pewahyuan al-qur'an 7
bahwa orang-orang kafir baik dari Ahli Kitab maupun orang
musyrik akan terpecah ke dalam beberapa kelompok saat
menanggapi persoalan mengenai Muhammad, hingga sampai
kepada mereka bukti yang nyata, yaitu Tuhan mengirim
Muhammad untuk seluruh ciptaan-Nya sebagai utusan
Tuhan.5
Penafsiran Syi’ah
Penafsiran Syiah juga muncul dalam abad ke-3 Islam. Para
mufassir Syiah hampir keseluruhan cenderung mengadopsi
pendekatan berbasis akal dalam melakukan penafsiran. Demikian
pula, tafsir Syiah sering dipengaruhi oleh keyakinan teologis
mereka yang dalam beberapa hal sangat kontras dengan keyakinan
Sunni. Perbedaan besar antara pendekatan tafsir mereka adalah
bahwa Syiah umumnya berupaya untuk menemukan referensi
eksplisit dalam al-Qur'an tentang tema-tema pokok doktrin
5 Dikutip dalam Norman Calder, Jawid Mohaddedi and Andrew Rippin (eds and
trans.), Classical Islam: A Sourcebook of Religious Literature, London and New York:
Routledge, 2003, h. 115.
288
keagamaan mereka seperti rujukan mengani para “imam”,6
sedangkan Sunni pada umumnya menolak pembacaan spekulatif
seperti itu.
Imam dan beberapa madzhab besar Syiah
Dalam tradisi Syiah, para imam adalah keturunan laki-laki dari
Nabi Muhammad, baik melalui sepupu atau menantunya, Ali,
ataupun salah satu dari putra Ali, Husain atau Hasan. Orang-
orang yang diakui sebagai imam sangat beragam di antara
beberapa mazhab. Imam dianggap sebagai pemimpin agama dan
politik kaum Muslim Syiah dan juga dipandang sebagai pemandu
umat manusia pada umumnya. Dalam aliran mayoritas Islam
Syiah Imamiyah, seorang imam diyakini ma’sum, mendapat
inspirasi ilahi dan, karena hubungan dekatnya kepada Allah,
satu-satunya yang dianggap benar-benar memahami Islam dan
mampu menafsirkan al-Qur'an dan hadis. Meskipun seorang
imam tidak terlihat sebagai nabi, baik ucapan, tulisan maupun
perbuatan dianggap sebagai teks-teks keagamaan otoritatif yang
berdiri sejajar dengan texts kenabian.
11/632: Nabi Muhammad meninggal, Ali bin Abi Thalib, sepupu
dan anak mertua Nabi, menjadi imam pertama.
41/661: Ali dibunuh; putra tertua Al, Hasan menjadi yang imam
kedua.
48/669: Hasan meninggal; Husain, putra kedua dari Ali, menjadi
imam ketiga.
61/680: Husain menjadi seorang martir; Ali Zainal Abidin, satu-
satunya putra Husain yang bertahan di Karbala, menjadi
imam keempat.
6 Meir M. Bar-Asher, ‘Shi‘ism and the Qur’an’, dalam McAuliffe (ed.), Encyclopaedia
of the Qur’an, Vol. 4, h. 596
289
Pemisahan dengan tradisi Zaidiyah
94/713: Ali Zayn al-Abidin meninggal, dan putranya, Muhammad
al-Baqir, menjadi imam kelima dalam tradisi Ismailiyah dan
Imamiyah, putra kedua Ali, Zayd, menjadi imam kelima
dalam tradisi Zaidi.
125/743: Muhammad al-Baqir meninggal, Jafar al-Sadiq menjadi
imam keenam pada Ismailiyah dan tradisi Imamiyah.
Pemisahan tradisi Ismailiyah
144/762: putra tertua Jafar al-Sadiq, Ismail, meninggal sebelum
ayahnya; Ismail diakui sebagai imam ketujuh dalam tradisi
Ismailiyah dan anaknya, Muhammad, menjadi imam
kedelapan Ismailiyah. (imamah Ismailiyah berlanjut dari sini)
Tradisi Imamiyah
147/765: Jafar meninggal, anaknya Musa al-Kazim menjadi
imam ketujuh dalam tradisi Imamiyah.
182/799: Musa terbunuh; anaknya Ali al-Ridha menjadi imam
kedelapan.
202/818: Ali al-Ridha meninggal, anaknya yang berusia tujuh
tahun, Muhammad al-Taqi, menjadi imam kesembilan.
219/835: Muhammad al-Taqi meninggal; dan anaknya yang masih
berusia tujuh tahun Ali al-Hadi, menjadi imam kesepuluh.
254/868: Ali al-Hadi meninggal; anaknya Hasan al-Askari
menjadi imam kesebelas.
259/873: Hasan meninggal, putranya Muhammad al-Mahdi,
yang telah tersembunyi sejak lahir, muncul kembali untuk
mengklaim imamah dan kemudian menghilang lagi.
329/941: Komunikasi dengan Mahdi (imam kedua belas) melalui
beberapa orang perantara telah berhenti; dan diyakini bahwa
Mahdi akan muncul kembali menjelang hari kiamat.
290
Meskipun mayoritas tradisi penafsiran Syiah memiliki
karakteristik umum, di sana ada pula perbedaan yang
cukup signifikan. Kelompok Syiah Zaidiyah adalah yang paling
dekat dengan Sunni karena beberapa karya penafsiran Zaidiyah
secara luas dipakai oleh Sunni. Misalnya, Fath al-Qadir,7 oleh
ulama Zaidiyah di Yaman, Shawkani (d.1834), sekarang umum
dipakai di kalangan Sunni. Terlepas dari beberapa penekanan
pada imam dan keluarga Nabi, karya Zaidiyah sedikit berbeda
dari karya Sunni.
Sub-kelompok Syiah lainnya adalah Ismailiyah. Berbeda
dengan kelompok Zaidiyah, Ismailiyah adalah sub-kelompok
Syiah yang paling jauh dari Sunni. Penafsiran Ismailiyah sangat
dipengaruhi oleh posisi teologis mereka, termasuk bahwa
Allah tidak dapat diketahui, tak bernama dan Dia tidak ikut
campur dalam kehidupan manusia. Kelompok Ismailiyah juga
mengakui dua jenis pengetahuan keagamaan: zahir (eksoteris),
yang merupakan kewajiban bagi semua Ismailiyah untuk
mengetahui, dan batin (eksoteris), yang hanya dapat dipahami
melalui pembelajaran rahasia dan refleksi pada nilai-nilai esoterik
Ismailiyah.8 Mereka percaya bahwa hanya melalui cara yang kedua
inilah, yaitu esoterik, pengetahuan tentang makna al-Qur'an
dapat dipahami.9 Tidak seperti kelompok Syiah lainnya, Ismailiyah
tampaknya tidak menghasilkan banyak karya penafsiran.
Sub-kelompok Syiah terbesar adalah Imamiyah, atau Syiah
Imam “Dua Belas”. Posisi teologis Imamiyah sangat dipengaruhi
oleh rasionalis madzhab Mu’tazilah. Meskipun Syiah Imamiyah
percaya bahwa satu-satunya orang yang benar-benar mampu
7 Muhammad ibn Ali al-Shawkani, Fath al-qadir al-jami bayna fannay alriwayah wa
al-dirayah fi ilm al-tafsir, 5 vols, Cairo, 1930; repr. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1973.
8 Tore Kjeilen (ed.), ‘Isma’ilism’, Encyclopaedia of the Orient, LexicOrient, 2007.
Diakses pada 11 Mei 2007: http://lexicorient.com/e.o/ismailis.htm.
9 Bar-Asher, ‘Shi‘ism and the Qur’an’, h. 598.
291
memahami makna al-Qur'an adalah imam, ini bukan berarti
bahwa ulama Syiah Imamiyah tidak terlibat dalam tafsir al-
Qur'an. Bahkan, ulama Imamiyah telah menghasilkan sejumlah
besar karya penafsiran sepanjang sejarah Islam. Secara umum,
ulama Imamiyah juga percaya bahwa al-Qur'an memiliki makna
‘batin’ dan ‘zahir’. Beberapa Sunni berpendapat bahwa keyakinan
ini memungkinkan mereka untuk membaca teks al-Qur'an
dengan pandangan teologis dan politik-keagamaan mereka
sendiri, meskipun dapat dikatakan bahwa praktik ini sangat
umum dalam semua kelompok Islam.
Ja’far al-Shadiq, seorang penafsir Syiah
Ja’far al-Shadiq (d.148/765) adalah salah satu tokoh yang
paling penting dari Syiah. Dia adalah imam keenam kelompok
Imamiyah dan Ismailiyah, dan mazhab utama hukum Syiah
(mazhab Ja’fari) dinamai menurut namanya. Sebagian besar
karya tafsirnya yang tersedia saat ini lebih dikenal dengan
nuansa mistis, daripada doktin-doktrin Syiah.10 Namun juga ada
beberapa bagian di mana nuansa penafsiran Syiah cukup terasa.
Teks di bawah ini, Ja’far al-Shadiq menafsirkan al-Qur'an
2:31, ‘Dia mengajarkan Adam semua nama’, ayat ini biasanya
dipahami sebagai nama ‘segala sesuatu’. Sebagaimana akan kita
lihat, Ja’far memahami makna ayat ini dengan menggunakan
pespektif batin (esoteris) yang dikaitkan dengan keluarga Nabi,
yaitu mereka yang diberikan status khusus dalam kosmologi
syiah. Dia menulis:
Sebelum segala sesuatu tercipta, Tuhan telah ada, Dia
menciptakan lima ciptaan dari cahaya kemuliaan-Nya, dan
memberikan kepada masing-masing dari mereka, salah
satunya nama. Oleh karena Dia Maha Terpuji (mahmud), maka
10 Michael Sells, Early Islamic Mysticism, New Jersey: Paulist Press, 1996, h. 76–77.
292
Dia menyebut utusan-Nya dengan Muhammad [‘Muhammad’
juga berarti ‘orang yang terpuji’ atau ‘layak mendapat pujian’].
Dia juga Maha Mulia (ali) maka Dia menyebut Amir-nya
orang-orang beriman dengan Ali. Dia juga Pencipta (Fathir)
langit dan bumi, maka Dia menjadikan nama Fatimah [putri
Nabi, istri Ali]. Dan oleh karena Dia memiliki nama yang
disebut [dalam al-Qur'an], yaitu nama-nama yang paling
indah (husna), maka Dia membentuk dua nama [dari akar
kata bahasa Arab yang sama] untuk Hasan dan Husain [cucu
Nabi, Imam kedua dan ketiga Syiah]. Lalu Dia menempatkan
mereka di sebelah kanan singgasana.11
Penafsiran Khawarij
Diantara kelompok religio-politik yang pertama kali muncul
di abad ke-1/ke-7 adalah kelompok Khawarij. Isu utama mereka
yang cukup berbeda dari arus utama warga Muslim adalah
mengenai keabsahan pemimpin politik ummat serta beberapa
masalah teologis. Keyakinan kelompok Khawarij, yang mendasari
pendekatan mereka untuk menafsirkan al-Qur'an, seringkali
dianggap berhaluan ‘puritan’. Misalnya, mereka berpendapat
bahwa seorang Muslim yang melakukan dosa besar (seperti
membunuh umat Muslim) tidak lagi seorang Muslim dan akan
masuk ke neraka. Mereka tidak melakukan kompromi panjang
dalam menerapkan perintah dan larangan al-Qur'an, dan
meyakini bahwa umat Islam yang tidak mendukung sikap mereka
dianggap sebagai kafir atau munafik dan boleh untuk dibunuh
untuk membebaskan mereka dari hukuman. Adapun masalah
kepemimpinan, mereka percaya bahwa orang Muslim yang
memiliki kesadaran besar akan Tuhan dan memiliki kesalehan,
mereka harus menjadi pemimpin umat, dan kepemimpinan
11 Diatribusikan kepada Ja‘far al-Sadiq dalam Sulami, Haqa’iq al-Tafsir, trans.
Paul Nwyia dalam Exégèse coranique et langage mystique, Beirut: Dar al-Machreq
Editeurs, 1970, h. 159, dikutip dalam Sells, Early Islamic Mysticism, h. 77–78.
293
tidak harus didasarkan pada linearitas kekerabatan atau suku
tertentu. Selain itu, mereka juga menganggap bahwa seorang
pemimpin yang dianggap tidak benar -yaitu pemimpin yang
tidak menerapkan hukum suci dengan baik- mereka bisa
diberhentikan.12
Penafsiran Khawarij, yang sering mengelaborasi ide-ide ini,
seringkali didasarkan pada pembacaan literal terhadap teks dan
tidak mempertimbangkan makna yang lebih dalam. Di zaman
kontemporer ini, sebagian kecil umat Islam, kebanyakan dari
mereka keturunan Khawarij awal, masih mempertahankan
beberapa gagasan ini. Sebagian besar keturunan Khawarij
ini sekarang tinggal di Oman dan Afrika Utara dan dikenal
sebagai ‘Ibadis’. Mereka tidak menyebut diri mereka sebagai
Khawarij karena mereka menganggapnya sebagai istilah yang
merendahkan, yang hanya dipakai oleh lawan-lawan mereka.
Beberapa Model Pendekatan lain
Selain membahas tentang perkembangan religio-politik,
beberapa hal penting lainnya terkait dengan bentuk-bentuk
interpretasi juga muncul pada tiga abad pertama Islam. Para
mufassir yang memiliki background dan perspektif masing-
masing (Teologis, tafsir hukum, mistis dan filosofis) biasanya juga
terkait dengan salah satu kelompok religio-politik (Sunni, Syiah
atau Khawarij). Namun, penamaan seperti ‘teologis’, ‘hukum’,
‘mistis’ atau ‘filosofis’ menunjukkan penekanan terhadap karya
penafsiran tertentu dan tidak harus menjadi rancu dengan
adanya perbedaan antara tafsir Sunni, Syiah atau Khawarij.
12 Abdullah Saeed, Islamic Thought: An Introduction, London; New York: Routledge,
2006, h. 7.
294
Tafsir bernuansa teologis
Para ulama yang memiliki kecenderungan penafsiran
teologis sering dikaitkan dengan salah satu aliran teologi Islam
awal: Mu’tazilah dan Ash’ariyah. Beberapa aliran teologis kecil,
seperti Maturidiah, juga muncul meski teologi mereka tidak
berbeda secara signifikan dari aliran teologi yang lebih besar.
Aliran Mu’tazilah muncul paling pertama. Mereka dikenal karena
penafsirannya yang tanpa kompromi menyatakan tentang
kesatuan Tuhan13 dan bahwa al-Qur'an makhluk ciptaan Tuhan,
karena tidak mungkin sama-sama abadi dengan Allah.14 Isu-isu
lain yang dibahas dalam teologi Mu’tazilah meliputi: definisi
seorang mukmin sejati dan kebebasan berkehendak; status
manusia di akhirat dan sifat dasar surga dan neraka; dan sifat-
sifat Tuhan.
Dalam penafsiran, Mu’tazilah sangat bergantung pada bahasa
dan analisis teks sastra, terutama saat pembacaan literal
bertentangan dengan sikap teologi Mu’tazilah. Mereka mene-
kankan interpretasi rasionalis dan menggunakan pemahaman
metaforis terhadap bahasa al-Qur'an, khususnya saat berbicara
tentang Tuhan. Mereka juga menggunakan argumen filosofis
dalam membela sikap teologis dan menolak setiap hadis yang
bertentangan dengan mereka.
Meskipun kebanyakan karya awal Mu’tazilah telah hilang,
beberapa tafsir al-Qur'an diyakini telah disusun oleh para sarjana
seperti Abu Bakr al-Asamm (d.201/816) dan Abu Ali al-Jubba’i
(d.303/915). Dari beberapa fragmen karya Asamm ini ,
di sana nampak bahwa dia berusaha untuk menghasilkan
13 Sebagai contoh, al-Qur’an QS:112 (‘Purity [of Faith]’) which says: ‘Say, “He is
God the One, God the eternal. He begot no one nor was He begotten. No one is
comparable to Him”.’
14 Sabine Schmidtke, ‘Mu‘tazila’, dalam McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the Qur’an,
h. 467.
295
teologi Quran yang komprehensif yang berurusan dengan isu-
isu pembatalan (nasakh), dan juga menyarankan bahwa ayat-
ayat yang bersifat jelas maupun ambigu harus dipahami secara
rasional, yang terakhir inilah yang membutuhkan refleksi yang
lebih matang.15
Pada awal abad ke-4/ke-10, ulama Asyariah muncul dari
tradisi Mu’tazilah. Menjelang akhir abad ke-3/ke-9, Abu al-
Hasan al-Asy’ari (wafat sekitar 324/935-936), sarjana teolog yang
namanya kemudian menjadi sebuah mazhab, telah menghasilkan
karya berdasarkan teologi Mu’tazilah. Al-Asy’ari kemudian
meragukan doktrin teologi Mu’tazilah. Dia memisahkan diri
dari mereka, dan mulai mengajarkan doktrin untuk menyangkal
Mu’tazilah.
Selain mempertanyakan pemahaman Mu’tazilah mengenai
esensi dan sifat-sifat Tuhan, Asy’ariah juga menyerang doktrin
Mu’tazila tentang kehendak bebas, sifat dasar hukum Tuhan,
definisi kejahatan dan peran akal. Seiring waktu, teologi Asy’ariah
menjadi teologi yang dominan bagi Sunni, sementara teologi
Mu’tazilah masih tetap dominan dalam Syiah.16
Imam al-Haramayn al-Juwaini, seorang teolog Asy’ari
Berikut ini adalah sebuah penafsiran tentnag ‘Keesaan’
Tuhan oleh teolog besar Asy’ari, Imam al-Haramayn al-Juwaini
(d.478/1085):
Sang Pencipta – maha suci dan maha tinggi adalah Dia - adalah
satu. Satu, dalam idiom para metafisikawan, adalah hal yang
tak terpisahkan. Jika seseorang mengatakan bahwa satu hal,
15 Schmidtke, ‘Mu‘tazila’, h. 470. Lihat bab ke-10, ‘Selected Exegetical Principles
and Ideas’, untuk diskusi lebih lanjut tentang perbedaan pendekatan tafsir dalam
memahami ‘jelas’ and ‘ambigu’ dalam ayat-ayat al-Qur’an.
16 Lihat juga bab 2, ‘Revelation and the Qur’an’, for further discussion of the
differences between Ash‘ari and Mu‘tazili theology.
296
ini harus menjadi ketentuan yang memadai. Tuhan – maha suci
dan mahatinggi adalah Dia - adalah ada yang unik, melampaui
semua kemungkinan perpecahan dan perbedaan. Berbicara
tentang Dia sebagai salah satu berarti bahwa Dia tidak ada
yang menyamai atau tidak berbanding. Konsekuensi yang jelas
tentang realitas doktrin absolut Keesaan adalah bukti bahwa
Allah tidak berkomposisi, karena jika itu terjadi – maha tinggi
adalah Dia dan maha mulia di atas itu - masing-masing bagian
terpisah dari-Nya akan hidup dengan mengetahui, hidup dan
kuat dan dari dalam dirinya sendiri. Dan itu adalah pengakuan
kepercayaan dalam dua Tuhan.17
Penafsiran hukum
Pasca meninggalnya Nabi, ada kebutuhan mendesak untuk
memahami aturan, perintah, larangan serta petunjuk al-Qur'an,
karena hal ini berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, tafsir yang bernuansa hukum menjadi salah
satu tren awal perkembangan tafsir. Pendekatan terhadap tafsir
hukum sangat beragam, dan perbedaan pendapat sering muncul
kaitannya dalam memahami makna dari konsep tertentu yang
tampaknya kontradiktif antara satu ayat dengan ayat lain. Jika
perbedaan ini tidak dapat diselesaikan dengan telaah
mendalam terhadap teks dan konteks pewahyuan, maka hukum
didasarkan pada wahyu yang turun kemudian.
Pada abad ke-2/ke-8 dan ke-3/ke-9, era di mana disiplin hadis
mulai berkembang, jumlah hadis Nabi mulai banyak dikumpulkan.
Oleh karena jumlah hadis mulai meningkat, perbedaan pendapat
mengenai kesahihan hadits juga mulai muncul. Maka, al-
Qur'an menjadi salah satu alat bantu yang paling penting dalam
17 Imam al-Haramayn al-Juwayni, A Guide to Conclusive Proofs for the Principles of
Belief (Kitab al-Irshad ila Qawati‘ al-Adilla fi Usul al-i‘tiqad), trans. Paul E. Walker,
Reading: Garnet Publishing, 2000, h. 31.
297
menentukan keaslian atau kesahihan sebuah hadits. Meskipun
mereka menggunakan al-Qur'an, perbedaan pendapat tetap
berlanjut dan akhirnya berkembang dan melahirkan berbagai
mazhab klasik hukum Islam, sebagaimana dijelaskan dalam Bab
1. Dan karena fokus utama mereka adalah masalah hukum, maka
mereka dikenal sebagai kelompok hukum Islam, atau madhhabs.
Para pakar hukum Islam dari masing-masing mazhab
menghasilkan sejumlah karya besar mengenai tafsir hukum, yang
masih banyak beredar hingga saat ini. Mufassir yang memiliki
kecenderungan terhadap hukum lebih banyak terfokus pada
teks-teks al-Qur'an yang mengandung unsur-unsur legal dan
tentunya menafsirkan dengan menggunakan pendapat-pendapat
ahli hukum.
Ibn Rusyd tentang interpretasi jilbab
Bagian berikut ini, Ibnu Rusyd (d.595/1198), seorang ulama
hukum terkemuka dari mazhab Maliki, membahas perbedaan
interpretasi aurat (bagian tubuh yang harus ditutupi, misalnya
dalam sholat). Salah satu perintah al-Qur'an dan Nabi adalah
saat seorang Muslim mendirikan sholat, mereka harus
menutupi bagian-bagian tertentu dari tubuh mereka. Ibnu Rusyd
mengatakan:
Isu ketiga berkaitan dengan batas-batas aurat [bagian
tubuh yang harus ditutup] seorang wanita. Sebagian besar
ahli hukum menyatakan bahwa seluruh tubuh perempuan
merupakan aurat, kecuali wajah dan tangan. Sedangkan Abu
Hanifah menyatakan bahwa kaki perempuan tidak termasuk
bagian dari aurat. Adapun Abu Bakar bin Abd al-Rahman
dan Ahmad mengatakan bahwa seluruh tubuh perempuan
adalah aurat.
Alasan perbedaan mereka didasarkan pada interpretasi ayat
yang menyatakan, “Dan agar tidak menampilkan perhiasan
kecuali yang biasa terlihat”, ini berarti apakah pengecualian
298
ini terkait dengan bagian-bagian tertentu yang tidak
bisa diperlihatkan. Mereka yang menyatakan bahwa maksud
dari pengecualian itu adalah bagian-bagian yang memang
tidak bisa ditutupi saat dia bergerak, mengatakan bahwa
seluruh tubuh perempuan adalah awrat, bahkan punggungnya.
Mereka berpendapat demikian atas dasar implikasi umum dari
kata-kata mulia, “Hai Nabi! Beritahu istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan wanita yang beriman untuk menarik jubah
mereka ke sekeliling tubuhnya. Hal itu agar membuat mereka
dikenali dan agar mereka tidak terkena bahaya’.18 Mereka yang
menyatakan bahwa yang dimaksudkan pengecualian adalah
apa yang umumnya tidak tertutup seperti wajah dan tangan,
mengatakan bahwa ini tidak termasuk dalam batasan awrat
ini . Mereka (lebih lanjut) berpendapat dengan alasan
bahwa seorang wanita tidak menutupi wajahnya selama haji
[haji].19
Penafsiran mistik
Jenis penafsiran ini didasarkan pada ide-ide yang berkembang
di kalangan mistikus Muslim atau sufi sekitar abad ke-2/ke-
8. Mistisisme atau sufisme Islam diperkirakan telah muncul
sebagai gerakan yang unik pada abad ini sebagai reaksi terhadap
meningkatnya komunitas Muslim yang lebih mementingkan
aspek material dan berkembangnya nuansa kekerasan politik
sektarian. Para pendukung tafsir mistik menekankan aspek
spiritual Islam, daripada dimensi politik, hukum dan duniawi.
Ulama sufi lebih cenderung untuk mengeksplorasi pertanyaan
mengenai pengetahuan Tuhan atau sifat eksistensi manusia dan
18 Al-Qur'an 33:59.
19 Ibn Rushd, ‘Bab 4, bagian 1: Covering the ‘awra – Issue 3’, ‘The Book of Prayer
(Salah)’, dalam The Distinguished Jurist’s Primer, Reading, UK: Garnet Publishing
Limited, 1994, vol. I, h. 126. Kata-kata dalam tanda kurung cekung berasal dari
penerjemah. Sedangkan yang ada di dalam tanda kurung persegi berasal dari
saya.
299
hubungannya terhadap Tuhan. Mereka percaya bahwa kiasan
mistik dalam teks al-Qur'an sanga terkait dengan kondisi rohani
manusia dan tidak mungkin untuk dipahami melalui pembacaan
dangkal atau argumen yang berbasis pada hukum dan teologi.
Dengan demikian, dalam tafsir mistik, makna spiritual dan
makna implisit al-Qur'an dianggap sangat penting.
Ulama besar pada periode awal yang melakukan penafsiran
mistik adalah Hasan al-Basri (d.110/728), Ja’far al-Shadiq, Tustari
(d.283/896) dan Sulami (D.412/1021). Fokus spiritualisme dalam
penafsiran mistik ini jelas nampak dalam judul karya tafsir
mereka, misalnya The Spiritual Realities of Exegesis, ditulis oleh
Sulami, dan The Divine Openings and the Secret Keys, oleh ulama
Usmani Nakhjuwani (d.920/1514).20
Ahli tafsir mistik lainnya yang terkenal adalah Ibnu Arabi
(d.638/1240), yang berasal dari Spanyol. Dikenal di kalngan sufi
sebagai Syaikh al-Akbar, Guru Besar, Ibn Arabi secara luas dianggap
salah satu sufi yang paling penting, jika bukan yang paling oenting,
sufi yang sangat bijak, dan dia memberikan kontribusi besar dalam
tradisi penafsiran mistik.21 Contoh penafsiran mistik Ibn Arabi
adalah tentang kisah al-Qur'an saat Musa meminta Tuhan untuk
menunjukkan Diri kepadanya. Al-Qur'an menyatakan:
Dan saat Musa datang pada waktu yang telah Kami tentukan,
dan Tuhan telah berfirman kepadanya, Musa berkata, “Ya
Tuhanku, tampakkanlah Dirimu kepadaku: biarkan aku
melihat Engkau” Dia berkata, ‘Kamu tidak akan pernah
melihat Aku, tapi lihatlah gunung itu: jika tetap berdiri teguh,
kau akan melihat Aku. “saat Tuhan-nya mengungkapkan
diri-Nya kepada gunung, maka Dia membuat gunung ini
runtuh: Musa pun jatuh pingsan. saat siuman, dia berkata,
20 Gilliot, ‘Exegesis of the Qur’an: Classical and Medieval’, h. 118–120.
21 Gilliot, ‘Exegesis of the Qur’an: Classical and Medieval’, h. 119.
300
“Mahasuci Engkau! aku bertaubat kepada-Mu dan aku adalah
orang pertama yang beriman!’22
Ibnu Arabi menafsirkan perbedaan antara gunung yang runtuh
dan Musa yang kehilangan kesadarannya sebagai berikut:
saat Tuhan-nya menampakkan Diri ke dalam gunung,
peampakkan ini membuat gunung itu hancur menjadi debu,
tapi itu tidak membuatnya kehilangan eksistensi. Sebaliknya,
runtuhnya gunung ini menyebabkan kemuliaan dan
kebesaran-Nya tidak nampak. Musa memandang dalam
naungan kebesaran-Nya, dan penampakkan Diri Tuhan telah
terjadi dari arah yang tidak berdekatan dengan Musa. saat
gunung itu runtuh, apa yang membuatnya runtuh menjadi
jelas bagi Musa, sehingga menyebabkan Musa jatuh karena
tercengang. Karena Musa memiliki spirit, yang memiliki
karakter untuk mempertahankan bentuk seperti kalanya.
Spirit apapun yang berbeda dari hewan itu sangat identik
dengan kehidupan, tidak ada yang lain. Jadi keberadaan Musa
yang tercengang itu seperti gunung yang sedang runtuh,
karena berbeda dalam ketersiapan, dan gunung itu tidak
memiliki spirit untuk mempertahankan bentuk. Dengan
demikian nama gunung menghilang dari gunung, tapi tidak
dengan nama Musa maupun nama manusia yang menghilang
dari Musa karena tercengang. Musa sadar kembali, tetapi
gunung tidak kembali sebagai gunung lagi, karena dia tidak
memiliki spirit untuk membuatnya tunduk.
Dari semua itu, atribut spirit dalam suatu benda tidaklah
sama dengan atribut kehidupan yang ada pada mereka,
karena kehidupan adalah sesuatu yang abadi dalam semua
benda, sementara spirit itu layaknya penguasa: suatu saat
mereka bisa diberhentikan, dan suatu saat mereka memegang
kendali kuasa, dan kadang kala mereka tiada saat kuasa
pemerintah itu tetap ada. Pemerintahan itu akan kembali
22 Al-Qur'an: 7:143.
301
pada spirit selama dia mampu mengatur jasad, kematian
adalah pemberhentiannya, dan tidur adalah kealpaannya
saat pemerintah itu tetap ada.23
Penafsiran filosofis
Sebagaimana ketertarikan kaum Muslim terhadap karya-
karya filsafat Yunani mulai berkembang di abad-abad awal Islam,
maka ini pula menjadi argumen atas penerimaan filsafat dalam
Islam. Sementara banyak Muslim menentang penggunaan filsafat
dalam ranah penafsiran al-Qur'an, mereka yang memiliki
orientasi rasional sepenuhnya mengadopsi filsafat sebagai bagian
berharga dalam proses penafsiran. Para ulama ini lebih suka
menggunakan penafsiran alegoris, karena itu memungkinkan
mereka untuk menyelaraskan ide-ide filosofis terhadap al-
Qur'an. Oleh karenanya, penafsiran filosofis terhadap al-Qur'an,
khususnya ayat-ayat yang berhubungan dengan Tuhan, sifat-
Nya dan hubungan-Nya dengan penciptaan, serta konsep surga
dan neraka, cenderung sangat berbeda dengan mereka yang
melakukan pembacaan secara literal terhadap al-Qur'an.
Filosof dan ilmuwan terkenal Farabi (d.399/950) memiliki
pengaruh yang cukup besar terhadap ilmu pengetahuan yang
kemudian dia dikenal sebagai ‘Guru kedua’, sedan gguru yang
pertama adalah Aristoteles. Meskipun kita tidak tahu persis
apakah dia mengarang tafsir secara lengkap, pandangannya
memiliki penaruh yang signifikan terhadap penafsiran filosofis.
Farabi percaya bahwa meski filsafat telah berakhir di tempat
lain, filsafat telah menemukan dunianya kembali dalam Islam.
Seorang filsuf juga cukup berpengaruh, Ibnu Sina (d.428/1037),
23 Muhy al-Din ibn al-Arabi, al-Futuhat al-makiyya, Bab II, 540.11, dikutip dari
William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al- Arabi’s Cosmology,
Albany: State University of New York Press, 1998, h. 274.
302
juga seorang dokter, menghasilkan sejumlah karya, termasuk
karya kecil tentang penafsiran.24
Ibn Rusyd tentang penafsiran filosofis
Penggunaan penafsiran alegoris merupakan ciri khas dari
tafsir filosofis. Dalam kutipan berikut dari karya filosof Ibnu
Rusyd, The Treatise Determining the Nature of the Connection
between Religion and Philosophy, kita akan melihat bagaimana
dia berargumen bahwa al-Qur'an dan penalaran filosofis tidak
bertentangan satu sama lain, dan keduanya merupakan jalur
‘Kebenaran’. Kemudian dia melanjutkan dengan mendeskripsikan
beberapa kondisi di mana penafsiran alegoris al-Qur'an sangat
diperlukan.
Saat ini, oleh karena agama ini [Islam] adalah agama yang benar
dan merupakan panggilan untuk kajian yang mengarah pada
pengetahuan tentang Kebenaran, kami sebagai umat Islam
secara definitif mengetahui bahwa kajian demonstratif [yaitu,
filsafat] tidak mengarah pada [kesimpulan] pertentangan
dengan apa yang ada dalam al-Qur'an; karena kebenaran tidak
akan bertentangan dengan kebenaran melainkan selaras dan
menjadi saksi bagi yang lain.
Dengan demikian, setiap kali studi demonstratif mengarah
pada cara apapun untuk mendapat pengetahuan tentang
apapun itu, hal ini pasti disebutkan atau tidak disebutkan
dalam kitab suci. Jika tidak disebutkan, maka tidak ada
kontradiksi, dan itu merupakan kasus yang sama sebagai
tindakan yang mana kategori ini tidak disebutkan
sehingga ahli hukum (Muslim) harus menyimpulkan dengan
penalaran dari kitab suci. Dan jika kitab suci berbicara tentang
hal itu, maka makna dari kata-kata yang jelas itu pasti akan
24 R. Walzer, ‘Al Farabi, Abu Nasr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn
Awzalagh’, dalam P. Bearman et al. (eds), Encyclopaedia of Islam, h. 779.
303
menimbulkan baik keselarasan ataupun konflik terhadap
kesimpulan (filosofis) demonstratif. Jika hal ini selaras
maka tidak ada konflik. Sedangkan jika terjadi konflik,
maka perlu untuk melakukan interpretasi alegoris. Arti
dari ‘penafsiran alegoris’ adalah: perpanjangan dari upaya
signifikansi dari sebuah ekspresi, dari sesuatu yang riil
kepada sesuatu yang metaforis, tanpa menjauhkan standar
praktik metafora Arab, seperti memanggil sesuatu dengan
nama sesuatu yang menyerupainya atau dengan panggilan
penyebabnya atau konsekuensinya atau penyertaannya, atau
hal-hal lainnya seperti yang disebutkan dalam bentuk-bentuk
dialektika metaforis. 25
Penafsiran di Era Modern
Sementara semua model penafsiran di atas terus dipelajari
dan diaplikasikan di era modern, berbagai bentuk baru juga
muncul. Dalam menanggapi perkembangan global dalam
berbagai bidang seperti politik, lingkungan dan etika, banyak
orang, termasuk Muslim, mencoba mencari keseimbangan antara
pandangan tradisional dan modern. Dalam lingkungan inilah
bentuk-bentuk pemikiran baru seperti tafsir modernis, saintifik,
sosial-politik, feminis, tematik dan kontekstual mulai muncul.
Penafsiran modernis
Bentuk penafsiran ini merupakan kelanjutan dari pemikiran
reformis kaum Muslim abad kedelapan belas; tapi juga bisa
dilihat sebagai respon aktif umat Islam terhadap tantangan
modernitas dengan tetap setia terhadap ajaran agama mereka.
Diantara ‘modernis‘ yang pertama adalah Jamal al-Din al-Afghani
(d.1897), Muhammad Abduh (d.1905), Sayyid Ahmad Khan
25 ‘The Decisive Treatise, Determining the Nature of the Connection Between
Religion and Philosophy’, dalam George F. Hourani (ed. and trans.), Averroes on
the Harmony of Religion and Philosophy, London: Luzac, 1961, h. 46–47.
304
(d.1898) dan Muhammad Iqbal (d.1938). Semenjak gerakan
modernis telah dimulai pada pertengahan abad ke-19, sejumlah
besar karya ilmiah telah ditulis oleh mereka. Salah satu modernis
yang paling terkenal adalah Muhammad Abduh dengan karyanya
Tafsir al-Manar, yang disusun dan diselesaikan paska wafatnya
Abduh oleh Rasyid Ridha (d.1935), murid Abduh.
Inti dari pendekatan modernis adalah gagasan reformasi.
Seorang tokoh seperti Afghani berpendapat bahwa umat Islam
harus memiliki gerakan reformasi seperti yang yang telah terjadi
di Eropa Kristen. Dengan kata lain, umat Islam membutuhkan
Martin Luther, yang lhair dari rahim Islam, untuk menginisiasi
reformasi besar terhadap warisan keislaman. Menurut para
pemikir ini, konteks modern menuntut adanya penilaian kembali
terhadap warisan intelektual Muslim, proses ini menuntut
untuk menutup rapat praktik-praktik imitasi atau taqlid buta,
yang diklaim oleh kelompok modernis sangat umum terjadi di
kalangan ulama sebelumnya.
Ide pokok lainnya dari kelompok modernis adalah adanya
kebutuhan untuk melakukan penafsiran yang fleksibel
terhadap Islam dan sumber-sumbernya dalam rangka untuk
mengembangkan ide-ide yang kompatibel dengan situasi
modern. Secara khusus, banyak modernis menyarankan perlunya
memahami al-Qur'an dari perspektif sains, yang menurut mereka
membutuhkan reinterpretasi seperti gagasan tentang keajaiban.
Para pemikir modernis mengusulkan bahwa kembali kepada
Islam seperti praktik awal akan memajukan dinamika intelektual
warga muslim yang dibutuhkan untuk mengejar ketinggalan
dari Barat. Untuk itu, bidang-bidang politik, hukum dan lembaga
pendidikan harus direformasi. Salah satu bentuk dari reformasi
ini adalah menghindari penggunaan tafsir sebelumnya yang
terlalu banyak berisi tentang jargon sehingga membuat teks
al-Qur'an menjadi kabur. Dengan demikian, banyak reformis
305
modern yang menggarisbawahi pentingnya merujuk pada al-
Qur'an dan sunnah sebagai pondasi dasar keislaman. Dari aspek
orientasi penafsiran, para pemikir modernis mengutuk apa yang
mereka pandang sebagai penyimpangan dan penambahan karena
tidak sesuai dengan generasi Muslim awal.
Ulama modernis juga berpendapat bahwa penerimaan
konsep wahyu tidak berbenturan sama sekali dengan penggunaan
akal. Dengan demikian, mereka mencoba untuk menghidupkan
kembali tradisi filsafat Islam rasional, dan beberapa ide
Mu’tazilah sebelumnya nampak menjadi model bagi beberapa
sarjana modern. Topik-topik populer lainnya juga telah dilakukan
reinterpretasi oleh para pendukung tafsir modernis termasuk
tentang status perempuan, poligami, perang dan perdamaian,
ilmu pengetahuan, perbudakan dan keadilan.
Muhammad Abduh dan tafsir modernis
Paragraf berikut menggambarkan tentang pandangan
Muhammad Abduh tentang poligami.
Poligami, meskipun diizinkan dalam al-Qur'an, adalah sebuah
kelonggaran yang diberikan dalam kondisi sosial yang cukup
berat, di mana kelonggaran ini disertai dengan ketentuan
bahwa seorang pria boleh menikah lebih dari satu istri hanya
saat dia mampu mengurus dan memberikan hak-hak
mereka dengan kejujuran dan keadilan. Pada dasarnya syari’at
agak keberatan, dalam kondisi tertentu, mengijinkan laki-laki
untuk menikahi empat istri. Karena syarat yang ditentukan
langsung diikuti oleh frasa -jika kalian takut tidak bisa berbuat
adil maka menikahlah dengan satu perempuan saja- maka ini
menunjukan adanya penekanan bahwa ijin untuk melakukan
poligami secara praktis menjadi tidak berguna.26
26 Muhammad Abduh, Tarikh al-ustad al-Imam, vol II, Egypt: Matba’at al- Manar,
1906, dikutip dalam Asghar Ali Engineer, The Rights of Women in Islam, London:
306
Penafsiran ilmiah
Jenis penafsiran ini sangat berpengaruh pada abad ke-20,
meskipun para perintisnya dapat ditemukan pada periode pra-
modern. Misalnya, ulama klasik Ghazali (d.505/1111) dapat
digambarkan sebagai pendukung awal ‘penafsiran ilmiah‘.
Hal ini tercermin dalam elaborasinya tentang al-Qur'an yang
diilustrasikan seperti laut di mana semua ilmu muncul.27
Demikian pula, bentuk awal dari penafsiran saintifik pada
abad ke-20 juga mencoba untuk mendamaikan ajaran al-Qur'an
dengan pengetahuan ilmiah. Saat ini, penafsiran ilmiah telah
berusaha untuk mengkorelasikan gagasan bahwa al-Qur'an
banyak memprediksi temuan-temuan ilmu pengetahuan modern.
Popularitas wacana ini ditunjukkan oleh munculnya sejumlah
besar konferensi, seminar dan publikasi yang dikhususkan untuk
diskursus ini . Namun, ada beberapa pemikir Muslim yang
mengkritiknya karena mengabaikan sifat dasar sains yang tidak
memiliki batasan dalam penelitian ilmiah dan dikhawatirkan
salah dalam memahami al-Qur'an. Meskipun ada banyak
kritik, tafsir saintifik ini telah menjadi salah satu bentuk
penafsiran yang paling populer pada periode modern.
Maurice Bucaille dan penafsiran saintifik
Salah satu karya yang cukup banyak beredar di genre ini adalah
tulisan sarjana Prancis Maurice Bucaille.28 Bucaille menawarkan
beberapa pembacaan ilmiah terhadap sejumlah ayat al-Qur'an yang
dipandang memiliki beberapa relasi dengan ilmu pengetahuan.
Misalnya, dalam mendiskusikan tentang perluasan alam semesta,
C. Hurst & Co, 1992, h. 157.
27 Muhammad Husayn al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, 3 vols, Cairo:
Maktabat Wahbah, 1995, vol. 2, h. 511–521.
28 Meski karya Maurice Bucaille sangat dikenal dalam genre tafsir saintifik, Bucaille
sendiri tidak diketahui apakah dia masuk Islam.
307
salah satu penemuan penting dari ilmu pengetahuan modern, dia
mengutip ayat “Kami membangun langit dengan kekuatan kami
dan Kami benar-benar meluaskannya“.29 Bucaille menunjukkan
bahwa ayat ini dapat dikaitkan dengan pemahaman saintifik
modern tentang awal mula terbentuknya alam semesta. Dia
melanjutkan dengan memberikan interpretasi terhadap dua frase
kunci dari ayat ini:
‘surga’ adalah bentuk terjemahan dari kata sama’ dan tentu
ini artinya adalah sesuatu yang adi-duniawi.
‘[Kami] meluaskannya’ merupakan bentuk plural present
participle ‘musi’una’ dari kata kerja ausa’a yang berarti
‘membuat yang lebih lebar, lapang, luas, dan meluas’.
Beberapa penerjemah yang tidak mampu menangkap makna
yang terakhir seringkali melakukan kekeliruan. . . ada di
antara mereka yang membekali pendapatnya dengan disiplin
wacana ilmiah dalam tafsirnya dan memberi makna seperti
yang dinyatakan di sini [perluasan alam semesta benar-benar
istilah ambigu].30
Dalam memberi komentar terhadap penafsiran ilmiah, Mustansir
Mir, seorang sarjana modern yang bergelut dalam bidang al-
Qur'an, mengamati bahwa bentuk penafsiran telah berkembang
menjadi kebutuhan dalam rangka memenuhi tantangan ilmu
pengetahuan modern yang dianggap ada dalam semua agama.
Mir menyatakan:
Proyek pembentukan keselarasan (muwafaqah) antara
Sabda Tuhan dan temuan ilmiah secara definitif memiliki
karakter defensif. Para pemikir Muslim klasik juga bergerak
dalam hal yang sama dalam upaya penyelarasan selama
periode Abbasiyah, yaitu saat mereka merasa terpaksa
29 Al-Qur'an 51:47.
30 Maurice Bucaille, The Bible, The Qur’an and Science, Indianapolis: American Trust
Publications, 1979, h. 167.
308
untuk menyelaraskan pemikiran Yunani dengan agama Islam.
Arena diskusi waktu itu adalah teologi, dan kini adalah ilmu
pengetahuan, tapi karakter penyelarasan ini pada dasarnya
sama. Tantangan ilmu pengetahuan modern yang awalnya
dihadapkan hanya kepada agama Kristen, kini dihadapkan
pada semua agama – yaitu tentang ide mengenai agama itu
sendiri. Secara alamiah kaum muslim merasakan adanya
tantangan, apakah mereka mengerti atau tidak tentang sifat
pastinya, dan beberapa di antara mereka berpikir bahwa hal
itu akan menjadi pertahanan Islam yang memadai untuk
menunjukkan bahwa tidak ada konflik antara al-Qur'an dan
ilmu pengetahuan atau, satu langkah lebih jauh, bahwa al-
Qur'an adalah mendeskripsikan lebih dulu tentang ilmu
pengetahuan modern.31
Tafsir sosial-politik
Pendekatan tafsir modern lainnya adalah ‘tafsir sosial politik’
yang dikembangkan oleh sarjana Mesir, Sayyid Qutb (d.1966).
Qutb adalah seorang pemimpin Ikhwanul Muslimin, salah satu
dari gerakan politik Islam pada abad ke-20. Dia dieksekusi mati
pada tahun 1966 oleh Pemerintah Mesir. Meskipun demikian,
Qutb masih tetap menjadi sumber inspirasi utama bagi mereka
yang mencari hubungan lebih dekat antara Islam dan negara.
Pendekatan Qutb terhadap tafsir sangatlah politis dan
banyak sikapnya yang kontroversial. Di antara argumennya dia
mengatakan bahwa banyak aspek dalam warga modern,
termasuk warga muslim itu sendiri, adalah jahili (mirip
dengan ‘kebodohan’ pra-Islam: keadaan Arab sebelum munculnya
Islam pada abad ke-7). Dia juga tanpa kompromi berargumen
bahwa Islam harus menjadi pemandu dan menjadi kekuatan
31 Mustansir Mir, ‘Scientific Exegesis of the Qur’an – A Viable Project?’, Islam&
Science, vol. 2, no. 1, 2004, h. 33. Diakses pada 10 February 2007: http:/www.
questia.com/PM.qst?a=o&d=5007384304.
309
politik dominan di negara yang mayoritas populasinya warga
Muslim.
Sayyid Qutb dan gagasan jahili
Dalam interpretasinya terhadap salah satu surat al-Qur'an
paling awal ‘Katakanlah [Nabi], hai “Orang-orang kafir: aku
tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, kamu bukan
penyembah apa yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi
penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah
menjadi penyembah apa yang aku sembah: untukmu agamamu
dan untukku agamaku“,32 Qutb mengatakan dalam karyanya Fī
Dhilāl al-Qur’ān:
Kebodohan tidak lain adalah kebodohan itu sendiri dan
Islam sama sekali berbeda dari itu. Satu-satunya cara untuk
menjembatani jurang antara keduanya adalah kebodohan
ini harus menghapus diri sepenuhnya dan menggantikan
dengan semua hukum, nilai-nilai, standar dan konsep Islam.
Langkah pertama yang harus diambil oleh orang yang
berdakwah pada orang-orang untuk memeluk Islam adalah
untuk memisahkan diri dari Kebodohannya . . . perjanjian atau
hubungan apapun antara dia dan Kebodohan benar-benar
tidak mungkin kecuali orang-orang yang bodoh ini
memeluk Islam dengan benar: tidak diperbolehkan adanya
pembauran, tidak pula setengah-setengah atau berdamai .
. . argumen dasar seseorang berdakwah kepada orang lain
untuk masuk Islam adalah . . . kesungguhan keyakinannya
menjadi sangat berbeda dari mereka . . . maka tugasnya adalah
untuk memberi orientasi sehingga mereka dapat mengikuti
jalannya tanpa penipuan atau kepura-puraan. Jika gagal, dia
harus menarik diri sepenuhnya, melepaskan dirinya dari
32 Al-Qur'an: 109:1–5.
310
kehidupan mereka dan secara terbuka menyatakan kepada
mereka: “untukmu agamamu, dan untukku agamaku.“33
Penafsiran tematik
Metode tafsir tematik menekankan pada kesatuan al-Qur'an.
Metode ini memulai langkah interpretasinya sebagai
studi al-Qur'an secara keseluruhan. Metode ini memungkinkan
penafsir mengidentifikasi semua ayat-ayat yang berkaitan dengan
tema tertentu, mengumpulkan ayat-ayatnya dan kemudian
mempelajari dan mengkomparasikannya. Contoh dari tema
ini adalah perempuan, perdagangan dan perniagaan, perang,
toleransi, Ahli Kitab atau kemiskinan. Para pendukung metode
ini berpendapat bahwa bentuk tafsir seperti ini memungkinkan
untuk lebih obyektif dalam menafsirkan al-Qur'an.
Tokoh-tokoh yang menggunakan tafsir tematik ini seperti
Ayatullah Murtaza Muthahhari (b.1920) dan penulis Mesir
Abbas Mahmud al-Aqqad (d.1964), keduanya telah menulis
tentang tema-tema seperti warga dan sejarah, hak-hak
perempuan, dan kebebasan fundamental. Sarjana Pakistan Fazlur
Rahman (d.1988) juga seorang pendukung jenis tafsir ini, seperti
ditunjukkan dalam karyanya Major Themes of the Qur’an.34 Model
penafsiran al-Qur'an seperti ini sangat populer saat ini di Mesir
dan Indonesia.
Penafsiran feminis
Selama paruh kedua abad ke-20, model penafsiran feminis
berkembang pesat. Mayoritas penafsir feminis mengkritik
sentralitas laki-laki dalam melakukan penafsiran al-Qur'an,
33 Sayyid Qutb, In the Shade of the Qur’an, trans. M.A. Salahi and A.A. Shamis,
London: Muslim Welfare House London Publishers, 1979, h. 331.
34 Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, Minneapolis, MN: Bibliotheca
Islamica, 1994.
311
mereka menekankan argumentasi bahwa bias gender penafsir
yang hingga kini masih didominasi pria, sebagian besar telah
membentuk paradigm pemahaman al-Qur'an dan Islam secara
umum. Berbeda dengan feminis sekuler, sarjana feminis Muslim
tidak menolak Islam itu sendiri. Sebaliknya, mereka mengacu
pada al-Qur'an dan sunah Nabi untuk mendukung klaim mereka
bahwa al-Qur'an perlu ditafsirkan kembali. Beberapa sarjana
feminis ternama adalah Fatima Mernissi, Amina Wadud dan
Asma Barlas. Usaha mereka yang masuk ke dalam ruang-ruang
tabu telah menyebabkan lahirnya oposisi dari ulama tradisionalis,
baik laki-laki maupun perempuan.
Salah satu contoh dari karya ini adalah karya Asma
Barlas, yang lebih fokus pada pengujian bagaimana umat Islam
‘menafsirkan dan menghidupkan ajaran-ajaran al-Qur'an. Secara
khusus, dia telah menghasilkan sejumlah karya yang menguji
asal-usul tafsir al-Qur'an yang bernuansa patriarkal. Barlas
berpendapat bahwa ide-ide ketidaksetaraan dan patriarki yang
dipakai untuk membaca al-Qur'an pada dasarnya adalah
untuk menjustifikasi struktur sosial yang ada. Dalam bukunya
‘Believing Women’ in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations
of the Qur’an,35 Barlas menelaah ulang sejumlah isu-isu ini
dan menunjukkan bahwa ajaran al-Qur'an tidak mendukung
patriarki, melainkan sangat egaliter. Dia juga mengusulkan
perlunya menghindari ‘maskulinisasi’ Tuhan, dan karena itu
adalah hak setiap Muslim untuk membaca dan menafsirkan
al-Qur'an untuk mereka sendiri.36 Meskipun karya Barlas telah
disebut oleh beberapa kalangan sebagai ‘feminisme Islam’ Barlas
35 Austin, TX: University of Texas Press, 2002.
36 Novriantoni and Ramy El-Dardiry, ‘Interview Asma Barlas: It is the Right for
Every Muslim to Interpret the Quran for Themselves’, Liberal Islam Network,
dikutuip dari ‘Dialogue with the Islamic World’. Diakses pada 13 May 2007:
http://www.qantara.de/webcom/show_article.php/_c-307/_nr-28/_p- 1/i.
html?PHPSESSID=.
312
sendiri memilih untuk tidak disebut sebagai seorang feminis,
melainkan sebagai seorang yang ‘beriman’.
Penafsiran kontekstualis
Pendekatan kontekstualis adalah mereka yang percaya
bahwa ajaran al-Qur'an harus diterapkan dengan cara yang
berbeda dengan memperhatikan konteksnya. Mereka cenderung
melihat al-Qur'an sebagai sumber pedoman praktis yang harus
diaplikasikan secara berbeda dalam situasi yang berbeda, bukan
sebagai satu paket hukum yang kaku. Para pendukung pendekatan
ini berpendapat bahwa para sarjana harus menyadari perbedaan
konteks sosial, politik dan budaya di era pewahyuan dan setting
sosial di mana interpretasi terjadi saat ini.
Salah satu tokoh utama dalam gerakan ini adalah sarjana
Pakistan-Amerika Fazlur Rahman. Dia berargumen bahwa
ijtihad (pemikiran independen dan penalaran) harus memainkan
peranan penting dalam kehidupan Muslim kontemporer. Dia juga
berargumen bahwa sarjana muslim kontemporer sebagian besar
meniru cara berpikir ulama sebelumnya dan mereka sebenarnya
membutuhkan eksplorasi cara-cara baru dalam memandang teks.
Pendekatan kontekstualis memungkinkan ruang lingkup yang
lebih besar dalam menafsirkan al-Qur'an dan mempertanyakan
ketentuan hukum yang dibuat oleh ulama sebelumnya. Pada
periode akhir adab kedua puluke-20 dan awal abad ke-21,
metodologi kontekstualis telah diadopsi oleh sebagian besar
pemikir Muslim. Meskipun mungkin mereka tidak mengacu
pada istilah ‘kontekstualis’, metode-metode penafsiran yang
dilakukan menunjukkan bahwa mereka mendekati al-Qur'an
dengan cara baru yang mencerminkan metodologi ini. Misalnya,
banyak orang yang mencoba menghubungkan al-Qur'an untuk
melihat keprihatinan dan kebutuhan warga kontemporer
dengan mengacu pada berbagai gagasan dan prinsip-prinsip al-
313
Qur'an yang relevan dengan era modern. Para sarjana ini berasal
dari berbagai latar belakang, dan kita tidak harus melihat mereka
sebagai bagian dari satu gerakan atau aliran pemikiran. Mulai
dari sarjana Aljazair Muhammad Arkoun (b.1928), sarjana
Mesir Nasr Hamid Abu Zayd (b. 1943), hingga sarjana-sarjana
Amerika seperti Amina Wadud dan Khaled Abou El Fadl (b.1963).
Meskipun semua pemikir ini dapat dikategorikan ke dalam
kontekstualis, pandangan dan pemahaman mereka terhadap al-
Qur'an terkadang sangat berbeda.
Bab terakhir dari buku ini (Bab 12) akan menelaah lima
pendekatan intelektual Muslim, di mana secara luas akan kita
anggap sebagai pendekatan ‘kontekstualis’ dalam menafsirkan
al-Qur'an.
Ringkasan
Beberapa poin penting yang telah kita bahas dalam bab ini
meliputi:
• Tradisi tafsir al-Qur'an yang dimulai oleh Nabi yang
memberikan gambaran model ‘tafsir praktis’ dari perintah
al-Qur'an tertentu.
• Pada abad ke-2/ke-8, tafsir telah berkembang menjadi
disiplin independen.
• Setiap kelompok politik-keagamaan yang muncul -Sunni,
Syiah dan Khawarij- mengembangkan tradisi penafsiran
mereka sendiri.
• Mayoritas Muslim Syiah percaya bahwa para imam itu
maksum, dan mereka adalah satu-satunya orang yang
mampu memahami al-Qur'an dan hadis dengan benar.
• Bersamaan dengan kelompok-kelompok religio-politik,
model tafsir lain, seperti teologis, hukum, mistis dan filosofis
juga berkembang.
314
• Pendekatan kontemporer, yang dimulai dengan penafsiran
modernis pada pertengahan abad ke-19, juga menyertakan
wacana saintifik, sosial-politik, model tematik, dan terakhir
model penafsiran feminis dan kontekstualis.
Rekomendasi Bacaan
Herbert Berg, ‘Exegetical Hadiths and the Origins of Tafsir’,
‘Data and Analysis: The Authenticity of Ibn ‘Abbas’s Hadiths in
Al-Tabari’s Tafsir’, in The Development of Exegesis in Early Islam:
The Authenticity of Muslim Literature from the Formative Period,
London: Curzon Press, 2000.
• Dalam buku ini, Berg mengkritik arus mainstream dalam
persoalan keotentikan hadits. Dalam dua tulisan di atas, dia
meneliti keaslian penafsiran hadis tertentu dan kemudian
menggunakan analisis ini untuk menilai otentisitas hadis
yang dipakai dalam penafsiran al-Qur'an klasik, al-Tabari.
Norman Calder, Jawid Mojaddedi and Andrew Rippin (eds
and trans.), ‘Qur’anic Interpretation’, Classical Islam: A Sourcebook
of Religious Literature, London and New York: Routledge, 2003,
pages 97–133.
• Buku ini ditulis untuk mahasiswa tingkat dasar dan mencakup
lebih dari 50 terjemahan baru bahasa Arab dan teks-teks
Islam Persia. Bab ini dimulai dengan pengantar penjelasan
sebelum menyajikan beberapa teks kunci dalam penafsiran
al-Qur'an pada periode klasik Islam.
Barbara Freyer Stowasser, Women in the Qur’an, Traditions,
and Interpretation, New York: Oxford University Press, 1994.
• Dalam buku ini, Stowasser menyajikan gambaran tentang
pandangan perempuan dalam al-Qur'an. Dia menceritakan
kisah perempuan seperti yang ditemukan dalam al-Qur'an
dan tafsirnya. Stowasser juga menjajaki pemahaman masa
315
lalu dan masa kini tentang perempuan dalam tradisi Islam
denga melihat implikasi politik dan ekonominya.
Abdullah Saeed, ‘Qur’an: Tradition of Scholarship and
Interpretation’, in Lindsey Jones (ed. in chief), Encyclopedia of
Religion, Farmington: Thomson Gale, 2005, Volume 11, pages
7,561–7,570.
• Dalam artikel ini, Saeed melihat tradisi keilmuan Islam dalam
disiplin tafsir al-Qur'an. Dia mengeksplorasi berbagai die-die
kunci, pendekatan, kecenderungan, tokoh, karya dan jenis-
jenis penafsiran.
C.H.M. Versteegh, Arabic Grammar and Qur’anic Exegesis in
Early Islam, Leiden: E.J. Brill, 1993.
• Dalam buku ini, Versteegh mengkaji peran dan relasi antara
tata bahasa Arab dengan tafsir al-Qur'an klasik. Dia mengacu
pada beberapa tafsir al-Qur'an klasik, dari awal pertengahan
abad ke-2/ke-8, dan menganalisis metode penafsiran dan
terminologi gramatikalnya.
317
Bab 12
Penafsiran Modern
atas Al-Qur'an
DALAM SEJARAH ISLAM metode penafsiran al-Qur'an terus berubah dan berkembang. Dua dari banyak kecenderungan yang berbeda sering disebut sebagai pendekatan
‘tekstualis’ dan ‘kontekstualis’. Sekarang ini, pendekatan
tekstualis masih tetap diadopsi oleh para penafsir al-Qur'an,
khususnya Sunni. Dalam upaya memahami makna al-Qur'an,
yang sering diasumsikan tetap dan tidak berubah sepanjang
waktu, para pendukung pendekatan ini banyak terlibat dalam
analisis linguistik terhadap sumber-sumber keislaman seperti
al-Qur'an dan hadis. Di era modern, pendekatan kontekstualis,
sebagai sebuah alternatif, mulai mendapatkan perhatian. Dalam
memahami makna al-Qur'an, yang esensinya diasumsikan tidak
akan berubah, pendukung pendekatan ini berpendapat bahwa
studi tekstual harus disertai dengan pengetahuan tentang
kondisi sosial, budaya dan politik masa pewahyuan. Berbeda
dengan ulama tekstualis, para kontekstualis terlibat tidak hanya
dalam analisis linguistik, tetapi juga mengadopsi pendekatan dari
berbagai bidang seperti hermeneutika dan teori sastra. Dengan
demikian, sesuai dengan sejarah perkembangan tafsir al-Qur'an,
318
para kontekstualis modern berusaha untuk mengembangkan
cara-cara baru untuk mendekati al-Qur'an.
Dalam bab ini kita akan membahas:
• Perbedaan madzhab antara tekstualis dan kontekstualis;
• Pendekatan tafsir al-Qur'an yang dominan saat kini;
• Pendekatan dari lima pemikir kontemporer al-Qur'an:
Fazlur Rahman,
Amina Wadud,
Muhammad Shahrour,
Mohammed Arkoun dan
Khaled Abou El Fadl.
Perbedaan antara Penafsiran Tekstualis dan
Kontekstualis
Mayoritas kesarjanaan al-Qur'an saat ini mendasarkan
diri pada metodologi tekstualis. Metodologi ini juga sebagian
besar mendominasi tafsir-tafsir pada periode pra-modern.
Para pemikir tekstualis mengandalkan teori makna referensial
untuk menafsirkan al-Qur'an, serta banyak mendeskripsikan
aspek linguistik daripada analisis sosial atau sejarah. Sarjana
yang mengadopsi pendekatan ini mempercayai bahwa bahasa al-
Qur'an memiliki referensi yang kongkrit dan tidak berubah, dan
oleh karenanya makna al-Qur'an sejak pewahyuan masih berlaku
untuk konteks kontemporer. Menurut kelompok tekstualis,
makna al-Qur'an itu bersifat statis, dan kaum Muslim harus
mengadopsi makna ini . Pendekatan ini sangat populer
dalam literatur-literatur saat ini yang terkait dengan al-Qur'an
dan pada umumnya pendekatan ini bisa dipahami dengan baik.
Sebaliknya, pendekatan kontekstualis kurang dikenal dan
dipahami daripada pendekatan tafsir tradisional. Secara umum,
sarjana kontekstualis sering dikaitkan dengan bentuk reformisme
319
Islam. Dibandingkan dengan pendekatan tekstualis, dapat
dikatakan bahwa kelompok kontekstualis memiliki pendekatan
yang lebih bernuansa pencarian ‘makna’ dalam teks al-Qur'an,
meskipun detail pendekatan ini sangat bervariasi di kalangan
sarjana. Karakteristik umum para pemikir kontekstualis
adalah argumentasi tentang makna ayat al-Qur'an (atau hadis)
yang tidak bisa diketahui secara pasti (indeterminate). Dalam
pengertian ini, makna akan selalu berkembang dari waktu ke
waktu, dan bergantung pada aspek sosio-historis, konteks budaya
dan linguistik teks. Pendekatan tafsir seperti ini memungkinkan
seseorang untuk mempertimbangkan konteks dari setiap kata,
dan mencapai pemahaman yang diyakininya lebih relevan
dengan situasi penafsiran. Kelompok kontekstualis lebih lanjut
menyatakan bahwa tidak pernah mungkin untuk sampai pada
makna yang benar-benar obyektif dan bahwa faktor-faktor
subyektif akan selalu turut andil dalam pemahaman kita. Penafsir
tidak dapat mendekati teks tanpa pengalaman tertentu, nilai-nilai,
keyakinan dan prasangka yang mempengaruhi pemahamannya.1
Sarjana kontekstualis modern telah berusaha secara khusus
untuk terlibat dengan ajaran ethico-legis yang dapat diturunkan
dari al-Qur'an. Dari perspektif kontekstualis, al-Qur'an tidak
dianggap sebagai kitab hukum, tapi sebagai teks yang berisi ide-
ide, nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dapat diterapkan seiring
dengan perubahan waktu dan tempat yang berbeda. Untuk
sampai pada ide-ide, nilai-nilai dan prinsip-prinsip ini ,
para pengkaji al-Qur'an kontekstualis membutuhkan konteks al-
Qur'an baik yang bersifat luas maupun sempit untuk membantu
memahami.
Pemahaman kontekstual memungkinkan satu ayat diban-
dingkan dengan keseluruhan tujuan dan konteks dari al-Qur'an,
1 Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism, Oxford: Oneworld, 1997,
h. 73–77.
320
yang tidak hanya meliputi al-Qur'an saja, namun juga sunah Nabi.
Konteks yang sempit harus pula mempertimbangkan apa yang
muncul secara langsung baik sebelum dan sesudah ayat ini
dan melihat juga kata-kata dalam ayat ini .
Studi kontekstualis juga sangat dipengaruhi oleh
hermeneutika modern, yang merupakan seperangkat prinsip yang
dipakai dalam interpretasi teks, dan dapat juga didefinisikan
sebagai ‘eksplorasi filosofis terhadap karakter dan kondisi yang
dibutuhkan untuk pemahaman’.2 Hermeneutika tidak berusaha
untuk menetapkan dan menstabilkan makna tertentu dari teks,
melainkan berasumsi bahwa makna dari sebuah teks adalah hasil
dari pembacaan seseorang. Dengan demikian peran pembaca
dalam menciptakan makna sangat ditekankan.
Farid Esack, seorang cendikiawan Muslim Afrika Selatan,
membahas hal ini dalam karyanya. Dia menunjukkan bahwa
‘menerima teks dan penggalian makna terhadap teks itu
tidak akan pernah ebrdiri sendiri’, artinya makna teks selalu
parsial.3 Dalam karyanya Qur’an: Liberation and Pluralism, Esack
menyatakan bahwa ‘hermeneutik‘ tidak terkait dengan keilmuan
Islam tradisional. Esack juga berbicara tentang pengembangan
‘hermeneutika pembebasan‘,4 dan dia juga mengklaim bahwa
disiplin hermeneutika secara bertahap mulai mempengaruhi
pengetahuan Islam pada abad ke-20. Seperti yang akan tercermin
dalam bab ini tentang profil cendekiawan Muslim modern, die
‘hermeneutik‘ tampaknya selaras dengan pemikir reformis dan
‘liberal‘ dalam pemikiran Islam kontemporer. Ide-ide ini
tentunya kontras dengan pemikiran muslim textualis, yang tidak
memperhatikan peran penting pembaca dalam mengidentifikasi
makna.
Bab ini akan melihat pemikiran dan kontribusi dari lima
tokoh kontemporer dalam memahami al-Qur'an. Diantaranya
adalah Fazlur Rahman, yang memainkan peran kunci dalam
mengembangkan gagasan terkait dengan pendekatan
hermeneutik dalam studi Islam. Rahman dianggap sebagai
‘pemikir Muslim reformis modern pertama yang menghubungkan
pertanyaan tentang asal usul al-Qur'an dengna melihat konteks
dan interpretasi terhadapnya.5 Setelah Rahman, ada pemikir
terkemuka Amerika bernama Amina Wadud, seorang tokoh yang
cukup penting dalam pembentukan ‘hermeneutika kesetaraan‘.6
Tokoh lain perintis hermeneutika Islam kontemporer adalah
Mohammed Arkoun, yang karyanya dipengaruhi oleh intelektual
postmodern seperti Paul Ricoeur, Michel Foucault dan
Jacques Derrida. Demikian juga tokoh yang dipengaruhi oleh
postmodernisme, Muhammad Shahrour, menekankan perlunya
membedakan antara yang ilahi dan yang manusiawi dalam
memahami realitas. Dan terakhir, kita akan menutup dengan
paparan karya Khaled Abou El Fadl, seorang sarjana terkemuka
dalam bidang hukum Islam dan sangat vokal melawan kelompok
yang menginterpretasikan al-Qur'an secara literal.
Fazlur Rahman
Fazlur Rahman terkenal dengan kontribusinya yang cukup
besar dalam diskursus modern reformasi pemikiran Islam. Dia
banyak menulis tentang berbagai bidang, termasuk pendidikan
Islam, tafsir al-Qur'an, kritik hadits, perkembangan awal tradisi
intelektual Islam, serta reformasi hukum Islam dan etika.
Rahman lahir di Pakistan pada tahun 1919, dan menghabiskan
sebagian besar masa mudanya untuk belajar dan mengajar di
5 Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism, h. 65.
6 Suha Taji-Farouki (ed.), Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an, Oxford: Oxford
University Press, 2004, h. 106.
322
Inggris, Kanada, Pakistan dan Amerika Serikat. saat tinggal di
Inggris, dia menulis disertasinya tentang Ibnu Sina di Universitas
Oxford, kemudian mengajar filsafat Islam selama delapan tahun
di Universitas Durham. Dia kemudian pindah ke Kanada, disana
dia diangkat sebagai associate profesor di Institute of Islamic
Studies McGill University. Pada periode berikutnya dia kembali ke
Pakistan untuk bekerja sebagai visiting professor dan kemudian
menjadi direktur Islamic Research Institute. Dari tahun 1961
sampai 1968, saat berada di Institut, Rahman menyarankan
kepada seseorang yang kemudian menjadi presiden, Jenderal
Ayyub Khan, tentang bagaimana Pakistan seharusnya diarahkan
pada jalan tengah antara Islam modernis dan tradisionalis.
Selama di Pakistan, Rahman dikritik oleh orang-orang
yang ingin mempertahankan dominasi praktek-praktek sosial
keagamaan yang sudah berjalan dari waktu ke waktu. Dan saat
kritik ini memuncak pada ancaman pembunuhan, dia
kemudian mencari perlindungan di Amerika Serikat. Di sana,
Rahman bekerja sebagai Profesor dalma bidang Pemikiran
Islam di Universitas Chicago, posisi yang diemban sampai ajal
menjemputnya pada tahun 1988. Salah satu murid Rahman
di Universitas Chicago adalah Nurcholish Madjid, seorang
cendekiawan muslim yang kemudian menjadi seorang intelektual
terkemuka di Indonesia dan memainkan peran utama dalam
memperluas studi Islam serta mengembangkan liberalisme Islam
dan demokrasi di Indonesia.
Metodologi Rahman juga banyak diterapkan oleh para sarjana
lain di beberapa bidang seperti hak-hak perempuan, seperti
terlihat dalam tulisan sarjana Amerika terkemuka Amina Wadud.
Meskipun Rahman menghabiskan sebagian besar hidupnya di
Barat, dia tetap menjadi seorang pemikir Muslim yang terus
terang dan berkomitmen untuk terus memberi pengaruh pada
umat Muslim. Demikian juga, meskipun dia menjabat sebagai
323
penasehat Jenderal Ayyub Khan, Rahman terus aktif dalam ruang
intelektual akademik, tidak mencari popularitas dan tidak pula
mencari pengaruh langsung dari gerakan politiknya.
Rahman sangat yakin bahwa salah satu tujuan utama
al-Qur'an adalah menciptakan sebuah warga yang
berlandaskan pada keadilan. Dia juga melihat Nabi Muhammad
sebagai seorang tokoh reformis sosial, yang berusaha untuk
memberdayakan orang-orang miskin, lemah dan yang rentan
diserang musuh. Dengan demikian dia memandang al-Qur'an
sebagai sumber prinsip-prinsip etis, daripada sumber hukum.
Salah satu tujuan intelektualnya adalah berusaha merumuskan
tatanan warga tanpa eksploitasi terhadap mereka yang
lemah. Dalam ungkapannya, Islam sebagai agama, serta
ajaran-ajaran al-Qur'an pada khususnya, harus dilihat sebagai
‘sesuatu yang mampu membuat kemanfaatan dan kesetaraan
positif bagi umat manusia. Oleh karena itu tujuan utama Islam
tidak akan terealisasikan sampai kebebasan otentik manusia
benar-benar dikembalikan dan kebebasan dari segala bentuk
eksploitasi -sosial, spiritual, politik dan ekonomi- benar-benar
diaplikasikan.7 Posisinya sebagai seorang reformis didasarkan
pada keyakinan bahwa:
Implementasi al-Qur'an tidak akan tercapai dengan metode
literal dalam konteks modern ini karena hal ini dapat
mengaburkan tujuan utama al-Qur'an. Meskipun pendapat
fuqaha [ahli hukum] atau ulama [ulama] Islam selama tiga
belas abad terakhir harus dipelajari dengan serius dan diberi
perhatian khusus, pendapat-pendapat ini mungkin
dalam beberapa kasus memuat kekeliruan atau hanya
7 Fazlur Rahman, ‘Some Reflections on the Reconstruction of Muslim Society in
Pakistan’, h. 103–20, Islamic Studies, vol. 6, no. 9, 1967, h. 103.
324
mencukup kebutuhan warga saat itu, dan tidak untuk
saat ini.8
Misalnya, Rahman berpendapat bahwa praktek hukum keluarga
dalam sejarah Islam tidak memberikan hak-hak kesetaraan
yang seharusnya dimiliki oleh perempuan, berdasarkan contoh
perilaku Nabi dan ajaran al-Qur'an:
Al-Qur'an dengan jelas melarang laki-laki mengeksploitasi
perempuan saat posisinya lebih kuat dalam warga kala
itu, dan Islam menetapkan perintah untuk seluruh tindakan
-hukum dan moral- dimana eksploitasi seksual benar-benar
harus dihapuskan. Al-Qur'an melarang poligami dalam
keadaan normal, memberikan kesempatan bagi wanita untuk
memiliki dan mendapatkan kekayaan, mengakui perempuan
menjadi mitra setara dalam warga : memperhatikan dan
memberi kesempatan bagi perempuan di tengah warga
yang masih tabu akan hal itu. Al-Qur'an meletakkan dasar
kehidupan pernikahan untuk saling memberi cinta dan kasih
sayang, dan pasangan diibaratkan seperti pakaian bagi satu
sama lain. Al-Qur'an juga mengatur dengan ketat tentang
hukum perceraian.9
Rahman telah dikritik karena ‘meremehkan kompleksitas
hermeneutik dan pluralisme intelektual yang ada di
dalamnya’.10 Namun, masalah ini tampaknya tidak begitu penting
bagi pemikiran Rahman. Tujuan utamanya adalah mengatasi
masalah tertentu yang dia yakini membutuhkan perhatian
dari perspektif umat Muslim yang sadar untuk tetap relevan
dalam lingkungan yang terus berubah. Kontribusinya terhadap
argumen pengakuan subyektif Interpretasi al-Qur'an mungkin
dapat dilihat secara akurat dari tokoh-tokoh yang lebih baru
seperti Amina Wadud dan Khaled Abou El Fadl.
Singkatnya, kontribusi utama Rahman terhadap perdebatan
tentang Islam pada abad ke-20 adalah gagasannnya dalam
memahami al-Qur'an, bahwa umat Islam harus menjauh
dari pendekatan reduksionis dan konvensional yang tidak
memperhatikan aspek-aspek sosial, sejarah dan konteks
linguistik al-Qur'an. Pendekatannya terhadap al-Qur'an dapat
dilihat sebagai salah satu pendekatan yang paling orisinal dan
sistematis yang hadir pada paruh kedua abad ke-20. Demikian
juga, penekanannya pada sejarah konteks pewahyuan telah
memberi pengaruh yang luas dalam perdebatan muslim
kontemporer tentang isu-isu penting seperti hak asasi manusia,
hak-hak perempuan dan keadilan sosial. Rahman berpendapat
bahwa tanpa menyadari realitas sosial dan politik warga di
mana al-Qur'an diturunkan, seseorang tidak akan bisa memahami
pesannya.11 Meskipun ada beberapa kritik, pendekatan
Rahman semakin banyak diadopsi oleh umat Islam dalam upaya
mereka untuk menghubungkan al-Qur'an dengan kebutuhan
kontemporer, dan mungkin akan terus berpengaruh di kalangan
generasi muda Muslim intelektual saat ini.
Amina Wadud
Amina Wadud adalah seorang pemikir Afrika-Amerika
yang concern dalam bidang tafsir al-Qur'an dan gender. Pada
tahun 1992 dia menerbitkan buku pertamanya, sebuah karya
Muslim feminis tentang prinsip penafsiran al-Qur'an yang
berjudul Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective.12
11 Pendekatan ini ditolak oleh pemikir Turki, Huseyn Atay, yang berpendapat bahwa
al-Qur'an butuh untuk ‘dibebaskan dari akar sejarah dan kebudayaan tradisional’;
lihat, Taji-Farouki (ed.), Modern Muslim Intellectuals, h. 249.
12 New York: Oxford University Press, 1999.
326
Buku ini didukung oleh sejumlah feminis yang berbahasa
Arab,13 dan termasuk pula ide-ide kontroversial tentang perlunya
menggunakan bahasa gender yang lebih netral dalam memahami
al-Qur'an.14
Amina Wadud dilahirkan dalam sebuah keluarga Kristen
Protestan (Methodist) tahun 1952 di Maryland, USA. saat
tumbuh dewasa, Wadud merasa seperti orang asing karena
etnisitas dan gender yang melekat padanya. Salah seorang
rekan feminisme Islam, Asma Barlas, menulis, ‘Jika bangsa telah
mendefinisikan dirinya di mata rekan-rekan kulit putih, maka
gender telah mendefinisikan dirinya di mata orang-orang hitam’.15
saat dia sedang belajar di kampus, Wadud yang sedang berusia
20 tahun memutuskan untuk menjadi Muslim. Menurut Barlas,
posisi Wadud sebagai seorang Amerika keturunan Afrika yang
pindah ke agama Islam, dan karenanya menjadi ‘orang Barat’,
telah memungkinkan dirinya untuk terlibat dalam Islam dengan
sebuah ‘kesadaran tertentu yang membentuk identitasnya’.16
Amina Wadud memperoleh gelar Ph.D dalam studi Islam dari
Universitas Michigan pada tahun 1988 dan pada saat penulisan
buku, dia juga sedang mengajar di Universitas Commonwealth
Virginia.
Wadud memiliki posisi kontroversial dalam pemikiran
Islam kontemporer. Salah satu pendukung kuat kesetaraan
gender, Wadud dianggap berpihak pada gerakan ‘feminis’ Islam.
Dia mungkin paling banyak dikenal karena telah menyampaikan
13 Ruth Roded, ‘Women and the Qur’an’, dalam McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the
Qur’an, vol. 5, h. 540.
14 Roded, ‘Women and the Qur’an’, h. 540.
15 Asma Barlas, ‘Amina Wadud’s Hermeneutics of the Qur’an: Women Rereading
Sacred Texts’, h. 99, dalam Taji-Farouki (ed.), Modern Muslim Intellectuals, h.
97–123.
16 Barlas, ‘Amina Wadud’s Hermeneutics of the Qur’an’, h. 97.
327
khotbah Jumat di Afrika Selatan pada tahun 1994, dan yang
cukup kontroversial dalam upayanya memimpin laki-laki dan
perempuan dalam salat Jumat di tahun 2005, dia bertindak
sebagai imam atau pemimpin salat. Event ini mendapat komentar
internasional dan memunculkan sejumlah fatwa yang bersikeras
bahwa kepemimpinan dalam salat hanya diperbolehkan untuk
laki-laki Muslim.17
Wadud juga memposisikan dirinya sebagai postmodernis.
Dia beranggapan bahwa postmodernisme adalah sebuah gerakan
untuk ‘berpikir’ dan ‘menata ulang’ apa yang dipikirkan pada
masa lalu, suatu proses yang dianggap perlu oleh Wadud dalam
rangka menciptakan masa depan yang lebih pluralistik dan
homogen.18 Pemikiran ini sejalan dengan beberapa tokoh seperti
Mohammed Arkoun dan Muhammad Shahrour, yang keduanya
telah dipengaruhi oleh pemikiran postmodernis. Ketiganya
memiliki usaha untuk mempertanyakan metode yang ditetapkan
dalam kajian keislaman, sembari membela adanya kesadaran
subyektif yang seharusnya ‘dibenarkan’.
Wadud menunjukkan bahwa dirinya terlibat dalam ‘jihad
gender’, sebuah sikap yang tercermin dalam keyakinannya
bahwa al-Qur'an memiliki misi pembebasan dan pemberdayaan
perempuan. Dia mengkritik beberapa narasi Muslim umum
sebagai sebuah kesalahan, seperti klaim tentang wanita
diciptakan dari laki-laki dan oleh karenanya menjadi makhluk
sekunder. Wadud berpendapat bahwa tidak ada dalil al-Qur'an
terhadap keyakinan, yang cukup populer dalam dunia Islam,
bahwa seorang wanita yang diciptakan setelah laki-laki. Dia
17 Nelly van Doorn-Harder, ‘Teaching and Preaching the Qur’an’, h. 227, dalam
McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the Qur’an, vol. 5, 2006, h. 205– 231.
18 ‘Interview - Amina Wadud’, Frontline-Muslims, Maret 2002. Diakses pada 25
Februari 2007: http://www.pbs.org/wgbh/pages/frontline/shows/muslims/
interviews/wadud.html.
328
mengutip beberapa ayat seperti Q.4:1, yang berbicara tentang
manusia pertama dengan menggunakan gender yang netral,
untuk mendukung argumennya: “Wahai manusia, bertaqwalah
kepada Tuhanmu, yang menciptakanmu dari diri yang satu, dan
dari padanya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya
Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang tak
terhitung jumlahnya.’’
Wadud menekankan bahwa al-Qur'an tidak ‘melimpahkan
tanggung jawab kepada perempuan atas pengusiran pasangan
ini [Adam dan Hawa] dari surga’.19 Dia juga menyatakan bahwa
al-Qur'an menempatkan laki-laki dan perempuan dalam level
ontologis yang sama, dan dia berpendapat bahwa satu-satunya
landasan untuk membedakan manusia, baik perempuan
dan laki-laki, adalah derajat mereka akan ‘kesadaran Tuhan’
(Taqwa). Wadud tidak mempertimbangkan ayat-ayat yang
berhubungan dengan poligami yang menjadi bukti adanya
subordinasi perempuan. Sebaliknya, dia justru menganggap
ajaran al-Qur'an yang berhubungan dengan pokok persoalan
ini20 ‘lebih dikonsentrasikan pada aspek keadilan: relasi yang
adil, pengelolaan dana yang adil, keadilan terhadap anak yatim,
dan keadilan untuk para istri’.21
Kontribusi Wadud dalam kajian al-Qur'an telah diringkas
oleh Asma Barlas sebagai berikut:
Kritik Wadud tentang tafsir tradisional dimaksudkan tidak
hanya untuk mengungkapkan kekurangan dalam pembacaan
al-Qur'an yang bias patriarki, tetapi juga dimaksudkan untuk
19 Barlas, ‘Amina Wadud’s Hermeneutics’, h. 114.
20 Qur’an: 4:3 – ‘If you fear you will not deal fairly with orphan girls, you may marry
whichever [other] women seem good to you, two, three, or four. If you fear that
you cannot be equitable [to them], then marry only one, or your slave(s): that is
more likely to make you avoid bias.’
21 Barlas, ‘Amina Wadud’s Hermeneutics of the Qur’an’, h. 115–116.
329
menyadarkan kaum Muslim tentang perlunya memikirkan
kembali strategi tekstual mereka, perlunya kerangka metode
interpretatif baru, dan perlunya memasukan perempuan
dalam proses kreasi pengetahuan. Dia meyakini bahwa hal
ini tidak hanya akan memungkinkan perempuan untuk
mengembangkan identitas Muslim agar lebih otentik, namun
juga akan mencerminkan ‘tingkat pemahaman baru dan
partisipasi manusia’ dalam kehidupan beragama.22
Muhammad Shahrour
Muhammad Shahrour lahir pada tahun 1938 di Damaskus,
Suriah. Seorang insinyur sipil dan sarjana otodidak Islam yang
telah banyak menulis tentang Islam dan al-Qur'an. Sebagai
seorang outsider karena profesinya, Shahrour berpendapat
bahwa kaum Muslim kontemporer perlu mempertimbangkan
dan mempertanyakan kembali kitab suci agama Islam, sebuah ide
yang dinyatakan dalam karya besarnya, Al-Kitab wa al-Qur'an.23
Shahrour telah dipengaruhi oleh berbagai intelektual, dari filosof
awal Muslim al-Farabi (d.338/950), filosof idealisme Jerman,
Johann Gottlieb Fichte, sampai matematikawan dan filosof
Inggris, Alfred North Whitehead.24
Yang esensial untuk pemikiran Shahrour adalah diferensiasi
antara sesuatu yang ilahi dan pemahaman manusia terhadap
realitas ilahiah. Dia juga berpendapat bahwa, karena
perkembangan ilmu pengetahuan, ulama kontemporer yang
jauh lebih baik dibandingkan ulama masa lalu dalam memahami
22 Barlas, ‘Amina Wadud’s Hermeneutics of the Qur’an’, h. 105.
23 Al-Kitab wa al-Qur'an: Qira’a Mu‘asira (The Book and the Qur’an: A Contemporary
Reading), Damascus: al-Ahli li al-Taba‘a wa al-Nashr wa al-Tawzi‘, 1990.
24 Andreas Christmann, ‘“The Form is Permanent, but the Content Moves”: The
Qur’anic Text and its Interpretation(s) dalam Mohamad Shahrour’s al- Kitab
wal-Qur'an’, dalam Taji-Farouki (ed.), Modern Muslim Intellectuals, h. 265.
330
‘kehendak Tuhan’.25 Dengan demikian, Shahrour berusaha untuk
menciptakan kerangka dan metodologi baru untuk memahami
al-Qur'an, dan untuk tujuan ini dia telah menciptakan kategori
sendiri untuk mendekati al-Qur'an .26
Seperti Mohammed Arkoun, Shahrour berusaha
mempertanyakan bangunan pola pembacaan al-Qur'an. Metode
yang diusulkan Shahrour untuk melakukan hal ini disebut
‘defamiliarization’, yang melibatkan ‘keinginan eksplisit untuk
meruntuhkan tatanan karya-karya interpretasi dan menyarankan
alternatif baru untuk membaca teks. Andreas Christmann
menyatakan bahwa Shahrour meinginginkan pembacanya
untuk memahami al-Qur'an ‘seolah Nabi baru saja meninggal
dan memberitahukan al-Qur'an kepada kita’,27 maka dalam
mendekati al-Qur'an seseorang diasumsikan baru membaca
untuk pertama kalinya.28
Buku Shahrour ini manuai banyak kritik. Respon terhadap
karyanya hampir seluruhnya negatif: ‘Bahkan ulama yang
simpatik seperti Nasr Hamid Abu Zayd, yang secara personal
mendukung perubahan dan reformasi, mengkritik kenaifan
metodologi Shahrour’.29 Sementara yang lain juga menuduhnya
sebagai antek Zionisme dan mencoba untuk menyebarkan
perpecahan di kalangan umat Islam. Shahrour telah menanggapi
kritik ini dengan mengklaim bahwa komentar seperti ini
adalah cara mudah untuk menghindari pembahasan yang telah
dimulainya.
Meskipun ada banyak kritik, setidaknya salah satu ide
dominan dalam pemikiran Shahrour tentang Islam selaras dengan
banyak tokoh reformis kontemporer Islam. Artinya, bahwa al-
Qur'an harus didekati dengan cara kontemporer, studi atau
pembacaan al-Qur'an harus mempertimbangkan perkembangan
di bidang lain seperti filsafat modern dan linguistik. Pendekatan
‘kontemporer’ al-Qur'an ini tampaknya menjadi bukti bahwa
teori dan aliran pemikiran mulai dari ‘teologi tentang proses,
evolusionisme, liberalisme, Marxisme, Sufisme, matematika,
statistik, kuantum fisika, psikoanalisis, linguistik dan teori
komunikasi’,30 sangat nampak diterapkan dalam analisisnya
terhadap al-Qur'an.
Mohammad Arkoun
Mohammad Arkoun lahir di Aljazair pada tahun 1928
dan secara kultur dia adalah orang Berber, Perancis dan Arab.
Setelah belajar di Aljazair, dia mendapatkan gelar Ph.D dari
Sorbonne Paris. Arkoun kini dikenal luas sebagai seorang
sarjana perintis pemikiran Islam kontemporer. Dia dipercaya
karena telah memperluas disiplin studi Islam dengan meminjam
dan mengembangkan ide-ide dari sumber-sumber yang pada
umumnya tidak terkait dengan studi Islam. Salah satu karya
utamanya adalah The Unthought in Contemporary Islamic Thought.31
Arkoun pergi ke Sorbonne sebelum terjadinya kemerdekaan
Aljazair, dan disanalah perkembangan intelektualnya diperkaya
dengan perubahan umum yang dialami kajian humaniora selama
kurun 1950-an dan 1960-an. Selama ini, ‘bidang humaniora. . .
ditandai dengan pencarian perspektif dan pendekatan baru, yang
menyebabkan munculnya kreasi baru pergerakan intelektual
atau konsolidasi terhadap teori-teori yang telah mapan dan
pendekatan-pendekatan metod. ologis’.32 Pemikiran Arkoun ‘juga
terinspirasi oleh penelitiannya tentang intelektual Islam Persia
dan ‘humanisme’ Miskawaih (d.421/1030) serta studi tentang
humanisme Arab abad ke-10, yang juga menjadi subjek bahasan
doktoralnya. Dia ‘terkesan dengan keterbukaan dan penerimaan
Miskawaih dan ulama-ulama semasanya terhadap tradisi lain
seperti Yunani dan Persia [tradisi]’.33
Pada umumnya Arkoun tidak dihargai oleh para sarjana
Muslim tradisionalis, karena pendekatan sekulernya terhadap
analisis al-Qur'an dan pengaruh dari Derrida, Baudrillard dan
Foucault yang nampak dalam karyanya.34 Dia juga dikritik oleh
beberapa kelompok karena ‘ekspresi kebahaasaan yang kompleks
dan sulit dipahami, terminologi yang melimpah [yang ada dalam
tulisannya] dan kurang sistematis’.35
Elemen kunci dari pemikiran Arkoun adalah menyangsikan
ortodoksi Islam, dan menurutnya ortodoksi itu ‘setara dengan
ideologi’, dengan demikian tunduk pada ‘proses sejarah’.36
Ortodoks melibatkan ‘kultur terdidik’, yang terkespresikan dalam
‘tulisan’ dan yang diungkapkan melalui ‘negara’. ‘Ortodoksi’ ini
ditentang oleh ‘heterodoksi’, yang membuka budaya populer
(dan populis), yang lebih menggunakan (yang bebas, tidak
menstabilkan) ‘oralitas’ dan hadir dalam (atau menciptakan)
segmen tertentu dalam warga .37
Singkatnya, Ursula Günther berpendapat bahwa pemikiran
Arkoun menampilkan kualitas rimpang (akar yang bercabang-
cabang seperti jari), sebuah ide yang terkait erat dengan pemikiran
postmodernis. Günther menyatakan,
[Rimpang] melambangkan pergeseran paradigma yang telah
terjadi di berbagai tingkat kehidupan modern. Labang ini
merupakan singkatan dari integritas, keutuhan dan pluralitas
yang berbeda dengan dualisme, dekomposisi dan partikularisme.
Dalam Pendekatan hal ini Arkoun membawa karakteristik
postmodernisme.
Khaled Abou El Fadl lahir di Mesir pada tahun 1963. Dia
adalah seorang sarjana terkemuka dalam bidang hukum Islam
dan seorang ahli hukum muslim yang dilatih secara tradisional.
Abou El Fadl adalah seorang profesor di Universitas California.
Meskipun dipandang oleh publik luas sebagai sarjana yang
disegani, serangannya terhadap beberapa gerakan dalam
Islam, khususnya Wahhabisme, telah menyebabkan dirinya
menerima banyak ancaman pembunuhan. Di antaranya,
dia mengkritik Wahhabisme atas pembatasan kaku yang
dibebankan pada perempuan. Dia berpendapat bahwa ‘ideologi’
seperti Wahhabisme, yang mewajibkan wanita mentaati laki-
laki ‘dengan buta’, secara efektif mengubah laki-laki menjadi
setengah dewa.39 Dia juga telah menentang sikap umum para
ulama tradisionalis yang mewajibkan memakai kerudung (jilbab)
bagi perempuan, dengan dasar bahwa perempuan tidak secara
eksplisit diperintahkan oleh al-Qur'an untuk melakukannya.
Abou El Fadl juga berbicara lantang untuk menentang semua
budaya dan praktik yang membuat wanita menduduki posisi
bawahan dalam struktur warga . Baginya praktek-praktek
ini adalah ‘penghinaan moral’ dan menyerang inti tentang
bagaimana sejatinya seorang Muslim.
Salah satu karya besar Abou El Fadl adalah Speaking in God’s
Name: Islamic Law, Authority and Women.41 Karya ini berusaha
membicarakan tentang peran pembaca otoritatif teks-teks agama,
menantang cara proklamasi diri sebagai ‘Ulama’ al-Qur'an, terutama
di zaman modern, dan mengasumsikan peran juru bicara yang
mengatasnamakan Tuhan. Dia berpendapat dalam banyak kasus,
‘ulama’ seakan menggantikan otoritas Tuhan, yang dia gambarkan
sebagai ‘tindakan kelaliman’.42 Pendahuluan dalam buku Abou
El Fadl ini mengacu pada karya Umberto Eco, antara lain dalam
mengajukan pertanyaan tentang apakah ayat-ayat al-Qur'an
membutuhkan pembacaan secara ‘terbuka’ atau ‘tertutup’.43 Abou El
Fadl menyoroti pentingnya fokus pada interaksi antara Author al-
Qur'an (Tuhan) dan pembaca, dan tanggung jawab pembaca yang
memiliki otoritas, karena posisi khususnya sebagai penafsir
teks, yang bertindak sebagai ‘agen’ yang setia terhadap ‘otoritas
tertinggi’ (Tuhan), dan menahan diri dari pembiasan subjektif
kecuali jika hal ini dinyatakan dengan jelas. Dalam upaya
memperjelas posisi pembaca dalam memahami al-Qur'an, Abou
El Fadl mengusulkan pertanyaan sebagai berikut:
Sejauh mana kepekaan dan subjektivitas saya menentukan
bangunan makna teks? Bolehkah atau haruskah saya
menggunakan teks untuk keperluanku, dan mengizinkan
kebutuhanku untuk menjadi penentu dalam membangun teks?
Jika karakter pembaca sangat determinatif, lalu bagaimana
dengan maksud pengarang? Haruskah seorang pembaca fokus
hanya pada maksud pengarang dan mempertimbangkan
maksud pengarang dalam menentukan arti teks? Bukankah
ini lebih menghormati pengarang, terlebih jika pengarang itu
bersifat ilahi? Tapi bagaimana mungkin maksud pengarang
bisa dipastikan jika motif pengarang tidak dapat diakses?44
Pembingkaian perdebatan dengan cara seperti ini -yang
menyoroti posisi subjektif pembaca- jelas merupakan serangan
terhadap orang-orang ‘yang berbicara atas nama Tuhan’ dengan
mengklaim asumsi keaslian dan kesempurnaan pendekatan
‘literalis’ atau ‘Tekstualis’.
Dengan nada yang sama dengan Arkoun dan Wadud, Abou
El Fadl juga mempromosikan gagasan tentang banyaknya
kemungkinan dalam interpretasi al-Qur'an, serta menentang
pandangan ulama konservatif yang mengklaim monopoli atas
penafsiran al-Qur'an. Namun, Abou El Fadl berpendapat bahwa
gagasan ‘Islam Eropa’ yang dirasa berbeda dari Islam secara
umum adalah pendapat yang berlebihan, karena sumber klasik
Islam memberikan dasar yang cukup dan juga fleksibilitas
dalam menanggapi isu-isu Muslim yang tinggal di Barat sebagai
minoritas, tanpa harus merumuskan kembali Islam secara utuh.
Dia menyatakan, ‘teologi dan hukum Islam memberikan apapun
yang dibutuhkan seorang Muslim untuk hidup dalam lingkungan
sekuler, pluralis, dan demokratis: toleransi, penerimaan
pluralisme, penolakan terhadap kekerasan, partisipasi dalam
kehidupan publik (seperti yang selama ini dipandu oleh prinsip-
prinsip moral), cinta, dan kasih’.45
44 Abou El Fadl, Speaking in God’s Name, h. 3.
45 Jung-Mounib, ‘Khaled Abou El Fadl – God Does Not Have an Equal Partner’.
336
Dalam perdebatan mengenai bagaimana studi al-Qur'an
dapat dikembangkan, Abou El Fadl menentang adopsi besar-
besaran terhadap pendekatan kesusastraan atau dekonstruktif.
Dia justru menyarankan sarjana dan mufassir al-Qur'an untuk
menggunakan pendekatan yang berakar pada tradisi Islam dan
pengalaman orang Muslim. Dia merekomendasikan bahwa
para cendekiawan Muslim harus memulai penafsiran dengan
pengalaman kaum Muslim dan mempertimbangkan bagaimana
wacana ini memungkinkan untuk dimanfaatkan.46
Abou El Fadl melihat ide dan metodologi postmodernisme
dan poststrukturalisme sebagai sesuatu yang datang dari konteks
sosial tertentu dan pengalaman sejarah Barat, oleh karenanya
tidak selalu relevan untuk diterapkan dalam pemikiran Islam
kontemporer. Meskipun kritisisme filsafat ini menimbulkan
‘ketertarikan’, ‘sangat penting untuk tidak menempatkan sebuah
epistemologi bagi kaum Muslim yang mungkin tidak seutuhnya
mencerminkan pengalaman Muslim itu sendiri’.47
Meskipun Abou El Fadl menolak relevansi postmodernisme
dengan keilmuan Islam, kritiknya yang kuat terhadap kelompok-
kelompok puritan yang memaksakan ortodoksi kaku terhadap
interpretasi al-Qur'an, menghubungkan dirinya dengan gerakan-
gerakan lain yang telah berkembang yang berhubungan dengan
postmodernisme. Namun tidak seperti Arkoun dan Shahrour,
Abou El Fadl mengkritik ulama konservatif secara tegas dengan
mendasarkan pada metodologi hukum Islam.
Ringkasan
Beberapa poin penting yang telah kita bahas dalam bab ini
meliputi:
• Tafsir tekstualis umumnya menggunakan sumber linguistik
tekstual sebagai analisisnya, dan mendasarkan pada asumsi
bahwa makna al-Qur'an tidak akan berubah dari waktu ke
waktu.
• Penafsiran kontekstualis menggunakan berbagai teknik yang
berbeda, dan umumnya menggunakan dasar asumsi bahwa
makna al-Qur'an sebagian besar tidak bias dipastikan.
• Pendekatan tekstualis masih menjadi kerangka umum
sarjana al-Qur'an hingga saat ini.
• Banyak sarjana Muslim modern, termasuk yang disebutkan
di atas, mulai lebih memperhatikan pentingnya konteks
dalam memahami al Qur’an.
Rekomendasi Bacaan
Mohammed Arkoun, ‘Revelation’, ‘Exegesis’, dalam Rethinking
Islam: Common Questions, Uncommon Answers, diterjemahkan dan
diedit oleh Robert D. Lee, Boulder: Westview Press, 1994.
• Khususnya dalam dua bab buku ini , Arkoun mengkritik
pendekatan tradisional al-Qur'an dan interpretasi
terhadapnya. Dia mengusulkan untuk memikirkan kembali
tradisi penafsiran dalam konteks perubahan warga
modern. Topik lain dalam buku ini berkisar tentang
‘Muhammad‘, ‘Hadis‘, ‘Wanita’, ‘Sufisme‘, ‘Otoritas’, ‘budaya
Mediterania’, ‘Sekularisme’ dan ‘HAM’.
Farid Esack, Qur’an, Liberalism and Pluralism, Oxford:
Oneworld, 1997.
• Dalam buku ini Esack memberikan pandangan alternatif
tentang al-Qur'an dalam kaitannya dengan konsep liberalisme
dan pluralisme modern. Dia berpendapat bahwa al-Qur'an
mengakui ide kebebasan, toleransi dan pluralisme.
338
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition, Chicago: Chicago University Press, 1982;
‘Modern Developments’, ‘Legacy and Prospects’ and ‘Epilogue’,
Islam, second edition, Chicago: University of Chicago Press, 2002,
pages 212–265.
• Dalam buku ini Rahman berpendapat bahwa ada kebutuhan
mendesak untuk menafsirkan al-Qur'an kembali. Dengan
kritis dia mengevaluasi tradisi keilmuan Islam dalam konteks
sosio-historis dan berpendapat juga bahwa ada kebutuhan
untuk mengakui adanya perbedaan antara petunjuk al-
Qur'an yang berbentuk prinsip-prinsip umum dan respon
khusus terhadap situasi historis tertentu.
Suha Taji-Farouki (ed.), Modern Muslim Intellectuals and the
Qur’an, Oxford: Oxford University Press, 2004.
• Dalam buku ini Taji-Farouki menyajikan karya antologi
dari akademisi Muslim modern dan peran mereka dalam
memikirkan kembali interpretasi dan aplikasi al-Qur'an.
Secara bersamaan, artikel-artikel ini membuka
cakrawala yang luas bagi pembaca tentang tokoh-tokoh
utama di era ini dan ide-ide mereka tentang pendekatan
modern terhadap al-Qur'an.
Amina Wadud, Qur’an and Women: Rereading the Sacred Text
from a Woman’s Perspective, New York: Oxford University Press,
1999.
• Dalam buku ini Wadud berpendapat bahwa ada kebutuhan
mendesak untuk menggunakan pendekatan yang lebih
feminis dalam menafsirkan teks al-Qur'an. Untuk mendukung
argumen ini, dia menyoroti fakta bahwa mayoritas karya
penafsiran tradisional ditulis oleh mereka yang berjenis
kelamin laki-laki dan dalam ruang lingkup sosio-historis yang ologis’.32 Pemikiran Arkoun ‘juga
terinspirasi oleh penelitiannya tentang intelektual Islam Persia
dan ‘humanisme’ Miskawaih (d.421/1030) serta studi tentang
humanisme Arab abad ke-10, yang juga menjadi subjek bahasan
doktoralnya. Dia ‘terkesan dengan keterbukaan dan penerimaan
Miskawaih dan ulama-ulama semasanya terhadap tradisi lain
seperti Yunani dan Persia [tradisi]’.33
Pada umumnya Arkoun tidak dihargai oleh para sarjana
Muslim tradisionalis, karena pendekatan sekulernya terhadap
analisis al-Qur'an dan pengaruh dari Derrida, Baudrillard dan
Foucault yang nampak dalam karyanya.34 Dia juga dikritik oleh
beberapa kelompok karena ‘ekspresi kebahaasaan yang kompleks
dan sulit dipahami, terminologi yang melimpah [yang ada dalam
tulisannya] dan kurang sistematis’.35
Elemen kunci dari pemikiran Arkoun adalah menyangsikan
ortodoksi Islam, dan menurutnya ortodoksi itu ‘setara dengan
ideologi’, dengan demikian tunduk pada ‘proses sejarah’.36
Ortodoks melibatkan ‘kultur terdidik’, yang terkespresikan dalam
‘tulisan’ dan yang diungkapkan melalui ‘negara’. ‘Ortodoksi’ ini
ditentang oleh ‘heterodoksi’, yang membuka budaya populer
(dan populis), yang lebih menggunakan (yang bebas, tidak
menstabilkan) ‘oralitas’ dan hadir dalam (atau menciptakan)
segmen tertentu dalam warga .37
Singkatnya, Ursula Günther berpendapat bahwa pemikiran
Arkoun menampilkan kualitas rimpang (akar yang bercabang-
cabang seperti jari), sebuah ide yang terkait erat dengan pemikiran
postmodernis. Günther menyatakan,
[Rimpang] melambangkan pergeseran paradigma yang telah
terjadi di berbagai tingkat kehidupan modern. Labang ini
merupakan singkatan dari integritas, keutuhan dan pluralitas
yang berbeda dengan dualisme, dekomposisi dan partikularisme.
Dalam Pendekatan hal ini Arkoun membawa karakteristik
postmodernisme.
Khaled Abou El Fadl lahir di Mesir pada tahun 1963. Dia
adalah seorang sarjana terkemuka dalam bidang hukum Islam
dan seorang ahli hukum muslim yang dilatih secara tradisional.
Abou El Fadl adalah seorang profesor di Universitas California.
Meskipun dipandang oleh publik luas sebagai sarjana yang
disegani, serangannya terhadap beberapa gerakan dalam
Islam, khususnya Wahhabisme, telah menyebabkan dirinya
menerima banyak ancaman pembunuhan. Di antaranya,
dia mengkritik Wahhabisme atas pembatasan kaku yang
dibebankan pada perempuan. Dia berpendapat bahwa ‘ideologi’
seperti Wahhabisme, yang mewajibkan wanita mentaati laki-
laki ‘dengan buta’, secara efektif mengubah laki-laki menjadi
setengah dewa.39 Dia juga telah menentang sikap umum para
ulama tradisionalis yang mewajibkan memakai kerudung (jilbab)
bagi perempuan, dengan dasar bahwa perempuan tidak secara
eksplisit diperintahkan oleh al-Qur'an untuk melakukannya.
Abou El Fadl juga berbicara lantang untuk menentang semua
budaya dan praktik yang membuat wanita menduduki posisi
bawahan dalam struktur warga . Baginya praktek-praktek
ini adalah ‘penghinaan moral’ dan menyerang inti tentang
bagaimana sejatinya seorang Muslim.
Salah satu karya besar Abou El Fadl adalah Speaking in God’s
Name: Islamic Law, Authority and Women.41 Karya ini berusaha
membicarakan tentang peran pembaca otoritatif teks-teks agama,
menantang cara proklamasi diri sebagai ‘Ulama’ al-Qur'an, terutama
di zaman modern, dan mengasumsikan peran juru bicara yang
mengatasnamakan Tuhan. Dia berpendapat dalam banyak kasus,
‘ulama’ seakan menggantikan otoritas Tuhan, yang dia gambarkan
sebagai ‘tindakan kelaliman’.42 Pendahuluan dalam buku Abou
El Fadl ini mengacu pada karya Umberto Eco, antara lain dalam
mengajukan pertanyaan tentang apakah ayat-ayat al-Qur'an
membutuhkan pembacaan secara ‘terbuka’ atau ‘tertutup’.43 Abou El
Fadl menyoroti pentingnya fokus pada interaksi antara Author al-
Qur'an (Tuhan) dan pembaca, dan tanggung jawab pembaca yang
memiliki otoritas, karena posisi khususnya sebagai penafsir
teks, yang bertindak sebagai ‘agen’ yang setia terhadap ‘otoritas
tertinggi’ (Tuhan), dan menahan diri dari pembiasan subjektif
kecuali jika hal ini dinyatakan dengan jelas. Dalam upaya
memperjelas posisi pembaca dalam memahami al-Qur'an, Abou
El Fadl mengusulkan pertanyaan sebagai berikut:
Sejauh mana kepekaan dan subjektivitas saya menentukan
bangunan makna teks? Bolehkah atau haruskah saya
menggunakan teks untuk keperluanku, dan mengizinkan
kebutuhanku untuk menjadi penentu dalam membangun teks?
Jika karakter pembaca sangat determinatif, lalu bagaimana
dengan maksud pengarang? Haruskah seorang pembaca fokus
hanya pada maksud pengarang dan mempertimbangkan
maksud pengarang dalam menentukan arti teks? Bukankah
ini lebih menghormati pengarang, terlebih jika pengarang itu
bersifat ilahi? Tapi bagaimana mungkin maksud pengarang
bisa dipastikan jika motif pengarang tidak dapat diakses?44
Pembingkaian perdebatan dengan cara seperti ini -yang
menyoroti posisi subjektif pembaca- jelas merupakan serangan
terhadap orang-orang ‘yang berbicara atas nama Tuhan’ dengan
mengklaim asumsi keaslian dan kesempurnaan pendekatan
‘literalis’ atau ‘Tekstualis’.
Dengan nada yang sama dengan Arkoun dan Wadud, Abou
El Fadl juga mempromosikan gagasan tentang banyaknya
kemungkinan dalam interpretasi al-Qur'an, serta menentang
pandangan ulama konservatif yang mengklaim monopoli atas
penafsiran al-Qur'an. Namun, Abou El Fadl berpendapat bahwa
gagasan ‘Islam Eropa’ yang dirasa berbeda dari Islam secara
umum adalah pendapat yang berlebihan, karena sumber klasik
Islam memberikan dasar yang cukup dan juga fleksibilitas
dalam menanggapi isu-isu Muslim yang tinggal di Barat sebagai
minoritas, tanpa harus merumuskan kembali Islam secara utuh.
Dia menyatakan, ‘teologi dan hukum Islam memberikan apapun
yang dibutuhkan seorang Muslim untuk hidup dalam lingkungan
sekuler, pluralis, dan demokratis: toleransi, penerimaan
pluralisme, penolakan terhadap kekerasan, partisipasi dalam
kehidupan publik (seperti yang selama ini dipandu oleh prinsip-
prinsip moral), cinta, dan kasih’.45
44 Abou El Fadl, Speaking in God’s Name, h. 3.
45 Jung-Mounib, ‘Khaled Abou El Fadl – God Does Not Have an Equal Partner’.
336
Dalam perdebatan mengenai bagaimana studi al-Qur'an
dapat dikembangkan, Abou El Fadl menentang adopsi besar-
besaran terhadap pendekatan kesusastraan atau dekonstruktif.
Dia justru menyarankan sarjana dan mufassir al-Qur'an untuk
menggunakan pendekatan yang berakar pada tradisi Islam dan
pengalaman orang Muslim. Dia merekomendasikan bahwa
para cendekiawan Muslim harus memulai penafsiran dengan
pengalaman kaum Muslim dan mempertimbangkan bagaimana
wacana ini memungkinkan untuk dimanfaatkan.46
Abou El Fadl melihat ide dan metodologi postmodernisme
dan poststrukturalisme sebagai sesuatu yang datang dari konteks
sosial tertentu dan pengalaman sejarah Barat, oleh karenanya
tidak selalu relevan untuk diterapkan dalam pemikiran Islam
kontemporer. Meskipun kritisisme filsafat ini menimbulkan
‘ketertarikan’, ‘sangat penting untuk tidak menempatkan sebuah
epistemologi bagi kaum Muslim yang mungkin tidak seutuhnya
mencerminkan pengalaman Muslim itu sendiri’.47
Meskipun Abou El Fadl menolak relevansi postmodernisme
dengan keilmuan Islam, kritiknya yang kuat terhadap kelompok-
kelompok puritan yang memaksakan ortodoksi kaku terhadap
interpretasi al-Qur'an, menghubungkan dirinya dengan gerakan-
gerakan lain yang telah berkembang yang berhubungan dengan
postmodernisme. Namun tidak seperti Arkoun dan Shahrour,
Abou El Fadl mengkritik ulama konservatif secara tegas dengan
mendasarkan pada metodologi hukum Islam.
Ringkasan
Beberapa poin penting yang telah kita bahas dalam bab ini
meliputi:
• Tafsir tekstualis umumnya menggunakan sumber linguistik
tekstual sebagai analisisnya, dan mendasarkan pada asumsi
bahwa makna al-Qur'an tidak akan berubah dari waktu ke
waktu.
• Penafsiran kontekstualis menggunakan berbagai teknik yang
berbeda, dan umumnya menggunakan dasar asumsi bahwa
makna al-Qur'an sebagian besar tidak bias dipastikan.
• Pendekatan tekstualis masih menjadi kerangka umum
sarjana al-Qur'an hingga saat ini.
• Banyak sarjana Muslim modern, termasuk yang disebutkan
di atas, mulai lebih memperhatikan pentingnya konteks
dalam memahami al Qur’an.
Rekomendasi Bacaan
Mohammed Arkoun, ‘Revelation’, ‘Exegesis’, dalam Rethinking
Islam: Common Questions, Uncommon Answers, diterjemahkan dan
diedit oleh Robert D. Lee, Boulder: Westview Press, 1994.
• Khususnya dalam dua bab buku ini , Arkoun mengkritik
pendekatan tradisional al-Qur'an dan interpretasi
terhadapnya. Dia mengusulkan untuk memikirkan kembali
tradisi penafsiran dalam konteks perubahan warga
modern. Topik lain dalam buku ini berkisar tentang
‘Muhammad‘, ‘Hadis‘, ‘Wanita’, ‘Sufisme‘, ‘Otoritas’, ‘budaya
Mediterania’, ‘Sekularisme’ dan ‘HAM’.
Farid Esack, Qur’an, Liberalism and Pluralism, Oxford:
Oneworld, 1997.
• Dalam buku ini Esack memberikan pandangan alternatif
tentang al-Qur'an dalam kaitannya dengan konsep liberalisme
dan pluralisme modern. Dia berpendapat bahwa al-Qur'an
mengakui ide kebebasan, toleransi dan pluralisme.
338
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition, Chicago: Chicago University Press, 1982;
‘Modern Developments’, ‘Legacy and Prospects’ and ‘Epilogue’,
Islam, second edition, Chicago: University of Chicago Press, 2002,
pages 212–265.
• Dalam buku ini Rahman berpendapat bahwa ada kebutuhan
mendesak untuk menafsirkan al-Qur'an kembali. Dengan
kritis dia mengevaluasi tradisi keilmuan Islam dalam konteks
sosio-historis dan berpendapat juga bahwa ada kebutuhan
untuk mengakui adanya perbedaan antara petunjuk al-
Qur'an yang berbentuk prinsip-prinsip umum dan respon
khusus terhadap situasi historis tertentu.
Suha Taji-Farouki (ed.), Modern Muslim Intellectuals and the
Qur’an, Oxford: Oxford University Press, 2004.
• Dalam buku ini Taji-Farouki menyajikan karya antologi
dari akademisi Muslim modern dan peran mereka dalam
memikirkan kembali interpretasi dan aplikasi al-Qur'an.
Secara bersamaan, artikel-artikel ini membuka
cakrawala yang luas bagi pembaca tentang tokoh-tokoh
utama di era ini dan ide-ide mereka tentang pendekatan
modern terhadap al-Qur'an.
Amina Wadud, Qur’an and Women: Rereading the Sacred Text
from a Woman’s Perspective, New York: Oxford University Press,
1999.
• Dalam buku ini Wadud berpendapat bahwa ada kebutuhan
mendesak untuk menggunakan pendekatan yang lebih
feminis dalam menafsirkan teks al-Qur'an. Untuk mendukung
argumen ini, dia menyoroti fakta bahwa mayoritas karya
penafsiran tradisional ditulis oleh mereka yang berjenis
kelamin laki-laki dan dalam ruang lingkup sosio-historis yang
juga didominasi oleh laki-laki. Mengingat bahwa al-Qur'an
339
merupakan sebuah petunjuk bagi laki-laki dan perempuan,
Wadud mendukung perlunya membaca dan menafsirkan al-
Qur'an dari perspektif perempuan.
juga didominasi oleh laki-laki. Mengingat bahwa al-Qur'an
339
merupakan sebuah petunjuk bagi laki-laki dan perempuan,
Wadud mendukung perlunya membaca dan menafsirkan al-
Qur'an dari perspektif perempuan.

