Nabi Sulaiman 1
KISAH NABI SULAIMAN DALAM AL-QUR’AN
Pedoman Transliterasi Arab Latin yang merupakan hasil
keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor:
0543b/U/1987.
1. Konsonan
Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf
Latin dapat dilihat pada halaman berikut:
Huruf arab Nama Huruf latin Nama
ا Alif Tidak
dilambangkan
Tidak
dilambangka
n
ب Ba B Be
ت Ta T Te
ث Ṡa Ṡ Es (dengan
titik diatas)
ج Jim J Je
ح Ḥa Ḥ Ha (dengan
titik diatas)
خ Kha Kh Ka dan Ha
د Dal D De
ذ Żal Ż Zet (dengan
titik diatas)
ر Ra R Er
vi
ز Za Z Zet
س Sin S Es
ش Syin Sy Es dan ye
ص Ṣad Ṣ Es (dengan
titik dibawah)
ض Ḍad Ḍ De (dengan
titik dibawah)
ط Ṭa Ṭ Te (dengan
titik dibawah)
ظ Ẓa ẓ Zet (dengan
titik dibawah)
ع ‘Ain ‘‒— Apostrof
terbalik
غ Gain G Ge
ف Fa F Ef
ق Qof Q Qi
ك Kaf K Ka
ل Lam L El
م Mim M Em
ن Nun N En
و Wau W We
ه Ha H Ha
ء Hamzah —ʼ Apostrof
vii
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia
terdiri atas vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap
atau diftong.
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa
tanda atau harakat, transliterasinya sebagai berikut:
Tanda
Nama
Huruf Latin
Nama
ٙا
Fatḥah
A
A
ِا
Kasrah
I
I
ِا
Ḍammah
U
U
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa
gabungan antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa
gabungan huruf, yaitu:
Tanda Nama Huruf latin Nama
ِيﹷ Fatḥah dan
ya
Ai A dan I
ِﹷو Fatḥah dan
wau
Au A dan U
viii
Contoh:
௺ϒ˸ϳ௺ϛ : kaifa
ﻝْٙﻭﻫ : haula
3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambngnya berupa
harkat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Harkat dan
Huruf
Nama Huruf dan
tanda
Nama
َاى Fatḥah dan alif
atau ya
Ā a dan garis di
atas
ي ى Kasrah dan ya Ī i dan garis di
atas
و ى
Ḍammah dan
wau
Ū u dan garis di
atas
Contoh:
ﺕﺎ ﻣ : māta
ϰ௺ϣ௺ή : ramā
௺ϝ˸ϳ˶ϗ : qīla
ُﺕْﻭُﻣ ﻳ : yamūtu
ix
4. Ta marbūṭah
Transliterasi untuk ta marbūṭah (Γ atau Δ˰) ada dua, yaitu:
ta marbūṭah yang hidup atau mendapat harakat fatḥah, kasrah,
dan ḍammah, transliterasinya yaitu [t] sedangkan ta
marbūṭah yang mati atau mendapat harkat sukun,
transliterasinya yaitu [h].
Kalau pada kata yang berakhir dengan ta marbūṭah
diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al- serta
bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta marbūṭah itu
ditransliterasikan dengan [h].
Contoh:
ِﻝاَفَْطلأا ُةَضْﻭَر Rauḍah al-aṭfāl
َُةلِضاَفلا ُةَنْيِدَملا Al-madīnah al-fāḍilah
ُةَمْكِحلا Al-ḥikmah
5. Syaddah
Huruf konsonan yang memiliki tanda syaddah atau
tasydid, yang dalam abjad Arab dilambangkan dengan sebuah
tanda tasydid ( ˷ ), dalam transliterasi ini dilambangkan dengan
perulangan huruf (konsonan ganda).
Contoh:
اَن َّبَر Rabbanā
اَنْي َّجَن Najjainā
x
قَحلا Al-Ḥaqq
جَحلا Al-Ḥajj
َم ِّعُن Nu„„ima
ﻭُدَع „Aduww
Jika huruf ϱ bertasydid di akhir sebuah kata dan
didahului oleh huruf kasrah ( ϲ˷˰˶), maka ia ditransliterasi seperti
huruf maddah ī.
Contoh:
ِيلَع „Alī
يِبَرَع „Arabī
6. Kata sandang
Kata sandang dalam abjad Arab dilambangkan dengan
huruf ϝ (alif lam ma„arifah). Dalam pedoman transliterasi ini,
kata sandang ditransliterasi seperti biasa, al-, baik saat ia
diikuti oleh huruf syamsiah maupun huruf qamariah. Kata
sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang
mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang
mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-).
Contoh:
˵ β˸Ϥ͉θϟ Al-Syamsu (bukan asy-syamsu)
˵Δ˴ϟ˴ΰ˸ϟ͉ΰϟ Al-Zalzalah (bukan az-zalzalah)
˵Δ˴ϔ˴δ˸Ϡ˴ϔϟ Al-Falsafah
˵Ω˴ϼ˶Βϟ Al-Bilād
xi
7. Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (‟)
hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir
kata. Namun, bila hamzah terletak di awal kata, ia tidak
dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif.
Contoh:
˴ϥ˸ϭ˵ήϣ˵˴΄˸Η Ta‟murūna
͉Ϩϟ ˵˯˸Ϯ An-Nau‟
˲˯ ϲ˸˴η Syai‟un
˵Ε˸ή˶ϣ˵ Umirtu
8. Penulisan kata Arab yang lazim digunakan dalam
bahasa Indonesia
Kata, istilah, atau kalimat Arab yang ditransliterasi
yaitu kata, istilah, atau kalimat yang belum dibakukan dalam
bahasa Indonesia. Kata, istilah, atau kalimat yang sudah lazim
dan menjadi bagian dari perbendaharaan bahasa Indonesia atau
sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia tidak lagi
ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya kata
'Alquran' (dari al-Qur‟ān), 'Sunnah,' 'khusus,' dan 'umum.'
Namun, bila kata-kata ini menjadi bagian dari satu
rangkaian teks Arab, maka mereka harus ditransliterasi secara
utuh,
Contoh:
Fī Ẓilāl al-Qur‟ān,
xii
Al-Sunnah qabl al-tadwīn, dan
Al-„Ibārāt bi „umūm al-lafẓ lā bi khuṣūṣ al-sabab.
9. Lafẓ al-Jalālah
Lafẓ al-jalālah (lafal kemuliaan) “Allah” (ௌ) yang
didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya atau
berkedudukan sebagai muḍāf ilaih (frasa nominal),
ditransliterasi tanpa huruf hamzah (hamzah wasal).
Contoh:
˶ௌ ˵Ϧ˸ϳ˶Ω Dīnullāh ˶ͿΎ˶Α Billāh
Adapun ta marbutah di akhir kata yang disandarkan
kepada lafẓ al-jalālah, ditransliterasi dengan huruf t.
Contoh:
˶ௌ ˶Δ˴Ϥ˸Σ˴έ ˸ϲ˶ϓ ˸Ϣ˵ϫ Hum fī rahmatillāh
10. Huruf kapital
Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf
kapital, dalam transliterasinya huruf-huruf ini dikenai
ketentuan tentang penggunaan huruf kapital berdasarkan
pedoman Ejaan yang Disempurnakan (EyD). Huruf kapital,
misalnya, digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri
(orang, tempat, bulan) dan huruf pertama pada permulaan
kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka
yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
ini , bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada
awal kalimat, maka huruf A dari kata sandang ini
xiii
menggunakan huruf kapital (Al-). Ketentuan yang sama juga
berlaku untuk huruf awal dari judul referensi yang didahului
oleh kata sandang al-, baik saat ia ditulis dalam teks maupun
dalam catatan rujukan (catatan kaki, daftar pustaka, catatan
dalam kurung, dan daftar referensi).
Contoh:
Wa mā Muammadun illā rasūl
Inna awwala baitin wuḍi„a linnāsi lallażī bi Bakkata mubārakan
Syahru Ramaḍān al-lażī unzila fīh al-Qur‟ān
Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī
Abū Naṣr al-Farābī
Al-Gazālī
Al-Munqiż min al-Ḍalāl
Siti Sobariah. Kisah Nabi Sulaiman Dalam Al-Qur‟an Perspektif
Semiotika Roland Barthes, 2020
Skripsi ini membahas kisah Nabi Sulaiman dalam al-Qur‟an dengan
pendekatan semiotika Roland Barthes. Banyak hal menarik yang
terdapat dalam kisah ini, diantaranya: Sulaiman merangkap menjadi
seorang Nabi dan raja, dan kemampuan adikodrati yang dimiliki
Sulaiman yaitu mampu berkomunikasi dan memerintah makhluk Tuhan
lainnya, seperti hewan, jin, hingga angin. Karena itu, kisah ini penuh
dengan isyarat simbolis yang dalam hal ini relevan untuk diterapkan
dengan pendekatn semiotika. Maka, kisah Nabi Sulaiman akan penulis
uraikan dan tafsirkan dengan pendekatan semiotika Roland Barthes,
sehingga dapat diceritakan keseluruhan kisahnya dan menggali pesan-
pesan filosofis di balik kisah ini . Pesan inilah yang dapat
digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun analisis teks menggunakan semiotika Roland Barthes terbagi
atas tiga tingkat pemaknaan, yaitu: pertama, penggalian makna
denotasi, kedua, penggalian makna konotasi, dan ketiga, penggalian
makna mitos. Makna denotasi yaitu makna kebahasaan, yang sesuai
dengan arti yang disepakati, sedangkan makna konotasi yaitu makna
tingkat kedua yang memaknai makna denotasi sebagai landasan
utamanya, yang di sinilah terdapat makna mitos seperti yang
diistilahkan Roland Barthes.
Hasil dari penelitian ini yaitu kisah Nabi Sulaiman terbagi atas tiga
tingkat pemaknaan. Pertama, gambaran umum makna denotasi kisah
Sulaiman ialah Sulaiman merupakan seorang manusia, ia lahir di
Yerusalem. Ayahnya bernama Daud dan ibunya bernama Batsyeba.
Sulaiman juga merupakan hamba Allah yang taat dan patuh. Kedua,
gambaran umum makna konotasi kisah Sulaiman, selain sebagai
manusia dan hamba yang taat, Sulaiman terpilih sebagai salah satu
Nabi Allah swt. Lebih lanjut, al-Qur‟an juga merujuk pada terma
ini sebagai raja yang memiliki kemampuan adikodrati, karena
mampu berkomunikasi dan memerintah makhluk Tuhan lainnya,
seperti hewan, jin, hingga angin. Ketiga, makna mitos/ simbol kisah
Sulaiman. Sulaiman digambarkan sebagai tokoh Nabi yang merangkap
menjadi raja yang cerdas, berkuasa, adil, dan bijaksana.
Al-Qur‟an memperkenalkan dirinya sebagai kitab yang memuat
berbagai kisah para nabi dan rasul,1 guna memperteguh hati dan
menambah ketenangan, karena di dalamnya terdapat kebenaran,
nasihat dan peringatan.2 Terkait dengan hal itu, M. Quraish Shihab
mengatakan bahwa “salah satu Fara al-Qur‟an mengantar manusia
kepada kesempurnaan kemanusiaannya yaitu dengan
mengemukakan kisah faktual maupun simbolik”.3
Pemberitaan al-Qur‟an tentang kisah orang-orang terdahulu,
termasuk kisah para nabi dan rasul itu, atau pun peristiwa yang telah
terjadi, terkadang diungkapkan secara berulang kali dan dikemukakan
dalam berbagai bentuk yang berbeda di suatu tempat, bahkan
terkadang dikemukakan secara singkat dan terkadang pula panjang
lebar. Semua itu merupakan tanda keistimewaan al-Qur‟an yang
mengandung makna dan hikmah yang sangat dalam dan karenanya
harus dikaji secara mendalam pula untuk memahaminya.
Salah satu kisah dalam al-Qur‟an yang menarik untuk dikaji
yaitu kisah Nabi Sulaiman4. Ia memiliki informasi menarik,
dikisahkan Nabi Sulaiman dapat berbicara dengan burung QS. An-
Naml/27: 15-16, memahami bahasa semut QS. An-Naml/27: 18,
memerintah angin QS. ৡad/38: 36, menundukkan jin QS. ৡad/38: 37-
dan melelehkan tembaga QS. Sabaމ . Kemampuannya yang
paling masyhur yaitu dapat berbicara dengan hewan seperti burung,
semut dan lain sebagainya. Selain itu, sejak usia muda telah nampak
dalam diri Nabi Sulaiman kecerdasan dan kebijaksanaannya dalam
menangani masalah hukum. Anugerah ini merupakan karunia besar
dari Allah Swt untuk Nabi Sulaiman, karena tidak semua makhluk-
Nya mendapatkan karunia yang dimiliki Nabi Sulaiman. Telah
banyak upaya penafsiran yang dilakukan terkait kisah Nabi Sulaiman
dengan berbagai model. Quraish Shihab misalnya, dalam buku Tafsir
Al-Misbah disebutkan bahwa Sulaiman merupakan nabi yang
dikaruniai nikmat oleh Allah berupa kekayaan, kerajaan, kekuasaan,
dan kenabian. 5
Selain hal di atas, telah banyak juga buku bacaan yang
menceritakan tentang kisah Nabi Sulaiman. yakni buku yang berjudul
Ringkasan Mukhtashar Ibnu Katsir yang ditulis oleh Syaikh Ahmad
Syakir . Dalam buku ini , dijelaskan bahwa Nabi Sulaiman juga
merupakan nabi dan raja yang diberi kelebihan untuk memimpin
manusia, jin, dan hewan. Dalam QS. an-Naml: 15-44 berisi tentang
perjanjian lama disebutkan bahwa nama lengkapnya yaitu Sulaiman (Saloma) bin Daud
bin Isāi bin Obed bin Boas bin Salamon bin Nahason bin Aminadab bin Ram bin Hezram
bin Perees bin Yahuda bin <a‟qub bin Ishaq bin Ibrahim as. Sulaiman yaitu putra Nabi
Daud yang paling bungsu dari kesebelas bersaudara. Nama julukannya yaitu Sulaiman
bin Hakim. Ibunya bernama Tasyayu‟ bin Sura. Ia tergolong perempuan taqwa dan
Salehah. Sebagai seorang ibu ia selalu mendorong sulaiman agar tekun beribadah. Lihat
Helmi Ali Sya‟ban, Seri para Nabi, Nabi Sulaiaman ,
salah satu kisah Nabi Sulaiman memeriksa barisan burung yang
dipimpin oleh burung Hudhud, namun Hudhud tidak ada di barisannya.
Nabi Sulaiman marah dan berkata akan menyiksanya kecuali apabila
ia datang dengan alasan yang jelas dan meyakinkan. Tidak berapa
lama sesudah itu burung Hudhud datang dan menjelaskan berita yang
meyakinkan.6
Selanjutnya, buku lain yang membahas kisah Nabi Sulaiman.
yaitu: kisah para nabi karya Ibn Katsir7, kisah hikayat Nabi Sulaiman
As (Solomon) karya Muhammad Vandestra8, kisah hikayat legenda
Nabi Sulaiman As dan ratu Balqis karya Muhammad Sakura9, rahasia
kekayaan Nabi Sulaiman karya Muhammad Gufron Hidayat10,
berburu warisan Nabi Yusuf dan Nabi Sulaiman karya Muhammad
Gufran Hidayat11, kisah teladan dan menakjubkan 25 nabi karya
Ariany Syurfah12, kisah bapak dan anak dalam al-Qur‟an karya Adil
Musthafa Abdul Halim13, tafsir Fī iܱlāl al-4Xr¶ān karya Sayyid
Qutb14.
Berdasarkan kisah Nabi Sulaiman yang terdapat dalam buku-
buku diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa, kisah Nabi
Sulaiman yang diceritakan dalam buku-buku ini hanya sebatas
tentang kemukjizatan Nabi Sulaiman dan kisahnya dengan ratu
Balqis. Terkait hal itu, kebanyakan orang pada umumnya pun hanya
mengetahui kisah ini sebatas berkenaan dengan dua hal ini .
Padahal, masih banyak pesan dan peran yang perlu digali secara lebih
mendalam dari kisah Nabi Sulaiman dalam al-Qur‟an.
Dengan demikian, menurut penulis kisah Nabi Sulaiman
merupakan kisah yang menarik untuk dikaji karena memiliki pesan-
pesan yang perlu diungkap lebih dalam. Ada beberapa pesan yang
disampaikan dalam bentuk simbol-simbol kebahasaan. Hal ini tentu
memerlukan interpretasi ulang guna mereproduksi kemungkinan-
kemungkinan makna baru di luar pesan dasar kisah Nabi Sulaiman
dalam Al-Qur‟an ini . Oleh karena itu, perlu dilakukan adanya
analisis pada aspek tekstualitas ayat al-Qur‟an. Dengan asumsi dasar
bahwa sebuah teks, selain mempunyai makna primer, juga
mempunyai makna sekunder.
Makna primer atau sering disebut sebagai makna denotasi
yaitu makna harfiyah (makna yang sesungguhnya), makna ini
muncul berdasarkan penggunaan bahasa sesuai dengan apa yang
terucap.15 Denotasi ini bisa juga berarti makna yang dihasilkan dari
suatu pesan yang disampaikan secara sadar oleh pengirim pesan
kepada penerima dengan menggunakan tanda-tanda bahasa yang
disertai maksud. Sedangkan makna sekunder atau yang sering disebut
sebagai makna konotasi yaitu makna yang dihasilkan dengan
memperhatikan tanda-tanda tanpa maksud (fungsi tanda lain) yang
sering dihasilkan oleh pengirim tanpa disadarinya. Tanda-tanda tanpa
maksud ini merupakan sistem tanda bahasa kedua yang
dihasilkan dari sistem tanda bahasa pertama (bahasa konvensional).
Karena makna sekunder merupakan makna ganda yang lahir dari
pengalaman kultural dan personal, atau makna yang terselubung,
tersembunyi dibalik sistem bahasa pertama, karena makna konotasi
merupakan tanda yang dibahasakan secara tidak langsung, maka
pemahaman atas bahasa konvensional saja tidaklah cukup untuk
mendapatkan makna sekunder, kecuali jika didukung dengan alat
bantu tersendiri yang memang concern di bidangnya, misalnya
semiologi atau semiotika.
Semiologi atau semiotika yaitu studi tentang tanda dan
segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya,
hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan
penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya.16 Dalam
semiotika sendiri terdapat banyak aliran. Aliran-aliran semiotika
ini dipengaruhi oleh dua tokoh besar yang dianggap sebagai
bapak semiotika modern, yaitu Charles Sanders Peirce (1839-1914)
dan juga Ferdinan de Saussure (1857-1913)17. Diantara tokoh
semiotik yang berkiblat pada Peirce yaitu Charles Moris, Max
Bense, Umberto Uco dan lain sebagainya, sedangkan yang berkiblat
pada Saussure yaitu Hjemslev, Roland Barthes, Julia Kristeva dan
sebagainya.
Dari sejumlah pemikiran oleh para tokoh semiotik di atas,
teori-teori semiotika yang dikembangkan oleh Roland Barthes
dipandang sesuai untuk diimplementasikan guna mengkaji pesan yang
terkandung dalam kisah Nabi Sulaiman dalam al-Qur‟an. Hal ini
karena pemikiran Roland Barthes tentang semiotika menaruh
perhatian lebih pada analisis tanda-tanda tanpa maksud. Para ahli
semiotika dalam aliran ini, tidak berpegang pada makna primer
(denotasi) saja tanda yang disampaikan, melainkan berusaha untuk
mendapatkan makna sekunder (konotasi) yang juga dipunyai oleh
tanda itu. Aliran ini juga sering disebut dengan aliran “Semiotika
Konotasi”18.
Dari uraian di atas, penulis di dalam penelitian ini mengangkat
semiotika sebagai pisau analisis untuk mengungkap kemungkinan-
kemungkinan makna baru yang lebih dalam di luar makna dasar kisah
Nabi Sulaiman dalam Al-Qur‟an dengan menggunakan teori-teori
semiotika Roland Barthes dalam aliran semiotikanya, yakni semiotika
konotasi. Penggunaan teori-teori semiotika dari aliran semiotika
konotasi ini diharapkan dapat membantu untuk menemukan makna
sekunder kisah Nabi Sulaiman. Makna sekunder ini nantinya
dapat dipertimbangkan sebagai problem solver dalam problematika
kehidupan sehari-hari bagi siapa saja, dengan demikian, al-Qur‟an
tidak akan kehilangan peran vitalnya sebagai petunjuk hidup umat
manusia baik dalam situasi dan kondisi apapun. Karena itu dalam
penelitian ini, penulis membahas karya tulis ilmiah dengan judul
“Semiotika Sulaiman dalam Al-QXr’an Perspektif Roland
Barthes´
B. Identifikasi Masalah
Agar pembahasan dalam skripsi ini terfokus pada tema yang
diharapkan, penulis batasi pada masalah konsep semiotika Roland
Barthes sebagai pendekatan untuk membaca dan menganalisa kisah
Nabi Sulaiman dalam Al-Qur‟an, dikarenakan teori ini
mengasumsikan teks sebagai sebuah tanda yang terbangun oleh
elemen-elemen penghubungnya (signification). Inti dari teori ini
yaitu bagaimana teks itu bermakna, baik secara linguistik maupun
secara ideologis.
Selama ini, studi teks mengenai kisah dalam al-Qur‟an hanya
berkutat seputar pertanyaan eksistensial kisah, apakah kisah ini
fakta atau fiktif? dalam pandangan penulis, studi ini menyentuh
sisi makna dan nilai spiritual dalam kisah-kisah al-Qur‟an, di sini
khususnya kisah Nabi Sulaiman yang dijadikan sebagai objek. Dengan
menggunakan pendekatan semiotika, penulis mencoba memaknai teks
baik secara linguistik maupun ideologis, sehingga melalui pendekatan
ini diharapkan mampu membaca dan mengungkap makna kisah Nabi
Sulaiman yang terdapat dalam al-Qur‟an secara semiotika Roland
Barthes.
C. Batasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas telah menjelaskan
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, penulis ingin
menggali makna kisah Nabi Sulaiman yang terdapat dalam al-Qur‟an
secara semiotika Roland Barthes. Oleh karena itu, penulis membatasi
penelitian ini yaitu:
8
1. Mengungkap kisah Nabi Sulaiman dalam kitab suci (perjanjian
lama dan al-Qur‟an).
2. Memaparkan penafsiran kisah Nabi Sulaiman menurut berbagai
ulama tafsir.
3. Menggali makna kisah Nabi Sulaiman menggunakan pendekatan
Semiotika Roland Barthes.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini diungkapkan dalam
pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimana kisah Nabi Sulaiman diceritakan dalam kitab suci
(perjanjian lama dan al-Qur‟an)"
b. Bagaimana penafsiran para ulama tentang kisah Nabi Sulaiman
dalam al-Qur‟an"
c. Apa makna kisah Nabi Sulaiman yang terdapat dalam al-Qur‟an
secara semiotika Roland Barthes?
3. Sumber data
a. Sumber Primer
Data yang dijadikan sumber primer sebagai berikut; yaitu ayat-ayat
al-Qur‟an tentang kisah Nabi Sulaiman. Adapun data primer terkait
metode semiotika Roland Barthes yaitu: Element of Semiology , dan
Mythologies, dan Semiologi Roland Barthes.
b. Sumber Sekunder
Sementara data sekunder yang digunakan yaitu buku-buku yang
memuat kisah dalam al-Qur‟an dan buku mengenai semiotika, kitab-
kitab tafsir seperti tafsir karya al-Ṭabari
Untuk pandunan penulisan skripsi ini berdasarkan pada pedoman
Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2011/2012 Program Strata 1, yang diterbitkan oleh Biro
Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan mengenai
transilterasinya dalam penulisan skripsi ini mengacu pada sistem
transliterasi Jurnal Ilmu Ushuluddin yang diterbitkan oleh Himpunan
Peminat Ilmu-ilmu Ushuluddin (HIPIUS).
Deskripsi , yaitu mengumpulkan kata Sulaiman dalam al-Qur‟an
dan derivasinya dengan menggunakan kamus bahasa Arab dan
menggunakan langkah tafsir mauḍū‟ī untuk membantu klasifikasi ayat
berdasarkan tema yang terkait.
Analisis, yaitu dengan menggunakan tiga tahap yang dianalisis
menggunakan teori semiotika Roland Barthes. Yang pertama penulis
menganalisis melalui tahap penggalian makna awal/ denotasi untuk
mencari makna awal atau makna kebahasaan. Namun pada dasarnya,
pembacaan semiotik tingkat pertama pada kisah-kisah yang terdapat
dalam al-Qur‟an tidak terbatas pada konvensi bahasa, tapi juga
melibatkan analisa struktur kisah ini , seperti: tema, tokoh,
penokohan, latar, alur, dan sebagainya. Tahap kedua melalui
penggalian makna konotasi dari kisah Nabi Sulaiman yang penulis
dapatkan dari buku dan penafsiran para mufasir. Dan tahap ketiga
yaitu mencari makna mitos/ simbol dari kisah Nabi Sulaiman yang
didapat melalui cerita rakyat dan buku-buku yang memuat kisah Nabi
Sulaiman.
F. Kajian Pustaka
Untuk menjadi barometer dalam penelitian ini, penulis
melakukan penelusuran terhadap buku, skrispi, tesis dan artikel jurnal
terkait “Kisah Nabi Sulaiman dalam al-Qur‟an perspektif Roland
Barthes”. Penelusuran terkait judul dilakukan melalui katalog
perpustakaan dan google scholar dengan kata kunFi “Kisah Nabi
Sulaiman” dan “semiotik”, adapun kajian yang pernah membahas
tentang kisah Nabi Sulaiman, yaitu:
Buku yang dikarang oleh Hilmi „Ali Sya‟ban yang berjudul
“6XlaLman µalaLhL aV-Salam ” dan kemudian diterjemahkan oleh
1 2
Fa৬urrahman. Dalam buku ini berisikan tentang nama dan nasab
beliau, keistimewaan yang dimiliki Sulaiman sejak masa kanak-
kanak, anugerah Allah kepada Sulaiman, ujian bagi Sulaiman dan
hikmah kisah Nabi Sulaiman.24
Selain itu buku yang dikarang oleh Manshur Abdul Hakim yang
berjudul “6XlaLman µ$lahL $l-Salam Al-Nabiyyu Al-Maliku ” dan kemudian
diterjemahkan oleh Umi Nurun Ni‟mah. Dalam buku ini berisikan
tentang kisah Nabi Sulaiman dalam al-Qur‟an dan perjanjian lama, dan
dalam kitab tafsir.25
M. Amir HM “ Kisah Nabi Sulaiman dalam Al-Qur‟an dan
Relevansinya dengan Pendidikan Islam”. Dalam bukunya ini
menghasilkan kesimpulan bahwa kisah Nabi Sulaiman menyimpan muatan-
muatan yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan yang mempunyai relevansi
dengan tujuan dan metode pendidikan yang berkembang dewasa ini.26
Sementara itu, skripsi yang menjadikan kisah Nabi Sulaiman
sebagai objeknya, yaitu menelisik makna doa-doa Nabi Sulaiman a.s
karya Lukmanul Hakim. Skripsi ini tidak menggunakan
pendekatan Semiotika.27
Sedangkan karya ilmiah berupa skripsi S1 mengenai semiotik
dan objek formal yang hampir sama yaitu karya Pipit Aidul
Fitriyana dalam skripsi yang berjudul Kisah Yusuf dalam Al- 4Xr¶an
Perspektif Semiologi Roland Barthes. Dalam skripsi ini , ia
membahas kisah Yusuf dengan pisau analisis teori mitos Roland
Barthes.28
Skripsi lain yang mengangkat tema semiotik ialah karya Luthfi
Firdaus yang berjudul Relevansi Semiotika dalam Kajian Tafsir
Kontemporer . Dalam skripsi ini , ia menjelaskan teori semiotik
dan para tokohnya serta kemungkinan penerapannya dalam kajian
tafsir kontemporer sebagai alternatif penafsiran al-Qur‟an.
Menurutnya, semiotika sangat relevan dengan kajian al-Qur‟an.
Luthfi mengambil kesimpulan bahwa semiotika solusi bagi penafsiran
yang bersifat artifisial dan letterlux.29 Skripsi lain ditulis oleh Rony
Subayu dengan judul Al-4Xr¶an VHbaJaL 1araVL 0LVtLV .RnVHS
Mitos Roland Barthes sebagai Metode penfsiran Al- 4Xr¶an. Dalam
skripsi ini , ia menggunakan mitologi Roland Barthes untuk
menafsirkan al-Qur‟an dan menyimpulkan bahwa tafsir mistis hanya
berlaku untuk ayat-ayat mu‟amalah saja, tidak untuk „ubudiyah.30
Irpan Sanusi menulis “Pesan Semiotis al-Qur‟an Analisis
Strukturalisme Qs. Al-/ahab.” Ia menggunakan pendekatan
strukturalisme Roland Barthes untuk membedah penafsiran Qs. Al-
Lahab dengan menganalisis makna denotasi yang ia istilahkan dengan
momen ilmiah, dan makna konotasi yang ia istilahkan dengan momen
mitis. Penelitian ini berkesimpulan bahwa mitos lain dari Abu Lahab
yaitu bahwa Abu Lahab merupakan simbol kapitalis-monopolis
Mekah. Sehingga pesan filosofis yang terkandung yaitu etika
ekonomi Islam yang harus berdasarkan keadilan dan kebijakan sosial
dalam mengembangkan ekonomi keumatan.31
Noval Aldiana Putra menulis “Kisah A܈ḥāb al-Sabt dalam Al-
Qur‟an Analisis Semiotika Roland Barthes”. menggunakan
pendekatan semiotika Roland Barthes untuk menganalisis kisah
A܈ḥāb al-Sabt dalam Al-Qur‟an dengan menganalisis makna denotasi
yang ia istilahkan dengan nuansa denotatif, dan makna konotasi yang
ia istilahkan dengan nuansa mitos. Hasil dari penelitian ini bahwa
manusia harus menjalankan kewajibannya di dunia dan akhirat secara
seimbang. Larangan berbuat tamak yang mengarah pada sifat
materialistis dan hedonis dan kewajiban untuk saling nasihat-
menasihati dalam kebaikan.32
Kajian lain yang menggunakan semiotik sebagai pisau analisis
dalam pembacaan teks al-Qur‟an di antaranya yaitu RiFhard &.
Martin dalam Journal of the American Academy Religion dengan
judul “StruFtural Analysis and the Qur‟an Newer ApporaFhes to The
Study of IslamiF Te[t”. <ang menarik dari &. Martin yaitu dia
secara khusus menggunakan analisis struktural untuk mengkaji teks
al-Qur‟an dalam bingkai yang lebih besar, bukan lagi dalam bingkai
kalimat, melainkan bangunan struktur surat, yakni surat al-Syu‟ara.
Dia berangkat dari premis bahwa struktur teks al-Qur‟an yang ada
sekarang yaitu mitos, cerita, atau puisi, yang dengan sendirinya,
signifikan dan dianggap cocok untuk menganalisis struktur surat al-
Syu‟ara ini .33
Selanjutnya, sarjana lain yang melakukan hal serupa yaitu ,
Ali Imran yang mencoba menafsirkan al-Qur‟an melalui pendekatan
semiotik terhadap kisah Yusuf. Dalam tesisnya ini , ia
menawarkan metodologi penafsiran menggunakan semiotik melalui
dua tahap. Tahap pertama yaitu pembacaan heuristik, yaitu
pembacaan yang menekankan analisis terhadap aspek linguistik,
seperti morfologi, sintaksis, dan semantik. Analisis ini melahirkan
makna denotasi. Langkah selanjutnya yaitu pembacaan retroaktif,
atau kelanjutan dari konvensi di atas konvensi linguistik, yaitu
mengaitkan aspek intertektualitas teks, asbāb al-nX]ūl, latar belakang
historis, maupun perangkat studi ulūm al-Qur‟ān lain. pembaFaan ini
melahirkan apa yang dinamakan makna konotasi. Implikasi
pemaknaan dari kedua langkah ini , bahwa kisah Yusuf syarat
dengan pesan moral mengenai etika, sikap optimis, dakwah,
kesabaran, hukum, dan kekuasaan Allah Swt.34
Dari beberapa karya yang disinggung di atas, penulis
berasumsi bahwa pembahasan semiotika atas kisah Nabi Sulaiman
dalam al-Qur‟an masih belum diteliti. Figur Nabi Sulaiman yang
dijadikan objek kisah dalam al-Qur‟an syarat dengan nuansa simbolik
yang dikenal di benak komunitas muslim sebagai sosok nabi dan raja
yang kaya raya dan cerdas, karenanya perlu diteliti dan menarik
dikembangkan. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha mengisi
kekosongan penelitian mengenai kisah Nabi Sulaiman dengan
pendekatan Semiotika Roland Barthes yang kemudian dicari makna-
makna baru dari kisah ini .
G. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan terarah,
maka disini akan dipaparkan gambaran umum tentang tahapan
penelitian dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I merupakan pendahuluan sebagai gambaran umum dari
penelitian yang dilakukan oleh penulis. Bab ini mencakup latar
belakang masalah yang berisikan beberpa hal yang menjadi alasan
penulis mengkaji tema ini. Sebagai acuan dan untuk mempertegas
permasalahan serta membatasi pembahasan agar tidak meluas, maka
dicantumkan dalam rumusan masalah berupa pertanyaan yang jelas.
Kemudin, agar lebih jelas maksud dari penelitian ini, maka subab
selanjutnya yaitu memaparkan tujuan dan manfaat dari penelitian
ini. Kajian pustaka dipaparkna untuk melihat perbedan penelitin ini
dengan penelitin sebelumnya. Kemudin metode penelitian dan
diakhiri dengan sistemtika pembahasan.
Bab II Menjelaskan tentang gambaran umum semiotika yang
terdiri dari pengertian semiotika dan sejarah perkembangannya,
riwayat hidup serta semiotika Roland Barthes dan langkah operasional
penafsiran.
Bab III pemaparan data dan informasi terkait kisah Nabi
Sulaiman. Bagian pertama menyajikan kisah Nabi Sulaiman yang
diceritakan dalam perjanjian lama dan al-Qur‟an, dilanjutkan dengan
kisah Nabi Sulaiman dalam kitab tafsir dengan menggunakan
beberapa kitab tafsir, yaitu: Tafsir al-ܑabarī, Tafsir Fī iܱlāl al-
4Xr¶ān, dan Tafsir al-Misbah.
1 7
SEMIOTIKA DAN ROLAND BARTHES
Pada bab II ini penulis akan membahas mengenai semiotika dan
Roland Barthes, yang berisi tentang pengetian, Sejarah perkembangan dan
komponen dasar semiotika, dan Roland Barthes yang terdiri dari: riwayat
hidup, semiotika Roland Barthes, dan pembacaan teks menurut Roland
Barthes. Dilanjutkan dengan langkah operasional penafsiran, yaitu akan
disebutkan langkah-langkah penafsiran berdasakan teori Roland Barthes.
A. Semiotika
1. Pengertian
Kata semiotika diturunkan dari bahasa Inggris: semiotics . Nama
lain semiotika yaitu semiology. Keduanya memiliki arti yang sama,
yaitu sebagai ilmu tentang tanda. Baik semiotika atau semiology
berasal dari bahasa Yunani: semeion , yang berarti tanda.1 Oleh sebab
itu, semiotika sering disebut sebagai ilmu yang mengkaji tentang
tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial dan
kebudayaan merupakan sekumpulan tanda-tanda, sehingga dalam hal
ini semiotika dianggap ilmu yang mempelajari sistem-sistem, aturan-
aturan atau konvensi yang memungkinkan suatu tanda memiliki arti.2
Dasar dari semiotika yaitu konsep tentang tanda: tak hanya bahasa
dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan
dunia itu sendiri pun seluruhnya terdiri atas tanda-tanda.
Bahasa itu sendiri merupakan sistem tanda yang paling
fundamental bagi manusia. Sedangkan tanda-tanda nonverbal seperti
gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta praktik sosial konvensional
lainnya, dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun dari
tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-
relasi.3
Menurut Saussure, semiotika yaitu suatu ilmu yang
mempelajari tanda-tanda kehidupan dalam masyarakat yang bersifat
dan dapat dipahami.4 Tujuannya yaitu untuk menunjukkan
bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah-kaidah yang
mengaturnya.5 Kekhasan teori Saussure terletak pada kenyataan
bahwa ia menganggap bahasa sebagai sistem tanda. Sedangkan
menurut Charles Sanders Peirce, semiotika sinonim dengan logika,
yang mempelajari bagaimana orang bernalar. Penalaran itu, menurut
hipotesis teori Peirce yang mendasar, dilakukan melalui tanda-tanda.
Tanda-tanda memungkinkan seseorang berpikir, berhubungan dengan
orang lain, dan memberikan makna pada apa yang ditampilkan oleh
alam semesta.6 Umberto Eco mengatakan bahwa semiotika yaitu
sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat
digunakan untuk berdusta.7 Maksudnya, jika semiotika yaitu sebuah
teori kedustaan, maka ia juga teori kebenaran, sebab jika semua tanda
tidak dapat digunakan untuk mengungkap kebenaran, maka ia tidak
dapat pula digunakan untuk mengungkap kedustaan. Dengan kata
3
lain, meskipun Eco menjelaskan semiotika sebagai teori kedustaan,
implisit di dalamnya yaitu teori kebenaran, seperti kata siang yang
implisit dalam kata malam.8 Sementara itu, bagi Barthes, semiotika
hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai
hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat
dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate).
Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa
informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi,
namun juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.9
2. Sejarah Perkembangan
Semiotika mempunyai sejarah yang sangat panjang sejak
zaman Yunani kuno, melalui zaman pertengahan dan renaissance,
hingga masa modern ini. Bidang penelitiannya juga sangat luas,
bahkan tak jelas batasan-batasannya, mulai dari tradisi bidang
kedokteran, filsafat, linguistik, dan lain-lain.10
Kemunculan semiotika merupakan akibat langsung dari
formalisme dan strukturalisme. Pada dasarnya kelahiran strukturalisme
di awal abad ke-20, yang kemudian disusul oleh semiotika, merupakan
akibat stagnasi strukturalisme itu sendiri. Pemikiran tentang tanda
sebenarnya sudah dilakukan sejak zaman Yunani. Para ahli filsafat
Yunani sekali-kali sudah memikirkan fungsi tanda. Selain itu, pada
masa filsafat Yunani abad pertengahan pengertian serta penggunaan
tanda juga telah disinggung, istilah semitoka sendiri baru digunakan
pada abad ke-18 oleh Lambert (seorang ahli filsafat dari Jerman)
sebagai sinonim kata logika , dan orang baru memikirkan secara
sistematis tentang penggunaan tanda dan ramai-ramai membahasnya
pada abad ke-20.11
Berdasarkan perkembangan zaman Yunani sampai zaman
modern, kelahiaran strukturalisme dan semiotika masing-masing
berakar dalam kondisi berbeda sesuai konteks sosial yang
melahirkannya. Strukturalisme dan semiotika merupakan dua teori
yang identik. Strukturalisme memutuskan perhatian struktur karya
sastra, sedangkan semiotika pada tanda di dalamnya. Sementara itu,
menurut Noth ada empat tradisi yang melatarbelakangi kelahiran
semiotika, yaitu: semantik, logika, retorika, dan hermeneutika.12
Kelahiran semiotika modern tidak bisa dilepaskan dari dua
tokoh yang sering disebut sebagi bapak semiotika modern, yaitu:
Ferdinan de saussure (1857-1913) dan Charles Peirce (1839-1914).
Kedua tokoh ini tidak saling mengenal dan masing-masing
mengembangkan teori semiotika di daerah yang berbeda. Saussure
mengembangkan semiotika di Prancis, sedangkan Pierce di Amerika.
Kedua tokoh ini pun memiliki perbedaan-perbedaan terutama dalam
penerapan konsep. Perbedaan ini disebabkan karena latarbelakang
yang berbeda. Saussure seorang ahli bahasa dan menjadi cikal bakal
lingistik umum, sementara itu Pierce yaitu seorang ahli filsafat dan
logika.13 Sedangkan pengikut-pengikutnya yang mengembangkan
pikiran keduanya yaitu Hjmslev (1819-1965) seorang strukturalis
Denmark, Roland Barthes (1915-1980), Ch Morris, Umberto Eco, dan
di Indonesia Asrt Van Zoest seorang ahli semiotik Belanda yang
beberapa semester menjadi dosen tamu di Universitas Indonesia.14
3. Komponen Dasar Semiotika
Membicarakan komponen dasar semiotika tidak lepas dari
masalah-masalah pokok mengenai tanda (sign), lambang (symbol ),
dan isyarat (nal). Pemahaman masalah lambang mencakup
pemahaman masalah penanda (signifier; signans; signifiant ) dan
petanda (signified; signatum; signifie ). Ketiga masalah di atas
dimasukkan ke dalam cakupan ilmu semiotika dikarenakan
memungkinkan terjadinya komunikasi antara subjek dan objek dalam
jalur pemahaman sebagai komponen dasar semiotika.15
1) Tanda merupakan bagian dari ilmu semiotika yang menandai
sesuatu hal atau keadaan untuk menerangkan atau memberitahukan
objek kepada subjek. Dalam hal ini tanda selalu menunjukan pada
sesuatu hal yang nyata, misalnya, benda, kejadian, tulisan, bahasa,
tindakan, peristiwa, dan bentuk-bentuk tanda lainnya. Sebagai
contoh konkret, yaitu adanya petir selalu ditandai oleh adanya kilat
yang mendahului adanya petir ini . Tanda-tanda tertentu dapat
dilaksanakan oleh makhluk lain yang tidak memiliki sifat-sifat
kultural, misalnya bunyi-bunyi binatang yang menunjuk pada
“nama binatang” itu sendiri. Seolah-olah bunyi yang ditimbulkan
oleh binatang itu tidak mempunyai makna apa-apa, kecuali sebagai
pertanda dari binatang itu sendiri. Tiruan bunyi seperti “wok wok
kethekuur” akan menunjuk nama binatang merpati, “koor tetilang”
menunjuk nama binatang perkutut, “kukuruyuk” akan menunjuk
nama binatang ayam dan sebagainya. Tanda-tanda ini dari
dulu sampai sekarang tetap saja, tidak berubah dan tanpa kreatif
apapun. Jadi, tanda yaitu arti yang statis, umum, lugas, dan
objektif.16
2) Lambang yaitu sesuatu hal atau keadaan yang memimpin
pemahaman si subjek kepada objek. Hubungan antara subjek dan
objek terselip adanya pengertian sertaan. Suatu lambang selalu
dikaitkan dengan tanda-tanda yang sudah diberi sifat-sifat kultural,
situasional, dan kondisional. Warna merah putih pada bendera kita
“Sang Kaka Merah Putih” merupakan lambang kebanggaan bangsa
Indonesia. Warna merah diberi makna secara situasional,
kondisional dan kultural oleh bangsa Indonesia yaitu : gagah,
berani, dan semangat yang berkobar-kobar untuk meraih cita-cita
luhur bangsa Indonesia, yaitu masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Demikian
pula pada warna putih, secara kondisional, situasional dan kultural
diberi makna: suci, bersih, mulia, luhur, bakti dan penuh kasih
sayang. Jadi, lambang yaitu tanda yang bermakna dinamis,
khusus, subjektif, kias, dan majas . Dalam karya sastra, baik yang
berupa puisi, cerita rekaan maupun drama, terdapat berbagai
macam lambang, antara lain: lambang warna, lambang benda,
lambang bunyi, lambang suasana, lambang nada, dan lambang
visualisasi imajinatif yang ditimbulkan dari tata wajah atau
tipografi. Peirce berpendapat bahwa lambang merupakan bagian
dari tanda. Setiap lambang yaitu tanda, dan tidak setiap tanda itu
dapat sebagai lambang. Adakalanya tanda dapat menjadi lambang
secara keseluruhan, yaitu dalam bahasa. Bahasa sesungguhnya
merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara penanda
dan petandanya. Penanda yaitu yang menandai dan sesuatu yang
segera terserap atau teramati, mungkin terdengar sebagai bunyi
atau terbaca sebagai tulisan, misalnya: [cinta], namun mungkin pula
terlihat dalam bentuk penampilan, misalnya: wajahnya memerah,
nafasnya terengah-engah, gerakannya gemetaran, tampangnya
menyeramkan, dan sebagainya. Petanda yaitu sesuatu yang
tersimpulkan, tertafsirkan, atau terpahami maknanya dari ungkapan
bahasa maupun non-bahasa. Hubungan penanda dan petanda
terdapat berbagai kemungkinan yang terjadi dalam penggunaan
bahasa akan menjadi dasar struktur semiosis. Penanda yaitu
sesuatu yang ada dari seseorang bagi sesuatu (yang lain) dalam
suatu segi pandangan. Penanda itu menggantikan sesuatu bagi
seseorang; seseorang ini yaitu penafsir, penanda ini kemudian
kemudian menggantikan sesuatu bagi seseorang dari segi
pandangan; segi pandangan ini merupakan dasarnya. Jadi, dalam
komponan dasar semiotika ini akan dikenal adanya empat istilah
dasar, yaitu penanda, petanda, penafsir, dan dasar.17
3) Isyarat yaitu sesuatu hal atau keadaan yang diberikan oleh si
subjek kepada objek. Dalam keadaan ini si subjek selalu berbuat
sesuatu untuk memberitahukan kepada si objek yang diberi isyarat
pada waktu itu juga. Jadi, isyarat akan berubah menjadi tanda atau
perlambang. Ketiganya (tanda, lambang,dan isyarat) terdapat
nuansa, yakni perbedaan yang sangat kecil mengenai bahasa,
warna dan sebagainya.
B. Roland Barthes
1. Riwayat Hidup
Menelusuri riwayat hidup Roland Barthes untuk menemukan
konstruksi pemikirannya bukan perkara yang mudah. Tokoh kaliber
Jonathan Culler menyatakan bahwa Barthes sebagai man of parts ,
manusia yang terbagi-bagi, atau John Surrock dalam essainya
Structuralism and Sciens menyebutnya sebagai “sosok yang tak
tertandingi”19. Hal ini bukan tanpa alasan, ia dikenal publik
sebagai individu yang pemikiran-pemikirannya multi-dimensional,
menjalar dan mewarnai di berbagai disiplin keilmuan humaniora.
Contohnya, selain sebagai seorang semiolog, ia juga dikenal seorang
strukturalis dan kritikus sastra.
Roland Barthes, terlahir dari pasangan Louis Barthes dan
Henriette Binger dan dididik oleh keluarga kelas menengah Protestan
di Chevourg pada tahun 1915 dan meninggal di Paris pada sebuah
tabrakan di Paris tahun 1980. Dalam riwayat hidupnya, belum genap
berumur satu tahun, ayahnya wafat saat melaksanakan tugas sebagai
perwira angkatan laut. Selanjutnya Barthes dibesarkan oleh ibu, bibi,
dan neneknya di Bayonne, sebuah kota kecil dekat atlantik sebelah
Barat Daya Prancis. Selama disana, ia diajari musik, oleh bibinya
yang kebetulan seorang guru piano. Saat itulah Barthes untuk pertama
kalinya bersentuhan langsung dengan budaya.20
Tepat di usia kesembilan, Barthes dibawa ibunya ke Paris
untuk menempuh pendidikan formal di Lycee Montaigne (1924-1930)
dan di Lycee L ouis- le-grand (1930-1934). Sebagai seorang pelajar
Barthes tergolong cerdas, ia mendapat ijazah dalam kesusastraan
klasik. Sayangnya, kesehatannya terganggu karena ia menderita
penyakit TBC sehingga karir akademiknya terganggu. Namun kondisi
itu pula yang menghindarkannya dari wajib militer semasa perang
dunia kedua. Selama periode 1939-1948 sebagian besar dihabiskan
untuk mendapat gelar di bidang tata bahasa dan filologi.21 sesudah
masa-masa penyembuhan di Paris, pada tahun 1952 ia mendapat
tempat di The Center National de Research Scientifique (pusat riset
ilmiah nasional) yang memusatkan penelitiannya dalam sosiologi dan
leksikologi.
Pada masa awal 1960-an Barthes mengeksplorasi bidang
semiologi dan strukturalisme, hingga akhir tahun ia telah memiliki
reputasi yang mapan bagi dirinya sendiri. Semasa hidupnya Barthes
dikenal sebagai penerus pemikiran linguistik dan semiotika Ferdinan
de Saussure. Melalui sejumlah karyanya, terlihat bahwa Barthes tidak
hanya melanjutkan pemikiran Saussure tentang hubungan bahasa dan
makna, pemikirannya justru melampaui Saussure terutama saat
Barthes menggambarkan makna ideologis dari bahasa yang
diketengahkanny sebagai mitos. Selain itu, Barthes juga tidak
sependapat dengan pandangan Saussure yang mengatakan lingusitik
hanyalah salah satu cabang dari semiotika yng luas cakupannya. Bagi
Barthes, linguistik bukan bagian dari ilmu tanda, apalagi bagian yang
istimewa, namun semiotikalah yang merupakan bagian dari linguistik
yang menggarap satuan-satuan penandaan besar dari sautu wacana.22
Barthes juga merupakan seorang penulis yang produktif.
Karya-karyanya yang dihasilkan semasa hidupnya antara lain: Le
'HJrHH ]HrR dH ,¶(FrLtXrH ZrLtLnJ 'HJrHH =HrR pada tahun 1956,
Mythologies (1957), Sur Racine (On Racine) tahun 1964, Element de
Semiolog ie (Elemen of Semiologi) tahun 1972, System de la Made
(Empire of Signs, The Fasion System) tahun 1982, Essais Critique
(Critical Essays) tahun 1972, Le Plassire du Texte (The Pleassure of
The Teks) tahun 1977, Image, Music, Text tahun 1977, Mytologies
(1972), $ /RYHr¶V 'LVFRXrVH (1979).23
Sejak tahun 1960-an, Barthes ditetapkan sebagai seorang
strukturalis terkemuka di Paris. dimana pemikiran-pemikirannya turut
mewarnai dinamika kehidupan Prancis baik secara teoritis di kalangan
akademik, maupun secara praktis dalam politik kenegaraan. sesudah
ibunya Henrietta Barthes meninggal pada tahun 1977, Barthes
menyusul kepergiannya pada tanggal 28 Maret 1980 dalam sebuah
kecelakaan sesaat sesudah makan siang dengan Michael Foucault dan
Francois Mitterand, seorang tokoh oposisi sosialis yang terpilih
menjadi presiden pada bulan Mei sesudahnya.24
2. Semiotika Roland Barthes
Barthes sebagaimana disinggung pada uraian di atas, tidak
hanya terpengaruh, tapi juga berhutang budi pada Saussure yang
notabene merupakan founding fathes semiologi. Hubungan
penanda (signifier), petanda (signified), dan hubungan langue-
parole dan unsur-unsur lainnya yang saling mengikat merupakan
apa yang dapat kita kenal sebagai struktur.
Dalam hal ini, Barthes sepakat dengan Saussure bahwa
penanda untuk menjelaskan bentuk/ekspresi, citra akustik,
sementara petanda untuk menjelaskan konsep atau makna, citra
mental yaitu komponen tanda.25 Contoh yang digunakan Barthes
yaitu setangkai bunga mawar yang bisa menggambarkan gelora
cinta sipemberi bunga itu terhadap seseorang yang dicintainya.
Sebagaimana telah diuraikan pada sub-bab sebelumnya,
Barthes mengemukakan bahwa tanda (sign) merupakan satuan
dasar bahasa yang tersusun dari dua unsur yang tak dapat
dipisahkan, yaitu citra-bunyi atau penanda (signifier) dan konsep
sebagai petanda (signified). 26 Karena penanda yaitu gejala yang
selain diserap oleh [kognisi] manusia juga diproduksi, ditinjau dari
segi pemproduksi tanda, penanda (signifier) disebutnya expression
(selanjutnya disebut E=pengungkapan), dan petanda (signified)
sebagai content (selanjutnya disebut C=isi). 27
Bagi Barthes hubungan (relasi atau R) antara E (ekspresi) dan
C (isi) terjadi pada kognisi manusia dalam lebih dari satu tahap.
Tahap pertama yaitu dasar (disebut sistem primer) yang terjadi
pada saat tanda diserap untuk pertama kalinya, yakni adanya R1
antara E1 dan C1. Inilah yang disebut denotasi, yakni pemaknaan
yang secara umum diterima dalam konvensi dasar sebuah
masyarakat. Proses ini bisa dilihat dari aspek linguistik pada suatu
bahasa.
Namun pemaknaan tidak hanya terjadi pada tahap primer.
Proses itu akan dilanjutkan dengan pengembangannya pada sistem
sekunder, yakni R2 antara E2 dan C2. Di sini ada relasi baru (R2).
Sistem sekunder yaitu suatu proses lanjutan yang
mengembangkan segi E (exspression) maupun C (content) . Proses
pengembngan dari sistem primer itu mengikuti dua jalur. Jalur
pertama yaitu pengembangan pada segi E. Saat menjadi bentuk
(E), makna meninggalkan pelbagai kemungkinan yang
mengitarinya. Ia dengan sendiri menjadi kosong, miskin. Sejarah
menguap dan tersisa hanya huruf-huruf. Dengan kata lain, bentuk
(E) tidak menyembunyikan, melainkan memiskinkan makna.
Hasilnya yaitu suatu tanda mempunyai lebih dari satu E untuk C
yang sama. Ini disebut metabahasa.28 Contohnya dalam bahasa
yaitu pengertian „seseorang yang dapat menggunakan ilmu gaib
untuk tujuan tertentu‟ diberi nama seFara umum (baFa ekspresi)
dukun, tapi juga dapat diekspresikan dengan paranormal, atau
orang pinter. Dalam linguistik, gejala ini disebut sinonim.29
Jalur kedua yaitu pengembangan pada segi C. Hasilnya
yaitu suatu tanda mempunyai lebih dari satu C untuk E yang
sama. Contohnya dalam Bahasa, yaitu kata (baca: ekspresi)
Mercy (E) yang maknanya (C) dalam sistem primer yaitu
kependekan dari Mercedes Benz, merek sebuah mobil buatan
Jerman. Dalam proses selanjutnya makna primer itu (C)
berkembang menjadi mobil mewah, mobil orang kaya, mobil
konglomerat, atau simbol status sosial ekonomi tinggi.
Pengembangan makna (C) seperti itu oleh Barthes disebut
konotasi .30 Metabahasa dan konotasi merupakan hasil proses
pengembangan dalam cara manusia memaknai tanda.
Konotasi tentang suatu gejala budaya dapat terbentuk pada
suatu komunitas. Dengan kata lain, mitos yaitu terma yang
digunakan Roland Barthes untuk menunjukkan makna konotasi.
Selanjutnya melalui paradigma Saussure, Barthes menjelajahi
dengan tekun segala kemungkinan dari linguistik modern
(struturalisme) untuk membangun teori mitosnya. Berbeda dengan
makna mitos yang kita kenal secara umum, Barthes
mengemukakan bahwa mitos yaitu bahasa. Dalam uraiannya, ia
mengemukakan bahwa mitos dalam pengertian khusus ini
merupakan perkembangan dari konotasi. Parole itu mengandung
pesan dan tidak selalu harus berbentuk lisan dan bahkan tidak
mesti verbal.31
Mitos berasal dari bahasa Yunani mutos, atau Mythos
(mitos, mite, fabula, hikayat, legenda, percakapan, ucapan,
pembicaraan), mytheomai memiliki arti menceritakan,
menghubungkan. Biasanya dipakai untuk menunjuk cerita yang
tidak benar, cerita yang tidak mempunyai kekuatan historis.
Meskipun demikian, cerita semacam itu tetap dibutuhkan agar
manusia dapat memahami lingkungan dan dirinya.32
Mitos sendiri, sebagaimana yang dijelaskan Barthes yaitu
suatu jenis tuturan atau wicara (a type of speech ) yang dapat
terbentuk dari berbagai hal (things), dengan ketentuan disampaikan
sebagai wacana, dan mitos tidak ditetapkan oleh obyek pesannya,
namun oleh caranya menyatakan pesan.33 Dari pengertian ini
dapat dipahami bahwa mitos tidak hanya terjadi dalam bentuk
tuturan oral saja, melainkan bisa juga dalam bentuk tulisan,
fotografi, film, pertunjukan, iklan lukisan atau apapun yang
disampikan dalam bentuk wacana. Dengan demikian, pada
dasarnya mitos yaitu semua yang mempunyai modus
representasi.
Sistem tanda yang dipakai dalam mitos juga merupakan
sistem tanda tingkat kedua, yakni sistem konotasi. Dalam artian,
sedemikian rupa mitos telah membangun maknanya dengan cara
mengeksploitasi, merekayasa, dan mempermainkan sistem tanda
bahasa (sistem tanda pertama primer) kemudian mengikatkannya
dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau
keyakinan. Misalnya, „mawar‟ sebagai sistem tanda pertama,
„mawar‟ berarti bunga berwarna merah dengan tangkai yang
berduri. Sedangkan sebagai sistem tanda kedua, „mawar‟ bisa
berarti kasih sayang atau cinta. Dengan demikian, mitos tidak lagi
sekedar memiiki makna ditingkat primer (makna denotatif),
melainkan menyembunyikan makna lain (makna mitos) atau juga
disebut makna konotasinya bersifat implisit. Untuk memperjelas
pandangan ini ,Barthes membuat model yang menggambarkan
penindasan sistem tanda mitos pada sistem tanda sebagai berikut:34
Tampak dalam model ini bahwa dalam mitos terdapat dua
sistem semiologis, yang pertama yaitu bahasa sebagai sistem
linguistik, dan yang kedua yaitu mitos itu sendiri. Tanda bahasa
(sistem tanda tingkat pertama) yang berupa kesatuan penanda dan
petanda berubah menjadi sekedar PENANDA dalam mitos (sistem
tanda tingkat kedua). PENANDA dalam sistem mitos kemudian
menempati dua posisi, yakni penuh dan kosong. saat pada posisi
penuh, yakni penanda pada sistem bahasa, Barthes menyebutnya
sebagai makna (meaning), dan disaat kosong, yakni penanda pada
sistem mitos disebut sebagai bentuk (form ). Sedangkan untuk petanda,
Barthes tetap menyebutnya sebagai konsep karena tidak menimbulkn
keambiguan. Konsep yaitu elemen yang mengonstitusikan mitos, dan
jika ingin menguraikan mitos, maka harus ditemukan konsepnya,
misalnya konsep kebaikan, kesatuan, kemanusiaan, dan sebagainya.
Jika tanda dalam sistem bahasa dipakai dalam hubungan antara
penanda dan petanda dalam sistem mitos, tanda merupakan
keseluruhan dari hasil sistem semiologis terdahulu yang disebut
Barthes sebagai signifikasi/pemaknaan (signification) .35
Penempatan penanda mitos dalam dua posisi ini sangat
menentukan analisis mitos. Hal ini karena penanda mitos diambil dari
sistem tanda bahasa yang sebelumnya memiliki makna penuh,
kemudian mengalami penguapan makna, terjadi kekosongan dan yang
tersisa hanyalah deretan huruf yang siap diisi oleh konsep sistem
mitos. Mitos yang bertahan secara historis diulang-ulang dan menjadi
acuan dalam proses pemaknaan akan mengisi kode-kode budaya pada
masyarakat tertentu. Petanda pada sistem mitos, menjadi bagin dari
fragmen ideologi dari fragmen ideologi dimana penandanya yaitu
konotator-konotator.36
Pandangan Barthes mengenai mitos ini, secara tidak langsung
telah membawa kesadaran kepada kita untuk lebih jeli lagi membaca
sebuah “fakta” yang tersaji di hadapan kita, karena bisa jadi itu yaitu
sebuah mitos yang membawa “ideologi tersembunyi” yang hendak
dinaturalisasikan melalui sistem mitos. Selain itu, secara teoritik
pandangan Barthes tentang mitos ini telah menyumbangkan sebuah
metode yang dapat digunakan untuk mengupas mitos yang
berlangsung di hadapan kita. Persoalan kemanusiaan bisa saja menjadi
obyek kajian analisis mitos Barthes. Karena tentunya mitos yang
merupakan sebuah bentuk wicara yang disampaikan sebagai wacana,
dapat terjadi dimanapun juga. Secara khusus, sumbangan metodologi
Barthes dalam mengupas mitos ini , membantu penulis untuk
dapat mengupas kemungkinan-kemungkinan sistem mitos yang ada
pada kisah Nabi Sulaiman dalam al-Qur‟an.
4. Pembacaan teks menurut Roland Barthes
Dalam kelanjutannya, Barthes melampaui bahasa dan melihat
semua jenis produksi budaya sebagai teks yang kemudian, ia
memperkenalkan gejala budaya sebagai mitos yang menurutnya
yaitu bahasa. Dalam Image, Music, Text (19 97) Barthes bahkan
membahas fotografi, musik, dan teks sebagai bahasa.37
Menurutnya, teks sebagai tanda harus memiliki ekspresi (E),
dan isi (C). Dengan demikian teks dilihat sebagai; (1) suatu maujud
(entitas) yang mengandung unsur kebahasaan. (2) maujud (entitas)
yang untuk memahaminya harus bertumpu pada kaidah-kaidah dalam
bahasa teks. (3) bagian dari kebudayaan sehingga tidak dapat
dilepaskan dari konteks budayanya dan lingkungan spasiotemporal,
yang berarti harus memperhitungkan faktor pemroduksi dan penerima
teks.38
C. Langkah Operasional Penafsiran
Langkah aplikasi metode semiotika Roland Barthes secara
konkret meliputi tiga langkah. Pertama, penggalian makna awal/
denotasi. Kedua, penggalian makna konotasi dan ketiga, penggalian
makna mitis/ simbolis.
1. Penggalian Makna Awal/ Denotasi
Langkah pertama untuk mencari makna awal/ denotasi yaitu
pembacaan berdasarkan konvensi bahasa yang menekankan analisa
terhadap aspek linguistik, seperti: sintaksis, morfologi, dan
semantik.39 Untuk mencari makna awal/ denotasi digunakan kamus
mX¶Mam tafsiran-tafsiran, dsb. Namun pada dasarnya, pembacaan
semiotik tingkat pertama pada kisah-kisah yang terdapat dalam al-
Qur‟an tidak terbatas pada konvensi bahasa, tapi juga melibatkan
analisa struktur kisah ini , seperti: tema, tokoh, penokohan,
latar, alur, dan sebagainya. Menurut Ali Imran tahap ini disebut
tahap heuristik.40
2. Penggalian Makna Konotasi
Langkah berikutnya yaitu pembacaan berdasarkan sistem
semiotik tingkat kedua atau retroaktif yang akan melahirkan makna
sekunder atau makna konotasi, meliputi hubungan internal teks al-
Qur‟an, intertekstualitas,41 aVbāb al-nX]ūl, latar belakang historis,
maupun perangkat studi Xlūm al-4Xr¶ān yang lain.42
3. Penggalian Makna Mitis/ Simbolis
Langkah berikutnya yaitu untuk menemukan makna mitos
dari teks. Mitos berada dalam sistem semiotik tingkat kedua
dimana di dalamnya dapat terungkap makna-makna baru dari
makna yang sudah ada. Langkah ini dimulai dengan menganalisis
teks melalui dua tingkatan pembacaan makna seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya diatas, hingga menemukan makna mitos
dati teks ini .
KISAH NABI SULAIMAN
Kisah dalam al-Qur‟an yaitu Ferita al-Qur‟an tentang hal
ihwal ummat yang telah lalu, nubuwwat kenabian yang terdahulu dan
peristiwa yang telah terjadi. Kisah-kisah di dalam al-Qur‟an seFara
sederhana terbagi dalam tiga jenis. Pertama, kisah para nabi ( qa܈a܈
al-anbL\a¶). Kedua, kisah para tokoh, baik secara individu maupun
kelompok/ golongan yang diceritakan dalam al-Qur‟an meliputi
tokoh baik dan bijak maupun tokoh jahat dan ingkar. Ketiga, kisah
yang terkait dengan berbagai macam peristiwa yang terjadi di masa
Rasul Saw.1
Pada bab ini akan menyajikan kisah Nabi Sulaiman dalam
kitab suci, dalam hal ini akan menjelaskan bagaimana Sulaiman
dikisahkan dalam kitab perjanjian lama dan al-Qur‟an, dilanjutkan
dengan pemaparan kisah Nabi Sulaiman dalam kitab tafsir, yaitu:
Tafsir al- ܑabarī 7afVLr )ī ܱLlāl al-4Xr¶ān dan Tafsir al-Misbah
untuk memudahkan proses pembacaan tahap retroaktif di bab
selanjutnya.
A. Kisah Nabi Sulaiman Dalam Kitab Suci
1. Kisah Nabi Sulaiman Dalam Perjanjian Lama
Di dalam Kitab 2 Samuel dicatat bahwa Sulaiman lahir di
Yerusalem2 dan juga terdapat kisah yang melatarbelakangi
kelahirannya. Raja Daud berhubungan gelap dengan Batsyeba, ibu
Sulaiman, saat perempuan itu masih menjadi istri Uria orat Het,
salah seorang pahlawan Daud. saat Batsyeba hamil dari
hubungan itu, maka Daud kemudian memerintahkan agar Uria
dikirimkan ke garis paling depan dari peperangan supaya ia mati
terbunuh. sesudah Uria mati, dan lewat waktu berkabung, maka
Daud menyuruh membawa perempuan itu ke rumahnya. Perempun
itu menjadi istrinya, dan melahirkan seorang anak laki-laki
baginya. namun hal yang telah dilakukan Daud itu yaitu jahat di
mata Tuhan.3 Tuhan mengutus Nabi Natan kepada Daud untuk
membuka kejahatan itu serta menghukumnya agar Daud menyesal.
Dan Tuhan membuat anak itu sakit hingga meninggal, dan hal itu
membuat Batsyeba bersedih. kemudian Daud menghibur hati
Batsyeba, isterinya; ia menghampiri perempuan itu, dan tidur
dengan dia, dan perempuan itu melahirkan seorang anak laki-laki,
lalu Daud memberi nama Sulaiman kepada anak itu.4
Kemunculan Daud pertama kali bertepatan dengan
peristiwa perang Puputan yang berlangsung antara Bani Israel dan
Amaliq guna memperebutkan tanah Palestina. Ayah Daud bernama
Isai ibn Obed ibn Boas yang berasal dari suku Yahudi dan suku
Rut Moab. Silsilah Daud disebutkan dalam Kitab Rut 4: 18-22.
Daud memiliki anak-anak dari 8 istri.5
“Dalam Tawarikh I bab 3 dikatakan bahwa Daud memiliki
anak dari beberapa istri. Daud bersinggasana di Hebron
selama 7 tahun 6 bulan. Anak-anak Daud dari istri-istrinya
di Hebron berjumlah enam orang. Anak sulungnya, Amnon,
dari istri yang bernama Ahinoam, seorang perempuan dari
Yizreel. Anak kedua, Daniel, dari istri yang bernama
Abigail yang berasal dari Karmel. Anak ketiga, Absalom,
dari istrinya Maakha, anak perempuan Talmai raja Gesur.
Anak keempat, Adonia, dari istrinya Hagit. Anak kelima,
Sefaca, dari ibu yang bernama Abital. Anak ke enam,
Yitream, dari istri Daud yang bernama Elga. Kemudian
Daud bersinggasana di Jerussalem selama 33 tahun.
Sedangkan anak-anaknya di -erussalem ialah Syim‟a,
Syubab, Natan, dan Sulaiman. keempatnya dilahirkan oleh
istrinya yang bernama Batsyeba, anak perempuan Ammiil.
Selain itu Daud juga memiliki anak lagi, yaitu Yibhar,
Nogah, Nefeg, Yafia, Elisama, Elyada dan Elifelet. Ada
juga seorang anak perempuan dengan panggilan Tamar.
Semua anak yang disebutkan ini belum termasuk anak-anak
dari selir.6”
saat Daud telah tua, dan diperkirakan tidak lama lagi
usianya, Adonia putra Daud dari istrinya, Hagit, mengangkat diri
menjadi raja, dengan dukungan panglima Yoab dan imam besar
Abyatar.7 Pada acara pengangkatan menjadi raja, Adonia
mempersembahkan domba, lembu, dan ternak gemukan sebagai
korban dekat batu Zohelet yang ada di samping En-Rogel, lalu
mengundang semua saudaranya, anak-anak raja, dan semua orang
Yehuda, pegawai-pegawai raja; namun nabi Natan, imam Zadok,
Benaya bin Yoyada dan para pahlawan, dan Sulaiman, adiknya,
tidak diundangnya.8 Nabi Natan memberi nasihat kepada Batsyeba,
ibu Sulaiman, agar memberitahukan hal ini kepada Daud, yang
tidak mengetahui akan hal itu, demi menyelamatkan nyawanya
serta nyawa Sulaiman. Maka Batsyeba menghadap raja ke dalam
kamarnya. Waktu itu raja sudah sangat tua, dan Abisag, gadis
Sunem itu, melayani raja. Lalu Batsyeba berlutut, dan sujud
menyembah kepada raja. Raja bertanya: "Ada yang kau ingini?"
Lalu perempuan itu berkata kepadanya:
"Tuanku sendiri telah bersumpah demi Tuhan, Allahmu,
kepada hambamu ini: Anakmu Sulaiman akan menjadi raja
sesudah aku, dan ia akan duduk di atas takhtaku. namun
sekarang, lihatlah, Adonia telah menjadi raja, sedang
tuanku raja sendiri tidak mengetahuinya. Ia telah
menyembelih banyak lembu, ternak gemukan dan domba,
dan telah mengundang semua anak raja dan imam Abyatar
dan Yoab, panglima itu, namun hambamu Sulaiman tidak
diundangnya. Dan kepadamulah, ya tuanku raja, tertuju
mata seluruh orang Israel, supaya engkau memberitahukan
kepada mereka siapa yang akan duduk di atas takhta tuanku
raja sesudah tuanku. Nanti aku ini dan anakku Sulaiman
dituduh bersalah segera sesudah tuanku raja mendapat
perhentian bersama-sama dengan nenek moyangnya." 9
Selagi Batsyeba berbicara dengan raja, datanglah nabi
Natan. Diberitahukan kepada raja: "Itu ada nabi Natan."
Masuklah ia menghadap raja, lalu sujud menyembah kepada raja
dengan mukanya sampai ke tanah. Natan menanyakan apakah
Daud telah memutuskan Adonia menjadi penggantinya karena
pada saat yang bersamaan Adonia mengadakan pesta
pengangkatannya dengan mengundang orang-orang yang makan
minum di depannya sambil berseru: "Hidup raja Adonia!" namun
tidak mengundang Natan, imam Zadok, Benaya maupun
Sulaiman. Segera sesudah mendapat kepastian dari Natan, maka
Daud menyuruh memanggil Batsyeba, dan di depan mereka,
Daud menegaskan keputusannya dengan bersumpah, dan berkata:
"Demi Tuhan yang hidup, yang telah membebaskan nyawaku
dari segala kesesakan, pada hari ini aku akan melaksanakan
apa yang kujanjikan kepadamu demi Tuhan, Allah Israel,
dengan sumpah ini: Anakmu Sulaiman akan menjadi raja
sesudah aku, dan dialah yang akan duduk di atas takhtaku
menggantikan aku." Lalu Batsyeba berlutut dengan mukanya
sampai ke tanah; ia sujud menyembah kepada raja, dan
berkata: "Hidup tuanku raja Daud untuk selama-lamanya!" 10.
Daud segera menyuruh memanggil imam Zadok, nabi Natan,
dan Benaya bin Yoyada. sesudah mereka masuk menghadap
raja, Daud memberi perintah khusus:
"Bawalah para pegawai tuanmu ini, naikkan anakku Sulaiman
ke atas bagal betina kendaraanku sendiri, dan bawa dia ke
Gihon. Imam Zadok dan nabi Natan harus mengurapi dia di
sana menjadi raja atas Israel; kemudian kamu meniup
sangkakala dan berseru: Hidup raja Sulaiman! Sesudah itu
kamu berjalan pulang dengan mengiring dia; lalu ia akan
masuk dan duduk di atas takhtaku, sebab dialah yang harus
naik takhta menggantikan aku, dan dialah yang kutunjuk
menjadi raja atas Israel dan Yehuda." 11
Lalu pergilah imam Zadok, nabi Natan, dan Benaya bin
Yoyada, dengan orang Kreti, dan orang Pleti, mereka menaikkan
Salomo ke atas bagal betina raja Daud, dan membawanya ke Gihon.
Imam Zadok telah membawa tabung tanduk berisi minyak dari dalam
kemah, lalu diurapinya Sulaiman. Kemudian sangkakala ditiup, dan
seluruh rakyat berseru: "Hidup raja Sulaiman!" Sesudah itu seluruh
rakyat berjalan di belakangnya sambil membunyikan suling, dan
sambil bersukaria ramai-ramai, sampai seakan-akan bumi terbelah
oleh suara mereka.
Menurut penuturan Yonatan, putra imam Abyatar, Sulaiman
dengan aman duduk di atas takhta kerajaan. Pegawai-pegawai raja
telah datang mengucap selamat kepada raja Daud, dengan berkata:
Kiranya Allahmu membuat nama Sulaiman lebih masyhur
daripada namamu, dan takhtanya lebih agung daripada takhtamu.
Dan raja Daudpun telah sujud menyembah di atas tempat tidurnya,
dan beginilah katanya: :"Terpujilah Tuhan, Allah Israel, yang pada
hari ini telah memberi seorang duduk di atas takhtaku yang aku
sendiri masih boleh saksikan." 13
Segera sesudah Sulaiman diangkat menjadi raja, Adonia
menjadi takut kepadanya, sebab itu ia segera pergi memegang
tanduk-tanduk mezbah. Lalu diberitahukanlah kepada Sulaiman:
"Ternyata Adonia takut kepada raja Sulaiman, dan ia telah
memegang tanduk-tanduk mezbah, serta berkata: Biarlah raja
Sulaiman lebih dahulu bersumpah mengenai aku, bahwa ia takkan
membunuh hambanya ini dengan pedang." Lalu kata Salomo: "Jika
ia berlaku sebagai kesatria, maka sehelai rambutpun dari kepalanya
tidak akan jatuh ke bumi, namun jika ternyata ia bermaksud jahat,
haruslah ia dibunuh." Dan raja Sulaiman menyuruh orang
menjemput dia dari mezbah itu. saat ia masuk, sujudlah ia
menyembah kepada raja Sulaiman, lalu Sulaiman berkata
kepadanya: "Pergilah ke rumahmu."
Kemudian sesudah Daud wafat, Adonia melakukan upaya
kedua kalinya untuk naik tahta dengan menghadap ibu Sulaiman,
memintanya agar Sulaiman mengizinkannya menikahi seorang gadis
bernama Abisag yang terakhir melayani Daud. Sekalipun Batsyeba
memohonkannya kepada Sulaiman, Sulaiman menolak karena
memahami maksud jahat di balik permintaan itu. Raja Sulaiman
menjawab ibunya: :"Mengapa engkau meminta hanya Abisag, gadis
Sunem itu, untuk Adonia? Minta jugalah untuknya kedudukan raja!
Bukankah dia saudaraku yang lebih tua, dan di pihaknya ada imam
Abyatar dan Yoab, anak Zeruya?" Lalu bersumpahlah raja Sulaiman
demi Tuhan: "Beginilah kiranya Allah menghukum aku, bahkan lebih
daripada itu, jika Adonia tidak membayarkan nyawanya dengan
permintaan ini! Oleh sebab itu, demi Tuhan yang hidup, yang
menegakkan aku dan mendudukkan aku di atas takhta Daud, ayahku,
dan yang membuat bagiku suatu keluarga seperti yang dijanjikan-
Nya: pada hari ini juga Adonia harus dibunuh." Lalu raja Sulaiman
menyerahkan hal itu kepada Benaya bin Yoyada; orang ini
memancung dia sehingga mati.
Menurut keterangan dari kitab perjanjian lama bab Raja-raja,
sesudah Sulaiman mempersembahkan seribu korban bakaran, Allah
menampakkan diri padanya lewat mimpi, dan berjanji akan
mengabulkan apapun permintaan Sulaiman. Sulaiman meminta
kebijaksanaan dari Allah untuk menimbang segala perkara, dan
mampu bersikap sebagai raja yang adil bagi seluruh umat Israel.
yaitu baik di mata Tuhan bahwa Sulaiman meminta hal yang
demikian. Jadi berfirmanlah Allah kepadanya:
"Oleh karena engkau telah meminta hal yang demikian dan tidak
meminta umur panjang atau kekayaan atau nyawa musuhmu,
melainkan pengertian untuk memutuskan hukum, maka
sesungguhnya Aku melakukan sesuai dengan permintaanmu itu,
sesungguhnya Aku memberikan kepadamu hati yang penuh
hikmat dan pengertian, sehingga sebelum engkau tidak ada
seorangpun seperti engkau, dan sesudah engkau takkan bangkit
4 4
seorangpun seperti engkau. Dan juga apa yang tidak kau minta
Aku berikan kepadamu, baik kekayaan maupun kemuliaan,
sehingga sepanjang umurmu takkan ada seorangpun seperti
engkau di antara raja-raja. Dan jika engkau hidup menurut jalan
yang Ku tunjukkan dan tetap mengikuti segala ketetapan dan
perintah-Ku, sama seperti ayahmu Daud, maka Aku akan
memperpanjang umurmu." 14
Salah satu kebijaksanaan Sulaiman digambarkan melalui kisah
tentang dua orang perempuan sundal yang memperebutkan seorang
anak bayi. Kedua perempuan itu melahirkan anak, namun salah
satunya tidak sengaja meniduri anaknya sehingga mati. Sekarang
keduanya mengaku sebagai ibu bayi yang masih hidup. Sulaiman
meminta diambilkan sebilah pedang, dan memutuskan bahwa
supaya adil, bayi itu harus dibelah dua, dan masing-masing
perempuan itu akan mendapatkan setengah. Ibu sejati sang bayi
memohon kepada Sulaiman agar bayi itu dibiarkan hidup, bahkan
ia merelakan bayinya diserahkan kepada perempuan yang satunya,
sementara ia tidak mendapatkan bayinya. Dengan cara itu
Sulaiman berhasil menemukan ibu sejati bayi ini .15
Kabar kebijaksanaan Sulaiman sudah tersebar hingga penjuru
dunia. Hingga salah seorang pemimpin negeri kerajaan Syeba
mendengar kabar ini . Dalam Perjanjian Lama dikatakan
bahwa ratu negeri Syeba ²tanpa disebutkan namanya²
mendengar berita tentang Sulaiman dan kebijaksanaanya. Ratu
Syeba kemudian datang kepada Sulaiman untuk mencari tahu
tentang kebijaksanaan itu dan membuktikan kebenarannya. Maka
dengan pasukan pengiring yang sangat besar, dan dengan unta-unta
yang membawa rempah-rempah, banyak emas, dan batu permata
yang mahal-mahal datanglah ia ke Yerusalem hendak menguji
Sulaiman dengan teka-teki. sesudah ia sampai kepada Sulaiman,
dipercakapkannyalah segala yang ada dalam hatinya dengan dia.
Dan Sulaiman menjawab segala pertanyaan ratu itu; bagi Sulaiman
tidak ada yang tersembunyi, yang tida
%20(2).jpeg)
