perjanjian lama taurat 4

perjanjian lama taurat 4


 


arasi ini untuk 

membicarakan hidup bersama. Bagian ini menggunakan sekaligus memaknai 

episode narasi ini dalam kaitan dengan kesadaran hakiki manusia sebagai 

mitra bagi sesamanya. Selain itu, bagian ini juga mendiskusikan cara manusia 

memahami secara praktis yang harus dilakukannya. 

 

B. 

Episode narasi ini membuka dirinya dengan semacam otokritik atau 

evaluasi Allah terhadap karya-Nya sendiri. Yang menjadi bahan kritik yaitu  

manusia. Pada episode narasi penciptaan manusia versi Tradisi Priesterkodex 

Allah menyebut manusia sebagai ciptaan yang menurut gambar-Nya.  

 

“Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut 

gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan 

perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kejadian 1:27). 

 

Selanjutnya, guna mengafirmasi bahwa manusia yaitu  ciptaan yang 

paling sempurna di antara makhluk ciptaan lainnya, Allah mengungkapkan 

rasa puas-Nya. Ungkapan kepuasan Allah itu tampak dari ungkapan  bahwa 

pada hari itu segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik.  

 

 

108 

 

“Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat 

baik. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari keenam” (Kejadian 

1:31). 

 

Sebenarnya dua teks tersebut sudah sangat jelas mengungkapkan 

sekaligus menegaskan bahwa manusia sebagai ciptaan Allah yaitu  yang 

paling sempurna. Akan namun , rupa-rupanya masih saja di dalam ciptaan yang 

paling sempurna itu Allah menemukan adanya kekurangan. Supaya tetap 

menjadi ciptaan yang paling sempurna, ‘terpaksa’ Allah berupaya untuk 

memperbaiki manusia. Oleh karena itu, muncullah ungkapan evaluatif 

sekaligus korektif dari Allah atas manusia.  

 

“Tidak baik kalau manuaia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan 

penolong baginya” (Kejadian 2:18).  

 

Teks itu menjelaskan bahwa letak ketidak-sempurnaan manusia itu 

bukan pada keberadaannya sebagai makhluk ciptaan yang paling sempurna. 

Yang membuat Allah melihat manusia kurang sempurna yaitu  sifat 

singularitas atau ketunggalannya di antara alam semesta yang telah 

diciptakan-Nya terlebih dahulu. Artinya, jika makhluk yang paling sempurna 

itu menjalani hidupnya sendiri, kesempurnaannya itu tidak akan nampak. Ia 

membutuhkan penolong untuk mengungkapkan atau memunculkan 

kesempurnaannya itu.  

Segera Allah bertindak. Saat bertindak, Allah tidak mengubah atau 

mengutak-utik wujud manusia itu lagi seperti karyawan pabrik yang berusaha 

memperbaiki barang yang dianggap cacat produksi. Allah berusaha 

melengkapi manusia dengan ciptaan yang lain. Gagasannya, kesempurnaan 

manusia harus diungkapkan. Untuk mengungkapkannya, dibutuhkan makhluk 

ciptaan yang lain. Selanjutnya, seperti halnya manusia yang berasal dari tanah, 

Allah membentuk segala macam makhluk hidup. Segala jenis hewan darat 

dan burung-burung yang beterbangan di udara diciptakan Allah melalui 

proses mencipta dan membentuk. 

 

“Lalu TUHAN Allah membentuk dari tanah segala binatang 

hutan dan segala burung di udara. Dibawa-Nyalah semuanya kepada 

manusia itu untuk melihat, bagaimana ia menamainya; dan seperti 

nama yang diberikan manusia itu kepada tiap-tiap makhluk yang 

hidup, demikianlah nanti nama makhluk itu” (Kejadian 2:19). 

  

 

 

109 

Semua hewan di darat dan burung di udara itu disediakan Allah untuk 

manusia supaya menjadi penolong bagi manusia. Akan namun , rupanya kali ini 

pun usaha Allah tidak berhasil atau gagal, walaupun tidak sampai gagal total. 

Segala bentuk hewan itu memang menolong manusia. Akan namun , aneka 

macam hewan itu bukanlah penolong-penolong yang sepadan. Mereka 

bukanlah mitra. Yang terjadi, manusia tidak sanggup berdiri sejajar dengan 

hewan-hewan itu. Manusia justru menguasainya. Kapasitas menguasai ini 

ditunjukkan dengan ungkapan ‘menamai’. Dalam kosa kata a la Kitab Suci 

Perjanjian Lama ungkapan ‘menamai’ mengandung konotasi ‘menguasai’. 

Gagasan penolong yang dimaksudkan Allah tak berhasil terwujud. Tidak 

terjadi kesejajaran antara manusia dengan hewan-hewan itu.  

Akibatnya, manusia tetap mengalami masalah. Hakikatnya sebagai 

ciptaan yang paling sempurna tidak tertandingi makhluk yang lain. Masih ada 

yang kurang dari hewan-hewan itu, yaitu kesetaraan atau posisi sederajat 

dengan manusia. Hanya kesetaraan inilah yang dapat menolong manusia. 

Guna melukiskan masalah yang dialami manusia, episode lantas mengisahkan 

secara jelas suatu pengalaman dalam hidup manusia. Pengalaman itu terwujud 

dalam perasaan sepi. Rasa sepi itu muncul justru karena ia berbeda dari 

macam-macam makhluk ciptaan yang lain.  

 

“...namun  baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan 

dengan dia” (Kejadian 2:20b). 

  

Oleh karena masih saja bermasalah, tugas Allah dalam proses 

mencipta dan membentuk belumlah usai. Allah masih harus memutar otak 

mencari solusi supaya manusia benar-benar tertolong. Allah tidak 

memerlukan waktu lama untuk menemukan solusinya. Episode segera 

berlanjut. Penyusun episode narasi ini melukiskan secara sangat 

anthropomorfistik, strategi Allah mengusahakan penolong yang sepadan 

dengan manusia. Kali ini Allah menyadari bahwa yang harus menjadi 

penolong manusia bukanlah ‘apa’, melainkan ‘siapa’. Artinya, diperlukan 

makhluk yang ‘sama’ seperti manusia supaya sungguh-sungguh dapat 

menjadi mitra atau penolong yang sepadan dan setara.  

Segera Allah membentuk penolong yang sepadan itu dari diri manusia 

sendiri. Artinya, penolong yang sepadan itu harus berasal dari diri manusia 

sendiri sehingga ada kondisi sebangun dan seukuran. Sepadan atau kesetaraan 

itu mensyaratkan terwujudnya kecocokan relasi antara manusia dengan 

penolongnya itu. Episode narasi melukiskan proses mencipta itu.  

 

 

 

110 

“TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; saat  ia tidur 

TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk daripadanya, lalu menutup 

tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah 

dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-

Nya kepada manusia” (Kejadian 2:21-22).  

 

Yang dipakai untuk membangun atau menciptakan penolong itu 

yaitu  tulang rusuk. Tulang rusuk ini melambangkan adanya kesetaraan. 

Allah memang sengaja mengusahakan kesetaraan supaya manusia sungguh 

akhirnya mendapatkan penolong yang sepadan atau setara. Istilah penolong 

yang sepadan ini selanjutnya akan berwujud manusia perempuan atau istri. 

Akan namun , akan segera terlihat bahwa istilah ‘istri’ di sini sama sekali tidak 

bernuansa romantis sebagai separuh jiwa seorang laki-laki. Istilah ‘istri’ di 

sini lebih menunjuk pada makna penolong (‘ēzer). Makna kata ‘ēzer ini sering 

diterjemahkan sebagai ‘helpmate’. Yang dimaksudkan yaitu  pasangan hidup 

yang berperan sebagai penolong atau pembantu (von Rad, 1972:82).   

Selanjutnya episode narasi mengisahkan manusia memberi komentar 

atau menanggapi, sekaligus memberi penilaian terhadap sosok ciptaan baru 

itu.  

 

“Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia 

dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki” (Kejadian 2:23).  

 

Kata dalam Bahasa Ibrani yang digunakan untuk perempuan yaitu  

’iššāh. Kata ini juga mengandung arti ‘istri’. Sebagai catatan, kata dalam 

Bahasa Ibrani untuk laki-laki yaitu  ’iš. Kata ini juga memuat makna ‘suami’. 

Saat disuarakan dalam aksen aslinya, kedua kata ini sangat mirip bunyinya. 

Sebagai pembanding dapat dipikirkan ‘man’ dan ‘woman’ dalam Bahasa 

Inggris. Dalam Bahasa Indonesia dapat dibayangkan ungkapan ‘putra’ dan 

‘putri’. Kemiripan bunyi ini sekaligus menunjukkan keintiman relasi yang 

terjadi pada manusia laki-laki dan manusia perempuan ini (Wolff, 1996:94). 

Keintiman atau keakraban ini akan menjadi modal dasar pada proses tolong-

menolong sebagai mitra dalam perjalanan hidup laki-laki dan perempuan, 

terutama sebagai pasangan suami-istri. 

Alur narasi selanjutnya menampilkan suatu narasi asal-usul sesuatu 

atau etiologi. Sebenarnya narasi berkarakter etiologis ini tidak langsung 

terkait dengan situasi atau konteks penciptaan penolong yang sepadan ini. 

Penulis episode narasi ini menghubungkannya dengan narasi sebelumnya 

secara agak artifisial. Yang menarik, di sini penulis tidak menggunakan kata 

‘manusia’ (’ādām) seperti sebelum dan sesudahnya. Pada episode narasi ini 

 

 

111 

penulis menggunakan ungkapan ’laki-laki’ (’iš). Kata ‘daging’ (bāśār) yang 

digunakan pada episode narasi ini menunjuk pada manusia secara utuh. Yang 

dimaksud manusia secara utuh yaitu  manusia yang mencakup tubuh, 

perasaan, keinginan, kebisaan, dan aspek-aspek diri lainnya. 

Dengan ungkapan manusia seutuhnya itu, penulis episode ini 

bermaksud mengungkapkan gagasan bahwa kenyataan dasariah atau hakiki 

manusia yaitu  seorang makhluk yang dapat, bahkan harus berbagi hidup 

dengan sesamanya. Di dalam kehidupannya, secara hakiki manusia harus 

menjadi mitra bagi sesamanya. Oleh karena itu, manusia tidak pernah dapat 

hidup sendiri. Sekali lagi, sebenarnya tidak perlu episode narasi ini dipandang 

sebagai bagian yang khusus berbicara tentang hidup perkawinan atau 

hubungan suami-istri kendati pola pasangan suami-istri dipergunakan 

pengarang untuk membicarakan hidup bersama.  

 

C. RANGKUMAN 

Gagasan manusia sebagai mitra bagi sesamanya sudah terungkap 

dalam narasi ‘Penciptaan Manusia Laki-laki dan Manusia Perempuan’. 

Selanjutnya, manusia sebenarnya tinggal mengeksplorasi kenyataan 

hakikinya itu dalam relasi dengan sesamanya dalam komunitas. Guna 

mewujudkan relasi dengan sesamanya dalam komunitas sebagai suatu upaya 

membangun relasi atau kerja sama sebagai sesama mitra, sangat dibutuhkan 

komunikasi. Istilah komunikasi merupakan bentuk jadian dari tiga potong 

kata, yaitu ‘co (cum)’, ‘unus’, dan ‘facere’. Maknanya, secara bersama-sama 

membangun atau menjadikan (segalanya) satu. Dengan kata lain, kata 

komunikasi ini mengarah pada proses membangun suatu kesatuan-persatuan 

antar-pribadi atau inter-subjektif. Persatuan antar-pribadi itu yaitu  nama lain 

dari kemitraan yang menjadi hakikat hidup manusia sebagai ciptaan Allah. 

 


TOLERANSI ABRAHAM DALAM SUMPAH DEMI EL ELYON 

 

Kesaksian Kitab Suci Perjanjian Lama tidak pernah mengungkapkan 

kehendak Allah menciptakan stabilitas kaku dan mutlak serta validitas yang 

tidak berubah. Firman Allah yang disampaikan kepada umat manusia sejak 

saat penciptaan alam semesta tidak dimaksudkan untuk membentuk sebuah 

dunia yang telah baku dan tanpa berubah. Sebaliknya, Firman Allah itu 

menghendaki senantiasa terjadinya pembaharuan terhadap bumi dan segala 

ciptaan itu. Pembaharuan ini tentunya mensyaratkan keterbukaan akan aneka 

macam kemungkinan. Kesaksian Kitab Suci Perjanjian Lama mengajarkan 

perlunya perubahahan, kontekstualisasi, dan toleransi dalam pluralitas. 

 

B. 

Kesaksian Kitab Suci Perjanjian Lama, terutama Kitab Pentateukh 

mengungkapkan bahwa sejak menempati Tanah Terjanji, Bangsa Israel yang 

awalnya yaitu  bangsa nomaden harus mulai beradaptasi dengan pola hidup 

menetap alias tidak berpindah-pindah lagi. Akan namun , kesadaran bahwa 

dahulu mereka yaitu  peziarah dan kemudian menjadi imigran alias orang 

 

 

113 

asing di Tanah Terjanji itu harus terus-menerus digaungkan. Kesadaran ini 

diharapkan menumbuhkan mentalitas dalam diri Bangsa Israel untuk selalu 

menempatkan sikap etis terkait relasi mereka dengan bangsa-bangsa lain, 

terutama bangsa-bangsa yang telah terlebih dahulu di Tanah Terjanji alias 

Tanah Kanaan itu.  

Selain itu, hidup menetap di Tanah Kanaan juga menyadarkan Bangsa 

Israel akan perlunya diupayakan relasi yang baik dengan tetangga atau 

bangsa-bangsa lain yang telah terlebih dahulu tinggal di tempat itu, termasuk 

bangsa-bangsa imigran lainnya. Pola relasi dalam hidup bertetangga ini harus 

dipelajari terlebih dahulu karena pola relasinya berbeda dengan yang biasa 

dilaksanakan dalam hidup Bangsa Israel. Saat masih menjadi bangsa 

nomaden, hampir semua anggota rombongan peziarah itu memiliki kaitan 

atau hubungan darah, alias bersaudara. Relasi antar-anggota komunitas yang 

memiliki hubungan darah relatif lebih mudah. Sementara itu, saat sudah 

menetap Bangsa Israel harus juga berelasi dengan orang-orang lain. Mereka 

yaitu  para tetangga yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengan 

mereka. Singkatnya, hidup di Tanah Kanaan mengajak dan mengajar Bangsa 

Israel untuk terbuka pada orang-orang asing, para tetangga yang hidup 

bersama dengan mereka. 

 

1. Abraham sebagai Orang Asing 

Salah satu contoh toleransi dalam pluralitas hidup pada Kitab Suci 

Perjanjian Lama, terutama Kitab Pentateukh ditampilkan Abraham. Pada 

narasi ini Abraham disebut ‘orang Ibrani’. Kitab Suci Perjanjian Lama 

menggunakan sebutan ini hanya dalam teks-teks sebelum Periode 

Pembuangan. Yang menggunakannya pun hanyalah orang-orang Mesir.  

 

“Perkataan itu jugalah yang diceritakan perempuan itu kepada 

Potifar, katanya: Hamba orang Ibrani yang kaubawa ke mari itu 

datang kepadaku untuk mempermainkan aku” (Kejadian 39:17). 

 

“Sebab aku dicuri diculik begitu saja dari negeri orang Ibrani dan di 

sinipun aku tidak pernah melakukan apa-apa yang menyebabkan aku 

layak dimasukkan ke dalam liang tutupan ini” (Kejadian 40:15). 

 

“Bersama-sama dengan kami ada di sana seorang muda 

Ibrani, hamba kepala pengawal istana itu; kami menceritakan mimpi 

kami kepadanya, lalu diartikannya kepada kami mimpi kami masing-

masing” (Kejadian 41:12). 

 

 

 

114 

Yang juga kerap menggunakannya yaitu  Orang-orang Filistin.  

 

“Dan orang Filistin yang mendengar bunyi sorak itu berkata: ‘Apakah 

bunyi sorak yang nyaring di perkemahan orang Ibrani itu?’ saat  

diketahui mereka, bahwa tabut TUHAN telah sampai ke perkemahan 

itu, Kuatkanlah hatimu dan berlakulah seperti laki-laki, hai orang 

Filistin, supaya kamu jangan menjadi budak orang Ibrani itu, seperti 

mereka dahulu menjadi budakmu. Berlakulah seperti laki-laki dan 

berperanglah!” (1Samuel 4:6.9). 

 

“Seorang tukang besi tidak terdapat di seluruh negeri Israel, sebab 

orang Filistin berkata: ‘Jangan-jangan orang Ibrani membuat 

pedang atau tombak’” (1Samuel 13:19). 

 

“saat  mereka keduanya memperlihatkan diri kepada pasukan 

pengawal orang Filistin, berkatalah orang Filistin itu: ‘Lihat, orang-

orang Ibrani keluar dari lobang-lobang tempat mereka bersembunyi.’ 

Lagipula orang-orang Ibrani yang telah lama tinggal pada orang 

Filistin dan yang telah ikut maju dalam tentara mereka, mereka juga 

berbalik untuk bergabung dengan orang-orang Israel yang ada 

bersama-sama dengan Saul dan Yonatan” (1Samuel 14:11.21). 

 

“Berkatalah para panglima orang Filistin itu: ‘Apa gunanya orang-

orang Ibrani ini?’ Jawab Akhis kepada para panglima orang Filistin 

itu: ‘Bukankah dia itu Daud, hamba Saul, raja Israel, yang sudah satu 

dua tahun bersama-sama dengan aku, tanpa kudapati sesuatupun 

kesalahan padanya sejak saat ia membelot sampai hari ini?’” 

(1Samuel 29:3).  

Sebutan itu muncul kembali dalam teks-teks Periode Post-

Pembuangan. Akan namun , itu hanya muncul dalam sejumlah teks berikut ini.  

 

“Kemudian datanglah seorang pelarian dan menceritakan hal ini 

kepada Abram, orang Ibrani itu, yang tinggal dekat pohon-pohon 

tarbantin kepunyaan Mamre, orang Amori itu, saudara Eskol dan 

Aner, yakni teman-teman sekutu Abram” (Kejadian 14:13). 

 

“Sahutnya kepada mereka: ‘Aku seorang Ibrani; aku takut akan 

TUHAN, Allah yang empunya langit, yang telah menjadikan 

lautan dan daratan’” (Yunus 1:9). 

 

 

 

115 

“Mereka menahan Yudit lalu bertanya: ‘Pihak manakah engkau? Dari 

mana engkau datang dan ke mana engkau mau pergi?’ Sahutnya: 

‘Aku ini seorang perempuan Ibrani. Aku melarikan diri dari mereka, 

karena tidak lama lagi mereka akan diserahkan menjadi mangsa 

kamu” (Yudit 10:12). 

 

“Berkatalah Holofernes kepada sida-sida Bagoas, pengurus 

keperluan pribadinya: ‘Pergilah dan ajaklah perempuan Ibrani yang 

ada padamu itu untuk datang kepada kami dan makan minum bersama 

dengan kami’” (Yudit 12:11).  

 

Sebutan ‘orang Ibrani’ ini masih menuai perdebatan di antara para ahli 

hingga kini. Dalam dokumen-dokumen kuno terkenal nama ‘Apiru’. Biasanya 

nama ini digunakan untuk menunjuk kelompok-kelompok yang hidup sebagai 

orang asing di tengah bangsa-bangsa lain. Status ekonomi dan sosialnya pun 

lebih rendah. Singkatnya, Abraham kala itu dikategorikan sebagai ‘orang 

asing’. 

 

“Yonatan memukul kalah pasukan pendudukan orang Filistin yang 

ada di Geba; dan hal itu terdengar oleh orang Filistin. Karena itu 

Saul menyuruh meniup sangkakala di seluruh negeri, sebab pikirnya: 

‘Biarlah orang Ibrani mendengarnya.’ Malah ada orang Ibrani yang 

menyeberangi arungan sungai Yordan menuju tanah Gad dan Gilead, 

sedang Saul masih di Gilgal dan seluruh rakyat mengikutinya dengan 

gemetar” (1Samuel 13:3.7). 

 

“Lagipula orang-orang Ibrani yang telah lama tinggal pada orang 

Filistin dan yang telah ikut maju dalam tentara mereka, mereka juga 

berbalik untuk bergabung dengan orang-orang Israel yang ada 

bersama-sama dengan Saul dan Yonatan” (1Samuel 14:21). 

 

Sebagai orang asing, Abraham bersama sekutu-sekutunya yang yaitu  

orang-orang Amori, berhasil mengalahkan raja-raja di kawasan Timur 

sekaligus menolong Lot, keponakannya. Narasi kepahlawanan Abraham ini 

mirip dengan narasi kepahlawanan Gideon. 

 

“Pada zaman Amrafel, raja Sinear, Ariokh, raja Elasar, 

Kedorlaomer, raja Elam, dan Tideal, raja Goyim, terjadilah, bahwa 

raja-raja ini berperang melawan Bera, raja Sodom, Birsya, raja 

Gomora, Syinab, raja Adma, Syemeber, raja Zeboim dan raja negeri 

 

 

116 

Bela, yakni negeri Zoar. Raja-raja yang disebut terakhir ini semuanya 

bersekutu dan datang ke lembah Sidim, yakni Laut Asin. Dua belas 

tahun lamanya mereka takluk kepada Kedorlaomer, namun  dalam 

tahun yang ketiga belas mereka memberontak. Dalam tahun yang 

keempat belas datanglah Kedorlaomer serta raja-raja yang bersama-

sama dengan dia, lalu mereka mengalahkan orang Refaim di Asyterot-

Karnaim, orang Zuzim di Ham, orang Emim di Syawe-Kiryataim dan 

orang Hori di pegunungan mereka yang bernama Seir, sampai ke El-

Paran di tepi padang gurun. Sesudah itu baliklah mereka dan sampai 

ke En-Mispat, yakni Kadesh, dan mengalahkan seluruh daerah orang 

Amalek, dan juga orang Amori, yang diam di Hazezon-Tamar. Lalu 

keluarlah raja negeri Sodom, raja negeri Gomora, raja negeri Adma, 

raja negeri Zeboim dan raja negeri Bela, yakni negeri Zoar,  dan 

mengatur barisan perangnya melawan mereka di lembah Sidim, 

melawan Kedorlaomer, raja Elam, Tideal, raja Goyim, Amrafel, raja 

Sinear, dan Ariokh, raja Elasar, empat raja lawan lima. Di lembah 

Sidim itu di mana-mana ada sumur aspal. saat  raja Sodom dan raja 

Gomora melarikan diri, jatuhlah mereka ke dalamnya, dan orang-

orang yang masih tinggal hidup melarikan diri ke 

pegunungan. Segala harta benda Sodom dan Gomora beserta segala 

bahan makanan dirampas musuh, lalu mereka pergi. Juga Lot, anak 

saudara Abram, beserta harta bendanya, dibawa musuh, lalu mereka 

pergi – sebab Lot itu diam di Sodom. Kemudian datanglah seorang 

pelarian dan menceritakan hal ini kepada Abram, orang Ibrani itu, 

yang tinggal dekat pohon-pohon tarbantin kepunyaan Mamre, orang 

Amori itu, saudara Eskol dan Aner, yakni teman-teman sekutu Abram. 

saat  Abram mendengar, bahwa anak saudaranya tertawan, maka 

dikerahkannyalah orang-orangnya yang terlatih, yakni mereka yang 

lahir di rumahnya, tiga ratus delapan belas orang banyaknya, lalu 

mengejar musuh sampai ke Dan. Dan pada waktu malam berbagilah 

mereka, ia dan hamba-hambanya itu, untuk melawan musuh; mereka 

mengalahkan dan mengejar musuh sampai ke Hoba di sebelah utara 

Damsyik. Dibawanyalah kembali segala harta benda itu; juga Lot, 

anak saudaranya itu, serta harta bendanya dibawanya kembali, 

demikian juga perempuan-perempuan dan orang-orangnya. Setelah 

Abram kembali dari mengalahkan Kedorlaomer  dan para raja yang 

bersama-sama dengan dia, maka keluarlah raja Sodom menyongsong 

dia ke lembah Syawe, yakni Lembah Raja. Melkisedek, raja 

Salem, membawa roti dan anggur; ia seorang imam Allah Yang 

Mahatinggi. Lalu ia memberkati Abram, katanya: ‘Diberkatilah 

 

 

117 

kiranya Abram oleh Allah Yang Mahatinggi, Pencipta langit dan 

bumi, dan terpujilah Allah Yang Mahatinggi, yang telah menyerahkan 

musuhmu ke tanganmu.’ Lalu Abram memberikan kepadanya 

sepersepuluh dari semuanya. Berkatalah raja Sodom itu kepada 

Abram: ‘Berikanlah kepadaku orang-orang itu, dan ambillah 

untukmu harta benda itu.’ namun  kata Abram kepada raja negeri 

Sodom itu: ‘Aku bersumpah demi TUHAN, Allah Yang 

Mahatinggi, Pencipta langit dan bumi: Aku tidak akan mengambil 

apa-apa dari kepunyaanmu itu, sepotong benang atau tali kasutpun 

tidak, supaya engkau jangan dapat berkata: Aku telah membuat 

Abram menjadi kaya. Kalau aku, jangan sekali-kali! Hanya apa yang 

telah dimakan oleh bujang-bujang ini dan juga bagian orang-orang 

yang pergi bersama-sama dengan aku, yakni Aner, Eskol dan 

Mamre, biarlah mereka itu mengambil bagiannya masing-masing’” 

(Kejadian 14:1-24). 

 

“Dari rakyat itu mereka mengambil bekal dan sangkakala; 

demikianlah seluruh orang Israel disuruhnya pergi, masing-masing 

ke kemahnya, namun  ketiga ratus orang itu ditahannya. Adapun 

perkemahan orang Midian ada di bawahnya, di lembah. Sesudah itu 

dibaginyalah ketiga ratus orang itu dalam tiga pasukan dan ke tangan 

mereka semuanya diberikannya sangkakala dan buyung kosong 

dengan suluh r  di dalam buyung itu.Dan berkatalah ia kepada 

mereka: ‘Perhatikanlah aku dan lakukanlah seperti yang kulakukan. 

Maka apabila aku sampai ke ujung perkemahan itu, haruslah kamu 

lakukan seperti yang kulakukan. Apabila aku dan semua orang yang 

bersama dengan aku meniup sangkakala, maka haruslah kamu juga 

meniup sangkakala sekeliling seluruh perkemahan itu, dan berseru: 

‘Demi TUHAN dan demi Gideon!’ Lalu Gideon dan keseratus orang 

yang bersama-sama dengan dia sampai ke ujung perkemahan itu pada 

waktu permulaan giliran jaga tengah malam, saat  penjaga-penjaga 

baru saja ditempatkan. Lalu mereka meniup sangkakala sambil 

memecahkan buyung yang di tangan mereka. Demikianlah ketiga 

pasukan itu bersama-sama meniup sangkakala, dan memecahkan 

buyung dengan memegang obor di tangan kirinya dan sangkakala di 

tangan kanannya untuk ditiup, serta berseru: ‘Pedang demi TUHAN 

dan demi Gideon!’ Sementara itu tinggallah mereka berdiri, masing-

masing di tempatnya, sekeliling perkemahan itu, namun  seluruh tentara 

musuh menjadi kacau balau, berteriak-teriak dan melarikan diri. 

Sedang ketiga ratus orang itu meniup sangkakala, maka di 

 

 

118 

perkemahan itu TUHAN membuat pedang yang seorang diarahkan 

kepada yang lain, lalu larilah tentara itu sampai ke Bet-Sita ke arah 

Zerera sampai ke pinggir Abel-Mehola dekat Tabat” (Hakim-hakim 

7:8.16-22). 

 

Dalam perang tersebut Lot menjadi tawanan perang. Seorang pelarian 

melaporkan kondisi ini kepada Abraham (1Samuel 4:12; 2Samuel 1:2). Saat 

berita itu disampaikan, Abraham disebut berdiam dekat pohon-pohon 

Tarbantin (Kejadian 14:13; 13:18) milik Mamre, saudara Eskol dan Aner. 

Mereka yaitu  orang-orang Amori atau Kanaan (Kejadian 14:7). Keduanya 

menjadi rekan sekutu Abraham. Ada dua hal yang membuat pernyataan ini 

menarik. 

  

(1) Mamre dan Eskol yaitu  juga nama-nama tempat. Sedangkan 

Aner hanya disebut di sini. 

 

“Demikianlah ladang Efron, yang letaknya di Makhpela di 

sebelah timur Mamre, ladang dan gua yang di sana, serta segala 

pohon di ladang itu, bahkan di seluruh tanah itu sampai ke tepi-

tepinya. Sesudah itu Abraham menguburkan Sara, isterinya, di 

dalam gua ladang Makhpela itu, di sebelah timur Mamre, yaitu 

Hebron di tanah Kanaan” (Kejadian 23:17.19). 

 

“Dan anak-anaknya, Ishak dan Ismael, menguburkan dia dalam 

gua Makhpela, di padang Efron bin Zohar, orang Het itu, padang 

yang letaknya di sebelah timur Mamre” (Kejadian 25:9). 

 

“Mereka berjalan melalui Tanah Negeb, lalu sampai ke 

Hebron; di sana ada Ahiman, Sesai dan Talmai, keturunan 

Enak. Hebron didirikan tujuh tahun lebih dahulu dari Soan di 

Mesir. saat  mereka sampai ke lembah Eskol, dipotong 

merekalah di sana suatu cabang dengan setandan buah 

anggurnya, lalu berdualah mereka menggandarnya; juga mereka 

membawa beberapa buah delima dan buah ara” (Bilangan 13:22-

23). 

  

(2) Ketiganya (Mamre, Eskol, dan Aner) disebut sebagai sekutu-

sekutu Abraham. Bagaimana mereka menjadi sekutu dan siapa 

yang memulainya tidak diberitahukan sebelumnya. Di sinilah 

untuk pertama kalinya disebut adanya suatu persekutuan antara 

 

 

119 

Abraham si Asing dengan orang-orang Kanaan. Bahkan, dalam 

persekutuan tersebut Abraham bertindak sebagai kepala suku. 

 

Perang pembebasan Lot berlangsung sangat cepat dan menakjubkan 

(Kejadian 14:14-15). Jarak yang ditempuh menurut garis lurusnya kurang 

lebih 250 kilometer. Jarak tersebut yaitu  perhitungan jarak Hebron-Dan 

sejauh 180 kilometer ditambah jarak Dan-Damsyik sejauh 70 kilometer. Jarak 

tersebut ditempuh dengan waktu secepat kilat. Kemenangan Abraham dan 

sekutu-sekutunya dalam perang itu pun dikatakan sempurna dan hanya 

dilakukan satu kompi pasukan berjumlah kecil. Abraham tidak hanya 

membebaskan Lot. Lebih dari itu Abaraham juga merebut kembali segala 

harta benda Raja-raja Sodom dan Gomora yang telah dirampas musuh 

(Kejadian 14:11-12.16). 

Sebagai pahlawan yang pulang perang, Abraham mendapat sambutan 

bak seorang raja dari Melkisedek, Raja Salem (1Sam.18:18). Bahkan, Raja 

Sodom dikisahkan hidup kembali (Kejadian 14:10.17) dan pergi 

menyongsong Abraham di Lembah Syawe. Pada periode tersebut narasi yang 

menyisipkan ritus yang dilakukan Melkisedek, Raja Salem (Kejadian 14:18-

20) ini, Lembah Syalem disamakan dengan Lembah Raja yang terletak dekat 

Yerusalem (2Samuel 18:18). Lembah Syalem yaitu  tempat kudus di mana 

Melkisedek bertindak sebagai imam sekaligus raja di wilayah itu.  

Sebaliknya, Abraham tidak mendapat sambutan yang sepatutnya dari 

Raja Sodom. Abraham diminta menyerahkan tawanan-tawanan perang 

sekaligus mengambil  harta benda yang berhasil dirampas saat perang 

(Kejadian 14:21). Dengan tegas Abraham menolak permintaan itu. 

Kemungkinan besar, Abraham menolak permintaan itu berdasarkan dua 

alasan. Pertama, Abraham tidak mau mendapat kesan bahwa dirinya yaitu  

semata-mata serdadu bayaran Raja Sodom. Kedua, Abraham bermaksud 

menunjukkan bahwa kemenangan perang yang diraihnya itu bukanlah berkat 

kekuatan atau kesuksesannya, melainkan diperoleh dari Allah. Oleh karena 

itu, hanya Allah yang boleh memberi kekayaan kepadanya. Abraham menolak 

permintaan Raja Sodom itu dengan bersumpah. 

 

2. Sumpah demi El Elyon  

Dalam konteks pluralisme dan toleransi, yang menarik yaitu  saat 

Abraham menyebut nama Allah saat bersumpah.  

 

“Aku bersumpah demi TUHAN, Allah Yang Mahatinggi, Pencipta 

langit dan bumi...” (Kejadian 14:22b).  

 

 

 

120 

Abraham menyebut nama TUHAN (Yahweh) ditambah dengan gelar, 

‘Allah Yang Mahatinggi’ (‘El Elyon’), Pencipta Langit dan Bumi’. Sebutan 

‘El Elyon’ yaitu  sebutan untuk Allah yang dihormati di Yerusalem. Dengan 

menyebut TUHAN (Yahweh) dengan sebutan ‘El Elyon’ di tempat lain di luar 

Yerusalem, Abraham mau menegaskan bahwa sebenarnya Yahweh yaitu  

Allah Israel secara keseluruhan (Cross, 1997:244-253). Yahweh memerintah 

juga di wilayah yang telah direbut kembali oleh Abraham itu. Yahweh 

memerintah di wilayah itu dengan mencurahkan berkat kemenangan. Dengan 

demikian, Abraham sekaligus mengingat sekaligus menegaskan Firman 

Yahweh kepadanya saat memerintahkannya untuk pergi ke tanah terjanji. 

  

“Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan 

mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua 

kaum di muka bumi akan mendapat berkat” (Kejadian 12:3).  

 

Yahweh tidak hanya memberi berkat bagi Abraham dan bangsanya, 

namun  juga melalui Abraham semua kaum di muka bumi akan memeroleh 

berkat-Nya. Yahweh, Allah yang satu menjadi Allah yang menyelamatkan 

semua bangsa.  

Alasan lain Abraham menyebut Yahwe sebagai ‘El Elyon’juga tetap 

beraroma toleransi. Dengan menyebut Yahweh sebagai ‘El Elyon’, Abraham 

bermaksud menghormati Melkisedek yang menyongsongnya dengan 

membawa roti dan anggur. Melkisedek yaitu  seorang imam ‘Allah Yang 

Mahatinggi’ (Kejadian 14:18). Sebenarnya, supaya lebih jelas, lebih baik 

dibaca bahwa Melkisedek yaitu  ‘imam El Elyon’. ‘El’ yaitu  nama dewa 

Kanaan. ‘El’ yaitu  allah segala allah, raja dan bapa segala allah. ‘El’ juga 

diakui sebagai pencipta langit dan bumi, bijaksana dan ramah tamah. Sebagai 

imam, Melkisedek menyongsong dan menyambut Abraham untuk 

memberkatinya. Kata-kata berkat Melkisedek terbagai menjadi dua bagian. 

Pertama, berkat dari ‘El Elyon’ kepada Abraham (Kejadian 14:19b). Kedua, 

madah pujian kepada ‘El Elyon’ yang telah memberikan kemenangan kepada 

Abraham (Kejadian 14:20a). Yang tak sanggup dilakukan koalisi lima raja di 

Lembah Sungai Yordan, bisa diperoleh Abraham dengan satu kompi kecil 

pasukan perang. 

Abraham menjawab berkat Melkisedek dengan mempersembahkan 

kepadanya sepersepuluh dari semuanya (Kejadian 14:20b). Bisa jadi, besaran 

ini merupakan suatu jumlah yang pantas diberikan dari hasil seluruh jarahan 

yang diperoleh. Dengan persepuluhan itu, Abraham mengakui berkat 

Melkisedek, menerima imamat rajawinya sekaligus tempat sucinya di lembah 

 

 

121 

tersebut. Dengan kata lain, Abraham menghormati iman Melkisedek, 

walaupun ia tetap mengimani Yahweh karena tetap bersumpah demi Yahweh. 

   Dalam narasi kepahlawanannya, Abraham menunjukkan pentingnya 

menggunakan ruang publik seperti Lembah Syalem untuk menegaskan iman 

personal sekaligus penghormatan terhadap iman bangsa lain. Dalam hidup 

masa kini banyak bertebaran ruang-ruang publik yang juga bisa dimanfaatkan 

untuk membuka ruang pluralisme dan toleransi antar-iman. Ruang publik 

merupakan salah satu dari sejumlah elemen kehidupan masyarakat yang 

memiliki peran sangat penting. Ruang ini berperan sebagai pusat interaksi dan 

komunikasi masyarakat baik formal maupun informal, individu maupun 

kelompok.  

Secara singkat dapat ditegaskan bahwa ruang publik merupakan suatu 

ruang yang berfungsi untuk aneka ragam aktivitas masyarakat yang berkaitan 

dengan sosial, ekonomi, dan budaya. Dalam ruang publik ini, relasi 

interpersonal memperoleh tempatnya untuk bertumbuh dan berkembang. 

Seiring dengan itu, masing-masing keberadaan personal yang terlibat dalam 

interaksi tersebut semakin ditegaskan karena secara alamiah keberadaan 

setiap personal itu terhubung secara timbal balik (reciprocal relationship) 

dengan person atau pribadi lainnya.   

 

C. RANGKUMAN 

Firman Allah itu menghendaki senantiasa terjadinya pembaharuan 

terhadap bumi dan segala ciptaan itu. Pembaharuan ini tentunya mensyaratkan 

keterbukaan akan aneka macam kemungkinan. Kesaksian Kitab Suci 

Perjanjian Lama mengajarkan perlunya perubahahan, kontekstualisasi, dan 

toleransi dalam pluralitas. Keragaman atau pluralisme sosio-religius saat ini 

menjadi suatu kenyataan sosial yang tidak dapat dihindari. Tentu saja situasi 

yang harus diterima ini menjadi suatu ranah tersendiri bagi digelarnya 

pelbagai macam upaya. Tujuannya, supaya keragaman itu tak jatuh pada 

konflik-konflik antar-pihak yang beragam tersebut. Untuk itu diperlukan 

interaksi beraroma toleransi yang tepat.  

 

Interaksi yang semakin intensif dan ekstensif antar-pribadi maupun 

kelompok yang beragam ini menuntut pengenalan dan pengetahuan yang 

semakin mendalam mengenai berbagai identitas masing-masing. Alasan 

keberagaman ini yang menjadikan masyarakat dunia akan semakin menyadari 

dirinya sebagai sesama yang harus belajar membagi ruang kehidupan yang 

terbatas ini. Kepedulian yang sama terhadap persoalan kemanusiaan, 

keprihatinan terhadap masalah lingkungan hidup dan cita-cita untuk 

 

 

122 

mengalami suatu kehidupan yang adil dan damai telah mempertemukan 

manusia dari pelbagai latar belakang yang berbeda. 

  


RIBKA SEBAGAI IBU BANGSA ISRAEL 

 

 

Perempuan yang muncul dalam kitab Kejadian setelah Sara yaitu  

Ribka. Ia yaitu  istri Ishak. Ishak yaitu  putra Abraham. Kitab Kejadian 

merekam sejumlah narasi menarik tentang Ribka. Narasi-narasi tersebut 

melukiskan sekaligus menunjukkan karakteristik Ribka sebagai perempuan 

Yahudi yang memiliki beberapa keutamaan. Antara lain, iman yang teguh dan 

keberanian yang menonjol. Dengan karakteristiknya ini, Ribka pantas 

menjadi teladan bagi umat beriman saat ini, terutama bagi para perempuan. 

Selain sebagai teladan, Ribka yaitu  ibu Bangsa Israel. Ribka memeroleh 

status ini melalui perjuangan hidupnya menanggapi panggilan Tuhan secara 

personal dengan pergi ke tanah asing untuk menemui lelaki asing yang 

selanjutnya menjadi suaminya, yaitu Ishak. 

 

B. 

Bagian ini memberikan deskripsi sosok Ribka sebagai ibu Bangsa 

Israel. Deskripsi terlaksana dengan pemaparan kesiap-sediaan Ribka, Ribka 

 

 

124 

bukanlah gadis manja, Ribka menjadi penggenap Sabda Allah, Ribka menjadi 

istri Ishak, dan empat keutamaan Ribka. Deskripsi ini tersaji dengan tafsiran 

menggunakan pendekatan ‘Analisis-Naratif’ atas teks Kejadian 24. 

 

1. Kesiap-sediaan Ribka 

Kafilah itu telah melintas sebagian besar tanah Kanaan. Ribka 

termasuk dalam kafilah itu. Kini rombongan itu melintas Tanah Negeb nan 

gersang.  

 

“Adapun Ishak telah datang dari arah sumur Lahai-Roi; ia tinggal di 

Tanah Negeb” (Kejadian 24:62).  

 

Saat malam tiba Ribka melayangkan pandangannya ke arah lanskap 

hamparan gurun terjal yang mengelilinginya. Setelah beberapa minggu 

bepergian, ia mulai terbiasa dengan lenggok langkah unta yang 

ditungganginya. Ia bergerak menjauh dari Haran, kampung halamannya yang 

sudah tertinggal ratusan kilometer di sebelah Timur Laut dari posisinya saat 

itu. Ia yakin sekaligus pasrah bahwa kampung halaman beserta keluarga yang 

ditinggalkannya itu tidak akan pernah dilihatnya lagi.  

Saat mengetahui bahwa perjalanannya hampir berakhir, hati Ribka 

bertanya-tanya tentang masa depan hidupnya. Tanah luas yang terhampar di 

hadapannya hanyalah gurun gersang. Ribka mulai menduga-duga bahwa 

tanah kering semacam itu mungkin tidak baik untuk bercocok tanam, namun  

bagus untuk beternak. Selanjutnya, ia mulai membayangkan akan melihat 

domba-domba di jalan. Akan namun , lepas dari aneka bayangan itu, yang 

paling mengganggunya yaitu  apa dan siapa yang akan menantinya di tanah 

asing yang tidak dikenalnya itu. Apakah ia akan menyukai lelaki yang akan 

menjadi suaminya itu?  

Pertanyaan-pertanyaan itu membuat hati Ribka makin gelisah. Akan 

namun , Ribka berhasil mengalahkan kegelisahannya itu dengan dua keutamaan 

yang dimilikinya, yaitu iman yang besar dan keberanian yang luar biasa. 

Ribka mendapatkan iman yang besar dari tradisi keluarga yang kuat. 

Keluarganya yang tinggal di Padan-Aram, Mesopotamia, tidak seperti orang-

orang lain di daerah dekat kota Haran itu. Umumnya penduduk daerah itu 

menyembah Sin, Dewa Bulan. Akan namun , keluarga Ribka menyembah 

TUHAN, sebagaimana ditunjukkan Laban dan Betuel.  

 

“Semuanya ini datangnya dari TUHAN; Kami tidak dapat 

mengatakan kepadamu baiknya atau buruknya” (Kejadian 24:50). 

 

 

 

125 

Iman akan TUHAN ini memberi kepada Ribka keberanian untuk 

menerima perubahan besar dalam hidupnya. Perjodohan memang bukanlah 

sesuatu yang asing pada masa itu. Akan namun , perkawinan yang terjadi akibat 

perjodohan sampai harus berpindah ke tanah asing, bukanlah sesuatu yang 

lumrah. Perpindahan semacam itu membutuhkan keberanian yang luar biasa. 

Sebagai seorang gadis, Ribka menunjukkan keberanian yang luar biasa untuk 

menghadapi perubahan besar dalam hidupnya. Iman dan keberanian itulah 

yang mendorong Ribka menyatakan kesediaannya mengikuti para hamba 

Abraham ke tanah asing berdasarkan ajakan mereka.  

 

“‘Baiklah kita panggil anak gadis itu dan menanyakan kepadanya 

sendiri.’ Lalu mereka memanggil Ribka dan berkata kepadanya, 

‘Maukah engkau pergi beserta orang ini?’ Jawabnya, ‘Mau’” 

(Kejadian 24:57-58). 

 

Kesediaannya pergi ke tanah asing menjadi titik balik dalam hidup 

Ribka. Kesediaan Ribka mengungkapkan imannya yang dalam pada Allah. 

Bagi Ribka, kehendak Allah lebih penting dari kepentingannya sendiri. 

Dengan kesediaannya pergi ke tanah asing dan kawin dengan lelaki yang 

belum dikenalnya, Ribka juga hendak menghayati walaupun secara terbalik 

pesan Kitab Suci.  

 

“Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan 

bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging” 

(Kejadian 2:24; Efesus 5:31).  

 

2. Ribka Bukanlah Gadis Manja 

Sebenarnya Ribka tidak perlu pergi jauh ke tanah asing untuk 

mendapatkan jodoh. Paras wajahnya sangat cantik.  

 

“Anak gadis itu sangat cantik parasnya, seorang perawan, belum 

pernah bersetubuh dengan laki-laki; ia turun ke mata air itu dan 

mengisi buyungnya, lalu kembali naik” (Kejadian 24:16).  

 

Pribadinya menarik. Keluarganya kaya. Ia hidup berkecukupan. Akan 

namun , bermacam kondisi kemudahan itu tidak membuatnya tumbuh sebagai 

gadis manja. Keluarganya mengajar Ribka untuk bekerja keras. Meskipun 

kaya, keluarga Betuel tidak memiliki pembantu. Oleh karena itu, sebagai anak 

gadis, Ribka harus menangani banyak tugas berat di rumahnya. Ia bekerja 

bahu-membahu dengan Laban, saudara laki-lakinya (Kejadian 24:29) 

 

 

126 

menyejahterakan Betuel, ayah mereka yang tak lain yaitu  putra Nahor bin 

Terah, saudara laki-laki Abraham (Kejadian 11:26). 

 

“Ribka mempunyai saudara laki-laki, namanya Laban. Laban berlari 

ke luar mendapatkan orang itu, ke mata air tadi” (Kejadian 24:29). 

 

Salah satu tugas Ribka yaitu  pergi ke sumur sambil memikul buyung 

di pundaknya untuk menimba dan mengambil air bagi keluarganya.  

 

“Di sana disuruhnyalah unta itu berhenti di luar kota dekat suatu 

sumur, pada waktu petang hari, waktu perempuan-perempuan keluar 

untuk menimba air. Lalu berkatalah ia: TUHAN, Allah tuanku 

Abraham, buatlah kiranya tercapai tujuanku pada hari ini, 

tunjukkanlah kasih setia-Mu kepada tuanku Abraham. Di sini aku 

berdiri di dekat mata air, dan anak-anak perempuan penduduk kota 

ini datang keluar untuk menimba air. Kiranya terjadilah begini: anak 

gadis, kepada siapa aku berkata: Tolong miringkan buyungmu itu, 

supaya aku minum, dan yang menjawab: Minumlah, dan unta-untamu 

juga akan kuberi minum – dialah kiranya yang Kautentukan bagi 

hamba-Mu, Ishak; maka dengan begitu akan kuketahui, bahwa 

Engkau telah menunjukkan kasih setia-Mu kepada tuanku itu.’ 

Sebelum ia selesai berkata, maka datanglah Ribka, yang lahir bagi 

Betuel, anak laki-laki Milka, isteri Nahor, saudara Abraham; 

buyungnya dibawanya di atas bahunya” (Kejadian 24:11-15). 

 

Pada suatu kesempatan setelah Ribka mengisi buyungnya, seorang 

lelaki tua berlari ke arahnya.  

 

“Ia berkata, ‘Tolong beri aku minum air sedikit dari buyungmu itu’” 

(Kejadian 24:17). 

 

Ribka langsung memberikan air yang ada dalam buyungnya kepada 

lelaki tua tersebut. Tidak hanya itu. Selanjutnya segeralah dituangnya air yang 

di buyungnya itu ke dalam palungan, lalu berlarilah ia sekali lagi ke sumur 

untuk menimba air dan ditimbalah untuk semua unta orang itu. 

 

“Kemudian segeralah dituangnya air yang di buyungnya itu ke dalam 

palungan, lalu berlarilah ia sekali lagi ke sumur untuk menimba air 

dan ditimbanyalah untuk semua unta orang itu” (Kejadian 24:20). 

 

 

 

127 

Ribka tidak sekadar memberi minum kepada lelaki tua itu, namun  juga 

memuaskan dahaga kesepuluh untanya, sampai rasa haus mereka hilang 

(Kejadian 19). Seekor unta yang haus setelah perjalanan melintasi gurun pasir 

sanggup menghabiskan sekitar 95 liter atau 25 galon air. Jumlah itu tentu 

bukan sedikit. Untuk itu, Ribka harus bekerja keras selama berjam-jam. Ribka 

menunjukkan hospitalitas atau keramahan yang luar biasa bukan saja kepada 

orang asing, melainkan juga kepada unta-untanya. Bukan hanya air untuk 

pemuas dahaga, Ribka juga tidak segan mempersilakan orang asing itu masuk 

ke rumah keluarganya. Masuklah orang itu ke dalam rumah. Ditanggakanlah 

pelana unta-unta, diberikan jerami dan makanan kepada unta-unta itu, lalu 

dibawa air pembasuh kaki untuk orang itu dan orang-orang yang bersama 

dengan dia. 

 

“Masuklah orang itu ke dalam rumah. Ditanggalkanlah pelana unta-

unta, diberikan jerami dan makanan kepada unta-unta itu, lalu 

dibawa air pembasuh kaki untuk orang itu dan orang-orang yang 

bersama-sama dengan dia” (Kejadian 24:32). 

 

Pertolongannya total. Bantuannya kepada orang asing tidak setengah-

setengah. Tindakannya itu sekaligus menunjukkan bahwa ia yaitu  seorang 

Yahudi yang taat pada aturan-aturan, terutama memerhatikan orang asing, 

anak yatim, dan janda-janda (Ulangan 26:12). Ia bukanlah tipe pribadi yang 

memikirkan dirinya sendiri seperti digambarkan Paulus.  

 

“Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang 

sukar. Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba 

uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan 

menjadi pemfitnah, mereka akan berontak terhadap orang tua dan 

tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama, tidak tahu 

mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat 

mengekang diri, garang, tidak suka yang baik, suka 

mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti 

hawa nafsu dari pada menuruti Allah. Secara lahiriah mereka 

menjalankan ibadah mereka, namun  pada hakekatnya mereka 

memungkiri kekuatannya. Jauhilah mereka itu!” (2Timotius 3:1-5). 

 

Ribka yaitu  teladan hospitalitas, keramahan seorang tuan rumah 

yang menerima semua orang dalam rumahnya dan memberikan kepada 

mereka segala yang dibutuhkan secara berlimpah. Iman akan Tuhan 

memotivasi dirinya menjadi pribadi yang ramah. Ia bagaikan Orang Samaria 

 

 

128 

yang baik hati (Lukas 10:33) versi Kitab Suci Perjanjian Lama. Ribka juga 

sekaligus menunjukkan gambaran utuh Allah yang murah hati kepada semua 

orang, yang menghendaki hamba-hamba-Nya juga murah hati, terutama 

kepada mereka yang tidak sanggup membayar dengan cara apa pun. 

 

“namun  Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah 

bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah 

kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan 

matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan 

hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. Apabila 

kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah 

upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian?” (Matius 

5:44-46). 

 

“Berilah tumpangan seorang akan yang lain dengan tidak bersungut-

sungut” (1Petrus 4:9). 

 

3. Ribka Menjadi Penggenap Sabda Allah 

Lelaki asing tua yang datang ke sumur yaitu  hamba Abraham 

(Kejadian 24:2), paman Betuel, ayah Ribka. meskipun tuan rumah telah 

mempersilakan dirinya untuk menyantap hidangan yang disediakan untuknya, 

hamba itu bersikeras untuk terlebih dahulu menyampaikan amanat yang 

dibawa dari tuannya.  

 

“Aku tidak akan makan sebelum kusampaikan pesan yang kubawa 

ini!” (Kejadian 24:33). 

 

Bagai lelatu memantik bara, hospitalitas tuan rumah memotivasi sang 

hamba yang setia ini untuk semakin meyakini bahwa misinya berlabuh pada 

tempat dan tujuan yang benar. Ia pun lantas berkisah tentang Abraham 

tuannya yang hidup penuh berkat Allah di Tanah Kanaan. Ia menjelaskan 

bahwa Abraham dan istrinya Sara memiliki seorang putera. Ishak namanya. 

Puteranya ini akan mewarisi segala berkat yang dimiliki Abraham. Tuannya, 

Abraham memberinya tugas yang sangat istimewa. Tugas itu yaitu  pergi ke 

ke tanah keluarganya di Mesopotamia untuk mencarikan istri bagi puteranya, 

Ishak. 

 

“Lalu berkatalah ia: Aku ini hamba Abraham. TUHAN 

sangat memberkati tuanku itu, sehingga ia telah menjadi 

kaya; TUHAN telah memberikan kepadanya kambing domba dan 

 

 

129 

lembu sapi, emas dan perak, budak laki-laki dan perempuan, unta dan 

keledai. Dan Sara, isteri tuanku itu, sesudah tua, telah melahirkan 

anak laki-laki bagi tuanku itu; kepada anaknya itu telah diberikan 

tuanku segala harta miliknya. Tuanku itu telah mengambil sumpahku: 

Engkau tidak akan mengambil untuk anakku seorang isteri dari antara 

perempuan Kanaan, yang negerinya kudiami ini, namun  engkau harus 

pergi ke rumah ayahku dan kepada kaumku untuk mengambil seorang 

isteri bagi anakku” (Kejadian 24:34-38).  

 

Misi sang hamba ini bukan sekadar keinginan manusia. Abraham telah 

menjelaskan kepada sang hamba bahwa ia tidak akan memilih seorang istri 

dari kalangan Kanaan untuk Ishak (Kejadian 24:3). Alasannya, Orang Kanaan 

tidak menyembah TUHAN. Tugas sang hamba menjadi istimewa karena 

memuat sekaligus sejumlah tradisi iman Abraham secara khusus dan Bangsa 

Israel pada umumnya. Pertama, menjaga integritas keluarga Abraham sebagai 

cikal bangsa terpilih yang tidak boleh tercemar bangsa lain. Kedua, 

menempatkan Ishak, putera Abraham sebagai sosok yang akan memiliki 

peran penting dalam penggenapan janji Allah.  

 

“namun  keturunan yang keempat akan kembali ke sini, sebab sebelum 

itu kedurjanaan orang Amori itu belum genap” (Kejadian 15:16). 

 

“namun  Allah berfirman: Tidak, melainkan isterimu Saralah yang 

akan melahirkan anak laki-laki bagimu, dan engkau akan menamai 

dia Ishak, dan Aku akan mengadakan perjanjian-Ku dengan 

dia menjadi perjanjian yang kekal untuk keturunannya” (Kejadian 

17:19).  

 

“Berkatalah Abraham kepada hambanya yang paling tua dalam 

rumahnya, yang menjadi kuasa atas segala kepunyaannya, katanya: 

‘Baiklah letakkan tanganmu di bawah pangkal pahaku, supaya aku 

mengambil sumpahmu demi TUHAN, Allah yang empunya langit dan 

yang empunya bumi, bahwa engkau tidak akan mengambil untuk 

anakku seorang isteri dari antara perempuan Kanaan yang di 

antaranya aku diam. namun  engkau harus pergi ke negeriku dan 

kepada sanak saudaraku untuk mengambil seorang isteri bagi 

Ishak, anakku’” (Kejadian 24:2-4). 

 

Ketiga, memastikan Tanah Kanaan sebagai tanah untuk tumbuh 

berkembangnya bangsa terpilih.  

 

 

130 

Oleh karena sadar bahwa misinya bukan sekadar datang dari keinginan 

manusia, sang hamba pun senantiasa menyertai misinya tersebut dengan doa 

dan kepasrahan kepada kehendak Allah.  

 

“TUHAN, Allah tuanku Abraham, buatlah kiranya tercapai tujuanku 

pada hari ini, tunjukkanlah kasih setia-Mu kepada tuanku Abraham. 

Di sini aku berdiri di dekat mata air, dan anak-anak perempuan 

penduduk kota ini datang keluar untuk menimba air. Kiranya 

terjadilah begini: anak gadis, kepada siapa aku berkata: Tolong 

mirinkan buyungmu itu, supaya aku minum, dan yang menjawab: 

Minumlah, dan unta-untamu juga akan kuberi minum – dialah kiranya 

yang Kautentukan bagi hamba-Mu, Ishak; maka dengan begitu akan 

kuketahui, bahwa Engkau telah menunjukkan kasih setia-Mu kepada 

tuanku itu” (Kej.24:12-14). 

 

Di sini nampak dinamika antara pewahyuan dan iman atau kehendak 

Allah dengan keinginan-kepasrahan manusia kepada-Nya. Sang hamba telah 

menunjukkan upayanya melaksanakan dan menuntaskan misinya dengan 

melibatkan kehendak Allah melalui doanya. Dari pihak keluarga Betuel, 

upaya serupa pun terungkap. Kisah dan kata-kata sang hamba menggerakkan 

hati Betuel dan Laban.  

 

“Lalu Laban dan Betuel menjawab: Semuanya ini datangnya dari 

TUHAN; kami tidak dapat mengatakan kepadamu baiknya atau 

buruknya” (Kejadian 24:50). 

 

Sebenarnya sebagai lelaki dalam keluarga Yahudi, persetujuan mereka 

cukup untuk membiarkan atau mengijinkan Ribka memenuhi misi sang 

hamba tersebut. Akan namun , keduanya bukanlah sosok-sosok lelaki yang 

sewenang-wenang dalam mengambil keputusan. Mereka melibatkan 

keputusan personal Ribka.  

 

“Kata mereka, ‘Baiklah kita panggil anak gadis itu dan menanyakan 

kepadanya sendiri’” (Kejadian 24:57).  

 

Tanggapan atas pewahyuan atau kehendak Allah yaitu  iman yang 

bersifat personal. Iman personal ini tidak dapat diwakilkan siapa pun. 

Agaknya, Betuel dan Laban sangat memahami perkara ini. Oleh karena bukan 

menyangkut pribadi mereka semata, keduanya menyerahkan keputusan 

 

 

131 

personal kepada Ribka untuk menanggapi panggilan Allah secara personal 

pula. 

Tanggapan personal Ribka menjadi sempurna dengan dukungan 

keluarganya. Keluarga Betuel memberikan restu kepada Ribka yang sangat 

mereka kasihi. Untuk itu, Debora menemani Ribka pergi ke tanah asing. 

Debora yaitu  seorang pengasuh perempuan yang merawat Ribka sejak masih 

kecil.  

“saat  Debora, inang pengasuh Ribka, mati, dikuburkanlah ia di 

sebelah hilir Betel di bawah pohon besar, yang dinamai orang: Pohon 

Besar Penangisan” (Kejadian 35:8). 

 

Selain Debora, sejumlah pelayan juga menyertai kepergian Ribka ke 

tanah asing.  

 

“Maka Ribka, saudara mereka itu, dan inang pengasuhnya beserta 

hamba Abraham dan orang-orangnya dibiarkan mereka pergi. Dan 

mereka memberkati Ribka, kata mereka kepadanya: Saudara kami, 

moga-moga engkau menjadi beribu-ribu laksa, dan moga-moga 

keturunanmu menduduki kota-kota musuhnya.’ Lalu berkemaslah 

Ribka beserta hamba-hambanya perempuan, dan mereka naik unta 

mengikuti orang itu. Demikianlah hamba itu membawa Ribka lalu 

berjalan pulang” (Kejadian 24:59-61). 

 

Mereka meninggalkan kampung halaman untuk menempuh perjalanan 

yang jauh. Itu yaitu  perjalanan yang panjang, yaitu 500 mil atau sekitar 800 

kilometer. Sebagaimana Kitab Suci Perjanjian Lama mencatat, Ribka yaitu  

anggota keluarga penggembala, bukan keluarga pedagang yang biasa 

memimpin iring-iringan kafilah unta. Tidak dapat dipastikan bahwa ia sering 

menunggangi unta. Dapat dibayangkan bahwa perjalanan itu juga bukanlah 

perjalanan yang nyaman. Akan namun , menanggapi panggilan Allah bukanlah 

perkara mencari kenyamanan. Menanggapi panggilan Allah merupakan upaya 

setia pada komitmen sekaligus upaya menunjukkan kepasrahan total. 

 

4. Ribka Menjadi Istri Ishak 

Menjelang senja, dari arah sumur Lahai-Roi wilayah Tanah Negeb 

datanglah Ishak. Ia melayangkan pandangan ke arah jalan-jalan di padang dan 

dilihatnyalah ada unta-unta datang. Ribka pun melihat Ishak. Saat melihat 

Ishak, Ribka turun dari untanya. Ia mengambil telekungnya dan 

bertelekunglah ia.  

 

 

 

132 

“Ribka juga melayangkan pandangnya dan saat  dilihatnya Ishak, 

turunlah ia dari untanya. Katanya kepada hamba itu: ‘Siapakah laki-

laki itu yang berjalan di padang ke arah kita?’ Jawab hamba itu: 

‘Dialah tuanku itu.’ Lalu Ribka mengambil telekungnya dan 

bertelekunglah ia” (Kejadian 24:64-65). 

 

Tindakannya ini pun menunjukkan keutamaan dirinya sebagai 

perempuan baik-baik. Seorang perempuan menelekungi atau menudungi 

kepalanya untuk menunjukkan kesopanan dan menyatakan martabatnya. 

Tanpa tudung, seorang perempuan tidak memiliki martabat, sebagaimana 

dikatakan Paulus.  

 

“Tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala 

yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan 

perempuan yang dicukur rambutnya” (1Korintus 11:5).  

 

Tudung berfungsi sebagai bukti harga diri dan kemuliaan seorang 

perempuan sebagaimana Allah telah menciptakannya. Saat berdandan dengan 

sopan dan pantas bagi kemuliaan Allah, seorang perempuan mempertinggi 

martabat dan kelayakannya sendiri sebagaimana telah dikaruniakan Allah 

kepadanya. 

 

Ribka menunjukkan martabatnya sebagai seorang perempuan. 

Sekaligus dengan tindakannya itu, ia hendak menunjukkan martabat laki-laki 

yang dilihatnya dari kejauhan yang diyakininya sebagai calon suaminya. 

Dengan bertelekung ia hendak menunjukkan bahwa ia yaitu  perempuan 

baik-baik. Secara tidak langsung, tindakannya itu menunjukkan bahwa Ishak 

pun yaitu  laki-laki yang memiliki keutamaan karena calon isterinya yaitu  

perempuan baik-baik. Ribka menunjukkan rasa hormat yang pantas kepada 

calon suaminya. Teladan semacam ini sangat berguna bagi kehidupan 

keluarga-keluarga kristiani modern. 

Ishak yang saat itu berusia kurang lebih empatpuluhan masih terbawa 

duka akibat wafatnya sang ibunda, Sara. Ishak mengambil Ribka menjadi 

isterinya. Ishak mencintainya dan demikianlah ia dihiburkan setelah ibunya 

meninggal.  

 

“Lalu Ishak membawa Ribka ke dalam kemah Sara, ibunya, dan 

mengambil dia menjadi isterinya. Ishak mencintainya dan demikian ia 

dihiburkan setelah ibunya meninggal” (Kejadian 24:67). 

 

 

 

133 

Kehadiran Ribka bagi Ishak sebagai isterinya menjadi penggenapan 

kehendak Allah sendiri sedari awalnya.  

 

“Tuhan menyatakan dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu 

dibawa-Nya kepada manusia itu sebagai penolong yang sepadan” (Kejadian 

2:22).  

 

Ribka dan Ishak bertemu dan menjadi suami-istri seturut kehendak 

Allah. Seturut kehendak Allah, suami-istri yaitu  dua pribadi yang saling 

menghormati satu sama lain dan saling menolong dalam membangun 

kehidupan bersama dalam keluarga. 

 

5. Empat Keutamaan Ribka  

Selain narasi perjalanan jauhnya ke tanah asing dan menjadi isteri 

seorang yang baru dikenalnya, Ribka berperan dalam sejumlah narasi dan 

kutipan lain dari Kitab Suci yang mengungkapkan keutamaan hidup lainnya. 

 

(1) Namanya bermakna ‘menawan’. Secara lebih rinci makna Ribka 

yaitu  ‘tali untuk mengikat hewan’ atau ‘simpul yang hidup’. Jika 

diterapkan pada diri seorang perempuan, makna ini menunjukkan 

bahwa si pemilik nama yaitu  sosok yang menunjukkan 

keindahan atau kecantikan yang membuat seorang laki-laki 

merasa terikat atau tertawan. Makna namanya ini mencerminkan 

kemampuannya untuk menarik perhatian sang hamba Abraham. 

Hati sang hamba tertawan saat melihat dengan mata kepalanya 

sendiri kecantikan Ribka. Oleh karena tertawan kecantikan Ribka, 

sang hamba lantas berlutut dan dan bersujud menyembah TUHAN 

dan memuji-Nya.  

 

“Terpujilah TUHAN, Allah tuanku Abraham, yang tidak menarik 

kembali kasih-Nya dan setia-Nya dari tuanku itu; dan TUHAN 

telah menuntun aku di jalan ke rumah saudara-saudara tuanku 

ini” (Kejadian 24:26-27).  

 

(2) Proses bertemunya Ribka dan Ishak sebagai suami-isteri dijadikan 

tradisi ritus perkawinan Yahudi modern. Sebagaimana narasi telah 

mengungkapnya, Ribka menyambut Ishak dengan bertelekung 

atau berkerudung. Tradisi perkawinan Yahudi meniru dan 

menggunakan tindakan Ribka ini. Saat menyambut calon 

isterinya, seorang pengantin laki-laki menyelubungi atau 

 

 

134 

menutupi pengantin perempuan dengan kain sebelum dimulainya 

upacara perkawinan. Upacara ini disebut dengan ‘Badeken’. 

Dalam perkembangannya, tradisi ini tidak hanya dilakukan Orang-

orang Yahudi. Sejumlah tradisi meniru dan menggunakan juga 

upacara penyelubungan pengantin perempuan yang dilakukan 

pengatin laki-laki ini. 

 

(3) Ribka berdoa saat mengandung. Saat hendak melahirkan, Ribka 

merasakan dan mengalami rasa sakit yang amat sangat karena 

anak-anak kembar yang dikandungnya itu bertolak-tolakan di 

dalam rahimnya. Ia pun berkata.  

 

“‘Jika demikian halnya, mengapa aku hidup?’ Lantas TUHAN 

memberi petunjuk kepadanya. ‘Dua bangsa ada dalam 

kandunganmu, dan dua suku bangsa akan berpencar dari dalam 

rahimmu; suku bangsa yang satu akan lebih dari yang lain, dan 

anak yang tua akan menjadi hamba kepada anak yang muda’” 

(Kejadian 25:22-23). 

 

(4) Ribka menipu Ishak untuk menyelamatkan Yakub. Saat terbaring 

di ranjang kematian, Ishak siap memberi berkat kesulungan. Ribka 

menyadari bahwa Esau sebagai yang sulung lebih berhak 

menerima berkat tersebut. Akan namun , Esau telah mengambil 

Yudit anak Beeri orang Het dan Basmat anak Elon orang Het 

menjadi isterinya. Kedua perempuan itu menimbulkan kepedihan 

hati bagi Ishak dan bagi Ribka.  

 

“saat  Esau telah berumur empat puluh tahun, ia mengambil 

Yudit, anak Beeri orang Het, dan Basmat, anak Elon orang Het, 

menjadi isterinya. Kedua perempuan itu menimbulkan kepedihan 

hati bagi Ishak dan bagi Ribka” (Kejadian 26:34-35). 

 

Oleh karena itu, Ribka berusaha supaya Yakub yang menerima 

berkat tersebut. Ia pun mengolah dua anak kambing supaya 

dipersembahkan Yakub kepada Ishak sehingga memeroleh berkat 

itu. 

 

“Bawalah itu kepada ayahmu supaya dimakannya, supaya dia 

memberkati engkau, sebelum ia mati” (Kejadian 27:10).  

 

 

 

135 

Selain mengusahakan Yakub menerima berkat kesulungan, Ribka 

juga menyelamatkan Yakub dengan menyuruhkanya pergi kepada 

Laban, saudaranya.  

 

“Jadi sekarang, anakku, dengarkanlah perkataanku, bersiaplah 

engkau dan larilah kepada Laban, saudaraku, ke Haran, dan 

tinggallah padanya beberapa waktu lamanya, sampai kegeraman 

dan kemarahan kakakmu itu surut dari padamu” (Kejadian 27:43-

44). 

 

C. RANGKUMAN 

Dengan iman dan keberaniannya yang diperolehnya dari pengalaman 

personalnya akan Allah, Ribka sanggup melihat kehendak Allah pada diri 

keluarganya, terutama anaknya, Yakub. Walaupun harus dengan tipu daya, 

upayanya sanggup menyelamatkan Bangsa Israel. Berkat upayanya, 

kemurnian Bangsa Israel sebagai bangsa terpilih tetap terjaga. 

 

KURBAN DALAM PENTATEUKH  

 

Kitab Suci Perjanjian Lama, termasuk Kitab Pentateukh tidak memiliki 

istilah umum untuk ‘kurban’ kecuali istilah ‘qorban’. Akan namun , justru 

istilah ini jarang sekali digunakan. Secara praktis, istilah yang bermakna 

‘yang dibawa mendekat’ ini digunakan dalam cakupan yang sangat terbatas. 

Cakupannya hanya untuk aktivitas para imam. Guna memeroleh gambaran 

yang lebih terang-benderang tentang kurban, digunakanlah sejumlah istilah 

yang lebih teknis atau khusus. Istilah-istilah yang lebih khusus itu 

mengungkapkan atau melukiskan jenis-jenis kurban, atau lebih tepatnya cara 

pengurbanannya. Misalnya, ‘zæbaḥ šelāmîm’. Terjemahan umum kata ini 

dapat mendekati kata ‘kurban’. Akan namun , maknanya bisa juga lebih tajam, 

yaitu (kurban) ‘yang disembelih’. Ada juga kata ‘ola. Istilah ini dapat 

diterjemahkan sebagai ‘kurban bakaran’. Akan namun , sebenarnya, istilah ini 

lebih tepat jika dimaknai sebagai (kurban) ‘yang membubung ke atas’. Selain 

dari caranya, kurban secara khusus juga diungkapkan menurut maksudnya. 

Misalnya,’asyam. Istilah ini berarti ‘kurban penebus salah’. Kata lain 

 

 

137 

menyangkut kurban menurut maksudnya yaitu  ‘ḥatta’t’. Artinya, ‘kurban 

penghapus dosa’. 

 

B. 

Tentu saja, kurban-kurban tersebut tidak dapat begitu saja sampai 

dengan sendirinya kepada yang dituju, yaitu Allah. Dibutuhkan suatu aktivitas 

yang berfungsi menyampaikan kurban-kurban tersebut. Dari kebutuhan itu 

muncullah istilah ritual. Secara umum dapat dikatakan bahwa ritual mencakup 

segala macam kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat tertentu 

(Moore-Myerhoff, 1977: 3-24). Dalam pengertian umum ini, ritual tidak 

hanya menunjuk pada aktivitas ilahiah. Ritual juga bermakna aktivitas profan. 

Dengan kata lain, semua kebiasaan yang berlaku di dalam suatu komunitas 

masyarakat dipukul rata dengan sebutan sebagai ritual (Gorman, Jr., 1990:18-

19). 

Akan namun , jika digunakan pemaknaan secara umum itu, upaya 

penggalian makna ritual dan kurban tidak akan sampai makna tajamnya. Oleh 

karena itu, akan lebih tepat jika istilah ritual itu dimaknai sebagai suatu 

aktivitas yang menunjuk pada suatu tindakan atau proses tertentu yang disebut 

dengan kata ‘upacara’ (rite). Kata ‘upacara’ ini mensyaratkan adanya situasi, 

waktu, dan tempat tertentu. Tidak seperti kata ‘ritual’ yang dimaknai secara 

umum, kata ‘upacara’ ini dapat lebih ditempatkan dalam suatu sistem yang 

baku (Smith, 1982:103-112). 

Dengan kata lain, istilah ‘ritual’ yang dimaksudkan tentunya yaitu  

yang dalam makna khusus atau lebih sempit. Dalam pemaknaan yang lebih 

sempit itu, ritual merupakan suatu aktivitas kompleks yang mencakup 

tindakan simbolis. Tindakan tersebut ditandai dengan formalitas, keteraturan, 

ketertiban, dan urutan yang pasti. Tindakan itu pun harus diletakkan pada 

suatu situasi tertentu yang tidak sembarangan (C. Geertz, 1973:89-120). 

 

1. Allah Gemar Menata  

Tata tertib dan keteraturan segera mengingatkan orang pada Narasi 

Penciptaan versi Tradisi Priesterkodex (Kejadian 1-2:4a). Sejumlah ahli 

sepakat bahwa pada narasi itu Allah tidak persis meciptakan alam semesta 

dari tiada menjadi ada. Aktivitas Allah dalam narasi penciptaan tersebut lebih 

tepat disebut dengan aktivitas mengatur dan menata, atau menjadikan alam 

semesta menjadi lebih tertata dan teratur. Alam semesta yang sebelumnya 

kacau balau, selama enam hari ditata-Nya sehingga ada dalam keteraturan. 

Teks yang paling melukiskan aktivitas Allah menata yaitu  saat Allah 

memasang benda-benda penerang. Kata ‘memisahkan’ dan ‘menunjukkan’ 

 

 

138 

mengindikasikan perlu adanya kategorisasi yang jelas, demi suatu terciptanya 

suatu keteraturan. 

 

“Jadilah benda-benda penerang pada cakrawala untuk memisahkan 

siang dari malam. Biarlah benda-benda penerang itu menjadi tanda 

yang menunjukkan masa-masa yang tetap dan hari-hari dan tahun-

tahun” (Kejadian 1:14).  

 

Dari kisah tersebut, dapat dikatakan bahwa karakteristik keberadaan 

Allah di tengah ciptaan-Nya yaitu  upaya-Nya menciptakan keteraturan dan 

ketertiban. Ada keyakinan kuat dari Tradisi Priesterkodex bahwa keteraturan 

tatanan alam semesta atau dunia merupakan keteraturan yang dikehendaki dan 

diciptakan Allah sendiri (Schmid, 1984:111).  

Keteraturan ini pula yang dituntut Allah saat Diri-Nya berada di 

tengah-tengah umat-Nya, yaitu Bangsa Israel. Oleh karena itu, dalam setiap 

moment narasi Bangsa Israel, selalu ada upaya penataan saat Allah hendak 

hadir di tengah-tengah mereka. Keteraturan itu merupaka syarat mutlak jika 

Bangsa Israel ingin memeroleh keselamatan. Dengan kata lain, harus ada tata 

lahir yang nampak supaya tata keselamatan itu sungguh nyata atau konkret 

dirasakan dan dialami karena dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, Bangsa 

Israel mengalami Allah yang Mahadahsyat, suatu kehadiran yang 

menyelamatkan (Work, 2002:129). 

Para penulis dari Tradisi Priesterkodex memiliki keyakinan bahwa 

Allah menciptakan dunia yang tertata dan teratur dalam tata ritual tertentu. 

Saat menata alam semesta, Allah dengan sengaja memilih waktu, ruang, dan 

pola khusus demi terciptanya keteraturan tersebut. Dengan demikian, 

penciptaan itu sendiri menjadi suatu ritual khas Allah. Bagi para penulis dari 

Tradisi Priesterkodex, penciptaan dan ritual tidak dapat dipisahkan. Keduanya 

menjadi aspek yang saling terkait secara dinamis (Levenson, 1968:121-127). 

Keteraturan yang menjadi suatu ritual itu pada gilirannya menjadi suatu upaya 

Allah menguduskan dan menyelamatkan umat-Nya. 

 

 

2. Manusia Gemar Merusak 

Sayangnya, berkali-kali pula manusia gemar merusak keteraturan ini 

dengan ulahnya. Yang pertama yaitu  saat kejatuhan manusia pertama ‘ke 

dalam dosa’ (Kejadian 3). Bak lelatu memantik bara, keinginan tidak teratur 

manusia berjumpa hasutan ular. Aturan yang ditetapkan Allah supaya 

mengolah dan memanfaatkan segala sesuatu yang ditentukan dan ditetapkan-

Nya dan tidak memakan buah yang dilarang-Nya (Kejadian 2:16-17) 

 

 

139 

dilanggar manusia. Akibatnya, terusirlah manusia dari Taman Eden yang 

tertata apik itu. Di luar taman itu, manusia harus memulai kehidupan yang 

menuntut jerih payah, jauh dari rahmat Allah dalam dunia yang serba tak 

teratur.  

Setelah itu sejumlah narasi kejatuhan manusia dalam ketidak-teraturan 

mewarnai relasi Allah dengan Bangsa Israel. Salah satu moment puncak 

terlemparnya manusia yang diwakili Bangsa Israel dalam ketidak-teraturan 

yaitu  saat terbuangnya mereka ke dalam tanah perbudakan Mesir. Di tanah 

asing itu, relasi Bangsa Israel sebagai umat pilihan dengan Allah rusak. Akan 

namun , Allah tidak membiarkan situasi tidak teratur tersebut berlarut-larut. 

Allah tidak tinggal diam. Oleh karena itu, Allah bertindak dengan membawa 

mereka kembali ke Tanah Terjanji. Tujuan Allah yaitu  Bangsa Israel yang 

telah rusak dan cemar itu dapat kembali masuk dalam tata tertib keselamatan-

Nya. 

Tindakan Allah sebagai inisiator pemulihan keteraturan dalam diri 

Bangsa Israel termuat dalam salah satu pernyataan iman yang paling 

mendasar. Pernyataan itu yaitu  bahwa Yahweh, Allah Israel yaitu  ‘Ia yang 

memimpin Israel keluar dari Mesir’ (Noth, 1972:47). Pernyataan iman 

tersebut menjelaskan bahwa Allah berperan sangat besar dalam 

penyeberangan tersebut. Akan namun , tidak dipungkiri bahwa Bangsa Israel 

pun mengimbangi-Nya dengan keberanian besar yang mereka tunjukkan saat 

menyeberangi Laut Teberau. Menyeberang bukanlah semata-mata gerakan 

berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Menyeberang juga merupakan 

perpindahan dari suatu situasi ke situasi lainnya. Oleh karena itu, 

menyeberang membutuhkan keberanian. Menyeberang bermakna 

menaklukkan penghalang untuk kemudian bergerak maju. Artinya, menuju 

keteraturan-kekudusan.  

Menyeberang bermakna pula mengalami peralihan, suatu transformasi 

dari tidak kudus menjadi kudus. Menjadi jelas bahwa sesungguhnya ungkapan 

‘Yahweh yang membawa Israel keluar dari Mesir’ telah sejak awal menjadi 

rumusan baku yang dipakai secara luas dalam pelbagai konteks (Noth, 

1972:49). Memang Allah yang berinisiatif. Akan namun , Bangsa Israel juga 

menanggapi inisiatif Allah itu dengan keberanian menyeberang. Ada 

jawaban. Ada balasan.   

Peristiwa keluaran dari Tanah Mesir merupakan moment sigfinikan 

yang menunjukkan betapa Allah memang mengupayakan tidak tercampur-

baurnya segala sesuatu yang kudus dengan yang tidak kudus. Dengan kata 

lain, Allah senantiasa berusaha untuk menciptakan dan menjaga keteraturan 

demi terwujudnya situasi kudus yang menyelamatkan. Dalam peziarahan 

pulang kembali ke Tanah Terjanji inilah Allah menetapkan perjanjian. 

 

 

140 

Penetapan ini dapat dimaknai sebagai upaya penertiban kembali relasi antara 

Allah dengan manusia yang telah hancur itu. Upaya penertiban itu 

membutuhkan ritual pendamaian. 

 

3. Ritual yaitu  Harmonisasi 

Ritual menjadi penghubung utama relasi antara Allah yang 

Mahakudus dengan manusia yang bergelimang dosa. Dalam relasi tersebut, 

Allah senantiasa berupaya menganugerahkan keselamatan kepada manusia. 

Di sisi lain, karena keterbatasannya akibat gelimang dosa, manusia juga 

dituntut tidak tinggal diam. Manusia harus menjemput anugerah keselamatan 

tersebut dengan mengadakan ritus pengudusan. Oleh karena itu, ritual 

merupakan suatu perjalanan atau suatu peralihan dalam tatanan yang tetata 

dan teratur dari kedosaan atau ketak-kudusan menuju pada kekudusan. 

Kekudusan itulah yang pada gilirannya akan menempatkan manusia pada 

keselamatan.  

Para tradisionalis Tradisi Priesterkodex melihat suatu kultus yang 

benar-benar terstruktur dengan baik sebagai elemen pusat dari tatanan 

kosmik. Hal ini ditunjukkan dalam teks Keluaran.  

 

“Di sanalah Aku akan bertemu dengan orang Israel, dan tempat itu 

akan dikuduskan oleh kemuliaan-Ku. Aku akan menguduskan Kemah 

Pertemuan dan mezbah itu, lalu Harun dan anak-anaknya akan 

Kukuduskan supaya mereka memegang jabatan imam bagi-Ku. Aku 

akan diam di tengah-tengah orang Israel dan Aku akan menjadi 

Allah mereka. Maka mereka akan mengetahui, bahwa Akulah, 

TUHAN, Allah mereka, yang telah membawa mereka keluar dari 

tanah Mesir, supaya Aku diam di tengah-tengah mereka; Akulah 

TUHAN, Allah mereka” (Keluaran 29:43-46). 

 

Itu ditunjukkan pada akhir instruksi Yahweh untuk pentahbisan 

imamat dan pembentukan ritual yang berpusat pada tabernakel (Gorman, Jr., 

1990:42). Guna menjamin terlaksananya ritual secara teratur pada teks itu 

disusun sedemikian rupa sejumlah perangkat penyelenggaranya. Perangkat itu 

yaitu  pelaksananya. Pelaksananya yaitu  para imam. Perangkat lainnya 

yaitu  tata aturan penyelenggaraan bagian per bagian. Yang tidak kalah 

pentingnya yaitu  hal atau benda yang dipersembahkan. Seperti yang 

diungkapkan pada bagian awal tulisan ini, Kitab Suci Perjanjian Lama, secara 

khusus Kitab Pentateukh tidak memiliki istilah umum untuk ‘kurban’ kecuali 

istilah ‘qorban’. Akan namun , justru istilah ini jarang sekali digunakan. Di luar 

 

 

141 

itu, terdapat satu istilah yang secara komprehensif dapat mewakili istilah 

‘qorban’ ini, yaitu ‘zæbaḥ šelāmîm’.  

Istilah ‘zæbaḥ šelāmîm’ merupakan dua kata yang dalam proses 

evolusi pemaknaan menjadi satu kata yang tidak terpisahkan (Bergmann, 

1977:514). Sebenarnya, ‘zbḥ’ sebagai kata kerja dapat berdiri sendiri. Secara 

umum, kata ini bermakna ‘mengorbankan’ atau ‘mempersembahkan korban’. 

Makna ini juga digunakan dalam teks-teks gulungan kitab yang ditemukan di 

gua-gua Qumran. Di teks-teks tersebut, ‘zbḥ’ juga sudah kerap berpasangan 

dengan ‘šlm’ yang bermakna membayar. Kitab berbahasa Yunani 

(Septuaginta) menerjemahkan ‘zbḥ’ dalam istilah ‘tysia’. Sementara itu, Kitab 

Suci berbahasa Latin (Vulgata) menerjemahkannya dalam sejumlah istilah, 

yaitu ‘hostia’, ‘victima’, dan ‘sacrificium’. Semua istilah itu dapat 

diterjemahkan menjadi ‘kurban’. Kata ‘sacrificium’ yaitu  juga yang 

digunakan Kitab Suci versi Vetus Latina untuk menerjemahkan ‘zbḥ’.( 

Cardellini, 2001:63) 

Penggunaan istilah ‘zæbaḥ šelāmîm’ dapat dilihat pada teks-teks 

berikut ini.  

 

“Kaubuatlah bagi-Ku mezbah dari tanah dan persembahkanlah di 

atasnya korban bakaranmu dan korban keselamatanmu, kambing 

dombamu dan lembu sapimu. Pada setiap tempat yang Kutentukan 

menjadi tempat peringatan bagi nama-Ku, Aku akan datang 

kepadamu dan memberkati engkau” (Keluaran 20:24). 

 

“Seekor anak domba dari setiap dua ratus ekor milik sesuatu kaum 

keluarga Israel. Semuanya itu untuk korban sajian, korban 

bakaran dan korban keselamatan untuk mengadakan 

pendamaian bagi mereka, demikianlah firman Tuhan ALLAH” 

(Yehezkiel 45:15). 

 

Pada kedua teks tersebut yang menjadi korban bakaran sekaligus 

korban pendamaian yaitu  kambing domba dan lembu sapi. Pada 

perjalanannya, korban semacam ini menjadi semacam korban untuk segala 

keperluan atau dapat dikatakan sebagai korban stándar. Oleh karena itu, 

‘zæbaḥ šelāmîm’ meraih