Naaman

Naaman


 


NAAMAN 

 

Ada beberpa penelitian terdahulu yang membahas kisah Naaman 

dalam Kitab 2 Raja-Raja pasal 5 ini, seperti penelitian oleh Melphin Sitohang 

dan kawan-kawan “Pembelajaran 2 Raja-raja 5: Implikasi Kesembuhan 

Naaman dalam Konseling Krisis Kesembuhan Pada Masa Pandemi Covid-

19”. 21 Artikel ini membahas kisah kesembuhan Naaman dalam 2 Raja-raja 5 

dan relevansinya sebagai motivasi dalam konseling krisis selama pandemi 

Covid-19. Kisah ini menunjukkan bagaimana Naaman, yang menderita 

penyakit kusta dan putus asa, akhirnya disembuhkan setelah mengikuti 

petunjuk Nabi Elisa. Raja Israel yang mengalami krisis juga menemukan 

solusi ketika mendekat kepada Tuhan. Dalam konteks pandemi, banyak orang 

mengalami tekanan, stres, bahkan keputusasaan akibat penyakit dan 

perubahan sosial. Kisah Naaman mengajarkan bahwa di tengah situasi sulit, 

ada harapan dan pertolongan dari Tuhan bagi mereka yang beriman. Metode 

konseling krisis yang berbasis pada ajaran Alkitab dapat membantu individu 

menghadapi ketakutan dan memperoleh ketenangan batin.  

 

 

 

Penelitian lainnya yang membahas tentang wanita  dalam Kitab 

Perjanjian Lama memakai  hermeneutika feminis seperti penelitian oleh 

Ayub Rusmanto dan Mozes Huwae, “Hermeneutik Feminis Terhadap Narasi 

Kitab Rut 1:16;Karakter, Perkataan,Tindakan Dan Kesetiaan”.22 Artikel ini 

mengulas pendekatan hermeneutik feminis terhadap kisah dalam Kitab Rut 

1:16, dengan penekanan pada karakter, ucapan, perilaku, serta loyalitas Rut. 

Sebagai seorang wanita  Moab, Rut menunjukkan komitmen yang luar 

biasa dalam mengikuti Naomi, ibu mertuanya, serta keteguhan dalam 

menghadapi berbagai tantangan hidup. Studi ini menyoroti bagaimana Rut 

tetap berpegang teguh pada integritasnya meskipun berada dalam sistem 

patriarki yang cenderung menomorduakan wanita .  

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Rut memiliki karakter yang 

kuat, mengungkapkan perkataan yang mencerminkan komitmen, bertindak 

dengan keberanian, serta menunjukkan kesetiaan baik kepada Naomi 

maupun kepada Allah Israel. Kisah Rut juga memberikan kontribusi dalam 

memahami peran wanita  dalam keluarga, kepemimpinan gerejawi, dan 

masyarakat. Studi ini menepis pandangan teologi feminis yang mengabaikan 

peran wanita  dalam Alkitab dan menegaskan bahwa wanita  

memiliki kedudukan penting dalam rencana Tuhan. Dengan demikian, kisah 

 

 

 

Rut menjadi inspirasi bagi wanita  untuk berkarakter, setia, dan 

berkontribusi dalam berbagai aspek kehidupan.  

Selanjutnya penelitian dengan judul “wanita  dan Kepemimpinan 

Gereja: Suatu Dialog Perspektif Hermeneutika Feminis” oleh Bobby Kurnia 

Putrawan. 23 Artikel ini membahas peran wanita  dalam kepemimpinan 

gereja melalui perspektif hermeneutika feminis, yang menantang dominasi 

laki-laki dalam gereja. Gerakan feminisme, khususnya dalam teologi, terbagi 

menjadi dua aliran utama: feminisme reformis yang berupaya mereformasi 

doktrin gereja agar lebih inklusif terhadap wanita , dan feminisme 

revolusioner yang menolak sistem keagamaan patriarki secara keseluruhan.   

Dalam perdebatan ini, konsep "kepala" dan "penyerahan" dalam teks 

Alkitab menjadi pusat diskusi, di mana sebagian pihak menafsirkan bahwa 

wanita  dapat menjadi pemimpin gereja, sementara yang lain 

mempertahankan pandangan tradisional bahwa kepemimpinan gereja 

seharusnya tetap berada di tangan laki-laki. Meskipun masih ada perlawanan 

dari kelompok konservatif, semakin banyak gereja yang mengakui peran 

wanita  dalam kepemimpinan. Kajian ini menunjukkan bahwa 

pengakuan ini  bukan hanya tuntutan sosial, tetapi juga bagian dari 

pemahaman teologis yang berkembang seiring dengan perubahan zaman. 

Dialog antara feminisme dan teologi Kristen memperkaya pemahaman 

 

 

tentang kesetaraan gender dalam gereja, sehingga gereja dapat lebih terbuka 

dalam merespons dinamika sosial dan spiritual umatnya.    

Penelitian ini berangkat dari berbagai kajian sebelumnya mengenai 

peran wanita  dalam narasi Alkitab dan kepemimpinan gereja, khususnya 

dalam konteks hermeneutika feminis. Kebaruan dari penelitian ini terletak 

pada penerapan hermeneutika feminis dalam menafsirkan 2 Raja-Raja 5:1-5 

untuk mengungkap bagaimana peran wanita  dalam teks ini dapat 

menjadi refleksi terhadap kondisi wanita  di gereja saat ini, khususnya 

dalam konteks GTM Jemaat Moria. Berbeda dari kajian sebelumnya yang 

lebih menyoroti pemimpin wanita  dalam Alkitab yang sudah diakui 

perannya, penelitian ini berfokus pada tokoh wanita  yang terpinggirkan, 

seperti gadis kecil dalam kisah Naaman, sebagai simbol bagaimana 

wanita  sering kali berkontribusi secara signifikan tetapi tidak 

mendapatkan pengakuan. Dengan pendekatan ini, penelitian ini tidak hanya 

menawarkan perspektif baru dalam kajian hermeneutika feminis, tetapi juga 

memberikan implikasi nyata bagi gereja dalam mereformasi praktik 

kepemimpinan agar lebih inklusif dan adil terhadap keadilan gender. 

B. Latar Belakang Feminis        

Latar belakang feminisme lahir dari ketidakadilan historis yang telah 

lama dialami wanita  di berbagai belahan dunia. Dalam sejarahnya, 

wanita  sering kali dipinggirkan dalam kehidupan sosial, ekonomi, 


 

politik, dan budaya. Mereka tidak memiliki akses yang sama terhadap 

pendidikan, pekerjaan, dan hak-hak hukum seperti laki-laki.24  

Gerakan feminisme pertama kali muncul secara terorganisir pada 

akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Pada masa itu, fokus utama 

feminisme yaitu  memperjuangkan hak-hak dasar wanita  seperti hak 

suara dalam pemilu. Gerakan ini dikenal sebagai gelombang pertama 

feminisme, yang dipelopori oleh kelompok-kelompok suffragette di Eropa 

dan Amerika Serikat. wanita  pada masa itu mulai menyadari bahwa 

mereka memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan 

politik yang memengaruhi kehidupan mereka.25   

Memasuki pertengahan abad ke-20, feminisme berkembang menjadi 

gelombang kedua dengan fokus yang lebih luas pada isu-isu sosial dan 

budaya. wanita  mulai memperjuangkan hak atas tubuh mereka sendiri, 

termasuk hak reproduksi dan perlindungan dari kekerasan seksual. Pada 

masa ini, feminisme juga mengkritik stereotip gender yang membatasi peran 

wanita  hanya di ranah domestik. Buku The Feminine Mystique karya Betty 

Friedan menjadi salah satu simbol penting dari perjuangan feminis pada era 

ini. 

 

 

Gelombang ketiga feminisme muncul pada akhir abad ke-20 hingga 

masa kini. Pada tahap ini, feminisme mulai menyoroti keragaman 

pengalaman wanita  di berbagai latar belakang budaya, ras, kelas sosial, 

dan orientasi seksual. wanita  tidak lagi dilihat sebagai kelompok 

homogen; sebaliknya, feminisme menjadi lebih inklusif terhadap berbagai 

identitas dan pengalaman wanita  di seluruh dunia. Feminisme 

gelombang ketiga juga mengkritik struktur patriarki global yang terus 

memengaruhi kehidupan wanita  di era modern.26 

Di Indonesia, feminisme memiliki akar sejarah yang kuat sejak masa 

kolonial. Raden Ajeng Kartini yaitu  salah satu tokoh awal yang 

memperjuangkan hak-hak wanita  melalui pendidikan. Gerakan feminis 

di Indonesia mulai berkembang lebih lanjut pada awal abad ke-20 dengan 

pembentukan organisasi-organisasi wanita  seperti Indische 

Vrouwenbond (IVB) pada tahun 1912. Gerakan ini terus berlanjut hingga 

masa kemerdekaan dan era modern dengan fokus pada isu-isu lokal seperti 

kekerasan berbasis gender, perdagangan manusia, dan diskriminasi dalam 

hukum adat.27 

Namun demikian, feminisme di Indonesia menghadapi tantangan 

besar karena adanya norma-norma sosial dan tradisi budaya yang sering kali 

 

 

menghambat kemajuan wanita . Diskriminasi berbasis gender masih 

terjadi dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, baik di ranah publik 

maupun domestik. Gerakan feminis terus berupaya meningkatkan kesadaran 

masyarakat tentang pentingnya kesetaraan gender serta menggugat struktur 

patriarki yang telah mengakar selama berabad-abad.28 

C. Peran wanita   

Secara umum, peran merujuk pada fungsi, tanggung jawab, atau posisi 

yang dijalankan seseorang dalam suatu konteks sosial atau organisasi. Peran 

bisa terbentuk berdasarkan norma budaya, nilai-nilai sosial, atau struktur 

formal dari suatu kelompok.29 Dalam masyarakat, setiap individu biasanya 

memiliki berbagai peran yang dijalankan secara bersamaan—misalnya, 

sebagai anak, orang tua, pekerja, atau warga negara—yang masing-masing 

memiliki harapan dan tanggung jawab tersendiri.30 Peran tidak hanya 

dibentuk oleh lingkungan, tetapi juga dapat berkembang sesuai dengan 

kapasitas, identitas, dan kesadaran diri seseorang terhadap kontribusinya 

dalam kehidupan sosial.  

Peran wanita  secara umum sangat luas dan beragam, 

mencerminkan dinamika sosial, budaya, ekonomi, dan politik di berbagai 

masyarakat.31 wanita  memiliki peran penting dalam keluarga sebagai 

pengasuh, pendidik pertama anak, dan penopang emosional. Di ranah sosial, 

mereka berkontribusi dalam membentuk komunitas, memelihara nilai-nilai 

budaya, serta menjadi agen perubahan. Dalam bidang ekonomi, wanita  

turut andil sebagai pekerja, wirausahawan, hingga pemimpin bisnis. 

Sementara itu, di dunia politik dan pemerintahan, wanita  menunjukkan 

kemampuan kepemimpinan, partisipasi dalam pengambilan keputusan, serta 

perjuangan dalam memperjuangkan hak-hak dan keadilan gender. Peran ini 

terus berkembang seiring meningkatnya kesadaran akan kesetaraan dan 

pemberdayaan, menjadikan wanita  sebagai pilar penting dalam 

kemajuan masyarakat. 

D. Hermeneutika Feminisme  

Feminisme secara umum merujuk pada kesadaran akan adanya 

ketidakadilan yang terstruktur yang dialami wanita  di berbagai belahan 

dunia. Menurut Anne Clifford, feminisme yaitu  fenomena global yang hadir 

dalam berbagai bentuk dan memiliki makna yang berbeda bagi setiap 

individu. Feminisme dapat dipahami sebagai perspektif sosial yang berakar 

 

 

dari pengalaman wanita  dalam menghadapi diskriminasi dan 

penindasan berbasis gender, yang kemudian berkembang menjadi sebuah 

gerakan untuk memperjuangkan kebebasan wanita  dari segala bentuk 

seksisme.32        

Hermeneutika feminisme yaitu  pendekatan interpretatif yang 

berfokus pada bagaimana teks, terutama teks-teks agama dan filsafat, telah 

dipengaruhi oleh struktur patriarki dan bagaimana teks-teks ini  dapat 

ditafsirkan ulang untuk membebaskan wanita  dari penindasan. 

Pendekatan ini menekankan kesetaraan gender dalam penafsiran teks dan 

berupaya untuk mengungkap bias patriarkal yang sering tersembunyi dalam 

tradisi tafsir.33          

Dalam konteks teologi, hermeneutika feminisme bertujuan untuk 

mengkritisi cara Alkitab atau kitab-kitab suci lainnya telah digunakan untuk 

melegitimasi ketidakadilan gender. Pendekatan ini berusaha membaca ulang 

teks dengan perspektif yang lebih inklusif, mengangkat suara wanita  

yang sebelumnya terpinggirkan. 34 

Teori Feminis Elisabeth Schüssler Fiorenza 

Elisabeth Schüssler Fiorenza yaitu  seorang teolog feminis 

terkemuka yang dikenal karena pendekatannya terhadap hermeneutika 

 

 

feminis dalam studi Alkitab.Hermeneutika feminisme yang 

dikembangkan oleh Schüssler Fiorenza bertujuan untuk mengungkap dan 

mengkritik bias patriarki dalam interpretasi Alkitab serta merekonstruksi 

pemahaman yang lebih inklusif dan adil terhadap wanita  dalam 

sejarah Kristen.35 Pendekatan hermeneutika feminisme ini tidak hanya 

berdampak dalam ranah akademik, tetapi juga memiliki implikasi luas 

dalam kehidupan beragama, teologi, dan gerakan feminis secara lebih luas. 

Dengan mengkritisi interpretasi yang didominasi oleh perspektif laki-laki, 

Schüssler Fiorenza menawarkan paradigma baru yang memungkinkan 

wanita  untuk berpartisipasi secara lebih adil dalam kehidupan 

spiritual dan gerejawi. Di antara berbagai metode hermeneutika yang 

diajukan oleh Fiorenza pada tahun 1984, terdapat beberapa pendekatan 

penting diantaranya: 

a. Metode pertama yaitu  hermeneutika kecurigaan. Para teolog feminis 

telah menetapkan suatu prinsip dalam penafsiran yang disebut crux 

interpretum, yang berarti mereka menolak setiap bentuk penafsiran 

Alkitab yang tidak mendukung pembebasan wanita . Dalam 

konteks ini, Fiorenza memakai  beberapa pendekatan hermeneutik, 

dan yang pertama yaitu  hermeneutika kecurigaan. Melalui 

pendekatan ini, ia tidak menempatkan Alkitab sebagai otoritas tertinggi, 

 

 

berarti bahwa ia tidak melihat Alkitab sebagai sumber kebenaran yang 

harus diterima begitu saja secara mutlak, tanpa kritik. Fiorenza, sebagai 

seorang teolog feminis, mendekati Alkitab dengan kecurigaan terhadap 

struktur patriarkal yang tercermin dalam teks-teksnya. Ia memahami 

bahwa Alkitab disusun dalam konteks budaya dan sejarah yang sangat 

dipengaruhi oleh nilai-nilai patriarki, dan karena itu tidak bisa 

diperlakukan sebagai suara ilahi yang netral atau tanpa cacat. Dengan 

kata lain, Fiorenza memperlakukan Alkitab bukan sebagai otoritas yang 

tak tergoyahkan, tetapi sebagai dokumen yang perlu ditafsirkan secara 

kritis, kontekstual, dan etis, demi memperjuangkan keadilan dan 

kesetaraan, khususnya bagi wanita . Pendekatannya menekankan 

bahwa otoritas sejati bukan terletak pada teks itu sendiri, melainkan 

pada cara kita menafsirkan dan memakai nya untuk membangun 

kehidupan yang adil. 

b. Metode kedua yang digunakan oleh Fiorenza yaitu  hermeneutika 

proklamasi. Ini berarti bahwa penafsiran difokuskan hanya pada 

bagian-bagian dalam teks Alkitab yang dianggap layak untuk 

diumumkan atau disuarakan demi pembebasan kaum feminis masa 

kini yang mengalami penindasan. Dengan demikian, teks-teks yang 

tidak mendukung kebebasan wanita  akan langsung ditolak. 

Contoh ayat-ayat yang diterima karena mengandung pesan 

pembebasan wanita  antara lain Galatia 3:28, Yohanes 8:36, dan 

28 

 

 

Roma 16:1. Sebaliknya, ayat-ayat seperti 1 Korintus 11, Efesus 5:22, dan 

1 Timotius 2:11 tidak akan digunakan.36 

c. Metode ketiga yang diterapkan oleh Fiorenza yaitu  hermeneutika 

Ingatan. Pendekatan ini yaitu  suatu cara hermeneutik yang 

mendorong para feminis untuk menggali pengalaman penderitaan 

wanita  dalam Alkitab dan menafsirkan maknanya untuk 

kepentingan wanita . Pendekatan ini tidak berupaya untuk 

menghapus ingatan tentang masa-masa penindasan, melainkan justru 

menegaskan kembali penderitaan wanita  yang sering diabaikan 

oleh kaum laki-laki. Salah satu contoh yang diangkat yaitu  kisah 

Abraham yang tertawa ketika diberitahu bahwa ia akan memiliki anak, 

dan hal ini tidak dipermasalahkan. Sebaliknya, ketika Sara tertawa 

dalam situasi yang sama, ia langsung ditegur oleh Allah. Ini 

mencerminkan adanya pengaruh budaya patriarkis yang kuat dalam 

narasi ini . Contoh lainnya yaitu  Harun, yang tidak mendapatkan 

hukuman saat bersalah, sementara Miryam langsung terkena kusta 

ketika melakukan kesalahan. Ini menunjukkan adanya ketidakadilan 

dalam cara Allah digambarkan dalam menghukum manusia.37  

d. Fiorenza tidak hanya mengandalkan tiga metode hermeneutik yang 

telah ada, tetapi juga mengembangkan metode hermeneutik baru yang 

 

 

bersifat kreatif untuk melengkapi kekurangan dari ketiganya. Metode 

hermeneutik kreatif ini merupakan pendekatan yang digunakan oleh 

teolog feminis dalam membaca teks, dengan cara menambahkan, 

mengurangi, atau menyesuaikan isi Alkitab agar sejalan dengan visi 

emansipasi wanita , sterutama dalam pelaksanaan liturgi dan tata 

ibadah.38    

Sebuah hermeneutika feminis terhadap Kitab Suci harus 

mengikut sertakan bukan saja kritik budaya, melainkan juga teologis. 

Hal ini menunjukkan bahwa sebuah metode yang memisahkan bahasa 

dan teks Alkitab dari kondisi-kondisi patriarkhal  sosial-budayanya, 

tidak dapat memberi sebuah model untuk merekontruksikan sejarah 

kaum wanita  sebagai anggota dari agama Alkitab.39  

E. Feminis dalam Membaca Kitab Perjanjian Lama  

Feminisme dalam membaca Kitab Perjanjian Lama (PL) berfokus pada 

cara-cara untuk menganalisis teks-teks suci ini dengan cara yang menyoroti 

dan mengkritisi peran wanita  yang sering kali terpinggirkan dalam 

narasi tradisional. Perspektif feminis bertujuan untuk membaca Kitab PL 

bukan hanya dengan mempertimbangkan peran laki-laki sebagai tokoh 

utama, tetapi juga dengan memberi ruang bagi wanita  sebagai individu 

 

 

yang memiliki pengaruh, kekuatan, dan makna dalam sejarah iman. 

Pendekatan ini menantang pembacaan patriarkal yang dominan, yang sering 

menempatkan wanita  dalam posisi subordinat atau sekunder dalam 

kisah-kisah Alkitab.40 Feminisme dalam membaca PL berusaha untuk 

menyingkap ketidakadilan gender yang sering tersembunyi dalam teks dan 

untuk mengkaji bagaimana norma-norma sosial dan budaya pada zaman itu 

memengaruhi cara wanita  digambarkan. Misalnya, dalam banyak kisah 

Perjanjian Lama, wanita  sering kali hanya disebut dalam konteks 

hubungan mereka dengan laki-laki, seperti ibu, istri, atau anak wanita . 

Hal ini menciptakan gambaran bahwa wanita  memiliki peran terbatas 

hanya dalam ranah domestik. Tetapi dengan pendekatan feminis, para 

pembaca diarahkan untuk melihat lebih dalam pada peran wanita  dalam 

konteks yang lebih luas, baik dalam politik, spiritualitas, maupun keadilan 

sosial.41      

Feminisme juga menyoroti kisah-kisah wanita  yang meskipun 

terabaikan, sebenarnya memiliki dampak yang signifikan dalam sejarah 

bangsa Israel. Sebagai contoh, kisah Debora sebagai seorang hakim yang 

memimpin bangsa Israel dalam peperangan melawan musuh, atau Ester yang 

menjadi ratu Persia dan menyelamatkan bangsanya dari pemusnahan. Kedua 

 

 

tokoh ini menantang pandangan tradisional tentang wanita  dan 

menunjukkan bahwa mereka memiliki kapasitas untuk memimpin dan 

membuat keputusan penting yang memengaruhi nasib umat.42   

F. wanita  Dalam Gereja 

Struktur patriarki dalam gereja telah menjadi bagian yang melekat 

dalam sejarah Kekristenan, dipengaruhi oleh budaya masyarakat tempat 

gereja berkembang. Sistem ini menempatkan laki-laki sebagai pemimpin 

utama, dengan wanita  lebih terbatas dalam peran teologis dan liturgis, 

sering kali berfokus pada tugas domestik dan pelayanan belakang layar, 

berdasarkan interpretasi teks Alkitab.43 

Dampak patriarki terlihat jelas dalam kepemimpinan gereja, di mana 

wanita  kesulitan mengakses jabatan penting seperti pendeta atau uskup, 

terutama di gereja yang lebih konservatif. Meskipun beberapa gereja mulai 

membuka peluang bagi wanita  dalam kepemimpinan, resistensi 

terhadap hal ini masih ada, membatasi peran wanita  dalam 

mempengaruhi kebijakan gereja.44 

Selain itu, patriarki juga membatasi wanita  dalam praktik 

keagamaan sehari-hari, dengan memberi mereka peran seperti mengajar 

 

anak-anak atau terlibat dalam kegiatan amal, tetapi jarang dalam 

pengambilan keputusan atau tugas liturgis. wanita  yang ingin berperan 

lebih besar dalam gereja sering menghadapi diskriminasi berdasarkan 

interpretasi tradisional Alkitab.45 

Namun, peran wanita  dalam gereja telah berkembang seiring 

waktu. Di gereja mula-mula, wanita  seperti Priskila dan Lydia memiliki 

peran penting dalam penyebaran Injil. Meskipun struktur patriarkal tetap 

ada, wanita  terus memberi kontribusi besar dalam pendidikan, 

pelayanan sosial, dan penginjilan. 

 

G. Gambaran Umum Kitab 2 Raja-Raja 

1. Latar belakang kitab             

Kitab 2 Raja-Raja meneruskan kisah tentang kemerosotan bangsa 

Israel dan Yehuda, yang bermula sekitar tahun 852 SM.46 Kitab ini 

mengulas dua bencana besar yang menimpa kerajaan-kerajaan ini , 

yakni kehancuran Samaria, ibu kota Israel, serta pengusiran penduduknya 

ke Asyur pada tahun 722 SM, dan juga penghancuran Yerusalem yang 

disusul dengan pengasingan bangsa Yehuda ke Babel pada tahun 586 SM.

 

Kitab 2 Raja-Raja mencatatkan 130 tahun terakhir dari total 345 

tahun sejarah Kerajaan Yehuda. Kerajaan Israel, yang terdiri dari sepuluh 

suku di bagian utara, mengalami ketidakstabilan yang tercermin dari 

seringnya pergantian raja, dengan 19 raja yang berasal dari 9 dinasti 

berbeda dalam waktu 210 tahun. Sementara itu, Kerajaan Yehuda memiliki 

20 raja yang berasal dari satu garis keturunan (meskipun sempat terputus 

sementara) selama 345 tahun.48 

Banyak nabi dalam Perjanjian Lama yang juga berfungsi sebagai 

penulis dan melayani pada periode yang tercatat dalam kitab 2 Raja-Raja. 

Mereka memiliki tugas untuk mengingatkan, menegur, dan memberikan 

nasihat kepada para raja mengenai tanggung jawab mereka sebagai wakil 

dari pemerintahan teokratis Allah. Amos dan Hosea menyampaikan 

nubuat di Israel, sedangkan Yoel, Yesaya, Mikha, Nahum, Habakuk, 

Zefanya, dan Yeremia melakukannya di Yehuda. Tulisan-tulisan para nabi 

ini mengandung informasi historis dan teologis yang penting, yang tidak 

terdapat dalam kitab 2 Raja-Raja, terutama tentang penurunan moral dan 

rohani bangsa Israel dan Yehuda.

9. Gaya Bahasa  

Gaya bahasa dalam Kitab 2 Raja-Raja mencerminkan narasi sejarah 

yang menceritakan kisah para raja Israel dan Yehuda, dengan penggunaan 

bahasa simbolis dan metaforis untuk menyampaikan pesan teologis yang 

lebih dalam. Dialog antara tokoh-tokoh memberikan kedalaman karakter, 

sementara pengulangan frasa menekankan poin penting mengenai 

tindakan raja. Deskripsi yang detail membantu pembaca memahami 

konteks, dan istilah-istilah keagamaan mencerminkan kehidupan religius 

masyarakat pada masa itu.50 

10. Struktur Kitab 

Kitab 2 Raja-Raja disusun secara kronologis dan tematis, mencatat 

peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan kepemimpinan para 

raja di Israel dan Yehuda, serta dampaknya terhadap umat Allah. Berikut 

ini yaitu  pembagian struktur kitab 2 Raja-Raja: 

a. Pengenalan (2 Raja-Raja 1:1-18) 

b. Pemerintahan Raja-raja Israel (2 Raja-Raja 2:1-17:41) 

c. Pemerintahan Raja-raja Yehuda (2 Raja-Raja 18:1-25:30) 

d. Peringatan (2 Raja-Raja 25:1-30).51 

 

 

11. Kedudukan Teks 

Secara keseluruhan, kedudukan teks kitab 2 Raja-Raja berada 

dalam rangkaian karya sejarah teologis yang dikenal sebagai Sejarah 

Deuteronomistik, yaitu kumpulan kitab dari Ulangan hingga 2 Raja-Raja 

yang menafsirkan sejarah Israel dalam terang ketaatan atau ketidaktaatan 

terhadap hukum Tuhan. Kitab ini merupakan lanjutan langsung dari 1 

Raja-Raja, dan keduanya menyusun satu karya naratif utuh yang merekam 

riwayat raja-raja Israel dan Yehuda sejak akhir pemerintahan Raja Daud 

hingga kehancuran Yerusalem dan pembuangan ke Babel. 

Dalam Alkitab Kristen, kitab ini berada dalam kelompok Kitab 

Sejarah, yang melanjutkan kisah dari 1 Raja-Raja mengenai pemerintahan 

raja-raja Israel dan Yehuda hingga kehancuran kerajaan mereka. Dalam 

Tanakh, kitab ini termasuk dalam Nevi’im Rishonim atau Nabi-Nabi Awal, 

di mana 1 dan 2 Raja-Raja awalnya merupakan satu kitab yang disebut 

"Melakhim" (Raja-Raja).52    

 Secara historis, kitab ini mencatat kejatuhan Kerajaan Israel Utara 

oleh Asyur pada tahun 722 SM dan kehancuran Kerajaan Yehuda oleh 

Babel pada tahun 586 SM. Selain mencatat perjalanan politik dan sosial 

bangsa Israel, kitab ini juga menyoroti peran para nabi, seperti Elia dan 

Elisa, dalam mengingatkan umat untuk kembali kepada Tuhan. Kitab 

 

Raja-Raja menggambarkan bagaimana ketidaktaatan bangsa Israel 

terhadap hukum Tuhan akhirnya membawa mereka pada kehancuran dan 

pembuangan.

12. Penulis Kitab  

Penulis Kitab 2 Raja-Raja tidak secara eksplisit disebutkan dalam 

teks itu sendiri, dan identitas penulisnya masih menjadi perdebatan di 

kalangan para ahli. Namun, ada beberapa pandangan yang umum 

diterima mengenai penulis kitab ini.  Tradisi Yahudi dan Kristen sering 

mengaitkan penulisan Kitab 2 Raja-Raja dengan nabi Yeremia, meskipun 

tidak ada bukti konklusif yang mendukung klaim ini. Beberapa ahli 

berpendapat bahwa kitab ini mungkin ditulis oleh seorang penulis anonim 

yang terinspirasi oleh Tuhan, yang mengumpulkan dan menyusun 

informasi dari berbagai sumber, termasuk catatan sejarah dan tradisi lisan 

yang ada pada masa itu.      

Kitab ini kemungkinan ditulis selama atau setelah periode 

pembuangan ke Babel, ketika umat Israel merenungkan sejarah mereka 

dan hubungan mereka dengan Tuhan. Dalam konteks ini, penulis berusaha 

untuk memberikan pemahaman tentang bagaimana tindakan raja dan 

 

 

 

umat berhubungan dengan kehendak Tuhan, serta konsekuensi dari 

penyimpangan dari jalan-Nya.

13. Waktu dan Tempat Penulisan   

Kitab 2 Raja-Raja kemungkinan ditulis setelah peristiwa-peristiwa 

yang dicatat di dalamnya, yang berakhir dengan pembuangan bangsa 

Yehuda ke Babel pada tahun 586 SM. Oleh karena itu, waktu penulisan 

kitab ini diperkirakan terjadi antara akhir abad ke-6 SM hingga awal abad 

ke-5 SM. Penulis mungkin menulis kitab ini sebagai refleksi terhadap 

sejarah yang telah terjadi, terutama setelah kehancuran Yerusalem dan 

kuilnya, untuk memberikan pemahaman tentang konsekuensi dari 

ketidaksetiaan umat kepada Tuhan.56  Mengenai tempat penulisan, banyak 

ahli berpendapat bahwa kitab ini mungkin ditulis di Babel atau di wilayah 

sekitarnya, di mana sebagian besar orang Yehuda berada selama 

pembuangan. Dalam konteks ini, penulis berusaha untuk mengingatkan 

umat Israel tentang identitas mereka sebagai bangsa pilihan Tuhan dan 

pentingnya kesetiaan kepada-Nya, meskipun mereka berada dalam situasi 

yang sulit. 

 

 

14. Tujuan Penulisan Kitab  

Tujuan penulisan Kitab 2 Raja-Raja yaitu  untuk 

mendokumentasikan sejarah bangsa Israel dan Yehuda, mencatat 

perjalanan raja-raja mereka serta tindakan yang mempengaruhi nasib 

bangsa. Kitab ini juga memiliki tujuan teologis yang kuat, menekankan 

pentingnya kesetiaan kepada Tuhan dan konsekuensi dari penyembahan 

berhala.57 Selain itu, kitab ini berfungsi sebagai peringatan moral, 

memberikan contoh-contoh dari kisah raja yang baik dan jahat sebagai 

pelajaran bagi pembaca. Secara keseluruhan, Kitab 2 Raja-Raja mengajak 

umat untuk merenungkan identitas mereka sebagai umat pilihan Tuhan 

dan berkomitmen pada ketaatan dalam kehidupan sehari-hari.