengan nyanyian pujian Hana atas kelahiran Samuel dalam 1 Samuel 2:1-10.
Hana bersukaria karena Allah mengawali hari baru dengan mencurahkan kutuk atas
musuh-musuh-Nya dan berkat bagi umat-Nya yang setia. Dan Maria bersukaria karena
kenyataan bahwa Allah melakukan hal yang sama melalui kelahiran putranya, Yesus.
Dengan cara yang serupa, Injil Lukas merujuk pada pendahuluan kitab Samuel sebelum
era kerajaan ketika mengisahkan masa muda Yesus. Dalam Lukas 2:52, Lukas menulis:
Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya,
dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia (Lukas 2:52).
Sekarang simaklah kata-kata dalam 1 Samuel 2:26:
Samuel yang muda itu, semakin besar dan semakin disukai, baik di
hadapan TUHAN maupun di hadapan manusia. (1 Samuel 2:26).
Ayat ini mendeskripsikan Samuel ketika Allah mengangkat dia menjadi
pemimpin di Israel dan menjatuhkan kutuk atas Eli dan anak-anaknya. Dan Lukas
mendeskripsikan Yesus dalam cara yang serupa ketika Allah mengangkat Dia menjadi
pemimpin Israel, kontras dengan para pemimpin Israel yang sesat di zaman Yesus.
Lukas juga menimba dari bagian kedua kitab Samuel — kegagalan Saul sebagai
raja — untuk menyorot Yesus sebagai anak Daud yang benar. Dalam Lukas 6:1-5, Lukas
mencatat bagaimana orang-orang Farisi menguntit Yesus dan menuduh Dia dan murid-
murid-Nya melanggar hari Sabat. Dalam ayat 3, Yesus mempertahankan tindakan-Nya
dengan membandingkan diri dengan Daud ketika Daud dan para pengikutnya memakan
roti kudus sajian di hadapan Tuhan ketika mereka sedang dikejar-kejar Saul. Cerita ini
kita baca dalam 1 Samuel 21:1-6. Kita tahu bahwa Allah menjatuhkan kutuk pada Saul
karena hendak membunuh Daud, tetapi Allah memberkati Daud karena ia tidak bersalah.
Dengan mencatat rujukan Yesus pada kitab Samuel, Lukas menunjukkan bahwa Yesus
adalah anak Daud yang benar.
-27-
Terakhir, Lukas juga menimba dari bagian terakhir kitab Samuel — pemerintahan
Daud yang langgeng — dalam Kisah Para Rasul 2:14-41, di mana ia mengisahkan
khotbah Petrus pada hari Pentakosta. Dalam ayat 30 dan 31, Petrus menjelaskan mengapa
Allah membangkitkan Yesus dari antara orang mati:
Allah telah berjanji kepada [Daud] dengan mengangkat sumpah, bahwa Ia
akan mendudukkan seorang dari keturunan Daud sendiri di atas takhtanya.
Karena itu [Daud] telah melihat ke depan dan telah berbicara tentang
kebangkitan Mesias (Kisah Para Rasul 2:30-31).
Kata-kata Petrus di sini merujuk kepada perjanjian Allah dengan Daud dalam 2
Samuel 7:12-13 ketika Allah berjanji:
Aku akan membangkitkan keturunanmu yang kemudian, anak kandungmu
… dan Aku akan mengokohkan takhta kerajaannya untuk selama-lamanya
(2 Samuel 7:12-13).
Lukas menunjukkan bahwa kenaikan Yesus ke takhta surgawi adalah bukti bahwa
Yesus adalah anak Daud yang benar, yang ditetapkan untuk memperluas kerajaan Allah
ke seluruh dunia. Sama seperti para penulis Perjanjian Baru lainnya, setiap rujukan yang
dibuat Lukas pada kitab Samuel menekankan satu tema: Yesus adalah anak Daud yang
benar, yang menggenapi pengharapan Israel bahwa kerajaan Allah kelak akan menyebar
ke ujung-ujung bumi.
Mesias masa depan ini adalah keturunan Daud karena Daud berasal
dari suku Yehuda, suku yang disebut secara khusus dalam berkat
Yakub sebelum ia wafat. Yakub mengatakan “tongkat kerajaan” —
lambang raja — “tidak akan beranjak dari Yehuda.” Dan nubuat ini
akan digenapi. Dari suku Yehuda, hanya Yesus Kristuslah raja yang
berkenan di hati Allah. Ketika Yesus dilahirkan, Ia menggenapi janji,
kesetiaan, anugerah, keselamatan dari Allah, semua sekaligus.
Melalui Kristus, Allah melaksanakan kehendak-Nya untuk
menyelamatkan umat manusia melalui kasih karunia, yang telah
dijanjikan-Nya dalam Perjanjian Lama, yang tidak dapat diraih
manusia melalui hukum Taurat.
— Rev. Dr. Stephen Tong
Namun, seperti kita lihat dalam seri-seri lain, Lukas dan semua penulis Perjanjian
Baru lainnya menjelaskan bahwa Yesus tidak menggenapi pengharapan ini secara tiba-
tiba atau semuanya sekaligus. Sebaliknya, berulang kali para penulis Perjanjian Baru
menjelaskan bahwa Yesus membawa kerajaan Allah ke bumi dalam tiga tahap.
Ia mulai menggenapi pengharapan dalam kitab Samuel saat inagurasi kerajaan-
Nya dalam kedatangan-Nya yang pertama. Ia terus memperluas pemerintahan-Nya dalam
kebenaran selama kelanjutan kerajaan-Nya di sepanjang sejarah gereja. Dan Ia akan
membawa kerajaan Allah sepenuhnya saat Ia datang kembali dalam kemuliaan pada
-28-
penyempurnaan kerajaan-Nya. Tiga pandangan dari pemerintahan Kristus sebagai anak
Daud begitu penting bagi iman Kristen sehingga kita harus selalu menerapkan kitab
Samuel dalam pengertian dari tiga tahap kerajaan Kristus ini.
Inaugurasi
Pertama, sebagai pengikut Kristus, kita menerapkan kitab Samuel dalam
kehidupan kita dengan memandang kembali pada inagurasi kerajaan Kristus. Selama
pelayanan-Nya di bumi, Yesus telah memenuhi setiap tuntutan kesetiaan manusia dan
menjamin keselamatan kekal bagi semua orang yang percaya kepada-Nya. Sebagai hasil
ketaatan Yesus, Roh Allah membangkitkan Dia dari antara orang mati, dan Ia naik ke
takhta-Nya di surga.
Dalam inaugurasi kerajaan-Nya, Yesus mulai menghancurkan kuasa Iblis dan
membuka jalan bagi manusia di seluruh dunia untuk dilepaskan dari cengkeraman Iblis.
Dan dari takhta-Nya di surga, Yesus mencurahkan Roh-Nya ke atas gereja-Nya sebagai
pendahuluan dari berkat-berkat di dunia yang akan datang. Jadi, ketika kita membaca
imbauan kitab Samuel kepada Israel untuk memperbarui pengharapan mereka akan
kerajaan Allah, kita harus meletakkan pengharapan kita dalam karya yang telah Kristus
kerjakan sebagai anak Daud yang agung dalam inagurasi kerajaan-Nya.
Kelanjutan
Kedua, kita juga harus siap menerapkan kitab Samuel pada kelanjutan kerajaan
Kristus di sepanjang sejarah gereja. Selama lebih dari 2000 tahun, Yesus telah
memperluas pemerintahan-Nya hari lepas hari dari takhta-Nya di surga. Dan setiap saat
Ia menggenapi semakin banyak dari pengharapan-pengharapan yang diletakkan penulis
Samuel pada pemerintahan keluarga Daud yang benar. Melalui pemberitaan Injil, Kristus
melanjutkan penaklukan musuh-musuh Allah. Ia telah membebaskan tak terhitung
banyaknya pria, wanita dan anak-anak di seluruh dunia dari cengkeraman kerajaan
kegelapan. Dan kita boleh yakin bahwa Ia akan terus melakukan hal itu sepanjang sejarah
gereja.
Penulis Samuel mengimbau pembaca aslinya agar berharap pada pemerintahan
keturunan Daud yang benar ketika mereka menghadapi kesulitan-kesulitan besar. Begitu
pula kita harus mengarahkan hati kita kepada keberhasilan Kristus sebagai raja selama
kelanjutan kerajaan-Nya.
Penyempurnaan
Dan terakhir, Perjanjian Baru juga mengajar kita untuk menerapkan kitab Samuel
dengan mengarahkan hati kita kepada Penyempurnaan kerajaan Kristus saat kedatangan-
Nya dalam kemuliaan. Kita tidak hanya memandang ke masa lalu dan masa kini, tetapi
juga ke masa depan untuk penggenapan pemerintahan Kristus yang benar. Saat Kristus
-29-
datang kembali dalam kemuliaan, semua musuh Allah akan jatuh di bawah kutuk kekal-
Nya, dan umat tebusan-Nya akan hidup dalam kelimpahan berkat Allah dalam ciptaan
baru.
Setiap bagian kitab Samuel dirancang untuk memanggil Israel agar memulihkan
pengharapan mereka bagi pembaruan bumi melalui pemerintahan yang benar dari
keturunan Daud. Karena itulah, setiap bagian kitab ini memanggil kita untuk
memperbarui pengharapan kita dalam pemerintahan yang benar yang akan Kristus
tegakkan di seluruh ciptaan saat Ia datang kembali dalam kemuliaan.
Dalam pengantar kitab Samuel ini, kita telah meneliti latar belakangnya dan
mempelajari tentang penulisnya, waktunya, dan situasi penulisan. Kita telah melihat
bagaimana kitab Samuel dirancang untuk mengajak umat Israel memperbarui
pengharapan mereka akan pemerintahan yang benar dari keturunan Daud. Dan terakhir,
kita melihat bagaimana penerapan Kristiani dari penekanan kitab ini atas perjanjian-
perjanjian ilahi dan kerajaan Allah, seharusnya memperkuat iman kita kepada Kristus
sebagai perantara yang sempurna dari perjanjian baru yang akan membawa kerajaan
Allah ke bumi seperti di surga.
Allah awalnya memberikan kitab Samuel kepada umat-Nya zaman dahulu ketika
banyak orang di Israel telah kehilangan harapan. Kesulitan-kesulitan dalam hidup kita
juga sering kali menyebabkan kita kehilangan harapan. Namun penulis kitab Samuel
menguatkan hati bangsa Israel agar menanggalkan setiap beban yang menghalangi
mereka dan kembali meyakini bahwa kerajaan Allah akan mencapai sasaran terakhirnya.
Sementara kita belajar bagaimana penulis kitab Samuel menuntun Israel ke arah ini, kita
akan mendapati banyak peluang untuk menanggalkan setiap beban rintangan dalam hidup
kita sendiri. Yesus, anak Daud yang benar, telah datang, dan Allah telah mendudukkan
Dia di atas takhta-Nya. Setiap hari Yesus memperluas pemerintahan Allah semakin lebar.
Dan kitab ini meyakinkan kita, melalui karya Allah dalam kehidupan Samuel, Saul dan
Daud, bahwa kerajaan Allah tidak akan gagal. Kristus akan datang kembali dalam
kemuliaan untuk menghakimi seluruh bumi. Dan semua orang yang percaya kepada-Nya
akan memerintah bersama-Nya dalam keajaiban kerajaan Allah yang akan datang.
%20(2).jpeg)
