sejarah al-quran 4
h 56
24 ‘Abasa 80 al-Qãri‘ah 101 al-Hãqqah 69
25 al-Qadr 97 al-Zalzalah 99 al-Mursalãt 77
26 al-Syams 91 al-Infithãr 82 al-Nabã 78
27 al-Burûj 85 al-Takwîr 81 al-Qiyãmah 75
28 al-Balad 90 al-Najm 53. ayat 23, 26-32 al-Rahmãn 55
belakangan
29 al-Tîn 95 al-Insyiqãq 84. ayat 25 Mk. Akhir al-Qadr 97
30 al-Qãri‘ah 101 al-‘Ãdiyãt 100 al-Najm 53
31 al-Qiyãmah 75 al-Nãzi‘ãt 79. ayat 27-46 belakangan al-Takãtsur 102
32 al-Humazah 104 al-Mursalãt 77 al-‘Alaq 96: 6-19
33 al-Mursalãt 77 al-Nabã 78 ayat 37 ff. Mk.Tengah al-Ma‘ãrij 70
34 al-Thãriq 86 al-Gãsyiyah 88 al-Muzzammil 73
35 al-Ma‘ãrij 70 al-Fajr 89 al-Insãn 76
36 al-Nabã 78 al-Qiyãmah 75. ayat16-19? al-Muthaffifîn 83
37 al-Nãzi‘ãt 79 al-Muthaffifîn 83 al-Muddatstsir 74:7-55
38 al-Infithãr 82 al-Hãqqah 69 al-Lahab 111
39 al-Insyiqãq 84 al-Dzãriyãt 51 ayat 24ff. belakangan al-Kawtsar 108
40 al-Wãqi‘ah 56 al-Thûr 52 ayat 21,29ff. belakangan al-Humazah 104
41 al-Gãsyiyah 88 al-Wãqi‘ah 56 ayat 75ff. belakangan al-Balad 90
42 al-Thûr 52 al-Ma‘ãrij 70 al-Fîl 105
43 al-Hãqqah 69 al-Rahmãn 55 ayat 8-9 belakangan al-Fajr 89
44 al-Muthaffifîn 83 al-Ikhlãsh 112 al-Ikhlãsh 112
45 al-Zalzalah 99 al-Kãfirûn 109 al-Kãfirûn 109
46 al-Falaq 113 al-Fãtihah 1
47 al-Nãs 114 al-Falaq 113
48 al-Fãtihah 1 al-Nãs 114
Keterangan: * Nama surat mengikuti edisi al-Quran Indonesia, demikian juga dengan nomor surat yang
dicetak tebal. ayat = ayat/ayat-ayat. Mk = Makkiyah. Md = Madaniyah.
Surat-surat periode kedua atau periode Makkah tengah lebih
panjang dan lebih berbentuk prosa, namun tetap dengan kualitas
puitis yang indah. Gayanya membentuk suatu transisi antara surat-
surat periode Makkah pertama dan ketiga. Tanda-tanda
kemahakuasaan Tuhan dalam alam dan sifat-sifat ilahi seperti
rahmah ditekankan, sementara Tuhan sendiri sering disebut sebagai
al-rahmãn. Deskripsi yang hidup tentang surga dan neraka
diungkapkan, serta dalam periode inilah kisah-kisah umat nabi
sebelum Muhammad yang diazab Tuhan – atau lebih dikenal di
kalangan akademisi Barat sebagai “kisah-kisah pengazaban” –
diintroduksi. Surat-surat periode kedua, menurut ketiga versi
kronologi Barat itu, yaitu sebagai berikut:
Susunan Kronologis Surat Periode Makkah Tengah
Versi Weil, Noeldeke-Schwally dan Blachère
Urut Versi Weil Versi Noeldeke-Schwally Versi Blachère
Kronologis Nama & No. Surat* Nama, No. Surat* & Keterangan Nama & No. Surat*
1 al-Fãtihah 1 al-Qamar 54 al-Dzãriyãt 51
2 al-Dzãriyãt 51 al-Shaffãt 37 al-Qamar 54
3 Yã Sîn 36 Nûh 71 al-Qalam 68
4 Qãf 50 al-Insãn 76 al-Shaffãt 37
5 al-Qamar 54 al-Dukhãn 44 Nûh 71
6 al-Dukhãn 44 Qãf 50 al-Dukhãn 44
7 Maryam 19 Thã Hã 20 Qãf 50
8 Thã Hã 20 al-Syu‘arã’ 26 Thã Hã 20
9 al-Anbiyã’ 21 al-Hijr 15 al-Syu‘arã’ 26
10 al-Mu’minûn 23 Maryam 19 ayat 35-40 belakangan al-Hijr 15
11 al-Furqãn 25 Shãd 38 Maryam 19
12 al-Syu‘arã’ 26 Yã Sîn 36 Shãd 38
13 al-Mulk 67 al-Zukhruf 43 Yã Sîn 36
14 al-Shaffãt 37 Jinn 72 al-Zukhruf 43
15 Shãd 38 al-Mulk 67 Jinn 72
16 al-Zukhruf 43 al-Mu’minûn 23 al-Mulk 67
17 Nûh 71 al-Anbiyã’ 21 al-Mu’minûn 23
18 al-Rahmân 55 al-Furqãn 25 ayat 64ff.? al-Anbiyã’ 21
19 al-Hijr 15 al-Isrã’ 17 al-Furqãn 25
20 al-Insãn 76 al-Naml 27 al-Naml 27
21 al-Kahfi 18 al-Kahfi 18
Keterangan: * Nama surat mengikuti edisi al-Quran Indonesia, demikian juga dengan nomor surat yang
dicetak tebal. ayat = ayat/ayat-ayat. Mk = Makkiyah. Md = Madaniyah.
Surat-surat periode Makkah ketiga atau Makkah akhir lebih
panjang dan lebih berbentuk prosa. Weil bahkan beranggapan
bahwa “kekuatan puitis” yang menjadi ciri surat-surat dua periode
sebelumnya telah menghilang dalam periode ini. Sementara
Noeldeke-Schwally mengemukakan bahwa penggunaan al-rahmãn
sebagai nama diri Tuhan berakhir pada periode ketiga, namun
karakteristik-karakteristik periode kedua lainnya semakin
mengental. Kisah-kisah kenabian dan pengazaban umat terdahulu
dituturkan kembali secara lebih rinci. Susunan kronologis surat-
surat al-Quran periode Makkah ketiga ini, menurut ketiga sistem
penanggalan di atas, yaitu sebagai berikut:
Susunan Kronologis Surat Periode Makkah Akhir
Versi Weil, Noeldeke-Schwally dan Blachère
Urut Versi Weil Versi Noeldeke-Schwally Versi Blachère
Kronologis Nama & No. Surat* Nama, No. Surat* & Keterangan Nama & No. Surat*
1 al-A‘rãf 7 al-Sajdah 32 al-Sajdah 32
2 al-Jinn 72 Fushshilat 41 Fushshilat 41
3 Fãthir 35 al-Jãtsiyah 45 al-Jãtsiyah 45
4 al-Naml 27 al-Nahl 16. ayat 41f., 110-124 Md. al-Isrã’ 17
5 al-Qashash 28 al-Rûm 30 al-Nahl 16
6 al-Isrã’ 17 Hûd 11 al-Rûm 30
7 Yûnus 10 Ibrãhîm 14 ayat 38 ff. Md. Hûd 11
8 Hûd 11 Yûsuf 12 Ibrãhîm 14
9 Yûsuf 12 al-Mu’min 40 ayat 57 ff.? Yûsuf 12
10 al-An‘ãm 6 al-Qashash 28 al-Mu’min 40
11 Luqmãn 31 al-Zumar 39 al-Qashash 28
12 Saba’ 34 al-‘Ankabût ayat1-11, 46 Md., 69 ? al-Zumar 39
13 al-Zumar 39 Luqmãn 31 ayat 14f. Md. 12f,16-19 al-‘Ankabût 29
belakang-an 27-29Md.
14 al-Mu’min 40 al-Syûrã 42 Luqmãn 31
15 al-Sajdah 32 Yûnus 10 al-Syûrã 42
16 al-Syûrã 42 Saba’ 34 Yûnus 10
17 al-Jãtsiyah 45 Fãthir 35 Saba’ 34
18 al-Ahqãf 46 al-A‘rãf 7 ayat157f.Md. Fãthir 35
19 al-Kahfi 18 al-Ahqãf 46 al-A‘rãf 7
20 al-Nahl 16 al-An‘ãm 6 al-Ahqãf 46
21 Ibrãhîm 14 al-Ra‘d 13 al-An‘ãm 6
22 Fushshilat 41 al-Ra‘d 13
23 al-Rûm 30
24 al-‘Ankabût 29
25 al-Ra‘d 13
26 al-Tagãbun 64
Keterangan: * Nama surat mengikuti edisi al-Quran Indonesia, demikian juga dengan nomor surat yang
dicetak tebal. ayat = ayat/ayat-ayat. Mk = Makkiyah. Md = Madaniyah.
Surat-surat periode keempat (Madaniyah) tidak memper-
lihatkan banyak perubahan gaya dari periode ketiga dibandingkan
perubahan pokok bahasan. Perubahan ini terjadi dengan semakin
meningkatnya kekuasaan politik Nabi dan perkembangan umum
peristiwa-peristiwa di Madinah sesudah hijrah. Pengakuan terhadap
Nabi sebagai pemimpin warga , menyebabkan wahyu-wahyu
berisi hukum dan aturan kewarga an. Tema-tema dan istilah-
istilah kunci baru turut membedakan surat-surat periode ini dari
periode sebelumnya. Susunan kronologis surat-surat al-Quran dari
periode Madinah, menurut ketiga versi penanggalan di atas, yaitu
sebagai berikut:
Susunan Kronologis Surat Periode Madaniyah
Versi Weil, Noeldeke-Schwally dan Blachère
Urut Versi Weil Versi Noeldeke-Schwally Versi Blachère
Kronologis Nama & No. Surat* Nama, No. Surat* & Keterangan Nama & No. Surat*
1 al-Baqarah 2 al-Baqarah 2 al-Baqarah 2
2 al-Bayyinah 98 al-Bayyinah 98 al-Bayyinah 98
3 al-Jumu‘ah 62 al-Tagãbun 64 al-Tagãbun 64
4 al-Thalaq 65 al-Jumu‘ah 62 al-Jumu‘ah 62
5 al-Hajj 22 al-Anfãl 8 al-Anfãl 8
6 al-Nisã’ 4 Muhammad 47 Muhammad 47
7 al-Anfãl 8 Ãli ‘Imrãn 3 Ãli ‘Imrãn 3
8 Muhammad 47 al-Shaff 61 al-Shaff 61
9 al-Hadîd 57 al-Hadîd 57 al-Hadîd 57
10 Ãli ‘Imrãn 3 al-Nisã’ 4 al-Nisã’ 4
11 al-Hasyr 59 al-Thalaq 65 al-Thalaq 65
12 al-Nûr 24 al-Hasyr 59 al-Hasyr 59
13 al-Munãfiqûn 63 al-Ahzãb 33 al-Ahzãb 33
14 al-Ahzãb 33 al-Munãfiqûn 63 al-Munãfiqûn 63
15 al-Fath 48 al-Nûr 24 al-Nûr 24
16 al-Nashr 110 al-Mujãdilah 58 al-Mujãdilah 58
17 al-Shaff 61 al-Hajj 22 al-Hajj 22
18 al-Mumtahanah 60 al-Fath 48 al-Fath 48
19 al-Mujãdilah 58 al-Tahrîm 66 al-Tahrîm 66
20 al-Hujurãt 49 al-Mumtahanah 60 al-Mumtahanah 60
21 al-Tahrîm 66 al-Nashr 110 al-Nashr 110
22 al-Tawbah 9 al-Hujurãt 49 al-Hujurãt 49
23 al-Mã’idah 5 al-Tawbah 9 al-Tawbah 9
24 al-Mã’idah 5 al-Mã’idah 5
Keterangan: * Nama surat mengikuti edisi al-Quran Indonesia, demikian juga dengan nomor surat yang
dicetak tebal. ayat = ayat/ayat-ayat. Mk = Makkiyah. Md = Madaniyah
Ketiga sistem penanggalan empat periode Barat di atas terlihat
cuma hanya merupakan varian yang agak terelaborasi dari sistem
penanggalan Makkiyah-Madaniyah kesarjanaan Islam. Ketiganya
sangat bergantung pada penanggalan tradisional dan hal-hal yang
bertalian dengan bentuk serta gaya yang dikembangkan sarjana
Muslim. Dalam periode pertama Weil, misalnya, seluruh susunan
kronologis 34 surat pertama – dengan beberapa kecil pengecualian
– hampir identik dengan rangkaian kronologi Ibn Abbas,34 yang
kemudian dikembangkan para sarjana Muslim modern ke dalam
sistem penanggalan Mesir. Weil menutup periode Makkah awal
dengan beberapa surat yang memiliki gaya puitis senada, namun
surat-surat ini – misalnya surat 55; 70; 78; 79; 82; 83; 84; dll. –
dipandang para sarjana Muslim berasal dari masa yang belakangan.
Noeldeke-Schwally kemudian menerima seluruh surat periode
pertama yang dikemukakan Weil – dengan susunan agak berbeda
– dan menambahkan ke dalamnya 3 surat lagi (surat 1; 51; 55).
Sementara Blachère menerima seluruh gagasan Noeldeke-Schwally,
kecuali 2 surat (surat 51 dan 68), serta menambahkan satu surat
lagi (surat 76) ke dalam periode ini.
Dalam periode kedua, Noeldeke-Schwally menerima beberapa
18 surat dari kronologi Weil – namun ditempatkan dalam urutan
kronologis berbeda – dan menambahkan 3 surat lain (17; 27; 18)
ke dalam sistem penanggalan mereka. Sedangkan Blachère
menerima sebagian besar rangkaian kronologis surat-surat periode
ini yang dikemukakan Noeldeke-Schwally, kecuali surat 51 yang
ditempatkan di awal susunan kronologisnya, surat 68 ditempatkan
sebelum surat 37, dan surat 17 yang ditempatkan pada periode
ketiga. Sebagaimana dengan kasus periode pertama, periode kedua
dari ketiga sistem penanggalan ini pun mencantumkan beberapa
surat – misalnya surat 67; 76; dll. – yang ditempatkan para sarjana
Muslim pada masa pewahyuan belakangan.
Pada periode Makkah akhir, Noeldeke-Schwally menerima
hampir seluruh surat yang ditempatkan Weil dalam periode ini –
dengan sekuensi kronologis agak berbeda – kecuali 5 surat (surat
72; 27; 17; 14; dan 64). Susunan kronologis Noeldeke-Schwally
kemudian diterima secara sepenuhnya oleh Blachère dengan
menyisipkan surat 17 di antara surat 45 dan surat 16 dalam
rangkaian kronologis ini . namun , beberapa surat yang
ditempatkan oleh ketiga sarjana Barat itu ke dalam surat-surat
periode ketiga ini lazimnya dipandang para sarjana Muslim turun
lebih awal – misalnya surat 7; 35; 28; dll. – atau bahkan lebih
belakangan lagi – misalnya surat 13.
Sementara dalam periode keempat atau Madaniyah, beberapa
besar surat yang dipandang para sarjana Muslim diwahyukan di
124 / TAUFIK ADNAN AMAL
masa ini disepakati ketiga sistem penanggalan Barat – sekalipun
dalam urutan kronologis yang cukup berbeda – kecuali beberapa
kecil surat (misalnya surat 99; 13; 55; dll.). Seluruh surat Madaniyah
yang diajukan Weil – dengan tambahan satu surat (surat 64) –
terlihat diterima Noeldeke-Schwally. namun , persamaan sekuensi
surat di antara keduanya cuma hanya tampak pada permulaan dan
penghujung kronologi, atau pada dua surat pertama dan dua surat
terakhir. Aransemen kronologis surat-surat Madaniyah versi
Noeldeke-Schwally ini kemudian diterima secara sepenuhnya –
tanpa kecuali – oleh Blachère.
Perbedaan yang terlihat dalam sistem-sistem penanggalan di
atas pada dasarnya, dan terutama sekali, menyangkut titik-titik
peralihan periodisasi. Demikian pula, beberapa bahan tradisional
menyangkut surat-surat tertentu al-Quran telah diterima oleh sistem
penanggalan empat periode Barat sebagai kebenaran historis. namun ,
bahan-bahan tradisional lainnya, khususnya yang menyangkut
periode Makkiyah, dipandang sebagai meragukan. Semetara analisis
sastera terhadap kandungan surat-surat al-Quran untuk menetapkan
penanggalan ayat-ayat di dalam suatu surat telah diaplikasikan
secara luas dalam sistem penanggalan empat periode. Itulah
sebabnya, timbul perbedaan yang cukup substantif antara sistem
penanggalan tradisional Islam dan sistem penanggalan empat
periode dalam susunan kronologis surat-surat. Sekalipun demikian,
sistem penanggalan empat periode, seperti telah disinggung, telah
menerima asumsi-asumsi dasar sistem penanggalan al-Quran
kesarjanaan Muslim bahwa surat-surat yang ada sekarang merupa-
kan unit-unit wahyu orisinal, dan bahwa yaitu memungkinkan
untuk menetapkan rangkaian kronologisnya berpijak pada bahan-
bahan tradisional. Namun, seperti telah ditunjukkan, di sinilah
letak kelemahan mendasar dari berbagai sistem penanggalan yang
menganut asumsi-asumsi ini . Jadi, pada kesimpulan akhir,
sistem penanggalan empat periode ini dapat disebut sebagai versi
Barat dari sistem penanggalan kesarjanaan Islam.
Untuk masing-masing rancangan kronologis ketiga sistem
penanggalan empat periode di atas, selain berbagai butir kelemahan
yang telah diungkapkan, dapat dikemukakan penilaian-penilaian
lanjutan lainnya. Kelemahan utama aransemen yang diajukan Weil
terletak pada asumsinya tentang gaya al-Quran, yakni gaya ini
merupakan suatu gerak maju yang ajeg kepada surat-surat atau
ayat-ayat yang lebih panjang. Memang benar bahwa terjadi
perubahan dari tahun ke tahun, namun hal ini bukan merupakan
alasan yang absah untuk menerima asumsi ini . Sebab gaya al-
Quran dari masa yang sama mungkin saja beragam selaras dengan
tujuan-tujuannya, seperti yang diungkapkan sendiri oleh kitab suci
ini (47:20 cf. 62:2).
Sementara Noeldeke-Schwally tampaknya keliru saat
membatasi penggunaan al-rahmãn sebagai nama diri Tuhan untuk
suatu masa singkat atau beberapa tahun saja. Nama diri ini,
menurut Noeldeke-Schwally, diperkenalkan pada periode Makkah
tengah, namun tidak ada suatu bukti pun yang menunjukkan bahwa
penggunaannya secara jelas telah dihentikan. Sebaliknya, al-rahmãn
terus digunakan pada ungkapan pembuka setiap surat – kecuali
surat 9 – dalam formula bismi-llãh al-rahmãn al-rahîm, dan orang-
orang Makkah yang mengajukan keberatan terhadap penggunaan-
nya sebagai pembuka rancangan awal Perjanjanjian Hudaibiyah
(628) tampaknya memandang al-rahmãn al-rahîm sebagai nama-
nama diri Tuhan.
Sehubungan dengan kronologi Blachère, dapat dikemukakan
bahwa ia terlalu terpengaruh oleh sistem penanggalan Noeldeke-
Schwally, yang pada gilirannya membuat asumsinya tentang bagian-
bagian individual al-Quran sebagai unit wahyu orisinal tidak begitu
mencuat dalam usaha penanggalannya. Sebagaimana terlihat, dalam
susunan aktual kronologi al-Qurannya, dua surat dibagi dua: ayat-
ayat permulaan surat 96 dan 74 muncul paling awal – selaras dengan
tradisi penanggalan Islam – sementara sisanya diletakkan pada
urutan yang belakangan. Demikian pula, saat suatu surat dicetak
keseluruhannya secara berturut-turut dalam terjemahannya, surat
itu tetap dibagi ke dalam bagian-bagian yang terpisah dan
penanggalan yang berbeda diberikan kepadanya. namun asumsi ini
tidak dikembangkan secara konsisten dalam rancangan kronologis
aktualnya, seperti dalam kasus pemilahan bagian-bagian individual
kedua surat pertama di atas berdasar urutan pewahyuannya.
Penanggalan tradisional Islam, hingga taraf tertentu, juga telah
mempengaruhi sarjana Barat lainnya, Sir William Muir, dalam
usaha penyusunan urutan kronologis pewahyuan al-Quran. Dalam
karyanya tentang biografi Nabi, Life of Mahomet (1858-1861), Muir
– bekerja secara terpisah dari Noeldeke – melampirkan suatu esei
mengenai sumber-sumber biografi Muhammad yang berisi gagasan
tentang kronologi al-Quran. Esei ini kemudian dielaborasinya
dalam, The Coran, Its Composition and Teaching, and the Testi-
mony it bears to the Holy Scriptures (1878). Dalam karya ini,
Muir mengajukan suatu aransemen kronologis surat-surat al-Quran
yang dikelompokkannya ke dalam enam periode – lima periode
Makkah dan satu periode Madinah.35 Sebagian besar sekuensi
kronologisnya senada dengan Noeldeke, namun beberapa surat al-
Quran yang membahas tentang keajaiban alam dan surat-surat
yang secara tradisional diterima sebagai wahyu-wahyu yang awal
ditempatkan pada masa sebelum pengangkatan Muhammad sebagai
Nabi.
Menurut Muir, periode pertama dalam komposisi al-Quran
terdiri dari 18 surat pendek, yang disebutnya sebagai surat-surat
rapsodi (“kegembiraan”). Surat-surat yang diberi penanggalan
sebelum pengangkatan Muhammad sebagai Nabi ini, dalam
sekuensi kronologis, yaitu sebagai berikut: al-‘Ashr (103); al-‘Ãdiyãt
(100); al-Zalzalah (99); al-Syams (91); Quraisy (106); al-Fãtihah (1);
al-Qãri‘ah (101); al-Tîn (95); al-Takãtsur (102); al-Humazah (104);
al-Infithãr (82); al-Layl (92); al-Fîl (105); al-Fajr (89); al-Balad (90);
al-Dluhã (93); Alam Nasyrah (94); dan al-Kawtsar (108).
Muir menegaskan bahwa kedelapan belas surat periode pertama
di atas, tidak satu pun di antaranya yang berbentuk pesan dari
Tuhan. Sedangkan periode kedua Muir cuma hanya memiliki empat surat,
yang kesemuanya membahas tentang pembukaan tugas kenabian
Muhammad. Keempat surat ini yaitu : al-‘Alaq (96); al-Ikhlãsh
(112); al-Muddatstsir (74); dan al-Lahab (111).
Selanjutnya, Muir menetapkan titik-titik peralihan untuk
periode-periode berikutnya, yang hampir identik dengan titik-titik
peralihan dalam sistem penanggalan empat periode. Titik peralihan
untuk periode kedua dan ketiga, dalam rancangan Muir, yaitu
permulaan tugas kenabian Muhammad (sekitar 613); untuk periode
ketiga dan keempat yaitu hijrah ke Abisinia (sekitar 615); untuk
periode keempat dan kelima yaitu tahun “duka cita” (sekitar
619); serta untuk periode kelima dan keenam yaitu peristiwa hijrah
(622).
Susunan selengkapnya surat-surat al-Quran untuk periode
ketiga dalam sistem penanggalan enam periode Muir, yang
memiliki 19 surat, yaitu sebagai berikut: al-A‘lã (87); al-Qadr
(97); al-Gãsyiyah (88); ‘Abasa (80); al-Takwîr (81); al-Insyiqãq
(84); al-Thãriq (86); al-Nashr (110); al-Burûj (85); al-Muthaffifîn
(83); al-Naba’ (78); al-Mursalãt (77); al-Insãn (76); al-Qiyãmah
(75); al-Ma‘ãrij (70); al-Kãfirûn (109); al-Mã‘ûn (107); al-Rahmãn
(55); dan al-Wãqi‘ah (56).
Sementara surat-surat periode keempat dalam rancangan
Muir, berisi 22 surat, yaitu : al-Mulk (67); al-Najm (53); al-
Sajdah (32); al-Zumar (39); al-Muzzammil (73); al-Nãzi‘ãt (79);
al-Qamar (54); Sabã’(34); Luqmãn (31); al-Hãqqah (69); al-Qalam
(68); Fushshilat (41); Nûh (71); al-Thûr (52); Qãf (50); al-Jãtsiyah
(45); al-Dukhãn (44); al-Shãffãt (37); al-Rûm (30); al-Syu‘arã’
(26); al-Hijr (15); dan al-Dzãriyãt (51).
Surat-surat periode kelima, beberapa 30 surat, yaitu sebagai
berikut: al-Ahqãf (46); al-Jinn (72); Fãthir (35); Yã Sîn (36);
Maryam (19); al-Kahfi (18); al-Naml (27); al-Syûrã (42); al-
Mu’min (40); Shãd(38); al-Furqãn (25); Thã Hã (20); al-Zukhruf
(43); Yûsuf (12); Hûd (11); Yûnus (10); Ibrãhîm (14); al-An‘ãm
(6); al-Tagãbun (64); al-Qashash (28); al-Mu’minûn (23); al-
Hajj (22); al-Anbiyã’ (21); al-Isrã’ (17); al-Nahl (16); al-Ra‘d (13);
al-‘Ankabût (29); al-A‘rãf (7); al-Falaq (113); dan al-Nãs (114).
Surat Madaniyah atau periode keenam terdiri dari 21 surat,
yaitu: al-Baqarah (2); Muhammad (47); al-Hadîd (57); al-Anfãl
(8); al-Mujãdilah (58); al-Thalaq (65); al-Bayyinãt (98); al-Jumu‘ah
(62); al-Hasyr (59); al-Nûr (24); al-Munãfiqûn (63); al-Fath (48);
al-Shaff (61); al-Nisã’ (4); Ãli ‘Imrãn (3); al-Mã’idah (5); al-Ahzãb
(33); al-Mumtahanah (60); al-Tahrîm (66); al-Hujurãt (49); dan
al-Tawbah (9).36
Sebagaimana terlihat, tiga periode pertama Muir berisi
sebagian besar surat yang dalam sistem penanggalan empat
periode – terutama Noeldeke-Schwally – dikelompokkan ke
dalam periode Makkah awal. Demikian pula, periode keempat
Muir berisi beberapa besar surat yang ada dalam periode
Makkah tengah, namun sebagian surat lainnya berasal dari
periode-periode sebelum atau sesudahnya. Periode kelima Muir
terlihat hampir-hampir menyerupai periode Makkah akhir dari
Noeldeke-Schwally. Jika dibandingkan dengan sistem
penanggalan tradisional Islam, maka aransemen Muir – khususnya
susunan surat-surat dari periode Makkiyah – memperlihatkan
perbedaan-perbedaan yang cukup substantif. Sebagian besar surat
yang dikelompokkannya ke dalam periode pertama merupakan
surat-surat yang diberi penanggalan belakangan oleh para sarjana
Muslim – bahkan juga dalam sistem penanggalan empat periode.
Sebagaimana para perancang sistem penanggalan empat periode,
Muir juga menerima pengaruh yang sangat desisif dari asumsi-
asumsi dasar penanggalan tradisional Islam, dan sebab itu
kritisisme yang diajukan terhadap sistem penanggalan tradisional
Islam ataupun varian Baratnya – yakni sistem penanggalan empat
periode – dapat diterapkan secara sepenuhnya terhadap sistem
penanggalan Muir.
usaha pelacakan jejak kronologis wahyu-wahyu yang diterima
Nabi dengan penekanan terhadap tahapan-tahapan perkembangan
tema-tema doktrinal dilakukan seorang sosialis penulis biografi
Nabi, Hubert Grimme, dalam jilid ke-2 karyanya, Mohammed
(1892-1895). Ia membedakan surat-surat Makkiyah ke dalam dua
kelompok utama, dengan suatu kelompok surat yang
menengahinya. Kelompok surat Makkiyah pertama
mempermaklumkan monoteisme, kebangkitan kembali, pengadilan
akhirat, serta kenikmatan dan azab ukhrawi; manusia bebas
beriman atau sebaliknya; Muhammad cuma hanya disebut sebagai
pengkhutbah, bukan nabi. Surat-surat dari kelompok Makkiyah
pertama ini, secara kronologis, yaitu : al-Lahab (111); al-Mã‘ûn
(107); Quraisy (106); al-Fîl (105); al-Humazah (104); al-‘Ashr (103:
ayat 3 belakangan); al-Takãtsur (102); al-Qãri‘ah (101); al-‘Ãdiyãt
(100); al-Zalzalah (99); al-Kawtsar (108); al-‘Ãlaq (96); al-Tîn (95);
Alam Nasyrah (94); al-Dluhã (93); al-Layl (92); al-Syams (91); al-
Balad (90); al-Fajr (89); al-Gãsyiyah (88); al-A‘lã (87: ayat 7
Madaniyah); al-Thãriq (86); al-Burûj (85: ayat 8-11 belakangan); al-
Insyiqãq (84: ayat 25 belakangan); al-Muthaffifîn (83); al-Infithãr
(82); al-Takwîr (81: ayat 29 belakangan); ‘Abasa (80); al-Nãzi‘ãt (79);
al-Naba’ (78: ayat 37f. belakangan); al-Mursalãt (77); al-Insãn (76);
al-Qiyãmah (75); al-Muddatstsir (74: ayat 56 belakangan); al-
Muzzammil (73: ayat 20 Madaniyah); al-Ma‘ãrij (70); al-Hãqqah
(69); al-Qalam (68); al-Falaq (113 ?); dan al-Nãs (114).
Sementara kelompok surat yang menengahi kelompok pertama
dan kelompok kedua berisi gambaran bahwa pengadilan akhirat
seakan-akan telah dekat, dan penuturan kisah-kisah tentang azab
yang menimpa orang-orang kafir. Surat-surat dari kelompok ini
yaitu : al-Wãqi‘ah (56); al-Rahmãn (55); al-Qamar (54); al-Najm
(53: ayat 20-22,26-32 belakangan); al-Thûr (52); al-Dzãriyãt (51);
Qãf (50); al-Hijr (15); al-Hajj (22: ayat 25- 41,77-78 Madaniyah);
dan Ibrãhîm (14: ayat 38-41 Madaniyah).
Kelompok surat Makkiyah kedua memperkenalkan rahmah
Tuhan, kepengasihan atau kepenyayangannya, dan dengannya
dinisbatkan nama diri al-rahmãn kepada Tuhan. Dalam kelompok
ini pewahyuan al-kitãb mulai menonjol, dan kisah-kisah penerima
wahyu sebelumnya diceritakan kembali. Susunan kronologis surat-
surat al-Quran kelompok kedua ini yaitu sebagai berikut: al-Ahqãf
(46); al-Jinn (72); al-Jãtsiyah (45); al-Dukhãn (44); Fushshilat (41);
al-Qadr (97); al-Mu’min (40); al-Zumar (39); Shãd (38); al-Shaffãt
(37); Yã Sîn (36); Fãthir (35); Sabã’ (34); al-Sajdah (32); Luqmãn
(31); al-Mulk (67); al-Rûm (30); al-‘Ankabût ( 29: ayat 1-13, 46-47,
69 Madaniyah); al-Qashash (28); al-Naml (27); al-Syu‘arã’ (26); Nûh
(71); al-Furqãn (25); Thã Hã (20); al-Mu’minûn (23); al-Zukhruf
(43); al-Anbiyã’ (21); Maryam (19); al-Fãtihah (1); al-Syûrã (42); al-
Kahfi (18); al-Isrã’ (17); al-Nahl (16: ayat 110-124 Madaniyah); al-
Ra‘d (13); Yûsuf (12); Hûd (11); Yûnus (10); al-A‘rãf (7: ayat 157f.
Madaniyah); al-An‘ãm (6); al-Bayyinah (98 ?); al-Ikhlãsh (112 ?);
dan al-Kãfirûn (109 ?).
Sedangkan 22 surat lainnya dikelompokkan Grimme ke dalam
surat-surat Madaniyah. Susunan kronologis surat-surat Madaniyah
yang diajukan Grimme ini yaitu : al-Baqarah (2: ayat 196-200
belakangan); al-Jumu‘ah (62: ayat 1-11 belakangan); al-Mã‘idah (5);
Muhammad (47); al-Anfãl (8); al-Nûr (24); al-Hasyr (59); Ãli ‘Imrãn
(3); al-Nisã’ (4); al-Hadîd (57); al-Tagãbun (64); al-Shaff (61); al-
Mumtahanah (60); al-Mujãdilah (58); al-Thalaq (65); al-Ahzãb (33);
al-Munãfiqûn (63); al-Hãqqah (69); al-Nashr (110); al-Fath (48); al-
Tahrîm (66); dan al-Tawbah (9).37
Kronologi Grimme di atas cuma hanya memperlihatkannya sebagai
suatu varian dari sistem penanggalan Noeldeke-Schwally. Bahkan,
asumsi-asumsi mendasarnya tentang surat sebagai unit wahyu
orisinal dan validitas sumber-sumber tradisional Islam juga tidak
bergeser dari posisi Noldeke-Schwally. Surat-surat yang
dikelompokkannya ke dalam periode Madaniyah, kecuali surat
69, merupakan surat-surat yang juga dicantumkan Noeldeke-
Schwally ke dalamnya. sebab itu, kritisisme senada yang telah
dikemukakan terhadap sistem-sistem penanggalan yang lalu dapat
dialamatkan dengan efek yang sama terhadap sistem penanggalan
Grimme. Namun, sekuensi kronologis surat-surat Makkiyahnya
memperlihatkan perbedaan yang mencolok baik dengan sistem
penanggalan empat periode maupun dengan tradisi kesarjanaan
Islam. Hal ini disebabkan penyusunan sekuensi ini mengacu
kepada karakteristik-karakteristik doktrinal yang, menurut Grimme,
berkembang selaras dengan perkembangan misi Nabi. Analisisnya
tentang kelompok-kelompok gagasan yang muncul secara bersama-
sama di dalam al-Quran memang cukup bermanfaat. namun
pandangannya tentang keseluruhan rangkaian gagasan –
monoteisme kebangkitan kembali, pengadilan akhirat, dan
seterusnya – tidak begitu memadai dan mestinya dikombinasi
dengan kriteria-kriteria lainnya.38 Barangkali itulah sebabnya
mengapa sistem penanggalan Grimme tidak begitu diterima di
kalangan akademisi Barat, apalagi di kalangan sarjana Muslim.
Terobosan baru dalam usaha merekonstruksi kronologi
pewahyuan al-Quran dilakukan oleh Hartwig Hirschfeld lewat
karyanya, New Researches into the Composition and Exegesis of
the Quran, yang terbit di London pada 1902. Dalam karya ini,
Hirschfeld mengajukan suatu aransemen kronologi al-Quran yang
didasarkan pada karakter atau fungsi bagian-bagian individual al-
Quran sebagai unit-unit wahyu orisinal. Ia mencoba meninggalkan
asumsi tradisional Islam tentang surat sebagai unit wahyu orisinal
yang telah mempengaruhi perkembangan kajian kronologi al-
Quran di Barat.
sesudah “proklamasi pertama,” Hirschfeld mengajukan suatu
sistem penanggalan yang mengelompokkan bagian-bagian – bukan
surat – al-Quran ke dalam enam periode pewahyuan. Dalam keenam
periode ini , wahyu-wahyu diklasifikasikan sebagai
“konfirmatori,” “deklamatori,” “naratif,” “deskriptif,” “legislatif,”
serta wahyu-wahyu dari periode Madinah. Wahyu-wahyu periode
terakhir ini dikelompokkan bersama, namun dibahas terpisah, seperti
wahyu-wahyu hingga Perang Badr, firman-firman yang bertalian
dengan politik, wahyu-wahyu tentang masalah domestik
Muhammad, dan persiapan-persiapan untuk haji ke Makkah.39
Aransemen lengkap wahyu-wahyu periode Makkiyah versi
Hireschfeld yaitu sebagai berikut: Proklamasi pertama: 96:1-5.
Wahyu-wahyu konfirmatori: 87; 68:1-33; 92; 69:40-52; 26:221-228;
52:29-49; 74:1-30,33-55; 73:1-14; 76; 94; 96:6-19; 111; 104; 79:15-26;
53:1-18,24-62; 93:1-8; dan 109. Wahyu-wahyu deklamatori: 81; 82;
84; 99; 80; 86; 75; 83; 88; 79:1-14; 77; 69:1-39; 78; 56; 52:1-28; 70;
100; 101; 106; 107; 108; 90; 92; 91; 105; 102; 97; 98; 89; 72; 85:1-
8,12-22; 103; dan 95. Wahyu-wahyu naratif: 68:34-52; 51; 26:1-220;
54; 37; 44; 38; 27:1-59; 28; 15; 18; 12; 19; 43:25-89; 21; 14; 20; 11;
34; 7:1-27,57-155,186-205; 17:1-8,103-111; 73:15-19; 40:1-6,24,57;
29:13-42; 10:72-109; 23:23-52; 46:20-35; 5:23-38,109-120; 2:200-210;
6:74-91; dan 1. Wahyu-wahyu Deskriptif: 79:27-46; 71; 55; 50; 45;
42; 41; 35; 32; 67; 25:1-63; 23:1-22,53-118; 16:1-115; 43:1-24; 13; 113;
114; 10:1-57,58-71; 31:1-10,19-34; 36; 27: 60-95; 30; 39; 22:1-13,62-71;
40:7-23,58-85; 2:158-162; 29:43-69; 17:87-102; dan 6:92-117. Wahyu-
wahyu legislatif: 6:1-45,46-73; 93:9-11; 25:64-72; 31:11-18; 7:28-56; 29:1-
12; 46:1-19; 17:9-86; 6:152-165; 9:129-130; dan 85:9-11.
Aransemen wahyu-wahyu periode Madinah yaitu : 2:1-19a,19b-
37,38-58,59; 5:71-88; 2:60-97,98-115,116-147,163-184,211-223,244-
268,269-281; 8:1-41(sesudah Badr),42-76; 3:1-29,30-75,76-90; 47; 3:91-
113(?),114-137,139-200; 57; 7:174-185; 59;61; 62; 16:116-128(?); 64;
4:1-45,126-129,46-72,73-86(sesudah Uhud); 2:148-157,87-95; 5:56-63;
2:282-284; 4:96-105,106-125,130-138,140-145,146-151,152-175; 33;
2:224-243(?); 65; 24; 66; 63; 58; 22:14-61,72-78; 5:39-44; 2:285-286;
48:18-28; 2:185-196a,196b-199; 60; 110; 49; 9:23-27,38-73; 48:1-17;
9:74-94,120-128,95-119,1-12,36-37,13-22,28-35; 7:156-172; 5:1-4,5-7,8-
14,15-17,109-120,18-22,45-55,64-70,89-104,105-108(?); 6:117-151(?);
73:20(?); dan 74:31-34(?).
Meskipun aransemen wahyu-wahyu Makkiyah dan Madaniyah
di atas cukup rinci, beberapa bagian al-Quran dipandang Hirschfeld
tidak jelas masa pewahyuannya, atau disisipkan ke dalam unit-
unit wahyu yang lain, sehingga mengganggu keutuhan konteks
wahyu-wahyu ini . Bagian-bagian al-Quran semacam ini yaitu :
53:19-23; 3:138; 33:40; 47:2; 48:29; 61:6; dan 5:73(?),101(?).
Posisi Hirschfeld sangat menarik, sekalipun aransemen
kronologisnya memiliki beberapa cacat yang jelas, dan sebab nya
tidak begitu diterima. Ia telah melakukan usaha rintisan untuk
penerapan analisis sastra terhadap al-Quran dan memperkenalkan
kembali asumsi yang telah lama tertimbun di balik hiruk-pikuk
kajian kronologi al-Quran: bahwa dalam usaha memberi
penanggalan terhadap kitab suci ini perhatian semestinya
diarahkan pada bagian-bagian individual (pericopes) al-Quran
sebagai unit-unit wahyu orisinal, bukan pada surat-surat. Asumsi
semacam ini, sebagaimana telah diutarakan, dijustifikasi secara
sepenuhnya oleh sumber-sumber tradisional yang menjadi tumpuan
kajian-kajian kronologi. Belakangan, asumsi Hirschfeld – terutama
tentang bagian-bagian individual al-Quran sebagai unit-unit orisinal
wahyu – menjadi prinsip pembimbing dalam usaha paling
terelaborasi sejauh ini untuk mengidentifikasi dan memberi
penanggalan unit-unit wahyu orisinal yang dilakukan Richard Bell.
Kajian utama Bell tentang kronologi al-Quran, meski dalam
bentuk yang tidak begitu lengkap, dapat ditemukan dalam dua
jilid terjemahan al-Qurannya, The Qur’ãn Translated, with a Criti-
cal Rearrangement of the Suras.40 Ketidaklengkapan karya ini
disebabkan beberapa besar catatan yang menjelaskan secara
rinci alasan-alasan yang mengarahkan Bell kepada kesimpulan-
kesimpulannya tidak pernah diterbitkan. Namun sebagian dari
kekurangan ini dapat diperbaiki oleh artikel-artikelnya,41 serta
sebagian lagi oleh karyanya: Introduction to the Qur’an (1953)42
dan A Commentary on the Qur’an (1991).
Sebagaimana diungkapkan di atas, Bell menerima asumsi
Hirschfeld bahwa unit-unit wahyu orisinal yaitu bagian-bagian
pendek al-Quran. Selanjutnya ia berpendapat bahwa sebagian besar
pekerjaan “mengumpulkan” unit-unit wahyu ini ke dalam surat-
surat dilakukan sendiri oleh Muhammad di bawah inspirasi Ilahi.
Dalam proses “pengumpulan” ini , Muhammad – juga di
bawah inspirasi Ilahi – telah merevisi bagian-bagian al-Quran,
termasuk memperluas, mengganti ayat-ayat lama dengan yang baru,
menyesuaikan rimanya, dan lain-lain. Perevisian ini juga melibatkan
dokumen-dokumen wahyu yang telah direkam secara tertulis.
Asumsi Bell tentang perevisian dan dokumen tertulis wahyu ini –
yang merupakan butir-butir kontroversial dalam gagasannya
tentang penanggalan al-Quran – barangkali mesti dijelaskan terlebih
dahulu agar bisa diapresiasi atau dikritik secara proporsional.43
Bell beranggapan bahwa bentuk revisi paling sederhana yang
REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN / 133
dilakukan Nabi yaitu mengumpulkan unit-unit kecil wahyu, yang
semula diterima secara terpisah, ke dalam surat-surat. Dalam proses
ini beberapa adaptasi juga dilakukan, yang dapat dibuktikan dari
pemunculan rima-rima tersembunyi. Jadi, saat suatu unit wahyu
dengan purwakanti tertentu ditambahkan ke dalam suatu surat
yang memiliki purwakanti berbeda, ungkapan-ungkapan
ditambahkan untuk menyesuaikan unit ini dengan purwakanti
surat di mana ia disisipkan. Contohnya yaitu 41:9-12. Unit wahyu
ini, menurut Bell, semula berima dalam -ã – yakni untuk tiap
penghujung ayat orisinal ditandai dengan ungkapan-ungkapan
andãdã (ayat 9), ayyãm (ayat 10), karhã (ayat 11), amrahã dan hifzhã
(ayat 12). namun , saat ditempatkan di dalam surat ini ,
dilakukan revisi berupa penambahan ungkapan-ungkapan dzãlika
rabbu-l-‘ãlamîn (ayat 9), sawã’an li-l-sã’ilîn (ayat 10), qãlatã ãtaynã
thã’i‘în (ayat 11), dan dzãlika taqdîru-l-‘azîzi-l-‘alîm (ayat 12), yang
semuanya berima dalam -în, untuk menyesuaikannya dengan rima
surat. Bell memberi keterangan penanggalan bagian al-Quran ini
dengan “Meccan (?), revised.”44
Revisi unit-unit wahyu dilakukan tidak cuma hanya dalam kasus-
kasus gramatikal seperti dicontohkan. Bell menduga bahwa
penjelasan atau penambahan berupa catatan-komentar (gloss) juga
dilakukan dalam proses perevisian ini . Revisi jenis ini dapat
diilustrasikan dengan 76:16. Ayat sebelumnya (15) dan ayat ini
betul-betul tidak dapat dipahami. Bell mengemukakan dugaan
bahwa suatu catatan-komentar telah tercampur dengan teks, dan
harus diterjemahkan: ”…dan gelas piala qawãrîr,” yakni bejana-
bejana; catatan-komentarnya yaitu ayat 16.45 Penjelasan kata-kata
atau ungkapan-ungkapan semacam ini juga terkadang ditambahkan
dalam bentuk perluasan unit-unit wahyu, yang dalam kasus-kasus
tertentu – menurut Bell – tidak berkaitan dengan makna semula
yang dimilikinya. Contohnya yaitu surat 90 (ayat 12-16). Dalam
ayat sebelumnya (ayat 11) ada kata ‘aqabah – bermakna “jalan
setapak pegunungan” – yang dijelaskan oleh bagian ini dengan
contoh-contoh konkret, namun tidak begitu berhubungan dengan
makna orisinal kata ini – yakni jalan setapak pegunungan.
Menurut Bell, bagian ini ditambahkan belakangan terhadap
surat yang diawali dengan ayat-ayat periode sangat awal.46
Tambahan dan sisipan jenis lainnya bisa diilustrasikan dari surat-
surat pendek, misalnya surat 91. Bagian pertama surat ini – yang
mengungkapkan gagasan pengadilan akhirat bagi jiwa yang suci
dan kotor – berakhir pada ayat 10, kemudian diikuti bagian kedua
berisi ringkasan kisah kaum Tsamud yang diazab Tuhan (ayat 11-
15). Bagian terakhir ini ditambahkan untuk memberi penekanan
moral dari bagian pertama dengan rima yang sama. Bell
memandang bahwa bagian pertama diwahyukan di Makkah,
sementara bagian kedua ditambahkan belakangan, namun barangkali
masih dalam periode Makkah.47
Karakteristik lain dalam revisi wahyu-wahyu ini yaitu adanya
sambungan-sambungan alternatif yang saling menyusuli dalam teks
al-Quran. Contohnya yaitu penghujung surat 39, di mana ada
suatu ayat (75) yang terisolasi. Ayat ini menyusuli suatu suasana
pengadilan akhirat dan secara jelas merupakan bagiannya; namun
pengadilan itu telah berakhir dan putusan telah ditetapkan (ayat
69-70), orang-orang kafir telah masuk neraka (ayat 71-72), orang-
orang takwa telah masuk surga (ayat 73-74); lalu sampai ke ayat
75, di mana suasana pengadilan akhirat yang akan membuat
keputusan kembali muncul. Bell melihat bahwa ayat 75 ini
merupakan sambungan orisinal dari ungkapan pertama ayat 69 –
yakni sampai ungkapan rabbihã – yang berasal dari periode
Madinah awal. Sementara ayat 69 bagian akhir hingga ayat 74
yaitu tambahan belakangan.48
Analisis sastra yang kritis terhadap al-Quran, disamping
menghasilkan jenis bukti di atas, juga membimbing Bell
mengemukakan suatu hipotesis tentang kedudukan dokumen-
dokumen tertulis dalam “pengumpulan” al-Quran. Di sini tidak
cuma hanya dinyatakan bahwa bagian-bagian al-Quran telah direkam
secara tertulis pada suatu tahap yang awal dalam karir kenabian
Muhammad, namun juga dikemukakan bahwa kemunculan suatu
bagian wahyu yang tidak berjalin dengan konteksnya dalam surat
tertentu mesti dijelaskan dengan asumsi bahwa bagian ini
disalin di balik “carikan kertas” yang digunakan untuk menyalin
bagian di sebelahnya.49 Contohnya yaitu Surat 80. Surat ini
diawali dengan suatu deskripsi mengenai pengadilan akhirat dan
nasib orang-orang berdosa (ayat 1-5), serta dilanjutkan dengan nasib
orang beriman (ayat 8-12). Kedua bagian ini, seperti tampak dari
rima ayatnya, pada mulanya merupakan suatu kesatuan. Ayat 6-7
belakangan ditambahkan ke dalamnya, menyusul ayat 13-16 dengan
rima yang berbeda. Ayat 17-20, yang menggambarkan ke-
mahakuasaan Tuhan dalam penciptaan, tidak memiliki kaitan yang
tampak dengan konteksnya. Pada titik ini, Bell mengajukan
hipotesisnya bahwa ayat 17-20 ditempatkan di sini sebab ditemu-
kan tertulis dibalik carikan “kertas” yang memuat ayat 13-16.50
Berpijak pada berbagai asumsi di atas, Bell kemudian
melakukan rekonstruksi historis yang sangat terelaborasi terhadap
wahyu-wahyu Muhammad yang terhimpun di dalam al-Quran. Ia
memang tidak mengajukan suatu sistem penanggalan yang kaku,
namun secara “provisional” menyimpulkan bahwa komposisi al-
Quran terbagi ke dalam tiga periode utama: (i) Periode awal yang
darinya cuma hanya tersisa beberapa “ayat pertanda” dan perintah untuk
menyembah Tuhan; (ii) Periode al-Quran yang mencakup bagian
akhir periode Makkah dan satu atau dua tahun pertama di
Madinah, saat tugas Muhammad yaitu memproduksi suatu
qur’ãn, suatu kumpulan pelajaran untuk peribadatan; dan (iii)
periode kitab, bermula pada penghujung tahun kedua sesudah hijrah,
sewaktu Muhammad mulai memproduksi suatu kitab suci tertulis.
Menurut Bell, al-Quran yang ada dewasa ini tidak mesti dibagi ke
dalam ketiga periode ini , sebab beberapa “ayat pertanda”
telah dijalin ke dalam bagian peribadatan dari periode al-Quran,
dan kumpulan bahan dari periode kedua ini juga telah direvisi
untuk membentuk bagian kitab periode ketiga.51
Penelitian terhadap penanggalan provisional Bell atas bagian-
bagian individual al-Quran memperlihatkan, bahwa ia cuma hanya
memandang 19 surat sebagai surat-surat Makkiyah: surat 50; 53;
55; 69; 75; 79; 80; 82; 86; 88; 89; 91; 92; 93; 95; 96; 99; 104; dan 113.
namun keseluruhan surat ini disimpulkannya memiliki bahan dari
berbagai masa selama periode Makkah. Beberapa surat pendek
lainnya – surat 102; 105; 112; dan 114 – diduga sebagai surat-surat
utuh dari periode Madinah. Surat 1; 94; 103; 106; 107; dan 108,
menurutnya, bisa Makkiyah ataupun Madaniyah. Sementara untuk
surat 100; 101; 109; dan 111, ia tidak mengemukakan opininya.
Lebih jauh ia memandang 24 surat sebagai surat-surat Madaniyah,
namun menganggapnya memiliki beberapa besar bahan dari masa-
masa yang berbeda selama periode Madinah. Surat-surat lainnya –
beberapa 57 surat – dipandang Bell memiliki beberapa besar bahan
baik dari masa sebelum maupun sesudah hijrah: 33 surat di
antaranya memiliki sebagian besar bahan dari periode Makkah
dengan revisi dan tambahan dari periode Madinah – surat 6; 7; 12;
13; 15; 17; 18; 21; 25; 26; 34; 36; 37; 38; 41; 44; 51; 52; 54; 56; 68; 70;
71; 72; 73; 74; 76; 77; 78; 81; 84; dan 90 – sementara 24 surat yang
tersisa memiliki sebagian besar bahan dari periode Madinah dengan
beberapa bagian dari periode Makkah, atau didasarkan pada bahan-
bahan periode Makkah – surat 10; 11; 14; 16; 19; 20; 23; 27; 28; 29;
30; 31; 32; 35; 39; 40; 42; 43; 45; 46; 47; 83; 85 dan 97. Dengan
demikian, Bell membedakan antara penanggalan unit wahyu
orisinal dan penanggalan revisinya yang belakangan pada masa
Nabi. Sistem penanggalan semacam ini jelas memberi peluang
sangat kecil untuk menyusun surat-surat al-Quran ataupun unit-
unit wahyu secara keseluruhan ke dalam suatu tatanan
kronologis.52
Berbagai capaian Bell dalam usaha memberi penanggalan
unit-unit wahyu al-Quran pada faktanya lebih menunjukkan
karakter tentatif, lantaran asumsinya mengenai perevisian al-
Quran yang dilakukan secara konstan oleh Nabi. Asumsi ini,
selain membuat pekerjaan memberi penanggalan al-Quran
menjadi sangat kompleks, juga sulit diterima kaum Muslimin
sekalipun revisi itu dilakukan di bawah inspirasi Ilahi. Selain
itu, pijakan asumsinya – yakni elaborasi doktrin nãsikh-mansûkh
– masih diperdebatkan dan cenderung ditolak sarjana Muslim
modern. Demikian pula, sebagian besar kesimpulan
penanggalannya bersifat sangat umum dan meragukan, terlebih
lagi untuk unit-unit wahyu Makkiyah. Dalam karyanya ini,
banyak ditemukan kesimpulan penanggalan seperti “Meccan, with
later additions,” “early, revised in Medina,” “Meccan, with
Medinan additions,” “possibly earlier,” “early Medinan, with later
additions” atau “Meccan (?),” “Medinan (?),” “early (?),” “date
uncertain,” dan lainnya, yang justeru tidak memberikan kejelasan
tentang penanggalannya.
Barangkali lantaran karakter tentatif yang mendominasi
sistem penanggalan Bell inilah sehingga rancangannya itu tidak
begitu diterima di kalangan sarjana yang menggeluti al-Quran.
Pengaruh sistem penanggalan Bell cuma hanya terbatas di kalangan
murid-muridnya – seperti W.M. Watt dan A.T. Welch. namun , mesti
diakui bahwa Bell memang berhasil menetapkan beberapa unit
wahyu – terutama dari periode Madinah – secara agak akurat.
Lebih jauh, ia juga patut dihargai lantaran usaha nya – bersama
Hirschfeld – untuk memperkenalkan kembali asumsi tradisional
Islam yang selama berabad-abad telah ditinggalkan, yakni bahwa
dalam usaha memberi penanggalan terhadap al-Quran perhatian
semestinya diarahkan pada bagian-bagian individual (pericopes)
kitab suci ini sebagai unit-unit wahyu orisinal, bukan pada
surat-surat.
Kronologi al-Quran: Sebuah Refleksi
Uraian yang telah dikemukakan sejauh ini memperlihatkan
berbagai gagasan dan sudut pandang yang berkembang di kalangan
sarjana – baik Muslim maupun Barat – tentang pewahyuan
kronologis al-Quran yang terbentang sekitar 23 tahun, baik saat
Nabi menetap di Makkah maupun sesudah hijrah ke Madinah.
Sebagaimana ditunjukkan di atas, berbagai sistem penanggalan yang
mendasarkan diri pada asumsi surat sebagai unit wahyu terlihat
tidak memadai serta tidak setia kepada karakter asasi bahan-bahan
tradisional penanggalan al-Quran itu sendiri. sebab itu, asumsi
tradisional lainnya tentang bagian-bagian al-Quran sebagai unit
wahyu mesti dipegang kembali dalam usaha pemberian
penanggalan terhadap kitab suci ini . Tentu saja, asumsi ini
mengimplikasikan kemustahilan penyusunan surat-surat al-Quran
dalam suatu tatanan kronologis, dan akan menjadikan penentuan
penanggalan bagian-bagian al-Quran sebagai sebuah pekerjaan yang
amat kompleks, bahkan mungkin tidak dapat diselesaikan secara
konklusif. Minimnya informasi historis yang akurat tentang unit-
unit wahyu – yang menjadi karakteristik utama riwayat-riwayat
asbãb al-nuzûl – akan merupakan kendala terbesar di bidang ini.
Dengan demikian, langkah pertama dalam usaha penyusunan
kronologi semacam ini yaitu penentuan unit-unit wahyu dalam
sebagian besar surat al-Quran yang memiliki kandungan ayat dari
berbagai periode pewahyuan. Seperti terlihat di atas, ada
kesepakatan dalam berbagai sistem penanggalan mengenai beberapa
kecil surat yang dipandang sebagai unit-unit wahyu orisinal, baik
dari periode Makkiyah maupun Madaniyah. Dalam kasus semacam
ini, pekerjaan yang tersisa yaitu menentukan masa pewahyuannya
secara lebih akurat. namun sehubungan dengan surat-surat yang
memiliki kandungan unit wahyu dari berbagai masa, maka
penentuan unit-unit wahyunya barangkali dapat dilakukan dengan
menerapkan metode analisis sastra yang berpijak pada kesatuan
gagasan dan gaya al-Quran – baik prosaik ataupun puitis – atau
analisis wacana. Selain itu, bahan-bahan tradisional juga akan
memberi kontribusi dalam hal ini.
Penentuan unit-unit wahyu di atas memang cuma hanya didasarkan
pada anggapan bahwa beberapa besar surat yang ada di dalam al-
Quran mengandung bahan-bahan dari berbagai periode pewahyuan.
Posisinya cuma hanya menyentuh teori perevisian Bell dalam pengertian
minimal – yakni pengumpulan unit-unit individual wahyu ke dalam
surat – dan tidak seradikal asumsi perevisiannya yang lebih jauh
melihat bahwa dalam proses pengumpulan ini wahyu-wahyu
al-Quran secara konstan telah mengalami revisi dalam pengertian
sebenarnya – yakni perluasan, penggantian unit-unit wahyu lama
dengan bahan-bahan baru, adaptasi dengan penambahan berupa
penyesuaian rima atau sekedar sisipan, dan lainnya. Asumsi radikal
Bell ini, selain memiliki kelemahan yang telah disinggung di atas,
barangkali tidak logis. Jika al-Quran secara terus-menerus mengalami
revisi seperti dimaksud Bell, maka orang-orang yang berusaha
menghafal al-Quran pada masa Nabi tentunya akan mengalami
kesulitan serius dengan adanya berbagai perubahan yang konstan
dalam kandungan kitab suci ini , dan hal ini agak sulit
dibayangkan.
saat unit-unit wahyu telah ditetapkan, maka langkah
selanjutnya yaitu memberi penanggalan terhadapnya. Suatu kajian
terhadap perkembangan misi kenabian Muhammad dalam pentas
sejarah, untuk menemukan pijakan bagi penanggalan al-Quran,
mesti dilakukan terlebih dahulu. Kesepakatan yang eksis dalam
berbagai sistem penanggalan tentang butir-butir khas dalam wahyu-
wahyu yang awal akan sangat membantu dalam menetapkan unit-
unit wahyu yang bisa dikelompokkan dan diberi penanggalan dari
masa ini . Demikian pula, berbagai rujukan historis yang ada
di dalam al-Quran – misalnya 30:2-5 yang merujuk pada kekalahan
Bizantium atas Persia, 3:121-129 tentang Perang Badr, 9:25-27 tentang
Perang Hunain, dan lain-lain – bisa dijadikan pegangan dalam
penanggalan unit-unit wahyu ini . Senada dengan ini yaitu
gagasan atau ungkapan tertentu yang cuma hanya muncul pada periode
tertentu, juga bisa diberi penanggalan yang agak pasti. Bagian-
bagian al-Quran yang merekomendasikan peperangan atau
berbicara tentang pengikut-pengikut Nabi yang terlibat
pertempuran, ungkapan-ungkapan muhãjirûn, anshãr, alladzîna
fî qulûbihim maradl, munâfiqûn, dan lainnya, secara jelas berasal
dari masa sesudah hijrah. Di samping itu, bahan-bahan tradisional
juga akan memberikan banyak petunjuk di dalam penanggalan
unit-unit wahyu tertentu.
Tentu saja, penyusunan rangkaian kronologis unit-unit wahyu
al-Quran semacam itu membutuhkan usaha -usaha kesarjanaan
yang serius dan memakan waktu lama. Bahkan, usaha penyusunan
sistem penanggalan ini – sebagaimana diyakini Fazlur Rahman53
dan Rudi Paret54 – barangkali akan merupakan suatu keniskalaan.
namun asumsi-asumsi dasar yang telah diutarakan di atas paling
tidak akan sangat membantu mengarahkan kita dalam penetapan
rangkaian kronologis “kasar” unit-unit wahyu dalam kajian-kajian
tafsir tematis-kronologis, yang dewasa ini mendominasi peta
perkembangan tafsir al-Quran.
BAGIAN KEDUA
Pengumpulan al-Quran
Bagian ini mendiskusikan pengumpulan al-Quran,
baik dalam bentuk hafalan dan terutama sekali
dalam bentuk tulisan, yang terdiri dari empat bab.
Dalam bab keempat akan dilacak berbagai usaha
awal dalam pengumpulan al-Quran pada masa
kehidupan Nabi dan beberapa saat sesudah wafatnya.
Kandungan kumpulan al-Quran yang awal ini juga
akan didiskusikan di dalam bab ini . Beberapa
kumpulan al-Quran yang berpengaruh sesudah
wafatnya Nabi hingga beberapa saat sesudah
promulgasi Mushaf Resmi Utsmani akan
dikemukakan dalam bab kelima, berikut paparan
tentang berbagai perbedaan yang eksis didalamnya
dengan tradisi teks dan bacaan utsmani. Kodifikasi
mushaf utsmani dibahas dalam bab selanjutnya –
bab keenam – disertai paparan tentang penyebaran,
varian-varian, dan berbagai karakteristik utamanya.
Bagian kedua ini diakhiri dengan suatu bab tentang
otentisitas dan integritas mushaf utsmani. Berbagai
gagasan yang dikemukakan sejauh ini tentangnya,
baik dari kalangan Muslim ataupun non-Muslim,
akan dieksplorasi secara kritis.
BAB 4
Pengumpulan Pertama
al-Quran
Penyebaran Tulis-menulis di Arabia
Teori yang berkembang luas di kalangan sarjana Muslim bahwa
bangsa Arab yaitu bangsa yang mayoritasnya buta aksara dan
bodoh, sebagaimana lazimnya ditunjukkan dengan ungkapan
jahiliyah, terlihat tidak mendapat dukungan dari temuan-temuan
arkeologis dan bahkan tidak disokong oleh al-Quran sendiri. Bukti-
bukti arkeologis menunjukkan bahwa suatu bentuk tulisan telah
dikenal di Arabia selama berabad-abad sebelum kedatangan Nabi
Muhammad.1 ada beberapa prasasti dalam bahasa Arab selatan
yang bertanggal jauh sebelum era Kristen. Sementara prasasti-prasasti
yang ditemukan di daerah barat laut Arabia dalam abjad Nabatean,
Lihyanik dan Tsamudik, berasal dari abad-abad sebelum kelahiran
Nabi. Contoh paling awal untuk bahasa Arab klasik dan naskah-
naskah berbahasa Arab yaitu tiga sketsa kasar yang tertera pada
tembok suatu kuil di Siria, yang berasal dari abad ke-3. Prasasti
yang lebih awal dari kehadiran Nabi memang belum ditemukan di
sekitar Makkah. Namun, seperti ditunjukkan dalam bab 1, Makkah
yaitu suatu kota niaga yang sangat tergantung pada perniagaan
untuk keberadaannya yang asasi. Dalam hubungan dagang yang
teratur dengan daerah-daerah di mana tulis-menulis telah menjadi
tradisi, para pedagang Makkah tentunya telah mempelajari tradisi
ini untuk kepentingan niaga dan kemudian menyebarkannya
saat kembali ke kampung halaman.2
Dikabarkan oleh al-Baladzuri (w. 892) bahwa pada masa Nabi
cuma hanya ada 17 orang lelaki – ditambah segelintir wanita – yang
146 / TAUFIK ADNAN AMAL
bisa menulis.3 namun , pernyataan ini sangat tidak masuk akal.
Seperti ditunjukkan di bawah, Nabi sendiri kabarnya memiliki
beberapa sekretaris yang ditugaskan menulis wahyu. Lebih jauh,
kenyataan bahwa orang-orang Makkah, sebagaimana halnya or-
ang Mesir yang sangat menyukai tulis-menulis, telah memanfaatkan
berbagai jenis bahan untuk menulis – tentunya merupakan hal
yang wajar di kota niaga seperti Makkah – dengan jelas
menunjukkan bahwa pengetahuan tulis-menulis dan bahan-bahan
untuk menulis telah tersebar dan dikenal cukup luas di kota
ini .
Al-Quran sendiri memberi indikasi ke arah ini. Dari wahyu
pertama yang diterima Muhammad (96:1-5), mungkin bisa
ditafsirkan bahwa tulis-menulis di Makkah masih merupakan
sesuatu yang asing atau baru dan bersifat supranatural. namun ,
beberapa besar bukti tidak langsung dari al-Quran justeru
memperlihatkan keakraban orang-orang Makkah maupun Madinah
dengan tulis-menulis maupun peralatannya. Tamsilan-tamsilan al-
Quran, misalnya, terendam dalam suatu atmosfir niaga, dan
menyiratkan penyimpanan catatan-catatan tertulis. Jadi, hari
pengadilan akhirat dikatakan sebagai hari penghisaban, saat kitab-
kitab dibuka, dan saat setiap orang akan ditunjukkan catatan-
catatannya, atau akan diberikan catatannya untuk dibaca; malaikat-
malaikat menulis perbuatan manusia, dan segalanya akan dicatat
dalam suatu kitab.4 Tamsilan-tamsilan al-Quran ini – yang
mengekspresikan butir-butir doktrinal Islam paling mendasar
dalam terma-terma perniagaan-teologis dan melibatkan aktivitas
tulis-menulis serta penggunaan bahan-bahan untuk menulis –
bukanlah sekadar kiasan-kiasan ilustratif. Tamsilan-tamsilan
semacam itu pasti tidak akan digunakan al-Quran bila belum
dipahami atau dikenal warga Makkah. Jika butir ini disepakati,
dapat disimpulkan bahwa tulis-menulis bukan merupakan hal baru,
namun justeru telah cukup dikenal di kalangan warga kota
Makkah.
Sementara di Madinah, ketentuan al-Quran dalam 2:282-283,
yang menyatakan bahwa transaksi utang-piutang yang dilakukan
kaum Muslimin mesti dicatat dan disaksikan dua orang, secara
jelas menunjukkan bahwa di kota ini orang-orang yang bisa menulis
tidak sulit ditemukan. Kalau tidak demikian, maka al-Quran
tentunya tidak akan memerintahkan penulisan transaksi ini
sebab akan sulit dijalankan lantaran langkanya orang-orang yang
bisa menulis. Di dalam hadits bahkan dilaporkan bahwa orang-
orang Makkah yang tertawan dalam Perang Badr diperkenankan
menebus kebebasan diri mereka dengan mengajarkan tulis-menulis
kepada kaum Muslimin di Madinah.5 Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa tulis-menulis juga bukan merupakan hal yang
asing di Madinah.
Bahan tulis-menulis juga disebutkan dalam al-Quran. Kata raqq
(;) dalam 52:3 mungkin mengacu kepada sejenis kertas kulit atau
perkamen yang terbuat dari kulit binatang. Kata qirthãs (<=
)
yang muncul dalam 6:7,91, barangkali bermakna lontar, sebab
kata ini terambil dari bahasa Yunani chartês yang bermakna
selembar atau sehelai lontar. Rujukan kedua kata qirthãs (6:91),
yang muncul dalam bentuk plural qarãthîs (>-=
) bisa
menyiratkan makna bahwa orang-orang Yahudi memakai
lontar untuk menulis bagian-bagian terpisah Tawrat. Sementara
rujukan lainnya (6:7), mungkin mengacu kepada sebuah kitab yang
terbuat dari lontar. Barangkali kitab jenis inilah yang dimaksudkan
saat al-Quran berbicara tentang suatu kitab yang diturunkan
kepada Muhammad (6:92).
Demikian pula, kata shuhuf (?@A) muncul beberapa kali di
dalam al-Quran dalam kaitannya dengan wahyu pada umumnya
(20:133; 80:13; 98:2), atau dengan wahyu yang disampaikan kepada
Ibrahim dan Musa (53:36; 87:18-19). Bentuk tunggal kata ini,
shahîfah (B-@A), kemungkinan bermakna selembar bahan untuk
menulis – tanpa menetapkan jenis bahannya – dan shuhuf lazimnya
diartikan sebagai lembaran-lembaran terpisah yang tidak terjilid.
Sementara tinta dan pena sebagai alat tulis, juga dirujuk dalam al-
Quran (96:4; 31:27; 18:109).
Kesemua rujukan tentang bahan-bahan untuk tulis-menulis
ini, sebagaimana dengan pengenalan tentang tulis-menulis yang
dikemukakan di atas, tidak mungkin muncul dalam ungkapan al-
Quran jika tidak dipahami warga yang menjadi sasaran
wahyunya. yaitu mustahil bila al-Quran berbicara dengan
memakai ungkapan-ungkapan yang tidak dimengerti
warga Arab saat itu, sebab hal ini akan membuat pesan-
pesan ketuhanan yang didakwahkannya tidak mencapai sasaran
yang dikehendaki.
Pengetahuan tulis-menulis dan bahan-bahannya, yang bisa
dikatakan telah tersebar cukup luas di kalangan warga kota
Makkah dan Madinah, sama sekali tidak menegasikan kuatnya
tradisi hafalan di kalangan bangsa Arab. Perkembangan bentuk
tulisan Arab saat itu, yang mengarah kepada bentuk kursif, jelas
tidak memadai untuk penggunaan inskripsional. Lebih jauh, aksara
yang digunakan – tanpa syakl dan i‘jãm – lebih memperlihatkan
eksistensi tulisan saat itu sebagai alat untuk mempermudah
hafalan. Tanpa tingkat keakraban yang semestinya terhadap suatu
teks, seseorang tentunya akan mengalami kesulitan dalam
membacanya.
Tulisan Arab, menurut teori terpopuler di kalangan sarjana
Barat, dipandang berasal dari tulisan kursif Nabthi (Nabatean),
yang ditransformasikan ke dalam karakter tulisan Arab pada abad
ke-4 atau ke-5.6 Proses transformasi ini kemungkinannya
berlangsung di Madyan atau di Kerajaan Gassanid (Gassaniyah).
Di bawah pengaruh perniagaan, tulisan baru itu menyebar ke Arab
utara dan selatan. Pada permulaan abad ke-6, ia telah mencapai
daerah Siria utara dan mungkin mencapai keberhasilan penyebaran
yang sama ke daerah-daerah yang memakai bahasa Arab utara,
khususnya ke Makkah ataupun Madinah.
Di kalangan sejarawan Arab, pandangan yang paling populer
yaitu bahwa tulisan Arab itu berasal dari Hirah – sebuah kota di
dekat Babilonia – dan Anbar – sebuah kota di Eufrat, sebelah
barat laut kota Bagdad yang sekarang. Dikisahkan bahwa tulisan
Arab sampai ke Makkah melalui Harb ibn Umaiyah ibn Abd al-
Syams yang mempelajarinya dari orang-orang tertentu yang
ditemuinya dalam perjalanan-perjalanannya. Salah satu di antaranya
yaitu Bisyr ibn Abd al-Malik, yang datang ke Makkah bersama
Harb ibn Umaiyah. Bisyr kemudian mengawini puteri Harb ibn
Umaiyah, Shahbah. Bisyr tinggal selama beberapa waktu di Makkah
sembari mengajari beberapa orang Makkah tulis-menulis.7
Dalam Fihrist, Ibn al-Nadim mengemukakan suatu riwayat
dari Ibn Abbas yang menyebutkan bahwa orang pertama yang
menulis dalam aksara Arab berasal dari suku Bawlan yang
mendiami Anbar.8 Dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa saat
orang-orang Hirah ditanya dari mana mereka memperoleh
pengetahuan tulis-menulis aksara Arab, mereka menjawab: “Dari
warga al-Anbar.”9 Penulis Fihrist lebih jauh mengungkapkan
bahwa orang-orang yang pertama kali menulis dalam aksara Arab
yaitu : Abu Jad, Hawwaz, Huththi, Kalamun, Sa‘fad, dan Qurusa’at
– nama raja-raja Madyan pada masa Nabi Syu‘aib.10 Otoritas lainnya
yang dikutip di dalam Fihrist mengemukakan nama-nama yang
sama, namun secara lebih akurat, yakni: Abjad, Hawar, Hatha,
Kalamman, Sha‘, Fadl, Qarasat – dalam aksara Arabnya:
C
DEA. )%=$FG28.11 Jika huruf alif () di tengah nama-
nama itu dihilangkan, demikian juga dengan titik-titik diakritisnya,
maka huruf-huruf yang tinggal mencerminkan keseluruhan
konsonan (harf shãmit) yang ada dalam alfabet orisinal Arab.
ada dua jenis tulisan Arab – lazimnya disebut khat Hijazi
– yang berkembang saat itu. Pertama yaitu khat Kufi,
dinamakan mengikuti kota Kufah, tempat berkembang dan
disempurnakannya kaidah-kaidah penulisan aksara ini . Bentuk
tulisan ini paling mirip dengan tulisan orang-orang Hirah (Hiri)
yang bersumber dari tulisan Suryani (Siriak). Khat Kufi digunakan
saat itu antara lain untuk menyalin al-Quran. Bentuk tulisan
kedua yaitu khat Naskhi, yang bersumber dari bentuk tulisan
Nabthi (Nabatean). Khat ini biasanya digunakan dalam surat-
menyurat. Namun, teori tentang asal-usul kedua ragam tulis ini
tidak begitu diterima sejarawan Arab, yang melihat bahwa tulisan
Musnad – bersumber dari tulisan Arami (Aramaik) yang masuk ke
Hijaz melalui Yaman – merupakan bagian dari rangkaian tulisan
Arab.
namun , sebagaimana telah dikemukakan, dalam aksara Arab
yang berkembang saat itu, lambang beberapa konsonan tidak
dapat dibedakan antara satu dengan lainnya, sehingga pada
perkembangan selanjutnya diciptakanlah titik-titik diakritis yang
mengikuti model tulisan Suryani. Pengenalan titik-titik diakritis
baik untuk vokal (syakl) – belakangan diganti dengan tanda lain
untuk membedakannya dari titik-titik diakritis yang digunakan
untuk membedakan huruf-huruf mati bersimbol sama – ataupun
untuk konsonan (i‘jãm), menurut teori yang berkembang luas di
kalangan sarjana Islam, pertama kali dilakukan pada masa
kekhalifahan banu Umaiyah, dan tokoh-tokoh yang terlibat di
dalamnya biasanya dipulangkan kepada beberapa nama ahli bahasa
seperti Abu al-Aswad al-Du‘ali (w. 688) beserta murid-muridnya.12
Namun, berdasar tinggalan-tinggalan historis – berupa
perkamen, uang logam dan inskripsi – bisa dipastikan bahwa titik-
titik diakritis untuk konsonan-konsonan tertentu telah digunakan
pada abad pertama Islam,13 sekalipun tidak seekstensif
penggunaannya pada masa belakangan. Dari temuan beberapa
manuskrip al-Quran beraksara Kufi yang awal, dapat dipastikan
bahwa tanda-tanda konsonan ini belum diaplikasikan dalam
penyalinan mushaf. Selanjutnya, dapat juga dikemukakan bahwa
dari contoh tulisan Arab dalam inskripsi abad ke-6 bisa
disimpulkan bahwa bentuk tulisan yang berkembang saat itu
mengarah kepada bentuk yang lebih kursif dan menyerupai –
bahkan dalam perkembangan selanjut secara praktis identik dengan
– tulisan Kufi yang belakangan.
Uraian yang telah dikemukakan sejauh ini memperlihatkan
tingkat keakraban warga Arab pada umumnya – termasuk
Makkah dan Madinah – dalam kaitannya dengan tradisi tulis-
menulis dan penggunaan bahan-bahan untuk menulis. Dengan
mengingat butir-butir tentang keakraban warga Makkah dan
Madinah tentang hal ini, ditambah dengan kuatnya tradisi hafalan
di kalangan bangsa Arab saat itu, seperti telah diungkapkan di
atas, selanjutnya akan ditelusuri bagaimana cara yang dilakukan
kaum Muslimin untuk memelihara al-Quran pada periode Islam
yang awal.
Pemeliharaan al-Quran pada Masa Nabi
Unit-unit wahyu yang diterima Muhammad pada faktanya
dipelihara dari kemusnahan dengan dua cara utama: (i)
menyimpannya ke dalam “dada manusia” atau menghafalkannya;
dan (ii) merekamnya secara tertulis di atas berbagai jenis bahan
untuk menulis. Jadi, saat para sarjana Muslim berbicara tentang
jam‘u-l-qur’ãn pada masa Nabi, maka yang dimaksudkan dengan
ungkapan ini pada dasarnya yaitu pengumpulan wahyu-wahyu
yang diterima Nabi melalui kedua cara ini , baik sebagian
ataupun seluruhnya.
Pada mulanya, bagian-bagian al-Quran yang diwahyukan
kepada Muhammad dipelihara dalam ingatan Nabi dan para
sahabatnya. Tradisi hafalan yang kuat di kalangan warga Arab
telah memungkinkan terpeliharanya al-Quran dalam cara semacam
itu. Jadi, sesudah menerima suatu wahyu, Nabi – sebagaimana
diperintahkan al-Quran (5:67; 7:2; 15:94; dll.) – lalu
menyampaikannya kepada para pengikutnya, yang kemudian
menghafalkannya. beberapa hadits menjelaskan berbagai usaha
Nabi dalam merangsang penghafalan wahyu-wahyu yang telah
diterimanya. Salah satu di antaranya yaitu yang diriwayatkan
oleh Utsman ibn Affan bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Yang
terbaik di antara kamu yaitu mereka yang mempelajari al-Quran
dan kemudian mengajarkannya.”14
Hadits memberi informasi sangat beragam tentang jumlah
maupun nama-nama sahabat penghafal al-Quran. Yang paling
sering disebut yaitu : Ubay ibn Ka‘ab (w. 642), Mu‘adz ibn Jabal
(w. 639), Zayd ibn Tsabit, dan Abu Zayd al-Anshari (w. 15H).15
Sementara dalam berbagai laporan lainnya, muncul nama-nama
selain keempat sahabat ini . Dalam Fihrist, disebutkan 7 nama
pengumpul al-Quran, tiga di antaranya sama dengan tiga nama
pertama dalam riwayat sebelumnya, dan empat lainnya yaitu :
Ali ibn Abi Thalib, Sa‘d ibn Ubayd (w.637), Abu al-Darda (w.652),
dan Ubayd ibn Mu‘awiyah.16 Nama-nama lain yang sering muncul
dalam riwayat yaitu : Utsman ibn Affan, Tamim al-Dari (w. 660),
Abd Allah ibn Mas‘ud (w. 625), Salim ibn Ma‘qil (w. 633), Ubadah
ibn Shamit, Abu Ayyub (w. 672), dan Mujammi‘ ibn Jariyah.17
Sementara al-Suyuthi, dalam al-Itqãn, menyebutkan lebih dari 20
nama sahabat yang terkenal sebagai penghafal Quran.18
Pada titik ini, timbul permasalahan apakah tiap-tiap
pengumpul al-Quran itu menyimpan dalam ingatannya
keseluruhan wahyu Ilahi yang diterima Muhammad atau cuma hanya
sebagian besar darinya. Jika dilihat dari peran tulisan saat itu,
dapat dikemukakan bahwa penghafal al-Quran merupakan tujuan
utama yang terpenting – bahkan sepanjang sejarah Islam; sementara
perekamannya dalam bentuk tertulis selalu dipandang sebagai alat
untuk mencapai tujuan ini .19 Jadi, dapat dipastikan bahwa
tidak ada satu pun unit wahyu yang tidak tersimpan dalam dada
atau ingatan para pengumpul al-Quran saat itu.
Cara kedua yang dilakukan dalam pemeliharaan al-Quran di
masa Nabi yaitu perekaman dalam bentuk tertulis unit-unit wahyu
yang diterima Nabi. Laporan paling awal tentang penyalinan al-
Quran secara tertulis bisa ditemukan dalam kisah masuk Islam
Umar ibn Khaththab, empat tahun menjelang hijrahnya Nabi ke
Madinah.20 Dikabarkan bahwa saat Nabi tengah berada di rumah
al-Arqam ibn Abi al-Arqam (w. 673/5), Umar telah bertekad bulat
untuk membunuhnya. namun niat ini terpaksa ditunda, sebab ia
mendengar berita tentang masuk Islamnya adik kandung, adik
ipar dan keponakannya. Ia kemudian pergi ke rumah adik
perempuannya dan menemukan orang-yang dicarinya bersama
beberapa Muslim lain tengah membaca surat 20 dari sebuah
shahîfah. Terjadi pertengkaran sengit dan Umar menyerang kedua
adiknya hingga terluka, namun mereka tetap bersikukuh dengan
agama barunya. Melihat adik perempuannya terluka bercucuran
darah, Umar tersentuh hatinya kemudian meminta lembaran
(shahîfah) itu. Dikatakan bahwa sesudah membaca lembaran wahyu
ini , Umar mengungkapkan keimanannya kepada risalah yang
dibawa Nabi.
Jika kisah di atas dapat dipercaya, maka ia menunjukkan bahwa
sejak semula ada usaha yang dilakukan secara serius dan sadar
di kalangan pengikut Nabi untuk merekam secara tertulis pesan-
pesan ketuhanan yang diwahyukan kepadanya. Kesimpulan
semacam ini mendapat justifikasi dari al-Quran sendiri. Nama-
nama yang digunakan untuk merujuk pesan Ilahi yang dibawa
Muhammad, seperti al-qur’ãn, al-kitãb atau wahy, secara tersamar
mengungkapkan suatu gambaran latar belakang tertulis. sebab
itu, seperti diungkapkan Schwally, yaitu tidak logis jika
Muhammad sejak masa paling awal tidak menaruh perhatian pada
perekaman secara tertulis wahyu-wahyu yang diterimanya. Lebih
jauh, Schwally bahkan merujuk salah satu bagian al-Quran (29:48)
dari periode Makkiyah yang, menurutnya, telah menyiratkan
perekaman wahyu-wahyu yang diterima Nabi secara tertulis.21
Bagian al-Quran ini berbunyi: “Dan Kamu tidak pernah membaca
sebelumnya (yakni sebelum pewahyuan al-Quran) suatu kitab pun
dan kamu tidak pernah menulisnya dengan tangan kananmu;
andaikata demikian, maka akan ragulah orang yang
mengingkarimu.”
Beberapa bagian al-Quran lainnya juga memberi petunjuk ke
arah senada. Dalam 25:4-5, yang berasal dari periode Makkiyah,
disebutkan bahwa para oposan Nabi mengejek pesan Ilahi yang
dibawanya sebagai “dongeng-dongeng purbakala yang diminta
untuk dituliskan baginya. Dongeng-dongeng itu dibacakan
kepadanya setiap pagi dan petang.” Bagian al-Quran ini
memperlihatkan bahwa para penentang Nabi memandangnya telah
bekerja dengan sejenis bahan tertulis. Demikian pula, pernyataan
dalam 18:109 – “jika lautan dijadikan tinta untuk menuliskan kata-
kata Tuhanku, maka lautan itu akan habis sebelum habisnya kata-
kata Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu”
– dan dalam 31:27 – “jika pohon-pohon di bumi menjadi pena
dan laut menjadi tinta, ditambah lagi tujuh laut sesudah itu, maka
kata-kata Allah tidak akan habis (dituliskan)” – dengan jelas
menyiratkan makna bahwa tinta dan pena digunakan saat itu
untuk menuliskan wahyu.
sesudah hijrah ke Madinah, dikabarkan bahwa Nabi
mempekerjakan beberapa sekretaris untuk menuliskan wahyu
(kuttãb al-wahy). Di antara para sahabat yang biasa menuliskan
wahyu yaitu empat khalifah pertama, Mu‘awiyah (w. 680), Ubay
ibn Ka‘ab, Zayd ibn Tsabit, Abd Allah ibn Mas‘ud, Abu Musa al-
Asy‘ari (w. 664), dan lain-lain. Syaikh Abu Abd Allah az-Zanjani,
salah satu sarjana Syi‘ah terkemuka abad ke-20, bahkan menyebut
34 nama sahabat Nabi yang ditugaskan mencatat wahyu.22
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Nabi menitahkan para
sekretarisnya menempatkan bagian al-Quran yang baru diwahyukan
pada posisi tertentu dalam rangkaian wahyu terdahulu atau surat
tertentu:
Diriwayatkan oleh Ibn Abbas dari Utsman ibn Affan bahwa
apabila diturunkan kepada Nabi suatu wahyu, ia memanggil
sekretaris untuk menuliskannya, kemudian bersabda
“Letakkanlah ayat ini dalam surat yang menyebutkan begini
atau begitu.”23
Al-Suyuthi juga mengungkapkan suatu riwayat dari Zayd:
“Kami biasa menyusun al-Quran dari catatan-catatan kecil dengan
disaksikan Rasulullah.”24 Banyak riwayat jenis ini yang bisa
ditemukan dalam koleksi hadits-hadits. Riwayat-riwayat semacam
itu pada dasarnya menunjukkan bahwa penggabungan unit-unit
wahyu atau penempatannya ke dalam surat-surat al-Quran
dilakukan atas petunjuk Nabi atau bersifat tawqîfî (%B-
,
“dogmatis”). Fenomena kumpulan atau mushaf al-Quran para
sahabat Nabi – beberapa di antaranya akan dibahas di sini dan
dalam bab mendatang – secara sepenuhnya menjustifikasi
kesimpulan ini.
Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa unit-unit wahyu
yang diterima Nabi telah ditulis dalam cara yang disebutkan di
atas. Bahkan, dalam kasus wahyu-wahyu Madaniyah yang memuat
ketentuan-ketentuan hukum, pasti merupakan suatu kebutuhan
yang mendesak untuk segera merekamnya secara tertulis. namun ,
masalah yang timbul di sini tentang sejauh mana rekaman-rekaman
tertulis al-Quran itu memiliki bentuk seperti al-Quran yang kita
kenal dewasa ini, memang merupakan hal yang pelik untuk
ditetapkan. Di satu pihak, meski memiliki bagian-bagian tertulis
al-Quran yang digarap para sekretarisnya, sebagaimana disebutkan
beberapa riwayat, Nabi tidak pernah mempromulgasikan suatu
kumpulan tertulis al-Quran yang resmi dan lengkap. Hal ini bisa
diilustrasikan dengan sebuah riwayat yang dinisbatkan kepada
Zayd: “Nabi wafat dan al-Quran belum dikumpulkan ke dalam
suatu mushaf tunggal.”25
Jika Nabi telah mengusaha kan pengumpulan dan promulgasi
al-Quran, maka kebutuhan mendesak yang muncul sepeninggalnya
untuk mengumpulkan al-Quran tentunya tidak akan mencuat
ke permukaan. Di sisi lain, jika para sahabat telah menghafal
dan menuliskan wahyu dalam kadar yang beragam, maka bisa
diperkirakan berbagai perbedaan substansial dalam naskah-naskah
mereka ketimbang yang bisa ditemukan dalam fenomena mashãhif
awal. sebab itu, merupakan suatu hal yang pasti bahwa Nabi
sendirilah yang merangkai berbagai bagian atau ayat al-Quran yang
diwahyukan kepadanya dan menetapkan susunannya secara pasti
dalam surat-surat yang ada – dalam terminologi lama biasanya
dikenal dengan istilah tawqîfî. Susunan ini diketahui dan diikuti
para sahabatnya. Itulah sebabnya, saat dibuka kumpulan al-
Quran para sahabat, yang terutama ditemukan di dalamnya yaitu
perbedaan-perbedaan yang cukup signifikan dalam susunan surat,
bukan susunan ayat.
Pengumpulan di Masa Nabi dan sesudah Wafatnya
Dalam beberapa riwayat yang sampai kepada kita, seperti telah
diungkapkan di atas, disebutkan bahwa beberapa sahabat telah
mengumpulkan secara tertulis wahyu-wahyu Ilahi dalam bentuk
shuhuf pada masa Nabi. Sekalipun istilah “pengumpulan” di sini,
sebagaimana telah disebutkan, biasanya ditafsirkan sebagai
penghafalan, ada beberapa riwayat yang secara spesifik
menyebutkan pengumpulan itu dilakukan secara tertulis atau
merujuk pada penggunaan bahan-bahan untuk menulis dalam
aktivitas ini .
Dengan mengutip sumber-sumber tradisional, Ahmad von
Denver mengemukakan beberapa nama sahabat yang memiliki
catatan wahyu, seperti Ibn Mas‘ud, Ubay ibn Ka‘b, Ali ibn Abi
Thalib, Ibn Abbas, Abu Musa al-Asy‘ari, Hafshah (w. 665), Zayd
ibn Tsabit, Aisyah dan lain-lain. Bahkan, ia memperkirakan 23
naskah al-Quran yang telah ditulis saat Nabi masih hidup.26
Sekalipun pandangan tentang eksistensi sekitar 23 naskah al-Quran
ini cukup meragukan, sebab tak satu pun darinya yang sampai ke
tangan kita, paling tidak dapat dikemukakan bahwa sebagian
sahabat Nabi memang merekam secara tertulis wahyu-wahyu
berdasar petunjuk Nabi. Namun, penyempurnaan sebagian
besar naskah ini barangkali baru dilakukan sesudah wafatnya
Nabi.27
Dalam beberapa riwayat dikemukakan nama Ali ibn Abi Thalib
sebagai pengumpul pertama al-Quran pada masa Nabi berdasar
perintah Nabi sendiri. Ali, Khalifah Keempat dari al-khulafã’ al-
rãsyidûn, yaitu anak Abu Thalib, pemimpin banu Hasyim – klan
Nabi Muhammad – yang secara gigih melindungi Nabi saat di
Makkah. Ia menerima risalah Nabi dalam usia relatif muda, dan
termasuk ke dalam hitungan orang-orang pertama yang masuk
Islam. Dikatakan bahwa Ali merupakan orang pertama yang masuk
Islam sesudah Khadijah, istri pertama Nabi. Riwayat lain
menyebutkan bahwa ia merupakan orang kedua yang masuk Is-
lam sesudah Abu Bakr, Khalifah Pertama sesudah Nabi. Kedekatannya
dengan Nabi bisa juga dilihat dari kenyataan bahwa ia
mempersunting Fathimah (w. 633), salah seorang anak perempuan
Nabi.28
Sebagaimana disitir az-Zanjani, diriwayatkan bahwa suatu
saat Nabi pernah berujar kepada Ali: “Hai Ali, al-Quran ada di
belakang tempat tidurku, (tertulis) di atas shuhuf, sutera dan
kertas (lembaran kain atau lainnya). Ambil dan kumpulkanlah,
jangan sia-siakan seperti orang Yahudi menyia-nyiakan Taurat.”
Disebutkan oleh az-Zanjani bahwa Ali menuju ke tempat itu dan
membungkus bahan-bahan ini dengan kain berwarna kuning,
kemudian disegel.29
Riwayat lainnya yang beredar secara luas di kalangan Syi‘ah
menegaskan Ali sebagai orang pertama yang mengumpulkan al-
Quran sesudah wafatnya Nabi, dan sumber-sumber Sunni juga
mengungkapkan bahwa ia memang memiliki sebuah kumpulan
al-Quran. Bentuk riwayat yang diterima secara luas mengenai
pengumpulan Ali ini yaitu bahwa segera sesudah wafatnya Nabi,
saat para sahabat tengah sibuk memilih pelanjutnya, Ali
mengurung diri di rumahnya dan bersumpah tidak akan keluar
rumah sebelum mengumpulkan bahan-bahan al-Quran ke dalam
sebuah mushaf. Hal ini menimbulkan desas-desus sebab ia tidak
ke luar untuk bersumpah setia (bay‘ah) kepada khalifah yang baru
terpilih, Abu Bakr. Ali kemudian menjelaskan tentang sumpah
yang membuatnya tidak turut serta dalam bay‘ah. saat
pengumpulan wahyu selesai digarapnya, ia mengepaknya di atas
punggung unta dan membawa ke depan para sahabat Nabi sembari
berkata: “Inilah al-Quran yang telah saya kumpulkan.”30
Variasi kisah di atas sangat banyak.31 Beberapa di antaranya
mengabarkan bahwa Ali mengumpulkan naskah al-Qurannya
selama enam bulan sesudah wafatnya Nabi. Riwayat lainnya
mengungkapkan bahwa, segera sesudah Nabi wafat, ia mengurung
diri selama tiga hari dan menulis al-Quran secara kronologis dari
hafalannya. Di kalangan Syi‘ah bahkan beredar laporan bahwa
dalam kodeksnya, Ali mendahulukan bagian-bagian al-Quran yang
mansûkh dari yang nãsikh, serta menyertakan takwil dan tafsir
yang rinci.32 Dalam Itqãn, al-Suyuthi mengungkapkan 6 surat
pertama dalam kumpulan Ali yang tersusun secara kronologis –
surat 96; 74; 68; 73; 111; 81.33 namun , kisah-kisah pengumpulan
Ali selalu ditafsirkan kalangan ortodoks sebagai usaha
pengumpulan dalam bentuk hafalan (hifzhuhu fî shadrihi).
Penafsiran seperti ini tentu saja bertentangan dengan riwayat-riwayat
REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN / 157
di atas, yang menekankan bentuk pengumpulan tertulis.
Satu lagi riwayat menarik yaitu Nabi, menjelang ajalnya,
memanggil Ali dan memberitahukan tempat penyimpanan rahasia
bahan-bahan al-Quran di belakang tempat tidurnya, kemudian
berwasiat kepada Ali untuk mengambil dan mengeditnya.
Disebutkan dalam Fihrist, bahwa manuskrip al-Quran yang
dikumpulkan Ali kemudian berada dalam pemilikan kaum Ja‘far
– mungkin merujuk kepada anak keturunan Ja‘far ibn Abi Thalib
(w. 629) atau mungkin juga kepada Ja‘far al-Shadiq (w. antara 765-
771), Imam Syi‘ah ke-6. Penulis Fihrist, Ibn al-Nadim, bahkan
mengaku telah melihat dengan mata kepalanya sendiri fragmen
al-Quran yang ditulis Ali itu di rumah Abu Ya‘la Hamzah al-
Hasani.34 namun kesaksian ini, sebagaimana dengan kisah-kisah
rekayasa Syi‘ah lainnya, secara historis amat meragukan.
Berbagai riwayat tentang pengumpulan yang dilakukan Ali di
atas pada hakikatnya bukanlah riwayat yang dapat dipercaya.
Sumber-sumber riwayat ini – yakni tafsir al-Quran yang ditulis
kaum Syi‘ah dan karya-karya sejarawan S

