pembentukan hukum Islam
PEMBENTUKAN IIUKUM ISLAM
Tarikh Tasyri’2
Sebelum melangkah jauh menerangkan apa yang dimaksud dengan tarikh tasyri’, perlu dijelaskan terlebih dahulu beberapa istilah penting yang akan
kita temukan dalam pembahasan tarikh tasyri’. Apabila tidak dielaborasi lebih
dalam tentang istilah-istilah ini, acapkali terjadi kesalahfahaman dan kerancuan
dalam memahami substansi dari materi yang akan kita pelajari ini. Term-term
seperti Syariah, fikih dan hukum Islam, tidak hanya sering digunakan secara
tumpang-tindih, akan tetapi seringkali terjadi miskonsepsi tradisional tentang
hukum Islam sebagai sesuatu yang baku dan tidak bisa diotak-atik.
Kelalaian dalam memilah istilah tersebut justru akan berimplikasi pada
kekeliruan dalam menguraikan bagaimana sebetulnya hukum Islam itu sendiri,
karena hukum – termasuk hukum Islam – dalam arti yang sangat sederhana
adalah sebuah produk dari berbagai sumber dan metode penemuannya. Tak
hanya itu, implikasi yang paling serius terhadap perkembangan hukum Islam
adalah ketika bercampurnya sesuatu yang profan dan sakral. Dalam hal ini,
akan dibedakan terlebih dahulu mana yang menjadi sumber dan dasar hukum
Islam tersebut dan mana yang kemudian menjadi produk dari proses perjalanan
sejarah.
A. Syariah, Fikih, dan Hukum Islam
1. Syariah
Kata syariah sendiri sebetulnya telah disebutkan sebelum Islam muncul,
yaitu dalam kitab Taurat, Talmud dan Injil, meskipun pada Taurat, syariah
disebutkan dengan bahasa Ibrani. Kata tersebut disebut dalam bahasa arab
dengan taurah, yang berarti membimbing, memberi petunjuk, mengetahui,
mengatur, dan terkadang sering diartikan sebagai undang-undang. Kata ini
disebutkan sebanyak 200 kali dalam Taurat. Sementara dalam kitab Injil, kata
Namus digunakan oleh al-Masih untuk menyebutkan syariat secara umum,
yang berarti orang-orang yang dekat, ruh agama, dan syariat Musa (yang telah
ada sebelumnya).1
Secara etimologis, syariah berarti “jalan ke sumber air minum”, namun bangsa
Arab sering mengartikannya sebagai “ jalan yang lurus”, karena mata air adalah
1 Muhammad Said al-Asymawi, Uhsul al-Syariah. Terj. Lutfi Tomafi, (Yogyakarta: Elkis, 2004), h. 18.
Pendahuluan 3
sumber kehidupan.2 Dalam al-Qur’an disebutkan dalam surat Al-Maidah ayat
48, yaitu:
Dan dalam surat Al-Jatsiyah ayat 18:
Dari kedua ayat tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa syariah itu
mengandung arti “jalan yang jelas yang membawa pada kemenangan”. Bila
diambil dari kata syariah (QS. 42/21) dan syir’ah (QS.5/48), pengertian syariat
menjadi agama yang digariskan oleh Allah beserta perintah-perintah-Nya seperti
shalat, puasa, haji, zakat, dan seluruh perbuatan yang baik, dan bukan hukum-
hukum mu’amalah. Selain pengertian tersebut bila diartikan sebagai “tempat
mengalirnya air”, syariah yang dimaksudkan oleh al-Qur’an: “Kemudian
kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan (agama ini), maka
ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui” adalah suatu peraturan atau metode agama yang harus diikuti.3
Pendapat tersebut disampaikan oleh Said al-Ashmawi.
Dalam hal ini, al-Ashmawy berbeda dengan Ali al-Sayis. Menurut al-
Ashmawi, syariat tidaklah bermakna hukum (tasyri’) atau undang-undang
(al-qanun), karena kedua ayat di atas bukan termasuk ayat madaniyyah, tetapi
diturunkan di Makkah, sehingga konteks saat itu tidak menunjukkan adanya
proses pembentukan hukum. Sementara di sisi lain, Ali Sayis menyatakan
2 Manna al-Qatthan, Tarikh Tasyri’,(Riyadh: Maktabatul Ma’arif, 1996), h. 13; Dalam al-Munjid disebutkan kedua
kata tersebut. Luis Ma’luf, al-Munjid, (Bairut: Daru al-Fikr, tth), cet VII, h. 394; lihat pula Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh
Tasyri’ al-Islami, (Mesir: Mathba’ah Muhammad Ali Shabih, tt), h. 5.
3 Lebih jelasnya tentang bahasan ini lihat, Al-Ashmawi, Ushul al-Syariah, h. 20-21.
Tarikh Tasyri’4
bahwa pembentukan hukum (insya’ al-qawanin) yang hanya berasal dari Nabi
Muhammad bersandarkan kepada al-Qur’an dan Sunnah termasuk pula dalam
syariah.4 Kecenderungan untuk mengidentikkan syariah dengan perundang-
undangan ini dinyatakan pula oleh Mahmud Syaltut, yang menyatakan bahwa
selain dari al-Qur’an dan Sunnah, dalam syariat tersebut termasuk pula qiyas,
ijma’ dan hukum-hukum yang diistinbathkan dengan jalan ijtihad.5 Syariat
tersebut memberikan aturan kepada manusia dalam hubungannya dengan Allah;
sesama manusia; muslim dan non-muslim, dan hubungan dalam keluarga.6
Selain dari beberapa pendapat di atas, ada pula pendapat yang menyatakan
bahwa syariat adalah: “segala perintah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku
manusia”, karena objek kajiannya adalah tindak tanduk, prilaku, atau perbuatan
manusia.7 Ada pula definisi yang berbunyi bahwa syariat adalah: “segala perintah
Allah yang berhubungan dengan sikap dan tingkah laku manusia baik yang bersifat
aqidah (disebut ushuli) maupun yang bersifat amaliyah (disebut furu’i)”. Ushuli
(pokok) menjadi bahan kajian ilmu aqidah yang menyangkut masalah keimanan,
seperti iman kepada Allah, para rasul, malaikat, serta bersifat batiniyah, sementara
yang bersifat amaliyah (furu’I) adalah pekerjaan manusia yang bersifat lahiriyah.8
Menurut al-Syathibi dalam al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, bahwa syariat
memberikan batasan-batasan (al-hudud) bagi al-mukallaf, baik pada wilayah
perbuatan, perkataan ataupun keyakinan-keyakinan.9 Syariah ini juga seringkali
disebut sebagai agama (”millah/ ” dan “diin/ ”), sehingga syariah lebih
luas cakupannya daripada fikih karena syariah merupakan ajaran dari seluruh
aspek agama, selain bahwa dalam bahasa Arab kata syariah telah terlebih dahulu
diketahui dibanding fikih.10 Maka dari itu, perlu ditegaskan bahwa syariah tidak
bisa diidentikkan dengan fikih, karena keluasan cakupannya, meskipun fikih
sendiri berasal dari syariah.
Dari sini, cukup menarik untuk melihat pendapat yang dinyatakan oleh
Manna’ al-Qaththan, yaitu bahwa Syariat adalah apa yang ditegaskan oleh Allah
Pendahuluan 5
untuk hamba-hambanya, baik dalam aqidah, ibadah, muamalah, akhlak dan
aturan hidup, pada satu bangsa yang berbeda-beda untuk menjaga hubungan
antara manusia dan Tuhannya dan hubungan antara sesama mereka sendiri,
serta untuk mencapai suatu kebahagiaan di dunia dan akhirat. Al-Qatthan
menegaskan bahwa Syariat hanya dibuat oleh Allah semata (tasyri’ ilahi),
sehingga aturan apapun yang dibuat oleh manusia tidak dapat disebut syariah,
tetapi tasyri’ al-wadh’i.11
2. Fikih
Bila syariah sebagai sebuah konsep ideal dan abstrak yang dikehendaki oleh
Allah, maka fikih dipahami sebagai upaya manusia untuk memahami kehendak
tersebut.12 Secara etimologis, fikih berarti “faham” atau “faham yang mendalam”.
Secara terminologis, fikih berarti : “ilmu tentang hukum-hukum syara (kumpulan
hukum-hukum) yang bersifat amaliyah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil
yang terperinci:” Dalam hal ini, fikih merupakan kumpulan hukum-hukum
syariat yang berhubungan dengan tingkah laku manusia, baik ucapan atau
perbuatan, yang diambil dari nash-nash dan dalil-dalil syariat lain, yang tidak
bertentangan dengan nash-nash tersebut.13
Yang dimaksud dengan kalimat: “yang digali dan ditemukan“ adalah sebuah
proses berfikir tentang hukum dengan metode tertentu yang disebut dengan
ijtihad. Sehingga Imam Al-Amidi mendefinisikan fikih sebagai “ilmu tentang
seperangkat hukum-hukum syara yang bersifat furu’iyyah yang didapatkan dengan
metode tertentu dan penalaran (istidlal)”,14 sedangkan yang dimaksud dengan
“dari dalil-dalil yang terperinci” adalah dalil-dalil hukum Islam yaitu al-Qur’an
dan Sunnah yang sifat dari dalil itu terperinci (tafsili).
Ibnu Khaldun mendefinisikan fikih sebagai ”pengetahuan tentang hukum-
hukum Allah yang berkenaan dengan tingkah laku mukallaf, baik itu wajib,
haram, sunnah, makruh, atau mubah, yang diambil dari al-Qur’an, Sunnah dan
dalil-dalil yang ditetapkan oleh pembuat hukum (al-syari’) untuk mengetahuinya”.
Hukum atau produk yang berhasil ditemukan oleh para mujtahid inilah yang
disebut fikih.
Tarikh Tasyri’6
Seiring dengan perjalanan waktu dimana kemampuan manusia semakin
bertambah, maka fikih sendiri bukan menjadi suatu produk yang langsung jadi
sekaligus, akan tetapi melalui sebuah evolusi panjang. Sebagaimana diketahui
bahwa beberapa obyek kajian fikih, seperti dalam hal jual beli, perkawinan, dan
jinayah ternyata tidak sepenuhnya baru dan berasal dari Islam secara keseluruhan,
akan tetapi terdapat pula praktik-praktik yang terlebih dulu telah dilakukan
oleh orang-orang Arab pra kedatangan Islam. Maka dari itu, evolusi tersebut
terus akan belangsung hingga mencapai kesempurnaannya.16 Menurut para ahli
hukum Islam bahwa tujuan syariat adalah untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia (tahqiq mashalih al-’ibad), dan tujuan fikih adalah untuk memahami
dan menerapkan syariat tersebut.17
Sebagaimana dicatat oleh Hasbi ash-Shiddiqi, Salam Madzkur mendefinisikan
fikih sebagai suatu usaha untuk mengetahui sesuatu, memahaminya dan
menanggapinya dengan sempurna. Dan dalam perspektif tersebut, lanjut
Hasbi, sudah semestinya untuk mengembalikan fikih kepada pengertian asalnya
tersebut setelah awalnya ditegaskan oleh al-Ghazali bahwa fikih mencakup
semua ilmu yang terkandung di dalam syariat.18 Hal ini perlu dilakukan
karena antara keduanya juga terdapat perbedaan yang signifikan, selain dari
implikasinya kepada perkembangan hukum Islam di masa yang akan datang.
Dan dijelaskan pula dalam Mu’jam Ushul al-Fikih bahwa memang fikih pada
awalnya mencakup segala hukum yang ditetapkan Allah, baik yang terkait
dengan keyakinan, perbuatan atau akhlak yang dapat disinonimkan dengan
syariat. Dalam perjalanan waktu, fikih hanya membahas tentang hukum
furu’iyyah dan wilayah keyakinan dilepaskan dari fikih.19
Asaf A. A. Fyzee dengan jelas menguraikan dua istilah ini. Bila syariah
meliputi segala tingkah laku manusia, maka fikih hanya meliputi tindakan-
tindakan hukum; Syariat merupakan pengetahuan yang tak dapat dicapai
kecuali dengan Qur’an atau Sunnah, sementara fikih mengutamakan akal untuk
mengetahuinya; syariat ditentukan oleh Allah dan rasul-Nya, sedangkan fikih
ditegaskan oleh usaha manusia; dalam fikih suatu tindakan dipandang sah atau
tidak, dibolehkan atau tidak, sementara di dalam syariat didapati boleh atau
terlarang. Dan terakhir, fikih adalah istilah yang dipergunakan bagi hukum
Pendahuluan 7
sebagai ilmu pengetahuan (science) dan syariat bagi hukum merupakan jalan
kebenaran sebagaimana diwahyukan oleh Allah.20
3. Hukum Islam
Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata “hukum” dan ‘Islam”. Kedua
kata ini berasal dari bahasa Arab, namun apabila dirangkai menjadi “hukum
Islam”, kata tersebut tidak dikenal dalam terminologi Arab. Kita tidak dapat
menemukan kata itu dalam al-Qur’an, hadis atau literatur Arab lainnya. Kata
Hukum Islam merupakan kata yang sudah melembaga, dipakai secara lumrah
di Indonesia. Kata ini mulai muncul ketika di Indonesia muncul tiga hukum
yang saling bersinggungan (trikotomi hukum), yaitu hukum Islam, hukum
Adat dan hukum Barat. Penyebutan “hukum Islam” itu sendiri bertujuan untuk
memisahkan antara hukum yang bersumber dari ajaran agama Islam, hukum
yang berasal dari adat istiadat bangsa Indonesia dan hukum Barat yang dibawa
oleh kolonial Belanda.
Apabila didefinisikan, hukum Islam adalah: “seperangkat peraturan
berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasulullah tentang tingkah laku manusia
mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua orang yang beragama
Islam”. Selain itu, ada pula pendapat yang mengambil pengertian hukum sebagai
hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian dari agama Islam.21 Meskipun
begitu, penyebutan ruang lingkup dan obyek hukum Islam sendiri masih
terkesan belum jelas di dalam masyarakat, yang sangat mungkin disebabkan
karena kekeliruan dalam mengartikan syariat dan fiqih.22
Dalam khazanah pemikiran hukum Islam dikenal bahwa produk pemikiran
hukum Islam memiliki empat kategori:
1. Fikih, yakni bangunan ilmu pengetahuan keislaman yang meliputi ibadah
dan mu’amalah secara menyeluruh.
2. Fatwa, yakni produk pemikiran hukum yang dikeluarkan oleh perorangan
maupun secara kolektif atas pertanyaaan hukum dari anggota masyarakat
terhadap persoalan-persoalan tertentu. Fatwa tidak memiliki daya ikat pada
orang yang meminta fatwa. Fatwa perorangan di zaman modern – khususnya
di Indonesia – merupakan barang langka, tetapi fatwa yang dilakukan oleh
Tarikh Tasyri’8
kelembagaan hingga kini masih dirasakan eksis, misalnya fatwa MUI yang
hampir selalu mengikuti setiap persoalan kontemporer.
3. Putusan Pengadilan, yakni produk pemikiran hukum yang dikeluarkan
oleh lembaga peradilan, yang keputusannya mengikat bagi pihak yang
berperkara.
4. Perundang-undangan (taqnin), yaitu produk politik dalam menerapkan
suatu hukum oleh dewan legislatif yang diusulkan oleh eksekutif. Biasanya,
perundang-undangan ini mempunyai keterbatasan, diantaranya cakupan
materi yang dimuat sangat spesifik, hanya mencakup bidang hukum tertentu
saja.23 Secara hirarkis, perundang-undangan di Indonesia adalah Undang-
undang Dasar 45, TAP MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri,
Peraturan Daerah (PERDA).
Dilihat dari cara penerapannya, hukum dapat dibagi menjadi dua bagian :
1. Produk hukum yang tidak memerlukan keterlibatan birokrasi atau legislasi
hukum oleh negara (mulzimun binafsihi), misalnya mengucapkan dua
kalimat syahadat dan melaksanakan kewajiban shalat. Pemerintah tidak
mengatur teknik pelaksanaan, baik bersifat perorangan atau kelembagaan.
Produk hukum seperti ini adalah fikih dan fatwa.
2. Produk hukum yang memerlukan keterlibatan birokrasi atau legislasi hukum
oleh negara atau ulil amri (mulzimun bighoirihi). Produk hukum seperti ini
adalah putusan pengadilan dan perundang-undangan.
B. Tarikh Tarsyri’: Pengertian, Sejarah dan Urgensinya
1. Tarikh Tasyri’
Kata tarikh tasyri’/ ’ merupakan rangkaian dari dua bahasa: tarikh/
dan tasyri’/ . Tarikh berasal dari bahasa Arab : arakha:
yuarikhu artinya : menulis, mencatat sejarah, atau catatan tentang perhitungan
tanggal hari, bulan, dan tahun. Tarikh muradhif (sinonim) dengan kata sajarah,24
riwayat, tambo, atau kitab.
23 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), cet I, h. 31-33.
24 Sajarah sendiri berasal dari kata sajaroh artinya pohon (batang pohon) karena sejarah sendiri merupakan asal
usul dari sesuatu. Sejarah adalah: Pengetahuan mengenai kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa
yang lampau (Poerwadarminta)
Pendahuluan 9
Tasyri’/ berasal dari akar kata yang mengandung arti
jalan yang biasa ditempuh, sehingga secara etimologis bermakna: menetapkan
syari’at, menerapkan hukum, atau membuat perundang-undangan, atau
Proses menetapkan perundang-undangan. Secara terminologis, Tasyri’ sendiri
berarti: “pembentukan dan penetapan perundang-undangan yang mengatur
hukum perbuatan orang-orang mukallaf dan hal-hal yang terjadi tentang berbagai
keputusan serta peristiwa yang terjadi di kalangan mereka”.
Dengan demikian, secara sederhana Tarikh Tasyri’ dapat di definisikan
dengan: sejarah terbentuknya perundang-undangan dalam Islam, baik pada
masa risalah (Nabi Muhammad) atau pada masa-masa setelahnya, dari perspektif
zaman di mana hukum-hukum tersebut dibentuk, berikut proses penghapusan
dan kekosongannya, serta yang terkait dengan para fuqaha dan mujtahid yang
berperan dalam proses pembentukannya tersebut.25
2. Nama Lain dari Tarikh Tasyri’
Sejarah perkembangan hukum Islam;1.
Sejarah pembentukan hukum Islam;2.
Sejarah Hukum Islam;3.
Sejarah perkembangan fikih;4.
Perkembangan modern hukum Islam;5.
Perkembangan ilmu fikih.6.
3. Macam-macam Tasyri’
Hukum Islam memiliki dua dimensi, dimensi illahiyah dan dimensi
insaniyah. Dimensi ilahiyah adalah dimensi transenden dan sakral, ia diyakini
sebagai ajaran yang bersumber dari Allah yang Maha Suci, Maha Sempurna,
dan Maha Benar.26 Dalam dimensi ini, hukum Islam diyakini oleh umatnya
sebagai ajaran suci sehingga sakralitasnya harus tetap dijaga. Dalam pengertian
ini, hukum Islam dipahami sebagai syari’at yang cakupannya luas, tidak hanya
terbatas pada fikih dalam artian terminologi, ia mencakup masalah keimanan,
amaliyah dan etika. Dimensi kedua adalah dimensi insaniyah. Dalam dimensi
ini, hukum Islam merupakan hasil ijtihad ulama terhadap nash melalui dua
pendekatan; pendekatan kebahasaan dan pendekatan tujuan syara’.
Tarikh Tasyri’10
Jadi, tegasnya tasyri’ itu terbagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Tasyri’ Illahi, yaitu penetapan hukum Islam yang bersumber dari Allah
dengan perantaraan Rasulullah melalui Al-Qur’an dan Hadis.
2. Tasyri ‘Wadh’i, yaitu penetapan hukum Islam yang bersumber dari kekuatan
pemikiran manusia melalui ijtihad – baik individual maupun kolektif.27
4. Aliran Pemikiran Tasyri’
Di samping dua pembagian tasyri’ tersebut, ada dua aliran fikiran tentang
tasyri’:
a. Bahwa hukum Islam itu sudah given (dibaca: Al-Qur’an), sudah ada
dan termaktub di lauh al-mahfudz sejak zaman azali28. Dari sudut ini,
hukum adalah kehendak Tuhan yang diwahyukan. Sebagai ketentuan
Tuhan, ia mendahului bukan didahului negara muslim, ia mengontrol
bukan dikontrol, manusia yang harus menyesuaikan kepada hukum,
bukan hukum menyesuaikan pada perubahan manusia. Artinya, disini
tidak berlaku suatu konsep bahwa hukum berevolusi sebagai gejala sosial
(sejarah) yang terkait erat dengan kemajuan masyarakat.29
b. Bahwa hukum itu lahir dan berkembang bersama kehidupan masyarakat
(the man made the law/natural law). Karena al-Qur’an diturunkan pada
masyarakat Arab yang sudah mengenal budaya, bahasa, bahkan agama.
Dilihat dari konteksnya, al-Qur’an mengalami dialektika dengan
masyarakat Arab pada waktu itu. Adanya ayat-ayat yang responsif atas
pertanyaan atau permasalahan yang timbul pada waktu itu adalah bukti
dari adanya dialektika itu. Oleh karena itu, hukum yang terkandung
dalam al-Qur’an selama bersangkutan dengan budaya pada masa itu
boleh ditafsirkan surut sesuai dengan konteks budaya pada waktu itu.
Yang dipegang adalah ajaran universal dari al-Qur’an itu sendiri seperti:
keadilan, kedamaian, kemerdekaan dan persamaan.
27 Juhaya S. Praja, Dinamika Pemikiran Hukum Islam, h. 9.
28 Para ahli kalam sunni berpendapat bahwa al-Qur’an itu qadim karena ia merupakan kalam Allah bukan hadis.
Logikanya karena Allah itu qadim, maka kalamnya pun harus qadim yakni sesuatu yang tidak ada awalnya dan tidak ada
akhirnya. Kebalikan dengan kaum mu’tazilah yang berpendapat bahwa al-Qur’an itu adalah hadis, yang qadim hanyalah
Allah semata.
29 Noel J. Coulson,The History of Islamic Law, Edinburgh University Press, 1964 page 1
Pendahuluan 11
5. Karakteristik Hukum Islam
Hukum Islam mempunyai watak tertentu dan beberapa karakteristik yang
membedakannya dengan berbagai macam hukum yang lain. Karakteristik
tersebut ada yang memang berasal dari watak hukum itu sendiri dan ada pula
yang berasal dari proses penerapan dalam lintasan sejarah menuju ridha Allah.
Dalam hal ini, beberapa karakteristik hukum Islam bersifat sempurna, universal,
kemanusiaan, mengandung moral agama, dan dinamis, akan dijelaskan dalam
bagian ini.
a. Sempurna, artinya syari’at itu akan selalu sesuai dengan segala situasi
dan kondisi manusia, dimana pun dan kapanpun, baik sendiri maupun
berkelompok. Hal ini didasarkan bahwa syariat Islam diturunkan dalam
bentuk yang umum dan hanya garis besar permasalahannya saja, sehingga
hukum-hukumnya bersifat tetap meskipun zaman dan tempat selalu
berubah. Penetapan hukum yang bersifat global oleh al-Qur’an tersebut
dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada umat manusia untuk
melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi ruang dan waktu.30
b. Universal, syari’at Islam meliputi seluruh alam tanpa ada batas wilayah,
suku, ras, bangsa, dan bahasa. Keuniversalan ini pula tergambar dari sifat
hukum Islam yang tidak hanya terpaku pada satu masa saja (abad ke-VII
saja, misalnya), tetapi untuk semua zaman. Hukum Islam menghimpun
segala sudut dan segi yang berbeda-beda di dalam suatu kesatuan, dan
ia akan senantiasa cocok dengan masyarakat yang menghendaki tradisi
lama atau pun modern, seperti halnya ia dapat melayani para ahli aql
dan ahl naql, ahl al-ra’y atau ahl al-hadis.31
c. Elastis, dinamis, fleksibel, dan tidak kaku. Karena hukum Islam merupakan
syariat yang universal dan sempurna, maka tak dapat dipungkiri pula
kesempurnaannya ini membuatnya bersifat elastis, fleksibel dan dinamis
dalam perkembangan zaman, karena jika hukum Islam menjadi sesuatu
yang kaku justru akan menjadikannya tak relevan pada masa atau ruang
tertentu. Bila syariat diyakini sebagai sesuatu yang baku dan tidak pernah
berubah, maka fiqih menjembatani antara sesuatu yang baku (syariat)
dan sesuatu yang relatif dan terus berubah tersebut (ruang dan waktu).32
Syari’at Islam hanya memberikan kaidah dan patokan dasar yang umum
Tarikh Tasyri’12
dan global. Perinciannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan manusia,
dan dapat berlaku dan diterima oleh seluruh manusia. Dengan ini pula,
dapat dilihat bahwa hukum Islam mempunyai daya gerak dan hidup
yang dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan,
melalui suatu proses yang disebut ijtihad. Dalam ijitihad – yang menjadi
hak bagi setiap muslim untuk melakukannya – merupakan prinsip gerak
dalam Islam yang akan mengarahkan Islam kepada suatu perkembangan
yang bersifat aktif, produktif serta konstruktif.33
d. Sistematis, artinya antara satu doktrin dengan doktrin yang lain bertautan,
bertalian dan berhubungan satu sama lain secara logis. Kelogisan ini
terlihat dari beberapa ayat dalam al-Qur’an yang selalu menghubungkan
antara satu institusi dengan institusi yang lain. Selain itu, syariat Islam
yang mendorong umatnya untuk beribadah di satu sisi, tetapi juga tidak
melarang umatnya untuk mengurusi kehidupan duniawi.34
e. Bersifat Ta’abuddi dan ta’aqulli. Warna Syari’at Islam dapat dibedakan
dengan dua warna: yaitu ta’abuddi bentuk ibadah yang fungsi utamanya
untuk mendekatkan manusia kepada Allah ( ).
Bentuk ibadah seperti ini sudah given, taken from granted, makna yang
terkandung didalamnya tidak dapat dinalar, irrasional, seperti jumlah
rakaat shalat. Sedangkan yang ta’aqulli adalah bersifat duniawi yang
maknanya dapat difahami oleh nalar manusia dan rasional.
f. Menegakkan Maslahat, karena seluruh hukum itu harus bertumpu
pada maslahat dan dasar dari semua kaidah yang dikembangkan dari
seluruh hukum Islam harus bersimpul pada maslahat. Syariat berurusan
dengan perlindungan maslahat, entah dengan cara yang positif,misalnya
dengan tindakan untuk menopang landasan-landasan mashalih, syariat
mengambil tindakan-tindakan untuk menopang landasan-landasan
mashalih tersebut. Atau dengan cara preventif, yaitu untuk mencegah
hilangnya mashalih, ia mengambil tindakan-tindakan untuk melenyapkan
unsur apa pun yang secara aktual atau potensial merusak mashalih.35
g. Menegakkan Keadilan. Keadilan dalam arti perimbangan atau keadaan
seimbang (mauzun) antonimnya ketidakadilan, kerancuan (at-tanasub),
Pendahuluan 13
persamaan (musawah), tidak diskriminatif, egaliter, penunaian hak sesuai
dengan kewajiban yang diemban (keadilan distributif ), serta keadilan
Allah yaitu kemurahan-Nya dalam melimpahkan rahmat-Nya kepada
manusia sesuai dengan tingkat kesediaan yang dimilikinya.
h. Tidak Menyulitkan (‘adamul kharaj). Yang disebut dengan tidak
menyulitkan adalah hukum Islam itu tidak sempit, sesak, tidak memaksa
dan tidak memberatkan. Di antara cara meniadakan kesulitan itu, ada
beberapa bentuk:
1. Pengguguran kewajiban, yaitu dalam keadaan tertentu kewajiban
ditiadakan seperti gugurnya kewajiban shalat jum’at dan gugurnya
kewajiban puasa dibulan Ramadhan bagi orang yang sedang dalam
perjalanan atau sakit.
2. Pengurangan kadar yang telah ditentukan, seperti qashar shalat dari
yang jumlahnya empat rakaat menjadi dua rakaat, yaitu shalat
Dzuhur, Ashar dan Isya’.
3. Penukaran, yaitu penukaran satu kewajiban dengan yang lain, seperti
wudhu atau mandi besar ditukar dengan tayammum, atau menukar
kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan dengan hari lain bagi orang
yang mempunyai halangan puasa Ramadhan.
4. Mendahulukan, yaitu mengerjakan suatu kewajiban sebelum waktunya
hadir seperti shalat jama’ takdim, shalat Ashar yang dilaksanakan pada
waktu Dzuhur, melaksanakan shalat Isya pada waktu shalat Magrib.
5. Menangguhkan atau mentakhirkan kewajiban yaitu mengerjakan suatu
kewajiban setelah waktunya tidak ada seperti shalat jama’ takhir.
mengerjakan shalat Dzuhur diwaktu shalat Ashar atau mengerjakan
shalat Magrib di waktu shalat Isya.
6. Mengubah dengan bentuk lain, seperti merubah perbuatan shalat
dengan shalat khauf karena alasan keamanan. atau mengganti
kewajiban puasa bagi orang yang sudah tidak kuat lagi puasa dengan
membayar fidyah.
i. Menyedikitkan beban (taqlil at-takalif), yaitu dengan menyedikitkan
tuntutan Allah untuk berbuat, mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya.
Tarikh Tasyri’14
j. Berangsur-angsur (tadrij). Hukum Islam dibentuk secara gradual,
tidak sekaligus. Diantara hukum Islam yang diturunkan secara gradual
adalah shalat, pertama hanya dua waktu (Hud: 114)36 kemudian tiga
waktu (al-Isra: 78),37 dan akhirnya lima waktu. Kemudian larangan
riba, pertama hanya dikatakan sebagai perbuatan tercela (QS. al-Rum:
39),38 kemudian riba yang dilarang adalah yang berlipat ganda (QS. Ali
Imran: 130)39 terakhir dikatakan haram secara mutlak (QS. al-Baqarah:
275, 278)40. Demikian juga dalam pelarangan minuman keras, awalnya
hanya dikatakan bahwa madharatnya lebih besar dari manfaatnya (QS.
al-Baqarah: 219),41 kemudian larangan untuk mendekati shalat dalam
keadaan mabuk (QS. al-Nisa: 43),42 dan terakhir diharamkan secara
mutlak bahkan dikatakan sebagai perbuatan syetan (al-Ma’idah : 90).43
6. Periodisasi Tarikh Tasyri’
Secara global, periodisasi tarikh tasyri’ dapat digeneralisasikan menjadi enam
periode:
a. Periode Rasulullah atau periode masa kenabian. Periode ini juga disebut
masa pertumbuhan, yaitu periode pertumbuhan dan pembentukan
hukum Islam yang disemaikan oleh Rasulullah selama 23 tahun, yakni
dari diangkatnya Muhammad menjadi Rasul pada tahun 610 M sampai
wafatnya pada tahun 632 M. Dalam periode ini akan dibagi menjadi dua
bagian, yakni periode Makkah yang di jalani selama 13 tahun dan periode
Madinah selama kurang dari 10 tahun. Ciri pokok pada masa pertama
ini adalah bahwa wewenang tasyri pada masa itu sepenuhnya berada
di tangan Rasulullah. Walaupun demikian, kadang-kadang terjadi juga
ijtihad pada saat Rasulullah tidak hadir. Adanya ijtihad itu tidak berarti
Pendahuluan 15
bahwa orang lain selain Rasulullah pada saat itu mempunyai wewenang
tasyri’, karena kasus-kasus seperti ini merupakan kasus pengecualian
dimana sahabat tidak bisa bertanya langsung kepada Rasulullah karena
beliau tidak ada, sementara persoalan harus segera dijawab karena takut
kehilangan aktualitasnya. Hasil ijtihad sahabat kedudukannya adalah
sebagai fatwa sahabat, kecuali Rasulullah sendiri menyetujui ijtihad
sahabat tersebut.44
b. Periode sahabat. Periode ini disebut juga masa perkembangan. Pada
periode ini terjadi penjelasan, pencerahan dan penyempurnaan hukum
Islam. Periode ini berlangsung selama 90 tahun, sejak wafatnya Rasulullah
11 H 632 M sampai akhir abad pertama hijrah 101 H/720 M. Ciri khas
tasyri’ pada periode ini adalah ijtihad sudah mulai banyak dilakukan
oleh para sahabat karena Rasulullah sebagai pemegang wewenang tasyri’
sudah meninggal dunia, hanya saja ijtihad para sahabat ini masih sangat
terbatas pada masalah-masalah yang terjadi atau ditanyakan.45 Para
sahabat besar seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Mas’ud, Aisyah, atau Abu Khurairah, mereka melakukan
ijtihad atau memberi fatwa menurut bidangnya masing-masing dan
paling melakukan ijtihad diantara mereka adalah Umar bin Khattab.
c. Periode tadwin/kodifikasi. Periode ini disebut masa pembuahan.
Periode ini merupakan era keemasan hukum Islam “the golden age”
dimana hukum Islam mulai diunifikasi (dikumpulkan) kemudian
dikodifikasikan (dibukukan). Pionernya adalah para imam mazhab dan
murid-muridnya. Masa keemasan ini berlangsung lebih dari 250 tahun,
yakni dari tahun 101 – 350 H atau dari tahun 720 – 971 M. Ciri pokok
tasyri’ pada periode ini adalah adanya peralihan sistem kekhalifahan
yang dipilih menjadi sistem kekhalifahan keturunan. Ada dua keturunan
yang berkuasa, yakni Bani Umayah dan Bani Abbas. Secara politik
ditandai oleh terbaginya Umat Islam menjadi tiga kelompok, yaitu
Sunni, Khawarij dan Syi’ah. Banyak orang yang memeluk Islam di luar
bangsa Arab, sehingga menyebabkan banyak persoalan yang timbul.
Terbaginya para ulama menjadi dua bagian, yaitu ahli ra’y atau kaum
rasionalis dan ahli hadis. Dalam periode ini terjadi banyak periwayatan
hadis dan banyak pemalsuan hadis. Kemudian berdirilah cabang-cabang
Tarikh Tasyri’16
ilmu sebagai ilmu yang mandiri, seperti tafsir, hadis, fikih, ushul fiqh,
tasawuf, dll, kemudian para ulama tampil untuk melakukan kodifikasi
(pembukuan).
d. Periode taklid/jumud. Periode ini disebut juga masa pembekuan karena
bekunya pemikiran hukum Islam. Masa ini juga disebut dengan masa
statis yakni dimulai sejak tahun 351 H. Ciri pokok tasyri’ pada periode
ini adalah menurunnya gerakan dan gairah berijtihad serta meluasnya
roh taklid. Melemahnya kebebasan tasyri’ pada masa ini disebabkan oleh
semakin melemahnya kebebasan berpolitik yang mengakibatkan negeri
Islam terbecah belah menjadi negara-negara kecil.46
Kemudian muncul ta’ashubiyyah antar madzhab, padahal para imam
sebelumnya saling bertoleransi. Perdebatan dan ta’ashub semakin hangat
bahkan memanas, sehingga timbul ide untuk menyusun ilmu tata
debat dan diskusi agar perdebatan-perdebatan tidak mengarah pada hal
yang negatif. Diantara tata tertib itu adalah: jangan berdebat tentang
masalah yang belum terjadi, berdebat tidak di depan umum, berdebat
itu hukumnya fardu kifayah oleh karena itu apabila ada fardu kifayah
yang lebih penting, berdebat harus ditinggalkan. Pada masa itu pula,
lahir larangan untuk talfiq karena menganggapnya seolah-olah talfiq itu
pindah agama. Dan diperparah dengan meluasnya penyakit dengki dan
egoisme dikalangan ulama yang menyebabkan mereka lebih mengejar
popularitas daripada keikhlasan prestasi.47
e. Periode tiga kerajaan besar yaitu kerajaan Turki Utsmani, Kerajaan Safawi,
dan kerajaan Mughal. Masa ini merupakan masa peralihan dari klasik ke
modern. Pada masa ini mulai dirintis unifikasi dan kodifikasi hukum
Islam, seperti yang dilakukan oleh Turki Utsmani dengan Majallat-nya.
f. Periode kebangkitan. Ciri pokoknya adalah bangkitnya hukum Islam di
abad modern, dimana ijtihad kembali dikumandangkan, dan meluasnya
ajakan untuk kembali ke al-Qur’an dan Sunnah. Mulai banyak negeri-
negeri Islam memerdekakan diri dari penjajahan yaitu dimulai sejak
umat Islam dunia sadar bahwa umat Islam sangat ketinggalan dari
barat, menyadari bahwa hukum Islam merupakan sumber hukum yang
tidak pernah kering, dan menyadari ternyata hukum barat yang maju
itu berasal dari hukum Islam. Dimulai dari tahun 1924 Ada beberapa
46 Muhammad Khudori Bek, Tarikh Tasyri Islami, 322.
47 Abdul Wahhab Khalaf, Khulashah Tarikh Tasyri’, h. 96.
Pendahuluan 17
upaya yang dilakukan oleh ulama yaitu mengajak kepada umat Islam
untuk meninggalkan taklid buta, mempersatukan mazhab, membasmi
bid’ah dan khurafat, dan kembali ke al-Qur’an dan sunnah.
g. Periode Modern, yaitu ketika hukum Islam menjadi perundang-undangan
dalam Negara Islam modern.
7. Kegunaan Mempelajari Tarikh Tasyri’
Hukum Islam (fikih) merupakan salah satu bagian dari kajian yang secara
formal diberikan sebagai matakuliah pokok di Fakultas Syariah. Dan tarikh
tasyri’ merupakan kajian terpenting dalam hukum Islam yang membidik
hukum Islam dari persfektif sejarah. Maka, mata kuliah ini dirancang untuk
memberikan pemahaman yang lebih mendalam dan komprehensif tentang
sejarah hukum Islam sejak awal pertumbuhan Islam di tanah Arab pada abad
ke – 7 M. hingga perkembangan kontemporer di dunia Islam dewasa ini.
Dikarenakan mata kuliah ini berkaitan dengan perkembangan sejarah, maka
tak pelak literatur sejarah dan pendekatan historis merupakan suatu hal yang
niscaya. Dengan demikian, melalui mata kuliah ini, sejarah hukum Islam akan
ditelaah dengan berbagai sudut pandang dan selalu dikaitkan dengan segi-segi
kesejarahan, sosial, hukum, politik dan kebudayaan. Lebih dari itu, pendekatan
historis yang digunakan dalam mata kuliah ini tidak hanya berusaha memahami
suatu gejala secara “apa dan bagaimana”, tetapi juga menjangkau lebih jauh
persoalan “mengapa demikian”. Oleh sebab itu, diskursus yang diharapkan
berkembang dalam perkuliahan nantinya tidak hanya sekedar menyajikan
fakta-fakta sejarah tentang hukum Islam, melainkan lebih jauh dari itu, sampai
pada mencermati perubahan, kecenderungan, dan dinamika hukum Islam, serta
faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Dalam mata kuliah Ulumul Al-Qur’an kita kenal ada kajian tentang Asbabun
Nuzul, demikian juga dalam Ulumul Hadis kita mengenal Asbabul Wurud.
Kedua ilmu itu menerangkan bagaimana sebab musabab turunnya ayat al-
Qur’an dan Hadis. Keduanya sangat penting karena tanpa mengetahui latar
belakang turunnya ayat/hadis akan melahirkan pemahaman yang kurang tepat
bahkan keliru.
Dalam hukum Islam, tanpa mengetahui latar belakang munculnya suatu
hukum, akan melahirkan pemahaman hukum yang kurang tepat atau bahkan
keliru. Tegasnya, setelah mempelajari mata kuliah ini diharapkan mahasiswa
Tarikh Tasyri’18
dapat mamahami hukum Islam dari kontsruk sejarah, sehingga tidak memahami
hukum Islam dengan apa adanya (tekstual) dan a-historis, tetapi dapat
memahami hukum secara kontekstual. Mahasiswa juga diharapkan setelah
mempelajari sejarah hukum Islam ini tidak terjebak pada permikiran yang
picik, cara pandangnya hanya hitam putih, alergi terhadap hukum yang baru
dan berkeinginan untuk mempertahankan yang lama, atau sebaliknya alergi
terhadap hukum lama karena sudah kuno dan mengagung-agungkan hukum
modern. Mahasiswa yang sudah mempelajari sejarah hukum Islam harus arif,
objektif, toleran dan rasional dan selalu berpegang pada kaidah:
“Menjaga (hukum) lama yang masih relevan dan mengambil (hukum) baru
yang lebih baik”.48
Dengan demikian, dalam melakukan ijtihad selalu akan melakukan ceck and
balance, dan melakukan langkah awal dalam mengkonstruksikan pemikiran
ulama klasik kemudian ditransmisikan untuk kemaslahatan manusia di masa
kini dan akan datang.
8. Hubungan Tarikh Tasyri’ dengan Mata Kuliah Lain
Adapun mata kuliah yang ada hubungannya dengan mata kuliah ini adalah:
Metode Studi Islam (MSI), Sejarah peradaban Islam, filsafat sejarah, Fikih, Ushul
Fiqh, Ulumul Al-Qur’an, Ulumul Hadis, sosiologi dan antropologi hukum.
Hubungan tersebut tidak hanya bersifat normatif, tetapi lebih dari itu,
perangkat dan matakuliah yang disebutkan di atas akan mampu memberikan
gambaran yang jelas tentang potret masyarakat Islam dalam rentang sejarahnya.
MSI akan bermanfaat untuk mengklasifikasikan metode dan penerapan
teknik masing-masing kelompok yang berbeda. Sosiologi akan mampu
menggambarkan kondisi, struktur dan hubungan sosial pada suatu masa. Pun
demikian dengan Sejarah Peradaban Islam, akan melihat hubungan antara masa,
sehingga menjadikan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Kesatuan tersebut
akan bermanfaat untuk melihat proses dialektika zaman dan proses perubahan-
48 Menurut Hasanuddin AF, salah satu ciri dari metodologi yang digunakan oleh Satria Effendi M. Zein adalah peng-
gunaan konsep ini. Lihat, Hasanuddin AF, Kerangka Metodologi Buku Karya Prof. Dr. H. Satria Effendi M. Zein, MA, dalam
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 519.
Pendahuluan 19
perubahan sosial, politik atau pun keagamaan. Pun demikian dengan beberapa
mata kuliah lain, yang semuanya menopang Tarikh Tasyri’, terutama untuk
mendapatkan suatu hasil analisis yang sempurna dan obyektif.
Tarikh Tasyri’20
Kondisi Bangsa Arab
Sebelum Islam
Bab 2
Kondisi Bangsa Arab Sebelum Islam 21
A. Kondisi Sosio-Kultural Bangsa Arab
1. Aspek Kebangsaan
Jazirah Arab merupakan tempat munculnya rumpun bangsa Semit.1 Semit
dinyatakan sebagai bangsa tertua, dan kebanyakan keturunan Arab yang masih
hidup juga berasal dari bangsa ini.2 Wilayah jazirah Arab juga tempat lahirnya
tradisi Yahudi dan kemudian Kristen, yang secara bersama-sama membentuk
rumpun Semit yang telah dikenal baik.3 Semit terdiri dari berbagai suku bangsa,
yakni Arab A’robah, Arab Musta’robah dan Arab Ba’idah. Ketiga suku bangsa
Arab tersebut adalah keturunan Nabi Ibrahim dari garis keturunan Nabi Ismail.
Sebelum Nabi Ismail datang ke kota Makkah, sebetulnya telah ada suku asli
penduduk Makkah yaitu suku Amaliqah dan Jurkum. Suku Amaliqah dan
Jurkum terlibat pertempuran, sehingga suku Amaliqah tersingkir dari kota
Makkah dan pindah ke kota Yasrib (Madinah). Setelah kedatangan Ismail ke
Makkah, Ismail terdidik oleh lingkungan Bani Jurkum, dan selanjutnya Ismail
sendiri menikahi perempuan Bani Jurkum. Karena kota Makkah telah menjadi
tempat yang dipandang suci oleh segenap bangsa Arab, maka berdirilah di sana
pemerintahan untuk melindungi jemaah-jemaah haji dan menjamin keamanan,
keselamatan dan ketentraman mereka. Rupanya telah terjadi pembagian kerja
antara orang-orang Jurkum dan Ismail yaitu: urusan politik dan peperangan
dipegang oleh orang-orang Jurkum, sedangkan Ismail mencurahkan tenaganya
untuk berkhidmat kepada Baitullah dan urusan keagamaan.4
Disamping bangsa Arab yang bersuku-suku dan berkabilah-kabilah, ada
bangsa lain yang tinggal di semenanjung Arab, khususnya di Madinah atau
Yasrib5 adalah Suku Hadraz dan suku Aus6. Selain kedua suku Arab itu, ada
juga bangsa Yahudi dari berbagai sekte, yakni: Bani Quraidhah, Qunaiqah Bani
1 Istilah Semit berasal dari kata “syem” yang dalam Perjanjian Lama melalui bahasa Latin dalam Vulgate. Bangsa
Semit adalah bangsa yang mendiami wilayah Mesopotamia yang dianggap sebagai titik tolak sejarah peradaban dan
budaya umat manusia. Orang-orang Semit berimigrasi ke wilayah Bulan Sabit Subur- wilayah Timur Tengah yang mem-
bentang dari Israel hingga teluk Persia, termasuk sungai Tigris dan Efrat di Irak – dan kemudian dikenal dengan bangsa
Babilonia, Assyria, Phoenisia, dan Ibrani.
Tarikh Tasyri’22
Nadhir, Yahudi Khaibar, Yayma, dan Fadak. Bangsa Yahudi masuk ke jazirah
Arab diperkirakan pada tahun 70 M. Mereka pindah secara besar-besaran dari
Palestina karena melarikan diri dan takut atas ancaman dan siksaan Titus, kaisar
Romawi yang berkuasa pada waktu itu.7 Hasil interaksi antara Yahudi dengan
bangsa Arab menghasilkan akulturasi terutama merembesnya kebudayaan
Yahudi kepada bangsa Arab yang pada masa itu masih rendah kebudayaannya
dibanding Yahudi.
Suku-suku Yahudi tersebut nantinya akan hengkang dari Madinah karena
melanggar kesepakatan perdamaian yang tertuang dalam Piagam Madinah
yang dibuat ketika kota Madinah berdiri. Salah satu pelanggaran yang mereka
lakukan adalah membantu musuh-musuh Nabi dalam beberapa peperangan.
Dari pelanggaran ini, mereka harus hengkang dari kota Madinah.
2. Kondisi Internasional
Menjelang kedatangan Islam situasi dunia internasional diwarnai persaingan
antara berbagai kerajaan. Di wilayah Eropa bagian barat kerajaan Roma berada
dalam posisi lemah. Gregorius yang Agung, yang menjadi Paus di Roma, tetap
berada di bawah kontrol dan kekuasaan kerajaan Romawi Timur yang berpusat
di Konstantinopel. Kerajaan ini pernah menguasai Asia Kecil, Siria, Mesir,
Eropa Tenggara, Danube, sampai ke beberapa pulau di Laut Tengah. Sementara
saingan beratnya adalah Kerajaan Persia di bagian Timur, menguasai daerah-
daerah di Irak yang membujur ke Afghanistan dan Sungai Oxus.8
India yang berada di wilayah Asia bagian selatan berada di bawah kekuasaan
Raja Harsya (606-647) penguasa terakhir kerajaan Hindu di India bagian utara,
yang tidak dapat lagi mempertahankan kekuasaannya. Sementara kekuasaan Cina
saat itu dalam kondisi stabil, sejak dinasti Sui melakukan konsolidasi kekuasaan,
kemudian diteruskan oleh dinasti Tang, perkembangan ekonomi dan budaya Cina
mengalami kemajuan.9 Pada tahun 527 Kaisar Yustinus kembali memperoleh
kekuatan dan kepercayaan rakyat untuk mengambil alih Konstantinopel, ibu kota
kerajaan Bizantium. Ia berhasil mempersatukan pusat-pusat kekuatan kerajaan,
lalu merebut kembali kota-kota penting yang pernah hilang dari pangkuan
kerajaan Bizantium. Ia kembali merebut Italia dan Afrika bagian utara.
7 Muhammad Husein Ad-Dhahabi, al-Israiliyat fi-tafsir wal hadis, bab I majma al-buhuts al-Islamiyah Kairo
8 Lebih jelasnya lihat, Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam I. Penerjemah Mulyadi Kartanegara. (Jakarta:
Paramadina, 2002), h. 193-195.
9 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 101; lihat
pula, Marshall G.S. Hodgson, the Venture of Islam, h. 201-203.
Tarikh Tasyri’46
Periode Pertumbuhan
(Tasyri’ Pada Masa
Rasulullah)
Bab 3
Periode Pertumbuhan (Tasyri Pada Masa Rasulullah) 47
A. Tasyri’ Pada Periode Makkah
Sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, ada beberapa proses1 yang
beliau lalui sebagai persiapan menjadi seorang Rasul Allah. Di antara proses itu
adalah:
1. Muhammad dilahirkan dari keturunan yang suci, baik dari jalur bapaknya,
kakeknya dan terus ke atas hingga jalur ibunya yang merupakan orang-
orang shaleh, yang menganut agama Ibrahim.
2. Dilahirkan dalam keluarga yang secara ekonomi tidak berkecukupan dan
mengharuskannya hidup dalam kekurangan. Ia juga harus mengembala
kambing dan mengurus keperluannya sendiri.
3. Dadanya dibelah oleh Malaikat untuk dibersihkan ketika beliau masih
kecil.2
4. Tidak diasuh dalam keluarga yang lengkap. Ayahnya sudah meninggal
ketika beliau masih dalam kandungan, ketika masih kecil sekitar umur 6
tahun ditinggalkan ibunya. Diasuh oleh kakeknya dan tidak lama kakeknya
meninggal kemudian diasuh pamannya Abdul Muthallib yang secara
ekonomi tidak berkecukupan.
5. Ketika remaja tidak mengikuti pergaulan remaja pada umumnya. Ia tidak
menggemari minuman keras dan tidak mau menyembah berhala. Ia pekerja
keras dan konsisten dengan kejujuran.3
6. Ia tidak berkesempatan diri untuk belajar tentang ilmu pengetahuan yang
berkembang pada waktu itu, sehingga dikatakan dia sebagai seorang yang
”ummi” yakni orang yang tidak kenal baca tulis.
7. Menikah dengan Siti Khadijah seorang saudagar kaya. Pernikahan ini
membawa berkah yang luar biasa bagi Muhammad seperti yang digambarkan
dalam al-Qur’an:
1 Yang dimaksud dengan proses di sini adalah tahapan peristiwa yang tidak dibuat, dan merupakan kehendak Allah
SWT untuk menghantarkan Muhammad menjadi Rasulullah.
2 Banyak ahli sejarah yang mencatat kejadian ini, meskipun beberapa para orientalis tidak begitu puas dengan ri-
wayat hikayat tersebut, seperti William muir dalam the Life of Mohammed, tidak menyebutkan/mengakui bahwa dua orang
yang berjubah putih (malaikat) telah datang menghampiri Muhammad dalam pengasuhan Halimahal-Sa’diyyah. Bahkan,
menurutnya pula, kejadian ini tak lebih menunjukkan Muhammad yang terkana penyakit ayan. Lihat, Zainal Arifin Abbas,
Peri Kehidupan Muhammad I. (Medan: Islamiyah, 1936), cet. I, h. 261; lihat pula, Muhammad Husain Haikal, Sejarah
Hidup Muhammad. Terj. Ali Audah. Jakarta: Tintamas, 1982, cet. VIII, h. 59.
3 Sebagaimana diketahui bahwa Muhammad tidak pernah melakukan perbuatan buruk dari kebiasaan Arab Jahi-
liyah. Suatu malam Muhammad pernah hendak menghadiri pesta di suatu tempat, tetapi akhirnya pun ia tertidur pada
suatu rumah dan terbangun di pagi hari ketika sengatan matahari menyinarinya. Hal yang sama juga terjadi untuk kedua
kalinya, sehingga tak pernah lagi terbayangkan untuk melakukan setelahnya. Zainal Abidin Abbas, Peri Kehidupan Mu-
hammad I, h. 293.
Tarikh Tasyri’48
“Bukankah Tuhan Telah menjumpai engkau seorang yang yatim piatu, lalu
dilindungi-Nya, kemudian dijumpainya engkau didalam kebingungan, lalu
diberikannya petunjuk, dan dijumpai-Nya engkau seorang yang miskin, lalu
diberi-Nya kekayaan”. (QS. al-Dhuha 6-8)
8. Setelah menikah dengan Khadijah, ia kerapkali mengasingkan diri di gua Hira4
untuk berfikir tentang keadaan alam ini. Kontemplasi ini menyebabkan ia
dapat berfikir lebih mendalam, dan budi pekertinya yang luhur menjadikan
jiwanya lebih suci. Tindakan tersebut mendapat dukungan baik moral
maupun material dari isterinya Khadijah.
Setelah proses yang panjang dan berliku, maka diangkatlah Muhammad
sebagai Rasulullah ketika Malaikat Jibril mendatangi beliau di gua Hira pada
malam tujuh belas bulan Ramadhan. Ayat yang pertama turun adalah surat al-
‘Alaq ayat 1-5:
“Bacalah atas nama Tuhanmu yang Telah menjadikan makhluk. Dia Telah
menjadikan Manusia dari segumpal darah. Bacalah! Tuhanmu yang amat pemurah.
Yang menajarkan manusia dengan pena. dia mengajarkan kepada manusia apa-
apa yang tidak diketahui”. (QS. ‘Alaq: 1-5)
Ayat ini belum menyuruh Muhammad untuk menyeru manusia kepada
suatu Agama, dan belum pula memberitahukan kepadanya bahwa dia adalah
utusan Allah. Akan tetapi ayat itu mengesankan sesuatu yang luar biasa, yang
belum diketahui Muhammad.
Setelah Malaikat Jibril turun pertama kali, ia tidak datang dalam kurun
waktu lama. Nabi sendiri menanti kedatangannya di Gua Hira. Pada suatu
4 Gua Hira terletak kira-kira 2 farkhah (farkhah adalah ukuran panjang lama sekitar 3,5 mil/ hampir 6 km) di sebelah
utara Makkah. Ia terletak 20 meter di bawah puncak gunung Hira. Tempat ini sangat sunyi dan sepi dari keramaiannya
manusia. Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, h. 85.
Tarikh Tasyri’82
Periode Sahabat
(Masa Pengembangan)
Bab 4
Periode Sahabat (Masa Pengembangan) 83
Setelah Rasulullah wafat, maka terhentilah tasyri’ sebab wahyu sudah tidak turun lagi, demikian juga dengan Sunnah. Masa selanjutnya adalah
periode sahabat. Periode ini merupakan periode yang sangat menarik, karena
perkembangan hukum Islam sangat dinamis. Penyebab kedinamisannya adalah
nash sudah tidak turun lagi, sementara persoalan-persoalan kehidupan manusia
selalu muncul dan memerlukan jawaban hukum. Terobosan-terobosan para
sahabat untuk menjawab persoalan zaman inilah yang menarik dan menjadi
titik awal dari adanya perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin.
Yang dimaksud dengan sahabat adalah orang-orang Islam yang lama bergaul
dengan Rasulullah. Definisi ini merupakan definisi umum. Ulama hadis
memberikan definisi: orang Islam yang pernah bertemu dengan Nabi walaupun
satu kali pertemuan.
Berita meninggalnya Muhammad betul-betul mengejutkan sahabat, bahkan
pada awalnya Umar bin Khattab tidak percaya bahwa Muhammad meninggal.
Pada hari meninggalnya Rasullullah, para sahabat dihadapkan pada kenyataan:
siapa yang akan menggantikan Rasulullah setelah beliau wafat? Maka hampir
saja terjadi pertengkaran yang hebat antara kaum Muhajirin dan Anshar, karena
masing-masing mengklaim bahwa dari kelompok merekalah yang pantas
menggantikan kedudukan Nabi. Perdebatan itu terjadi di Tsaqifah Bani Saidah
yang memakan waktu selama tiga hari. Selama itu pula jenazah Rasulullah tidak
terurus, kecuali hanya beberapa sahabat dari kalangan ahlu al-bait. Namun
akhirnya permasalahan itu bisa dipecahkan, akibat kepandaian dan kearifan
Umar bin Khattab yang secara demokratis memilih Abu Bakar sebagai khalifah
pertama.1
Banyak persoalan dan kekhawatiran para sahabat yang perlu dihadapi dan
diselesaikan oleh para sahabat, khususnya menyangkut masalah hukum, di
antaranya:
1. Kekhawatiran mereka akan kehilangan al-Qur’an karena banyaknya sahabat
yang hafal al-Qur’an meninggal dunia dalam peperangan melawan orang
murtad2, sementara tulisan al-Qur’an masih menyebar dimana-mana. Hal
1 Beberapa tokoh teologi berpendapat bahwa peristiwa inilah benih kemunculan Syiah dalam Islam, termasuk
ketidakmauan Fatimah mengakui kekhalifahan Abu Bakar al-Siddiq. Pun demikian dengan Ali, menurut beberapa sumber,
Ali tidak membai’at Abu Bakar kecuali setelah meninggalnya Fatimah. Manna’ al-Qatthan, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, h.
186; lihat pula Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam I, Penerjemah Mulyadi Kartanegara, (Jakarta: Paramadina,
2002), cet. II, h. 286.
2 Dalam perang Yamamah saja sekitar 1000 huffadz yang meninggal dunia
Tarikh Tasyri’84
ini dapat diatasi dengan dikodifikasikan al-Qur’an atas ide Umar bin Khattab
yang mendesak Abu Bakar dan Zaid bin Tsabit sebagai juru tulis.3
2. Sahabat mengkhawatirkan terjadinya ikhtilaf (perbedaan pendapat) di
kalangan sahabat terhadap al-Qur’an sehingga dikhawatirkan al-Qur’an
bernasib sama dengan kitab-kitab Allah sebelumnya yakni berubahnya
Taurat, Jabur dan Injil oleh orang Yahudi dan Nasrani.
3. Sahabat takut akan terjadi pembohongan terhadap Sunnah Rasulullah.
Antisipasi ke arah sana sudah dilakukan sejak zaman Abu Bakar dengan
memperketat periwayatan. Bahkan pada masa Umar bin Khattab, beliau
sangat menyeleksi dan membatasi periwayatan hadis, bahkan mencegah
penulisan hadis yang dilakukan oleh beberapa sahabat. Adanya pembohongan
terhadap sunnah ini terjadi dari dua kubu, pertama dari orang Islam sendiri
yang melakukan kesalahan atau merubah (tahnif) tanpa disengaja lalai dalam
mentransformasikan hadis atau lupa karena sudah tua. Di kubu yang lainnya
datang dari orang munafik yang dengan sengaja memalsukan hadis dengan
tujuan merusak agama.
4. Sahabat khawatir umat Islam menyimpang dari hukum Islam.
5. Sahabat menghadapi perkembangan kehidupan yang memerlukan ketentuan
dan jawaban terhadap syari’ah, karena Islam adalah petunjuk bagi mereka
tetapi belum ditetapkan ketentuannya dalam al-Qur’an dan sunnah.4
Untuk dua hal terakhir, para sahabat menentukan langkah-langkah berijtihad
(thuruqul ijtihad) seperti yang telah digariskan oleh Abu Bakar dan Umar
bin Khattab yaitu:
a. Mencari ketentuan hukum dalam al-Qur’an,
b. Apabila tidak ditemukan, dicari ketentuan hukum dalam
sunnah,
c. Apabila tidak menemukan dalam sunnah, ditanyakan kepada para
sahabat lain apakah Rasulullah telah memutuskan persoalan tersebut
pada zamannya,
3 Dalam hal inilah terjadi perdebatan apakah al-Qur’an harus dibukukan atau tidak. Saat itu Abu Bakar menghubun-
gi Zaid bin Tsabit dan menyuruhnya untuk menulis al-Qur’an dan membukukannya. Sementara Zaid menjawab perintah
ini dengan pertanyaan: “Mengapa engkau memerintahkanku untuk melakukan apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah?
Lihat, Mausu’ah al-Islamiyyah al-Mu’ashirah,Tarikh al-Tasyri’ al-Islami: al-Tasyri’ fi ‘Ashri Kibari al-Shahabah, diakses dari
http://www.islampedia.com/mie2/tashrii/tarmid.html.
4 Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung Rasyda, hal 37 – 38; lihat pula Mausu’ah al-
Islamiyyah al-Mu’ashirah,Tarikh al-Tasyri’ al-Islami.
Periode Tadwin (Kodifi kasi) 99
Periode Tadwin
(Kodifi kasi)
Bab 5
Tarikh Tasyri’100
Setelah masa pemerintahan al-khulafa al-rasyidun yang menganut sistem demokratis berakhir, fase selanjutnya adalah bergantinya sistem
pemerintahan tersebut menjadi monarkhi yang dimulai oleh Mu’awiyyah bin
Sufyan, mantan gubernur Damaskus, yang dipecat oleh Ali bin Abi Thalib
melakukan pemberontakan. Pemberontakan itu dikenal dengan perang Siffin1
yang masing-masing kubu melibatkan sahabat besar dalam dua kelompok yang
berbeda, Aisyah, Zubair bin Awwam dan beberapa sahabat lain berpihak pada
Mu’awiyah, sementara Abu Musa Al-Asy’ari dan sahabat lain berpihak pada Ali.
Peperangan ini berakhir dengan tahkim. Namun, tahkim inilah yang menjadikan
umat Islam terbagi menjadi tiga kelompok besar, yakni Syi’ah, Khawarij dan
Murjiah, yang kemudian dikenal dengan Ahlussunnah.2
Khawarij, yang tidak setuju perang dihentikan, merencanakan pembunuhan
terhadap Ali dan Muawiyah, karena keduanya dianggap kafir. Namun, yang
berhasil dibunuh hanya Ali. Terbunuhnya Ali Bin Abi Thalib merupakan
“peluang” besar untuk memperkokoh dinasti Umayyah dan merubah sistem
pemerintahan dari sistem demokrasi ke monarki. Dan sistem monarki inipun
diikuti oleh Syi’ah, bahkan di Syiah lebih sakral, yakni dengan memercayai
bahwa imam itu ma’shum (terpelihara dari perbuatan dosa).3 Namun demikian,
karena pertentangan politik yang begitu tajam dan dengan kemenangan
kelompok Umayyah, sejak dinasti ini menduduki menara gading kekuasaan,
maka sejak itu pula proses syura yang selama menjadi dasar pokok politik Islam
mulai dihilangkan dari sejarah.4
Di bawah ini, akan dijelaskan kondisi hukum Islam, hal yang mendorong
berkembangnnya hukum Islam, sumber tasyri’nya, pengaruh fraksi-fraksi politik
pada hukum sekaligus dengan mengungkap perbedaan fiqh dalam ketiga fraksi
ini.
1 Para pemikir Islam lainnya menamai perang Siffin ini dengan “Fitnah Al-Kubro” atau fitnah besar. Dinamakan de-
mikian, karena perang itu merupakan fitnah dan akibat dari perang itu sangat dahsyat bagi perkembangan sejarah umat
Islam selanjutnya. Perang ini memunculkan aliran-aliran politik, sosial, dan keagamaan. Lihat, Nurcholis Madjid, Islam
Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000), cet. IV, h. 203.
2 Lihat, Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafa’ al-Rasyidin, h. 480; lihat pula Karen Armstrong, Islam: Sejarah
Singkat. Penerjemah Fungky Kusnaendy Timur, (Yogyakarta: Jendela, 2003), cet. IV, h. 41; sebetulnya ada beberapa kel-
ompok lain yang muncul setelah peristiwa tahkim, seperti Qadariyah dan Jabariyah. Hanya saja, karena untuk diskursus
ini penulis merasa tidak bergitu berhubungan, maka tidak diuraikan lebih lanjut.
3 Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafa’ al-Rasyidin, h. 512.
4 Muhammad Shahrour, Tirani Islam: Genealogi Masyarakat dan Negara. Penerjemah Saifuddin Zuhri dan Badrus
Syamsul Fata, (Yogyakarta: Elkis, 2003), h. 177.
Periode Tadwin (Kodifikasi) 101
A. Faktor yang Mendorong Perkembangan Hukum Islam
Hukum tidak berada dalam ruang kosong, selalu bersinambungan dan
berubah sesuai dengan kondisi zaman. Dalam doktrin Islam pun dikenal kuat
bahwa hukum selalu berubah seiring dengan perubahan ruang dan waktu (al-
hukm yataghayyaru bi taghayyuri al-amkinah wa al-azminah). Dari konsep ini
juga dapat dipahami mengapa Imam Syafi’i merumuskan dua produk ijtihad
yang berbeda, qaul qadim dan qaul jadid. Dalam hal ini, perkembangan hukum
Islam pada fase kodifikasi inipun tidak luput dari pengaruh kondisi sosial budaya
masyarakat Arab, di antaranya:
1. Makin luasnya wilayah Islam, upaya ekspansi ini dimulai sejak zaman Umar
bin Khattab, Mu’awiyyah, dan penerusnya sampai ke Tunisia, al-Jazair,
Maroko sampai ke Samudera Atlantik. Penaklukan Andalusia dilakukan
tahun 705-715 pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik. Di sebelah
utara daerah Transoxiania (Uzbekistan), Sind, Sekitar Sungai Syir Darya, dan
Sungai Indus menjadi batas kerajaan Islam. Perlu dicatat pula, Muawiyah
memindahkan ibu kota dari Madinah ke Damaskus dengan alasan karena
di Damaskuslah para pendukungnya tinggal. Orang yang masuk Islam
meliputi bermacam bangsa dengan berbagai tradisi dan strata sosial, serta
kepentingan yang berbeda-beda.5
2. Ketika menduduki suatu daerah tentu saja penduduk dari daerah yang
ditaklukan itu ada yang belum beragama dan ada juga yang telah memeluk
agama, kemudian secara berangsur-angsur mereka – baik yang belum
mempunyai agama maupun yang telah beragama – banyak yang memeluk
Islam. Dengan banyaknya penduduk yang masuk Islam, banyak persoalan-
persoalan yang timbul dan memerlukan pemecahan (jawaban). Sebagian
dari para muallaf itu ada yang sangat serius terhadap pemikiran Islam dan
tidak sedikit dari mereka – khususnya dari ahli kitab (Yahudi dan Nasrani)
– yang menjadi tokoh penting dalam khazanah pemikiran Islam.6
3. Lahirnya dua madzhab pemikiran fiqh, yakni ahli hadis yang berpusat di
Madinah dan ahli ra’yu yang berpusat di Kufah.7 Ahli Hadis adalah ulama
yang lebih banyak menggunakan hadis dan sangat hati-hati serta selektif
5 Philip K. Hitti, History of Arab. h. 258.
6 Menurut Hodgson, dalam kemunculan masalah-masalah praktik hukum ini, para ulama menggunakan al-Qur’an
sebagai dasar penerapan hukum, selain juga terkadang mereka menggunakan perasaan keadilan umum atau keadilan
sosial, terkadang juga tradisi lokal, ataupun keputusan-keputusan kaum muslim yang dihormati. Marshall G. S. Hodgson,
The Venture of Islam II, h. 31.
7 Sebetulnya diskursus ahli hadis - ahli ra’yu tidak melulu berdasarkan kota.
Pembentukan Mazhab dan Pembukuan Fiqh 113
Pembentukan Mazhab
dan Pembukuan Fiqh
Bab 6
Tarikh Tasyri’114
A. Pembentukan Mazhab Fiqh
Kemenangan Bani Abbas (Abu Abbas As-Safah) atas Bani Umayah tidak lepas
dari peran serta dan bantuan kaum Syi’ah. Namun sayang, setelah berkuasa, Syi’ah
dinistakan oleh Bani Abbas. Ibarat peribahasa, air susu dibalas air tuba. Syi’ah,
yang saat memerangi bani Umayah merupakan sekutu yang paling besar jasanya
disingkirkan dari kancah politik dan kekuasaan, bahkan dianggap musuh yang
harus dimusnahkan setelah Abbasiyyah berhasil mengalahkan Umayyah.1
Daulat Abbasiyyah didirikan oleh Abu al-Abbas (750-754 M), dan Irak
menjadi panggung drama besar dinasti ini. Ketika pidato pertamanya di hadapan
umat Islam, Abu al-Abbas menyebut dirinya sebagai al-saffah (penumpah
darah), yang kemudian menjadi pertanda buruk bagi dinasti ini, karena julukan
tersebut mengisyaratkan lebih mengutamakan kekuasaan dalam menjalankan
kebijakannya. Menurut Philip K. Hitti, baru pertama kali dalam sejarah
peradaban Islam, di sisi singgasana khalifah terdapat karpet yang digunakan
sebagai tempat eksekusi. Selain itu, dinasti ini juga menggantikan pemerintahan
sekuler (al-mulk) Umayyah dengan negara teokrasi,2 dan bergesernya pengertian
khalifah dari pengganti Rasulullah ketika masa khulafa’ al-rasyidin menjadi wakil
Tuhan di bumi.3
Setelah Abu al-Abbas turun tahta, kekuasaan digantikan saudaranya al-
Manshur (754-775), yang terus melengkapi imperial absolitis Abbasiyyah.4
Al-Manshur juga mengembangkan sistem administrasi pemerintahan, sehingga
di sekeliling khalifah terdapat staf administrasi yang bisa ditunjuk langsung
olehnya. Ia mengembangkan tiga biro istana, yaitu biro arsip dan persuratan,
perpajakan, dan pengeluaran istana. Selain itu, ditunjuk pula beberapa qhadi
dari para fuqaha’ yang bertugas untuk menerapkan hukum Islam di masyarakat.
Dari sini pula kemudian muncul wazir yang bertugas sebagai pengontrol
terhadap tugas-tugas birokrasi.5 Al-Manshur yang mempunyai nama Abu Ja’far
inilah, menurut Philip K. Hitti, khalifah yang benar-benar membangun dinasti
baru ini.6
1 Karen Amstrong, Islam: Sejarah Singkat. Penerjemah Fungky Kusnaedy Timur, (Yogyyakarta: Jendela, 2003), h.
63.
2 Philip K. Hitti, History of Arab, h. 358.
3 Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam, h. 114.
4 Al-Manshur pula yang menumpas pemberontakan Syiah al-Nasf al-Zakiyah di Makkah. Dan menurut Marshall
Hodgson, hal inilah yang mendorongnya untuk memberikan julukan kepada anaknya, Al-Mahdi, dengan harapan puter-
anya akan membuat kompensasi bagi cara-cara berdarah di mana sang ayah telah menegakkan kekuasaannya, tetapi
tentu sebetulya memberikan catatan bahwa betapapun absolutisme Abbasiah merupakan hasil definitif dari harapan dan
rencana orang-orang saleh. Marshal G. S. Hodgson, The Venture of Islam II, h. 72.
5 Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam, h. 118.
6 Philip K. Hitti, Philip K. Hitti, History of Arab, h. 360.
Pembentukan Mazhab dan Pembukuan Fiqh 115
Setelah al-Manshur mangkat dari kekuasaannya, khalifah digantikan oleh
anaknya Al-Mahdi (775-785), yang dalam masa kekuasaannya sibuk memerangi
pengaruh agama Mani (Manicheanisme).7 Mani sendiri mendapatkan
momentumnya bagi anggota-anggota istana yang jenuh dengan kehidupan
duniawi, sedangkan dalam pandangan orang-orang Islam yang canggih
justru menimbulkan kebencian.8 Dalam hal inilah, Al-Mahdi menunjukkan
kecenderungannya untuk memurnikan ajaran Islam dari pengaruh-pengaruh
ajaran tersebut.
Setelah Al-Mahdi, kekuasaan dilanjutkan oleh anaknya Harun al-Rasyid,
yang sejak awal dipercayakan pendidikannya kepada putra Khalid ibn Barmak,
Yahya.9 Harun Al-Rasyid memerintah sejak tahun 786 sampai 809 M. Ia
memiliki corak kepemimpinan seperti seorang raja absolut gaya lama, dan ciri
pemerintahannya selalu mengagungkan kemewahan dan kemegahan. Khalifah
tidak langsung mengurusi permasalahan rakyat, tetapi diserahkan kepada
para staf kerajaan. Sementara khalifah sendiri bertugas untuk meningkatkan
kewibawaan kerajaan, dengan memimpin shalat Jum’at atau memimpin
peperangan. Salah satu ciri dari pemerintahan Harun al-Rasyid ini adalah para
prajurit dan tentara tidak lagi berasal dari tentara rakyat, tetapi didominasi oleh
orang-orang Persia.10
Namun, salah satu sisi positif Harun al-Rasyid dan membuatnya terkenal
sampai saat ini adalah kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan dan kesenian.
Pada masanya tersebut terjadi kebangkitan besar dalam kebudayaan Islam:
Kritik sastra, filsafat, puisi, kedokteran, matematika, dan astronomi. Selain itu,
dibangun pula Baitul Hikmah, sebagai pusat ilmu pengetahuan.11 Para ulama,
filosof pengarang dan penerjemah pun mendapat posisi yang tinggi dan digaji
oleh kerajaan. Dalam fase ini, dilakukan penerjemahan secara besar-besaran teks
7 Agama ini didirikan oleh Mani, yang hidup pada dua abad setelah Nabi Isa dan dianggap pengikutnya sebagai
salah seorang Nabi. Karena itu, para pengikut Mani tidak ditolerir oleh penggikut Musa, Isa, bahkan Zoroaster. Mani bu-
kanlah agama rakyat biasa, ia seolah menjadi agama para pencari spiritual, yang meliputi banyak para intelektual, seperti
halnya Agustinus sebagai salah satu pengikutnya.
8 Marshal G. S. Hodgson, The Venture of Islam II, h. 75-76.
9 Khalid adalah tawanan yang ditangkap oleh Qutaibah ibn Muslim di Balkh. Ayahnya adalah seorang Barmak,
pemimpin utama di sebuah biara Budha. Sejak awal Khalid telah mempunyai hubungan yang dekat dengan Al-Saffah,
dan pada awal kekuasaan Abbasiyyah ia memimpin departemen keuangan (diwan al-kharraj). Meskipun bukan sebagai
seorang wazir, pejabat yang berasal dari Persia ini seolah telah menjadi penasehat khalifah. Philip K. Hitti, The History
of Arab, h. 365-366.
10 Karen Amstrong, Islam: Sejarah Singkat, h. 65; Dominasi orang-orang Persia di kerajaan tersebut tidak bisa
dilepaskan dari keberadaan Khalid al-Barmaki sendiri, yang sejak awal berhasil mengisi posisi-posisi penting dan mem-
pengaruhi pejabat kerajaan. Bahkan, keluarga Barmak tersebut berhasil membangun satu kerajaan di sebelah Timur
Baghdad dan hidup penuh kemewahan. Dalam hal ini, ketika dinasti Abbasiyyah merasa tersaingi, akhirnya semua ketu-
runan Barmak ini dibunuh satu persatu oleh Dinasti ini sampai tak ada satu pun keturunannya yang tersisa. Lihat, Philip
K. Hitti, The History of Arabs, h. 367.
11 M. Natsir, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: Girimukti Pasaka, 1988), h. 55.
Tasyri’ Pada Masa Taklid dan Jumud 135
Tasyri Pada Masa Taklid
dan Jumud
Bab 7
Tarikh Tasyri’136
Periode ini dimulai dari abad 10-11 M (310 H)
1 sejak berakhirnya kekuasaan
Bani Abbas sampai abad ke 19. Periode ini, ditandai dengan menyebarkan
pusat-pusat kekuasaan Islam di beberapa wilayah, sehingga umat Islam sendiri
dapat dikatakan dalam kondisi yang lemah dan berada dalam kegetiran.2 Dalam
kondisi tersebut, jika keadaan negara (daulah) lemah, maka akan muncul banyak
fitnah dan mihnah, sehingga hilanglah pesaudaraan dan persatuan di kalangan
umat Islam dan sebaliknya menjadi permusuhan.3
Pada masa ini, hukum Islam mulai mengalami stagnasi (jumud). Hukum
Islam tidak lagi digali dari sumber utamanya (al-Qur’an dan Sunnah), para
ulama pada masa ini lebih banyak sekedar mengikuti dan mempelajari pikiran
dan pendapat dalam mazhab yang sudah ada (taqlid). Dari sini terlihat mulai
ada kecenderungan baru, yakni mempertahankan kebenaran mazhabnya
dengan mengabaikan mazhab lain, seolah-olah kebenaran merupakan hak
prerogatif mazhab yang di anutnya, sehingga tak salah jika masa ini merupakan
fase pergeseran orientasi dari al-Qur’an dan Sunnah menjadi orientasi kepada
pendapat ulama.
Sebagaimana diketahui, pada masa abad ke IV telah terbentuk mazhab-
mazhab fiqh. Namun kecenderungan yang tidak begitu baik segar dalam
perkembangan fiqh yakni munculnya ketergantungan kepada mazhab dan
tumbuhnya perasaan berkecukupan secara meluas dan mendalam.4 Para ulama
berupaya menjaga pendapat mazhab fiqhnya dengan mengembangkan pemikiran
mazhabnya secara internal melalui pembuatan ringkasan-ringkasan (mukhtasyar)
terhadap kitab-kitab fiqh yang terlalu tebal. Bahkan, mazhab ada yang disebut
mukhtasyar jiddan yang merupakan ringkasan dari ringkasan. Selain itu, para
ulama pada fase ini melakukan ulasan-ulasan dan penjelasan-penjelasan (syarah)
serta penjelasan dari kitab yang sudah dibuat penjelasannya (khasiyyah) terhadap
kitab-kitab fiqh yang ringkas atau kurang luas, sehingga dalam proses belajar
fiqh menjadi berat, yakni harus menguasai, menghafal dan menjaga seluruh isi
kitab fiqh dan menjaga cara-cara (istinbath ahkam) yang ditempuh. Selain itu,
aktifitas ulama juga terfokus pada pentarjihan terhadap pendapat yang berbeda-
beda dalam suatu mazhab, baik itu dari segi riwayah atau pun dirayah.5
1 Para ahli sejarah hukum Islam menyatakan bahwa setelah tahun 310 H yakni setelah Ibn Jarir at-Thabari mening-
gal merupakan awal dari periode jumud.
2 Di Mosul dan Halb terdapat Bani Hamdan, di Yaman terdapat Syiah Zaidiyyah, Daulah al-Dailamy (Daulah Bu-
waihy) di Baghdad, Daulah Samaniyyah di Masyriq. Hudhari Bik, Tarikh tasyri’ Islamy, h. 519.
3 Ali Al-Sayyyis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 111; lihat pula, Philip K. Hitti¸The History of Arab, h. 570.
4 Nurcholis Madjid, Tradisi Syarah dan Hasyiyah dalam Fiqh dan Masalah Stagnasi Pemikiran Hukum Islam, dalam
Budhy Munawwar Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 995), cet. II, h. 313.
5 Tarjih secara riwayat dinukilkan kepada imam-imam yang berbeda dalam satu mazhab, seperti halnya pendapat
Tarikh Tasyri’146
Fase Transisi
Bab 8
Tarikh Tasyri’154
Masa Modern
(Mencari Relevansi
Hukum Islam)
Bab 9
Masa Modern (Mencari Relevansi Hukum Islam) 155
Lahirnya ide pembaharuan Islam dimulai dengan mulai sadarnya umat Islam akan tidur panjang dan mimpi indahnya, kemudian bangun dan membenahi
diri serta bangkit kembali menjadi suatu kekuatan yang – setidaknya – setara
dengan kekuatan Barat. pada waktu itu, umat Islam sudah terpecah-pecah ada
yang masih terhimpun dalam tiga kerajaan Islam, yakni Turki Utsmani, Mughol
dan Safawi, ada yang lepas dari tiga kekuatan itu dengan mendirikan kerajaan-
kerajaan kecil, ada juga yang tidak termasuk dari dua kategori tersebut.1
Di awal fase ini, mulai bangkit semangat kebangsaan, artinya manusia lebih
cenderung untuk menghimpun diri dalam suatu kesatuan berdasarkan suku
bangsa (nation state) ketimbang terhimpun dalam suatu kesatuan berdasarkan
agama (religion state). Namun, yang menarik adalah hampir seluruh suku
bangsa yang dijajah dan menganut agama Islam, melakukan perjuangan yang
berbarengan untuk memperjuangkan lahirnya sebuah negara bangsa yang
berdaulat di satu sisi, disisi lain agama juga sedang giat melakukan modernisasi.2
Dan tidak jarang dalam proses lahirnya sebuah negara bangsa ini tampillah
tokoh-tokoh agama sebagai pionir perjuangannya dan memakai atribut serta
adagium agama.3 Hal ini, disebabkan karena bangsa Barat dianggap menginjak-
injak nilai kehormatan suatu bangsa yang dikuasainya dan mengusik agama
(Islam) yang dianut oleh bangsa tersebut.
Ada dua peristiwa yang membuat umat Islam terbangun dan bangkit,
yakni:
1. Perang Salib. Perang ini merupakan peperangan yang paling banyak
memakan waktu, biaya dan korban baik korban jiwa maupun korban
harta. Tetapi, disamping hal yang merugikan, ada faktor positif dari Perang
2 Di Indonesia, hal ini terjadi ketika Syarikat Islam (SI) melakukan perjuangan politik tetapi di sisi lain Muhammadi-
yyah yang diketuai oleh K.H. Ahmad Dahlan menjadi partner Cokroaminoto dalam membangun kesadaran masyarakat
Indonesia dalam beragama. Lihat, W.F. Whertein, Indonesia Society in Transition, (The Hague – Bandung: W. van Hoeve
Ltd, 1956), h. 205.
3 Sekedar menyebut contoh, bahwa dalam melakukan perlawanan penjajah dan mewujudkan kemerdekaan In-
donesia, tampillah tokoh-tokoh agama yang – disamping melakukan pembaharuan terhadap agamanya- juga menjadi
tokoh penting dalam kemerdekaan Indonesia, seperti: Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Sentot Ali
Basya, Teuku Umar, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, H. Agus Salim, Kasman Singadimedjo, Muhammad Natsir,
KH Abdul Halim, KH Sanusi.
Muhammad Abduh di Mesir, Muhammad Ali Jinnah di Pakistan, disamping mereka tampil sebagai ulama yang
melakukan pembaharuan Islam, mereka juga tampil berjuang demi tegaknya negara bangsa.
Tentang memakai atribut agama, banyak dari para pejuang yang mengusir penjajah memakai atribut jihad seperti
perang Paderi dan Perang Aceh yang menyatakan bahwa melawan penjajah itu adalah jihad fi sabilillah, dan merupakan
perang suci. Adapun memakai adagium agama, sekedar menyebut contoh pada peristiwa perang mempertahankan kota
Surabaya, KH. Hasyim Asy’ari memfatwakan bahwa perang melawan penjajah adalah “jihad fisabilillah” dengan berpe-
gang pada sebuah hadis “hubbul wathan minal iiman” demikian juga Bung Tomo, untuk menyemangati Arek Suroboyo,
ia pekikan kata “Allahu Akbar”.
Tarikh Tasyri’156
Salib ini, yakni kedua belah pihak berupaya untuk saling mencari tahu dan
mengenal pihak lawannya secara baik. Dan ini merupakan awal dari sebuah
dialog.
2. Adanya ekspansi Barat ke Timur (ekspansi Bangsa Eropa ke Asia dan Afrika).
Diketahui bahwa Barat kebanyakan menganut agama Kristen dan Timur
kebanyakan menganut agama Islam, sehingga keduanya pun mengalami
kontak yang tidak dapat dihindarkan. Di sisi lain, Barat adalah negara-negara
yang telah mencapai kemodernan dan kemajuan di segala bidang, sedangkan
Timur adalah masih tradisional dan terbelakang. Misi yang diemban Barat
adalah melakukan tiga hal: grory4, gold5 dan gospel6.
Menghadapi benturan dua peradaban (Islam – Kristen, Timur - Barat) ini
lahirlah tiga reaksi dari umat Islam, yaitu: pertama, pemahaman yang didasarkan
pada anggapan bahwa bangsa Barat adalah bangsa yang lebih unggul dari Islam,
supaya Islampun unggul seperti mereka, maka Islam perlu mencontoh Barat
dari segala aspeknya. Salah satu yang membuat Barat maju adalah pemisahan
antara urusan agama dengan negara yang sering kita sebut sekularisasi. Oleh
karena itu, kalau Islam ingin maju, maka upaya yang harus ditempuh adalah
sekularisasi itu, dan di antara negara Islam yang melaksanakan ini adalah Turki
di bawah kepemimpinan Kemal at-Taturk.7
Kedua, anggapan bahwa umat Islam harus yakin bahwa Islam itu agama yang
benar tak mungkin salah dan kalah oleh yang lain. Oleh karena itu, Islam tidak
perlu mencontoh siapapun dan bangsa manapun. Islam harus menjalankan
apa yang sudah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya dan menjauhkan dari hal
4 Glory (kemenangan), pada masa awalnya ekspansi Barat ke Timur, masing-masing negara di Barat sedang bersa-
ing memperebutkan daerah jajahan, diantara yang bersaing ketat itu adalah : Portugis, Portugal, Spanyol, Belanda, dan
Ingris. Barang siapa yang banyak menaklukan daerah, dialah pemenangnnya. Untuk mendapatkan kemengangan dan
perluasan tanah jajahan, negara-negara tersebut melakukan beberapa upaya diantaranya membuat kapal-kapal layar
yang besar, kuat, tangguh, dan cepat serta melakukan ekspedisi-ekspedisi pelayaran seperti yang dilakukan Marcopolo,
Columbia dll.
5 Gold (emas/kekayaan). Tujuan ekspansi kemudian diteruskan imperialisasi Barat ke Timur adalah untuk mengeruk
kekayaan yang ada di Timur, baik dari hasil bumi, terutama rempah-rempah yang dibutuhkan dan harganya cukup mahal
di Barat maupun hasil tambang terutama emas. Dari sebuah pencarian harta karun di laut Karibia ditemukan bahwa
sebuah kapal Portugis yang karam dan sudah terkubur lumpur lebih dari 4 abad yang memuat 40 ton emas dengan
berbagai bentuk, sebagian hasil rampasan dari suku Inca, salah satu suku Indian terbesar di Benua Amerika.
6 Gospel (Gereja/Kristenisasi), misi yang lain dari Imperialisme Barat adalah menyebarkan agama Kristen. Penye-
baran agama ini bukan saja dilakukan kepada suku bangsa yang belum menganut agama tertentu (animisme atau
dinamisme), tetapi seringkali ditujukan untuk merubah agama lain menjadi kristen, khususnya agama Islam. Di antara
contohnya adalah di Indonesia, Belanda berusaha untuk melakukan Kristenisasi, daerah yang berhasil dikristenkan misal-
nya Tapanuli Utara, Sulawesi Utara, Maluku dan Tanatoraja. Belanda menjadikan Umat Kristen menjadi warga kelas satu
setara dengan mereka, tetapi untuk umat Islam mereka menjadikannya umat kelas tiga setelah kelas dua diduduki oleh
bangsa timur Asing dan timur Jauh.
Tarikh Tasyri’178
Perjalan historis hukum Islam dimulai sejak Nabi Muhammad diutus sebagai Rasul dan diturunkannya al-Qur’an sebagai satu sumber pokok hukum
Islam. Selain itu, Rasulullah juga menerapkan satu contoh dan praktik hukum
Islam yang ada dalam al-Qur’an, yang terangkum dalam Sunnahnya.
Dalam proses pembentukannya ini, hukum Islam tidak berada dalam satu
ruang hampa dan kosong, tetapi sangat terikat dengan kondisi sosio-kultural,
ekonomi dan faktor politik setiap zaman. Pun demikian pada masa Nabi, al-
Qur’an tersusun dari rangkaian peristiwa yang dialami olehnya atau pun para
sahabat yang senantiasa di sampingnya. Faktor-faktor yang melingkupinya inilah
yang membuat hukum Islam tidak bercorak monolitik, tetapi sangat plural dan
beragam.
Setelah Rasul wafat, para sahabat melanjutkan apa yang telah dilakukan
oleh Rasul, baik sebagai penafsir al-Qur’an, pembentuk hukum (dengan cara
mengistintinbathkan hukum), ataupun langsung mempraktikkan dalam
pemberian fatwa dan putusan pengadilan. Sepeninggal Rasul, dasar-dasar hukum
Islam semakin berkembang, terutama ketika semakin meluasnya daerah-daerah
taklukan Islam, sehingga berbaurnya kebudayaan dan kebiasaan masyarakat
setempat.
Dalam fase selanjutnya, hukum Islam semakin berkembang dan mengarah
kepada pembentukan satu diskursus baru, terutama ketika semangat ijtihad
– yang didorong oleh kemajuan ilmu pengetahuan – semakin menyebar di
kalangan ulama dan umat Islam. Kemajuan ini ditandai oleh kemunculan
embrio para mujtahid yang dimulai oleh Abu Hanifah, yang hidup pada dua
masa, Umayyah, Abbasiyyah dan Imam Malik yang tinggal di Madinah. Selain
itu, dalam fase ini mulai dirumuskan pula pembentukan dan penyeleksian
hadis oleh para ulama, yang dikembangkan pertama kali oleh al-Syafi’i dan
disempurnakan oleh beberapa muhaddis setelahnya, seperti Imam al-Bukhari,
Muslim, Abu Daud, al-Turmizi, dan al-Nasai.
Dalam pada itu, muncullah dua aliran besar dalam sejarah hukum Islam,
yaitu aliran yang lebih kuat memegang akal pikiran (yang disebut dengan ahl al-
ra’y) dan mereka yang berpegang pada hadis (yang disebut ahl al-hadis). Kedua
aliran ini dielaborasi oleh imam Al-Syafi’i yang menyusun satu metodologi
yang – disebut dengan Ushul Fiqh – menggabungkan kedua kecenderungan
ini. Setelah kemunculan al-Syafi’ilah konsep hukum Islam semakin sempurna,
karena ditopang dengan satu metologi yang sistematis. Dalam fase setelahnya
Pembentukan Mazhab dan Pembukuan Fiqh 179
juga hukum Islam semakin berkembang dan mendapatkan bentuknya yang
kemudian di kodifikasi. Selain itu, muncul pula mazhab-mazhab fiqh yang
masing-masing memiliki pengikut, di antaranya Imam Abu Hanifah dengan
Hanafiyyah, imam Malik dengan Malikiyyahnya, imam al-Syafi’i dengan
Syafi’iyyahnya, dan Imam Ahmad bin Hanbal dengan Hanabilahnya. Selain
itu, kelompok Syiah pun memiliki satu mazhab serupa, yang dikembangkan
oleh Imam Ja’far.
Munculnya mazhab ternyata membuat umat Islam lengah dan merasa cukup
dengan apa yang telah diwariskan, sehingga dalam fase selanjutnya hukum
Islam berada dalam satu fase yang vakum dan stagnan. Para ulama tidak lagi
berlomba-lomba untuk berijtihad, akan tetapi sibuk dengan aktifitas men-syarah
atau membuat hasyiyah terhadap karya-karya yang telah ada. Selain itu, muncul
pula tradisi tarjih dalam fiqh. Pada saat itu pula muncul satu adagium yang
sangat melemahkan hukum Islam, yaitu pernyataan bahwa pintu ijtihad telah
tertutup. Fase kevakuman ini tetap berlangsung sampai pada satu masa transisi,
sebagian ulama mulai mempersoalkan lagi apakah ijtihad diperbolehkan atau
tidak. Barulah kemudian muncul beberapa ulama yang berhasil menghantarkan
umat Islam menuju satu perkembangan baru hukum Islam, dengan semangat
berijtihad.
Pada fase modern pun, umat Islam melanjutkan proses pengembangan
hukum Islam, terutama dengan tema dan permasalahan yang baru muncul,
seiring dengan terbentuknya masyarakat modern (nation state). Dalam fase ini,
umat Islam disibukkan dengan peradaban dan kebudayaan baru yang tidak
dijumpai sebelumnya, terutama terkait dengan konstitusionalisme negara
bangsa, seperti isu-isu negara Islam, hak asasi manusia, hak-hak perempuan,
atau demokrasi.
Pun demikian seperti pada masa klasik, ulama terbagi menjadi dua ketika
menghadapi perubahan masyarakat yang begitu drastis. Masing-masing
menyerukan untuk kembali kepada Islam, meskipun dengan pola dan metode
yang berbeda-beda. Sebagian kelompok mendorong umat Islam untuk
menerapkan kembali hukum Islam yang tertera dalam al-Qur’an, seperti sedia
kala, sedangkan kelompok lain berusaha untuk mencari metode dan konsep
baru dalam penerapan hukum Islam, mulai dari yang paling moderat sampai
yang paling ekstrem.
Tarikh Tasyri’180
Untuk itu, diperlukan satu kegigihan dan kesungguhan dalam merumuskan
kembali relevansi hukum Islam untuk konteks saat ini, karena tanpa hal itu
hukum Islam justru akan sangat ditinggalkan oleh zaman. Konsekuensinya,
hukum Islam justru tidak akan diterapkan oleh masyarakat. Alih-alih untuk
menjadikan Islam sebagai rahmatan lil alamin, yang mengayomi semua
kelompok, golongan dan penganut agama, umat Islam merasa acuh dengan
doktrin hukum Islam yang dianggap ketinggalan zaman. Dalam hal ini, tugas
para sarjana Syariah-lah untuk membangun satu konsep pemikiran hukum Islam
yang mapan, dengan tetap memperhatikan prinsip Syariah, tradisi masyarakat
dan perkembangan zaman yang selalu berubah.
.jpeg)
