pewahyuan al-qur'an 7

pewahyuan al-qur'an 7


 



 

atakan

bahwa orang-orang kafir baik dari Ahli Kitab maupun orang 

musyrik akan terpecah ke dalam beberapa kelompok saat  

menanggapi persoalan mengenai Muhammad, hingga sampai 

kepada mereka bukti yang nyata, yaitu Tuhan mengirim 

Muhammad untuk seluruh ciptaan-Nya sebagai utusan 

Tuhan.5 

Penafsiran Syi’ah

Penafsiran Syiah juga muncul dalam abad ke-3 Islam. Para 

mufassir Syiah hampir keseluruhan cenderung mengadopsi 

pendekatan berbasis akal dalam melakukan penafsiran. Demikian 

pula, tafsir Syiah sering dipengaruhi oleh keyakinan teologis 

mereka yang dalam beberapa hal sangat kontras dengan keyakinan 

Sunni. Perbedaan besar antara pendekatan tafsir mereka adalah 

bahwa Syiah umumnya berupaya untuk menemukan referensi 

eksplisit dalam al-Qur'an tentang tema-tema pokok doktrin 

5 Dikutip dalam Norman Calder, Jawid Mohaddedi and Andrew Rippin (eds and 

trans.), Classical Islam: A Sourcebook of Religious Literature, London and New York: 

Routledge, 2003, h. 115.

288

keagamaan mereka seperti rujukan mengani para “imam”,6 

sedangkan Sunni pada umumnya menolak pembacaan spekulatif 

seperti itu. 

Imam dan beberapa madzhab besar Syiah

Dalam tradisi Syiah, para imam adalah keturunan laki-laki dari 

Nabi Muhammad, baik melalui sepupu atau menantunya, Ali, 

ataupun salah satu dari putra Ali, Husain atau Hasan. Orang-

orang yang diakui sebagai imam sangat beragam di antara 

beberapa mazhab. Imam dianggap sebagai pemimpin agama dan 

politik kaum Muslim Syiah dan juga dipandang sebagai pemandu 

umat manusia pada umumnya. Dalam aliran mayoritas Islam 

Syiah Imamiyah, seorang imam diyakini ma’sum, mendapat 

inspirasi ilahi dan, karena hubungan dekatnya kepada Allah, 

satu-satunya yang dianggap benar-benar memahami Islam dan 

mampu menafsirkan al-Qur'an dan hadis. Meskipun seorang 

imam tidak terlihat sebagai nabi, baik ucapan, tulisan maupun 

perbuatan dianggap sebagai teks-teks keagamaan otoritatif yang 

berdiri sejajar dengan texts kenabian.

11/632: Nabi Muhammad meninggal, Ali bin Abi Thalib, sepupu 

dan anak mertua Nabi, menjadi imam pertama.

41/661: Ali dibunuh; putra tertua Al, Hasan menjadi yang imam 

kedua. 

48/669: Hasan meninggal; Husain, putra kedua dari Ali, menjadi 

imam ketiga. 

61/680: Husain menjadi seorang martir; Ali Zainal Abidin, satu-

satunya putra Husain yang bertahan di Karbala, menjadi 

imam keempat. 

6 Meir M. Bar-Asher, ‘Shi‘ism and the Qur’an’, dalam McAuliffe (ed.), Encyclopaedia 

of the Qur’an, Vol. 4, h. 596

289

Pemisahan dengan tradisi Zaidiyah

94/713: Ali Zayn al-Abidin meninggal, dan putranya, Muhammad 

al-Baqir, menjadi imam kelima dalam tradisi Ismailiyah dan 

Imamiyah, putra kedua Ali, Zayd, menjadi imam kelima 

dalam tradisi Zaidi. 

125/743: Muhammad al-Baqir meninggal, Jafar al-Sadiq menjadi 

imam keenam pada Ismailiyah dan tradisi Imamiyah. 

Pemisahan tradisi Ismailiyah 

144/762: putra tertua Jafar al-Sadiq, Ismail, meninggal sebelum 

ayahnya; Ismail diakui sebagai imam ketujuh dalam tradisi 

Ismailiyah dan anaknya, Muhammad, menjadi imam 

kedelapan Ismailiyah. (imamah Ismailiyah berlanjut dari sini) 

Tradisi Imamiyah 

147/765: Jafar meninggal, anaknya Musa al-Kazim menjadi 

imam ketujuh dalam tradisi Imamiyah.

182/799: Musa terbunuh; anaknya Ali al-Ridha menjadi imam 

kedelapan.

202/818: Ali al-Ridha meninggal, anaknya yang berusia tujuh 

tahun, Muhammad al-Taqi, menjadi imam kesembilan. 

219/835: Muhammad al-Taqi meninggal; dan anaknya yang masih 

berusia tujuh tahun Ali al-Hadi, menjadi imam kesepuluh. 

254/868: Ali al-Hadi meninggal; anaknya Hasan al-Askari 

menjadi imam kesebelas.

 259/873: Hasan meninggal, putranya Muhammad al-Mahdi, 

yang telah tersembunyi sejak lahir, muncul kembali untuk 

mengklaim imamah dan kemudian menghilang lagi.

 329/941: Komunikasi dengan Mahdi (imam kedua belas) melalui 

beberapa orang perantara telah berhenti; dan diyakini bahwa 

Mahdi akan muncul kembali menjelang hari kiamat.

290

Meskipun mayoritas tradisi penafsiran Syiah memiliki  

karakteristik umum, di sana ada  pula perbedaan yang 

cukup signifikan. Kelompok Syiah Zaidiyah adalah yang paling 

dekat dengan Sunni karena beberapa karya penafsiran Zaidiyah 

secara luas dipakai  oleh Sunni. Misalnya, Fath al-Qadir,7 oleh 

ulama Zaidiyah di Yaman, Shawkani (d.1834), sekarang umum 

dipakai  di kalangan Sunni. Terlepas dari beberapa penekanan 

pada imam dan keluarga Nabi, karya Zaidiyah sedikit berbeda 

dari karya Sunni. 

Sub-kelompok Syiah lainnya adalah Ismailiyah. Berbeda 

dengan kelompok Zaidiyah, Ismailiyah adalah sub-kelompok 

Syiah yang paling jauh dari Sunni. Penafsiran Ismailiyah sangat 

dipengaruhi oleh posisi teologis mereka, termasuk bahwa 

Allah tidak dapat diketahui, tak bernama dan Dia tidak ikut 

campur dalam kehidupan manusia. Kelompok Ismailiyah juga 

mengakui dua jenis pengetahuan keagamaan: zahir (eksoteris), 

yang merupakan kewajiban bagi semua Ismailiyah untuk 

mengetahui, dan batin (eksoteris), yang hanya dapat dipahami 

melalui pembelajaran rahasia dan refleksi pada nilai-nilai esoterik 

Ismailiyah.8 Mereka percaya bahwa hanya melalui cara yang kedua 

inilah, yaitu esoterik, pengetahuan tentang makna al-Qur'an 

dapat dipahami.9 Tidak seperti kelompok Syiah lainnya, Ismailiyah 

tampaknya tidak menghasilkan banyak karya penafsiran. 

Sub-kelompok Syiah terbesar adalah Imamiyah, atau Syiah 

Imam “Dua Belas”. Posisi teologis Imamiyah sangat dipengaruhi 

oleh rasionalis madzhab Mu’tazilah. Meskipun Syiah Imamiyah 

percaya bahwa satu-satunya orang yang benar-benar mampu 

7 Muhammad ibn Ali al-Shawkani, Fath al-qadir al-jami bayna fannay alriwayah wa 

al-dirayah fi ilm al-tafsir, 5 vols, Cairo, 1930; repr. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1973.

8 Tore Kjeilen (ed.), ‘Isma’ilism’, Encyclopaedia of the Orient, LexicOrient, 2007. 

Diakses pada 11 Mei 2007: http://lexicorient.com/e.o/ismailis.htm.

9 Bar-Asher, ‘Shi‘ism and the Qur’an’, h. 598.

291

memahami makna al-Qur'an adalah imam, ini bukan berarti 

bahwa ulama Syiah Imamiyah tidak terlibat dalam tafsir al-

Qur'an. Bahkan, ulama Imamiyah telah menghasilkan sejumlah 

besar karya penafsiran sepanjang sejarah Islam. Secara umum, 

ulama Imamiyah juga percaya bahwa al-Qur'an memiliki makna 

‘batin’ dan ‘zahir’. Beberapa Sunni berpendapat bahwa keyakinan 

ini memungkinkan mereka untuk membaca teks al-Qur'an 

dengan pandangan teologis dan politik-keagamaan mereka 

sendiri, meskipun dapat dikatakan bahwa praktik ini  sangat 

umum dalam semua kelompok Islam.

Ja’far al-Shadiq, seorang penafsir Syiah 

Ja’far al-Shadiq (d.148/765) adalah salah satu tokoh yang 

paling penting dari Syiah. Dia adalah imam keenam kelompok 

Imamiyah dan Ismailiyah, dan mazhab utama hukum Syiah 

(mazhab Ja’fari) dinamai menurut namanya. Sebagian besar 

karya tafsirnya yang tersedia saat ini lebih dikenal dengan 

nuansa mistis, daripada doktin-doktrin Syiah.10 Namun juga ada 

beberapa bagian di mana nuansa penafsiran Syiah cukup terasa.

Teks di bawah ini, Ja’far al-Shadiq menafsirkan al-Qur'an 

2:31, ‘Dia mengajarkan Adam semua nama’, ayat ini biasanya 

dipahami sebagai nama ‘segala sesuatu’. Sebagaimana akan kita 

lihat, Ja’far memahami makna ayat ini dengan menggunakan 

pespektif batin (esoteris) yang dikaitkan dengan keluarga Nabi, 

yaitu mereka yang diberikan status khusus dalam kosmologi 

syiah. Dia menulis: 

Sebelum segala sesuatu tercipta, Tuhan telah ada, Dia 

menciptakan lima ciptaan dari cahaya kemuliaan-Nya, dan 

memberikan kepada masing-masing dari mereka, salah 

satunya nama. Oleh karena Dia Maha Terpuji (mahmud), maka 

10 Michael Sells, Early Islamic Mysticism, New Jersey: Paulist Press, 1996, h. 76–77.

292

Dia menyebut utusan-Nya dengan Muhammad [‘Muhammad’ 

juga berarti ‘orang yang terpuji’ atau ‘layak mendapat pujian’]. 

Dia juga Maha Mulia (ali) maka Dia menyebut Amir-nya 

orang-orang beriman dengan Ali. Dia juga Pencipta (Fathir) 

langit dan bumi, maka Dia menjadikan nama Fatimah [putri 

Nabi, istri Ali]. Dan oleh karena Dia memiliki nama yang 

disebut [dalam al-Qur'an], yaitu nama-nama yang paling 

indah (husna), maka Dia membentuk dua nama [dari akar 

kata bahasa Arab yang sama] untuk Hasan dan Husain [cucu 

Nabi, Imam kedua dan ketiga Syiah]. Lalu Dia menempatkan 

mereka di sebelah kanan singgasana.11

Penafsiran Khawarij

Diantara kelompok religio-politik yang pertama kali muncul 

di abad ke-1/ke-7 adalah kelompok Khawarij. Isu utama mereka 

yang cukup berbeda dari arus utama warga  Muslim adalah 

mengenai keabsahan pemimpin politik ummat serta beberapa 

masalah teologis. Keyakinan kelompok Khawarij, yang mendasari 

pendekatan mereka untuk menafsirkan al-Qur'an, seringkali 

dianggap berhaluan ‘puritan’. Misalnya, mereka berpendapat 

bahwa seorang Muslim yang melakukan dosa besar (seperti 

membunuh umat Muslim) tidak lagi seorang Muslim dan akan 

masuk ke neraka. Mereka tidak melakukan kompromi panjang 

dalam menerapkan perintah dan larangan al-Qur'an, dan 

meyakini bahwa umat Islam yang tidak mendukung sikap mereka 

dianggap sebagai kafir atau munafik dan boleh untuk dibunuh 

untuk membebaskan mereka dari hukuman. Adapun masalah 

kepemimpinan, mereka percaya bahwa orang Muslim yang 

memiliki  kesadaran besar akan Tuhan dan memiliki kesalehan, 

mereka harus menjadi pemimpin umat, dan kepemimpinan 

11 Diatribusikan kepada Ja‘far al-Sadiq dalam Sulami, Haqa’iq al-Tafsir, trans. 

Paul Nwyia dalam Exégèse coranique et langage mystique, Beirut: Dar al-Machreq 

Editeurs, 1970, h. 159, dikutip dalam Sells, Early Islamic Mysticism, h. 77–78.

293

tidak harus didasarkan pada linearitas kekerabatan atau suku 

tertentu. Selain itu, mereka juga menganggap bahwa seorang 

pemimpin yang dianggap tidak benar -yaitu pemimpin yang 

tidak menerapkan hukum suci dengan baik- mereka bisa 

diberhentikan.12 

Penafsiran Khawarij, yang sering mengelaborasi ide-ide ini, 

seringkali didasarkan pada pembacaan literal terhadap teks dan 

tidak mempertimbangkan makna yang lebih dalam. Di zaman 

kontemporer ini, sebagian kecil umat Islam, kebanyakan dari 

mereka keturunan Khawarij awal, masih mempertahankan 

beberapa gagasan ini. Sebagian besar keturunan Khawarij 

ini  sekarang tinggal di Oman dan Afrika Utara dan dikenal 

sebagai ‘Ibadis’. Mereka tidak menyebut diri mereka sebagai 

Khawarij karena mereka menganggapnya sebagai istilah yang 

merendahkan, yang hanya dipakai  oleh lawan-lawan mereka.

Beberapa Model Pendekatan lain

Selain membahas tentang perkembangan religio-politik, 

beberapa hal penting lainnya terkait dengan bentuk-bentuk 

interpretasi juga muncul pada tiga abad pertama Islam. Para 

mufassir yang memiliki  background dan perspektif masing-

masing (Teologis, tafsir hukum, mistis dan filosofis) biasanya juga 

terkait dengan salah satu kelompok religio-politik (Sunni, Syiah 

atau Khawarij). Namun, penamaan seperti ‘teologis’, ‘hukum’, 

‘mistis’ atau ‘filosofis’ menunjukkan penekanan terhadap karya 

penafsiran tertentu dan tidak harus menjadi rancu dengan 

adanya perbedaan antara tafsir Sunni, Syiah atau Khawarij. 

12 Abdullah Saeed, Islamic Thought: An Introduction, London; New York: Routledge, 

2006, h. 7.

294

Tafsir bernuansa teologis

Para ulama yang memiliki  kecenderungan penafsiran 

teologis sering dikaitkan dengan salah satu aliran teologi Islam 

awal: Mu’tazilah dan Ash’ariyah. Beberapa aliran teologis kecil, 

seperti Maturidiah, juga muncul meski teologi mereka tidak 

berbeda secara signifikan dari aliran teologi yang lebih besar. 

Aliran Mu’tazilah muncul paling pertama. Mereka dikenal karena 

penafsirannya yang tanpa kompromi menyatakan tentang 

kesatuan Tuhan13 dan bahwa al-Qur'an makhluk ciptaan Tuhan, 

karena tidak mungkin sama-sama abadi dengan Allah.14 Isu-isu 

lain yang dibahas dalam teologi Mu’tazilah meliputi: definisi 

seorang mukmin sejati dan kebebasan berkehendak; status 

manusia di akhirat dan sifat dasar surga dan neraka; dan sifat-

sifat Tuhan.

Dalam penafsiran, Mu’tazilah sangat bergantung pada bahasa 

dan analisis teks sastra, terutama saat  pembacaan literal 

bertentangan dengan sikap teologi Mu’tazilah. Mereka mene-

kankan interpretasi rasionalis dan menggunakan pemahaman 

metaforis terhadap bahasa al-Qur'an, khususnya saat  berbicara 

tentang Tuhan. Mereka juga menggunakan argumen filosofis 

dalam membela sikap teologis dan menolak setiap hadis yang 

bertentangan dengan mereka.

Meskipun kebanyakan karya awal Mu’tazilah telah hilang, 

beberapa tafsir al-Qur'an diyakini telah disusun oleh para sarjana 

seperti Abu Bakr al-Asamm (d.201/816) dan Abu Ali al-Jubba’i 

(d.303/915). Dari beberapa fragmen karya Asamm ini , 

di sana nampak bahwa dia berusaha untuk menghasilkan 

13 Sebagai contoh, al-Qur’an QS:112 (‘Purity [of Faith]’) which says: ‘Say, “He is 

God the One, God the eternal. He begot no one nor was He begotten. No one is 

comparable to Him”.’

14 Sabine Schmidtke, ‘Mu‘tazila’, dalam McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the Qur’an, 

h. 467.

295

teologi Quran yang komprehensif yang berurusan dengan isu-

isu pembatalan (nasakh), dan juga menyarankan bahwa ayat-

ayat yang bersifat jelas maupun ambigu harus dipahami secara 

rasional, yang terakhir inilah yang membutuhkan refleksi yang 

lebih matang.15 

Pada awal abad ke-4/ke-10, ulama Asyariah muncul dari 

tradisi Mu’tazilah. Menjelang akhir abad ke-3/ke-9, Abu al-

Hasan al-Asy’ari (wafat sekitar 324/935-936), sarjana teolog yang 

namanya kemudian menjadi sebuah mazhab, telah menghasilkan 

karya berdasarkan teologi Mu’tazilah. Al-Asy’ari kemudian 

meragukan doktrin teologi Mu’tazilah. Dia memisahkan diri 

dari mereka, dan mulai mengajarkan doktrin untuk menyangkal 

Mu’tazilah.

Selain mempertanyakan pemahaman Mu’tazilah mengenai 

esensi dan sifat-sifat Tuhan, Asy’ariah juga menyerang doktrin 

Mu’tazila tentang kehendak bebas, sifat dasar hukum Tuhan, 

definisi kejahatan dan peran akal. Seiring waktu, teologi Asy’ariah 

menjadi teologi yang dominan bagi Sunni, sementara teologi 

Mu’tazilah masih tetap dominan dalam Syiah.16

Imam al-Haramayn al-Juwaini, seorang teolog Asy’ari 

Berikut ini adalah sebuah penafsiran tentnag ‘Keesaan’ 

Tuhan oleh teolog besar Asy’ari, Imam al-Haramayn al-Juwaini 

(d.478/1085): 

Sang Pencipta – maha suci dan maha tinggi adalah Dia - adalah 

satu. Satu, dalam idiom para metafisikawan, adalah hal yang 

tak terpisahkan. Jika seseorang mengatakan bahwa satu hal, 

15 Schmidtke, ‘Mu‘tazila’, h. 470. Lihat bab ke-10, ‘Selected Exegetical Principles 

and Ideas’, untuk diskusi lebih lanjut tentang perbedaan pendekatan tafsir dalam 

memahami ‘jelas’ and ‘ambigu’ dalam ayat-ayat al-Qur’an.

16 Lihat juga bab 2, ‘Revelation and the Qur’an’, for further discussion of the 

differences between Ash‘ari and Mu‘tazili theology.

296

ini harus menjadi ketentuan yang memadai. Tuhan – maha suci 

dan mahatinggi adalah Dia - adalah ada yang unik, melampaui 

semua kemungkinan perpecahan dan perbedaan. Berbicara 

tentang Dia sebagai salah satu berarti bahwa Dia tidak ada 

yang menyamai atau tidak berbanding. Konsekuensi yang jelas 

tentang realitas doktrin absolut Keesaan adalah bukti bahwa 

Allah tidak berkomposisi, karena jika itu terjadi – maha tinggi 

adalah Dia dan maha mulia di atas itu - masing-masing bagian 

terpisah dari-Nya akan hidup dengan mengetahui, hidup dan 

kuat dan dari dalam dirinya sendiri. Dan itu adalah pengakuan 

kepercayaan dalam dua Tuhan.17

Penafsiran hukum 

Pasca meninggalnya Nabi, ada kebutuhan mendesak untuk 

memahami aturan, perintah, larangan serta petunjuk al-Qur'an, 

karena hal ini  berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. 

Oleh karena itu, tafsir yang bernuansa hukum menjadi salah 

satu tren awal perkembangan tafsir. Pendekatan terhadap tafsir 

hukum sangat beragam, dan perbedaan pendapat sering muncul 

kaitannya dalam memahami makna dari konsep tertentu yang 

tampaknya kontradiktif antara satu ayat dengan ayat lain. Jika 

perbedaan ini  tidak dapat diselesaikan dengan telaah 

mendalam terhadap teks dan konteks pewahyuan, maka hukum 

didasarkan pada wahyu yang turun kemudian.

Pada abad ke-2/ke-8 dan ke-3/ke-9, era di mana disiplin hadis 

mulai berkembang, jumlah hadis Nabi mulai banyak dikumpulkan. 

Oleh karena jumlah hadis mulai meningkat, perbedaan pendapat 

mengenai kesahihan hadits juga mulai muncul. Maka, al-

Qur'an menjadi salah satu alat bantu yang paling penting dalam 

17 Imam al-Haramayn al-Juwayni, A Guide to Conclusive Proofs for the Principles of 

Belief (Kitab al-Irshad ila Qawati‘ al-Adilla fi Usul al-i‘tiqad), trans. Paul E. Walker, 

Reading: Garnet Publishing, 2000, h. 31.

297

menentukan keaslian atau kesahihan sebuah hadits. Meskipun 

mereka menggunakan al-Qur'an, perbedaan pendapat tetap 

berlanjut dan akhirnya berkembang dan melahirkan berbagai 

mazhab klasik hukum Islam, sebagaimana dijelaskan dalam Bab 

1. Dan karena fokus utama mereka adalah masalah hukum, maka 

mereka dikenal sebagai kelompok hukum Islam, atau madhhabs.

Para pakar hukum Islam dari masing-masing mazhab 

menghasilkan sejumlah karya besar mengenai tafsir hukum, yang 

masih banyak beredar hingga saat ini. Mufassir yang memiliki  

kecenderungan terhadap hukum lebih banyak terfokus pada 

teks-teks al-Qur'an yang mengandung unsur-unsur legal dan 

tentunya menafsirkan dengan menggunakan pendapat-pendapat 

ahli hukum. 

Ibn Rusyd tentang interpretasi jilbab

Bagian berikut ini, Ibnu Rusyd (d.595/1198), seorang ulama 

hukum terkemuka dari mazhab Maliki, membahas perbedaan 

interpretasi aurat (bagian tubuh yang harus ditutupi, misalnya 

dalam sholat). Salah satu perintah al-Qur'an dan Nabi adalah 

saat  seorang Muslim mendirikan sholat, mereka harus 

menutupi bagian-bagian tertentu dari tubuh mereka. Ibnu Rusyd 

mengatakan: 

Isu ketiga berkaitan dengan batas-batas aurat [bagian 

tubuh yang harus ditutup] seorang wanita. Sebagian besar 

ahli hukum menyatakan bahwa seluruh tubuh perempuan 

merupakan aurat, kecuali wajah dan tangan. Sedangkan Abu 

Hanifah menyatakan bahwa kaki perempuan tidak termasuk 

bagian dari aurat. Adapun Abu Bakar bin Abd al-Rahman 

dan Ahmad mengatakan bahwa seluruh tubuh perempuan 

adalah aurat. 

Alasan perbedaan mereka didasarkan pada interpretasi ayat 

yang menyatakan, “Dan agar tidak menampilkan perhiasan 

kecuali yang biasa terlihat”, ini berarti apakah pengecualian 

298

ini  terkait dengan bagian-bagian tertentu yang tidak 

bisa diperlihatkan. Mereka yang menyatakan bahwa maksud 

dari pengecualian itu adalah bagian-bagian yang memang 

tidak bisa ditutupi saat  dia bergerak, mengatakan bahwa 

seluruh tubuh perempuan adalah awrat, bahkan punggungnya. 

Mereka berpendapat demikian atas dasar implikasi umum dari 

kata-kata mulia, “Hai Nabi! Beritahu istri-istrimu, anak-anak 

perempuanmu dan wanita yang beriman untuk menarik jubah 

mereka ke sekeliling tubuhnya. Hal itu agar membuat mereka 

dikenali dan agar mereka tidak terkena bahaya’.18 Mereka yang 

menyatakan bahwa yang dimaksudkan pengecualian adalah 

apa yang umumnya tidak tertutup seperti wajah dan tangan, 

mengatakan bahwa ini tidak termasuk dalam batasan awrat 

ini . Mereka (lebih lanjut) berpendapat dengan alasan 

bahwa seorang wanita tidak menutupi wajahnya selama haji 

[haji].19

Penafsiran mistik 

Jenis penafsiran ini didasarkan pada ide-ide yang berkembang 

di kalangan mistikus Muslim atau sufi sekitar abad ke-2/ke-

8. Mistisisme atau sufisme Islam diperkirakan telah muncul 

sebagai gerakan yang unik pada abad ini sebagai reaksi terhadap 

meningkatnya komunitas Muslim yang lebih mementingkan 

aspek material dan berkembangnya nuansa kekerasan politik 

sektarian. Para pendukung tafsir mistik menekankan aspek 

spiritual Islam, daripada dimensi politik, hukum dan duniawi. 

Ulama sufi lebih cenderung untuk mengeksplorasi pertanyaan 

mengenai pengetahuan Tuhan atau sifat eksistensi manusia dan 

18 Al-Qur'an 33:59.

19 Ibn Rushd, ‘Bab 4, bagian 1: Covering the ‘awra – Issue 3’, ‘The Book of Prayer 

(Salah)’, dalam The Distinguished Jurist’s Primer, Reading, UK: Garnet Publishing 

Limited, 1994, vol. I, h. 126. Kata-kata dalam tanda kurung cekung berasal dari 

penerjemah. Sedangkan yang ada di dalam tanda kurung persegi berasal dari 

saya.

299

hubungannya terhadap Tuhan. Mereka percaya bahwa kiasan 

mistik dalam teks al-Qur'an sanga terkait dengan kondisi rohani 

manusia dan tidak mungkin untuk dipahami melalui pembacaan 

dangkal atau argumen yang berbasis pada hukum dan teologi. 

Dengan demikian, dalam tafsir mistik, makna spiritual dan 

makna implisit al-Qur'an dianggap sangat penting. 

Ulama besar pada periode awal yang melakukan penafsiran 

mistik adalah Hasan al-Basri (d.110/728), Ja’far al-Shadiq, Tustari 

(d.283/896) dan Sulami (D.412/1021). Fokus spiritualisme dalam 

penafsiran mistik ini jelas nampak dalam judul karya tafsir 

mereka, misalnya The Spiritual Realities of Exegesis, ditulis oleh 

Sulami, dan The Divine Openings and the Secret Keys, oleh ulama 

Usmani Nakhjuwani (d.920/1514).20

Ahli tafsir mistik lainnya yang terkenal adalah Ibnu Arabi 

(d.638/1240), yang berasal dari Spanyol. Dikenal di kalngan sufi 

sebagai Syaikh al-Akbar, Guru Besar, Ibn Arabi secara luas dianggap 

salah satu sufi yang paling penting, jika bukan yang paling oenting, 

sufi yang sangat bijak, dan dia memberikan kontribusi besar dalam 

tradisi penafsiran mistik.21 Contoh penafsiran mistik Ibn Arabi 

adalah tentang kisah al-Qur'an saat  Musa meminta Tuhan untuk  

menunjukkan Diri kepadanya. Al-Qur'an menyatakan: 

Dan saat  Musa datang pada waktu yang telah Kami tentukan, 

dan Tuhan telah berfirman kepadanya, Musa berkata, “Ya 

Tuhanku, tampakkanlah Dirimu kepadaku: biarkan aku 

melihat Engkau” Dia berkata, ‘Kamu tidak akan pernah 

melihat Aku, tapi lihatlah gunung itu: jika tetap berdiri teguh, 

kau akan melihat Aku. “saat  Tuhan-nya mengungkapkan 

diri-Nya kepada gunung, maka Dia membuat gunung ini  

runtuh: Musa pun jatuh pingsan. saat  siuman, dia berkata, 

20 Gilliot, ‘Exegesis of the Qur’an: Classical and Medieval’, h. 118–120.

21 Gilliot, ‘Exegesis of the Qur’an: Classical and Medieval’, h. 119.

300

“Mahasuci Engkau! aku bertaubat kepada-Mu dan aku adalah 

orang pertama yang beriman!’22 

Ibnu Arabi menafsirkan perbedaan antara gunung yang runtuh 

dan Musa yang kehilangan kesadarannya sebagai berikut: 

saat  Tuhan-nya menampakkan Diri ke dalam gunung, 

peampakkan ini  membuat gunung itu hancur menjadi debu, 

tapi itu tidak membuatnya kehilangan eksistensi. Sebaliknya, 

runtuhnya gunung ini  menyebabkan kemuliaan dan 

kebesaran-Nya tidak nampak. Musa memandang dalam 

naungan kebesaran-Nya, dan penampakkan Diri Tuhan telah 

terjadi dari arah yang tidak berdekatan dengan Musa. saat  

gunung itu runtuh, apa yang membuatnya runtuh menjadi 

jelas bagi Musa, sehingga menyebabkan Musa jatuh karena 

tercengang. Karena Musa memiliki spirit, yang memiliki  

karakter untuk mempertahankan bentuk seperti kalanya. 

Spirit apapun yang berbeda dari hewan itu sangat identik 

dengan kehidupan, tidak ada yang lain. Jadi keberadaan Musa 

yang tercengang itu seperti gunung yang sedang runtuh, 

karena berbeda dalam ketersiapan, dan gunung itu tidak 

memiliki spirit untuk mempertahankan bentuk. Dengan 

demikian nama gunung menghilang dari gunung, tapi tidak 

dengan nama Musa maupun nama manusia yang menghilang 

dari Musa karena tercengang. Musa sadar kembali, tetapi 

gunung tidak kembali sebagai gunung lagi, karena dia tidak 

memiliki  spirit untuk membuatnya tunduk.

Dari semua itu, atribut spirit dalam suatu benda tidaklah 

sama dengan atribut kehidupan yang ada pada mereka, 

karena kehidupan adalah sesuatu yang abadi dalam semua 

benda, sementara spirit itu layaknya penguasa: suatu saat 

mereka bisa diberhentikan, dan suatu saat mereka memegang 

kendali kuasa, dan kadang kala mereka tiada saat  kuasa 

pemerintah itu tetap ada. Pemerintahan itu akan kembali 

22 Al-Qur'an: 7:143.

301

pada spirit selama dia mampu mengatur jasad, kematian 

adalah pemberhentiannya, dan tidur adalah kealpaannya 

saat  pemerintah itu tetap ada.23 

Penafsiran filosofis

Sebagaimana ketertarikan kaum Muslim terhadap karya-

karya filsafat Yunani mulai berkembang di abad-abad awal Islam, 

maka ini pula menjadi argumen atas penerimaan filsafat dalam 

Islam. Sementara banyak Muslim menentang penggunaan filsafat 

dalam ranah penafsiran al-Qur'an, mereka yang memiliki  

orientasi rasional sepenuhnya mengadopsi filsafat sebagai bagian 

berharga dalam proses penafsiran. Para ulama ini  lebih suka 

menggunakan penafsiran alegoris, karena itu memungkinkan 

mereka untuk menyelaraskan ide-ide filosofis terhadap al-

Qur'an. Oleh karenanya, penafsiran filosofis terhadap al-Qur'an, 

khususnya ayat-ayat yang berhubungan dengan Tuhan, sifat-

Nya dan hubungan-Nya dengan penciptaan, serta konsep surga 

dan neraka, cenderung sangat berbeda dengan mereka yang 

melakukan pembacaan secara literal terhadap al-Qur'an. 

Filosof dan ilmuwan terkenal Farabi (d.399/950) memiliki  

pengaruh yang cukup besar terhadap ilmu pengetahuan yang 

kemudian dia dikenal sebagai ‘Guru kedua’, sedan gguru yang 

pertama adalah Aristoteles. Meskipun kita tidak tahu persis 

apakah dia mengarang tafsir secara lengkap, pandangannya 

memiliki penaruh yang signifikan terhadap penafsiran filosofis. 

Farabi percaya bahwa meski filsafat telah berakhir di tempat 

lain, filsafat telah menemukan dunianya kembali dalam Islam. 

Seorang filsuf juga cukup berpengaruh, Ibnu Sina (d.428/1037), 

23 Muhy al-Din ibn al-Arabi, al-Futuhat al-makiyya, Bab II, 540.11, dikutip dari 

William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al- Arabi’s Cosmology, 

Albany: State University of New York Press, 1998, h. 274.

302

juga seorang dokter, menghasilkan sejumlah karya, termasuk 

karya kecil tentang penafsiran.24 

Ibn Rusyd tentang penafsiran filosofis 

Penggunaan penafsiran alegoris merupakan ciri khas dari 

tafsir filosofis. Dalam kutipan berikut dari karya filosof Ibnu 

Rusyd, The Treatise Determining the Nature of the Connection 

between Religion and Philosophy, kita akan melihat bagaimana 

dia berargumen bahwa al-Qur'an dan penalaran filosofis tidak 

bertentangan satu sama lain, dan keduanya merupakan jalur 

‘Kebenaran’. Kemudian dia melanjutkan dengan mendeskripsikan 

beberapa kondisi di mana penafsiran alegoris al-Qur'an sangat 

diperlukan. 

Saat ini, oleh karena agama ini [Islam] adalah agama yang benar 

dan merupakan panggilan untuk kajian yang mengarah pada 

pengetahuan tentang Kebenaran, kami sebagai umat Islam 

secara definitif mengetahui bahwa kajian demonstratif [yaitu, 

filsafat] tidak mengarah pada [kesimpulan] pertentangan 

dengan apa yang ada dalam al-Qur'an; karena kebenaran tidak 

akan bertentangan dengan kebenaran melainkan selaras dan 

menjadi saksi bagi yang lain.

Dengan demikian, setiap kali studi demonstratif mengarah 

pada cara apapun untuk mendapat pengetahuan tentang 

apapun itu, hal ini  pasti disebutkan atau tidak disebutkan 

dalam kitab suci. Jika tidak disebutkan, maka tidak ada 

kontradiksi, dan itu merupakan kasus yang sama sebagai 

tindakan yang mana kategori ini  tidak disebutkan 

sehingga ahli hukum (Muslim) harus menyimpulkan dengan 

penalaran dari kitab suci. Dan jika kitab suci berbicara tentang 

hal itu, maka makna dari kata-kata yang jelas itu pasti akan 

24 R. Walzer, ‘Al Farabi, Abu Nasr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn 

Awzalagh’, dalam P. Bearman et al. (eds), Encyclopaedia of Islam, h. 779.

303

menimbulkan baik keselarasan ataupun konflik terhadap 

kesimpulan (filosofis) demonstratif. Jika hal ini  selaras 

maka tidak ada konflik. Sedangkan jika terjadi konflik, 

maka perlu untuk melakukan interpretasi alegoris. Arti 

dari ‘penafsiran alegoris’ adalah: perpanjangan dari upaya 

signifikansi dari sebuah ekspresi, dari sesuatu yang riil 

kepada sesuatu yang metaforis, tanpa menjauhkan standar 

praktik metafora Arab, seperti memanggil sesuatu dengan 

nama sesuatu yang menyerupainya atau dengan panggilan 

penyebabnya atau konsekuensinya atau penyertaannya, atau 

hal-hal lainnya seperti yang disebutkan dalam bentuk-bentuk 

dialektika metaforis. 25

Penafsiran di Era Modern 

Sementara semua model penafsiran di atas terus dipelajari 

dan diaplikasikan di era modern, berbagai bentuk baru juga 

muncul. Dalam menanggapi perkembangan global dalam 

berbagai bidang seperti politik, lingkungan dan etika, banyak 

orang, termasuk Muslim, mencoba mencari keseimbangan antara 

pandangan tradisional dan modern. Dalam lingkungan inilah 

bentuk-bentuk pemikiran baru seperti tafsir modernis, saintifik, 

sosial-politik, feminis, tematik dan kontekstual mulai muncul.

Penafsiran modernis 

Bentuk penafsiran ini merupakan kelanjutan dari pemikiran 

reformis kaum Muslim abad kedelapan belas; tapi juga bisa 

dilihat sebagai respon aktif umat Islam terhadap tantangan 

modernitas dengan tetap setia terhadap ajaran agama mereka. 

Diantara ‘modernis‘ yang pertama adalah Jamal al-Din al-Afghani 

(d.1897), Muhammad Abduh (d.1905), Sayyid Ahmad Khan 

25 ‘The Decisive Treatise, Determining the Nature of the Connection Between 

Religion and Philosophy’, dalam George F. Hourani (ed. and trans.), Averroes on 

the Harmony of Religion and Philosophy, London: Luzac, 1961, h. 46–47.

304

(d.1898) dan Muhammad Iqbal (d.1938). Semenjak gerakan 

modernis telah dimulai pada pertengahan abad ke-19, sejumlah 

besar karya ilmiah telah ditulis oleh mereka. Salah satu modernis 

yang paling terkenal adalah Muhammad Abduh dengan karyanya 

Tafsir al-Manar, yang disusun dan diselesaikan paska wafatnya 

Abduh oleh Rasyid Ridha (d.1935), murid Abduh.

Inti dari pendekatan modernis adalah gagasan reformasi. 

Seorang tokoh seperti Afghani berpendapat bahwa umat Islam 

harus memiliki gerakan reformasi seperti yang yang telah terjadi 

di Eropa Kristen. Dengan kata lain, umat Islam membutuhkan 

Martin Luther, yang lhair dari rahim Islam, untuk menginisiasi 

reformasi besar terhadap warisan keislaman. Menurut para 

pemikir ini, konteks modern menuntut adanya penilaian kembali 

terhadap warisan intelektual Muslim, proses ini menuntut 

untuk menutup rapat praktik-praktik imitasi atau taqlid buta, 

yang diklaim oleh kelompok modernis sangat umum terjadi di 

kalangan ulama sebelumnya. 

Ide pokok lainnya dari kelompok modernis adalah adanya 

kebutuhan untuk melakukan penafsiran yang fleksibel 

terhadap Islam dan sumber-sumbernya dalam rangka untuk 

mengembangkan ide-ide yang kompatibel dengan situasi 

modern. Secara khusus, banyak modernis menyarankan perlunya 

memahami al-Qur'an dari perspektif sains, yang menurut mereka 

membutuhkan reinterpretasi seperti gagasan tentang keajaiban.

Para pemikir modernis mengusulkan bahwa kembali kepada 

Islam seperti praktik awal akan memajukan dinamika intelektual 

warga  muslim yang dibutuhkan untuk mengejar ketinggalan 

dari Barat. Untuk itu, bidang-bidang politik, hukum dan lembaga 

pendidikan harus direformasi. Salah satu bentuk dari reformasi 

ini adalah menghindari penggunaan tafsir sebelumnya yang 

terlalu banyak berisi tentang jargon sehingga membuat teks 

al-Qur'an menjadi kabur. Dengan demikian, banyak reformis 

305

modern yang menggarisbawahi pentingnya merujuk pada al-

Qur'an dan sunnah sebagai pondasi dasar keislaman. Dari aspek 

orientasi penafsiran, para pemikir modernis mengutuk apa yang 

mereka pandang sebagai penyimpangan dan penambahan karena 

tidak sesuai dengan generasi Muslim awal.

Ulama modernis juga berpendapat bahwa penerimaan 

konsep wahyu tidak berbenturan sama sekali dengan penggunaan 

akal. Dengan demikian, mereka mencoba untuk menghidupkan 

kembali tradisi filsafat Islam rasional, dan beberapa ide 

Mu’tazilah sebelumnya nampak menjadi model bagi beberapa 

sarjana modern. Topik-topik populer lainnya juga telah dilakukan 

reinterpretasi oleh para pendukung tafsir modernis termasuk 

tentang status perempuan, poligami, perang dan perdamaian, 

ilmu pengetahuan, perbudakan dan keadilan.

Muhammad Abduh dan tafsir modernis

Paragraf berikut menggambarkan tentang pandangan 

Muhammad Abduh tentang poligami. 

Poligami, meskipun diizinkan dalam al-Qur'an, adalah sebuah 

kelonggaran yang diberikan dalam kondisi sosial yang cukup 

berat, di mana kelonggaran ini  disertai dengan ketentuan 

bahwa seorang pria boleh menikah lebih dari satu istri hanya 

saat  dia mampu mengurus dan memberikan hak-hak 

mereka dengan kejujuran dan keadilan. Pada dasarnya syari’at 

agak keberatan, dalam kondisi tertentu, mengijinkan laki-laki 

untuk menikahi empat istri. Karena syarat yang ditentukan 

langsung diikuti oleh frasa -jika kalian takut tidak bisa berbuat 

adil maka menikahlah dengan satu perempuan saja- maka ini 

menunjukan adanya penekanan bahwa ijin untuk melakukan 

poligami secara praktis menjadi tidak berguna.26

26 Muhammad Abduh, Tarikh al-ustad al-Imam, vol II, Egypt: Matba’at al- Manar, 

1906, dikutip dalam Asghar Ali Engineer, The Rights of Women in Islam, London: 

306

Penafsiran ilmiah

Jenis penafsiran ini sangat berpengaruh pada abad ke-20, 

meskipun para perintisnya dapat ditemukan pada periode pra-

modern. Misalnya, ulama klasik Ghazali (d.505/1111) dapat 

digambarkan sebagai pendukung awal ‘penafsiran ilmiah‘. 

Hal ini tercermin dalam elaborasinya tentang al-Qur'an yang 

diilustrasikan seperti laut di mana semua ilmu muncul.27 

Demikian pula, bentuk awal dari penafsiran saintifik pada 

abad ke-20 juga mencoba untuk mendamaikan ajaran al-Qur'an 

dengan pengetahuan ilmiah. Saat ini, penafsiran ilmiah telah 

berusaha untuk mengkorelasikan gagasan bahwa al-Qur'an 

banyak memprediksi temuan-temuan ilmu pengetahuan modern. 

Popularitas wacana ini ditunjukkan oleh munculnya sejumlah 

besar konferensi, seminar dan publikasi yang dikhususkan untuk 

diskursus ini . Namun, ada beberapa pemikir Muslim yang 

mengkritiknya karena mengabaikan sifat dasar sains yang tidak 

memiliki  batasan dalam penelitian ilmiah dan dikhawatirkan 

salah dalam memahami al-Qur'an. Meskipun ada  banyak 

kritik, tafsir saintifik ini telah menjadi salah satu bentuk 

penafsiran yang paling populer pada periode modern. 

Maurice Bucaille dan penafsiran saintifik

Salah satu karya yang cukup banyak beredar di genre ini adalah 

tulisan sarjana Prancis Maurice Bucaille.28 Bucaille menawarkan 

beberapa pembacaan ilmiah terhadap sejumlah ayat al-Qur'an yang 

dipandang memiliki beberapa relasi dengan ilmu pengetahuan. 

Misalnya, dalam mendiskusikan tentang perluasan alam semesta, 

C. Hurst & Co, 1992, h. 157.

27 Muhammad Husayn al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, 3 vols, Cairo: 

Maktabat Wahbah, 1995, vol. 2, h. 511–521.

28 Meski karya Maurice Bucaille sangat dikenal dalam genre tafsir saintifik, Bucaille 

sendiri tidak diketahui apakah dia masuk Islam.

307

salah satu penemuan penting dari ilmu pengetahuan modern, dia 

mengutip ayat “Kami membangun langit dengan kekuatan kami 

dan Kami benar-benar meluaskannya“.29 Bucaille menunjukkan 

bahwa ayat ini dapat dikaitkan dengan pemahaman saintifik 

modern tentang awal mula terbentuknya alam semesta. Dia 

melanjutkan dengan memberikan interpretasi terhadap dua frase 

kunci dari ayat ini: 

‘surga’ adalah bentuk terjemahan dari kata sama’ dan tentu 

ini artinya adalah sesuatu yang adi-duniawi.

‘[Kami] meluaskannya’ merupakan bentuk plural present 

participle ‘musi’una’ dari kata kerja ausa’a yang berarti 

‘membuat yang lebih lebar, lapang, luas, dan meluas’. 

Beberapa penerjemah yang tidak mampu menangkap makna 

yang terakhir seringkali melakukan kekeliruan. . . ada di 

antara mereka yang membekali pendapatnya dengan disiplin 

wacana ilmiah dalam tafsirnya dan memberi makna seperti 

yang dinyatakan di sini [perluasan alam semesta benar-benar 

istilah ambigu].30

Dalam memberi komentar terhadap penafsiran ilmiah, Mustansir 

Mir, seorang sarjana modern yang bergelut dalam bidang al-

Qur'an, mengamati bahwa bentuk penafsiran telah berkembang 

menjadi kebutuhan dalam rangka memenuhi tantangan ilmu 

pengetahuan modern yang dianggap ada dalam semua agama. 

Mir menyatakan: 

Proyek pembentukan keselarasan (muwafaqah) antara 

Sabda Tuhan dan temuan ilmiah secara definitif memiliki  

karakter defensif. Para pemikir Muslim klasik juga bergerak 

dalam hal yang sama dalam upaya penyelarasan selama 

periode Abbasiyah, yaitu saat  mereka merasa terpaksa 

29 Al-Qur'an 51:47.

30 Maurice Bucaille, The Bible, The Qur’an and Science, Indianapolis: American Trust 

Publications, 1979, h. 167.

308

untuk menyelaraskan pemikiran Yunani dengan agama Islam. 

Arena diskusi waktu itu adalah teologi, dan kini adalah ilmu 

pengetahuan, tapi karakter penyelarasan ini pada dasarnya 

sama. Tantangan ilmu pengetahuan modern yang awalnya 

dihadapkan hanya kepada agama Kristen, kini dihadapkan 

pada semua agama – yaitu tentang ide mengenai agama itu 

sendiri. Secara alamiah kaum muslim merasakan adanya 

tantangan, apakah mereka mengerti atau tidak tentang sifat 

pastinya, dan beberapa di antara mereka berpikir bahwa hal 

itu akan menjadi pertahanan Islam yang memadai untuk 

menunjukkan bahwa tidak ada konflik antara al-Qur'an dan 

ilmu pengetahuan atau, satu langkah lebih jauh, bahwa al-

Qur'an adalah mendeskripsikan lebih dulu tentang ilmu 

pengetahuan modern.31 

Tafsir sosial-politik

Pendekatan tafsir modern lainnya adalah ‘tafsir sosial politik’ 

yang dikembangkan oleh sarjana Mesir, Sayyid Qutb (d.1966). 

Qutb adalah seorang pemimpin Ikhwanul Muslimin, salah satu 

dari gerakan politik Islam pada abad ke-20. Dia dieksekusi mati 

pada tahun 1966 oleh Pemerintah Mesir. Meskipun demikian, 

Qutb masih tetap menjadi sumber inspirasi utama bagi mereka 

yang mencari hubungan lebih dekat antara Islam dan negara. 

Pendekatan Qutb terhadap tafsir sangatlah politis dan 

banyak sikapnya yang kontroversial. Di antara argumennya dia 

mengatakan bahwa banyak aspek dalam warga  modern, 

termasuk warga  muslim itu sendiri, adalah jahili (mirip 

dengan ‘kebodohan’ pra-Islam: keadaan Arab sebelum munculnya 

Islam pada abad ke-7). Dia juga tanpa kompromi berargumen 

bahwa Islam harus menjadi pemandu dan menjadi kekuatan 

31 Mustansir Mir, ‘Scientific Exegesis of the Qur’an – A Viable Project?’, Islam& 

Science, vol. 2, no. 1, 2004, h. 33. Diakses pada 10 February 2007: http:/www.

questia.com/PM.qst?a=o&d=5007384304.

309

politik dominan di negara yang mayoritas populasinya warga 

Muslim.

Sayyid Qutb dan gagasan jahili

Dalam interpretasinya terhadap salah satu surat al-Qur'an 

paling awal ‘Katakanlah [Nabi], hai “Orang-orang kafir: aku 

tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, kamu bukan 

penyembah apa yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi 

penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah 

menjadi penyembah apa yang aku sembah: untukmu agamamu 

dan untukku agamaku“,32 Qutb mengatakan dalam karyanya Fī 

Dhilāl al-Qur’ān: 

Kebodohan tidak lain adalah kebodohan itu sendiri dan 

Islam sama sekali berbeda dari itu. Satu-satunya cara untuk 

menjembatani jurang antara keduanya adalah kebodohan 

ini  harus menghapus diri sepenuhnya dan menggantikan 

dengan semua hukum, nilai-nilai, standar dan konsep Islam. 

Langkah pertama yang harus diambil oleh orang yang 

berdakwah pada orang-orang untuk memeluk Islam adalah 

untuk memisahkan diri dari Kebodohannya . . . perjanjian atau 

hubungan apapun antara dia dan Kebodohan benar-benar 

tidak mungkin kecuali orang-orang yang bodoh ini  

memeluk Islam dengan benar: tidak diperbolehkan adanya 

pembauran, tidak pula setengah-setengah atau berdamai . 

. . argumen dasar seseorang berdakwah kepada orang lain 

untuk masuk Islam adalah . . . kesungguhan keyakinannya 

menjadi sangat berbeda dari mereka . . . maka tugasnya adalah 

untuk memberi orientasi sehingga mereka dapat mengikuti 

jalannya tanpa penipuan atau kepura-puraan. Jika gagal, dia 

harus menarik diri sepenuhnya, melepaskan dirinya dari 

32 Al-Qur'an: 109:1–5.

310

kehidupan mereka dan secara terbuka menyatakan kepada 

mereka: “untukmu agamamu, dan untukku agamaku.“33

Penafsiran tematik 

Metode tafsir tematik menekankan pada kesatuan al-Qur'an. 

Metode ini  memulai langkah interpretasinya sebagai 

studi al-Qur'an secara keseluruhan. Metode ini memungkinkan 

penafsir mengidentifikasi semua ayat-ayat yang berkaitan dengan 

tema tertentu, mengumpulkan ayat-ayatnya dan kemudian 

mempelajari dan mengkomparasikannya. Contoh dari tema 

ini adalah perempuan, perdagangan dan perniagaan, perang, 

toleransi, Ahli Kitab atau kemiskinan. Para pendukung metode 

ini berpendapat bahwa bentuk tafsir seperti ini memungkinkan 

untuk lebih obyektif dalam menafsirkan al-Qur'an. 

Tokoh-tokoh yang menggunakan tafsir tematik ini seperti 

Ayatullah Murtaza Muthahhari (b.1920) dan penulis Mesir 

Abbas Mahmud al-Aqqad (d.1964), keduanya telah menulis 

tentang tema-tema seperti warga  dan sejarah, hak-hak 

perempuan, dan kebebasan fundamental. Sarjana Pakistan Fazlur 

Rahman (d.1988) juga seorang pendukung jenis tafsir ini, seperti 

ditunjukkan dalam karyanya Major Themes of the Qur’an.34 Model 

penafsiran al-Qur'an seperti ini sangat populer saat ini di Mesir 

dan Indonesia. 

Penafsiran feminis 

Selama paruh kedua abad ke-20, model penafsiran feminis 

berkembang pesat. Mayoritas penafsir feminis mengkritik 

sentralitas laki-laki dalam melakukan penafsiran al-Qur'an, 

33 Sayyid Qutb, In the Shade of the Qur’an, trans. M.A. Salahi and A.A. Shamis, 

London: Muslim Welfare House London Publishers, 1979, h. 331.

34 Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, Minneapolis, MN: Bibliotheca 

Islamica, 1994.

311

mereka menekankan argumentasi bahwa bias gender penafsir 

yang hingga kini masih didominasi pria, sebagian besar telah 

membentuk paradigm pemahaman al-Qur'an dan Islam secara 

umum. Berbeda dengan feminis sekuler, sarjana feminis Muslim 

tidak menolak Islam itu sendiri. Sebaliknya, mereka mengacu 

pada al-Qur'an dan sunah Nabi untuk mendukung klaim mereka 

bahwa al-Qur'an perlu ditafsirkan kembali. Beberapa sarjana 

feminis ternama adalah Fatima Mernissi, Amina Wadud dan 

Asma Barlas. Usaha mereka yang masuk ke dalam ruang-ruang 

tabu telah menyebabkan lahirnya oposisi dari ulama tradisionalis, 

baik laki-laki maupun perempuan. 

Salah satu contoh dari karya ini  adalah karya Asma 

Barlas, yang lebih fokus pada pengujian bagaimana umat Islam 

‘menafsirkan dan menghidupkan ajaran-ajaran al-Qur'an. Secara 

khusus, dia telah menghasilkan sejumlah karya yang menguji 

asal-usul tafsir al-Qur'an yang bernuansa patriarkal. Barlas 

berpendapat bahwa ide-ide ketidaksetaraan dan patriarki yang 

dipakai  untuk membaca al-Qur'an pada dasarnya adalah 

untuk menjustifikasi struktur sosial yang ada. Dalam bukunya 

‘Believing Women’ in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations 

of the Qur’an,35 Barlas menelaah ulang sejumlah isu-isu ini 

dan menunjukkan bahwa ajaran al-Qur'an tidak mendukung 

patriarki, melainkan sangat egaliter. Dia juga mengusulkan 

perlunya menghindari ‘maskulinisasi’ Tuhan, dan karena itu 

adalah hak setiap Muslim untuk membaca dan menafsirkan 

al-Qur'an untuk mereka sendiri.36 Meskipun karya Barlas telah 

disebut oleh beberapa kalangan sebagai ‘feminisme Islam’ Barlas 

35 Austin, TX: University of Texas Press, 2002.

36 Novriantoni and Ramy El-Dardiry, ‘Interview Asma Barlas: It is the Right for 

Every Muslim to Interpret the Quran for Themselves’, Liberal Islam Network, 

dikutuip dari ‘Dialogue with the Islamic World’. Diakses pada 13 May 2007: 

http://www.qantara.de/webcom/show_article.php/_c-307/_nr-28/_p- 1/i.

html?PHPSESSID=.

312

sendiri memilih untuk tidak disebut sebagai seorang feminis, 

melainkan sebagai seorang yang ‘beriman’.

Penafsiran kontekstualis

Pendekatan kontekstualis adalah mereka yang percaya 

bahwa ajaran al-Qur'an harus diterapkan dengan cara yang 

berbeda dengan memperhatikan konteksnya. Mereka cenderung 

melihat al-Qur'an sebagai sumber pedoman praktis yang harus 

diaplikasikan secara berbeda dalam situasi yang berbeda, bukan 

sebagai satu paket hukum yang kaku. Para pendukung pendekatan 

ini berpendapat bahwa para sarjana harus menyadari perbedaan 

konteks sosial, politik dan budaya di era pewahyuan dan setting 

sosial di mana interpretasi terjadi saat ini. 

Salah satu tokoh utama dalam gerakan ini adalah sarjana 

Pakistan-Amerika Fazlur Rahman. Dia berargumen bahwa 

ijtihad (pemikiran independen dan penalaran) harus memainkan 

peranan penting dalam kehidupan Muslim kontemporer. Dia juga 

berargumen bahwa sarjana muslim kontemporer sebagian besar 

meniru cara berpikir ulama sebelumnya dan mereka sebenarnya 

membutuhkan eksplorasi cara-cara baru dalam memandang teks. 

Pendekatan kontekstualis memungkinkan ruang lingkup yang 

lebih besar dalam menafsirkan al-Qur'an dan mempertanyakan 

ketentuan hukum yang dibuat oleh ulama sebelumnya. Pada 

periode akhir adab kedua puluke-20 dan awal abad ke-21, 

metodologi kontekstualis telah diadopsi oleh sebagian besar 

pemikir Muslim. Meskipun mungkin mereka tidak mengacu 

pada istilah ‘kontekstualis’, metode-metode penafsiran yang 

dilakukan menunjukkan bahwa mereka mendekati al-Qur'an 

dengan cara baru yang mencerminkan metodologi ini. Misalnya, 

banyak orang yang mencoba menghubungkan al-Qur'an untuk 

melihat keprihatinan dan kebutuhan warga  kontemporer 

dengan mengacu pada berbagai gagasan dan prinsip-prinsip al-

313

Qur'an yang relevan dengan era modern. Para sarjana ini berasal 

dari berbagai latar belakang, dan kita tidak harus melihat mereka 

sebagai bagian dari satu gerakan atau aliran pemikiran. Mulai 

dari sarjana Aljazair Muhammad Arkoun (b.1928), sarjana 

Mesir Nasr Hamid Abu Zayd (b. 1943), hingga sarjana-sarjana 

Amerika seperti Amina Wadud dan Khaled Abou El Fadl (b.1963). 

Meskipun semua pemikir ini  dapat dikategorikan ke dalam 

kontekstualis, pandangan dan pemahaman mereka terhadap al-

Qur'an terkadang sangat berbeda. 

Bab terakhir dari buku ini (Bab 12) akan menelaah lima 

pendekatan intelektual Muslim, di mana secara luas akan kita 

anggap sebagai pendekatan ‘kontekstualis’ dalam menafsirkan 

al-Qur'an.

Ringkasan 

Beberapa poin penting yang telah kita bahas dalam bab ini 

meliputi: 

Tradisi tafsir al-Qur'an yang dimulai oleh Nabi yang 

memberikan gambaran model ‘tafsir praktis’ dari perintah 

al-Qur'an tertentu.

Pada abad ke-2/ke-8, tafsir telah berkembang menjadi 

disiplin independen.

Setiap kelompok politik-keagamaan yang muncul -Sunni, 

Syiah dan Khawarij- mengembangkan tradisi penafsiran 

mereka sendiri. 

Mayoritas Muslim Syiah percaya bahwa para imam itu 

maksum, dan mereka adalah satu-satunya orang yang 

mampu memahami al-Qur'an dan hadis dengan benar. 

Bersamaan dengan kelompok-kelompok religio-politik, 

model tafsir lain, seperti teologis, hukum, mistis dan filosofis 

juga berkembang.

314

Pendekatan kontemporer, yang dimulai dengan penafsiran 

modernis pada pertengahan abad ke-19, juga menyertakan 

wacana saintifik, sosial-politik, model tematik, dan terakhir 

model penafsiran feminis dan kontekstualis. 

Rekomendasi Bacaan 

Herbert Berg, ‘Exegetical Hadiths and the Origins of Tafsir’, 

‘Data and Analysis: The Authenticity of Ibn ‘Abbas’s Hadiths in 

Al-Tabari’s Tafsir’, in The Development of Exegesis in Early Islam: 

The Authenticity of Muslim Literature from the Formative Period, 

London: Curzon Press, 2000.

Dalam buku ini, Berg mengkritik arus mainstream dalam 

persoalan keotentikan hadits. Dalam dua tulisan di atas, dia 

meneliti keaslian penafsiran hadis tertentu dan kemudian 

menggunakan analisis ini untuk menilai otentisitas hadis 

yang dipakai  dalam penafsiran al-Qur'an klasik, al-Tabari.

Norman Calder, Jawid Mojaddedi and Andrew Rippin (eds 

and trans.), ‘Qur’anic Interpretation’, Classical Islam: A Sourcebook 

of Religious Literature, London and New York: Routledge, 2003, 

pages 97–133.

Buku ini ditulis untuk mahasiswa tingkat dasar dan mencakup 

lebih dari 50 terjemahan baru bahasa Arab dan teks-teks 

Islam Persia. Bab ini dimulai dengan pengantar penjelasan 

sebelum menyajikan beberapa teks kunci dalam penafsiran 

al-Qur'an pada periode klasik Islam.

Barbara Freyer Stowasser, Women in the Qur’an, Traditions, 

and Interpretation, New York: Oxford University Press, 1994.

Dalam buku ini, Stowasser menyajikan gambaran tentang 

pandangan perempuan dalam al-Qur'an. Dia menceritakan 

kisah perempuan seperti yang ditemukan dalam al-Qur'an 

dan tafsirnya. Stowasser juga menjajaki pemahaman masa 

315

lalu dan masa kini tentang perempuan dalam tradisi Islam 

denga melihat implikasi politik dan ekonominya. 

Abdullah Saeed, ‘Qur’an: Tradition of Scholarship and 

Interpretation’, in Lindsey Jones (ed. in chief), Encyclopedia of 

Religion, Farmington: Thomson Gale, 2005, Volume 11, pages 

7,561–7,570. 

Dalam artikel ini, Saeed melihat tradisi keilmuan Islam dalam 

disiplin tafsir al-Qur'an. Dia mengeksplorasi berbagai die-die 

kunci, pendekatan, kecenderungan, tokoh, karya dan jenis-

jenis penafsiran. 

C.H.M. Versteegh, Arabic Grammar and Qur’anic Exegesis in 

Early Islam, Leiden: E.J. Brill, 1993.

Dalam buku ini, Versteegh mengkaji peran dan relasi antara 

tata bahasa Arab dengan tafsir al-Qur'an klasik. Dia mengacu 

pada beberapa tafsir al-Qur'an klasik, dari awal pertengahan 

abad ke-2/ke-8, dan menganalisis metode penafsiran dan 

terminologi gramatikalnya.


317

Bab 12

Penafsiran Modern 

atas Al-Qur'an

DALAM SEJARAH ISLAM metode penafsiran al-Qur'an terus berubah dan berkembang. Dua dari banyak kecenderungan yang berbeda sering disebut sebagai pendekatan 

‘tekstualis’ dan ‘kontekstualis’. Sekarang ini, pendekatan 

tekstualis masih tetap diadopsi oleh para penafsir al-Qur'an, 

khususnya Sunni. Dalam upaya memahami makna al-Qur'an, 

yang sering diasumsikan tetap dan tidak berubah sepanjang 

waktu, para pendukung pendekatan ini banyak terlibat dalam 

analisis linguistik terhadap sumber-sumber keislaman seperti 

al-Qur'an dan hadis. Di era modern, pendekatan kontekstualis, 

sebagai sebuah alternatif, mulai mendapatkan perhatian. Dalam 

memahami makna al-Qur'an, yang esensinya diasumsikan tidak 

akan berubah, pendukung pendekatan ini berpendapat bahwa 

studi tekstual harus disertai dengan pengetahuan tentang 

kondisi sosial, budaya dan politik masa pewahyuan. Berbeda 

dengan ulama tekstualis, para kontekstualis terlibat tidak hanya 

dalam analisis linguistik, tetapi juga mengadopsi pendekatan dari 

berbagai bidang seperti hermeneutika dan teori sastra. Dengan 

demikian, sesuai dengan sejarah perkembangan tafsir al-Qur'an, 

318

para kontekstualis modern berusaha untuk mengembangkan 

cara-cara baru untuk mendekati al-Qur'an. 

Dalam bab ini kita akan membahas: 

Perbedaan madzhab antara tekstualis dan kontekstualis; 

Pendekatan tafsir al-Qur'an yang dominan saat kini; 

Pendekatan dari lima pemikir kontemporer al-Qur'an: 

Fazlur Rahman,

Amina Wadud,

Muhammad Shahrour,

Mohammed Arkoun dan

Khaled Abou El Fadl.

Perbedaan antara Penafsiran Tekstualis dan 

Kontekstualis

Mayoritas kesarjanaan al-Qur'an saat ini mendasarkan 

diri pada metodologi tekstualis. Metodologi ini juga sebagian 

besar mendominasi tafsir-tafsir pada periode pra-modern. 

Para pemikir tekstualis mengandalkan teori makna referensial 

untuk menafsirkan al-Qur'an, serta banyak mendeskripsikan 

aspek linguistik daripada analisis sosial atau sejarah. Sarjana 

yang mengadopsi pendekatan ini mempercayai bahwa bahasa al-

Qur'an memiliki referensi yang kongkrit dan tidak berubah, dan 

oleh karenanya makna al-Qur'an sejak pewahyuan masih berlaku 

untuk konteks kontemporer. Menurut kelompok tekstualis, 

makna al-Qur'an itu bersifat statis, dan kaum Muslim harus 

mengadopsi makna ini . Pendekatan ini sangat populer 

dalam literatur-literatur saat ini yang terkait dengan al-Qur'an 

dan pada umumnya pendekatan ini bisa dipahami dengan baik.

Sebaliknya, pendekatan kontekstualis kurang dikenal dan 

dipahami daripada pendekatan tafsir tradisional. Secara umum, 

sarjana kontekstualis sering dikaitkan dengan bentuk reformisme 

319

Islam. Dibandingkan dengan pendekatan tekstualis, dapat 

dikatakan bahwa kelompok kontekstualis memiliki pendekatan 

yang lebih bernuansa pencarian ‘makna’ dalam teks al-Qur'an, 

meskipun detail pendekatan ini sangat bervariasi di kalangan 

sarjana. Karakteristik umum para pemikir kontekstualis 

adalah argumentasi tentang makna ayat al-Qur'an (atau hadis) 

yang tidak bisa diketahui secara pasti (indeterminate). Dalam 

pengertian ini, makna akan selalu berkembang dari waktu ke 

waktu, dan bergantung pada aspek sosio-historis, konteks budaya 

dan linguistik teks. Pendekatan tafsir seperti ini memungkinkan 

seseorang untuk mempertimbangkan konteks dari setiap kata, 

dan mencapai pemahaman yang diyakininya lebih relevan 

dengan situasi penafsiran. Kelompok kontekstualis lebih lanjut 

menyatakan bahwa tidak pernah mungkin untuk sampai pada 

makna yang benar-benar obyektif dan bahwa faktor-faktor 

subyektif akan selalu turut andil dalam pemahaman kita. Penafsir 

tidak dapat mendekati teks tanpa pengalaman tertentu, nilai-nilai, 

keyakinan dan prasangka yang mempengaruhi pemahamannya.1

Sarjana kontekstualis modern telah berusaha secara khusus 

untuk terlibat dengan ajaran ethico-legis yang dapat diturunkan 

dari al-Qur'an. Dari perspektif kontekstualis, al-Qur'an tidak 

dianggap sebagai kitab hukum, tapi sebagai teks yang berisi ide-

ide, nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dapat diterapkan seiring 

dengan perubahan waktu dan tempat yang berbeda. Untuk 

sampai pada ide-ide, nilai-nilai dan prinsip-prinsip ini , 

para pengkaji al-Qur'an kontekstualis membutuhkan konteks al-

Qur'an baik yang bersifat luas maupun sempit untuk membantu 

memahami.

Pemahaman kontekstual memungkinkan satu ayat diban-

dingkan dengan keseluruhan tujuan dan konteks dari al-Qur'an, 

1 Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism, Oxford: Oneworld, 1997, 

h. 73–77.

320

yang tidak hanya meliputi al-Qur'an saja, namun juga sunah Nabi. 

Konteks yang sempit harus pula mempertimbangkan apa yang 

muncul secara langsung baik sebelum dan sesudah ayat ini  

dan melihat juga kata-kata dalam ayat ini . 

Studi kontekstualis juga sangat dipengaruhi oleh 

hermeneutika modern, yang merupakan seperangkat prinsip yang 

dipakai  dalam interpretasi teks, dan dapat juga didefinisikan 

sebagai ‘eksplorasi filosofis terhadap karakter dan kondisi yang 

dibutuhkan untuk pemahaman’.2 Hermeneutika tidak berusaha 

untuk menetapkan dan menstabilkan makna tertentu dari teks, 

melainkan berasumsi bahwa makna dari sebuah teks adalah hasil 

dari pembacaan seseorang. Dengan demikian peran pembaca 

dalam menciptakan makna sangat ditekankan.

Farid Esack, seorang cendikiawan Muslim Afrika Selatan, 

membahas hal ini dalam karyanya. Dia menunjukkan bahwa 

‘menerima teks dan penggalian makna terhadap teks itu 

tidak akan pernah ebrdiri sendiri’, artinya makna teks selalu 

parsial.3 Dalam karyanya Qur’an: Liberation and Pluralism, Esack 

menyatakan bahwa ‘hermeneutik‘ tidak terkait dengan keilmuan 

Islam tradisional. Esack juga berbicara tentang pengembangan 

‘hermeneutika pembebasan‘,4 dan dia juga mengklaim bahwa 

disiplin hermeneutika secara bertahap mulai mempengaruhi 

pengetahuan Islam pada abad ke-20. Seperti yang akan tercermin 

dalam bab ini tentang profil cendekiawan Muslim modern, die 

‘hermeneutik‘ tampaknya selaras dengan pemikir reformis dan 

‘liberal‘ dalam pemikiran Islam kontemporer. Ide-ide ini  

tentunya kontras dengan pemikiran muslim textualis, yang tidak 

memperhatikan peran penting pembaca dalam mengidentifikasi 

makna.

Bab ini akan melihat pemikiran dan kontribusi dari lima 

tokoh kontemporer dalam memahami al-Qur'an. Diantaranya 

adalah Fazlur Rahman, yang memainkan peran kunci dalam 

mengembangkan gagasan terkait dengan pendekatan 

hermeneutik dalam studi Islam. Rahman dianggap sebagai 

‘pemikir Muslim reformis modern pertama yang menghubungkan 

pertanyaan tentang asal usul al-Qur'an dengna melihat konteks 

dan interpretasi terhadapnya.5 Setelah Rahman, ada pemikir 

terkemuka Amerika bernama Amina Wadud, seorang tokoh yang 

cukup penting dalam pembentukan ‘hermeneutika kesetaraan‘.6 

Tokoh lain perintis hermeneutika Islam kontemporer adalah 

Mohammed Arkoun, yang karyanya dipengaruhi oleh intelektual 

postmodern seperti Paul Ricoeur, Michel Foucault dan 

Jacques Derrida. Demikian juga tokoh yang dipengaruhi oleh 

postmodernisme, Muhammad Shahrour, menekankan perlunya 

membedakan antara yang ilahi dan yang manusiawi dalam 

memahami realitas. Dan terakhir, kita akan menutup dengan 

paparan karya Khaled Abou El Fadl, seorang sarjana terkemuka 

dalam bidang hukum Islam dan sangat vokal melawan kelompok 

yang menginterpretasikan al-Qur'an secara literal.

Fazlur Rahman

Fazlur Rahman terkenal dengan kontribusinya yang cukup 

besar dalam diskursus modern reformasi pemikiran Islam. Dia 

banyak menulis tentang berbagai bidang, termasuk pendidikan 

Islam, tafsir al-Qur'an, kritik hadits, perkembangan awal tradisi 

intelektual Islam, serta reformasi hukum Islam dan etika. 

Rahman lahir di Pakistan pada tahun 1919, dan menghabiskan 

sebagian besar masa mudanya untuk belajar dan mengajar di 

5 Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism, h. 65.

6 Suha Taji-Farouki (ed.), Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an, Oxford: Oxford 

University Press, 2004, h. 106.

322

Inggris, Kanada, Pakistan dan Amerika Serikat. saat  tinggal di 

Inggris, dia menulis disertasinya tentang Ibnu Sina di Universitas 

Oxford, kemudian mengajar filsafat Islam selama delapan tahun 

di Universitas Durham. Dia kemudian pindah ke Kanada, disana 

dia diangkat sebagai associate profesor di Institute of Islamic 

Studies McGill University. Pada periode berikutnya dia kembali ke 

Pakistan untuk bekerja sebagai visiting professor dan kemudian 

menjadi direktur Islamic Research Institute. Dari tahun 1961 

sampai 1968, saat  berada di Institut, Rahman menyarankan 

kepada seseorang yang kemudian menjadi presiden, Jenderal 

Ayyub Khan, tentang bagaimana Pakistan seharusnya diarahkan 

pada jalan tengah antara Islam modernis dan tradisionalis. 

Selama di Pakistan, Rahman dikritik oleh orang-orang 

yang ingin mempertahankan dominasi praktek-praktek sosial 

keagamaan yang sudah berjalan dari waktu ke waktu. Dan saat  

kritik ini  memuncak pada ancaman pembunuhan, dia 

kemudian mencari perlindungan di Amerika Serikat. Di sana, 

Rahman bekerja sebagai Profesor dalma bidang Pemikiran 

Islam di Universitas Chicago, posisi yang diemban sampai ajal 

menjemputnya pada tahun 1988. Salah satu murid Rahman 

di Universitas Chicago adalah Nurcholish Madjid, seorang 

cendekiawan muslim yang kemudian menjadi seorang intelektual 

terkemuka di Indonesia dan memainkan peran utama dalam 

memperluas studi Islam serta mengembangkan liberalisme Islam 

dan demokrasi di Indonesia. 

Metodologi Rahman juga banyak diterapkan oleh para sarjana 

lain di beberapa bidang seperti hak-hak perempuan, seperti 

terlihat dalam tulisan sarjana Amerika terkemuka Amina Wadud. 

Meskipun Rahman menghabiskan sebagian besar hidupnya di 

Barat, dia tetap menjadi seorang pemikir Muslim yang terus 

terang dan berkomitmen untuk terus memberi pengaruh pada 

umat Muslim. Demikian juga, meskipun dia menjabat sebagai 

323

penasehat Jenderal Ayyub Khan, Rahman terus aktif dalam ruang 

intelektual akademik, tidak mencari popularitas dan tidak pula 

mencari pengaruh langsung dari gerakan politiknya. 

Rahman sangat yakin bahwa salah satu tujuan utama 

al-Qur'an adalah menciptakan sebuah warga  yang 

berlandaskan pada keadilan. Dia juga melihat Nabi Muhammad 

sebagai seorang tokoh reformis sosial, yang berusaha untuk 

memberdayakan orang-orang miskin, lemah dan yang rentan 

diserang musuh. Dengan demikian dia memandang al-Qur'an 

sebagai sumber prinsip-prinsip etis, daripada sumber hukum. 

Salah satu tujuan intelektualnya adalah berusaha merumuskan 

tatanan warga  tanpa eksploitasi terhadap mereka yang 

lemah. Dalam ungkapannya, Islam sebagai agama, serta 

ajaran-ajaran al-Qur'an pada khususnya, harus dilihat sebagai 

‘sesuatu yang mampu membuat kemanfaatan dan kesetaraan 

positif bagi umat manusia. Oleh karena itu tujuan utama Islam 

tidak akan terealisasikan sampai kebebasan otentik manusia 

benar-benar dikembalikan dan kebebasan dari segala bentuk 

eksploitasi -sosial, spiritual, politik dan ekonomi- benar-benar 

diaplikasikan.7 Posisinya sebagai seorang reformis didasarkan 

pada keyakinan bahwa:

Implementasi al-Qur'an tidak akan tercapai dengan metode 

literal dalam konteks modern ini karena hal ini  dapat 

mengaburkan tujuan utama al-Qur'an. Meskipun pendapat 

fuqaha [ahli hukum] atau ulama [ulama] Islam selama tiga 

belas abad terakhir harus dipelajari dengan serius dan diberi 

perhatian khusus, pendapat-pendapat ini  mungkin 

dalam beberapa kasus memuat kekeliruan atau hanya 

7 Fazlur Rahman, ‘Some Reflections on the Reconstruction of Muslim Society in 

Pakistan’, h. 103–20, Islamic Studies, vol. 6, no. 9, 1967, h. 103.

324

mencukup kebutuhan warga  saat itu, dan tidak untuk 

saat ini.8

Misalnya, Rahman berpendapat bahwa praktek hukum keluarga 

dalam sejarah Islam tidak memberikan hak-hak kesetaraan 

yang seharusnya dimiliki oleh perempuan, berdasarkan contoh 

perilaku Nabi dan ajaran al-Qur'an:

Al-Qur'an dengan jelas melarang laki-laki mengeksploitasi 

perempuan saat  posisinya lebih kuat dalam warga  kala 

itu, dan Islam menetapkan perintah untuk seluruh tindakan 

-hukum dan moral- dimana eksploitasi seksual benar-benar 

harus dihapuskan. Al-Qur'an melarang poligami dalam 

keadaan normal, memberikan kesempatan bagi wanita untuk 

memiliki dan mendapatkan kekayaan, mengakui perempuan 

menjadi mitra setara dalam warga : memperhatikan dan 

memberi kesempatan bagi perempuan di tengah warga  

yang masih tabu akan hal itu. Al-Qur'an meletakkan dasar 

kehidupan pernikahan untuk saling memberi cinta dan kasih 

sayang, dan pasangan diibaratkan seperti pakaian bagi satu 

sama lain. Al-Qur'an juga mengatur dengan ketat tentang 

hukum perceraian.9 

Rahman telah dikritik karena ‘meremehkan kompleksitas 

hermeneutik dan pluralisme intelektual yang ada  di 

dalamnya’.10 Namun, masalah ini tampaknya tidak begitu penting 

bagi pemikiran Rahman. Tujuan utamanya adalah mengatasi 

masalah tertentu yang dia yakini membutuhkan perhatian 

dari perspektif umat Muslim yang sadar untuk tetap relevan 

dalam lingkungan yang terus berubah. Kontribusinya terhadap 

argumen pengakuan subyektif Interpretasi al-Qur'an mungkin 

dapat dilihat secara akurat dari tokoh-tokoh yang lebih baru 

seperti Amina Wadud dan Khaled Abou El Fadl. 

Singkatnya, kontribusi utama Rahman terhadap perdebatan 

tentang Islam pada abad ke-20 adalah gagasannnya dalam 

memahami al-Qur'an, bahwa umat Islam harus menjauh 

dari pendekatan reduksionis dan konvensional yang tidak 

memperhatikan aspek-aspek sosial, sejarah dan konteks 

linguistik al-Qur'an. Pendekatannya terhadap al-Qur'an dapat 

dilihat sebagai salah satu pendekatan yang paling orisinal dan 

sistematis yang hadir pada paruh kedua abad ke-20. Demikian 

juga, penekanannya pada sejarah konteks pewahyuan telah 

memberi pengaruh yang luas dalam perdebatan muslim 

kontemporer tentang isu-isu penting seperti hak asasi manusia, 

hak-hak perempuan dan keadilan sosial. Rahman berpendapat 

bahwa tanpa menyadari realitas sosial dan politik warga  di 

mana al-Qur'an diturunkan, seseorang tidak akan bisa memahami 

pesannya.11 Meskipun ada  beberapa kritik, pendekatan 

Rahman semakin banyak diadopsi oleh umat Islam dalam upaya 

mereka untuk menghubungkan al-Qur'an dengan kebutuhan 

kontemporer, dan mungkin akan terus berpengaruh di kalangan 

generasi muda Muslim intelektual saat ini. 

Amina Wadud 

Amina Wadud adalah seorang pemikir Afrika-Amerika 

yang concern dalam bidang tafsir al-Qur'an dan gender. Pada 

tahun 1992 dia menerbitkan buku pertamanya, sebuah karya 

Muslim feminis tentang prinsip penafsiran al-Qur'an yang 

berjudul Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective.12 

11 Pendekatan ini ditolak oleh pemikir Turki, Huseyn Atay, yang berpendapat bahwa 

al-Qur'an butuh untuk ‘dibebaskan dari akar sejarah dan kebudayaan tradisional’; 

lihat, Taji-Farouki (ed.), Modern Muslim Intellectuals, h. 249.

12 New York: Oxford University Press, 1999.

326

Buku ini  didukung oleh sejumlah feminis yang berbahasa 

Arab,13 dan termasuk pula ide-ide kontroversial tentang perlunya 

menggunakan bahasa gender yang lebih netral dalam memahami 

al-Qur'an.14

Amina Wadud dilahirkan dalam sebuah keluarga Kristen 

Protestan (Methodist) tahun 1952 di Maryland, USA. saat  

tumbuh dewasa, Wadud merasa seperti orang asing karena 

etnisitas dan gender yang melekat padanya. Salah seorang 

rekan feminisme Islam, Asma Barlas, menulis, ‘Jika bangsa telah 

mendefinisikan dirinya di mata rekan-rekan kulit putih, maka 

gender telah mendefinisikan dirinya di mata orang-orang hitam’.15 

saat  dia sedang belajar di kampus, Wadud yang sedang berusia 

20 tahun memutuskan untuk menjadi Muslim. Menurut Barlas, 

posisi Wadud sebagai seorang Amerika keturunan Afrika yang 

pindah ke agama Islam, dan karenanya menjadi ‘orang Barat’, 

telah memungkinkan dirinya untuk terlibat dalam Islam dengan 

sebuah ‘kesadaran tertentu yang membentuk identitasnya’.16 

Amina Wadud memperoleh gelar Ph.D dalam studi Islam dari 

Universitas Michigan pada tahun 1988 dan pada saat penulisan 

buku, dia juga sedang mengajar di Universitas Commonwealth 

Virginia.

Wadud memiliki  posisi kontroversial dalam pemikiran 

Islam kontemporer. Salah satu pendukung kuat kesetaraan 

gender, Wadud dianggap berpihak pada gerakan ‘feminis’ Islam. 

Dia mungkin paling banyak dikenal karena telah menyampaikan 

13 Ruth Roded, ‘Women and the Qur’an’, dalam McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the 

Qur’an, vol. 5, h. 540.

14 Roded, ‘Women and the Qur’an’, h. 540.

15 Asma Barlas, ‘Amina Wadud’s Hermeneutics of the Qur’an: Women Rereading 

Sacred Texts’, h. 99, dalam Taji-Farouki (ed.), Modern Muslim Intellectuals, h. 

97–123.

16 Barlas, ‘Amina Wadud’s Hermeneutics of the Qur’an’, h. 97.

327

khotbah Jumat di Afrika Selatan pada tahun 1994, dan yang 

cukup kontroversial dalam upayanya memimpin laki-laki dan 

perempuan dalam salat Jumat di tahun 2005, dia bertindak 

sebagai imam atau pemimpin salat. Event ini mendapat komentar 

internasional dan memunculkan sejumlah fatwa yang bersikeras 

bahwa kepemimpinan dalam salat hanya diperbolehkan untuk 

laki-laki Muslim.17

Wadud juga memposisikan dirinya sebagai postmodernis. 

Dia beranggapan bahwa postmodernisme adalah sebuah gerakan 

untuk ‘berpikir’ dan ‘menata ulang’ apa yang dipikirkan pada 

masa lalu, suatu proses yang dianggap perlu oleh Wadud dalam 

rangka menciptakan masa depan yang lebih pluralistik dan 

homogen.18 Pemikiran ini sejalan dengan beberapa tokoh seperti 

Mohammed Arkoun dan Muhammad Shahrour, yang keduanya 

telah dipengaruhi oleh pemikiran postmodernis. Ketiganya 

memiliki usaha untuk mempertanyakan metode yang ditetapkan 

dalam kajian keislaman, sembari membela adanya kesadaran 

subyektif yang seharusnya ‘dibenarkan’.

Wadud menunjukkan bahwa dirinya terlibat dalam ‘jihad 

gender’, sebuah sikap yang tercermin dalam keyakinannya 

bahwa al-Qur'an memiliki misi pembebasan dan pemberdayaan 

perempuan. Dia mengkritik beberapa narasi Muslim umum 

sebagai sebuah kesalahan, seperti klaim tentang wanita 

diciptakan dari laki-laki dan oleh karenanya menjadi makhluk 

sekunder. Wadud berpendapat bahwa tidak ada dalil al-Qur'an 

terhadap keyakinan, yang cukup populer dalam dunia Islam, 

bahwa seorang wanita yang diciptakan setelah laki-laki. Dia 

17 Nelly van Doorn-Harder, ‘Teaching and Preaching the Qur’an’, h. 227, dalam 

McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the Qur’an, vol. 5, 2006, h. 205– 231.

18 ‘Interview - Amina Wadud’, Frontline-Muslims, Maret 2002. Diakses pada 25 

Februari 2007: http://www.pbs.org/wgbh/pages/frontline/shows/muslims/ 

interviews/wadud.html. 

328

mengutip beberapa ayat seperti Q.4:1, yang berbicara tentang 

manusia pertama dengan menggunakan gender yang netral, 

untuk mendukung argumennya: “Wahai manusia, bertaqwalah 

kepada Tuhanmu, yang menciptakanmu dari diri yang satu, dan 

dari padanya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya 

Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang tak 

terhitung jumlahnya.’’ 

Wadud menekankan bahwa al-Qur'an tidak ‘melimpahkan 

tanggung jawab kepada perempuan atas pengusiran pasangan 

ini [Adam dan Hawa] dari surga’.19 Dia juga menyatakan bahwa 

al-Qur'an menempatkan laki-laki dan perempuan dalam level 

ontologis yang sama, dan dia berpendapat bahwa satu-satunya 

landasan untuk membedakan manusia, baik perempuan 

dan laki-laki, adalah derajat mereka akan ‘kesadaran Tuhan’ 

(Taqwa). Wadud tidak mempertimbangkan ayat-ayat yang 

berhubungan dengan poligami yang menjadi bukti adanya 

subordinasi perempuan. Sebaliknya, dia justru menganggap 

ajaran al-Qur'an yang berhubungan dengan pokok persoalan 

ini20 ‘lebih dikonsentrasikan pada aspek keadilan: relasi yang 

adil, pengelolaan dana yang adil, keadilan terhadap anak yatim, 

dan keadilan untuk para istri’.21

Kontribusi Wadud dalam kajian al-Qur'an telah diringkas 

oleh Asma Barlas sebagai berikut: 

Kritik Wadud tentang tafsir tradisional dimaksudkan tidak 

hanya untuk mengungkapkan kekurangan dalam pembacaan 

al-Qur'an yang bias patriarki, tetapi juga dimaksudkan untuk 

19 Barlas, ‘Amina Wadud’s Hermeneutics’, h. 114.

20 Qur’an: 4:3 – ‘If you fear you will not deal fairly with orphan girls, you may marry 

whichever [other] women seem good to you, two, three, or four. If you fear that 

you cannot be equitable [to them], then marry only one, or your slave(s): that is 

more likely to make you avoid bias.’

21  Barlas, ‘Amina Wadud’s Hermeneutics of the Qur’an’, h. 115–116.

329

menyadarkan kaum Muslim tentang perlunya memikirkan 

kembali strategi tekstual mereka, perlunya kerangka metode 

interpretatif baru, dan perlunya memasukan perempuan 

dalam proses kreasi pengetahuan. Dia meyakini bahwa hal 

ini tidak hanya akan memungkinkan perempuan untuk 

mengembangkan identitas Muslim agar lebih otentik, namun 

juga akan mencerminkan ‘tingkat pemahaman baru dan 

partisipasi manusia’ dalam kehidupan beragama.22 

Muhammad Shahrour 

Muhammad Shahrour lahir pada tahun 1938 di Damaskus, 

Suriah. Seorang insinyur sipil dan sarjana otodidak Islam yang 

telah banyak menulis tentang Islam dan al-Qur'an. Sebagai 

seorang outsider karena profesinya, Shahrour berpendapat 

bahwa kaum Muslim kontemporer perlu mempertimbangkan 

dan mempertanyakan kembali kitab suci agama Islam, sebuah ide 

yang dinyatakan dalam karya besarnya, Al-Kitab wa al-Qur'an.23 

Shahrour telah dipengaruhi oleh berbagai intelektual, dari filosof 

awal Muslim al-Farabi (d.338/950), filosof idealisme Jerman, 

Johann Gottlieb Fichte, sampai matematikawan dan filosof 

Inggris, Alfred North Whitehead.24

Yang esensial untuk pemikiran Shahrour adalah diferensiasi 

antara sesuatu yang ilahi dan pemahaman manusia terhadap 

realitas ilahiah. Dia juga berpendapat bahwa, karena 

perkembangan ilmu pengetahuan, ulama kontemporer yang 

jauh lebih baik dibandingkan ulama masa lalu dalam memahami 

22 Barlas, ‘Amina Wadud’s Hermeneutics of the Qur’an’, h. 105.

23 Al-Kitab wa al-Qur'an: Qira’a Mu‘asira (The Book and the Qur’an: A Contemporary 

Reading), Damascus: al-Ahli li al-Taba‘a wa al-Nashr wa al-Tawzi‘, 1990.

24 Andreas Christmann, ‘“The Form is Permanent, but the Content Moves”: The 

Qur’anic Text and its Interpretation(s) dalam Mohamad Shahrour’s al- Kitab 

wal-Qur'an’, dalam Taji-Farouki (ed.), Modern Muslim Intellectuals, h. 265.

330

‘kehendak Tuhan’.25 Dengan demikian, Shahrour berusaha untuk 

menciptakan kerangka dan metodologi baru untuk memahami 

al-Qur'an, dan untuk tujuan ini dia telah menciptakan kategori 

sendiri untuk mendekati al-Qur'an .26 

Seperti Mohammed Arkoun, Shahrour berusaha 

mempertanyakan bangunan pola pembacaan al-Qur'an. Metode 

yang diusulkan Shahrour untuk melakukan hal ini disebut 

‘defamiliarization’, yang melibatkan ‘keinginan eksplisit untuk 

meruntuhkan tatanan karya-karya interpretasi dan menyarankan 

alternatif baru untuk membaca teks. Andreas Christmann 

menyatakan bahwa Shahrour meinginginkan pembacanya 

untuk memahami al-Qur'an ‘seolah Nabi baru saja meninggal 

dan memberitahukan al-Qur'an kepada kita’,27 maka dalam 

mendekati al-Qur'an seseorang diasumsikan baru membaca 

untuk pertama kalinya.28 

Buku Shahrour ini manuai banyak kritik. Respon terhadap 

karyanya hampir seluruhnya negatif: ‘Bahkan ulama yang 

simpatik seperti Nasr Hamid Abu Zayd, yang secara personal 

mendukung perubahan dan reformasi, mengkritik kenaifan 

metodologi Shahrour’.29 Sementara yang lain juga menuduhnya 

sebagai antek Zionisme dan mencoba untuk menyebarkan 

perpecahan di kalangan umat Islam. Shahrour telah menanggapi 

kritik ini  dengan mengklaim bahwa komentar seperti ini 

adalah cara mudah untuk menghindari pembahasan yang telah 

dimulainya. 

 Meskipun ada  banyak kritik, setidaknya salah satu ide 

dominan dalam pemikiran Shahrour tentang Islam selaras dengan 

banyak tokoh reformis kontemporer Islam. Artinya, bahwa al-

Qur'an harus didekati dengan cara kontemporer, studi atau 

pembacaan al-Qur'an harus mempertimbangkan perkembangan 

di bidang lain seperti filsafat modern dan linguistik. Pendekatan 

‘kontemporer’ al-Qur'an ini tampaknya menjadi bukti bahwa 

teori dan aliran pemikiran mulai dari ‘teologi tentang proses, 

evolusionisme, liberalisme, Marxisme, Sufisme, matematika, 

statistik, kuantum fisika, psikoanalisis, linguistik dan teori 

komunikasi’,30 sangat nampak diterapkan dalam analisisnya 

terhadap al-Qur'an.

Mohammad Arkoun

Mohammad Arkoun lahir di Aljazair pada tahun 1928 

dan secara kultur dia adalah orang Berber, Perancis dan Arab. 

Setelah belajar di Aljazair, dia mendapatkan gelar Ph.D dari 

Sorbonne Paris. Arkoun kini dikenal luas sebagai seorang 

sarjana perintis pemikiran Islam kontemporer. Dia dipercaya 

karena telah memperluas disiplin studi Islam dengan meminjam 

dan mengembangkan ide-ide dari sumber-sumber yang pada 

umumnya tidak terkait dengan studi Islam. Salah satu karya 

utamanya adalah The Unthought in Contemporary Islamic Thought.31

Arkoun pergi ke Sorbonne sebelum terjadinya kemerdekaan 

Aljazair, dan disanalah perkembangan intelektualnya diperkaya 

dengan perubahan umum yang dialami kajian humaniora selama 

kurun 1950-an dan 1960-an. Selama ini, ‘bidang humaniora. . . 

ditandai dengan pencarian perspektif dan pendekatan baru, yang 

menyebabkan munculnya kreasi baru pergerakan intelektual 

atau konsolidasi terhadap teori-teori yang telah mapan dan 

pendekatan-pendekatan metod. ologis’.32 Pemikiran Arkoun ‘juga 

terinspirasi oleh penelitiannya tentang intelektual Islam Persia 

dan ‘humanisme’ Miskawaih (d.421/1030) serta studi tentang 

humanisme Arab abad ke-10, yang juga menjadi subjek bahasan 

doktoralnya. Dia ‘terkesan dengan keterbukaan dan penerimaan 

Miskawaih dan ulama-ulama semasanya terhadap tradisi lain 

seperti Yunani dan Persia [tradisi]’.33

Pada umumnya Arkoun tidak dihargai oleh para sarjana 

Muslim tradisionalis, karena pendekatan sekulernya terhadap 

analisis al-Qur'an dan pengaruh dari Derrida, Baudrillard dan 

Foucault yang nampak dalam karyanya.34 Dia juga dikritik oleh 

beberapa kelompok karena ‘ekspresi kebahaasaan yang kompleks 

dan sulit dipahami, terminologi yang melimpah [yang ada dalam 

tulisannya] dan kurang sistematis’.35 

Elemen kunci dari pemikiran Arkoun adalah menyangsikan 

ortodoksi Islam, dan menurutnya ortodoksi itu ‘setara dengan 

ideologi’, dengan demikian tunduk pada ‘proses sejarah’.36 

Ortodoks melibatkan ‘kultur terdidik’, yang terkespresikan dalam 

‘tulisan’ dan yang diungkapkan melalui ‘negara’. ‘Ortodoksi’ ini 

ditentang oleh ‘heterodoksi’, yang membuka budaya populer 

(dan populis), yang lebih menggunakan (yang bebas, tidak 

menstabilkan) ‘oralitas’ dan hadir dalam (atau menciptakan) 

segmen tertentu dalam warga .37

Singkatnya, Ursula Günther berpendapat bahwa pemikiran 

Arkoun menampilkan kualitas rimpang (akar yang bercabang-


cabang seperti jari), sebuah ide yang terkait erat dengan pemikiran 

postmodernis. Günther menyatakan,

[Rimpang] melambangkan pergeseran paradigma yang telah 

terjadi di berbagai tingkat kehidupan modern. Labang ini  

merupakan singkatan dari integritas, keutuhan dan pluralitas 

yang berbeda dengan dualisme, dekomposisi dan partikularisme. 

Dalam Pendekatan hal ini Arkoun membawa karakteristik 

postmodernisme.

Khaled Abou El Fadl lahir di Mesir pada tahun 1963. Dia 

adalah seorang sarjana terkemuka dalam bidang hukum Islam 

dan seorang ahli hukum muslim yang dilatih secara tradisional. 

Abou El Fadl adalah seorang profesor di Universitas California. 

Meskipun dipandang oleh publik luas sebagai sarjana yang 

disegani, serangannya terhadap beberapa gerakan dalam 

Islam, khususnya Wahhabisme, telah menyebabkan dirinya 

menerima banyak ancaman pembunuhan. Di antaranya, 

dia mengkritik Wahhabisme atas pembatasan kaku yang 

dibebankan pada perempuan. Dia berpendapat bahwa ‘ideologi’ 

seperti Wahhabisme, yang mewajibkan wanita mentaati laki-

laki ‘dengan buta’, secara efektif mengubah laki-laki menjadi 

setengah dewa.39 Dia juga telah menentang sikap umum para 

ulama tradisionalis yang mewajibkan memakai kerudung (jilbab) 

bagi perempuan, dengan dasar bahwa perempuan tidak secara 

eksplisit diperintahkan oleh al-Qur'an untuk melakukannya. 

Abou El Fadl juga berbicara lantang untuk menentang semua 

budaya dan praktik yang membuat wanita menduduki posisi 

bawahan dalam struktur warga . Baginya praktek-praktek 

ini  adalah ‘penghinaan moral’ dan menyerang inti tentang 

bagaimana sejatinya seorang Muslim.

Salah satu karya besar Abou El Fadl adalah Speaking in God’s 

Name: Islamic Law, Authority and Women.41 Karya ini berusaha 

membicarakan tentang peran pembaca otoritatif teks-teks agama, 

menantang cara proklamasi diri sebagai ‘Ulama’ al-Qur'an, terutama 

di zaman modern, dan mengasumsikan peran juru bicara yang 

mengatasnamakan Tuhan. Dia berpendapat dalam banyak kasus, 

‘ulama’ seakan menggantikan otoritas Tuhan, yang dia gambarkan 

sebagai ‘tindakan kelaliman’.42 Pendahuluan dalam buku Abou 

El Fadl ini mengacu pada karya Umberto Eco, antara lain dalam 

mengajukan pertanyaan tentang apakah ayat-ayat al-Qur'an 

membutuhkan pembacaan secara ‘terbuka’ atau ‘tertutup’.43 Abou El 

Fadl menyoroti pentingnya fokus pada interaksi antara Author al-

Qur'an (Tuhan) dan pembaca, dan tanggung jawab pembaca yang 

memiliki  otoritas, karena posisi khususnya sebagai penafsir 

teks, yang bertindak sebagai ‘agen’ yang setia terhadap ‘otoritas 

tertinggi’ (Tuhan), dan menahan diri dari pembiasan subjektif 

kecuali jika hal ini  dinyatakan dengan jelas. Dalam upaya 

memperjelas posisi pembaca dalam memahami al-Qur'an, Abou 

El Fadl mengusulkan pertanyaan sebagai berikut: 

Sejauh mana kepekaan dan subjektivitas saya menentukan 

bangunan makna teks? Bolehkah atau haruskah saya 


menggunakan teks untuk keperluanku, dan mengizinkan 

kebutuhanku untuk menjadi penentu dalam membangun teks? 

Jika karakter pembaca sangat determinatif, lalu bagaimana 

dengan maksud pengarang? Haruskah seorang pembaca fokus 

hanya pada maksud pengarang dan mempertimbangkan 

maksud pengarang dalam menentukan arti teks? Bukankah 

ini lebih menghormati pengarang, terlebih jika pengarang itu 

bersifat ilahi? Tapi bagaimana mungkin maksud pengarang 

bisa dipastikan jika motif pengarang tidak dapat diakses?44

Pembingkaian perdebatan dengan cara seperti ini -yang 

menyoroti posisi subjektif pembaca- jelas merupakan serangan 

terhadap orang-orang ‘yang berbicara atas nama Tuhan’ dengan 

mengklaim asumsi keaslian dan kesempurnaan pendekatan 

‘literalis’ atau ‘Tekstualis’.

Dengan nada yang sama dengan Arkoun dan Wadud, Abou 

El Fadl juga mempromosikan gagasan tentang banyaknya 

kemungkinan dalam interpretasi al-Qur'an, serta menentang 

pandangan ulama konservatif yang mengklaim monopoli atas 

penafsiran al-Qur'an. Namun, Abou El Fadl berpendapat bahwa 

gagasan ‘Islam Eropa’ yang dirasa berbeda dari Islam secara 

umum adalah pendapat yang berlebihan, karena sumber klasik 

Islam memberikan dasar yang cukup dan juga fleksibilitas 

dalam menanggapi isu-isu Muslim yang tinggal di Barat sebagai 

minoritas, tanpa harus merumuskan kembali Islam secara utuh. 

Dia menyatakan, ‘teologi dan hukum Islam memberikan apapun 

yang dibutuhkan seorang Muslim untuk hidup dalam lingkungan 

sekuler, pluralis, dan demokratis: toleransi, penerimaan 

pluralisme, penolakan terhadap kekerasan, partisipasi dalam 

kehidupan publik (seperti yang selama ini dipandu oleh prinsip-

prinsip moral), cinta, dan kasih’.45 

44 Abou El Fadl, Speaking in God’s Name, h. 3.

45 Jung-Mounib, ‘Khaled Abou El Fadl – God Does Not Have an Equal Partner’.

336

Dalam perdebatan mengenai bagaimana studi al-Qur'an 

dapat dikembangkan, Abou El Fadl menentang adopsi besar-

besaran terhadap pendekatan kesusastraan atau dekonstruktif. 

Dia justru menyarankan sarjana dan mufassir al-Qur'an untuk 

menggunakan pendekatan yang berakar pada tradisi Islam dan 

pengalaman orang Muslim. Dia merekomendasikan bahwa 

para cendekiawan Muslim harus memulai penafsiran dengan 

pengalaman kaum Muslim dan mempertimbangkan bagaimana 

wacana ini  memungkinkan untuk dimanfaatkan.46

Abou El Fadl melihat ide dan metodologi postmodernisme 

dan poststrukturalisme sebagai sesuatu yang datang dari konteks 

sosial tertentu dan pengalaman sejarah Barat, oleh karenanya 

tidak selalu relevan untuk diterapkan dalam pemikiran Islam 

kontemporer. Meskipun kritisisme filsafat ini menimbulkan 

‘ketertarikan’, ‘sangat penting untuk tidak menempatkan sebuah 

epistemologi bagi kaum Muslim yang mungkin tidak seutuhnya 

mencerminkan pengalaman Muslim itu sendiri’.47

Meskipun Abou El Fadl menolak relevansi postmodernisme 

dengan keilmuan Islam, kritiknya yang kuat terhadap kelompok-

kelompok puritan yang memaksakan ortodoksi kaku terhadap 

interpretasi al-Qur'an, menghubungkan dirinya dengan gerakan-

gerakan lain yang telah berkembang yang berhubungan dengan 

postmodernisme. Namun tidak seperti Arkoun dan Shahrour, 

Abou El Fadl mengkritik ulama konservatif secara tegas dengan 

mendasarkan pada metodologi hukum Islam. 

Ringkasan

Beberapa poin penting yang telah kita bahas dalam bab ini 

meliputi: 

Tafsir tekstualis umumnya menggunakan sumber linguistik 

tekstual sebagai analisisnya, dan mendasarkan pada asumsi 

bahwa makna al-Qur'an tidak akan berubah dari waktu ke 

waktu. 

Penafsiran kontekstualis menggunakan berbagai teknik yang 

berbeda, dan umumnya menggunakan dasar asumsi bahwa 

makna al-Qur'an sebagian besar tidak bias dipastikan.

Pendekatan tekstualis masih menjadi kerangka umum 

sarjana al-Qur'an hingga saat ini. 

Banyak sarjana Muslim modern, termasuk yang disebutkan 

di atas, mulai lebih memperhatikan pentingnya konteks 

dalam memahami al Qur’an.

Rekomendasi Bacaan 

Mohammed Arkoun, ‘Revelation’, ‘Exegesis’, dalam Rethinking 

Islam: Common Questions, Uncommon Answers, diterjemahkan dan 

diedit oleh Robert D. Lee, Boulder: Westview Press, 1994.

Khususnya dalam dua bab buku ini , Arkoun mengkritik 

pendekatan tradisional al-Qur'an dan interpretasi 

terhadapnya. Dia mengusulkan untuk memikirkan kembali 

tradisi penafsiran dalam konteks perubahan warga  

modern. Topik lain dalam buku ini berkisar tentang 

‘Muhammad‘, ‘Hadis‘, ‘Wanita’, ‘Sufisme‘, ‘Otoritas’, ‘budaya 

Mediterania’, ‘Sekularisme’ dan ‘HAM’. 

Farid Esack, Qur’an, Liberalism and Pluralism, Oxford: 

Oneworld, 1997. 

Dalam buku ini Esack memberikan pandangan alternatif 

tentang al-Qur'an dalam kaitannya dengan konsep liberalisme 

dan pluralisme modern. Dia berpendapat bahwa al-Qur'an 

mengakui ide kebebasan, toleransi dan pluralisme.

338

Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an 

Intellectual Tradition, Chicago: Chicago University Press, 1982; 

‘Modern Developments’, ‘Legacy and Prospects’ and ‘Epilogue’, 

Islam, second edition, Chicago: University of Chicago Press, 2002, 

pages 212–265.

Dalam buku ini Rahman berpendapat bahwa ada kebutuhan 

mendesak untuk menafsirkan al-Qur'an kembali. Dengan 

kritis dia mengevaluasi tradisi keilmuan Islam dalam konteks 

sosio-historis dan berpendapat juga bahwa ada kebutuhan 

untuk mengakui adanya perbedaan antara petunjuk al-

Qur'an yang berbentuk prinsip-prinsip umum dan respon 

khusus terhadap situasi historis tertentu.

Suha Taji-Farouki (ed.), Modern Muslim Intellectuals and the 

Qur’an, Oxford: Oxford University Press, 2004. 

Dalam buku ini Taji-Farouki menyajikan karya antologi 

dari akademisi Muslim modern dan peran mereka dalam 

memikirkan kembali interpretasi dan aplikasi al-Qur'an. 

Secara bersamaan, artikel-artikel ini  membuka 

cakrawala yang luas bagi pembaca tentang tokoh-tokoh 

utama di era ini dan ide-ide mereka tentang pendekatan 

modern terhadap al-Qur'an.

Amina Wadud, Qur’an and Women: Rereading the Sacred Text 

from a Woman’s Perspective, New York: Oxford University Press, 

1999.

Dalam buku ini Wadud berpendapat bahwa ada kebutuhan 

mendesak untuk menggunakan pendekatan yang lebih 

feminis dalam menafsirkan teks al-Qur'an. Untuk mendukung 

argumen ini, dia menyoroti fakta bahwa mayoritas karya 

penafsiran tradisional ditulis oleh mereka yang berjenis 

kelamin laki-laki dan dalam ruang lingkup sosio-historis yang ologis’.32 Pemikiran Arkoun ‘juga 

terinspirasi oleh penelitiannya tentang intelektual Islam Persia 

dan ‘humanisme’ Miskawaih (d.421/1030) serta studi tentang 

humanisme Arab abad ke-10, yang juga menjadi subjek bahasan 

doktoralnya. Dia ‘terkesan dengan keterbukaan dan penerimaan 

Miskawaih dan ulama-ulama semasanya terhadap tradisi lain 

seperti Yunani dan Persia [tradisi]’.33

Pada umumnya Arkoun tidak dihargai oleh para sarjana 

Muslim tradisionalis, karena pendekatan sekulernya terhadap 

analisis al-Qur'an dan pengaruh dari Derrida, Baudrillard dan 

Foucault yang nampak dalam karyanya.34 Dia juga dikritik oleh 

beberapa kelompok karena ‘ekspresi kebahaasaan yang kompleks 

dan sulit dipahami, terminologi yang melimpah [yang ada dalam 

tulisannya] dan kurang sistematis’.35 

Elemen kunci dari pemikiran Arkoun adalah menyangsikan 

ortodoksi Islam, dan menurutnya ortodoksi itu ‘setara dengan 

ideologi’, dengan demikian tunduk pada ‘proses sejarah’.36 

Ortodoks melibatkan ‘kultur terdidik’, yang terkespresikan dalam 

‘tulisan’ dan yang diungkapkan melalui ‘negara’. ‘Ortodoksi’ ini 

ditentang oleh ‘heterodoksi’, yang membuka budaya populer 

(dan populis), yang lebih menggunakan (yang bebas, tidak 

menstabilkan) ‘oralitas’ dan hadir dalam (atau menciptakan) 

segmen tertentu dalam warga .37

Singkatnya, Ursula Günther berpendapat bahwa pemikiran 

Arkoun menampilkan kualitas rimpang (akar yang bercabang-


cabang seperti jari), sebuah ide yang terkait erat dengan pemikiran 

postmodernis. Günther menyatakan,

[Rimpang] melambangkan pergeseran paradigma yang telah 

terjadi di berbagai tingkat kehidupan modern. Labang ini  

merupakan singkatan dari integritas, keutuhan dan pluralitas 

yang berbeda dengan dualisme, dekomposisi dan partikularisme. 

Dalam Pendekatan hal ini Arkoun membawa karakteristik 

postmodernisme.

Khaled Abou El Fadl lahir di Mesir pada tahun 1963. Dia 

adalah seorang sarjana terkemuka dalam bidang hukum Islam 

dan seorang ahli hukum muslim yang dilatih secara tradisional. 

Abou El Fadl adalah seorang profesor di Universitas California. 

Meskipun dipandang oleh publik luas sebagai sarjana yang 

disegani, serangannya terhadap beberapa gerakan dalam 

Islam, khususnya Wahhabisme, telah menyebabkan dirinya 

menerima banyak ancaman pembunuhan. Di antaranya, 

dia mengkritik Wahhabisme atas pembatasan kaku yang 

dibebankan pada perempuan. Dia berpendapat bahwa ‘ideologi’ 

seperti Wahhabisme, yang mewajibkan wanita mentaati laki-

laki ‘dengan buta’, secara efektif mengubah laki-laki menjadi 

setengah dewa.39 Dia juga telah menentang sikap umum para 

ulama tradisionalis yang mewajibkan memakai kerudung (jilbab) 

bagi perempuan, dengan dasar bahwa perempuan tidak secara 

eksplisit diperintahkan oleh al-Qur'an untuk melakukannya. 

Abou El Fadl juga berbicara lantang untuk menentang semua 

budaya dan praktik yang membuat wanita menduduki posisi 

bawahan dalam struktur warga . Baginya praktek-praktek 

ini  adalah ‘penghinaan moral’ dan menyerang inti tentang 

bagaimana sejatinya seorang Muslim.

Salah satu karya besar Abou El Fadl adalah Speaking in God’s 

Name: Islamic Law, Authority and Women.41 Karya ini berusaha 

membicarakan tentang peran pembaca otoritatif teks-teks agama, 

menantang cara proklamasi diri sebagai ‘Ulama’ al-Qur'an, terutama 

di zaman modern, dan mengasumsikan peran juru bicara yang 

mengatasnamakan Tuhan. Dia berpendapat dalam banyak kasus, 

‘ulama’ seakan menggantikan otoritas Tuhan, yang dia gambarkan 

sebagai ‘tindakan kelaliman’.42 Pendahuluan dalam buku Abou 

El Fadl ini mengacu pada karya Umberto Eco, antara lain dalam 

mengajukan pertanyaan tentang apakah ayat-ayat al-Qur'an 

membutuhkan pembacaan secara ‘terbuka’ atau ‘tertutup’.43 Abou El 

Fadl menyoroti pentingnya fokus pada interaksi antara Author al-

Qur'an (Tuhan) dan pembaca, dan tanggung jawab pembaca yang 

memiliki  otoritas, karena posisi khususnya sebagai penafsir 

teks, yang bertindak sebagai ‘agen’ yang setia terhadap ‘otoritas 

tertinggi’ (Tuhan), dan menahan diri dari pembiasan subjektif 

kecuali jika hal ini  dinyatakan dengan jelas. Dalam upaya 

memperjelas posisi pembaca dalam memahami al-Qur'an, Abou 

El Fadl mengusulkan pertanyaan sebagai berikut: 

Sejauh mana kepekaan dan subjektivitas saya menentukan 

bangunan makna teks? Bolehkah atau haruskah saya 


menggunakan teks untuk keperluanku, dan mengizinkan 

kebutuhanku untuk menjadi penentu dalam membangun teks? 

Jika karakter pembaca sangat determinatif, lalu bagaimana 

dengan maksud pengarang? Haruskah seorang pembaca fokus 

hanya pada maksud pengarang dan mempertimbangkan 

maksud pengarang dalam menentukan arti teks? Bukankah 

ini lebih menghormati pengarang, terlebih jika pengarang itu 

bersifat ilahi? Tapi bagaimana mungkin maksud pengarang 

bisa dipastikan jika motif pengarang tidak dapat diakses?44

Pembingkaian perdebatan dengan cara seperti ini -yang 

menyoroti posisi subjektif pembaca- jelas merupakan serangan 

terhadap orang-orang ‘yang berbicara atas nama Tuhan’ dengan 

mengklaim asumsi keaslian dan kesempurnaan pendekatan 

‘literalis’ atau ‘Tekstualis’.

Dengan nada yang sama dengan Arkoun dan Wadud, Abou 

El Fadl juga mempromosikan gagasan tentang banyaknya 

kemungkinan dalam interpretasi al-Qur'an, serta menentang 

pandangan ulama konservatif yang mengklaim monopoli atas 

penafsiran al-Qur'an. Namun, Abou El Fadl berpendapat bahwa 

gagasan ‘Islam Eropa’ yang dirasa berbeda dari Islam secara 

umum adalah pendapat yang berlebihan, karena sumber klasik 

Islam memberikan dasar yang cukup dan juga fleksibilitas 

dalam menanggapi isu-isu Muslim yang tinggal di Barat sebagai 

minoritas, tanpa harus merumuskan kembali Islam secara utuh. 

Dia menyatakan, ‘teologi dan hukum Islam memberikan apapun 

yang dibutuhkan seorang Muslim untuk hidup dalam lingkungan 

sekuler, pluralis, dan demokratis: toleransi, penerimaan 

pluralisme, penolakan terhadap kekerasan, partisipasi dalam 

kehidupan publik (seperti yang selama ini dipandu oleh prinsip-

prinsip moral), cinta, dan kasih’.45 

44 Abou El Fadl, Speaking in God’s Name, h. 3.

45 Jung-Mounib, ‘Khaled Abou El Fadl – God Does Not Have an Equal Partner’.

336

Dalam perdebatan mengenai bagaimana studi al-Qur'an 

dapat dikembangkan, Abou El Fadl menentang adopsi besar-

besaran terhadap pendekatan kesusastraan atau dekonstruktif. 

Dia justru menyarankan sarjana dan mufassir al-Qur'an untuk 

menggunakan pendekatan yang berakar pada tradisi Islam dan 

pengalaman orang Muslim. Dia merekomendasikan bahwa 

para cendekiawan Muslim harus memulai penafsiran dengan 

pengalaman kaum Muslim dan mempertimbangkan bagaimana 

wacana ini  memungkinkan untuk dimanfaatkan.46

Abou El Fadl melihat ide dan metodologi postmodernisme 

dan poststrukturalisme sebagai sesuatu yang datang dari konteks 

sosial tertentu dan pengalaman sejarah Barat, oleh karenanya 

tidak selalu relevan untuk diterapkan dalam pemikiran Islam 

kontemporer. Meskipun kritisisme filsafat ini menimbulkan 

‘ketertarikan’, ‘sangat penting untuk tidak menempatkan sebuah 

epistemologi bagi kaum Muslim yang mungkin tidak seutuhnya 

mencerminkan pengalaman Muslim itu sendiri’.47

Meskipun Abou El Fadl menolak relevansi postmodernisme 

dengan keilmuan Islam, kritiknya yang kuat terhadap kelompok-

kelompok puritan yang memaksakan ortodoksi kaku terhadap 

interpretasi al-Qur'an, menghubungkan dirinya dengan gerakan-

gerakan lain yang telah berkembang yang berhubungan dengan 

postmodernisme. Namun tidak seperti Arkoun dan Shahrour, 

Abou El Fadl mengkritik ulama konservatif secara tegas dengan 

mendasarkan pada metodologi hukum Islam. 

Ringkasan

Beberapa poin penting yang telah kita bahas dalam bab ini 

meliputi: 

Tafsir tekstualis umumnya menggunakan sumber linguistik 

tekstual sebagai analisisnya, dan mendasarkan pada asumsi 

bahwa makna al-Qur'an tidak akan berubah dari waktu ke 

waktu. 

Penafsiran kontekstualis menggunakan berbagai teknik yang 

berbeda, dan umumnya menggunakan dasar asumsi bahwa 

makna al-Qur'an sebagian besar tidak bias dipastikan.

Pendekatan tekstualis masih menjadi kerangka umum 

sarjana al-Qur'an hingga saat ini. 

Banyak sarjana Muslim modern, termasuk yang disebutkan 

di atas, mulai lebih memperhatikan pentingnya konteks 

dalam memahami al Qur’an.

Rekomendasi Bacaan 

Mohammed Arkoun, ‘Revelation’, ‘Exegesis’, dalam Rethinking 

Islam: Common Questions, Uncommon Answers, diterjemahkan dan 

diedit oleh Robert D. Lee, Boulder: Westview Press, 1994.

Khususnya dalam dua bab buku ini , Arkoun mengkritik 

pendekatan tradisional al-Qur'an dan interpretasi 

terhadapnya. Dia mengusulkan untuk memikirkan kembali 

tradisi penafsiran dalam konteks perubahan warga  

modern. Topik lain dalam buku ini berkisar tentang 

‘Muhammad‘, ‘Hadis‘, ‘Wanita’, ‘Sufisme‘, ‘Otoritas’, ‘budaya 

Mediterania’, ‘Sekularisme’ dan ‘HAM’. 

Farid Esack, Qur’an, Liberalism and Pluralism, Oxford: 

Oneworld, 1997. 

Dalam buku ini Esack memberikan pandangan alternatif 

tentang al-Qur'an dalam kaitannya dengan konsep liberalisme 

dan pluralisme modern. Dia berpendapat bahwa al-Qur'an 

mengakui ide kebebasan, toleransi dan pluralisme.

338

Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an 

Intellectual Tradition, Chicago: Chicago University Press, 1982; 

‘Modern Developments’, ‘Legacy and Prospects’ and ‘Epilogue’, 

Islam, second edition, Chicago: University of Chicago Press, 2002, 

pages 212–265.

Dalam buku ini Rahman berpendapat bahwa ada kebutuhan 

mendesak untuk menafsirkan al-Qur'an kembali. Dengan 

kritis dia mengevaluasi tradisi keilmuan Islam dalam konteks 

sosio-historis dan berpendapat juga bahwa ada kebutuhan 

untuk mengakui adanya perbedaan antara petunjuk al-

Qur'an yang berbentuk prinsip-prinsip umum dan respon 

khusus terhadap situasi historis tertentu.

Suha Taji-Farouki (ed.), Modern Muslim Intellectuals and the 

Qur’an, Oxford: Oxford University Press, 2004. 

Dalam buku ini Taji-Farouki menyajikan karya antologi 

dari akademisi Muslim modern dan peran mereka dalam 

memikirkan kembali interpretasi dan aplikasi al-Qur'an. 

Secara bersamaan, artikel-artikel ini  membuka 

cakrawala yang luas bagi pembaca tentang tokoh-tokoh 

utama di era ini dan ide-ide mereka tentang pendekatan 

modern terhadap al-Qur'an.

Amina Wadud, Qur’an and Women: Rereading the Sacred Text 

from a Woman’s Perspective, New York: Oxford University Press, 

1999.

Dalam buku ini Wadud berpendapat bahwa ada kebutuhan 

mendesak untuk menggunakan pendekatan yang lebih 

feminis dalam menafsirkan teks al-Qur'an. Untuk mendukung 

argumen ini, dia menyoroti fakta bahwa mayoritas karya 

penafsiran tradisional ditulis oleh mereka yang berjenis 

kelamin laki-laki dan dalam ruang lingkup sosio-historis yang 

juga didominasi oleh laki-laki. Mengingat bahwa al-Qur'an 

339

merupakan sebuah petunjuk bagi laki-laki dan perempuan, 

Wadud mendukung perlunya membaca dan menafsirkan al-

Qur'an dari perspektif perempuan.




juga didominasi oleh laki-laki. Mengingat bahwa al-Qur'an 

339

merupakan sebuah petunjuk bagi laki-laki dan perempuan, 

Wadud mendukung perlunya membaca dan menafsirkan al-

Qur'an dari perspektif perempuan.