perjanjian lama taurat 3
Indikator pertama menjelaskan saat Yahwe mulai mengatur atau
mengorganisasikan perjalanan melintasi padang gurun menuju ke
Tanah Terjanji (Bilangan 1:1). Indikator kedua menjelaskan saat
Yahwe mengawali aksi militer. Aksi ini lantas mengantar Bangsa
Israel memasuki Tanah Terjanji (Bilangan 10:11). Kedua indikator
72
ini menjadi penjelasan waktu yang paling eksplisit dari Kitab
Bilangan terkait proses bergeraknya Bangsa Israel. Kedua
indikator itu sekaligus menjadi penanda dua bagian utama Kitab
Bilangan sebagaimana bagian terdahulu menjelaskannya.
(3) Selain membangun struktur independen secara internal dalam
Kitab Bilangan, skema Knierim ini juga mengintegrasikan Kitab
Bilangan ke dalam struktur besar Kitab Pentateukh. Kitab
Keluaran (Keluaran 40) menjelaskan bahwa Yahwe baru dapat
bersemayam atau bermukim di tengah-tengah Bangsa Israel
setelah Bangsa Israel menjadi umat-Nya secara eksklusif. Identitas
Bangsa Israel sebagai umat Yahwe secara inklusif dijelaskan
secara eksplisit oleh Kitab Kejadian (Kejadian 12-50). Sementara
itu Kitab Bilangan memberi penjelasan cara Bangsa Israel
mempersiapkan diri mereka untuk bergerak maju ke Tanah
Terjanji dalam bimbingan Yahwe sebagai Pemimpin-nya.
Berdasarkan gagasan ini bagian akhir Kitab Keluaran
mempersiapkan Kitab Imamat dan Kitab Bilangan. ‘Kemuliaan
Allah’ (kā‘bōd Yahwe) yang bersemayam di tengah-tengah
Bangsa Israel (Keluaran 40:34-35) mempersiapkan aneka macam
aturan dan hukum yang termuat dalam Kitab Imamat. Sedangkan
kehadiran awan Yahwe (‘ānan Yahweh) di atas Bangsa Israel
(Keluaran 40:36-38) mempersiapkan perjalanan melintasi padang
gurun ke Tanah Terjanji yang termuat dalam Kitab Bilangan.
Terlepas dari aneka macam alternatif struktur tersebut episode di
padang gurun menempati posisi yang luar biasa dalam Kitab Pentateukh,
terutama Kitab Bilangan. Kitab Pentateukh yang memuat 187 bab
mendedikasikan 125 bab untuk episode di padang gurun ini. Porsi besar
episode di padang gurun ini mau tidak mau menyedot perhatian pembaca.
Dari situ pula pembaca memahami bahwa episode ini sangat penting. Episode
ini merupakan tahap penting dalam kehidupan Bangsa Israel. Episode ‘Mata-
mata’ (Bilangan 13-14) menjadi narasi episode yang penting untuk diamati.
Sebagian ahli Kitab Suci menilai positif episode ini. Akan namun , sejumlah
ahli Kitab Suci lainnya menilai episode ini secara negatif. Secara khusus,
Kitab Keluaran dan Kitab Bilangan menempatkan narasi di padang gurun,
terutama narasi ’gerutuan’ sebagai gambaran kondisi sulit yang dialami
Bangsa Israel untuk membentuk sekaligus memperkuat iman mereka kepada
Allah.
73
C. RANGKUMAN
Kitab Bilangan relatif lebih relevan dan popular dibandingkan Kitab
Imamat. Sekurang-kurangnya ada empat episode narasi di dalamnya yang
akrab dengan kehidupan pembaca di zaman ini. Keempat episode narasi itu
yaitu narasi ‘Keledai Bileam’, narasi ‘Ular Tembaga’, narasi ‘Manna di
Padang Gurun’, dan narasi ‘Mata-mata di Hebron’. Para ahli Kitab Suci masih
terus mendiskusikan struktur Kitab Bilangan. Sejumlah ahli Kitab Suci
memanfaatkan informasi geografis sebagai indikatornya. Terlepas dari aneka
macam alternatif struktur tersebut episode di padang gurun menempati posisi
yang luar biasa dalam Kitab Pentateukh, terutama Kitab Bilangan. Kitab
Pentateukh yang memuat 187 bab mendedikasikan 125 bab untuk episode di
padang gurun ini. Secara khusus, Kitab Keluaran dan Kitab Bilangan
menempatkan narasi di padang gurun, terutama narasi ’gerutuan’ sebagai
gambaran kondisi sulit yang dialami Bangsa Israel untuk membentuk
sekaligus memperkuat iman mereka kepada Allah.
.
KITAB ULANGAN
Tradisi Ibrani memberi judul kepada kitab kelima atau terakhir dari
Kitab Pentateukh ini ‘debārīm’. Artinya, ‘Perkataan-perkataan’. Judul ini
merupakan petikan kata kedua ayat pertama Kitab Ulangan.
“Inilah perkataan-perkataan yang diucapkan Musa kepada seluruh
orang Israel di seberang sungai Yordan, di padang gurun, di Araba-
Yordan, di tentangan Suf, antara Paran dengan Tofel, Laban, Hazerot
dan Di-Zahab” (Ulangan 1:1).
Kitab Suci berbahasa Indonesia memberi judul kitab ini ‘Kitab
Ulangan’. Judul itu mendapat pengaruh dari Kitab Suci berbahasa Yunani dan
berbahasa Latin, yaitu ‘Deuteronómion’. Artinya, ‘Hukum Kedua’. Makna ini
75
berasal dari moment saat Musa menjelaskan kewajiban raja. Menurut Musa,
setiap raja harus memiliki ‘mišnēh hattōrā’. Artinya, ‘Salinan Hukum’.
“Apabila ia duduk di atas takhta kerajaan, maka haruslah ia
menyuruh menulis baginya salinan hukum ini menurut kitab yang ada
pada imam-imam orang Lewi” (Ulangan 17:18).
Kemungkinan besar istilah ‘salinan hukum’ mendapat pemaknaan
sebagai ‘hukum kedua’ atas alasan bahwa hukum-hukum yang diwahyukan
di Gunung Sinai merupakan ‘Hukum Pertama’ (Keluaran 20; Bilangan 10).
B.
Kitab Ulangan memiliki karakteristik seni sastra yang berbeda dari
Kitab Pentateukh lainnya. Karakteristik sastranya yaitu sastra kotbah.
Karakteristik ini memenuhi nyaris seleuruh kitab karena seluruh Kitab
Ulangan memuat kotbah pamungkas Musa di dataran Moab. Musa
menyampaikan kotbah ini di penghujung usianya. Tentu saja durasi kotbah
Musa ini dapat dibayangkan seperti durasi kotbah manusia pada umumnya.
Akan namun , Kitab Ulangan mendedikasikan 34 babnya untuk memuat kotbah
ini. Kenyataan ini menegaskan arti penting kotbah Musa itu. Dari sudut
pandang tradisi Kitab Suci, Kitab Ulangan memiliki relasi sangat erat dengan
kitab-kitab selanjutnya atau Kitab-kitab Sejarah, yaitu Kitab Yosua sampai
dengan Kitab 2Raja-raja. Tradisi Kitab Suci menyebut deretan kitab tersebut
dengan nama Kisah Sejarah Deuteronomistis (KSDtr). Nama ini sekaligus
menunjukkan relasi dan pengaruh kuat Kitab Ulangan terhadap kitab-kitab
tersebut.
Berdasarkan karakteristik sastranya, Kitab Ulangan dapat dibagi
menjadi dua. Pertama, bentuk sastra ‘Piagam Perjanjian-Vasal’. Kedua,
bentuk sastra ‘Kotbah Musa’.
1. Piagam Perjanjian-Vasal
Masyarakat Timur Tengah Kuno senantiasa merumuskan tujuan atau
cita-cita hidup mereka dengan kata ‘syalom’. Artinya, ‘kondisi damai dan
rukun’. Kondisi damai dan rukun ini meliputi relasi antar-bangsa, relasi
manusia dengan Yahwe, relasi manusia dengan manusia, antara manusia
dengan ciptaan lainnya. Secara khusus, relasi antar-bangsa menggunakan
perjanjian sebagai sarana bantu untuk mengadakan, menjamin, sekaligus
memulihkan ‘syalom’ itu.
76
Para ahli Kitab Suci berhasil menunjukkan sejumlah kesamaan
struktur dan perumusan antara piagam perjanjian-vasal dengan perjanjian
antara Yahwe dan Bangsa Israel yang kerap dijumpai pada teks-teks Kitab
Suci Perjanjian Lama, terutama Kitab Ulangan. Struktur ‘Perjanjian-Vasal’
itu yaitu sebagai berikut.
(1) Titulatur (nama gelar): “Beginilah sabda Matahari,…, Maharaja,
Pahlawan, Raja Negeri Hatti, Raja yang dikasihi Dewa Angin
Ribut”.
(2) Prolog Historis: Bagian ini memuat simpulan sejarah relasi antara
kerajaan maharaja dan kerajaan vassal. Simpulan ini juga
mencuatkan semua kebaikan dan jasa maharaja. Tujuan prolog ini
yaitu memotivasi timbulnya ungkapan terima kasih dalam hati
masyarakat kerajaan vassal sekaligus memotivasi mereka untuk
berkomitmen setia terhadap maharaja yang baik tersebut.
(3) Ketetapan-ketetapan: Bagian meliputi puluhan atau ratusan aturan,
perintah, dan larangan maharaja terhadap kerajaan vasalnya.
Aneka macam aturan itu bermaksud mengatur atau menata
bantuan militer, upeti, dan kewajiban-kewajiban kerajaan vassal
lainnya. Setiap aturan itu selalu mengawali dirinya dengan suatu
perintah umum dan mendasar.
“Engkau, …, menjadi hambaku, engkau harus bersikap setia
kepada Maharaja negeri Hatti … dan engkau juga harus
mencintai Maharaja dan Negeri Hatti, sebagaimana engkau
mencintai dirimu sendiri, isterimu, rakyatmu, dan negerimu”.
Kasih terhadap maharaja sebagai perintah utama ini lantas
diterapkan kepada sejumlah aspek atau kondisi konkret dalam
wujud aneka macam ketetapan dan peraturan.
(4) Daftar Dewa-Dewi Saksi: Usai ketetapan terdapat suatu bagian
yang memuat fungsi dewa-dewi dari kedua kerajaan yang
mengikat perjanjian itu. Fungsi para dewa-dewi itu yaitu saksi
perjanjian. Mereka menjadi saksi sumpah kerajaan vassal terkait
komitmen menaati semua peraturan yang termuat dalam piagam
tersebut.
(5) Daftar Kutuk dan Berkat: Secara terperinci dan konkret bagian ini
memuat sederetan berkat dan kutuk yang akan diterima kerajaan
vassal sebagai konsekuensi penyikapan mereka terhadap
77
perjanjian yang mengikat mereka dengan kerajaan maharaja.
Dewa-dewi saksi akan menjadi pelaksana turunnya berkat atau
kutuk tersebut.
‘Struktur Perjanjian-Vasal’ rupanya sangat menginspirasi para
penyusun Kitab Ulangan. Dengan menggunakan ‘Struktur Perjanjian-Vasal’,
para penyusun teks Ulangan 5-28 pada periode Raja Hizkia rupanya berusaha
menyusun suatu piagam perjanjian antara Yahwe dengan Bangsa Israel.
Unsur-unsur piagam perjanjian itu yaitu sebagai berikut.
(1) Sederetan kotbah yang mencuatkan beberapa peristiwa sebagai
‘prolog historis’ bersama ajakan yang sangat mendorong untuk
membuat komitmen menepati perintah utama (Ulangan 5-11).
(2) Ketetapan-ketetapan yang mengaplikasikan perintah utama dalam
kehidupan sehari-hari (Ulangan 12-26).
(3) Daftar berkat dan kutuk (Ulangan 28).
Oleh karena itu, terdapat sejumlah kesamaan antara ‘Struktur
Perjanjian-Vasal’ dengan ‘Struktur Perjanjian Yahwe-Bangsa Israel’. Selain
itu, teks-teks lainnya yang menunjukkan kesamaan struktur yaitu teks
Ulangan 4:1-40 dan teks Ulangan 29:1-30:20.
“Maka sekarang, hai orang Israel, dengarlah ketetapan dan
peraturan yang kuajarkan kepadamu untuk dilakukan, supaya kamu
hidup dan memasuki serta menduduki negeri yang diberikan
kepadamu oleh TUHAN, Allah nenek moyangmu. Janganlah kamu
menambahi apa yang kuperintahkan kepadamu dan janganlah kamu
menguranginya, dengan demikian kamu berpegang pada
perintah TUHAN, Allahmu, yang kusampaikan kepadamu. Matamu
sendiri telah melihat apa yang diperbuat TUHAN mengenai Baal-
Peor, sebab TUHAN, Allahmu, telah memunahkan dari tengah-
tengahmu semua orang yang mengikuti Baal-Peor, sedangkan kamu
sekalian yang berpaut pada TUHAN, Allahmu, masih hidup pada hari
ini. Ingatlah, aku telah mengajarkan ketetapan dan
peraturan kepadamu, seperti yang diperintahkan kepadaku oleh
TUHAN, Allahku, supaya kamu melakukan yang demikian di dalam
negeri, yang akan kamu masuki untuk mendudukinya.Lakukanlah itu
dengan setia, sebab itulah yang akan menjadi kebijaksanaanmu dan
akal budimu di mata bangsa-bangsa yang pada waktu mendengar
segala ketetapan ini akan berkata: Memang bangsa yang besar ini
78
yaitu umat yang bijaksana dan berakal budi. Sebab bangsa
besar manakah yang mempunyai allah yang demikian
dekat kepadanya seperti TUHAN, Allah kita, setiap kali kita
memanggil kepada-Nya? Dan bangsa besar manakah yang
mempunyai ketetapan dan peraturan demikian adil seperti seluruh
hukum ini, yang kubentangkan kepadamu pada hari ini? namun
waspyaitu dan berhati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan
hal-hal yang dilihat oleh matamu sendiri itu, dan supaya jangan
semuanya itu hilang dari ingatanmu seumur hidupmu.
Beritahukanlah kepada anak-anakmu dan kepada cucu
cicitmu semuanya itu, yakni hari itu saat engkau berdiri di hadapan
TUHAN, Allahmu, di Horeb, waktu TUHAN berfirman kepadaku:
Suruhlah bangsa itu berkumpul kepada-Ku, maka Aku akan memberi
mereka mendengar segala perkataan-Ku, sehingga mereka
takut kepada-Ku selama mereka hidup di muka bumi dan
mengajarkan demikian kepada anak-anak mereka. Lalu kamu
mendekat dan berdiri di kaki gunung itu, sedang gunung itu
menyala sampai ke pusar langit dalam gelap gulita, awan dan
kegelapan. Lalu berfirmanlah TUHAN kepadamu dari tengah-tengah
api; suara kata-kata kamu dengar, namun suatu rupa tidak kamu lihat,
hanya ada suara. Dan Ia memberitahukan kepadamu perjanjian, yang
diperintahkan-Nya kepadamu untuk dilakukan, yakni Kesepuluh
Firman dan Ia menuliskannya pada dua loh batu. Dan pada waktu itu
aku diperintahkan TUHAN untuk mengajarkan kepadamu ketetapan
dan peraturan, supaya kamu melakukannya di negeri, ke mana kamu
pergi untuk mendudukinya. Hati-hatilah sekali – sebab kamu tidak
melihat sesuatu rupa pada hari TUHAN berfirman kepadamu di
Horeb dari tengah-tengah api – supaya jangan kamu berlaku
busuk dengan membuat bagimu patung yang menyerupai berhala
apapun: yang berbentuk laki-laki atau perempuan; yang berbentuk
binatang yang di bumi, atau berbentuk burung bersayap yang terbang
di udara, atau berbentuk binatang yang merayap di muka bumi, atau
berbentuk ikan yang ada di dalam air di bawah bumi; dan juga supaya
jangan engkau mengarahkan matamu ke langit, sehingga apabila
engkau melihat matahari, bulan dan bintang, segenap tentara langit,
engkau disesatkan untuk sujud menyembah dan beribadah kepada
sekaliannya itu, yang justru diberikan TUHAN, Allahmu, kepada
segala bangsa di seluruh kolong langit sebagai bagian
mereka, sedangkan TUHAN telah mengambil kamu dan membawa
kamu keluar dari dapur peleburan besi, dari Mesir, untuk menjadi
79
umat milik-Nya sendiri, seperti yang terjadi sekarang ini. namun
TUHAN menjadi murka terhadap aku oleh karena kamu, dan Ia
bersumpah, bahwa aku tidak akan menyeberangi sungai Yordan dan
tidak akan masuk ke dalam negeri yang baik, yang diberikan TUHAN,
Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu. Sebab aku akan mati di
negeri ini dan tidak akan menyeberangi sungai Yordan, namun kamu
akan menyeberanginya dan menduduki negeri yang baik itu. Hati-
hatilah, supaya jangan kamu melupakan perjanjian TUHAN,
Allahmu, yang telah diikat-Nya dengan kamu dan membuat bagimu
patung yang menyerupai apapun yang oleh TUHAN, Allahmu,
dilarang kauperbuat. Sebab TUHAN, Allahmu, yaitu api yang
menghanguskan, Allah yang cemburu. Apabila kamu beranak cucu
dan kamu telah tua di negeri itu lalu kamu berlaku busuk dengan
membuat patung yang menyerupai apapun juga, dan melakukan apa
yang jahat di mata TUHAN, Allahmu, sehingga kamu menimbulkan
sakit hati-Nya, maka aku memanggil langit dan bumi menjadi
saksi terhadap kamu pada hari ini, bahwa pastilah kamu habis
binasa dengan segera dari negeri ke mana kamu menyeberangi
sungai Yordan untuk mendudukinya; tidak akan lanjut umurmu di
sana, namun pastilah kamu punah. TUHAN akan menyerakkan kamu
di antara bangsa-bangsa dan hanya dengan jumlah yang sedikit kamu
akan tinggal di antara bangsa-bangsa, ke mana TUHAN akan
menyingkirkan kamu. Maka di sana kamu akan beribadah kepada
allah, buatan tangan manusia, dari kayu dan batu, yang tidak dapat
melihat, tidak dapat mendengar, tidak dapat makan dan tidak dapat
mencium. Dan baru di sana engkau mencari TUHAN, Allahmu, dan
menemukan-Nya, asal engkau menanyakan Dia dengan segenap
hatimu dan dengan segenap jiwamu. Apabila engkau dalam keadaan
terdesak dan segala hal ini menimpa engkau di kemudian hari, maka
engkau akan kembali kepada TUHAN, Allahmu, dan mendengarkan
suara-Nya. Sebab TUHAN, Allahmu, yaitu Allah Penyayang, Ia
tidak akan meninggalkan atau memusnahkan engkau dan Ia tidak
akan melupakan perjanjian yang diikrarkan-Nya dengan sumpah
kepada nenek moyangmu. Sebab cobalah tanyakan, dari ujung langit
ke ujung langit, tentang zaman dahulu, yang ada sebelum engkau,
sejak waktu Allah menciptakan manusia di atas bumi, apakah ada
pernah terjadi sesuatu hal yang demikian besar atau apakah ada
pernah terdengar sesuatu seperti itu. Pernahkah suatu bangsa
mendengar suara ilahi, yang berbicara dari tengah-tengah api,
seperti yang kaudengar dan tetap hidup? Atau pernahkah suatu allah
80
mencoba datang untuk mengambil baginya suatu bangsa dari tengah-
tengah bangsa yang lain, dengan cobaan-cobaan, tanda-tanda serta
mujizat-mujizat dan peperangan, dengan tangan yang kuat dan
lengan yang teracung dan dengan kedahsyatan-kedahsyatan yang
besar, seperti yang dilakukan TUHAN, Allahmu, bagimu di Mesir, di
depan matamu? Engkau diberi melihatnya untuk mengetahui, bahwa
Tuhanlah Allah, tidak ada yang lain kecuali Dia. Dari langit Ia
membiarkan engkau mendengar suara-Nya untuk mengajari engkau,
di bumi Ia membiarkan engkau melihat api-Nya yang besar, dan
segala perkataan-Nya kaudengar dari tengah-tengah api. Karena Ia
mengasihi nenek moyangmu dan memilih keturunan mereka, maka Ia
sendiri telah membawa engkau keluar dari Mesir dengan kekuatan-
Nya yang besar, untuk menghalau dari hadapanmu bangsa-bangsa
yang lebih besar dan lebih kuat dari padamu, untuk membawa engkau
masuk ke dalam negeri mereka dan memberikannya kepadamu
menjadi milik pusakamu, seperti yang terjadi sekarang ini. Sebab itu
ketahuilah pada hari ini dan camkanlah, bahwa Tuhanlah Allah yang
di langit di atas dan di bumi di bawah, tidak ada yang
lain. Berpeganglah pada ketetapan dan perintah-Nya yang
kusampaikan kepadamu pada hari ini, supaya baik keadaanmu dan
keadaan anak-anakmu yang kemudian, dan supaya lanjut umurmu di
tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu untuk selamanya”
(Ulangan 4:1-40).
Secara skematis ‘Struktur Perjanjian Yahwe dengan Bangsa Israel’
yaitu sebagai berikut.
(1) Titulatur: ‘Yahwe’ atau ‘Yahwe Allahmu’
(2) Prolog Historis: Secara singkat, “Akulah Yahwe, Allahmu, yang
membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat
perbudakan”. Secara panjang lebar prolog ini memuat periode
Bapa Bangsa, perbudakan di Mesir, peristiwa keluaran, perjalanan
di padang gurun, dan pemberian Tanah Terjanji.
(3) Ketetapan-ketetapan: Ada perintah utama. Selebihnya yaitu
perintah-perintah, larangan, dan peraturan tambahan dalam wujud
kumpulan hukum (Ulangan 12-26).
“Kasihilah Yahwe, Allahmu, dengan segenap hatimu (pusat
perasaan dan pikiran) dan dengan segenap jiwamu (pusat
81
kehendak dan keinginan) dan dengan segenap kekuatanmu”
(Ulangan 6:5).
(4) Dewa-Dewi Saksi: Unsur ini tidak dapat masuk ke dalam konteks
Yahwisme. Akan namun , sejumlah bekasnya masih tampak pada
sejumlah ungkapan.
“Maka aku memanggil langit dan bumi menjadi saksi terhadap
kamu pada hari ini, bahwa pastilah kamu habis binasa dengan
segera dari negeri ke mana kamu menyeberangi sungai Yordan
untuk mendudukinya; tidak akan lanjut umurmu di sana, namun
pastilah kamu punah” (Ulangan 4:26).
“Aku memanggil langit dan bumi menjadi saksi terhadap
kamu pada hari ini: kepadamu kuperhadapkan kehidupan dan
kematian, berkat dan kutuk. Pilihlah kehidupan, supaya engkau
hidup, baik engkau maupun keturunanmu” (Ulangan 30:19).
“Pasanglah telingamu, hai langit, aku mau berbicara, dan baiklah
bumi mendengarkan ucapan mulutku” (Ulangan 32:1).
(5) Daftar Berkat dan Kutuk: Yang menjadi pelaksana turunnya berkat
atau kutuk ini bukanlah para dewa-dewi. Yahwe sendiri yang
bertindak sebagai pelaksananya. Kerap kali juga secara otomatis
Bangsa Israel langsung menempatkan dirinya pada kondisi positif
atau kondisi negatif dengan tindakan setia atau tidak setia mereka.
2. Kotbah Musa
Karakteristik bentuk sastra ‘Kotbah Musa’ memberi pengaruh lebih
besar dibandingkan bentu sastra “Piagam Perjanjian-Vasal’. Bahkan, secara
keseluruhan sebenarnya Kitab Ulangan yaitu ‘Kotbah Musa’ yang
disampaikannya di dataran Moab sebelum ia wafat.
“Di seberang sungai Yordan, di tanah Moab, mulailah Musa
menguraikan hukum Taurat ini” (Ulangan 1:5).
“Kemudian naiklah Musa dari dataran Moab ke atas gunung
Nebo, yakni ke atas puncak Pisga, yang di tentangan Yerikho, lalu
TUHAN memperlihatkan kepadanya seluruh negeri itu: daerah
Gilead sampai ke kota Dan, seluruh Naftali, tanah Efraim dan
82
Manasye, seluruh tanah Yehuda sampai laut sebelah barat, Tanah
Negeb dan lembah Yordan, lembah Yerikho, kota pohon korma itu,
sampai Zoar. Dan berfirmanlah TUHAN kepadanya: ‘Inilah negeri
yang Kujanjikan dengan sumpah kepada Abraham, Ishak dan Yakub;
demikian: Kepada keturunanmulah akan Kuberikan negeri itu. Aku
mengizinkan engkau melihatnya dengan matamu sendiri, namun
engkau tidak akan menyeberang ke sana.’ Lalu matilah Musa, hamba
TUHAN itu, di sana di tanah Moab, sesuai dengan firman TUHAN.
Dan dikuburkan-Nyalah dia di suatu lembah di tanah Moab, di
tentangan Bet-Peor, dan tidak ada orang yang tahu kuburnya sampai
hari ini. Musa berumur seratus dua puluh tahun, saat ia mati;
matanya belum kabur dan kekuatannya belum hilang. Orang Israel
menangisi Musa di dataran Moab tiga puluh hari lamanya. Maka
berakhirlah hari-hari tangis perkabungan karena Musa itu. Dan
Yosua bin Nun penuh dengan roh kebijaksanaan, sebab Musa telah
meletakkan tangannya ke atasnya. Sebab itu orang Israel
mendengarkan dia dan melakukan seperti yang diperintahkan
TUHAN kepada Musa. Seperti Musa yang dikenal TUHAN dengan
berhadapan muka, tidak ada lagi nabi yang bangkit di antara orang
Israel, dalam hal segala tanda dan mujizat, yang dilakukannya atas
perintah TUHAN di tanah Mesir terhadap Firaun dan terhadap semua
pegawainya dan seluruh negerinya, dan dalam hal segala perbuatan
kekuasaan dan segala kedahsyatan yang besar yang dilakukan Musa
di depan seluruh orang Israel” (Ulangan 34:1-12).
Kotbah panjang ini dapat dibagi menjadi empat. Masing-masing
bagian mendapat semacam judul.
(1) “Inilah perkataan-perkataan yang diucapkan Musa” (Ulangan
1:1). Judul ini membuka bagian I (Ulangan 1:2-4:43).
(2) “Inilah hukum Taurat yang dipaparkan Musa” (Ulangan 4:44).
Judul ini membuka bagian II (Ulangan 4:44-28:68).
(3) “Inilah perkataan-perkataan yang diikat Musa” (Ulangan 29:1).
Judul ini membuka bagian III (Ulangan 29:1-32:52).
(4) “Inilah berkat yang diberikan Musa” (Ulangan 33:1). Judul ini
membuka bagian IV (Ulangan 33:1-34:12).
Salah satu pengaruh bermanfaat bentuk sastra “Kotbah Musa’ ini
yaitu sifat paranetis atau ajakan dalam wujud nasihat yang termuat di
dalamnya, secara khusus dalam teks Ulangan 5-26. Karakteristik ini menjadi
83
faktor pembeda Kitab Ulangan dibandingkan aneka macam kodeks atau
aturan yang berlaku pada dunia profan saat ini. Secara khusus factor pembeda
itu dapat dilihat pada bagian kedua dari wejangan itu (Ulangan 4:44-26:68).
C. RANGKUMAN
Walaupun Kitab Ulangan terbentuk dari suatu proses yang panjang
dan rumit, visi teologisnya termasuk heterogen dan selaras. Para penyusunnya
berhasil menyusun suatu sintesis dari semua yang berharga di masa lampau,
masa kini, dan masa mendatang. Sebagai contoh, peristiwa-peristiwa
keselamatan dari masa lampau dipandang sebagai pengungkapan kasih
Yahwe dalam bagian ‘prolog historis’. Selanjutnya warisan dalam bidang tata
aturan relasi vertikal dan horizontal bersama sejumlah aturan baru terkait
pemusatan ibadat terdapat di bagian ketetapan-ketetapan (Ulangan 12-26).
Bagian ini berfungsi sebagai alternatif untuk mewujudkan secara konkret
komitmen mengasihi kembali Yahwe. Sedangkan peristiwa-peristiwa
sekarang dan masa depan mendapat penjelasan sebagai tanggapan atau reaksi
Yahwe atas sikap atau komitmen Bangsa Israel terhadap perintah utama dan
peraturan lainnya dalam wujud berkat dan kutuk (Ulangan 28).
GARIS BESAR PENTATEUKH
Kitab ‘Pentateukh’ menyajikan suatu narasi panjang dari awal dunia
sampai dengan awal Bangsa Israel. Narasi membuka dirinya sendiri dengan
narasi penciptaan Dunia. Selanjutnya kitab itu melanjutkan dirinya dengan
narasi pra-sejarah umat manusia, pembagian umat itu, dan asal-usul dari suku
bangsa di dunia. Usai mendeskripsikan manusia secara umum kitab ini
memusatkan perhatiannya kepada Abraham. Selanjutnya, perhatian terarah
kepada narasi perjalanan Bangsa Israel. Narasi itu berawal narasi perbudakan
di Mesir, narasi-narasi di padang gurun, sampai ke narasi-narasi Bangsa Israel
di Moab yang terletak di sebelah Timur Sungai Yordan.
B.
Tokoh utama dalam perjalanan panjang ini yaitu Musa. Musa
sekaligus mengantisipasi munculnya sosok nabi pada periode berikutnya.
Antisipasi itu tampak saat Allah menyisipkan atau menitipkan ke dalam
mulutnya sejumlah hukum dan peraturan selaras dengan relevansi kondisi saat
itu. Selain itu, antisipasi sosok kenabian juga tampak pada saat pemakluman
85
Musa menurut perkiraan penulis atau penyusun. Secara garis besar, seluruh
rangkaian Kitab ‘Pentateukh’ terdiri dari tujuh langkah.
(1) Narasi asal mula umat manusia (Kejadian 1-11) yang memuat
rahmat Allah, dosa, hukuman, dan pengampunan.
“Adapun seluruh bumi, satu bahasanya dan satu logatnya. Maka
berangkatlah mereka ke sebelah timur dan menjumpai tanah datar
di tanah Sinear, lalu menetaplah mereka di sana. Mereka berkata
seorang kepada yang lain: ‘Marilah kita membuat batu bata dan
membakarnya baik-baik.’ Lalu bata itulah dipakai mereka sebagai
batu dan ter gala-gala sebagai tanah liat. Juga kata mereka:
‘Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara
yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari
nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi.’ Lalu
turunlah TUHAN untuk melihat kota dan menara yang didirikan
oleh anak-anak manusia itu, dan Ia berfirman: ‘Mereka ini satu
bangsa dengan satu bahasa untuk semuanya. Ini barulah
permulaan usaha mereka; mulai dari sekarang apapun juga yang
mereka rencanakan, tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana.
Baiklah Kita turun dan mengacaubalaukan di sana bahasa
mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-
masing.’ Demikianlah mereka diserakkan TUHAN dari situ ke
seluruh bumi, dan mereka berhenti mendirikan kota itu. Itulah
sebabnya sampai sekarang nama kota itu disebut Babel, karena di
situlah dikacaubalaukan TUHAN bahasa seluruh bumi dan dari
situlah mereka diserakkan TUHAN ke seluruh bumi” (Kejadian
11:1-9).
(2) Narasi pemberian janji kepada Bapa Bangsa (Kejadian 12-50)
yang memuat panggilan Ilahi, janji dan berkat.
“Berfirmanlah TUHAN kepada Abram: ‘Pergilah dari
negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini
ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu; Aku akan membuat
engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta
membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi
berkat. Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati
engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan
olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.’ Lalu
86
pergilah Abram seperti yang difirmankan TUHAN kepadanya,
dan Lotpun ikut bersama-sama dengan dia; Abram berumur tujuh
puluh lima tahun, saat ia berangkat dari Haran. Abram
membawa Sarai, isterinya, dan Lot, anak saudaranya, dan segala
harta benda yang didapat mereka dan orang-orang yang
diperoleh mereka di Haran; mereka berangkat ke tanah
Kanaan, lalu sampai di situ. Abram berjalan melalui negeri itu
sampai ke suatu tempat dekat Sikhem, yakni pohon tarbantin di
More. Waktu itu orang Kanaan diam di negeri itu. saat itu
TUHAN menampakkan diri kepada Abram dan berfirman: ‘Aku
akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu.’ Maka
didirikannya di situ mezbah bagi TUHAN yang telah
menampakkan diri kepadanya. Kemudian ia pindah dari situ ke
pegunungan di sebelah timur Betel. Ia memasang
kemahnya dengan Betel di sebelah barat dan Ai di sebelah timur,
lalu ia mendirikan di situ mezbah bagi TUHAN dan memanggil
nama TUHAN. Sesudah itu Abram berangkat dan makin jauh ia
berjalan ke Tanah Negeb” (Kejadian 12:1-9).
(3) Narasi perbudakan di Mesir (Keluaran 1-18) yang memuat
gagasan Allah menyelamatkan Bangsa Israel dan awal
penggenapan janji Allah.
“Kedengaranlah kepada Yitro, imam di Midian, mertua Musa,
segala yang dilakukan Allah kepada Musa dan kepada Israel,
umat-Nya, yakni bahwa TUHAN telah membawa orang Israel
keluar dari Mesir. Lalu Yitro, mertua Musa, membawa serta
Zipora, isteri Musa – yang dahulu disuruh Musa pulang – dan
kedua anak laki-laki Zipora; yang seorang bernama Gersom,
sebab kata Musa: ‘Aku telah menjadi seorang pendatang di negeri
asing,’ dan yang seorang lagi bernama Eliezer, sebab katanya:
‘Allah bapaku yaitu penolongku dan telah menyelamatkan aku
dari pedang Firaun.’ saat Yitro, mertua Musa, beserta anak-
anak dan isteri Musa sampai kepadanya di padang gurun, tempat
ia berkemah dekat gunung Allah, disuruhnyalah mengatakan
kepada Musa: ‘Aku, mertuamu Yitro, datang kepadamu membawa
isterimu beserta kedua anaknya.’ Lalu keluarlah Musa
menyongsong mertuanya itu, sujudlah ia kepadanya dan
menciumnya; mereka menanyakan keselamatan masing-masing,
lalu masuk ke dalam kemah. Sesudah itu Musa menceritakan
87
kepada mertuanya segala yang dilakukan TUHAN kepada Firaun
dan kepada orang Mesir karena Israel dan segala kesusahan yang
mereka alami di jalan dan bagaimana TUHAN
menyelamatkan mereka. Bersukacitalah Yitro tentang segala
kebaikan, yang dilakukan TUHAN kepada orang Israel, bahwa Ia
telah menyelamatkan mereka dari tangan orang Mesir. Lalu kata
Yitro: ‘Terpujilah TUHAN, yang telah menyelamatkan kamu dari
tangan orang Mesir dan dari tangan Firaun. Sekarang aku tahu,
bahwa TUHAN lebih besar dari segala allah; sebab Ia telah
menyelamatkan bangsa ini dari tangan orang Mesir, karena
memang orang-orang ini telah bertindak angkuh terhadap
mereka.’ Dan Yitro, mertua Musa, mempersembahkan korban
bakaran dan beberapa korban sembelihan bagi Allah; lalu Harun
dan semua tua-tua Israel datang untuk makan bersama-sama
dengan mertua Musa di hadapan Allah” (Keluaran 18:1-13).
(4) Narasi keluaran dari Mesir (Keluaran 19-24; Imamat 1-10;
Bilangan 1-10) yang memuat ikatan perjanjian Allah dengan
Bangsa Israel.
“Lalu Allah mengucapkan segala firman ini: ‘Akulah TUHAN,
Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari
tempat perbudakan. Jangan ada padamu allah lain di hadapan-
Ku. Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai
apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di
bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud
menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku,
TUHAN, Allahmu, yaitu Allah yang cemburu, yang
membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada
keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang
membenci Aku, namun Aku menunjukkan kasih setia kepada
beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan yang
berpegang pada perintah-perintah-Ku. Jangan menyebut nama
TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan, sebab TUHAN akan
memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan
sembarangan. Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: enam hari
lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala
pekerjaanmu, namun hari ketujuh yaitu hari Sabat TUHAN,
Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau
anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-
88
laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing
yang di tempat kediamanmu. Sebab enam hari lamanya TUHAN
menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia
berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN memberkati
hari Sabat dan menguduskannya. Hormatilah ayahmu dan
ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN,
Allahmu, kepadamu. Jangan membunuh. Jangan
berzinah. Jangan mencuri. Jangan mengucapkan saksi
dusta tentang sesamamu. Jangan mengingini rumah sesamamu;
jangan mengingini isterinya, atau hambanya laki-laki, atau
hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau
apapun yang dipunyai sesamamu’” (Keluaran 20:1-17).
“TUHAN berfirman kepada Musa: ‘Apabila seseorang berubah
setia dan tidak sengaja berbuat dosa dalam sesuatu hal kudus
yang dipersembahkan kepada TUHAN, maka haruslah ia
mempersembahkan kepada TUHAN sebagai tebusan salahnya
seekor domba jantan yang tidak bercela dari kambing domba,
dinilai menurut syikal perak, yakni menurut syikal kudus, menjadi
korban penebus salah. Hal kudus yang menyebabkan orang itu
berdosa, haruslah dibayar gantinya dengan menambah
seperlima, lalu menyerahkannya kepada imam. Imam harus
mengadakan pendamaian bagi orang itu dengan domba jantan
korban penebus salah itu, sehingga ia menerima
pengampunan. Jikalau seseorang berbuat dosa dengan
melakukan salah satu hal yang dilarang TUHAN tanpa
mengetahuinya, maka ia bersalah dan harus
menanggung kesalahannya sendiri. Haruslah ia membawa
kepada imam seekor domba jantan yang tidak bercela dari
kambing domba, yang sudah dinilai, sebagai korban penebus
salah. Imam itu haruslah mengadakan pendamaian bagi orang itu
karena perbuatan yang tidak disengajanya dan yang tidak
diketahuinya itu, sehingga ia menerima pengampunan. Itulah
korban penebus salah; orang itu sungguh bersalah terhadap
TUHAN’” (Imamat 5:14-19).
“TUHAN berfirman kepada Musa: ‘Berbicaralah kepada orang
Israel: Apabila seseorang, laki-laki atau perempuan, melakukan
sesuatu dosa terhadap sesamanya manusia, dan oleh karena itu
berubah setia terhadap TUHAN, sehingga orang itu menjadi
89
bersalah, maka haruslah ia mengakui dosa yang telah
dilakukannya itu; kemudian membayar tebusan sepenuhnya
dengan menambah seperlima, lalu menyerahkannya kepada orang
terhadap siapa ia bersalah. namun apabila orang itu tidak ada
kaumnya, kepada siapa dapat dibayar tebusan salah itu, maka
tebusan salah yang harus dibayar itu menjadi kepunyaan TUHAN,
dan yaitu bagian imam, belum terhitung domba
jantan pendamaian yang dipakai untuk mengadakan pendamaian
bagi orang itu. Dari persembahan-persembahan kudus yang
disampaikan orang Israel kepada imam, persembahan khususnya
yaitu bagian imam. Sedang persembahan-persembahan kudus
yang dibawa oleh seseorang yaitu bagian orang itu sendiri;
hanya apa yang diserahkannya kepada seorang imam yaitu
bagian imam itu’” (Bilangan 5:5-10).
(5) Narasi perjalanan di padang gurun (Bilangan 11-36) yang memuat
Allah memimpin Bangsa Israel dan menghukum beberapa praksis
ketidaksetiaan Bangsa Israel.
“Pada suatu kali bangsa itu bersungut-sungut di hadapan TUHAN
tentang nasib buruk mereka, dan saat TUHAN mendengarnya
bangkitlah murka-Nya, kemudian menyalalah api TUHAN di
antara mereka dan merajalela di tepi tempat perkemahan. Lalu
berteriaklah bangsa itu kepada Musa, dan Musa berdoa kepada
TUHAN; maka padamlah api itu. Sebab itu orang menamai
tempat itu Tabera, karena telah menyala api TUHAN di antara
mereka” (Bilangan 11:1-3).
“TUHAN berfirman kepada Musa: ‘Naiklah ke
gunung Abarim ini, dan pandanglah negeri yang Kuberikan
kepada orang Israel. Sesudah engkau memandangnya, maka
engkaupun juga akan dikumpulkan kepada kaum leluhurmu, sama
seperti Harun, abangmu, dahulu. Karena pada waktu
pembantahan umat itu di padang gurun Zin, kamu berdua telah
memberontak terhadap titah-Ku untuk menyatakan kekudusan-
Ku di depan mata mereka dengan air itu.’ Itulah mata air
Meriba dekat Kadesh di padang gurun Zin. Lalu berkatalah Musa
kepada TUHAN: ‘Biarlah TUHAN, Allah dari roh segala
makhluk, mengangkat atas umat ini seorang yang mengepalai
mereka waktu keluar dan masuk, dan membawa mereka keluar
90
dan masuk, supaya umat TUHAN jangan hendaknya seperti
domba-domba yang tidak mempunyai gembala.’ Lalu TUHAN
berfirman kepada Musa: ‘Ambillah Yosua bin Nun, seorang yang
penuh roh, letakkanlah tanganmu atasnya, suruhlah ia berdiri di
depan imam Eleazar dan di depan segenap umat, lalu berikanlah
kepadanya perintahmu di depan mata mereka itu dan berilah dia
sebagian dari kewibawaanmu, supaya segenap umat Israel
mendengarkan dia. Ia harus berdiri di depan imam Eleazar,
supaya Eleazar menanyakan keputusan Urim bagi dia di hadapan
TUHAN; atas titahnya mereka akan keluar dan atas titahnya
mereka akan masuk, ia beserta semua orang Israel, segenap umat
itu.’ Maka Musa melakukan seperti yang diperintahkan TUHAN
kepadanya. Ia memanggil Yosua dan menyuruh dia berdiri di
depan imam Eleazar dan di depan segenap umat itu, lalu ia
meletakkan tangannya atas Yosua dan memberikan kepadanya
perintahnya, seperti yang difirmankan TUHAN dengan
perantaraan Musa” (Bilangan 27:12-23).
(6) Narasi perjanjian di Gunung Sinai (Ulangan 1-34) yang memuat
peringatan terakhir kepada Musa supaya menaati perjanjian
supaya tidak kehilangan Tanah Terjanji.
“‘Inilah perintah, yakni ketetapan dan peraturan, yang aku
ajarkan kepadamu atas perintah TUHAN, Allahmu, untuk
dilakukan di negeri, ke mana kamu pergi untuk mendudukinya,
supaya seumur hidupmu engkau dan anak cucumu takut akan
TUHAN, Allahmu, dan berpegang pada segala ketetapan dan
perintah-Nya yang kusampaikan kepadamu, dan supaya lanjut
umurmu. Maka dengarlah, hai orang Israel! Lakukanlah itu
dengan setia, supaya baik keadaanmu, dan supaya kamu menjadi
sangat banyak, seperti yang dijanjikan TUHAN, Allah nenek
moyangmu, kepadamu di suatu negeri yang berlimpah-limpah
susu dan madunya. Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah
kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan
segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap
kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini
haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya
berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya
apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam
perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau
91
bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda
pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan
haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan
pada pintu gerbangmu. Maka apabila TUHAN, Allahmu, telah
membawa engkau masuk ke negeri yang dijanjikan-Nya dengan
sumpah kepada nenek moyangmu, yakni Abraham, Ishak dan
Yakub, untuk memberikannya kepadamu – kota-kota yang besar
dan baik, yang tidak kaudirikan; rumah-rumah, penuh berisi
berbagai-bagai barang baik, yang tidak kauisi; sumur-sumur yang
tidak kaugali; kebun-kebun anggur dan kebun-kebun zaitun, yang
tidak kautanami--dan apabila engkau sudah makan dan menjadi
kenyang, maka berhati-hatilah, supaya jangan engkau
melupakan TUHAN, yang telah membawa kamu keluar dari tanah
Mesir, dari rumah perbudakan. Engkau harus takut akan
TUHAN, Allahmu; kepada Dia haruslah engkau beribadah dan
demi nama-Nya haruslah engkau bersumpah. Janganlah kamu
mengikuti allah lain, dari antara allah bangsa-bangsa
sekelilingmu, sebab TUHAN, Allahmu, yaitu Allah yang
cemburu di tengah-tengahmu, supaya jangan bangkit murka
TUHAN, Allahmu, terhadap engkau, sehingga Ia memunahkan
engkau dari muka bumi. Janganlah kamu mencobai TUHAN,
Allahmu, seperti kamu mencobai Dia di Masa. Haruslah kamu
berpegang pada perintah, peringatan dan ketetapan TUHAN,
Allahmu, yang diperintahkan-Nya kepadamu; haruslah engkau
melakukan apa yang benar dan baik di mata TUHAN, supaya baik
keadaanmu dan engkau memasuki dan menduduki negeri yang
baik, yang dijanjikan TUHAN dengan sumpah kepada nenek
moyangmu, dengan mengusir semua musuhmu dari hadapanmu,
seperti yang difirmankan TUHAN. Apabila di kemudian hari
anakmu bertanya kepadamu: Apakah peringatan, ketetapan dan
peraturan itu, yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN Allah
kita? maka haruslah engkau menjawab anakmu itu: Kita dahulu
yaitu budak Firaun di Mesir, namun TUHAN membawa kita
keluar dari Mesir dengan tangan yang kuat. TUHAN membuat
tanda-tanda dan mujizat-mujizat, yang besar dan yang
mencelakakan, terhadap Mesir, terhadap Firaun dan seisi
rumahnya, di depan mata kita; namun kita dibawa-Nya keluar dari
sana, supaya kita dapat dibawa-Nya masuk untuk memberikan
kepada kita negeri yang telah dijanjikan-Nya dengan sumpah
kepada nenek moyang kita. TUHAN, Allah kita, memerintahkan
92
kepada kita untuk melakukan segala ketetapan itu dan untuk takut
akan TUHAN, Allah kita, supaya senantiasa baik keadaan kita dan
supaya Ia membiarkan kita hidup, seperti sekarang ini. Dan kita
akan menjadi benar, apabila kita melakukan segenap perintah itu
dengan setia di hadapan TUHAN, Allah kita, seperti yang
diperintahkan-Nya kepada kita’” (Ulangan 6:1-25).
(7) Narasi pengintaian Tanah Terjanji
“TUHAN berfirman kepada Musa: ‘Suruhlah beberapa orang
mengintai tanah Kanaan, yang akan Kuberikan kepada orang
Israel; dari setiap suku nenek moyang mereka haruslah kausuruh
seorang, semuanya pemimpin-pemimpin di antara mereka.’ Lalu
Musa menyuruh mereka dari padang gurun Paran, sesuai dengan
titah TUHAN; semua orang itu yaitu kepala-kepala di antara
orang Israel. Dan inilah nama-nama mereka: Dari suku Ruben:
Syamua bin Zakur; dari suku Simeon: Safat bin Hori; dari suku
Yehuda: Kaleb bin Yefune; dari suku Isakhar: Yigal bin Yusuf;
dari suku Efraim: Hosea bin Nun; dari suku Benyamin: Palti bin
Rafu; dari suku Zebulon: Gadiel bin Sodi; dari suku Yusuf, yakni
dari suku Manasye: Gadi bin Susi; dari suku Dan: Amiel bin
Gemali; dari suku Asyer: Setur bin Mikhael; dari suku Naftali:
Nahbi bin Wofsi; dari suku Gad: Guel bin Makhi. Itulah nama
orang-orang yang disuruh Musa untuk mengintai negeri itu; dan
Musa menamai Hosea bin Nun itu Yosua. Maka Musa menyuruh
mereka untuk mengintai tanah Kanaan, katanya kepada mereka:
‘Pergilah dari sini ke Tanah Negeb dan naiklah ke pegunungan,
dan amat-amatilah bagaimana keadaan negeri itu, apakah bangsa
yang mendiaminya kuat atau lemah, apakah mereka sedikit atau
banyak; dan bagaimana negeri yang didiaminya, apakah baik
atau buruk, bagaimana kota-kota yang didiaminya, apakah
mereka diam di tempat-tempat yang terbuka atau di tempat-tempat
yang berkubu, dan bagaimana tanah itu, apakah gemuk atau
kurus, apakah ada di sana pohon-pohonan atau tidak.
Tabahkanlah hatimu dan bawalah sedikit dari hasil negeri itu.’
Waktu itu ialah musim hulu hasil anggur. Mereka pergi ke sana,
lalu mengintai negeri itu mulai dari padang gurun Zin sampai ke
Rehob, ke jalan yang menuju ke Hamat. Mereka berjalan melalui
Tanah Negeb, lalu sampai ke Hebron; di sana ada Ahiman, Sesai
dan Talmai, keturunan Enak. Hebron didirikan tujuh tahun lebih
93
dahulu dari Soan di Mesir. saat mereka sampai ke lembah
Eskol, dipotong merekalah di sana suatu cabang dengan setandan
buah anggurnya, lalu berdualah mereka menggandarnya; juga
mereka membawa beberapa buah delima dan buah ara. Tempat
itu dinamai orang lembah Eskol, karena tandan buah anggur yang
dipotong orang Israel di sana. Sesudah lewat empat puluh
hari pulanglah mereka dari pengintaian negeri itu, dan langsung
datang kepada Musa, Harun dan segenap umat Israel di
Kadesh, di padang gurun Paran. Mereka membawa pulang kabar
kepada keduanya dan kepada segenap umat itu dan
memperlihatkan kepada sekaliannya hasil negeri itu. Mereka
menceritakan kepadanya: ‘Kami sudah masuk ke negeri, ke mana
kausuruh kami, dan memang negeri itu berlimpah-limpah susu
dan madunya, dan inilah hasilnya. Hanya, bangsa yang diam di
negeri itu kuat-kuat dan kota-kotanya berkubu dan sangat
besar, juga keturunan Enak telah kami lihat di sana. Orang
Amalek diam di Tanah Negeb, orang Het, orang Yebus dan orang
Amori diam di pegunungan, orang Kanaan diam sepanjang laut
dan sepanjang tepi sungai Yordan.’ Kemudian Kaleb mencoba
menenteramkan hati bangsa itu di hadapan Musa, katanya:
‘Tidak! Kita akan maju dan menduduki negeri itu, sebab kita pasti
akan mengalahkannya!’ namun orang-orang yang pergi ke sana
bersama-sama dengan dia berkata: ‘Kita tidak dapat maju
menyerang bangsa itu, karena mereka lebih kuat dari pada
kita.’ Juga mereka menyampaikan kepada orang Israel kabar
busuk tentang negeri yang diintai mereka, dengan berkata:
‘Negeri yang telah kami lalui untuk diintai yaitu suatu negeri
yang memakan penduduknya, dan semua orang yang kami lihat di
sana yaitu orang-orang yang tinggi-tinggi perawakannya. Juga
kami lihat di sana orang-orang raksasa, orang Enak yang berasal
dari orang-orang raksasa, dan kami lihat diri kami seperti
belalang, dan demikian juga mereka terhadap kami’” (Bilangan
13:1-33).
Ketujuh langkah narasi itu mengungkapkan dengan jelas bahwa
seluruh Kitab ‘Pentateukh’ terarah kepada pendudukan dan pemilikan Tanah
Terjanji. Orientasi Ini baru akan muncul dalam wujud narasi-narasi pada
Kitab-kitab Sejarah, yaitu Kitab Yosua, Kitab Hakim-hakim, Kitab Samuel,
dan Kitab Raja-raja.
94
Semua peristiwa yang terwujud dalam narasi pada Kitab ‘Pentateukh’
merupakan narasi pengalaman iman Bangsa Israel selama kurun waktu tujuh
abad (1800-1200 sM). Pengalaman iman ini berawal dari narasi peristiwa
panggilan Abraham (1800 sM) dan berakhir dengan narasi peristiwa kematian
Musa (1200 sM). Di antara peristiwa-peristiwa sejarah itu, yang paling
penting yaitu peristiwa keluaran dari Mesir atau ‘Eksodus’ (1250 sM). Titik
awal narasi sejarah Bangsa Israel berawal dari peristiwa yang tidak mungkin
terlupakan itu, yaitu pembebasan dari perbudakan di Mesir.
“TUHAN akan membawa engkau kembali ke Mesir dengan kapal,
melalui jalan yang telah Kukatakan kepadamu: Engkau tidak akan
melihatnya lagi, dan di sana kamu akan menawarkan diri kepada
musuhmu sebagai budak lelaki dan budak perempuan, namun tidak ada
pembeli” (Ulangan 28:68).
“Mereka mencintai korban sembelihan; mereka mempersembahkan
daging dan memakannya; namun TUHAN tidak berkenan kepada
mereka. Sekarang Ia akan mengingat kesalahan mereka dan akan
menghukum dosa mereka; mereka harus kembali ke Mesir!” (Hosea
8:13).
“saat Israel masih muda, Kukasihi dia, dan dari Mesir Kupanggil
anak-Ku itu. Mereka harus kembali ke tanah Mesir, dan Asyur akan
menjadi raja mereka, sebab mereka menolak untuk bertobat” (Hosea
11:1.5).
Oleh karena itu, semua Orang Israel harus mengenangkan dan
memperingati peristiwa bersejarah dalam konteks iman mereka ini. Mereka
harus menjadikan peristiwa tersebut sebagai semacam pengakuan iman turun-
temurun.
C. RANGKUMAN
Berbasiskan penjelasan pada bagian-bagian terdahulu menjadi jelas
bahwa Kitab ‘Pentateukh’ merupakan rangkaian Kitab Sejarah Iman Bangsa
Israel. Di dalamnya terdapat narasi yang memuat sejumlah peristiwa yang
sungguh-sungguh terjadi bersama dengan tafsirannya. Menjadi jelas pula
bahwa yang narasi-narasi tersebut bukanlah khayalan atau rekayasa karena
peristiwa-peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi. Akan namun , narasi-narasi itu
juga bukan laporan pandangan mata belaka. Alasannya, narasi-narasi itu
sudah memuat tafsiran atas peristiwa-peristiwa nyata tersebut.
SABAT SEBAGAI PERLINDUNGAN MAKHLUK CIPTAAN YANG
LEMAH
Istilah ‘Sabat’ berasal dari akar kata Bahasa Ibrani ‘syabât’ atau
‘syabbât’. Artinya, ‘berhenti’ atau ‘melepaskan’. Tradisi dan budaya Yahudi
menetapkan bahwa satu dari tujuh hari harus diperhatikan sekaligus
diperuntukkan secara khusus sebagai hari suci bagi Yahwe (Kejadian 2:1-4a).
Dari alasan yang dikemukakan untuk mengkhususkan Sabat dalam Dasa
Firman Allah atau biasa disebut dengan Sepuluh Hukum Taurat itu, diketahui
bahwa Yahwe sendirilah yang menetapkan istirahat Sabat itu saat penciptaan.
Oleh karena itu, Sabat menjadi bagian inti sekaligus tidak terpisahkan dari tata
tertib penciptaan (Kejadian 20:8-11).
B.
Ditinjau dari sudut pandang skematis, perikop Kejadian 2:1-4a
menjadi semacam simpulan narasi penciptaan secara keseluruhan. Sekaligus,
97
teks Kejadian 2:1 menjadi penutup bagian pertama kisah penciptaan
(Kejadian1:1-2:1).
“Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum
berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan
Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air.
Berfirmanlah Allah: ‘Jadilah terang.’ Lalu terang itu jadi. Allah
melihat bahwa terang itu baik, lalu dipisahkan-Nyalah terang itu dari
gelap. Dan Allah menamai terang itu siang, dan gelap itu malam.
Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari
pertama. Berfirmanlah Allah: ‘Jadilah cakrawala di tengah segala
air untuk memisahkan air dari air.’ Maka Allah menjadikan
cakrawala dan Ia memisahkan air yang ada di bawah cakrawala itu
dari air yang ada di atasnya. Dan jadilah demikian. Lalu Allah
menamai cakrawala itu langit. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah
hari kedua. Berfirmanlah Allah: ‘Hendaklah segala air yang di bawah
langit berkumpul pada satu tempat, sehingga kelihatan yang kering.’
Dan jadilah demikian. Lalu Allah menamai yang kering itu darat, dan
kumpulan air itu dinamai-Nya laut. Allah melihat bahwa semuanya
itu baik. Berfirmanlah Allah: ‘Hendaklah tanah menumbuhkan tunas-
tunas muda, tumbuh-tumbuhan yang berbiji, segala jenis pohon buah-
buahan yang menghasilkan buah yang berbiji, supaya ada tumbuh-
tumbuhan di bumi.’ Dan jadilah demikian. Tanah itu menumbuhkan
tunas-tunas muda, segala jenis tumbuh-tumbuhan yang berbiji dan
segala jenis pohon-pohonan yang menghasilkan buah yang berbiji.
Allah melihat bahwa semuanya itu baik. Jadilah petang dan jadilah
pagi, itulah hari ketiga. Berfirmanlah Allah: ‘Jadilah benda-benda
penerang pada cakrawala untuk memisahkan siang dari malam.
Biarlah benda-benda penerang itu menjadi tanda yang
menunjukkan masa-masa yang tetap dan hari-hari dan tahun-
tahun, dan sebagai penerang pada cakrawala biarlah benda-benda
itu menerangi bumi.’ Dan jadilah demikian. Maka Allah menjadikan
kedua benda penerang yang besar itu, yakni yang lebih besar untuk
menguasai siang dan yang lebih kecil untuk menguasai malam, dan
menjadikan juga bintang-bintang. Allah menaruh semuanya itu di
cakrawala untuk menerangi bumi, dan untuk menguasai siang dan
malam, dan untuk memisahkan terang dari gelap. Allah melihat
bahwa semuanya itu baik. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari
keempat. Berfirmanlah Allah: ‘Hendaklah dalam air berkeriapan
makhluk yang hidup, dan hendaklah burung beterbangan di atas bumi
98
melintasi cakrawala.’ Maka Allah menciptakan binatang-binatang
laut yang besar dan segala jenis makhluk hidup yang bergerak, yang
berkeriapan dalam air, dan segala jenis burung yang bersayap. Allah
melihat bahwa semuanya itu baik. Lalu Allah memberkati
semuanya itu, firman-Nya: ‘Berkembangbiaklah dan bertambah
banyaklah serta penuhilah air dalam laut, dan hendaklah burung-
burung di bumi bertambah banyak.’ Jadilah petang dan jadilah
pagi, itulah hari kelima. Berfirmanlah Allah: ‘Hendaklah bumi
mengeluarkan segala jenis makhluk yang hidup, ternak dan binatang
melata dan segala jenis binatang liar.’ Dan jadilah demikian. Allah
menjadikan segala jenis binatang liar dan segala jenis ternak dan
segala jenis binatang melata di muka bumi. Allah melihat bahwa
semuanya itu baik. Berfirmanlah Allah: ‘Baiklah Kita menjadikan
manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka
berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas
ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang
merayap di bumi.’ Maka Allah menciptakan manusia itu menurut
gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki
dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka,
lalu Allah berfirman kepada mereka: ‘Beranakcuculah dan
bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu,
berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan
atas segala binatang yang merayap di bumi.’ Berfirmanlah Allah:
‘Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang
berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya
berbiji; itulah akan menjadi makananmu. namun kepada segala
binatang di bumi dan segala burung di udara dan segala yang
merayap di bumi, yang bernyawa, Kuberikan segala tumbuh-
tumbuhan hijau menjadi makanannya.’ Dan jadilah demikian. Maka
Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat
baik. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari keenam.
Demikianlah diselesaikan langit dan bumi dan segala isinya. saat
Allah pada hari ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuat-
Nya itu, berhentilah Ia pada hari ketujuh dari segala pekerjaan yang
telah dibuat-Nya itu. Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan
menguduskannya, karena pada hari itulah Ia berhenti dari segala
pekerjaan penciptaan yang telah dibuat-Nya itu. Demikianlah
riwayat langit dan bumi pada waktu diciptakan” (Kejadian 1:1-2:4a).
99
Pada bagian terakhir bagian pertama narasi penciptaan itu disebutkan
bahwa pada hari keenam langit dan bumi serta segala isinya telah diciptakan.
Semuanya dinilai sungguh amat baik (Kejadian 1:31). Selanjutnya disebutkan
pada teks Kejadian 2:2-3 bahwa Allah berhenti dari segala pekerjaan-Nya
pada hari ketujuh. Ia kemudian memberkati serta menguduskan hari ketujuh
itu. Hari ketujuh ini menjadi istimewa karena hari tersebut bukanlah hasil
kedatangan petang dan pagi seperti hari-hari sebelumya (Kejadian
1:5.8.13.19.23.31). Hari ketujuh merupakan kelanjutan sekaligus puncak
keenam hari sebelumnya. Hari ketujuh bukanlah hari kerja. Hari ketujuh
yaitu hari berkat dan kudus. Hari ini merupakan milik khusus Allah yang
harus dihormati manusia dan ciptaan lain.
“Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: enam hari lamanya engkau
akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, namun hari ketujuh
yaitu hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu
pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan,
atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu
atau orang asing yang di tempat kediamanmu. Sebab enam hari
lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya,
dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN
memberkati hari Sabat dan menguduskannya” (Keluaran 20:8-11).
Simpulan bagian pertama narasi penciptaan itu ditutup teks Kejadian
2:4a. Teks ayat itu menjadi penutup seluruh narasi penciptaan (Kejadian 1:1-
2:4a) sekaligus merupakan inklusi dari teks Kejadian 1:1. Dengan kata lain,
bersama dengan bagian paling awal dari Kitab Suci itu, teks Kejadian 2:4a
menjadi sebuah bingkai yang kokoh bagi lukisan indah narasi penciptaan alam
semesta. Teks Kejadian 1:1 mengungkapkan bahwa pada mulanya Allah
menciptakan langit dan bumi. Sedangkan teks Kejadian 2:4a mengungkapkan
kondisi akhir riwayat langit dan bumi pada waktu diciptakan. Menjadi jelas
bahwa narasi penciptaan itu dibingkai secara kokoh dan indah oleh proses
transformasi langit dan bumi sebelum dan sesudah karya penciptaan Allah,
yaitu dari ‘chaos’ (tidak teratur) menjadi ‘cosmos’ (tertata-teratur). Setelah
segalanya tertata-teratur diperlukan saat untuk menikmati sekaligus
mengevaluasinya sembari beristirahat.
Sebenarnya jika diperhatikan secara lebih saksama, dalam peristiwa
penciptaan, kata ‘Sabat’ tidak muncul. Akan namun , akar kata dari mana
perkataan itu dijabarkan, diketemukan (Kejadian 2:2). Dalam teks tersebut
disebutkan bahwa karya penciptaan berlangsung selama enam hari. Pada hari
ketujuh Yahwe beristirahat (harafiah: ‘berhenti’) dari pekerjaan-Nya.
100
Ungkapan tersebut menimbulkan perbedaan antara enam hari kerja dengan
satu hari istirahat. Hal ini benar, walaupun seturut teks sebenarnya enam hari
kerja itu dipahami sebagai jangka waktu yang lebih panjang dari 24 jam.
Bahasanya yaitu bahasa manusiawi, karena Yahwe bukanlah Pekerja yang
lelah. Yahwe tidak memerlukan istirahat. Akan namun , maksudnya lebih dari
itu. Pola istirahat setelah sekian hari bekerja itu ditetapkan supaya diikuti dan
ditaati manusia.
Teks Keluaran 20:11 dengan sangat jelas menyatakan bahwa setelah
enam hari lamanya menciptakan langit dan bumi, laut dan segala isinya,
Yahwe ‘beristirahat’ pada hari ketujuh. Dalam Bahasa Ibrani kata
‘beristirahat’ itu yaitu ‘wayyanakh’. Sedangkan teks Keluaran 31:17
mengemukakan bahwa Yahwe berhenti dari pekerjaan-Nya dan ‘disegarkan’.
Dalam Bahasa Ibrani kata itu yaitu ‘wayyinnafasy’.
“Antara Aku dan orang Israel maka inilah suatu peringatan untuk
selama-lamanya, sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan
langit dan bumi, dan pada hari yang ketujuh Ia berhenti bekerja untuk
beristirahat” (Keluaran 31:17).
Bahasa yang digunakan sengaja bernada keras, supaya manusia
mengerti kepentingan memandang Sabat sebagai hari di mana Allah sendiri
beristirahat dari pekerjaannya sehari-hari.
Dalam teks Kejadian 2:2-3 diungkapkan bagaimana Allah beristirahat
dalam narasi penciptaan dunia. Setelah enam hari bekerja menciptakan
seluruh alam ini, pada hari yang ketujuh Allah beristirahat. Tentu yang
dimaksudkan dalam teks itu bukan istirahatnya yang penting. Jika dilihat
secara lebih saksama, istirahat yang dimaksud yaitu untuk bermenung dan
mengambil makna atas liburan atau istirahat dari dinamika kerja yang biasa.
Dalam teks tersebut dapat dilihat bahwa waktu senggang dan istirahat
merupakan bagian integral dari proses kerja. Allah beristirahat bukan hanya
pada hari terakhir. Allah beristirahat dengan mengambil waktu jeda di antara
setiap hari penciptaan. Pada akhir setiap hari, Allah beristirahat guna menutup
aktivitas partikular hari itu. Dengan demikian, istirahat yaitu bagian dari
proses kerja. Waktu istirahat itu tentu baik karena Allah sendiri menjalaninya.
Rupa-rupanya pergantian enam hari kerja dengan satu hari istirahat
sangat cocok dengan keperluan bekerja dan besarnya tenaga manusia.
Peraturan itu sendiri sudah sangat kuno dan bukanlah suatu perkara yang sama
sekali baru. Yang baru yaitu motivasi yang diberikan dalam Firman ketiga.
Manusia mempunyai hak atas istirahat. Allah bermaksud menjamin hak itu.
Ia menjamin bahwa sesama tidak boleh digunakan sebagai alat teknik, sampai
101
ia usang dan layak dibuang sebagaimana manusia membuang sandal jepit
yang sudah rusak atau piranti lainnya yang sudah tidak sanggup beroperasi
dengan baik. Manusia tidak pantas ditindas sebagai benda saja. Sabat berarti
bahwa orang harus hidup menurut peri kemanusiaannya. Peri kemanusiaan
menyadarkan manusia bahwa dirinya yaitu makhluk yang terbatas. Ia tidak
mungkin bekerja secara terus-menerus. Kesadaran ini memberikan tempat
pada gagasan Sabat sebagai perlindungan bagi makhluk ciptaan yang lemah.
Yang dimaksud lemah di sini bukanlah cacat atau tidak berdaya sama
sekali. Lemah yang dimaksud di sini yaitu terbatas. Oleh karena terbatas,
manusia membutuhkan waktu untuk memulihkan dirinya supaya sanggup
mengembalikan keterbatasannya dengan istirahat sehingga sanggup bekerja
kembali pada hari-hari berikutnya. Kesadaran akan keterbatasan diri dan
perlunya waktu untuk pemulihan juga meluas ke luar diri manusia. Tidak
hanya manusia yang terbatas. Aneka macam faktor penunjang kerjanya juga
terbatas dan membutuhkan waktu pemulihan. Di sinilah Sabat sebagai
perlindungan bagi mereka yang lemah juga menjangkau rekan-rekan kerja
manusia, baik sesama manusia sendiri, maupun hewan, atau alat-alat produksi
lainnya (Keluaran 20:10).
Sabat yaitu perlindungan dalam makna kesempatan untuk merawat
dan menata diri untuk membenahi keterbatasan diri sehingga sanggup
menjalani dinamika kerja secara efektif pada hari-hari kerja. Istirahat Sabat
sebagai perlindungan dan pembebasan bagi makhluk ciptaan yang lemah ini
berpuncak pada Tahun Sabat atau Tahun Yobel. Pada saat yang jatuh pada
tahun kelimapuluh itu dimaklumkan kebebasan untuk segenap penduduk
Bangsa Israel atau umat manusia pada umumnya.
“TUHAN berfirman kepada Musa di gunung Sinai: ‘Berbicaralah
kepada orang Israel dan katakan kepada mereka: Apabila kamu telah
masuk ke negeri yang akan Kuberikan kepadamu, maka tanah itu
harus mendapat perhentian sebagai sabat bagi TUHAN. Enam tahun
lamanya engkau harus menaburi ladangmu, dan enam tahun lamanya
engkau harus merantingi kebun anggurmu dan mengumpulkan hasil
tanah itu, namun pada tahun yang ketujuh haruslah ada bagi tanah itu
suatu sabat, masa perhentian penuh, suatu sabat bagi TUHAN.
Ladangmu janganlah kautaburi dan kebun anggurmu janganlah
kaurantingi. Dan apa yang tumbuh sendiri dari penuaianmu itu,
janganlah kautuai dan buah anggur dari pokok anggurmu yang tidak
dirantingi, janganlah kaupetik. Tahun itu harus menjadi tahun
perhentian penuh bagi tanah itu. Hasil tanah selama sabat itu
haruslah menjadi makanan bagimu, yakni bagimu sendiri, bagi
102
budakmu laki-laki, bagi budakmu perempuan, bagi orang upahan dan
bagi orang asing di antaramu, yang semuanya tinggal padamu. Juga
bagi ternakmu, dan bagi binatang liar yang ada di tanahmu, segala
hasil tanah itu menjadi makanannya. Selanjutnya engkau harus
menghitung tujuh tahun sabat, yakni tujuh kali tujuh tahun; sehingga
masa tujuh tahun sabat itu sama dengan empat puluh sembilan tahun.
Lalu engkau harus memperdengarkan bunyi sangkakala di mana-
mana dalam bulan yang ketujuh pada tanggal sepuluh bulan itu; pada
hari raya Pendamaian kamu harus memperdengarkan bunyi
sangkakala itu di mana-mana di seluruh negerimu” (Imamat 25:1-10).
Gagasan Sabat sebagai momentum pembebasan ini juga yang
digaungkan Paus Fransiskus dalam ‘Ensiklik Laudato Sì’ (Paus Fransiskus,
2015:45).
Dengan melihat kembali pada pola kerja Allah, narasi penciptaan
menunjukkan bahwa manusia harus percaya kepada Allah yang menciptakan
segala sesuatu dengan baik. Manusia harus percaya bahwa dirinya menerima
anugerah-Nya dalam iman. Manusia harus percaya bahwa usaha memang
perlu. Akan namun , usaha itu barulah benar-benar berhasil jika manusia tidak
merasa bahwa usahanya sudah cukup untuk menjadi bahagia (Kiswara,
1988:49) untuk dirinya sendiri. Bahagia itu harus berlaku juga untuk semua
yang terlibat dalam proses kerjanya. Manusia bertanggung jawab bersama
dengan seluruh masyarakat untuk membangun dunia, membangun
masyarakat, dan menguasai alam tanpa merusakkannya. Tanggung jawab
bersama itu dimungkinkan untuk dilaksanakan jika ada waktu-waktu khusus
untuk istirahat, bermenung, dan mereguk makna kerja itu.
Para Bijak Bestari juga menegaskan pentingnya pemahaman dan
penghayatan atas karakteristik setiap kesempatan dan waktu dalam hidup
manusia. Kitab Pengkotbah mengungkapkan bahwa untuk segala sesuatu, ada
waktunya. Ada waktu untuk membuang dan ada waktu untuk menyimpan.
Ada waktu untuk berbicara. Ada waktu untuk diam. Jika ungkapan tersebut
diperluas, dapat juga direfleksikan, ada waktu untuk bekerja. Ada waktu juga
untuk liburan. Ada waktu untuk berkarya. Ada juga waktu untuk istirahat.
“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit
ada waktunya. Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal,
ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam;
ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada
waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun; ada waktu
untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap;
103
ada waktu untuk menari; ada waktu untuk membuang batu, ada waktu
untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu
untuk menahan diri dari memeluk; ada waktu untuk mencari, ada
waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada
waktu untuk membuang; ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk
menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara;
ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu
untuk perang, ada waktu untuk damai. Apakah untung pekerja dari
yang dikerjakannya dengan berjerih payah? Aku telah melihat
pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk
melelahkan dirinya. Ia membuat segala sesuatu indah pada
waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka.
namun manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan
Allah dari awal sampai akhir. Aku tahu bahwa untuk mereka tak ada
yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati kesenangan
dalam hidup mereka. Dan bahwa setiap orang dapat makan,
minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu
juga yaitu pemberian Allah” (Pengkotbah 3:1-13).
Sebenarnya juga sangat jelas jika Orang Yahudi, lebih-lebih Orang-
orang Farisi terkait sikap tertib dalam memaknai Sabat ini. Sebagai hal yang
khas di kalangan Bangsa Yahudi, yang asal-usulnya sebelum masa Musa,
perintah istirahat pada hari ketujuh ini terkait erat dengan irama suci pekan
dan bulan. Istirahat hari Sabat itu berlatarbelakang dua motivasi.
(1) Motivasi manusiawi yang membutuhkan istirahat, terutama
manusia yang berstatus budak.
“Enam harilah lamanya engkau melakukan pekerjaanmu, namun
pada hari ketujuh haruslah engkau berhenti, supaya lembu dan
keledaimu tidak bekerja dan supaya anak budakmu perempuan
dan orang asing melepaskan lelah” (Keluaran 23:12).
“namun hari ketujuh yaitu hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka
jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-
laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau
hambamu perempuan, atau lembumu, atau keledaimu, atau
hewanmu yang manapun, atau orang asing yang di tempat
kediamanmu, supaya hambamu laki-laki dan hambamu
perempuan berhenti seperti engkau juga. Sebab haruslah
104
kauingat, bahwa engkaupun dahulu budak di tanah Mesir dan
engkau dibawa keluar dari sana oleh TUHAN, Allahmu dengan
tangan yang kuat dan lengan yang teracung; itulah sebabnya
TUHAN, Allahmu, memerintahkan engkau merayakan hari Sabat”
(Ulangan 5:14-15).
(2) Motivasi meniru pola irama Allah yang beristirahat usai mencipta.
“saat Allah pada hari ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan
yang dibuat-Nya itu, berhentilah Ia pada hari ketujuh dari segala
pekerjaan yang telah dibuat-Nya itu. Lalu Allah memberkati hari
ketujuh itu dan menguduskannya, karena pada hari itulah Ia
berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah dibuat-Nya
itu” (Kejadian 2:2-3).
“Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi,
laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah
sebabnya TUHAN memberkati hari Sabat dan menguduskannya”
(Keluaran 20:11).
“Antara Aku dan orang Israel maka inilah suatu peringatan untuk
selama-lamanya, sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan
langit dan bumi, dan pada hari yang ketujuh Ia berhenti bekerja
untuk beristirahat” (Keluaran 31:17).
Memelihara hari Sabat bermakna sama dengan menunjukkan
kesetiaan kepada Allah sekaligus perlindungan bagi makhluk ciptaan yang
lemah.
C. RANGKUMAN
Istilah ‘Sabat’ datang dari akar kata ‘syabât’. Artinya, ‘berhenti’ atau
‘melepaskan’. Tradisi dan budaya Yahudi menetapkan bahwa satu dari tujuh
hari harus diperhatikan sekaligus diperuntukkan secara khusus sebagai hari
suci bagi Yahwe. Dari alasan yang dikemukakan untuk mengkhususkan Sabat
dalam Dasa Firman Allah atau biasa disebut dengan Sepuluh Hukum Taurat
itu, diketahui bahwa Yahwe sendirilah yang menetapkan istirahat Sabat itu
saat penciptaan. Oleh karena itu, Sabat menjadi bagian inti sekaligus tidak
terpisahkan dari tata tertib penciptaan. Dengan melihat kembali pada pola
kerja Allah, narasi penciptaan menunjukkan bahwa manusia harus percaya
kepada Allah yang menciptakan segala sesuatu dengan baik. Manusia harus
105
percaya bahwa dirinya menerima anugerah-Nya dalam iman. Manusia harus
percaya bahwa usaha memang perlu. Akan namun , usaha itu barulah benar-
benar berhasil jika manusia tidak merasa bahwa usahanya sudah cukup untuk
menjadi bahagia. Memelihara hari Sabat bermakna sama dengan
menunjukkan kesetiaan kepada Allah sekaligus perlindungan bagi makhluk
ciptaan yang lemah.
MANUSIA SEBAGAI MITRA SEJATI
Kesadaran diri sebagai mitra atau partner sesamanya di dalam
peziarahan dunia ini tidak datang begitu saja. Jauh sebelum itu Kitab Suci
Perjanjian Lama telah memberi dasar yang kokoh bagi konsep sekaligus
kesadaran manusia sebagai mitra bagi sesamanya itu. Salah satu episode
narasi yang menjadi dasar bagi konsep mitra bagi sesama dalam kesadaran
diri manusia itu yaitu narasi Penciptaan Manusia dan Manusia Perempuan
dalam episode berikut ini.
“TUHAN Allah berfirman: ‘Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri
saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan
dia.’ Lalu TUHAN Allah membentuk dari tanah segala binatang
hutan dan segala burung di udara. Dibawa-Nyalah semuanya kepada
manusia itu untuk melihat, bagaimana ia menamainya; dan seperti
nama yang diberikan manusia itu kepada tiap-tiap makhluk yang
hidup, demikianlah nanti nama makhluk itu. Manusia itu memberi
nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan
107
kepada segala binatang hutan, namun baginya sendiri ia tidak
menjumpai penolong yang sepadan dengan dia. Lalu TUHAN Allah
membuat manusia itu tidur nyenyak; saat ia tidur, TUHAN Allah
mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu
dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari
manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya
kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: ‘Inilah dia, tulang
dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan,
sebab ia diambil dari laki-laki.’ Sebab itu seorang laki-laki akan
meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya,
sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kejadian 2:18-24).
Dalam sejumlah kesempatan, episode narasi ini kerap digunakan
untuk kepentingan menjelaskan relasi antara suami dan istri dalam ikatan
perkawinan Katolik. Tentu saja penggunaan semacam itu tidak perlu
dipermasalahkan. Alasannya, dari episode narasi ini didapatkan jejak paling
awal adanya manusia laki-laki dan manusia perempuan yang dalam
perkembangannya akan saling terikat satu dengan yang lain dalam biduk
perkawinan. Sekali lagi, sebenarnya episode narasi ini tidak harus dipandang
sebagai yang khusus berbicara tentang hidup perkawinan kendati pola
pasangan suami-istri dipergunakan penyusun episode n
.png)
