Makna Ahl Al- Kitab

Makna Ahl Al- Kitab


  

 


Interpretasi Makna Ahl Al- Kitab dalam Pandangan Alquran 

Al-Qur’an bagaikan sumber mata air, terpancar darinya air yang 

melimpah. Semua mengambil manfaat dari air ini . Para ulama dari dulu 

hingga sekarang mengambil dari al-Qur’an  berbagai bidang disiplin ilmu. Ahli 

fiqih mengambil intisari dari hukum-hukum yang berasal dari al-Qur’an  

kemudian diterapkan kepada umat Islam. Begitu juga dengan pakar bahasa yang 

menjadikan al-Qur’an sebagai literatur utama dalam bidang bahasa. Semua yang 

bersumber dari al-Qur’an  yang meliputi hukum, permisalan (amthal), kisah kisah 

umat terdahulu, nasehat, hikmah dan lainnya bisa diambil dan dimanfaatkan. 

Seluruh ajaran Islam pada prinsipnya telah tertuang dalam kitab suci ini. Isinya 

yang sangat universal sesuai dengan zaman dan makan. Sebagai petunjuk, 

keberadaanya perlu diahayati, direnungkan serta menyerap informasi atau nilai-

nilai luhur didalamnya. Sebab, kebenaran petunjuknya dijamin oleh Allah Swt.  

Namun demikian, untuk mendapatkan pemahaman yang tepat tidak seperti 

memahami kitab atau buku selainnya. untuk itu, diperlukan metode-metode atau 

disiplin ilmu tertentu yang relevan, sehingga apa yang terkandung dalam al-

 

 

Qur’an dapat terserap dengan baik. Para ulama kemudian mengambil manfaat dari 

al-Qur’an agar bisa dipelajari bagi generasi selanjutnya. Seperti halnya makna ahl 

al-kitab yang terdapat dalam Al-Quran. Penelitian ini memakai  metode 

analisis-deskriptif yang di dalamnya memuat analisa terhadap makna ahl al kitab 

dalam Al-Qur’an. Dengan demikian dalam penelitian ini menghasilkan sebuah 

pandangan kritis terkait interpretasi ahl al-kitab dalam Al-Qur’an.  

 

Pengertian Ahl al-Kitab 

Al-Qur’an yaitu  kitab suci umat Islam yang diturunkan oleh Allah 

kepada Nabi Muhammad dengan melibatkan Malaikat Jibril sebagai penyampai. 

Sebagai sebuah wahyu, al-Qur’an merupakan media komunikasi antara Allah dan 

Nabi (umat-Nya). Wahyu sebagai bentuk komunikasi antara Tuhan dan manusia 

tidaklah dapat terjadi tanpa melibatkan suatu sistem kebahasaan tertentu.1 

Sebagaimana telah dijelaskan sendiri oleh al-Qur’an bahwa ia memakai  

Bahasa Arab sebagai bahasa pengantar. Bahasa Arab layaknya teks bahasa-bahasa 

lain yang ada di dunia ini, tidak tertutup untuk sebuah analisis. Begitu juga 

Bahasa Arab yang ada dalam al-Qur’an.2 

Secara kebahasaan, ahl al-Kitab terbentuk dari dua kalimat ahl dan al-

Kitab yang menyatu membentuk struktur kalimat mudhof mudhof ilaih. Kata ahl 

dalam istilah Arab diartikan dengan orang yang berdiam bersama-sama di satu 

tempat, senang, ramah, pantas, dan hubungan kedekatan.3 Kata ini  kemudian 

digunakan untuk menunjukkan sebuah kedekatan atau hubungan khusus sehingga 

menjadi sebuah satu kesatuan. Dalam Bahasa Arab, keluarga sering digunakan 

dengan kata ahl sebab setiap pribadi yang terlibat di dalamnya terikat dengan 

                                                             

 

 

hubungan kekeluargaan. Demikian pula dengan komunitas yang mendiami satu 

tempat tertenut disebut ahl karena didasari ikatan geografis. Bahkan terkadang 

kata ahl digunakan untuk menunjuk sebuah ikatan idiologis (agama).  

Oleh karena al-Qur’an berbahasa Arab, maka kita harus mengetahui dan 

memahami keterkakitan bahasa yang digunakan ini  dengan sosio-linguistik 

pada saat al-Qur’an diturunkan. Sebagaimana peryataan al-Khulli, bahwa salah 

satu cara memahami isi al-Qur’an yaitu  dengan melakukan studi aspek internal 

al-Qur’an studi ini meliputi pelacakan perkembangan makna dan signifikansi 

kata-kata tertentu dalam al-Qur’an dalam bentuk tunggalnya yang kemudian 

melihat indikasi makana dalam berbagai generasi serta pengarushnya secara psio-

sosial dan peradaban umat terhadap pergeseran makna.4 

 

Dalam kitab suci al-Qur’an, kata ahl ditulis sebanyak 125 kali dengan 

bentuk variannya dan bisa ditemukan baik dalam surat-surat Makkiyah atau 

Madaniah.5 Namun demikian, makna ahl dalam beberapa ayat ini  tetap 

merujuk kepada makna dasar atau makna leksikal.6 Seperti makna kelompok 

tertentu yang diikat karena ikatan kekeluargaan,7 komunitas massa,8 atau 

mempunyai arti sebagai penganut dari sebuah ajaran.9 Begitu pula ketika al-

Qur’an menyuruh para pengikutnya untuk bertanya persoalan-persoalan 

keagamaan kepada golongan tertentu yang memiliki otoritas di bidangnya.

                                                      

 

 

Sedangkan al-Kitabberasal dari akar kata ka-ta-ba, menulis, menentukan 

atau memerintahkan.11 Adapun al-Kitabyaitu  sebuah kumpulan tulisan baik yang 

tersusun secara sistematis atau tidak. Al-Qur’an menyebut dirinya sebagai al-

Kitabsebab di dalamnya terkumpul beberapa hal. Selain itu, penyebutan al-kitab 

mengindikasikan bahwa al-Qur’an akan dikumpulkan menjadi sebuah kitab suci. 

Al-Kitabberikut segala varian perubahan kalimat, termaktub dalam al-Qur’an 

sebanyak 319 serta tersebar di beberapa surat.12  

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terminologi ahl al-

Kitabyaitu  sekempulan orang yang memiliki kitab suci yang diwahyukan oleh 

Allah dan utusan-Nya. Batasan-batasan siapakah kelompok atau orang ini  

akan dijelaskan lebih jauh di bagian selanjutnya.  

 

Penyebutan Kata “Ahl Al-Kitab”  Dalam al-Qur’an 

Al-Qur’an yaitu  kitab suci umat Islam yang dibawa oleh Nabi 

Muhammad dan pada saat yang sama ia merupakan mukjizat kenabian. Kelahiran 

Islam dan diutusnya Nabi Muhammad merupakan penyempurna dari agama-

agama terdahulu, sehingga kitab suci al-Qur’an mengandung cerita atau diskripsi 

umat pra-Islam agar umat Islam mampu menempatkan dirinya di jalan yang 

benar. Di antara banyak komunitas yang diungkapkan oleh al-Qur’an yaitu  ahl 

al-kita>b.  

Untuk mendapatkan penjelasan secara komprehensif tentang penyebutan 

ahl al-Kitabdalam al-Qur’an, langkah awal yang harus dilakukan oleh seorang 

peneliti yaitu  mengumpulkan semua ayat yang menyebut ahl al-kita>b,13 untuk 

dilakukan kajian serta menemukan waltanchoung al-Qur’an tentang ahl al-kita>b.  

Terdapat 31 ayat yang menyebut secara langsung ahl al-Kitabdalam 9 

surat. Dari 9 surat, hanya 1 surat yang termasuk katagori surat Makkiyah. Adapun 

                                                 

 

selebihnya yaitu  surat-surat Madaniah. Indikasi awal ini menunjuk bahwa 

komunikasi langsung atau tidak langsung dengan ahl al-Kitablebih banyak 

dilakukan oleh Nabi Muhammad di Madinah daripada di Makkah. Yang demikian 

merupakan sebuah kewajaran, sebab Nabi Muhammad membangun peradaban 

baru di kota Madinah yang multi etnik dan agama. Keadaan sosio-cultural 

masyarakat Madinah memperkuat argumentasi itu. Yaitu struktur masyarakat 

Madinah yang terdiri dari berbagai macam suku keturunan Najran, Qoynuqo’ dan 

Nadhir.  

Penyebutan ahl al-Kitabyang termasuk katagori ayat Makkiyah termaktub 

dalam surat al-‘Ankabu>t ayat 46 :  

Kandungan ayat di atas yaitu  ketentuan untuk bersikap baik dengan 

orang-orang ahl al-Kitabselagi meraka tidak berbuat semena-mena terhadap umat 

Islam. ketika terjadi perbuatan yang demikian, maka Allah memerintahkan agar 

mengembalikan semuanya kepada keyakinan; yaitu tentang keimanan seorang 

muslim kepada Allah, yang sejatinya juga diimani oleh ahl al-kita>b.  

Berbeda dengan ayat Makkiah, terminologi ahl al-Kitabdi dalam ayat-ayat 

Madaniah memiliki berbagai macam varian, walaupun khit{a>b dari semuanya 

berkisar antara Yahudi, Nasrani, atau kedua-duanya. Penggunaan terminologi ahl 

al-Kitabyang dikhususkan kepada orang Yahudi tampak pada surat al-Baqarah 

ayat 105 yang berisi kecaman terhadap sikap buruk mereka kepada umat Islam 

yang bersumber dari ketidaksukaan atas kebaikan yang diraih oleh umat Islam. 

Contoh dari perbuatan orang Yahudi yang dikecam yaitu  usaha mereka 

menanamkan keragu-raguan di hati pemeluk agama Islam akan kebenaran agama 

ini,14 serta mengajak para mu’allaf kembali ke agama sebelumnya, kufr.15 Rasul 

mulai memberikan respon dalam rangka menyikapi gerakan-gerakan mereka yang 

mulai mengancam keimanan orang Islam. Counter movement yang dilakukan oleh 

                                                

 

Rasullah yaitu  mengusir Yahudi bani Nadhir16 serta hukuman kepada Bani 

Quraidhah17 akibat perbuatan mereka.  

Kesan negatif juga muncul dari pemaknaan ahl al-Kitabyang secara 

khusus ditujukan kepada orang-orang Nasrani, yaitu kecaman atas pengkultusan 

Nabi Isa yang melampaui batas sehingga tercipta Tuhan baru.18 Namun di sisi 

lain, tidak semua komunitas ini melakukan tindakan pengkultusan kepada Nabi 

Isa. Sebagian di antara mereka memercayai kenabian Nabi Muhammad karena 

sepadan dengan apa yang mereka yakini di dalam kitab sucinya.19 

Terminologi ahl al-Kitabyang ditujukan kepada kaum Yahudi dan Nasrani 

diungkapkan oleh al-Qur’an dengan ajakan kepada mereka untuk kembali ke 

ajaran monoteisme, disamping anjuran agar umat Islam menjalin hubungan 

harmonis dengan komunitas ini.20 Dalam penjelasan selanjutnya, al-Qur’an 

mengabarkan bahwa nabi Muhammad akan menyampaikan beberapa hal yang 

telah diselewengkan oleh kaum Yahudi dan Nasrani21 sekaligus kabar gembira 

dan peringatan.   

Ajakan ini  ternyata ditanggapi secara dingin, bahkan mereka 

mengganggap lebih unggul dibandingkan umat Islam. lebih dari itu semua, 

mereka menyebut muslim sebagai golongan yang telah menyimpang dari ajaran 

yang benar.22 Pra sangka demikian yang menyebabkan ahl al-Kitabdinyatakan 

dengan bahasa yang minor. Padahal, keutamaan akan dapat mereka raih jika 

melaksanakan kandungan dari kitab Taurat, sebagai pedoman –kitab suci— 

sebelum terutusnya Nabi Muhammad.23  

Tetapi tidak selamanya terminologi ahl al-Kitabdikesankan negatif oleh 

al-Qur’an. pada ayat ke 113 surat al-Baqarah, al-Qur’an menyebut sebagian kecil 

dari mereka yang konsisten terhadap ajaran serta mengkaji ayat-ayat Allah. Tidak 

                                        

 

sedikit pula yang meyakini Nubuwah Nabi Muhammad,24 berprilaku baik 

sehingga mereka patut dipercayai.25  

Al-Qur’an memakai  kalimat lain untuk menyebut kata ahl al-kitab, 

namun memiliki kesamaan maksud dan arti, walaupun ada beberapa perbedaan 

antar satu dan lainnya. Pertama, al-Qur’an memakai kalimat al-ladzina ataina 

hum al-kitab, orang-orang yang kami beri kitab. Kalimat ini  termaktub 

dalam al-Qur’an sebanyak 9 kali. Menurut al-Raghib al-Asfahani, penggunaan 

kata ataina> hum al-Kitabmengindikasikan proses penerimaan dari orang yang 

diberi terhadap objek pemberian.26 Dengan begitu, kesan yang muncul ketika 

kalimat ini digunakan yaitu  proses penerimaan dan keyakinan terhadap kitab 

suci yang mereka terima dari Allah. Asumsi itu mudah diterima oleh pembaca jika 

merujuk kepada ayat berikut :

Ayat di atas menjelaskan tentang penerimaan orang-orang (Yahudi dan 

Nasrani) terhadap kitab yang diturunkan kepada Mereka. Tetapi perlu diingat 

bahwa yang dimaksud di sini yaitu  mereka yang tidak menuruti hawa nafsunya 

sehingga tetap memercayai dan beriman terhadap isi al-Kitab. Sebaliknya, bila 

terjadi pengingkaran (kufr), maka mereka tidak termasuk golongan ini.  

Kesan lain yang muncul dari penggunaan al-lazina ataina hum al-

Kitabyaitu  orisinilitas doktrin dalam kitab suci mereka, tanpa ada pengaburan 

cerita atau pergantian redaksi, sehingga menerima ajaran Nabi Muhammad.28 

Keyakinan yang demikian menimbulkan ekspresi kebahagian dalam rangka 

menyambut kedatangan Nabi Muhammad,29 dan selanjutnya beriman kepada al-

Qur’an serta kitab suci sebelumnya.30  

Kalimat atainahum al-Kitab juga memiliki arti luas, tidak hanya 

komunitas Yahudi dan Nasrani seperti di awal, melainkan menunjuk kepada 

                                      

 

 

komunitas pemeluk agama serta umat Nabi terdahulu.31 Dapat disimpulkan bahwa 

atainahum al-Kitab mencakup semua komunitas pemeluk agama yang menerima 

kitab suci dari Allah sebelum diutusnya Nabi Muhammad. 

Kedua, Kalimat lain yang juga memiliki makna hampir sama dengan ahl 

al-Kitabyaitu  al-ladzina utu al-kitab, komunitas yang diberi kitab. Al-Qur’an 

menyebut kalimat tarsebut berulang-ulang kali dan jumlahnya mencapai 21. 

Secara umum, khitab dari al-ladzina utu al-Kitab yaitu  komunitas Yahudi dan 

Nasrani, meskipun dengan kandungan makna berbeda. Contoh, ayat ke 19 surat 

al-Imran dan ayat ke 4 dari surat al-Bayyinah yang menggambarkan perpecahan di 

tubuuh Yahudi dan Nasrani ke dalam dua golongan, golongan yang menerima 

ajaran Nabi Muhammad dan kelompok penentang. Begitu pula perintah Allah 

agar mereka menyampaikan sejujurnya tentang apa yang termaktub dalam kitab 

mereka, terkait Nubuhwah nabi Muhammad, namun mereka enggan 

menyampaikan kebenaran ini . Bahkan mereka memusuhi umat Islam.  

Pada saat tertentu, umat Islam diperintahkan untuk beradu fisik dengan 

gologan al-ladzi>na u>tu> al-Kitabjika mereka memperlihatkan permusuhan.32 

Perintah ini bukan berarti proses pemaksaan agar mereka menganut agama Islam, 

karena hakikatnya mereka telah mengetahui tentang kebenaran yang sejati, 

sebagaimana tertulis di dalam kitab-kitab sebelumnya. Di sisi lain, umat Islam 

juga diberi kelonggaran guna memakan hasil sesembelihan mereka, melakukan 

interaksi sosial, dan menikahi perempuan dari komunitas ini.33  

Ketiga, kalimat yang memiliki kemiripin arti dengan ahl al-Kitabyaitu  

al-ladzina utu nasyiban min al-kitab, orang-orang yang diberikan sebagian dari 

kitab, yang tertuang dalam al-Qur’an di 3 ayat. Terminologi al-ladzina utu 

nasyiban min al-Kitab lebih banyak mengarah kepada komunitas Yahudi. 

Landasan pernyataan ini  yaitu  intrepretasi dari beberapa ahli tafsir.34 

Berbeda dengan redaksi sebelumnya, kalimat al-ladzina utu nasyiban min al-

Kitab selalu mengandung kesan negatif karena perbuatan yang serba buruk, mulai 

                                                             

dari pemutar balik fakta kebenaran, dekonstruksi ajaran agama Islam, hingga 

provokasi massa agar berpaling dari Islam dengan menampilkan Islam sebagai 

Agama yang buruk.  

Oleh sebab itu, tiga ayat yang memuat al-ladzina utu nasyiban min al-

Kitab mengindikasikan adanya perintah memperhatikan gerak gerik mereka agar 

terhindar dari tipu daya dan proses destruktif yang disusun guna menghancurkan 

Islam. 

Keempat, al-ladzina yaqrauna al-Kitabmin qablika, orang-orang yang 

membaca kitab sebelum Engkau (Muhammad). Khitab dari ayat ini yaitu  nabi 

Muhammad untuk menanyakan kepada orang-orang Yahudi da Nasrani tentang 

ajaran yang diwahyukan kepada Nabi. Keadaan ini tidak lantas berarti bahwa nabi 

Muhammad meragukan wahyu yang selama ini telah diterima dari Allah, 

melainkan isyarat bahwa orang yang masih memercayai kitab Taurat dan Injil 

pasti mengamini pesan agama Islam dan Nubuwah Nabi Muhammad.  

Dengan demikian, terminologi alladzina yaqrauna al-Kitabmin qablika 

dalam al-Qur’an mengacu kepada komunitas Yahudi dan Nasrani yang masih 

memercai tentang ajaran kitab suci mereka.  

 

Pendapat Ahli Tafsir tentang makna Ahl Al-  Kitab 

Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan locus Arab yang 

mengitarinya. Terlebih al-Qur’an dengan jelas menyebut penggunaan Bahasa 

Arab sebagai bahasa resmi al-Qur’an. walaupun demikian, al-Qur’an bukan 

berarrti kitab suci orang Arab dan hanya berguna di waktu tertentu, meliankan 

kitab suci sepanjang zaman, sha>lihun li kulli zama>n wa maka>n. Arti lain, al-

Qur’an kitab suci yang melewati batas ruang dan waktu, memasuki sekat-sekat 

kehidupan manusia.  

Sahabat ‘Ali Bin Abi Talib menyatakan bahwa al-Qur’an yaitu  teks  

mati. ia akan hidup sejalan dengan proses penafsiran yang dilakukan oleh para 

pembaca. Dinamika interpretasi teks al-Qur’an merupakan proses dialektika al-

Quran dengan konteks. Pemahaman tentang sebuah konsep yang ada dalam al-

Qur’an, dalam hal ini interpretasi, tidak bersifat permanen atau absolut melainkan 

 

 

terus berkembang searah problematik dan kompleksitas kehidupan manusia. 

Disnilah kemudian peran seorang interpreter dipertaruhkan dalam 

mengkomunikasikan pesan al-Qur’an kepada seluruh manusia.  

Menurut Nasr Hamid Abu Zayd, bahwa ― ketika Allah mewahyukan 

kepada Rasulullah Saw, Allah Swt memilih bahasa tertentu sesuai dengan 

penerimanya yang pertama. Pemikihan bahasa ini tidak berangkat dari ruang yang 

kosong. Sebab, bahasa merupakan perangkat sosial yang sangat penting dalam 

menangkap dan mengorganisir dunia.35  

 

Imam al-T{abari> (w. 310 H) termasuk seorang mufassir dalam golongan 

pertama ini. menurutnya, ahl al-Kitab yaitu  pemeluk agama Yahudi dan Nasrani 

dari keturunan siapapun mereka.36 Al-Sihristani (w. 548 H) dalam kitab al-milal 

wa al-nihal menyebut ahl al-Kitabyaitu  pemeluk agama Yahudi dan Nasrani 

yang memiliki kitab. Adapun golongan Majusi yang mempunyai kitab suci serupa 

tidak termasuk dari golongan ahl al-kitab, tetapi shibh ahl al-kitab. Devinisi ini 

serupa dengan apa yang diungkapan oleh al-Tabari.     

Al-Qasimi ( w. 1914 H) mengemukakan pandangan tentang ahl al-Kitab 

ini sebagai sebuah agama yang dianut oleh orang-orang pra Islam hingga Nabi 

Muhammad diangkat sebagai seorang rosul.37 Pendapat al-Qasimi merujuk ke 

objek dakwah dari Nabi sebelum Nabi Muhammad, yaitu dakwah Nabi Musa dan 

Isa kepada Bani Israil. Teminologi ahl al-Kitab dalam pandangan al-Qasimi 

dibatasi pada periodesasi dakwah seorang nabi. Yaitu, pengangkatan Nabi 

Muhammad menjadi ambang batas akhir dari berlakunya agama Yahudi dan 

Nasrani.  

Muhammad ‘Abduh berpendapat sedikit berbeda dengan ulama lain. 

menurutnya, Yahudi, Nasrani, Dan Syabiun termasuk dalam terminologi ahl al-

kita>b. Pendapat ini  disandarkan dari ayat al-Qur’an yang menyertakan 

                                                             

 

 

kaum Sabiun bersama-sama dengan Yahudi dan Nasrani yang benar-benar 

beriman kepada Allah, hari akhir, serta berbuat baik akan mendapat pahala atas 

perbuatan yang mereka lakukan.38 

Rasyid Rido lebih luas dalam memberikan cakupan ahl al-Kitab daripada 

Muhammad Abduh dengan memasukkan golongan Hindu, Konghucu, Shinto, 

Kong Fu Tse, dan Budha.39 Analisis yang dikembangkan oleh Rasyid Rido yaitu  

realitas yang menunjukkan adanya agama-agama lain sebelum Nabi Muhammad, 

sebagaimana di daerah arab berkembang agama Yahudi dan Nasrani. Rasyid Rido 

menyandarkan pendapatnya ini kepada ayat al-Qur’an yang menyebut kuasa Allah 

mengutus seorang Rasul pada masa pra Islam untuk menyampaikan kebenaran.

Dengan demikian, bukan menjadi hal mustahil bila Allah mengutus nabi 

dan membawa kitab suci sebagai wahyu ilahi, tetapi keberadaanya tidak diekspos 

secara nyata dalam al-Qur’an. eksistensi mereka hanya terungkap di al-Qur’an 

dengan redaksi eksplisit. Dalam perkembangannya, agama-agama lain ini  

mengalami reduksi, penyimpangan, atau bahkan perubahan mendasar sehingga 

keberadaanya jauh berbeda bila dibandingkan di masa kelahiran agama-agama 

tadi.  

Penulis sependapat dengan Quraish Shihab41 dan al-Tabataba’i42 yang 

memberi batasan ahl al-Kitab pada orang-orang Yahudi dan Nasrani saja. Sebab 

terminologi ahl al-Kitab dalam al-Qur’an merujuk kepada dua kaum ini .  

Dalam sejarah perkembangan Islam, Rasullah beberapa kali mengirim 

surat kepada pemimpin-pemimpin kerajaan yang berada di semenanjung Arab. 

Misi dari surat ini  tentunya yaitu  ajakan agar bersama-sama mempercayai 

agama yang dibawa oleh Rasullah. Tetapi, ada perbedaan mendasar dalam redaksi 

yang digunakan oleh Nabi. Surat yang ditujukan kepada Hereclius dan Muqauqia 

yang notabane beragama Nasrani, diakhiri dengan ajakan untuk kembali kepada 

                                                             

 

 

kalimah sawa’, atau paling tidak mereka mengakui eksistensi umat Islam. begitu 

pula surat Rasul yang dikirim kepada raja Etiopia dan Najasi yang mengakui 

bahwa Islam memiliki kesamaan sejarah dan persambungan akidah dengan 

menyatakan bahwa nabi Isa yaitu  salah satu dari sekian banyak Nabi yang wajib 

dipercayai oleh umat Islam. adapun surat kepada Kisra Persia yang beragama 

Majusi, Rasul tidak mengajak atau mencantumkan redaksi seperti surat Beliau 

kepada Etiupia. Hal ini menunjukkan bahwa cakupan ahl al-Kitabhanya kepada 

pemeluk agama Yahudi dan Nasrani.  

 

Analisis Kontekstual Makna “Ahl Al-Kitab” 

Keunggulan dari metode tematik yaitu  pengungkapan kosep secara 

holistik yang ada dalam al-Qur’an dengan memaparkan ayat-ayat yang berkenaan 

dengan topik yang diangkat. Metode tematik telah banyak dilakukan oleh 

intelektual muslim kontemporer sebagai respon dari realitas sosial kekinian. Ide 

kontekstualisasi al-Qur’an menjadi karekteristik penafsiran kontemporer dengan 

tetap membawa spirit al-Qur’an sebagai kitab suci pembawa hidayah. Diktum 

yang berkembang di kalangan intelektual muslim modern yaitu  al-Qur’an 

merupakan kitab abadi yang diturunkan di Arab serta memakai  bahasa Arab, 

tetapi berlaku unvirsal dan melampaui ruang dan waktu kehidupan manusia.  

Dalam proses kontekstualisasi al-Qur’an, kecendrungan memakai  

disiplin ilmu lain tampak dalam analisis teks. Sebagian memakai  

hermeunitik, semantik, antropologi, dan sains modern. Kesemuanya bertujuan 

menangkap pesan suci al-Qur’an. Penulis cenderung memakai  analisis 

double movement Fazlur Rahman guna mengungkap konsep ahl al-kitab. Teori 

double movement Fazlur Rahman meniscayakan seorang mufassir harus bergerak 

dari kehidupan kekinian menuju masa lampau dimana al-Qur’an diturunkan guna 

melihat konteks sosio historis dan menemukan prinsip ideal. Dari situ kemudian 

kembali lagi pada situasi kekinian untuk melakukan kontekstualisasi atas nilai-

nilai ini .  

Agama-agama yang berkembang di dunia saat ini, setidaknya di Indonesia 

sebagai negara yang dihuni oleh penulis, dapat dikelompokkan menjadi dua arus 

 

 

agama; Islam dan Kristen. Islam mengajarkan tentang pengakuan menyeluruh –

hati, lisan, dan perbuatan— atas ketuhanan Allah dan wahyu yang dibawa oleh 

Nabi Muhammad sebagai utusan Allah. Salah satu dari sekian banyak pesan 

ini  yaitu  keesaan atau tauhid Allah. Hal ini merupakan prinsip keimanan 

yang tak tergoyahkan. Bahkan merupakan sesuatu yang harus diekspresikan 

dalam bentuk amal-amal baik sebagai bukti keberimanan seseorang. kesalehan 

individual takkan tampak manfaatnya tanpa dipraktikan dalam bentuk kesalihan 

sosial. Keseimbangan antara kesalihan individu dan sosial yang demikian akan 

menjauhkan umat Islam dari kesan negatif sebagai pemeluk agama yang 

disebarluaskan dengan kekerasan, sebagaimana yang banyak dikesankan selama 

ini. keseimbangan itu pula yang akan mengantarkan manusia pada kehidupan 

yang penuh dengan egalitereanisme, humanis dan adaptif.  

Keimanan pula tidak bersinggungan pasti atau langsung dengan tingkat 

intelektual seseorang. tetapi di sisi lain, hidayah mustahil diperoleh tanpa 

pengetahuan. Kepercayaan bahwa Allah yaitu  Tuhan Maha Esa mampu diterima 

oleh akal seseorang bila melihat kenyataan universal atas fenomena alam yang 

ada. Bahwa di balik penciptaan alam yang sedemikian ini terdapat creator tunggal 

yang berdiri sendiri, tanpa ada intervensi atau masukan dari dzat selainnya. 

Sehingga dengan demikian ia bersifat tunggal, adi kuasa, dan tidak membutuhkan 

perangkat lain untuk mengatur segala alam.  

Dengan demikian, maka sebetulnya Tauhid dan kesalihan merupakan 

prinsip dari keimanan seseorang yang akan mengantarkannya ke gerbang 

pemasrahan total dan menerima kewajiban-kewajiban agama (Iman dan Islam).   

Adapun pemahaman trinitas, sebagaimana diyakini oleh orang Kristen, 

dan menjadikan Nabi Isa sebagai tuhan yaitu  bentuk dari kultus yang berlebihan 

terhadap seorang manusia. Konsekwensi logis dari kultus berelbihan terhadap 

manusia yaitu  konsep tuhan Bapak. Pengandaian manusia yang memiliki 

keturunan, terlahirkan, dan pada akhirnya menjelma sebagai seorang Tuhan. 

Keyakinan mereka, seperti yang tampak dalam perayaan keagamaan agama 

kristen, sama dengan apa yang dilakukan oleh umat Nasrani kepada Nabi Isa.  

 

 

Al-Qur’an turun sebagai respon dan al-naqd al-ilahi terhadapa hal yang 

menyimpang dari keimanan. Seruan kembali atau kalimah sawa’ kepada ahl al-

Kitabserta pernyataan al-Qur’an bahwa antara Islam yang dibawa oleh Nabi 

muhammad memiliki ketersambungan akidah dengan kepercayaan mereka, 

mengindikasikan telah terjadi penyimpangan atau bahkan perubahan total dalam 

kepercayaan mereka. Begitupula penyebutan sebagian dari ahl al-Kitabyang 

memercayai Islam dan Nubuwah Nabi Muhammad yaitu  penjelasan al-Qur’an 

sekaligus kritik kepada orang Yahudi dan Nasrani yang ada di zaman Rasul, masa 

dimana al-Qur’an diturunkan.  

Dalam pandangan al-Qur’an, Nabi Isa yaitu  sekian dari banyak utusan 

Allah yang wajib dipercayai. Ia mengajarkan ketauhidan, amal saleh, serta 

memiliki kitab suci bernama injil sebagai wahyu dari Allah. Kenyataan setelah 

wafatnya Nabi Isa, terjadi penyimpangan, baik dalam teologi maupun kandungan 

kitab suci.  

Ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad menyeru kepada 

sekalian manusia untuk menyembah tuhan satu, yaitu Allah. Sebagai Utusan 

terakhir, ajaran Nabi muhammad berkisar pada aspek perbaikan atas 

penyimpangan agama yang dilakukan oleh umat terdahulu, penyempurnaan 

sehingga agama bersifat paripurna, dan penyampaian ajaran-ajaran baru yang 

belum diterima oleh komunitas pemeluk agama sebelumnya. Dengan demikian, 

agama-agama terdahulu terhapus dengan diangkatnya Nabi Muhammad dan 

sejatinya hal ini termaktub dalam kitab suci umat terdahulu.  

Jika yang dimaksud dengan ahl al-Kitabdalam konteks kekinian yaitu  

orang Kristen karena mereka merupakan kepanjangan dari kaum Nasrani di 

zaman Nabi Isa, maka sebetulnya umat Kristen yaitu  bagian dari mayoritas ahl 

al-Kitabyang enggan mengimani eksistensi Nabi Muhammad sebagai Nabi 

terakhir yang disinggung dalam kitab suci Injil. Keengganan ini kemungkinan 

besar dipicu  perubahan signifikan dalam kitab suci dan peribadatan 

keagamaan. Hal ini  tidak bermaksud mengenyampingkan hidayah yang 

berada di bawah otoritas Allah.  

 

 

 

Bahasa memilki peranan yang sanat penting dalam penurunan wahyu dan ajaran 

agama. Bahasa juga merupakan media yang egektif untuk memberikan 

pengetahuan pada orang lain. Oleh karena itu, ketika ingin memahami al-Qur’an, 

seseorang harus memahami bahada yang digunakan al-Qur’an serta mengethaui 

dengan jelas makna-makna yang terkandung di dalamnya sehingga didapatkan 

pengetahuan yang murni dan bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam 

kitab suci al-Qur’an, kata ahl ditulis sebanyak 125 kali dengan bentuk variannya 

dan bisa ditemukan baik dalam surat-surat Makkiyah atau Madaniah Al-Qur’an 

memandang ahl al-Kitabyaitu  Yahudi dan Nasrani yang telah diberi kitab suci 

Taurat dan Injil. Hal itu juga yang menjadi titik sepakat dari mayoritas mufassir 

sebagai interpreter teks al-Qur’an dengan mengacu pada sosio-historis umat pra 

Islam. Ada beberapa redaksi yang memiliki kesamaan dengan terminologi ahl al-

kita>b, yaitu al-ladzi>na ataina> hum al-kita>b, al-ladzi>na u>tu> al-kita>b, 

al-ladzi>na u>tu> nasyi>ban min al-kita>b, al-ladzi>na yaqrauna al-Kitabmin 

qablik. Jika melihat makna secara kontekstual, ahl al-Kitabsaat ini tercermin dari 

komunitas pemeluk agama yang telah terjadi penyimpangan di dalam kitab suci 

dan ritual keagamaan mereka, sehingga tidak mengimani Nubuwah Nabi 

Muhammad.