manusia dlm pandangan yahudi
Membincang tentang manusia merupakan suatu pembicaraan yang tidak
pernah berakhir. Pertanyaan tentang “siapakah manusia” ini dapat dijelaskan
melalui banyak aspek, dari yang praktis sampai yang filosofis. Jawaban tentang
“siapakah manusia” tergantung pada anggapan akan ada tidaknya suatu hakekat
manusia yang “sejati” atau “bawaan”. Jika ada anggapan tentang hakekat
manusia yang “sejati”, anggapan ini juga akan memunculkan perdebatan yang
panjang. Atau memang tidak ada hakekat manusia yang “esensial” seperti itu,
kecuali potensi yang dibentuk oleh lingkungan sosial, baik kekuatan-kekuatan
ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan.
Konsepsi yang berbeda-beda tentang hakekat manusia membawa
pandangan yang berbeda tentang apa yang harus kita lakukan dan bagaimana
kita melakukannya. “Apakah manusia itu sehingga Engkau sangat memerhati-
kannya…Engkau telah menciptakannya sedikit lebih rendah dari malaikat, dan
telah memahkotainya dengan kemegahan dan kehormatan,” tulis pengarang
Mazmur 8 dalam Perjanjian Lama. Alkitab melihat manusia sebagai makhluk
yang diciptakan Allah yang transenden dengan tujuan yang pasti untuk
kehidupannya. “Hakekat riil manusia yaitu keseluruhan hubungan-hubungan
sosial,” tulis Karl Marx pada pertengahan abad kesembilan belas.1
Marx menolak adanya Tuhan dan menganggap bahwa pribadi manusia
yaitu produk dari tahapan ekonomis tertentu dari warga tempat orang
itu hidup. “Manusia dihukum untuk bebas,” kata Jean-Paul Sartre, yang menulis
saat Perancis berada dalam pendudukan Jerman pada tahun 1940-an. Sartre
juga seorang ateis, tetapi ia berbeda dengan Marx dalam memandang hakekat
manusia. Bagi Sartre, setiap manusia benar-benar bebas untuk memutuskan
apa yang diinginkan dan dilakukannya. Berbeda lagi dengan para sosiobiolog2
masa kini yang memerlakukan manusia sebagai produk evolusi, dengan pola-
pola perilaku spesifik yang telah ditentukan secara biologis.
Berkenaan dengan anggapan-anggapan tentang hakekat manusia di atas,
tulisan ini akan membahas tentang manusia dalam pandangan Yahudi. Tulisan
ini dibagi dalam tiga bagian utama. Pertama, sebagai pengantar perlu dijelaskan
sekilas tentang Yahudi; kedua, menjelaskan tentang proses penciptaan manusia
dalam Yahudi; ketiga, menjelaskan dasar perilaku manusia dalam Yahudi, seperti
moralitas, penderitaan, dan umat yang terpilih. Pada bagian pertama metode
yang digunakan yaitu pendekatan historis, sedangkan pada bagian kedua
dan ketiga menggunakan pendekatan deskripsi analisis.
B. Sekilas tentang Agama Yahudi
Pembicaraan tentang agama Yahudi berarti membahas tentang Bani Is-
rael atau bangsa Yahudi. Keduanya sulit dipisahkan sebab Yahudi sebagai
agama hanya dianut oleh Bani Israel atau bangsa Yahudi. Mayoritas ahli sejarah
mencatat bahwa sejarah agama dan bangsa Yahudi bermula pada zaman Nabi
Musa. Akan tetapi, orang Yahudi telah menggambarkan sejarah bangsa mereka
berawal dari Nabi Ibrahim sebagai suatu sejarah umat manusia dan peradaban
dunia. Ibrahim dalam sejarah Israel dengan nama Abraham3 yang diyakini
sebagai salah seorang bapak bangsa Israel dan bapak semua orang yang
beriman yang melakukan perjanjian dengan Tuhan. Dia juga dikenal sebagai
bapak monoteisme sebab dalam proses pencarian spiritual, dia menemukan
aqidah tauhid. Kemudian dari keturunannya, lahir para rasul yang membawa
risalah (wahyu) dari Allah yang kemudian hari disebut agama samawi.4
Michael Keene menyatakan bahwa sejarah Yahudi dimulai dengan
Abraham yang mendengarkan panggilan Allah untuk menduduki tanah
Kanaan, Cucu Abraham, Yakub, dijanjikan untuk diberi banyak anak oleh
Allah dan dari 12 nama anak laki-lakinya itu, suku-suku bangsa Israel
memperoleh nama mereka. Sementara itu, kata Yahudi (Jew) berasal dari nama
suku Israel yang paling kuat, yaitu Yehuda (Judah).5 Masih menurut Michael
Keene, saat Musa dipanggil Allah, bangsa Israel sedang menjalani masa
perbudakan yang menguras tenaga di tangan orang-orang Mesir. Musa
mendengar suara Allah yang berbicara kepadanya dari suatu semak yang
menyala tetapi tidak terbakar dan, atas perintah-Nya, Musa pergi ke Firaun di
Mesir untuk meminta supaya bangsa Israel dibebaskan. Hanya sebab setelah
sepuluh wabah dari Allah menimpa orang-orang Mesir, maka permintaan itu
dikabulkan. Kemudian bangsa Israel menghabiskan waktu selama 40 tahun
dalam perjalanannya sebagai kaum pengembara sebelum mereka tiba di Tanah
Terjanji. Selama perjalanan mereka itu -keluaran- Allah memberikan Sepuluh
Perintah Tuhan kepada Musa di Gunung Sinai. Bangsa Yahudi juga diberi
banyak hukum yang lain untuk mengurus semua aspek kehidupan pribadi
serta warga dan hukum-hukum ini masih berpengaruh pada kehidupan
orang-orang Yahudi Ortodoks zaman sekarang.6 Untuk melihat bagaimana
identitas ke-Yahudi-an dihadapkan pada kebudayaan masa kini dapat dilihat
dari tulisan Thomas Piazza.7 Bagi orang Yahudi yang saleh, Kitab Suci
Kitab Perjanjian Lama (The Old Testament), Abraham sampai dengan umur 40 tahun
dikenal dengan nama Abram, tetapi setelah mengikat perjanjian dengan Tuhan digantilah
namanya menjadi Abraham oleh Tuhan. Perubahan ini mengandung arti “Bapa Orang
Banyak.”
merupakan pusat kehidupannya. Kitab Suci mereka ditulis dalam bahasa Ibrani,
terdiri dari 39 kitab, persis seperti Kitab Suci Perjanjian Lama orang Kristen,
hanya berbeda dalam urutannya.
Orang Yahudi menamakan Kitab Suci mereka TeNaKh dan terdiri dari
tiga bagian, yaitu Hukum atau Taurat, Nabi-nabi atau Nevi’im, dan Sastra atau
Ketuvim. Taurat, bagi orang Yahudi disepadankan dengan cetak biru (blueprint)
alam semesta, yang ada sebelum penciptaan dan sebelum manusia diciptakan.
Taurat artinya “hukum” atau “pengajaran” dan menunjuk pada keseluruhan
apa yang diketahui tentang Allah dan hubungan-Nya dengan dunia ciptaan-
Nya. Dalam pengertian yang lebih sempit, Taurat menunjuk pada lima kitab
Musa -Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan-yang terletak di
permulaan Kitab Suci. Bersamaan dengan hari Sabbath, Taurat dirayakan
sebagai pemberian Tuhan terbesar kepada orang-orang Yahudi.8
Dalam tradisi Yahudi ada delapan kitab yang diberi nama menurut nama
para nabi. Empat kitab yang pertama -Yoshua, Hakim-Hakim, Samuel I dan
II, serta Raja-Raja I dan II- biasanya mengacu pada Nabi-Nabi Terdahulu
dan kitab-kitab sejarah. Keempat kitab yang lain mengacu pada Nabi-Nabi
Terakhir -Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, dan 12 Nabi Kecil yang dianggap satu
kitab. Sebagian besar isi kitab dari Nabi-Nabi Terakhir merupakan kumpulan
khotbah yang disampaikan oleh para nabi, yang namanya menjadi nama kitab-
kitab itu, yang semuanya dikumpulkan oleh para murid mereka. Sedangkan
Sastra, bagian ketiga TeNaKh, dianggap kurang bernilai ketimbang dua jenis
kitab yang lain, walaupun kitab itu berisi Mazmur, yang secara teratur
digunakan dalam ibadat di Sinagoge.9 Proses penciptaan manusia juga
dijelaskan dalam Taurat, khususnya dalam Kitab Kejadian.
C. Penciptaan Manusia
Penjelasan-penjelasan tentang penciptaan manusia dijelaskan dalam Kitab
Kejadian dalam ayat-ayat yang membahas Penciptaan secara keseluruhan.
Sebagaimana diakui oleh Romo de Vaux, seperti dikutip oleh Maurice Bucaille,
Kitab Kejadian “dibuka dengan dua perincian mengenai penciptaan”. Adanya
dua teks ini harus diberi tekanan, sebab hal ini umumnya tidak diketahui: Teks
pertama disatukan ke dalam sebuah teks yang disusun oleh para pendeta dari
kuil Yerusalem. Teks ini berasal dari abad ke-6 SM, dan dinamakan
versi “Sakerdotal”. Teks yang lebih panjang muncul di dalam pembukaan
Kitab Kejadian dan menjadi bagian kisah panjang mengenai penciptaan langit,
bumi dan makhluk-makhluk hidup, penciptaan manusia diberi tekanan sebagai
prestasi puncak, meskipun hal itu hanya dijelaskan secara ringkas. Teks kedua
diambil dari versi Yahwis, yang berasal dari abad ke-9 atau ke-10 SM, dan
sangat pendek. Muncul segera setelah versi Sakerdotal, dan banyak membahas
penciptaan manusia.
1. Penciptaan Manusia dalam Versi Sakerdotal
Teks tentang penciptaan manusia versi Sakerdotel ada dalam ayat
24 sampai 31 seperti di bawah ini:
“Lalu Tuhan berkata: ’Biarlah kita membuat manusia dalam citra kita, sesuai
dengan kita; dan jadilah mereka menguasai ikan di laut, burung di udara, ternak,
dan segala sesuatu di atas bumi serta setiap makhluk yang melata di atas bumi.’”
“Maka Tuhan menciptakan manusia sesuai dengan citra-Nya sendiri, dalam citra
Tuhan dia menciptakannya. Dia ciptakan mereka laki-laki dan perempuan”
“Dan Tuhan merahmati mereka, dan Tuhan berkata kepada mereka, ‘suburlah
dan berkembangbiaklah, dan isilah bumi dan tundukanlah ia; dan kuasailah ikan
di laut dan burung di udara dan semua makhluk hidup yang bergerak di atas
bumi.’ Dan Tuhan berkata: ‘Lihat, Aku telah memberimu semua tanaman yang
melahirkan biji yang meliputi seluruh bumi, dan setiap pohon dengan biji di
dalam buahnya; hendaklah engkau manfaatkan semua itu sebagai makanan. Dan
pada setiap binatang di atas bumi, dan pada setiap burung di udara, dan pada
segala yang melata di atas tanah, segala yang bernafas, Aku telah memberikan
seluruh tanaman hijau sebagai makanan.’ Dan jadilah kehendak-Nya. Dan Tuhan
melihat segala yang dibuat-Nya, dan melihat bahwa hal itu bagus. Dan ada malam
dan pagi, pada hari ke enam.”
Menurut kisah dalam ayat 24 sampai 31, bumi melahirkan hewan-hewan
pada hari ke enam, dan meskipun asal-usulnya tidak dinyatakan secara jelas,
namun manusia diciptakan oleh Tuhan sesuai dengan citra-Nya sendiri pada
hari itu. Wanita juga diciptakan, meskipun tidak diberikan rincian mengenai
asal-usulnya. Untuk lebih memahami makna penciptaaan manusia dalam versi
Sakerdotal, marilah kita melihat analisis yang dibuat oleh Murice Bucaille.
Menurut Murice Bucaille, versi Sakerdotal secara bijaksana menempatkan
kemunculan manusia di atas bumi setelah kemunculan kelompok makhluk
hidup lainnya. Versi Sakerdotal membagi proses penciptaan menjadi beberapa
hari. Tidak akan ada keraguan lagi mengenai makna hari-hari, sebab untuk
setiap harinya, kita diingatkan bahwa ada malam dan siang. Kita juga diberitahu
bahwa penciptaan terjadi selama enam hari, dengan hari ke tujuh sebagai hari
istirahat, yang dikenal sebagai hari Sabbath. Ada alasan bagus untuk
beranggapan bahwa hal ini merupakan contoh suatu kisah yang ditulis dengan
tujuan untuk mendorong manusia agar menghormati ibadat agama pada hari
Sabbath, suatu aspek mendasar dalam agama Yahudi. Oleh sebab itu, kita
hendaknya melihat versi Sakerdotal terutama sebagai suatu teks yang dirancang
untuk memengaruhi ritus-ritus agama, tanpa adanya maksud untuk
mengetengahkan perisatiwa-peristiwas secara akurat dari segi sejarah.11
2. Penciptaan Manusia dalam Versi Yahwis
Teks tentang penciptaan manusia versi Yahwis ada dalam Bab 2
ayat 4b sampai 7 dan Bab 2 ayat 18 sampai 25 seperti di bawah ini:
Bab 2, ayat 4b sampai 7:
“Pada hari saat Tuhan Yahweh membuat bumi dan langit, saat tanaman
belum lagi tumbuh di atas ladang bumi dan belum ada sayur-mayur –sebab
Tuhan Yahweh belum menurunkan hujan di atas bumi, dan belum ada manusia
yang mengolah tanah; tapi kabut naik dari bumi dan mengairi seluruh permukaan
tanah dan kemudian Tuhan Yahweh menciptakan manusia dari tanah, dan
meniupkan ke dalam hidungnya nafas kehidupan; dan manusia menjadi makhluk
hidup.”
Bab 2, ayat 18 sampai 25:
“Lalu Tuhan Yahweh berkata: ‘Tidaklah baik jika manusia dibiarkan sendirian;
Aku akan membuat seorang pembantu yang sesuai dengannya.’ Maka dari tanah
Tuhan Yahweh membuat segala binatang di atas bumi dan segala burung di
udara, dan membawa mereka menemui manusia guna mendapatkan nama-nama
mereka; dan apapun yang diucapkan manusia saat memanggilnya, itulah
namanya. Manusia memberikan nama pada semua ternak, dan pada semua burung
di udara, dan pada semua binatang di atas bumi; tapi untuk manusia belum
ditemukan pembantu yang sesuai dengannya. Maka Tuhan Yahweh mendatangkan
kantuk bagi manusia, dan sementara dia tidur, Tuhan mengambil salah satu
tulang iganya dan menutupnya lagi dengan daging; dan tulang iga yang telah
diambil oleh Tuhan Yahweh dari manusia itu dibuatnya seorang wanita dan
dibawanya pada manusia itu. Maka manusia itu berkata:
‘Inilah pada akhirnya tulang dari tulang-tulangku dan daging dari daging-
dagingku; dia dinamakan Wanita, sebab dia diambil dari Laki-laki.’
‘Oleh sebab itu, seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan kawin
dengan istrinya, dan mereka menjadi satu daging. Dan laki-laki dengan istrinya
keduanya telanjang, dan tidak malu.’
Versi Yahwis mengenai penciptaan, yang muncul paling tidak tiga abad
sebelum teks Sakerdotal, memang tidak menunjuk sama sekali pada hari Sab-
bath Tuhan. Versi Yahwis dibuka dengan suatu pernyataan yang tidak sesuai
dengan pengetahuan modern mengenai sejarah bumi: tiadanya tanaman pada
waktu Tuhan menciptakan manusia. “Tuhan Yahweh belum mengizinkan hujan
turun di atas bumi dan belum ada manusia yang mengolah tanah.
Kisah ini menekankan fakta bahwa Tuhan membentuk manusia dari debu
tanah. Dengan demikian dalam hal ini bahwa asal-usul manusia dari bumi
diberi tekanan, dengan segala makna simbolis yang ditampakkan oleh asal-
usul ini. Selanjutnya, dalam ayat-ayat terakhir mengacu pada penciptaan wanita
dari suatu bagian dalam tubuh laki-laki, suatu rincian yang tidak dicatat oleh
versi Sakerdotal.
Versi Yahwis dibedakan oleh simbolismenya, sebab pengarangnya
menekankan bahwa manusia dibentuk dari tanah. Simbolisme ini ada bahkan
dalam pemilihan kata-kata. Nama orang itu, ‘Adam’, dalam kenyataannya
merupakan suatu kata benda kolektif dalam bahasa Ibrani yang berarti
’manusia’. Kata itu berasal dari kata ’adamah’ yang berarti ’tanah’, sebab
keberadaan manusia memang bergantung pada tanah. Tapi ada makna simbolis
lain, yang diulang-ulang dalam bagian-bagian lain dari Perjanjian Lama. Dalam
Ecclesiastes12 (3, 19, dan 20), kitab ini menekankan takdir atas seluruh anak
cucu Adam dan juga makhluk hidup lainnya. “...Semuanya pergi ke suatu tempat;
semuanya berasal dari debu, dan semuanya akan menjadi debu kembali.”
Kembalinya manusia ke tanah diulang lagi di dalam Mazmur 104 (ayat 29), dan
kita mendapat gagasan yang sama di dalam Kitab Ayub (15 dan 34).
sebab itu suatu makna keagamaan yang mendalam melekat dalam
renungan-renungan Perjanjian Lama mengenai takdir manusia setelah
kematiannya. Dalam Kitab Kejadian versi Yahwis hal itu dikemukakan sebagai
suatu tempat asal yang juga merupakan tempat kembali setelah mati. Konsep
yang sangat bersifat keagamaan ini tidak boleh dikacaukan dengan narasi
peristiwa-peristiwa material yang dari situ makna keagamaan yang tepat tidak
dapat diambil.13
Dalam hal ini, tepatlah kiranya, seperti dijelaskan oleh Abraham J. Heschel,
bahwa ada tiga aspek keberadaan manusia yang menjadi dasar bagi Perjanjian
Lama, yaitu:
a. Manusia diciptakan dalam citra Tuhan
b. Manusia tercipta dari debu
c. Manusia selalu menjadi perhatian Tuhan14
Dari penjelasan tentang penciptaan di atas nampak bahwa pada bab-
bab awal Kitab Kejadian, diceritakan sebuah penciptaan seluruh dunia oleh
Allah, termasuk penciptaan manusia. Pertanyaan yang langsung muncul yaitu
apakah kita harus membacanya sebagai cerita mengenai kejadian-kejadian
historis atau melihatnya sebagai mitos yang menceritakan kebenaran-kebenaran
kondisi manusia yang penting, dalam pengertian historis atau dalam
pemahaman ilmiah.
Dua kesulitan besar menyusul saat kita mencoba melihat kebenaran
literer cerita ini. Kesulitan pertama, teks ini sendiri menampakan inkonsistensi
internal sebab di dalamnya ada dua cerita (versi). Para sarjana Perjanjian
Lama menyimpulkan bahwa Kitab Kejadian ini disatukan dari dua sumber
(biasanya diberi inisial P dan J). Artinya, teks ini , apapun kepercayaan
orang terhadap inspirasi ilahi di dalamnya, tetaplah merupakan hasil dari proses
editorial manusia. Kesulitan kedua yaitu penafsiran atas teks ini berbeda-
beda dan menunjukkan inkonsistensi, berbeda dengan interpretasi yang
dihasilkan oleh kosmologi, geologi, dan biologi modern.
D. Dasar Perilaku Manusia
1. Moralitas
Manusia yaitu hewan yang berwarga . Jika dipisahkan selamanya
dari manusia lain, boleh jadi manusia sama sekali tidak akan memiliki sifat
manusiawi. Namun, hidup bersama manusia lain memerlukan kebijaksanaan
dan perhatian untuk menjaga agar hubungan satu dengan yang lain tidak menjadi
kacau. Kebutuhan akan moralitas bersumber dari kenyataan di atas.
Ungkapan bahwa “pengendalian diri secara bijaksana yang memicu
manusia dapat menjadi bebas” telah terkandung dalam Hukum Yahudi. Hukum
Yahudi ini memuat ketentuan-ketentuan ritual dan etis, namun dalam tulisan ini
hanya memusatkan perhatian pada segi etisnya. Menurut pandangan para Rabbi
Yahudi, tidak kurang dari 613 buah perintah Tuhan terkandung dalam Perjanjian
Lama yang mengatur perilaku manusia. Dalam membahas tentang moralitas
dalam Yahudi, hanya akan menelaah empat perintah dari Sepuluh Perintah Tuhan.
sebab melalui Sepuluh Perintah Tuhan ini moralitas Yahudi paling memengaruhi
dunia. Sepuluh Perintah Tuhan ini diambil oleh agama Kristen dan Islam, sebab
itu menjadi landasan moral dari sebagian penduduk dunia dewasa ini.16
Apa yang diatur dalam Sepuluh Perintah Tuhan yaitu patokan minimal
agar kehidupan manusia secara bersama dapat berlanjut terus. Dalam arti ini,
kedudukan Sepuluh Perintah Tuhan bagi tatanan sosial manusia dapat
dibandingkan dengan kedudukan bab pembukaan Kitab Kejadian tentang
tatanan alam. Seperti halnya dengan Kitab Kejadian merupakan suatu penolakan
yang mengejutkan terhadap pandangan bahwa alam fisis ini merupakan sesuatu
yang terjadi secara acak-acakan; demikian pula dengan Sepuluh Perintah Tuhan
menyatakan sikapnya terhadap kekacauan dalam tatanan sosial.
Ada empat bahaya dalam kehidupan manusia yang dapat memicu
kesukaran yang tidak terhingga jika tidak dikendalikan, yaitu kekuatan, seks,
kekayaan, dan ucapan. Tentang masalah kekuatan dalam Sepuluh Perintah
Tuhan dinyatakan: ‘Engkau boleh bertengkar dan berkelahi, tetapi satu hal
sama sekali dilarang secara mutlak, yaitu pembunuhan dalam kelompok
sendiri.’ Hal ini dilarang sebab pembunuhan dalam kelompok sendiri akan
memicu berjangkitnya dendam kesumat turun temurun, ibarat penyakit
kanker warga yang akan menghancurkan warga itu sendiri. sebab
itulah dikeluarkan Perintah Tuhan yang berbunyi: jangan membunuh.
Demikian juga halnya dengan seks. Anda mungkin seorang yang suka
berganti-ganti pacar, senang bermain mata, bahkan senang berhubungan
dengan pasangan yang berganti-ganti. Walaupun perbuatan-perbuatan demikian
tidak terpuji, namun hukum tidak akan mengejar-ngejar anda. Namun harus
ada satu garis batas, yaitu bahwa anda tidak boleh mengganggu istri orang
lain, oleh sebab jika hal itu terjadi akan memicu amarah warga
yang maha dahsyat. Jika anda tertangkap melakukan ini, kami akan mengikat
anda. Maka keluarlah Perintah Tuhan : jangan berbuat zina.
Mengenai harta kekayaan, anda boleh mengumpulkan sebanyak-
banyaknya harta yang dapat anda tumpuk, dan untuk melakukan hal itu anda
boleh menggunakan kecerdasan dan kecerdikan anda. Tetapi ada satu hal
yang sama sekali tidak boleh anda lakukan, yaitu menyerobot secara langsung
dari tumpukan kepunyaan orang lain. sebab hal itu memerkosa tindakan
wajar yang paling minimal dan memicu dendam yang tak terkendalikan.
Hal ini sesuai dengan salah satu Perintah Tuhan: jangan mencuri.
Akhirnya sehubungan dengan ucapan, anda dapat saja bersifat licik dan
cerdik, penipu atau berbelit-belit sekehendak hati anda, tetapi ada saatnya di
mana kami menuntut kebenaran ucapan anda. Jika suatu persengketaan telah
mencapai taraf yang sedemikian rupa sehingga harus dibawa ke hadapan
Majelis Suku, dalam keadaan demikian maka para hakim harus mengetahui
apa yang sesungguhnya terjadi. Jika di saat itu anda tertangkap basah
berbohong, padahal anda telah bersumpah untuk menceritakan hal yang
sebenarnya, maka hukuman yang akan dijatuhkan kepada anda akan sangat
berat. Ini mengacu pada Perintah Tuhan: jangan bersaksi dusta.17
Pentingnya Sepuluh Perintah Tuhan dalam dimensi etisnya bukan terletak
pada kekhususannya, melainkan pada isinya yang bersifat umum dan dapat
berlaku di mana pun dan kapan pun; juga bukan terletak pada tujuannya,
melainkan pada penegasannya mengenai hal-hal yang memang harus
diutamakan. Sepuluh Perintah Tuhan ini tidak berbicara mengenai kata
terakhir yang harus diucapkan dalam bidang-bidang yang dibahasnya.
Sebaliknya, ia berisikan kalimat-kalimat pertama jika kata-kata lainnya akan
menyusul kemudian. Inilah yang memicu mengapa petunjuk-petunjuk
moral itu menjadi batu sendi moralitas bagi separuh penduduk dunia ini,
lebih dari tiga ribu tahun setelah petunjuk-petunjuk itu dirumuskan.
Sebagai makhluk, manusia dihubungkan secara tak terpisahkan dan dalam
makna yang paling dalam dengan aspek Tuhan sebagai Pencipta. Seperti
ungkapan yang sering muncul dalam Kitab Kejadian, yaitu: “Tuhan menciptakan
manusia menurut citra-Nya.” Hal ini secara universal berbagai kualitas manusia
yang secara tak terhindarkan berkembang menjadi seluruh rangkaian perintah
moral yang terbentang dari “Mencintai pengembara seperti seseorang
mencintai diri sendiri, sebab pengembara yaitu dirimu di negeri Mesir,”
sampai pada puncaknya “Kamu tidak boleh membunuh.” yaitu penciptaan
Tuhan yang membuat moralitas menjadi pusat yang tak terelakkan, bukan
derivatif atau elektif, dalam pernyataan-pernyataan keyakinan monoteistik
Yahudi.19
Dalam sistem kepercayaan monoteisme Yahudi, moralitas merupakan
ajaran sentral yang tidak dapat dipisahkan. saat Tuhan dipahami sebagai
yang tunggal dan unik, maka tidak ada jalan menghindar untuk menerima
tuntutan moralitas yang berasal dari sumber yang tunggal ini. Oleh sebab itu,
moralitas terhadap diri sendiri dan terutama terhadap orang lain yaitu inti
sebenarnya dari agama Yahudi.
2. Makna Penderitaan
Sejak abad ke-8 sampai abad ke-6 BCE (Before the Common Era)
merupakan kurun waktu di mana orang-orang Israel atau Yahudi terhuyung-
huyung sebab kekuatan agresif dari Syria, Assyria, Mesir, dan Babylon, para
nabi Yahudi menemukan makna penderitaan mereka dengan menafsirkannya
sebagai cara Tuhan untuk lebih mengingatkan manusia akan perintah-Nya untuk
menegakkan kebenaran. Tuhan terlibat langsung dalam persengketaan besar
dengan umatnya, suatu persengketaan mengenai masalah-masalah moral yang
tidak diperhatikan oleh mereka yang hanya memerhatikan masalah-masalah
duniawi saja.
Kenyataan yang paling mengejutkan dalam pencarian orang Yahudi
terhadap makna dari segala sesuatu yaitu bagaimana caranya para nabi
menggali lebih dalam makna yang kelihatannya telah sampai pada dasar
terdalam yang telah dapat digali orang Yahudi sebelumnya. Lapisan makna
baru yang lebih dalam yang mereka gali yaitu makna dari penderitaan manusia.
Hal ini ditemukan dalam Kitab Yesaya bagian Kedua, yang ditulisnya di
Babylon dalam abad ke-6 BCE saat umatnya sedang berada dalam tawanan.
Yesaya menyatakan bahwa penderitaan mereka bukan sekedar hukuman
dari Tuhan. Selama hukuman itu terlihat sebagai suatu kemungkinan yang
terwujud sebab adanya suatu syarat yang terlanggar, ia memiliki arti yang
amat penting, sebab Tuhan mengingatkan manusia tentang arah yang tidak
boleh ditempuhnya. Namun sekali hukuman itu telah jatuh, amat kecil artinya
makna yang akan ditemukan dalam penderitaan yang dialami itu jika dipandang
sekedar sebagai suatu hukuman terhadap pelanggaran yang telah dilakukan
sebelumnya.
Jika penderitaan itu akan memiliki makna yang lebih besar, ia harus
mengandung berbagai cara untuk menghadapinya pada sekarang ini, baik cara
yang lebih sempurna maupun cara yang lebih buruk. Kemungkinan hancurnya
bangsa memunyai arti yang besar, sebab Tuhan mengingatkan orang-orang
Yahudi agar memperbaiki perilaku mereka. Tesis yang diajukan oleh para
nabi Yahudi dalam penderitaan ini yaitu bahwa penderitaan yang dialami
orang Yahudi ini bukan sekedar pengalaman sebagai hukuman.
Penderitaan itu yaitu suatu pengalaman pelajaran bagi mereka dan suatu
pengalaman penebusan bagi dunia.20
Dari segi pelajaran sebagai pengalaman, ada pelajaran-pelajaran dan
pemahaman yang hanya mungkin dapat diberikan melalui penderitaan.
Dalam hal ini, pengalaman hidup sebagai orang yang kalah dan terbuang
mengajarkan kepada orang Yahudi nilai kemerdekaan yang sesungguhnya,
yang selama ini dipandang enteng, meskipun mereka pernah mengalami
penderitaan sebagai tawanan di Mesir pada zaman dulu kala.
Akhirnya, secara umum dapat dikatakan bahwa makna terdalam yang
ditemukan oleh orang Yahudi dalam Masa Pengasingan mereka yaitu makna
dari penderitaan yang dialami sendiri, yakni makna yang datang dalam suatu
kehidupan yang bersedia menerima kesengsaraan agar orang lain tidak perlu
mengalaminya. Melalui penderitaan, Tuhan telah menyalakan semangat yang
berkobar dalam setiap hati orang Yahudi, yaitu kecintaan kepada kemerdekaan
dan keadilan, dengan memperhitungkan bahwa rasa cinta kepada kemerdekaan
dan keadilan ini akan menyebar kepada seluruh umat manusia.21
3. Umat yang Terpilih
Istilah Ibrani untuk “umat yang terpilih” yaitu am sigulah. Cara terbaik
untuk melihat konsep keterpilihan secara historis –dan memahami maknanya
yang terdistorsi sebab salah dipahami dan salah diungkapkan-yaitu melalui
pernyataan sederhana dalam ungkapan syukur yang disitir seseorang saat
mendapat kehormatan untuk membaca doa dari Taurat. Doa itu tidak sekedar
menegaskan bahwa umat Yahudi dipilih, tapi mengaitkan keterpilihan itu
dengan pemberian Taurat. Dengan kata lain, umat Yahudi memandang diri
mereka sebagai umat yang memperoleh keistimewaan sebagai alat yang
melaluinya Taurat diberikan kepada bangsa-bangsa.
Tentang umat yang terpilih ini ada dua cerita. Pertama, sebuah cerita
(Midrash Rabbah, Exodus: 2, 5) mengisahkan bahwa Allah pergi ke bangsa-
bangsa yang berbeda, dan bertanya kepada yang satu. “Maukah kamu
menerima Taurat-Ku ?’’ Bangsa itu menjawab, “Well, kami tertarik. Apa isinya?’’
Allah menjawab. “Hendaklah kamu tidak membunuh.’’ Mereka menjawab,
“Tidak, kami tidak dapat menerimanya, itu yaitu cara hidup kami –kaum
perampok.’’ Maka Allah bertanya kepada bangsa lainnya, “Apa kamu tertarik
menerima Taurat?’’ Mereka menjawab, ”Ya, kami tertarik. Apa isinya?’’ Jawab
Allah, “Janganlah kamu mencuri.’’ Mereka berkata, “Maaf, kami tidak dapat
menerimanya, sebab pola kehidupan kami yaitu saling mengambil milik
orang lain.’’ Maka Allah pergi ke bangsa Israel, dan mereka tidak bertanya,
“Apa isinya?’’. Bangsa Israel berkata, “Nasseh ve nish’mah, kami akan melakukan
dan kami akan mendengarkan.’’ Artinya, mereka mau menerima dan menaatinya.
Maka bangsa Yahudi, menurut kisah ini, dipilih tapi dalam artian memilih
dirinya sendiri sebab mereka menjawab pemberian Allah. Ini merupakan
pertemuan kehendak Allah dan kemauan bangsa Yahudi menerima Taurat.22
Kisah kedua (Talmud Babylonia, Shabbat, 88a), saat Allah mendekati
bangsa Yahudi untuk memberikan Taurat. Ia mengangkat gunung dan
menyangganya di atas kepala bangsa Yahudi dan berkata, “Jika kamu
menerima Taurat, semuanya baik. Jika tidak, gunung ini akan menimpamu
dan menguburkanmu, dan itulah akhirnya.” Jadi, di sini bukan soal pilihan
sebab Allah, pada hakekatnya, memaksakan penerimaan Taurat.
Dalam kedua cerita ini , gagasan utamanya yaitu bahwa tindakan
yang berdasarkan kehendak bebas bukanlah sekedar bebas tanpa titik rujukan
tertentu. Itu yaitu tindakan bebas dalam konteks tertentu. Kembali pada
konsep umat yang terpilih, konsep itu bukanlah berarti superioritas atau
keistimewaan, melainkan konsep kewajiban. Yakni kewajiban untuk membawa
firman Tuhan dan pesan-pesan-Nya kepada umat manusia. Dalam literatur
para nabi dan rabi, begitu juga dalam historiografi tradisional, gagasan sebagai
umat yang terpilih menggambarkan sebuah beban, bukan keistimewaan.23
Betapa bedanya ajaran tentang terpilihnya orang Yahudi dari jenis-jenis
ajaran tentang pemilihan biasa lainnya. Alangkah lebih beratnya, dan tidak
terelakkan dari kecenderungan biasa yang ada pada manusia. Namun masalah
ini belum selesai. sebab misalkan bahwa Tuhan memanggil orang Yahudi
untuk mengalami penderitaan sebagai pahlawan dan bukannya untuk
bersenang-senang. Maka kenyataan bahwa Tuhan memisahkan mereka dari
bangsa-bangsa lain untuk melaksanakan suatu peranan dalam persekutuan
khusus untuk menyelamatkan dunia, merupakan suatu pertanda bahwa Tuhan
memberikan penghargaan khusus terhadap mereka, bahkan cinta.
Hal ini sungguh menggugah hati. Berlawanan dengan seluruh perasaan
demokratis yang ada, kenyataan di atas telah memicu suatu kalimat
teologis khusus untuk memberi tempat kepadanya: “aib dari kekhususan”
yaitu suatu ajaran bahwa sebagai tambahan dari keterlibatan Tuhan terhadap
sejarah secara menyeluruh, ada tindakan penyelamatan Tuhan yang dipusatkan
pada waktu-waktu yang khusus, pada tempat-tempat yang khusus, dan
terhadap bangsa yang khusus.24
Kritik tentang bangsa Yahudi sebagai umat yang terpilih juga dikemukan
oleh Louay Fatoohi dan Shetha Al-Dargazelli. Mereka menyatakan bahwa
Perjanjian Lama menekankan status khusus Bani Israel dan ketakterpisahan antara
agama Yahudi dan Bani Israel sebagai suatu kelompok etnis. “Israelisasi agama”
yang sistematis ini berjalan bersamaan dengan “Israelisasi Tuhan” itu sendiri.
Salah satu contoh yang jelas yaitu penekanan pada gambaran Allah atau Yahweh
sebagai “Tuhan Bani Israel,’’ tetapi bukan Tuhan Firaun. Menurut Perjanjian
Lama, Musa sama sekali tidak ingin membimbing Firaun agar beriman kepada
Tuhan, sebab Dia bukanlah Tuhan Firaun, tetapi hanya “Allah orang-orang
Ibrani” (Keluaran, 5: 3). Demikianlah, menurut Perjanjian Lama, cara Musa
memperkenalkan Tuhan kepada Firaun. Identifikasi Tuhan yang terkait erat
dengan suatu etnis ini secara sistematis berulang dalam Perjanjian Lama.
Pandangan di atas sebenarnya berdasarkan suatu prinsip politeisme, yang
menganggap setiap warga memiliki Tuhan sendiri, masing-masing kota
memiliki dewa sendiri, dan seterusnya. Firaun tidak kaget mendengar bahwa
Bani Israel memiliki Tuhan sendiri, sebab dia memang sudah menduganya.
Oleh sebab itu, dia hanya menanyakan informasi lebih jauh tentang Tuhan
Baru ini.
Agama Yahudi merupakan sebuah agama yang telah melalui jalan yang
sangat panjang, tiga ribu tahun. Mayoritas ahli sejarah mencatat bahwa sejarah
agama dan bangsa Yahudi bermula pada zaman Nabi Musa. Akan tetapi,
orang Yahudi telah menggambarkan sejarah bangsa mereka berawal dari Nabi
Ibrahim sebagai suatu sejarah umat manusia dan peradaban dunia.
Dalam penciptaan manusia, agama Yahudi menyatakan bahwa manusia
dibuat dari tanah debu yang kemudian ditiupkan roh melalui hidungnya.
Manusia diciptakan dalam citra Tuhan. Bukan hanya jiwa namun raga manusia
menunjukkan simbol Tuhan. Menghormati Tuhan dapat ditunjukkan dengan
menghormati sesama manusia. Begitu pula sebaliknya, bersikap sombong
kepada manusia berarti menghina Tuhan.
Kitab Suci umat Yahudi secara umum banyak memuat ajaran moralitas
yang harus digunakan sebagai dasar perilaku orang-orang Yahudi. Hal ini
terutama dapat dilihat dari ajaran yang ada dalam Sepuluh Perintah Tuhan. Di
samping itu juga melihat penderitaan sebagai cara Tuhan untuk mengingatkan
manusia untuk menegakkan perintah-Nya. Juga menganggap umat yang terpilih
sebagai kewajiban, bukan memandang dirinya terpilih terutama untuk
memeroleh hak-hak istimewa, melainkan mereka terpilih untuk melayani dan
menanggung penderitaan yang diperlukan untuk terlaksananya pelayanan itu.

