pembentukan hukum Islam

pembentukan hukum Islam


 


PEMBENTUKAN IIUKUM ISLAM


Tarikh Tasyri’2

Sebelum melangkah jauh menerangkan apa yang dimaksud dengan tarikh tasyri’, perlu dijelaskan  terlebih dahulu beberapa istilah penting yang akan 

kita temukan dalam pembahasan tarikh tasyri’. Apabila tidak dielaborasi lebih 

dalam tentang istilah-istilah ini, acapkali terjadi kesalahfahaman dan kerancuan 

dalam memahami substansi dari materi yang akan kita pelajari ini. Term-term 

seperti Syariah, fikih dan hukum Islam, tidak hanya sering digunakan secara 

tumpang-tindih, akan tetapi seringkali terjadi miskonsepsi tradisional tentang 

hukum Islam sebagai sesuatu yang baku dan tidak bisa diotak-atik.

Kelalaian dalam memilah istilah tersebut justru akan berimplikasi pada 

kekeliruan dalam menguraikan bagaimana sebetulnya hukum Islam itu sendiri, 

karena hukum – termasuk hukum Islam – dalam arti yang sangat sederhana 

adalah sebuah produk dari berbagai sumber dan metode penemuannya. Tak 

hanya itu, implikasi yang paling serius terhadap perkembangan hukum Islam 

adalah ketika bercampurnya sesuatu yang profan dan sakral. Dalam hal ini, 

akan dibedakan terlebih dahulu mana yang menjadi sumber dan dasar hukum 

Islam tersebut dan mana yang kemudian menjadi produk dari proses perjalanan 

sejarah. 

A. Syariah, Fikih, dan Hukum Islam

1. Syariah

Kata syariah sendiri sebetulnya telah disebutkan sebelum Islam muncul, 

yaitu dalam kitab Taurat, Talmud dan Injil, meskipun pada Taurat, syariah 

disebutkan dengan bahasa Ibrani. Kata tersebut disebut dalam bahasa arab 

dengan taurah, yang berarti membimbing, memberi petunjuk, mengetahui, 

mengatur, dan terkadang sering diartikan sebagai undang-undang. Kata ini 

disebutkan sebanyak 200 kali dalam Taurat. Sementara dalam kitab Injil, kata 

Namus digunakan oleh al-Masih untuk menyebutkan syariat secara umum, 

yang berarti orang-orang yang dekat, ruh agama, dan syariat Musa (yang telah 

ada sebelumnya).1

Secara etimologis, syariah berarti “jalan ke sumber air minum”, namun bangsa 

Arab sering mengartikannya sebagai “ jalan yang lurus”, karena mata air adalah 

 

1  Muhammad Said al-Asymawi, Uhsul al-Syariah. Terj. Lutfi Tomafi, (Yogyakarta: Elkis, 2004), h. 18. 

Pendahuluan 3

sumber kehidupan.2  Dalam al-Qur’an disebutkan dalam surat Al-Maidah ayat 

48, yaitu: 

Dan dalam surat Al-Jatsiyah ayat 18:

Dari kedua ayat tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa syariah itu 

mengandung arti “jalan yang jelas yang membawa pada kemenangan”. Bila 

diambil dari kata syariah (QS. 42/21) dan syir’ah (QS.5/48), pengertian syariat 

menjadi agama yang digariskan oleh Allah beserta perintah-perintah-Nya seperti 

shalat, puasa, haji, zakat, dan seluruh perbuatan yang baik, dan bukan hukum-

hukum mu’amalah. Selain pengertian tersebut bila diartikan sebagai “tempat 

mengalirnya air”, syariah yang dimaksudkan oleh al-Qur’an: “Kemudian 

kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan (agama ini), maka 

ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak 

mengetahui” adalah suatu peraturan atau metode agama yang harus diikuti.3 

Pendapat tersebut disampaikan oleh Said al-Ashmawi.

Dalam hal ini, al-Ashmawy berbeda dengan Ali al-Sayis. Menurut al-

Ashmawi, syariat tidaklah bermakna hukum (tasyri’) atau undang-undang 

(al-qanun), karena kedua ayat di atas bukan termasuk ayat madaniyyah, tetapi 

diturunkan di Makkah, sehingga konteks saat itu tidak menunjukkan adanya 

proses pembentukan hukum. Sementara di sisi lain, Ali Sayis menyatakan 

2  Manna al-Qatthan, Tarikh Tasyri’,(Riyadh: Maktabatul Ma’arif, 1996),  h. 13;  Dalam al-Munjid  disebutkan kedua 

kata tersebut. Luis Ma’luf, al-Munjid, (Bairut: Daru al-Fikr, tth), cet VII, h. 394; lihat pula Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh 

Tasyri’ al-Islami, (Mesir: Mathba’ah  Muhammad Ali Shabih, tt), h. 5.

3  Lebih jelasnya tentang bahasan ini lihat, Al-Ashmawi, Ushul al-Syariah, h. 20-21.

Tarikh Tasyri’4

bahwa pembentukan hukum (insya’ al-qawanin) yang hanya berasal dari Nabi 

Muhammad bersandarkan kepada al-Qur’an dan Sunnah termasuk pula dalam 

syariah.4 Kecenderungan untuk mengidentikkan syariah dengan perundang-

undangan ini dinyatakan pula oleh Mahmud Syaltut, yang menyatakan bahwa 

selain dari al-Qur’an dan Sunnah, dalam syariat tersebut termasuk pula qiyas, 

ijma’ dan hukum-hukum yang diistinbathkan dengan jalan ijtihad.5 Syariat 

tersebut memberikan aturan kepada manusia dalam hubungannya dengan Allah; 

sesama manusia; muslim dan non-muslim, dan hubungan dalam keluarga.6

Selain dari beberapa pendapat di atas, ada pula pendapat yang menyatakan  

bahwa syariat adalah: “segala perintah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku 

manusia”, karena objek kajiannya adalah tindak tanduk, prilaku, atau perbuatan 

manusia.7 Ada pula definisi yang berbunyi bahwa syariat adalah: “segala perintah 

Allah yang berhubungan dengan sikap dan tingkah laku manusia baik yang bersifat 

aqidah (disebut ushuli) maupun yang bersifat amaliyah (disebut furu’i)”. Ushuli 

(pokok) menjadi bahan kajian ilmu aqidah yang menyangkut masalah keimanan, 

seperti iman kepada Allah, para rasul, malaikat, serta bersifat batiniyah, sementara 

yang bersifat amaliyah (furu’I)  adalah pekerjaan manusia yang bersifat lahiriyah.8 

Menurut al-Syathibi dalam al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, bahwa syariat 

memberikan batasan-batasan (al-hudud) bagi al-mukallaf, baik pada wilayah 

perbuatan, perkataan ataupun keyakinan-keyakinan.9 Syariah ini juga seringkali 

disebut sebagai agama (”millah/ ” dan “diin/ ”), sehingga syariah lebih 

luas cakupannya daripada fikih karena syariah merupakan ajaran dari seluruh 

aspek agama, selain bahwa dalam bahasa Arab kata syariah telah terlebih dahulu 

diketahui dibanding fikih.10 Maka dari itu, perlu ditegaskan bahwa syariah tidak 

bisa diidentikkan dengan fikih, karena keluasan cakupannya, meskipun fikih 

sendiri berasal dari syariah. 

Dari sini, cukup menarik untuk melihat pendapat yang dinyatakan oleh 

Manna’ al-Qaththan, yaitu bahwa Syariat adalah apa yang ditegaskan oleh Allah 



Pendahuluan 5

untuk hamba-hambanya, baik dalam aqidah, ibadah, muamalah, akhlak dan 

aturan hidup, pada satu bangsa yang berbeda-beda untuk menjaga hubungan 

antara manusia dan Tuhannya dan hubungan antara sesama mereka sendiri, 

serta untuk mencapai suatu kebahagiaan di dunia dan akhirat. Al-Qatthan 

menegaskan bahwa Syariat hanya dibuat oleh Allah semata (tasyri’ ilahi), 

sehingga aturan apapun yang dibuat oleh manusia tidak dapat disebut syariah, 

tetapi tasyri’ al-wadh’i.11

2. Fikih

Bila syariah sebagai sebuah konsep ideal dan abstrak yang dikehendaki oleh 

Allah, maka fikih dipahami sebagai upaya manusia untuk memahami kehendak 

tersebut.12 Secara etimologis, fikih berarti “faham” atau “faham yang mendalam”. 

Secara terminologis, fikih berarti : “ilmu tentang hukum-hukum syara (kumpulan 

hukum-hukum) yang bersifat amaliyah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil 

yang terperinci:” Dalam hal ini, fikih merupakan kumpulan hukum-hukum 

syariat yang berhubungan dengan tingkah laku manusia, baik ucapan atau 

perbuatan, yang diambil dari nash-nash dan dalil-dalil syariat lain, yang tidak 

bertentangan dengan nash-nash tersebut.13

Yang dimaksud dengan kalimat: “yang digali dan ditemukan“  adalah sebuah 

proses berfikir tentang hukum dengan metode tertentu yang disebut dengan 

ijtihad. Sehingga Imam Al-Amidi mendefinisikan fikih sebagai “ilmu tentang 

seperangkat hukum-hukum syara yang bersifat furu’iyyah yang didapatkan dengan 

metode tertentu dan penalaran (istidlal)”,14 sedangkan yang dimaksud dengan 

“dari dalil-dalil yang terperinci” adalah dalil-dalil hukum Islam yaitu al-Qur’an 

dan Sunnah yang sifat dari dalil itu terperinci (tafsili).

Ibnu Khaldun mendefinisikan fikih sebagai ”pengetahuan tentang hukum-

hukum Allah yang berkenaan dengan tingkah laku mukallaf, baik itu wajib, 

haram, sunnah, makruh, atau mubah, yang diambil dari al-Qur’an, Sunnah dan 

dalil-dalil yang ditetapkan oleh pembuat hukum (al-syari’) untuk mengetahuinya”. 

Hukum atau produk yang berhasil ditemukan oleh para mujtahid inilah yang 

disebut fikih.

Tarikh Tasyri’6

Seiring dengan perjalanan waktu dimana kemampuan manusia semakin 

bertambah, maka fikih sendiri bukan menjadi suatu produk yang langsung jadi 

sekaligus, akan tetapi melalui sebuah evolusi panjang. Sebagaimana diketahui 

bahwa beberapa obyek kajian fikih, seperti dalam hal jual beli, perkawinan, dan 

jinayah ternyata tidak sepenuhnya baru dan berasal dari Islam secara keseluruhan, 

akan tetapi terdapat pula praktik-praktik yang terlebih dulu telah dilakukan 

oleh orang-orang Arab pra kedatangan Islam. Maka dari itu, evolusi tersebut 

terus akan belangsung hingga mencapai kesempurnaannya.16 Menurut para ahli 

hukum Islam bahwa tujuan syariat adalah untuk mewujudkan kemaslahatan 

manusia (tahqiq mashalih al-’ibad), dan tujuan fikih adalah untuk memahami 

dan menerapkan syariat tersebut.17    

Sebagaimana dicatat oleh Hasbi ash-Shiddiqi, Salam Madzkur mendefinisikan 

fikih sebagai suatu usaha untuk mengetahui sesuatu, memahaminya dan 

menanggapinya dengan sempurna. Dan dalam perspektif tersebut, lanjut 

Hasbi, sudah semestinya untuk mengembalikan fikih kepada pengertian asalnya 

tersebut setelah awalnya ditegaskan oleh al-Ghazali bahwa fikih mencakup 

semua ilmu yang terkandung di dalam syariat.18 Hal ini perlu dilakukan 

karena antara keduanya juga terdapat perbedaan yang signifikan, selain dari 

implikasinya kepada perkembangan hukum Islam di masa yang akan datang. 

Dan dijelaskan pula dalam Mu’jam Ushul al-Fikih bahwa memang fikih pada 

awalnya mencakup segala hukum yang ditetapkan Allah, baik yang terkait 

dengan keyakinan, perbuatan atau akhlak yang dapat disinonimkan dengan 

syariat. Dalam perjalanan waktu, fikih hanya membahas tentang hukum 

furu’iyyah dan wilayah keyakinan dilepaskan dari fikih.19

Asaf A. A. Fyzee dengan jelas menguraikan dua istilah ini. Bila syariah 

meliputi segala tingkah laku manusia, maka fikih hanya meliputi tindakan-

tindakan hukum; Syariat merupakan pengetahuan yang tak dapat dicapai 

kecuali dengan Qur’an atau Sunnah, sementara fikih mengutamakan akal untuk 

mengetahuinya; syariat ditentukan oleh Allah dan rasul-Nya, sedangkan fikih 

ditegaskan oleh usaha manusia; dalam fikih suatu tindakan dipandang sah atau 

tidak, dibolehkan atau tidak, sementara di dalam syariat didapati boleh atau 

terlarang. Dan terakhir, fikih adalah istilah yang dipergunakan bagi hukum 


Pendahuluan 7

sebagai ilmu pengetahuan (science) dan syariat bagi hukum merupakan jalan 

kebenaran sebagaimana diwahyukan oleh Allah.20 

3. Hukum Islam

Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata “hukum” dan ‘Islam”. Kedua 

kata ini berasal dari bahasa Arab, namun apabila dirangkai menjadi “hukum 

Islam”, kata tersebut tidak dikenal dalam terminologi Arab. Kita tidak dapat 

menemukan kata itu dalam al-Qur’an, hadis atau literatur Arab lainnya. Kata 

Hukum Islam merupakan kata yang sudah melembaga, dipakai secara lumrah 

di Indonesia. Kata ini mulai muncul ketika di Indonesia muncul tiga hukum 

yang saling bersinggungan (trikotomi hukum), yaitu hukum Islam, hukum 

Adat dan hukum Barat. Penyebutan “hukum Islam” itu sendiri bertujuan  untuk 

memisahkan antara hukum yang bersumber dari ajaran agama Islam, hukum 

yang berasal dari adat istiadat bangsa Indonesia dan hukum Barat yang dibawa 

oleh kolonial Belanda.

Apabila didefinisikan, hukum Islam adalah: “seperangkat peraturan 

berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasulullah tentang tingkah laku manusia 

mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua orang yang beragama 

Islam”. Selain itu, ada pula pendapat yang mengambil pengertian hukum sebagai 

hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian dari agama Islam.21 Meskipun 

begitu, penyebutan ruang lingkup dan obyek hukum Islam sendiri masih 

terkesan belum jelas di dalam masyarakat, yang sangat mungkin disebabkan 

karena kekeliruan dalam mengartikan syariat dan fiqih.22 

Dalam khazanah pemikiran hukum Islam dikenal bahwa produk pemikiran 

hukum Islam memiliki empat kategori:

1. Fikih, yakni bangunan ilmu pengetahuan keislaman yang meliputi ibadah 

dan mu’amalah secara menyeluruh. 

2. Fatwa, yakni produk pemikiran hukum yang dikeluarkan oleh perorangan 

maupun secara kolektif atas pertanyaaan hukum dari anggota masyarakat 

terhadap persoalan-persoalan tertentu. Fatwa tidak memiliki daya ikat pada 

orang yang meminta fatwa. Fatwa perorangan di zaman modern – khususnya 

di Indonesia – merupakan barang langka, tetapi fatwa yang dilakukan oleh 


Tarikh Tasyri’8

kelembagaan hingga kini masih dirasakan eksis, misalnya fatwa MUI yang 

hampir selalu mengikuti setiap persoalan kontemporer.  

3. Putusan Pengadilan, yakni produk pemikiran hukum yang dikeluarkan 

oleh lembaga peradilan, yang keputusannya mengikat bagi pihak yang 

berperkara. 

4. Perundang-undangan (taqnin), yaitu produk politik dalam menerapkan 

suatu hukum oleh dewan legislatif yang diusulkan oleh eksekutif. Biasanya, 

perundang-undangan ini mempunyai keterbatasan, diantaranya cakupan 

materi yang dimuat sangat spesifik, hanya mencakup bidang hukum tertentu 

saja.23 Secara hirarkis, perundang-undangan di Indonesia adalah Undang-

undang Dasar 45, TAP MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah 

Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, 

Peraturan Daerah (PERDA).

Dilihat dari cara penerapannya, hukum dapat dibagi menjadi dua bagian :

1. Produk hukum yang tidak memerlukan keterlibatan birokrasi atau legislasi 

hukum oleh negara (mulzimun binafsihi), misalnya mengucapkan dua 

kalimat syahadat dan melaksanakan kewajiban shalat. Pemerintah tidak 

mengatur teknik pelaksanaan, baik bersifat perorangan atau kelembagaan.  

Produk hukum seperti ini adalah fikih dan fatwa. 

2. Produk hukum yang  memerlukan keterlibatan birokrasi atau legislasi hukum 

oleh negara atau ulil amri (mulzimun bighoirihi). Produk hukum seperti ini 

adalah putusan pengadilan dan perundang-undangan.

B. Tarikh Tarsyri’: Pengertian, Sejarah dan Urgensinya

1. Tarikh Tasyri’

Kata tarikh tasyri’/ ’ merupakan rangkaian dari dua bahasa: tarikh/

 dan tasyri’/ . Tarikh berasal dari bahasa Arab :  arakha: 

yuarikhu artinya : menulis, mencatat sejarah, atau catatan tentang perhitungan 

tanggal hari, bulan, dan tahun. Tarikh muradhif (sinonim) dengan kata sajarah,24 

riwayat, tambo, atau kitab. 

23  Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia,  (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), cet I, h. 31-33.

24 Sajarah sendiri berasal dari kata sajaroh artinya pohon (batang pohon) karena sejarah sendiri merupakan asal 

usul dari sesuatu. Sejarah adalah:  Pengetahuan mengenai kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa 

yang lampau (Poerwadarminta)

Pendahuluan 9

Tasyri’/  berasal dari akar kata    yang mengandung arti   

jalan yang biasa ditempuh, sehingga secara etimologis bermakna: menetapkan 

syari’at, menerapkan hukum, atau membuat perundang-undangan, atau 

Proses menetapkan perundang-undangan. Secara terminologis, Tasyri’ sendiri 

berarti: “pembentukan dan penetapan perundang-undangan yang mengatur 

hukum perbuatan orang-orang mukallaf dan hal-hal yang terjadi tentang berbagai 

keputusan serta peristiwa yang terjadi di kalangan mereka”.

Dengan demikian, secara sederhana Tarikh Tasyri’ dapat di definisikan 

dengan: sejarah terbentuknya perundang-undangan dalam Islam, baik pada 

masa risalah (Nabi Muhammad) atau pada masa-masa setelahnya, dari perspektif 

zaman di mana hukum-hukum tersebut dibentuk, berikut proses penghapusan 

dan kekosongannya, serta yang terkait dengan para fuqaha dan mujtahid yang 

berperan dalam proses pembentukannya tersebut.25

2. Nama Lain dari Tarikh Tasyri’

Sejarah perkembangan hukum Islam;1. 

Sejarah pembentukan hukum Islam;2. 

Sejarah Hukum Islam;3. 

Sejarah perkembangan fikih;4. 

Perkembangan modern hukum Islam;5. 

Perkembangan ilmu fikih.6. 

3. Macam-macam Tasyri’

Hukum Islam memiliki dua dimensi, dimensi illahiyah dan dimensi 

insaniyah. Dimensi ilahiyah adalah dimensi transenden dan sakral, ia  diyakini 

sebagai ajaran yang bersumber dari Allah yang Maha Suci, Maha Sempurna, 

dan Maha Benar.26 Dalam dimensi ini, hukum Islam diyakini oleh umatnya 

sebagai ajaran suci sehingga  sakralitasnya harus tetap dijaga. Dalam pengertian 

ini, hukum Islam  dipahami sebagai syari’at yang cakupannya luas, tidak hanya 

terbatas pada fikih dalam artian terminologi, ia mencakup masalah keimanan, 

amaliyah dan etika. Dimensi kedua adalah dimensi insaniyah. Dalam dimensi 

ini, hukum Islam merupakan hasil ijtihad ulama terhadap nash melalui dua 

pendekatan;  pendekatan kebahasaan dan pendekatan tujuan syara’.


Tarikh Tasyri’10

Jadi, tegasnya tasyri’ itu terbagi menjadi  dua bagian yaitu: 

1. Tasyri’ Illahi, yaitu penetapan hukum Islam yang bersumber dari Allah 

dengan perantaraan Rasulullah melalui Al-Qur’an dan Hadis. 

2. Tasyri ‘Wadh’i, yaitu penetapan hukum Islam yang bersumber dari kekuatan 

pemikiran manusia melalui ijtihad – baik individual maupun kolektif.27

4. Aliran Pemikiran Tasyri’

Di samping dua pembagian tasyri’ tersebut,  ada  dua aliran fikiran tentang 

tasyri’:  

a. Bahwa hukum Islam itu sudah given (dibaca: Al-Qur’an), sudah ada 

dan termaktub di lauh al-mahfudz sejak zaman azali28. Dari sudut ini, 

hukum  adalah kehendak Tuhan yang diwahyukan. Sebagai ketentuan 

Tuhan, ia mendahului bukan didahului negara muslim, ia mengontrol 

bukan dikontrol, manusia yang harus menyesuaikan kepada hukum, 

bukan hukum menyesuaikan pada perubahan manusia. Artinya, disini 

tidak berlaku suatu konsep bahwa hukum berevolusi sebagai gejala sosial 

(sejarah) yang terkait erat dengan kemajuan masyarakat.29 

b. Bahwa hukum itu lahir dan berkembang bersama kehidupan masyarakat 

(the man made the law/natural law). Karena al-Qur’an diturunkan pada 

masyarakat Arab yang sudah mengenal budaya, bahasa, bahkan agama. 

Dilihat dari konteksnya, al-Qur’an mengalami dialektika dengan 

masyarakat Arab pada waktu itu. Adanya ayat-ayat yang responsif atas 

pertanyaan atau permasalahan yang timbul pada waktu itu adalah bukti 

dari adanya dialektika itu. Oleh karena itu, hukum yang terkandung 

dalam al-Qur’an selama bersangkutan dengan budaya pada masa itu 

boleh ditafsirkan surut sesuai dengan konteks budaya pada waktu itu. 

Yang dipegang adalah ajaran universal dari al-Qur’an itu sendiri seperti: 

keadilan, kedamaian, kemerdekaan dan  persamaan.

27  Juhaya S. Praja, Dinamika Pemikiran Hukum Islam, h. 9.

28  Para ahli kalam sunni berpendapat bahwa al-Qur’an itu qadim karena ia merupakan kalam Allah bukan hadis. 

Logikanya karena Allah itu qadim, maka kalamnya pun harus qadim yakni sesuatu yang tidak ada awalnya dan tidak ada 

akhirnya. Kebalikan dengan kaum mu’tazilah yang berpendapat bahwa al-Qur’an itu adalah hadis, yang qadim hanyalah 

Allah semata.

29  Noel J. Coulson,The History of Islamic Law, Edinburgh University Press, 1964 page 1

Pendahuluan 11

5. Karakteristik Hukum Islam 

Hukum Islam mempunyai watak tertentu dan beberapa karakteristik yang 

membedakannya dengan berbagai macam hukum yang lain. Karakteristik 

tersebut ada yang memang berasal dari watak hukum itu sendiri dan ada pula 

yang berasal dari proses penerapan dalam lintasan sejarah menuju ridha Allah. 

Dalam hal ini, beberapa karakteristik hukum Islam bersifat sempurna, universal, 

kemanusiaan, mengandung moral agama, dan dinamis, akan dijelaskan dalam 

bagian ini. 

a. Sempurna, artinya syari’at itu akan selalu sesuai dengan segala situasi 

dan kondisi manusia, dimana pun dan kapanpun, baik sendiri maupun 

berkelompok. Hal ini didasarkan bahwa syariat Islam diturunkan dalam 

bentuk yang umum dan hanya garis besar permasalahannya saja, sehingga 

hukum-hukumnya bersifat tetap meskipun zaman dan tempat selalu 

berubah. Penetapan hukum yang bersifat global oleh al-Qur’an tersebut 

dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada umat manusia untuk 

melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi ruang dan waktu.30 

b. Universal, syari’at Islam meliputi seluruh alam tanpa ada batas wilayah, 

suku, ras, bangsa, dan bahasa. Keuniversalan ini pula tergambar dari sifat 

hukum Islam yang tidak hanya terpaku pada satu masa saja (abad ke-VII 

saja, misalnya), tetapi untuk semua zaman. Hukum Islam menghimpun 

segala sudut dan segi yang berbeda-beda di dalam suatu kesatuan, dan 

ia akan senantiasa cocok dengan masyarakat yang menghendaki tradisi 

lama atau pun modern, seperti halnya ia dapat melayani para ahli aql  

dan ahl naql, ahl al-ra’y atau ahl al-hadis.31

c. Elastis, dinamis,  fleksibel, dan tidak kaku. Karena hukum Islam merupakan 

syariat yang universal dan sempurna, maka tak dapat dipungkiri pula 

kesempurnaannya ini membuatnya bersifat elastis, fleksibel dan dinamis 

dalam perkembangan zaman, karena jika hukum Islam menjadi sesuatu 

yang kaku justru akan menjadikannya tak relevan pada masa atau ruang 

tertentu. Bila syariat diyakini sebagai sesuatu yang baku dan tidak pernah 

berubah, maka fiqih menjembatani antara sesuatu yang baku (syariat) 

dan sesuatu yang relatif dan terus berubah tersebut (ruang dan waktu).32 

Syari’at Islam hanya memberikan kaidah dan patokan dasar yang umum 


Tarikh Tasyri’12

dan global. Perinciannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan manusia, 

dan dapat berlaku dan diterima oleh seluruh manusia. Dengan ini pula, 

dapat dilihat bahwa hukum Islam mempunyai daya gerak dan hidup 

yang dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan, 

melalui suatu proses yang disebut ijtihad. Dalam ijitihad – yang menjadi 

hak bagi setiap muslim untuk melakukannya – merupakan prinsip gerak 

dalam Islam yang akan mengarahkan Islam kepada suatu perkembangan 

yang bersifat aktif, produktif serta konstruktif.33 

d. Sistematis, artinya antara satu doktrin dengan doktrin yang lain bertautan, 

bertalian dan berhubungan satu sama lain secara logis. Kelogisan ini 

terlihat dari beberapa ayat dalam al-Qur’an yang selalu menghubungkan 

antara satu institusi dengan institusi yang lain. Selain itu, syariat Islam 

yang mendorong umatnya untuk beribadah di satu sisi, tetapi juga tidak 

melarang umatnya untuk mengurusi kehidupan duniawi.34 

e. Bersifat Ta’abuddi dan ta’aqulli. Warna Syari’at Islam dapat dibedakan 

dengan dua warna: yaitu ta’abuddi bentuk ibadah yang fungsi utamanya 

untuk mendekatkan manusia kepada Allah ( ). 

Bentuk ibadah seperti ini sudah given, taken from granted, makna yang 

terkandung didalamnya tidak dapat dinalar, irrasional, seperti jumlah 

rakaat shalat.  Sedangkan yang ta’aqulli adalah bersifat duniawi yang 

maknanya dapat difahami oleh nalar manusia dan rasional.

f. Menegakkan Maslahat, karena seluruh hukum itu harus bertumpu 

pada maslahat dan dasar dari semua kaidah yang dikembangkan dari 

seluruh hukum Islam harus bersimpul pada maslahat. Syariat berurusan 

dengan perlindungan maslahat, entah dengan cara yang positif,misalnya 

dengan tindakan untuk menopang landasan-landasan mashalih, syariat 

mengambil tindakan-tindakan untuk menopang landasan-landasan 

mashalih tersebut. Atau dengan cara preventif, yaitu untuk mencegah 

hilangnya mashalih, ia mengambil tindakan-tindakan untuk melenyapkan 

unsur apa pun yang secara aktual atau potensial merusak mashalih.35 

g. Menegakkan Keadilan. Keadilan dalam arti perimbangan atau keadaan 

seimbang (mauzun) antonimnya ketidakadilan, kerancuan (at-tanasub), 


Pendahuluan 13

persamaan (musawah), tidak diskriminatif, egaliter, penunaian hak sesuai 

dengan kewajiban yang diemban (keadilan distributif ), serta keadilan 

Allah yaitu kemurahan-Nya dalam melimpahkan rahmat-Nya kepada 

manusia sesuai dengan tingkat kesediaan yang dimilikinya.

h. Tidak Menyulitkan (‘adamul kharaj). Yang disebut dengan tidak 

menyulitkan adalah hukum Islam itu tidak sempit, sesak, tidak memaksa 

dan tidak memberatkan. Di antara cara meniadakan kesulitan itu,  ada 

beberapa bentuk: 

1. Pengguguran kewajiban, yaitu dalam keadaan tertentu kewajiban 

ditiadakan seperti gugurnya kewajiban shalat jum’at dan gugurnya 

kewajiban puasa dibulan Ramadhan bagi orang yang sedang dalam 

perjalanan atau sakit.

2. Pengurangan kadar yang telah ditentukan, seperti qashar shalat dari 

yang jumlahnya empat rakaat menjadi dua rakaat, yaitu shalat 

Dzuhur, Ashar dan Isya’.

3. Penukaran, yaitu penukaran satu kewajiban dengan yang lain, seperti 

wudhu atau mandi besar ditukar dengan tayammum, atau menukar 

kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan dengan hari lain bagi orang 

yang mempunyai halangan puasa Ramadhan.

4. Mendahulukan, yaitu mengerjakan suatu kewajiban sebelum waktunya  

hadir seperti shalat jama’ takdim, shalat Ashar yang dilaksanakan pada 

waktu Dzuhur, melaksanakan shalat Isya pada waktu shalat Magrib.

5. Menangguhkan atau mentakhirkan kewajiban yaitu mengerjakan suatu 

kewajiban  setelah waktunya tidak ada seperti shalat jama’ takhir. 

mengerjakan shalat Dzuhur diwaktu shalat Ashar atau mengerjakan 

shalat Magrib di waktu shalat Isya.

6. Mengubah dengan bentuk lain, seperti merubah perbuatan shalat 

dengan shalat khauf karena alasan keamanan. atau mengganti 

kewajiban puasa bagi orang yang sudah tidak kuat lagi puasa dengan 

membayar fidyah.

i. Menyedikitkan beban (taqlil at-takalif), yaitu dengan menyedikitkan 

tuntutan Allah untuk berbuat, mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi 

larangan-Nya. 

Tarikh Tasyri’14

j. Berangsur-angsur (tadrij). Hukum Islam dibentuk secara gradual, 

tidak sekaligus. Diantara hukum Islam yang diturunkan secara gradual 

adalah shalat, pertama hanya dua waktu (Hud: 114)36 kemudian tiga 

waktu (al-Isra: 78),37 dan akhirnya lima waktu. Kemudian larangan 

riba, pertama hanya dikatakan sebagai perbuatan tercela (QS. al-Rum: 

39),38 kemudian riba yang dilarang adalah yang berlipat ganda (QS. Ali 

Imran: 130)39 terakhir dikatakan haram secara mutlak (QS. al-Baqarah: 

275, 278)40. Demikian juga dalam pelarangan minuman keras, awalnya 

hanya dikatakan bahwa madharatnya lebih besar dari manfaatnya (QS. 

al-Baqarah: 219),41 kemudian larangan untuk mendekati shalat dalam 

keadaan mabuk (QS. al-Nisa: 43),42 dan terakhir diharamkan secara 

mutlak bahkan dikatakan sebagai perbuatan syetan (al-Ma’idah : 90).43

6. Periodisasi Tarikh Tasyri’

Secara global, periodisasi tarikh tasyri’ dapat digeneralisasikan menjadi enam  

periode:

a. Periode Rasulullah atau periode masa kenabian. Periode ini juga disebut 

masa  pertumbuhan, yaitu periode pertumbuhan dan pembentukan 

hukum Islam yang disemaikan oleh Rasulullah selama 23 tahun, yakni 

dari diangkatnya Muhammad menjadi Rasul pada tahun 610 M sampai 

wafatnya pada tahun 632 M. Dalam periode ini akan dibagi menjadi dua 

bagian, yakni periode Makkah yang di jalani selama 13 tahun dan periode 

Madinah selama kurang dari 10 tahun. Ciri pokok pada masa pertama 

ini adalah bahwa wewenang tasyri pada masa itu sepenuhnya berada 

di tangan Rasulullah. Walaupun demikian, kadang-kadang terjadi juga 

ijtihad pada saat Rasulullah tidak hadir. Adanya ijtihad itu tidak berarti 

   

   

   

   

        

   

   

   

Pendahuluan 15

bahwa orang lain selain Rasulullah pada saat itu mempunyai wewenang 

tasyri’, karena kasus-kasus seperti ini merupakan kasus pengecualian 

dimana sahabat tidak bisa bertanya langsung kepada Rasulullah karena 

beliau tidak ada, sementara persoalan harus segera dijawab karena takut 

kehilangan aktualitasnya. Hasil ijtihad sahabat kedudukannya adalah 

sebagai fatwa sahabat, kecuali Rasulullah sendiri menyetujui ijtihad 

sahabat tersebut.44   

b. Periode sahabat. Periode ini disebut juga masa perkembangan. Pada 

periode ini terjadi penjelasan, pencerahan dan penyempurnaan hukum 

Islam. Periode ini berlangsung selama 90 tahun, sejak wafatnya Rasulullah 

11 H 632 M sampai akhir abad pertama hijrah 101 H/720 M. Ciri khas 

tasyri’ pada periode ini adalah ijtihad sudah mulai banyak dilakukan 

oleh para sahabat karena Rasulullah sebagai pemegang wewenang tasyri’ 

sudah meninggal dunia, hanya saja ijtihad para sahabat ini masih sangat 

terbatas pada masalah-masalah yang terjadi atau ditanyakan.45 Para 

sahabat besar seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Zaid bin Tsabit, 

Abdullah bin Mas’ud, Aisyah, atau Abu Khurairah, mereka melakukan 

ijtihad atau memberi fatwa menurut bidangnya masing-masing dan 

paling melakukan ijtihad diantara mereka adalah Umar bin Khattab.  

c. Periode tadwin/kodifikasi. Periode ini disebut masa pembuahan. 

Periode ini merupakan era keemasan hukum Islam “the golden age”  

dimana hukum Islam mulai diunifikasi (dikumpulkan) kemudian 

dikodifikasikan (dibukukan). Pionernya adalah para imam mazhab dan 

murid-muridnya. Masa keemasan ini berlangsung lebih dari 250 tahun, 

yakni dari tahun 101 – 350 H atau dari tahun 720 – 971 M. Ciri pokok 

tasyri’ pada periode ini adalah adanya peralihan sistem kekhalifahan 

yang dipilih menjadi sistem kekhalifahan keturunan. Ada dua keturunan 

yang  berkuasa, yakni Bani Umayah dan Bani Abbas. Secara politik 

ditandai oleh terbaginya Umat Islam menjadi tiga kelompok, yaitu 

Sunni, Khawarij dan Syi’ah. Banyak orang yang memeluk Islam di luar 

bangsa Arab, sehingga  menyebabkan banyak persoalan yang timbul. 

Terbaginya para ulama menjadi dua bagian, yaitu ahli ra’y atau kaum 

rasionalis dan ahli hadis. Dalam periode ini terjadi banyak periwayatan 

hadis dan banyak pemalsuan hadis. Kemudian berdirilah cabang-cabang 


Tarikh Tasyri’16

ilmu sebagai ilmu yang mandiri, seperti tafsir, hadis, fikih, ushul fiqh, 

tasawuf, dll, kemudian para ulama tampil untuk melakukan kodifikasi 

(pembukuan).

d. Periode taklid/jumud. Periode ini disebut juga masa pembekuan karena 

bekunya pemikiran hukum Islam. Masa ini juga disebut dengan masa 

statis yakni dimulai sejak tahun 351  H. Ciri pokok tasyri’ pada periode 

ini adalah menurunnya gerakan dan gairah berijtihad serta meluasnya 

roh taklid. Melemahnya kebebasan tasyri’ pada masa ini disebabkan oleh 

semakin melemahnya kebebasan berpolitik yang mengakibatkan negeri 

Islam terbecah belah  menjadi negara-negara kecil.46 

Kemudian muncul ta’ashubiyyah antar madzhab, padahal para imam 

sebelumnya saling bertoleransi. Perdebatan  dan ta’ashub semakin hangat 

bahkan memanas, sehingga timbul ide untuk menyusun ilmu tata 

debat dan diskusi agar perdebatan-perdebatan tidak mengarah pada hal 

yang negatif. Diantara tata tertib itu adalah: jangan berdebat tentang 

masalah yang belum terjadi, berdebat tidak di depan umum, berdebat 

itu hukumnya fardu kifayah oleh karena itu  apabila ada fardu kifayah 

yang lebih penting, berdebat harus ditinggalkan. Pada masa itu pula, 

lahir larangan untuk talfiq karena menganggapnya seolah-olah talfiq itu 

pindah agama. Dan diperparah dengan meluasnya penyakit dengki dan 

egoisme dikalangan ulama yang menyebabkan mereka lebih mengejar 

popularitas daripada keikhlasan prestasi.47

e. Periode tiga kerajaan besar yaitu kerajaan Turki Utsmani,  Kerajaan Safawi, 

dan kerajaan Mughal. Masa ini merupakan masa peralihan dari klasik ke 

modern. Pada masa ini mulai dirintis unifikasi dan kodifikasi hukum 

Islam, seperti yang dilakukan oleh Turki Utsmani dengan Majallat-nya.

f. Periode kebangkitan. Ciri pokoknya adalah bangkitnya hukum Islam di 

abad modern, dimana ijtihad kembali dikumandangkan, dan meluasnya 

ajakan untuk kembali ke al-Qur’an dan Sunnah. Mulai banyak negeri-

negeri Islam memerdekakan diri dari penjajahan yaitu dimulai sejak 

umat Islam dunia sadar bahwa umat Islam sangat ketinggalan dari 

barat, menyadari bahwa hukum Islam merupakan sumber hukum yang 

tidak pernah kering, dan menyadari ternyata hukum barat yang maju 

itu berasal dari hukum Islam.  Dimulai dari tahun 1924  Ada beberapa 

46  Muhammad Khudori Bek, Tarikh Tasyri Islami, 322.

47  Abdul Wahhab Khalaf, Khulashah Tarikh Tasyri’, h. 96.

Pendahuluan 17

upaya yang dilakukan oleh ulama yaitu mengajak kepada umat Islam 

untuk meninggalkan taklid buta, mempersatukan mazhab, membasmi 

bid’ah dan khurafat, dan kembali ke al-Qur’an dan sunnah. 

g. Periode Modern, yaitu ketika hukum Islam menjadi perundang-undangan 

dalam Negara Islam modern.

7. Kegunaan Mempelajari Tarikh Tasyri’

Hukum Islam (fikih) merupakan salah satu bagian dari kajian yang secara 

formal diberikan sebagai matakuliah pokok di Fakultas Syariah. Dan tarikh 

tasyri’ merupakan kajian terpenting dalam hukum Islam yang membidik 

hukum Islam dari persfektif sejarah. Maka, mata kuliah ini dirancang untuk 

memberikan pemahaman yang lebih mendalam dan komprehensif tentang 

sejarah hukum Islam  sejak awal pertumbuhan Islam di tanah Arab pada abad 

ke – 7 M. hingga perkembangan kontemporer di dunia Islam dewasa ini.

Dikarenakan mata kuliah ini berkaitan dengan perkembangan sejarah, maka 

tak pelak literatur sejarah dan pendekatan historis merupakan suatu hal yang 

niscaya. Dengan demikian, melalui mata kuliah ini, sejarah hukum Islam akan 

ditelaah dengan berbagai sudut pandang dan selalu dikaitkan dengan segi-segi 

kesejarahan, sosial, hukum, politik dan kebudayaan. Lebih dari itu, pendekatan 

historis yang digunakan dalam mata kuliah ini tidak hanya berusaha memahami 

suatu gejala secara “apa dan bagaimana”, tetapi juga menjangkau lebih jauh 

persoalan “mengapa demikian”. Oleh sebab itu, diskursus yang diharapkan 

berkembang dalam perkuliahan nantinya tidak hanya sekedar menyajikan 

fakta-fakta sejarah tentang hukum Islam, melainkan lebih jauh dari itu, sampai 

pada mencermati perubahan, kecenderungan, dan dinamika hukum Islam, serta 

faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Dalam mata kuliah Ulumul Al-Qur’an kita kenal ada kajian tentang Asbabun 

Nuzul, demikian juga dalam Ulumul Hadis kita mengenal Asbabul Wurud. 

Kedua ilmu itu menerangkan bagaimana sebab musabab turunnya ayat al-

Qur’an dan Hadis. Keduanya sangat penting karena tanpa mengetahui latar 

belakang turunnya ayat/hadis akan melahirkan pemahaman yang kurang tepat 

bahkan keliru.

Dalam hukum Islam, tanpa mengetahui latar belakang munculnya suatu 

hukum, akan melahirkan pemahaman hukum yang kurang tepat atau bahkan 

keliru. Tegasnya, setelah mempelajari mata kuliah ini diharapkan mahasiswa 

Tarikh Tasyri’18

dapat mamahami hukum Islam dari kontsruk sejarah, sehingga tidak memahami 

hukum Islam dengan apa adanya (tekstual) dan a-historis, tetapi dapat 

memahami hukum secara kontekstual. Mahasiswa juga diharapkan setelah 

mempelajari sejarah hukum Islam ini tidak terjebak pada permikiran yang 

picik, cara pandangnya  hanya hitam putih, alergi terhadap hukum yang baru 

dan berkeinginan untuk mempertahankan yang lama, atau sebaliknya alergi 

terhadap hukum lama karena sudah kuno dan mengagung-agungkan hukum 

modern. Mahasiswa yang sudah mempelajari sejarah hukum Islam harus arif,  

objektif, toleran dan rasional dan selalu berpegang pada kaidah:

“Menjaga (hukum) lama yang masih relevan dan mengambil (hukum) baru 

yang lebih baik”.48 

Dengan demikian, dalam melakukan ijtihad selalu akan melakukan ceck and 

balance,  dan melakukan langkah awal dalam mengkonstruksikan pemikiran 

ulama klasik  kemudian ditransmisikan untuk kemaslahatan manusia di masa 

kini dan akan datang.  

8. Hubungan Tarikh Tasyri’ dengan Mata Kuliah Lain

Adapun  mata kuliah yang ada hubungannya dengan mata kuliah ini  adalah: 

Metode Studi Islam (MSI), Sejarah peradaban Islam, filsafat sejarah,  Fikih, Ushul 

Fiqh, Ulumul Al-Qur’an, Ulumul Hadis, sosiologi dan antropologi hukum.

Hubungan tersebut tidak hanya bersifat normatif, tetapi lebih dari itu, 

perangkat dan matakuliah yang disebutkan di atas akan mampu memberikan 

gambaran yang jelas tentang potret masyarakat Islam dalam rentang sejarahnya. 

MSI akan bermanfaat untuk mengklasifikasikan metode dan penerapan 

teknik masing-masing kelompok yang berbeda. Sosiologi akan mampu 

menggambarkan kondisi, struktur dan hubungan sosial pada suatu masa. Pun 

demikian dengan Sejarah Peradaban Islam, akan melihat hubungan antara masa, 

sehingga menjadikan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Kesatuan tersebut 

akan bermanfaat untuk melihat proses dialektika zaman dan proses perubahan-

48  Menurut Hasanuddin AF, salah satu ciri dari metodologi yang digunakan oleh Satria Effendi M. Zein adalah peng-

gunaan konsep ini. Lihat, Hasanuddin AF, Kerangka Metodologi Buku Karya Prof. Dr. H. Satria Effendi M. Zein, MA, dalam 

Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 519.

Pendahuluan 19

perubahan sosial, politik atau pun keagamaan. Pun demikian dengan beberapa 

mata kuliah lain, yang semuanya menopang Tarikh Tasyri’, terutama untuk 

mendapatkan suatu hasil analisis yang sempurna dan obyektif.

Tarikh Tasyri’20

Kondisi Bangsa Arab 

Sebelum Islam

Bab 2

Kondisi Bangsa Arab Sebelum Islam 21

A. Kondisi Sosio-Kultural Bangsa Arab 

1. Aspek Kebangsaan 

Jazirah Arab merupakan tempat munculnya rumpun bangsa Semit.1 Semit 

dinyatakan sebagai bangsa tertua, dan kebanyakan keturunan Arab yang masih 

hidup juga berasal dari bangsa ini.2 Wilayah jazirah Arab juga tempat lahirnya 

tradisi Yahudi dan kemudian Kristen, yang secara bersama-sama membentuk 

rumpun Semit yang telah dikenal baik.3 Semit terdiri dari berbagai suku bangsa, 

yakni Arab A’robah, Arab Musta’robah dan Arab Ba’idah. Ketiga suku bangsa 

Arab tersebut adalah keturunan Nabi Ibrahim dari garis keturunan Nabi Ismail. 

Sebelum Nabi Ismail datang ke kota Makkah, sebetulnya telah ada suku asli 

penduduk Makkah yaitu suku Amaliqah dan Jurkum. Suku Amaliqah dan 

Jurkum terlibat pertempuran, sehingga suku Amaliqah tersingkir dari kota 

Makkah dan pindah ke kota Yasrib (Madinah). Setelah kedatangan Ismail ke 

Makkah, Ismail terdidik oleh lingkungan Bani Jurkum, dan selanjutnya Ismail 

sendiri menikahi perempuan Bani Jurkum. Karena kota Makkah telah menjadi 

tempat yang dipandang suci oleh segenap bangsa Arab, maka berdirilah di sana 

pemerintahan untuk melindungi jemaah-jemaah haji dan menjamin keamanan, 

keselamatan dan ketentraman mereka. Rupanya telah terjadi pembagian kerja 

antara orang-orang Jurkum dan Ismail yaitu: urusan politik dan peperangan 

dipegang oleh orang-orang Jurkum, sedangkan Ismail mencurahkan tenaganya 

untuk berkhidmat kepada Baitullah dan urusan keagamaan.4 

Disamping bangsa Arab yang bersuku-suku dan berkabilah-kabilah, ada 

bangsa lain yang tinggal di semenanjung Arab, khususnya di Madinah atau 

Yasrib5  adalah Suku Hadraz dan suku Aus6. Selain kedua suku Arab itu, ada 

juga  bangsa Yahudi dari berbagai sekte, yakni: Bani Quraidhah, Qunaiqah Bani 

1  Istilah Semit berasal dari kata “syem” yang dalam Perjanjian Lama melalui bahasa Latin dalam Vulgate. Bangsa 

Semit adalah bangsa yang mendiami wilayah Mesopotamia yang dianggap sebagai titik tolak sejarah peradaban dan 

budaya umat manusia. Orang-orang Semit berimigrasi ke wilayah Bulan Sabit Subur- wilayah Timur Tengah yang mem-

bentang dari Israel hingga teluk Persia, termasuk sungai Tigris dan Efrat di Irak – dan kemudian dikenal dengan bangsa 

Babilonia, Assyria, Phoenisia, dan Ibrani. 


Tarikh Tasyri’22

Nadhir,  Yahudi Khaibar, Yayma, dan Fadak. Bangsa Yahudi masuk ke jazirah 

Arab diperkirakan pada tahun 70 M. Mereka pindah secara besar-besaran dari 

Palestina karena melarikan diri dan takut atas ancaman dan siksaan Titus, kaisar 

Romawi yang berkuasa pada waktu itu.7 Hasil interaksi antara Yahudi dengan 

bangsa Arab menghasilkan akulturasi terutama merembesnya kebudayaan 

Yahudi kepada bangsa Arab yang pada masa itu masih rendah kebudayaannya 

dibanding Yahudi. 

Suku-suku Yahudi tersebut nantinya akan hengkang dari Madinah karena 

melanggar kesepakatan perdamaian yang tertuang dalam Piagam Madinah 

yang dibuat ketika kota Madinah berdiri. Salah satu pelanggaran yang mereka 

lakukan adalah membantu musuh-musuh Nabi dalam beberapa peperangan. 

Dari pelanggaran ini, mereka harus hengkang dari kota Madinah.

2. Kondisi Internasional 

Menjelang kedatangan Islam situasi dunia internasional diwarnai persaingan 

antara berbagai kerajaan. Di wilayah Eropa bagian barat kerajaan Roma berada 

dalam posisi lemah. Gregorius yang Agung, yang menjadi Paus di Roma, tetap 

berada di bawah kontrol dan kekuasaan kerajaan Romawi Timur yang berpusat 

di Konstantinopel. Kerajaan ini pernah menguasai Asia Kecil, Siria, Mesir, 

Eropa Tenggara, Danube, sampai ke beberapa pulau di Laut Tengah. Sementara 

saingan beratnya adalah Kerajaan Persia di bagian Timur, menguasai daerah-

daerah di Irak yang membujur ke Afghanistan dan Sungai Oxus.8 

India yang berada di wilayah Asia bagian selatan berada di  bawah kekuasaan 

Raja Harsya (606-647) penguasa terakhir kerajaan Hindu di India bagian utara, 

yang tidak dapat lagi mempertahankan kekuasaannya. Sementara kekuasaan Cina 

saat itu dalam kondisi stabil, sejak dinasti Sui melakukan konsolidasi kekuasaan, 

kemudian diteruskan oleh dinasti Tang, perkembangan ekonomi dan budaya Cina 

mengalami kemajuan.9 Pada tahun 527 Kaisar Yustinus kembali memperoleh 

kekuatan dan kepercayaan rakyat untuk mengambil alih Konstantinopel, ibu kota 

kerajaan Bizantium. Ia berhasil mempersatukan pusat-pusat kekuatan kerajaan, 

lalu merebut kembali kota-kota penting yang pernah hilang dari pangkuan 

kerajaan Bizantium. Ia kembali merebut Italia dan Afrika bagian utara. 

7  Muhammad Husein Ad-Dhahabi, al-Israiliyat fi-tafsir wal hadis, bab I majma al-buhuts al-Islamiyah Kairo

8  Lebih jelasnya lihat, Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam I. Penerjemah Mulyadi Kartanegara. (Jakarta: 

Paramadina, 2002), h. 193-195. 

9  Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 101; lihat 

pula, Marshall G.S. Hodgson, the Venture of Islam, h. 201-203.

Tarikh Tasyri’46

Periode Pertumbuhan

(Tasyri’ Pada Masa 

Rasulullah)

Bab 3

Periode Pertumbuhan (Tasyri Pada Masa Rasulullah) 47

A. Tasyri’ Pada Periode Makkah

Sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, ada beberapa proses1 yang 

beliau lalui sebagai persiapan menjadi seorang Rasul Allah. Di antara proses itu 

adalah:

1. Muhammad dilahirkan dari keturunan yang suci, baik dari jalur bapaknya, 

kakeknya dan terus ke atas  hingga jalur ibunya yang merupakan orang-

orang shaleh, yang menganut agama Ibrahim.

2. Dilahirkan dalam keluarga yang secara ekonomi tidak berkecukupan dan  

mengharuskannya hidup dalam kekurangan. Ia juga harus mengembala 

kambing dan mengurus keperluannya sendiri.

3. Dadanya dibelah oleh Malaikat untuk dibersihkan ketika beliau masih 

kecil.2

4. Tidak diasuh dalam keluarga yang lengkap. Ayahnya sudah meninggal 

ketika beliau masih dalam kandungan, ketika masih kecil sekitar umur 6 

tahun ditinggalkan ibunya. Diasuh oleh kakeknya dan tidak lama kakeknya 

meninggal kemudian diasuh pamannya Abdul Muthallib yang secara 

ekonomi tidak berkecukupan.

5. Ketika remaja tidak mengikuti pergaulan remaja pada umumnya. Ia tidak 

menggemari minuman keras dan tidak mau menyembah berhala. Ia pekerja 

keras dan konsisten dengan kejujuran.3

6. Ia tidak berkesempatan diri untuk belajar tentang ilmu pengetahuan yang 

berkembang pada waktu itu, sehingga dikatakan dia sebagai seorang yang 

”ummi” yakni orang yang tidak kenal baca tulis.

7. Menikah dengan Siti Khadijah seorang saudagar kaya. Pernikahan ini 

membawa berkah yang luar biasa bagi Muhammad seperti yang digambarkan 

dalam al-Qur’an:

1  Yang dimaksud dengan proses di sini adalah tahapan peristiwa yang tidak dibuat, dan merupakan kehendak Allah 

SWT untuk menghantarkan Muhammad menjadi Rasulullah.

2  Banyak ahli sejarah yang mencatat kejadian ini, meskipun beberapa para orientalis tidak begitu puas dengan ri-

wayat hikayat tersebut, seperti William muir dalam the Life of Mohammed, tidak menyebutkan/mengakui bahwa dua orang 

yang berjubah putih (malaikat) telah datang menghampiri Muhammad dalam pengasuhan Halimahal-Sa’diyyah. Bahkan, 

menurutnya pula, kejadian ini tak lebih menunjukkan Muhammad yang terkana penyakit ayan. Lihat, Zainal Arifin Abbas, 

Peri Kehidupan Muhammad I. (Medan: Islamiyah, 1936), cet. I, h. 261; lihat pula, Muhammad Husain Haikal, Sejarah 

Hidup Muhammad. Terj. Ali Audah. Jakarta: Tintamas, 1982, cet. VIII, h. 59. 

3  Sebagaimana diketahui bahwa Muhammad tidak pernah melakukan perbuatan buruk dari kebiasaan Arab Jahi-

liyah. Suatu malam Muhammad pernah hendak menghadiri pesta di suatu tempat, tetapi akhirnya pun ia tertidur pada 

suatu rumah dan terbangun di pagi hari ketika sengatan matahari menyinarinya. Hal yang sama juga terjadi untuk kedua 

kalinya, sehingga tak pernah lagi terbayangkan untuk melakukan setelahnya. Zainal Abidin Abbas, Peri Kehidupan Mu-

hammad I, h. 293.

Tarikh Tasyri’48

 “Bukankah Tuhan Telah menjumpai engkau seorang yang yatim piatu, lalu 

dilindungi-Nya, kemudian dijumpainya engkau didalam kebingungan, lalu 

diberikannya petunjuk, dan dijumpai-Nya engkau seorang  yang miskin, lalu 

diberi-Nya kekayaan”. (QS. al-Dhuha 6-8)

8. Setelah menikah dengan Khadijah, ia kerapkali mengasingkan diri di gua Hira4 

untuk berfikir tentang keadaan alam ini. Kontemplasi ini menyebabkan ia 

dapat berfikir lebih mendalam, dan budi pekertinya yang luhur menjadikan 

jiwanya lebih suci. Tindakan tersebut mendapat dukungan baik moral 

maupun material dari isterinya Khadijah.

Setelah proses yang panjang dan berliku, maka diangkatlah Muhammad 

sebagai Rasulullah ketika Malaikat Jibril mendatangi beliau di gua Hira pada 

malam tujuh belas bulan Ramadhan. Ayat yang pertama turun adalah surat al-

‘Alaq ayat 1-5:

“Bacalah atas nama Tuhanmu yang Telah menjadikan makhluk. Dia Telah 

menjadikan Manusia dari segumpal darah. Bacalah! Tuhanmu yang amat pemurah. 

Yang menajarkan manusia dengan pena. dia mengajarkan kepada manusia apa-

apa yang tidak diketahui”. (QS. ‘Alaq: 1-5)

Ayat ini belum menyuruh Muhammad untuk menyeru manusia kepada 

suatu Agama, dan belum pula memberitahukan kepadanya bahwa dia adalah 

utusan Allah. Akan tetapi ayat itu mengesankan sesuatu yang luar biasa, yang 

belum diketahui Muhammad.

Setelah Malaikat Jibril turun pertama kali, ia tidak datang dalam kurun 

waktu lama. Nabi sendiri menanti  kedatangannya di Gua Hira. Pada suatu 

4  Gua Hira terletak kira-kira 2 farkhah (farkhah adalah ukuran panjang lama sekitar 3,5 mil/ hampir 6 km) di sebelah 

utara Makkah. Ia terletak 20 meter di bawah puncak gunung Hira. Tempat ini sangat sunyi dan sepi dari keramaiannya 

manusia. Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, h. 85.  

Tarikh Tasyri’82

Periode Sahabat

(Masa Pengembangan)

Bab 4

Periode Sahabat (Masa Pengembangan) 83

Setelah Rasulullah wafat, maka terhentilah tasyri’ sebab wahyu sudah tidak turun lagi, demikian juga dengan Sunnah. Masa selanjutnya adalah 

periode sahabat. Periode ini merupakan periode yang sangat menarik, karena 

perkembangan hukum Islam sangat dinamis. Penyebab kedinamisannya adalah 

nash sudah tidak turun lagi, sementara persoalan-persoalan kehidupan manusia 

selalu muncul dan memerlukan jawaban hukum. Terobosan-terobosan para 

sahabat untuk menjawab persoalan zaman inilah yang menarik dan menjadi 

titik awal dari adanya perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin.

Yang dimaksud dengan sahabat adalah orang-orang Islam yang lama bergaul 

dengan Rasulullah. Definisi ini merupakan definisi umum. Ulama hadis 

memberikan definisi: orang Islam yang pernah bertemu dengan Nabi walaupun 

satu kali pertemuan.

Berita meninggalnya Muhammad betul-betul mengejutkan sahabat, bahkan 

pada awalnya Umar bin Khattab tidak percaya bahwa Muhammad meninggal. 

Pada hari meninggalnya Rasullullah, para sahabat dihadapkan pada kenyataan: 

siapa yang akan menggantikan Rasulullah setelah beliau wafat? Maka hampir 

saja terjadi pertengkaran yang hebat antara kaum Muhajirin dan Anshar, karena 

masing-masing mengklaim bahwa dari kelompok merekalah yang pantas 

menggantikan kedudukan Nabi. Perdebatan itu terjadi di Tsaqifah Bani Saidah 

yang memakan waktu selama tiga hari. Selama itu pula jenazah Rasulullah tidak 

terurus, kecuali hanya beberapa sahabat dari kalangan ahlu al-bait. Namun 

akhirnya permasalahan itu bisa dipecahkan, akibat kepandaian dan kearifan 

Umar bin Khattab yang secara demokratis memilih Abu Bakar sebagai khalifah 

pertama.1

Banyak persoalan dan kekhawatiran para sahabat yang perlu dihadapi dan 

diselesaikan oleh para sahabat, khususnya menyangkut masalah hukum, di 

antaranya:

1.  Kekhawatiran mereka akan kehilangan al-Qur’an karena banyaknya sahabat 

yang hafal al-Qur’an meninggal dunia dalam peperangan melawan orang 

murtad2, sementara tulisan al-Qur’an masih menyebar dimana-mana. Hal 

1  Beberapa tokoh teologi berpendapat bahwa peristiwa inilah benih kemunculan Syiah dalam Islam, termasuk 

ketidakmauan Fatimah mengakui kekhalifahan Abu Bakar al-Siddiq. Pun demikian dengan Ali, menurut beberapa sumber, 

Ali tidak membai’at Abu Bakar kecuali setelah meninggalnya Fatimah. Manna’ al-Qatthan, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, h. 

186; lihat pula Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam I, Penerjemah Mulyadi Kartanegara, (Jakarta: Paramadina, 

2002), cet. II, h. 286. 

2  Dalam perang Yamamah saja sekitar 1000 huffadz yang meninggal dunia

Tarikh Tasyri’84

ini dapat diatasi dengan dikodifikasikan al-Qur’an atas ide Umar bin Khattab 

yang mendesak Abu Bakar dan Zaid bin Tsabit sebagai juru tulis.3

2.  Sahabat mengkhawatirkan terjadinya ikhtilaf (perbedaan pendapat) di 

kalangan sahabat terhadap al-Qur’an sehingga dikhawatirkan al-Qur’an 

bernasib sama dengan kitab-kitab Allah sebelumnya yakni berubahnya 

Taurat, Jabur dan Injil oleh orang Yahudi dan Nasrani.

3.  Sahabat takut akan terjadi pembohongan terhadap Sunnah Rasulullah. 

Antisipasi ke arah sana sudah dilakukan sejak zaman Abu Bakar dengan 

memperketat periwayatan. Bahkan pada masa Umar bin Khattab, beliau 

sangat menyeleksi dan membatasi periwayatan hadis, bahkan mencegah 

penulisan hadis yang dilakukan oleh beberapa sahabat. Adanya pembohongan 

terhadap sunnah ini terjadi dari dua kubu, pertama dari orang Islam sendiri 

yang melakukan kesalahan atau merubah (tahnif) tanpa disengaja lalai dalam 

mentransformasikan hadis atau lupa karena sudah tua. Di kubu yang lainnya 

datang dari orang munafik yang dengan sengaja memalsukan hadis dengan 

tujuan merusak agama.

4.  Sahabat khawatir umat Islam menyimpang dari hukum Islam. 

5. Sahabat menghadapi perkembangan kehidupan yang memerlukan ketentuan 

dan jawaban terhadap syari’ah, karena Islam adalah petunjuk bagi mereka 

tetapi belum ditetapkan ketentuannya dalam al-Qur’an dan sunnah.4 

 Untuk dua hal terakhir, para sahabat menentukan langkah-langkah berijtihad 

(thuruqul ijtihad) seperti yang telah digariskan oleh Abu Bakar dan Umar 

bin Khattab yaitu: 

a.  Mencari ketentuan hukum dalam al-Qur’an,

b.  Apabila tidak ditemukan, dicari ketentuan  hukum dalam   

sunnah,

c.  Apabila tidak menemukan dalam sunnah, ditanyakan kepada para 

sahabat lain apakah Rasulullah telah memutuskan persoalan tersebut 

pada zamannya,

3  Dalam hal inilah terjadi perdebatan apakah al-Qur’an harus dibukukan atau tidak. Saat itu Abu Bakar menghubun-

gi Zaid bin Tsabit dan menyuruhnya untuk menulis al-Qur’an dan membukukannya. Sementara Zaid menjawab perintah 

ini dengan pertanyaan: “Mengapa engkau memerintahkanku untuk melakukan apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah? 

Lihat, Mausu’ah al-Islamiyyah al-Mu’ashirah,Tarikh al-Tasyri’ al-Islami: al-Tasyri’ fi ‘Ashri Kibari al-Shahabah, diakses dari 

http://www.islampedia.com/mie2/tashrii/tarmid.html.  

4  Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung Rasyda, hal 37 – 38; lihat pula Mausu’ah al-

Islamiyyah al-Mu’ashirah,Tarikh al-Tasyri’ al-Islami.

Periode Tadwin (Kodifi kasi) 99

Periode Tadwin

(Kodifi kasi)

Bab 5

Tarikh Tasyri’100

Setelah masa pemerintahan al-khulafa al-rasyidun yang menganut sistem demokratis berakhir, fase selanjutnya adalah bergantinya sistem 

pemerintahan tersebut   menjadi monarkhi yang dimulai oleh Mu’awiyyah bin 

Sufyan, mantan gubernur Damaskus, yang dipecat oleh Ali bin Abi Thalib 

melakukan pemberontakan. Pemberontakan itu dikenal dengan perang Siffin1 

yang masing-masing kubu melibatkan sahabat besar dalam dua kelompok yang 

berbeda, Aisyah, Zubair bin Awwam dan beberapa sahabat lain berpihak pada 

Mu’awiyah, sementara Abu Musa Al-Asy’ari dan sahabat lain berpihak pada Ali. 

Peperangan ini berakhir dengan tahkim. Namun, tahkim inilah yang menjadikan 

umat Islam terbagi menjadi tiga kelompok besar, yakni Syi’ah, Khawarij dan 

Murjiah, yang kemudian dikenal dengan Ahlussunnah.2

Khawarij, yang tidak setuju perang dihentikan, merencanakan pembunuhan 

terhadap Ali dan Muawiyah, karena keduanya dianggap kafir. Namun, yang 

berhasil dibunuh hanya Ali. Terbunuhnya Ali Bin Abi Thalib merupakan 

“peluang” besar untuk memperkokoh dinasti Umayyah dan merubah sistem 

pemerintahan dari sistem demokrasi ke monarki. Dan sistem monarki inipun 

diikuti oleh Syi’ah, bahkan di Syiah lebih sakral, yakni dengan memercayai 

bahwa imam itu  ma’shum  (terpelihara dari perbuatan dosa).3 Namun demikian, 

karena pertentangan politik yang begitu tajam dan dengan kemenangan 

kelompok Umayyah, sejak dinasti ini menduduki menara gading kekuasaan, 

maka sejak itu pula proses syura yang selama menjadi dasar pokok politik Islam 

mulai dihilangkan dari sejarah.4 

Di bawah ini, akan dijelaskan kondisi hukum Islam, hal yang mendorong 

berkembangnnya hukum Islam, sumber tasyri’nya, pengaruh fraksi-fraksi politik 

pada hukum sekaligus dengan mengungkap perbedaan fiqh dalam ketiga fraksi 

ini.

1  Para pemikir Islam lainnya menamai perang Siffin ini dengan “Fitnah Al-Kubro” atau fitnah besar. Dinamakan de-

mikian, karena perang itu merupakan fitnah dan akibat dari perang itu sangat dahsyat bagi perkembangan sejarah umat 

Islam selanjutnya. Perang ini memunculkan aliran-aliran politik, sosial, dan keagamaan. Lihat, Nurcholis Madjid, Islam 

Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000), cet. IV, h. 203.

2  Lihat, Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafa’ al-Rasyidin, h. 480; lihat pula Karen Armstrong, Islam: Sejarah 

Singkat. Penerjemah Fungky Kusnaendy Timur, (Yogyakarta: Jendela, 2003), cet. IV, h. 41; sebetulnya ada beberapa kel-

ompok lain yang muncul setelah peristiwa tahkim, seperti Qadariyah dan Jabariyah. Hanya saja, karena untuk diskursus 

ini penulis merasa tidak bergitu berhubungan, maka tidak diuraikan lebih lanjut. 

3  Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafa’ al-Rasyidin, h. 512.

4  Muhammad Shahrour, Tirani Islam: Genealogi Masyarakat dan Negara. Penerjemah Saifuddin Zuhri dan Badrus 

Syamsul Fata, (Yogyakarta: Elkis, 2003), h. 177.

Periode Tadwin (Kodifikasi) 101

A. Faktor yang Mendorong Perkembangan Hukum Islam

Hukum tidak berada dalam ruang kosong, selalu bersinambungan dan 

berubah sesuai dengan kondisi zaman. Dalam doktrin Islam pun dikenal kuat 

bahwa hukum selalu berubah seiring dengan perubahan ruang dan waktu (al-

hukm yataghayyaru bi taghayyuri al-amkinah wa al-azminah). Dari konsep ini 

juga dapat dipahami mengapa Imam Syafi’i merumuskan dua produk ijtihad 

yang berbeda, qaul qadim dan qaul jadid. Dalam hal ini, perkembangan hukum 

Islam pada fase kodifikasi inipun tidak luput dari pengaruh kondisi sosial budaya 

masyarakat Arab, di antaranya:

1.  Makin luasnya wilayah Islam, upaya ekspansi ini dimulai sejak zaman Umar 

bin Khattab, Mu’awiyyah, dan penerusnya sampai ke Tunisia, al-Jazair, 

Maroko sampai ke Samudera Atlantik. Penaklukan Andalusia dilakukan 

tahun 705-715 pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik. Di sebelah 

utara daerah Transoxiania (Uzbekistan), Sind, Sekitar Sungai Syir Darya, dan 

Sungai Indus menjadi batas kerajaan Islam. Perlu dicatat pula, Muawiyah 

memindahkan ibu kota dari Madinah ke Damaskus dengan alasan karena 

di Damaskuslah para pendukungnya tinggal. Orang yang masuk Islam 

meliputi bermacam bangsa dengan berbagai tradisi dan strata sosial, serta 

kepentingan yang berbeda-beda.5 

2.  Ketika menduduki suatu daerah tentu saja penduduk dari daerah yang 

ditaklukan itu ada yang belum beragama dan ada juga yang telah memeluk 

agama, kemudian secara berangsur-angsur mereka – baik yang belum 

mempunyai agama maupun yang telah beragama – banyak yang memeluk 

Islam. Dengan banyaknya penduduk yang masuk Islam, banyak persoalan-

persoalan yang timbul dan memerlukan pemecahan (jawaban). Sebagian 

dari para muallaf itu ada yang sangat serius terhadap pemikiran Islam dan 

tidak sedikit dari mereka – khususnya dari ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) 

– yang menjadi tokoh penting dalam khazanah pemikiran Islam.6

3.  Lahirnya dua madzhab pemikiran fiqh, yakni ahli hadis yang berpusat di 

Madinah dan ahli ra’yu yang berpusat di Kufah.7 Ahli Hadis adalah ulama 

yang lebih banyak menggunakan hadis dan sangat hati-hati serta selektif 

5   Philip K. Hitti, History of Arab. h. 258.

6  Menurut Hodgson, dalam kemunculan masalah-masalah praktik hukum ini, para ulama menggunakan al-Qur’an 

sebagai dasar penerapan hukum, selain juga terkadang mereka menggunakan perasaan keadilan umum atau keadilan 

sosial, terkadang juga tradisi lokal, ataupun keputusan-keputusan kaum muslim yang dihormati. Marshall G. S. Hodgson, 

The Venture of Islam II, h. 31.

7  Sebetulnya diskursus ahli hadis -  ahli ra’yu tidak melulu berdasarkan kota.

Pembentukan Mazhab dan Pembukuan Fiqh 113

Pembentukan Mazhab 

dan Pembukuan Fiqh

Bab 6

Tarikh Tasyri’114

A.  Pembentukan Mazhab Fiqh

Kemenangan Bani Abbas (Abu Abbas As-Safah) atas Bani Umayah tidak lepas 

dari peran serta dan bantuan kaum Syi’ah. Namun sayang, setelah berkuasa, Syi’ah 

dinistakan oleh Bani Abbas. Ibarat peribahasa, air susu dibalas air tuba. Syi’ah, 

yang saat memerangi bani Umayah merupakan sekutu yang paling besar jasanya 

disingkirkan dari kancah politik dan kekuasaan, bahkan dianggap musuh yang 

harus dimusnahkan setelah Abbasiyyah berhasil mengalahkan Umayyah.1

Daulat Abbasiyyah didirikan oleh Abu al-Abbas (750-754 M), dan Irak 

menjadi panggung drama besar dinasti ini. Ketika pidato pertamanya di hadapan 

umat Islam, Abu al-Abbas menyebut dirinya sebagai al-saffah (penumpah 

darah), yang kemudian menjadi pertanda buruk bagi dinasti ini, karena julukan 

tersebut mengisyaratkan lebih mengutamakan kekuasaan dalam menjalankan 

kebijakannya. Menurut Philip K. Hitti, baru pertama kali dalam sejarah 

peradaban Islam, di sisi singgasana khalifah terdapat karpet yang digunakan 

sebagai tempat eksekusi. Selain itu, dinasti ini juga menggantikan pemerintahan 

sekuler (al-mulk) Umayyah dengan negara teokrasi,2 dan bergesernya pengertian 

khalifah dari pengganti Rasulullah ketika masa khulafa’ al-rasyidin menjadi wakil 

Tuhan di bumi.3

Setelah Abu al-Abbas turun tahta, kekuasaan digantikan saudaranya al-

Manshur (754-775), yang terus melengkapi imperial absolitis Abbasiyyah.4  

Al-Manshur juga mengembangkan sistem administrasi pemerintahan, sehingga 

di sekeliling khalifah terdapat staf administrasi yang bisa ditunjuk langsung 

olehnya. Ia mengembangkan tiga biro istana, yaitu biro arsip dan persuratan, 

perpajakan, dan pengeluaran istana. Selain itu, ditunjuk pula beberapa qhadi 

dari para fuqaha’ yang bertugas untuk menerapkan hukum Islam di masyarakat. 

Dari sini pula kemudian muncul wazir yang bertugas sebagai pengontrol 

terhadap tugas-tugas birokrasi.5 Al-Manshur yang mempunyai nama Abu Ja’far 

inilah, menurut Philip K. Hitti, khalifah yang benar-benar membangun dinasti 

baru ini.6

1  Karen Amstrong, Islam: Sejarah Singkat. Penerjemah Fungky Kusnaedy Timur, (Yogyyakarta: Jendela, 2003), h. 

63.

2  Philip K. Hitti, History of Arab, h. 358.

3  Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam, h. 114.

4  Al-Manshur pula yang menumpas pemberontakan Syiah al-Nasf al-Zakiyah di Makkah. Dan menurut Marshall 

Hodgson, hal inilah yang mendorongnya untuk memberikan julukan kepada anaknya, Al-Mahdi, dengan harapan puter-

anya akan membuat kompensasi bagi cara-cara berdarah di mana sang ayah telah menegakkan kekuasaannya, tetapi 

tentu sebetulya memberikan catatan bahwa betapapun absolutisme Abbasiah merupakan hasil definitif dari harapan dan 

rencana orang-orang saleh. Marshal G. S. Hodgson, The Venture of Islam II, h. 72.

5  Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam, h. 118.

6  Philip K. Hitti, Philip K. Hitti, History of Arab, h. 360.

Pembentukan Mazhab dan Pembukuan Fiqh 115

Setelah al-Manshur mangkat dari kekuasaannya, khalifah digantikan oleh 

anaknya Al-Mahdi (775-785), yang dalam masa kekuasaannya sibuk memerangi 

pengaruh agama Mani (Manicheanisme).7 Mani sendiri mendapatkan 

momentumnya bagi anggota-anggota istana yang jenuh dengan kehidupan 

duniawi, sedangkan dalam pandangan orang-orang Islam yang canggih 

justru menimbulkan kebencian.8 Dalam hal inilah, Al-Mahdi menunjukkan 

kecenderungannya untuk memurnikan ajaran Islam dari pengaruh-pengaruh 

ajaran tersebut.

Setelah Al-Mahdi, kekuasaan dilanjutkan oleh anaknya Harun al-Rasyid, 

yang sejak awal dipercayakan pendidikannya kepada putra Khalid ibn Barmak, 

Yahya.9 Harun Al-Rasyid memerintah sejak tahun 786 sampai 809 M. Ia 

memiliki corak kepemimpinan seperti seorang raja absolut gaya lama, dan ciri 

pemerintahannya selalu mengagungkan kemewahan dan kemegahan. Khalifah 

tidak langsung mengurusi permasalahan rakyat, tetapi diserahkan kepada 

para staf kerajaan. Sementara khalifah sendiri bertugas untuk meningkatkan 

kewibawaan kerajaan, dengan memimpin shalat Jum’at atau memimpin 

peperangan. Salah satu ciri dari pemerintahan Harun al-Rasyid ini adalah para 

prajurit dan tentara tidak lagi berasal dari tentara rakyat, tetapi didominasi oleh 

orang-orang Persia.10  

Namun, salah satu sisi positif Harun al-Rasyid dan membuatnya terkenal 

sampai saat ini adalah kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan dan kesenian. 

Pada masanya tersebut terjadi kebangkitan besar dalam kebudayaan Islam: 

Kritik sastra, filsafat, puisi, kedokteran, matematika, dan astronomi. Selain itu, 

dibangun pula Baitul Hikmah, sebagai pusat ilmu pengetahuan.11 Para ulama, 

filosof pengarang dan penerjemah pun mendapat posisi yang tinggi dan digaji 

oleh kerajaan. Dalam fase ini, dilakukan penerjemahan secara besar-besaran teks 

7  Agama ini didirikan oleh Mani, yang hidup pada dua abad setelah Nabi Isa dan dianggap pengikutnya sebagai 

salah seorang Nabi. Karena itu, para pengikut Mani tidak ditolerir oleh penggikut Musa, Isa, bahkan Zoroaster. Mani bu-

kanlah agama rakyat biasa, ia seolah menjadi agama para pencari spiritual, yang meliputi banyak para intelektual, seperti 

halnya Agustinus sebagai salah satu pengikutnya. 

8  Marshal G. S. Hodgson, The Venture of Islam II, h. 75-76.

9  Khalid adalah tawanan yang ditangkap oleh Qutaibah ibn Muslim di Balkh. Ayahnya adalah seorang Barmak, 

pemimpin utama di sebuah biara Budha. Sejak awal Khalid telah mempunyai hubungan yang dekat dengan Al-Saffah, 

dan pada awal kekuasaan Abbasiyyah ia memimpin departemen keuangan (diwan al-kharraj). Meskipun bukan sebagai 

seorang wazir, pejabat yang berasal dari Persia ini seolah telah menjadi penasehat  khalifah. Philip K. Hitti, The History 

of Arab, h. 365-366. 

10  Karen Amstrong, Islam: Sejarah Singkat, h. 65; Dominasi orang-orang Persia di kerajaan tersebut tidak bisa 

dilepaskan dari keberadaan Khalid al-Barmaki sendiri, yang sejak awal berhasil mengisi posisi-posisi penting dan mem-

pengaruhi pejabat kerajaan. Bahkan, keluarga Barmak tersebut berhasil membangun satu kerajaan di sebelah Timur 

Baghdad dan hidup penuh kemewahan. Dalam hal ini, ketika dinasti Abbasiyyah merasa tersaingi, akhirnya semua ketu-

runan Barmak ini dibunuh satu persatu oleh Dinasti ini sampai tak ada satu pun keturunannya yang tersisa. Lihat, Philip 

K. Hitti, The History of Arabs, h. 367.

11  M. Natsir, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: Girimukti Pasaka, 1988), h. 55.

Tasyri’ Pada Masa Taklid dan Jumud 135

Tasyri Pada Masa Taklid 

dan Jumud

Bab 7

Tarikh Tasyri’136

Periode ini dimulai dari abad 10-11 M (310 H)

1  sejak berakhirnya kekuasaan 

Bani Abbas sampai abad ke 19. Periode ini, ditandai dengan menyebarkan 

pusat-pusat kekuasaan Islam di beberapa wilayah, sehingga umat Islam sendiri 

dapat dikatakan dalam kondisi yang lemah dan berada dalam kegetiran.2 Dalam 

kondisi tersebut, jika keadaan negara (daulah) lemah, maka akan muncul banyak 

fitnah dan mihnah, sehingga hilanglah pesaudaraan dan persatuan di kalangan 

umat Islam dan sebaliknya menjadi permusuhan.3

Pada masa ini, hukum Islam mulai mengalami stagnasi (jumud). Hukum 

Islam tidak lagi digali dari sumber utamanya (al-Qur’an dan Sunnah),  para 

ulama pada masa ini lebih banyak sekedar mengikuti dan mempelajari pikiran 

dan pendapat  dalam mazhab yang sudah ada (taqlid). Dari sini terlihat mulai 

ada kecenderungan baru, yakni mempertahankan kebenaran mazhabnya 

dengan mengabaikan mazhab lain, seolah-olah kebenaran merupakan hak 

prerogatif mazhab yang di anutnya, sehingga tak salah jika masa ini merupakan 

fase pergeseran orientasi dari al-Qur’an dan Sunnah menjadi orientasi kepada 

pendapat ulama.

Sebagaimana diketahui, pada masa abad ke IV telah terbentuk mazhab-

mazhab fiqh. Namun kecenderungan yang tidak begitu baik segar dalam 

perkembangan fiqh yakni munculnya ketergantungan kepada mazhab dan 

tumbuhnya perasaan berkecukupan secara meluas dan mendalam.4 Para ulama 

berupaya menjaga pendapat mazhab fiqhnya dengan mengembangkan pemikiran 

mazhabnya secara internal melalui pembuatan ringkasan-ringkasan (mukhtasyar) 

terhadap kitab-kitab fiqh yang terlalu tebal. Bahkan, mazhab ada yang disebut 

mukhtasyar jiddan yang merupakan ringkasan dari ringkasan. Selain itu, para 

ulama pada fase ini melakukan ulasan-ulasan dan penjelasan-penjelasan (syarah) 

serta penjelasan dari kitab yang sudah dibuat penjelasannya (khasiyyah) terhadap 

kitab-kitab fiqh yang ringkas atau kurang luas, sehingga dalam proses belajar 

fiqh menjadi  berat, yakni harus menguasai, menghafal dan menjaga seluruh isi 

kitab fiqh dan menjaga cara-cara (istinbath ahkam) yang ditempuh. Selain itu, 

aktifitas ulama juga terfokus pada pentarjihan terhadap pendapat yang berbeda-

beda dalam suatu mazhab, baik itu dari segi riwayah atau pun dirayah.5 

1  Para ahli sejarah hukum Islam menyatakan bahwa setelah tahun 310 H yakni setelah Ibn Jarir at-Thabari mening-

gal merupakan awal dari periode jumud.

2  Di Mosul dan Halb terdapat Bani Hamdan, di Yaman terdapat Syiah Zaidiyyah, Daulah al-Dailamy (Daulah Bu-

waihy) di Baghdad, Daulah Samaniyyah di Masyriq. Hudhari Bik, Tarikh tasyri’ Islamy, h. 519.

3  Ali Al-Sayyyis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 111; lihat pula, Philip K. Hitti¸The History of Arab, h. 570.

4  Nurcholis Madjid, Tradisi Syarah dan Hasyiyah dalam Fiqh dan Masalah Stagnasi Pemikiran Hukum Islam, dalam 

Budhy Munawwar Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 995), cet. II, h. 313.

5  Tarjih secara riwayat dinukilkan kepada imam-imam yang berbeda dalam satu mazhab, seperti halnya pendapat 

Tarikh Tasyri’146

Fase Transisi

Bab 8

Tarikh Tasyri’154

Masa Modern

(Mencari Relevansi 

Hukum Islam) 

Bab 9

Masa Modern (Mencari Relevansi Hukum Islam) 155

Lahirnya ide pembaharuan Islam dimulai dengan mulai sadarnya umat Islam akan  tidur panjang dan mimpi indahnya, kemudian bangun dan membenahi 

diri serta bangkit kembali menjadi suatu kekuatan yang – setidaknya – setara 

dengan kekuatan Barat. pada waktu itu, umat Islam sudah terpecah-pecah ada 

yang masih terhimpun dalam tiga kerajaan Islam, yakni Turki Utsmani, Mughol 

dan Safawi, ada yang lepas dari tiga kekuatan itu dengan mendirikan kerajaan-

kerajaan kecil, ada juga yang tidak termasuk dari dua kategori tersebut.1 

Di awal fase ini, mulai bangkit semangat kebangsaan, artinya manusia lebih 

cenderung untuk menghimpun diri dalam suatu kesatuan berdasarkan suku 

bangsa (nation state) ketimbang terhimpun dalam suatu kesatuan berdasarkan 

agama (religion state). Namun, yang menarik adalah hampir seluruh suku 

bangsa yang dijajah dan menganut agama Islam, melakukan perjuangan yang 

berbarengan untuk memperjuangkan lahirnya sebuah negara bangsa yang 

berdaulat di satu sisi, disisi lain agama juga sedang giat melakukan modernisasi.2 

Dan tidak jarang dalam proses lahirnya sebuah negara bangsa ini tampillah 

tokoh-tokoh agama sebagai pionir perjuangannya dan memakai atribut serta 

adagium agama.3 Hal ini, disebabkan karena bangsa Barat dianggap menginjak-

injak nilai kehormatan suatu bangsa yang dikuasainya dan mengusik agama 

(Islam) yang dianut oleh bangsa tersebut.

Ada dua peristiwa yang  membuat umat Islam terbangun dan bangkit, 

yakni: 

1. Perang Salib. Perang ini merupakan  peperangan yang paling banyak 

memakan waktu, biaya dan korban baik korban jiwa maupun korban 

harta. Tetapi, disamping hal yang merugikan, ada faktor positif dari Perang 

2  Di Indonesia, hal ini terjadi ketika Syarikat Islam (SI) melakukan perjuangan politik tetapi di sisi lain Muhammadi-

yyah yang diketuai oleh K.H. Ahmad Dahlan menjadi partner Cokroaminoto dalam membangun kesadaran masyarakat 

Indonesia dalam beragama. Lihat, W.F. Whertein, Indonesia Society in Transition, (The Hague – Bandung: W. van Hoeve 

Ltd, 1956), h. 205. 

3  Sekedar menyebut contoh, bahwa dalam melakukan perlawanan penjajah dan mewujudkan kemerdekaan In-

donesia, tampillah tokoh-tokoh agama yang – disamping melakukan pembaharuan terhadap agamanya- juga menjadi 

tokoh penting dalam kemerdekaan Indonesia, seperti: Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Sentot Ali 

Basya, Teuku Umar, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, H. Agus Salim, Kasman Singadimedjo, Muhammad Natsir, 

KH Abdul Halim, KH Sanusi.

Muhammad Abduh di Mesir, Muhammad Ali Jinnah di Pakistan, disamping mereka  tampil sebagai ulama yang 

melakukan pembaharuan Islam, mereka juga tampil berjuang demi tegaknya negara bangsa.

Tentang memakai atribut agama, banyak dari para pejuang yang mengusir penjajah memakai atribut jihad seperti 

perang Paderi dan Perang Aceh yang menyatakan bahwa melawan penjajah itu adalah jihad fi sabilillah, dan merupakan 

perang suci. Adapun memakai adagium agama, sekedar menyebut contoh pada peristiwa perang mempertahankan kota 

Surabaya, KH. Hasyim Asy’ari memfatwakan bahwa perang melawan penjajah adalah “jihad fisabilillah” dengan berpe-

gang pada sebuah hadis “hubbul wathan minal iiman” demikian juga Bung Tomo, untuk menyemangati Arek Suroboyo, 

ia pekikan kata “Allahu Akbar”. 

Tarikh Tasyri’156

Salib ini, yakni kedua belah pihak berupaya untuk saling mencari tahu dan 

mengenal pihak lawannya secara baik. Dan ini merupakan awal dari sebuah 

dialog.

2. Adanya ekspansi Barat ke Timur (ekspansi Bangsa Eropa ke Asia dan Afrika). 

Diketahui bahwa Barat kebanyakan menganut agama Kristen dan Timur 

kebanyakan menganut agama Islam, sehingga keduanya pun mengalami 

kontak yang tidak dapat dihindarkan. Di sisi lain, Barat adalah negara-negara 

yang telah mencapai kemodernan dan kemajuan di segala bidang, sedangkan 

Timur adalah masih tradisional dan terbelakang. Misi yang diemban Barat 

adalah melakukan tiga hal: grory4, gold5 dan gospel6.

Menghadapi  benturan dua peradaban (Islam – Kristen, Timur - Barat) ini 

lahirlah  tiga reaksi dari umat Islam, yaitu: pertama, pemahaman yang didasarkan 

pada anggapan bahwa bangsa Barat adalah bangsa yang  lebih unggul dari Islam,  

supaya Islampun unggul seperti mereka, maka  Islam perlu mencontoh Barat 

dari segala aspeknya. Salah satu yang membuat Barat maju adalah  pemisahan 

antara urusan agama dengan negara yang sering kita sebut sekularisasi. Oleh 

karena itu, kalau Islam ingin maju, maka upaya yang harus ditempuh adalah 

sekularisasi itu, dan di antara negara Islam yang melaksanakan ini adalah Turki 

di bawah kepemimpinan Kemal at-Taturk.7

Kedua, anggapan bahwa umat Islam harus yakin bahwa Islam itu agama yang 

benar tak mungkin salah dan kalah oleh yang lain. Oleh karena itu, Islam tidak 

perlu mencontoh siapapun dan bangsa manapun. Islam harus menjalankan 

apa yang sudah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya dan menjauhkan dari hal 

4  Glory (kemenangan), pada masa awalnya ekspansi Barat ke Timur, masing-masing negara di Barat sedang bersa-

ing memperebutkan daerah jajahan, diantara yang bersaing ketat itu adalah : Portugis, Portugal, Spanyol, Belanda, dan 

Ingris. Barang siapa yang banyak menaklukan daerah, dialah pemenangnnya. Untuk mendapatkan kemengangan dan 

perluasan tanah jajahan, negara-negara tersebut  melakukan beberapa upaya diantaranya membuat kapal-kapal layar 

yang besar, kuat, tangguh, dan cepat serta  melakukan ekspedisi-ekspedisi pelayaran seperti yang dilakukan Marcopolo, 

Columbia dll.  

5  Gold (emas/kekayaan). Tujuan ekspansi kemudian diteruskan imperialisasi Barat ke Timur adalah untuk mengeruk 

kekayaan yang ada di Timur, baik dari hasil bumi, terutama rempah-rempah yang dibutuhkan dan harganya cukup mahal 

di Barat maupun hasil tambang terutama emas. Dari sebuah pencarian harta karun di laut Karibia ditemukan bahwa 

sebuah kapal Portugis yang karam dan sudah terkubur lumpur lebih dari 4 abad yang  memuat  40 ton emas dengan 

berbagai bentuk, sebagian hasil rampasan dari suku Inca, salah satu suku Indian terbesar di Benua Amerika. 

6  Gospel (Gereja/Kristenisasi), misi yang lain dari Imperialisme Barat adalah menyebarkan agama Kristen. Penye-

baran agama ini bukan saja dilakukan kepada suku bangsa yang belum  menganut agama tertentu (animisme atau 

dinamisme), tetapi seringkali ditujukan untuk merubah agama lain menjadi kristen, khususnya agama Islam. Di antara 

contohnya adalah di Indonesia, Belanda berusaha untuk melakukan Kristenisasi, daerah yang berhasil dikristenkan misal-

nya Tapanuli Utara, Sulawesi Utara, Maluku dan Tanatoraja. Belanda menjadikan Umat Kristen menjadi warga kelas satu 

setara dengan mereka, tetapi untuk umat Islam mereka menjadikannya umat kelas tiga setelah kelas dua diduduki oleh 

bangsa timur Asing dan timur Jauh.


Tarikh Tasyri’178

Perjalan historis hukum Islam dimulai sejak Nabi Muhammad diutus sebagai Rasul dan diturunkannya al-Qur’an sebagai satu sumber pokok hukum 

Islam. Selain itu, Rasulullah juga menerapkan satu contoh dan praktik hukum 

Islam yang ada dalam al-Qur’an, yang terangkum dalam Sunnahnya. 

Dalam proses pembentukannya ini, hukum Islam tidak berada dalam satu 

ruang hampa dan kosong, tetapi sangat terikat dengan kondisi sosio-kultural, 

ekonomi dan faktor politik setiap zaman. Pun demikian pada masa Nabi, al-

Qur’an tersusun dari rangkaian peristiwa yang dialami olehnya atau pun para 

sahabat yang senantiasa di sampingnya. Faktor-faktor yang melingkupinya inilah 

yang membuat hukum Islam tidak bercorak monolitik, tetapi sangat plural dan 

beragam.

Setelah Rasul wafat, para sahabat melanjutkan apa yang telah dilakukan 

oleh Rasul, baik sebagai penafsir al-Qur’an, pembentuk hukum (dengan cara 

mengistintinbathkan hukum), ataupun langsung mempraktikkan dalam 

pemberian fatwa dan putusan pengadilan. Sepeninggal Rasul, dasar-dasar hukum 

Islam semakin berkembang, terutama ketika semakin meluasnya daerah-daerah 

taklukan Islam, sehingga berbaurnya kebudayaan dan kebiasaan masyarakat 

setempat. 

Dalam fase selanjutnya, hukum Islam semakin berkembang dan mengarah 

kepada pembentukan satu diskursus baru, terutama ketika semangat ijtihad 

– yang  didorong oleh kemajuan ilmu pengetahuan – semakin menyebar di 

kalangan ulama dan umat Islam. Kemajuan ini ditandai oleh kemunculan 

embrio para mujtahid yang dimulai oleh Abu Hanifah, yang hidup pada dua 

masa, Umayyah, Abbasiyyah dan Imam Malik yang tinggal di Madinah. Selain 

itu, dalam fase ini mulai dirumuskan pula pembentukan dan penyeleksian 

hadis oleh para ulama, yang dikembangkan pertama kali oleh al-Syafi’i dan 

disempurnakan oleh beberapa muhaddis setelahnya, seperti Imam al-Bukhari, 

Muslim, Abu Daud, al-Turmizi, dan al-Nasai. 

Dalam pada itu, muncullah dua aliran besar dalam sejarah hukum Islam, 

yaitu aliran yang lebih kuat memegang akal pikiran (yang disebut dengan ahl al-

ra’y) dan mereka yang berpegang pada hadis (yang disebut ahl al-hadis). Kedua 

aliran ini dielaborasi oleh imam Al-Syafi’i yang menyusun satu metodologi 

yang – disebut dengan Ushul Fiqh – menggabungkan kedua kecenderungan 

ini. Setelah kemunculan al-Syafi’ilah konsep hukum Islam semakin sempurna, 

karena ditopang dengan satu metologi yang sistematis. Dalam fase setelahnya 

Pembentukan Mazhab dan Pembukuan Fiqh 179

juga hukum Islam semakin berkembang dan mendapatkan bentuknya yang 

kemudian di kodifikasi. Selain itu, muncul pula mazhab-mazhab fiqh yang 

masing-masing memiliki pengikut, di antaranya Imam Abu Hanifah dengan 

Hanafiyyah, imam Malik dengan Malikiyyahnya, imam al-Syafi’i dengan 

Syafi’iyyahnya, dan Imam Ahmad bin Hanbal dengan Hanabilahnya. Selain 

itu, kelompok Syiah pun memiliki satu mazhab serupa, yang dikembangkan 

oleh Imam Ja’far. 

Munculnya mazhab ternyata membuat umat Islam lengah dan merasa cukup 

dengan apa yang telah diwariskan, sehingga dalam fase selanjutnya hukum 

Islam berada dalam satu fase yang vakum dan stagnan. Para ulama tidak lagi 

berlomba-lomba untuk berijtihad, akan tetapi sibuk dengan aktifitas men-syarah 

atau membuat hasyiyah terhadap karya-karya yang telah ada. Selain itu, muncul 

pula tradisi tarjih dalam fiqh. Pada saat itu pula muncul satu adagium yang 

sangat melemahkan hukum Islam, yaitu pernyataan bahwa pintu ijtihad telah 

tertutup. Fase kevakuman ini tetap berlangsung sampai pada satu masa transisi, 

sebagian ulama mulai mempersoalkan lagi apakah ijtihad diperbolehkan atau 

tidak. Barulah kemudian muncul beberapa ulama yang berhasil menghantarkan 

umat Islam menuju satu perkembangan baru hukum Islam, dengan semangat 

berijtihad. 

Pada fase modern pun, umat Islam melanjutkan proses pengembangan 

hukum Islam, terutama dengan tema dan permasalahan yang baru muncul, 

seiring dengan terbentuknya masyarakat modern (nation state). Dalam fase ini, 

umat Islam disibukkan dengan peradaban dan kebudayaan baru yang tidak 

dijumpai sebelumnya, terutama terkait dengan konstitusionalisme negara 

bangsa, seperti isu-isu negara Islam, hak asasi manusia, hak-hak perempuan, 

atau demokrasi. 

Pun demikian seperti pada masa klasik, ulama terbagi menjadi dua ketika 

menghadapi perubahan masyarakat yang begitu drastis. Masing-masing 

menyerukan untuk kembali kepada Islam, meskipun dengan pola dan metode 

yang berbeda-beda. Sebagian kelompok mendorong umat Islam untuk 

menerapkan kembali hukum Islam yang tertera dalam al-Qur’an, seperti sedia 

kala, sedangkan kelompok lain berusaha untuk mencari metode dan konsep 

baru dalam penerapan hukum Islam, mulai dari yang paling moderat sampai 

yang paling ekstrem. 

Tarikh Tasyri’180

Untuk itu, diperlukan satu kegigihan dan kesungguhan dalam merumuskan 

kembali relevansi hukum Islam untuk konteks saat ini, karena tanpa hal itu 

hukum Islam justru akan sangat ditinggalkan oleh zaman. Konsekuensinya, 

hukum Islam justru tidak akan diterapkan oleh masyarakat. Alih-alih untuk 

menjadikan Islam sebagai rahmatan lil alamin, yang mengayomi semua 

kelompok, golongan dan penganut agama, umat Islam merasa acuh dengan 

doktrin hukum Islam yang dianggap ketinggalan zaman. Dalam hal ini, tugas 

para sarjana Syariah-lah untuk membangun satu konsep pemikiran hukum Islam 

yang mapan, dengan tetap memperhatikan prinsip Syariah, tradisi masyarakat 

dan perkembangan zaman yang selalu berubah.