pewahyuan al-qur'an 1
PEWAHYUAN AL-QUR'AN TERJADI DALAM KONTEKS politik, sosial, intelektual dan agama warga Arab pada abad ke-7 Masehi, dan khususnya konteks wilayah
Hijaz, dimana disana terletak Makkah dan Madinah. Memahami
aspek-aspek utama dari konteks pewahyuan ini membantu kita
untuk membuat hubungan antara teks al-Qur'an dan lingkungan
dimana teks ini muncul. Termasuk dalam hal ini iklim
spiritual, sosial, ekonomi, politik, hukum dan norma-norma,
adat istiadat, lembaga-lembaga dan nilai-nilai yang diyakini di
dalam warga ini . Norma-norma sosial, misalnya,
terkait dengan struktur keluarga, hirarki sosial, hal-hal yang
dianggap tabu, upacara ritual, masalah rumah tangga, hubungan
gender, dan aturan terkait makanan, serta pembagian kekayaan.
Pentingnya semua aspek ini didukung oleh seringnya al-Qur'an
menyebut aspek-aspek ini .
Memahami konteks al-Qur'an juga membutuhkan penge-
tahuan yang detail mengenai peristiwa-peristiwa kehidupan Nabi,
baik saat di Makkah maupun Madinah. Banyak peristiwa besar
dalam kehidupan Nabi, seperti perjalanan malamnya (isra’) dari
Makkah ke Yerusalem (yang beberapa Muslim menganggapnya
sebagai perjalanan spiritual), migrasi ke Madinah (hijrah) pada
2tahun 622 Masehi, dan peperangan dan pertempuran antara
kaum Muslim dan lawan-lawan mereka, disebutkan dalam al-
Qur'an, tetapi tidak secara detail. Oleh karena itu, pemahaman
mengenai latar belakang kehidupan Nabi dan perkembangan yang
terjadi pada waktu itu merupakan hal penting untuk memahami
signifikansi banyak ayat al-Qur'an. Dalam pembahasan
selanjutnya, kita akan menyebut konteks ini sebagai konteks
‘sosio-historis’.
Pada abad ke-4/ke-10, konteks sosio-historis al-Qur'an me-
main kan peran yang kurang signifikan dalam keilmuan Islam,
dengan terbangunnya disiplin hukum Islam. Sebelum kemu-
dian, konteks historis dan non-linguistik wahyu mendapat
penekanannya sampai tingkat tertentu melalui riwayat asbab al-
nuzul (sebab-sebab turunnya wahyu), yang menceritakan konteks
di sekitar pewahyuan ayat-ayat tertentu. Meskipun riwayat ini
dimaksudkan untuk menjelaskan konteks langsung dari ayat-
ayat tertentu, tapi kita bisa menyatakan bahwa kemampuannya
untuk memberikan pemahaman mengenai konteks sosio-
historis pewahyuan masih terbatas. Banyak riwayat yang saling
bertentangan satu sama lain, dan banyak riwayat yang lain
dihasilkan dari sangkaan secara historis, sehingga riwayat-
riwayat ini seringkali sulit untuk disatukan dalam sebuah
ilustrasi konteks yang spesifik.
Meskipun konteks sosio-historis penting untuk memahami
al-Qur'an, namun banyak umat Islam saat ini terus mencurigai
konsep ini. Bagi sebagian Muslim, diskusi mengenai konteks
sosio-historis dari pewahyuan dianggap sebagai ancaman
terhadap keyakinan dasar mereka tentang orisinalitas ilahiah al-
Qur'an. Namun, sejauh kita mengamati beberapa ayat al-Qur'an,
sulit untuk memahami maknanya dengan baik tanpa memiliki
pemahaman dasar tentang konteks dimana ayat-ayat ini
diturunkan. Selain itu, semakin kita tahu tentang warga
3Hijaz dan Arab dalam pengertian budaya dan sejarah, akan
semakin jelas pemahaman kita mengenai pesan al-Qur'an.
Dalam bab ini kita akan membahas:
• Konteks sosial, lingkungan dan politik Arab pada zaman
Nabi;
• Bagaimana pesan al-Qur'an diterima di dalam, dan mencer-
minkan, konteks ini ;
• Bagaimana al-Qur'an berkaitan dengan praktek-praktek dan
norma-norma budaya Arab abad ke-7;
• Jenis bahasa yang dipakai oleh al-Qur'an untuk mengung-
kapkan pesan etika, dan cara penafsiran pesan semacam ini
dipengaruhi oleh budaya yang berlaku; dan
• Perkembangan awal berbagai arus pemikiran yang mempe-
ngaruhi pergaulan Muslim dengan al-Qur'an.
Dunia Nabi Muhammad
Al-Qur'an memuat banyak referensi tentang dunia kultural
dan material Hijaz, dimana disana terletak Makkah dan
Madinah, dan jazirah Arab secara umum. Sebagai contoh, al-
Qur'an mengacu pada beberapa kejadian penting yang terjadi di
sana, sikap yang ditunjukkan orang-orang Arab dan bagaimana
mereka menanggapi pesan yang disampaikan Nabi Muhammad.
Al-Qur'an juga menyebutkan beberapa institusi warga ,
norma dan nilai.
Hijaz sendiri meliputi budaya yang ada di sebagian besar
daerah Arab dan sekitarnya, membentang mulai dari budaya
Mediterania, termasuk Yahudi dan Kristen, hingga Arab
Selatan, Etiopia dan Mesir; semua ini mempengaruhi Hijaz
dan warga nya pada tingkatan yang bermacam-macam.
Akibatnya, pada zaman al-Qur'an, kehidupan sosio-budaya Hijaz
sangat beragam. Pemahaman terhadap hal ini akan membantu
4pembaca al-Qur'an saat ini untuk membuat koneksi antara teks
al-Qur'an dan keadan lingkungan yang memunculkan wahyu
al-Qur'an ini .
Kehidupan Hijaz dan Badui
Hijaz dan sebagian besar wilayah sekitarnya memiliki iklim
yang keras dengan sedikit curah hujan. Ada beberapa permukiman
pertanian, seperti oasis Yatsrib, di kemudian hari dikenal sebagai
Madinah, dan oasis Thaif, dekat Makkah. Namun, banyak
dari penduduk daerah itu merupakan suku nomaden Badui
dibandingkan penghuni tetap kota. Baik Badui maupun penduduk
kota terikat pada kode etik suku kuno yang menjunjung tinggi
nilai-nilai, seperti keberanian, kesabaran dalam menghadapi
kesulitan, kemurahan hati, keramahan, membela kehormatan
marga atau suku, dan memaafkan kesalahan. Di sisi negatif, tidak
ada konsep universal tentang perhatian terhadap orang lain.
Sebaliknya, keberanian dan pengorbanan hanya dalam sesama
suku saja.1 Membantu kerabat selalu dianggap sebuah kemuliaan,
tidak memandang apakah dia berada di pihak yang benar atau
salah. Tidaklah dianggap berani atau jantan untuk menunggu
sampai seseorang diserang, misalnya; orang-orang pemberani
Badui akan menyerang orang lain sebelum dia sendiri diserang.2
Penyerangan antar suku merupakan hal yang biasa dari
kehidupan di wilayah ini. Penyerangan ini sangat penting bagi
perekonomian sebuah wilayah, sebagai sumber daya yang
sangat bernilai. Kebanyakan Badui hidup dalam kondisi yang
ekstrim, dengan sedikit makanan dan pendapatan yang berasal
dari mengembala domba dan kambing. Pada masa-masa sulit,
seringkali tidak ada pilihan lain selain menyerang pemukiman untuk menjarah ternak atau mendapatkan budak. Perlindungan
dilakukan dengan tidak untuk membunuh siapa pun, karena
pembunuhan akan memicu pertumpahan darah yang akan
berlangsung selama beberapa generasi dan menimbulkan kerugian
yang luar biasa terhadap suku. Serangan dan pertempuran
semacam ini merupakan konsekwensi yang harus diterima dari
lingkungan yang keras pada abad ke-6 Masehi. Di bidang agama,
setiap suku memiliki tuhannya sendiri-sendiri. Setiap tahun,
pada akhir siklus pasaran di seluruh semenanjung, pedagang
dan peziarah akan berkumpul di Makkah untuk melakukan ritual
haji kuno.
Kota Nabi: Makkah dan Madinah
Makkah merupakan sebuah kota yang relatif kecil di awal
abad ke-7 Masehi. Karena terletak di atas tanah berbatu,
Makkah hampir seluruhnya tergantung pada daerah Thaif untuk
persediaan makanan. Meskipun demikian, Makkah juga memiliki
sumber air yang menakjubkan, yakni sumur Zamzam, sehingga
membuat penyelesaian permasalahan makanan itu menjadi
memungkinkan.
Orang-orang Makkah sebagian besar terdiri dari beberapa
klan atau kelompok yang membentuk suku Quraisy yang lebih
besar. Beberapa klan merupakan klan yang kaya, kuat dan
mendominasi urusan sosial, sementara klan yang lain miskin
dan mulai tersingkir. Makkah juga memiliki Ka’bah, yang diyakini
telah dibangun oleh Nabi Ibrahim dan putranya Ismail. Karena
menarik peziarah setiap tahunnya, Makkah telah menjadi sebuah
kota perdagangan yang signifikan, secara strategis terletak di
beberapa jalur perdagangan kafilah utama menjelang abad ke-6.
Dengan demikian, banyak orang Makkah terlibat dalam kafilah
perdagangan.
6Pengelolaan urusan Makkah dijalankan melalui pengaruh
kolektif orang-orang yang disepuhkan dan para pemimpin
marga yang kaya, melalui proses konsultatif informal. Tidak ada
penguasa atau negara formal; sebagai gantinya, seperti di padang
pasir, marga menjamin keselamatan dan keamanan bagi anggota
mereka. Adat memerintahkan bahwa saat seseorang dari suku
atau marga terancam, membela orang ini merupakan tugas
dari seluruh suku atau marga, bahkan jika perlu dengan unjuk
kekuatan.3
Meskipun Makkah merupakan kota untuk menetap, tetapi
banyak perantau yang tinggal di sekitar Makkah, sebagian besar
mereka adalah penggembala unta dan domba. Para perantau
ini , dan ternak-ternak mereka, sering diserang oleh pesaing-
pesaing dari marga nomaden, dan kafilah-kafilah dagang juga
datang menyerang. Ini berarti bahwa warga yang hendak
menetap harus melakukan kesepemahaman dan perjanjian
dengan suku-suku nomaden untuk melindungi perdagangan
kafilah mereka dari serangan. Sebagai akibat dari lingkungan
yang keras dan tidak pasti ini, banyak orang Makkah akhirnya
berpegang pada pandangan hidup yang fatalistik.
Kehidupan dengan menetap ini juga mengikis banyak nilai-
nilai tradisional padang pasir. Orang Makkah masih pada awalnya
memandang nilai keberanian dan kemandirian dalam posisi yang
tinggi, tetapi akhirnya mereka mulai menjadi elitis dan arogan.
Pertumbuhan kekayaan melalui perdagangan dan kekuasaan
tampaknya banyak menghilangkan beberapa kualitas positif,
seperti perhatian bagi kaum lemah dan fakir miskin.
Oasis Yatsrib kemudian dikenal sebagai Madinat al-Nabiy
(Kota Nabi) atau Madinah, yang dalam banyak hal berbeda
3 Michael Sells, Approaching the Quran: The Early revelation, Ashland, OR: White
Cloud Press, 1999, hal 3.
7dengan Makkah. Yatsrib dihuni oleh sejumlah suku yang berbeda
yang menciptakan transisi dari kehidupan nomaden ke pertanian
yang menetap. Masing-masing suku tinggal di sebagian dari oasis
ini dengan benteng yang dijaga ketat. Nilai-nilai tradisional
kehidupan padang pasir lebih kuat daripada di Makkah, tetapi
ini juga berarti bahwa sebagian besar suku saling bermusuhan
satu sama lain.4 Meskipun tanahnya subur, tanah untuk lahan
penghasil-panen sangatlah langka.
Dua kelompok ‘Arab’ terbesar di Madinah adalah suku
Aws dan Khazraj. Menjelang awal abad ke-7, kedua suku ini
terperangkap ke dalam sebuah siklus pertikaian dan persaingan
sumber daya, yang terus memburuk hingga menjadi peperangan
terbuka. Madinah juga menjadi tempat tinggal bagi sejumlah suku
Yahudi. Meskipun mereka sama-sama memiliki identitas sebagai
penganut Yahudi, tetapi mereka terpecah dan sering berperang
satu sama lain. Banyak suku-suku Yahudi juga bersekutu baik
dengan suku Aws atau pun Khazraj atau salah satu dari sub-
marga mereka, dan terperangkap dalam konflik.5
Konteks Agama Hijaz
Pada zaman Nabi Muhammad, ada beberapa tradisi
agama yang telah lebih dulu tumbuh di Arab. Komunitas-komu-
nitas Kristen dan Yahudi telah tersebar di seluruh wilayah. Makkah
sendiri, bagaimanapun, sebagian besar penduduknya merupakan
kaum ‘pagan’, mereka menyembah dewa-dewa suku yang
ditempatkan di dalam dan sekitar Ka’bah. Bahkan di Madinah,
orang-orang non-Yahudi pun sebagian besar merupakan suku
pagan. Namun, agama suku ini tidak menunjukkan kemajuan
yang pesat, dan sebagian besar orang Arab pagan sangat tidak
8relegius. Kepercayaan pada kehidupan setelah mati bukan
pandangan umum yang bisa diterima, dan tuhan-tuhan yang
mereka sembah tidak diberi penghormatan yang agung. Agama
tampaknya telah dipakai terutama untuk tawar-menawar
dengan tuhan, yaitu, dengan cara membuat persembahan dengan
imbalan sebuah pertolongan. Meskipun banyak orang percaya
terhadap kekuasaan absolut, ‘Allah’ atau ‘Tuhan’, namun sangat
sedikit saja yang, mereka dikenal sebagai para hanif, menyembah
hanya kepadanya Nya, dan keberadaan-Nya tidak terlalu banyak
mempengaruhi orientasi kehidupan kesukuan orang-orang Arab
pagan.6
Banyak komunitas Kristen yang tinggal di Arab bagian Utara
dan di sebagian Arab Selatan, meskipun di Hijaz agama Kristen
kurang signifikan. Namun demikian, Yudaisme telah mengakar
kuat di Madinah dan Yaman. Pengaruh Yahudi di Madinah telah
diperkuat melalui perkawinan, adopsi dan konversi. Meskipun
konsep monoteisme perlahan-lahan menjadi lebih dikenal, tetapi
kepercayaan semacam ini masih dipandang oleh banyak orang
Allah
Lafadz Allah kata dalam bahasa Arab yang berarti Dzat Yang
Maha Agung, Tuhan yang secara sederhana kata ini diartikan
Tuhan itu. Pada masa Nabi Muhammad, kata ini dipakai oleh
orang-orang Arab pra-Islam di Makkah untuk menyebut Tuhan
yang tinggi, di atas berhala-berhala yang disembah oleh banyak
penduduk Arab. Dalam Islam, nama ini kemudian dipakai
untuk satu dan hanya satu-satunya Tuhan. Orang Islam percaya
bahwa Tuhan ini merupakan Tuhannya Ibrahim, Musa, Isa dan
Muhammad.
9sebagai sesuatu yang asing dan tidak cocok dengan warga
suku Badui.
Menjelang akhir abad ke-6 Masehi, ada interaksi substansial
antara penduduk Hijaz dan penduduk di bagian Arab lain.
Interaksi ini umumnya terjadi melalui perdagangan, terutama
antara kota kecil dan kota besar di Kekaisaran Bizantium dan
Persia, dan melalui kunjungan ke Makkah oleh penduduk Arab
lain yang ingin menghormati Ka’bah. Interaksi ini melahirkan
banyak sekali sumber legenda, mitos, ide, angka, gambar dan ritual
yang kemudian akan al-Qur'an gunakan untuk menghubungkan
narasi, norma dan nilai-nilainya dengan konteks Hijaz. Al-Qur'an
akan memilih untuk menceritakan narasi-narasi yang relevan
dengan wilayah Hijaz ini , baik narasi ini merujuk
pada orang dan dikisahkan dalam sumber-sumber Alkitab atau
bersumber dari cerita lokal dan legenda Arab.
Kehidupan Nabi Muhammad sebagai Bagian dari
Konteks
Kaum Muslim percaya bahwa Muhammad merupakan Nabi
terakhir Allah. Cerita kehidupannya merupakan sesuatu yang
penting untuk memahami perkembangan cita-cita Islam serta
konteks pewahyuan al-Qur'an.
Tradisi Muslim meyakini bahwa Muhammad merupakan
anak yatim piatu sejak usia yang sangat muda dan diasuh
oleh kerabatnya. Sebagai seorang pemuda, ia mulai berkarir
sebagai pedagang, seperti kebiasaan penduduk Makkah. Pada
usia 25 tahun, ia menerima lamaran pernikahan dari Khadijah,
majikannya, seorang wanita kaya di Makkah yang berumur lebih
tua dari Muhammad. Dia menikah hanya pada satu wanita sampai
Khadijah wafat. Pernikahnya dengan Khadijah dikaruniai empat
putri dan dua putra, meskipun putra-putra mereka meninggal
saat masih bayi. Muhammad dikenal sebagai seorang yang jujur,
10
yang menghabiskan waktu dalam meditasi dan kesunyian, dan
ia menjalani hidup yang biasa-biasa saja sampai ia mencapai usia
paruhbaya.
saat Muhammad berumur 40 tahun, ia menerima ‘wahyu’
saat sedang bermeditasi di sebuah gua dekat Makkah. Pada
saat itu, ia tidak dapat memahami sepenuhnya apa yang sedang
terjadi padanya dan apa sebenarnya implikasi dari penerimaan
wahyu itu. Butuh beberapa waktu sebelum akhirnya dia
menyadari sepenuhnya bahwa dia adalah seorang Nabi Allah,
yang dipercaya untuk menyampaikan wahyu Firman Tuhan
ini kepada umat-Nya. saat ia telah menerima tanggung
jawab ini, langkah pertama Muhammad adalah menyampaikan
pesan pada keluarganya sendiri, kerabat dekat dan teman-
teman terdekatnya. Perlahan, dia mulai mengajak orang untuk
mengikuti ajarannya; pertama dari kalangan keluarga dan teman,
tapi kemudian, sekelompok kecil individu dari warga
Makkah yang kurang beruntung pun mulai untuk menghormati
dan mengikuti ajaran-ajarannya.
Pesan yang disampaikan Muhammad menekankan kepada
keesaan Tuhan, sebagai lawan dari kepercayaan penduduk Makkah
terhadap banyak tuhan, dan kebutuhan untuk menyembah Tuhan
secara eksklusif serta menyadari adanya hari pembalasan, yaitu
hari saat semua yang dilakukan manusia akan mendapatkan
balasan sesuai dengan kadarnya. Salah satu teks awal al-Qur'an
mengatakan:
Apabila langit terbelah, dan apabila bintang-bintang jatuh
berserakan, dan apabila lautan dijadikan meluap, dan
apabila kuburan-kuburan dibongkar, (maka) setiap jiwa akan
mengetahui apa yang telah dikerjakan dan dilalaikannya.
Wahai manusia! Apakah yang telah memperdaya kamu
(berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pengasih.
Yang telah menciptakanmu lalu menyempurnakan kejadianmu
dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang. Dalam bentuk
11
apa saja yang dikehendaki, Dia menyusun tubuhmu. Sesekali
jangan begitu! Bahkan kamu mendustakan hari pembalasan.7
Wahyu awal al-Qur'an mengajak manusia untuk merenungi
kemegahan dan keagungan ciptaan Penciptanya:
Mahasuci Allah yang menguasai (segala) kerajaan langit dan
Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, yang menciptakan mati
dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun,
yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Tidak akan
kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan
Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu
lihat sesuatu yang cacat?8
Muhammad mengajarkan suatu tatanan sosial baru yang
melampaui tatanan suku yang ada pada saat itu, bersikap
rendahan hati daripada sombong, dan mendorong orang yang
kaya dan memiliki kekuasaan untuk memperhatikan orang yang
lemah dan miskin:
Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki dan sukar,
Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar
itu? (Yaitu) melepaskan perbudakan (hamba sahaya), atau
memberi makanan pada hari terjadi kelaparan, (kepada) anak
yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang
sangat fakir, kemudian ia termasuk orang-orang yang beriman
dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan
untuk berkasih sayang.9
Dengan begitu, keberadaan Muhammad dengan cepat mulai
dilihat sebagai sebuah ancaman bagi kerangka dasar warga
Makkah. Semakin besar jumlah pengikutnya, semakin gelisah
pula para pemimpin Makkah.
Ketegangan antara Muhammad dan para tetua Makkah yang
memiliki pengaruh terus meningkat, dan dalam beberapa tahun
awal pewahyuan, penganiayaan yang dihadapi oleh Muhammad
dan pengikutnya begitu kuat sehingga Muhammad terpaksa
meminta para pengikutnya keluar dari Makkah dan mencari
perlindungan dari penguasa Kristen Abyssinia. Sementara
itu, dia dan sahabat yang lain tetap di Makkah menderita
karena penganiayaan. warga Muslim memikul cobaan ini
dengan sabar. Pada tahun-tahun sebelum meninggalnya Abu
Thalib, paman nabi dan pemimpin warga yang disegani,
Muhammad diberi tingkat perlindungan tertentu dari mereka
yang ingin menganiaya. Namun bagaimanapun, setelah Abu
Thalib meninggal, perlindungan ini pun berhenti dan situasi
di Makkah menjadi tak tertahankan. Pada tahun ini juga Nabi
mengalami keajaiban perjalanan malam (‘Isra) dari Makkah ke
Yerusalem, kemudian diikuti oleh kenaikan, atau Mi’raj, melalui
tujuh langit. Ayat-ayat berikut ini diyakini menggambarkan
bagian dari pengalaman Nabi ini :
Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya
(Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke
Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami
perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran)
Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar Maha Melihat.10
Dan:
Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam
rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Shidra-
tulmuntaha. Di dekatnya ada surga tinggal, (Muhammad
melihat Jibril) saat sidratulmuntaha diliputi oleh
yang meliputinya, penglihatannya (Muhammad) tidak
menyimpang dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula)
melampuinya.11
Pada saat itu, Muhammad bertemu dengan sekelompok jamaah
haji dari Madinah, yang dilanda konflik antara faksi-faksi yang
bertikai. Mereka sangat terkesan dengan pesan Muhammad dan
karakternya sehingga mereka masuk Islam. Mungkin mereka juga
melihat potensi Muhammad untuk menjadi penengah yang netral
dalam konflik suku di Madinah. Pada tahun berikutnya mereka
kembali dan membuat apa yang dikenal sebagai Sumpah Aqabah,
perjanjian untuk mematuhi perintah Muhammad berkaitan
dengan hak melakukan sesuatu, dan untuk menyembah Allah
saja. Mereka kembali ke Madinah dengan salah satu pengikut
Nabi dari penduduk Makkah, dan keyakinan baru itu pun mulai
menyebar dengan cepat di antara bangsa Arab di Madinah, yang
jauh lebih sedikit menerima ancaman daripada di Makkah.
Sementara situasi di Makkah bagi umat Islam memburuk.
Nabi menetapkan untuk mengadakan pertemuan rahasia
dengan delegasi Madinah, sejak dibuatnya perjanjian yang
kuat, salah satunya yang menjanjikan dukungan kepada Nabi
dan perlindungan baginya seolah-olah ia adalah anggota suku
mereka, jika ia pergi untuk menetap di Madinah. Sebagai
gantinya, Muhammad akan menengahi konflik antar suku di
Madinah.
Segera setelah itu, sekitar 12 tahun setelah Nabi mulai ber-
dak wah, ia mengambil langkah penting: dia memerintahkan
sebagian besar pengikutnya untuk meninggalkan keluarga
dan kerabat mereka di Makkah untuk berhijrah ke Madinah di
bagian Utara. Begitu pentingnya peristiwa hijrah atau ‘migrasi’
ini sehingga orang-orang Muslim kemudian memutuskan untuk
memulai kalender mereka dari peristiwa ini. Kejadian ini menjadi
tonggak penanggalan kalender Islam – kalender hijriyyah – yang
dipakai oleh umat Islam sekarang.
Nabi Muhammad mendirikan warga Muslim pertama
di Madinah, dan dia tinggal di sana sampai meninggal pada
11/632. Di Madinah, sebagian besar penduduk Arab telah masuk
Islam, meskipun masih ada sebagian penduduk yang menentang
kehadiran Muhammad walaupun mereka telah diajak masuk
agama Islam. Banyak dari mereka merupakan kepala suku
yang telah lama menguasai semua kawasan Madinah. Mereka
membenci apa yang mereka anggap sebagai perebutan oleh
Muhammad atas kekuasaan yang mereka telah miliki.
Beberapa penduduk Arab pagan yang tersisa melakukan
perlawanan kecil kepada Muhammad. Sementara, suku-suku
Yahudi Madinah memilih untuk tidak mengubah keyakinan
Kalender Islam
Kalender Islam merupakan sistem penanggalan bulan (komariyah)
dan berisi 12 bulan (yang terdiri dari 29 atau 30 hari) yang
didasarkan pada siklus bulan. Buku ini sering menggunakan
penulisan tanggal 1/622. Ini berarti 1 tahun dalam kalender
Islam setara dengan 622 tahun dalam kalender Masehi/
syamsiyyah (yang didasarkan pada siklus matahari). Tahun Islam
lebih pendek dari tahun Masehi sekitar 11 hari sehingga bulan
dan perayaan hari Islam terjadi pada tanggal yang berbeda dalam
kalender Masehi tiap tahunnya. Saat ini, umat Islam masih
menggunakan kalender Islam untuk tujuan keagamaan tetapi
dalam bidang lain kehidupan kalender Masehi sering dipakai .
Dalam beberapa kasus, kedua kalender itu sama-sama dipakai .
Beberapa buku menggunakan AH (Anno Hegirae/setelah hijrah)
setelah tanggal Islam untuk menunjukkan bahwa mereka
mengacu pada periode setelah hijrah (migrasi).
15
mereka, dan awalnya Muhammad melihat tidak ada alasan bagi
mereka untuk mengubah keyakinan ini , karena mereka
membawa kitab suci mereka sendiri dari Tuhan yang Esa.12 Al-
Qur'an telah memerintahkan kepadanya:
Katakanlah (Muhammad), “wahai Ahli Kitab, marilah kita
menuju pada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami
dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita
tidak menyekutukan-Nya pada sesuatu pun, dan bahwa kita
tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah.”
Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka),
“saksikanlah, bahwa kami adalah orang Muslim.13
Namun ketegangan dan kesulitan antara warga Yahudi
dan Muslim meningkat, sehingga secara perlahan-lahan
menghilangkan keberadaan orang Yahudi di Madinah. Lima
tahun setelah kedatangan Nabi, kebanyakan orang Yahudi
meninggalkan atau diusir dari kota. Ada banyak bagian dalam
al-Qur'an yang mengomentari ketegangan ini dan konflik-konflik
yang terkait.
Bagi warga Muslim, peran Muhammad adalah seba-
gai pemimpin spiritual dari sebuah keyakinan baru, serta,
sema kin berkembang menjadi pemimpin politik ummah atau
komu nitas agama dan politik yang telah menggantikan suku
sebagai kunci utama politik dan sosial dari kesetiaan umat
Islam. Secara bertahap, Muhammad memperkenalkan praktik-
praktik keagamaan, termasuk sholat Jum’at secara teratur. Dia
juga memperkenalkan reformasi sosial yang memberi hak lebih
bagi kaum perempuan, termasuk hak yang berhubungan dengan
warisan, pernikahan dan perceraian.
Nabi juga menerima wahyu baru yang mengizinkannya
untuk terlibat dalam perang melawan kaum pagan, terutama dari
Makkah. Meskipun penyerangan merupakan hal umum di antara
penduduk Arab, kaum Muslim tidak pernah diizinkan untuk
melakukan penyerangan sampai kemudian mereka diperintahkan
terlibat dalam pertempuran. Salah satu teks yang memberikan
izin kepada umat Islam untuk terlibat dalam perang untuk
membela agama mereka mengatakan:
Diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi,
karena sesungguhnya mereka didzalimi. Dan sungguh, Allah
Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang
diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang benar,
hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah.”
Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian
manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan
biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang
Yahudi, dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut
nama Allah.14
Seiring waktu, umat Muslim kemudian terlibat dalam serangkaian
serangan dan pertempuran melawan kaum pagan. Di antara yang
paling penting dan salah satu yang pertama dari pertempuran
ini adalah Perang Badar (2 /624). Dalam pertempuran ini
umat Islam dari Makkah dan Madinah menghadapi kaum pagan
Makkah yang lebih kuat, dan bertempur melawan kerabat sendiri:
saudara laki-laki melawan saudara laki-laki, ayah terhadap anak,
paman melawan keponakan. Meskipun tampak ganjil, tetapi
akhirnya kaum Muslim mempertahankan negeri mereka dan
Makkah dikalahkan, dan beberapa tokoh terkemuka dari oposisi
Makkah yang menentang Muhammad tewas. Hal ini merupakan
kemenangan besar bagi kaum Muslim, yang yakin bahwa Tuhan
berada di pihak mereka dalam melawan kaum pagan.
Dengan kekalahan di Makkah saat Perang Badar tidak
berarti bahwa perlawan mereka terhadap Muhammad berakhir.
Pada tahun berikutnya, mereka kembali ke Madinah dengan
kekuatan yang lebih besar untuk membalas kekalahan. Ini
pertempuran kedua, yang terjadi di dekat Gunung Uhud, dan
merupakan kekalahan bagi kaum Muslim, meskipun pagan
Makkah tidak sampai dapat memasuki wilayah Madinah dan
mundur. Dua tahun kemudian pada 5/627, penduduk Makkah,
waktu itu mengadakan persekutuan dengan sejumlah besar
suku, kembali lagi dengan kekuatan 10.000 pasukan untuk
menghancurkan umat Islam. Kaum Muslim jelas tidak sebanding
untuk mereka. Namun, Nabi telah membangun pertahanan untuk
mencegah mereka memasuki Madinah. Setelah pengepungan
yang sangat lama, pasukan Makkah dipaksa untuk kembali ke
kampung halaman, tanpa mencapai tujuan apapun. Ini menjadi
konfrontasi militer besar terakhir antara kaum pagan Makkah
dan kaum Muslim.
Muhammad mulai dipertimbangkan sebagai tokoh kuat
dan memilki kekuasaan di Arab. Perlahan-lahan, pengaruhnya
tumbuh di Hijaz dan di sebagian besar wilayah Arab, dan
ajaran-ajarannya menyebar luas. Melalui sebuah penaklukan
tanpa pertumpahan darah, Makkah sendiri akhirnya mampu
ditundukkan di bawah kendali kaum Muslim (pada 8/630)
delapan tahun setelah hijrah Nabi ke Madinah. Setelah masuk
Makkah, Muhammad memberikan pengampunan umum, dan
sebagian besar penduduk Makkah memeluk agama baru. Nabi
membersihkan bagian pemujaan Ka’bah dari semua berhala yang
diletakkan di sana, menyatakan bahwa Ka’bah akan bebas dari
penyembahan berhala dan akan sepenuhnya dipakai untuk
menyembah Tuhan yang Esa. Dua tahun kemudian, Muhammad
meninggal (pada 11/632) di rumahnya di Madinah. Menjelang
wafatnya Nabi, diriwayatkan bahwa banyak dari penduduk
Makkah bersekutu dengannya atau telah memeluk agama Islam.
18
Inilah pandangan tradisional Muslim mengenai kehidupan
Muhammad. Meskipun beberapa sarjana Barat telah memper-
ta nyakan beberapa aspek dari pandangan ini, tetapi umat
Islam pada umumnya menerima pandangan ini, dan menghu-
bungkannya dengan berbagai peristiwa yang disebutkan berulang
kali dalam al-Qur'an. Perjuangan Muhammad di Makkah dan
Madinah, pertempuran yang ia lakukan di dalam melawan
musuh-musuhnya, kisah tentang ketegangan Yahudi-Muslim di
Madinah, dan peraturan yang diperkenalkan Muhammad untuk
memerintah warga Muslim di Madinah, semuanya dapat
dihubungkan dengan pandangan umum ini.
Konteks Sosio-Historis dan Bahasa Budaya
Konteks budaya Hijaz merupakan titik pijak bagi al-Qur'an
dan Nabi dalam membingkai istilah-istilah dalam agama
baru yang terbentuk di Makkah dan Madinah ini. Nabi tidak
pernah mengklaim bahwa ia datang untuk mencabut semua
elemen budaya dari Hijaz. Tugas pentingnya adalah untuk
mengajarkan pemikiran-pemikiran baru tertentu yang terkait
terutama dengan Tuhan, hubungan Tuhan dengan manusia dan
penciptaan-Nya, nilai moral etis dan kehidupan setelah kematian.
Sebagian besar, cara hidup orang-orang Hijaz dan elemen-elemen
pandangan dunia mereka tetap dipertahankan. Pembaharuan
yang diperkenalkan oleh Nabi utamanya terletak pada ranah
teologis, spiritual, hukum dan moral-etis daerah.
Al-Qur'an mengandung bahasa budayanya sendiri yang
spesifik sesuai dengan pandangan dunia penerima pertamanya,
yang meliputi simbol, kiasan, istilah dan ungkapan yang
dipakai di Hijaz. Bahkan dalam menggambarkan konsep Islam
mengenai surga, al-Qur'an menggunakan bahasa yang terkait erat
dengan budaya lokal dan imajinasi kebanyakan manusia: sungai
yang mengalir, buah-buahan, pohon-pohonan dan perkebunan.
19
Bagi orang yang terbiasa hidup di daerah yang gersang, kering,
dan topografi pegunungan dengan sedikit air, pohon atau buah,
gambaran surga yang seperti ini merupakan gambaran yang
menarik dari keadaan akhirat yang menanti orang beriman.
Demikian pula, gambaran dari neraka juga mengandalkan pada
gambaran yang biasa dipakai dari budaya yang berlaku, dan
sangat berhubungan dengan orang-orang Hijaz.
Al-Qur'an juga menyesuaikan dengan sejumlah praktek yang
telah ada sebelumnya, seperti puasa, dan al-Qur'an juga datang
untuk menerima praktek pra-Islam lainnya, dengan beberapa
modifikasi. Misalnya, haji telah ada di masa pra-Islam dan
dijadikan sebagai bagian dari agama baru. Ibadah haji dimurnikan
dan dibersihkan dari praktik politeistik, meskipun beberapa
perubahan lainnya dibuat. Menurut al-Qur'an, perubahan yang
dibuat itu menjadikan ibadah haji kembali kepada bentuk aslinya,
seperti yang dipraktekkan oleh Nabi Ibrahim.
Banyak nilai-nilai pra-Islam di Hijaz juga diterima sebagai
bagian dari agama baru ini. Secara keseluruhan, budaya apapun
dianggap penting dan nilai-nilai yang positif diterima, misalnya
nilai-nilai kesabaran dalam menghadapi kesulitan, yang
merupakan salah satu aspek dari kebajikan suku Badui pra-Islam.
Budaya apapun yang biasanya dianggap tidak benar atau tidak
pantas juga ditolak. Nilai-nilai ini misalnya pemborosan yang
luar biasa, bakhil, pelanggaran janji, kemunafikan, kecurigaan,
kesombongan, berjudi, mengejek orang lain, fitnah, kecurangan
dalam perdagangan, riba, penimbunan dan perjudian. Sebagian
kesuksesan Nabi dikarenakan ia menyampaikan pesan-pesannya
dengan menggunakan istilah yang berhubungan dan dipahami
warga . Al-Qur'an juga memperbolehkan banyak makanan
untuk dikonsumsi, dengan pengecualian seperti anggur.
Al-Qur'an menolak, menerima atau mengadaptasi praktek-
praktek pra-Islam Arab, seiring seirama menjelaskan bahwa ke-
20
Esaan Tuhan (tauhid) adalah prinsip baru yang menyeluruh.
Misalnya, al-Qur'an mengenalkan beberapa norma terkait perang
dan perdamaian yang ada pada waktu itu, meskipun al-Qur'an
juga melakukan beberapa perubahan signifikan. Perang tidak lagi
dianggap sebagai kebaikan. Al-Qur'an memerintahkan umat Islam
untuk berdamai di saat lawan mereka menyerah atau cenderung
untuk berdamai. Membunuh tawanan tidak lagi diizinkan.
Seperti disinggung di atas, perintah al-Qur'an tentang perang
dan damai perlu dipahami dalam konteks konvensi Arab tentang
peperangan, perjanjian dan aliansi, dan gagasan perlindungan
suku, seperti halnya yang terjadi pada saat itu. Perbudakan juga
ada, dan diterima sebagai hal yang normal, meskipun Islam sejak
sangat awal telah mendorong pembebasan budak. Bulan suci Pra-
Islam juga lebih atau kurang diterima sebagai bagian dari Islam,
seperti pengorbanan binatang, dengan syarat kurban itu hanya
didedikasikan kepada Tuhan yang Esa bukan untuk dewa lainnya.
Bahasa Etik Al-Qur'an: Konteks dan Perempuan
Umumnya, banyak umat Islam mempertimbangkan teks al-
Qur'an sebagai hukum. Bagaimanapun, jika kita melihat teks-
teks al-Qur'an secara lebih seksama, kita sering menemukan
bahwa banyak bahasa al-Qur'an menggunakan bahasa etik.
Kemudian, dengan perkembangan hukum Islam selama tiga abad
pertama Islam, bahasa etik itu pun kemudian dilihat hakikatnya
sebagai hukum. Penekanan pada masalah hukum dibutuhkan
selama periode awal, saat ahli hukum sedang mencari dasar
otoritatif untuk mengembangkan hukum dan merancang sebuah
sistem yurisprudensi. Penekanan ini, bagaimanapun, menjadi
berlebihan saat teks yang jelas-jelas etik dipandang sebagai
hukum murni, sehingga bahasa dan spirit etik al-Qur'an hilang
ke arah interpretasi-interpretasi hukum yang lebih ketat.
21
Contoh dalam hal ini adalah area permasalahan yang
dibicarakan beberapa kali di dalam al-Qur'an, tentang: posisi
perempuan. Perbedaan berdasarkan gender dan kelas adalah
bagian dari budaya warga pra-Islam dan Islam awal. Hal
ini tercermin dalam cara bagaimana beberapa ayat tertentu dari
al-Qur'an menyebut tentang perempuan. Namun, al-Qur'an
tidak mendukung diskriminasi gender sebagai hukum agama,
dan kenyataannya, al-Qur'an justru melakukan sebaliknya.
Perempuan, setidaknya dalam beberapa kasus, berada dalam posisi
yang kurang menguntungkan dalam warga Arab. Dalam
banyak contoh, al-Qur'an mengangkat posisi perempuan dalam
warga secara keseluruhan dan melindungi kepentingan
mereka, seperti juga al-Qur'an melakukan perubahan positif
dalam status kelompok yang kurang beruntung lainnya di
warga Arab, seperti budak dan fakir miskin.15
Sebagai contoh, al-Qur'an mengungkapkan penolakannya
yang kuat terhadap warga yang tidak senang atas kelahiran
anak perempuan.16 Al-Qur'an juga melarang pembunuhan bayi
perempuan,17 sebuah praktek yang ada pada waktu itu yang
terjadi di beberapa bagian Arab, bahwa anak laki-laki dianggap
lebih bernilai tinggi dan mengurangi beban pada keluarga. Al-
Qur'an menyatakan bahwa di sisi Tuhan, satu-satunya perbedaan
dari setiap konsekuensi antara manusia adalah kesalehan mereka,
dan dalam hal ini, perempuan dan laki-laki adalah sama.18 Salah
satu ayat al-Qur'an menyatakan hal ini secara tegas:
Sungguh, laki-laki dan perempuan Muslim, laki-laki dan
perempuan Mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap
dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-
laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang
khusuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki
dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang
banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar.19
Perempuan juga diberi hak waris, yang merupakan
kemajuan yang signifikan pada saat itu, karena selain wanita
bangsawan, kebanyakan wanita pada saat itu tidak memiliki hak
waris. Al-Qur'an juga memberikan batasan mengenai jumlah
istri yang diizinkan untuk dimiliki oleh seorang laki-laki dan
kapan laki-laki dilarang memiliki lebih dari satu istri. Poligami
hanya diperbolehkan untuk pria; poligami juga pernah terjadi
sebelumnya bagi perempuan tetapi tidak berlaku lagi dan menjadi
suatu bentuk prostitusi. Akhirnya, terbentuklah pedoman yang
jelas mengenai perceraian yang memberikan perempuan hak yang
lebih baik daripada yang mereka dapatkan sebelumnya.
Sembari menolak keberadaan diskriminasi terhadap
perempuan, al-Qur'an juga muncul untuk mempertahankan
praktek-praktek sosial dan budaya tertentu. Beberapa ayat
menunjukkan bahwa, saat dilihat dari perspektif sekarang ini,
al-Qur'an memberikan status perempuan lebih rendah daripada
laki-laki. Sebagai contoh, dalam beberapa masalah keuangan,
nilai bukti wanita dianggap sebagai setengah dari pria dalam
kasus-kasus tertentu:
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu
melakukan hutang-piutang untuk waktu yang ditentukan
hendaklah seorang menulis. Dan hendaklah seorang
penulis menuliskannya dengan benar di antara kamu....dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara
kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh)
seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-
orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika
salah seorang lupa yang lain bisa mengingatkannya.20
Beberapa referensi lain dalam al-Qur'an juga menunjukkan
bahwa, dalam konteks sosial awal Islam, perempuan, setidaknya
di beberapa daerah, tidak memiliki status yang sama dengan laki-
laki. Ada daerah lain di mana al-Qur'an menetapkan perlakuan
yang berbeda antara pria dan wanita: perceraian,21 poligami,22
cara berpakaian,23 masalah laki-laki ‘merawat penuh’ perempuan,24
hukuman bagi amoralitas,25menikahi Ahli Kitab,26 dan warisan27
Ada pesan-pesan tertentu lainnya yang, pada pembacaan awal,
tampaknya perempuan kurang diuntungkan dibanding laki-laki.28
Secara keseluruhan, jika ayat al-Qur'an dibaca secara terpisah,
mungkin tampak bahwa posisi al-Qur'an mengenai perempuan
agak ambigu. Dalam kebanyakan kasus, tampak bahwa laki-laki
dan perempuan memiliki posisi yang sama, tetapi pada waktu
lain status perempuan tampaknya lebih rendah dibandingkan
laki-laki. Meski demikian, jelas bahwa konsekuensi keseluruhan
dari al-Qur'an dan misi Nabi adalah untuk memberi perempuan
hak yang lebih besar di masa Islam daripada yang telah mereka
terima pada masa pra-Islam Arab.
Namun, setelah Nabi Muhammad wafat, Islam menyebar
ke daerah sekitar, di mana secara historis, kaum perempuan di
daerah itu dulu sering dihadapkan pada masalah diskriminasi.
Sikap-sikap budaya dan praktek-praktek semacam ini dihapus
pada masa Muslim. Tulisan eksegesis Islam kemudian perlahan-
lahan menunjukkan pandangan patriarkal dan mendukung
terhadap kaum perempuan, meskipun al-Qur'an menekankan
tentang hak-hak baru bagi perempuan, keadilan dan kewajaran.
Namun, selalu ada perempuan dalam warga Islam yang
memainkan peran penting dalam bidang sarjana Islam, politik
serta kehidupan sosial. Sikap dan pandangan negatif terhadap
perempuan yang melekat pada banyak sarjana Islam sekarang
ditantang oleh meningkatnya jumlah Muslim, wanita dan
pria, yang berpendapat bahwa sikap negatif ini tidak
mencerminkan keseluruhan pesan al-Qur'an dan karena itu harus
dipikirkan kembali.
Arus Intelektual yang Mempengaruhi Keterlibatan
Muslim dengan Al-Qur'an
Setelah Nabi wafat, periode ketegangan sosial dan politik
dimulai, dan sebagai hasilnya, perdebatan yang ketat di
antara umat Islam di berbagai macam isu muncul, mulai dari
isu kepemimpinan politik dalam warga , otoritas agama,
hingga penafsiran al-Qur'an. Perdebatan ini diawali, dalam 150
tahun pertama atau lebih setelah Nabi wafat, dengan munculnya
beberapa orientasi religio-politik, teologis, mistis dan hukum.
Perkembangan di semua wilayah ini memiliki dampak signifikan
pada bagaimana al-Qur'an dipelajari, ditafsirkan, dipahami dan
diterapkan. Di bawah ini kami memberikan gambaran yang
sangat singkat mengenai orientasi ini .
Orientasi Religio-Politik
Kelompok yang dikenal sebagai Khariji (Khawarij) muncul
sebagai sebuah kelompok politik-agama setelah 40 tahun
meninggalnya Nabi dan pasca terjadi ketidaksepakatan serius
25
di kalangan umat Islam mengenai kepemimpinan politik yang sah
dari komunitas Muslim selama masa khalifah keempat Ali.29 Di
antara keyakinan penting dari kaum Khawarij adalah bahwa umat
Islam yang melakukan dosa besar tidak lagi termasuk golongan
orang beriman, dan bahwa pemimpin politik warga Muslim
tidak boleh merundingkan aspek apapun dari ajaran-ajaran
agama. Sekarang ini, Khawarij menjadi kelompok minoritas
Muslim yang kecil.
Asal-usul Syiah, kelompok kedua, bermula dari masa
sejak meninggalnya Nabi. Beberapa Muslim pada waktu itu
percaya bahwa keluarga Nabi harus diberikan prioritas dalam
kepemimpinan politik warga . Kemudian, ide ini kembangkan
lebih jauh, dan Syiah seperti sekarang kita ketahui, mereka
muncul selama dua abad pertama Islam. Mereka berpendapat
bahwa Ali, sepupu dan menantu Nabi, seharusnya otomatis
menjadi pengganti pemimpin politiknya, dan bahwa semua
kepemimpinan politik berikutnya harus tetap dalam lingkup
keluarga Nabi. Syiah secara bertahap mengembangkan sendiri
sistem teologis serta madzhab hukum mereka, dan sekarang ini
menjadi kelompok minoritas Muslim yang signifikan.
Sunni, kelompok ketiga, merupakan kelompok ‘utama’
Muslim, yaitu mereka yang tidak termasuk kelompok Syi’ah atau
Khawarij. Sunni muncul sebagai kelompok yang berbeda selama
tiga abad pertama Islam, dan selama itu, mereka mengembangkan
beberapa kredo keyakinan dan madzhab fiqh. Sunni bertanggung
jawab atas banyak koleksi hadist awal dan pencatatan sejarah
awal Islam. Setelah dikembangkan, Islam Sunni dipandang
sebagai kelompok ortodoks dan masih mewakili mayoritas umat
Islam saat ini.
29 Lihat Bab 11 untuk pembahasan lebih lanjut dari pendekatan politik-agama
untuk eksegesis.
26
Orientasi Teologis
Beberapa tren intelektual muncul di kalangan Muslim pada
abad pertama Islam.30 Ini bukan ‘madzhab’, melainkan meru-
pakan pandangan intelektual mengenai isu-isu penting yang
muncul waktu itu. Banyak perdebatan terkait isu-isu seperti siapa
sebenarnya yang termasuk golongan Muslim, mukmin, kafir dan
orang berdosa. Definisi istilah-istilah ini bervariasi di kalangan
umat Islam, tergantung pada kecenderungan intelektual atau
kelompok politik keagamaan yang mereka miliki. Pertanyaan
lain yang diperdebatkan dalam dua abad pertama antara lain:
Apa yang terjadi dengan seorang Muslim yang melakukan dosa
besar dan kemudian meninggal; akankah dia berakhir di neraka
selamanya? Apakah tindakan manusia ditentukan oleh Allah?
Apakah orang-orang bebas untuk memilih antara benar dan
salah? Beberapa berpendapat untuk bebas memilih, sementara
yang lain berpendapat hal ini merupakan takdir Allah.
Tiga madzhab besar teologi muncul dari perdebatan ini :
kelompok Mu’tazilah, Ash’ariyah dan Tradisional. Kelompok
Mu’tazilah merupakan kelompok rasionalis dan berpendapat
bahwa seseorang bebas menentukan, sedangkan kelompok
Tradisional mengadopsi sebuah posisi yang menekankan takdir
Allah dalam setiap kejadian. Kelompok Ash’ariyah berada di
antara dua posisi ini dalam masalah teologis.
Orientasi Mistik
Sufisme, atau mistik Islam, muncul sebagai gerakan yang
terpisah pada abad ke-2/ke-8, secara bertahap berkembang
menjadi beberapa kelompok sufi yang berbeda-beda di berbagi
30 Lihat Bab 11 untuk pembahasan lebih lanjut dari pendekatan teologis untuk
eksegesis.
27
daerah Muslim.31 Tidak seperti banyak kelompok Muslim
lainnya pada waktu itu, Sufi cenderung lebih akomodatif
terhadap keanekaragaman dalam warga Muslim dan juga
lebih menerima tradisi-tradisi keagamaan lainnya. Pandangan-
pandangan dan interpretasi esoteris Sufi mengenai Islam
umumnya tidak populer di kalangan sarjana non-sufi dan
sehingga mengakibatkan penganiayaan terhadap beberapa sufi
terkemuka.
Orientasi Fiqh
Pada 200 tahun pertama Islam, madzhab-madzhab awal
dalam fiqh juga berkembang. Lima madzhab utama yang masih
ada saat ini adalah madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab
Syafi’i, mazhab Hanbali dan madzhab Ja’fari.
Hanafi merujuk kepada ahli hukum Abu Hanifah (w.150/767),
yang hidup di Irak. Madzhab Hanafi menempatkan penggunaan
akal pada posisi yang sangat penting di dalam menafsirkan
hukum. Sekarang ini, madzhab ini menjadi madzhab fiqh Sunni
terbesar dan pengikutnya ditemukan terutama di benua India,
Asia Tengah dan Turki.
Berbeda dengan Abu Hanifah, Malik bin Anas (w.179/795),
yang dengannya madzhab Maliki merujuk, tidak menganjurkan
penggunaan akal secara berlebihan dalam pemahaman hukum
Islam (fiqh) dan sangat bergantung pada teks-teks dasar al-
Qur'an dan hadits. Ia berpandangan bahwa praktek kebiasaan
penduduk Madinah, di mana Nabi dan kaum Muslim awal hidup,
menjadi indikasi praktek pada masa Nabi, dan karenanya bersifat
otoratif. Ajaran madzhab Maliki tersebar di Afrika Utara dan
Spanyol. Sekarang ini, madzhab ini merupakan madzhab fiqh
31 Lihat Bab 11 untuk pembahasan lebih lanjut dari pendekatan mistis pada
eksegesis.
28
Sunni terbesar ketiga dan pengikutnya ditemukan terutama di
Afrika Utara dan Afrika Barat.
Madzhab Syafi’i diambil dari nama Muhammad bin Idris
al-Syafi’i (w.204 / 820), seorang ulama yang banyak melakukan
perjalanan untuk mencari ilmu agama. Syafi’i mengembangkan
berbagai prinsip-prinsip hukum Islam yang berhubungan dengan
persoalan seperti penafsiran teks dan otoritas sunnah. Sekarang,
madzhab ini merupakan madzhab fiqh Sunni terbesar kedua dan
pengikutnya ditemukan terutama di Asia Tenggara.
Mazhab Hanbali diambil dari nama Ahmad bin Hanbal
(w.240/855), murid imam Syafi’i. Ahmad bin Hanbal dikenal
baik sebagai seorang sarjana hukum dan seorang kolektor hadis.
Mazhab Hanbali sangat bergantung pada teks-teks al-Qur'an dan
sunnah serta pendapat para Sahabat Nabi dalam interpretasi
mereka mengenai hukum. Madzhab Hanbali sering digambarkan
sebagai literalis dan agak tidak toleran terhadap mereka yang
memegang pendapat yang berbeda dengan mereka. Sekarang,
madzhab Hanbali adalah madzhab fiqh terkecil Sunni dan
sebagian besar pengikutnya ditemukan di Arab.
Madzhab Ja’fari merupakan madzhab fiqh Syiah utama dan
diikuti oleh Syiah Imamiyah Muslim. Para sarjana madzhab Ja’fari
percaya bahwa al-Qur'an adalah sumber utama hukum Islam
dan bahwa hanya imam Syiah yang memiliki kemampuan untuk
menafsirkan al-Qur'an dan hadis secara otoritatif. Meskipun
mereka menerima hadits sebagai sumber hukum, mereka hanya
mengandalkan hadis yang telah diriwayatkan dan ditransmisikan
oleh keluarga Nabi atau orang yang dianggap simpati pada tradisi
Syiah. Sementara Syiah yang lainnya memiliki sistem hukum
sendiri-sendiri.
Arus intelektual ini memiliki dampak besar pada bagaimana
Muslim membaca dan menafsirkan al-Qur'an. Dalam sebuah
tulisan tafsir, seseorang sering dapat melihat dengan jelas
29
bagaimana orientasi religio-politik, teologis, mistis atau hukum
dari penafsir dapat mempengaruhi penafsiran mereka terhadap
al-Qur'an.
Ringkasan
Beberapa poin penting yang telah kita bahas dalam bab ini
meliputi:
• Pesan-pesan dari al-Qur'an tertanam dalam konteks spesifik
abad ke-7 Arab dan disampaikan melalui bahasa dan sim-
bolisme yang dapat dipahami oleh audien pertama.
• Banyak unsur budaya pra-Islam dan budaya warga
yang tidak ditolak seluruhnya oleh al-Qur'an, tetapi diterima
dalam bentuk yang dimodifikasi.
• Banyak ajaran-ajaran Nabi secara sosial bersifat progresif
pada waktu itu.
• Beberapa referensi al-Qur'an mengenai perempuan tampak
diskriminatif sekarang ini, tetapi harus dibaca dalam konteks
al-Qur'an seluruhnya dan budaya serta norma-norma sosial
saat wahyu ini diturunkan.
Rekomendasi Bacaan
Karen Armstrong, Muhammad: Prophet for Our Time, London:
HarperCollins, 2006.
• Dalam buku ini Armstrong memberikan wawasan mengenai
konteks historis warga Arab abad ke-7 dan misi
Nabi Muhammad. Armstrong ingin membantu pembaca
dalam memahami prestasi Muhammad sepenuhnya. Dia
menunjukkan bagaimana kehidupan Muhammad dan
pengalamannya dapat memberikan sejumlah pelajaran
berharga untuk dunia sekarang ini.
30
Martin Lings, Muhammad: His life Based on the Earliest Sources,
London: George Allen & Unwin, 1983; direvisi, Rochester, VT:
Inner Traditions Internasional, 2006.
• Dalam buku ini Lings mengacu biografi dan kondisi Arab
pada abad ke-2/ke-8- dan ke-3/abad ke-9, dan menceritakan
sejumlah peristiwa dalam kehidupan Nabi. Beberapa dari
bagian-bagian ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
untuk pertama kalinya. Buku ini ditulis dengan gaya narasi
yang mudah untuk dibaca, dan edisi revisi dari buku ini
ditambah dengan informasi baru tentang pengaruh Nabi di
Suriah dan sekitarnya.
Tariq Ramadan, In the Footsteps of the Prophet: Lessons from
the Life of Muhammad, New York: Oxford University Press, 2007.
• Dalam buku ini Ramadhan menyajikan peristiwa-peris-
tiwa utama dari kehidupan Nabi, yang menunjukkan bagai-
mana ajaran-ajaran spiritual dan etis yang dibawanya.
Dia menjelaskan banyak hal terkait sifat-sifat pribadi
Muhammad, dan juga menggambarkan secara seksama
signifikansi dari contoh keteladanan yang diberikan Nabi
untuk masalah-masalah seperti perlakuan terhadap kaum
miskin, perang, rasisme, peran perempuan, hukuman pidana
Islam, dan hubungan dengan agama-agama lain.
Montgomery Watt, Muhammad in Mekkah, Oxford: Oxford
University Press, 1953; Muhammad at Medina, Karachi: Oxford
University Press, 1981.
• Dalam dua buku ini , Watt memberikan ulasan
mengenai sejarah lengkap kehidupan Muhammad dan asal-
usul warga Muslim. Dia meneliti berbagai diskusi
ilmiah dalam kaitannya dengan topik-topik seperti politik,
hubungan dengan orang-orang Arab dan orang-orang yang
lain yang memiliki keyakinan yang berbeda, reformasi sosial
dan kepribadian Muhammad sendiri.
31
Bab 2
Wahyu dan Al-Qur'an
AL-QUR'AN MERUPAKAN SALAH SATU KARYA SASTRA AGAMA YANG PALING PENTING dalam sejarah dunia. Sebagai kitab suci umat Islam, al-Qur'an sering
dibandingkan dengan Injil dan Taurat. Ketiga teks ini
dianggap oleh pengikutnya masing-masing sebagai firman Tuhan
atau diilhami oleh Tuhan. Dalam bab ini kita akan membahas:
• Perbedaan antara konsep wahyu dalam Islam, Kristen dan
Yudaisme;
• Tiga jenis wahyu yang disebutkan dalam al-Qur'an sehingga
umat Islam percaya bahwa Allah menggunakan wahyu untuk
berbicara kepada manusia;
• Catatan wahyu Islam pertama kepada Nabi Muhammad dan;
• Kerangka untuk pemahaman yang lebih luas dari wahyu al-
Qur'an yang memperhitungkan aspek sosio-historis.
Hakikat Wahyu
Pendapat umum umat Islam mengenai wahyu adalah bahwa
wahyu merupakan inisiatif dari Allah yang mengungkapkan
kehendak-Nya kepada manusia melalui para Nabi yang dipilih.
Umat Islam percaya kepada para Nabi, termasuk Nabi Muhammad
yang dianggap sebagai penerima wahyu ilahi terakhir. Umat Islam
32
percaya bahwa Nabi Muhammad telah dipilih sebagai utusan
Allah; namun dia bukan perwujudan Tuhan.
Bagi umat Islam, Nabi mendapatkan pengalaman pewahyuan
dengan mendengarkan ‘suara’ Allah dalam hatinya dan hanya
mampu menggambarkannya dalam gambaran metaforis. Kadang
dia menggambarkan penerimaan wahyu dengan mendengar
semacam suara ‘dering bel’.1 Bagi umat Islam, apa yang terungkap
dalam pewahyuan adalah kehendak Allah, bukan keberadaan-
Nya. Kehendak-Nya ini disampaikan dalam bahasa manusia,
yakni bahasa Arab.
Nabi melihat dirinya sendiri terpisah dengan wahyu itu
sendiri dan menggambarkan pengalaman ‘melihat’ malaikat
Jibril, ‘mendengar’ suara dan memahami apa yang dikatakan.
Tradisi umat Islam mengatakan bahwa Nabi cukup jelas dengan
pandangannya bahwa dia menerima isi wahyu dari sumber
eksternal di luar dirinya. Dia selalu mengatakan bahwa dia tidak
memiliki pengaruh apapun pada isi wahyu.
Kandungan isi wahyu ini kemudian dikenal sebagai al-Qur'an.
Pandangan umat Islam tentang wahyu menegaskan pentingnya
kandungan linguistiknya, yang dibedakan dari pengalaman
pewahyuan. Oleh karena itu, wahyu identik dengan al-Qur'an,
yang kata-katanya diyakini langsung setara dengan pesan verbal
yang diberikan kepada Nabi. Seorang teolog Muslim awal,
Nasafi (w.507/1114), menggambarkan bagaimana umat Islam
menkonseptualisasikan al-Qur'an sebagai wahyu.
Al-Qur'an adalah firman Allah, yang merupakan salah satu sifat-
Nya. Allah dengan segala sifat-Nya adalah Satu, dan dengan
segala sifat-Nya ini adalah abadi dan tidak bergantung,
(sehingga firmannya-Nya itu) adalah tanpa huruf dan tanpa
suara, tidak dipecah menjadi suku kata atau paragraf. Firman-
Nya itu bukan Dia bukan pula selain Dia. Dia menyebabkan
Jibril mendengar firman itu sebagai suara dan huruf, karena
Allah menciptakan suara dan huruf dan menyebabkan Jibril
mendengarkan Firman-Nya melalui suara dan huruf itu. Jibril,
semoga kedamaian atasnya, menghafalnya, menyimpannya
(di dalam pikirannya) dan kemudian disampaikan kepada
Nabi, semoga kedamaian dilimpahkan kepadanya, dengan
menurunkan wahyu dan pesan, yang tidak sama caranya
seperti menurunkan benda jasmani dan berbentuk. Jibril
membacakannya kepada Nabi, semoga kedamaian atasnya,
Nabi menghafalnya, menyimpannnya dalam pikirannya,
dan kemudian menceritakan apa yang dihafalnya itu kepada
temannya dan kepada pengikut-pengikutnya.2
Al-Qur'an dalam bahasa Arab merupakan pusat keimanan kaum
Muslim. Kata-katanya dianggap bersifat ilahiah. Percaya pada
al-Qur'an sebagai salah satu wahyu Tuhan merupakan perangkat
dasar keimananan. Kata-kata al-Qur'an dihafal dan diucapkan.
Membaca al-Qur'an dalam bahasa Arab diyakini memungkinkan
pembacanya, dalam pengertian tertentu, berkomunikasi secara
langsung dengan Tuhan, dan oleh karena itu, merasakan
pengalaman wahyu itu sendiri.
Penting untuk membandingkan pandangan umat Islam
ini dengan keyakinan agama lain, terutama keyakinan agama
yang juga memiliki kitab suci, seperti Yudaisme dan Kristen.
Encyclopedia of Judaism3 menyatakan bahwa ‘seruan penting
kitab Yahudi’ adalah bahwa ‘Tuhan mengungkapkan dirinya dan
menginginkan untuk diketahui oleh manusia’,4 dan kebanyakan
orang Yahudi percaya bahwa Tuhan menyingkapkan diri-Nya
melalui perbuatan-Nya dan Firman-Nya, yang dikomunikasikan
melalui Nabi. Gagasan Yahudi tentang wahyu melalui kenabian
itu digambarkan sebagai berikut: ‘Dia (Tuhan) berbicara melalui
mulut-mulut mereka ... saat mereka berbicara “Ini Aku, Yahweh,
yang berbicara”.’5 Cara lain untuk melihat wahyu dari perspektif
Yahudi adalah bahwa:
bukti kehadiran (Tuhan), intuisi perhatian dan keinginan-Nya
untuk menjalin relasi, pengetahuan tentang sifat-sifat-Nya,
dan di atas segalanya, kehendak-Nya: rencana-Nya, tujuan
dan maksud-Nya terhadap setiap individu, bangsa dan umat
manusia.6
Beberapa cabang yang signifikan dari Yudaisme, seperti reformasi
Yudaisme, yang dimulai pada abad ke-19 Jerman,7 memilih
untuk tidak menerima penjelasan-penjelasan supranatural, dan
lebih mempercayai ide bahwa ‘komunikasi Tuhan yang berupa
perintah-perintah khusus kepada manusia merupakan keajaiban
belaka dan harus ditolak’.8
Pandangan yang dominan dari umat Kristiani mengenai
wahyu berbeda dengan Yudaisme dan Islam, terutama karena
peran penting Yesus dalam agama Kristen. Pemahaman umat
Kristiani mengenai wahyu adalah ‘komunikasi diri Tuhan sendiri
di dalam dan melalui Yesus Kristus’, yang digambarkan sebagai
yang tertinggi dan tidak tertandingi.9 Meskipun Perjanjian Lama
dipandang sebagai ‘perangkat wahyu’, namun diyakini bahwa
‘anak laki-laki saja (Yesus) yang mengetahui Sang Bapa (Allah),
dan di dalam dirinya Sang Bapa dibuat dapat terlihat dan dapat
dipahami (Jn. 1:14, 1 Jn. 1:1)’.10 Wahyu dipandang sebagai
‘pembuka selubung rencana ketuhanan, yang dengannya Tuhan
berdamai dengan umat manusia terhadap dirinya dalam Kristus.’
Banyak pendapat yang muncul dalam tradisi Kristen, terkait
apakah Injil merupakan firman langsung dari Tuhan.
Beberapa penulis telah mengulas bahwa mungkin lebih
akurat untuk membandingkan kedudukan al-Qur'an bukan
dengan al-Kitab, tetapi dengan pribadi Yesus Kristus sendiri.11
Membaca wahyu berbahasa Arab dalam bentuk linguistiknya,
dapat dibandingkan dengan mengambil bagian dalam sakremen
Ekaristi dalam tradisi kekristenan. Dengan mengucapkan kata-
kata yang sangat diyakini telah ‘diucapkan’ oleh Tuhan, umat
Islam percaya, dalam pengertian percaya bahwa mereka sedang
berpartisipasi secara langsung dalam kata-kata Illahi, dengan cara
yang agak mirip bahwa roti dan anggur Ekaristi memungkinkan
orang Kristen untuk mengambil bagian dalam hakikat Illahi dari
tubuh Kristus. Pandangan di atas memberitahu kita tentang
sesuatu bagaimana tiga agama [Yahudi, Kristen dan Islam]
memahami wahyu.
Bentuk Wahyu dalam Konteks Islam
Umat Islam percaya bahwa Allah telah berfirman kepada
mahluk-Nya dari awal waktu. Tidak hanya diyakini bahwa Ia telah
berkomunikasi kepada Nabi Musa dan Muhammad, tetapi juga
kepada para Nabi seperti Nuh, Ibrahim, Zakaria dan Isa. Allah
juga berbicara kepada para malaikat dan bahkan Iblis (syaitan).
Al-Qur'an menjelaskan tiga bentuk komunikasi Allah dengan
manusia: ‘Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah
berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu
atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan
(malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya
apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi
Maha Bijaksana’.12 Bentuk pertama, melalui wahyu, melibatkan
komunikasi langsung dari Tuhan kepada si penerima. Dalam
hal ini, penerima memahami komunikasi ini tanpa mendengar
suara apapun atau melakukan kontak dengan seorang utusan
(yaitu, Malaikat).
Ayat di atas menyebutkan bentuk komunikasi kedua yakni ‘dari
balik tabir’, dan mengacu pada skenario di mana Allah berfirman
kepada seseorang secara langsung dengan menggunakan kata-
kata, tetapi pendengar tidak melihat Dia. Salah satu contoh
terbaik dari kejadian semacam ini adalah wahyu kepada Musa.
Al-Qur'an memberitahu kepada kita, bahwa Musa memohon
kepada Allah untuk mengungkapkan atau menunjukkan diri-Nya
kepada Musa, kemudian Allah membalasnya: ‘Kamu sekali-kali
tidak sanggup melihat Aku, tetapi lihatlah ke bukit itu, maka
jika ia tetap di tempatnya (sebagaimana sediakala) niscaya kamu
dapat melihat-Ku.13 Namun, tentu saja, baik gunung maupun
Musa tidak mampu berdiri kokoh.
Beberapa sarjana Muslim percaya bahwa bentuk ketiga,
yakni melalui seorang utusan, adalah bentuk pewahyuan yang
paling pasti dan paling jelas. Ini juga metode yang dengannya
umat Islam percaya bahwa Nabi Muhammad menerima al-Qur'an
seluruhnya. Metode ini melibatkan utusan –diyakini sebagai
malaikat Jibril– yang membawa firman Allah kepada seorang
Nabi. Jibril diyakini telah mentransmisikan wahyu dalam
bentuk yang dapat dipahami Nabi –dalam bahasa Arab.14 Hal
ini ditegaskan kembali melalui beberapa ayat al-Qur'an seperti:
‘Sesungguhnya Kami menurunkanya berupa al-Qur'an dengan
berbahasa Arab, agar kamu memahaminya’.15 Lebih umum,
al-Qur'an menyatakan bahwa: ‘Kami tidak mengutus seorang
rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat
menjelaskan kepada mereka’.16
Pandangan bahwa al-Qur'an ditransmisikan dalam format
linguistiknya juga didukung oleh konsep dan istilah tertentu di
dalam al-Qur'an sendiri. Misalnya, al-Qur'an menyatakan bahwa
al-Qur'an dituliskan pada sebuah ‘Lembaran yang Dipelihara’
(al-lauh al-mahfuzh) di surga.17 Teolog Muslim berkeyakinan
bahwa wahyu berasal dari Allah pada permulaannya, kemudian
diturunkan pada Lembaran ini , dan dari sana malaikat
Jibril membawanya kepada Nabi. Penting untuk dicatat, bahwa
al-Qur'an menggunakan kata nazala (turun), dan beberapa
derivasinya, seperti tanzil (sesuatu yang diturunkan atau
disampaikan), untuk menyebut penurunan wahyu al-Qur'an.
Implikasi dari kata ‘turun’ atau yang ‘diturunkan’ ini penting
untuk dipahami, yang tidak sepenuhnya mampu dicakup hanya
dengan istilah ‘wahyu’ atau ‘revelation’ dalam bahasa Inggris.
Istilah dan konsep dari al-Qur'an ini membentuk bagian integral
dari keyakinan umat Islam bahwa al-Qur'an dan kata-kata di
dalamnya itu diturunkan secara harfiah (verbatim) dari Allah
kepada Nabi Muhammad.
Pengalaman Nabi Muhammad tentang Wahyu
Menurut pandangan Muslim tentang peristiwa penerimaan
wahyu pertama kali oleh Nabi Muhammad, Nabi bertemu dengan
malaikat Jibril saat mengasingkan diri ke gua Hira (sebuah gua
dekat Makkah), saat dia berumur 40 tahun. Sebelum ini diyakini
bahwa Nabi Muhammad telah mulai memiliki serangkaian firasat
dan mimpi yang nyata. Pada pewahyuan yang pertama kali di gua,
diceritakan bahwa Muhammad merasakan kehadiran tertentu,
lalu kemudian melihat malaikat dalam bentuk seorang manusia,
yang menyuruhnya untuk membaca (iqro’). saat Muhammad
menjawab bahwa ia bukan seorang yang bisa membaca, kemudian
malaikat mendekapnya dengan rapat sekali sehingga dia berpikir
bahwa ia akan mati. Perintah untuk membaca diulang sebanyak
tiga kali. Akhirnya, malaikat Jibril mulai membacakan apa yang
sekarang kita kenal sebagai lima ayat pertama dari surat ke-96
al-Qur'an:18
Bacalah! dengan nama Tuhanmu yang menciptakan: Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah!
dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang mengajar dengan
kalam, Dia mengajar manusia sesuatu yang tidak diketahui.
Pengalaman ini bukan pengalaman yang mudah bagi Muhammad.
Setelah itu, dia segera kembali ke rumah dan mencari kenyamanan
dari istrinya, Khadijah. Muhammad tidak cukup yakin terhadap
pengalaman itu, dan apakah yang ia terima adalah wahyu dari
Allah. Secara perlahan Muhammad pun akhirnya menyadari
besarnya tanggung jawab yang dia terima, dan bahwa dia memang
menerima wahyu dari Allah.
Muhammad mulai menerima wahyu pada tahun 610
Masehi selama 22 tahun sampai meninggalnya, pada 11/623.
Pengalamannya mengenai wahyu dijelaskan dalam beberapa
hadist, seperti hadist berikut ini, yang diriwayatkan oleh istrinya
Aisyah (w.58/678):
Al-Harits bin Hisyam bertanya kepada Nabi: ‘Ya Rasulullah!
Bagaimana wahyu ini diungkapkan kepada Anda? “Rasulullah
menjawab: kadang-kadang (diungkapkan) seperti bunyi bel,
bentuk wahyu ini adalah wahyu yang paling sulit dari semua
keadaan, dan saat kejadian ini berlalu, saya ingat apa yang
dinyatakan. Terkadang malaikat datang dalam bentuk seorang
laki-laki, kemudian mengamanatkan saya dan saya ingat apa
yang dikatakannya.’20
Beberapa kalangan Muslim percaya bahwa Nabi Muhammad
selalu menerima wahyu melalui malaikat Jibril. Namun, beberapa
sarjana yang lain, seperti Fazlur Rahman (w.1988), telah
mempertanyakan pandangan ini dan mengajukan pandangannya
bahwa Nabi Muhammad tidak selalu menerima wahyu dari
malaikat Jibril sebagai pihak eksternal, namun wahyu sering
datang kepadanya secara internal.21
Beberapa Sebutan untuk Muhammad Versi Umat
Islam
Nabi Muhammad - Rasullah - Rasul Allah - Nabi - Rasul
saat umat Islam merujuk menyebut Muhammad, mereka
sering mengucapkan berkah atau mengiringi dengan do’a setelah
penyebutan namanya: ‘‘Alaihi Salam’ atau ‘Shollahu ‘alaihi wa
Sallam’. Umat Islam menganggap tidak pantas untuk menunjuk
pada Nabi hanya dengan namanya, tanpa mengucap berkah,
terutama saat dilafalkan. Namun, dalam wacana akademis hal
semacam ini umum dilakukan untuk menyederhanakan dengan
hanya menyebutnya Muhammad atau Nabi Muhammad.
Wahyu: Firman Allah dalam Bahasa Manusia
Al-Qur'an dalam beberapa ayatnya menegaskan asal-usul
keilahiannya, dan secara khusus menyangkal bahwa al-Qur'an
menyertakan kata-kata atau ide-ide dari Nabi. Fazlur Rahman
menjelaskan bahwa bukan hanya kata al-Qur'an sendiri, yang
berarti “bacaan”, yang secara jelas menunjukkan ini, tetapi teks
al-Qur'an sendiri menyatakan dalam beberapa ayatnya, bahwa
al-Qur'an tidak hanya diungkapkan dalam “arti” dan “ide-idenya”
saja, tetapi juga diungkapkan secara verbal.22 Bagaimanapun,
bentuk yangmana firman Tuhan memanifestasikan dirinya
adalah bahasa Arab, bahasa yang tertanam dalam kehidupan
manusia dan konteks sosial.
Pentingnya firman Allah dalam tradisi Islam diringkas oleh
Toshihiko Izutsu (w.1993), yang berpendapat bahwa:
Dan wahyu memiliki arti dalam Islam bahwa Allah “berfirman”,
bahwa Dia mengungkapkan dirinya melalui bahasa .. bukan
dalam bahasa non-manusiawi yang tidak jelas, melainkan
dalam bahasa yang jelas, yang secara manusiawi dapat
dipahami. Ini adalah awal dan fakta yang paling menentukan.
Tanpa tindakan ini dari sisi Tuhan, tidak akan ada agama yang
benar di bumi menurut pemahaman Islam mengenai agama
kata ini .23
Para sarjana Muslim klasik dan modern sama-sama mengetahui
problem yang melekat dalam pandangan bahwa Allah telah
mengungkapkan pesan Illahi dalam bahasa manusia semisal
bahasa Arab. Para ahli telah mempertanyakan, bagaimana Firman
Tuhan yang kekal, tetap dan terpisah-pisah dapat ditransmisikan
melalui wahana bahasa manusia yang menyatu, dapat berubah
dan dalam konteks yang terikat. Sebagian besar sarjana menyim-
pulkan bahwa firman Allah akan tetap sepenuhnya di luar
pemahaman kita, kecuali jika melalui cara tertentu, firman Allah
ini dinyatakan dalam bentuk yang bisa kita pahami. Teolog dan
mistikus abad ke-12 al-Ghazali (w. 505/1111) menulis:
Dia (Allah) mengungkapkan sifat itu (berbicara) dalam bentuk
manusia dan kata-kata kepada umat manusia. Jika kemuliaan
dan keunggulan firman Allah tidak dibuat dalam bingkai kata-
kata agar bisa dimengerti, maka Surga dan bumi tidak akan
kuat dengan firman-Nya (dalam bentuk aslinya) dan segala
sesuatu di antara mereka akan hancur berkeping-keping.
Beberapa ahli menekankan perbedaan antara hakikat wahyu
sebagai ‘firman’ Allah, yang merupakan sebuah misteri teologis
yang tidak sepenuhnya dapat dipahami oleh manusia, dan sebagai
sesuatu yang tampak kepada kita dalam bahasa manusia yang
dapat dipahami. Seperti yang Izutsu katakan:
Sejauh sebagai firman Allah, wahyu adalah sesuatu yang
misterius dan tidak ada persamaan dengan perilaku bahasa
manusia biasa, [tetapi] sejauh ini adalah firman Allah, ini pasti
memiliki semua sifat penting dari bahasa manusia. Bahkan
al-Qur'an juga menggunakan kata lain dalam mengacu kepada
Wahyu . . . umumnya diterapkan pada kata yang biasa atau
umum: kalimah yang berarti ‘kata’, misalnya ada dalam
surat As-Syura.25
Mengeksplorasi hakikat firman Allah pada tingkat yang tidak
terlihat (ghaib) mirip dengan mencoba untuk memahami alam
akhirat. Meskipun ada banyak deskripsi mengenai akhirat,
khususnya dalam kaitannya dengan surga dan neraka, dalam
al-Qur'an, umat Islam mengikuti perkataan Nabi di dalam
mendesripsikan tentang akhirat ini : ‘(apa yang ada dalam
surga adalah) apa yang mata belum pernah melihatnya, telinga
belum mendengarnya, dan yang belum dibayangkan oleh hati’.26
Perkataan ini mengandung gagasan bahwa, seperti firman
Allah, deskripsi mengenai akhirat terbatas oleh bahasa yang
didasarkan pada pengalaman manusia. Deskripsi semacam ini
memungkinkan pengikutnya untuk memahami, dalam arti
mengira-ira, apa yang pada dasarnya berada di luar pengalaman
dan imajinasi manusia.
Para teolog Muslim telah memperdebatkan tanpa henti
tentang apakah al-Qur'an ‘diciptakan’ seperti halnya makhluk
yang lain yang ada di dunia. Alasan perdebatan ini sangat
kompleks dan berhubungan dengan diskusi teologis tentang
hakikat Allah dan sifat-sifat-Nya. Jika al-Qur'an adalah firman
Allah dan ‘berfirman’ adalah sebuah sifat, maka al-Qur'an
dikaitkan dengan Allah sebagai sebuah sifat. Jika memang
demikian halnya, maka al-Qur'an, sebagai sifat Allah, haruslah
kekal tanpa awal dan akhir.
Dari dua posisi utama pada masalah ini, aliran teologi al-
Asy’ariyah27 percaya bahwa al-Qur'an adalah firman Allah, dan,
sebagai perkataan Illahi, ‘tidak diciptakan’, yakni, kekal dengan
Allah. Sementara itu, aliran teologi Mu’tazilah,28 yang saat ini
sebagian besar telah hilang, menegaskan bahwa tidak akan
mungkin ada entitas yang kekal selain Allah, dan karena itu,
al-Qur'an pasti ‘diciptakan’.29 Perbedaan antara dua perspektif
ini hampir tidak kentara. Misalnya mereka sepakat bahwa al-
Qur'an memiliki beberapa tingkat eksistensi. Posisi al-Asy’ariyah
berpendapat bahwa hanya roh dan makna al-Qur'an yang tidak
‘diciptakan’, sementara kedua aliran sepakat bahwa ‘bahasa
dan ucapan’ dan ‘huruf dan tulisan’ al-Qur'an diciptakan. Ada
pandangan ketiga yang dikenal sebagai kaum tradisionalis,30 yang
tidak terlalu banyak terlibat dalam perdebatan teologis, yang
kritis terhadap perspektif Mu’tazilah maupun al-Asy’ariyah. Para
pendukung pandangan ini berpendapat bahwa umat Islam tidak
seharusnya membahas apakah al-Qur'an ‘diciptakan’ karena hal
ini tidak disebutkan dalam al-Qur'an, oleh Nabi atau sahabatnya.31
Ringkasan singkat ini merupakan penyederhanaan dari sebuah
kumpulan pendapat atau argumen teologis yang kompleks, yang
tidak dapat sepenuhnya dieksplorasi di sini.
Al-Qur'an sebagai Wahyu Ilahi yang Murni
Al-Qur'an menyangkal bahwa al-Qur'an berisi perkataan atau
ide-ide Nabi atau manusia lainnya. Al-Qur'an juga menegaskan
bahwa wahyu, dalam bentuk bahasa Arab terakhirnya, datang
langsung dari Allah, tanpa adanya kemungkinan tentang
kesalahan yang disebabkan manusia atau ketidakakuratan.
Misalnya, al-Qur'an menyatakan:
Tidak mungkin al-Qur'an ini dibuat-buat oleh selain Allah;
tetapi (al-Qur'an) membenarkan Kitab-kitab sebelumnya dan
menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak
ada keraguan di dalamnya (diturunkan) dari Tuhan seluruh
alam. Apakah pantas mereka mengatakan dia (Muhammad)
yang telah membuatnya? Katakanlah, “buatlah sebuah surah
yang semisal dengan surah al-Qur'an, dan ajaklah siapa saja di
antara kamu orang yang mampu (membuatnya) selain Allah,
jika kamu orang-orang yang benar.32
Seiring dengan tantangan semacam itu, al-Qur'an juga berpen-
dapat bahwa seandainya al-Qur'an berasal dari sumber selain
Allah, mereka akan menemukan banyak kontradiksi dan
inkonsistensi di dalamnya.33 Terkait dengan hal ini adalah bahwa
tidak ada hubungannya Nabi dengan sumber wahyu. Fakta ini
ditunjukkan dalam al-Qur'an sendiri dan juga sering ditekankan
oleh Nabi. Seperti yang Fazlur Rahman katakan: “Nabi sendiri
selalu sadar bahwa kenabiannya bukan buatan sendiri dan bahkan
kapasitas alamiahnya tidak mampu menghasilkan wahyu, yang
semata-mata merupakan rahmat Allah.”34 Menurut Rahman,
keterpisahan ini lebih lanjut diilustrasikan dengan contoh di
mana al-Qur'an diberikan kepada Nabi secara langsung. Misalnya,
Nabi disindir dalam al-Qur'an karena menggerakkan lidahnya
saat menghadapi wahyu yang diterimanya dari Allah:
Jangan engkau (Muhammad) gerakkan lidahmu (untuk
membaca al-Qur'an) karena hendak cepat-cepat (menguasai)
nya. Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di
dadamu) dan membacakannya. Apabila Kami telah selesai
membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian
sesungguhnya Kami yang akan menjelaskannnya.35
Kata-kata yang Diucapkan dan Ditulis
Di banyak tempat, al-Qur'an menyebut dirinya sendiri
sebagai kata yang diucapkan, menunjukkan bahwa dari sudut
pandang al-Qur'an, pertama-tama dan paling utama, al-Qur'an
adalah kata ‘yang diucapkan’ Allah. Menurut Izutsu:
Jadi, tidak mengherankan, jika Islam telah memulai dari
awal kesadaran bahasa. Islam muncul saat Allah berfirman.
Seluruh budaya Islam dimulai dengan fakta historis bahwa
manusia ditunjukkan oleh Allah melalui bahasa yangmana
dengannya manusia itu sendiri berbicara. Masalah ini tidak
sesederhana bahwa Allah ‘mengirimkan’ sebuah kitab suci.
Artinya utamanya adalah, bahwa Allah ‘bebicara’. Dan inilah
makna yang tepat dari wahyu. Wahyu pada dasarnya adalah
sebuah konsep linguistik.36
Di samping penekanan pada kata yang diucapkan sebagaimana
dalam al-Qur'an ini, ada juga beberapa ayat al-Qur'an yang
menyatakan bahwa al-Qur'an merupakan tulisan atau kata-
kata tertulis. Misalnya, ayat pertama yang diwahyukan kepada
Nabi menyebutkan keterkaitan antara wahyu dengan ‘pena’.37
Al-Qur'an juga menggunakan istilah kata-kata tertulis yang
konotasinya merujuk pada wahyu sebelumnya, termasuk kitab
suci, halaman38 atau shahifah39. Dalam banyak kasus, al-Qur'an
merujuk kepada wahyu yang diberikan kepada Musa,40 Isa41 dan
keturunan Ibrahim42 dan menyebutnya sebagai kitab suci dari
Allah atau kitab suci yang sederhana. Istilah ‘Ahli Kitab’ juga
dipakai dalam al-Qur'an untuk menyebut pengikut wahyu
ini, seperti Yahudi dan Kristen.
Berdasarkan apa yang dikatakan al-Qur'an tentang dirinya
sendiri itu, kita bisa berpendapat bahwa bahkan sebelum Nabi
Muhammad wafat, al-Qur'an datang untuk dipahami sebagai
sebuah kitab suci yang ditulis, meskipun seluruh isi al-Qur'an
baru disusun sebagai dokumen tertulis secara utuh setelah
wafatnya Nabi.
Wahyu dan Interpretasi
Sarjana Muslim klasik melihat wahyu sebagai komunikasi
firman Allah, dan tidak menganggap bahwa Nabi Muhammad,
atau warga nya, dapat mengambil peran dalam wahyu.
Namun ulama modern, termasuk Fazlur Rahman, Nasr Hamid
Abu Zaid, Farid Esack dan Ebrahim Moosa,43 telah mulai
mengembangkan sedikit pemahaman yang berbeda mengenai ide
tentang wahyu, yang meliputi peran ‘kepribadian religius’ Nabi
Muhammad dan warga nya dalam peristiwa pewahyuan.
Pemahaman ini ada hubungannya dengan interpretasi al-Qur'an.
Fazlur Rahman mengatakan:
Al-Qur'an sendiri secara pasti memelihara ‘keberlainan’
(otherness), ‘objektivitas’ (objectivity) dan karakter verbal
wahyu, namun juga sekaligus secara pasti menolak ekster-
nalitasnya itu berlawanan dengan Muhammad ... Tetapi
orto doksi (semua pemikiran pada abad pertengahan)
kurang memiliki perangkat intelektual yang penting untuk
mengkombinasikan ke dalam formulasi dogma, ‘keberlainan’
dan karakter verbal wahyu ini , di satu sisi, dan hubungan
yang mendalam dengan karya dan kepribadian religius Nabi,
di sisi yang lain, artinya, ortodoksi kurang memiliki kapasitas
intelektual untuk menyatakan bahwa al-Qur'an sepenuhnya
merupakan firman Allah dan, dalam pengertian yang biasa,
juga seluruhnya merupakan perkataan Muhammad.44
Di sini Rahman tidak berpendapat bahwa al-Qur'an merupakan
perkataan dan karya Nabi Muhammad, melainkan ingin
menegaskan adanya hubungan yang erat antara al-Qur'an sebagai
firman Allah, Muhammad, dan misi-misinya serta konteks
sosial-historis dimana al-Qur'an itu diturunkan.45 Pandangan ini
menghendaki bahwa, jika ada hubungan yang lebih erat antara al-
Qur'an dan Nabi serta komunitasnya, maka akan memungkinkan
interpretasi yang lebih bebas mengenai al-Qur'an, dan yang
mempertimbangkan konteks sosio-historis.
Mendekati pemahaman mengenai wahyu melalui cara ini
mungkin sangat bermanfaat. Penting untuk diingat, bahwa
bagaimanapun, pemahaman klasik tentang wahyu pun, yang
tidak mempertimbangkan analisis terhadap peran Nabi dalam
pewahyuan, masih membolehkan interpretasi teks al-Qur'an
terjadi. Beberapa sarjana lebih suka membatasi upaya mereka
dengan berpegang pada petunjuk yang dised

