pewahyuan al-qur'an 1

pewahyuan al-qur'an 1


 


PEWAHYUAN AL-QUR'AN TERJADI DALAM KONTEKS politik, sosial, intelektual dan agama warga  Arab pada abad ke-7 Masehi, dan khususnya konteks wilayah 

Hijaz, dimana disana terletak Makkah dan Madinah. Memahami 

aspek-aspek utama dari konteks pewahyuan ini membantu kita 

untuk membuat hubungan antara teks al-Qur'an dan lingkungan 

dimana teks ini  muncul. Termasuk dalam hal ini iklim 

spiritual, sosial, ekonomi, politik, hukum dan norma-norma, 

adat istiadat, lembaga-lembaga dan nilai-nilai yang diyakini di 

dalam warga  ini . Norma-norma sosial, misalnya, 

terkait dengan struktur keluarga, hirarki sosial, hal-hal yang 

dianggap tabu, upacara ritual, masalah rumah tangga, hubungan 

gender, dan aturan terkait makanan, serta pembagian kekayaan. 

Pentingnya semua aspek ini didukung oleh seringnya al-Qur'an 

menyebut aspek-aspek ini .

Memahami konteks al-Qur'an juga membutuhkan penge-

tahuan yang detail mengenai peristiwa-peristiwa kehidupan Nabi, 

baik saat  di Makkah maupun Madinah. Banyak peristiwa besar 

dalam kehidupan Nabi, seperti perjalanan malamnya (isra’) dari 

Makkah ke Yerusalem (yang beberapa Muslim menganggapnya 

sebagai perjalanan spiritual), migrasi ke Madinah (hijrah) pada 

2tahun 622 Masehi, dan peperangan dan pertempuran antara 

kaum Muslim dan lawan-lawan mereka, disebutkan dalam al-

Qur'an, tetapi tidak secara detail. Oleh karena itu, pemahaman 

mengenai latar belakang kehidupan Nabi dan perkembangan yang 

terjadi pada waktu itu merupakan hal penting untuk memahami 

signifikansi banyak ayat al-Qur'an. Dalam pembahasan 

selanjutnya, kita akan menyebut konteks ini sebagai konteks 

‘sosio-historis’.

Pada abad ke-4/ke-10, konteks sosio-historis al-Qur'an me-

main kan peran yang kurang signifikan dalam keilmuan Islam, 

dengan terbangunnya disiplin hukum Islam. Sebelum kemu-

dian, konteks historis dan non-linguistik wahyu mendapat 

penekanannya sampai tingkat tertentu melalui riwayat asbab al-

nuzul (sebab-sebab turunnya wahyu), yang menceritakan konteks 

di sekitar pewahyuan ayat-ayat tertentu. Meskipun riwayat ini 

dimaksudkan untuk menjelaskan konteks langsung dari ayat-

ayat tertentu, tapi kita bisa menyatakan bahwa kemampuannya 

untuk memberikan pemahaman mengenai konteks sosio-

historis pewahyuan masih terbatas. Banyak riwayat yang saling 

bertentangan satu sama lain, dan banyak riwayat yang lain 

dihasilkan dari sangkaan secara historis, sehingga riwayat-

riwayat ini  seringkali sulit untuk disatukan dalam sebuah 

ilustrasi konteks yang spesifik.

Meskipun konteks sosio-historis penting untuk memahami 

al-Qur'an, namun banyak umat Islam saat ini terus mencurigai 

konsep ini. Bagi sebagian Muslim, diskusi mengenai konteks 

sosio-historis dari pewahyuan dianggap sebagai ancaman 

terhadap keyakinan dasar mereka tentang orisinalitas ilahiah al-

Qur'an. Namun, sejauh kita mengamati beberapa ayat al-Qur'an, 

sulit untuk memahami maknanya dengan baik tanpa memiliki 

pemahaman dasar tentang konteks dimana ayat-ayat ini  

diturunkan. Selain itu, semakin kita tahu tentang warga  

3Hijaz dan Arab dalam pengertian budaya dan sejarah, akan 

semakin jelas pemahaman kita mengenai pesan al-Qur'an.

Dalam bab ini kita akan membahas:

Konteks sosial, lingkungan dan politik Arab pada zaman 

Nabi;

Bagaimana pesan al-Qur'an diterima di dalam, dan mencer-

minkan, konteks ini ;

Bagaimana al-Qur'an berkaitan dengan praktek-praktek dan 

norma-norma budaya Arab abad ke-7;

Jenis bahasa yang dipakai  oleh al-Qur'an untuk mengung-

kapkan pesan etika, dan cara penafsiran pesan semacam ini 

dipengaruhi oleh budaya yang berlaku; dan

Perkembangan awal berbagai arus pemikiran yang mempe-

ngaruhi pergaulan Muslim dengan al-Qur'an.

Dunia Nabi Muhammad

Al-Qur'an memuat banyak referensi tentang dunia kultural 

dan material Hijaz, dimana disana terletak Makkah dan 

Madinah, dan jazirah Arab secara umum. Sebagai contoh, al-

Qur'an mengacu pada beberapa kejadian penting yang terjadi di 

sana, sikap yang ditunjukkan orang-orang Arab dan bagaimana 

mereka menanggapi pesan yang disampaikan Nabi Muhammad. 

Al-Qur'an juga menyebutkan beberapa institusi warga , 

norma dan nilai.

Hijaz sendiri meliputi budaya yang ada di sebagian besar 

daerah Arab dan sekitarnya, membentang mulai dari budaya 

Mediterania, termasuk Yahudi dan Kristen, hingga Arab 

Selatan, Etiopia dan Mesir; semua ini mempengaruhi Hijaz 

dan warga nya pada tingkatan yang bermacam-macam. 

Akibatnya, pada zaman al-Qur'an, kehidupan sosio-budaya Hijaz 

sangat beragam. Pemahaman terhadap hal ini akan membantu 

4pembaca al-Qur'an saat ini untuk membuat koneksi antara teks 

al-Qur'an dan keadan lingkungan yang memunculkan wahyu 

al-Qur'an ini .

Kehidupan Hijaz dan Badui

Hijaz dan sebagian besar wilayah sekitarnya memiliki iklim 

yang keras dengan sedikit curah hujan. Ada beberapa permukiman 

pertanian, seperti oasis Yatsrib, di kemudian hari dikenal sebagai 

Madinah, dan oasis Thaif, dekat Makkah. Namun, banyak 

dari penduduk daerah itu merupakan suku nomaden Badui 

dibandingkan penghuni tetap kota. Baik Badui maupun penduduk 

kota terikat pada kode etik suku kuno yang menjunjung tinggi 

nilai-nilai, seperti keberanian, kesabaran dalam menghadapi 

kesulitan, kemurahan hati, keramahan, membela kehormatan 

marga atau suku, dan memaafkan kesalahan. Di sisi negatif, tidak 

ada konsep universal tentang perhatian terhadap orang lain. 

Sebaliknya, keberanian dan pengorbanan hanya dalam sesama 

suku saja.1 Membantu kerabat selalu dianggap sebuah kemuliaan, 

tidak memandang apakah dia berada di pihak yang benar atau 

salah. Tidaklah dianggap berani atau jantan untuk menunggu 

sampai seseorang diserang, misalnya; orang-orang pemberani 

Badui akan menyerang orang lain sebelum dia sendiri diserang.2

Penyerangan antar suku merupakan hal yang biasa dari 

kehidupan di wilayah ini. Penyerangan ini sangat penting bagi 

perekonomian sebuah wilayah, sebagai sumber daya yang 

sangat bernilai. Kebanyakan Badui hidup dalam kondisi yang 

ekstrim, dengan sedikit makanan dan pendapatan yang berasal 

dari mengembala domba dan kambing. Pada masa-masa sulit, 

seringkali tidak ada pilihan lain selain menyerang pemukiman untuk menjarah ternak atau mendapatkan budak. Perlindungan 

dilakukan dengan tidak untuk membunuh siapa pun, karena 

pembunuhan akan memicu pertumpahan darah yang akan 

berlangsung selama beberapa generasi dan menimbulkan kerugian 

yang luar biasa terhadap suku. Serangan dan pertempuran 

semacam ini merupakan konsekwensi yang harus diterima dari 

lingkungan yang keras pada abad ke-6 Masehi. Di bidang agama, 

setiap suku memiliki tuhannya sendiri-sendiri. Setiap tahun, 

pada akhir siklus pasaran di seluruh semenanjung, pedagang 

dan peziarah akan berkumpul di Makkah untuk melakukan ritual 

haji kuno.

Kota Nabi: Makkah dan Madinah

Makkah merupakan sebuah kota yang relatif kecil di awal 

abad ke-7 Masehi. Karena terletak di atas tanah berbatu, 

Makkah hampir seluruhnya tergantung pada daerah Thaif untuk 

persediaan makanan. Meskipun demikian, Makkah juga memiliki 

sumber air yang menakjubkan, yakni sumur Zamzam, sehingga 

membuat penyelesaian permasalahan makanan itu menjadi 

memungkinkan.

Orang-orang Makkah sebagian besar terdiri dari beberapa 

klan atau kelompok yang membentuk suku Quraisy yang lebih 

besar. Beberapa klan merupakan klan yang kaya, kuat dan 

mendominasi urusan sosial, sementara klan yang lain miskin 

dan mulai tersingkir. Makkah juga memiliki Ka’bah, yang diyakini 

telah dibangun oleh Nabi Ibrahim dan putranya Ismail. Karena 

menarik peziarah setiap tahunnya, Makkah telah menjadi sebuah 

kota perdagangan yang signifikan, secara strategis terletak di 

beberapa jalur perdagangan kafilah utama menjelang abad ke-6. 

Dengan demikian, banyak orang Makkah terlibat dalam kafilah 

perdagangan.

6Pengelolaan urusan Makkah dijalankan melalui pengaruh 

kolektif orang-orang yang disepuhkan dan para pemimpin 

marga yang kaya, melalui proses konsultatif informal. Tidak ada 

penguasa atau negara formal; sebagai gantinya, seperti di padang 

pasir, marga menjamin keselamatan dan keamanan bagi anggota 

mereka. Adat memerintahkan bahwa saat  seseorang dari suku 

atau marga terancam, membela orang ini  merupakan tugas 

dari seluruh suku atau marga, bahkan jika perlu dengan unjuk 

kekuatan.3

Meskipun Makkah merupakan kota untuk menetap, tetapi 

banyak perantau yang tinggal di sekitar Makkah, sebagian besar 

mereka adalah penggembala unta dan domba. Para perantau 

ini , dan ternak-ternak mereka, sering diserang oleh pesaing-

pesaing dari marga nomaden, dan kafilah-kafilah dagang juga 

datang menyerang. Ini berarti bahwa warga  yang hendak 

menetap harus melakukan kesepemahaman dan perjanjian 

dengan suku-suku nomaden untuk melindungi perdagangan 

kafilah mereka dari serangan. Sebagai akibat dari lingkungan 

yang keras dan tidak pasti ini, banyak orang Makkah akhirnya 

berpegang pada pandangan hidup yang fatalistik.

Kehidupan dengan menetap ini juga mengikis banyak nilai-

nilai tradisional padang pasir. Orang Makkah masih pada awalnya 

memandang nilai keberanian dan kemandirian dalam posisi yang 

tinggi, tetapi akhirnya mereka mulai menjadi elitis dan arogan. 

Pertumbuhan kekayaan melalui perdagangan dan kekuasaan 

tampaknya banyak menghilangkan beberapa kualitas positif, 

seperti perhatian bagi kaum lemah dan fakir miskin.

Oasis Yatsrib kemudian dikenal sebagai Madinat al-Nabiy 

(Kota Nabi) atau Madinah, yang dalam banyak hal berbeda 

3 Michael Sells, Approaching the Quran: The Early revelation, Ashland, OR: White 

Cloud Press, 1999, hal 3.

7dengan Makkah. Yatsrib dihuni oleh sejumlah suku yang berbeda 

yang menciptakan transisi dari kehidupan nomaden ke pertanian 

yang menetap. Masing-masing suku tinggal di sebagian dari oasis 

ini  dengan benteng yang dijaga ketat. Nilai-nilai tradisional 

kehidupan padang pasir lebih kuat daripada di Makkah, tetapi 

ini juga berarti bahwa sebagian besar suku saling bermusuhan 

satu sama lain.4 Meskipun tanahnya subur, tanah untuk lahan 

penghasil-panen sangatlah langka.

Dua kelompok ‘Arab’ terbesar di Madinah adalah suku 

Aws dan Khazraj. Menjelang awal abad ke-7, kedua suku ini 

terperangkap ke dalam sebuah siklus pertikaian dan persaingan 

sumber daya, yang terus memburuk hingga menjadi peperangan 

terbuka. Madinah juga menjadi tempat tinggal bagi sejumlah suku 

Yahudi. Meskipun mereka sama-sama memiliki identitas sebagai 

penganut Yahudi, tetapi mereka terpecah dan sering berperang 

satu sama lain. Banyak suku-suku Yahudi juga bersekutu baik 

dengan suku Aws atau pun Khazraj atau salah satu dari sub-

marga mereka, dan terperangkap dalam konflik.5

Konteks Agama Hijaz

Pada zaman Nabi Muhammad, ada  beberapa tradisi 

agama yang telah lebih dulu tumbuh di Arab. Komunitas-komu-

nitas Kristen dan Yahudi telah tersebar di seluruh wilayah. Makkah 

sendiri, bagaimanapun, sebagian besar penduduknya merupakan 

kaum ‘pagan’, mereka menyembah dewa-dewa suku yang 

ditempatkan di dalam dan sekitar Ka’bah. Bahkan di Madinah, 

orang-orang non-Yahudi pun sebagian besar merupakan suku 

pagan. Namun, agama suku ini tidak menunjukkan kemajuan 

yang pesat, dan sebagian besar orang Arab pagan sangat tidak 

8relegius. Kepercayaan pada kehidupan setelah mati bukan 

pandangan umum yang bisa diterima, dan tuhan-tuhan yang 

mereka sembah tidak diberi penghormatan yang agung. Agama 

tampaknya telah dipakai  terutama untuk tawar-menawar 

dengan tuhan, yaitu, dengan cara membuat persembahan dengan 

imbalan sebuah pertolongan. Meskipun banyak orang percaya 

terhadap kekuasaan absolut, ‘Allah’ atau ‘Tuhan’, namun sangat 

sedikit saja yang, mereka dikenal sebagai para hanif, menyembah 

hanya kepadanya Nya, dan keberadaan-Nya tidak terlalu banyak 

mempengaruhi orientasi kehidupan kesukuan orang-orang Arab 

pagan.6

Banyak komunitas Kristen yang tinggal di Arab bagian Utara 

dan di sebagian Arab Selatan, meskipun di Hijaz agama Kristen 

kurang signifikan. Namun demikian, Yudaisme telah mengakar 

kuat di Madinah dan Yaman. Pengaruh Yahudi di Madinah telah 

diperkuat melalui perkawinan, adopsi dan konversi. Meskipun 

konsep monoteisme perlahan-lahan menjadi lebih dikenal, tetapi 

kepercayaan semacam ini masih dipandang oleh banyak orang 

Allah

Lafadz Allah kata dalam bahasa Arab yang berarti Dzat Yang 

Maha Agung, Tuhan yang secara sederhana kata ini diartikan 

Tuhan itu. Pada masa Nabi Muhammad, kata ini dipakai  oleh 

orang-orang Arab pra-Islam di Makkah untuk menyebut Tuhan 

yang tinggi, di atas berhala-berhala yang disembah oleh banyak 

penduduk Arab. Dalam Islam, nama ini kemudian dipakai  

untuk satu dan hanya satu-satunya Tuhan. Orang Islam percaya 

bahwa Tuhan ini merupakan Tuhannya Ibrahim, Musa, Isa dan 

Muhammad.

9sebagai sesuatu yang asing dan tidak cocok dengan warga  

suku Badui.

Menjelang akhir abad ke-6 Masehi, ada interaksi substansial 

antara penduduk Hijaz dan penduduk di bagian Arab lain. 

Interaksi ini umumnya terjadi melalui perdagangan, terutama 

antara kota kecil dan kota besar di Kekaisaran Bizantium dan 

Persia, dan melalui kunjungan ke Makkah oleh penduduk Arab 

lain yang ingin menghormati Ka’bah. Interaksi ini melahirkan 

banyak sekali sumber legenda, mitos, ide, angka, gambar dan ritual 

yang kemudian akan al-Qur'an gunakan untuk menghubungkan 

narasi, norma dan nilai-nilainya dengan konteks Hijaz. Al-Qur'an 

akan memilih untuk menceritakan narasi-narasi yang relevan 

dengan wilayah Hijaz ini , baik narasi ini  merujuk 

pada orang dan dikisahkan dalam sumber-sumber Alkitab atau 

bersumber dari cerita lokal dan legenda Arab.

Kehidupan Nabi Muhammad sebagai Bagian dari 

Konteks

Kaum Muslim percaya bahwa Muhammad merupakan Nabi 

terakhir Allah. Cerita kehidupannya merupakan sesuatu yang 

penting untuk memahami perkembangan cita-cita Islam serta 

konteks pewahyuan al-Qur'an.

Tradisi Muslim meyakini bahwa Muhammad merupakan 

anak yatim piatu sejak usia yang sangat muda dan diasuh 

oleh kerabatnya. Sebagai seorang pemuda, ia mulai berkarir 

sebagai pedagang, seperti kebiasaan penduduk Makkah. Pada 

usia 25 tahun, ia menerima lamaran pernikahan dari Khadijah, 

majikannya, seorang wanita kaya di Makkah yang berumur lebih 

tua dari Muhammad. Dia menikah hanya pada satu wanita sampai 

Khadijah wafat. Pernikahnya dengan Khadijah dikaruniai empat 

putri dan dua putra, meskipun putra-putra mereka meninggal 

saat masih bayi. Muhammad dikenal sebagai seorang yang jujur, 

10

yang menghabiskan waktu dalam meditasi dan kesunyian, dan 

ia menjalani hidup yang biasa-biasa saja sampai ia mencapai usia 

paruhbaya.

saat  Muhammad berumur 40 tahun, ia menerima ‘wahyu’ 

saat  sedang bermeditasi di sebuah gua dekat Makkah. Pada 

saat itu, ia tidak dapat memahami sepenuhnya apa yang sedang 

terjadi padanya dan apa sebenarnya implikasi dari penerimaan 

wahyu itu. Butuh beberapa waktu sebelum akhirnya dia 

menyadari sepenuhnya bahwa dia adalah seorang Nabi Allah, 

yang dipercaya untuk menyampaikan wahyu Firman Tuhan 

ini  kepada umat-Nya. saat  ia telah menerima tanggung 

jawab ini, langkah pertama Muhammad adalah menyampaikan 

pesan pada keluarganya sendiri, kerabat dekat dan teman-

teman terdekatnya. Perlahan, dia mulai mengajak orang untuk 

mengikuti ajarannya; pertama dari kalangan keluarga dan teman, 

tapi kemudian, sekelompok kecil individu dari warga  

Makkah yang kurang beruntung pun mulai untuk menghormati 

dan mengikuti ajaran-ajarannya.

Pesan yang disampaikan Muhammad menekankan kepada 

keesaan Tuhan, sebagai lawan dari kepercayaan penduduk Makkah 

terhadap banyak tuhan, dan kebutuhan untuk menyembah Tuhan 

secara eksklusif serta menyadari adanya hari pembalasan, yaitu 

hari saat  semua yang dilakukan manusia akan mendapatkan 

balasan sesuai dengan kadarnya. Salah satu teks awal al-Qur'an 

mengatakan:

Apabila langit terbelah, dan apabila bintang-bintang jatuh 

berserakan, dan apabila lautan dijadikan meluap, dan 

apabila kuburan-kuburan dibongkar, (maka) setiap jiwa akan 

mengetahui apa yang telah dikerjakan dan dilalaikannya. 

Wahai manusia! Apakah yang telah memperdaya kamu 

(berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pengasih. 

Yang telah menciptakanmu lalu menyempurnakan kejadianmu 

dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang. Dalam bentuk 

11

apa saja yang dikehendaki, Dia menyusun tubuhmu. Sesekali 

jangan begitu! Bahkan kamu mendustakan hari pembalasan.7

Wahyu awal al-Qur'an mengajak manusia untuk merenungi 

kemegahan dan keagungan ciptaan Penciptanya: 

Mahasuci Allah yang menguasai (segala) kerajaan langit dan 

Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, yang menciptakan mati 

dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang 

lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun, 

yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Tidak akan 

kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan 

Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu 

lihat sesuatu yang cacat?8

Muhammad mengajarkan suatu tatanan sosial baru yang 

melampaui tatanan suku yang ada pada saat itu, bersikap 

rendahan hati daripada sombong, dan mendorong orang yang 

kaya dan memiliki kekuasaan untuk memperhatikan orang yang 

lemah dan miskin:

Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki dan sukar, 

Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar 

itu? (Yaitu) melepaskan perbudakan (hamba sahaya), atau 

memberi makanan pada hari terjadi kelaparan, (kepada) anak 

yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang 

sangat fakir, kemudian ia termasuk orang-orang yang beriman 

dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan 

untuk berkasih sayang.9

Dengan begitu, keberadaan Muhammad dengan cepat mulai 

dilihat sebagai sebuah ancaman bagi kerangka dasar warga  

Makkah. Semakin besar jumlah pengikutnya, semakin gelisah 

pula para pemimpin Makkah.

Ketegangan antara Muhammad dan para tetua Makkah yang 

memiliki pengaruh terus meningkat, dan dalam beberapa tahun 

awal pewahyuan, penganiayaan yang dihadapi oleh Muhammad 

dan pengikutnya begitu kuat sehingga Muhammad terpaksa 

meminta para pengikutnya keluar dari Makkah dan mencari 

perlindungan dari penguasa Kristen Abyssinia. Sementara 

itu, dia dan sahabat yang lain tetap di Makkah menderita 

karena penganiayaan. warga  Muslim memikul cobaan ini 

dengan sabar. Pada tahun-tahun sebelum meninggalnya Abu 

Thalib, paman nabi dan pemimpin warga  yang disegani, 

Muhammad diberi tingkat perlindungan tertentu dari mereka 

yang ingin menganiaya. Namun bagaimanapun, setelah Abu 

Thalib meninggal, perlindungan ini pun berhenti dan situasi 

di Makkah menjadi tak tertahankan. Pada tahun ini juga Nabi 

mengalami keajaiban perjalanan malam (‘Isra) dari Makkah ke 

Yerusalem, kemudian diikuti oleh kenaikan, atau Mi’raj, melalui 

tujuh langit. Ayat-ayat berikut ini diyakini menggambarkan 

bagian dari pengalaman Nabi ini :

Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya 

(Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke 

Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami 

perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) 

Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar Maha Melihat.10

Dan:

Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam 

rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Shidra-

tulmuntaha. Di dekatnya ada surga tinggal, (Muhammad 

melihat Jibril) saat  sidratulmuntaha diliputi oleh 


yang meliputinya, penglihatannya (Muhammad) tidak 

menyimpang dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) 

melampuinya.11

Pada saat itu, Muhammad bertemu dengan sekelompok jamaah 

haji dari Madinah, yang dilanda konflik antara faksi-faksi yang 

bertikai. Mereka sangat terkesan dengan pesan Muhammad dan 

karakternya sehingga mereka masuk Islam. Mungkin mereka juga 

melihat potensi Muhammad untuk menjadi penengah yang netral 

dalam konflik suku di Madinah. Pada tahun berikutnya mereka 

kembali dan membuat apa yang dikenal sebagai Sumpah Aqabah, 

perjanjian untuk mematuhi perintah Muhammad berkaitan 

dengan hak melakukan sesuatu, dan untuk menyembah Allah 

saja. Mereka kembali ke Madinah dengan salah satu pengikut 

Nabi dari penduduk Makkah, dan keyakinan baru itu pun mulai 

menyebar dengan cepat di antara bangsa Arab di Madinah, yang 

jauh lebih sedikit menerima ancaman daripada di Makkah.

Sementara situasi di Makkah bagi umat Islam memburuk. 

Nabi menetapkan untuk mengadakan pertemuan rahasia 

dengan delegasi Madinah, sejak dibuatnya perjanjian yang 

kuat, salah satunya yang menjanjikan dukungan kepada Nabi 

dan perlindungan baginya seolah-olah ia adalah anggota suku 

mereka, jika ia pergi untuk menetap di Madinah. Sebagai 

gantinya, Muhammad akan menengahi konflik antar suku di 

Madinah.

Segera setelah itu, sekitar 12 tahun setelah Nabi mulai ber-

dak wah, ia mengambil langkah penting: dia memerintahkan 

sebagian besar pengikutnya untuk meninggalkan keluarga 

dan kerabat mereka di Makkah untuk berhijrah ke Madinah di 

bagian Utara. Begitu pentingnya peristiwa hijrah atau ‘migrasi’ 

ini sehingga orang-orang Muslim kemudian memutuskan untuk 

memulai kalender mereka dari peristiwa ini. Kejadian ini menjadi 

tonggak penanggalan kalender Islam – kalender hijriyyah – yang 

dipakai  oleh umat Islam sekarang.

Nabi Muhammad mendirikan warga  Muslim pertama 

di Madinah, dan dia tinggal di sana sampai meninggal pada 

11/632. Di Madinah, sebagian besar penduduk Arab telah masuk 

Islam, meskipun masih ada sebagian penduduk yang menentang 

kehadiran Muhammad walaupun mereka telah diajak masuk 

agama Islam. Banyak dari mereka merupakan kepala suku 

yang telah lama menguasai semua kawasan Madinah. Mereka 

membenci apa yang mereka anggap sebagai perebutan oleh 

Muhammad atas kekuasaan yang mereka telah miliki.

Beberapa penduduk Arab pagan yang tersisa melakukan 

perlawanan kecil kepada Muhammad. Sementara, suku-suku 

Yahudi Madinah memilih untuk tidak mengubah keyakinan 

Kalender Islam

Kalender Islam merupakan sistem penanggalan bulan (komariyah) 

dan berisi 12 bulan (yang terdiri dari 29 atau 30 hari) yang 

didasarkan pada siklus bulan. Buku ini sering menggunakan 

penulisan tanggal 1/622. Ini berarti 1 tahun dalam kalender 

Islam setara dengan 622 tahun dalam kalender Masehi/

syamsiyyah (yang didasarkan pada siklus matahari). Tahun Islam 

lebih pendek dari tahun Masehi sekitar 11 hari sehingga bulan 

dan perayaan hari Islam terjadi pada tanggal yang berbeda dalam 

kalender Masehi tiap tahunnya. Saat ini, umat Islam masih 

menggunakan kalender Islam untuk tujuan keagamaan tetapi 

dalam bidang lain kehidupan kalender Masehi sering dipakai . 

Dalam beberapa kasus, kedua kalender itu sama-sama dipakai . 

Beberapa buku menggunakan AH (Anno Hegirae/setelah hijrah) 

setelah tanggal Islam untuk menunjukkan bahwa mereka 

mengacu pada periode setelah hijrah (migrasi).

15

mereka, dan awalnya Muhammad melihat tidak ada alasan bagi 

mereka untuk mengubah keyakinan ini , karena mereka 

membawa kitab suci mereka sendiri dari Tuhan yang Esa.12 Al-

Qur'an telah memerintahkan kepadanya: 

Katakanlah (Muhammad), “wahai Ahli Kitab, marilah kita 

menuju pada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami 

dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita 

tidak menyekutukan-Nya pada sesuatu pun, dan bahwa kita 

tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah.” 

Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), 

“saksikanlah, bahwa kami adalah orang Muslim.13

Namun ketegangan dan kesulitan antara warga  Yahudi 

dan Muslim meningkat, sehingga secara perlahan-lahan 

menghilangkan keberadaan orang Yahudi di Madinah. Lima 

tahun setelah kedatangan Nabi, kebanyakan orang Yahudi 

meninggalkan atau diusir dari kota. Ada banyak bagian dalam 

al-Qur'an yang mengomentari ketegangan ini dan konflik-konflik 

yang terkait.

Bagi warga  Muslim, peran Muhammad adalah seba-

gai pemimpin spiritual dari sebuah keyakinan baru, serta, 

sema kin berkembang menjadi pemimpin politik ummah atau 

komu nitas agama dan politik yang telah menggantikan suku 

sebagai kunci utama politik dan sosial dari kesetiaan umat 

Islam. Secara bertahap, Muhammad memperkenalkan praktik-

praktik keagamaan, termasuk sholat Jum’at secara teratur. Dia 

juga memperkenalkan reformasi sosial yang memberi hak lebih 

bagi kaum perempuan, termasuk hak yang berhubungan dengan 

warisan, pernikahan dan perceraian.

Nabi juga menerima wahyu baru yang mengizinkannya 

untuk terlibat dalam perang melawan kaum pagan, terutama dari 

Makkah. Meskipun penyerangan merupakan hal umum di antara 

penduduk Arab, kaum Muslim tidak pernah diizinkan untuk 

melakukan penyerangan sampai kemudian mereka diperintahkan 

terlibat dalam pertempuran. Salah satu teks yang memberikan 

izin kepada umat Islam untuk terlibat dalam perang untuk 

membela agama mereka mengatakan:

Diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, 

karena sesungguhnya mereka didzalimi. Dan sungguh, Allah 

Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang 

diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang benar, 

hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah.” 

Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian 

manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan 

biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang 

Yahudi, dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut 

nama Allah.14

Seiring waktu, umat Muslim kemudian terlibat dalam serangkaian 

serangan dan pertempuran melawan kaum pagan. Di antara yang 

paling penting dan salah satu yang pertama dari pertempuran 

ini  adalah Perang Badar (2 /624). Dalam pertempuran ini 

umat Islam dari Makkah dan Madinah menghadapi kaum pagan 

Makkah yang lebih kuat, dan bertempur melawan kerabat sendiri: 

saudara laki-laki melawan saudara laki-laki, ayah terhadap anak, 

paman melawan keponakan. Meskipun tampak ganjil, tetapi 

akhirnya kaum Muslim mempertahankan negeri mereka dan 

Makkah dikalahkan, dan beberapa tokoh terkemuka dari oposisi 

Makkah yang menentang Muhammad tewas. Hal ini merupakan 

kemenangan besar bagi kaum Muslim, yang yakin bahwa Tuhan 

berada di pihak mereka dalam melawan kaum pagan.


Dengan kekalahan di Makkah saat Perang Badar tidak 

berarti bahwa perlawan mereka terhadap Muhammad berakhir. 

Pada tahun berikutnya, mereka kembali ke Madinah dengan 

 kekuatan yang lebih besar untuk membalas kekalahan. Ini 

pertempuran kedua, yang terjadi di dekat Gunung Uhud, dan 

merupakan kekalahan bagi kaum Muslim, meskipun pagan 

Makkah tidak sampai dapat memasuki wilayah Madinah dan 

mundur. Dua tahun kemudian pada 5/627, penduduk Makkah, 

waktu itu mengadakan persekutuan dengan sejumlah besar 

suku, kembali lagi dengan kekuatan 10.000 pasukan untuk 

menghancurkan umat Islam. Kaum Muslim jelas tidak sebanding 

untuk mereka. Namun, Nabi telah membangun pertahanan untuk 

mencegah mereka memasuki Madinah. Setelah pengepungan 

yang sangat lama, pasukan Makkah dipaksa untuk kembali ke 

kampung halaman, tanpa mencapai tujuan apapun. Ini menjadi 

konfrontasi militer besar terakhir antara kaum pagan Makkah 

dan kaum Muslim.

Muhammad mulai dipertimbangkan sebagai tokoh kuat 

dan memilki kekuasaan di Arab. Perlahan-lahan, pengaruhnya 

tumbuh di Hijaz dan di sebagian besar wilayah Arab, dan 

ajaran-ajarannya menyebar luas. Melalui sebuah penaklukan 

tanpa pertumpahan darah, Makkah sendiri akhirnya mampu 

ditundukkan di bawah kendali kaum Muslim (pada 8/630) 

delapan tahun setelah hijrah Nabi ke Madinah. Setelah masuk 

Makkah, Muhammad memberikan pengampunan umum, dan 

sebagian besar penduduk Makkah memeluk agama baru. Nabi 

membersihkan bagian pemujaan Ka’bah dari semua berhala yang 

diletakkan di sana, menyatakan bahwa Ka’bah akan bebas dari 

penyembahan berhala dan akan sepenuhnya dipakai  untuk 

menyembah Tuhan yang Esa. Dua tahun kemudian, Muhammad 

meninggal (pada 11/632) di rumahnya di Madinah. Menjelang 

wafatnya Nabi, diriwayatkan bahwa banyak dari penduduk 

Makkah bersekutu dengannya atau telah memeluk agama Islam.

18

Inilah pandangan tradisional Muslim mengenai kehidupan 

Muhammad. Meskipun beberapa sarjana Barat telah memper-

ta nyakan beberapa aspek dari pandangan ini, tetapi umat 

Islam pada umumnya menerima pandangan ini, dan menghu-

bungkannya dengan berbagai peristiwa yang disebutkan berulang 

kali dalam al-Qur'an. Perjuangan Muhammad di Makkah dan 

Madinah, pertempuran yang ia lakukan di dalam melawan 

musuh-musuhnya, kisah tentang ketegangan Yahudi-Muslim di 

Madinah, dan peraturan yang diperkenalkan Muhammad untuk 

memerintah warga  Muslim di Madinah, semuanya dapat 

dihubungkan dengan pandangan umum ini.

Konteks Sosio-Historis dan Bahasa Budaya

Konteks budaya Hijaz merupakan titik pijak bagi al-Qur'an 

dan Nabi dalam membingkai istilah-istilah dalam agama 

baru yang terbentuk di Makkah dan Madinah ini. Nabi tidak 

pernah mengklaim bahwa ia datang untuk mencabut semua 

elemen budaya dari Hijaz. Tugas pentingnya adalah untuk 

mengajarkan pemikiran-pemikiran baru tertentu yang terkait 

terutama dengan Tuhan, hubungan Tuhan dengan manusia dan 

penciptaan-Nya, nilai moral etis dan kehidupan setelah kematian. 

Sebagian besar, cara hidup orang-orang Hijaz dan elemen-elemen 

pandangan dunia mereka tetap dipertahankan. Pembaharuan 

yang diperkenalkan oleh Nabi utamanya terletak pada ranah 

teologis, spiritual, hukum dan moral-etis daerah.

Al-Qur'an mengandung bahasa budayanya sendiri yang 

spesifik sesuai dengan pandangan dunia penerima pertamanya, 

yang meliputi simbol, kiasan, istilah dan ungkapan yang 

dipakai  di Hijaz. Bahkan dalam menggambarkan konsep Islam 

mengenai surga, al-Qur'an menggunakan bahasa yang terkait erat 

dengan budaya lokal dan imajinasi kebanyakan manusia: sungai 

yang mengalir, buah-buahan, pohon-pohonan dan perkebunan. 

19

Bagi orang yang terbiasa hidup di daerah yang gersang, kering, 

dan topografi pegunungan dengan sedikit air, pohon atau buah, 

gambaran surga yang seperti ini merupakan gambaran yang 

menarik dari keadaan akhirat yang menanti orang beriman. 

Demikian pula, gambaran dari neraka juga mengandalkan pada 

gambaran yang biasa dipakai  dari budaya yang berlaku, dan 

sangat berhubungan dengan orang-orang Hijaz.

Al-Qur'an juga menyesuaikan dengan sejumlah praktek yang 

telah ada sebelumnya, seperti puasa, dan al-Qur'an juga datang 

untuk menerima praktek pra-Islam lainnya, dengan beberapa 

modifikasi. Misalnya, haji telah ada di masa pra-Islam dan 

dijadikan sebagai bagian dari agama baru. Ibadah haji dimurnikan 

dan dibersihkan dari praktik politeistik, meskipun beberapa 

perubahan lainnya dibuat. Menurut al-Qur'an, perubahan yang 

dibuat itu menjadikan ibadah haji kembali kepada bentuk aslinya, 

seperti yang dipraktekkan oleh Nabi Ibrahim.

Banyak nilai-nilai pra-Islam di Hijaz juga diterima sebagai 

bagian dari agama baru ini. Secara keseluruhan, budaya apapun 

dianggap penting dan nilai-nilai yang positif diterima, misalnya 

nilai-nilai kesabaran dalam menghadapi kesulitan, yang 

merupakan salah satu aspek dari kebajikan suku Badui pra-Islam. 

Budaya apapun yang biasanya dianggap tidak benar atau tidak 

pantas juga ditolak. Nilai-nilai ini  misalnya pemborosan yang 

luar biasa, bakhil, pelanggaran janji, kemunafikan, kecurigaan, 

kesombongan, berjudi, mengejek orang lain, fitnah, kecurangan 

dalam perdagangan, riba, penimbunan dan perjudian. Sebagian 

kesuksesan Nabi dikarenakan ia menyampaikan pesan-pesannya 

dengan menggunakan istilah yang berhubungan dan dipahami 

warga . Al-Qur'an juga memperbolehkan banyak makanan 

untuk dikonsumsi, dengan pengecualian seperti anggur.

Al-Qur'an menolak, menerima atau mengadaptasi praktek-

praktek pra-Islam Arab, seiring seirama menjelaskan bahwa ke-

20

Esaan Tuhan (tauhid) adalah prinsip baru yang menyeluruh. 

Misalnya, al-Qur'an mengenalkan beberapa norma terkait perang 

dan perdamaian yang ada pada waktu itu, meskipun al-Qur'an 

juga melakukan beberapa perubahan signifikan. Perang tidak lagi 

dianggap sebagai kebaikan. Al-Qur'an memerintahkan umat Islam 

untuk berdamai di saat lawan mereka menyerah atau cenderung 

untuk berdamai. Membunuh tawanan tidak lagi diizinkan. 

Seperti disinggung di atas, perintah al-Qur'an tentang perang 

dan damai perlu dipahami dalam konteks konvensi Arab tentang 

peperangan, perjanjian dan aliansi, dan gagasan perlindungan 

suku, seperti halnya yang terjadi pada saat itu. Perbudakan juga 

ada, dan diterima sebagai hal yang normal, meskipun Islam sejak 

sangat awal telah mendorong pembebasan budak. Bulan suci Pra-

Islam juga lebih atau kurang diterima sebagai bagian dari Islam, 

seperti pengorbanan binatang, dengan syarat kurban itu hanya 

didedikasikan kepada Tuhan yang Esa bukan untuk dewa lainnya.

Bahasa Etik Al-Qur'an: Konteks dan Perempuan

Umumnya, banyak umat Islam mempertimbangkan teks al-

Qur'an sebagai hukum. Bagaimanapun, jika kita melihat teks-

teks al-Qur'an secara lebih seksama, kita sering menemukan 

bahwa banyak bahasa al-Qur'an menggunakan bahasa etik. 

Kemudian, dengan perkembangan hukum Islam selama tiga abad 

pertama Islam, bahasa etik itu pun kemudian dilihat hakikatnya 

sebagai hukum. Penekanan pada masalah hukum dibutuhkan 

selama periode awal, saat  ahli hukum sedang mencari dasar 

otoritatif untuk mengembangkan hukum dan merancang sebuah 

sistem yurisprudensi. Penekanan ini, bagaimanapun, menjadi 

berlebihan saat  teks yang jelas-jelas etik dipandang sebagai 

hukum murni, sehingga bahasa dan spirit etik al-Qur'an hilang 

ke arah interpretasi-interpretasi hukum yang lebih ketat.

21

Contoh dalam hal ini adalah area permasalahan yang 

dibicarakan beberapa kali di dalam al-Qur'an, tentang: posisi 

perempuan. Perbedaan berdasarkan gender dan kelas adalah 

bagian dari budaya warga  pra-Islam dan Islam awal. Hal 

ini tercermin dalam cara bagaimana beberapa ayat tertentu dari 

al-Qur'an menyebut tentang perempuan. Namun, al-Qur'an 

tidak mendukung diskriminasi gender sebagai hukum agama, 

dan kenyataannya, al-Qur'an justru melakukan sebaliknya. 

Perempuan, setidaknya dalam beberapa kasus, berada dalam posisi 

yang kurang menguntungkan dalam warga  Arab. Dalam 

banyak contoh, al-Qur'an mengangkat posisi perempuan dalam 

warga  secara keseluruhan dan melindungi kepentingan 

mereka, seperti juga al-Qur'an melakukan perubahan positif 

dalam status kelompok yang kurang beruntung lainnya di 

warga  Arab, seperti budak dan fakir miskin.15

Sebagai contoh, al-Qur'an mengungkapkan penolakannya 

yang kuat terhadap warga  yang tidak senang atas kelahiran 

anak perempuan.16 Al-Qur'an juga melarang pembunuhan bayi 

perempuan,17 sebuah praktek yang ada pada waktu itu yang 

terjadi di beberapa bagian Arab, bahwa anak laki-laki dianggap 

lebih bernilai tinggi dan mengurangi beban pada keluarga. Al-

Qur'an menyatakan bahwa di sisi Tuhan, satu-satunya perbedaan 

dari setiap konsekuensi antara manusia adalah kesalehan mereka, 

dan dalam hal ini, perempuan dan laki-laki adalah sama.18 Salah 

satu ayat al-Qur'an menyatakan hal ini secara tegas:

Sungguh, laki-laki dan perempuan Muslim, laki-laki dan 

perempuan Mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap 

dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-

laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang 

khusuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki 

dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang 

memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang 

banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk 

mereka ampunan dan pahala yang besar.19

Perempuan juga diberi hak waris, yang merupakan 

kemajuan yang signifikan pada saat itu, karena selain wanita 

bangsawan, kebanyakan wanita pada saat itu tidak memiliki hak 

waris. Al-Qur'an juga memberikan batasan mengenai jumlah 

istri yang diizinkan untuk dimiliki oleh seorang laki-laki dan 

kapan laki-laki dilarang memiliki lebih dari satu istri. Poligami 

hanya diperbolehkan untuk pria; poligami juga pernah terjadi 

sebelumnya bagi perempuan tetapi tidak berlaku lagi dan menjadi 

suatu bentuk prostitusi. Akhirnya, terbentuklah pedoman yang 

jelas mengenai perceraian yang memberikan perempuan hak yang 

lebih baik daripada yang mereka dapatkan sebelumnya.

Sembari menolak keberadaan diskriminasi terhadap 

perempuan, al-Qur'an juga muncul untuk mempertahankan 

praktek-praktek sosial dan budaya tertentu. Beberapa ayat 

menunjukkan bahwa, saat  dilihat dari perspektif sekarang ini, 

al-Qur'an memberikan status perempuan lebih rendah daripada 

laki-laki. Sebagai contoh, dalam beberapa masalah keuangan, 

nilai bukti wanita dianggap sebagai setengah dari pria dalam 

kasus-kasus tertentu: 

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu 

melakukan hutang-piutang untuk waktu yang ditentukan 

hendaklah seorang menulis. Dan hendaklah seorang 

penulis menuliskannya dengan benar di antara kamu....dan 

persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara 

kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) 

seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-

orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika 

salah seorang lupa yang lain bisa mengingatkannya.20 

Beberapa referensi lain dalam al-Qur'an juga menunjukkan 

bahwa, dalam konteks sosial awal Islam, perempuan, setidaknya 

di beberapa daerah, tidak memiliki status yang sama dengan laki-

laki. Ada daerah lain di mana al-Qur'an menetapkan perlakuan 

yang berbeda antara pria dan wanita: perceraian,21 poligami,22 

cara berpakaian,23 masalah laki-laki ‘merawat penuh’ perempuan,24 

hukuman bagi amoralitas,25menikahi Ahli Kitab,26 dan warisan27 

Ada pesan-pesan tertentu lainnya yang, pada pembacaan awal, 

tampaknya perempuan kurang diuntungkan dibanding laki-laki.28

Secara keseluruhan, jika ayat al-Qur'an dibaca secara terpisah, 

mungkin tampak bahwa posisi al-Qur'an mengenai perempuan 

agak ambigu. Dalam kebanyakan kasus, tampak bahwa laki-laki 

dan perempuan memiliki posisi yang sama, tetapi pada waktu 

lain status perempuan tampaknya lebih rendah dibandingkan 

laki-laki. Meski demikian, jelas bahwa konsekuensi keseluruhan 

dari al-Qur'an dan misi Nabi adalah untuk memberi perempuan 

hak yang lebih besar di masa Islam daripada yang telah mereka 

terima pada masa pra-Islam Arab.

Namun, setelah Nabi Muhammad wafat, Islam menyebar 

ke daerah sekitar, di mana secara historis, kaum perempuan di 

daerah itu dulu sering dihadapkan pada masalah diskriminasi. 

Sikap-sikap budaya dan praktek-praktek semacam ini dihapus 

pada masa Muslim. Tulisan eksegesis Islam kemudian perlahan-

lahan menunjukkan pandangan patriarkal dan mendukung 

terhadap kaum perempuan, meskipun al-Qur'an menekankan 

tentang hak-hak baru bagi perempuan, keadilan dan kewajaran. 

Namun, selalu ada perempuan dalam warga  Islam yang 

memainkan peran penting dalam bidang sarjana Islam, politik 

serta kehidupan sosial. Sikap dan pandangan negatif terhadap 

perempuan yang melekat pada banyak sarjana Islam sekarang 

ditantang oleh meningkatnya jumlah Muslim, wanita dan 

pria, yang berpendapat bahwa sikap negatif ini  tidak 

mencerminkan keseluruhan pesan al-Qur'an dan karena itu harus 

dipikirkan kembali.

Arus Intelektual yang Mempengaruhi Keterlibatan 

Muslim dengan Al-Qur'an

Setelah Nabi wafat, periode ketegangan sosial dan politik 

dimulai, dan sebagai hasilnya, perdebatan yang ketat di 

antara umat Islam di berbagai macam isu muncul, mulai dari 

isu kepemimpinan politik dalam warga , otoritas agama, 

hingga penafsiran al-Qur'an. Perdebatan ini diawali, dalam 150 

tahun pertama atau lebih setelah Nabi wafat, dengan munculnya 

beberapa orientasi religio-politik, teologis, mistis dan hukum. 

Perkembangan di semua wilayah ini memiliki dampak signifikan 

pada bagaimana al-Qur'an dipelajari, ditafsirkan, dipahami dan 

diterapkan. Di bawah ini kami memberikan gambaran yang 

sangat singkat mengenai orientasi ini .

Orientasi Religio-Politik

Kelompok yang dikenal sebagai Khariji (Khawarij) muncul 

sebagai sebuah kelompok politik-agama setelah 40 tahun 

meninggalnya Nabi dan pasca terjadi ketidaksepakatan serius 

25

di kalangan umat Islam mengenai kepemimpinan politik yang sah 

dari komunitas Muslim selama masa khalifah keempat Ali.29 Di 

antara keyakinan penting dari kaum Khawarij adalah bahwa umat 

Islam yang melakukan dosa besar tidak lagi termasuk golongan 

orang beriman, dan bahwa pemimpin politik warga  Muslim 

tidak boleh merundingkan aspek apapun dari ajaran-ajaran 

agama. Sekarang ini, Khawarij menjadi kelompok minoritas 

Muslim yang kecil.

Asal-usul Syiah, kelompok kedua, bermula dari masa 

sejak meninggalnya Nabi. Beberapa Muslim pada waktu itu 

percaya bahwa keluarga Nabi harus diberikan prioritas dalam 

kepemimpinan politik warga . Kemudian, ide ini kembangkan 

lebih jauh, dan Syiah seperti sekarang kita ketahui, mereka 

muncul selama dua abad pertama Islam. Mereka berpendapat 

bahwa Ali, sepupu dan menantu Nabi, seharusnya otomatis 

menjadi pengganti pemimpin politiknya, dan bahwa semua 

kepemimpinan politik berikutnya harus tetap dalam lingkup 

keluarga Nabi. Syiah secara bertahap mengembangkan sendiri 

sistem teologis serta madzhab hukum mereka, dan sekarang ini 

menjadi kelompok minoritas Muslim yang signifikan.

Sunni, kelompok ketiga, merupakan kelompok ‘utama’ 

Muslim, yaitu mereka yang tidak termasuk kelompok Syi’ah atau 

Khawarij. Sunni muncul sebagai kelompok yang berbeda selama 

tiga abad pertama Islam, dan selama itu, mereka mengembangkan 

beberapa kredo keyakinan dan madzhab fiqh. Sunni bertanggung 

jawab atas banyak koleksi hadist awal dan pencatatan sejarah 

awal Islam. Setelah dikembangkan, Islam Sunni dipandang 

sebagai kelompok ortodoks dan masih mewakili mayoritas umat 

Islam saat ini.

29 Lihat Bab 11 untuk pembahasan lebih lanjut dari pendekatan politik-agama 

untuk eksegesis.

26

Orientasi Teologis

Beberapa tren intelektual muncul di kalangan Muslim pada 

abad pertama Islam.30 Ini bukan ‘madzhab’, melainkan meru-

pakan pandangan intelektual mengenai isu-isu penting yang 

muncul waktu itu. Banyak perdebatan terkait isu-isu seperti siapa 

sebenarnya yang termasuk golongan Muslim, mukmin, kafir dan 

orang berdosa. Definisi istilah-istilah ini bervariasi di kalangan 

umat Islam, tergantung pada kecenderungan intelektual atau 

kelompok politik keagamaan yang mereka miliki. Pertanyaan 

lain yang diperdebatkan dalam dua abad pertama antara lain: 

Apa yang terjadi dengan seorang Muslim yang melakukan dosa 

besar dan kemudian meninggal; akankah dia berakhir di neraka 

selamanya? Apakah tindakan manusia ditentukan oleh Allah? 

Apakah orang-orang bebas untuk memilih antara benar dan 

salah? Beberapa berpendapat untuk bebas memilih, sementara 

yang lain berpendapat hal ini  merupakan takdir Allah. 

Tiga madzhab besar teologi muncul dari perdebatan ini : 

kelompok Mu’tazilah, Ash’ariyah dan Tradisional. Kelompok 

Mu’tazilah merupakan kelompok rasionalis dan berpendapat 

bahwa seseorang bebas menentukan, sedangkan kelompok 

Tradisional mengadopsi sebuah posisi yang menekankan takdir 

Allah dalam setiap kejadian. Kelompok Ash’ariyah berada di 

antara dua posisi ini  dalam masalah teologis.

Orientasi Mistik

Sufisme, atau mistik Islam, muncul sebagai gerakan yang 

terpisah pada abad ke-2/ke-8, secara bertahap berkembang 

menjadi beberapa kelompok sufi yang berbeda-beda di berbagi 

30 Lihat Bab 11 untuk pembahasan lebih lanjut dari pendekatan teologis untuk 

eksegesis.

27

daerah Muslim.31 Tidak seperti banyak kelompok Muslim 

lainnya pada waktu itu, Sufi cenderung lebih akomodatif 

terhadap keanekaragaman dalam warga  Muslim dan juga 

lebih menerima tradisi-tradisi keagamaan lainnya. Pandangan-

pandangan dan interpretasi esoteris Sufi mengenai Islam 

umumnya tidak populer di kalangan sarjana non-sufi dan 

sehingga mengakibatkan penganiayaan terhadap beberapa sufi 

terkemuka.

Orientasi Fiqh

Pada 200 tahun pertama Islam, madzhab-madzhab awal 

dalam fiqh juga berkembang. Lima madzhab utama yang masih 

ada saat ini adalah madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab 

Syafi’i, mazhab Hanbali dan madzhab Ja’fari.

Hanafi merujuk kepada ahli hukum Abu Hanifah (w.150/767), 

yang hidup di Irak. Madzhab Hanafi menempatkan penggunaan 

akal pada posisi yang sangat penting di dalam menafsirkan 

hukum. Sekarang ini, madzhab ini menjadi madzhab fiqh Sunni 

terbesar dan pengikutnya ditemukan terutama di benua India, 

Asia Tengah dan Turki.

Berbeda dengan Abu Hanifah, Malik bin Anas (w.179/795), 

yang dengannya madzhab Maliki merujuk, tidak menganjurkan 

penggunaan akal secara berlebihan dalam pemahaman hukum 

Islam (fiqh) dan sangat bergantung pada teks-teks dasar al-

Qur'an dan hadits. Ia berpandangan bahwa praktek kebiasaan 

penduduk Madinah, di mana Nabi dan kaum Muslim awal hidup, 

menjadi indikasi praktek pada masa Nabi, dan karenanya bersifat 

otoratif. Ajaran madzhab Maliki tersebar di Afrika Utara dan 

Spanyol. Sekarang ini, madzhab ini merupakan madzhab fiqh 

31 Lihat Bab 11 untuk pembahasan lebih lanjut dari pendekatan mistis pada 

eksegesis.

28

Sunni terbesar ketiga dan pengikutnya ditemukan terutama di 

Afrika Utara dan Afrika Barat.

Madzhab Syafi’i diambil dari nama Muhammad bin Idris 

al-Syafi’i (w.204 / 820), seorang ulama yang banyak melakukan 

perjalanan untuk mencari ilmu agama. Syafi’i mengembangkan 

berbagai prinsip-prinsip hukum Islam yang berhubungan dengan 

persoalan seperti penafsiran teks dan otoritas sunnah. Sekarang, 

madzhab ini merupakan madzhab fiqh Sunni terbesar kedua dan 

pengikutnya ditemukan terutama di Asia Tenggara.

Mazhab Hanbali diambil dari nama Ahmad bin Hanbal 

(w.240/855), murid imam Syafi’i. Ahmad bin Hanbal dikenal 

baik sebagai seorang sarjana hukum dan seorang kolektor hadis. 

Mazhab Hanbali sangat bergantung pada teks-teks al-Qur'an dan 

sunnah serta pendapat para Sahabat Nabi dalam interpretasi 

mereka mengenai hukum. Madzhab Hanbali sering digambarkan 

sebagai literalis dan agak tidak toleran terhadap mereka yang 

memegang pendapat yang berbeda dengan mereka. Sekarang, 

madzhab Hanbali adalah madzhab fiqh terkecil Sunni dan 

sebagian besar pengikutnya ditemukan di Arab.

Madzhab Ja’fari merupakan madzhab fiqh Syiah utama dan 

diikuti oleh Syiah Imamiyah Muslim. Para sarjana madzhab Ja’fari 

percaya bahwa al-Qur'an adalah sumber utama hukum Islam 

dan bahwa hanya imam Syiah yang memiliki kemampuan untuk 

menafsirkan al-Qur'an dan hadis secara otoritatif. Meskipun 

mereka menerima hadits sebagai sumber hukum, mereka hanya 

mengandalkan hadis yang telah diriwayatkan dan ditransmisikan 

oleh keluarga Nabi atau orang yang dianggap simpati pada tradisi 

Syiah. Sementara Syiah yang lainnya memiliki sistem hukum 

sendiri-sendiri.

Arus intelektual ini memiliki dampak besar pada bagaimana 

Muslim membaca dan menafsirkan al-Qur'an. Dalam sebuah 

tulisan tafsir, seseorang sering dapat melihat dengan jelas 

29

bagaimana orientasi religio-politik, teologis, mistis atau hukum 

dari penafsir dapat mempengaruhi penafsiran mereka terhadap 

al-Qur'an.

Ringkasan

Beberapa poin penting yang telah kita bahas dalam bab ini 

meliputi:

Pesan-pesan dari al-Qur'an tertanam dalam konteks spesifik 

abad ke-7 Arab dan disampaikan melalui bahasa dan sim-

bolisme yang dapat dipahami oleh audien pertama.

Banyak unsur budaya pra-Islam dan budaya warga  

yang tidak ditolak seluruhnya oleh al-Qur'an, tetapi diterima 

dalam bentuk yang dimodifikasi.

Banyak ajaran-ajaran Nabi secara sosial bersifat progresif 

pada waktu itu.

Beberapa referensi al-Qur'an mengenai perempuan tampak 

diskriminatif sekarang ini, tetapi harus dibaca dalam konteks 

al-Qur'an seluruhnya dan budaya serta norma-norma sosial 

saat wahyu ini  diturunkan. 

Rekomendasi Bacaan

Karen Armstrong, Muhammad: Prophet for Our Time, London: 

HarperCollins, 2006.

Dalam buku ini Armstrong memberikan wawasan mengenai 

konteks historis warga  Arab abad ke-7 dan misi 

Nabi Muhammad. Armstrong ingin membantu pembaca 

dalam memahami prestasi Muhammad sepenuhnya. Dia 

menunjukkan bagaimana kehidupan Muhammad dan 

pengalamannya dapat memberikan sejumlah pelajaran 

berharga untuk dunia sekarang ini.

30

Martin Lings, Muhammad: His life Based on the Earliest Sources, 

London: George Allen & Unwin, 1983; direvisi, Rochester, VT: 

Inner Traditions Internasional, 2006.

Dalam buku ini Lings mengacu biografi dan kondisi Arab 

pada abad ke-2/ke-8- dan ke-3/abad ke-9, dan menceritakan 

sejumlah peristiwa dalam kehidupan Nabi. Beberapa dari 

bagian-bagian ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris 

untuk pertama kalinya. Buku ini ditulis dengan gaya narasi 

yang mudah untuk dibaca, dan edisi revisi dari buku ini 

ditambah dengan informasi baru tentang pengaruh Nabi di 

Suriah dan sekitarnya.

Tariq Ramadan, In the Footsteps of the Prophet: Lessons from 

the Life of Muhammad, New York: Oxford University Press, 2007.

Dalam buku ini Ramadhan menyajikan peristiwa-peris-

tiwa utama dari kehidupan Nabi, yang menunjukkan bagai-

mana ajaran-ajaran spiritual dan etis yang dibawanya. 

Dia menjelaskan banyak hal terkait sifat-sifat pribadi 

Muhammad, dan juga menggambarkan secara seksama 

signifikansi dari contoh keteladanan yang diberikan Nabi 

untuk masalah-masalah seperti perlakuan terhadap kaum 

miskin, perang, rasisme, peran perempuan, hukuman pidana 

Islam, dan hubungan dengan agama-agama lain.

Montgomery Watt, Muhammad in Mekkah, Oxford: Oxford 

University Press, 1953; Muhammad at Medina, Karachi: Oxford 

University Press, 1981.

Dalam dua buku ini , Watt memberikan ulasan 

mengenai sejarah lengkap kehidupan Muhammad dan asal-

usul warga  Muslim. Dia meneliti berbagai diskusi 

ilmiah dalam kaitannya dengan topik-topik seperti politik, 

hubungan dengan orang-orang Arab dan orang-orang yang 

lain yang memiliki keyakinan yang berbeda, reformasi sosial 

dan kepribadian Muhammad sendiri.

31

Bab 2

Wahyu dan Al-Qur'an

AL-QUR'AN MERUPAKAN SALAH SATU KARYA SASTRA AGAMA YANG PALING PENTING dalam sejarah dunia. Sebagai kitab suci umat Islam, al-Qur'an sering 

dibandingkan dengan Injil dan Taurat. Ketiga teks ini  

dianggap oleh pengikutnya masing-masing sebagai firman Tuhan 

atau diilhami oleh Tuhan. Dalam bab ini kita akan membahas:

Perbedaan antara konsep wahyu dalam Islam, Kristen dan 

Yudaisme;

Tiga jenis wahyu yang disebutkan dalam al-Qur'an sehingga 

umat Islam percaya bahwa Allah menggunakan wahyu untuk 

berbicara kepada manusia; 

Catatan wahyu Islam pertama kepada Nabi Muhammad dan;

Kerangka untuk pemahaman yang lebih luas dari wahyu al-

Qur'an yang memperhitungkan aspek sosio-historis.

Hakikat Wahyu

Pendapat umum umat Islam mengenai wahyu adalah bahwa 

wahyu merupakan inisiatif dari Allah yang mengungkapkan 

kehendak-Nya kepada manusia melalui para Nabi yang dipilih. 

Umat Islam percaya kepada para Nabi, termasuk Nabi Muhammad 

yang dianggap sebagai penerima wahyu ilahi terakhir. Umat Islam 

32

percaya bahwa Nabi Muhammad telah dipilih sebagai utusan 

Allah; namun dia bukan perwujudan Tuhan.

Bagi umat Islam, Nabi mendapatkan pengalaman pewahyuan 

dengan mendengarkan ‘suara’ Allah dalam hatinya dan hanya 

mampu menggambarkannya dalam gambaran metaforis. Kadang 

dia menggambarkan penerimaan wahyu dengan mendengar 

semacam suara ‘dering bel’.1 Bagi umat Islam, apa yang terungkap 

dalam pewahyuan adalah kehendak Allah, bukan keberadaan-

Nya. Kehendak-Nya ini disampaikan dalam bahasa manusia, 

yakni bahasa Arab.

Nabi melihat dirinya sendiri terpisah dengan wahyu itu 

sendiri dan menggambarkan pengalaman ‘melihat’ malaikat 

Jibril, ‘mendengar’ suara dan memahami apa yang dikatakan. 

Tradisi umat Islam mengatakan bahwa Nabi cukup jelas dengan 

pandangannya bahwa dia menerima isi wahyu dari sumber 

eksternal di luar dirinya. Dia selalu mengatakan bahwa dia tidak 

memiliki pengaruh apapun pada isi wahyu.

Kandungan isi wahyu ini kemudian dikenal sebagai al-Qur'an. 

Pandangan umat Islam tentang wahyu menegaskan pentingnya 

kandungan linguistiknya, yang dibedakan dari pengalaman 

pewahyuan. Oleh karena itu, wahyu identik dengan al-Qur'an, 

yang kata-katanya diyakini langsung setara dengan pesan verbal 

yang diberikan kepada Nabi. Seorang teolog Muslim awal, 

Nasafi (w.507/1114), menggambarkan bagaimana umat Islam 

menkonseptualisasikan al-Qur'an sebagai wahyu.

Al-Qur'an adalah firman Allah, yang merupakan salah satu sifat-

Nya. Allah dengan segala sifat-Nya adalah Satu, dan dengan 

segala sifat-Nya ini  adalah abadi dan tidak bergantung, 

(sehingga firmannya-Nya itu) adalah tanpa huruf dan tanpa 

suara, tidak dipecah menjadi suku kata atau paragraf. Firman-

Nya itu bukan Dia bukan pula selain Dia. Dia menyebabkan 

Jibril mendengar firman itu sebagai suara dan huruf, karena 

Allah menciptakan suara dan huruf dan menyebabkan Jibril 

mendengarkan Firman-Nya melalui suara dan huruf itu. Jibril, 

semoga kedamaian atasnya, menghafalnya, menyimpannya 

(di dalam pikirannya) dan kemudian disampaikan kepada 

Nabi, semoga kedamaian dilimpahkan kepadanya, dengan 

menurunkan wahyu dan pesan, yang tidak sama caranya 

seperti menurunkan benda jasmani dan berbentuk. Jibril 

membacakannya kepada Nabi, semoga kedamaian atasnya, 

Nabi menghafalnya, menyimpannnya dalam pikirannya, 

dan kemudian menceritakan apa yang dihafalnya itu kepada 

temannya dan kepada pengikut-pengikutnya.2

Al-Qur'an dalam bahasa Arab merupakan pusat keimanan kaum 

Muslim. Kata-katanya dianggap bersifat ilahiah. Percaya pada 

al-Qur'an sebagai salah satu wahyu Tuhan merupakan perangkat 

dasar keimananan. Kata-kata al-Qur'an dihafal dan diucapkan. 

Membaca al-Qur'an dalam bahasa Arab diyakini memungkinkan 

pembacanya, dalam pengertian tertentu, berkomunikasi secara 

langsung dengan Tuhan, dan oleh karena itu, merasakan 

pengalaman wahyu itu sendiri.

Penting untuk membandingkan pandangan umat Islam 

ini dengan keyakinan agama lain, terutama keyakinan agama 

yang juga memiliki kitab suci, seperti Yudaisme dan Kristen. 

Encyclopedia of Judaism3 menyatakan bahwa ‘seruan penting 

kitab Yahudi’ adalah bahwa ‘Tuhan mengungkapkan dirinya dan 

menginginkan untuk diketahui oleh manusia’,4 dan kebanyakan 

orang Yahudi percaya bahwa Tuhan menyingkapkan diri-Nya 

melalui perbuatan-Nya dan Firman-Nya, yang dikomunikasikan 

melalui Nabi. Gagasan Yahudi tentang wahyu melalui kenabian 

itu digambarkan sebagai berikut: ‘Dia (Tuhan) berbicara melalui 

mulut-mulut mereka ... saat  mereka berbicara “Ini Aku, Yahweh, 

yang berbicara”.’5 Cara lain untuk melihat wahyu dari perspektif 

Yahudi adalah bahwa:

bukti kehadiran (Tuhan), intuisi perhatian dan keinginan-Nya 

untuk menjalin relasi, pengetahuan tentang sifat-sifat-Nya, 

dan di atas segalanya, kehendak-Nya: rencana-Nya, tujuan 

dan maksud-Nya terhadap setiap individu, bangsa dan umat 

manusia.6

Beberapa cabang yang signifikan dari Yudaisme, seperti reformasi 

Yudaisme, yang dimulai pada abad ke-19 Jerman,7 memilih 

untuk tidak menerima penjelasan-penjelasan supranatural, dan 

lebih mempercayai ide bahwa ‘komunikasi Tuhan yang berupa 

perintah-perintah khusus kepada manusia merupakan keajaiban 

belaka dan harus ditolak’.8

Pandangan yang dominan dari umat Kristiani mengenai 

wahyu berbeda dengan Yudaisme dan Islam, terutama karena 

peran penting Yesus dalam agama Kristen. Pemahaman umat 

Kristiani mengenai wahyu adalah ‘komunikasi diri Tuhan sendiri 

di dalam dan melalui Yesus Kristus’, yang digambarkan sebagai 

yang tertinggi dan tidak tertandingi.9 Meskipun Perjanjian Lama 

dipandang sebagai ‘perangkat wahyu’, namun diyakini bahwa 

‘anak laki-laki saja (Yesus) yang mengetahui Sang Bapa (Allah), 

dan di dalam dirinya Sang Bapa dibuat dapat terlihat dan dapat 

dipahami (Jn. 1:14, 1 Jn. 1:1)’.10 Wahyu dipandang sebagai 

‘pembuka selubung rencana ketuhanan, yang dengannya Tuhan 

berdamai dengan umat manusia terhadap dirinya dalam Kristus.’ 

Banyak pendapat yang muncul dalam tradisi Kristen, terkait 

apakah Injil merupakan firman langsung dari Tuhan.

Beberapa penulis telah mengulas bahwa mungkin lebih 

akurat untuk membandingkan kedudukan al-Qur'an bukan 

dengan al-Kitab, tetapi dengan pribadi Yesus Kristus sendiri.11 

Membaca wahyu berbahasa Arab dalam bentuk linguistiknya, 

dapat dibandingkan dengan mengambil bagian dalam sakremen 

Ekaristi dalam tradisi kekristenan. Dengan mengucapkan kata-

kata yang sangat diyakini telah ‘diucapkan’ oleh Tuhan, umat 

Islam percaya, dalam pengertian percaya bahwa mereka sedang 

berpartisipasi secara langsung dalam kata-kata Illahi, dengan cara 

yang agak mirip bahwa roti dan anggur Ekaristi memungkinkan 

orang Kristen untuk mengambil bagian dalam hakikat Illahi dari 

tubuh Kristus. Pandangan di atas memberitahu kita tentang 

sesuatu bagaimana tiga agama [Yahudi, Kristen dan Islam] 

memahami wahyu.

Bentuk Wahyu dalam Konteks Islam

Umat Islam percaya bahwa Allah telah berfirman kepada 

mahluk-Nya dari awal waktu. Tidak hanya diyakini bahwa Ia telah 

berkomunikasi kepada Nabi Musa dan Muhammad, tetapi juga 

kepada para Nabi seperti Nuh, Ibrahim, Zakaria dan Isa. Allah 

juga berbicara kepada para malaikat dan bahkan Iblis (syaitan).

Al-Qur'an menjelaskan tiga bentuk komunikasi Allah dengan 

manusia: ‘Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah 

berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu 

atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan 

(malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya 

apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi 

Maha Bijaksana’.12 Bentuk pertama, melalui wahyu, melibatkan 

komunikasi langsung dari Tuhan kepada si penerima. Dalam 

hal ini, penerima memahami komunikasi ini tanpa mendengar 

suara apapun atau melakukan kontak dengan seorang utusan 

(yaitu, Malaikat).

Ayat di atas menyebutkan bentuk komunikasi kedua yakni ‘dari 

balik tabir’, dan mengacu pada skenario di mana Allah berfirman 

kepada seseorang secara langsung dengan menggunakan kata-

kata, tetapi pendengar tidak melihat Dia. Salah satu contoh 

terbaik dari kejadian semacam ini adalah wahyu kepada Musa. 

Al-Qur'an memberitahu kepada kita, bahwa Musa memohon 

kepada Allah untuk mengungkapkan atau menunjukkan diri-Nya 

kepada Musa, kemudian Allah membalasnya: ‘Kamu sekali-kali 

tidak sanggup melihat Aku, tetapi lihatlah ke bukit itu, maka 

jika ia tetap di tempatnya (sebagaimana sediakala) niscaya kamu 

dapat melihat-Ku.13 Namun, tentu saja, baik gunung maupun 

Musa tidak mampu berdiri kokoh.

Beberapa sarjana Muslim percaya bahwa bentuk ketiga, 

yakni melalui seorang utusan, adalah bentuk pewahyuan yang 


paling pasti dan paling jelas. Ini juga metode yang dengannya 

umat Islam percaya bahwa Nabi Muhammad menerima al-Qur'an 

seluruhnya. Metode ini melibatkan utusan –diyakini sebagai 

malaikat Jibril– yang membawa firman Allah kepada seorang 

Nabi. Jibril diyakini telah mentransmisikan wahyu dalam 

bentuk yang dapat dipahami Nabi –dalam bahasa Arab.14 Hal 

ini ditegaskan kembali melalui beberapa ayat al-Qur'an seperti: 

‘Sesungguhnya Kami menurunkanya berupa al-Qur'an dengan 

berbahasa Arab, agar kamu memahaminya’.15 Lebih umum, 

al-Qur'an menyatakan bahwa: ‘Kami tidak mengutus seorang 

rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat 

menjelaskan kepada mereka’.16

Pandangan bahwa al-Qur'an ditransmisikan dalam format 

linguistiknya juga didukung oleh konsep dan istilah tertentu di 

dalam al-Qur'an sendiri. Misalnya, al-Qur'an menyatakan bahwa 

al-Qur'an dituliskan pada sebuah ‘Lembaran yang Dipelihara’ 

(al-lauh al-mahfuzh) di surga.17 Teolog Muslim berkeyakinan 

bahwa wahyu berasal dari Allah pada permulaannya, kemudian 

diturunkan pada Lembaran ini , dan dari sana malaikat 

Jibril membawanya kepada Nabi. Penting untuk dicatat, bahwa 

al-Qur'an menggunakan kata nazala (turun), dan beberapa 

derivasinya, seperti tanzil (sesuatu yang diturunkan atau 

disampaikan), untuk menyebut penurunan wahyu al-Qur'an. 

Implikasi dari kata ‘turun’ atau yang ‘diturunkan’ ini penting 

untuk dipahami, yang tidak sepenuhnya mampu dicakup hanya 

dengan istilah ‘wahyu’ atau ‘revelation’ dalam bahasa Inggris. 

Istilah dan konsep dari al-Qur'an ini membentuk bagian integral 

dari keyakinan umat Islam bahwa al-Qur'an dan kata-kata di 

dalamnya itu diturunkan secara harfiah (verbatim) dari Allah 

kepada Nabi Muhammad.

Pengalaman Nabi Muhammad tentang Wahyu

Menurut pandangan Muslim tentang peristiwa penerimaan 

wahyu pertama kali oleh Nabi Muhammad, Nabi bertemu dengan 

malaikat Jibril saat mengasingkan diri ke gua Hira (sebuah gua 

dekat Makkah), saat dia berumur 40 tahun. Sebelum ini diyakini 

bahwa Nabi Muhammad telah mulai memiliki serangkaian firasat 

dan mimpi yang nyata. Pada pewahyuan yang pertama kali di gua, 

diceritakan bahwa Muhammad merasakan kehadiran tertentu, 

lalu kemudian melihat malaikat dalam bentuk seorang manusia, 

yang menyuruhnya untuk membaca (iqro’). saat  Muhammad 

menjawab bahwa ia bukan seorang yang bisa membaca, kemudian 

malaikat mendekapnya dengan rapat sekali sehingga dia berpikir 

bahwa ia akan mati. Perintah untuk membaca diulang sebanyak 

tiga kali. Akhirnya, malaikat Jibril mulai membacakan apa yang 

sekarang kita kenal sebagai lima ayat pertama dari surat ke-96 

al-Qur'an:18

Bacalah! dengan nama Tuhanmu yang menciptakan: Dia 

telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! 

dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang mengajar dengan 

kalam, Dia mengajar manusia sesuatu yang tidak diketahui.

Pengalaman ini bukan pengalaman yang mudah bagi Muhammad. 

Setelah itu, dia segera kembali ke rumah dan mencari kenyamanan 

dari istrinya, Khadijah. Muhammad tidak cukup yakin terhadap 

pengalaman itu, dan apakah yang ia terima adalah wahyu dari 

Allah. Secara perlahan Muhammad pun akhirnya menyadari 

besarnya tanggung jawab yang dia terima, dan bahwa dia memang 

menerima wahyu dari Allah.

Muhammad mulai menerima wahyu pada tahun 610 

Masehi selama 22 tahun sampai meninggalnya, pada 11/623. 

Pengalamannya mengenai wahyu dijelaskan dalam beberapa 

hadist, seperti hadist berikut ini, yang diriwayatkan oleh istrinya 

Aisyah (w.58/678):

Al-Harits bin Hisyam bertanya kepada Nabi: ‘Ya Rasulullah! 

Bagaimana wahyu ini diungkapkan kepada Anda? “Rasulullah 

menjawab: kadang-kadang (diungkapkan) seperti bunyi bel, 

bentuk wahyu ini adalah wahyu yang paling sulit dari semua 

keadaan, dan saat  kejadian ini berlalu, saya ingat apa yang 

dinyatakan. Terkadang malaikat datang dalam bentuk seorang 

laki-laki, kemudian mengamanatkan saya dan saya ingat apa 

yang dikatakannya.’20

Beberapa kalangan Muslim percaya bahwa Nabi Muhammad 

selalu menerima wahyu melalui malaikat Jibril. Namun, beberapa 

sarjana yang lain, seperti Fazlur Rahman (w.1988), telah 

mempertanyakan pandangan ini dan mengajukan pandangannya 

bahwa Nabi Muhammad tidak selalu menerima wahyu dari 

malaikat Jibril sebagai pihak eksternal, namun wahyu sering 

datang kepadanya secara internal.21

Beberapa Sebutan untuk Muhammad Versi Umat 

Islam

Nabi Muhammad - Rasullah - Rasul Allah - Nabi - Rasul

saat  umat Islam merujuk menyebut Muhammad, mereka 

sering mengucapkan berkah atau mengiringi dengan do’a setelah 

penyebutan namanya: ‘‘Alaihi Salam’ atau ‘Shollahu ‘alaihi wa 

Sallam’. Umat Islam menganggap tidak pantas untuk menunjuk 

pada Nabi hanya dengan namanya, tanpa mengucap berkah, 

terutama saat dilafalkan. Namun, dalam wacana akademis hal 

semacam ini umum dilakukan untuk menyederhanakan dengan 

hanya menyebutnya Muhammad atau Nabi Muhammad.

Wahyu: Firman Allah dalam Bahasa Manusia

Al-Qur'an dalam beberapa ayatnya menegaskan asal-usul 

keilahiannya, dan secara khusus menyangkal bahwa al-Qur'an 

menyertakan kata-kata atau ide-ide dari Nabi. Fazlur Rahman 

menjelaskan bahwa bukan hanya kata al-Qur'an sendiri, yang 

berarti “bacaan”, yang secara jelas menunjukkan ini, tetapi teks 

al-Qur'an sendiri menyatakan dalam beberapa ayatnya, bahwa 

al-Qur'an tidak hanya diungkapkan dalam “arti” dan “ide-idenya” 

saja, tetapi juga diungkapkan secara verbal.22 Bagaimanapun, 

bentuk yangmana firman Tuhan memanifestasikan dirinya 

adalah bahasa Arab, bahasa yang tertanam dalam kehidupan 

manusia dan konteks sosial.

Pentingnya firman Allah dalam tradisi Islam diringkas oleh 

Toshihiko Izutsu (w.1993), yang berpendapat bahwa:

Dan wahyu memiliki arti dalam Islam bahwa Allah “berfirman”, 

bahwa Dia mengungkapkan dirinya melalui bahasa .. bukan 

dalam bahasa non-manusiawi yang tidak jelas, melainkan 

dalam bahasa yang jelas, yang secara manusiawi dapat 

dipahami. Ini adalah awal dan fakta yang paling menentukan. 

Tanpa tindakan ini dari sisi Tuhan, tidak akan ada agama yang 

benar di bumi menurut pemahaman Islam mengenai agama 

kata ini .23

Para sarjana Muslim klasik dan modern sama-sama mengetahui 

problem yang melekat dalam pandangan bahwa Allah telah 

mengungkapkan pesan Illahi dalam bahasa manusia semisal 

bahasa Arab. Para ahli telah mempertanyakan, bagaimana Firman 

Tuhan yang kekal, tetap dan terpisah-pisah dapat ditransmisikan 

melalui wahana bahasa manusia yang menyatu, dapat berubah 

dan dalam konteks yang terikat. Sebagian besar sarjana menyim-

pulkan bahwa firman Allah akan tetap sepenuhnya di luar 

pemahaman kita, kecuali jika melalui cara tertentu, firman Allah 

ini dinyatakan dalam bentuk yang bisa kita pahami. Teolog dan 

mistikus abad ke-12 al-Ghazali (w. 505/1111) menulis:

Dia (Allah) mengungkapkan sifat itu (berbicara) dalam bentuk 

manusia dan kata-kata kepada umat manusia. Jika kemuliaan 

dan keunggulan firman Allah tidak dibuat dalam bingkai kata-

kata agar bisa dimengerti, maka Surga dan bumi tidak akan 

kuat dengan firman-Nya (dalam bentuk aslinya) dan segala 

sesuatu di antara mereka akan hancur berkeping-keping.

Beberapa ahli menekankan perbedaan antara hakikat wahyu 

sebagai ‘firman’ Allah, yang merupakan sebuah misteri teologis 

yang tidak sepenuhnya dapat dipahami oleh manusia, dan sebagai 

sesuatu yang tampak kepada kita dalam bahasa manusia yang 

dapat dipahami. Seperti yang Izutsu katakan:

Sejauh sebagai firman Allah, wahyu adalah sesuatu yang 

misterius dan tidak ada persamaan dengan perilaku bahasa 

manusia biasa, [tetapi] sejauh ini adalah firman Allah, ini pasti 

memiliki semua sifat penting dari bahasa manusia. Bahkan 

al-Qur'an juga menggunakan kata lain dalam mengacu kepada 

Wahyu . . . umumnya diterapkan pada kata yang biasa atau 

umum: kalimah yang berarti ‘kata’, misalnya ada  dalam 

surat As-Syura.25

Mengeksplorasi hakikat firman Allah pada tingkat yang tidak 

terlihat (ghaib) mirip dengan mencoba untuk memahami alam 

akhirat. Meskipun ada banyak deskripsi mengenai akhirat, 

khususnya dalam kaitannya dengan surga dan neraka, dalam 

al-Qur'an, umat Islam mengikuti perkataan Nabi di dalam 

mendesripsikan tentang akhirat ini : ‘(apa yang ada dalam 

surga adalah) apa yang mata belum pernah melihatnya, telinga 

belum mendengarnya, dan yang belum dibayangkan oleh hati’.26 

Perkataan ini mengandung gagasan bahwa, seperti firman 

Allah, deskripsi mengenai akhirat terbatas oleh bahasa yang 

didasarkan pada pengalaman manusia. Deskripsi semacam ini 

memungkinkan pengikutnya untuk memahami, dalam arti 

mengira-ira, apa yang pada dasarnya berada di luar pengalaman 

dan imajinasi manusia.

Para teolog Muslim telah memperdebatkan tanpa henti 

tentang apakah al-Qur'an ‘diciptakan’ seperti halnya makhluk 

yang lain yang ada di dunia. Alasan perdebatan ini sangat 

kompleks dan berhubungan dengan diskusi teologis tentang 

hakikat Allah dan sifat-sifat-Nya. Jika al-Qur'an adalah firman 

Allah dan ‘berfirman’ adalah sebuah sifat, maka al-Qur'an 

dikaitkan dengan Allah sebagai sebuah sifat. Jika memang 

demikian halnya, maka al-Qur'an, sebagai sifat Allah, haruslah 

kekal tanpa awal dan akhir.

Dari dua posisi utama pada masalah ini, aliran teologi al-

Asy’ariyah27 percaya bahwa al-Qur'an adalah firman Allah, dan, 

sebagai perkataan Illahi, ‘tidak diciptakan’, yakni, kekal dengan 

Allah. Sementara itu, aliran teologi Mu’tazilah,28 yang saat ini 

sebagian besar telah hilang, menegaskan bahwa tidak akan 

mungkin ada entitas yang kekal selain Allah, dan karena itu, 

al-Qur'an pasti ‘diciptakan’.29 Perbedaan antara dua perspektif 

ini hampir tidak kentara. Misalnya mereka sepakat bahwa al-

Qur'an memiliki beberapa tingkat eksistensi. Posisi al-Asy’ariyah 

berpendapat bahwa hanya roh dan makna al-Qur'an yang tidak 

‘diciptakan’, sementara kedua aliran sepakat bahwa ‘bahasa 

dan ucapan’ dan ‘huruf dan tulisan’ al-Qur'an diciptakan. Ada 

pandangan ketiga yang dikenal sebagai kaum tradisionalis,30 yang 

tidak terlalu banyak terlibat dalam perdebatan teologis, yang 

kritis terhadap perspektif Mu’tazilah maupun al-Asy’ariyah. Para 

pendukung pandangan ini berpendapat bahwa umat Islam tidak 

seharusnya membahas apakah al-Qur'an ‘diciptakan’ karena hal 

ini tidak disebutkan dalam al-Qur'an, oleh Nabi atau sahabatnya.31 

Ringkasan singkat ini merupakan penyederhanaan dari sebuah 

kumpulan pendapat atau argumen teologis yang kompleks, yang 

tidak dapat sepenuhnya dieksplorasi di sini.

Al-Qur'an sebagai Wahyu Ilahi yang Murni

Al-Qur'an menyangkal bahwa al-Qur'an berisi perkataan atau 

ide-ide Nabi atau manusia lainnya. Al-Qur'an juga menegaskan 

bahwa wahyu, dalam bentuk bahasa Arab terakhirnya, datang 

langsung dari Allah, tanpa adanya kemungkinan tentang 

kesalahan yang disebabkan manusia atau ketidakakuratan. 

Misalnya, al-Qur'an menyatakan: 

Tidak mungkin al-Qur'an ini dibuat-buat oleh selain Allah; 

tetapi (al-Qur'an) membenarkan Kitab-kitab sebelumnya dan 

menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak 

ada keraguan di dalamnya (diturunkan) dari Tuhan seluruh 

alam. Apakah pantas mereka mengatakan dia (Muhammad) 

yang telah membuatnya? Katakanlah, “buatlah sebuah surah 

yang semisal dengan surah al-Qur'an, dan ajaklah siapa saja di 

antara kamu orang yang mampu (membuatnya) selain Allah, 

jika kamu orang-orang yang benar.32

Seiring dengan tantangan semacam itu, al-Qur'an juga berpen-

dapat bahwa seandainya al-Qur'an berasal dari sumber selain 

Allah, mereka akan menemukan banyak kontradiksi dan 

inkonsistensi di dalamnya.33 Terkait dengan hal ini adalah bahwa 

tidak ada hubungannya Nabi dengan sumber wahyu. Fakta ini 

ditunjukkan dalam al-Qur'an sendiri dan juga sering ditekankan 

oleh Nabi. Seperti yang Fazlur Rahman katakan: “Nabi sendiri 

selalu sadar bahwa kenabiannya bukan buatan sendiri dan bahkan 

kapasitas alamiahnya tidak mampu menghasilkan wahyu, yang 

semata-mata merupakan rahmat Allah.”34 Menurut Rahman, 

keterpisahan ini lebih lanjut diilustrasikan dengan contoh di 

mana al-Qur'an diberikan kepada Nabi secara langsung. Misalnya, 

Nabi disindir dalam al-Qur'an karena menggerakkan lidahnya 

saat  menghadapi wahyu yang diterimanya dari Allah:

Jangan engkau (Muhammad) gerakkan lidahmu (untuk 

membaca al-Qur'an) karena hendak cepat-cepat (menguasai)

nya. Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di 

dadamu) dan membacakannya. Apabila Kami telah selesai 

membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian 

sesungguhnya Kami yang akan menjelaskannnya.35

Kata-kata yang Diucapkan dan Ditulis

Di banyak tempat, al-Qur'an menyebut dirinya sendiri 

sebagai kata yang diucapkan, menunjukkan bahwa dari sudut 

pandang al-Qur'an, pertama-tama dan paling utama, al-Qur'an 

adalah kata ‘yang diucapkan’ Allah. Menurut Izutsu:

Jadi, tidak mengherankan, jika Islam telah memulai dari 

awal kesadaran bahasa. Islam muncul saat  Allah berfirman. 

Seluruh budaya Islam dimulai dengan fakta historis bahwa 

manusia ditunjukkan oleh Allah melalui bahasa yangmana 

dengannya manusia itu sendiri berbicara. Masalah ini tidak 

sesederhana bahwa Allah ‘mengirimkan’ sebuah kitab suci. 

Artinya utamanya adalah, bahwa Allah ‘bebicara’. Dan inilah 

makna yang tepat dari wahyu. Wahyu pada dasarnya adalah 

sebuah konsep linguistik.36

Di samping penekanan pada kata yang diucapkan sebagaimana 

dalam al-Qur'an ini, ada juga beberapa ayat al-Qur'an yang 

menyatakan bahwa al-Qur'an merupakan tulisan atau kata-

kata tertulis. Misalnya, ayat pertama yang diwahyukan kepada 

Nabi menyebutkan keterkaitan antara wahyu dengan ‘pena’.37 

Al-Qur'an juga menggunakan istilah kata-kata tertulis yang 

konotasinya merujuk pada wahyu sebelumnya, termasuk kitab 

suci, halaman38 atau shahifah39. Dalam banyak kasus, al-Qur'an 

merujuk kepada wahyu yang diberikan kepada Musa,40 Isa41 dan 

keturunan Ibrahim42 dan menyebutnya sebagai kitab suci dari 

Allah atau kitab suci yang sederhana. Istilah ‘Ahli Kitab’ juga 

dipakai  dalam al-Qur'an untuk menyebut pengikut wahyu 

ini, seperti Yahudi dan Kristen.

Berdasarkan apa yang dikatakan al-Qur'an tentang dirinya 

sendiri itu, kita bisa berpendapat bahwa bahkan sebelum Nabi 

Muhammad wafat, al-Qur'an datang untuk dipahami sebagai 

sebuah kitab suci yang ditulis, meskipun seluruh isi al-Qur'an 

baru disusun sebagai dokumen tertulis secara utuh setelah 

wafatnya Nabi.

Wahyu dan Interpretasi 

Sarjana Muslim klasik melihat wahyu sebagai komunikasi 

firman Allah, dan tidak menganggap bahwa Nabi Muhammad, 

atau warga nya, dapat mengambil peran dalam wahyu. 

Namun ulama modern, termasuk Fazlur Rahman, Nasr Hamid 

Abu Zaid, Farid Esack dan Ebrahim Moosa,43 telah mulai 

mengembangkan sedikit pemahaman yang berbeda mengenai ide 

tentang wahyu, yang meliputi peran ‘kepribadian religius’ Nabi 

Muhammad dan warga nya dalam peristiwa pewahyuan. 

Pemahaman ini ada hubungannya dengan interpretasi al-Qur'an. 

Fazlur Rahman mengatakan:

Al-Qur'an sendiri secara pasti memelihara ‘keberlainan’ 

(otherness), ‘objektivitas’ (objectivity) dan karakter verbal 

wahyu, namun juga sekaligus secara pasti menolak ekster-

nalitasnya itu berlawanan dengan Muhammad ... Tetapi 

orto doksi (semua pemikiran pada abad pertengahan) 

kurang memiliki perangkat intelektual yang penting untuk 

mengkombinasikan ke dalam formulasi dogma, ‘keberlainan’ 

dan karakter verbal wahyu ini , di satu sisi, dan hubungan 

yang mendalam dengan karya dan kepribadian religius Nabi, 

di sisi yang lain, artinya, ortodoksi kurang memiliki kapasitas 

intelektual untuk menyatakan bahwa al-Qur'an sepenuhnya 

merupakan firman Allah dan, dalam pengertian yang biasa, 

juga seluruhnya merupakan perkataan Muhammad.44

Di sini Rahman tidak berpendapat bahwa al-Qur'an merupakan 

perkataan dan karya Nabi Muhammad, melainkan ingin 

menegaskan adanya hubungan yang erat antara al-Qur'an sebagai 

firman Allah, Muhammad, dan misi-misinya serta konteks 

sosial-historis dimana al-Qur'an itu diturunkan.45 Pandangan ini 

menghendaki bahwa, jika ada hubungan yang lebih erat antara al-

Qur'an dan Nabi serta komunitasnya, maka akan memungkinkan 

interpretasi yang lebih bebas mengenai al-Qur'an, dan yang 

mempertimbangkan konteks sosio-historis.

Mendekati pemahaman mengenai wahyu melalui cara ini 

mungkin sangat bermanfaat. Penting untuk diingat, bahwa 

bagaimanapun, pemahaman klasik tentang wahyu pun, yang 

tidak mempertimbangkan analisis terhadap peran Nabi dalam 

pewahyuan, masih membolehkan interpretasi teks al-Qur'an 

terjadi. Beberapa sarjana lebih suka membatasi upaya mereka 

dengan berpegang pada petunjuk yang dised