sejarah al-quran 6

sejarah al-quran 6


 




, ikutilah

bacaannya dari bacaan itu. Kemudian Ali Kamilah yang

menjelaskannya.” Bacaan-bacaan Syi‘ah ini, sebagaimana

diungkapkan dalam bab terdahulu, eksistensinya sangat layak

dicurigai sebagai rekayasa belakangan untuk menonjolkan

keutamaan ahl al-bayt. Sementara eksistensinya sebagai bagian

orisinal mushaf Ubay ataupun Ibn Mas‘ud juga amat meragukan.

Perbedaan paling mendasar antara mushaf Ubay dan mushaf

utsmani yaitu  eksisnya dua surat ekstra dalam mushaf pertama

yang tidak ada  di dalam mushaf kedua. Implikasinya dalam

penghitungan jumlah dan susunan surat telah dikemukakan di

atas. Kedua surat ekstra dalam mushaf Ubay ini – yakni  sûrat al-

khal‘ (3 ayat) dan sûrat al-hafd (6 ayat) – sebagaimana akan

ditunjukkan nanti, secara fraseologis tidak dapat dihitung sebagai

bagian al-Quran.29  Penggunaan kosa kota non-quranik di dalamnya,

di samping eksisnya beberapa  riwayat yang merujuknya sebagai

sekadar doa qunut, yaitu  bukti utama yang menunjukkan bahwa

kedua surat ini  bagian al-Quran.

Mushaf Ibn Mas‘ud

Abd Allah ibn Mas‘ud yaitu  salah seorang sahabat Nabi yang

mula-mula masuk Islam. Sebagaimana halnya kebanyakan pengikut

awal Nabi, ia berasal dari strata bawah warga  Makkah. sesudah 

masuk Islam, ia mengikuti Nabi dan menjadi pembantu pribadinya.

saat  Nabi memerintahkan pengikutnya untuk hijrah ke Abisinia,

ia pergi bersama pengikut awal Islam lainnya ke sana.30  sesudah 

hijrah ke Madinah, ia dikabarkan tinggal di belakang Masjid

Nabawi dan berpartisipasi dalam beberapa  peperangan, seperti

dalam Perang Badr – di mana ia memenggal kepala Abu Jahl, Perang

Uhud dan Perang Yarmuk. Pada masa pemerintahan Umar, Ibn

Mas‘ud dikirim ke Kufah sebagai qãdlî dan kepala perbendaharaan

negara (bayt al-mãl). Tampaknya pekerjaan sebagai abdi negara ini

tidak begitu sukses dijalaninya. Pada masa pemerintahan Utsman,

ia dipecat dari jabatannya di Kufah dan kembali ke Madinah serta

meninggal di kota ini pada 32H atau 33 H dalam usia lebih dari

60 tahun. Menurut versi lain, ia meninggal di Kufah dan tidak

dipecat dari jabatannya oleh Utsman.31

Ibn Mas‘ud merupakan salah satu otoritas terbesar dalam al-

Quran. Hubungannya yang intim dengan Nabi telah

memungkinkannya mempelajari sekitar 70 surat secara langsung

dari mulut Nabi. Riwayat mengungkapkan bahwa ia merupakan

salah seorang yang pertama-tama mengajarkan bacaan al-Quran.

Ia dilaporkan sebagai orang pertama yang membaca bagian-bagian

al-Quran dengan suara lantang dan terbuka di Makkah, sekalipun

mendapat tantangan yang keras dari orang-orang Quraisy yang

melemparinya dengan batu.32  Lebih jauh, sebagaimana telah

disinggung, hadits juga mengungkapkan bahwa ia merupakan salah

seorang dari empat sahabat yang direkomendasikan Nabi sebagai

tempat bertanya tentang al-Quran.33  Otoritas dan popularitasnya

dalam al-Quran memuncak saat  bertugas di Kufah, di mana

mushafnya memiliki pengaruh yang luas.

Tidak ada informasi yang jelas kapan Ibn Mas‘ud mengawali

pengumpulan mushafnya. Kelihatannya, ia mulai mengumpulkan

wahyu-wahyu pada masa Nabi dan melanjutkannya sepeninggal

Nabi. sesudah  ditempatkan di Kufah, ia berhasil memapankan

pengaruh mushafnya di kalangan warga  kota ini . saat 

Utsman mengirim salinan resmi teks al-Quran standar ke Kufah

dengan perintah untuk memusnahkan teks-teks lainnya, dikabarkan

bahwa Ibn Mas‘ud menolak menyerahkan mushafnya, jengkel

sebab  sebuah teks yang disusun seorang pemula seperti Zayd ibn

Tsabit lebih diutamakan dari mushafnya. Padahal, ia telah menjadi

Muslim tatkala Zayd masih tenggelam dalam alam kekafiran.34

Di Kufah sendiri, beberapa  Muslim menerima keberadaan

mushaf baru yang dikeluarkan Utsman. namun , sebagian besar

warga  kota ini tetap memegang mushaf Ibn Mas‘ud, yang saat 

itu telah dipandang sebagai mushaf orang-orang Kufah. Kuatnya

pengaruh mushaf Ibn Mas‘ud bisa dilihat dari beberapa  mushaf

sekunder – misalnya mushaf Alqamah ibn Qais, Mushaf al-Rabi‘

ibn Khutsaim, mushaf al-Aswad, mushaf al-A‘masy, dan lainnya –

yang mendasarkan teksnya pada mushaf Ibn Mas’ud.35  Dari

Keberhasilannya di Kufah inilah mushaf Ibn Mas‘ud kemudian

mendapat tempat di kalangan pengikut Syi‘ah.

Salah satu karakteristik mushaf Ibn Mas‘ud yaitu  ketiadaan 3

surat pendek – yakni surat 1, 113 dan 114 – di dalam teksnya. Riwayat

lain mengungkapkan bahwa cuma hanya  2 surat – yakni surat 113 dan 114

– yang tidak ada  dalam mushafnya.36  Penyusun Fihrist

mengungkapkan bahwa ia telah melihat sebuah manuskrip mushaf

Ibn Mas‘ud yang berusia sekitar 200 tahun yang mencantumkan

pembuka kitab (surat 1). namun , ia menambahkan bahwa dari

beberapa  manuskrip mushaf Ibn Mas‘ud yang telah dilihatnya,

tidak ada satupun yang bersesuaian antara satu dengan lainnya.37

Karakteristik lainnya dari mushaf Ibn Mas‘ud terletak pada

susunan surat di dalamnya yang berbeda dari mushaf utsmani.

Ada dua riwayat tentang susunan surat dalam mushaf Ibn Mas‘ud,

yang secara keseluruhannya bersesuaian antara satu dengan lainnya.

Riwayat pertama dikemukakan Ibn al-Nadim berdasar  otoritas

ibn Syadzan,38  dan riwayat kedua diungkapkan al-Suyuthi mengutip

pernyataan ibn Asytah yang kembali kepada Jarir ibn Abd al-

Hamid.39  Kedua riwayat ini dapat disajikan sebagai berikut:

Susunan Surat Ibn Mas‘ud Menurut Fihrist dan Itqãn

                  Susunan Surat Menurut Fihrist                  Susunan Surat Menurut Itqãn

    No.              Nama surat*               No. Surat*              Nama Surat*            No. Surat*

1 al-Baqarah 2 al-Baqarah 2

2 al-Nisã’ 4 al-Nisã’ 4

3 Ãli ‘Imrãn 3 Ãli ‘Imrãn 3

4 al-A‘rãf 7 al-A‘rãf 7

5 al-An‘ãm 6 al-An‘ãm 6

6 al-Mã’idah 5 al-Mã’idah 5

7 Yûnus 10 Yûnus 10

8 al-Tawbah 9 al-Tawbah 9

9 al-Nahl 16 al-Nahl 16

10 Hûd 11 Hûd 11

11 Yûsuf 12 Yûsuf 12

12 al-Isrã’ 17 al-Kahfi 18

13 al-Anbiyã’ 21 al-Isrã’ 17

14 al-Mu’minûn 23 al-Anbiyã’ 21

15 al-Syu‘arã’ 26 Thã Hã 20

16 al-Shãffãt 37 al-Mu’minûn 23

17 al-Ahzãb 33 al-Syu‘arã’ 26

18 al-Qashash 28 al-Shãffãt 37

19 al-Nûr 24 al-Ahzãb 33

20 al-Anfãl 8 al-Hajj 22

21 Maryam 19 al-Qashash 28

22 al-‘Ankabût 29 al-Naml 27

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  199

23 al-Rûm 30 al-Nûr 24

24 Yã Sîn 36 al-Anfãl 8

25 al-Furqãn 25 Maryam 19

26 al-Hajj 22 al-‘Ankabût 29

27 al-Ra‘d 13 al-Rûm 30

28 Saba’ 34 Yã Sîn 36

29 Fãthir 35 al-Furqãn 25

30 Ibrãhîm 14 al-Hijr 15

31 Shãd 38 al-Ra‘d 13

32 Muhammad 47 Saba’ 34

33 Luqmãn 31 Fãthir 35

34 al-Zumar 39 Ibrãhîm 14

35 al-Mu’min 40 Shãd 38

36 al-Zukhruf 43 Muhammad 47

37 Fushshilat 41 Luqmãn 31

38 al-Ahqãf 46 al-Zumar 39

39 al-Jãtsiyah 45 al-Mu’min 40

40 al-Dukhãn 44 al-Zukhruf 43

41 al-Fath 48 Fushshilat 41

42 al-Hadîd 57 al-Syûrã 42

43 al-Hasyr 59 al-Ahqãf 46

44 al-Sajdah 32 al-Jãtsiyah 45

45 Qãf 50 al-Dukhãn 44

46 al-Thalãq 65 al-Fath 48

47 al-Hujurãt 49 al-Hasyr 59

48 al-Mulk 67 al-Sajdah 32

49 al-Tagãbun 64 al-Thalãq 65

50 al-Munãfiqûn 63 al-Qalam 68

51 al-Jumu‘ah 62 al-Hujurãt 49

52 al-Shaff 61 al-Mulk 67

53 al-Jinn 72 al-Tagãbun 64

54 Nûh 71 al-Munãfiqûn 63

55 al-Mujãdilah 58 al-Jumu‘ah 62

56 al-Mumtahanah 60 al-Shaff 61

57 al-Tahrîm 66 al-Jinn 72

58 al-Rahmãn 55 Nûh 71

59 al-Najm 53 al-Mujãdilah 58

60 al-Dzaãriyãt 51 al-Mumtahanah 60

61 al-Thûr 52 al-Tahrîm 66

62 al-Qamar 54 al-Rahmãn 55

63 al-Hãqqah 69 al-Najm 53

64 al-Wãqi‘ah 56 al-Thûr 52

65 al-Qalam 68 al-Dzãriyãt 51

66 al-Nãzi‘ãt 79 al-Qamar 54

67 al-Ma‘ãrij 70 al-Wãqi‘ah 56

68 al-Mudatstsir 74 al-Nãzi‘ãt 79

69 al-Muzammil 73 al-Ma‘ãrij 70

70 al-Muthaffifîn 83 al-Mudatstsir 74

71 ‘Abasa 80 al-Muzammil 73

72 al-Insãn 76 al-Muthaffifîn 83

73 al-Qiyãmah 75 ‘Abasa 80

74 al-Mursalãt 77 al-Insãn 76

75 al-Naba’ 78 al-Mursalãt 77

76 al-Takwîr 81 al-Qiyãmah 75

77 al-Infithãr 82 al-Naba’ 78

78 al-Gãsyiyah 88 al-Takwîr 81

79 al-A‘lã 87 al-Infithãr 82

80 al-Layl 92 al-Gãsyiyah 88

200  /  TAUFIK ADNAN AMAL

81 al-Fajr 89 al-A‘lã 87

82 al-Burûj 85 al-Layl 92

83 al-Insyiqãq 84 al-Fajr 89

84 al-‘Alaq 96 al-Burûj 85

85 al-Balad 90 al-Insyiqãq 84

86 al-Dluhã 93 al-‘Alaq 96

87 Alam Nasyrah 94 al-Balad 90

88 al-Thãriq 86 al-Dluhã 93

89 al-‘Ãdiyãt 100 al-Thãriq 86

90 al-Mã‘ûn 107 al-‘Ãdiyãt 100

91 al-Qãri‘ah 101 al-Mã‘ûn 107

92 al-Bayyinah 98 al-Qãri‘ah 101

93 al-Syams 91 al-Bayyinah 98

94 al-Tîn 95 al-Syams 91

95 al-Humazah 104 al-Tîn 95

96 al-Fîl 105 al-Humazah 104

97 Quraisy 106 al-Fîl 105

98 al-Takãtsur 102 Quraisy 106

99 al-Qadr 97 al-Takãtsur 102

100 al-‘Ashr 103 al-Qadr 97

101 al-Nashr 110 al-Zalzalah 99

102 al-Kawtsar 108 al-‘Ashr 103

103 al-Kãfirûn 109 al-Nashr 110

104 al-Lahab 111 al-Kawtsar 108

105 al-Ikhlãsh 112 al-Kãfirûn 109

106 al-Lahab 111

107 al-Ikhlãsh 112

108 Alam Nasyrah 94

Keterangan: * Nama dan nomor surat mengikuti edisi al-Quran Indonesia.

sesudah  menuturkan riwayat susunan surat di atas, penulis

Fihrist menambahkan bahwa jumlah keseluruhan surat yang ada

dalam mushaf Ibn Mas‘ud yaitu  110 surat.40  namun , seperti terlihat,

jumlah surat yang disebutkan dalam riwayat yang ditabulasikan

di atas cuma hanya  mencapai 105 surat. Ini berarti  6 surat – jika surat 1;

113 dan 114 tidak dihitung – tidak tercantum dalam daftar ini ,

yaitu surat 15; 18; 20; 27; 42; dan 99, yang mungkin terlewatkan

secara tidak sengaja dalam periwayatannya atau sekadar kesalahan

penulisan. namun , surat-surat yang hilang ini semuanya ada dalam

daftar surat versi Itqãn. Demikian pula, versi Itqãn cuma hanya  memiliki

108 surat dalam daftarnya. Di samping surat 1; 113 dan 114, yang

hilang dalam daftar ini  sebanyak 3 surat – surat 50; 57 dan 69

– mungkin dengan sebab yang sama. Namun, ketiga surat ini 

ada  dalam daftar Fihrist. Jadi kedua daftar di atas berhubungan

cukup dekat antara satu dengan lainnya, yang memampukan kita

mengisi surat-surat hilang dalam masing-masing daftar ini .

Susunan surat dalam mushaf Ibn Mas‘ud, dengan demikian,

memperlihatkan perbedaan yang cukup signifikan dengan susunan

surat mushaf utsmani. namun , sebagaimana mushaf utsmani, prinsip

yang dipegang dalam menyusun tata urutan surat yaitu  dari surat-

surat panjang ke surat-surat pendek. Riwayat tentang daftar susunan

surat Ibn Mas‘ud ini – demikian pula dengan daftar susunan surat

mushaf sahabat Nabi lainnya – patut dicurigai sebagai rekayasa

belakangan dari orang-orang yang telah akrab dengan susunan

surat mushaf utsmani. Nama-nama surat yang muncul dalam

daftar-daftar ini  hampir semuanya sama dengan nama-nama

surat yang biasa dirujuk dalam mushaf utsmani yang muncul

belakangan. Jeffery menduga bahwa penyusun daftar-daftar surat

ini  mengenal dengan akrab susunan surat utsmani, namun

ia menyadari bahwa surat-surat itu disusun secara berbeda dalam

mushaf-mushaf lainnya. sebab  itu, disusunlah suatu daftar

susunan surat untuk mengekspresikan perbedaannya dari mushaf

utsmani.41

Dari segi ortografi, bisa ditemukan beberapa  kecil perbedaan

antara mushaf Ibn Mas‘ud dan teks standar al-Quran edisi Mesir.42

Kata kullamã ( )) dalam keseluruhan al-Quran – misalnya 2:20,87;

3:37; 4:56; 11:38; dan lain-lain – dipisahkan penulisannya (,)

dalam teks Ibn Mas’ud. Demikian pula, penyalinan kata syay’ (bc )

dalam kasus marfû‘ dan majrûr dilakukan secara terpisah (3c).

Ungkapan hîna’idzin  (d-) dalam 56:84,  juga disalin terpisah

(K.4-). Hal senada terjadi pada huruf-huruf potong di permulaan

beberapa  surat, misalnya 25:1 (e) disalin terpisah (f<=).

Sebaliknya, beberapa  kata yang dipisahkan penulisannya dalam

teks utsmani, disatukan penulisannya dalam teks Ibn Mas‘ud.

Contohnya yaitu  ungkapan, min ba‘di him min (4,F.MW84,) dalam

2:253, yang menyatukan penulisan dua kata terakhir (4 F); dan

ungkapan man dzã ( 4,) dalam 57:11, disatukan menjadi mandzã

( ,). Kasus-kasus semacam ini cuma hanya  merupakan varian ortografis

dan tidak memiliki pengaruh apapun terhadap substansi makna

secara keseluruhan.

Perbedaan yang lebih mendasar antara mushaf Ibn Mas‘ud

dan mushaf standar utsmani bisa dilihat pada perbedaan vokalisasi

konsonan yang sama, pemberian titik diakritis terhadap kerangka

konsonantal yang sama, kerangka konsonantal yang berbeda,

202  /  TAUFIK ADNAN AMAL

penyisipan atau pengurangan kata/sekelompok kata, penempatan

kata pada posisi yang terbalik. Eksistensi ayat-ayat tambahan

ataupun ayat-ayat alternatif, dan beberapa  bacaan Syi‘ah juga dapat

memperpanjang daftar perbedaan ini. Beberapa ilustrasi berikut

akan menampakkan perbedaan-perbedaan ini .

Perbedaan vokalisasi antara bacaan Ibn Mas‘ud dan teks

utsmani terlihat cukup banyak. Seperti halnya Ubay, bacaan Ibn

Mas‘ud untuk 2:18 yaitu  shumman bukman ‘umyan. Kata

tasã’alûna dalam 4:1, di dalam teks Ibn Mas’ud berbunyi tas’alûna.

Masih dalam surat yang sama (4:6), kata rusydan dibaca rasydan.

Sementara kata su’ila dalam 2:108, dibaca sa’ala, sehingga

menjadikan Musa sebagai penanya.

Sisipan atau penghilangan partikel gramatik juga turut

mempengaruhi vokalisasi. Ungkapan tathawwa‘a khayran dalam

2:184, di tengahnya disisipkan partikel bi (8) dalam mushaf Ibn

Mas‘ud, sehingga vokalisasi ungkapan itu berubah menjadi

tathawwa‘a bikhayrin; di depan kata al-fãhisyata (4:15), juga

disisipkan partikel yang sama, sehingga bacaannya menjadi bi-l-

fãhisyati. Partikel lainnya, min (4,), disisipkan di depan kata ba’sa

dalam 4:84, sehingga terbaca min ba’si; dalam 17:1, kata laylan

berubah bacaannya sesudah  disisipkan partikel ini  menjadi

min al-layli. Kasus senada ditemukan dalam 83:28, di mana kata

‘aynan berubah menjadi min ‘aynin. Sementara penghilangan

partikel gramatik yang mempengaruhi vokalisasi bisa dilustrasikan

dengan penghilangan anna dalam ungkapan wa anna-llãha (3:171),

sehingga bacaannya menjadi wa-llãhu; atau penghilangan ‘an (4L )

dalam 8:1, sehingga bacaan dalam teks utsmani yas’alûnaka ‘an al-

anfãli menjadi yas’alûnaka al-anfãla; dan penghilangan min (4,)

dalam ungkapan min qabli (57:10), yang merubah bacaan menjadi

qabla. namun , kasus-kasus perbedaan vokalisasi semacam ini cuma hanya 

merupakan varian gramatikal.

Pemberian titik diakritis (i‘jam) berbeda terhadap kerangka

konsonantal yang sama dapat ditelusuri dalam mushaf Ibn Mas‘ud.

Kerangka konsonantal  *8 dalam 7:57, diberi satu titik di bawah

huruf pertama dan dibaca busyran ( *8) dalam teks utsmani, namun

dalam teks Ibn Mas‘ud titik diakritis ditempatkan di atasnya

sehingga terbaca nusyran ( *7). Jadi, perbedaannya cuma hanya  terletak

pada pemberian satu titik di atas atau di bawah kerangka huruf

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  203

pertama. Tidak berbeda dari Ubay, Ibn Mas‘ud juga membaca

kerangka konsonantal 11:116 -R R8 – yang dalam teks utsmani dibaca

baqiyyatin (-R R8) – sebagai taqiyyatin (-R R8). Di sini, perbedaannya

yaitu  penempatan satu titik di bawah kerangka huruf pertama

atau dua titik di atasnya. Dalam 21:96, kerangka konsonantal gMO

– dalam teks utsmani: hadabin  (M) – dibaca Ibn Mas‘ud sebagai

jadatsin (gMO). Dengan demikian, letak perbedaan yaitu 

pemberian satu titik di bawah kerangka huruf terakhir atau

pemberian satu titik di bawah kerangka huruf pertama dan tiga

titik di atas kerangka huruf terakhir.

Perbedaan penempatan titik diakritis menyangkut prefiks

(sãbiqah) kata kerja bisa diilustrasikan dengan 3:48. Kerangka huruf

pertama kata ( )W diberi dua titik di bawahnya dalam mushaf

utsmani, sehingga terbaca yu‘allimuhu (( )W) – prefiks orang ketiga

tunggal; sementara dalam mushaf Ibn Mas‘ud, kerangka huruf

ini  diberi satu titik di atasnya dan dibaca nu‘allimuhu (( )W7)

– prefiks orang pertama jamak. Masih dalam surat yang sama (3:49),

kerangka huruf kedua dari teks konsonantal - diberi dua titik

di bawahnya dalam mushaf utsmani dan dibaca fayakûnu (-) –

prefiks orang ketiga jamak; sementara teks Ibn Mas‘ud memberikan

dua titik di atas kerangka huruf senada dan menghasilkan bacaan

fatakûnu () – prefiks orang kedua jamak. Kasus terakhir, tanpa

partikel fa, juga ditemukan dalam 10:78. Perbedaan penempatan

titik-titik diakritis untuk prefiks ini tidak mempengaruhi makna

secara substansial.43  Bahkan, perbedaan pemberian titik-titik

diakritis yang menghasilkan kata-kata berbeda – seperti busyran

menjadi nusyran dan seterusnya – juga tidak mempengaruhi makna

pada umumnya.44

Perbedaan kerangka grafis kata-kata tertentu di dalam mushaf

Ibn Mas‘ud terlihat cukup masif jika dibandingkan dengan teks

utsmani. Kata ’ihdinã (“tunjukilah kami”) dalam teks utsmani (1:6),

dibaca ’arsyidnã yang memiliki makna senada; kata al-islãmu dalam

3:19, dibaca al-hanîfiyyatu, yang juga memiliki kandungan makna

senada; kata aydiyahumã (“tangan keduanya”) dalam  5:38, dibaca

aymãnahumã (“tangan kanan keduanya”); kata zukhrufin dalam

17:93, dibaca dzahabin, yang lebih tegas bermakna “emas”;

ungkapan fakhasyînã (“maka kami cemas”) dalam 18:80, dibaca

fakhãfa rabbuka (“maka Tuhanmu khawatir”); dan lain-lain. Varian-

204  /  TAUFIK ADNAN AMAL

varian bacaan semacam ini terlihat cuma hanya  mengungkapkan sinonim

dari gagasan-gagasan yang sama, dan dengan demikian tidak

mendistorsi makna secara keseluruhan. Namun, beberapa  varian

kata atau ungkapan lainnya, yang memiliki kerangka konsonantal

berlainan, ternyata tidak cuma hanya  telah menimbulkan pergeseran

makna, namun  juga telah mendistorsi teks di mana ia ditempatkan.

Contohnya, kata baydlã’a  (“putih”) dalam teks utsmani (37:46),

dibaca oleh Ibn Mas‘ud shafrã’a (“kuning”); kata ilyãsa dan ilyãsîn

dalam 37: 123,130, dibaca secara berturut-turut sebagai idrîsa dan

idrãsîn, keduanya menunjuk kepada nama dua nabi yang berbeda.

Penambahan atau penyisipan kata juga terlihat dalam teks Ibn

Mas‘ud. Apakah sisipan ini merupakan koreksi teks atau sekedar

penjelasan tambahan, sulit ditetapkan. sesudah  ungkapan

limanittaqã dalam 2:203, teks Ibn Mas‘ud menambahkan kata

allãha. Masih dalam surat yang sama (2:213), sesudah  ungkapan

ummatan wãhidatan, ada  tambahan kata fa-khtalafû. Senada

dengan ini, sesudah  kata al-jamalu dalam 7:40, ditambahkan kata

al-ashfaru; dan sesudah  ungkapan min qabli hãdzã dalam 11:49,

disisipkan kata al-qur’ãni. Masih banyak contoh jenis ini yang

terserak dalam mushaf Ibn Mas‘ud.

Terkadang, sisipan dalam teks Ibn Mas‘ud terdiri dari

sekelompok kata. Sisipan jenis ini dapat diilustrasikan secara singkat

dengan mengutip teks utsmani dan menempatkan sisipan Ibn

Mas‘ud di dalam tanda kurung. Seringkali, sisipan itu muncul di

tengah-tengah suatu ayat, seperti dalam 2:198: min rabbikum (+ fî

mawãsim al-hajji), “dari Tuhan kamu ( + di musim-musim haji);”

atau dalam 5:89: fashiyãmu tsalãtsati ayyãmin (+ mutatãbi‘ãtin),

“maka berpuasalah selama tiga hari ( + berturut-turut);” atau dalam

11:71, wa-mra’atuhu qãimatun (+ wa huwa qã‘idun), “Dan isterinya

berdiri ( + sementara dia [ Ibrahim ] duduk).” Dalam kasus lain,

sisipan dimasukkan di beberapa tempat dalam satu ayat, seperti

dalam 3:50: wa ji’tukum bi-ãyatin (bi-ãyãtin45 ) min rabbikum

fattaqû-llãha (+ limã ji’tukum bihi min al-ãyãti) wa ’athî‘ûni (+

fîmã ’ad‘ûkum ilayhi), “dan aku datang kepada kalian dengan

pertanda (pertanda-pertanda) dari Tuhanmu, sebab  itu bertakwalah

kepada Allah ( + yang sebab  dengan pertanda-pertanda-Nya aku

datang kepada kalian) dan taatlah kepadaku ( + dalam hal yang

aku serukan kalian kepadanya);” atau dalam 33:6: wa azwãjuhu

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  205

ummahãtuhum (+ wa hua ’abun lahum), “dan isteri-isterinya yaitu 

ibu-ibu mereka ( + dan dia [Muhammad] yaitu  bapak mereka).”

Sisipan atau tambahan kelompok kata dalam mushaf Ibn

Mas‘ud terkadang ditempatkan di penghujung ayat. Contohnya

yaitu  di akhir 34:44, sesudah  kata nadzîrin, disisipkan ungkapan

“wa qãla-lladzîna kadzdzabû in hãdzã illã hadîtsun muftaran.”

Pada bagian akhir 53:58, sesudah  kata kãsyifatun, ditambahkan

kalimat “wa hiya ‘alã al-zhãlimîna nãrun hãmiyatun.”  Demikian

pula, di penghujung 87:16, sesudah  kata al-dunyã, ada  sisipan

“‘alã al-ãkhirati,” dan lain-lain.

Bentuk tambahan teks lainnya dalam mushaf Ibn Mas‘ud

yaitu  sisipan ayat. Dalam surat 37, sesudah ayat 169, disisipkan

sebuah ayat wa innã ’ilayhi larãgibûn ( +H 

 (-

K 7K $ ), “Dan sungguh

kami ingin kembali kepadanya.” Demikian pula, dalam surat 39,

di antara ayat 23 dan 24, ada  tambahan satu ayat:

6*4,Q' K' 4LN8)

C

4

$

Artinya:

Dan orang-orang yang membatu hatinya untuk mengingat

Tuhan, maka sesungguhnya Allah akan menyesatkan orang

yang Dia kehendaki.

Sementara dalam surat 53, sesudah  ayat 60, ditambahkan ayat

berikut ini:

,Z&$ (8 @QJ

, 6O "

Artinya:

Dan apabila datang kepada kalian rasul dari Kami, kalian

menertawakannya dan tidak percaya.

46

Dalam beberapa  kesempatan, yang muncul dalam teks Ibn

Mas‘ud yaitu  ayat-ayat alternatif. Dalam 13:30, bacaan

alternatifnya terdiri dari satu ayat:


Artinya:

Dan tidaklah Aku utus para rasul dan aku turunkan kitab-

kitab, kecuali dalam bahasa kaumnya, agar para rasul itu

membacakannya dan menjelaskannya kepada mereka

keutamaan dari Allah.

Demikian pula dalam 4:10, ayat alternatif dalam mushaf Ibn

Mas‘ud berbunyi:

Artinya:

Dan barang siapa memakan harta anak yatim secara zalim,

maka sebenarnya ia telah menelan api ke dalam perutnya dan

ia akan masuk ke dalam api neraka.

Dalam  52:47, ayat alternatifnya yaitu :

 )W&4

$ +

:

$G4, LN

  $B4

K

Artinya:

Sesungguhnya bagi orang-orang kafir ada azab selain dari itu,

yang sangat dekat, namun  mereka tidak mengetahuinya.47

Dalam kasus-kasus tertentu, bacaan alternatif Ibn Mas‘ud terdiri

dari dua ayat, misalnya dalam 52:43:

:8@+4-

GA 7K NN

8 i-)' -H N

N

 f

BT  Lkl $ 6 

Artinya:

Ataukah mereka mempunyai tuhan selain Allah, maka

datangkanlah tuhan mereka jika mereka orang-orang yang

benar.

Maha suci Tuhanmu, Tuhan langit dan bumi, dari apa yang

mereka sifatkan.

Dua ayat alternatif, terkadang muncul secara berurutan dalam

mushaf Ibn Mas‘ud menggantikan dua ayat – yang juga berurutan

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  207

– dalam teks utsmani. Jadi dalam 19:2,3, dua ayat alternatif yang

muncul secara berurutan yaitu :

6 M7 6m` G7 K * 4 

:8 

Artinya:

Sebutkanlah rahmat Tuhanmu al-Rahman (yang pengasih).

saat  Zakariya mengungkapkan kepada-Nya doa.

Demikian pula, dalam 20:60,61, dua ayat alternatif di sini

yaitu :



  ' %)L 

 &)$%,N

J

  * % Y `@a 2LaO

Artinya:

Maka kembalilah Fir’aun dan mengumpulkan (kekuatan)

sihirnya, kemudian ia datang

Musa berkata kepada mereka: “Celakalah kalian. Jangan

katakan dusta kepada Allah”.

Sementara dalam 84:7,8, dua ayat alternatif yang muncul dalam

teks Ibn Mas‘ud yaitu :

- 8' (+ @-  * (- -8 (86O4, , i

Artinya:

Maka barang siapa yang kitabnya datang dari sebelah kanan,

Allah akan menghisabnya dengan perhitungan yang mudah.48

Beberapa ayat sisipan atau ayat alternatif lazim dirujuk sebagai

bacaan atau ayat Syi‘ah. Sebagian di antaranya telah dikemukakan

di atas saat  membahas mushaf Ali dan Ubay, yang juga memiliki

bacaan senada dengan Ibn Mas‘ud dalam kasus-kasus yang telah

dibahas. Ilustrasi lainnya bisa disimak dalam 97:4. Ayat alternatif

berbau Syi‘ah di bagian ini yaitu : tanazzalu al-malã’ikatu wa al-

rûh  fîhã min ‘indi rabbihim ‘alã muhammadin wa ãli

muhammadin bi-kulli ’amrin, “Pada malam itu turun para malaikat

208  /  TAUFIK ADNAN AMAL

dan Jibril dari sisi Tuhannya kepada Muhammad dan keluarganya

dengan segala urusan.” Contoh lain yaitu  60:3: lan tugniya ‘ankum

arhãmukum wa lã ’awlãdukum mina-llãhi syay’an bal wilãyatukum

li-’ahli bayti nabiyyikum, “ Kaum kerabat dan anak-anakmu sama

sekali tidak membuatmu  kaya di sisi Allah kecuali kamu

menjadikan ahli bait nabimu sebagai walimu,” dan lain-lain.49

Bacaan-bacaan Syi‘ah semacam ini, sebagaimana telah disebutkan,

dipandang sebagai rekayasa belakangan untuk memuliakan ahl al-

bayt. sebab  itu, bacaan-bacaan ini  ditolak keabsahannya

sebagai varian bacaan al-Quran dan diragukan eksistensinya dalam

mushaf orisinal Ibn Mas‘ud atau mushaf sahabat Nabi lainnya.

Di atas telah dibahas penghilangan partikel gramatikal yang

pada gilirannya mempangaruhi vokalisasi teks. Selain penghilangan

semacam itu, di dalam mushaf Ibn Mas‘ud ada  bentuk-bentuk

lainnya berupa penghilangan kata atau kelompok kata dan bahkan

ayat. Penghilangan atau pengurangan kata bisa diilustrasikan, antara

lain, dengan 5:118, di mana kata innahum dihilangkan dari

ungkapan fa-innahum ‘ibãduka, sehingga yang tersisa yaitu  fa-

‘ibãduka; atau pengurangan kata dzãlika dalam ungkapan dzãlika

khayrun (7:26); atau penghilangan kata ‘asyri dalam ungkapan bi-

‘asyri suwarin (11: 13); atau penghilangan kata yad‘ûna dalam

ungkapan wa-lladzîna yad‘ûna (13:14); serta penghilangan kata qul

dan allãh dalam 112:1,2. namun , penghilangan atau pengurangan

semacam ini secara umum tidak banyak mempengaruhi makna teks.

Demikian pula, pengurangan atau penghilangan kelompok

kata – yang juga muncul dalam teks Ibn Mas‘ud – dalam

kebanyakan kasus terlihat tidak begitu mempengaruhi makna teks

secara umum. Jenis pengurangan semacam ini bisa diilutrasikan

dengan penghilangan ungkapan wa lã yaltafit minkum ’ahadun

dalam 11:81, yang tidak mempengaruhi makna keseluruhan

konteks ayat, bahkan terlihat lebih ringkas; atau penghilangan

ungkapan wallã mustakbiran kãna lam yasma‘hã dalam 31:7, yang

tidak mempengaruhi makna keseluruhan ayat; serta penghilangan

ungkapan min sû’i al-‘adzãb dalam 39:47, yang juga tidak

mempengaruhi makna umum konteks ayat. Bahkan, saat  satu

ayat dihilangkan seluruhnya, seperti dalam 94:6 –  merupakan

satu-satunya kasus dalam teks Ibn Mas‘ud – “inna ma‘a al-‘usri

yusran,” maka maknanya juga tidak terdistorsi, sebab  ayat ini

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  209

merupakan pengulangan dari ayat sebelumnya (94:5), dan posisinya

di sini barangkali cuma hanya  untuk memberi penekanan atau penegasan.

Mushaf Abu Musa al-Asy‘ari

Abu Musa al-Asy‘ari, berasal dari Yaman, tergolong ke dalam

kelompok orang yang masuk Islam pada masa awal. Dikabarkan

bahwa ia juga turut berhijrah ke Abisinia dan baru kembali pada

masa penaklukan Khaibar. sesudah  itu, ia diberi posisi sebagai

gubernur suatu distrik oleh Nabi. Pada 17H, Khalifah Umar

mengangkatnya sebagai gubernur di Bashrah. Pada masa

pemerintahan Utsman ia dicopot dari jabatan ini  dan akhirnya

diangkat  kembali dalam jabatan yang sama di kota Kufah. saat 

Utsman terbunuh, warga  kota Kufah menentang Ali ibn Abi

Thalib, yang memaksa Abu Musa melarikan diri dari kota itu. Ia

juga terlihat terlibat dalam Perang Shiffin pada 37H antara Ali

dan Mu‘awiyah, sebagai arbitrator untuk Khalifah Ali, namun  gagal

memainkan perannya. Di sinilah akhir aktivitas Abu Musa dalam

percaturan politik. Dikabarkan ia kembali ke Makkah, lalu ke

Kufah dan meninggal di sana pada 42 atau 52H.

Abu Musa sejak awalnya telah tertarik kepada pembacaan al-

Quran. Dikabarkan bahwa suara bacaan al-Qurannya sangat

terkenal di masa Nabi. Mushaf al-Qurannya barangkali mulai

dikumpulkan pada masa Nabi, lalu diselesaikannya sesudah  itu.

saat  menjabat sebagai gubernur Bashrah, mushafnya – biasa

disebut dan dirujuk dengan nama Lubãb al-Qulûb – mulai diterima

dan akhirnya dijadikan sebagai teks otoritatif warga  kota

ini . Beberapa pernyataan menarik dikemukakan dalam karya

Ibn Abi Dawud, Kitãb al-Mashãhif, yang memperkuat dugaan

tentang independensi mushaf Abu Musa.

Pernyataan pertama, Yazid ibn Mu‘awiyah mengisahkan bahwa

pada suatu saat  di masa al-Walid ibn Uqbah ia berada di mesjid

dan bergabung dalam suatu halaqah, yang juga dihadiri Hudzayfah

ibn al-Yaman (w. 36H); kemudian terdengar seruan bahwa orang-

orang yang mengikuti bacaan Abu Musa agar berkumpul di gerbang

Kindah, dan yang membaca menurut bacaan Ibn Mas‘ud agar

datang ke dekat rumah Abd Allah. saat  mendengar kedua

kelompok itu berbeda dalam pembacaan surat 2:196,50  Khudzayfah

2

naik pitam dan bersumpah bahwa seseorang harus membuat

Khalifah Utsman mengambil tindakan terhadap hal ini .51

Yang kedua –  merupakan varian pernyataan pertama – yaitu 

pernyataan Abu al-Sya‘tsa’ tentang bagaimana Khudzayfah

memprotes kedua bacaan di atas dan bermaksud mendatangi

Khalifah Utsman untuk memintanya menyatukan bacaan-bacaan

yang berbeda itu, namun  ia dimarahi oleh Abd Allah hingga

terdiam.52  Pernyataan lainnya yaitu  yang diberitakan dari Abd

al-A‘la ibn al-Hakam al-Kilabi bahwa saat  dia masuk ke rumah

Abu Musa, datang seorang utusan ke Bashrah membawa salinan

mushaf standar utsmani yang harus mereka ikuti. Abu Musa

kemudian berkata bahwa bagian apapun dalam mushafnya yang

bersifat tambahan bagi mushaf utsmani agar jangan dihilangkan,

namun  apabila ada sesuatu dalam mushaf utsmani yang tidak

ada  di dalam mushafnya agar ditambahkan.53

Dalam perjalanan selanjutnya, mushaf Abu Musa terlihat

tenggelam dan memudar pengaruhnya dengan diterimanya mushaf

utsmani sebagai mushaf otoritatif. Hal ini bisa dilihat pada

kenyataan bahwa cuma hanya  beberapa  kecil varian bacaannya yang

sampai ke tangan kita. Berbeda dari mushaf Ubay dan Ibn Mas‘ud,

tidak ada riwayat yang menuturkan tentang susunan surat di dalam

mushafnya, selain riwayat bahwa dua surat ekstra yang ada dalam

mushaf Ubay – yakni sûrat al-khal‘ dan sûrat al-hafd – ada 

dalam mushafnya.54  Demikian pula, diriwayatkan bahwa ayat

sisipan dalam mushaf Ubay – yakni di antara ayat 24 dan 25 dalam

surat 10, seperti telah disinggung di atas55  – biasa dibaca Abu

Musa dalam suatu surat yang panjangnya menyerupai surat 9, namun 

yang diingatnya tinggal ayat itu,56   dan juga suatu surat lainnya

yang semisal musabbihãt,57  namun yang bisa ia ingat dari surat

ini  cuma hanya lah ayat yang mirip dengan 61:2.58  “Ayat-ayat” ini

diriwayatkan di dalam hadits-hadits sebagai bagian al-Quran yang

terhapus; dan hadits-hadits tentang penghapusan ini tidak dapat

dipercaya sama sekali. Tampaknya kedua ayat yang dipermasalahkan

di sini tidak ada  di dalam kodeks Abu Musa; sebab kalau

tercantum di dalamnya, maka tentu tidak mudah baginya

melupakan surat-surat yang di dalamnya ada  kedua ayat

ini .59

Penelusuran yang dilakukan Jeffery terhadap varian bacaan

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  211

Abu Musa cuma hanya  mengungkapkan suatu jumlah yang relatif kecil

dibandingkan dengan nama besarnya. Ia cuma hanya  menemukan empat

varian Abu Musa yang berbeda dari lectio vulgata. Yang pertama

yaitu  dalam 2:124, di mana kata ibrãhîma – demikian bacaan

resmi utsmani – telah dibaca ibrahãma oleh Abu Musa, dan bacaan

ini dipertahankan dalam keseluruhan bagian al-Quran. Yang kedua

yaitu  ungkapan  lã ya‘qilûna dalam 5:103, dibaca lã yafqahûna,

yang tentunya merupakan sinonim. Yang ketiga yaitu  kata

shawãffa dalam 22:36, dibaca shawãfiya, yang tidak mempengaruhi

makna umum. Dan terakhir yaitu  ungkapan man qablahu dalam

69:9, dibaca man tilqã’ahu, yang juga merupakan sinonim.60  Jadi

varian-varian ini memperlihatkan tidak ada perbedaan substansial

antara mushaf Abu Musa dan Kodeks Utsmani.

Mushaf Ibn Abbas

Dalam peta perkembangan tafsir al-Quran di kalangan kaum

Muslimin, Ibn Abbas – nama sebenarnya Abu al-Abbas Abd Allah

ibn Abbas, keponakan Nabi – menduduki posisi sangat terkemuka.

Hal ini terlihat dari figurisasi dirinya sebagai tarjumãn al-qur’ãn

(“penafsir al-Quran terbaik”), al-bahr (“lautan,” yakni berilmu

sedalam lautan), dan habr al-ummah (“intelektual umat”).

Kelahirannya diperkirakan pada masa saat  banu Hasyim

diblokade di al-Syi‘b, beberapa tahun sebelum Nabi hijrah ke

Madinah.

Nama Ibn Abbas mulai menonjol sesudah  Khalifah Utsman

mempercayakannya memimpin ibadah haji pada 35H, suatu tahun

yang menentukan dalam perjalanan politik Utsman. Lantaran hal

itulah ia tidak ada di Madinah saat  Utsman dibunuh. Pada masa

kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib, ia ditunjuk sebagai gubernur

Bashrah. saat  Ali terpaksa menerima arbitrase di Shiffin, ia

berkeinginan menjadikan Ibn Abbas sebagai wakilnya, namun 

ditentang para pengikutnya yang cenderung mewakilkannya kepada

Abu Musa al-Asy‘ari. Walaupun demikian, Ibn Abbas menyertai

Abu Musa dalam proses arbitrase itu, di mana Ali dimakzulkan

oleh Mu‘awiyah yang akhirnya membangun dinasti Umaiyah.

sesudah  wafatnya Mu‘awiyah, Ibn Abbas menyatakan kesetiaannya

kepada Yazid  (w. 683) – anak Mu‘awiyah, yang melanjutkan

212  /  TAUFIK ADNAN AMAL

kepemimpinan politik banu Umaiyah – berdasar  pertimbangan

bahwa mayoritas umat Islam berada di sisi Khalifah. Ia dikabarkan

wafat di Tha‘if pada 68H – menurut sumber lain pada 69 atau 70H.61

Ibn Abbas memperoleh kemasyhuran bukan lantaran

aktivitasnya di panggung politik, namun  sebab  pengetahuan

agamanya yang luas, terutama dalam al-Quran. Dari kebesaran

semacam ini, seseorang bisa menduga bahwa kodeksnya akan sama

terkenal dengan mushaf sahabat-sahabat Nabi lainnya, seperti Ibn

Mas‘ud atau Ubay. namun  kenyataan sejarah menunjukkan hal

berbeda: mushaf Ibn Abbas terlihat tidak pernah menjadi panutan

warga  kota tertentu, sekalipun beberapa  mushaf sekunder –

seperti mushaf Ikrimah, Atha’, dan Sa‘id  Ibn Jubair – dipandang

meneruskan tradisi teksnya. Ketenarannya dalam tafsir terjadi pada

tahap belakangan dalam karirnya, saat  ia berusaha  memanfaatkan

syair-syair pra-Islam untuk menjelaskan makna al-Quran dalam

tradisi teks utsmani. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kodeks

al-Qurannya dikumpulkan pada masa mudanya.

Nama Ibn Abbas sering muncul dalam daftar orang yang

mengumpulkan al-Quran pada masa Nabi.62  namun , kenyataan

bahwa usianya masih sangat muda pada waktu itu jelas menegasikan

kemungkinan aktivitas pengumpulannya. Paling jauh, hal ini cuma hanya 

mencerminkan bahwa ia dikenal sebagai salah satu pengumpul al-

Quran pada masa pra-Utsman. Hadits juga memberitakan bahwa

ia merupakan murid Ali ibn Abi Thalib dalam masalah-masalah

al-Quran.63  namun , laporan ini – sebagaimana laporan berbau Syi‘ah

lainnya yang tendensius – sangat diragukan kebenarannya.

Jeffery menduga bahwa teks mushaf Ibn Abbas mencerminkan

salah satu bentuk tradisi teks Madinah. Dari hubungan dekatnya

yang resmi dengan Utsman pada masa persiapan kodifikasi al-

Quran, dapat dipastikan bahwa mushaf Ibn Abbas juga telah

diserahkan untuk dimusnahkan bersama mushaf-mushaf lainnya.64

Itulah sebabnya, seperti terlihat dalam pentas historis, mushaf Ibn

Abbas tidak memainkan peran yang signifikan dalam sejarah awal

teks al-Quran.

Salah satu karakteristik mushaf Ibn Abbas yaitu  eksisnya

dua surat ekstra – sûrat al-khal‘ dan sûrat al-hafd – di dalamnya,65

sebagaimana yang ada dalam mushaf Ubay dan Abu Musa. Dengan

demikian, jumlah keseluruhan surat yang ada di dalam mushaf

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  213

Ibn Abbas yaitu  sebanyak 116 surat. Sekalipun demikian, kedua

surat ekstra ini tidak muncul dalam daftar susunan surat mushafnya

yang berbeda dari aransemen surat mushaf utsmani. Az-Zanjani,

yang mengutip mukadimah tafsir al-Syahrastani, mengemukakan

susunan surat dalam mushaf Ibn Abbas sebagai berikut:66

Susunan Surat Mushaf Ibn Abbas menurut al-Syahrastani

    No. surat                                            No. Surat

    Ibn Abbas                             Nama Surat                                   Utsmani

1. Iqra’ 96

2. Nûn 68

3. Wa-l-dluhã 93

4. al-Muzzammil 73

5. al-Muddatstsir 74

6. al-Fãtihah 1

7. Tabbat yadã 111

8. Kuwwirat 81

9. al-A‘lã 87

10. Wa-l-layl 92

11. Wa-l-fajr 89

12. Alam Nasyrah 94

13. al-Rahmãn 55

14. Wa-l-‘Ashr 103

15. al-Kawtsar 108

16. al-Takãtsur 102

17. al-Dîn 107

18. al-Fîl 105

19. al-Kãfirûn 109

20. al-Ikhlãsh 112

21. al-Najm 53

22. al-A‘mã 80

23. al-Qadr 97

24. Wa-l-Syams 91

25. al-Burûj 85

26. al-Tîn 95

27. Quraisy 106

28. al-Qãri’ah 101

29. al-Qiyãmah 75

30. al-Humazah 104

31. Wa-l-mursalãt 77

32. Qãf 50

33. al-Balad 90

34. al-Thãriq 86

35. al-Qamar 54

36. Shãd 38

37. al-A‘rãf 7

214  /  TAUFIK ADNAN AMAL

38. al-Jinn 72

39. Yã sîn 36

40. al-Furqãn 25

41. al-Malã’ikah 35

42. Maryam 19

43. Thã hã 20

44. al-Syua‘rã’ 26

45. al-Naml 27

46. al-Qashash 28

47. Banî Isrã’îl 17

48. Yûnus 10

49. Hûd 11

50. Yûsuf 12

51. al-Hijr 15

52. al-An‘ãm 6

53. al-Shaffãt 37

54. Luqmãn 31

55. Saba’ 34

56. al-Zumar 39

57. al-Mu’min 40

58. Hã mîm al-Sajdah 41

59. Hã mîm ‘ain sin qãf 42

60. al-Zukhrûf 43

61. al-Dukhãn 44

62. al-Jãtsiyah 45

63. al-Ahqãf 46

64. al-Dzãriyãt 51

65. al-Gãsyiyah 88

66. al-Kahfi 18

67. al-Nahl 16

68. Nûh 71

69. Ibrãhîm 14

70. al-Anbiyã’ 21

71. al-Mu’minûn 23

72. al-Ra‘d 13

73. al-Thûr 52

74. al-Mulk 67

75. al-Hãqqah 69

76. al-Ma‘ãrij 70

77. al-Nisã’ 78

78. Wa-l-nãzi‘ãt 79

79. al-Infithãr 82

80. al-Insyiqãq 84

81. al-Rûm 30

82. al-‘Ankabût 29

83. al-Muthaffifîn 83

84. al-Baqarah 2

85. al-Anfãl 8

86. Ãli ‘Imrãn 3

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  215

87. al-Hasyr 59

88. al-Ahzãb 33

89. al-Nûr 24

90. al-Mumtahanah 60

91. al-Fath 48

92. al-Nisã’ 4

93. Idzã Zulzilat (al-Zalzalah) 99

94. al-Hajj 22

95. al-Hadîd 57

96. Muhammad (saw.) 47

97. al-Insãn 76

98. al-Thalaq 65

99. Lam Yakun 98

100. al-Jumu‘ah 62

101. Alîf lãm mîm   al-Sajdah 32

102. al-Munãfiqûn 63

103. al-Mujãdilah 58

104. al-Hujurãt 49

105. al-Tahrîm 66

106. al-Tagãbûn 64

107. al-Shaff 61

108. al-Mã’idah 5

109. al-Tawbah 9

110. al-Nashr 110

111. al-Wãqi‘ah 56

112. Wa-l-‘Ãdiyat 100

113. al-Falaq 113

114. al-Nãs 114

Keterangan: * Nama dan nomor surat mengikuti edisi al-Quran Indonesia.

Sekuensi surat dalam mushaf Ibn Abbas di atas memperlihat-

kan usaha  penyusunan surat-surat mushaf utsmani dalam suatu

tatanan kronologis. Lebih jauh, susunan surat itu juga menunjuk-

kan bahwa aransemen kodeks Ibn Abbas diorganisasi sesudah 

penerimaan mushaf standar utsmani, sebab  dua surat ekstra yang

telah disebutkan di atas tidak tercantum di dalamnya. Jeffery

menduga bahwa aransemen surat-surat dalam mushaf Ibn Abbas

merupakan rekayasa belakangan dari seseorang yang mengetahui

bahwa Ibn Abbas memiliki suatu kodeks yang susunan suratnya

berbeda dari sekuensi surat dalam mushaf utsmani.67  namun , seperti

ditunjukkan dalam bab 3, susunan kronologis surat-surat dalam

mushaf inilah, disamping riwayat-riwayat lain yang juga bersumber

dari Ibn Abbas, yang menjadi basis utama dalam usaha  pemberian

penanggalan surat-surat al-Quran versi kronologi Mesir.


216  /  TAUFIK ADNAN AMAL

Bacaan-bacaan Ibn Abbas,68  dalam beberapa  kasus, mendukung

varian-varian bacaan dalam tradisi teks utsmani, seperti bacaan

Hamzah (w.772), al-Kisa’i (w. 804), Ibn Katsir (w. 738), Nafi‘ (w.

785), Abu Amr (w. 770), dan Ibn Amir (w. 736), yang agak berbeda

dari bacaan Ashim (w. 745/6). Dalam kasus lainnya, bacaan-bacaan

Ibn Abbas selaras dengan bacaan Ibn Mas‘ud – merupakan kasus

paling sering – ataupun Ubay serta beberapa  sahabat Nabi lainnya.

Sementara dalam kasus-kasus tertentu, bacaan Ibn Abbas

memperlihat keberadaannya sebagai bacaan independen.

Berbagai kasus perbedaan vokalisasi teks antara mushaf Ibn

Abbas dengan mushaf standar utsmani edisi Mesir dapat

dikemukakan lewat beberapa ilustrasi berikut. Kerangka grafis 4 )V

di akhir 2:124, yang dalam mushaf utsmani terbaca al-zhãlimîn

( 4- )]

), dibaca oleh Ibn Abbas sebagai al-zhãlimûn ( )]

).

Demikian pula, kerangka konsonantal R-

M dalam 11:32, yang

divokalisasi dalam mushaf utsmani sebagai jidãlanã, dibaca sebagai

jadalanã oleh Ibn Abbas. Sementara kerangka grafik  M+L\ dalam

89:29, yang dalam mushaf utsmani dibaca fî ‘ibãdî (G+L\), dalam

mushaf Ibn Abbas dibaca fî ‘abdî (M+L\) – jadi perbedaan cuma hanya 

dalam bentuk jamak dan tunggal.  Ilustrasi  terakhir  yaitu  106:4,

pada kerangka konsonantal UV@

.

 . Dalam mushaf utsmani, bagian

ayat ini dibaca hammãlat al-hathab (UV@

.

 ), sedangkan dalam

mushaf Ibn Abbas dibaca sebagai hãmilat al-hathab (UV@

.),).

Agak mirip dengannya yaitu  pembacaan beberapa  kata dalam

bentuk jamak oleh Ibn Abbas atau sebaliknya. Untuk kasus

pembacaan kata dalam bentuk jamak, yang dalam mushaf utsmani

berbentuk tunggal, bisa diilustrasikan dengan dua kata dalam 30:41,

yakni al-barri wa-l-bahri (tunggal), yang dibaca Ibn Abbas dalam

bentuk jamak al-burûri wa-l-buhûri. Kata matsalu (n,) dalam 47:15,

dibaca sebagai amtsãlu (Jn, ). Sedangkan ungkapan al-masyriq wa-

l-magrib (_ 

$;* 

) dalam 73:9, dibaca sebagai al-masyãriq wa-

l-magãrib (_ 

$;* 

). Kasus sebaliknya, saat  teks utsmani

mengungkapkan suatu kata dalam bentuk jamak, namun  dibaca

dalam bentuk tunggal oleh Ibn Abbas, bisa diilustrasikan dengan

ungkapan ãyãtun bayyinãtun dalam 3:97(C-8C / 5-85 ), yang

dibaca Ibn Abbas sebagai ãyatun bayyinatun (-8 ). Demikian pula

bentuk jamak kabã’ira (I+) dalam 4:31, dibaca sebagai kabîr (-+).

Perbedaan-perbedaan semacam ini, secara umum, tidak

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  217

mempengaruhi makna teks secara substansial.

Perbedaan pemberian titik diakritis untuk kerangka

konsonantal yang sama juga terlihat dalam mushaf Ibn Mas‘ud,

sekalipun dalam jumlah yang relatif kecil. Suatu ilustrasi yang

bisa dikemukakan di sini yaitu  kerangka konsonantal 6:57, yang

dalam mushaf utsmani dibaca yaqushshu al-haqq (X@

P ), dibaca

dalam mushaf Ibn Abbas – dengan sisipan partikel bi di tengah-

tengahnya dan pemberian satu titik di atas huruf ketiga  kata

pertama  –  sebagai yaqdlî bi-l-haqqi (X@

8%Q ). Sementara kerangka

grafis M (21:96), yang dalam mushaf utsmani dibaca hadabin (

M), oleh Ibn Abbas dibaca sebagai jadatsin (gMO) –  sama dengan

bacaan Ibn Mas‘ud. Demikian pula, kerangka konsonantal M+L

dalam 43:19, yang dalam mushaf utsmani dibaca ‘ibãd (M+L / G+L),

dibaca sebagai ‘inda (ML). Jadi, perbedaannya di sini cuma hanya  terletak

pada pemberian satu titik di atas atau di bawah huruf kedua. Secara

kontekstual, perbedaan semacam ini belum mengakibatkan

perubahan yang substansial terhadap makna keseluruhan ayat.

Dalam beberapa  kasus ditemukan perbedaan kerangka grafis.

Kata shirãth (= A) dalam mushaf utsmani (misalnya 1:6), dalam

keseluruhan mushaf Ibn Abbas disalin dengan sirãth (= ).

Perbedaan kerangka konsonantal di sini barangkali mengekspresi-

kan perbedaan dialek, seperti juga ditemukan dalam bagian al-

Quran lainnya (31:20), wa asbaga (o+ $), yang dibaca Ibn Abbas

sebagai wa ashbaga (o+A $); atau ungkapan pembuka dalam 70:1,

sa’ala sã’ilun (IJi), yang dibaca Ibn Abbas sebagai sãla saylun

( -J).69

Ilustrasi selanjutnya tentang perbedaan kerangka grafis bisa

dilihat dalam ungkapan wa atimmû al-hajja wa-l-‘umrah li-llãh

(' W

$!@

  $) – seperti yang ada di dalam mushaf utsmani

(2:196) – tertulis dalam mushaf Ibn Abbas sebagai wa aqîmû al-

hajja wa-l-‘umrah li-l-bayt (C-+)

 W

$!@

 -

$). Demikian pula,

ungkapan panjang dalam mushaf utsmani, yakni wa kãna

warã’ahum (F6 $) malik ya’khudzu kulla safînatin gashban (18:79),

dibaca Ibn Abbas wa kãna amãmahum (N,, ) malik ya’khudzu

kulla safînatin shãlihatin (@

A) gashban. Di sini pun tidak terjadi

pergeseran makna keseluruhan ayat yang cukup berarti.

Beberapa ilustrasi di atas secara jelas memperlihatkan adanya

penambahan-penambahan kata atau ungkapan dalam teks Ibn

218  /  TAUFIK ADNAN AMAL

Abbas. Bentuk penambahan ini bisa dicontohkan lebih jauh dengan

2:198, di mana sesudah  ungkapan min rabbikum, Ibn Abbas

membaca sisipan ungkapan fî mawãsim al-hajj – seperti halnya

Ibn Mas‘ud. Sementara dalam 4:79, di antara kata nafsika dan

kata wa arsalnã-ka disisipkan ungkapan wa anã katabtahã ‘alayka,

sehingga bacaan Ibn Abbas di sini yaitu  nafsika wa anã katabtahã

‘alayka wa arsalnãka. Demikian pula, sesudah  kata ayyãm dalam

5:89, Ibn Abbas menambahkan kata mutatãbi‘ãt. sesudah  kata

‘alimta dalam 17:102, ditambahkan ungkapan yã fir‘awna.

Berikutnya, di antara kata  fanãdãhã dan min tahtihã dalam 19:24,

Ibn Abbas menyisipkan kata malakun, sehingga bacaannya di sini

yaitu  fanãdãhã malakun min tahtihã. Bentuk-bentuk sisipan

semacam ini tidak banyak mempengaruhi makna keseluruhan ayat,

sebab  ia merupakan penjelasan (gloss). Apakah penjelasan

semacam ini yaitu  bagian orisinal teks wahyu atau sekedar

tambahan belakangan, tidak dapat ditetapkan secara pasti. Yang

jelas, sebagaimana telah dikemukakan saat  membahas sisipan

sejenis dalam mushaf Ubay dan Ibn Mas‘ud di atas, ortodoksi

Islam memandangnya bukan teks yang diwahyukan namun  sekedar

tafsiran.

Bentuk teks yang berseberangan dengan kasus di atas yaitu 

pengurangan atau peringkasan teks dalam mushaf Ibn Abbas.

Ungkapan bi-mitsli mã dalam 2:137, diringkas menjadi bimã dalam

teks Ibn Abbas. Sementara ungkapan fîhã fatakûnu dalam 5:110,

dihilangkan kata fîhã di dalamnya, sehingga bacaannya tinggal

fatakûnu. Demikian pula ungkapan yã hasrata ‘alã al-‘ibãdi dalam

36:30, menjadi yã hasrata al-‘ibãdi – jadi partikel ‘alã dihilangkan.

Bentuk peringkasan teks semacam ini, secara umum tidak banyak

mempengaruhi makna teks dan tidak juga mendistorsinya. namun ,

satu kasus yang menarik yaitu  penghilangan salah satu huruf

muqaththa‘ah dalam 62:1, di mana huruf-huruf potong ‘ain sîn

qãf (XL) kehilangan huruf ‘ain, sehingga teks dan bacaan Ibn

Abbas di sini yaitu  sîn qãf. Dalam kasus ini, tidak bisa ditetapkan

apakah penghilangan itu telah mendistorsi makna huruf-huruf

potong ini  – sebab  hingga dewasa ini belum ada pemaknaan

yang memuaskan tentang huruf-huruf misterius itu70  – atau cuma hanya 

sekadar mendistorsi teks.

Di samping berbagai perbedaan di atas,  ada  pembolak-

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  219

balikan atau pemindahan tempat kata-kata di dalam mushaf Ibn

Abbas. Jadi, ungkapan laysa ‘alaykum junãhun dalam bagian awal

2:198, dibaca terbalik oleh Ibn Abbas sebagai laysa junãhun

‘alaykum. Demikian pula, ungkapan nashru-llãhi wa-l-fathu dalam

110:1, dibaca Ibn Abbas sebagai fathu-llãhi wa al-nashru. Pembolak-

balikan semacam ini jelas tidak mempengaruhi makna umum ayat-

ayat ini .

Uraian yang dikemukakan sejauh ini memperlihatkan bahwa

mushaf Ibn Abbas secara substansial cuma hanya  memiliki perbedaan

yang relatif sedikit dari mushaf standar utsmani, jika mushaf Ubay

dan Ibn Mas‘ud dijadikan sebagai bandingannya. Dalam mushaf

Ibn Abbas – sepanjang menyangkut informasi yang dikumpulkan

dan diungkapkan Jeffery tentangnya – tidak ditemukan perbedaan

ortografis yang menunjukkan kekhususan dan independensinya.

Bahkan kasus ayat-ayat sisipan, atau ayat-ayat alternatif, maupun

“ayat-ayat Syi‘ah,” tidak ditemukan eksistensinya di dalam mushaf

Ibn Abbas. Keberadaan beberapa  kecil perbedaan dalam mushaf

Ibn Abbas, barangkali telah membuat mushafnya jarang dirujuk.

Hal ini, lebih jauh, merupakan suatu argumen bagi otentisitas

kodeks ini ; sebab , apabila mushaf Ibn Abbas dipandang

sebagai rekayasa belakangan, maka akan ditemukan penyebarannya

secara liar dalam berbagai kitab tafsir yang diduga mengikuti aliran

populernya.

Otentisitas Mushaf-mushaf  Pra-Utsmani

Di kalangan sarjana Muslim masalah kesejatian bacaan dalam

mushaf-mushaf pra-utsmani didekati dan dinilai dari segi tingkat

kepercayaan transmisinya (isnãd). Cacat tidaknya isnad

menentukan apakah suatu bacaan sebagai qurani atau tidak. Secara

garis besar, bacaan-bacaan al-Quran diklasifikasikan ke dalam dua

kategori berdasar  isnadnya: Pertama yaitu  bacaan yang

ditransmisikan dalam cara yang meyakinkan dan selaras dengan

kaidah kebahasaan serta tidak menyalahi tradisi teks utsmani. Yang

masuk ke dalam kategori ini yaitu  bacaan mutawãtir dan masyhûr,

seperti kiraah tujuh dan kiraah sepuluh, yang seluruhnya

merupakan varian dalam tradisi teks utsmani. Bacaan mutawãtir

220  /  TAUFIK ADNAN AMAL

dan masyhûr merupakan bacaan sejati al-Quran serta dibaca di

luar atau di dalam shalat. Kedua yaitu  bacaan yang ditransmisikan

secara tidak memadai, atau menyalahi tradisi teks utsmani, atau

bertentangan dengan kaidah kebahasaan. Termasuk ke dalam

kategori ini yaitu  kiraah ãhad,71  syãdzdz,72  mawdlû‘,73  dan lainnya

yang tidak memenuhi kriteria.74  Kiraah-kiraah ini  bukan

bacaan sejati al-Quran.

Bacaan dalam mushaf-mushaf pra-utsmani tidak mencapai

derajat mutawãtir dan mayshûr, dan sebab  itu – dalam gagasan

ortodoksi Islam – bukan merupakan bacaan al-Quran yang otentik.

Bacaan semacam ini, menurut mayoritas ortodoksi Islam, kecuali

Mazhab Hanafiyah, juga tidak diperkenankan penggunaannya

dalam shalat. Bahkan beberapa  otoritas di kalangan ortodoksi Is-

lam mempermasalahkan perannya dalam penyimpulan hukum.

Pandangan umum dalam mazhab Syafi‘iyah, misalnya, tidak

membolehkan derivasi ketentuan hukum darinya.75  Sementara

sebagian ulama lain membolehkannya berdasar  analogi peran

hadits yang terisolasi dalam kasus senada. Jalan pemikiran ini

disetujui ulama Syafi‘iyah lainnya, Ibn al-Subki (w. 771H), dalam

Jam‘ al-Jawãmi‘. Ia mengungkapkan sebagai bukti tentang

keabsahan mendasarkan suatu ketentuan hukum pada suatu varian

kiraah yaitu  praktik pemotongan tangan kanan pencuri yang

dipijakkan pada bacaan Ibn Mas‘ud, sebagaimana dikemukakan

juga oleh Abu Hanifah (w. 767). Lebih jauh, Subki  mengemukakan

bacaan Ibn Mas‘ud untuk membuktikan bahwa puasa dalam kasus

pelanggaran sumpah mesti dilakukan secara berturut-turut.76

Penulis Itqãn juga menyitir pernyataan Abu Ubayd al-Qasim ibn

Sallam (w. 838) dalam Fadlã’il al-Qur’ãn: “al-maqshud min al-qirã’at

al-syãdzdzah tafsîr al-qirã’at al-masyhûrah...” (fungsi kiraah syãdzdz

yaitu  penjelasan terhadap kiraah masyhûr).77

Kesimpulan yang kurang lebih senada tentang bacaan dalam

mushaf pra-utsmani sebagai bukan bagian otentik al-Quran juga

dikemukakan Ignaz Goldziher.78  Ia mendekati mushaf-mushaf

ini  dari sudut pandang perbedaannya dengan teks otentik al-

Quran. Dengan mengedepankan motif-motif pengelakan

kemungkinan adanya kendala dalam pemahaman kandungan al-

Quran, provisi yang berhubungan dengan penjelasannya, klarifikasi

linguistik terhadap teks-teksnya yang kabur, penghindaran ekspresi-

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  221

ekspresi yang tidak lazim atau keliru dan kejanggalan-kejanggalan

stilistik di dalamya, serta kecenderungan untuk memperhalus dan

menyederhanakan pengungkapannya, seperti terlihat dalam bacaan-

bacaan pra-utsmani, Goldziher sampai kepada kesimpulan bahwa

varian-varian atau kodeks-kodeks pra-utsmani  cuma hanya  sekedar varian

dari tradisi teks utsmani. sebab  itu, menurutnya, mushaf-mushaf

ini  bukan merupakan tradisi teks independen atau primer. Ia

juga mengungkapkan bahwa keberadaan beberapa  besar varian yang

ada dalam mushaf-mushaf pra-utsmani lebih disebabkan oleh

karakteristik tulisan Arab saat  itu, di mana kerangka grafis –

atau kerangka konsonantal – yang sama telah diberi i‘jãm dan

syakl yang berbeda.

Gagasan Goldziher disepakati hingga taraf tertentu oleh A.

Fischer. Ia bahkan melangkah lebih jauh kepada kesimpulan bahwa

yang dipandang sebagai varian-varian pra-utsmani itu sebagian

besarnya yaitu  rekayasa belakangan yang dilakukan para filolog

dalam rangka mengoreksi teks  utsmani.79  namun , penolakan

terhadap eksistensi bacaan-bacaan pra-utsmani ini agak menyulitkan

jika laporan tentang pengumpulan di masa Utsman – terutama

latar belakang yang menggerakkannya dan pemusnahan mushaf-

mushaf  non-utsmani – diterima sebagai kenyataan sejarah, sebab 

keberadaan variae lectiones mendapat penekanan darinya sebagai

fakta sejarah.

Sementara G. Bergstraesser – perevisi jilid ketiga karya monu-

mental Noeldeke, Geschichte des Qorans – menekankan realitas

beberapa mushaf pra-utsmani. Namun, ia menduga bahwa bacaan-

bacaan dari mushaf-muhaf ini  yang menyimpang dari teks

utsmani telah menghilang dengan sangat cepatnya.80  Kesimpulan

yang sama diajukan A. Jeffery:

Dalam beberapa kasus mesti diakui bahwa ada  suatu

kecurigaan terhadap bacaan-bacaan (pra-utsmani) sebagai

rekayasa para pakar tata bahasa dan teolog belakangan yang

dinisbatkan kepada otoritas-otoritas awal (yakni para sahabat

Nabi pemilik Mushaf – pent.). Kecurigaan ini barangkali sangat

kuat dalam kasus bacaan-bacaan khas Syi‘ah yang dinisbatkan

kepada Ibn Mas‘ud, dan dalam bacaan yang dinisbatkan kepada

isteri-isteri Nabi. Demikian pula, kecurigaan ini timbul dalam

222  /  TAUFIK ADNAN AMAL

beberapa  bacaan yang dinisbatkan kepada Ibn Abbas, yang –

sebagai “uebermensch des tafsîr” (manusia super dalam tafsir

al-Quran) – cenderung dikutip untuk mendapatkan otoritasnya

bagi setiap  dan seluruh masalah yang berhubungan dengan

kajian-kajian al-Quran. Namun, secara keseluruhan, dapat

dipastikan bahwa mayoritas bacaan (pra-utsmani) yang dikutip

dari qãri’ manapun benar-benar kembali kepada otoritas awal.81

J. Burton dan J. Wansbrough melakukan penelitian sambil lalu

terhadap variae lectiones dan sampai kepada kesimpulan bahwa

keseluruhan riwayat tentang kodeks para sahabat, kodeks metro-

politan (mashãhif al-amshãr), dan varian-varian individual,

merupakan rekayasa para fukaha dan filolog yang belakangan.82

namun , keduanya mengajukan alasan yang sangat berbeda untuk

kesimpulan ini . Burton mengemukakan bahwa riwayat-riwayat

itu direkayasa sebagai latar bagi kisah pengumpulan al-Quran di

masa Utsman. Sementara kisah Utsman itu sendiri juga direkayasa

untuk menyembunyikan fakta bahwa Nabi sendirilah yang telah

mengedit dan mengumpulkan al-Quran ke dalam bentuk finalnya.83

Wansbrough, di sisi lain, menegaskan bahwa riwayat-riwayat

tentang kisah pengumpulan al-Quran serta laporan-laporan tentang

kodeks para sahabat direkayasa dan diangkat ke permukaan untuk

memberikan otoritas kepada suatu teks Ilahi yang bahkan belum

dikompilasi hingga abad 3H/9. Ia mengklaim bahwa teks al-Quran

pada awalnya begitu “cair” sehingga berbagai laporan yang

mencerminkan varian tradisi-tradisi independen di berbagai pusat

metropolitan Islam – misalnya Kufah, Bashrah, Madinah, dll. –

bisa ditelusuri jejaknya dalam mushaf al-Quran yang sekarang.

namun , gagasan kedua penulis  ini tidak begitu diterima di kalangan

sarjana Barat sendiri.84

Sehubungan dengan aransemen surat-surat dalam mushaf-

mushaf pra-utsmani yang sangat beragam, telah dikemukakan

skeptisisme para sarjana Barat yang memiliki otoritas dalam kajian

al-Quran. Pada umumnya mereka memandang susunan-susunan

surat ini  sebagai rekayasa belakangan yang sangat tergantung

kepada aransemen surat mushaf utsmani. Bahkan, pada penghujung

abad ke-20, A.T. Welch masih mengungkapkan gagasan senada

dalam salah satu tulisannya.85  Asumsi semacam ini diterima secara

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  223

luas di kalangan sarjana Barat, sebab  varian-varian aransemen

yang berbeda itu tidak dapat ditelusuri jejaknya dalam satu

manuskrip pun.

namun , penemuan manuskrip al-Quran pra-utsmani di San‘a,

Yaman, telah meruntuhkan asumsi ini .86  Aransemen surat al-

Quran di dalam manuskrip itu, yang sangat menyimpang dari

susunan resmi mushaf utsmani, membenarkan hipotesis bahwa

tidak ada  keseragaman susunan surat dalam mashãhif pra-

utsmani. Tampaknya, berbagai aransemen surat telah diadopsi

dalam berbagai mushaf awal yang tidak cuma hanya  berbeda dari sekuensi

resmi surat dalam mushaf utsmani, namun  juga berbeda dari susunan

surat yang ada di dalam mushaf Ubay, Ibn Mas‘ud, Ali, ataupun

Ibn Abbas. Jadi, sekalipun laporan-laporan tentang daftar susunan

surat dalam mashãhif sahabat Nabi secara historis terbukti sebagai

rekayasa belakangan, dapat dipastikan bahwa aransemen aktual

surat di dalam mushaf-mushaf ini   berbeda antara satu dengan

lainnya.

BAB 6

Kodifikasi Utsman ibn Affan

Pengumpulan Kedua Zayd Ibn Tsabit

Tidak berbeda dari kisah pengumpulan pertama Zayd, ada 

beberapa  riwayat tentang pengumpulan kedua al-Quran yang

dilakukan Zayd pada masa Khalifah Ketiga, Utsman ibn Affan.

Secara garis besar, riwayat-riwayat ini dapat dikelompokkan ke dalam

dua kategori: riwayat versi mayoritas dan riwayat versi minoritas.

Riwayat versi mayoritas merupakan yang paling tersebar dan

diterima secara luas di kalangan umat Islam. Riwayat ini muncul

dalam berbagai literatur, mulai dari hadits, tafsir al-Quran, sampai

karya-karya kesejarahan. Dari sisi eksternal, tingkat keabsahan riwayat

paling berpengaruh ini tidak sebaik riwayat paling berpengaruh

dalam kisah pengumpulan pertama Zayd di masa Abu Bakr, sebab 

mata rantai periwayatan berakhir dengan Anas ibn Malik (w. 711/

2) – yakni tidak kembali secara langsung kepada saksi mata peristiwa

ini . Sementara versi minoritas tidak mendapat pengakuan secara

luas, sekalipun dari segi mata rantai periwayatan menempati

kedudukan yang sama dengan versi mayoritas.

Riwayat versi mayoritas diberitakan Ibn Syihab al-Zuhri dari

Anas ibn Malik, yang mengakatan kepadanya:

Hudzayfah ibn al-Yaman menghadap Utsman. Ia tengah

memimpin warga  Siria dan Irak dalam suatu ekspedisi

militer ke Armenia dan Azerbaijan. Hudzayfah merasa cemas

oleh pertengkaran mereka (warga  Siria dan Irak) tentang

bacaan al-Quran. Maka berkatalah Khudzayfah kepada Utsman:

“Wahai Amir al-Mu’minin, selamatkanlah umat ini sebelum

mereka bertikai tentang Kitab (Allah), sebagaimana yang telah

228  /  TAUFIK ADNAN AMAL

terjadi pada  umat Yahudi dan Nasrani pada masa lalu.”

Kemudian Utsman mengirim utusan kepada Hafshah dengan

pesan: “Kirimkanlah kepada Kami shuhuf yang ada di tanganmu,

sehingga bisa diperbanyak serta disalin ke dalam mushaf-mushaf,

dan sesudah  itu akan dikembalikan kepadamu.” Hafshah

mengirim shuhuf-nya kepada Utsman, yang kemudian

memanggil Zayd ibn Tsabit, Abd Allah ibn al-Zubayr, Sa‘id ibn

al-‘Ash, dan Abd al-Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam, dan

memerintahkan mereka untuk menyalinnya menjadi beberapa

mushaf. Utsman berkata kepada tiga orang Quraisy (dalam tim)

itu: “Jika kalian berbeda pendapat dengan Zayd mengenai al-

Quran, maka tulislah dalam dialek Quraisy, sebab  al-Quran itu

diturunkan dalam bahasa mereka.” Mereka mengikuti perintah

ini , dan sesudah  berhasil menyalin shuhuf itu menjadi

beberapa mushaf, Utsman me-ngembalikannya kepada Hafshah.

Mushaf-mushaf salinan yang ada kemudian dikirim Utsman ke

setiap propinsi dengan perintah agar seluruh rekaman tertulis

al-Quran yang ada – baik dalam bentuk fragmen atau kodeks –

dibakar habis.

Al-Zuhri menambahkan, Kharijah ibn Zayd mengatakan

kepadanya bahwa ia mendengar Zayd ibn Tsabit berkata:

“Terlupakan oleh saya sebuah ayat dari surat al-Ahzab saat 

kami menyalin al-Quran, dan saya sering mendengar Rasulullah

membacakannya. Kami lalu mencarinya dan menemukannya

pada Khuzaymah ibn Tsabit al-Anshari, (yaitu surat 33:23).

Kemudian kami memasukkannya ke dalam tempat yang tepat

di dalam surat itu.”1

Sebagaimana diberitakan dalam riwayat versi mayoritas di atas,

pengumpulan al-Quran di masa Utsman dilakukan oleh suatu

komisi yang terdiri dari empat orang. Yang pertama dan merupakan

ketua komisi pengumpulan yaitu  Zayd ibn Tsabit, seorang Anshar

yang sewaktu mudanya aktif sebagai sekretaris Nabi dan mencatat

wahyu-wahyu al-Quran. Di samping itu, seperti telah dikemukakan,

ia juga “dikabarkan” terlibat dalam pengumpulan al-Quran yang

dilakukan pada masa pemerintahan dan atas perintah khalifah

pertama, Abu Bakr. Riwayat di atas menyebutkan bahwa shuhuf

yang dikumpulkan pertama kali oleh Zayd di masa Abu Bakr –

REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN  /  229

yang kemudian berpindah ke tangan Umar ibn Khaththab, dan

akhirnya berada dalam pemilikan Hafshah – kini dijadikan basis

kodifikasi Utsman. Zayd, yang pada masa khalifah ketiga

menduduki jabatan penting,2  merupakan pendukung setia Utsman.

Bahkan, sesudah  terbunuhnya khalifah ketiga itu, ia berpihak kepada

Umaiyah dan menolak bersumpah setia (bay‘ah) kepada Ali. Zayd

meninggal dunia pada 45H.

Anggota komisi lainnya yaitu  Abd Allah ibn al-Zubayr (w.

692), yang juga berasal dari keluarga terpandang Makkah. Lewat

ibunya Asma, ia yaitu  cucu Abu Bakr dan keponakan Aisyah,

bahkan anak tiri Khalifah Umar. Ia tidak cuma hanya  terlibat dalam

berbagai pertempuran sebagai serdadu, namun  juga terkenal sebagai

seorang yang sangat religius. Sementara Sa‘id ibn al-‘Ash (w. 678/

9) lahir beberapa saat sesudah  hijrah dari keluarga Ummayah. sesudah 

pemecatan Walid ibn Uqbah pada 29H, dikabarkan ia

menggantikan posisinya sebagai gubernur Kufah hingga menjelang

akhir tahun 34H. Anggota komisi terakhir yaitu  Abd al-Rahman

ibn al-Harits (w. 633), berasal dari keluarga Mahzum yang

terkemuka di Makkah. Ia tampaknya tidak memiliki prestasi atau

kedudukan politik yang perlu dicatat.

Kecakapan Zayd untuk memimpin tugas yang diperintahkan

Utsman memang selaras dengan kesibukan terdahulunya. Ia terlihat

sebagai orang yang cocok berada di posisinya, dan merupakan

satu-satunya pribadi yang keberadaannya dalam komisi Utsman

disepakati seluruh riwayat. cuma hanya  beberapa  kecil Muslim yang

menyatakan keheranannya kenapa Ibn Mas‘ud tidak menempati

posisi Zayd. Ibn Mas‘ud, seperti terlihat, telah lama menjadi Mus-

lim, bahkan saat  Zayd belum lagi lahir, dan pengetahuannya

tentang al-Quran memang sangat meyakinkan. namun ,

pertimbangan-pertimbangan politik tampaknya telah mewarnai

pemilihan Zayd. Utsman barangkali memandang bahwa pemuda

cekatan, berinteligensi tinggi, pernah melakukan pekerjaan yang

sama di masa sebelumnya, dan – mungkin paling penting – loyal

terhadap Khalifah, jelas merupakan pilihan yang lebih baik

daripada seorang pejabat senior yang keras kepala.

Sebaliknya, agak sulit menentukan alasan pemilihan tiga

anggota komisi lainnya yang berasal dari suku Quraisy. Alasan

utama pemilihan ketiganya, seperti terlihat dalam riwayat di atas,

230  /  TAUFIK ADNAN AMAL

yaitu  menjaga kesejatian dialek Quraisy dalam penyalinan mushaf.

Sehubungan dengan Sa‘id ibn al-‘Ash, sejak 29H ia menjadi

gubernur Kufah. Apakah saat  pembentukan komisi ia berada di

Madinah atau dipanggil secara khusus oleh Khalifah, merupakan

hal yang tidak dapat dipastikan. Sementara kepribadian dua

pemuda Quraisy lainnya juga tidak begitu jelas dalam riwayat-

riwayat yang sampai ke tangan kita.

Dalam salahsatu versi minoritas, nama Sa‘id hilang dari

keanggotaan komisi dan sebagai gantinya muncul nama Abd Al-

lah ibn Amr ibn al-‘Ash dan Abd Allah ibn Abbas.3  Penyebutan

Ibn Abbas di sini jelas menunjukkan suatu tendensi untuk

memasukkan peran keluarga Nabi dalam pembuatan kodeks resmi.

Sementara beberapa  versi minoritas lainnya menyebutkan

keterlibatan Ubay ibn Ka‘b dalam komisi yang dibentuk Utsman.4

namun , sebagaimana ditunjukkan di atas, riwayat ini secara

sederhana bisa ditolak dengan merujuk tahun kematiannya pada

22H, yang jauh mendahului pembentukan komisi Utsman.5

Penyebutan nama Ubay, dalam riwayat-riwayat ini , dikaitkan

dengan 12 anggota komisi yang dibentuk Utsman. Dalam suatu

versi yang agak ringkas tidak disebutkan nama ke-12 anggota itu,

dan basis untuk penulisan mushaf utsmani yaitu  lembaran-

lembaran di dalam kotak al-Quran (rab‘ah) yang tersimpan di

rumah Umar ibn Khaththab.6  Penyebutan beberapa  besar anggota

komisi yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar ini tampaknya

bertujuan untuk melibatkan warga  Madinah dalam

pengumpulan resmi.

Sementara dalam beberapa  riwayat lainnya, cuma hanya  disebutkan

dua nama yang mengerjakan kodifikasi pada masa Utsman, yaitu

Zayd ibn Tsabit dan Sa‘id ibn al-‘Ash, dengan pertimbangan bahwa

Zayd merupakan penulis terbaik yang pernah menyalin wahyu

pada masa Nabi – sebab  itu ia ditugaskan untuk menulis – dan

Sa‘id merupakan yang terfasih bahasanya – sebab  itu ditugaskan

untuk mengimlak atau mendikte.7  namun , terkadang posisi ini

terbalik: Zayd mendikte sedangkan Sa‘id menulis.8  Varian lainnya,

seperti dilaporkan Ibn Abi Dawud, mengemukakan nama Aban

ibn Sa‘id ibn al-‘Ash – paman dari Sa‘id yang sering disebut dalam

riwayat – bersama Zayd.9  Aban memang pernah berperan sebagai

sekretaris Nabi. namun , menurut riwayat lain, ia meninggal dalam

pertempuran Yarmuk pada 14H, sehingga keterlibatannya dalam

komisi Utsman jelas merupakan rekayasa belakangan, atau secara

tidak sengaja nama Sa‘id tertukar dengan namanya dalam proses

transmisi.

Di samping riwayat-riwayat yang telah disebutkan, ada 

versi minoritas lainnya – seperti disitir Ibn Abi Dawud – yang

menjelaskan bahwa Umar mengawali pengumpulan al-Quran,

namun  tidak sempat menyelesaikannya sebab  terbunuh. Utsman,

yang menggantikan Umar sebagai khalifah, melanjutkan pekerjaan

ini  dan menyelesaikannya. Dalam riwayat ini, akhir versi

mayoritas dalam pengumpulan pertama Zayd tentang bagian

terakhir al-Quran (9:127), yang ditemukan pada Khuzaimah ibn

Tsabit, juga dicakupkan.10  Mirip dengan versi minoritas ini yaitu 

riwayat Abd Allah ibn al-Zubayr yang mengabarkan bahwa

seseorang menghadap Umar dan melaporkan pertikaian umat Is-

lam tentang al-Quran. sebab  itu, Umar memutuskan

mengumpulkan al-Quran cuma hanya  dalam satu bacaan. namun , saat 

tengah melaksanakan pengumpulan, ia terbunuh. Orang yang sama

– yang menghadap Umar – kemudian menghadap Khalifah Utsman

dan menyampaikan hal senada. Utsman kemudian memutuskan

untuk mengkodifikasi al-Quran dan memerintahkan Abd Allah

ibn al-Zubayr meminjam mushaf Aisyah. sesudah  diteliti dan

dilakukan perbaikan, Utsman lalu merobek lembaran-lembaran

lainnya.11  Riwayat-riwayat semacam ini cuma hanya  terlihat memperkecil

peran Utsman yang demikian besarnya. Sedangkan penyebutan

mushaf Aisyah sebagai basis kodifikasi Utsman tampak bersifat

tendensius,12  dan bertabrakan dengan versi mayoritas yang

menyebutkan kodeks Hafshah sebagai basisnya.

Terlepas dari masalah anggota-anggota komisi yang ditunjuk

Utsman, perintah yang ditujukan kepada komisi ini  yaitu 

menyalin al-Quran dalam dialek suku Quraisy, sebab  – seperti

disebutkan dalam versi mayoritas –  kitab suci itu diwahyukan

dalam bahasa mereka. namun , suatu riwayat mengungkapkan bahwa

saat  terjadi perselisihan di antara anggota komisi tentang

penulisan suatu kata dalam 2:248 (cf. 20:39), di mana Zayd

berpendapat bahwa kata ini  mesti ditulis tãbûhun (p8 dengan

p), sementara anggota komisi lain beranggapan mesti ditulis tãbût

(58 dengan 5), maka Utsman menjelaskan bahwa bentuk tulisan 

terakhir – yakni dengan 5 – yaitu  dialek Quraisy asli.13  Pandangan

ini jelas keliru, sebab  tãbût bukanlah kata Arab asli, namun  berasal

dari bahasa Abisinia (Habsyi).14  Demikian pula, gagasan yang

berkembang dikalangan sarjana Muslim bahwa teks utsmani

mencakup ahruf al-sab‘ah, dalam pengertian tujuh dialek, jelas

bertabrakan dengan versi mayoritas di atas yang menyebutkan

penyalinan ini  cuma hanya  dibatasi pada dialek Quraisy.

Penegasan penyalinan al-Quran dalam dialek Quraisy ini

sebenarnya patut dipertanyakan. Al-Quran sendiri, di beberapa

tempat (16:103; 26:195), menegaskan bahwa ia diwahyukan dalam

“lisan Arab yang jelas”. Penelitian terakhir tentang bahasa al-Quran

menunjukkan bahwa ia kurang lebih identik dengan bahasa yang

digunakan dalam syair-syair pra-Islam. Bahasa ini merupakan

Hochsprache – atau lingua franca, lazimnya disebut ‘arabiyyah –

yang dipahami oleh seluruh suku di jazirah Arab, dan merupakan

satu kesatuan bahasa sebab  kesesuaiannya yang besar dalam

masalah leksikal maupun gramatik. Lebih jauh, Hochsprache atau

lingua franca ini bukanlah dialek suku atau suku-suku tertentu.

Sebagian sarjana Muslim cenderung berasumsi bahwa sebab  Nabi

dan pengikutnya yang awal berasal dari suku Quraisy, maka mereka

tentunya telah membaca al-Quran dalam dialek suku ini .

Sarjana-sarjana ini selanjutnya beranggapan bahwa dialek suku

Quraisy itu identik dengan bahasa syair. namun , beberapa  informasi

tentang dialek suku-suku Arab pada masa Nabi yang berhasil

diselamatkan, cenderung menyangkali keyakinan bahwa dialek

Quraisy identik dengan bahasa syair.15

Dalam riwayat versi mayoritas juga disebutkan bahwa bagian

tertentu al-Quran (33:23) telah terlupakan, namun  dapat ditemukan

pada Khuzaimah ibn Tsabit, kemudian diletakkan pada tempatnya

yang semestinya. Thabari menuturkan bahwa bagian al-Quran

ini  diketahui non-eksistensinya pada pemeriksaan pertama.

Pada pemeriksaan kedua, ditemukan non-eksistensi bagian al-Quran

lainnya, yakni akhir surat 9 –  tepat-nya 9:127-128 – yang kemudian

bisa diperoleh dari Abu Khuzaimah.16  Sementara Tirmidzi cuma hanya 

menyebutkan terlupakannya bagian al-Quran yang terakhir.17

Dalam kasus semacam ini, riwayat-riwayat ini  barangkali

tertukar dengan riwayat pengumpulan pertama dalam proses

transmisinya. Namun riwayat-riwayat ini  secara jelas

menunjukkn bahwa komisi yang dipimpin Zayd telah berusaha 

sekuat tenaga untuk mengumpulkan seluruh potongan wahyu yang

dapat mereka temukan. Tugas ini berhasil dilakukan, sebab  –

sebagaimana akan ditunjukkan – tidak pernah ada satu keberatan

yang betul-betul substansial dan bisa menafikan kelengkapan

mushaf utsmani yang dikodifikasikannya.

Kesulitan paling serius dalam versi mayoritas mencuat

sehubungan dengan mushaf Hafshah. Kesan yang diperoleh dari

riwayat versi mayoritas yaitu  bahwa tugas komisi yang dipimpin

Zayd cuma hanya lah membuat suatu salinan yang memadai dari mushaf

Hafshah. Dari beberapa  riwayat diketahui bahwa mushaf ini sangat

diinginkan oleh Khalifah Marwan – bahkan sejak menjabat sebagai

gubernur Madinah – untuk dimusnahkan, yang baru berhasil

dilakukannya sesudah  wafatnya Hafshah. Alasan pemusnahannya

yaitu  kekhawatiran Marwan bahwa bacaan-bacaan tidak lazim di

dalamnya akan menimbulkan perselisihan di dalam warga .18

Riwayat ini membuktikan bahwa mushaf Hafshah jelas tidak

memadai sebagai basis teks resmi al-Quran. Namun, benang merah

yang hendak ditarik di sini yaitu  keterkaitan mushaf Hafshah

dengan pengumpulan pertama Zayd di masa Abu Bakr, sehingga

nama-nama khalifah sebelum Utsman memiliki peran penting

dalam proses pengumpulan mushaf resmi. Sebagaimana

ditunjukkan dalam bab 4, kisah pengumpulan pertama itu cuma hanya 

rekayasa belakangan yang dilakukan dengan tujuan memandulkan

peran Utsman yang luar biasa dalam kasus ini. Sementara

keterkaitan Hafshah dalam versi mayoritas di atas, dengan

demikian, mesti dipandang sebagai rekayasa belakangan dengan

tujuan senada.

Jadi, mesti ditetapkan bahwa komisi bentukan Utsman, yang

dimotori Zayd Ibn Tsabit, telah mengumpulkan al-Quran dari

berbagai sumber dan menyalinnya ke dalam mushaf-mushaf yang

kemudian disebarkan ke berbagai kota metropolitan Islam saat 

itu. Pengumpulan pada masa ini – berdasar  keterkaitannya

dengan ekspedisi ke Armenia dan Azerbaijan pada 30H, bisa

ditetapkan dilakukan sekitar tahun ini  hingga menjelang

terbunuhnya Utsman pada 35 H – lebih merupakan usaha  untuk

penyeragaman atau standardisasi teks dan bacaan al-Quran. Latar

belakang perbedaan bacaan yang mengakibatkan diambilnya


keputusan pengumpulan dengan sepenuhnya menjustifikasi

kesimpulan ini. Lebih jauh, usaha  standardisasi teks al-Quran yang

dilakukan Utsman itu jelas merupakan suatu kenyataan sejarah

yang pasti.19  namun , saat  peristiwa ini ditransmisikan dari generasi

ke generasi, terjadi distorsi lewat berbagai tambal sulam dan bahkan

pengebirian peran besar Utsman dengan pengaitannya kepada

prestasi-prestasi “ilusif” para pendahulunya.20  sebab  itu, riwayat-

riwayat tentang pengumpulan kedua Zayd ibn Tsabit ini harus

diterima secara diskriminatif, sebagaimana ditunjukkan di atas.

Penyebaran Mushaf Utsmani

Telah dikemukakan bahwa sesudah  selesai melakukan kodifikasi

al-Quran, beberapa  salinan mushaf utsmani dikirim ke berbagai

kota metropolitan Islam. Riwayat-riwayat tentang jumlah mushaf

yang berhasil diselesaikan penulisannya dan ke kota-kota mana

saja ia  dikirim sangat beragam. Menurut pandangan yang diterima

secara luas, satu mushaf al-Quran disimpan di Madinah, dan tiga

salinannya dikirim ke Kufah, Bashrah dan Damaskus.21  Pendapat

populer lainnya, yang dipegang penulis Itqãn, menyebut lima

eksemplar dan menambahkan kota Makkah ke jajaran empat kota

di atas.22  Sementara al-Zarqani mengemukakan bahwa mushaf yang

digandakan itu ada 6 eksemplar. Lima di antaranya dikirim ke

lima kota yang baru disebutkan, dan sisanya satu eksemplar

disimpan oleh Utsman. Mushaf di tangan Utsman inilah yang

kemudian dikenal sebagai al-imãm (mushaf induk).23  Sedangkan

Ibn abi Dawud menuturkan pandangan Abu Hatim al-Sijistani

(w. 863) bahwa mushaf yang berhasil diselesaikan penulisannya

beberapa  7 eksemplar, serta menambahkan kota Yaman dan Bahrain

ke dalam jajaran lima kota penerima salinan mushaf.24

Berbagai sudut pandang yang diutarakan di atas menimbulkan

permasalahan tentang riwayat mana yang paling dapat dipegang

sehubungan dengan mushaf-mushaf Utsman. Seperti terlihat dalam

latar belakang kodifikasi Utsman, pengumpulan pada masa itu

terkait erat dengan perbedaan bacaan di kalangan pasukan Mus-

lim yang direkrut dari Siria dan Irak. Jadi, riwayat pertama – yang

menyebutkan eksistensi 4 salinan mushaf, 3 di antaranya dikirim

ke Kufah, Bashrah dan Damaskus – merupakan yang paling sesuai

dengan latar belakang kodifikasi ini . Kota-kota Kufah, Bashrah

dan Damaskus saat  itu merupakan kota-kota terpenting di

propinsi Irak dan Siria. Di kota-kota inilah garnisun-garnisun

kekhalifahan direkrut dan ditempatkan. Selain itu, dalam riwayat

pengumpulan Utsman, yang ditonjolkan sebagai pusat perhatian

Khalifah saat  itu yaitu  bagaimana mengakhiri pertikaian di

dalam pasukan Muslim tentang bacaan al-Quran. Dengan

demikian, tujuan lanjutan untuk menyatukan seluruh wilayah

kekhalifah kepada satu teks standar al-Quran, bukan merupakan

kebutuhan utama, sekalipun Utsman mungkin saja telah

memikirkannya. Penyebutan kota Makkah, dalam riwayat lainnya,

barangkali terkait secara langsung dengan makna kota ini sebagai

tanah kelahiran Nabi dan tanah suci pertama Islam di mana Ka’bah

berada. Sementara penyebutan tujuh kota dalam riwayat terakhir

di atas barangkali terkait dengan “kesakralan” angka tujuh: al-Quran

telah diwahyukan dalam tujuh ahrûf, yang belakangan juga

ditafsirkan sebagai tujuh bacaan dalam qirã’ãt al-sab‘.

sesudah  penyebaran mushaf utsmani, berbagai mushaf atau

fragmen al-Quran lainnya – seperti disebutkan dalam riwayat versi

mayoritas di atas – dimusnahkan atas perintah Khalifah. Menurut

Schwally, seluruh riwayat tentang pemusnahan mushaf atau

fragmen al-Quran non-utsmani cuma hanya  menyebutkan kejadiannya

di kota-kota yang disebutkan di atas, bahkan terbatas pada daerah

Irak dan Siria.25  Para penguasa kota-kota ini  tentunya memiliki

kekuasaan untuk menjalankan amanat Khalifah sejauh menyangkut

pemilikan umum, namun  tidak demikian halnya dengan mu