kekristenan budaya

kekristenan budaya


 


Topik yang akan kita bahas yaitu  “.”

Topik ini akan dibagi menjadi lima bagian.  Bagian pertama akan membahas

“Apakah Kebudayaan itu?,” kemudian “Kristus dan Kebudayaan,” yang

membahas tentang relasi Kristus dengan semua kebudayaan di dunia.  Pada

bagian ketiga, “Kristus dan Kebudayaan kita,” saya akan lebih

mengkhususkan pada apa yang kita pelajari di kebudayaan Barat di mana

manusia hidup.  Bagian keempat yaitu  “Orang Kristen di dalam

Kebudayaan Kita,” yaitu pembahasan yang berkaitan dengan manusia:

bagaimana seharusnya menanggapi kebudayaan di sekeliling kita?

Bagaimana orang Kristen seharusnya berinteraksi dengan kebudayaan masa

kini: apakah kita harus lari darinya, memeranginya, membuat alternatif,

atau apa?  Bagian terakhir, “Kebudayaan di dalam Gereja,” membahas apa

yang dapat diperbuat oleh gereja dengan kebudayaan di dalam

pelayanannya: dalam penginjilan, penggembalaan pada orang percaya, dan

ibadah.

APAKAH KEBUDAYAAN ITU?

Pertama, pertanyaannya yaitu  “Apakah Kebudayaan itu?”  Kitab suci

tidak memberikan definisi kebudayaan.  Sebenarnya kitab suci tidak

memberikan definisi apa pun untuk kata-kata di dalam bahasa Inggris.  Oleh

karena itu, kita harus memahami bagaimana kata-kata di dalam bahasa

Inggris itu biasanya digunakan.  Setelah itu baru bertanya, apakah konsep

itu ada di Alkitab, dan apa yang dikatakan oleh Alkitab mengenai hal itu.

Jadi, kita harus memulai dari penggunaan istilah kebudayaan (culture) di

dalam bahasa Inggris.  Secara etimologis, kata itu berasal dari kata kerja

Latin colere, yang secara harafiah menunjuk pada agrikultur, yaitu mengelola

tanah untuk menanam dan menumbuhkan sesuatu.  Secara lebih luas, kata

itu juga diterapkan pada mengembangkan atau membangkitkan sesuatu

*Artikel ini yaitu  bagian pertama dari tulisan John M. Frame, “Christianity and

Culture,” yang diterjemahkan oleh Rahmiati Tanudjaja.  Izin pemuatan telah diperoleh

secara lisan dari penulis.

2 Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan

yang tidak berasal dari tanah, misalnya equiculture yaitu peternakan kuda,

aviculture yaitu peternakan burung.

Selain penggunaan yang lebih harafiah ini, istilah kebudayaan

digunakan untuk menjelaskan segala sesuatu yang diusahakan untuk dicapai

oleh manusia.  Jadi, kebudayaan bukan hanya berarti menanam sesuatu,

melainkan juga berarti apa yang manusia perbuat, baik dengan tangan atau

pikiran.  Hal itu termasuk rumah, gudang, peralatan, kota, desa, kerajinan

tangan, dan hasil karya seni; dan, sistem-sistem dari ide-ide yang manusia

dirikan: ilmu pengetahuan, filsafat, ekonomi, politik, teologi, sejarah, serta

sarana-sarana untuk mengajarkan hal-hal itu, yaitu pendidikan: sekolah,

universitas, seminari.  Istilah kebudayaan dipakai dalam kaitan dengan semua

lembaga-lembaga: keluarga, gereja, pemerintah.  Kebudayaan juga

melibatkan kebiasaan, permainan, olah raga, rekreasi, musik, literatur, dan

jenis-jenis makanan.

Jadi, definisi dari kebudayaan cenderung komprehensif.  The Lausanne

Committee on World Evangelism mendefinisikan kebudayaan sebagai “suatu

sistem yang mengintegrasikan kepercayaan, nilai, kebiasaan, dan lembaga,

serta mengikat suatu masyarakat menjadi satu dan memberikan identitas,

martabat, rasa aman, dan keberlangsungan pada mereka.”  Ken Myers, dalam

All God’s Children and Blue Suede Shoes, menuliskan bahwa kebudayaan

merupakan:

pola dinamis, suatu matrik yang selalu berubah dari objek, artifak, suara,

lembaga, filsafat, mode, antusiasme, mitos, prasangka, relasi, sikap,

rasa, ritual, kebiasaan, warna, dan cinta, semua bersatu dalam satu

individu, dalam kelompok, serta kumpulan-kumpulan dan asosiasi-

asosiasi dari orang-orang (di mana banyak dari antara mereka tidak

tahu bahwa mereka berasosiasi), dalam buku-buku, bangunan-

bangunan, dalam penggunaan ruang dan waktu, dalam peperangan,

dalam humor, dan dalam makanan.1

Dari definisi dan deskripsi semacam itu, anda bisa berpikir bahwa

kebudayaan yaitu  segala hal.  Tetapi, pengertian seperti itu yaitu  keliru.

Kita harus memberikan batasan yang penting antara ciptaan, yang yaitu 

satu hal, dan kebudayaan, yang yaitu  hal yang lain.  Ciptaan merupakan

karya Allah, sedangkan kebudayaan merupakan karya manusia.  Memang

Allah itu berdaulat, jadi segala sesuatu yang kita buat juga merupakan

karya-Nya dalam arti tertentu.  Atau, lebih baik dikatakan: ciptaan yaitu 

apa yang Allah buat sendiri, dan kebudayaan yaitu  apa yang Ia buat melalui

kita.  Matahari, bulan, dan bintang bukan kebudayaan.  Terang dan gelap

1(Wheaton: Crossway, 1989) 34.

3

bukan kebudayaan.  Dasar kimia dari bumi, dan asal mula struktur genetik

dari bentuk-bentuk kehidupan bukan kebudayaan; semua itu merupakan

ciptaan Allah.

Mau tidak mau pembahasan ini harus membawa kita kembali ke kitab

Kejadian.  Meskipun mendapatkan dasar definisi tentang kebudayaan dari

bahasa Inggris, sebagai orang Kristen kita harus melihat kitab suci untuk

mendapatkan pemahaman yang paling penting tentang kebudayaan, yaitu

apa yang Allah pikirkan tentang kebudayaan.  Di kitab Kejadian, kita belajar

bahwa Allah membuat langit dan bumi dan segala sesuatu di dalamnya,

termasuk laki-laki dan perempuan, selama enam hari, dalam hal ini tidak

menjadi persoalan berapa lama sebenarnya hari-hari itu diperhitungkan.

Pada hari terakhir dari enam hari itu, kebudayaan dimulai.  Kitab suci

tidak mengatakan bahwa Allah membuat atau menciptakan kebudayaan.

Tetapi, Ia memerintahkan Adam dan Hawa untuk membuatnya.  Kebudayaan

bukan suatu ciptaan, tetapi suatu perintah, atau sering kali disebut sebagai

suatu “mandat.”

Kejadian 1: 28 mencatat:

Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka:

“Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan

taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung

di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”

Saya akan merujuk pada perintah itu sewaktu-waktu, sebagaimana yang

telah dilakukan oleh teolog reformed lainnya, sebagai “mandat budaya.”

Hal ini sangatlah penting.  Pengalaman manusia yang pertama, yang dicatat

di kitab suci yaitu  pengalaman mendengarkan perintah ini.  Perintah ini

memimpin semua yang akan dilakukan oleh Adam dan Hawa selanjutnya.

Hal itu menjelaskan tentang tujuan dari kehidupan manusia.

Ada dua elemen di dalamnya: penuhi dan taklukkan.  Pertama,

memenuhi: Adam dan Hawa diperintahkan untuk beranak cucu dan

bertambah banyak.  Mereka tidak seharusnya tinggal di Eden.  Kejadian

2:24 mengatakan bahwa seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan

ibunya dan tinggal bersama isterinya, jadi akan ada multiplikasi keluarga-

keluarga, pada akhirnya ke seluruh dunia.

Kedua, sementara Adam dan keluarganya memenuhi bumi, mereka

harus berkuasa atasnya.  Mereka tidak akan takut pada dunia alam, tidak

akan seperti Dorothy dan teman-temannya (dalam film  the Wizard of Oz),

yang berteriak pada waktu berhadapan dengan singa, harimau dan beruang.

Mereka juga tidak takut pada kilat, gempa bumi, atau panasnya padang

gurun, melainkan mereka menjalani dan menghadapi dunia ini sebagai raja

dan ratu, yang menaklukkan segala sesuatu.  Mereka harus mengelola dan

4 Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan

menaklukkan binatang-binatang, panas dan dingin, energi listrik dan seismik,

untuk melayani tujuan mereka masing-masing.  Ini semua berarti

perkembangan.  Adam dan Hawa tidak boleh membiarkan dunia ini tidak

tersentuh, sebagaimana yang dikehendaki oleh sebagian dari pencinta

lingkungan hidup yang radikal.  Justru, mereka seharusnya menggunakan

sumber dari ciptaan Allah itu, untuk mengeluarkan potensi dari langit dan

bumi, sebagai fasilitas mereka untuk memerintah di bawah Allah.  Mereka

harus menjadikan ciptaan ini menjadi kebudayaan, menjadi tempat tinggal

bagi masyarakat manusia.

Tentu saja, menggunakan yaitu  satu hal, dan mengeksploitasi yaitu 

hal yang berbeda.  Keluarga Adam harus ingat bahwa mereka dibuat dari

debu.  Mereka bukanlah Allah; mereka terbatas, bukan tidak terbatas.

Keluarga Adam membutuhkan makanan untuk hidup.  Jadi, meskipun Allah

memberikan kepada mereka hak untuk memerintah bumi, dalam arti

menaklukkan bumi, pada saat yang sama mereka membutuhkan bumi untuk

makanan dan tempat tinggal mereka.  Itulah perbedaan yang lain antara

ciptaan dan kebudayaan.  Allah menciptakan dunia, tetapi tidak bergantung

pada dunia sama sekali.  Dunia sama sekali bergantung pada-Nya.  Tetapi

dalam kehidupan manusia, ada saling kebergantungan di antara manusia

dan dunia ini.  Dunia ini bergantung kepada kita untuk memenuhi dan

memerintah atasnya, dan kita bergantung pada dunia ini untuk keberadaan

kita.

Jadi, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah kepada Adam “untuk

memelihara” taman itu (Kej. 2:15), maka keluarga Adam harus “memelihara”

bumi ini.  Allah menghendaki mereka untuk menggunakan dan memelihara.

Menggunakan, bukan menghabiskan atau mengeksploitasi.  Karena itu,

Allah kemudian berkata kepada Israel untuk mengistirahatkan tanah setelah

enam tahun digarap.  Manusia harus menaklukkan bumi, dan pada saat

yang sama harus melayaninya pula.  Ia harus menjadi raja yang melayani.

Ini merupakan dasar bagi pencinta lingkungan hidup yang alkitabiah.

Jadi, kebudayaan yaitu  yang kita buat, dan hal itu dimulai langsung

setelah penciptaan, sebagai tanggapan terhadap perintah Allah.  Tetapi,

setelah melihat hal itu, kita harus meluaskan definisi tentang kebudayaan

sedikit.  Kebudayaan bukan saja suatu fakta, melainkan juga suatu nilai.

Hal itu bukan hanya sesuatu yang terjadi begitu saja; hal itu yaitu  sesuatu

yang dikehendaki oleh Tuhan, sesuatu yang bernilai bagi Allah.

Mengapa Allah memberikan perintah ini kepada Adam dan Hawa?

Pada dasarnya, sama dengan perintah-perintah lain yang diberikan oleh

Allah, yaitu untuk kemuliaan-Nya.  Kemuliaan Allah yaitu  cahaya yang

indah dan terang, yang bersinar keluar dari Dia, pada saat Ia menyatakan

diri-Nya kepada manusia.  Pada mulanya, Allah menciptakan kita sebagai

5

“gambar dan kemuliaan”-Nya (1Kor. 11:7).2  Jadi, Ia menghendaki keluarga

Adam untuk menyebarkan kemuliaan itu ke seluruh dunia.  Adam tidak

sekadar memerintah untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Allah, ia harus

memuliakan Allah di dalam segala hal yang dilakukannya.  Jadi, kebudayaan

berdasarkan pada perintah Allah.  Adam harus mengembangkan kebudayaan,

karena itu merupakan kerinduan Allah.  Kebudayaan yaitu  bagi Allah.

Oleh karena itu, kebudayaan harus tunduk pada perintah Allah, kehendak

Allah, norma-norma Allah, dan nilai-nilai Allah.

jika  kita melihat lagi pada berbagai definisi dari kebudayaan yang

telah diajukan oleh orang-orang, kita dapat melihat bahwa hampir selalu

ada unsur nilai dan unsur normatif.  Contohnya, pada pernyataan Lausanne,

kebudayaan bukan hanya berarti hasil panen, pertanian/peternakan, dan

artifak, tetapi “suatu sistem dari kepercayaan, nilai, kebiasaan, dan lembaga

yang terintergrasi.”  Perhatikan secara khusus istilah “nilai-nilai.” Lebih

lanjut, Lausanne menyatakan bahwa sistem ini yaitu  satu hal “yang

mengikat suatu masyarakat menjadi satu dan memberikan suatu rasa

identitas, martabat, rasa aman, dan kesinambungan.”  Menurut saya,

pernyataan Lausanne mengusulkan suatu kesatuan yang biasanya tidak kita

lihat di kenyataan yang ada.  Saudara bisa bertanya apakah kebudayaan

kita sendiri merupakan suatu “sistem yang terintegrasi.”  Apakah

terintegrasi, atau apakah hal itu merupakan suatu koleksi dari banyak sistem,

yang mana seringkali satu sama lain saling berjuang untuk mendapatkan

supremasi?  Apakah ada sistem dari nilai-nilai yang “mengikat masyarakat

kita menjadi satu dan memberikan kepadanya suatu rasa identitas, martabat,

rasa aman, dan kesinambungan?”  Mungkin pada suatu waktu kekristenan

memberikan kesatuan itu; dan pada waktu yang lain, ide-ide dari bapa-

bapa pendiri, seperti yang ada di Declaration of Independence dan

Konstitusi US, memberikan rasa kesatuan di Amerika Serikat.

Memang kebudayaan-kebudayaan selalu melibatkan nilai-nilai.  jika 

kita tidak lagi memiliki nilai-nilai yang menyatukan, mungkin konklusi yang

bisa ditarik yaitu  kita tidak lagi memiliki satu kebudayaan.  Kebudayaan

pada dasarnya selalu melibatkan evaluasi, serta pemahaman secara umum

yang bukan hanya tentang apa itu, tetapi juga tentang apa yang baik dan

benar.  Contohnya, Matthew Arnold mendefinisikan kebudayaan sebagai

“usaha mencapai kesempurnaan dari diri kita secara total dengan cara mencari

tahu, tentang segala sesuatu yang paling berkaitan dengan kita, yang terbaik,

serta yang telah dipikirkan dan dikatakan di dalam dunia.”3  Kemudian,

2Lihat juga korelasinya antara gambar dan kemuliaan di Rm. 1:23; 2Kor. 3:18; Ibr.

1:3.

3“An Essay on Political and Social Culture” dalam Culture and Anarchy (New

York: t. p., 1897) xi.

6 Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan

T. S. Eliot memahami kebudayaan “hanya sekadar sebagai sesuatu yang

membuat kehidupan ini layak untuk dihidupi.  Kebudayaan juga merupakan

hal yang membenarkan orang lain dan generasi lain untuk mengatakan,

pada waktu mereka mengenang peninggalan dan pengaruh dari peradaban

yang telah punah, bahwa peradaban yang pernah ada itu, keberadaannya

bernilai dan patut dihargai.”4

Apakah saudara orang yang “berbudaya?”  Dalam pengertian deskriptif,

semua orang yaitu  berbudaya, karena tidak ada manusia yang ada di luar

kebudayaan.  Namun dalam pengertian normatif, sedih untuk dikatakan,

tidak semua manusia berbudaya, atau paling tidak, kita semua tidak setara

dalam berbudaya.  Sebagaimana teman SMU saya pernah mengatakan, ada

perbedaan antara “kebudayaan” dan “peradaban.”  Menjadi “orang yang

beradab” yaitu  menjadi seorang yang terasah, terdidik, memiliki cita rasa

yang bagus, serta berada di antara orang elit.  jika  saudara yaitu 

seorang yang beradab, saudara akan memilih opera dari pada musik rock

and roll, filet of sole dari pada Whoppers, atau Van Gogh dari pada Norman

Rockwell.  Namun, kadang-kadang sukar untuk menarik batasan antara

apakah itu memang merupakan suatu norma kebudayaan yang terhormat

atau hanya sekadar gengsi dan keangkuhan.  Namun, kata kebudayaan,

secara tradisional merujuk pada sesuatu yang yaitu  baik, sesuatu yang

lebih baik.  Olah karena itu, William Herridge menulis bahwa “seseorang

yang sangat berbudaya yaitu  seseorang yang secara keseluruhan dewasa

dalam setiap bagian kehidupannya, sehingga ia mampu untuk memenuhi

tujuan penciptaannya.”5

Definisi dari Arnold, Eliot, dan Herridge mungkin terlalu

menitikberatkan pada sisi normatif, dan mengabaikan sisi deskriptif.  Definisi

yang lebih baik akan mengatakan bahwa kebudayaan merupakan masyarakat

manusia sebagaimana adanya, dan masyarakat manusia sebagaimana

seharusnya.  Keduanya dibicarakan, yaitu yang riil dan yang ideal.

Kebudayaan yaitu  apa yang dihasilkan oleh masyarakat dari ciptaan Allah,

bersamaan dengan idealnya dari apa yang seharusnya dihasilkan oleh

masyarakat itu.

Bisa jadi kita harus menempatkan yang ideal lebih dahulu.  Orang-

orang membuat sesuatu, karena mereka telah memiliki rencana, suatu

tujuan, arah dan ideal.  Keidealan ada dulu, kemudian membuat sesuatu.

Pertama, normanya, kemudian pengolahan, yaitu kebudayaan itu.

Sekarang kita bisa melihat bagaimana kebudayaan berhubungan dengan

agama.  Pada waktu berbicara tentang nilai dan ideal, kita berbicara tentang

4“Notes Toward the Definition of Culture” dalam Christianity and Culture (New

York: Harcourt Brace Jovanovich, 1968) 100.

5“Culture,” The Presbyterian Review IX  389.

7

agama.  Dalam pengertian yang luas, agama seseorang yaitu  sesuatu yang

secara kuat paling mengikat hati seseorang, serta sesuatu yang paling

memotivasi.  Hal itu merupakan nilai yang melampaui semua nilai yang

lain.  Henry Van Til menyatakan bahwa “kebudayaan secara sederhana dapat

dikatakan sebagai pelayanan kepada Allah di dalam kehidupan kita;

kebudayaan merupakan agama yang dinyatakan ke luar.”6  Sangatlah

menarik bahwa istilah Latin colere yang saya sebutkan terdahulu, dari mana

kita mendapatkan kata culture dalam bahasa Inggris menunjuk pada

pelayanan religius, dan dalam bahasa Inggris menjadi cult (ibadat), cultic,

dan lain-lain.  Kebudayaan dan ibadat berjalan seiring.

jika  suatu masyarakat menyembah berhala, ilah-ilah yang palsu,

penyembahan itu akan menguasai kebudayaan dari masyarakat itu.  jika 

suatu kebudayaan menyembah Allah yang benar, maka penyembahan itu

akan sangat mempengaruhi, bahkan merembes/memasuki kebudayaan

tersebut.  jika  suatu masyarakat secara religius terbagi, seperti yang

kita miliki sekarang, maka kebudayaan yang ada akan memperlihatkan suatu

pengaruh religius campuran.

Seperti yang saudara ketahui, semua agama yaitu  totalitarian.  Agama

menguasai segala sesuatu.  Memang seharusnya demikian bagi kekristenan

yang alkitabiah.  Kitab suci mengatakan, “Jika engkau makan atau jika engkau

minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya

itu untuk kemuliaan Allah” (1Kor. 10:31).  Roma 14:23 menyatakan, “Tetapi

barangsiapa yang bimbang, kalau ia makan, ia telah dihukum, karena ia

tidak melakukannya berdasarkan iman. Dan segala sesuatu yang tidak

berdasarkan iman, yaitu  dosa.”  Kolose 3:17, “Dan segala sesuatu yang

kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu

dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah,

Bapa kita.”  Jadi, segala sesuatu yang kita lakukan di dalam kebudayaan,

mau tidak mau akan mencerminkan iman kita.  Apa pun kepercayaan kita,

maka kita akan berusaha untuk mengekspresikan iman kita dalam segala

sesuatu yang kita pikirkan, katakan, atau lakukan.  Demikian juga halnya

dengan ateis, filsafat skeptik, rasionalis, modernis, posmodernis, serta

neopagan monis.  (Untuk tujuan ini, saya akan menggunakan agama, filsafat

dan wawasan dunia secara sinonim.)  Setiap wawasan dunia, setiap filsafat,

bahkan walaupun ia mengaku sebagai non-religius, ia tetap memiliki

pengaruh totalitarian di dalam kehidupan manusia, dan jika  diamalkan

secara konsisten, maka hal itu akan mendikte sejenis kebudayaan tertentu.

Oleh karena itu, kebudayaan tidak pernah netral secara religius.  Segala

sesuatu di dalam kebudayaan mengekspresikan serta mengkomunikasikan

6 The Calvinistic Concept of Culture (Grand Rapids: Baker, 1972) 200.

8 Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan

suatu keyakinan religius tertentu: apakah itu iman kepada Allah yang benar,

atau penyangkalan terhadap-Nya.

Pada waktu berpikir tentang kebudayaan, atau elemen dari kebudayaan,

yang menyangkali Allah yang benar, kita harus melampaui Kejadian 1 dan

2, yaitu ke Kejadian 3, karena kitab suci mengajarkan bahwa manusia telah

jatuh ke dalam dosa dan kebudayaan manusia mencerminkan kejatuhan

itu.  Tujuan asal Allah ialah untuk memenuhi dunia dengan kebudayaan

manusia yang memuliakan Dia.  Namun sekarang, kita memang melihat

orang-orang memenuhi dan menguasai bumi, tetapi di dalam suatu

kebudayaan manusia yang seringkali mengekspresikan kebencian kepada

Sang Pencipta.

Di taman Eden, Hawa dan kemudian Adam memiliki pilihan yang jelas:

apakah mereka mau mentaati Setan atau Allah.  Apakah Hawa benar-benar

membayangkan bahwa Setan mengetahui sesuatu yang Allah tidak tahu,

atau Setan memiliki tingkat otoritas yang lebih tinggi?  Atau apakah Hawa

membayangkan bahwa ia sendiri memiliki tingkat otoritas yang lebih tinggi

dari keduanya, “hak untuk memilih?”  Mungkin pada dasarnya ini sama

saja.  Karena pada waktu saudara mengklaim otoritas untuk diri sendiri,

otonomi, saudara memainkan permainan Setan.  Itu sesuai dengan apa

yang Setan kehendaki saudara percayai.  Tentu saja, kepercayaan pada

otonomi kita sendiri yaitu  sangat bodoh.  Tetapi Adam menerima

kebodohan itu, dan hal itu menyebar ke seluruh keluarganya.

Dosa yaitu  pada waktu kita menganggap diri sebagai bos kita sendiri,

pada waktu kita menjadi otoritas terakhir menggantikan posisi Allah.  Pada

kondisi keberdosaan, kita mengklaim sebagai hakim tertinggi untuk

menentukan apa yang benar dan apa yang betul.  Sebagai orang berdosa,

kita berusaha untuk mencari kemuliaan sendiri, bukan kemuliaan Allah.

Hal ini tidak berarti orang berdosa tidak mengenal Allah.  Paulus di Roma

1 mengatakan bahwa orang berdosa mengenal Allah dengan baik, tetapi

mereka tidak menyukai pengetahuan tentang Allah itu.  Mereka

menindasnya; mereka menggantikannya dengan kebohongan.  Kemudian

mereka berpikir dan berperilaku seakan-akan Allah tidak ada.  Jadi, Paulus

menekankan bahwa kebudayaan yang menyangkali Allah merupakan

kebudayaan yang penuh dengan berhala dan setiap jenis kejahatan.  Pada

satu titik, Allah memusnahkan umat manusia dengan air bah, dan

memperlihatkan kemurahan hanya pada Nuh dan keluarganya.  Kejadian

6:5 menyatakan pada kita:

Ketika dilihat Tuhan, bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa

segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-

mata, maka menyesallah Tuhan, bahwa Ia telah menjadikan manusia di

bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya.

9

Tetapi air bah tidak menghilangkan dosa.  Di Kejadian 8:21, setelah air

bah, Allah mengatakan bahwa kenyataannya: “Aku takkan mengutuk bumi

ini lagi karena manusia, sekalipun yang ditimbulkan hatinya yaitu  jahat

dari sejak kecilnya, dan Aku takkan membinasakan lagi segala yang hidup

seperti yang telah Kulakukan.”

Sekarang, kita bisa berpikir bahwa tidak ada kebaikan di dalam

kebudayaan manusia setelah Kejatuhan.  Tentu saja kisah-kisah Babel,

Sodom dan Gomora tidak memberikan kepada kita pengharapan yang

banyak.  Tetapi bagian kitab suci yang lain menunjukkan adanya elemen-

elemen kebaikan, bahkan dalam kebudayaan yang telah jatuh ke dalam

dosa.  Kejadian 4 mengisahkan bagaimana putera sulung Adam dan Hawa,

yaitu Kain membunuh saudaranya Habel.  Namun pada pasal berikutnya,

kita melihat bahwa keluarga Kain mengembangkan suatu kebudayaan.

Mereka membangun kota.  Beberapa keturunan tinggal di tenda dan

memelihara ternak.  Yang lain membuat alat-alat musik dan peralatan

tembaga serta besi.  Di kitab suci, semua itu dinyatakan sebagai hal-hal

yang baik.

Menurut Stefanus di Kisah Para Rasul 7:22, Musa “dididik dalam semua

hikmat orang Mesir.”  Stefanus tidak menghakimi pendidikan orang tidak

percaya ini sebagai yang jahat, tetapi, sebagaimana yang dinyatakan oleh

Dennis Johnson, “setuju dengan tradisi Yahudi yang melihat secara positif

keterlibatan Musa secara intelektual dengan hikmat orang tidak percaya.”7

Bandingkan dengan pandangan yang positif terhadap hikmat orang tidak

percaya pada masa Solomo. Hikmat Solomo melebihi semua hikmat orang

tidak percaya (1Raj. 4:29-34).  Pernyataan itu mengasumsikan bahwa hikmat

dari orang tidak percaya memiliki nilai tertentu.

Di dalam kitab Samuel, Raja-raja, dan Tawarikh, kita membaca tentang

Hiram, raja dari Tirus (disebut “Huram” di Tawarikh).  Tirus dan Sidon di

kitab suci biasanya dipakai sebagai contoh kota-kota yang jahat.  Tetapi

sebagian penduduk dari tempat ini yaitu  ahli tukang kayu dan ahli ukir.

Daud menerima pertolongan mereka pada waktu membangun istananya,

dan Solomo menerima pertolongan mereka untuk membangun bait Allah.

1 Raja-raja 5:6 menyatakan bahwa “tidak ada seorangpun di Israel yang

pandai menebang pohon sama seperti orang Sidon.”  Jadi, itu merupakan

sesuatu yang baik.  Itu merupakan suatu keahlian yang baik, dan Allah

menggunakannya untuk pembangunan bait-Nya.

Tentu saja kita harus ingat bahwa seseorang bisa memiliki keahlian dan

kejahatan pada saat yang sama.  Saudara mungkin tahu seorang ahli reparasi

mobil yang sangat pandai dalam membetulkan mobil, tetapi ia suka

7“Spiritual Antithesis, Common Grace, and Practical Theology,” Westminster

Theological Journal 64/1 (Spring 2002) 12.

10 Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan

menyuruh kita membayar lebih dari yang semestinya, berbohong dan menipu.

Menjadi seorang tukang ledeng yang baik atau seorang penulis yang baik

atau seorang pianis yang baik, tidak menjadikan kita seorang yang baik.

Kata “baik” bisa membingungkan di sini.  Hal itu bisa berarti baik secara

etis, atau hanya sekadar berguna atau terampil.

Namun demikian, ada semacam kebaikan bahkan dalam kebudayaan

orang tidak percaya: produksi-produksi yang baik, keahlian yang baik, serta

hikmat yang riil.  Alasannya yaitu  anugerah Allah.  Allah memperlihatkan

kemurahan-Nya dan kebaikan-Nya dengan membawa berkat-berkat bahkan

dalam kebudayaan yang jahat.  Ada dua bentuk anugerah Allah yang perlu

kita bedakan pada titik ini: anugerah umum dan anugerah khusus.

Perbedaan mendasar antara keduanya yaitu  bahwa anugerah khusus

membawa keselamatan, dan anugerah umum tidak.  Namun, mari kita

melihatnya dengan lebih teliti.

Anugerah umum, bukan anugerah yang menyelamatkan, yaitu  suatu

konsep yang sukar untuk dipahami.  Frasa ini tidak alkitabiah: sebenarnya,

saya tidak mengetahui apakah ada bagian di kitab suci yang menggunakan

istilah “anugerah” dengan cara ini.  Namun, kitab suci memang berbicara

tentang adanya berkat-berkat tertentu dari Allah yang tidak disertai dengan

keselamatan:

1. Allah menahan dosa manusia.  Allah menahan orang-orang untuk

melakukan semua kejahatan yang sebenarnya bisa mereka lakukan.

Allah mengacaubalaukan bahasa orang-orang di Menara Babel untuk

menahan mereka mencapai tujuan mereka yang jahat (Kej. 11:7).  Ia

bahkan membatasi ruang gerak Setan.  Allah mengijinkan Setan untuk

melukai Ayub sampai pada tahap tertentu, tetapi tidak bisa lebih dari

itu (Ayb. 1:12; 2:6).

2. Allah memberikan sebagian berkat-berkat tertentu pada setiap orang

tanpa kekecualian: hujan dan matahari (Mat. 5:43-48; Kis. 14:17).  Ia

memberikan makanan pada segala yang hidup (Mzm. 65:5-13; 145:15-

16).  Ia memberikan pemerintah “untuk kebaikan” (Rm. 13:4), “agar

kita dapat hidup tenang dan tenteram dalam segala kesalehan dan

kehormatan” (1Tim. 2:1-2).

3. Allah memberikan keahlian dan pengetahuan pada orang tidak percaya,

sehingga mereka dapat melakukan yang baik dalam masyarakat.  Seorang

yang tidak percaya tidak bisa melakukan yang baik dalam pengertian

yang paling tinggi dari kebaikan.  Paulus mengatakan bahwa “Mereka

yang hidup dalam daging tidak mungkin berkenan kepada Allah” (Rm.

8:8).  Untuk memperkenankan hati Allah, perbuatan kita harus

dilakukan untuk kemuliaan Allah, taat pada firman Allah, dimotivasi

oleh iman dan kasih Allah.   Orang tidak percaya tidak pernah

11

melakukan perbuatan baik dalam pemahaman ini; sebenarnya, bahkan

perbuatan orang percaya selalu gagal mencapai standar ini.  Tetapi,

orang tidak percaya dapat melakukan sesuatu yang kelihatannya baik.

Mereka tidak kelihatan baik bagi Allah, karena Allah tahu hati mereka.

Tetapi mereka kelihatan baik bagi kita, dan mereka sering kali membawa

manfaat bagi masyarakat.  Jadi, orang tidak percaya sering kali

memajukan masyarakat melalui keahlian mereka dan ide-ide mereka.

Mereka menemukan penemuan-penemuan ilmiah, menghasilkan invensi

untuk efesiensi kerja, mengembangkan bisnis yang memberikan

pekerjaan, menghasilkan karya seni dan hiburan.

Semua itu yaitu  anugerah umum dan saudara dapat melihat bagaimana

anugerah umum Allah membawa pada banyak kebaikan bahkan dalam

kebudayaan orang tidak percaya.

Sumber lain dari kebaikan, tentu saja, yaitu  anugerah khusus Allah,

karya-Nya untuk menyelamatkan dunia melalui Kristus.  Karya Allah ini

bekerja melampaui anugerah umum.  Allah mengutus Yesus, bukan hanya

untuk mencegah kita menjadi jahat sejahat-jahatnya, tetapi untuk

menjadikan kita mahluk ciptaan yang sebaik-baiknya, yaitu mentransformasi

kita kepada gambaran mulia dari Kristus sendiri.  Yesus mati untuk umat-

Nya dan bangkit kembali, sehingga mereka dapat dibangkitkan bersama-

sama dengan Dia, mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran di dalam

Yesus.  Injil memanggil orang-orang dari semua bangsa untuk berbalik dari

dosa-dosa mereka, percaya pada Yesus, dan menerima anugerah

keselamatan Allah, pemberian-Nya yang cuma-cuma untuk hidup yang

kekal.

Apakah anugerah keselamatan Allah memberikan dampak pada

kebudayaan?  Tentu saja.  Pada waktu saudara percaya pada Yesus, seluruh

hidup saudara berubah arah: pikiran, perkataan dan perbuatan.  Apakah

saudara makan, atau minum, atau apa pun yang saudara lakukan, saudara

berusaha untuk melakukannya bagi kemuliaan Allah.  Jadi, apakah saudara

seorang ahli reparasi mobil, pembangun rumah, seorang pujangga, tukang

ledeng, pianis, pegawai negeri, atau seorang pendeta, saudara berusaha

untuk melakukan pekerjaan saudara untuk kemuliaan Allah.  Saudara akan

gagal, karena saudara tidak akan sempurna sampai kemuliaan nanti.  Tetapi

saudara akan berusaha.  Kadang-kadang berusaha dapat memberikan

perbedaan yang besar.  Saudara dapat mempengaruhi kebudayaan,

sebagaimana yang telah dilakukan oleh banyak orang Kristen.

jika  saudara pernah membaca buku seperti dari D. James Kennedy

dan Jerry Newcombe, What if Jesus Had Never Been Born,8 saudara

8(Nashville: Thomas Nelson, 1994).

12 Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan

seharusnya terkesan akan pengaruh besar dari Injil Kristen, dan khususnya

Calvinisme, atas kebudayaan Barat.  Saya tidak meminimalisasi kejahatan

dari kebudayaan modern.  Saya mau mengatakan bahwa ada kebaikannya

juga.  Kennedy dan Newcombe menekankan bahwa orang-orang Kristen,

dengan motivasi-motivasi Kristen yang unik, telah secara luas mempengaruhi

kebudayaan Barat seperti dalam area menolong orang miskin, ilmu

pengetahuan, keluarga, seni, serta kesakralan hidup.  Tanpa Yesus, tanpa

Injil-Nya, tanpa pengaruh dari umat-Nya, semua area dari kebudayaan ini

akan sangat berbeda dan akan sangat lebih buruk.

Saudara lihat bahwa Injil bukan hanya suatu berita bagi individu-

individu untuk menghindari murka Allah.  Injil yaitu  juga berita tentang

kerajaan, suatu masyarakat, suatu komunitas baru, suatu kovenan baru,

suatu keluarga baru, suatu bangsa baru, cara hidup baru, dan karena itu,

suatu kebudayaan baru.  Allah memanggil kita untuk membangun kota

Allah, suatu Yerusalem yang baru.

Ingatlah mandat budaya.  Dosa tidak menghapuskan mandat budaya.

Allah telah mengulanginya pada keluarga Nuh di Kejadian 9:1-7.  Yesus

Kristus juga tidak menghapuskannya.  Ia menyatakannya kembali pada

gereja-Nya dalam Amanat Agung di Matius 28:19-20.  Teolog-teolog telah

sering memperdebatkan tentang bagaimana Mandat Budaya dan Amanat

Agung itu cocok satu dengan yang lain.  Untuk sekarang, hanya ingatlah

bahwa keduanya memerintahkan kita untuk mengadakan pembaruan budaya.

Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah

mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah

mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.

Dan ketahuilah Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir

zaman (Mat. 28:19-20).

Apakah saudara melihat bagaimana komprehensifnya hal ini.  Amanat

Agung bukan hanya memberitahukan kepada kita untuk memberitakan Injil

kepada orang-orang dan membaptiskan mereka saja, tetapi juga untuk

mengajarkan mereka supaya mentaati segala sesuatu yang Yesus Kristus

telah perintahkan kepada kita.  Segala sesuatu.  Injil menciptakan umat

yang baru, yaitu orang-orang yang secara total mempersembahkan dirinya

pada Kristus dalam semua area kehidupannya.  Orang-orang yang seperti

ini akan mengubah dunia.  Mereka akan memenuhi dan memerintah bumi

bagi kemuliaan Allah.  Mereka akan mendirikan gereja-gereja, membangun

keluarga yang saleh, dan juga membangun rumah sakit, sekolah, seni dan

ilmu pengetahuan yang berkenan pada Allah.  Itulah yang telah terjadi

oleh karena anugerah Allah.  Itulah yang akan terus terjadi sampai Tuhan

Yesus datang kembali.

13

Apakah itu berarti bahwa kebudayaan yaitu  OK?  Bahwa kita tidak

perlu kuatir tentang hal itu?  Tentu saja tidak.  Hal itu berarti bahwa relasi

Kristus dan kebudayaan lebih rumit dari yang saudara pernah pikirkan.

Tentu saja itu bukan merupakan peperangan yang murni dan sederhana.

Ada sebuah peperangan, tetapi peperangan antara Kristus dan Setan,

Kristus dan ketidakpercayaan, bukan Kristus dan kebudayaan.  Hal itu juga

bukan pemahaman yang saling melengkapi.  Kebudayaan merupakan

campuran dan kekaburan dari dosa dan kebenaran, dari yang baik dan yang

tidak baik, dari kasih Kristus dan kebencian pada Kristus.  Gambaran ini

meninggalkan kita pada hal-hal yang masih harus diselidiki lebih lanjut.

KRISTUS DAN KEBUDAYAAN

Bagian ini akan lebih terfokus pada relasi antara Kristus dan

kebudayaan manusia sebagaimana yang disajikan oleh kitab suci.  Perhatian

akan ditujukan pada lima model historis yang berbeda dari relasi ini, yaitu

lima cara yang dipahami oleh orang Kristen berkaitan dengan relasi Kristus

dan kebudayaan.  Kelima model ini bukan model saya.  Setiap orang yang

mendiskusikan , biasanya mendiskusikan kelima

model ini.  Orang pertama yang memformulasikannya yaitu  H. Richard

Niebuhr, dalam bukunya Christ and Culture,9 yang kemungkinan besar

merupakan karya yang paling berpengaruh di abad keduapuluh sehubungan

dengan topik ini.  Kelima model-model ini akan dievaluasi secara alkitabiah.

Pada waktu kita berpikir tentang kebudayaan, maka tentu saja kita harus

berpikir tentang banyak hal di luar Alkitab.  Namun, Alkitab yaitu  norma

tertinggi kita satu-satunya, sola Scriptura.  Sebagai orang Kristen, kita tidak

boleh mandiri seperti Hawa di Kejadian 3, di mana ia menjadikan hikmat

sebagai otoritas yang tertinggi.  Dari sudut pandang Allah, hikmat manusia

yang paling baik merupakan kebodohan.  Oleh karena itu, kita harus

mendengarkan Dia terlebih dahulu, karena takut kepada Tuhan merupakan

permulaan dari hikmat yang benar.

Hal itu perlu dinyatakan sekarang, pertama, karena sangatlah baik untuk

selalu diingatkan mengenai hal itu, dan kedua, karena bagi saya hal itu

sangatlah penting dalam pembahasan tentang Kristus dan kebudayaan.

Pada saat orang Kristen mengevaluasi kebudayaan, banyak penekanan

seringkali diberikan pada berbagai teori tentang perkembangan historis,

sosiologis, psikologis, keindahan, dan sebagainya.  Memang pengetahuan

tentang bidang-bidang tersebut dapat menolong kita untuk menerapkan

prinsip-prinsip kitab suci.  Namun, teori-teori di luar Alkitab tidak pernah

menjadi standar terakhir.  Hanya kitab suci yang merupakan standar terakhir.

9(New York: Harper, 1951).

14 Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan

Kita harus selalu terbuka untuk membiarkan kitab suci mengkritik teori-

teori kita.  Kita sama sekali tidak boleh memaksa kitab suci untuk

mengatakan apa yang dituntut oleh teori kita, melainkan kita harus bersedia

terus menerus merevisi dan bahkan meninggalkan teori-teori kita pada waktu

berinteraksi terus menerus dengan firman Allah.

Kelima model dari Niebuhr yaitu  sebagai berikut: (1) Kristus melawan

kebudayaan, (2) Kristus dari kebudayaan, (3) Kristus di atas kebudayaan,

(4) Kristus dan kebudayaan dalam paradoks, dan (5) Kristus, transformator

kebudayaan.  Model ini akan dibahas satu persatu.  Pada kenyataannya

hampir tidak ada orang yang hanya mengambil salah satu dari model-model

ini.  Kebanyakan dari kita menggabungkan model-model ini dalam

pemikiran kita.  Namun, kelima model itu berguna sebagai penuntun, yang

dapat kita pakai untuk membandingkan pandangan kita dengan pandangan

yang lain dan pada saat yang sama kita dapat mengidentifikasi penekanan-

penekanan dari pemikir-pemikir besar gereja di sepanjang sejarah.

Kristus Melawan Kebudayaan

Pada masa permulaan dari kekristenan, telah terjadi banyak konflik di

antara orang-orang Kristen, orang-orang Yahudi, dan orang-orang yang

tidak percaya pada Allah.  Sering kali hal itu menimbulkan penganiayaan

karena orang Kristen melihat dirinya berperang dengan kebudayaan di

sekelilingnya.  Sejumlah Bapa-bapa Gereja, penulis-penulis Kristen di masa

permulaan setelah periode Perjanjian Baru, menjelaskan bahwa orang

Kristen yaitu  “ras ketiga” yang berbeda dengan Yahudi dan non-Yahudi.

Orang-orang Kristen menyembah Allah yang berbeda, hidup berdasarkan

hukum yang berbeda, serta memiliki karakter yang berbeda.  Segala hal di

dunia ini dianggap jahat.  Tertullian (160-220 M) menyatakan bahwa orang

Kristen tidak boleh terlibat dalam militer, politik, serta dalam perdagangan

dengan dunia.  Setelah menjadi orang Kristen, Tertullian  mengatakan kita

tidak membutuhkan filsafat Yunani.  Tidak ada hubungan antara Yerusalem

dengan Athena.

Garis besar dari pandangan ini yaitu : 

yaitu  berlawanan, atau saling berlawanan satu dengan yang lain, atau ada

peperangan di antara keduanya.  Pandangan ini tidak populer lagi setelah

kerajaan Romawi secara resmi menjadi Kristen di bawah Konstantin.  Tetapi,

bahasa semacam itu masih seringkali muncul setelah itu, misalnya, di

kalangan Anabaptis, Amish, serta di sebagian kalangan kaum evangelikal

di Amerika.

Kelompok-kelompok ini telah berhasil mengambil rujukan dari tema-

tema di Alkitab.  Dalam PL Allah menghendaki Israel untuk mengadakan

pemisahan secara tegas dengan bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah.

15

Umat Allah harus berbeda dari dunia orang tidak percaya, bukan hanya

dalam hal ibadah mereka, melainkan juga dalam soal makanan, pakaian,

penanggalan, pola kerja, istirahat, bercocok tanam, mengistirahatkan tanah,

serta hukum-hukum mereka.  Mereka harus menjadi umat Allah yang khusus,

umat yang “lain,” suatu bangsa yang kudus, berbeda dari semua bangsa lain

yang ada di atas bumi (Kel. 19:5-6).

Dalam PB kita membaca tentang bangsa kudus yang lain, umat khusus

Allah yang lain, terpisah dari semua bangsa-bangsa, dan juga berbeda dari

orang Yahudi.  Mereka yaitu  umat Kristus.  Dalam PB ada banyak

penekanan tentang konflik antara orang Kristen dan dunia.

Namun harus dipahami bahwa Alkitab menggunakan istilah dunia

dengan pengertian yang berbeda-beda.  Kadang-kadang, dunia hanya berarti

seluruh ciptaan Allah, bumi yang didiami, tanpa referensi pada dosa atau

keselamatan.  Tetapi kitab suci sering kali mengingatkan kita bahwa dunia

manusia ini telah jatuh ke dalam dosa.  Jadi, sering kali kitab suci

menggunakan istilah “dunia” dalam arti ruang (Yun. kosmos), atau kefanaan

(Yun. aion), untuk menunjuk pada segala sesuatu yang  melawan Allah.

Dunia membenci Yesus (Yoh. 7:7), karena Ia bersaksi tentang dia, bahwa

pekerjaan-pekerjaannya jahat.  Orang Yahudi sebagai oposisi Yesus yaitu 

“dari dunia ini” (Yoh. 8:23), tetapi Ia bukan dari dunia ini.  Setan yaitu 

penguasa dunia ini (Yoh. 12:31, 14:30, 16:11, 2Kor. 4:4, 1Yoh. 5:19).  Dunia

ini tidak dapat menerima Roh Kudus (Yoh. 14:17).  Dunia akan bergembira

pada waktu Yesus dibunuh (Yoh. 16:20).  Di dunia ini para murid akan

menderita penganiayaan; tetapi Kristus telah mengalahkan dunia (16:33).

Yesus memilih murid-murid-Nya dari dunia (Yoh. 17:5-6).  Ia berdoa untuk

mereka, tetapi bukan untuk dunia ini (17:9).  Para murid bukan dari dunia

ini, sama dengan Dia juga bukan dari dunia ini (17:14).

Paulus mengambil tema ini: jangan menjadi serupa dengan dunia ini

(Rm. 12:2).   Allah telah membuat hikmat dunia ini menjadi kebodohan

(1Kor. 1:20-21, 2:6-8, dan lain lain).  Orang-orang kudus akan menghakimi

dunia (1Kor. 6:2).  Paulus mengatakan bahwa dunia ini disalibkan bagi dia

dan dia bagi dunia (Gal. 6:14).  Yakobus mengatakan bahwa ibadah yang

murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah ialah mengunjungi janda-

janda dan para yatim piatu dan menjaga diri sendiri supaya tidak dicemarkan

oleh dunia (1:27).  Tetapi antitesis yang paling menawan yaitu  di dalam 1

Yohanes 2:15-17:

Janganlah kamu mengasihi dunia dan apa yang ada di dalamnya.  Jikalau

orang mengasihi dunia, maka kasih akan Bapa tidak ada di dalam orang

itu.  Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan

keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa,

melainkan dari dunia.

16 Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan

Jadi, memang ada antitesis, suatu oposisi, antara Kristus dan dunia

ini, dan karena itu, antara orang percaya dengan dunia ini.  Namun demikian,

kitab suci tidak pernah menyatakan supaya orang Kristen meninggalkan

dunia ini.  Kenyataannya memang kita tidak bisa meninggalkan dunia

ciptaan Allah ini.  Apakah hal itu berati kita harus mencoba untuk menjauhi

manusia lainnya, menjauhkan diri dari masyarakat manusia yang

terkontaminasi oleh dosa?  Mungkin sedikit mengejutkan bahwa jawaban

Alkitab yaitu  tidak.  Yesus berdoa, bukan supaya Bapa mengangkat para

murid dari dunia, tetapi melindungi mereka dari pada yang jahat (Yoh.

17:15).  Mereka bukan dari dunia, tetapi sebagaimana Bapa mengutus Yesus

ke dalam dunia, demikian pula Ia mengutus para murid-Nya ke dalam dunia

(17:11-18).  Paulus tidak melarang orang Korintus untuk bergaul dengan

orang-orang yang tidak bermoral, serakah, pemfitnah, atau bahkan

penyembah berhala, karena ia mengatakan, “jika demikian kamu harus

meninggalkan dunia ini” (1Kor. 5:10).  Sebagaimana Yesus, kita harus

bersinar sebagai terang di dunia ini (Mat. 5:14; Flp. 2:15).  Kita harus berada

di dunia tetapi bukan dari dunia. Memang hal itu merupakan suatu

keseimbangan yang sangat sukar untuk dipertahankan.

Jadi, ada dasar Alkitab dari pemikiran mereka dalam kaitan dengan

istilah konflik, antitesis.  Namun apakah kita harus mengadopsi model

“Kristus melawan kebudayaan?”  Di satu sisi, harus diperhatikan bahwa

kebudayaan dan dunia tidaklah sinonim.  Sebagaimana yang saya nyatakan

di bagian yang pertama, kebudayaan yaitu  campuran dari yang baik dan

yang buruk.  Kebudayaan mencakup dampak dari dosa dan juga dampak

dari anugerah Allah.  Tetapi, dunia yang digunakan dalam pemahaman

etis yang negatif, secara keseluruhan yaitu  jahat.  Dunia yaitu  kerajaan

si jahat, dan orang Kristen tidak boleh serupa dengannya sedikitpun juga.

Kita tidak boleh mengasihinya.  Kepedulian kita hanyalah untuk

membebaskan orang-orang dari pada dunia ini.  Dunia ini merupakan

perangkap yang besar dan khayalan.

Kebudayaan merupakan istilah yang lebih luas dari dunia.  Dunia

merupakan bagian yang buruk dari kebudayaan, yaitu kebudayaan dari orang

tidak percaya, yang  esensinya tidak terkena dampak dari anugerah umum

dan anugerah khusus.  Gereja mula-mula, yang melihat dunia sebagai yang

tidak tersentuh oleh Injil, sering kali memahami  keduniawian sebagai

sesuatu yang bisa merembes, dan tidak dapat dihindari.  Keduniawian dilihat

sebagai semacam kepercayaan yang sistematis yang berusaha untuk membawa

segala sesuatu berada di bawah jalannya.

Pada kenyataannya, memang orang Kristen tidak selalu membuat

perbedaan antara yang jahat dari dunia ini dan percampuran dari yang

baik dan yang jahat dari kebudayaan.  Namun kadang-kadang mereka

melakukannya.  Contohnya dalam 1 Korintus 9, Paulus mengatakan bahwa

17

bagi orang Yahudi ia menjadi orang Yahudi, dan bagi orang Yunani, ia

menjadi orang Yunani.  Bagi orang yang lemah (bagi orang-orang dengan

kelemahan religius tertentu) ia menjadi lemah, supaya ia dapat

memenangkan yang lemah.  Paulus mengakomodasikan perilakunya pada

kebiasaan dari kelompok-kelompok yang berbeda, yaitu pada kebudayaan

mereka, sehingga ia dapat memenangkan mereka bagi Kristus.  Ia tidak

berbuat dosa, yang ia lakukan yaitu  menyerupakan perilakunya pada

ekspektasi kultural mereka dengan cara yang tidak berdosa.  Hal ini

mengasumsikan bahwa tidak segala sesuatu dari kebudayaan Yahudi dan

non-Yahudi yaitu  jahat.  Sebagaimana yang telah saya sebutkan, setiap

kebudayaan berisi sejumlah produk, kebiasaan, dan lembaga-lembaga yang

baik, misalnya hasil panen, pernikahan, pemerintahan, dan bahasa.  Kita

bisa ambil contoh bahasa Yunani yang merupakan suatu produk dari

kebudayaan Yunani.  Oleh karena itu, tidaklah salah bagi Paulus untuk

menggunakannya dalam berkhotbah dan mengajar.  Bahasa Yunani bersifat

kultural, bukan duniawi.

Jadi Kristus melawan dunia, jawabnya yaitu  ya; Kristus melawan

kebudayaan, jawabnya yaitu  tidak.  Tentu saja, bagi kita ada bagian-bagian

dari kebudayaan yang kita tentang, tetapi Allah tidak memanggil kita untuk

menentang kebudayaan secara keseluruhan.

Kristus dari Kebudayaan

Seperti yang telah kita lihat, Bapa-bapa Gereja cenderung untuk

melihat Kristus dan kebudayaan dalam konflik atau antitesis.  Tetapi mereka

tidak secara keseluruhan konsisten mengenai hal itu.  Pada waktu mereka

mempertahankan orang-orang Kristen melawan serangan dari orang-orang

yang tidak percaya pada Allah, mereka cenderung mencari dasar yang sama

atau titik temu.  Mereka menunjukkan bagaimana orang-orang Kristen itu

merupakan bagian vital dari masyarakat yang lebih besar dan mendatangkan

banyak manfaat bagi kebudayaan umum.  Bahkan Tertullian mengatakan

pada orang-orang yang tidak percaya pada Allah:

Kita menjalani dunia ini bersama-sama dengan kamu, baik di dalam

forum, kekacauan, pemandian umum, rumah, tempat penginapan,

pasar, atau tempat-tempat perdagangan lainnya. . . .  Kami berlayar

bersama kamu, dan berjuang bersama kamu, dan membajak tanah

bersamamu; dan bersamaan dengan itu kita juga bersatu dalam

18 Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan

keramaian lalu lintas, bahkan dalam beragam karya seni, kami

memamerkan hasil-hasil karya kami untuk keuntunganmu.10

Niebuhr kemudian mengutip bagian ini serta menambahkan:

Namun, hal ini dikatakannya sebagai pembelaan diri.  Karena pada

waktu ia memperingatkan orang percaya, nasehatnya yaitu  supaya

mereka menarik diri dari banyak pertemuan dan pekerjaan, bukan hanya

karena hal itu semua telah tercemar oleh dosa, karena berkaitan dengan

iman orang tidak percaya, tetapi juga karena hal-hal itu menuntut suatu

pola kehidupan yang bertolak belakang dengan semangat dan hukum

Kristus.11

Sebenarnya Tertullian tidak sendirian di dalam usaha mencari dasar

yang sama dengan orang tidak percaya.  Contohnya, Justin Martyr dan

kemudian Clement dari Alexandria merekomendasikan kekristenan pada

orang-orang tidak percaya sebagai penggenapan filsafat Yunani.  Mereka

berpendapat, bahwa berdasarkan pertuturan yang rasional, Plato hidup

berdasarkan logos; dan logos di Yohanes 1:1-14 yaitu  Yesus Kristus.  Justin

mengatakan bahwa Socrates dan Plato yaitu  orang Kristen.  Sebagaimana

PL mempersiapkan orang Yahudi untuk menerima Kristus, maka demikian

pula filsafat Yunani mempersiapkan orang Yunani untuk menerima Kristus.

Yesus yaitu  penggenapan dari semua yang tertinggi dan yang terbaik dari

filsafat-filsafat manusia.  Orang-orang Yunani tidak akan sulit untuk

menerima Kristus, karena sebenarnya mereka telah menjadi orang Kristen.

Niebuhr juga menyebutkan bahwa pemikir Abad Pertengahan, Peter

Abelard dan Protestan liberal yang mengikuti Albrecht Ritschl di abad ke

sembilan belas merupakan contoh-contoh dari kecenderungan ini.  Mereka

menyajikan Kristus hanya sebagai guru moral.  Bagi mereka, Yesus tidak

menolak kebudayaan manusia, tetapi ia mengajarkan segala yang teragung

dan terbaik dalam tradisi cultural dari umat manusia.12

Tentu saja para pemikir ini tidak salah dalam mengatakan bahwa Kristus

menyetujui apa yang baik dan benar di dalam semua kebudayaan manusia.

Tetapi tidaklah alkitabiah jika  kita membatasi Yesus hanya pada hal-hal

yang mana Ia berbagian dengan kebudayaan manusia.  Hikmat Yesus jauh

lebih besar dari apa yang pernah diimpikan oleh semua filsuf-filsuf Yunani

atau para moralis modern.  Sebenarnya Ia jauh melebihi seorang filsuf dan

seorang moralis.  Tidak ada guru moral dapat menyelamatkan kita dari

10Apology  xlii.

11Christ and Culture 55-56.

12Ibid. 89-101.

19

dosa, karena kita sendiri tidak memiliki kekuatan untuk berperilaku secara

moral.  Tetapi Yesus mati untuk memuaskan murka Allah, sehingga kita

dapat hidup kekal dan memperkenankan Allah.  Khotbah tentang kabar

baik ini membuat hikmat manusia menjadi suatu kebodohan.

Lebih lanjut, posisi “Kristus dari kebudayaan” cenderung untuk

mengabaikan doktrin dosa yang alkitabiah.  Posisi ini mengidentifikasikan

Kristus dengan kebudayaan, karena posisi ini tidak melihat sejauh mana

buruknya kebudayaan itu bisa terpuruk, di bawah pengaruh kejatuhan dan

kutuk dosa.

Namun demikian, orang Kristen seringkali mengalami kesulitan untuk

membedakan antara Kristus dan kebudayaan.  Satu kritik yang paling umum

bagi misionari-misionari Barat sepanjang dua abad terakhir ini yaitu 

mereka  telah berusaha memasukkan kebudayaan Barat pada negara-negara

lain di dalam nama Kristus.  Mereka tidak hanya telah membawa Injil,

melainkan juga pakaian Barat, lagu-lagu himne Barat, serta politik Barat.

Namun, menarik garis pemisah untuk hal itu tidak selalu mudah.  Pada

waktu seorang misionaris memberikan petunjuk mengenai pakaian, di mana

ia membuat garis pemisah antara kepedulian alkitabiah tentang berpakaian

yang sopan dan standar keindahan Barat?  Pada waktu ia merekomendasikan

musik untuk ibadah mereka, seberapa banyak dari pemikirannya dikuasai

oleh standar Alkitab, dan sejauh mana ia hanya sekadar rindu dengan musik

di mana ia dilahirkan dan bertumbuh?  Ketika tumbuh dalam sebuah

masyarakat Kristen, atau suatu kebudayaan yang sangat dipengaruhi oleh

Injil, kita akan tergoda untuk menghendaki semua masyarakat yang lain

menjadi seperti itu.

Masalah ini bahkan masuk ke dalam pemahaman kita tentang kitab

suci.  Pada waktu Paulus mengatakan bahwa wanita yang berdoa atau yang

bernubuat harus memiliki gaya rambut tertentu atau penutup kepala, apakah

perintah ini terbatas pada kebudayaan tertentu, atau ini merupakan norma

universal?  yaitu  mudah bagi kita untuk mengkritik Abelard dan Ritschl,

yang dengan mudahnya mereka menyamakan Kristus dengan kebudayaan,

namun sebenarnya kita pun menghadapi problema yang sama.

Kristus di Atas Kebudayaan

Niebuhr memiliki nama yang khusus untuk pandangan ketiga sampai

kelima.  Mereka yang memegang pandangan yang ketiga yaitu  “sintesis,”

mereka yang berpegang pada pandangan keempat yaitu  “dualis,” dan

mereka yang memegang pandangan kelima yaitu  “transformasionalis.”

Pandangan ketiga mengakui bahwa Kristus dan kebudayaan yaitu 

berbeda. Berbeda dengan pandangan pertama, pandangan ketiga ini

mengakui bahwa ada kebaikan di dalam keduanya.  Thomas Aquinas (1225-

20 Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan

1274) yaitu  wakil utama dari pandangan ini, dan Gereja Roma Katolik

dengan agak resmi mengadopsi posisinya.  Inti dari teologi Roma Katolik

yaitu  perbedaan antara natur dan anugerah.  Natur yaitu  dunia yang

diciptakan Allah.  Anugerah yaitu  nama untuk pemberian khusus dari

Allah yang diberikan kepada manusia, pemberian khusus ini melampaui

natur.

Contohnya, penalaran natural merupakan bagian dari natur,

sebagaimana Allah menciptakan kita.  Hal itu memampukan kita untuk

memahami dunia di sekitar, dan bahkan untuk menunjukkan eksistensi

Allah.  Tetapi melalui penalaran natural, kita tidak akan pernah memahami

Tritunggal, atau memahami bagaimana untuk diselamatkan dari dosa.  Untuk

itu kita harus memiliki cara yang lebih tinggi dari pengetahuan, yaitu wahyu

ilahi dan iman.  Penalaran natural merupakan milik dari natur; iman yaitu 

milik dari anugerah.

Melalui kemampuan natural, kita membajak tanah, menikah dan

membangun rumah tangga, serta mencapai berbagai macam kebahagiaan

duniawi.  Tetapi untuk mencapai tujuan yang tertinggi, tujuan yang

supranatural, kita membutuhkan anugerah Allah.  Kita harus membuat

pemisahan yang sama di kalangan yang berotoritas: negara mengatur natur;

gereja mengatur anugerah.

Jadi, bagaimana relasi Kristus dengan kebudayaan?  Secara umum

dikatakan, bahwa kebudayaan yaitu  natur yang dikembangkan oleh

manusia.  Kristus menambahkan natur dengan sesuatu yang lebih tinggi.

Di mana yang lebih tinggi dengan mudah berbaur dengan yang lebih rendah,

yaitu dalam suatu “sintesis.”

Hal itu tidak terdengar terlalu buruk pada waktu saudara pertama kali

mendengarkannya; pada faktanya hal itu terdengar masuk akal.

Persoalannya, sebagaimana kadang-kadang dijelaskan oleh paham ini, bahwa

saudara tidak membutuhkan Kristus dalam tingkatan yang lebih rendah,

melainkan hanya pada tingkatan yang lebih tinggi.  Penalaran natural

misalnya, bekerja dengan sempurna tanpa pertolongan wahyu ilahi.

Aristoteles belajar banyak hal yang berharga melalui penalaran naturalnya.

Problem Aristoteles bukan karena ia salah, mesti kadang-kadang ia bisa

salah.  Tetapi problemnya yaitu  ia perlu mengetahui lebih lagi dari apa

yang dapat dikatakan oleh penalaran ini.  Ia membutuhkan suplemen.

Saudara dapat baik-baik saja dalam menjalani hidup dan membangun

rumah tangga tanpa Kristus.  Tetapi, kalau tertarik pada hidup kekal, maka

saudara perlu sesuatu yang lebih.  Tentu saja, kalau benar-benar tertarik

pada hidup kekal, saudara akan berhenti dari pekerjaan, berjanji tidak akan

pernah menikah, dan menjadi seorang biarawan, mengambil sumpah untuk

miskin, menderita, dan taat.

21

Namun demikian, masalahnya yaitu  tidak alkitabiah untuk

memisahkan natur dan anugerah dengan cara seperti itu.  Ingatlah bahwa

Allah menghendaki kita untuk menjalani kehidupan natural bagi kemuliaan

Allah.  Pada waktu makan, minum, melakukan pekerjaan, membangun

rumah tangga, kita harus melakukan semua itu untuk kemuliaan Allah.

Tetapi terpisah dari anugerah, kita yaitu  orang berdosa, karena “segala

kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata” (Kej.

6:5).  Tanpa anugerah kita tidak dapat menjalani kehidupan natural

sebagaimana yang Allah kehendaki.  Kita perlu lebih daripada suatu

suplemen.  Kita membutuhkan suatu perubahan arah yang sangat berbeda.

Demikian juga halnya dengan “penalaran natural.”  Memang benar

bahwa kita dapat mengetahui Allah melalui dunia di sekeliling kita, tetapi

tanpa iman kita membenci kebenaran itu dan menindasnya.  Kita tidak

dapat memahami dengan benar dunia ini tanpa anugerah Allah dan wahyu-

Nya.

Negara dapat menjaga keamanan dengan kekuatan, tetapi negara tidak

memiliki pemahaman tentang batas-batasnya yang benar dan terpisah dari

firman Allah.  Tanpa itu, kekuatannya akan menjadi tirani.

Di kitab suci, alam dan anugerah tidak terpisahkan.  Anugerah bukan

hanya tingkat yang lebih tinggi, suatu suplemen untuk alam, melainkan

alam yaitu  sia-sia jika terpisah dari anugerah, dan kita harus memahami

kebudayaan. Sodom dan Gomora, Tirus dan Sidon, kebobrokan di Roma

1, merupakan contoh-contoh dari apa yang terjadi dengan kebudayaan

tanpa Kristus.

Kristus dan Kebudayaan dalam Paradoks

Setiap pandangan yang telah kita diskusikan mengakui kepentingan

dari relasi Kristus dan kebudayaan.  Pandangan pertama mengakui realitas

peperangan rohani.  Pandangan kedua menyadari bahwa ada yang baik

dalam kebudayaan.  Pandangan ketiga mengakui bahwa Kristus berbeda

dari apa yang terbaik di dalam kebudayaan.  Sekarang pandangan keempat

disebut oleh Niebuhr sebagai “dualisme,” yaitu pandangan yang mengakui

keberdosaan dari kebudayaan, lebih dari ke tiga pandangan sebelumnya.

Pandangan ini biasanya diasosiasikan dengan tradisi Lutheran, tetapi

pandangan ini telah dipegang oleh banyak orang reformed juga, khususnya

di tahun belakangan ini.  Saya mengakui sukar untuk memahami dan

menjelaskan pandangan ini, dibandingkan dengan pandangan-pandangan

yang lain, tetapi saya akan melakukan dengan sebaik-baiknya.

22 Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan

Inti dari pandangan ini yaitu  bahwa, sebagaimana Gene Veith katakan,

Allah menjalankan “kedaulatan ganda.”13  Ia memiliki “dua kerajaan.”  Ia

memerintah dengan satu cara di gereja, dan dengan cara yang lain di dunia

secara umum: “Di gereja, Allah memerintah melalui pekerjaan Kristus dan

memberikan Roh Kudus, mengekspresikan kasih-Nya dan anugerah-Nya

melalui pengampunan dosa dan kehidupan beriman.”14  Di dunia secara

umum, Allah “menyatakan otoritas-Nya dan kontrol providensial-Nya”

melalui “hukum alam” (dari fisika, kimia, dan lain-lain).

Demikian juga, Allah memerintah bangsa-bangsa, bahkan mereka yang

tidak mengakui-Nya, menjadikan umat manusia sebagai makhluk sosial,

dengan kebutuhan akan pemerintahan dan kebudayaan untuk menahan

kecenderungan dosa yang merusak diri dan untuk memampukan umat

manusia bertahan hidup.15

Veith juga menjelaskan kedua kedaulatan atau kedua kerajaan ini sebagai

Injil versus hukum dan spiritual versus sekular.  Luther menggunakan

metafora yang spiritual sebagai “tangan kanan” Allah dan sekular sebagai

“tangan kiri” Allah.

Sejauh ini, saya setuju dengan hampir dari semua itu.  Tentu saja Allah

memerintah gereja agak berbeda dari cara Ia memerintah dunia sekular.

Namun, saya kehilangan sesuatu.  Dari kedua kedaulatan ilahi Veith, tidak

ada satu pun yang biasa kita sebut “kedaulatan ilahi” dalam teologi reformed.

Dalam teologi reformed, kedaulatan Allah yaitu  komprehensif, atas segala

sesuatu.  Segala sesuatu terjadi seturut dengan kehendak-Nya (Ef. 1:11).

Kedaulatan umum Allah tidak hanya melalui hukum alam, meskipun hukum

alam memegang peranan, tetapi terutama melalui keterlibatan-Nya secara

langsung dalam sejarah, melalui Kristus, di mana melalui-Nya segala sesuatu

dapat berjalan, dan Roh Kudus, yang membuat kehidupan tetap ada di

atas bumi.  Kitab suci tidak berbicara tentang hukum-hukum alam dalam

pengertian kekuatan yang tidak berpribadi yang melaluinya Allah bekerja.

Bisa berguna dalam ilmu pengetahuan untuk membicarakan hal yang

demikian, tetapi itu hanyalah suatu cara singkat membicarakan tentang

tindakan Allah secara langsung dan personal.  Jadi, saya pikir ada suatu

kesatuan dalam kedaulatan Allah dan bahwa doktrin dua kerajaan agak

kabur.

Masalah yang lebih serius ialah bahwa doktrin dua kerajaan mengklaim

suatu dualitas, bukan hanya dalam providensia Allah, melainkan juga dalam


standar-standar Allah, norma-norma-Nya.  Ada nilai sekuler dan ada nilai

religius, norma-norma sekuler dan norma-norma religius.  Masyarakat sekuler

bertanggungjawab hanya untuk hukum-hukum alam.  Jadi, Veith

mengatakan, “moralitas bukan masalah agama.”16  Gereja, menurut sebagian

Lutheran, tidak tunduk pada hukum manapun,17 atau, menurut yang lain,

tunduk pada seluruh firman Allah.  Oleh karena itu, meskipun orang Kristen

dapat terlibat dalam kebudayaan umum, ia tidak boleh

mengkristenisasikannya atau menjadikan kebudayaan Kristen.  Tidak ada

kebudayaan Kristen, hanya ada kebudayaan sekular dan gereja Kristen.

Tentu saja, ia tidak boleh juga membawa standar-standar sekular ke dalam

gereja: musik sekular, misalnya.

Masyarakat sekular diperintah oleh prinsip keadilan, dan karena itu

dengan pedang.  Gereja diperintah, bukan oleh pedang, tetapi oleh firman

Allah dan Roh Allah.  Veith memberikan argumentasi bahwa kita tidak

boleh meminta pemerintahan sipil untuk memberikan pengampunan pada

kriminal, tetapi menghukum mereka sesuai dengan keadilan.  Keadilan

yaitu  moralitas natural; pengampunan hanya ada di gereja.  Ada semacam

ketidakkonsistenan antara etika sekular dengan etika gereja.

Saya memiliki berbagai jenis masalah dengan ide bahwa ada dua macam

norma ilahi:

1. yaitu  benar orang non-Kristen memiliki apa yang disebut “suatu

pengetahuan moralitas natural” dan memang pengetahuan itu berisi

hukum bukan Injil, tetapi tidak ada inkonsistensi antara apa yang Allah

perintahkan melalui pengetahuan natural dan apa yang Ia perintahkan

kepada kita di kitab suci.  Standar-standar moral Allah yaitu  satu,

meskipun mereka datang melalui dua media.

2. Berbeda dengan Veith, kepastian moralitas merupakan masalah agama.

Hukum moral mengikat karena Allah yang benar menuntutnya dari

kita.  jika  Allah tidak ada, maka tidak ada yang benar atau yang

salah.  Hal itu termasuk moralitas natural.  Di Roma 1 orang-orang

mengetahui yang benar dan yang salah, karena mereka tahu bahwa

Allah yang sejati ada, namun mereka berusaha untuk menindas

pengetahuan itu.  Bahkan dalam hati nurani orang non-Kristen,

moralitas yaitu  hal agama.  Menurut Paulus, sejauh mereka menindas

pengetahuan itu, mereka jatuh pada penyembahan berhala dan hawa

16Ibid.

17Ide ini sangat salah, dan itu berarti antinomianisme.  Orang Kristen diselamatkan

oleh anugerah, tetapi orang yang diselamatkan oleh anugerah akan mengasihi hukum

Allah.  Yesus mengatakan, “jika  engkau mengasihi Aku, maka engkau akan

melakukan perintah-perintah-Ku.”

24 Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan

nafsu yang tidak normal.  Kesalahan dari agama memimpin pada

kesalahan di dalam moralitas.  Namun demikian pengetahuan orang

tidak percaya yang terpancar melalui mereka sering kali hanya dibibir

saja, karena pada saat yang sama mereka melanggarnya (Rm. 1:32).

3. Melalui kitab suci dan melalui pandangan yang sudah diregenerasikan,

orang-orang Kristen memiliki pemahaman yang lebih penuh tentang

hukum Allah daripada yang dimiliki oleh orang tidak percaya.  Mereka

harus membawa pemahaman dan pandangan kristiani ke dalam

kebudayaan dan pemerintahan sebaik mungkin.  Tetapi, pada waktu

mereka melakukan itu, bukankah kita dalam arti tertentu bekerja untuk

“mengkristenisasikan kebudayaan?”

4. yaitu  benar bahwa negara memiliki kuasa pedang dan gereja tidak,

tetapi itu bukan karena ada dua moralitas yang berbeda, yang satu

sekular dan yang satu Kristen, melainkan bahwa perbedaan itu timbul

dari firman Allah.  Di dalam Alkitab, Allah memberi tahu kita bahwa

negara memiliki kuasa pedang dan gereja tidak.  Doktrin ini kadang-

kadang disebut “wilayah kedaulatan”  dan meskipun orang-orang

kadang-kadang berusaha untuk memperlakukan prinsip ini lebih dari

semestinya, hal itu tentu saja merupakan kenyataan bahwa Allah

memberikan gereja dan negara wilayah otoritas yang berbeda dan alat

yang berbeda untuk menerapkan otoritas itu.  Tidak ada

ketidakkonsistenan di sini, tidak ada paradoks.  Ini hanya sekadar

pembedaan yang diminta oleh Allah dalam firman-Nya.

5. Jadi penggunaan pedang oleh negara bukan merupakan suatu alternatif

bagi moralitas Kristen, tetapi bagian dari moralitas Kristen.  Hal itu

bukanlah suatu rintangan bagi negara Kristen, tetapi esensi dari negara

Kristen.  Negara Kristen bukan merupakan suatu negara di mana kasih

dan pengampunan menggantikan keadilan.  Negara Kristen seharusnya

menjadi negara yang mengekspresikan keadilan Allah.

6. Hal itu tidak berarti bahwa negara dapat memaksa orang-orang untuk

menjadi Kristen, meskipun ada orang-orang Kristen di masa lampau

telah keliru dalam menarik implikasi.  Hal itu bukan merupakan peran

yang tepat untuk negara dalam pemahaman yang alkitabiah.

7. Demikian juga, orang Kristen harus mencari standar Alkitab untuk

diterapkan dalam semua area di masyarakat dan kebudayaan.  Motivasi

kita bukan untuk membuat orang tidak percaya menjalani kehidupan

Kristen, tetapi sekadar bahwa Allah menghendaki kita untuk

menerapkan implikasi dari iman kita dalam semua aspek kehidupan

kita.

8. Kritik konvensional dari teori dua kerajaan ialah bahwa hal itu terlalu

konservatif.  Menurut kritik ini, pandangan dua kerajaan menghindari

segala macam aktivisme Kristen, karena teori tersebut menghendaki

25

untuk membiarkan yang sekular menjadi sekular.  Sebagian orang telah

menyalahkan pandangan dua kerajaan untuk kepasifan gereja Jerman

pada masa Nazi.  Veith mempertahankan pandangan dua kerajaan

melawan kritik dengan mengatakan bahwa teori tersebut mengizinkan

orang-orang Kristen untuk secara aktif mempromosikan keadilan di

masyarakat, jika  keadilan itu dilihat dengan cara yang benar-benar

sekular.  Di sini saya cenderung untuk setuju dengan Veith, daripada

dengan para pengkritik.  Tetapi saya bertanya-tanya apakah standar

yang digunakan oleh orang Kristen dua kerajaan untuk aktivisme

mereka.  Apakah mereka boleh menggunakan kitab suci untuk

menjabarkan hakekat keadilan dalam masyarakat?  Bagaimana kita

membedakan apa yang berdasarkan kitab suci dan apa yang hanya

sekadar natural?  Doktrin dua kerajaan meninggalkan ketidakjelasan.

Mungkin ketidakjelasan itu membuat orang Kristen yang berada dalam

situasi-situasi tertentu tidak terlibat sebagaimana seharusnya.

9. Veith mengatakan bahwa sebagaimana halnya kita tidak boleh

menerapkan standar-standar gereja di kebudayaan, demikian pula kita

tidak boleh membiarkan standar-standar sekular diterapkan di gereja,

contohnya seni, musik dan lain-lain.  Di samping itu, teori ini juga

mengatakan bahwa tidak ada standar Kristen yang unik untuk seni dan

musik, hanya ada standar sekular.  Veith mengatakan, “tidak diperlukan

untuk membedakan secara jelas bagaimana pendekatan orang Kristen

pada musik, pengairan, ilmu komputer, fisika, atau pengukiran

kayu . . . ,”18 dan ini berarti kita tidak memiliki pilihan lain, selain

menerapkan standar-standar yang digunakan dalam seni sekular dan

sekolah-sekolah musik.  Kebanyakan orang yang menulis dengan cara

ini yaitu  pengikut semacam artistik yang konservatif, memegang

standar klasik dalam musik gereja dan seterusnya, tetapi dunia sekular

sangat bingung, misalnya untuk menentukan mana yang disebut musik

“baik.”  jika  kita harus mendengarkan mereka, siapa yang harus

kita dengarkan, dan mengapa kita hanya harus mendengarkan suara-

suara yang konservatif, bukan yang radikal?  Keseluruhan posisi ini

sangat membingungkan.  Saya akan membahas lebih jauh tentang

standar bagi musik gerejawi di bagian selanjutnya.

Kristus Pentransformasi Kebudayaan

Melalui proses eliminasi, tetapi bukan hanya itu saja, saya menemukan

diri saya mendukung pandangan kelima, bahwa orang-orang Kristen harus

berusaha untuk mentransformasikan kebudayaan menurut standar firman

18“Christianity and Culture.”

26 Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan

Allah.  Ini berarti bahwa jika  saudara yaitu  seorang artis Kristen, montir

mobil, pegawai negeri, atau apa pun pekerjaanmu, saudara harus melakukan

semuanya itu sebagai orang Kristen, yaitu menerapkan standar Allah ke

dalam pekerjaan saudara.  Sebagaimana yang dikatakan oleh Paulus, “pada

waktu kamu makan atau minum, atau apa pun yang kamu lakukan,

lakukanlah semua itu untuk kemuliaan Allah.”  Orang-orang Kristen harus

selalu berusaha untuk melaksanakannya dan dalam usaha untuk

melaksanakan hal itu mereka memberikan dampak yang besar pada

kebudayaan.  Mereka tidak mengubah bumi menjadi surga, atau dunia

menjadi gereja.  Kadang-kadang mereka membuat kesalahan yang tragis.

Tetapi mereka juga melakukan suatu kebaikan yang besar, seperti yang

ditunjukkan oleh Kennedy-Newcombe dalam bukunya.  Berikut ini beberapa

tanggapan atau kritik yang umum:

1. Usaha untuk mentransformasi kebudayaan dengan cara ini tidak berarti

berusaha untuk menyelamatkan dunia terpisah dari anugerah Allah.

Hal itu hanya sekadar berarti mentaati Allah sebagai respons

pengucapan syukur kita pada anugerah-Nya.

2. Pendekatan transformasional tidak mengasumsikan suatu optimisme

yang tidak realistis tentang apa yang mungkin terjadi di masyarakat

yang telah jatuh ke dalam dosa.  Kita tahu, sebagaimana yang diketahui

oleh dualis, bahwa dunia telah jatuh ke dalam dosa, sangat berdosa,

tercemar secara total, tetapi kita juga memiliki kepercayaan di dalam

anugerah umum Allah dan anugerah khusus-Nya yang telah saya

sebutkan sebelumnya.  Perubahan yang riil untuk lebih baik dapat terjadi,

dan sejarah memperlihatkan bahwa hal itu terjadi.  Bukan

kesempurnaan, tetapi perubahan yang riil untuk menjadi lebih baik.

3. Untuk mengaplikasikan standar-standar Kristen pada seni, contohnya,

tidak berarti bahwa kita harus mengubah karya artistik kita menjadi

traktat keselamatan.  Alkitab tidak menuntut hal itu.  Saya percaya

bahwa Injil keselamatan merupakan suatu subjek yang cocok, tentu

saja merupakan subjek yang mulia untuk digarap secara artistik, tetapi

seni harus berhubungan dengan semua aspek ciptaan Allah.

4. Pendekatan transformasional tidak berarti bahwa setiap aktivitas

manusia yang dilakukan oleh orang Kristen (misalnya: tukang ledeng,

montir mobil) harus secara nyata, dari luar terlihat berbeda dari aktivitas

yang sama yang dilakukan oleh orang tidak percaya.  Selalu ada

perbedaan, namun perbedaan itu terletak pada motivasi, tujuan dan

standar, bukan pada hal-hal eksternal.  Orang Kristen berusaha untuk

mengganti ban untuk kemuliaan Allah, sedangkan yang lain tidaklah

demikian.  Memang perbedaan ini tidak dapat ditangkap oleh mata

27

telanjang kita.  Pada waktu mengganti ban, orang Kristen dan orang

tidak percaya bisa kelihatannya sangat sama.

5. Kritikus seringkali mengeluhkan tidak adanya standar yang tinggi dalam

seni, musik dan aktivitas kultural Kristen lainnya.  Sampai taraf tertentu,

kritik ini ada benarnya, tetapi jawaban untuk masalah ini bukan dengan

cara menerima standar sekular tanpa kritikan (sekali lagi, meskipun

kita melakukannya, yang mana yang harus diterima?), melainkan

jawabannya yaitu  untuk lebih setia kepada Allah, baik pada wahyu

umum maupun pada wahyu khusus-Nya.  Kita harus cukup rendah hati

untuk belajar apa yang dapat kita pelajari dalam area-area ini, yang

Allah telah berikan pada orang tidak percaya, tetapi kita harus selalu

mengujinya dengan dasar pengetahuan kita akan Allah yang benar.