makna ahl alkitab 1
MAKNA AHL AL-KITÂB DALAM PRESPEKTIF AL-QUR'AN
Penjelasan mengenai Ahl al-Kitâb telah banyak dibahas dalam
berbagai literatur keislaman terutama di dalam kitab-kitab tafsir. Namun
seiring dengan berjalannya waktu, pemahaman ulama mengenai cakupan Ahl
al-Kitâb kitab mulai mengalami perubahan para ulama sepakat bahwa
mereka yaitu Yahudi dan Nasrani. Namun mereka berbeda dalam hal
cakupan makna Ahl al-Kitâb, sebagian mengatakan Ahl al-Kitâb yaitu
Yahudi dan Nasrani keturunan Bani Israil saja, sementara yang lain
mengatakan bahwa Ahl al-Kitâb yaitu Yahudi dan Nasrani kapan pun dan
di manapun mereka berada. Pembahasan ini akan diteliti menggunakan
metode maudhu‟i, berupa riset kepustakaan, dengan analisis data deskriptif.
Berdasarkan hasil penelitian, penulis mendapatkan pengungkapan kata Ahl
al-Kitâb dalam al-Qur'an sebanyak 11 bentuk,. Mengenai makna Ahl al-
Kitâb, Rasyid Ridha sepakat dengan jumhur ulama, hanya saja pendapatnya
tentang cakupan Ahl al-Kitâb lebih luas dari ulama sebelumnya. Dalam
Tafsir al-Manar, cakupan Ahl al-Kitâb tidak hanya sebatas Yahudi dan
Nasrani, tetapi juga mencakup agama-agama lain seperti Majusi, Shabi'in,
penyembah berhala di India, Cina dan siapa saja yang serupa dengan mereka.
Menurutnya, semua agama ini bisa dimasukkan dalam cakupan ahli
kitab sebab pada awalnya semua agama menganut tauhid. Sedangkan
Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah memahami makna Ahl al-Kitâb
yaitu semua penganut agama Yahudi dan nasrani dimanapun, kapanpun dan
dari keturunan siapapun. Dia memahami makna seperti itu sebab
berdasarkan al Quran yang hanya terbatas pada dua golongan saja yaitu
Yahudi dan Nasrani.
Al-Qur'an tidak tersusun secara sistematis seperti halnya buku yang
dibuat oleh manusia. Selain itu, Al-Qur'an juga jarang menyajikan suatu
masalah secara terperinci serta mendetail. Al-Qur'an biasanya berbicara
terhadap suatu masalah yang pada umumnya bersifat global, parsial, dan
seringkali menampilkan suatu masalah hanya dalam prinsip pokok-
pokoknya saja1. Dengan mukjizat Al-Qur'an inilah, kajian terhadap Al-
Qur'an tidak pernah kering baik dari para sarjana muslim maupun non
muslim. Sehingga, Al-Qur'an yaitu kitab yang menjawab persoalan umat
hingga hari ini meskipun sudah diturunkan lebih dari 14 abad yang lalu.
Al-Qur'an tidak akan menjadi petunjuk jika umat Islam tidak mau
mengungkap rahasia yang ada dibalik ayat-ayat Al-Qur'an ini
dengan menggunakan penafsiran. Penafsiran sangat dibutuhkan dalam
memahami kandungan Al Qur'an, banyak sekali metode yang digunakan
oleh para mufassir di dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an .
Salah satu masalah yang sering diungkap oleh Al-Qur'an yaitu
mengenai kata Ahl al-Kitâb. Secara umum, Ahl al-Kitâb diartikan sebagai
komunitas Yahudi dan Nasrani. Ahl al-Kitâb berasal dari kata bahasa Arab
yang tersusun dari bentuk idhafah yaitu Ahl dan al-Kitâb. Kata Ahl terdiri
dari hu ruf alif, ha, dan lam yang secara literal mengandung arti ramah,
senang atau suka. Kata „ahli‟ merupakan serapan dari bahasa Arab yang
berarti famili yang termasuk dalam suatu golongan, keluarga, kerabat atau
kaum. al-Kitâb sendiri secara bahasa berarti Al-Qur'an , Taurat, dan Injil.
Kata „kitab‟ atau al-Kitâb sudah terkenal di Indonesia dengan makna
buku. Makna yang lebih khusus yaitu kitab suci atau wahyu Tuhan yang
dibukukan. Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia disebutkan bahwa
Ahl al-Kitâb yaitu orang-orang yang berpegang kepada kitab suci selain
Al-Qur'an .2
Makna dari Ahl al-Kitâb tidak hanya berhenti disana. Berbagai
penafsiran mulai dari masa penafsiran klasik dari abad pertama hijriah
hingga masa sekarang ini. Perbedaan penafsiran yang muncul dalam
mencoba memahami makna Ahl al-Kitâb di sebab kan perbedaan riwayat,
aliran penafsiran, serta metode penafsiran yang digunakan, ada juga yang
melihat hasil penafsiran ini secara etnis dan teologis. Dinamika
kajian terhadap penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an memang tidak pernah
menemukan kebuntuan sejak masa Nabi Muhammad hingga saat ini.
Status Ahl al-Kitâb pada sejarahnya ternyata juga mencakup semua
pemeluk agama yang kitab sucinya berasal dari Allah.3 Imam al-Sh fi‟ ,
dinukil dari kitabnya al-Umm, dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa
Atha‟ berkata: “Orang Kristen Arab bukan termasuk ke dalam Ahl al-
Kitâb. Kaum yang disebut Ahl al-Kitâb yaitu kaum Israel (Bani Israil),
yakni orang-orang yang diturunkan kepada mereka kitab Taurat dan
Injil.”4 Sedangkan Al-Thabari di dalam kitab tafsirnya mengutarakan
bahwa Ahl al-Kitâb yaitu pemeluk agama Yahudi dan Nasrani dari
keturunan manapun dan siapapun mereka, baik dari keturunan Israel
maupun bukan.5 Selain „ulama tafsir yang sudah disebutkan di atas, tidak
luput pula masuknya penafsiran kata Ahl al-Kitâb yang ditafsirkan oleh
„ulama Nusantara, sehingga mendapatkan seluruh gambaran jelas terkait
dengan makna yang akan didapatkan dan dipahami.
Perdebatan tentang makna dan cangkupan Ahl al-Kitâb inilah yang
menjadikan tema ini menarik untuk dibahas Kerena Al-Qur'an
menyebutkan tentang Ahl al-Kitâb cukup banyak. Selain itu ada salah satu
ayat Al Qur'an yang menyebutkan bahwa Ahl al-Kitâb itu tidak semuanya
sama. Surat al- Imrân/3:113:
"Mereka itu tidak (seluruhnya) sama, di antara Ahl al-Kitâb ada golongan
yang jujur (golongan Ahl al-Kitâb yang memeluk agama islam) mereka
membacaayat ayat Allah pada malam hari, dan mereka (juga) bersujud
(shalat).6
Berdasarkan firman Allah diatas munculah perbedaan cakupan
makna Ahl al-Kitâb dari kalangan ulama sebagaimana yang sudah di
uraikan sebelumnya. Awalnya hanya dibatasi pada dua komunitas Yahudi
dan Nasrani, menjadi semua pemeluk agama yang kitab sucinya diduga
keras berasal dari Allah, Namun pendapat ini tidak disepakati oleh seluruh
ulama bahkan makna dan cangkupan Ahl al-Kitâb berikut implikasi
hukum yang ditimbulkan dalam kehidupan sosial masih tetap menjadi
perdebatan para ulama fiqih dan tafsir. Dan ini menjadi tuntunan agar
umat Islam melakukan interaksi sosial dengan Ahl al-Kitâb dengan cara
yang baik. Artinya, perbedaan pandangan dan keyakinan antara umat
Islam dan Ahl al-Kitâb tidak menjadi penghalang untuk saling membantu
dan bersosialisasi.
Makna Ahl al-Kitâb sebagai wadah agama yang direkam oleh Al-
Qur'an menarik untuk dikaji. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk
mengetahui perbandingan tafsir M. Rasyid Ridha dalam Tafsîr al-Manâr
dan M.Quraish Syihab dalam Tafsîr al-Mishbâẖ mengenai cakupan makna
Ahl al-Kitâb. M. Rasyid Ridha mengemukakan dalam memahami makna
Ahl al-Kitâb bahwa Majusi dan Shabi'un termasuk pula Ahl al-Kitâb selain
dari Yahudi dan Nasrani. Bahkan di luar itu, masih ada kelompok yang
termasuk Ahl al-Kitâb yaitu Hindu, Budha, Kong Fu Tse, dan Shinto.7.
Pendapat demikian didasarkan pada kenyataan sejarah dan informasi Al-
Qur'an bahwa semua umat sebelum diutusnya Nabi Muhammad . telah
diutus seorang rasul sebagai petunjuk kepada kebenaran. Sedangkan
M.Quraish Shihab mengemukakan kecenderungannya memahami Ahl al-
Kitâb sebagai semua penganut agama Yahudi dan Nasrani, kapan, di mana
pun, dari keturunan siapapun mereka tanpa terkecuali.8 Pendapatnya ini
berdasarkan pada penggunaan Al-Qur'an terhadap istilah ini yang
hanya terbatas pada kedua golongan ini Yahudi dan Nasrani.
Argumennya yang lain yaitu firman Allah dalam surat al-An‟âm: 156.
Dari pemaparan para mufassir di atas, tergambar kepada kita
bahwasanya perbedaan pada penafsiran makna kata Ahl al-Kitâb
merupakan sebuah realita yang tidak terbantahkan, yang juga pada
akhirnya melahirkan perbedaan pada kesimpulan dari ayat-ayat Al-Qur'an
yang ada di dalamnya Ahl al-Kitâb. Namun faktanya yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat adanya pengarahan kepada penafsiran ke arah
satu makna saja, sehingga saat ada di antara mereka mendengar atau
melihat ada pihak lain yang menafsirkan dengan penafsiran yang dimiliki
atau diyakininya menjadi sebuah keanehan atau bahkan hinaan. Padahal
pengertian dan penafsiran yang beragan ini sebenarnya dapat
dirangkai menjadi satu kesatuan pemahaman yang satu sama lain saling
menguatkan, bukan malah saling menegasikan dan bertolakbelakang.
Maka peneliti berharap penelitian ini mampu benar-benar membawa suatu
diskursus baru yang memberikan khazanah keilmuan baru baik dalam
pengembangan keilmuan tafsir Al-Qur'an pun terhadap sosial masyarakat
muslim dan non muslim yang dalam hal ini sedang dan akan di kaji
melalui kacamata perbandingan (muqârin) antara Tafsîr al-Manâr dan
Tafsîr al-Mishbâẖ serta alat-alat bantu lain dari kedua sisinya termasuk
pendapat mufasir lainnya sebagai sumber data sekunder yang dapat
menguatkan penelitian ini, sehingga terbukti bahwa penelitian ini betul-
betul sangat problematis dan memiliki nilai urgensi atau kepentingan yang
dapat memberikan dampak pada pengembangan keilmuan tafsir Al-Qur'an
dan dampak pula pada sosial masyarakat muslim dan non muslim.
Bedasarkan latar belakang ini peneliti menjadikan sebuah judul
penelitian tesis, yakni Makna Ahl al-Kitâb dalam Prespektif Al-Qur'an
(Studi Komparatif Atas Tafsîr al-Manâr Dan Tafsîr a - hb h ).
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat
diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana penafsiran para mufassir tentang Ahl al-Kitâb?
2. Apakah yang menyebabkan para mufassir Al-Qur'an berbeda
pandangan tentang makna Ahl al-Kitâb?
3. Apakah Al-Qur'an memberikan rambu-rambu bahwa Ahl al-Kitâb
hanya sebatas Yahudi dan Nasrani?
4. Sejauh manakah batasan makna Ahl al-Kitâb?
5. Apa saja ayat-ayat tentang Ahl al-Kitâb?
6. Prinsip-prinsip apa yang diajarkan Al-Qur'an saat bersosial dengan
Ahl al-Kitâb?
5
7. Bagaimana makna Ahl al-Kitâb menurut penafsiran M. Rasyid Ridha
dan M. Quraish Shihab dalam tafsirnya?
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan masalah
Agar penelitian ini dapat dilakukan lebih fokus, tersturktur serta
lebih mendalam maka permasalahan di dalam penelitian ini harus
dibatasi. Oleh sebab itu, penelitian ini hanya dibatasi dengan Makna
Ahl al-Kitâb Dalam Prespektif Al-Qur'an (Studi Komparatif Atas Tafsîr
al-Manâr Dan Tafsîr al-Mish h ). Term Ahl al-Kitâb dipilih sebab
makna ini memiliki cakupan yang cukup luas.
2. Perumusan masalah
Berdasarkan paparan yang dijelaskan di atas baik latar belakang,
identifikasi maupun pembatasan masalah, maka peneliti merumuskan
permasalahan menjadi bentuk pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimana makna Ahl al-Kitâb menurut penafsiran M. Rasyid
Ridha dan M. Quraish Shihab dalam tafsirnya?
b. Bagaimana analisis komparatif penafsiran M. Rasyid Ridha dan M.
Quraish Shihab terhadap penafsiran tentang Ahl al-Kitâb?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan di atas, maka penelitian ini
bertujuan:
1. Untuk mengetahui tentang penafsiran dan makna Ahl al-Kitâb menurut
penafsiran M. Rasyid Ridha dan M. Quraish Syihab dalam tafsirnya.
2. Untuk menjelaskan latar belakang keilmuan, pemikiran dan
sosiohistoris keduanya sehingga melahirkan penafsiran masing-masing
dalam menafsirkan ayat-ayat seputar Ahl al-Kitâb.
3. Untuk menganalisis komparasi penafsiran M. Rasyid Ridha dan M.
Quraish Shihab serta implikasi dari latar belakang keilmuan, pemikiran
dan sosio-historis terhadap penafsiran tentang Ahl al-Kitâb
4. Mampu memberikan kontribusi kepada bidang akademik maupun
sosial masyarakat, Kontribusi terhadap akademis yang dimaksud yaitu
penelitian terhadap kata Ahl al-Kitâb ini menjadi kontributor serta
pengembangan makna Ahl al-Kitâb pada generasi selanjutnya, serta
menjadikannya sebagai referensi, perbandingan serta tolak ukur untuk
penelitian berikutnya, terlebih khusus kepada kajian yang bertemakan
Ahl al-Kitâb.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan serta menambah
khazanah bagi kajian terhadap makna Ahl al-Kitâb di dalam Al-Qur'an .
6
Khususnya kepada jurusan Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir di Institut PTIQ
Jakarta dan masyarakat muslim pada umumnya yang berminat serta
menkaji tentang problematika di atas.
F. Kerangka Teori
Komparatif/perbandingan dapat dilakukan terhadap masing-masing
unsur. Setiap kegiatan ilmiah sendiri sejak awal telah menerapkan metode
komparasi, sebab sejak semula peneliti harus dapat mengadakan
identifikasi terhadap masalah-masalah yang akan ditelitinya. Menerapkan
satu atau beberapa masalah berarti telah menerapkan metode komparasi.9
Di antara bentuk penelitian dalam ilmu Al-Qur'an atau tafsir yaitu
penelitian komparatif atau perbandingan. Penelitian komparatif secara
teoritik dapat dilakukan dalam berbagai macam aspek, diantaranya;
perbandingan antar pemikiran atau madzhab, perbandingan antar tokoh,
perbandingan antar kawasan, perbandingan antar waktu, dan lain
sebagainya.
Secara metodologis, penelitian komparatif memiliki tujuan
diantaranya;
1. Mencari aspek persamaan dan perbedaan
2. Melihat latarbelakang masing-masing objek yang diteliti.
3. Mencari kelebihan dan kekurangan masing-masing objek yang diteliti
4. Mencari sintesa kreatif dari hasil analisis objek yang diteliti
Adapun metode dari penelitian komparatif yaitu menentukan tema
apa yang ingin diteliti, mengidentifikasi aspek-aspek yang mau
dikomparasikan, mencari keterkaitan dan faktor-faktor yang
mempengaruhi masing-masing objek yang diteliti, melakukan analisis
mendalam dan kritis dengan disertai argumentasi, data dan membuat
kesimpulan-kesimpulan yang menjawab rumusan masalah suatu
penelitian. Ini yang kemudian peneliti coba gali, melihat tafsir M. Rasyid
Ridha dan tafsir M. Quraish Shihab soal penafsiran tentang ayat-ayat Ahl
al-Kitâb baik dari intrinsik tafsir itu sendiri sekaligus melihat apa
sesungguhnya yang ada di belakang panggung penafsiran ini baik
pemikiran keduanya juga konteks sosio-historis masyarakat saat tafsir
itu lahir dalam menyikapi keadaan sosial masyarakat saat itu.
G. Tinjauan pustaka/penelitian terdahulu yang relevan
Untuk memperkuat dan melihat batasan masalah serta sebagai
referensi pelengkap penelitian, peneliti juga melakukan kajian pustaka
sederhana untuk menemukan penelitian-penelitian yang memiliki irisan
dengan penelitian yang dilakukan peneliti. Penelitian-penelitian ini
memiliki kaitan dengan apa yang akan peneliti teliti namun secara konteks
dan masalah tentu sangat berbeda, diantaranya yaitu :
1. Tesis dengan judul “Kewajiban Dakwah dalam Al-Qur'an antara Fardu
Ain dan Fardu Kifayah (studi komparatif atas Tafsir Ibn Katsîr dan
Tafsir Al-Mishbâh) yang ditulis oleh Kabir Al-Fadly Habibullah
mahasiswa pascasarjana program Studi Ilmu Tafsir Institut Ptiq Jakarta
tahun 2021. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang hukum
kewajiban dakwah menurut penafsiran Ibn Katsîr dan M. Quraish
Shihab dalam tafsirnya, lahir dari kegelisahan dan keprihatinan
terhadap kondisi dakwah di indonesia dan umumnya dunia. Persamaan
tesis ini dengan penelitian yang akan peneliti laksanakan yaitu objek
kajiannya yakni sama-sama mengomparasi Tafsir Ibn Katsîr dan Tafsir
Al-Mishbâh dengan teori dan pendekatan perbandingan atau studi
komparatif dan pembahasan utamanya sangat berbeda, peneliti
membahas tentang makna Ahl al-Kitâb dan pada penelitian ini
membahas soal kewajiban dakwah.
2. Buku dengan judul “Ahl al-Kitâb: Makna dan Cakupannya dalam Al-
Qur'an ". Sebelum kemudian diterbitkan menjadi buku, karya ilmiah
ini awalnya merupakan hasil disertasi Muhammad Galib pada program
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Di
dalam bukunya ini Muhammad Galib dimulai dengan menjelaskan
tentang term-term yang menunjuk tidak langsung kepada Ahl al-Kitâb,
selain itu juga beliau melakukan perbandingan antara Ahl al-Kitâb,
kafir, dan musyrik. Muhammad Galib menjelaskan tentang sikap dan
perilaku Ahl al-Kitâb baik terhadap agamanya, sesamanya serta
terhadap umat muslim. Terakhir, ia menjelaskan tentang pandangan Al-
Qur'an terhadap Ahl al-Kitâb serta sikap Al-Qur'an terkait dengan
interaksi sosial dengan Ahl al-Kitâb. Di dalam karya nya ini, Penafsiran
kata Ahl al-Kitâb yang dicantumkan di dalam buku ini baik dari 'ulama
klasik sampai ke kontemporer.
3. Mahmud Rifaanudin dengan judul “Konsep Ahl al-Kitâb dalam Tafsîr
al-Manâr Karya Muhammad Abduh dan Muhammad Rashid Ridhâ”.
Isi tesis ini berfokus kepada bagaimana Muhammad Abduh dan Rasyid
Ridha memiliki penafsiran tersendiri terhadap makna, konsep,
golongan, serta status Ahl al-Kitâb.
4. Mohd Faizal Abdul Khir, Judul jurnal ilmiahnya yaitu Konsep Ahl al-
Kitâb Menurut Ibn Hazm dan al- Shahrastânî. Abdul Khir menjelaskan
terkait dengan konsep Ahl al-Kitâb yang dikemukakan oleh Ibn Hizam
dan al-Shasrastânî. bahwa kedua tokoh ini diteliti sebab memiliki
pemahaman serta kredibilitas mereka di dalam bidang agama.
5. Andi Eka Putra dalam jurnalnya dengan judul Konsep Ahl al-Kitâb
dalam Al-Qur'an menurut Penafsiran Muhammad Arkoun dan
8
Nurcholis Madjid (Sebuah Telaah Perbandingan). Andi Eka Putra
melakukan telaah perbandingan (studi komparasi) atas dua mufassir di
atas.
6. Mujiburrahman di dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul Ahl al-Kitâb
dan Konteks Politik di Indonesia. Di dalam karya ilmiahnya ini ,
fokus Mujiburrahman lebih kepada konteks hukum sosial Indonesia
terhadap Ahl al-Kitâb seperti pernikahan beda agama dan lain
sebagainya, serta berbicara tentang agama-agama yang diakui oleh
Pancasila. Mujiburrahman mengutip pernyataan Nurcholis Madjid
sebagai titik acuan dalam menafsirkan term Ahl al-Kitâb.
7. Muslim Djuned dan Nazla Mufidah dalam jurnal ilmiyahnya yang
berjudul makna Ahl al-Kitâb dalam Tafsîr al-Manâr Di dalam karya
ilmiahnya ini , terfokus lebih kepada makna Ahl al-Kitâb menurut
M. Rasyid Ridha dalam tafsir Tafsîr al-Manâr. Di jelaskan bahwa
cakupan Ahl al-Kitâb tidak hanya sebatas Yahudi dan Nasrani saja,
tetapi juga mencakup agama-agama lain seperti Majusi, Shabi'in,
penyembah berhala di India, Cina dan siapa saja yang serupa dengan
mereka. Menurutnya, semua agama ini bisa dimasukkan dalam
cakupan Ahl al-Kitâb sebab pada awalnya semua agama menganut
tauhid.
H. Metode Penelitian
1. Pemilihan Objek Penelitian
Penelitian ini mencoba mengarahkan objek penelitian kepada
penafsiran M. Rasyid Ridha dan M. Quraish Shihab tentang ayat-ayat
yang menjelaskan makna Ahl al-Kitâb sekaligus menggali latar
belakang pemikiran dan sosio-historis keduanya sehingga lahir
formulasi pemikiran demikian. Objek penelitian dan juga masalah-
masalah yang mengitarinya akan coba peneliti bedah dan kupas dengan
pendekatan kualitatif sebagai pendekatan dan point of view penelitian
ini untuk mengkaji, mendeskripsikan, menginterpretasi dan
menganilisis data menggunakan metode analisis komparatif
(analytical-comparative method) untuk menjawab rumusan masalah
penelitian.
Penelitian ini memilih pendekatan kualitatif dapat diartikan
sebagai sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata dan ucapan dari perilaku orang yang diteliti termasuk yang
tertulis menjadi sebuah teks.10 Penelitian yang menggunakan
pendekatan kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena yang ada
dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data juga sedalam-
dalamnya dan komprehensif, sebab dalam kualitatif yang ditekankan
yaitu soal kedalaman (kualitas) bukan banyaknya (kuantitas) data.11
Adapun jenis penelitian yang dipilih yaitu jenis penelitian studi
kepustakaan (library research) yakni semua penelitian yang sumber
datanya berasal dari bahan yang tertulis seperti buku, dokumen, naskah,
tulisan dan lainnya. Penelitian kepustakaan terciri dan memiliki
substansi soal muatannya yang menyangkut soal hal-hal yang bersifat
teoritis, konseptual ataupun ide dan gagasan yang semuanya ada di
dalam sumber yang peneliti sampaikan sebelumnya. Tentu dalam hal
ini daftar kepustakaan dan sumber yang akan digali yaitu soal
penafsiran kewajiban dakwah dan sumber lainnya yang mendukung
penggalian informasi terhadap hal itu yang masih ada kaitannya dengan
ruang lingkup Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir.
Sedangkan metode analisis komparatif guna menjembatani dua
konsep yang akan didialogkan pada penelitian ini yaitu sebuah
Metode penelitian ini amat sering digunakan dalam penelitian berbasis
tafsir maupun Al-Qur'an termasuk di dalamnya sebagai metode
penafsiran Al-Qur'an yang sering disebut sebagai (muqârin).
Praktiknya, penelitian ini dapat mengkaji soal perbandingan teks atau
nash ayat-ayat Al-Qur'an yang memiliki kesamaan atau kemiripan
redaksi dalam satu kasus yang sama. Bisa juga digunakan untuk
membandingkan Al-Qur'an dan Hadis Nabi yang kelihatannya
bertentangan untuk mendialogkan dan mencari jalan tengah, pun dapat
juga digunakan dalam membandingkan penafsiran para mufasir dalam
menjelaskan kandungan makna ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur'an .12
dan inilah yang digunakan peneliti untuk membandingkan dan
mendialogkan penafsiran M. Rasyid Ridha dan M. Quraish Shihab
untuk kemudian dilihat irisan di antara formulasi penafsiran keduanya.
Penelitian ini selain beririsan dengan metode komparatif (muqârin)
sedikit banyak juga mengambil dan meminjam prinsip-prinsip tafsir
m udhû‟i. Irisan itu terjadi sebab ada sebuah tema besar yang peneliti
ambil yakni soal makna Ahl al-Kitâb kemudian memilah ayat-ayat
mana saja kiranya yang terkait dengan tema besar itu kemudian
dianalisis dengan perangkat-perangkat yang dipaparkan di atas. –Perlu
jadi catatan– bahwa peneliti mengambil prinsip-prinsip utamanya saja
dalam tafsir maudhû‟i untuk mengategorisasi tema dan ayat-ayat yang
berkesesuaian untuk kemudian diperbandingkan penafsiran di atas
kertas serta atmosfir saat penafsiran demikian disusun. Langkah
demikian yaitu step paling mendasar dari tafsir maudhû‟i untuk
menentukan tema serta pengumpulan semua ayat yang memeiliki tema
sama meskipun dengan latar belakang turun yang berbeda.13
2. Data dan Sumber Data
Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini di bagi menjadi
dua sumber pengambilan yakni sumber data primer dan sumber data
sekunder. Sumber data primer diambil dari kitab tafsir kedua tokoh
yakni Tafsîr al-Manâr karya M. Rasyid Ridha dan sumber primer
keduanya yaitu kitab tafsir M. Quraish Shihab yang berjudul Tafsîr
al-Mishbâẖ: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an . Sedangkan
sumber data sekunder meliputi kitab-kitab tafsir dan juga pendapat-
pendapat ulama tafsir dalam tafsirnya masing-masing seperti Tafsîr Al-
Qur‟ n l-„ dzh m atau lebih terkenal dengan Tafsir Ibn Katsîr karya
Abu al-Fida Isma‟il ibn Amr ibn Zara‟ ad-Dimasyqi atau akrab dengan
sebutan Ibn Katsir, Tafsîr Jalâlain karya Imam Jalal ad-Din al-Mahali
dan Jalal ad-Din as-Suyuthi juga Shafwat at-Tafâsîr karya Imam Ali
Ash-Shabuni serta tafsir lainnya. Juga berbagai buku-buku, jurnal,
karya ilmiah lain yang mendukung penelitian ini terutama soal dua
konsep yang akan dikomparasikan juga buku-buku lain terkait makna
Ahl al-Kitâb, metodologi dan konteks pendukung sosio-historis kedua
penafsir.
BAB II
AHLI KITAB DALAM AL-QUR'AN
A. Istilah dan Pengertian Ahl al-Kitâb
Kata ahl dalam Al-Qur'an digunakan secara bervariasi yang
disebutkan sebanyak 125 kali.1 Misalnya, menunjuk kepada suatu
kelompok tertentu, seperti ahl al-bait (Surat al-Ahzâb/33: 33), yang
ditunjukkan kepada keluarga Nabi Muhammad. Kata ahl juga menunjuk
pada suatu penduduk (Surat al-Qasas/28:45), keluarga (Surat Hud/11:40)
dan juga ditujukan terhadap suatu kelompok masyarakat yang menganut
paham dan ajaran tertentu (Surat al-Baqarah/2:105).
Kata ahl terdiri dari tiga huruf alif, ha‟ dan lam yang secara literal
mengandung pengertian; ramah, senang atau suka.2 Kata ahli juga
Mempunyai arti; keluarga, sebuah masyarakat atau sebuah rumah tangga.3
Selain itu digunakan juga untuk menunjuk kepada sesuatu yang
mempunyai hubungan yang sangat dekat, seperti ungkapan ahl ar-rajul,
yaitu orang yang menghimpun mereka, baik sebab hubungan nasab
maupun agama, atau halhal yang setara dengannya, seperti profesi, etnis
dan komunitas.4 Kata „ahli‟ juga dikatakan sebagai keluarga yang
memiliki hubungan nasab, misalnya kalimat ahl al-bayt, suatu sebutan
atas seseorang yang memiliki hubungan keluarga dengan „Ali bin Abi
Talib dan Fatimah.
Kata Kitâb yang hurufnya terdiri dari kaf, ta‟ dan ba‟, memiliki arti
buku atau surat.5 Sedangkan kata Kitâb juga berarti tulisan atau rangkaian
berbagai lafal. Sebab itu, firman Allah. kepada rasul-Nya bisa disebut
kitab (kitab Allah atau al-Kitâb), sebab memuat himpunan sejumlah lafal.
Al-Qur'an menggunakan terma Ahl al-Kitâb dengan ragam bentuknya dan
ada i sebanyak 319 kali. Dengan varian arti, yang mencakup makna
tulisan kitab, ketentuan, dan kewajiban.6 Sementara itu, kata al-Kitâb
merujuk kepada kitab suci dari Allah dan penggunaannya tampak bersifat
umum. Itu berarti, segala sesuatu yang Allah turunkan, seperti kitab suci
kepada nabi Musa, kepada nabi Dawud, kepada nabi Isa, dan kepada nabi
Muhammad. Berdasarkan penjelasan tentang makna dan terma Ahl al-
Kitâb yang diuraikan secara terpisah ini , kiranya secara umum makna
terma Ahl al-Kitâb ini bila digabung menjadi satu, maka dapat
dipahami dengan berbagai pengertian di antaranya; orang yang Ahl al-
Kitâb, sebutan bagi Bani Nazir dari kaum Yahudi dan Nasrani, orang
Masehi (Nasrani).7 para pengikut kitab suci, atau orang yang berpegang
pada kitab suci, atau orang yang berpegang pada kitab suci selain Al-
Qur'an .8 Dengan kata lain, Ahl al-Kitâb merupakan sebutan untuk mereka
yang menganut agama dengan kitab sucinya yang berasal dari Tuhan.9
Term Ahl al-Kitâb secara langsung disebutkan di dalam Al-Qur'an
sebanyak 31 kali152 dan tersebar pada 9 surat yang berbeda. Dua kalimat
ini diartikan terpisah, seakan-akan bila diartikan secara umum
maknanya menjadi suatu kelompok yang diturunkan pada mereka kitab
Allah, sebagai wahyu dan petunjuk bagi mereka melalui Nabi dan Rasul
yang diutus kepada mereka. Dari 31 ayat yang menyebut tentang Ahl al-
Kitâb, 4 ayat diantaranya memberikan kesan simpati kepda Ahl al-Kitâb
yaitu Surat ali-Imrân/3:64, 110, 113 dan 119, yang surahnya masuk
kedalam kategori madaniyah. Sedangkan 27 ayat lainnya, berisi peringatan
dan kecaman kepada ahl al-kitab.. Kemudian dari seluruh ayat ini
ada di dalam sembilan surah yaitu al-Baqarah, Ali Imran, an-Nisa, al-
Mâidah , al-Ankabut, al-Ahzab, al-Hadid, al-Hasyr, dan al-Ankabut. Dari
kesembilan surah ini al-Ankabutlah satu-satunya yang termasuk
kedalam Surah Makkiyah dan selebihnya termasuk kedalam Surah
Madaniyah.10
Berdasarkan uraian diatas, dapat dilihat bahwa term Ahl al-Kitâb
lebih banyak mengandung unsur kecaman dan peringatan bagi mereka,
serta seruan kembali beriman. Kendati demikian, dari banyaknya ayat
yang berisi kecaman serta peringatan kepada mereka, masih ada
beberapa term yang menyebutkan akan kebaikan mereka. Maka oleh
sebab itu, term Ahl al-Kitâb yang ada di dalam Al-Qur'an lebih kepada
memberikan mereka peringatan untuk kembali beriman.
B. Sifat Ahli Kitab dalam Al-Qur'an
Al-Qur'an memang mengakui keberadaan Ahl al-Kitâb. Secara
umum, Ahl al-Kitâb dalam Al-Qur'an berarti Yahudi dan Nasrani. Namun,
menurut beberapa pemahaman dari sebahagian besar ahli tafsir Ahl al-
Kitâb juga mencakup orangorang seperti Majusi dan Shabiin yang
termasuk kedalam kelompok Musyrikin, yang disinggung oleh Allah
dalam Al-Qur'an. Hal ini bukan menjadi sebuah legitimasi bahwa
mereka merupakan ummat yang sungguh baik, jujur dan adil, sebab
dalam Al-Qur'an banyak ditemukan ayat-ayat yang mengecam prilaku dan
sikap Ahl al-Kitâb yang dilakukan dengan berbagai bentuk prilaku.
Mengenai berbagai perilaku menyeleweng yang dilakukan oleh Ahl al-
Kitâb ini, Hasan Hanafi mengatakan:
“Al-Qur'an yang notabene yaitu kitab suci agama ini, membicarakan
soal penyelewengan dan perubahan yang terjadi terhadap kitab-kitab suci
sebelumnya. Di samping itu, Al-Qur'an juga membicarakan tentang
terjadinya perubahan ajaran, kesalahpahaman terhadap ajaran-ajaran
al-Masih, pemalsuan sabda dan wahyu para nabi, permusuhannya dengan
bangsa lain, pembunuhan nabi-nabi, kedurhakaan, serta keras kepala
yang mereka miliki. Al-Qur'an juga menganjurkan untuk menolak
kerjasama dengan mereka sebab kedengkian, fanatisme, dan sifat mereka
yang suka menuruti hawa nafsu, atau dengan bahasa kontemporer yaitu
k ren sik p merek y ng r si lis, egois d n egosentris.”11
Diantara sifat Ahl al-Kitâb berdasaarkan Al-Qur'an
1. Memusuhi Umat Islam
Sikap dan perilaku Ahl al-Kitâb yang menjadikan mereka
dikecam sebab telah membuat permusuhan terhadap kaum muslimin,
berdasarkan Surat al-Mâidah/5:82:
َّنَدِجَ
َ
لََو ۚا ْٔ ُك ََْشْا ََ ْحِ
َّ
لَّاَو َْدٔ ُٓ َ
ْ
لَّا أُِ ٌَ
َٰ
ا ََ ْح ِ
َّ
ِلَّّى ًةَواَدَغ ِساَّلنا َّدََشا َّنَدِجَ
َ
لَ
َْيِْْصي ِِّصك ًْ ُٓ ٌِِْ ََّنِاة َِملَٰذ ٗۗى َٰ ََٰصُٰ اَُِّا آْٔ
ُ لاَك ََ ْحِ
َّ
لَّا ٔا ُِ ٌَ
َٰ
ا ََ ْح ِ
َّ
ِلَّّى ًة َّدَٔ ٌَّ ًْ ُٓ َبَْرَكا
ُٓ ََّجا َّو ًاُاَت ْْ ُرَو َنْو ُِبِْهَخَْصي
َ
لَ ًْ
Pasti akan engkau dapati orang yang paling keras permusuhannya
terhadap orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang Yahudi dan
orang-orang musyrik. Pasti akan engkau dapati pula orang yang
paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman,
yaitu orang-or ng y ng erk t , “Sesungguhny k mi d l h or ng
N sr ni.” l itu k ren di nt r merek terd p t p r pendet d n
rahib, juga sebab mereka tidak menyombongkan diri.
2. Melampaui Batas dan Berlebih-lebihan
Sikap lain dari kaum Ahl al-Kitâb yaitu sikap berlebih-lebihan
dan melampaui batas dalam perbuatan mereka, seperti menjadikan
„Uzair sebagai putra Allah dan Nabi Isa as. dijadikan oleh mereka
sebagai Tuhan selain Allah . Mengenai sikap melampaui batas dan
berlebih-lebihan itu, maka dalam hal ini Allah berfirman kepada
mereka di dalam Surat al-Mâidah/5:77:
ْدَك ٍم ْٔ َك َءۤا َٔ ْْ َ ا آْٔ ُِػتََّتح
َ
لََو ِّقَ
ْ
لْا َْيَْد ًْ ُِسِِْيد ِْفِ أْ ُيْغَت
َ
لَ ِبَٰخِه
ْ
ىا َو ْْ َاّّ ي ُْوك
ُّيَعَّو اًِْيْرَن أْ ُّيََعاَو ُْوتَر َْ ٌِ أْ ُّيَع ِْوِيب َّصلا ِءۤأَ َش َْ َخ أْ
K t k nl h (N i Muh mm d), “W h i Ahl al-Kitâb, janganlah kamu
berlebih-lebihan dalam (urusan) agamamu tanpa hak. Janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu kaum yang benar-benar tersesat sebelum kamu
dan telah menyesatkan banyak (manusia) serta mereka sendiri pun
terses t d ri j l n y ng lurus.”
Para Ahl al-Kitâb yang mempunyai rasa dendam dan dengki
terhadap umat Islam, tidaklah akan diam saja melihat keimanan yang
dimiliki oleh umat Islam. Mereka akan terus berusaha untuk
menghancurkan keimanan ini secara perlahan dengan memberikan
17
keraguan atas keimanan yang umat Islam anut, hal ini dapat
diperhatikan melalui firman Allah dalam Surat al-Baqarah/2:109:
اًدَصَخ ۚاًرا َّفُن ًْ ُِسُا ٍَ ِْحا ِدْػَب ْۢ َْ ِ ٌّ ًْ َُسُْو ُّدَُري ْٔ
َ ل ِبَٰخِه
ْ
ىا ِو ْْ َ ا َْ ِ ٌّ ٌِْيْرَن َّدَو
َِتِ
ْ
َأي ِّتَّٰخ أْ ُدَفْضاَو أْ ُفْخاَف ۚ ُّقَ
ْ
لْا ًُ ُٓ َ ل َ ََّيَْبح ا ٌَ ِدْػَب ْۢ َْ ِ ٌّ ًْ ِٓ ِصُف
َْجا ِْدِِغ َْ ِ ٌّ
َٰ
َعَ َ ِّللَّا َِّنا ٗۗ ِهرَْمِاة ُ ِّللَّا ٌْريِدَك ٍء ْ ََ ِ
ّ ُُ
Banyak di antara Ahl al-Kitâb menginginkan agar mereka dapat
mengembalikan kamu setelah kamu beriman menjadi kafir kembali
sebab rasa dengki dalam diri mereka setelah kebenaran jelas bagi
mereka. Maka, maafkanlah (biarkanlah) dan berlapang dyaitu
(berpalinglah dari mereka) sehingga Allah memberikan perintah-Nya.
Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.
3. Mengingkari Risalah Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wassallam.
dan Al-Qur'an
Penyelewengan Ahl al-Kitâb terhadap kitab sucinya merupakan
suatu Tindakan yang mendatangkan murka Allah. Orang-orang Yahudi
dan Nasrani sesungguhnya juga tidak saja mengingkari akan kerasulan
Muhammad. yang dinilainya dari bangsa lain, termasuk dengan
pembangkangan itu juga yaitu pengingkaran terhadap apa yang
dibawa oleh Muhammad, berdasarkan Surat ali-Imrân/3:98 dan Surat.
al-Mâidah/5:59 dan 68:
َِلْزُُا ٓا ٌَ َو اَِ ْ
َ
ِلَّا َِلْزُُا ٓا ٌَ َو ِ ِّللَِّاة اَِّ ٌَ
َٰ
ا َْنا ٓ
َّ
ِلَا ٓاَِّ ٌِ َن ْٔ ٍُ ِْلَِت ْو َْ ِبَٰخِه
ْ
ىا َو ْْ َاّّ ي ُْوك
ََثَْزا ََّناَو ُۙ ُْوتَر َْ ٌِ َنْٔ ُلِصَٰف ًْ ُك
K t k nl h, “W h i Ahl al-Kitâb, apakah kamu memandang kami
salah hanya sebab kami beriman kepada Allah, pada apa yang
diturunkan kepada kami (Al-Qur'an ), pada apa yang diturunkan
sebelumnya, dan (kami yakin bahwa) sesungguhnya kebanyakan kamu
yaitu orang-or ng f sik?”
َلِْزُُا
ٓ ا ٌَ َو َْويِ
ْ
ِنْ
ْ
لَاَو َثى َٰر ْٔ َّلَا ٔا ٍُ ْيُِلح ِّتَّٰخ ٍء ْ
ََ
َٰ
َعَ ًْ ُخَْصل ِبَٰخِه
ْ
ىا َو ْْ َاّّ ي ُْوك
اَيْغُؼ َِمّب َّر َْ ٌِ َْم
َ
ِلَّا َِلْزُُا ٓ ا ٌَّ ًْ ُٓ ِِْ ٌّ ا ًِْيْرَن َّنَْديَِيَ
َىَوٗۗ ًْ ُِسّب َّر َْ ِ ٌّ ًْ ُْس
َ
ِلَّا ًاُ
ََ ْيِرِف
َٰس
ْ
ىا ِْمَٔل
ْ
ىا
َ
َعَ َس
ْ
َأح ََلَف ۚاًرْفُزَّو
18
K t k nl h (N i Muh mm d), “W h i hlulkit , k mu tid k
menganut sesuatu pun (agama yang benar) hingga kamu menegakkan
ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan (Al-Qur'an) yang diturunkan Tuhanmu
kepadamu.” p y ng diturunk n Tuh nmu kep d mu p sti k n
membuat banyak di antara mereka lebih durhaka dan ingkar. Maka,
janganlah engkau bersedih terhadap kaum yang kafir itu.
4. Mancampur-adukkan antara yang yang Hak dan Bathil
Sikap tidak terpuji yang dilakukan oleh orang-orang Ahl al-Kitâb,
terlebih lagi yang dilakukan oleh para rahib dan para pendeta mereka,
berdasarkan Surat at-Taubah/9:34:
ِساَّلنا َلأَ َْما َن ْٔ ُيُز
ْ
َأ
َ
لَّ ِناَت ْْ ُّرلاَو ِراَتَْخ
ْ
لَا ََ ِ ٌّ ا ًِْيْرَن َِّنا آْٔ ُِ ٌَ
َٰ
ا ََ ْحِ
َّ
لَّا ا َٓ َُّحاّّ ي
َ
لََو َث َّغِف
ْ
ىاَو َب َْ َّلَّا َنْو ُِنَِْسي ََ ْحِ
َّ
لَّاَوٗۗ ِ ِّللَّا ِْوِيبَش َْ َخ َنْو ُّدُطَيَو ِوِؼاَ
ْ
لِْاة
ِ ِّللَّا ِْوِيبَش ِْفِ ا َٓ َج ْٔ ُِلْفُِح ُۙ ٍۙ َِْلَّا ٍاَذَِػة ًْ ُْ ْ ِ ِّ ََبفُۙ
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya banyak dari para
rabi dan rahib benar-benar memakan harta manusia dengan batil serta
memalingkan (manusia) dari jalan Allah. Orang-orang yang
menyimpan emas dan perak, tetapi tidak menginfakkannya di jalan
ll h, erik nl h k r „gem ir ‟ kep d merek ( hw merek akan
mendapat) azab yang pedih
5. Tidak Mensyukuri Nikmat
Perilaku lain yang dikecam oleh Allah dalam Al-Qur'an yaitu
tidak adanya rasa syukur kepada Allah, bahkan mereka sombong dan
membangkang terhadap ajaran-ajaran yang dibawa oleh para nabi dan
rasul. Berbagai anjuran dan ajakan disampaikan oleh Allah kepada Ahl
al-Kitâb tapi tidak dijawab oleh mereka, sebagaimana firman
Allahdalam Surat Ibrahim/14:6:
َن ْٔ َْغِرف ِل
َٰ
ا َْ ِ ٌّ ًْ ُسىَٰ
ْ
َنْا ِْذا ًْ ُْسيَيَغ ِ ِّللَّا َث ٍَ ِْػُ اْوُرُْنذا ٌِِّ ْٔ َِلى َْٰسُٰٔم َلاَك ِْذاَو
ِْفَِوٗۗ ًْ ُزَءۤاَِصن َن ْٔ ُيْدَخَْصيَو ًْ ُزَءۤاَِ َْبا َن ْٔ ُ ِّبَّذُيَو ِاَذَػ
ْ
ىا َءۤ ْٔ ُش ًْ َُسُ ْٔ ُم ْٔ َُصي
ْيِظَغ ًْ ُِسّب َّر َْ ِ ٌّ ٌءََۤلَة ًْ ُِسىَٰذ ًٌ
( ng tl h) ketik Mus erk t kep d k umny , “ ng tl h nikm t
Allah atasmu saat Dia menyelamatkan kamu dari pengikut-pengikut
Fir„ un. Merek menyiks k mu deng n siks y ng pedih,
menyembelih anak-anakmu yang laki-laki, dan membiarkan hidup
19
(anak-anak) perempuanmu (untuk disiksa dan dilecehkan). Pada yang
demikian itu ada suatu cobaan yang besar dari Tuhanmu.
6. Melanggar Janji
Perjanjian yang mereka ikrarkan terhadap Allah yaitu bahwa
mereka tidak akan menyembah, kecuali kepada Allah, tapi mereka
mengingkarinya dan menyalahi janjinya ini . Paling tidak ada
enam ayat yang ditemukan dalam Al-Qur'an yang menjelaskan
bagaimana orang-orang yang menyalahi dan melanggar serta merusak
janji yang mereka buat sendiri, yaitu: Surat an-Nahl/16: 91 dan 92,
Surat al-Baqarah/2: 27, Surat al-Anfâl/8: 58, Dan Surat ar-Ra‟d/13: 20
dan 25.
َْدكَو ا َْ ِْدِينْٔ َح َدْػَب َنا ٍَ ْحَ
ْ
لَا ٔا ُغُْلَِت
َ
لََو ًْ ُّتْد َْ َعَ اَِذا ِ ِّللَّا ِدْٓ َِػة أْ ُفَْواَو
ا ٌَ ًُ َيْػَح َ ِّللَّا َِّناٗۗ ًْلَيِفَن ًْ ُْسي
َيَغ َ ِّللَّا ًُ ُخ
ْ
يَػَج َنْٔ ُيَػْفَت
Tepatilah janji dengan Allah apabila kamu berjanji. Janganlah kamu
melanggar sumpah(-mu) setelah meneguhkannya, sedangkan kamu
telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu).
Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
َْنا ِّة ُ ِّللَّا َرََما ٓ ا ٌَ َن ْٔ ُػَؽْلَيَو ِّكاَْريٌِ ِدْػَب ْۢ َْ ٌِ ِ ِّللَّا َدْٓ َخ َن ْٔ ُغُْلَِح ََ ْحِ
َّ
لَّا
ِْضر
َ ْلَا ِفِ َنْوُدِصْفُيَو َوَْض ُّٔي َنْو ُِسَِٰ
ْ
لْا ًُ ُْ َمِٕى
َٰۤ ىُوا
(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah setelah
(perjanjian) itu diteguhkan, memutuskan apa yang diperintahkan Allah
untuk disambungkan (silaturahmi), dan berbuat kerusakan di bumi.
Mereka itulah orang-orang yang rugi.
ُِي
َ
لَ َ ِّللَّا َِّنا ٍءۤأَ َش
َٰ
َعَ ًْ ِٓ ْ
َ
ِلَّا ِْذتْۢ ُْاَف ًَثُاَيِخ ٍم ْٔ َك َْ ٌِ ََّ َذاَ
َ
تَ ا ٌَّ ِ اَو َِْيْنِٕىۤاَ
ْ
لْا ُّب
Jika engkau (Nabi Muhammad) benar-benar khawatir (akan terjadi)
pengkhianatan dari suatu kaum, kembalikanlah (perjanjian itu) kepada
mereka dengan cara seimbang (adil dan jujur). Sesungguhnya Allah
tidak menyukai para pengkhianat.
َو َْنا ِّة ُ ِّللَّا َرََما ٓ ا ٌَ َن ْٔ ُػَؽْلَيَو ِّكاَْريٌِ ِدْػَب ْۢ َْ ٌِ ِ ِّللَّا َدْٓ َخ َن ْٔ ُغُْلَِح ََ ْحِ
َّ
لَّا
ِرا َّلدا ُءۤ ْٔ ُش ًْ ُٓ
َ لَو ُثَِ ْػَّيلا ًُ ُٓ َ ل َمِٕى
َٰۤ ىُوا ُِْۙضر
َ ْلَا ِفِ َنْوُدِصْفُيَو َوَْض ُّٔي
20
Orang-orang yang melanggar perjanjian (dengan) Allah setelah
diteguhkan, memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk
disambungkan (seperti silaturahmi), dan berbuat kerusakan di bumi;
mereka itulah orang-orang yang mendapat laknat dan bagi mereka
tempat kediaman yang buruk (Jahanam).
7. Sikap Munafik
Diantara keburukan akhlak yang diperlihatkan oleh Ahl al-Kitâb,
yang mendapat kecaman oleh Al-Qur'an yaitu sifat munafik yang
bersarang di dalam diri mereka. Kebohongan yang mereka tampakkan
di depan orang-orang Islam dapat menyesatkan dan memalingkan
orang-orang Islam dari keimanannya, dan inilah yang mereka inginkan
dari perbuatan dan niat keji mereka. Sebagaimana yang tecantum di
dalam Surat al-Hasyr/59:11:
ِوْْ َا َْ ٌِ اْوُرَفَز ََ ْحِ
َّ
لَّا ًُ ِٓ ِ ُا َٔ ِْخِلَ َن ْٔ
ُ ل ْٔ ُلَح أْ ُلَذَاُ ََ ْحِ
َّ
لَّا
َ
ِلَا ََرح ًْ َ َلا ِبَٰخِه
ْ
ىا
ًْ ُخ
ْ
ِيح ْٔ ُك ِْنا َّو ُۙاًَدَةا اًدََخا ًْ ُْسِيذ ُْعيُِؽُ
َ
لََو ًْ ُسَػ ٌَ ََّ َُجرَْخ
َ
لن ًْ ُخِْجرُْخا َْ ِٕى
َى
َنْٔ ُةِذَٰهَى ًْ ُٓ َِّجا ُد َٓ َْشي ُ ِّللَّاَو ٗۗ ًْ ُسَُّ َُْصَِٰ
َ
لن
Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang munafik? Mereka
berkata kepada saudara-saudaranya yang kufur di antara Ahlulkitab,
“Sungguh, jik k mu diusir, k mi p sti k n kelu r ers m mu d n
kami selamanya tidak akan patuh kepada siapa pun demi kamu. Jika
k mu diper ngi, k mi p sti menolongmu.” ll h ers ksi hw
mereka benar-benar para pendusta.
C. Seruan dan Peringatan terhadap Ahl al-Kitâb
Agama merupakan sistem sosial yang sudah terlembaga dalam
setiap masyarakat. Secara mendasar agama menjadi norma yang mengikat
dalam keseharian dan menjadi pedoman dari sebagian konsep ideal.
Ajaran-ajaran agama yang telah dipahami dapat menjadi pendorong
kehidupan individu sebagai acuan dalam berinteraksi kepada tuhan,
sesama manusia maupun alam sekitarnya.12
Sebagai umat yang terpilih dan diistemewakan, Ahl al- Kitâb selalu
mendapat perhatian lebih dari Allah, hal ini terlihat di saat mereka
menyimpang Allah selalu memberi seruan dan peringatan untuk kembali
ke jalan yang benar melalui Rasulnya.
1. Mengajak taubat kembali beriman kepada Allah Dalam surat al-
Imran/3:64, Al-Qur'an mengajak mereka untuk kembali sama-sama
beriman kepada Allah:
َ
لََو َ ِّللَّا
َّ
ِلَا َدُتْػَج
َّ
َلَا ًْ ُسَِ ْيَبَو اَِ َِ َْية ْۢ ٍءۤا َٔ َش ٍث ٍَ ِ َكَ
َٰ
ِلَا أْ َ لاَػَت ِبَٰخِه
ْ
ىا َو ْْ َاّّ ي ُْوك
ِ ِّللَّا ِنْوُد َْ ِ ٌّ ًاةاَبَْرا اًغْػَب اَِ ُغْػَب َذِخَّخَح
َ
لَ َّو أًْـيَش ِّة َِك ِْ ُ ن أْ َّى َٔ َح ِْناَف ٗۗ
َنْٔ ٍُ ِيْصُم اََُِّاة اْوُد َٓ ْشا ٔا
ُ ل ْٔ ُلَذ
K t k nl h (N i Muh mm d), “W h i hlulkit , m ril h (kit )
menuju pada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan
kamu, (yakni) kita tidak menyembah selain Allah, kita tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, dan tidak (pula)
sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan
sel in ll h.” Jik merek erp ling, k t k nl h (kep d merek ),
“S ksik nl h hw sesungguhny k mi d l h or ng-or ng muslim.”
Ajakan dan seruan ini ditujukan kepada Yahudi dan Nasrani,
yaitu persamaan presepsi dengan Muslim untuk tidak menyembah
selain Allah, dan berbuat syirik, kemudian meninggalkan perbuatan
maksiat dan selalu berserah diri kepada Allah. dan diharapkan kepada
mereka mendengar seruan itu.
2. Seruan untuk menghindari kekufuran
Setelah seruan untuk menegakkan persatuan dan kesatuan dalam
menyembah Allah dan menghindari Syirik, tetapi mereka telah tersesat
sebab mengingkari Ayat-Ayat Allah, seperti tergambar dalam surat
ali-Imrân/3: 70-71 dan 98-99:
ًَ ِ ل ِبَٰخِه
ْ
ىا َو ْْ َاّّ ي َنْوُد َٓ َْشت ًْ ُخَْجاَو ِ ِّللَّا ِجَٰيَِٰاة َنْوُرُفَْسح ًَ ِ ل ِبَٰخِه
ْ
ىا َو ْْ َاّّ ي
َن ْٔ ٍُ َيْػَت ًْ ُخَْجاَو َّقَ
ْ
لْا َنْٔ ٍُ ُخَْسحَو ِوِؼاَ
ْ
لِْاة َّقَ
ْ
لْا َنْٔ ُِصب
ْ
َيح
Wahai Ahl al-Kitâb, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah
padahal kamu mengetahui (kebenarannya)? Maksudnya yaitu ayat-
ayat Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Wahai Ahl al-
Kitâb, mengapa kamu mencampuradukkan yang hak dengan yang batil
dan kamu menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahui?
Mencampuradukkan antara hak dan batil maksudnya yaitu
mencampuradukkan antara ayat-ayat Tuhan yang disampaikan oleh
para nabi dengan takwilan-takwilan batil yang dikemukakan oleh para
pemuka agama mereka. Yang dimaksud dengan menyembunyikan
kebenaran yaitu menutupi firman Tuhan yang dibawa oleh para nabi,
22
yang berisi ajaran tauhid dan berita gembira tentang kedatangan Nabi
Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam.
ُْوك َنْٔ ُي ٍَ ْػَت ا ٌَ
َٰ
َعَ ٌْديِٓ َش ُ ِّللَّاَو ِ ِّللَّا ِجَٰي
َِٰاة َنْوُرُفَْسح ًَ ِ ل ِبَٰخِه
ْ
ىا َو ْْ َاّّ ي ُْوك
ّّ ي ًْ ُخَْجا َّو أًَج ِغ ا َٓ َج ْٔ ُْغتَت ََ ٌَ
َٰ
ا َْ ٌَ ِ ِّللَّا ِْوِيبَش َْ َخ َنْو ُّدَُطح ًَ ِ ل ِبَٰخِه
ْ
ىا َو ْْ َا
ُ ِّللَّا ا ٌَ َو ٗۗ ُءۤاَد َٓ ُش َنْٔ ُي ٍَ ْػَت ا ٍَّ َخ ٍِوفاَِغة
Katakanlah (N i Muh mm d), “W h i hlulkit b, mengapa kamu
terus-menerus mengingkari ayat-ayat Allah, padahal Allah Maha
Menyaksik n p y ng k mu kerj k n?” Katakanlah (Nabi
Muh mm d), “W h i hlul kitâb, mengapa kamu terus-menerus
menghalang-halangi orang-orang yang beriman dari jalan Allah?
Kamu (memang) menghendakinya (jalan Allah itu) menjadi bengkok,
sedangkan kamu menyaksikan. Allah tidak lengah terhadap apa yang
k mu kerj k n.”
Seruan ayat di atas yaitu untuk kembali membaca kitab mereka.
Sebenarnya mereka mengetahui dalam kitab mereka akan di utusnya
Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam, tetapi mereka ingkar. sebab
mereka hanya mengakui nabi dari golongan mereka saja.13 Walaupun
mereka telah mengetahui kebenaran-kebenaran ini mereka tetap
menolak utuk kembali kejalan Allah.
3. Seruan agar tidak berlebihan dalam beragama
Perbuatan mereka yang telah ingkar kepada Ayat Allah, dan
menolak untuk kembali ke jalan Allah, hal ini timbul sebab
mereka berlebihan dalam agama mereka, dengan menganggap
merekalah yang baik dan benar. Allah pun memberi peringatan dalam
surat an-Nisa'/4: 171:
ا ٍَ َِّجا ٗۗ َّقَ
ْ
لْا
َّ
ِلَا ِ ِّللَّا
َ
َعَ أْ ُ ل ْٔ ُلَت
َ
لََو ًْ ُِسِِْيد ِْفِ أْ ُيْغَت
َ
لَ ِبَٰخِه
ْ
ىا َو ْْ َاّّ ي
ٌحْوُرَو ًَ َيْرَم
َٰ
ِلَا ٓ ا َٓ ى َٰل
ْ
َىا ُّۚخ ٍَ ِ َكََو ِ ِّللَّا ُلْٔ َُشر ًَ َيْرَم َُ ْبا َْسَيِغ ُْحيِص ٍَ
ْ
لا
َ
لََو ّ ِيُُشرَو ِ ِّللَِّاة أْ ُِ ٌِ
َٰاَف ۖ ُّ ِِْ ٌّ ٌ
َٰ
ِٰا ُ ِّللَّا ا ٍَ َِّجا ٗۗ ًْ ُسَّى اًْيَْخ أْ ُٓ َْخِجاٗۗ ٌثَرَٰ َيذ أْ ُ ل ْٔ ُلَت
13 Wahbah Zuhaily, Tafsîr al-Munîr, vol. 3 Lebanon: Dâr al-Fikr al-Mu'ashir, 1991,
hal. 260.
23
َ
ٰ َنْٔ ُسَّي َْنا َِّ َْٰدتُش ٗۗ ٌدِخا َّو َٰفَٰكَو ِْضر
َ ْلَا ِفِ ا ٌَ َو ِتَٰٔ ٍَٰ َّصلا ِفِ ا ٌَ
َ
ٰ ۘ ٌ
َ
لدَو
ًْلَِيكَو ِ ِّللَِّاة
Wahai Ahlulkitâb, janganlah kamu berlebih-lebihan dalam
(menjalankan) agamamu dan janganlah kamu mengatakan terhadap
Allah, kecuali yang benar. Sesungguhnya Almasih, Isa putra Maryam,
hanyalah utusan Allah dan (makhluk yang diciptakan dengan) kalimat-
Nya yang Dia sampaikan kepada Maryam dan (dengan tiupan) roh
dari-Nya. Maka, berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan
j ng nl h k mu meng t k n, “(Tuh n itu) tig .” erhentil h (d ri
ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya hanya Allahlah
Tuhan Yang Maha Esa. Mahasuci Dia dari (anggapan) mempunyai
anak. Milik-Nyalah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.
Cukuplah Allah sebagai pelindung.
4. Seruan bahwa ada karunia dibalik sebuah peringatan
Bentuk peringatan dan seruan Allah yaitu sebuah karunia, Agar
mereka kembali ke jalan kebaikan dan beriman kepada Nabi
Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam dalam surat al-Ḥadîd/57: 29:
َوْغَف
ْ
ىا ََّناَو ِ ِّللَّا ِوْغَف َْ ِ ٌّ ٍء ْ ََ
َٰ
َعَ َنْوُرِدْلَح
َّ
َلَا ِبَٰخِه
ْ
ىا ُو ْْ َ ا ًَ َيْػَح
َّ
َلَ ِ
ّ
لّ
ُ ِّللَّاَوٗۗ ُءۤاَشَّ ي َْ ٌَ ِِّْيتُْؤي ِ ِّللَّا ِدَِيب ًِ ْيِظَػ
ْ
ىا ِوْغَف
ْ
ىا وُذ
…(Allah menganugerahkan itu) agar Ahlulkitab (yang tidak beriman
kepada Nabi Muhammad) mengetahui bahwa mereka sedikit pun tidak
akan mendapat karunia Allah dan bahwa karunia itu ada di tangan
Allah. Dia menganugerahkannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Allah Pemilik karunia yang agung.
5. Peringatan bagi yang menghalang-halangi untuk beriman
Kemudian Allah kembali memberi peringatan dengan di
keluarkannya mereka dari kampung mereka, sebab perbuatan mereka
yang ingkar dan menghalangi sebagian dari golongan mereka untuk
beriman. Dalam surat al-Ḥashr/59: 2. Allah menjelaskan:
ِ
ِْ َ ْلْا ِل َّوَِلَ ًْ ِِْرَاِيد َْ ٌِ ِبَٰخِه
ْ
ىا ِو ْْ َ ا َْ ٌِ اْوُرَفَز ََ ْحِ
َّ
لَّا َجَرَْخا ْٓيِ
َّ
لَّا َٔ ُْ
ٌِ ُ ِّللَّا ًُ ُٓ ىََٰحاَف ِ ِّللَّا ََ ِ ٌّ ًْ ُٓ ُج ْٔ ُطُخ ًْ ُٓ ُخَِػُا ٌَّ ًْ ُٓ ََّجا آْٔ ُِّ َظَو أْ ُُجْر َّيَّ َْنا ًْ ُْخنَِ َظ ا ٌَ َْ
24
ًْ ِٓ ْ يِْدَيِاة ًْ ُٓ َت ْٔ ُيُب َن ْٔ ُبِْرُيَّ َبْغُّرلا ًُ ِٓ ِ ب ْٔ
ُُيك ِْفِ َفَذَكَو أْ ُتَِصْتَي ًْ َ ل ُْديَخ
ِراَْطة
َ ْلَا ِلُِواّّ ي اْو ُِبَِخْخاَف ُۙ َِْيٌِِْ ْؤ ٍُ
ْ
لا ىِْدَياَو
Dialah yang mengeluarkan orang-orang yang kufur di antara
Ahlulkitab (Yahudi Bani Nadir) dari kampung halaman mereka pada
saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka bahwa mereka
akan keluar. Mereka pun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan
dapat menjaganya dari (azab) Allah. Maka, (azab) Allah datang
kepada mereka dari arah yang tidak mereka sangka. Dia menanamkan
rasa takut di dalam hati mereka sehingga mereka menghancurkan
rumah-rumahnya dengan tangannya sendiri dan tangan orang-orang
mukmin. Maka, ambillah pelajaran (dari kejadian itu), wahai orang-
orang yang mempunyai penglihatan (mata hati).
Allah pun memberikan peringatan dan cobaan ini agar
mereka sadar dengan perbuatan mereka, bahwa mereka telah
mengingkari ajaran mereka, mereka menutupi kebenaran, dan
mengajak yang lain untuk berbuat fasik.
6. Seruan untuk kembali kepada perintah kitab mereka
Kemudian Allah kembali menyeru mereka agar kembali beriman
dan mengimani bahwa Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam
yaitu rasul melalui kitab-kitab mereka. Seperti yang Allah jelaskan
dalam surat al-Mâidah/5: 68.
َِلْزُُا ٓ ا ٌَ َو َْويِ
ْ
ِنْ
ْ
لَاَو َثى َٰر ْٔ َّلَا ٔا ٍُ ْيُِلح ِّتَّٰخ ٍء ْ
ََ
َٰ
َعَ ًْ ُخَْصل ِبَٰخِه
ْ
ىا َو ْْ َاّّ ي ُْوك
ًاُاَيْغُؼ َِمّب َّر َْ ٌِ َْم
َ
ِلَّا َِلْزُُا ٓ ا ٌَّ ًْ ُٓ ِِْ ٌّ ا ًِْيْرَن َّنَْديَِيَ
َىَوٗۗ ًْ ُِسّب َّر َْ ِ ٌّ ًْ ُْس
َ
ِلَّا
ا
َ
َعَ َس
ْ
َأح ََلَف ۚاًرْفُزَّو ََ ْيِرِف
َٰس
ْ
ىا ِْمَٔل
ْ
ى
Katakanlah (N i Muh mm d), “W h i hlulkit b, kamu tidak
menganut sesuatu pun (agama yang benar) hingga kamu menegakkan
ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan (Al-Qur'an) yang diturunkan Tuhanmu
kep d mu.” p y ng diturunk n Tuh nmu kepadamu pasti akan
membuat banyak di antara mereka lebih durhaka dan ingkar. Maka,
janganlah engkau bersedih terhadap kaum yang kafir itu.
Mereka pun kembali diseru oleh Allah melalui Rasulullah, bahwa
tidak ada manfaat dari yang mereka ikuti, sampai mereka benar-benar
kembali ke kitab mereka yaitu Taurat dan Injil dan beriman kerasulan
Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam, serta mengikuti ajaranya.
7. Seruan untuk berbuat baik terhadap yang beriman
25
Tetapi tetap saja, sebagian mereka tidak mendengar seruan
ini , bahkan mereka yang beriman dipandang telah bersalah.
Dalam surat al-Mâidah/5: 59. Allah berfirman:
َِلْزُُا ٓا ٌَ َو اَِ ْ
َ
ِلَّا َِلْزُُا ٓا ٌَ َو ِ ِّللَِّاة اَِّ ٌَ
َٰ
ا َْنا ٓ
َّ
ِلَا ٓاَِّ ٌِ َن ْٔ ٍُ ِْلَِت ْو َْ ِبَٰخِه
ْ
ىا َو ْْ َاّّ ي ُْوك
َْزا ََّناَو ُۙ ُْوتَر َْ ٌِ َنْٔ ُلِصَٰف ًْ ُك ََث
K t k nl h, “W h i hlulkit , p k h k mu mem nd ng k mi s l h
hanya sebab kami beriman kepada Allah, pada apa yang diturunkan
kepada kami Al-Qur‟ ), pada apa yang diturunkan sebelumnya, dan
(kami yakin bahwa) sesungguhnya kebanyakan kamu yaitu orang-
or ng f sik?”
8. Seruan agar tidak mengikuti nafsu mereka saja
Sebab dari keingkaran mereka yaitu berlebihan dalam agama
mereka, mereka mengikuti hawa nafsu pendahulunya dan tidak ingin
mendengar kebenaran yang di bawa oleh Muhammad shallallâhu
'alaihi wasallam. Allah menjelaskan dalam Al-Qur'an surat al-
Mâidah/5: 77:
َْدك ٍم ْٔ َك َءۤأَ ْْ َ ا آْٔ ُِػتََّتح
َ
لََو ِّقَ
ْ
لْا َْيَْد ًْ ُِسِِْيد ِْفِ أْ ُيْغَت
َ
لَ ِبَٰخِه
ْ
ىا َو ْْ َاّّ ي ُْوك
ِْوِيب َّصلا ِءۤأَ َش َْ َخ أْ ُّيَعَّو اًِْيْرَن أْ ُّيََعاَو ُْوتَر َْ ٌِ أْ ُّيَع
Katakanlah Nabi Muhammad, “W h i hlulkit , j ng nl h k mu
berlebih-lebihan dalam (urusan) agamamu tanpa hak. Janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu kaum yang benar-benar tersesat sebelum kamu
dan telah menyesatkan banyak (manusia) serta mereka sendiri pun
terses t d ri j l n y ng lurus.”
Demikianlah bentuk seruan dan peringatan yang Allah berikan
kepada Ahl al-Kitâb, sebab hawa nafsu para pendahulu mereka yang
merasa dari kaum yang terbaik, sehingga mereka tidak mendengarkan
seruan dari Nabi Muhammad, yang bukan dari golongan mereka, maka
Allah berkali-kali memberikan peringatan secara langsung yang
disampaikan kepada Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam.
D. Pendapat Ulama Tentang Ahl Al-Kitâb
Terma Ahl al-Kitâb ini merujuk kepada pengertian agama
yang dialamatkan kepada kelompok pemeluk agama dengan kitab suci
yang telah diwahyukan Allah kepada nabi dan rasul. Pada umumnya para
ulama telah sepakat dalam masalah ini, bahwa yang termasuk dalam
26
kategori Ahl al-Kitâb yaitu komunitas Yahudi dan Nasrani. Hanya para
ulama berbeda pendapat dalam memahami, adakah kaum Ahl al-Kitâb,
selain dari dua komunitas ini . Setelah mengalami perkembangan
dalam hal penafsiran tentang Ahl al-Kitâb, para ulama banyak mengalami
perbedaan dalam menafsirkan konsep ini dengan berbagai
argumentasi yang diajukan, terutama mereka berbeda dalam menafsirkan
surat al-mâidah/5: 5, mengenai boleh atau tidaknya makan dari
sembelihan Ahl al-Kitâb dan kawin dengan wanita dari kalangan mereka
yang masih menjaga kehormatan dirinya, juga dalam menafsirkan cakupan
dan rincian Ahl al-Kitâb selain kaum Yahudi dan Nasrani. Awal
perkembangan Islam, terma Ahl al-Kitâb diperuntukkan bagi pemeluk
agama Yahudi dan Nasrani. Selain keduanya, seperti pemeluk agama
Majusi, tidak dinamakan Ahl al-Kitâb, kendati agama Majusi sudah
dikenal di masa rasul dan para sahabat. Namun, meski tidak dinamakan
Ahl al-Kitâb, nabi Muhammad tetap memberikan anjuran agar
memperlakukan orang Majuzi atau zoroaster) layak perlakuan terhadap
Ahl al-Kitâb.14
Kebanyakan mufassir Islam berusaha untuk tidak menerima bahwa
kaum Yahudi, Nasrani, dan Sabi‟in pun ada juga yang mempercayai Allah
dan Hari Akhir serta melakukan amal kebajikan akan memperoleh
keselamatan. Menurut mereka yang dimaksud dengan memperoleh
keselamatan yaitu orang-orang Yahudi, Nasrani dan Sabi‟in yang telah
masuk Islam, dan yang dimaksud dengan adanya orang-orang saleh di
dalam kaum Yahudi, Nasrani dan Sabiin yaitu mereka yang saleh
sebelum Nabi Muhammad datang. Seperti pendapat Ath-Thabari, bahwa
jaminan Allah ini mensyaratkan tiga hal: beriman, percaya kepada
hari akhir dan berbuat baik, dengan demikian yang dimaksud dengan ayat
ini yaitu mereka yang telah memeluk agama Islam.15
Pada masa tabiin, sebutan bagi Ahl al-Kitâb, terkhusus kaitannya
dengan ruang lingkup, rincian, dan batasan siapa pun yang disebut sebagai
Ahl al-Kitâb, mengalami perkembangan makna. Imam al-Sh fi„i (W. 204
H), misalnya dalam al-Umm, menerima riwayat terkait Ata‟ (seorang
tabiin) berkata: ‚Orang Kristen Arab bukan termasuk Ahl al-Kitâb. Kaum
yang disebut Ahl al-Kitâb yaitu kaum Israel (Bani Israel), yakni orang-
orang yang diturunkan kepada mereka kitab Taurat dan Injil. Sementara
itu, orang lain (selain Bani Israel) yang berpegang kepada agama Yahudi
dan Nasrani, dianggap tidak masuk kategori Ahl al-Kitâb. Argumentasi
terkait penjelasan ini, berlandaskan ayat Al-Qur'an tentang nabi Isa yaitu
Rasul khusus untuk Bani Israel (Surat al-Saffat/61: 6). Ayat ini juga
mengisyaratkan terbatasnya apa yang dibawa oleh nabi I hingga datangnya
Nabi Muhammmad.
Dengan demikian, Ahl al-Kitâb dipahami al-Shafi„i, sebagai
komunitas etnis, bukan komunitas agama, sebagaimana dibawa nabi Musa
dan nabi Ibrahim. Bagi imam al-Tabarri (224-310 H), Ahl al-Kitâb yaitu
pemeluk agama Yahudi dan Nasrani dari keturunan mana pun dan siapa
pun mereka, baik dari keturunan bangsa Israel maupun bukan dari bangsa
Israel.16 Adapun Imam Abu Hanifah (80-150 H) dan ulama Hanafiyah
lainnya menyatakan bahwa yang disebut Ahl al-Kitâb yaitu siapa pun
yang mempercayai salah seorang nabi atau kitab suci yang pernah
diturunkan Allah, tidak terbatas pada kelompok Yahudi dan Nasrani.
Dengan demikian bila ada yang percaya kepada suhuf Ibrahim atau kitab
Zabur, maka ia pun termasuk dalam jangkauan pengertian Ahl al-Kitâb
ini.17 Selain itu, sejumlah ulama salaf berpandangan, umat yang memang
secara valid mempunyai kitab suci, bisa disebut Ahl al-Kitâb, misalnya
orang Majusi.18
Menurut Ibnu Katsir, hanya orang taat kaum Islam, Yahudi, Nasrani,
dan Sabi‟in yang beriman kepada Allah, Hari Akhir, mengamalkan amal
saleh dan mengikuti syariat Nabi Muhammad setelah beliau diutus, maka
akan mendapatkan kebahagiaan yang abadi dan tidak ada kekhawatiran
baginya untuk menghadapi masa depan yakni keselamatan di akhirat nanti,
dan tidak ada kekhawatiran masa lalu sebab Allah akan mengampuni
dosa-dosanya.
Al-Shahrastani (1086-1158 M), dalam menggolongkan termasuk
atau tidaknya suatu komunitas disebut Ahl al-Kitâb, ia terlebih dahulu
mengurai tipologi menjadi dua kelompok berlandaskan parameter kitab
suci dalam suatu komunitas agama tertentu. Pertama, bahwa pemeluk
agama Yahudi dan Nasrani yang secara jelas memiliki kitab suci yang
muhaqqaq disebut dengan Ahl al-Kitâb. Kedua, mereka yang memiliki
serupa (shibh) kitab suci namun mereka tidak termasuk Ahl al-Kitâb,
Tetapi disebut sebagai shibh ahl al-kitab.19 Sedangkan Ibnu Hazm (384-
456 H) memahami terma Ahl al-Kitâb hampir sama dengan yang
dikemukakan oleh ulama Salaf, tetapi Ibnu Hazm mengatakan, bahwa
kaum Majusi termasuk dalam kelompok Ahl al-Kitâb. Al-Qasimi (1907-
1996 M), mengemukakan, arti dari terma Ahl al-Kitâb hampir sama
dengan yang dikemukakan oleh Imam Shafi„i, namun alQasimi,
memasukkan etnis selain Bani Israel yang menganut agama Yahudi dan
Nasrani ke dalam terma Ahl al-Kitâb, sampai diutusnya Rasulullah
shallallâhu 'alaihi wasallam.
Penafsiran terma Ahl al-Kitâb yang dilakukan oleh sebagian ulama,
terutama ulama kontemporer mengalami perkembangan yang lebih luas,
sehingga mencakup penganut agama lain, yakni seperti Majusi, Sabi‟in,
Hindu, Budha dan Shinto. Semua itu termasuk dalam cakupan Ahl al-
Kitâb. Pendapat ini ditegaskan Muhammad „Ali, bahwa penganut
agama Majusi, Sabi‟in, Hindu, dan Budha termasuk kategori Ahl al-Kitâb.
Kendti ada kesyirikan, tetapi pemeluknya harus diperlakukan
layaknya Ahl al-Kitâb, dan bukan orang musyrik. Oleh sebab itu, pemeluk
agama yang ada sekarang, termasuk selain Yahudi dan Nasrani, bisa
dikatakan ajaran mereka dan kitab sucinya merupakan wahyu yang
diturunkan kepada nabi dan rasul terdahulu, tetapi sudah terjadi perubahan
menyesuaikan dinamika zamannya. Bahkan agama Nasrani yang jaraknya
relatif tidak jauh dengan agama Islam pun telah terjadi perubahan.
Fazlur Rahman (1919-1988 M) pada dasarnya mengartikan istilah
ahl Sabi‟in sebagai kaum yang mengikuti para nabi yang memperoleh
kitab suci dari Allah semenjak dulu sampai Nabi Muhammad di Mekah
dan Madinah. Mereka disebut dalam Al-Qur'an sebagai pemilik wahyu
yang lebih awal. Penafsiran Rahman ini hanya memberikan sebuah
harapan bagi Ahl al-Kitâb, menurutnya Surat al-Bâqarah/1: 62 dan Surat
al-Mâidah/6: 69 yaitu ayat yang bersifat universal, tidak terbatas pada
kaum dan bangsa tertentu. Jadi keselamatan di akhirat nanti bisa
didapatkan oleh siapa saja selama orang ini beriman kepada Allah
dan Hari Akhir serta melakukan amal kebajikan, baik itu agama Islam,
Yahudi, Kristen ataupun agama lainnya. Memang di dalam Al-Qur'an
tidak menolak adanya kaum Yahudi dan Kristen, tetapi itu juga tidak
menjadi patokan mereka mendapat keselamatan saat nanti di akhirat
selama mereka tidak beriman kepada Allah dan masuk agama Islam.
sebab bagaimanapun juga, selain agama Islam tidak akan diterima di
akhirat nanti, seperti yang telah disebutkan dalam Surat ali-Imran: 85.
Menurutnya yang disebut sebagai Ahl al-Kitâb bukan hanya kaum Yahudi
dan Nasrani, tetapi juga mencakup semua kelompok agama, sebab
menurutnya pasti setiap kelompok agama ada yang memberi peringatan
atau petunjuk Tuhan. Petunjuk bukanlah fungsi dari kaum-kaum tertentu
tetapi dari Allah dan manusia-manusia yang saleh, tidak ada satu kaum
pun dapat mengatakan bahwa hanya merekalah yang telah diangkat Allah
dan yang telah memperoleh petunjuk-Nya, ini merupakan penafsiran
29
Rahman dalam Surat al-Bâqarah/2: 113, 111 dan 120. Rahman juga
menafsirkan Surat al-Baqarah: 62 dan Surat al-Mâidah/6: 69, bahwa
petunjuk dan keselamatan itu bersifat universal, tidak terbatas pada kaum
dan bangsa tertentu. Dan untuk keselamatan di akhirat nanti, siapapun
kaumnya selama mereka beriman kepada Allah dan melakukan amal
kebajikan, maka mereka akan mendapatkan keselamatan, baik itu Yahudi,
Nasrani maupun Islam. Yang dimaksud dengan kaum Yahudi dan Nasrani
mendapat keselamatan yaitu benar-benar murni orang-orang yang
beragama Yahudi dan Nasrani, bukan orang yang beragama Yahudi atau
Nasrani lalu masuk agama Islam, seperti kebanyakan pendapat para
mufassir. Dan ideal moralnya ialah untuk saling berlomba-lomba dalam
kebajikan.
Menurut Rashid Rida (1865-1935 M), konsep hl S i‟in
sebenarnya lebih bersifat umum dan tidak hanya tertuju kaum Yahudi dan
Nasrani dari bangsa Israel semata, namun meliputi suku bangsa lain juga.
Menurut Rida, Ahl al-Kitâb bisa meliputi agama selain Yahudi dan
Nasrani, misalnya Majusi, Sabi„in, Hindu, Budha, dan Shinto. Menurut
Rashid Rida, walaupun Al-Qur'an mengidentifikasi Yahudi dan Nasrani
sebagai Ahl al-Kitâb, namun bukan berarti kelompok agama di atas tidak
diakui sebagai Ahl al-Kitâb. Argumen yang dikemukakan Rashid Rida,
bahwa memang dalam Al-Qur'an tidak ada agama-agama kuno India dan
Cina, sebab orang Arab kurang mengenal istilah keduanya. Ini
menunjukkan, Al-Qur'an menghindari sesuatu yang asing kepada
audiensinya.20
Sedangkan Muhammad „Abduh (1849-1905 M), berbeda pendapat
dengan Rida yang notabene yaitu muridnya, sebagaimana tertera dalam
tafsir Juz ‟Amma-nya yang menyatakan, bahwa Ahl al-Kitâb mencakup
penganut agama Yahudi, Nasrani dan Sabi‟in, sebagaimana diungkapkan
secara implisit dalam Surat al-Baqarah/2: 62.21 Sayyid Qutub (1906-1966
M) dalam Tafsir fi Zilal Al-Qur'an -nya menyatakan, Ahl al-Kitâb yaitu
orang-orang yang menganut agama Yahudi dan Nasrani dari dulu sampai
sekarang, dari zaman kapan pun dan dari suku bangsa mana pun.22
Pendapat ini juga dipegang oleh M. Quraish Shihab yang menyatakan, Ahl
al-Kitâb yaitu semua penganut agama Yahudi dan Nasrani kapan, di
mana pun dan dari keturunan siapa pun mereka. Pendapat Quraish ini
dilandasi penggunaan Al-Qur'an atas kata Ahl al-Kitâb yang hanya pada
dua golongan Yahudi dan Nasrani sebagai golongan yang ada saat itu.23
M. Quraish Shihab memahami makna Ahl al-Kitâb yaitu semua
penganut agama Yahudi dan nasrani dimanapun, kapanpun dan dari
keturunan siapapun. Dia memahami makna seperti itu sebab berdasarkan
al Quran yang hanya terbatas paada dua golongan saja yaitu Yahudi dan
Nasrani dan dia juga beranggapan bahwa orang Yahudi dan Nasrani
penyembah berhala non arab dan sebagainya tidak termasuk Ahl al-Kitâb,
tetapi mereka dapat diperlakukan sama dengan Ahl al-Kitâb. Rasyid
Ridha di dalam tafsirnya juga sependapat dengan Fazlur R ahman bahwa
selain golongan Yahudi dan Nasrani seperti budha, hindu dan konghucu.
Memang di dalam Al Quran tidak di sebutkan tiga kelompok ini ,
sebab bangsa arab letaknya jauh dari india, jepang dan cina yang
merupakan asal negara agama ini .24
ada 31 ayat Al-Qur'an yang menggunakan kata Ahl al-Kitâb,
ada 3 ayat yang menyandingkan kata Ahl al-Kitâb dengan kata al-
Mushrikîn menggunakan kata penghubung wauw, yakni Surat al-
Baqarah/2: 105.
َْ ِ ٌّ ًْ ُْسيَيَغ َل ََّنِ ُّح َْنا َِْيْكِ
ِْ ٍُ ْ لا
َ
لََو ِبَٰخِه
ْ
ىا ِو ْْ َ ا َْ ٌِ اْوُرَفَز ََ ْحِ
َّ
لَّا ُّدَٔ َي ا ٌَ
ًِ ْيِظَػ
ْ
ىا ِوْغَف
ْ
ىا وُذ ُ ِّللَّاَو ٗۗ ُءۤاَشَّ ي َْ ٌَ ِّخََْحِْرة ُّصَْخَيَّ ُ ِّللَّاَو ٗۗ ًْ ُِسّب َّر َْ ِ ٌّ ٍْيَْخ
Dengan adanya tanda penghubung و yang artinya “dan”, jelas ada
perbedaan makna antara Ahl al-Kitâb dengan kata al-Mushrikîn. Kata al-
al-Mushrikîn, menurut para mufassir yaitu orang yang menyembah
berhala yang saat itu bertempat tinggal di Makkah.
Agama di dunia ini pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi
dua yaitu agama wahyu dan agama alamiah. Agama wahyu yaitu agama
yang diturunkan oleh Allah kepada rasul-Nya dan diberikan kitab sebagai
sumber petunjuk syariatnya, agama wahyu bisa juga disebut dengan
agama samawi seperti agama Islam, Yahudi, Nasrani dan Sabi‟in.
Sedangkan agama alamiah yaitu agama yang timbul dari lingkungan
secara alami atau bisa juga disebut dengan agama budaya, seperti agama
Hindu, Budha, Zoroaster, Shinto, Konghucu, dan sebagainya.25
1. Varian Term Ahl al-Kitâb dalam Al-Qur'an
Dalam Al-Qur'an kata Ahl al-Kitâb disebutkan sebanyak 31 kali,
yang ada dalam Surat al-Baqarah/1: 46, 105, dan 109; Surat ali-
Imrân/4: 64-65, 69, 70-72, 75, 98-99, 110, 113, dan 119; Surat al-
Ahzâb/20: 26; an-Nisa‟: 123, 153, 159 dan 171; Surat al-Hadîd/29: 29;
Surat al-Bayyinah/309: 1 dan 6; Surat al-Hashr: 2 dan 11; Surat al-
Mâidah/6: 15, 19, 59, 65, 68 dan 77. Term yang sepadan dengan Ahl al-
Kitâb yang disebutkan di dalam Al-Qur'an untuk kaum Yahudi dan
Nasrani ada empat, yaitu َبَٰخِه
ْ
ىا ًُ ُٓ ََِْٰيح
َٰ
ا, َبَٰخِه
ْ
ىا أُحُْوا, ِبَٰخِه
ْ
ىا ََ ٌِّ اًْتيَِطُ أْ ُحُْوا, dan
َِمْيتَر َْ ٌِ َبَٰخِه
ْ
ىا َنْوُءَرْلَح.
a. Term َبَٰخِه
ْ
ىا ًُ ُٓ ََِْٰيح
َٰ
ا
Term َبَٰخِه
ْ
ىا ًُ ُٓ ََِْٰيح
َٰ
ا yang artinya “orang-orang yang Kami beri
kitab” dan disebutkan sebanyak 9 kali, yang ada dalam Surat al-
Qashash/20: 52; Surat al An‟âm/7: 20, 89 dan 114; Surat al-
Ankabut/21: 47; Surat al-Baqarah/2: 121 dan 146; Surat al-Ra‟d/11:
36. Menurut Raghib al-Asfahani, penggunaan term ini menunjukkan
adanya penerimaan dari objek yang diberikan kitab.26 Secara umum
penggunaan term ini untuk kaum Yahudi dan Nasrani yang telah
diberi kitab dan dapat memahami dengan sebaik-baiknya petunjuk
yang diberikan Allah.
b. Term َبَٰخِه
ْ
ىا أُحُْوا
Term َبَٰخِه
ْ
ىا أُح�
.jpeg)
