Nabi Sulaiman 1

Nabi Sulaiman 1


  


 

KISAH NABI SULAIMAN DALAM AL-QUR’AN 

Pedoman Transliterasi Arab Latin yang merupakan hasil 

keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan 

dan Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 

0543b/U/1987. 

1. Konsonan 

Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf 

Latin dapat dilihat pada halaman berikut: 

Huruf arab Nama  Huruf latin Nama  

ا Alif  Tidak 

dilambangkan 

Tidak 

dilambangka

ب Ba B  Be  

ت Ta  T  Te  

ث Ṡa Ṡ Es (dengan 

titik diatas) 

ج Jim  J  Je  

ح Ḥa Ḥ Ha (dengan 

titik diatas) 

خ Kha  Kh  Ka dan Ha 

د Dal D De 

ذ Żal Ż Zet (dengan 

titik diatas) 

ر Ra R Er 

 vi 

 

ز Za Z Zet 

س Sin S Es 

ش Syin Sy Es dan ye 

ص Ṣad Ṣ Es (dengan 

titik dibawah) 

ض Ḍad Ḍ De (dengan 

titik dibawah) 

ط Ṭa Ṭ Te (dengan 

titik dibawah) 

ظ Ẓa ẓ Zet (dengan 

titik dibawah) 

ع ‘Ain ‘‒— Apostrof 

terbalik 

غ Gain G Ge 

ف Fa F Ef 

ق Qof Q Qi 

ك Kaf K Ka 

ل Lam L El 

م Mim M Em 

ن Nun N En 

و Wau W We 

ه Ha H Ha 

ء Hamzah —ʼ Apostrof 

 vii 

 

 

2. Vokal 

Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia 

terdiri atas vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap 

atau diftong. 

Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa 

tanda atau harakat, transliterasinya sebagai berikut: 

 

 

Tanda 

 

Nama 

 

Huruf Latin 

 

Nama 

 ٙا  

Fatḥah 

 

 

 ِا  

Kasrah 

 

 

 ِا  

Ḍammah 

 

 

 

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa 

gabungan antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa 

gabungan huruf, yaitu: 

 

Tanda Nama Huruf latin Nama 

ِيﹷ  Fatḥah dan 

ya 

Ai A dan I 

ِﹷو  Fatḥah dan 

wau 

Au A dan U 

 

 viii 

 

Contoh:  

 

௺ϒ˸ϳ௺ϛ : kaifa       

 ﻝْٙﻭﻫ : haula 

 

3. Maddah 

Maddah atau vokal panjang yang lambngnya berupa 

harkat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu: 

  

Harkat dan 

Huruf 

Nama Huruf dan 

tanda 

Nama 

َاى Fatḥah dan alif 

atau ya 

Ā a dan garis di 

atas 

ي ى Kasrah dan ya Ī i dan garis di 

atas 

و ى 

Ḍammah dan 

wau 

Ū u dan garis di 

atas 

 

Contoh: 

 ﺕﺎ ﻣ :   māta 

ϰ௺ϣ௺ή :   ramā 

௺ϝ˸ϳ˶ϗ :   qīla 

ُﺕْﻭُﻣ ﻳ :   yamūtu 

 

 

 

 ix 

 

4. Ta marbūṭah  

Transliterasi untuk ta marbūṭah (Γ atau Δ˰) ada dua, yaitu: 

ta marbūṭah yang hidup atau mendapat harakat fatḥah, kasrah, 

dan ḍammah, transliterasinya yaitu  [t] sedangkan ta 

marbūṭah yang mati atau mendapat harkat sukun, 

transliterasinya yaitu  [h]. 

Kalau pada kata yang berakhir dengan ta marbūṭah 

diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al- serta 

bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta marbūṭah itu 

ditransliterasikan dengan [h].  

 

Contoh: 

 

 ِﻝاَفَْطلأا ُةَضْﻭَر     Rauḍah al-aṭfāl 

 َُةلِضاَفلا ُةَنْيِدَملا      Al-madīnah al-fāḍilah 

 ُةَمْكِحلا    Al-ḥikmah 

 

5. Syaddah          

Huruf konsonan yang memiliki tanda syaddah atau 

tasydid, yang dalam abjad Arab dilambangkan dengan sebuah 

tanda tasydid (  ˷΍ ), dalam transliterasi ini dilambangkan dengan 

perulangan huruf (konsonan ganda).  

 

Contoh: 

 

اَن َّبَر       Rabbanā 

اَنْي َّجَن      Najjainā 

 x 

 

  قَحلا      Al-Ḥaqq 

  جَحلا      Al-Ḥajj 

 َم ِّعُن        Nu„„ima 

  ﻭُدَع       „Aduww 

Jika huruf ϱ bertasydid di akhir sebuah kata dan 

didahului oleh huruf kasrah (  ϲ˷˰˶), maka ia ditransliterasi seperti 

huruf maddah ī.  

 

Contoh: 

 

  ِيلَع       „Alī 

  يِبَرَع     „Arabī 

 

6. Kata sandang  

Kata sandang dalam abjad Arab dilambangkan dengan 

huruf ϝ΍ (alif lam ma„arifah). Dalam pedoman transliterasi ini, 

kata sandang ditransliterasi seperti biasa, al-, baik saat  ia 

diikuti oleh huruf syamsiah maupun huruf qamariah. Kata 

sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang 

mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang 

mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-).  

 

Contoh: 

 ˵ β˸Ϥ͉θϟ΍    Al-Syamsu (bukan asy-syamsu) 

 ˵Δ˴ϟ˴ΰ˸ϟ͉ΰϟ΍    Al-Zalzalah (bukan az-zalzalah) 

 ˵Δ˴ϔ˴δ˸Ϡ˴ϔϟ΍    Al-Falsafah 

 ˵Ω˴ϼ˶Βϟ΍      Al-Bilād 

 xi 

 

 

7. Hamzah  

Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (‟) 

hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir 

kata. Namun, bila hamzah terletak di awal kata, ia tidak 

dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif. 

Contoh: 

 

 ˴ϥ˸ϭ˵ήϣ˵˴΄˸Η   Ta‟murūna 

 ͉Ϩϟ΍ ˵˯˸Ϯ       An-Nau‟ 

 ˲˯ ϲ˸˴η      Syai‟un 

 ˵Ε˸ή˶ϣ˵΃     Umirtu 

8. Penulisan kata Arab yang lazim digunakan dalam 

bahasa Indonesia  

Kata, istilah, atau kalimat Arab yang ditransliterasi 

yaitu  kata, istilah, atau kalimat yang belum dibakukan dalam 

bahasa Indonesia. Kata, istilah, atau kalimat yang sudah lazim 

dan menjadi bagian dari perbendaharaan bahasa Indonesia atau 

sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia tidak lagi 

ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya kata 

'Alquran' (dari al-Qur‟ān), 'Sunnah,' 'khusus,' dan 'umum.' 

Namun, bila kata-kata ini  menjadi bagian dari satu 

rangkaian teks Arab, maka mereka harus ditransliterasi secara 

utuh,  

 

Contoh: 

 

Fī Ẓilāl al-Qur‟ān, 

 xii 

 

Al-Sunnah qabl al-tadwīn, dan 

Al-„Ibārāt bi „umūm al-lafẓ lā bi khuṣūṣ al-sabab. 

 

9. Lafẓ al-Jalālah  

Lafẓ al-jalālah (lafal kemuliaan) “Allah” (ௌ) yang 

didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya atau 

berkedudukan sebagai muḍāf ilaih (frasa nominal), 

ditransliterasi tanpa huruf hamzah (hamzah wasal).  

 

Contoh: 

 ˶ௌ ˵Ϧ˸ϳ˶Ω    Dīnullāh           ˶ͿΎ˶Α        Billāh 

Adapun ta marbutah di akhir kata yang disandarkan 

kepada lafẓ al-jalālah, ditransliterasi dengan huruf t.  

 

Contoh: 

 ˶ௌ ˶Δ˴Ϥ˸Σ˴έ ˸ϲ˶ϓ ˸Ϣ˵ϫ    Hum fī rahmatillāh 

 

10. Huruf kapital 

Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf 

kapital, dalam transliterasinya huruf-huruf ini  dikenai 

ketentuan tentang penggunaan huruf kapital berdasarkan 

pedoman Ejaan yang Disempurnakan (EyD). Huruf kapital, 

misalnya, digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri 

(orang, tempat, bulan) dan huruf pertama pada permulaan 

kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka 

yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri 

ini , bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada 

awal kalimat, maka huruf A dari kata sandang ini  

 xiii 

 

menggunakan huruf kapital (Al-). Ketentuan yang sama juga 

berlaku untuk huruf awal dari judul referensi yang didahului 

oleh kata sandang al-, baik saat  ia ditulis dalam teks maupun 

dalam catatan rujukan (catatan kaki, daftar pustaka, catatan 

dalam kurung, dan daftar referensi).  

 

Contoh: 

Wa mā Muammadun illā rasūl 

Inna awwala baitin wuḍi„a linnāsi lallażī bi Bakkata mubārakan 

Syahru Ramaḍān al-lażī unzila fīh al-Qur‟ān 

Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī 

Abū Naṣr al-Farābī 

Al-Gazālī 

Al-Munqiż min al-Ḍalāl 

 

 

 

  

Siti Sobariah. Kisah Nabi Sulaiman Dalam Al-Qur‟an Perspektif 

Semiotika Roland Barthes, 2020 

Skripsi ini membahas kisah Nabi Sulaiman dalam al-Qur‟an dengan 

pendekatan semiotika Roland Barthes. Banyak hal menarik yang 

terdapat dalam kisah ini, diantaranya: Sulaiman merangkap menjadi 

seorang Nabi dan raja, dan kemampuan adikodrati yang dimiliki 

Sulaiman yaitu mampu berkomunikasi dan memerintah makhluk Tuhan 

lainnya, seperti hewan, jin, hingga angin. Karena itu, kisah ini penuh 

dengan isyarat simbolis yang dalam hal ini relevan untuk diterapkan 

dengan pendekatn semiotika. Maka, kisah Nabi Sulaiman akan penulis 

uraikan dan tafsirkan dengan pendekatan semiotika Roland Barthes, 

sehingga dapat diceritakan keseluruhan kisahnya dan menggali pesan-

pesan filosofis di balik kisah ini . Pesan inilah yang dapat 

digunakan dalam kehidupan sehari-hari. 

Adapun analisis teks menggunakan semiotika Roland Barthes terbagi 

atas tiga tingkat pemaknaan, yaitu: pertama, penggalian makna 

denotasi, kedua, penggalian makna konotasi, dan ketiga, penggalian 

makna mitos. Makna denotasi yaitu  makna kebahasaan, yang sesuai 

dengan arti yang disepakati, sedangkan makna konotasi yaitu  makna 

tingkat kedua yang memaknai makna denotasi sebagai landasan 

utamanya, yang di sinilah terdapat makna mitos seperti yang 

diistilahkan Roland Barthes. 

Hasil dari penelitian ini yaitu kisah Nabi Sulaiman terbagi atas tiga 

tingkat pemaknaan. Pertama, gambaran umum makna denotasi kisah 

Sulaiman ialah Sulaiman merupakan seorang manusia, ia lahir di 

Yerusalem. Ayahnya bernama Daud dan ibunya bernama Batsyeba. 

Sulaiman juga merupakan hamba Allah yang taat dan patuh. Kedua, 

gambaran umum makna konotasi kisah Sulaiman, selain sebagai 

manusia dan hamba yang taat, Sulaiman terpilih sebagai salah satu 

Nabi Allah swt. Lebih lanjut, al-Qur‟an juga merujuk pada terma 

ini  sebagai raja yang memiliki kemampuan adikodrati, karena 

mampu berkomunikasi dan memerintah makhluk Tuhan lainnya, 

seperti hewan, jin, hingga angin. Ketiga, makna mitos/ simbol kisah 

Sulaiman. Sulaiman digambarkan sebagai tokoh Nabi yang merangkap 

menjadi raja yang cerdas, berkuasa, adil, dan bijaksana.   


Al-Qur‟an memperkenalkan dirinya sebagai kitab yang memuat 

berbagai kisah para nabi dan rasul,1 guna memperteguh hati dan 

menambah ketenangan, karena di dalamnya terdapat kebenaran, 

nasihat dan peringatan.2 Terkait dengan hal itu, M. Quraish Shihab 

mengatakan bahwa “salah satu Fara al-Qur‟an mengantar manusia 

kepada kesempurnaan kemanusiaannya yaitu  dengan 

mengemukakan kisah faktual maupun simbolik”.3  

Pemberitaan al-Qur‟an tentang kisah orang-orang terdahulu, 

termasuk kisah para nabi dan rasul itu, atau pun peristiwa yang telah 

terjadi, terkadang diungkapkan secara berulang kali dan dikemukakan 

dalam berbagai bentuk yang berbeda di suatu tempat, bahkan 

terkadang dikemukakan secara singkat dan terkadang pula panjang 

lebar. Semua itu merupakan tanda keistimewaan al-Qur‟an yang 

mengandung makna dan hikmah yang sangat dalam dan karenanya 

harus dikaji secara mendalam pula untuk memahaminya. 

Salah satu kisah dalam al-Qur‟an yang menarik untuk dikaji 

yaitu  kisah Nabi Sulaiman4. Ia memiliki informasi menarik, 

                                                           

dikisahkan Nabi Sulaiman dapat berbicara dengan burung QS. An-

Naml/27: 15-16, memahami bahasa semut QS. An-Naml/27: 18, 

memerintah angin QS. ৡad/38: 36, menundukkan jin QS. ৡad/38: 37-

 dan melelehkan tembaga QS. Sabaމ . Kemampuannya yang 

paling masyhur yaitu  dapat berbicara dengan hewan seperti burung, 

semut dan lain sebagainya. Selain itu, sejak usia muda telah nampak 

dalam diri Nabi Sulaiman kecerdasan dan kebijaksanaannya dalam 

menangani masalah hukum. Anugerah ini merupakan karunia besar 

dari Allah Swt untuk Nabi Sulaiman, karena tidak semua makhluk-

Nya mendapatkan karunia yang dimiliki Nabi Sulaiman. Telah 

banyak upaya penafsiran yang dilakukan terkait kisah Nabi Sulaiman 

dengan berbagai model. Quraish Shihab misalnya, dalam buku Tafsir 

Al-Misbah  disebutkan bahwa Sulaiman merupakan nabi yang 

dikaruniai nikmat oleh Allah berupa kekayaan, kerajaan, kekuasaan, 

dan kenabian. 5  

Selain hal di atas, telah banyak juga buku bacaan yang 

menceritakan tentang kisah Nabi Sulaiman. yakni buku yang berjudul 

Ringkasan Mukhtashar Ibnu Katsir yang ditulis oleh Syaikh Ahmad 

Syakir . Dalam buku ini , dijelaskan bahwa Nabi Sulaiman juga 

merupakan nabi dan raja yang diberi kelebihan untuk memimpin 

manusia, jin, dan hewan. Dalam QS. an-Naml: 15-44 berisi tentang 

                                                                                                                                                

perjanjian lama disebutkan bahwa nama lengkapnya yaitu  Sulaiman (Saloma) bin Daud 

bin Isāi bin Obed bin Boas bin Salamon bin Nahason bin Aminadab bin Ram bin Hezram 

bin Perees bin Yahuda bin <a‟qub bin Ishaq bin Ibrahim as. Sulaiman yaitu  putra Nabi 

Daud yang paling bungsu dari kesebelas bersaudara. Nama julukannya yaitu  Sulaiman 

bin Hakim. Ibunya bernama Tasyayu‟ bin Sura. Ia tergolong perempuan taqwa dan 

Salehah. Sebagai seorang ibu ia selalu mendorong sulaiman agar tekun beribadah. Lihat 

Helmi Ali Sya‟ban, Seri para Nabi, Nabi Sulaiaman , 

 

salah satu kisah Nabi Sulaiman memeriksa barisan burung yang 

dipimpin oleh burung Hudhud, namun  Hudhud tidak ada di barisannya. 

Nabi Sulaiman marah dan berkata akan menyiksanya kecuali apabila 

ia datang dengan alasan yang jelas dan meyakinkan. Tidak berapa 

lama sesudah  itu burung Hudhud datang dan menjelaskan berita yang 

meyakinkan.6 

Selanjutnya, buku lain yang membahas kisah Nabi Sulaiman. 

yaitu: kisah para nabi karya Ibn Katsir7, kisah hikayat Nabi Sulaiman 

As (Solomon) karya Muhammad Vandestra8, kisah hikayat legenda 

Nabi Sulaiman As dan ratu Balqis karya Muhammad Sakura9, rahasia 

kekayaan Nabi Sulaiman karya Muhammad Gufron Hidayat10, 

berburu warisan Nabi Yusuf dan Nabi Sulaiman karya Muhammad 

Gufran Hidayat11, kisah teladan dan menakjubkan 25 nabi karya 

Ariany Syurfah12, kisah bapak dan anak dalam al-Qur‟an karya Adil 

Musthafa Abdul Halim13, tafsir Fī iܱlāl al-4Xr¶ān karya Sayyid 

Qutb14.  

                                                           

Berdasarkan kisah Nabi Sulaiman yang terdapat dalam buku-

buku diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa, kisah Nabi 

Sulaiman yang diceritakan dalam buku-buku ini  hanya sebatas 

tentang kemukjizatan Nabi Sulaiman dan kisahnya dengan ratu 

Balqis. Terkait hal itu, kebanyakan orang pada umumnya pun hanya 

mengetahui kisah ini sebatas berkenaan dengan dua hal ini . 

Padahal, masih banyak pesan dan peran yang perlu digali secara lebih 

mendalam dari kisah Nabi Sulaiman dalam al-Qur‟an. 

Dengan demikian, menurut penulis kisah Nabi Sulaiman 

merupakan kisah yang menarik untuk dikaji karena memiliki pesan-

pesan yang perlu diungkap lebih dalam. Ada beberapa pesan yang 

disampaikan dalam bentuk simbol-simbol kebahasaan. Hal ini tentu 

memerlukan interpretasi ulang guna mereproduksi kemungkinan-

kemungkinan makna baru di luar pesan dasar kisah Nabi Sulaiman 

dalam Al-Qur‟an ini . Oleh karena itu, perlu dilakukan adanya 

analisis pada aspek tekstualitas ayat al-Qur‟an. Dengan asumsi dasar 

bahwa sebuah teks, selain mempunyai makna primer, juga 

mempunyai makna sekunder. 

Makna primer atau sering disebut sebagai makna denotasi 

yaitu  makna harfiyah (makna yang sesungguhnya), makna ini 

muncul berdasarkan penggunaan bahasa sesuai dengan apa yang 

terucap.15 Denotasi ini bisa juga berarti makna yang dihasilkan dari 

suatu pesan yang disampaikan secara sadar oleh pengirim pesan 

kepada penerima dengan menggunakan tanda-tanda bahasa yang 

disertai maksud. Sedangkan makna sekunder atau yang sering disebut 

sebagai makna konotasi yaitu  makna yang dihasilkan dengan 

                                                           

 

memperhatikan tanda-tanda tanpa maksud (fungsi tanda lain) yang 

sering dihasilkan oleh pengirim tanpa disadarinya. Tanda-tanda tanpa 

maksud ini  merupakan sistem tanda bahasa kedua yang 

dihasilkan dari sistem tanda bahasa pertama (bahasa konvensional). 

Karena makna sekunder merupakan makna ganda yang lahir dari 

pengalaman kultural dan personal, atau makna yang terselubung, 

tersembunyi dibalik sistem bahasa pertama, karena makna konotasi 

merupakan tanda yang dibahasakan secara tidak langsung, maka 

pemahaman atas bahasa konvensional saja tidaklah cukup untuk 

mendapatkan makna sekunder, kecuali jika didukung dengan alat 

bantu tersendiri yang memang concern  di bidangnya, misalnya 

semiologi atau semiotika. 

Semiologi atau semiotika yaitu  studi tentang tanda dan 

segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, 

hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan 

penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya.16 Dalam 

semiotika sendiri terdapat banyak aliran. Aliran-aliran semiotika 

ini  dipengaruhi oleh dua tokoh besar yang dianggap sebagai 

bapak semiotika modern, yaitu Charles Sanders Peirce (1839-1914) 

dan juga Ferdinan de Saussure (1857-1913)17. Diantara tokoh 

semiotik yang berkiblat pada Peirce yaitu  Charles Moris, Max 

Bense, Umberto Uco dan lain sebagainya, sedangkan yang berkiblat 

pada Saussure yaitu  Hjemslev, Roland Barthes, Julia Kristeva dan 

sebagainya. 

                                                       

 

Dari sejumlah pemikiran oleh para tokoh semiotik di atas, 

teori-teori semiotika yang dikembangkan oleh Roland Barthes 

dipandang sesuai untuk diimplementasikan guna mengkaji pesan yang 

terkandung dalam kisah Nabi Sulaiman dalam al-Qur‟an. Hal ini 

karena pemikiran Roland Barthes tentang semiotika menaruh 

perhatian lebih pada analisis tanda-tanda tanpa maksud. Para ahli 

semiotika dalam aliran ini, tidak berpegang pada makna primer 

(denotasi) saja tanda yang disampaikan, melainkan berusaha untuk 

mendapatkan makna sekunder (konotasi) yang juga dipunyai oleh 

tanda itu. Aliran ini juga sering disebut dengan aliran “Semiotika 

Konotasi”18. 

Dari uraian di atas, penulis di dalam penelitian ini mengangkat 

semiotika sebagai pisau analisis untuk mengungkap kemungkinan-

kemungkinan makna baru yang lebih dalam di luar makna dasar kisah 

Nabi Sulaiman dalam Al-Qur‟an dengan menggunakan teori-teori 

semiotika Roland Barthes dalam aliran semiotikanya, yakni semiotika 

konotasi. Penggunaan teori-teori semiotika dari aliran semiotika 

konotasi ini diharapkan dapat membantu untuk menemukan makna 

sekunder kisah Nabi Sulaiman. Makna sekunder ini  nantinya 

dapat dipertimbangkan sebagai problem solver  dalam problematika 

kehidupan sehari-hari bagi siapa saja, dengan demikian, al-Qur‟an 

tidak akan kehilangan peran vitalnya sebagai petunjuk hidup umat 

manusia baik dalam situasi dan kondisi apapun. Karena itu dalam 

penelitian ini, penulis membahas karya tulis ilmiah dengan judul 

“Semiotika Sulaiman dalam Al-QXr’an Perspektif Roland 

Barthes´  

                                                      

 

B. Identifikasi Masalah 

Agar pembahasan dalam skripsi ini terfokus pada tema yang 

diharapkan, penulis batasi pada masalah konsep semiotika Roland 

Barthes sebagai pendekatan untuk membaca dan menganalisa kisah 

Nabi Sulaiman dalam Al-Qur‟an, dikarenakan teori ini 

mengasumsikan teks sebagai sebuah tanda yang terbangun oleh 

elemen-elemen penghubungnya (signification). Inti dari teori ini 

yaitu  bagaimana teks itu bermakna, baik secara linguistik maupun 

secara ideologis. 

Selama ini, studi teks mengenai kisah dalam al-Qur‟an hanya 

berkutat seputar pertanyaan eksistensial kisah, apakah kisah ini  

fakta atau fiktif? dalam pandangan penulis, studi ini  menyentuh 

sisi makna dan nilai spiritual dalam kisah-kisah al-Qur‟an, di sini 

khususnya kisah Nabi Sulaiman yang dijadikan sebagai objek. Dengan 

menggunakan pendekatan semiotika, penulis mencoba memaknai teks 

baik secara linguistik maupun ideologis, sehingga melalui pendekatan 

ini diharapkan mampu membaca dan mengungkap makna kisah Nabi 

Sulaiman yang terdapat dalam al-Qur‟an secara semiotika Roland 

Barthes. 

C. Batasan dan Rumusan Masalah 

Berdasarkan identifikasi masalah di atas telah menjelaskan 

permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, penulis ingin 

menggali makna kisah Nabi Sulaiman yang terdapat dalam al-Qur‟an 

secara semiotika Roland Barthes. Oleh karena itu, penulis membatasi 

penelitian ini  yaitu: 

 

1. Mengungkap kisah Nabi Sulaiman dalam kitab suci (perjanjian 

lama dan al-Qur‟an). 

2. Memaparkan penafsiran kisah Nabi Sulaiman menurut berbagai 

ulama tafsir. 

3. Menggali makna kisah Nabi Sulaiman menggunakan pendekatan 

Semiotika Roland Barthes. 

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini diungkapkan dalam 

pertanyaan sebagai berikut: 

a. Bagaimana kisah Nabi Sulaiman diceritakan dalam kitab suci 

(perjanjian lama dan al-Qur‟an)" 

b. Bagaimana penafsiran para ulama tentang kisah Nabi Sulaiman 

dalam al-Qur‟an" 

c. Apa makna kisah Nabi Sulaiman yang terdapat dalam al-Qur‟an 

secara semiotika Roland Barthes? 

 

3. Sumber data 

a. Sumber Primer 

Data yang dijadikan sumber primer sebagai berikut; yaitu ayat-ayat 

al-Qur‟an tentang kisah Nabi Sulaiman. Adapun data primer terkait 

metode semiotika Roland Barthes yaitu: Element of Semiology , dan 

Mythologies, dan Semiologi Roland Barthes. 

b. Sumber Sekunder 

Sementara data sekunder yang digunakan yaitu  buku-buku yang 

memuat kisah dalam al-Qur‟an dan buku mengenai semiotika, kitab-

kitab tafsir seperti tafsir karya al-Ṭabari 

Untuk pandunan penulisan skripsi ini berdasarkan pada pedoman 

Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah 

Jakarta Tahun 2011/2012 Program Strata 1, yang diterbitkan oleh Biro 

Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Islam 

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan mengenai 

transilterasinya dalam penulisan skripsi ini mengacu pada sistem 

transliterasi Jurnal Ilmu Ushuluddin yang diterbitkan oleh Himpunan 

Peminat Ilmu-ilmu Ushuluddin (HIPIUS). 

 

Deskripsi , yaitu mengumpulkan kata Sulaiman dalam al-Qur‟an 

dan derivasinya dengan menggunakan kamus bahasa Arab dan 

menggunakan langkah tafsir mauḍū‟ī untuk membantu klasifikasi ayat 

berdasarkan tema yang terkait. 

Analisis, yaitu dengan menggunakan tiga tahap yang dianalisis 

menggunakan teori semiotika Roland Barthes. Yang pertama penulis 

menganalisis melalui tahap penggalian makna awal/ denotasi untuk 

mencari makna awal atau makna kebahasaan. Namun pada dasarnya, 

pembacaan semiotik tingkat pertama pada kisah-kisah yang terdapat 

dalam al-Qur‟an tidak terbatas pada konvensi bahasa, tapi juga 

melibatkan analisa struktur kisah ini , seperti: tema, tokoh, 

penokohan, latar, alur, dan sebagainya. Tahap kedua melalui 

penggalian makna konotasi dari kisah Nabi Sulaiman yang penulis 

dapatkan dari buku dan penafsiran para mufasir. Dan tahap ketiga 

yaitu mencari makna mitos/ simbol dari kisah Nabi Sulaiman yang 

didapat melalui cerita rakyat dan buku-buku yang memuat kisah Nabi 

Sulaiman. 

F. Kajian Pustaka 

Untuk menjadi barometer dalam penelitian ini, penulis 

melakukan penelusuran terhadap buku, skrispi, tesis dan artikel jurnal 

terkait “Kisah Nabi Sulaiman dalam al-Qur‟an perspektif Roland 

Barthes”. Penelusuran terkait judul dilakukan melalui katalog 

perpustakaan dan google scholar dengan kata kunFi “Kisah Nabi 

Sulaiman” dan “semiotik”, adapun kajian yang pernah membahas 

tentang kisah Nabi Sulaiman, yaitu: 

Buku yang dikarang oleh Hilmi „Ali Sya‟ban yang berjudul 

“6XlaLman µalaLhL aV-Salam ” dan kemudian diterjemahkan oleh 

1 2  

 

Fa৬urrahman. Dalam buku ini  berisikan tentang nama dan nasab 

beliau, keistimewaan yang dimiliki Sulaiman sejak masa kanak-

kanak, anugerah Allah kepada Sulaiman, ujian bagi Sulaiman dan 

hikmah kisah Nabi Sulaiman.24 

Selain itu buku yang dikarang oleh Manshur Abdul Hakim yang 

berjudul “6XlaLman µ$lahL $l-Salam Al-Nabiyyu Al-Maliku ” dan kemudian 

diterjemahkan oleh Umi Nurun Ni‟mah. Dalam buku ini  berisikan 

tentang kisah Nabi Sulaiman dalam al-Qur‟an dan perjanjian lama, dan 

dalam kitab tafsir.25  

M. Amir HM “ Kisah Nabi Sulaiman dalam Al-Qur‟an dan 

Relevansinya dengan Pendidikan Islam”. Dalam bukunya ini  

menghasilkan kesimpulan bahwa kisah Nabi Sulaiman menyimpan muatan-

muatan yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan yang mempunyai relevansi 

dengan tujuan dan metode pendidikan yang berkembang dewasa ini.26 

Sementara itu, skripsi yang menjadikan kisah Nabi Sulaiman  

sebagai objeknya, yaitu menelisik makna doa-doa Nabi Sulaiman a.s 

karya Lukmanul Hakim. Skripsi ini  tidak menggunakan 

pendekatan Semiotika.27  

Sedangkan karya ilmiah berupa skripsi S1 mengenai semiotik 

dan objek formal yang hampir sama yaitu  karya Pipit Aidul 

Fitriyana dalam skripsi yang berjudul Kisah Yusuf dalam Al- 4Xr¶an 

Perspektif Semiologi Roland Barthes. Dalam skripsi ini , ia 

                                                           

 

membahas kisah Yusuf dengan pisau analisis teori mitos Roland 

Barthes.28  

Skripsi lain yang mengangkat tema semiotik ialah karya Luthfi 

Firdaus yang berjudul Relevansi Semiotika dalam Kajian Tafsir 

Kontemporer . Dalam skripsi ini , ia menjelaskan teori semiotik 

dan para tokohnya serta kemungkinan penerapannya dalam kajian 

tafsir kontemporer sebagai alternatif penafsiran al-Qur‟an. 

Menurutnya, semiotika sangat relevan dengan kajian al-Qur‟an. 

Luthfi mengambil kesimpulan bahwa semiotika solusi bagi penafsiran 

yang bersifat artifisial dan letterlux.29 Skripsi lain ditulis oleh Rony 

Subayu dengan judul Al-4Xr¶an  VHbaJaL 1araVL 0LVtLV .RnVHS 

Mitos Roland Barthes sebagai Metode penfsiran Al- 4Xr¶an. Dalam 

skripsi ini , ia menggunakan mitologi Roland Barthes untuk 

menafsirkan al-Qur‟an dan menyimpulkan bahwa tafsir mistis hanya 

berlaku untuk ayat-ayat mu‟amalah saja, tidak untuk „ubudiyah.30 

Irpan Sanusi menulis “Pesan Semiotis al-Qur‟an Analisis 

Strukturalisme Qs. Al-/ahab.” Ia menggunakan pendekatan 

strukturalisme Roland Barthes untuk membedah penafsiran Qs. Al-

Lahab dengan menganalisis makna denotasi yang ia istilahkan dengan 

momen ilmiah, dan makna konotasi yang ia istilahkan dengan momen 

mitis. Penelitian ini berkesimpulan bahwa mitos lain dari Abu Lahab 

yaitu  bahwa Abu Lahab merupakan simbol kapitalis-monopolis 

Mekah. Sehingga pesan filosofis yang terkandung yaitu  etika 

                                                           

ekonomi Islam yang harus berdasarkan keadilan dan kebijakan sosial 

dalam mengembangkan ekonomi keumatan.31 

Noval Aldiana Putra menulis “Kisah A܈ḥāb al-Sabt  dalam Al-

Qur‟an Analisis Semiotika Roland Barthes”.  menggunakan 

pendekatan semiotika Roland Barthes untuk menganalisis kisah 

A܈ḥāb al-Sabt  dalam Al-Qur‟an dengan menganalisis makna denotasi 

yang ia istilahkan dengan nuansa denotatif, dan makna konotasi yang 

ia istilahkan dengan nuansa mitos. Hasil dari penelitian ini bahwa 

manusia harus menjalankan kewajibannya di dunia dan akhirat secara 

seimbang. Larangan berbuat tamak yang mengarah pada sifat 

materialistis dan hedonis dan kewajiban untuk saling nasihat-

menasihati dalam kebaikan.32 

Kajian lain yang menggunakan semiotik sebagai pisau analisis 

dalam pembacaan teks al-Qur‟an di antaranya yaitu  RiFhard &. 

Martin dalam Journal of the American Academy Religion  dengan 

judul “StruFtural Analysis and the Qur‟an Newer ApporaFhes to The 

Study of IslamiF Te[t”. <ang menarik dari &. Martin yaitu  dia 

secara khusus menggunakan analisis struktural untuk mengkaji teks 

al-Qur‟an dalam bingkai yang lebih besar, bukan lagi dalam bingkai 

kalimat, melainkan bangunan struktur surat, yakni surat al-Syu‟ara. 

Dia berangkat dari premis bahwa struktur teks al-Qur‟an yang ada 

sekarang yaitu  mitos, cerita, atau puisi, yang dengan sendirinya, 

 

 

signifikan dan dianggap cocok untuk menganalisis struktur surat al-

Syu‟ara ini .33 

Selanjutnya, sarjana lain yang melakukan hal serupa yaitu , 

Ali Imran yang mencoba menafsirkan al-Qur‟an melalui pendekatan 

semiotik terhadap kisah Yusuf. Dalam tesisnya ini , ia 

menawarkan metodologi penafsiran menggunakan semiotik melalui 

dua tahap. Tahap pertama yaitu  pembacaan heuristik, yaitu 

pembacaan yang menekankan analisis terhadap aspek linguistik, 

seperti morfologi, sintaksis, dan semantik. Analisis ini melahirkan 

makna denotasi. Langkah selanjutnya yaitu  pembacaan retroaktif, 

atau kelanjutan dari konvensi di atas konvensi linguistik, yaitu 

mengaitkan aspek intertektualitas teks, asbāb al-nX]ūl, latar belakang 

historis, maupun perangkat studi ulūm al-Qur‟ān lain. pembaFaan ini 

melahirkan apa yang dinamakan makna konotasi. Implikasi 

pemaknaan dari kedua langkah ini , bahwa kisah Yusuf syarat 

dengan pesan moral mengenai etika, sikap optimis, dakwah, 

kesabaran, hukum, dan kekuasaan Allah Swt.34 

Dari beberapa karya yang disinggung di atas, penulis 

berasumsi bahwa pembahasan semiotika atas kisah Nabi Sulaiman 

dalam al-Qur‟an masih belum diteliti. Figur Nabi Sulaiman yang 

dijadikan objek kisah dalam al-Qur‟an syarat dengan nuansa simbolik 

yang dikenal di benak komunitas muslim sebagai sosok nabi dan raja 

yang kaya raya dan cerdas, karenanya perlu diteliti dan menarik 

dikembangkan. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha mengisi 

                                                           

 

kekosongan penelitian mengenai kisah Nabi Sulaiman dengan 

pendekatan Semiotika Roland Barthes yang kemudian dicari makna-

makna baru dari kisah ini . 

G. Sistematika Penulisan 

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan terarah, 

maka disini akan dipaparkan gambaran umum tentang tahapan 

penelitian dengan sistematika sebagai berikut: 

Bab I merupakan pendahuluan sebagai gambaran umum dari 

penelitian yang dilakukan oleh penulis. Bab ini mencakup latar 

belakang masalah yang berisikan beberpa hal yang menjadi alasan 

penulis mengkaji tema ini. Sebagai acuan dan untuk mempertegas 

permasalahan serta membatasi pembahasan agar tidak meluas, maka 

dicantumkan dalam  rumusan masalah berupa pertanyaan yang jelas. 

Kemudin, agar  lebih jelas maksud dari penelitian ini, maka subab 

selanjutnya yaitu  memaparkan tujuan dan manfaat dari penelitian 

ini. Kajian pustaka dipaparkna untuk melihat perbedan penelitin ini 

dengan penelitin sebelumnya. Kemudin metode penelitian dan 

diakhiri dengan sistemtika pembahasan. 

Bab II Menjelaskan tentang gambaran umum semiotika yang 

terdiri dari pengertian semiotika dan sejarah perkembangannya, 

riwayat hidup serta semiotika Roland Barthes dan langkah operasional 

penafsiran. 

Bab III pemaparan data dan informasi terkait kisah Nabi 

Sulaiman. Bagian pertama menyajikan kisah Nabi Sulaiman yang 

diceritakan dalam perjanjian lama dan al-Qur‟an, dilanjutkan dengan 

kisah Nabi Sulaiman dalam kitab tafsir dengan menggunakan 

beberapa kitab tafsir, yaitu: Tafsir al-ܑabarī, Tafsir Fī iܱlāl al-

4Xr¶ān, dan Tafsir al-Misbah.  

1 7  

 

 

 

 

 

 

SEMIOTIKA DAN ROLAND BARTHES 

Pada bab II ini penulis akan membahas mengenai semiotika dan 

Roland Barthes, yang berisi tentang pengetian, Sejarah perkembangan dan 

komponen dasar semiotika, dan Roland Barthes yang terdiri dari: riwayat 

hidup, semiotika Roland Barthes, dan pembacaan teks menurut Roland 

Barthes. Dilanjutkan dengan langkah operasional penafsiran, yaitu akan 

disebutkan langkah-langkah penafsiran berdasakan teori Roland Barthes. 

A. Semiotika 

1. Pengertian  

Kata semiotika diturunkan dari bahasa Inggris: semiotics . Nama 

lain semiotika  yaitu  semiology. Keduanya memiliki arti yang sama, 

yaitu sebagai ilmu tentang tanda. Baik semiotika atau semiology 

berasal dari bahasa Yunani: semeion , yang berarti tanda.1 Oleh sebab 

itu, semiotika sering disebut sebagai ilmu yang mengkaji tentang 

tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial dan 

kebudayaan merupakan sekumpulan tanda-tanda, sehingga dalam hal 

ini semiotika dianggap ilmu yang mempelajari sistem-sistem, aturan-

aturan atau konvensi yang memungkinkan suatu tanda memiliki arti.2 

Dasar dari semiotika yaitu  konsep tentang tanda: tak hanya bahasa 

dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan 

dunia itu sendiri pun seluruhnya terdiri atas tanda-tanda.  

                                                           

 

Bahasa itu sendiri merupakan sistem tanda yang paling 

fundamental bagi manusia. Sedangkan tanda-tanda nonverbal seperti 

gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta praktik sosial konvensional 

lainnya, dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun dari 

tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-

relasi.3  

Menurut Saussure, semiotika yaitu  suatu ilmu yang 

mempelajari tanda-tanda kehidupan dalam masyarakat yang bersifat 

dan dapat dipahami.4 Tujuannya yaitu  untuk menunjukkan 

bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah-kaidah yang 

mengaturnya.5 Kekhasan teori Saussure terletak pada kenyataan 

bahwa ia menganggap bahasa sebagai sistem tanda. Sedangkan 

menurut Charles Sanders Peirce, semiotika sinonim dengan logika, 

yang mempelajari bagaimana orang bernalar. Penalaran itu, menurut 

hipotesis teori Peirce yang mendasar, dilakukan melalui tanda-tanda. 

Tanda-tanda memungkinkan seseorang berpikir, berhubungan dengan 

orang lain, dan memberikan makna pada apa yang ditampilkan oleh 

alam semesta.6 Umberto Eco mengatakan bahwa semiotika yaitu  

sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat 

digunakan untuk berdusta.7 Maksudnya, jika semiotika yaitu  sebuah 

teori kedustaan, maka ia juga teori kebenaran, sebab jika semua tanda 

tidak dapat digunakan untuk mengungkap kebenaran, maka ia tidak 

dapat pula digunakan untuk mengungkap kedustaan. Dengan kata 

                                                           

3

 

lain, meskipun Eco menjelaskan semiotika sebagai teori kedustaan, 

implisit di dalamnya yaitu  teori kebenaran, seperti kata siang yang 

implisit dalam kata malam.8 Sementara itu, bagi Barthes, semiotika 

hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai 

hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat 

dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). 

Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa 

informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, 

namun  juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.9 

 

2. Sejarah Perkembangan 

Semiotika mempunyai sejarah yang sangat panjang sejak 

zaman Yunani kuno, melalui zaman pertengahan dan renaissance, 

hingga masa modern ini. Bidang penelitiannya juga sangat luas, 

bahkan tak jelas batasan-batasannya, mulai dari tradisi bidang 

kedokteran, filsafat, linguistik, dan lain-lain.10 

Kemunculan semiotika merupakan akibat langsung dari 

formalisme dan strukturalisme. Pada dasarnya kelahiran strukturalisme 

di awal abad ke-20, yang kemudian disusul oleh semiotika, merupakan 

akibat stagnasi strukturalisme itu sendiri. Pemikiran tentang tanda 

sebenarnya sudah dilakukan sejak zaman Yunani. Para ahli filsafat 

Yunani sekali-kali sudah memikirkan fungsi tanda. Selain itu, pada 

masa filsafat Yunani abad pertengahan pengertian serta penggunaan 

tanda juga telah disinggung, istilah semitoka sendiri baru digunakan 

                           

 

 

pada abad ke-18 oleh Lambert (seorang ahli filsafat dari Jerman) 

sebagai sinonim kata logika , dan orang baru memikirkan secara 

sistematis tentang penggunaan tanda dan ramai-ramai membahasnya 

pada abad ke-20.11 

Berdasarkan perkembangan zaman Yunani sampai zaman 

modern, kelahiaran strukturalisme dan semiotika masing-masing 

berakar dalam kondisi berbeda sesuai konteks sosial yang 

melahirkannya. Strukturalisme dan semiotika merupakan dua teori 

yang identik. Strukturalisme memutuskan perhatian struktur karya 

sastra, sedangkan semiotika pada tanda di dalamnya. Sementara itu, 

menurut Noth ada empat tradisi yang melatarbelakangi kelahiran 

semiotika, yaitu: semantik, logika, retorika, dan hermeneutika.12 

Kelahiran semiotika modern tidak bisa dilepaskan dari dua 

tokoh yang sering disebut sebagi bapak semiotika modern, yaitu: 

Ferdinan de saussure (1857-1913) dan Charles Peirce (1839-1914). 

Kedua tokoh ini tidak saling mengenal dan masing-masing 

mengembangkan teori semiotika di daerah yang berbeda. Saussure 

mengembangkan semiotika di Prancis, sedangkan Pierce di Amerika. 

Kedua tokoh ini pun memiliki perbedaan-perbedaan terutama dalam 

penerapan konsep. Perbedaan ini disebabkan karena latarbelakang 

yang berbeda. Saussure seorang ahli bahasa dan menjadi cikal bakal 

lingistik umum, sementara itu Pierce yaitu  seorang ahli filsafat dan 

logika.13 Sedangkan pengikut-pengikutnya yang mengembangkan 

pikiran keduanya yaitu  Hjmslev (1819-1965) seorang strukturalis 

Denmark, Roland Barthes (1915-1980), Ch Morris, Umberto Eco, dan 

                                                       

di Indonesia Asrt Van Zoest seorang ahli semiotik Belanda yang 

beberapa semester menjadi dosen tamu di Universitas Indonesia.14 

3. Komponen Dasar Semiotika 

Membicarakan komponen dasar semiotika tidak lepas dari 

masalah-masalah pokok mengenai tanda (sign), lambang (symbol ), 

dan isyarat (nal). Pemahaman masalah lambang mencakup 

pemahaman masalah penanda (signifier; signans; signifiant ) dan 

petanda (signified; signatum; signifie ). Ketiga masalah di atas 

dimasukkan ke dalam cakupan ilmu semiotika dikarenakan 

memungkinkan terjadinya komunikasi antara subjek dan objek dalam 

jalur pemahaman sebagai komponen dasar semiotika.15 

1) Tanda merupakan bagian dari ilmu semiotika yang menandai 

sesuatu hal atau keadaan untuk menerangkan atau memberitahukan 

objek kepada subjek. Dalam hal ini tanda selalu menunjukan pada 

sesuatu hal yang nyata, misalnya, benda, kejadian, tulisan, bahasa, 

tindakan, peristiwa, dan bentuk-bentuk tanda lainnya. Sebagai 

contoh konkret, yaitu adanya petir selalu ditandai oleh adanya kilat 

yang mendahului adanya petir ini . Tanda-tanda tertentu dapat 

dilaksanakan oleh makhluk lain yang tidak memiliki sifat-sifat 

kultural, misalnya bunyi-bunyi binatang yang menunjuk pada 

“nama binatang” itu sendiri. Seolah-olah bunyi yang ditimbulkan 

oleh binatang itu tidak mempunyai makna apa-apa, kecuali sebagai 

pertanda dari binatang itu sendiri. Tiruan bunyi seperti “wok wok 

kethekuur” akan menunjuk nama binatang merpati, “koor tetilang” 

menunjuk nama binatang perkutut, “kukuruyuk” akan menunjuk 

nama binatang ayam dan sebagainya. Tanda-tanda ini  dari 

                                                           

 

dulu sampai sekarang tetap saja, tidak berubah dan tanpa kreatif 

apapun. Jadi, tanda yaitu  arti yang statis, umum, lugas, dan 

objektif.16 

2) Lambang yaitu  sesuatu hal atau keadaan yang memimpin 

pemahaman si subjek kepada objek. Hubungan antara subjek dan 

objek terselip adanya pengertian sertaan. Suatu lambang selalu 

dikaitkan dengan tanda-tanda yang sudah diberi sifat-sifat kultural, 

situasional, dan kondisional. Warna merah putih pada bendera kita 

“Sang Kaka Merah Putih” merupakan lambang kebanggaan bangsa 

Indonesia. Warna merah diberi makna secara situasional, 

kondisional dan kultural oleh bangsa Indonesia yaitu : gagah, 

berani, dan semangat yang berkobar-kobar untuk meraih cita-cita 

luhur bangsa Indonesia, yaitu masyarakat adil dan makmur 

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Demikian 

pula pada warna putih, secara kondisional, situasional dan kultural 

diberi makna: suci, bersih, mulia, luhur, bakti dan penuh kasih 

sayang. Jadi, lambang yaitu  tanda yang bermakna dinamis, 

khusus, subjektif, kias, dan majas . Dalam karya sastra, baik yang 

berupa puisi, cerita rekaan maupun drama, terdapat berbagai 

macam lambang, antara lain: lambang warna, lambang benda, 

lambang bunyi, lambang suasana, lambang nada, dan lambang 

visualisasi imajinatif yang ditimbulkan dari tata wajah atau 

tipografi. Peirce berpendapat bahwa lambang merupakan bagian 

dari tanda. Setiap lambang yaitu  tanda, dan tidak setiap tanda itu 

dapat sebagai lambang. Adakalanya tanda dapat menjadi lambang 

secara keseluruhan, yaitu dalam bahasa. Bahasa sesungguhnya 

merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara penanda 

                                                           

dan petandanya. Penanda yaitu  yang menandai dan sesuatu yang 

segera terserap atau teramati, mungkin terdengar sebagai bunyi 

atau terbaca sebagai tulisan, misalnya: [cinta], namun  mungkin pula 

terlihat dalam bentuk penampilan, misalnya: wajahnya memerah, 

nafasnya terengah-engah, gerakannya gemetaran, tampangnya 

menyeramkan, dan sebagainya. Petanda yaitu  sesuatu yang 

tersimpulkan, tertafsirkan, atau terpahami maknanya dari ungkapan 

bahasa maupun non-bahasa. Hubungan penanda dan petanda 

terdapat berbagai kemungkinan yang terjadi dalam penggunaan 

bahasa akan menjadi dasar struktur semiosis. Penanda yaitu  

sesuatu yang ada dari seseorang bagi sesuatu (yang lain) dalam 

suatu segi pandangan. Penanda itu menggantikan sesuatu bagi 

seseorang; seseorang ini yaitu  penafsir, penanda ini kemudian 

kemudian menggantikan sesuatu bagi seseorang dari segi 

pandangan; segi pandangan ini merupakan dasarnya. Jadi, dalam 

komponan dasar semiotika ini akan dikenal adanya empat istilah 

dasar, yaitu penanda, petanda, penafsir, dan dasar.17 

3) Isyarat yaitu  sesuatu hal atau keadaan yang diberikan oleh si 

subjek kepada objek. Dalam keadaan ini si subjek selalu berbuat 

sesuatu untuk memberitahukan kepada si objek yang diberi isyarat 

pada waktu itu juga. Jadi, isyarat akan berubah menjadi tanda atau 

perlambang. Ketiganya (tanda, lambang,dan isyarat) terdapat 

nuansa, yakni perbedaan yang sangat kecil mengenai bahasa, 

warna dan sebagainya.

 

 

B. Roland Barthes 

1. Riwayat Hidup 

Menelusuri riwayat hidup Roland Barthes untuk menemukan 

konstruksi pemikirannya bukan perkara yang mudah. Tokoh kaliber 

Jonathan Culler menyatakan bahwa Barthes sebagai man of parts , 

manusia yang terbagi-bagi, atau John Surrock dalam essainya 

Structuralism and Sciens  menyebutnya sebagai “sosok yang tak 

tertandingi”19. Hal ini  bukan tanpa alasan, ia dikenal publik 

sebagai individu yang pemikiran-pemikirannya multi-dimensional, 

menjalar dan mewarnai di berbagai disiplin keilmuan humaniora. 

Contohnya, selain sebagai seorang semiolog, ia juga dikenal seorang 

strukturalis dan kritikus sastra. 

Roland Barthes, terlahir dari pasangan Louis Barthes dan 

Henriette Binger dan dididik oleh keluarga kelas menengah Protestan 

di Chevourg pada tahun 1915 dan meninggal di Paris pada sebuah 

tabrakan di Paris tahun 1980. Dalam riwayat hidupnya, belum genap 

berumur satu tahun, ayahnya wafat saat melaksanakan tugas sebagai 

perwira angkatan laut. Selanjutnya Barthes dibesarkan oleh ibu, bibi, 

dan neneknya di Bayonne, sebuah kota kecil dekat atlantik sebelah 

Barat Daya Prancis. Selama disana, ia diajari musik, oleh bibinya 

yang kebetulan seorang guru piano. Saat itulah Barthes untuk pertama 

kalinya bersentuhan langsung dengan budaya.20  

Tepat di usia kesembilan, Barthes dibawa ibunya ke Paris 

untuk menempuh pendidikan formal di Lycee Montaigne (1924-1930) 

dan di Lycee L ouis- le-grand (1930-1934). Sebagai seorang pelajar 

Barthes tergolong cerdas, ia mendapat ijazah dalam kesusastraan 

klasik. Sayangnya, kesehatannya terganggu karena ia menderita 

penyakit TBC sehingga karir akademiknya terganggu. Namun kondisi 

itu pula yang menghindarkannya dari wajib militer semasa perang 

dunia kedua. Selama periode 1939-1948 sebagian besar dihabiskan 

untuk mendapat gelar di bidang tata bahasa dan filologi.21 sesudah  

masa-masa penyembuhan di Paris, pada tahun 1952 ia mendapat 

tempat di The Center National de Research Scientifique  (pusat riset 

ilmiah nasional) yang memusatkan penelitiannya dalam sosiologi dan 

leksikologi.  

Pada masa awal 1960-an Barthes mengeksplorasi bidang 

semiologi dan strukturalisme, hingga akhir tahun ia telah memiliki 

reputasi yang mapan bagi dirinya sendiri. Semasa hidupnya Barthes 

dikenal sebagai penerus pemikiran linguistik dan semiotika Ferdinan 

de Saussure. Melalui sejumlah karyanya, terlihat bahwa Barthes tidak 

hanya melanjutkan pemikiran Saussure tentang hubungan bahasa dan 

makna, pemikirannya  justru melampaui Saussure terutama saat  

Barthes menggambarkan makna ideologis dari bahasa yang 

diketengahkanny sebagai mitos. Selain itu, Barthes juga tidak 

sependapat dengan pandangan Saussure yang mengatakan lingusitik 

hanyalah salah satu cabang dari semiotika yng luas cakupannya. Bagi 

Barthes, linguistik bukan bagian dari ilmu tanda, apalagi bagian yang 

istimewa, namun  semiotikalah yang merupakan bagian dari linguistik 

yang menggarap satuan-satuan penandaan besar dari sautu wacana.22 

Barthes juga merupakan seorang penulis yang produktif. 

Karya-karyanya yang dihasilkan semasa hidupnya antara lain: Le 

                                                           

 

 

'HJrHH ]HrR dH ,¶(FrLtXrH ZrLtLnJ 'HJrHH =HrR pada tahun 1956, 

Mythologies (1957), Sur Racine  (On Racine)  tahun 1964, Element de 

Semiolog ie (Elemen of Semiologi)  tahun 1972, System de la Made 

(Empire of Signs, The Fasion System)  tahun 1982, Essais Critique 

(Critical Essays)  tahun 1972, Le Plassire du Texte (The Pleassure of 

The Teks)  tahun 1977, Image, Music, Text  tahun 1977, Mytologies  

(1972), $ /RYHr¶V 'LVFRXrVH (1979).23 

Sejak tahun 1960-an, Barthes ditetapkan sebagai seorang 

strukturalis terkemuka di Paris. dimana pemikiran-pemikirannya turut 

mewarnai dinamika kehidupan Prancis baik secara teoritis di kalangan 

akademik, maupun secara praktis dalam politik kenegaraan. sesudah  

ibunya Henrietta Barthes meninggal pada tahun 1977, Barthes 

menyusul kepergiannya pada tanggal 28 Maret 1980 dalam sebuah 

kecelakaan sesaat sesudah  makan siang dengan Michael Foucault dan 

Francois Mitterand, seorang tokoh oposisi sosialis yang terpilih 

menjadi presiden pada bulan Mei sesudahnya.24 

 

2. Semiotika Roland Barthes 

Barthes sebagaimana disinggung pada uraian di atas, tidak 

hanya terpengaruh, tapi juga berhutang budi pada Saussure yang 

notabene merupakan founding fathes  semiologi. Hubungan 

penanda (signifier), petanda (signified), dan hubungan langue-

parole dan unsur-unsur lainnya yang saling mengikat merupakan 

apa yang dapat kita kenal sebagai struktur. 

Dalam hal ini, Barthes sepakat dengan Saussure bahwa 

penanda untuk menjelaskan bentuk/ekspresi, citra akustik, 

                                                           

 

sementara petanda untuk menjelaskan konsep atau makna, citra 

mental yaitu  komponen tanda.25 Contoh yang digunakan Barthes 

yaitu  setangkai bunga mawar yang bisa menggambarkan gelora 

cinta sipemberi bunga itu terhadap seseorang yang dicintainya. 

Sebagaimana telah diuraikan pada sub-bab sebelumnya, 

Barthes mengemukakan bahwa tanda (sign)  merupakan satuan 

dasar bahasa yang tersusun dari dua unsur yang tak dapat 

dipisahkan, yaitu citra-bunyi atau penanda (signifier)  dan konsep 

sebagai petanda (signified). 26 Karena penanda yaitu  gejala yang 

selain diserap oleh [kognisi] manusia juga diproduksi, ditinjau dari 

segi pemproduksi tanda, penanda (signifier)  disebutnya expression  

(selanjutnya disebut E=pengungkapan), dan petanda (signified)  

sebagai content  (selanjutnya disebut C=isi). 27 

Bagi Barthes hubungan (relasi atau R) antara E (ekspresi) dan 

C (isi) terjadi pada kognisi manusia dalam lebih dari satu tahap. 

Tahap pertama yaitu  dasar (disebut sistem primer) yang terjadi 

pada saat tanda diserap untuk pertama kalinya, yakni adanya R1 

antara E1 dan C1. Inilah yang disebut denotasi, yakni pemaknaan 

yang secara umum diterima dalam konvensi dasar sebuah 

masyarakat. Proses ini bisa dilihat dari aspek linguistik pada suatu 

bahasa. 

Namun pemaknaan tidak hanya terjadi pada tahap primer. 

Proses itu akan dilanjutkan dengan pengembangannya pada sistem 

sekunder, yakni R2 antara E2 dan C2. Di sini ada relasi baru (R2). 

                                             

 

 

 

Sistem sekunder yaitu  suatu proses lanjutan yang 

mengembangkan segi E (exspression)  maupun C (content) . Proses 

pengembngan dari sistem primer itu mengikuti dua jalur. Jalur 

pertama yaitu  pengembangan pada segi E. Saat menjadi bentuk 

(E), makna meninggalkan pelbagai kemungkinan yang 

mengitarinya. Ia dengan sendiri menjadi kosong, miskin. Sejarah 

menguap dan tersisa hanya huruf-huruf. Dengan kata lain, bentuk 

(E) tidak menyembunyikan, melainkan memiskinkan makna. 

Hasilnya yaitu  suatu tanda mempunyai lebih dari satu E untuk C 

yang sama. Ini disebut metabahasa.28 Contohnya dalam bahasa 

yaitu  pengertian „seseorang yang dapat menggunakan ilmu gaib 

untuk tujuan tertentu‟ diberi nama seFara umum (baFa ekspresi) 

dukun, tapi juga dapat diekspresikan dengan paranormal, atau 

orang pinter. Dalam linguistik, gejala ini disebut sinonim.29 

Jalur kedua yaitu  pengembangan pada segi C. Hasilnya 

yaitu  suatu tanda mempunyai lebih dari satu C untuk E yang 

sama. Contohnya dalam Bahasa, yaitu  kata (baca: ekspresi) 

Mercy  (E) yang maknanya (C) dalam sistem primer yaitu  

kependekan dari Mercedes Benz, merek sebuah mobil buatan 

Jerman. Dalam proses selanjutnya makna primer itu (C) 

berkembang menjadi mobil mewah, mobil orang kaya, mobil 

konglomerat, atau simbol status sosial ekonomi tinggi. 

Pengembangan makna (C) seperti itu oleh Barthes disebut 

                                                        

konotasi .30 Metabahasa dan konotasi merupakan hasil proses 

pengembangan dalam cara manusia memaknai tanda.  

Konotasi tentang suatu gejala budaya dapat terbentuk pada 

suatu komunitas. Dengan kata lain, mitos yaitu  terma yang 

digunakan Roland Barthes untuk menunjukkan makna konotasi. 

Selanjutnya melalui paradigma Saussure, Barthes menjelajahi 

dengan tekun segala kemungkinan dari linguistik modern 

(struturalisme) untuk membangun teori mitosnya. Berbeda dengan 

makna mitos yang kita kenal secara umum, Barthes 

mengemukakan bahwa mitos yaitu  bahasa. Dalam uraiannya, ia 

mengemukakan bahwa mitos dalam pengertian khusus ini 

merupakan perkembangan dari konotasi. Parole  itu mengandung 

pesan dan tidak selalu harus berbentuk lisan dan bahkan tidak 

mesti verbal.31 

Mitos berasal dari bahasa Yunani mutos, atau Mythos  

(mitos, mite, fabula, hikayat, legenda, percakapan, ucapan, 

pembicaraan), mytheomai  memiliki arti menceritakan, 

menghubungkan. Biasanya dipakai untuk menunjuk cerita yang 

tidak benar, cerita yang tidak mempunyai kekuatan historis. 

Meskipun demikian, cerita semacam itu tetap dibutuhkan agar 

manusia dapat memahami lingkungan dan dirinya.32 

Mitos sendiri, sebagaimana yang dijelaskan Barthes yaitu  

suatu jenis tuturan atau wicara (a type of speech ) yang dapat 

terbentuk dari berbagai hal (things), dengan ketentuan disampaikan 

sebagai wacana, dan mitos tidak ditetapkan oleh obyek pesannya, 

                                                           

namun  oleh caranya menyatakan pesan.33 Dari pengertian ini  

dapat dipahami bahwa mitos tidak hanya terjadi dalam bentuk 

tuturan oral saja, melainkan bisa juga dalam bentuk tulisan, 

fotografi, film, pertunjukan, iklan lukisan atau apapun yang 

disampikan dalam bentuk wacana. Dengan demikian, pada 

dasarnya mitos yaitu  semua yang mempunyai modus 

representasi. 

Sistem tanda yang dipakai dalam mitos juga merupakan 

sistem tanda tingkat kedua, yakni sistem konotasi. Dalam artian, 

sedemikian rupa mitos telah membangun maknanya dengan cara 

mengeksploitasi, merekayasa, dan mempermainkan sistem tanda 

bahasa (sistem tanda pertama primer) kemudian mengikatkannya 

dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau 

keyakinan. Misalnya, „mawar‟ sebagai sistem tanda pertama, 

„mawar‟ berarti bunga berwarna merah dengan tangkai yang 

berduri. Sedangkan sebagai sistem tanda kedua, „mawar‟ bisa 

berarti kasih sayang atau cinta. Dengan demikian, mitos tidak lagi 

sekedar memiiki makna ditingkat primer (makna denotatif), 

melainkan menyembunyikan makna lain (makna mitos) atau juga 

disebut makna konotasinya bersifat implisit. Untuk memperjelas 

pandangan ini ,Barthes membuat model yang menggambarkan 

penindasan sistem tanda mitos pada sistem tanda sebagai berikut:34 

 

 

 

 

Tampak dalam model ini  bahwa dalam mitos terdapat dua 

sistem semiologis, yang pertama yaitu  bahasa sebagai sistem 

linguistik, dan yang kedua yaitu  mitos itu sendiri. Tanda bahasa 

(sistem tanda tingkat pertama) yang berupa kesatuan penanda dan 

petanda berubah menjadi sekedar PENANDA dalam mitos (sistem 

tanda tingkat kedua). PENANDA dalam sistem mitos kemudian 

menempati dua posisi, yakni penuh dan kosong. saat  pada posisi 

penuh, yakni penanda pada sistem bahasa, Barthes menyebutnya 

sebagai makna (meaning), dan disaat kosong, yakni penanda pada 

sistem mitos disebut sebagai bentuk (form ). Sedangkan untuk petanda, 

Barthes tetap menyebutnya sebagai konsep  karena tidak menimbulkn 

keambiguan. Konsep yaitu  elemen yang mengonstitusikan mitos, dan 

jika ingin menguraikan mitos, maka harus ditemukan konsepnya, 

misalnya konsep kebaikan, kesatuan, kemanusiaan, dan sebagainya. 

Jika tanda dalam sistem bahasa dipakai dalam hubungan antara 

penanda dan petanda dalam sistem mitos, tanda merupakan 

keseluruhan dari hasil sistem semiologis terdahulu yang disebut 

Barthes sebagai signifikasi/pemaknaan (signification) .35 

Penempatan penanda mitos dalam dua posisi ini sangat 

menentukan analisis mitos. Hal ini karena penanda mitos diambil dari 

sistem tanda bahasa yang sebelumnya memiliki makna penuh, 

                                                           

kemudian mengalami penguapan makna, terjadi kekosongan dan yang 

tersisa hanyalah deretan huruf yang siap diisi oleh konsep sistem 

mitos. Mitos yang bertahan secara historis diulang-ulang dan menjadi 

acuan dalam proses pemaknaan akan mengisi kode-kode budaya pada 

masyarakat tertentu. Petanda pada sistem mitos, menjadi bagin dari 

fragmen ideologi dari fragmen ideologi dimana penandanya yaitu  

konotator-konotator.36 

Pandangan Barthes mengenai mitos ini, secara tidak langsung 

telah membawa kesadaran kepada kita untuk lebih jeli lagi membaca 

sebuah “fakta” yang tersaji di hadapan kita, karena bisa jadi itu yaitu  

sebuah mitos yang membawa “ideologi tersembunyi” yang hendak 

dinaturalisasikan melalui sistem mitos. Selain itu, secara teoritik 

pandangan Barthes tentang mitos ini telah menyumbangkan sebuah 

metode yang dapat digunakan untuk mengupas mitos yang 

berlangsung di hadapan kita. Persoalan kemanusiaan bisa saja menjadi 

obyek kajian analisis mitos Barthes. Karena tentunya mitos yang 

merupakan sebuah bentuk wicara yang disampaikan sebagai wacana, 

dapat terjadi dimanapun juga. Secara khusus, sumbangan metodologi 

Barthes dalam mengupas mitos ini , membantu penulis untuk 

dapat mengupas kemungkinan-kemungkinan sistem mitos yang ada 

pada kisah Nabi Sulaiman dalam al-Qur‟an. 

 

 

4. Pembacaan teks menurut Roland Barthes 

Dalam kelanjutannya, Barthes melampaui bahasa dan melihat 

semua jenis produksi budaya sebagai teks yang kemudian, ia 

memperkenalkan gejala budaya sebagai mitos yang menurutnya 

yaitu  bahasa. Dalam Image, Music, Text (19 97)  Barthes bahkan 

membahas fotografi, musik, dan teks sebagai bahasa.37 

Menurutnya, teks sebagai tanda harus memiliki ekspresi (E), 

dan isi (C). Dengan demikian teks dilihat sebagai; (1) suatu maujud 

(entitas) yang mengandung unsur kebahasaan. (2) maujud (entitas) 

yang untuk memahaminya harus bertumpu pada kaidah-kaidah dalam 

bahasa teks. (3) bagian dari kebudayaan sehingga tidak dapat 

dilepaskan dari konteks budayanya dan lingkungan spasiotemporal, 

yang berarti harus memperhitungkan faktor pemroduksi dan penerima 

teks.38 

C. Langkah Operasional Penafsiran 

Langkah aplikasi metode semiotika Roland Barthes secara 

konkret meliputi tiga langkah. Pertama, penggalian makna awal/ 

denotasi. Kedua, penggalian makna konotasi dan ketiga, penggalian 

makna mitis/ simbolis.  

1. Penggalian Makna Awal/ Denotasi 

Langkah pertama untuk mencari makna awal/ denotasi yaitu 

pembacaan berdasarkan konvensi bahasa yang menekankan analisa 

terhadap aspek linguistik, seperti: sintaksis, morfologi, dan 

                                                           

 

 

semantik.39 Untuk mencari makna awal/ denotasi digunakan kamus 

mX¶Mam tafsiran-tafsiran, dsb. Namun pada dasarnya, pembacaan 

semiotik tingkat pertama pada kisah-kisah yang terdapat dalam al-

Qur‟an tidak terbatas pada konvensi bahasa, tapi juga melibatkan 

analisa struktur kisah ini , seperti: tema, tokoh, penokohan, 

latar, alur, dan sebagainya. Menurut Ali Imran tahap ini disebut 

tahap heuristik.40 

2. Penggalian Makna Konotasi 

Langkah berikutnya yaitu  pembacaan berdasarkan sistem 

semiotik tingkat kedua atau retroaktif yang akan melahirkan makna 

sekunder atau makna konotasi, meliputi hubungan internal teks al-

Qur‟an, intertekstualitas,41 aVbāb al-nX]ūl, latar belakang historis, 

maupun perangkat studi Xlūm al-4Xr¶ān yang lain.42 

 

 

                                                           

 

3. Penggalian Makna Mitis/ Simbolis 

Langkah berikutnya yaitu  untuk menemukan makna mitos 

dari teks. Mitos berada dalam sistem semiotik tingkat kedua 

dimana di dalamnya dapat terungkap makna-makna baru dari 

makna yang sudah ada. Langkah ini dimulai dengan menganalisis 

teks melalui dua tingkatan pembacaan makna seperti yang sudah 

dijelaskan sebelumnya diatas, hingga menemukan makna mitos 

dati teks ini . 

 

 

 

 

 

KISAH NABI SULAIMAN 

Kisah dalam al-Qur‟an yaitu  Ferita al-Qur‟an tentang hal 

ihwal ummat yang telah lalu, nubuwwat kenabian yang terdahulu dan 

peristiwa yang telah terjadi. Kisah-kisah di dalam al-Qur‟an seFara 

sederhana terbagi dalam tiga jenis. Pertama, kisah para nabi ( qa܈a܈ 

al-anbL\a¶). Kedua, kisah para tokoh, baik secara individu maupun 

kelompok/ golongan yang diceritakan dalam al-Qur‟an meliputi 

tokoh baik dan bijak maupun tokoh jahat dan ingkar. Ketiga, kisah 

yang terkait dengan berbagai macam peristiwa yang terjadi di masa 

Rasul Saw.1  

Pada bab ini akan menyajikan kisah Nabi Sulaiman dalam 

kitab suci, dalam hal ini akan menjelaskan bagaimana Sulaiman 

dikisahkan dalam kitab perjanjian lama dan al-Qur‟an, dilanjutkan 

dengan pemaparan kisah Nabi Sulaiman dalam kitab tafsir, yaitu: 

Tafsir al- ܑabarī 7afVLr )ī ܱLlāl al-4Xr¶ān dan Tafsir al-Misbah 

untuk memudahkan proses pembacaan tahap retroaktif di bab 

selanjutnya. 

A. Kisah Nabi Sulaiman Dalam Kitab Suci 

1. Kisah Nabi Sulaiman Dalam Perjanjian Lama 

Di dalam Kitab 2 Samuel dicatat bahwa Sulaiman lahir di 

Yerusalem2 dan juga terdapat kisah yang melatarbelakangi 

kelahirannya. Raja Daud berhubungan gelap dengan Batsyeba, ibu 

                                                           

 

Sulaiman, saat  perempuan itu masih menjadi istri Uria orat Het, 

salah seorang pahlawan Daud. saat  Batsyeba hamil dari 

hubungan itu, maka Daud kemudian memerintahkan agar Uria 

dikirimkan ke garis paling depan dari peperangan supaya ia mati 

terbunuh. sesudah  Uria mati, dan lewat waktu berkabung, maka 

Daud menyuruh membawa perempuan itu ke rumahnya. Perempun 

itu menjadi istrinya, dan melahirkan seorang anak laki-laki 

baginya. namun  hal yang telah dilakukan Daud itu yaitu  jahat di 

mata Tuhan.3 Tuhan mengutus Nabi Natan kepada Daud untuk 

membuka kejahatan itu serta menghukumnya agar Daud menyesal. 

Dan Tuhan membuat anak itu sakit hingga meninggal, dan hal itu 

membuat Batsyeba bersedih. kemudian Daud menghibur hati 

Batsyeba, isterinya; ia menghampiri perempuan itu, dan tidur 

dengan dia, dan perempuan itu melahirkan seorang anak laki-laki, 

lalu Daud memberi nama Sulaiman kepada anak itu.4 

Kemunculan Daud pertama kali bertepatan dengan 

peristiwa perang Puputan yang berlangsung antara Bani Israel dan 

Amaliq guna memperebutkan tanah Palestina. Ayah Daud bernama 

Isai ibn Obed ibn Boas yang berasal dari suku Yahudi dan suku 

Rut Moab. Silsilah Daud disebutkan dalam Kitab Rut 4: 18-22. 

Daud memiliki anak-anak dari 8 istri.5  

“Dalam Tawarikh I bab 3 dikatakan bahwa Daud memiliki 

anak dari beberapa istri. Daud bersinggasana di Hebron 

selama 7 tahun 6 bulan. Anak-anak Daud dari istri-istrinya 

di Hebron berjumlah enam orang. Anak sulungnya, Amnon, 

dari istri yang bernama Ahinoam, seorang perempuan dari 

                                                           

 

 

Yizreel. Anak kedua, Daniel, dari istri yang bernama 

Abigail yang berasal dari Karmel. Anak ketiga, Absalom, 

dari istrinya Maakha, anak perempuan Talmai raja Gesur. 

Anak keempat, Adonia, dari istrinya Hagit. Anak kelima, 

Sefaca, dari ibu yang bernama Abital. Anak ke enam, 

Yitream, dari istri Daud yang bernama Elga. Kemudian 

Daud bersinggasana di Jerussalem selama 33 tahun. 

Sedangkan anak-anaknya di -erussalem ialah Syim‟a, 

Syubab, Natan, dan Sulaiman. keempatnya dilahirkan oleh 

istrinya yang bernama Batsyeba, anak perempuan Ammiil. 

Selain itu Daud juga memiliki anak lagi, yaitu Yibhar, 

Nogah, Nefeg, Yafia, Elisama, Elyada dan Elifelet. Ada 

juga seorang anak perempuan dengan panggilan Tamar. 

Semua anak yang disebutkan ini belum termasuk anak-anak 

dari selir.6”  

saat  Daud telah tua, dan diperkirakan tidak lama lagi 

usianya, Adonia putra Daud dari istrinya, Hagit, mengangkat diri 

menjadi raja, dengan dukungan panglima Yoab dan imam besar 

Abyatar.7 Pada acara pengangkatan menjadi raja, Adonia 

mempersembahkan domba, lembu, dan ternak gemukan sebagai 

korban dekat batu Zohelet yang ada di samping En-Rogel, lalu 

mengundang semua saudaranya, anak-anak raja, dan semua orang 

Yehuda, pegawai-pegawai raja; namun  nabi Natan, imam Zadok, 

Benaya bin Yoyada dan para pahlawan, dan Sulaiman, adiknya, 

tidak diundangnya.8 Nabi Natan memberi nasihat kepada Batsyeba, 

ibu Sulaiman, agar memberitahukan hal ini kepada Daud, yang 

tidak mengetahui akan hal itu, demi menyelamatkan nyawanya 

serta nyawa Sulaiman. Maka Batsyeba menghadap raja ke dalam 

kamarnya. Waktu itu raja sudah sangat tua, dan Abisag, gadis 

Sunem itu, melayani raja. Lalu Batsyeba berlutut, dan sujud 

                                                        

 

menyembah kepada raja. Raja bertanya: "Ada yang kau ingini?" 

Lalu perempuan itu berkata kepadanya:  

"Tuanku sendiri telah bersumpah demi Tuhan, Allahmu, 

kepada hambamu ini: Anakmu Sulaiman akan menjadi raja 

sesudah aku, dan ia akan duduk di atas takhtaku. namun  

sekarang, lihatlah, Adonia telah menjadi raja, sedang 

tuanku raja sendiri tidak mengetahuinya. Ia telah 

menyembelih banyak lembu, ternak gemukan dan domba, 

dan telah mengundang semua anak raja dan imam Abyatar 

dan Yoab, panglima itu, namun  hambamu Sulaiman tidak 

diundangnya. Dan kepadamulah, ya tuanku raja, tertuju 

mata seluruh orang Israel, supaya engkau memberitahukan 

kepada mereka siapa yang akan duduk di atas takhta tuanku 

raja sesudah tuanku. Nanti aku ini dan anakku Sulaiman 

dituduh bersalah segera sesudah tuanku raja mendapat 

perhentian bersama-sama dengan nenek moyangnya." 9  

 

Selagi Batsyeba berbicara dengan raja, datanglah nabi 

Natan. Diberitahukan kepada raja: "Itu ada nabi Natan." 

Masuklah ia menghadap raja, lalu sujud menyembah kepada raja 

dengan mukanya sampai ke tanah. Natan menanyakan apakah 

Daud telah memutuskan Adonia menjadi penggantinya karena 

pada saat yang bersamaan Adonia mengadakan pesta 

pengangkatannya dengan mengundang orang-orang yang makan 

minum di depannya sambil berseru: "Hidup raja Adonia!" namun  

tidak mengundang Natan, imam Zadok, Benaya maupun 

Sulaiman. Segera sesudah  mendapat kepastian dari Natan, maka 

Daud menyuruh memanggil Batsyeba, dan di depan mereka, 

Daud menegaskan keputusannya dengan bersumpah, dan berkata:  

 

                                                           

 

 

"Demi Tuhan yang hidup, yang telah membebaskan nyawaku 

dari segala kesesakan, pada hari ini aku akan melaksanakan 

apa yang kujanjikan kepadamu demi Tuhan, Allah Israel, 

dengan sumpah ini: Anakmu Sulaiman akan menjadi raja 

sesudah aku, dan dialah yang akan duduk di atas takhtaku 

menggantikan aku." Lalu Batsyeba berlutut dengan mukanya 

sampai ke tanah; ia sujud menyembah kepada raja, dan 

berkata: "Hidup tuanku raja Daud untuk selama-lamanya!" 10. 

Daud segera menyuruh memanggil imam Zadok, nabi Natan, 

dan Benaya bin Yoyada. sesudah  mereka masuk menghadap 

raja, Daud memberi perintah khusus:  

"Bawalah para pegawai tuanmu ini, naikkan anakku Sulaiman 

ke atas bagal betina kendaraanku sendiri, dan bawa dia ke 

Gihon. Imam Zadok dan nabi Natan harus mengurapi dia di 

sana menjadi raja atas Israel; kemudian kamu meniup 

sangkakala dan berseru: Hidup raja Sulaiman! Sesudah itu 

kamu berjalan pulang dengan mengiring dia; lalu ia akan 

masuk dan duduk di atas takhtaku, sebab dialah yang harus 

naik takhta menggantikan aku, dan dialah yang kutunjuk 

menjadi raja atas Israel dan Yehuda." 11  

 

Lalu pergilah imam Zadok, nabi Natan, dan Benaya bin 

Yoyada, dengan orang Kreti, dan orang Pleti, mereka menaikkan 

Salomo ke atas bagal betina raja Daud, dan membawanya ke Gihon. 

Imam Zadok telah membawa tabung tanduk berisi minyak dari dalam 

kemah, lalu diurapinya Sulaiman. Kemudian sangkakala ditiup, dan 

seluruh rakyat berseru: "Hidup raja Sulaiman!" Sesudah itu seluruh 

rakyat berjalan di belakangnya sambil membunyikan suling, dan 

sambil bersukaria ramai-ramai, sampai seakan-akan bumi terbelah 

oleh suara mereka.

 

Menurut penuturan Yonatan, putra imam Abyatar, Sulaiman 

dengan aman duduk di atas takhta kerajaan. Pegawai-pegawai raja 

telah datang mengucap selamat kepada raja Daud, dengan berkata: 

Kiranya Allahmu membuat nama Sulaiman lebih masyhur 

daripada namamu, dan takhtanya lebih agung daripada takhtamu. 

Dan raja Daudpun telah sujud menyembah di atas tempat tidurnya, 

dan beginilah katanya: :"Terpujilah Tuhan, Allah Israel, yang pada 

hari ini telah memberi seorang duduk di atas takhtaku yang aku 

sendiri masih boleh saksikan." 13  

Segera sesudah  Sulaiman diangkat menjadi raja, Adonia 

menjadi takut kepadanya, sebab itu ia segera pergi memegang 

tanduk-tanduk mezbah. Lalu diberitahukanlah kepada Sulaiman: 

"Ternyata Adonia takut kepada raja Sulaiman, dan ia telah 

memegang tanduk-tanduk mezbah, serta berkata: Biarlah raja 

Sulaiman lebih dahulu bersumpah mengenai aku, bahwa ia takkan 

membunuh hambanya ini dengan pedang." Lalu kata Salomo: "Jika 

ia berlaku sebagai kesatria, maka sehelai rambutpun dari kepalanya 

tidak akan jatuh ke bumi, namun  jika ternyata ia bermaksud jahat, 

haruslah ia dibunuh." Dan raja Sulaiman menyuruh orang 

menjemput dia dari mezbah itu. saat  ia masuk, sujudlah ia 

menyembah kepada raja Sulaiman, lalu Sulaiman berkata 

kepadanya: "Pergilah ke rumahmu."  

Kemudian sesudah  Daud wafat, Adonia melakukan upaya 

kedua kalinya untuk naik tahta dengan menghadap ibu Sulaiman, 

memintanya agar Sulaiman mengizinkannya menikahi seorang gadis 

bernama Abisag yang terakhir melayani Daud. Sekalipun Batsyeba 

                                                  

 

 

memohonkannya kepada Sulaiman, Sulaiman menolak karena 

memahami maksud jahat di balik permintaan itu. Raja Sulaiman 

menjawab ibunya: :"Mengapa engkau meminta hanya Abisag, gadis 

Sunem itu, untuk Adonia? Minta jugalah untuknya kedudukan raja! 

Bukankah dia saudaraku yang lebih tua, dan di pihaknya ada imam 

Abyatar dan Yoab, anak Zeruya?" Lalu bersumpahlah raja Sulaiman 

demi Tuhan: "Beginilah kiranya Allah menghukum aku, bahkan lebih 

daripada itu, jika Adonia tidak membayarkan nyawanya dengan 

permintaan ini! Oleh sebab itu, demi Tuhan yang hidup, yang 

menegakkan aku dan mendudukkan aku di atas takhta Daud, ayahku, 

dan yang membuat bagiku suatu keluarga seperti yang dijanjikan-

Nya: pada hari ini juga Adonia harus dibunuh." Lalu raja Sulaiman 

menyerahkan hal itu kepada Benaya bin Yoyada; orang ini 

memancung dia sehingga mati.  

Menurut keterangan dari kitab perjanjian lama bab Raja-raja, 

sesudah  Sulaiman mempersembahkan seribu korban bakaran, Allah 

menampakkan diri padanya lewat mimpi, dan berjanji akan 

mengabulkan apapun permintaan Sulaiman. Sulaiman meminta 

kebijaksanaan dari Allah untuk menimbang segala perkara, dan 

mampu bersikap sebagai raja yang adil bagi seluruh umat Israel. 

yaitu  baik di mata Tuhan bahwa Sulaiman meminta hal yang 

demikian. Jadi berfirmanlah Allah kepadanya:  

"Oleh karena engkau telah meminta hal yang demikian dan tidak 

meminta umur panjang atau kekayaan atau nyawa musuhmu, 

melainkan pengertian untuk memutuskan hukum, maka 

sesungguhnya Aku melakukan sesuai dengan permintaanmu itu, 

sesungguhnya Aku memberikan kepadamu hati yang penuh 

hikmat dan pengertian, sehingga sebelum engkau tidak ada 

seorangpun seperti engkau, dan sesudah engkau takkan bangkit 

4 4  

 

seorangpun seperti engkau. Dan juga apa yang tidak kau minta 

Aku berikan kepadamu, baik kekayaan maupun kemuliaan, 

sehingga sepanjang umurmu takkan ada seorangpun seperti 

engkau di antara raja-raja. Dan jika engkau hidup menurut jalan 

yang Ku tunjukkan dan tetap mengikuti segala ketetapan dan 

perintah-Ku, sama seperti ayahmu Daud, maka Aku akan 

memperpanjang umurmu." 14  

Salah satu kebijaksanaan Sulaiman digambarkan melalui kisah 

tentang dua orang perempuan sundal yang memperebutkan seorang 

anak bayi. Kedua perempuan itu melahirkan anak, namun  salah 

satunya tidak sengaja meniduri anaknya sehingga mati. Sekarang 

keduanya mengaku sebagai ibu bayi yang masih hidup. Sulaiman 

meminta diambilkan sebilah pedang, dan memutuskan bahwa 

supaya adil, bayi itu harus dibelah dua, dan masing-masing 

perempuan itu akan mendapatkan setengah. Ibu sejati sang bayi 

memohon kepada Sulaiman agar bayi itu dibiarkan hidup, bahkan 

ia merelakan bayinya diserahkan kepada perempuan yang satunya, 

sementara ia tidak mendapatkan bayinya. Dengan cara itu 

Sulaiman berhasil menemukan ibu sejati bayi ini .15  

Kabar kebijaksanaan Sulaiman sudah tersebar hingga penjuru 

dunia. Hingga salah seorang pemimpin negeri kerajaan Syeba 

mendengar kabar ini . Dalam Perjanjian Lama dikatakan 

bahwa ratu negeri Syeba ²tanpa disebutkan namanya² 

mendengar berita tentang Sulaiman dan kebijaksanaanya. Ratu 

Syeba kemudian datang kepada Sulaiman untuk mencari tahu 

tentang kebijaksanaan itu dan membuktikan kebenarannya.  Maka 

dengan pasukan pengiring yang sangat besar, dan dengan unta-unta 

                                                           

 

 

yang membawa rempah-rempah, banyak emas, dan batu permata 

yang mahal-mahal datanglah ia ke Yerusalem hendak menguji 

Sulaiman dengan teka-teki. sesudah  ia sampai kepada Sulaiman, 

dipercakapkannyalah segala yang ada dalam hatinya dengan dia. 

Dan Sulaiman menjawab segala pertanyaan ratu itu; bagi Sulaiman 

tidak ada yang tersembunyi, yang tida