perjanjian lama taurat 4
arasi ini untuk
membicarakan hidup bersama. Bagian ini menggunakan sekaligus memaknai
episode narasi ini dalam kaitan dengan kesadaran hakiki manusia sebagai
mitra bagi sesamanya. Selain itu, bagian ini juga mendiskusikan cara manusia
memahami secara praktis yang harus dilakukannya.
B.
Episode narasi ini membuka dirinya dengan semacam otokritik atau
evaluasi Allah terhadap karya-Nya sendiri. Yang menjadi bahan kritik yaitu
manusia. Pada episode narasi penciptaan manusia versi Tradisi Priesterkodex
Allah menyebut manusia sebagai ciptaan yang menurut gambar-Nya.
“Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut
gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan
perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kejadian 1:27).
Selanjutnya, guna mengafirmasi bahwa manusia yaitu ciptaan yang
paling sempurna di antara makhluk ciptaan lainnya, Allah mengungkapkan
rasa puas-Nya. Ungkapan kepuasan Allah itu tampak dari ungkapan bahwa
pada hari itu segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik.
108
“Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat
baik. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari keenam” (Kejadian
1:31).
Sebenarnya dua teks tersebut sudah sangat jelas mengungkapkan
sekaligus menegaskan bahwa manusia sebagai ciptaan Allah yaitu yang
paling sempurna. Akan namun , rupa-rupanya masih saja di dalam ciptaan yang
paling sempurna itu Allah menemukan adanya kekurangan. Supaya tetap
menjadi ciptaan yang paling sempurna, ‘terpaksa’ Allah berupaya untuk
memperbaiki manusia. Oleh karena itu, muncullah ungkapan evaluatif
sekaligus korektif dari Allah atas manusia.
“Tidak baik kalau manuaia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan
penolong baginya” (Kejadian 2:18).
Teks itu menjelaskan bahwa letak ketidak-sempurnaan manusia itu
bukan pada keberadaannya sebagai makhluk ciptaan yang paling sempurna.
Yang membuat Allah melihat manusia kurang sempurna yaitu sifat
singularitas atau ketunggalannya di antara alam semesta yang telah
diciptakan-Nya terlebih dahulu. Artinya, jika makhluk yang paling sempurna
itu menjalani hidupnya sendiri, kesempurnaannya itu tidak akan nampak. Ia
membutuhkan penolong untuk mengungkapkan atau memunculkan
kesempurnaannya itu.
Segera Allah bertindak. Saat bertindak, Allah tidak mengubah atau
mengutak-utik wujud manusia itu lagi seperti karyawan pabrik yang berusaha
memperbaiki barang yang dianggap cacat produksi. Allah berusaha
melengkapi manusia dengan ciptaan yang lain. Gagasannya, kesempurnaan
manusia harus diungkapkan. Untuk mengungkapkannya, dibutuhkan makhluk
ciptaan yang lain. Selanjutnya, seperti halnya manusia yang berasal dari tanah,
Allah membentuk segala macam makhluk hidup. Segala jenis hewan darat
dan burung-burung yang beterbangan di udara diciptakan Allah melalui
proses mencipta dan membentuk.
“Lalu TUHAN Allah membentuk dari tanah segala binatang
hutan dan segala burung di udara. Dibawa-Nyalah semuanya kepada
manusia itu untuk melihat, bagaimana ia menamainya; dan seperti
nama yang diberikan manusia itu kepada tiap-tiap makhluk yang
hidup, demikianlah nanti nama makhluk itu” (Kejadian 2:19).
109
Semua hewan di darat dan burung di udara itu disediakan Allah untuk
manusia supaya menjadi penolong bagi manusia. Akan namun , rupanya kali ini
pun usaha Allah tidak berhasil atau gagal, walaupun tidak sampai gagal total.
Segala bentuk hewan itu memang menolong manusia. Akan namun , aneka
macam hewan itu bukanlah penolong-penolong yang sepadan. Mereka
bukanlah mitra. Yang terjadi, manusia tidak sanggup berdiri sejajar dengan
hewan-hewan itu. Manusia justru menguasainya. Kapasitas menguasai ini
ditunjukkan dengan ungkapan ‘menamai’. Dalam kosa kata a la Kitab Suci
Perjanjian Lama ungkapan ‘menamai’ mengandung konotasi ‘menguasai’.
Gagasan penolong yang dimaksudkan Allah tak berhasil terwujud. Tidak
terjadi kesejajaran antara manusia dengan hewan-hewan itu.
Akibatnya, manusia tetap mengalami masalah. Hakikatnya sebagai
ciptaan yang paling sempurna tidak tertandingi makhluk yang lain. Masih ada
yang kurang dari hewan-hewan itu, yaitu kesetaraan atau posisi sederajat
dengan manusia. Hanya kesetaraan inilah yang dapat menolong manusia.
Guna melukiskan masalah yang dialami manusia, episode lantas mengisahkan
secara jelas suatu pengalaman dalam hidup manusia. Pengalaman itu terwujud
dalam perasaan sepi. Rasa sepi itu muncul justru karena ia berbeda dari
macam-macam makhluk ciptaan yang lain.
“...namun baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan
dengan dia” (Kejadian 2:20b).
Oleh karena masih saja bermasalah, tugas Allah dalam proses
mencipta dan membentuk belumlah usai. Allah masih harus memutar otak
mencari solusi supaya manusia benar-benar tertolong. Allah tidak
memerlukan waktu lama untuk menemukan solusinya. Episode segera
berlanjut. Penyusun episode narasi ini melukiskan secara sangat
anthropomorfistik, strategi Allah mengusahakan penolong yang sepadan
dengan manusia. Kali ini Allah menyadari bahwa yang harus menjadi
penolong manusia bukanlah ‘apa’, melainkan ‘siapa’. Artinya, diperlukan
makhluk yang ‘sama’ seperti manusia supaya sungguh-sungguh dapat
menjadi mitra atau penolong yang sepadan dan setara.
Segera Allah membentuk penolong yang sepadan itu dari diri manusia
sendiri. Artinya, penolong yang sepadan itu harus berasal dari diri manusia
sendiri sehingga ada kondisi sebangun dan seukuran. Sepadan atau kesetaraan
itu mensyaratkan terwujudnya kecocokan relasi antara manusia dengan
penolongnya itu. Episode narasi melukiskan proses mencipta itu.
110
“TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; saat ia tidur
TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk daripadanya, lalu menutup
tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah
dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-
Nya kepada manusia” (Kejadian 2:21-22).
Yang dipakai untuk membangun atau menciptakan penolong itu
yaitu tulang rusuk. Tulang rusuk ini melambangkan adanya kesetaraan.
Allah memang sengaja mengusahakan kesetaraan supaya manusia sungguh
akhirnya mendapatkan penolong yang sepadan atau setara. Istilah penolong
yang sepadan ini selanjutnya akan berwujud manusia perempuan atau istri.
Akan namun , akan segera terlihat bahwa istilah ‘istri’ di sini sama sekali tidak
bernuansa romantis sebagai separuh jiwa seorang laki-laki. Istilah ‘istri’ di
sini lebih menunjuk pada makna penolong (‘ēzer). Makna kata ‘ēzer ini sering
diterjemahkan sebagai ‘helpmate’. Yang dimaksudkan yaitu pasangan hidup
yang berperan sebagai penolong atau pembantu (von Rad, 1972:82).
Selanjutnya episode narasi mengisahkan manusia memberi komentar
atau menanggapi, sekaligus memberi penilaian terhadap sosok ciptaan baru
itu.
“Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia
dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki” (Kejadian 2:23).
Kata dalam Bahasa Ibrani yang digunakan untuk perempuan yaitu
’iššāh. Kata ini juga mengandung arti ‘istri’. Sebagai catatan, kata dalam
Bahasa Ibrani untuk laki-laki yaitu ’iš. Kata ini juga memuat makna ‘suami’.
Saat disuarakan dalam aksen aslinya, kedua kata ini sangat mirip bunyinya.
Sebagai pembanding dapat dipikirkan ‘man’ dan ‘woman’ dalam Bahasa
Inggris. Dalam Bahasa Indonesia dapat dibayangkan ungkapan ‘putra’ dan
‘putri’. Kemiripan bunyi ini sekaligus menunjukkan keintiman relasi yang
terjadi pada manusia laki-laki dan manusia perempuan ini (Wolff, 1996:94).
Keintiman atau keakraban ini akan menjadi modal dasar pada proses tolong-
menolong sebagai mitra dalam perjalanan hidup laki-laki dan perempuan,
terutama sebagai pasangan suami-istri.
Alur narasi selanjutnya menampilkan suatu narasi asal-usul sesuatu
atau etiologi. Sebenarnya narasi berkarakter etiologis ini tidak langsung
terkait dengan situasi atau konteks penciptaan penolong yang sepadan ini.
Penulis episode narasi ini menghubungkannya dengan narasi sebelumnya
secara agak artifisial. Yang menarik, di sini penulis tidak menggunakan kata
‘manusia’ (’ādām) seperti sebelum dan sesudahnya. Pada episode narasi ini
111
penulis menggunakan ungkapan ’laki-laki’ (’iš). Kata ‘daging’ (bāśār) yang
digunakan pada episode narasi ini menunjuk pada manusia secara utuh. Yang
dimaksud manusia secara utuh yaitu manusia yang mencakup tubuh,
perasaan, keinginan, kebisaan, dan aspek-aspek diri lainnya.
Dengan ungkapan manusia seutuhnya itu, penulis episode ini
bermaksud mengungkapkan gagasan bahwa kenyataan dasariah atau hakiki
manusia yaitu seorang makhluk yang dapat, bahkan harus berbagi hidup
dengan sesamanya. Di dalam kehidupannya, secara hakiki manusia harus
menjadi mitra bagi sesamanya. Oleh karena itu, manusia tidak pernah dapat
hidup sendiri. Sekali lagi, sebenarnya tidak perlu episode narasi ini dipandang
sebagai bagian yang khusus berbicara tentang hidup perkawinan atau
hubungan suami-istri kendati pola pasangan suami-istri dipergunakan
pengarang untuk membicarakan hidup bersama.
C. RANGKUMAN
Gagasan manusia sebagai mitra bagi sesamanya sudah terungkap
dalam narasi ‘Penciptaan Manusia Laki-laki dan Manusia Perempuan’.
Selanjutnya, manusia sebenarnya tinggal mengeksplorasi kenyataan
hakikinya itu dalam relasi dengan sesamanya dalam komunitas. Guna
mewujudkan relasi dengan sesamanya dalam komunitas sebagai suatu upaya
membangun relasi atau kerja sama sebagai sesama mitra, sangat dibutuhkan
komunikasi. Istilah komunikasi merupakan bentuk jadian dari tiga potong
kata, yaitu ‘co (cum)’, ‘unus’, dan ‘facere’. Maknanya, secara bersama-sama
membangun atau menjadikan (segalanya) satu. Dengan kata lain, kata
komunikasi ini mengarah pada proses membangun suatu kesatuan-persatuan
antar-pribadi atau inter-subjektif. Persatuan antar-pribadi itu yaitu nama lain
dari kemitraan yang menjadi hakikat hidup manusia sebagai ciptaan Allah.
TOLERANSI ABRAHAM DALAM SUMPAH DEMI EL ELYON
Kesaksian Kitab Suci Perjanjian Lama tidak pernah mengungkapkan
kehendak Allah menciptakan stabilitas kaku dan mutlak serta validitas yang
tidak berubah. Firman Allah yang disampaikan kepada umat manusia sejak
saat penciptaan alam semesta tidak dimaksudkan untuk membentuk sebuah
dunia yang telah baku dan tanpa berubah. Sebaliknya, Firman Allah itu
menghendaki senantiasa terjadinya pembaharuan terhadap bumi dan segala
ciptaan itu. Pembaharuan ini tentunya mensyaratkan keterbukaan akan aneka
macam kemungkinan. Kesaksian Kitab Suci Perjanjian Lama mengajarkan
perlunya perubahahan, kontekstualisasi, dan toleransi dalam pluralitas.
B.
Kesaksian Kitab Suci Perjanjian Lama, terutama Kitab Pentateukh
mengungkapkan bahwa sejak menempati Tanah Terjanji, Bangsa Israel yang
awalnya yaitu bangsa nomaden harus mulai beradaptasi dengan pola hidup
menetap alias tidak berpindah-pindah lagi. Akan namun , kesadaran bahwa
dahulu mereka yaitu peziarah dan kemudian menjadi imigran alias orang
113
asing di Tanah Terjanji itu harus terus-menerus digaungkan. Kesadaran ini
diharapkan menumbuhkan mentalitas dalam diri Bangsa Israel untuk selalu
menempatkan sikap etis terkait relasi mereka dengan bangsa-bangsa lain,
terutama bangsa-bangsa yang telah terlebih dahulu di Tanah Terjanji alias
Tanah Kanaan itu.
Selain itu, hidup menetap di Tanah Kanaan juga menyadarkan Bangsa
Israel akan perlunya diupayakan relasi yang baik dengan tetangga atau
bangsa-bangsa lain yang telah terlebih dahulu tinggal di tempat itu, termasuk
bangsa-bangsa imigran lainnya. Pola relasi dalam hidup bertetangga ini harus
dipelajari terlebih dahulu karena pola relasinya berbeda dengan yang biasa
dilaksanakan dalam hidup Bangsa Israel. Saat masih menjadi bangsa
nomaden, hampir semua anggota rombongan peziarah itu memiliki kaitan
atau hubungan darah, alias bersaudara. Relasi antar-anggota komunitas yang
memiliki hubungan darah relatif lebih mudah. Sementara itu, saat sudah
menetap Bangsa Israel harus juga berelasi dengan orang-orang lain. Mereka
yaitu para tetangga yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengan
mereka. Singkatnya, hidup di Tanah Kanaan mengajak dan mengajar Bangsa
Israel untuk terbuka pada orang-orang asing, para tetangga yang hidup
bersama dengan mereka.
1. Abraham sebagai Orang Asing
Salah satu contoh toleransi dalam pluralitas hidup pada Kitab Suci
Perjanjian Lama, terutama Kitab Pentateukh ditampilkan Abraham. Pada
narasi ini Abraham disebut ‘orang Ibrani’. Kitab Suci Perjanjian Lama
menggunakan sebutan ini hanya dalam teks-teks sebelum Periode
Pembuangan. Yang menggunakannya pun hanyalah orang-orang Mesir.
“Perkataan itu jugalah yang diceritakan perempuan itu kepada
Potifar, katanya: Hamba orang Ibrani yang kaubawa ke mari itu
datang kepadaku untuk mempermainkan aku” (Kejadian 39:17).
“Sebab aku dicuri diculik begitu saja dari negeri orang Ibrani dan di
sinipun aku tidak pernah melakukan apa-apa yang menyebabkan aku
layak dimasukkan ke dalam liang tutupan ini” (Kejadian 40:15).
“Bersama-sama dengan kami ada di sana seorang muda
Ibrani, hamba kepala pengawal istana itu; kami menceritakan mimpi
kami kepadanya, lalu diartikannya kepada kami mimpi kami masing-
masing” (Kejadian 41:12).
114
Yang juga kerap menggunakannya yaitu Orang-orang Filistin.
“Dan orang Filistin yang mendengar bunyi sorak itu berkata: ‘Apakah
bunyi sorak yang nyaring di perkemahan orang Ibrani itu?’ saat
diketahui mereka, bahwa tabut TUHAN telah sampai ke perkemahan
itu, Kuatkanlah hatimu dan berlakulah seperti laki-laki, hai orang
Filistin, supaya kamu jangan menjadi budak orang Ibrani itu, seperti
mereka dahulu menjadi budakmu. Berlakulah seperti laki-laki dan
berperanglah!” (1Samuel 4:6.9).
“Seorang tukang besi tidak terdapat di seluruh negeri Israel, sebab
orang Filistin berkata: ‘Jangan-jangan orang Ibrani membuat
pedang atau tombak’” (1Samuel 13:19).
“saat mereka keduanya memperlihatkan diri kepada pasukan
pengawal orang Filistin, berkatalah orang Filistin itu: ‘Lihat, orang-
orang Ibrani keluar dari lobang-lobang tempat mereka bersembunyi.’
Lagipula orang-orang Ibrani yang telah lama tinggal pada orang
Filistin dan yang telah ikut maju dalam tentara mereka, mereka juga
berbalik untuk bergabung dengan orang-orang Israel yang ada
bersama-sama dengan Saul dan Yonatan” (1Samuel 14:11.21).
“Berkatalah para panglima orang Filistin itu: ‘Apa gunanya orang-
orang Ibrani ini?’ Jawab Akhis kepada para panglima orang Filistin
itu: ‘Bukankah dia itu Daud, hamba Saul, raja Israel, yang sudah satu
dua tahun bersama-sama dengan aku, tanpa kudapati sesuatupun
kesalahan padanya sejak saat ia membelot sampai hari ini?’”
(1Samuel 29:3).
Sebutan itu muncul kembali dalam teks-teks Periode Post-
Pembuangan. Akan namun , itu hanya muncul dalam sejumlah teks berikut ini.
“Kemudian datanglah seorang pelarian dan menceritakan hal ini
kepada Abram, orang Ibrani itu, yang tinggal dekat pohon-pohon
tarbantin kepunyaan Mamre, orang Amori itu, saudara Eskol dan
Aner, yakni teman-teman sekutu Abram” (Kejadian 14:13).
“Sahutnya kepada mereka: ‘Aku seorang Ibrani; aku takut akan
TUHAN, Allah yang empunya langit, yang telah menjadikan
lautan dan daratan’” (Yunus 1:9).
115
“Mereka menahan Yudit lalu bertanya: ‘Pihak manakah engkau? Dari
mana engkau datang dan ke mana engkau mau pergi?’ Sahutnya:
‘Aku ini seorang perempuan Ibrani. Aku melarikan diri dari mereka,
karena tidak lama lagi mereka akan diserahkan menjadi mangsa
kamu” (Yudit 10:12).
“Berkatalah Holofernes kepada sida-sida Bagoas, pengurus
keperluan pribadinya: ‘Pergilah dan ajaklah perempuan Ibrani yang
ada padamu itu untuk datang kepada kami dan makan minum bersama
dengan kami’” (Yudit 12:11).
Sebutan ‘orang Ibrani’ ini masih menuai perdebatan di antara para ahli
hingga kini. Dalam dokumen-dokumen kuno terkenal nama ‘Apiru’. Biasanya
nama ini digunakan untuk menunjuk kelompok-kelompok yang hidup sebagai
orang asing di tengah bangsa-bangsa lain. Status ekonomi dan sosialnya pun
lebih rendah. Singkatnya, Abraham kala itu dikategorikan sebagai ‘orang
asing’.
“Yonatan memukul kalah pasukan pendudukan orang Filistin yang
ada di Geba; dan hal itu terdengar oleh orang Filistin. Karena itu
Saul menyuruh meniup sangkakala di seluruh negeri, sebab pikirnya:
‘Biarlah orang Ibrani mendengarnya.’ Malah ada orang Ibrani yang
menyeberangi arungan sungai Yordan menuju tanah Gad dan Gilead,
sedang Saul masih di Gilgal dan seluruh rakyat mengikutinya dengan
gemetar” (1Samuel 13:3.7).
“Lagipula orang-orang Ibrani yang telah lama tinggal pada orang
Filistin dan yang telah ikut maju dalam tentara mereka, mereka juga
berbalik untuk bergabung dengan orang-orang Israel yang ada
bersama-sama dengan Saul dan Yonatan” (1Samuel 14:21).
Sebagai orang asing, Abraham bersama sekutu-sekutunya yang yaitu
orang-orang Amori, berhasil mengalahkan raja-raja di kawasan Timur
sekaligus menolong Lot, keponakannya. Narasi kepahlawanan Abraham ini
mirip dengan narasi kepahlawanan Gideon.
“Pada zaman Amrafel, raja Sinear, Ariokh, raja Elasar,
Kedorlaomer, raja Elam, dan Tideal, raja Goyim, terjadilah, bahwa
raja-raja ini berperang melawan Bera, raja Sodom, Birsya, raja
Gomora, Syinab, raja Adma, Syemeber, raja Zeboim dan raja negeri
116
Bela, yakni negeri Zoar. Raja-raja yang disebut terakhir ini semuanya
bersekutu dan datang ke lembah Sidim, yakni Laut Asin. Dua belas
tahun lamanya mereka takluk kepada Kedorlaomer, namun dalam
tahun yang ketiga belas mereka memberontak. Dalam tahun yang
keempat belas datanglah Kedorlaomer serta raja-raja yang bersama-
sama dengan dia, lalu mereka mengalahkan orang Refaim di Asyterot-
Karnaim, orang Zuzim di Ham, orang Emim di Syawe-Kiryataim dan
orang Hori di pegunungan mereka yang bernama Seir, sampai ke El-
Paran di tepi padang gurun. Sesudah itu baliklah mereka dan sampai
ke En-Mispat, yakni Kadesh, dan mengalahkan seluruh daerah orang
Amalek, dan juga orang Amori, yang diam di Hazezon-Tamar. Lalu
keluarlah raja negeri Sodom, raja negeri Gomora, raja negeri Adma,
raja negeri Zeboim dan raja negeri Bela, yakni negeri Zoar, dan
mengatur barisan perangnya melawan mereka di lembah Sidim,
melawan Kedorlaomer, raja Elam, Tideal, raja Goyim, Amrafel, raja
Sinear, dan Ariokh, raja Elasar, empat raja lawan lima. Di lembah
Sidim itu di mana-mana ada sumur aspal. saat raja Sodom dan raja
Gomora melarikan diri, jatuhlah mereka ke dalamnya, dan orang-
orang yang masih tinggal hidup melarikan diri ke
pegunungan. Segala harta benda Sodom dan Gomora beserta segala
bahan makanan dirampas musuh, lalu mereka pergi. Juga Lot, anak
saudara Abram, beserta harta bendanya, dibawa musuh, lalu mereka
pergi – sebab Lot itu diam di Sodom. Kemudian datanglah seorang
pelarian dan menceritakan hal ini kepada Abram, orang Ibrani itu,
yang tinggal dekat pohon-pohon tarbantin kepunyaan Mamre, orang
Amori itu, saudara Eskol dan Aner, yakni teman-teman sekutu Abram.
saat Abram mendengar, bahwa anak saudaranya tertawan, maka
dikerahkannyalah orang-orangnya yang terlatih, yakni mereka yang
lahir di rumahnya, tiga ratus delapan belas orang banyaknya, lalu
mengejar musuh sampai ke Dan. Dan pada waktu malam berbagilah
mereka, ia dan hamba-hambanya itu, untuk melawan musuh; mereka
mengalahkan dan mengejar musuh sampai ke Hoba di sebelah utara
Damsyik. Dibawanyalah kembali segala harta benda itu; juga Lot,
anak saudaranya itu, serta harta bendanya dibawanya kembali,
demikian juga perempuan-perempuan dan orang-orangnya. Setelah
Abram kembali dari mengalahkan Kedorlaomer dan para raja yang
bersama-sama dengan dia, maka keluarlah raja Sodom menyongsong
dia ke lembah Syawe, yakni Lembah Raja. Melkisedek, raja
Salem, membawa roti dan anggur; ia seorang imam Allah Yang
Mahatinggi. Lalu ia memberkati Abram, katanya: ‘Diberkatilah
117
kiranya Abram oleh Allah Yang Mahatinggi, Pencipta langit dan
bumi, dan terpujilah Allah Yang Mahatinggi, yang telah menyerahkan
musuhmu ke tanganmu.’ Lalu Abram memberikan kepadanya
sepersepuluh dari semuanya. Berkatalah raja Sodom itu kepada
Abram: ‘Berikanlah kepadaku orang-orang itu, dan ambillah
untukmu harta benda itu.’ namun kata Abram kepada raja negeri
Sodom itu: ‘Aku bersumpah demi TUHAN, Allah Yang
Mahatinggi, Pencipta langit dan bumi: Aku tidak akan mengambil
apa-apa dari kepunyaanmu itu, sepotong benang atau tali kasutpun
tidak, supaya engkau jangan dapat berkata: Aku telah membuat
Abram menjadi kaya. Kalau aku, jangan sekali-kali! Hanya apa yang
telah dimakan oleh bujang-bujang ini dan juga bagian orang-orang
yang pergi bersama-sama dengan aku, yakni Aner, Eskol dan
Mamre, biarlah mereka itu mengambil bagiannya masing-masing’”
(Kejadian 14:1-24).
“Dari rakyat itu mereka mengambil bekal dan sangkakala;
demikianlah seluruh orang Israel disuruhnya pergi, masing-masing
ke kemahnya, namun ketiga ratus orang itu ditahannya. Adapun
perkemahan orang Midian ada di bawahnya, di lembah. Sesudah itu
dibaginyalah ketiga ratus orang itu dalam tiga pasukan dan ke tangan
mereka semuanya diberikannya sangkakala dan buyung kosong
dengan suluh r di dalam buyung itu.Dan berkatalah ia kepada
mereka: ‘Perhatikanlah aku dan lakukanlah seperti yang kulakukan.
Maka apabila aku sampai ke ujung perkemahan itu, haruslah kamu
lakukan seperti yang kulakukan. Apabila aku dan semua orang yang
bersama dengan aku meniup sangkakala, maka haruslah kamu juga
meniup sangkakala sekeliling seluruh perkemahan itu, dan berseru:
‘Demi TUHAN dan demi Gideon!’ Lalu Gideon dan keseratus orang
yang bersama-sama dengan dia sampai ke ujung perkemahan itu pada
waktu permulaan giliran jaga tengah malam, saat penjaga-penjaga
baru saja ditempatkan. Lalu mereka meniup sangkakala sambil
memecahkan buyung yang di tangan mereka. Demikianlah ketiga
pasukan itu bersama-sama meniup sangkakala, dan memecahkan
buyung dengan memegang obor di tangan kirinya dan sangkakala di
tangan kanannya untuk ditiup, serta berseru: ‘Pedang demi TUHAN
dan demi Gideon!’ Sementara itu tinggallah mereka berdiri, masing-
masing di tempatnya, sekeliling perkemahan itu, namun seluruh tentara
musuh menjadi kacau balau, berteriak-teriak dan melarikan diri.
Sedang ketiga ratus orang itu meniup sangkakala, maka di
118
perkemahan itu TUHAN membuat pedang yang seorang diarahkan
kepada yang lain, lalu larilah tentara itu sampai ke Bet-Sita ke arah
Zerera sampai ke pinggir Abel-Mehola dekat Tabat” (Hakim-hakim
7:8.16-22).
Dalam perang tersebut Lot menjadi tawanan perang. Seorang pelarian
melaporkan kondisi ini kepada Abraham (1Samuel 4:12; 2Samuel 1:2). Saat
berita itu disampaikan, Abraham disebut berdiam dekat pohon-pohon
Tarbantin (Kejadian 14:13; 13:18) milik Mamre, saudara Eskol dan Aner.
Mereka yaitu orang-orang Amori atau Kanaan (Kejadian 14:7). Keduanya
menjadi rekan sekutu Abraham. Ada dua hal yang membuat pernyataan ini
menarik.
(1) Mamre dan Eskol yaitu juga nama-nama tempat. Sedangkan
Aner hanya disebut di sini.
“Demikianlah ladang Efron, yang letaknya di Makhpela di
sebelah timur Mamre, ladang dan gua yang di sana, serta segala
pohon di ladang itu, bahkan di seluruh tanah itu sampai ke tepi-
tepinya. Sesudah itu Abraham menguburkan Sara, isterinya, di
dalam gua ladang Makhpela itu, di sebelah timur Mamre, yaitu
Hebron di tanah Kanaan” (Kejadian 23:17.19).
“Dan anak-anaknya, Ishak dan Ismael, menguburkan dia dalam
gua Makhpela, di padang Efron bin Zohar, orang Het itu, padang
yang letaknya di sebelah timur Mamre” (Kejadian 25:9).
“Mereka berjalan melalui Tanah Negeb, lalu sampai ke
Hebron; di sana ada Ahiman, Sesai dan Talmai, keturunan
Enak. Hebron didirikan tujuh tahun lebih dahulu dari Soan di
Mesir. saat mereka sampai ke lembah Eskol, dipotong
merekalah di sana suatu cabang dengan setandan buah
anggurnya, lalu berdualah mereka menggandarnya; juga mereka
membawa beberapa buah delima dan buah ara” (Bilangan 13:22-
23).
(2) Ketiganya (Mamre, Eskol, dan Aner) disebut sebagai sekutu-
sekutu Abraham. Bagaimana mereka menjadi sekutu dan siapa
yang memulainya tidak diberitahukan sebelumnya. Di sinilah
untuk pertama kalinya disebut adanya suatu persekutuan antara
119
Abraham si Asing dengan orang-orang Kanaan. Bahkan, dalam
persekutuan tersebut Abraham bertindak sebagai kepala suku.
Perang pembebasan Lot berlangsung sangat cepat dan menakjubkan
(Kejadian 14:14-15). Jarak yang ditempuh menurut garis lurusnya kurang
lebih 250 kilometer. Jarak tersebut yaitu perhitungan jarak Hebron-Dan
sejauh 180 kilometer ditambah jarak Dan-Damsyik sejauh 70 kilometer. Jarak
tersebut ditempuh dengan waktu secepat kilat. Kemenangan Abraham dan
sekutu-sekutunya dalam perang itu pun dikatakan sempurna dan hanya
dilakukan satu kompi pasukan berjumlah kecil. Abraham tidak hanya
membebaskan Lot. Lebih dari itu Abaraham juga merebut kembali segala
harta benda Raja-raja Sodom dan Gomora yang telah dirampas musuh
(Kejadian 14:11-12.16).
Sebagai pahlawan yang pulang perang, Abraham mendapat sambutan
bak seorang raja dari Melkisedek, Raja Salem (1Sam.18:18). Bahkan, Raja
Sodom dikisahkan hidup kembali (Kejadian 14:10.17) dan pergi
menyongsong Abraham di Lembah Syawe. Pada periode tersebut narasi yang
menyisipkan ritus yang dilakukan Melkisedek, Raja Salem (Kejadian 14:18-
20) ini, Lembah Syalem disamakan dengan Lembah Raja yang terletak dekat
Yerusalem (2Samuel 18:18). Lembah Syalem yaitu tempat kudus di mana
Melkisedek bertindak sebagai imam sekaligus raja di wilayah itu.
Sebaliknya, Abraham tidak mendapat sambutan yang sepatutnya dari
Raja Sodom. Abraham diminta menyerahkan tawanan-tawanan perang
sekaligus mengambil harta benda yang berhasil dirampas saat perang
(Kejadian 14:21). Dengan tegas Abraham menolak permintaan itu.
Kemungkinan besar, Abraham menolak permintaan itu berdasarkan dua
alasan. Pertama, Abraham tidak mau mendapat kesan bahwa dirinya yaitu
semata-mata serdadu bayaran Raja Sodom. Kedua, Abraham bermaksud
menunjukkan bahwa kemenangan perang yang diraihnya itu bukanlah berkat
kekuatan atau kesuksesannya, melainkan diperoleh dari Allah. Oleh karena
itu, hanya Allah yang boleh memberi kekayaan kepadanya. Abraham menolak
permintaan Raja Sodom itu dengan bersumpah.
2. Sumpah demi El Elyon
Dalam konteks pluralisme dan toleransi, yang menarik yaitu saat
Abraham menyebut nama Allah saat bersumpah.
“Aku bersumpah demi TUHAN, Allah Yang Mahatinggi, Pencipta
langit dan bumi...” (Kejadian 14:22b).
120
Abraham menyebut nama TUHAN (Yahweh) ditambah dengan gelar,
‘Allah Yang Mahatinggi’ (‘El Elyon’), Pencipta Langit dan Bumi’. Sebutan
‘El Elyon’ yaitu sebutan untuk Allah yang dihormati di Yerusalem. Dengan
menyebut TUHAN (Yahweh) dengan sebutan ‘El Elyon’ di tempat lain di luar
Yerusalem, Abraham mau menegaskan bahwa sebenarnya Yahweh yaitu
Allah Israel secara keseluruhan (Cross, 1997:244-253). Yahweh memerintah
juga di wilayah yang telah direbut kembali oleh Abraham itu. Yahweh
memerintah di wilayah itu dengan mencurahkan berkat kemenangan. Dengan
demikian, Abraham sekaligus mengingat sekaligus menegaskan Firman
Yahweh kepadanya saat memerintahkannya untuk pergi ke tanah terjanji.
“Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan
mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua
kaum di muka bumi akan mendapat berkat” (Kejadian 12:3).
Yahweh tidak hanya memberi berkat bagi Abraham dan bangsanya,
namun juga melalui Abraham semua kaum di muka bumi akan memeroleh
berkat-Nya. Yahweh, Allah yang satu menjadi Allah yang menyelamatkan
semua bangsa.
Alasan lain Abraham menyebut Yahwe sebagai ‘El Elyon’juga tetap
beraroma toleransi. Dengan menyebut Yahweh sebagai ‘El Elyon’, Abraham
bermaksud menghormati Melkisedek yang menyongsongnya dengan
membawa roti dan anggur. Melkisedek yaitu seorang imam ‘Allah Yang
Mahatinggi’ (Kejadian 14:18). Sebenarnya, supaya lebih jelas, lebih baik
dibaca bahwa Melkisedek yaitu ‘imam El Elyon’. ‘El’ yaitu nama dewa
Kanaan. ‘El’ yaitu allah segala allah, raja dan bapa segala allah. ‘El’ juga
diakui sebagai pencipta langit dan bumi, bijaksana dan ramah tamah. Sebagai
imam, Melkisedek menyongsong dan menyambut Abraham untuk
memberkatinya. Kata-kata berkat Melkisedek terbagai menjadi dua bagian.
Pertama, berkat dari ‘El Elyon’ kepada Abraham (Kejadian 14:19b). Kedua,
madah pujian kepada ‘El Elyon’ yang telah memberikan kemenangan kepada
Abraham (Kejadian 14:20a). Yang tak sanggup dilakukan koalisi lima raja di
Lembah Sungai Yordan, bisa diperoleh Abraham dengan satu kompi kecil
pasukan perang.
Abraham menjawab berkat Melkisedek dengan mempersembahkan
kepadanya sepersepuluh dari semuanya (Kejadian 14:20b). Bisa jadi, besaran
ini merupakan suatu jumlah yang pantas diberikan dari hasil seluruh jarahan
yang diperoleh. Dengan persepuluhan itu, Abraham mengakui berkat
Melkisedek, menerima imamat rajawinya sekaligus tempat sucinya di lembah
121
tersebut. Dengan kata lain, Abraham menghormati iman Melkisedek,
walaupun ia tetap mengimani Yahweh karena tetap bersumpah demi Yahweh.
Dalam narasi kepahlawanannya, Abraham menunjukkan pentingnya
menggunakan ruang publik seperti Lembah Syalem untuk menegaskan iman
personal sekaligus penghormatan terhadap iman bangsa lain. Dalam hidup
masa kini banyak bertebaran ruang-ruang publik yang juga bisa dimanfaatkan
untuk membuka ruang pluralisme dan toleransi antar-iman. Ruang publik
merupakan salah satu dari sejumlah elemen kehidupan masyarakat yang
memiliki peran sangat penting. Ruang ini berperan sebagai pusat interaksi dan
komunikasi masyarakat baik formal maupun informal, individu maupun
kelompok.
Secara singkat dapat ditegaskan bahwa ruang publik merupakan suatu
ruang yang berfungsi untuk aneka ragam aktivitas masyarakat yang berkaitan
dengan sosial, ekonomi, dan budaya. Dalam ruang publik ini, relasi
interpersonal memperoleh tempatnya untuk bertumbuh dan berkembang.
Seiring dengan itu, masing-masing keberadaan personal yang terlibat dalam
interaksi tersebut semakin ditegaskan karena secara alamiah keberadaan
setiap personal itu terhubung secara timbal balik (reciprocal relationship)
dengan person atau pribadi lainnya.
C. RANGKUMAN
Firman Allah itu menghendaki senantiasa terjadinya pembaharuan
terhadap bumi dan segala ciptaan itu. Pembaharuan ini tentunya mensyaratkan
keterbukaan akan aneka macam kemungkinan. Kesaksian Kitab Suci
Perjanjian Lama mengajarkan perlunya perubahahan, kontekstualisasi, dan
toleransi dalam pluralitas. Keragaman atau pluralisme sosio-religius saat ini
menjadi suatu kenyataan sosial yang tidak dapat dihindari. Tentu saja situasi
yang harus diterima ini menjadi suatu ranah tersendiri bagi digelarnya
pelbagai macam upaya. Tujuannya, supaya keragaman itu tak jatuh pada
konflik-konflik antar-pihak yang beragam tersebut. Untuk itu diperlukan
interaksi beraroma toleransi yang tepat.
Interaksi yang semakin intensif dan ekstensif antar-pribadi maupun
kelompok yang beragam ini menuntut pengenalan dan pengetahuan yang
semakin mendalam mengenai berbagai identitas masing-masing. Alasan
keberagaman ini yang menjadikan masyarakat dunia akan semakin menyadari
dirinya sebagai sesama yang harus belajar membagi ruang kehidupan yang
terbatas ini. Kepedulian yang sama terhadap persoalan kemanusiaan,
keprihatinan terhadap masalah lingkungan hidup dan cita-cita untuk
122
mengalami suatu kehidupan yang adil dan damai telah mempertemukan
manusia dari pelbagai latar belakang yang berbeda.
RIBKA SEBAGAI IBU BANGSA ISRAEL
Perempuan yang muncul dalam kitab Kejadian setelah Sara yaitu
Ribka. Ia yaitu istri Ishak. Ishak yaitu putra Abraham. Kitab Kejadian
merekam sejumlah narasi menarik tentang Ribka. Narasi-narasi tersebut
melukiskan sekaligus menunjukkan karakteristik Ribka sebagai perempuan
Yahudi yang memiliki beberapa keutamaan. Antara lain, iman yang teguh dan
keberanian yang menonjol. Dengan karakteristiknya ini, Ribka pantas
menjadi teladan bagi umat beriman saat ini, terutama bagi para perempuan.
Selain sebagai teladan, Ribka yaitu ibu Bangsa Israel. Ribka memeroleh
status ini melalui perjuangan hidupnya menanggapi panggilan Tuhan secara
personal dengan pergi ke tanah asing untuk menemui lelaki asing yang
selanjutnya menjadi suaminya, yaitu Ishak.
B.
Bagian ini memberikan deskripsi sosok Ribka sebagai ibu Bangsa
Israel. Deskripsi terlaksana dengan pemaparan kesiap-sediaan Ribka, Ribka
124
bukanlah gadis manja, Ribka menjadi penggenap Sabda Allah, Ribka menjadi
istri Ishak, dan empat keutamaan Ribka. Deskripsi ini tersaji dengan tafsiran
menggunakan pendekatan ‘Analisis-Naratif’ atas teks Kejadian 24.
1. Kesiap-sediaan Ribka
Kafilah itu telah melintas sebagian besar tanah Kanaan. Ribka
termasuk dalam kafilah itu. Kini rombongan itu melintas Tanah Negeb nan
gersang.
“Adapun Ishak telah datang dari arah sumur Lahai-Roi; ia tinggal di
Tanah Negeb” (Kejadian 24:62).
Saat malam tiba Ribka melayangkan pandangannya ke arah lanskap
hamparan gurun terjal yang mengelilinginya. Setelah beberapa minggu
bepergian, ia mulai terbiasa dengan lenggok langkah unta yang
ditungganginya. Ia bergerak menjauh dari Haran, kampung halamannya yang
sudah tertinggal ratusan kilometer di sebelah Timur Laut dari posisinya saat
itu. Ia yakin sekaligus pasrah bahwa kampung halaman beserta keluarga yang
ditinggalkannya itu tidak akan pernah dilihatnya lagi.
Saat mengetahui bahwa perjalanannya hampir berakhir, hati Ribka
bertanya-tanya tentang masa depan hidupnya. Tanah luas yang terhampar di
hadapannya hanyalah gurun gersang. Ribka mulai menduga-duga bahwa
tanah kering semacam itu mungkin tidak baik untuk bercocok tanam, namun
bagus untuk beternak. Selanjutnya, ia mulai membayangkan akan melihat
domba-domba di jalan. Akan namun , lepas dari aneka bayangan itu, yang
paling mengganggunya yaitu apa dan siapa yang akan menantinya di tanah
asing yang tidak dikenalnya itu. Apakah ia akan menyukai lelaki yang akan
menjadi suaminya itu?
Pertanyaan-pertanyaan itu membuat hati Ribka makin gelisah. Akan
namun , Ribka berhasil mengalahkan kegelisahannya itu dengan dua keutamaan
yang dimilikinya, yaitu iman yang besar dan keberanian yang luar biasa.
Ribka mendapatkan iman yang besar dari tradisi keluarga yang kuat.
Keluarganya yang tinggal di Padan-Aram, Mesopotamia, tidak seperti orang-
orang lain di daerah dekat kota Haran itu. Umumnya penduduk daerah itu
menyembah Sin, Dewa Bulan. Akan namun , keluarga Ribka menyembah
TUHAN, sebagaimana ditunjukkan Laban dan Betuel.
“Semuanya ini datangnya dari TUHAN; Kami tidak dapat
mengatakan kepadamu baiknya atau buruknya” (Kejadian 24:50).
125
Iman akan TUHAN ini memberi kepada Ribka keberanian untuk
menerima perubahan besar dalam hidupnya. Perjodohan memang bukanlah
sesuatu yang asing pada masa itu. Akan namun , perkawinan yang terjadi akibat
perjodohan sampai harus berpindah ke tanah asing, bukanlah sesuatu yang
lumrah. Perpindahan semacam itu membutuhkan keberanian yang luar biasa.
Sebagai seorang gadis, Ribka menunjukkan keberanian yang luar biasa untuk
menghadapi perubahan besar dalam hidupnya. Iman dan keberanian itulah
yang mendorong Ribka menyatakan kesediaannya mengikuti para hamba
Abraham ke tanah asing berdasarkan ajakan mereka.
“‘Baiklah kita panggil anak gadis itu dan menanyakan kepadanya
sendiri.’ Lalu mereka memanggil Ribka dan berkata kepadanya,
‘Maukah engkau pergi beserta orang ini?’ Jawabnya, ‘Mau’”
(Kejadian 24:57-58).
Kesediaannya pergi ke tanah asing menjadi titik balik dalam hidup
Ribka. Kesediaan Ribka mengungkapkan imannya yang dalam pada Allah.
Bagi Ribka, kehendak Allah lebih penting dari kepentingannya sendiri.
Dengan kesediaannya pergi ke tanah asing dan kawin dengan lelaki yang
belum dikenalnya, Ribka juga hendak menghayati walaupun secara terbalik
pesan Kitab Suci.
“Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan
bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging”
(Kejadian 2:24; Efesus 5:31).
2. Ribka Bukanlah Gadis Manja
Sebenarnya Ribka tidak perlu pergi jauh ke tanah asing untuk
mendapatkan jodoh. Paras wajahnya sangat cantik.
“Anak gadis itu sangat cantik parasnya, seorang perawan, belum
pernah bersetubuh dengan laki-laki; ia turun ke mata air itu dan
mengisi buyungnya, lalu kembali naik” (Kejadian 24:16).
Pribadinya menarik. Keluarganya kaya. Ia hidup berkecukupan. Akan
namun , bermacam kondisi kemudahan itu tidak membuatnya tumbuh sebagai
gadis manja. Keluarganya mengajar Ribka untuk bekerja keras. Meskipun
kaya, keluarga Betuel tidak memiliki pembantu. Oleh karena itu, sebagai anak
gadis, Ribka harus menangani banyak tugas berat di rumahnya. Ia bekerja
bahu-membahu dengan Laban, saudara laki-lakinya (Kejadian 24:29)
126
menyejahterakan Betuel, ayah mereka yang tak lain yaitu putra Nahor bin
Terah, saudara laki-laki Abraham (Kejadian 11:26).
“Ribka mempunyai saudara laki-laki, namanya Laban. Laban berlari
ke luar mendapatkan orang itu, ke mata air tadi” (Kejadian 24:29).
Salah satu tugas Ribka yaitu pergi ke sumur sambil memikul buyung
di pundaknya untuk menimba dan mengambil air bagi keluarganya.
“Di sana disuruhnyalah unta itu berhenti di luar kota dekat suatu
sumur, pada waktu petang hari, waktu perempuan-perempuan keluar
untuk menimba air. Lalu berkatalah ia: TUHAN, Allah tuanku
Abraham, buatlah kiranya tercapai tujuanku pada hari ini,
tunjukkanlah kasih setia-Mu kepada tuanku Abraham. Di sini aku
berdiri di dekat mata air, dan anak-anak perempuan penduduk kota
ini datang keluar untuk menimba air. Kiranya terjadilah begini: anak
gadis, kepada siapa aku berkata: Tolong miringkan buyungmu itu,
supaya aku minum, dan yang menjawab: Minumlah, dan unta-untamu
juga akan kuberi minum – dialah kiranya yang Kautentukan bagi
hamba-Mu, Ishak; maka dengan begitu akan kuketahui, bahwa
Engkau telah menunjukkan kasih setia-Mu kepada tuanku itu.’
Sebelum ia selesai berkata, maka datanglah Ribka, yang lahir bagi
Betuel, anak laki-laki Milka, isteri Nahor, saudara Abraham;
buyungnya dibawanya di atas bahunya” (Kejadian 24:11-15).
Pada suatu kesempatan setelah Ribka mengisi buyungnya, seorang
lelaki tua berlari ke arahnya.
“Ia berkata, ‘Tolong beri aku minum air sedikit dari buyungmu itu’”
(Kejadian 24:17).
Ribka langsung memberikan air yang ada dalam buyungnya kepada
lelaki tua tersebut. Tidak hanya itu. Selanjutnya segeralah dituangnya air yang
di buyungnya itu ke dalam palungan, lalu berlarilah ia sekali lagi ke sumur
untuk menimba air dan ditimbalah untuk semua unta orang itu.
“Kemudian segeralah dituangnya air yang di buyungnya itu ke dalam
palungan, lalu berlarilah ia sekali lagi ke sumur untuk menimba air
dan ditimbanyalah untuk semua unta orang itu” (Kejadian 24:20).
127
Ribka tidak sekadar memberi minum kepada lelaki tua itu, namun juga
memuaskan dahaga kesepuluh untanya, sampai rasa haus mereka hilang
(Kejadian 19). Seekor unta yang haus setelah perjalanan melintasi gurun pasir
sanggup menghabiskan sekitar 95 liter atau 25 galon air. Jumlah itu tentu
bukan sedikit. Untuk itu, Ribka harus bekerja keras selama berjam-jam. Ribka
menunjukkan hospitalitas atau keramahan yang luar biasa bukan saja kepada
orang asing, melainkan juga kepada unta-untanya. Bukan hanya air untuk
pemuas dahaga, Ribka juga tidak segan mempersilakan orang asing itu masuk
ke rumah keluarganya. Masuklah orang itu ke dalam rumah. Ditanggakanlah
pelana unta-unta, diberikan jerami dan makanan kepada unta-unta itu, lalu
dibawa air pembasuh kaki untuk orang itu dan orang-orang yang bersama
dengan dia.
“Masuklah orang itu ke dalam rumah. Ditanggalkanlah pelana unta-
unta, diberikan jerami dan makanan kepada unta-unta itu, lalu
dibawa air pembasuh kaki untuk orang itu dan orang-orang yang
bersama-sama dengan dia” (Kejadian 24:32).
Pertolongannya total. Bantuannya kepada orang asing tidak setengah-
setengah. Tindakannya itu sekaligus menunjukkan bahwa ia yaitu seorang
Yahudi yang taat pada aturan-aturan, terutama memerhatikan orang asing,
anak yatim, dan janda-janda (Ulangan 26:12). Ia bukanlah tipe pribadi yang
memikirkan dirinya sendiri seperti digambarkan Paulus.
“Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang
sukar. Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba
uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan
menjadi pemfitnah, mereka akan berontak terhadap orang tua dan
tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama, tidak tahu
mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat
mengekang diri, garang, tidak suka yang baik, suka
mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti
hawa nafsu dari pada menuruti Allah. Secara lahiriah mereka
menjalankan ibadah mereka, namun pada hakekatnya mereka
memungkiri kekuatannya. Jauhilah mereka itu!” (2Timotius 3:1-5).
Ribka yaitu teladan hospitalitas, keramahan seorang tuan rumah
yang menerima semua orang dalam rumahnya dan memberikan kepada
mereka segala yang dibutuhkan secara berlimpah. Iman akan Tuhan
memotivasi dirinya menjadi pribadi yang ramah. Ia bagaikan Orang Samaria
128
yang baik hati (Lukas 10:33) versi Kitab Suci Perjanjian Lama. Ribka juga
sekaligus menunjukkan gambaran utuh Allah yang murah hati kepada semua
orang, yang menghendaki hamba-hamba-Nya juga murah hati, terutama
kepada mereka yang tidak sanggup membayar dengan cara apa pun.
“namun Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah
bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah
kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan
matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan
hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. Apabila
kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah
upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian?” (Matius
5:44-46).
“Berilah tumpangan seorang akan yang lain dengan tidak bersungut-
sungut” (1Petrus 4:9).
3. Ribka Menjadi Penggenap Sabda Allah
Lelaki asing tua yang datang ke sumur yaitu hamba Abraham
(Kejadian 24:2), paman Betuel, ayah Ribka. meskipun tuan rumah telah
mempersilakan dirinya untuk menyantap hidangan yang disediakan untuknya,
hamba itu bersikeras untuk terlebih dahulu menyampaikan amanat yang
dibawa dari tuannya.
“Aku tidak akan makan sebelum kusampaikan pesan yang kubawa
ini!” (Kejadian 24:33).
Bagai lelatu memantik bara, hospitalitas tuan rumah memotivasi sang
hamba yang setia ini untuk semakin meyakini bahwa misinya berlabuh pada
tempat dan tujuan yang benar. Ia pun lantas berkisah tentang Abraham
tuannya yang hidup penuh berkat Allah di Tanah Kanaan. Ia menjelaskan
bahwa Abraham dan istrinya Sara memiliki seorang putera. Ishak namanya.
Puteranya ini akan mewarisi segala berkat yang dimiliki Abraham. Tuannya,
Abraham memberinya tugas yang sangat istimewa. Tugas itu yaitu pergi ke
ke tanah keluarganya di Mesopotamia untuk mencarikan istri bagi puteranya,
Ishak.
“Lalu berkatalah ia: Aku ini hamba Abraham. TUHAN
sangat memberkati tuanku itu, sehingga ia telah menjadi
kaya; TUHAN telah memberikan kepadanya kambing domba dan
129
lembu sapi, emas dan perak, budak laki-laki dan perempuan, unta dan
keledai. Dan Sara, isteri tuanku itu, sesudah tua, telah melahirkan
anak laki-laki bagi tuanku itu; kepada anaknya itu telah diberikan
tuanku segala harta miliknya. Tuanku itu telah mengambil sumpahku:
Engkau tidak akan mengambil untuk anakku seorang isteri dari antara
perempuan Kanaan, yang negerinya kudiami ini, namun engkau harus
pergi ke rumah ayahku dan kepada kaumku untuk mengambil seorang
isteri bagi anakku” (Kejadian 24:34-38).
Misi sang hamba ini bukan sekadar keinginan manusia. Abraham telah
menjelaskan kepada sang hamba bahwa ia tidak akan memilih seorang istri
dari kalangan Kanaan untuk Ishak (Kejadian 24:3). Alasannya, Orang Kanaan
tidak menyembah TUHAN. Tugas sang hamba menjadi istimewa karena
memuat sekaligus sejumlah tradisi iman Abraham secara khusus dan Bangsa
Israel pada umumnya. Pertama, menjaga integritas keluarga Abraham sebagai
cikal bangsa terpilih yang tidak boleh tercemar bangsa lain. Kedua,
menempatkan Ishak, putera Abraham sebagai sosok yang akan memiliki
peran penting dalam penggenapan janji Allah.
“namun keturunan yang keempat akan kembali ke sini, sebab sebelum
itu kedurjanaan orang Amori itu belum genap” (Kejadian 15:16).
“namun Allah berfirman: Tidak, melainkan isterimu Saralah yang
akan melahirkan anak laki-laki bagimu, dan engkau akan menamai
dia Ishak, dan Aku akan mengadakan perjanjian-Ku dengan
dia menjadi perjanjian yang kekal untuk keturunannya” (Kejadian
17:19).
“Berkatalah Abraham kepada hambanya yang paling tua dalam
rumahnya, yang menjadi kuasa atas segala kepunyaannya, katanya:
‘Baiklah letakkan tanganmu di bawah pangkal pahaku, supaya aku
mengambil sumpahmu demi TUHAN, Allah yang empunya langit dan
yang empunya bumi, bahwa engkau tidak akan mengambil untuk
anakku seorang isteri dari antara perempuan Kanaan yang di
antaranya aku diam. namun engkau harus pergi ke negeriku dan
kepada sanak saudaraku untuk mengambil seorang isteri bagi
Ishak, anakku’” (Kejadian 24:2-4).
Ketiga, memastikan Tanah Kanaan sebagai tanah untuk tumbuh
berkembangnya bangsa terpilih.
130
Oleh karena sadar bahwa misinya bukan sekadar datang dari keinginan
manusia, sang hamba pun senantiasa menyertai misinya tersebut dengan doa
dan kepasrahan kepada kehendak Allah.
“TUHAN, Allah tuanku Abraham, buatlah kiranya tercapai tujuanku
pada hari ini, tunjukkanlah kasih setia-Mu kepada tuanku Abraham.
Di sini aku berdiri di dekat mata air, dan anak-anak perempuan
penduduk kota ini datang keluar untuk menimba air. Kiranya
terjadilah begini: anak gadis, kepada siapa aku berkata: Tolong
mirinkan buyungmu itu, supaya aku minum, dan yang menjawab:
Minumlah, dan unta-untamu juga akan kuberi minum – dialah kiranya
yang Kautentukan bagi hamba-Mu, Ishak; maka dengan begitu akan
kuketahui, bahwa Engkau telah menunjukkan kasih setia-Mu kepada
tuanku itu” (Kej.24:12-14).
Di sini nampak dinamika antara pewahyuan dan iman atau kehendak
Allah dengan keinginan-kepasrahan manusia kepada-Nya. Sang hamba telah
menunjukkan upayanya melaksanakan dan menuntaskan misinya dengan
melibatkan kehendak Allah melalui doanya. Dari pihak keluarga Betuel,
upaya serupa pun terungkap. Kisah dan kata-kata sang hamba menggerakkan
hati Betuel dan Laban.
“Lalu Laban dan Betuel menjawab: Semuanya ini datangnya dari
TUHAN; kami tidak dapat mengatakan kepadamu baiknya atau
buruknya” (Kejadian 24:50).
Sebenarnya sebagai lelaki dalam keluarga Yahudi, persetujuan mereka
cukup untuk membiarkan atau mengijinkan Ribka memenuhi misi sang
hamba tersebut. Akan namun , keduanya bukanlah sosok-sosok lelaki yang
sewenang-wenang dalam mengambil keputusan. Mereka melibatkan
keputusan personal Ribka.
“Kata mereka, ‘Baiklah kita panggil anak gadis itu dan menanyakan
kepadanya sendiri’” (Kejadian 24:57).
Tanggapan atas pewahyuan atau kehendak Allah yaitu iman yang
bersifat personal. Iman personal ini tidak dapat diwakilkan siapa pun.
Agaknya, Betuel dan Laban sangat memahami perkara ini. Oleh karena bukan
menyangkut pribadi mereka semata, keduanya menyerahkan keputusan
131
personal kepada Ribka untuk menanggapi panggilan Allah secara personal
pula.
Tanggapan personal Ribka menjadi sempurna dengan dukungan
keluarganya. Keluarga Betuel memberikan restu kepada Ribka yang sangat
mereka kasihi. Untuk itu, Debora menemani Ribka pergi ke tanah asing.
Debora yaitu seorang pengasuh perempuan yang merawat Ribka sejak masih
kecil.
“saat Debora, inang pengasuh Ribka, mati, dikuburkanlah ia di
sebelah hilir Betel di bawah pohon besar, yang dinamai orang: Pohon
Besar Penangisan” (Kejadian 35:8).
Selain Debora, sejumlah pelayan juga menyertai kepergian Ribka ke
tanah asing.
“Maka Ribka, saudara mereka itu, dan inang pengasuhnya beserta
hamba Abraham dan orang-orangnya dibiarkan mereka pergi. Dan
mereka memberkati Ribka, kata mereka kepadanya: Saudara kami,
moga-moga engkau menjadi beribu-ribu laksa, dan moga-moga
keturunanmu menduduki kota-kota musuhnya.’ Lalu berkemaslah
Ribka beserta hamba-hambanya perempuan, dan mereka naik unta
mengikuti orang itu. Demikianlah hamba itu membawa Ribka lalu
berjalan pulang” (Kejadian 24:59-61).
Mereka meninggalkan kampung halaman untuk menempuh perjalanan
yang jauh. Itu yaitu perjalanan yang panjang, yaitu 500 mil atau sekitar 800
kilometer. Sebagaimana Kitab Suci Perjanjian Lama mencatat, Ribka yaitu
anggota keluarga penggembala, bukan keluarga pedagang yang biasa
memimpin iring-iringan kafilah unta. Tidak dapat dipastikan bahwa ia sering
menunggangi unta. Dapat dibayangkan bahwa perjalanan itu juga bukanlah
perjalanan yang nyaman. Akan namun , menanggapi panggilan Allah bukanlah
perkara mencari kenyamanan. Menanggapi panggilan Allah merupakan upaya
setia pada komitmen sekaligus upaya menunjukkan kepasrahan total.
4. Ribka Menjadi Istri Ishak
Menjelang senja, dari arah sumur Lahai-Roi wilayah Tanah Negeb
datanglah Ishak. Ia melayangkan pandangan ke arah jalan-jalan di padang dan
dilihatnyalah ada unta-unta datang. Ribka pun melihat Ishak. Saat melihat
Ishak, Ribka turun dari untanya. Ia mengambil telekungnya dan
bertelekunglah ia.
132
“Ribka juga melayangkan pandangnya dan saat dilihatnya Ishak,
turunlah ia dari untanya. Katanya kepada hamba itu: ‘Siapakah laki-
laki itu yang berjalan di padang ke arah kita?’ Jawab hamba itu:
‘Dialah tuanku itu.’ Lalu Ribka mengambil telekungnya dan
bertelekunglah ia” (Kejadian 24:64-65).
Tindakannya ini pun menunjukkan keutamaan dirinya sebagai
perempuan baik-baik. Seorang perempuan menelekungi atau menudungi
kepalanya untuk menunjukkan kesopanan dan menyatakan martabatnya.
Tanpa tudung, seorang perempuan tidak memiliki martabat, sebagaimana
dikatakan Paulus.
“Tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala
yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan
perempuan yang dicukur rambutnya” (1Korintus 11:5).
Tudung berfungsi sebagai bukti harga diri dan kemuliaan seorang
perempuan sebagaimana Allah telah menciptakannya. Saat berdandan dengan
sopan dan pantas bagi kemuliaan Allah, seorang perempuan mempertinggi
martabat dan kelayakannya sendiri sebagaimana telah dikaruniakan Allah
kepadanya.
Ribka menunjukkan martabatnya sebagai seorang perempuan.
Sekaligus dengan tindakannya itu, ia hendak menunjukkan martabat laki-laki
yang dilihatnya dari kejauhan yang diyakininya sebagai calon suaminya.
Dengan bertelekung ia hendak menunjukkan bahwa ia yaitu perempuan
baik-baik. Secara tidak langsung, tindakannya itu menunjukkan bahwa Ishak
pun yaitu laki-laki yang memiliki keutamaan karena calon isterinya yaitu
perempuan baik-baik. Ribka menunjukkan rasa hormat yang pantas kepada
calon suaminya. Teladan semacam ini sangat berguna bagi kehidupan
keluarga-keluarga kristiani modern.
Ishak yang saat itu berusia kurang lebih empatpuluhan masih terbawa
duka akibat wafatnya sang ibunda, Sara. Ishak mengambil Ribka menjadi
isterinya. Ishak mencintainya dan demikianlah ia dihiburkan setelah ibunya
meninggal.
“Lalu Ishak membawa Ribka ke dalam kemah Sara, ibunya, dan
mengambil dia menjadi isterinya. Ishak mencintainya dan demikian ia
dihiburkan setelah ibunya meninggal” (Kejadian 24:67).
133
Kehadiran Ribka bagi Ishak sebagai isterinya menjadi penggenapan
kehendak Allah sendiri sedari awalnya.
“Tuhan menyatakan dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu
dibawa-Nya kepada manusia itu sebagai penolong yang sepadan” (Kejadian
2:22).
Ribka dan Ishak bertemu dan menjadi suami-istri seturut kehendak
Allah. Seturut kehendak Allah, suami-istri yaitu dua pribadi yang saling
menghormati satu sama lain dan saling menolong dalam membangun
kehidupan bersama dalam keluarga.
5. Empat Keutamaan Ribka
Selain narasi perjalanan jauhnya ke tanah asing dan menjadi isteri
seorang yang baru dikenalnya, Ribka berperan dalam sejumlah narasi dan
kutipan lain dari Kitab Suci yang mengungkapkan keutamaan hidup lainnya.
(1) Namanya bermakna ‘menawan’. Secara lebih rinci makna Ribka
yaitu ‘tali untuk mengikat hewan’ atau ‘simpul yang hidup’. Jika
diterapkan pada diri seorang perempuan, makna ini menunjukkan
bahwa si pemilik nama yaitu sosok yang menunjukkan
keindahan atau kecantikan yang membuat seorang laki-laki
merasa terikat atau tertawan. Makna namanya ini mencerminkan
kemampuannya untuk menarik perhatian sang hamba Abraham.
Hati sang hamba tertawan saat melihat dengan mata kepalanya
sendiri kecantikan Ribka. Oleh karena tertawan kecantikan Ribka,
sang hamba lantas berlutut dan dan bersujud menyembah TUHAN
dan memuji-Nya.
“Terpujilah TUHAN, Allah tuanku Abraham, yang tidak menarik
kembali kasih-Nya dan setia-Nya dari tuanku itu; dan TUHAN
telah menuntun aku di jalan ke rumah saudara-saudara tuanku
ini” (Kejadian 24:26-27).
(2) Proses bertemunya Ribka dan Ishak sebagai suami-isteri dijadikan
tradisi ritus perkawinan Yahudi modern. Sebagaimana narasi telah
mengungkapnya, Ribka menyambut Ishak dengan bertelekung
atau berkerudung. Tradisi perkawinan Yahudi meniru dan
menggunakan tindakan Ribka ini. Saat menyambut calon
isterinya, seorang pengantin laki-laki menyelubungi atau
134
menutupi pengantin perempuan dengan kain sebelum dimulainya
upacara perkawinan. Upacara ini disebut dengan ‘Badeken’.
Dalam perkembangannya, tradisi ini tidak hanya dilakukan Orang-
orang Yahudi. Sejumlah tradisi meniru dan menggunakan juga
upacara penyelubungan pengantin perempuan yang dilakukan
pengatin laki-laki ini.
(3) Ribka berdoa saat mengandung. Saat hendak melahirkan, Ribka
merasakan dan mengalami rasa sakit yang amat sangat karena
anak-anak kembar yang dikandungnya itu bertolak-tolakan di
dalam rahimnya. Ia pun berkata.
“‘Jika demikian halnya, mengapa aku hidup?’ Lantas TUHAN
memberi petunjuk kepadanya. ‘Dua bangsa ada dalam
kandunganmu, dan dua suku bangsa akan berpencar dari dalam
rahimmu; suku bangsa yang satu akan lebih dari yang lain, dan
anak yang tua akan menjadi hamba kepada anak yang muda’”
(Kejadian 25:22-23).
(4) Ribka menipu Ishak untuk menyelamatkan Yakub. Saat terbaring
di ranjang kematian, Ishak siap memberi berkat kesulungan. Ribka
menyadari bahwa Esau sebagai yang sulung lebih berhak
menerima berkat tersebut. Akan namun , Esau telah mengambil
Yudit anak Beeri orang Het dan Basmat anak Elon orang Het
menjadi isterinya. Kedua perempuan itu menimbulkan kepedihan
hati bagi Ishak dan bagi Ribka.
“saat Esau telah berumur empat puluh tahun, ia mengambil
Yudit, anak Beeri orang Het, dan Basmat, anak Elon orang Het,
menjadi isterinya. Kedua perempuan itu menimbulkan kepedihan
hati bagi Ishak dan bagi Ribka” (Kejadian 26:34-35).
Oleh karena itu, Ribka berusaha supaya Yakub yang menerima
berkat tersebut. Ia pun mengolah dua anak kambing supaya
dipersembahkan Yakub kepada Ishak sehingga memeroleh berkat
itu.
“Bawalah itu kepada ayahmu supaya dimakannya, supaya dia
memberkati engkau, sebelum ia mati” (Kejadian 27:10).
135
Selain mengusahakan Yakub menerima berkat kesulungan, Ribka
juga menyelamatkan Yakub dengan menyuruhkanya pergi kepada
Laban, saudaranya.
“Jadi sekarang, anakku, dengarkanlah perkataanku, bersiaplah
engkau dan larilah kepada Laban, saudaraku, ke Haran, dan
tinggallah padanya beberapa waktu lamanya, sampai kegeraman
dan kemarahan kakakmu itu surut dari padamu” (Kejadian 27:43-
44).
C. RANGKUMAN
Dengan iman dan keberaniannya yang diperolehnya dari pengalaman
personalnya akan Allah, Ribka sanggup melihat kehendak Allah pada diri
keluarganya, terutama anaknya, Yakub. Walaupun harus dengan tipu daya,
upayanya sanggup menyelamatkan Bangsa Israel. Berkat upayanya,
kemurnian Bangsa Israel sebagai bangsa terpilih tetap terjaga.
KURBAN DALAM PENTATEUKH
Kitab Suci Perjanjian Lama, termasuk Kitab Pentateukh tidak memiliki
istilah umum untuk ‘kurban’ kecuali istilah ‘qorban’. Akan namun , justru
istilah ini jarang sekali digunakan. Secara praktis, istilah yang bermakna
‘yang dibawa mendekat’ ini digunakan dalam cakupan yang sangat terbatas.
Cakupannya hanya untuk aktivitas para imam. Guna memeroleh gambaran
yang lebih terang-benderang tentang kurban, digunakanlah sejumlah istilah
yang lebih teknis atau khusus. Istilah-istilah yang lebih khusus itu
mengungkapkan atau melukiskan jenis-jenis kurban, atau lebih tepatnya cara
pengurbanannya. Misalnya, ‘zæbaḥ šelāmîm’. Terjemahan umum kata ini
dapat mendekati kata ‘kurban’. Akan namun , maknanya bisa juga lebih tajam,
yaitu (kurban) ‘yang disembelih’. Ada juga kata ‘ola. Istilah ini dapat
diterjemahkan sebagai ‘kurban bakaran’. Akan namun , sebenarnya, istilah ini
lebih tepat jika dimaknai sebagai (kurban) ‘yang membubung ke atas’. Selain
dari caranya, kurban secara khusus juga diungkapkan menurut maksudnya.
Misalnya,’asyam. Istilah ini berarti ‘kurban penebus salah’. Kata lain
137
menyangkut kurban menurut maksudnya yaitu ‘ḥatta’t’. Artinya, ‘kurban
penghapus dosa’.
B.
Tentu saja, kurban-kurban tersebut tidak dapat begitu saja sampai
dengan sendirinya kepada yang dituju, yaitu Allah. Dibutuhkan suatu aktivitas
yang berfungsi menyampaikan kurban-kurban tersebut. Dari kebutuhan itu
muncullah istilah ritual. Secara umum dapat dikatakan bahwa ritual mencakup
segala macam kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat tertentu
(Moore-Myerhoff, 1977: 3-24). Dalam pengertian umum ini, ritual tidak
hanya menunjuk pada aktivitas ilahiah. Ritual juga bermakna aktivitas profan.
Dengan kata lain, semua kebiasaan yang berlaku di dalam suatu komunitas
masyarakat dipukul rata dengan sebutan sebagai ritual (Gorman, Jr., 1990:18-
19).
Akan namun , jika digunakan pemaknaan secara umum itu, upaya
penggalian makna ritual dan kurban tidak akan sampai makna tajamnya. Oleh
karena itu, akan lebih tepat jika istilah ritual itu dimaknai sebagai suatu
aktivitas yang menunjuk pada suatu tindakan atau proses tertentu yang disebut
dengan kata ‘upacara’ (rite). Kata ‘upacara’ ini mensyaratkan adanya situasi,
waktu, dan tempat tertentu. Tidak seperti kata ‘ritual’ yang dimaknai secara
umum, kata ‘upacara’ ini dapat lebih ditempatkan dalam suatu sistem yang
baku (Smith, 1982:103-112).
Dengan kata lain, istilah ‘ritual’ yang dimaksudkan tentunya yaitu
yang dalam makna khusus atau lebih sempit. Dalam pemaknaan yang lebih
sempit itu, ritual merupakan suatu aktivitas kompleks yang mencakup
tindakan simbolis. Tindakan tersebut ditandai dengan formalitas, keteraturan,
ketertiban, dan urutan yang pasti. Tindakan itu pun harus diletakkan pada
suatu situasi tertentu yang tidak sembarangan (C. Geertz, 1973:89-120).
1. Allah Gemar Menata
Tata tertib dan keteraturan segera mengingatkan orang pada Narasi
Penciptaan versi Tradisi Priesterkodex (Kejadian 1-2:4a). Sejumlah ahli
sepakat bahwa pada narasi itu Allah tidak persis meciptakan alam semesta
dari tiada menjadi ada. Aktivitas Allah dalam narasi penciptaan tersebut lebih
tepat disebut dengan aktivitas mengatur dan menata, atau menjadikan alam
semesta menjadi lebih tertata dan teratur. Alam semesta yang sebelumnya
kacau balau, selama enam hari ditata-Nya sehingga ada dalam keteraturan.
Teks yang paling melukiskan aktivitas Allah menata yaitu saat Allah
memasang benda-benda penerang. Kata ‘memisahkan’ dan ‘menunjukkan’
138
mengindikasikan perlu adanya kategorisasi yang jelas, demi suatu terciptanya
suatu keteraturan.
“Jadilah benda-benda penerang pada cakrawala untuk memisahkan
siang dari malam. Biarlah benda-benda penerang itu menjadi tanda
yang menunjukkan masa-masa yang tetap dan hari-hari dan tahun-
tahun” (Kejadian 1:14).
Dari kisah tersebut, dapat dikatakan bahwa karakteristik keberadaan
Allah di tengah ciptaan-Nya yaitu upaya-Nya menciptakan keteraturan dan
ketertiban. Ada keyakinan kuat dari Tradisi Priesterkodex bahwa keteraturan
tatanan alam semesta atau dunia merupakan keteraturan yang dikehendaki dan
diciptakan Allah sendiri (Schmid, 1984:111).
Keteraturan ini pula yang dituntut Allah saat Diri-Nya berada di
tengah-tengah umat-Nya, yaitu Bangsa Israel. Oleh karena itu, dalam setiap
moment narasi Bangsa Israel, selalu ada upaya penataan saat Allah hendak
hadir di tengah-tengah mereka. Keteraturan itu merupaka syarat mutlak jika
Bangsa Israel ingin memeroleh keselamatan. Dengan kata lain, harus ada tata
lahir yang nampak supaya tata keselamatan itu sungguh nyata atau konkret
dirasakan dan dialami karena dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, Bangsa
Israel mengalami Allah yang Mahadahsyat, suatu kehadiran yang
menyelamatkan (Work, 2002:129).
Para penulis dari Tradisi Priesterkodex memiliki keyakinan bahwa
Allah menciptakan dunia yang tertata dan teratur dalam tata ritual tertentu.
Saat menata alam semesta, Allah dengan sengaja memilih waktu, ruang, dan
pola khusus demi terciptanya keteraturan tersebut. Dengan demikian,
penciptaan itu sendiri menjadi suatu ritual khas Allah. Bagi para penulis dari
Tradisi Priesterkodex, penciptaan dan ritual tidak dapat dipisahkan. Keduanya
menjadi aspek yang saling terkait secara dinamis (Levenson, 1968:121-127).
Keteraturan yang menjadi suatu ritual itu pada gilirannya menjadi suatu upaya
Allah menguduskan dan menyelamatkan umat-Nya.
2. Manusia Gemar Merusak
Sayangnya, berkali-kali pula manusia gemar merusak keteraturan ini
dengan ulahnya. Yang pertama yaitu saat kejatuhan manusia pertama ‘ke
dalam dosa’ (Kejadian 3). Bak lelatu memantik bara, keinginan tidak teratur
manusia berjumpa hasutan ular. Aturan yang ditetapkan Allah supaya
mengolah dan memanfaatkan segala sesuatu yang ditentukan dan ditetapkan-
Nya dan tidak memakan buah yang dilarang-Nya (Kejadian 2:16-17)
139
dilanggar manusia. Akibatnya, terusirlah manusia dari Taman Eden yang
tertata apik itu. Di luar taman itu, manusia harus memulai kehidupan yang
menuntut jerih payah, jauh dari rahmat Allah dalam dunia yang serba tak
teratur.
Setelah itu sejumlah narasi kejatuhan manusia dalam ketidak-teraturan
mewarnai relasi Allah dengan Bangsa Israel. Salah satu moment puncak
terlemparnya manusia yang diwakili Bangsa Israel dalam ketidak-teraturan
yaitu saat terbuangnya mereka ke dalam tanah perbudakan Mesir. Di tanah
asing itu, relasi Bangsa Israel sebagai umat pilihan dengan Allah rusak. Akan
namun , Allah tidak membiarkan situasi tidak teratur tersebut berlarut-larut.
Allah tidak tinggal diam. Oleh karena itu, Allah bertindak dengan membawa
mereka kembali ke Tanah Terjanji. Tujuan Allah yaitu Bangsa Israel yang
telah rusak dan cemar itu dapat kembali masuk dalam tata tertib keselamatan-
Nya.
Tindakan Allah sebagai inisiator pemulihan keteraturan dalam diri
Bangsa Israel termuat dalam salah satu pernyataan iman yang paling
mendasar. Pernyataan itu yaitu bahwa Yahweh, Allah Israel yaitu ‘Ia yang
memimpin Israel keluar dari Mesir’ (Noth, 1972:47). Pernyataan iman
tersebut menjelaskan bahwa Allah berperan sangat besar dalam
penyeberangan tersebut. Akan namun , tidak dipungkiri bahwa Bangsa Israel
pun mengimbangi-Nya dengan keberanian besar yang mereka tunjukkan saat
menyeberangi Laut Teberau. Menyeberang bukanlah semata-mata gerakan
berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Menyeberang juga merupakan
perpindahan dari suatu situasi ke situasi lainnya. Oleh karena itu,
menyeberang membutuhkan keberanian. Menyeberang bermakna
menaklukkan penghalang untuk kemudian bergerak maju. Artinya, menuju
keteraturan-kekudusan.
Menyeberang bermakna pula mengalami peralihan, suatu transformasi
dari tidak kudus menjadi kudus. Menjadi jelas bahwa sesungguhnya ungkapan
‘Yahweh yang membawa Israel keluar dari Mesir’ telah sejak awal menjadi
rumusan baku yang dipakai secara luas dalam pelbagai konteks (Noth,
1972:49). Memang Allah yang berinisiatif. Akan namun , Bangsa Israel juga
menanggapi inisiatif Allah itu dengan keberanian menyeberang. Ada
jawaban. Ada balasan.
Peristiwa keluaran dari Tanah Mesir merupakan moment sigfinikan
yang menunjukkan betapa Allah memang mengupayakan tidak tercampur-
baurnya segala sesuatu yang kudus dengan yang tidak kudus. Dengan kata
lain, Allah senantiasa berusaha untuk menciptakan dan menjaga keteraturan
demi terwujudnya situasi kudus yang menyelamatkan. Dalam peziarahan
pulang kembali ke Tanah Terjanji inilah Allah menetapkan perjanjian.
140
Penetapan ini dapat dimaknai sebagai upaya penertiban kembali relasi antara
Allah dengan manusia yang telah hancur itu. Upaya penertiban itu
membutuhkan ritual pendamaian.
3. Ritual yaitu Harmonisasi
Ritual menjadi penghubung utama relasi antara Allah yang
Mahakudus dengan manusia yang bergelimang dosa. Dalam relasi tersebut,
Allah senantiasa berupaya menganugerahkan keselamatan kepada manusia.
Di sisi lain, karena keterbatasannya akibat gelimang dosa, manusia juga
dituntut tidak tinggal diam. Manusia harus menjemput anugerah keselamatan
tersebut dengan mengadakan ritus pengudusan. Oleh karena itu, ritual
merupakan suatu perjalanan atau suatu peralihan dalam tatanan yang tetata
dan teratur dari kedosaan atau ketak-kudusan menuju pada kekudusan.
Kekudusan itulah yang pada gilirannya akan menempatkan manusia pada
keselamatan.
Para tradisionalis Tradisi Priesterkodex melihat suatu kultus yang
benar-benar terstruktur dengan baik sebagai elemen pusat dari tatanan
kosmik. Hal ini ditunjukkan dalam teks Keluaran.
“Di sanalah Aku akan bertemu dengan orang Israel, dan tempat itu
akan dikuduskan oleh kemuliaan-Ku. Aku akan menguduskan Kemah
Pertemuan dan mezbah itu, lalu Harun dan anak-anaknya akan
Kukuduskan supaya mereka memegang jabatan imam bagi-Ku. Aku
akan diam di tengah-tengah orang Israel dan Aku akan menjadi
Allah mereka. Maka mereka akan mengetahui, bahwa Akulah,
TUHAN, Allah mereka, yang telah membawa mereka keluar dari
tanah Mesir, supaya Aku diam di tengah-tengah mereka; Akulah
TUHAN, Allah mereka” (Keluaran 29:43-46).
Itu ditunjukkan pada akhir instruksi Yahweh untuk pentahbisan
imamat dan pembentukan ritual yang berpusat pada tabernakel (Gorman, Jr.,
1990:42). Guna menjamin terlaksananya ritual secara teratur pada teks itu
disusun sedemikian rupa sejumlah perangkat penyelenggaranya. Perangkat itu
yaitu pelaksananya. Pelaksananya yaitu para imam. Perangkat lainnya
yaitu tata aturan penyelenggaraan bagian per bagian. Yang tidak kalah
pentingnya yaitu hal atau benda yang dipersembahkan. Seperti yang
diungkapkan pada bagian awal tulisan ini, Kitab Suci Perjanjian Lama, secara
khusus Kitab Pentateukh tidak memiliki istilah umum untuk ‘kurban’ kecuali
istilah ‘qorban’. Akan namun , justru istilah ini jarang sekali digunakan. Di luar
141
itu, terdapat satu istilah yang secara komprehensif dapat mewakili istilah
‘qorban’ ini, yaitu ‘zæbaḥ šelāmîm’.
Istilah ‘zæbaḥ šelāmîm’ merupakan dua kata yang dalam proses
evolusi pemaknaan menjadi satu kata yang tidak terpisahkan (Bergmann,
1977:514). Sebenarnya, ‘zbḥ’ sebagai kata kerja dapat berdiri sendiri. Secara
umum, kata ini bermakna ‘mengorbankan’ atau ‘mempersembahkan korban’.
Makna ini juga digunakan dalam teks-teks gulungan kitab yang ditemukan di
gua-gua Qumran. Di teks-teks tersebut, ‘zbḥ’ juga sudah kerap berpasangan
dengan ‘šlm’ yang bermakna membayar. Kitab berbahasa Yunani
(Septuaginta) menerjemahkan ‘zbḥ’ dalam istilah ‘tysia’. Sementara itu, Kitab
Suci berbahasa Latin (Vulgata) menerjemahkannya dalam sejumlah istilah,
yaitu ‘hostia’, ‘victima’, dan ‘sacrificium’. Semua istilah itu dapat
diterjemahkan menjadi ‘kurban’. Kata ‘sacrificium’ yaitu juga yang
digunakan Kitab Suci versi Vetus Latina untuk menerjemahkan ‘zbḥ’.(
Cardellini, 2001:63)
Penggunaan istilah ‘zæbaḥ šelāmîm’ dapat dilihat pada teks-teks
berikut ini.
“Kaubuatlah bagi-Ku mezbah dari tanah dan persembahkanlah di
atasnya korban bakaranmu dan korban keselamatanmu, kambing
dombamu dan lembu sapimu. Pada setiap tempat yang Kutentukan
menjadi tempat peringatan bagi nama-Ku, Aku akan datang
kepadamu dan memberkati engkau” (Keluaran 20:24).
“Seekor anak domba dari setiap dua ratus ekor milik sesuatu kaum
keluarga Israel. Semuanya itu untuk korban sajian, korban
bakaran dan korban keselamatan untuk mengadakan
pendamaian bagi mereka, demikianlah firman Tuhan ALLAH”
(Yehezkiel 45:15).
Pada kedua teks tersebut yang menjadi korban bakaran sekaligus
korban pendamaian yaitu kambing domba dan lembu sapi. Pada
perjalanannya, korban semacam ini menjadi semacam korban untuk segala
keperluan atau dapat dikatakan sebagai korban stándar. Oleh karena itu,
‘zæbaḥ šelāmîm’ meraih
.png)
