makna ahl alkitab 2
�ُوا yang artinya “orang-orang yang diberi kitab”
dan disebutkan sebanyak 21 kali, yang ada dalam Surat al-
Baqarah/2: 101, 144-145; Surat ali-Imran/4: 19-20, 100, 186-187;
Surat al-Mâidah/7 : 5 dan 57; Surat an-Nisâ/5: 47 dan 131; Surat al-
Mudashir/39: 31; Surat al-Hadid/29: 16; Surat al-Bayyinah/309: 4;
Surat at-Taubah/11: 29. Menurut Raghib al-Asfahani, penggunaan
term ini dapat mencakup adanya unsur penerimaan dan penolakan
dari objek yang dituju.
c. Term ِبَٰخِه
ْ
ىا ََ ٌِّ اًْتيَِطُ ا ْٔ ُحُْوا
Term ِبَٰخِه
ْ
ىا ََ ٌِّ اًْتيَِطُ أْ ُحُْوا yang artinya “orang-orang yang diberi
bagian kitab”. Di dalam Al-Qur'an disebutkan sebanyak 3 kali, yang
ada dalam Surat ali-Imran/4: 23; Surat an-Nisa/5: 44 dan 51,
pengungkapan term ini lebih banyak menunjuk kepada kaum
Yahudi.
d. Term َِمْيتَر َْ ٌِ َبَٰخِه
ْ
ىا َنْوُءَرْلَح
26Raghib al-Ashfahani, Mu‟j m Mufr d t Li Alfazh Al-Qur'an, Beirut: Dâr al-Fikr, tt,
hal. 4
32
Term َِمْيتَر َْ ٌِ َبَٰخِه
ْ
ىا َنْوُءَرْلَح yang artinya “orang-orang yang
membaca kitab sebelum kamu” dan disebutkan hanya sekali yang
ada dalam Surat Yunus/13: 94. Dalam ayat ini membahas
berbicara mengenai kaum Yahudi dan Nasrani sebagai umat yang
telah membaca kitabnya (Taurat dan Injil).
E. Perbedaan Bani Israil, Yahudi, Nashrani dan Kristen
1. Bani Israil
Kata Bani dalam Al-Qur'an diungkapkan sebanyak 49 kali." 41
kali dihubungkan dengan kata Israil, selebihnya 6 kali dihubungkan
dengan anak keturunan Nabi Adam. Term ini menunjukkan bahwa
bangsa Israil yaitu bangsa yang dikasihi Tuhan dari satu sisi, tetapi di
lain pihak juga menunjukan bahwa bangsa Israil yaitu bangsa yang
suka berbuat kerusakan, bersikap ekslusif, dan sulit diatur. Sedangkan
dua kali diantaranya (Surat an-Nûr/24:31) berbicara mengenai putra
saudara laki-laki dan perempuan. Dapat disimpulkan bahwa kata Bani
mengindikasikan adanya hubungan darah. dalam ayat-ayat ini .
Sedangkan Israil, ditemukan sebanyak 43 kali dalam Al-Qur'an
Surat ali-Imran/3:93 dan Surat Maryam/19: 58 menunjuk langsung
kepada nabi ya'kub As. selebihnya dikaitkan dengan keturunannya.
Sedangkan kata israil itu sendiri berasal dari bahasa Ibrani yang terdiri
atas dua kata, yakni isra yang berarti hamba atau kekasih dan il berarti
Tuhan. Sehingga Israil berarti hamba Allah atau kekasih Allah.
Bani Israil Disebut Bani Israil, disandarkan pada Nabi Ya‟qub bin
Ishaq bin Ibrahim yang mendapatkan gelar Israil (bahasa Ibrani; israa:
kekasih, hamba dan iil: Tuhan). Maka dikatakan Bani Israil, yaitu
anak keturunan nabi Ya‟qub. Gelar serupa sama dengan “Khalilullaah”
atau “Khalilurrahmaan” sebagai gelar Nabiyullah Ibrahim (bahasa
Arab; khaliel: kekasih, Rahmaan: Allah). Maka di masa silam, tak
heran ada seorang ulama ahli hadis, tsiqah (terpercaya), hafalannya
kuat, dan termasuk perawi dalam kutub sittah bernama Israil. Beliau
bernama Israil bin Yunus as-Suba‟i. Biografi beliau disebutkan adz-
Dzahabi dalam Siyar A‟lam anNubala, 7/355. Ada setidaknya 41 kali
disebutkan kata Bani Israil dalam Al-Qur'an . Tidak semua disebutkan
dalam konteks negatif.27
Firman Allah dalam Surat al-Imran/4: 93:
ُّ ُُ ِماَػ َّؽىا َنَكَ
ً
لَِخ ِْٓنَ
ّ
ِلْ َْويِءۤا َِْسْا
َّ
ِلَا ا ٌَ َمَّرَخ ُْوِيءۤا َِْسْا
َٰ
َعَ ِّصْفَج َْ ٌِ
َِْيْرِد َٰض ًْ ُْخُِن ِْنا ٓا َْ ْٔ ُْيحاَف ِثى َٰر ْٔ َّلَِاة أْ ُح
ْ
أَف ُْوك ٗۗ ُثى َٰر ْٔ َّلَا َل ََّنُِت َْنا ِْوتَر
Semua makanan itu halal bagi Bani Israil, kecuali makanan yang
diharamkan oleh Israil (Yakub) atas dirinya sebelum Taurat
diturunk n. K t k nl h (Muh mm d), “M k w l h T ur t l lu
bacalah, jika kamu orang-or ng y ng en r.” (ali-Imran/4: 93)
Dalam ayat lain disebutkan
َا ََ ْحِ
َّ
لَّا َمِٕى
َٰۤ ىُوا َع ٌَ اَِ
ْ
يََحْ َْ ٍَّ ِمَو َمَد
َٰ
ا ِثَِّيّرُذ َْ ٌِ َِّيْبَّلنا ََ ٌِّ ًْ ِٓ ْي
َيَغ ُ ِّللَّا ًَ َػْج
ًْ ِٓ ْي
َيَغ َْٰلٰخُت اَِذا ٗۗ اَِ َْيبَخْجاَو اَِ ْحَد َْ َْ ٍَّ ِمَو َْۖوِيءۤا َِْسْاَو ًَ ِْي َْْٰرِةا ِثَِّيّرُذ َْ ٌِ َّو ٍٍۖح ْٔ ُُ
ِسُب َّو اًد َّجُش اْو ُّرَخ َِ َْٰحَّْرلا ُجَٰي
َٰ
ااًي
Mereka itu yaitu orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah,
yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang
Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan
dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih.
Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada
mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.
(Maryam/14: 56- 57)
Syaukani rahimahullah menegaskan
ِا ت َف َق
ْ
ا ٍُ ل َف ُِسّ ْو َن ََعلى
َ
أ ن ِإ َْسر ِئا
ْي َو ُْ َٔ َي ْػ ُل ْٔ َب ْة َِ ِإ ْض َح َقا
ْة َِ
ِإ ْة َس ِْ ا
ْي ًَ َغ َي ْي ِٓ ًُ طلا َلا ِم، َو ٌَ ْػ َِ ُها َع ْت ُر ،للها
َ
ِلأ ن “ ِإ َْسر” ِْفي
ُ
ى َغ ِخ ِٓ ًْ ُْ َٔ
ْ
ا َػى ْت ُر،
َو” ِإ ُي ُو” ُْ َٔ ،للها ِؼ
ْي َو : ِإ
ن ُ
َ
ه ِا ْض ٍَ ِْين، َو ِؼ ْي َو : ِإ َْسر ِئا ْي َو
َ
ى َل ٌب ُ
َ
ه
Seluruh ahli tafsir sepakat, bahwa Israel yaitu Ya‟qub bin Ishak
bin Ibrahim „alaihissalam. Maknanya yaitu hamba Allah, sebab isra
dalam bahasa mereka artinya yaitu hamba, dan el artinya Allah.28
Ada ulama yang menerangkan, bahwa Nabi Ya‟qub memiliki dua
nama (yakni: Yaqub dan Israel). Ada pula yang menjelaskan, Israel
yaitu julukan untuk beliau. Adapun turunan Nabi Ya‟qub memiliki
empat orang istri dan dua belas anak;
a. Isteri pertama [Li‟ah] melahirkan enam orang anak: Rawabin,
Sami‟un, Lawiyah, Yahudza, Badzakir dan Dzambalan.
b. Isteri kedua [Rahil] melahirkan dua anak: Yusuf dan Benyamin.
c. Isteri ketiga [Zalifah] melahirkan dua anak: Za‟ad dan Asyir, dan
d. Isteri keempat [Barihah] melahirkan anak: Dana dan Naftalia.
2. Yahudi
Kata Yahud yang diawali dengan alif dan lam, al-Yahud
digunakan untuk merujuk pada bangsa Yahudi. Jika kata ini
ditambah ya nisbah, al-Yahudi berarti orang Yahudi, sedangkan al-
Yahudiyah diartikan sebagai agama Yahudi. Dalam Al-Qur'an ,
diungkap sebanyak 9 kali. Sembilan kali disebut al-Yahud yaitu dua
kali dalam Surat al-Baqarah/2: 113 dan 120, Surat al-Mâidah/5: 18, I
51, 64, dan 82, serta Surat at-Taubah/9: 30. Satu kali disebutkan dalam
bentuk Yahudi, yaitu dalam Surat ali Imran/3: 67. Semua kata Yahud
dalam ayat-ayat ini mengandung arti 'orang-orang Yahudi'.
Misalnya Surat al-Baqarah/2: 113 dan Surat ali-Imran/3: 67. saat Al-
Qur'an menggunakan term Yahud maka kesan umumnya yaitu tentang
kecaman atau gambaran negatif mereka (Yahudi).
Diartikan orang-orang yang masuk agama Yahudi atau mereka
yang telah tunduk kepada agama Nabi Musa As, Kata Hâdu yaitu
bentuk fi'il madhi (kata kerja lampau) yang terdiri ha, wau, dal. Yang
secara literal mengandung pengertian kembali secara perlahan-lahan,
bersuara lembut dan berjalan merangkak-rangkak. Kata ini juga
bisa berarti taubat.' Hal ini berkaitan dengan sikap dan prilaku orang-
orang yang berdosa dan menyimpang dari ketentuan-ketentuan Allah ,
kemudian menyadari kesalahannya untuk selanjutnya kembali kepada
jalan yang benar dengan perlahan dan lemah lembut serta rendah hati
seolah-olah merangkak di hadapan Allah menyesali kesalahannya dan
memohon ampunannya. Kata ini dalam Al-Qur'an ditemukan tidak
kurang dari 30 kali dengan berbagai derivasinya 11. 1 kali diungkapkan
dalam bentuk ini. 10 kali dalam bentuk maşdar dan isim 'alam "Hud",
dan sebanyak 8 kali dalam bentuk isim 'alam.29
ًْ ُٓ ُ ل ْٔ َك َِملَٰذٗۗ ِ ِّللَّا َُ ْبا ُْحيِص ٍَ
ْ
لا ى َ َٰصَّٰلنا َِجىاَكَو ِ ِّللَّا َُ ْبِا ُْريَزُغ ُْدٔ ُٓ َ
ْ
لَّا َِجىاَكَو
ُْوتَر َْ ٌِ اْوُرَفَز ََ ْحِ
َّ
لَّا َل ْٔ َك َن ْٔ ُِٔـْاَُغي ۚ ًْ ِٓ ِْأَ
َْفِاةٗۗ َنْٔ َُهفُْؤي
ِّ
َّٰا ۚ ُ ِّللَّا ًُ ُٓ ََيحاَك
Dan orang-or ng Y hudi erk t , “Uz ir putr ll h,” d n or ng-
or ng N sr ni erk t , “ l-M sih putr ll h.” tul h uc p n y ng
keluar dari mulut mereka. Mereka meniru ucapan orang-orang kafir
yang terdahulu. Allah melaknat mereka; bagaimana mereka sampai
berpaling? (at-Taubat/10: 30)
َّنَدِجَ
َ
لََو ۚا ْٔ ُك ََْشْا ََ ْحِ
َّ
لَّاَو َْدٔ ُٓ َ
ْ
لَّا ٔا ُِ ٌَ
َٰ
ا ََ ْح ِ
َّ
لَِّّى ًةَواَدَغ ِساَّلنا َّدََشا َّنَدِجَ
َ
لَ
آْٔ ُ لاَك ََ ْحِ
َّ
لَّا ٔا ُِ ٌَ
َٰ
ا ََ ْح ِ
َّ
لَِّّى ًة َّدَٔ ٌَّ ًْ ُٓ َبَْرَكا َْيِْْصي ِِّصك ًْ ُٓ ٌِِْ ََّنِاة َِملَٰذ ٗۗى َٰ ََٰصُٰ اَُِّا
َنْو ُِبِْهَخَْصي
َ
لَ ًْ ُٓ ََّجا َّو ًاُاَت ْْ ُرَو
Pasti akan kamu dapati orang yang paling keras permusuhannya
terhadap orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang Yahudi dan
orang-orang musyrik. Dan pasti akan kamu dapati orang yang paling
dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah
orang-or ng y ng erk t , “Sesungguhny k mi d l h or ng
N sr ni.” Y ng demiki n itu k ren di nt r merek terd p t p r
pendeta dan para rahib, (juga) sebab mereka tidak menyombongkan
diri. (al-Mâ'idah/5: 82)
Adapun kenapa disebut yahudi, paling tidak ada beberapa
pandangan; Sebagian mufassir mengaitkannya dengan peristiwa
penyembahan anak sapi (al-A‟râf/7:156), pandangan lainnya
menyandarkan pada „sikap gemetar‟ mereka saat membaca Taurat,
dan yang paling populer pandangan yang menyebutkan bahwa kata
Yahudi disandarkan pada Yahudza [anak keempat nabi Ya‟qub yang
paling berpengaruh] sekalipun masih silang pendapat sebab perbedaan
lafazh keduanya (yaitu Yahudi dan Yahudza). Setelah wafatnya
Sulaiman bin Dawud, ke turunan Ya‟qub ini terpecah menjadi dua
golongan besar; Pertama, kelompok Yahudza (kerajaan selatan) yang
mendapat dukungan Yahudza dan Bunyamin. Kedua, kelompok Israil
(kerajaan utara) yang mendapatkan dukungan dari sepuluh keturunan
lainnya dan disebut pula Samaria sampai jatuhnya mereka ke tangan
bangsa As-Syiria, walaupun akhirnya mereka bersatu kembali. Meski
ada redaksi hadits dari Imam Bukhari yang mengindikasikan
pemakaian yahudi dan Ahl al-Kitâb itu sama. Yaitu seorang yahudi
yang pernah melayani Nabi.
ada riwayat shahih dalam Shahih Bukhari dan lainnya
bahwa ada seorang anak Yahudi yang membantu Nabi shallallahu
alaihi wa sallam. Suatu saat dia sakit, lalu Nabi shallallahu alaihi wa
sallam menjenguknya dan menawarkannya agar masuk Islam. Kisah ini
dikisahkan oleh Anas bin Malik;
36
ُهَاح
َ
َأف ،َِضس ٍَ َػ ًَ
يََضو ِّ َييَغ ُ للَّا
لََّؼ ِبِ لنا ُمُرَيخ َنَكا ِٔد ُٓ َليا ََ ٌِ ا ًٌ
َ
لاُغ ن
َ
أ
ُٔد ُػَي ًَ
يََضو ِّ َييَغ ُ للَّا
لََّؼ ُِّبِ لنا َػَلَػ ، ُه
َ
أ : َلاَلَػ ، ِّ ِضأَر َرِِغ َر َسَظََِػ . ًِيض
. ًَ
يََضو ِّ َييَغ ُ للَّا
لََّؼ ًِ ِضاَلىا َاة
َ
أ عِق
َ
أ :
َ
ه َلاَلَػ ، ِّ ِضأَر َرِِغ َٔ ُْ َو ِّ ِيب
َ
أ
َ
ِلَإ
ُرٍَلحا : ُلُٔلَي َٔ ُْ َو ًَ
يََضو ِّ َييَغ ُ للَّا
لََّؼ ُِّبِ لنا َجَسَذَف ، ًَ َيض
َ
َأف يِلذا ِ ِللَّ
ِرا لنا ََ ٌِ ُهَزَلُ
َ
أ( ًكر ،يراذلبا هاور6531(
“Sesungguhny , seor ng n k Y hudi y ng i s mel y ni N i
shallallahu alaihi wa sallam menderita sakit. Lalu Nabi shallallahu
alaihi wa sallam membesuknya, kemudian dia duduk di sisi kepalanya.
L lu erk t , „M suk sl ml h.” S ng n k mem nd ngi p kny
yang ada di sisi kepalanya. Maka sang bapak berkata kepadanya,
“T til h l Q sim sh ll ll hu l ihi w s ll m.” M k n k
ini masuk Islam. Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
kelu r ser y erk t , “Seg l puji gi ll h y ng tel h
menyelamatkannya dari ner k .” (HR. Bukhari, no. 1356)
3. Nashrani
Dalam bahasa Arab, kata “Nashara” merupakan bentuk jamak
dari “nashrani”. Sebutan “umat Nasrani” secara kaprah digunakan
untuk merujuk pada umat Kristiani, penganut agama Kristen. Kaum
Muslim menggunakan istilah nashara atau nashrani sebab Al-Qur'an
menggunakan kedua kata ini . Kata “nashara/nashrani” muncul
empat belas kali dalam Al-Qur'an. Dalam pembahasan apa itu nashrani,
biasanya merujuk kepada 2 pendekatan: Pertama, melacak kata
“n sh r ” dari sisi geografis, yakni dikaitkan dengan nama daerah di
mana Isa dan Maryam tinggal, Nasirah (Nazareth). Dengan demikian,
nashara yaitu para pengikut seorang (Yesus) yang berasal dari
Nasirah. Kedua, di kalangan para mufasir belakangan, kata “nashara”
dilacak ke akar kata Arab n-sh-r yang berarti “menolong”. Pelakunya
disebut “nasir” (bentuk jamaknya, “anshar”). Pelacakan etimologis
seperti ini didasarkan pada ayat Al-Qur'an yang merekam pernyataan
murid-murid Yesus (hawariyyun). saat Isa bertanya, “man anshari ila
allah?” (Siapa penolongku menuju Allah?). Mereka menjawab, “nahnu
anshar allah” (Kami yaitu para penolong Allah). Kata “n sr ni”
hanya muncul sekali dalam Perjanjian Baru. Yakni, dalam Kisah Para
Rasul (24:5). saat Paulus menjadi tertuduh di hadapan Gubernur
Romawi, Feliks, penasihat hukum orang-orang Yahudi, Tertulus,
menyebut Paulus sebagai “seorang tokoh dari sekte Nasrani”
37
4. Kristen
Dalam beberapa sumber berpendapat bahwa kata χριστιανος -
"khristianos" (bentuk diminutive dari kata: Χριστός - KHRISTOS, itu
sebuah julukan yang awalnya sifatnya 'ejekan' yang berarti harfiah
"Kristus-kecil" (bentuk diminutive: χριστιανος - khristianos) yang
dilontarkan orang-orang kepada pengikut Kristus mula-mula/ Jemaat
mula-mula: ...tuh kristus kecil... hei kristus kecil! pergi kamu kristus
kecil! Kemudian nama ini menjadi nama yang legitimate untuk
menyebut kelompok orang yang percaya Kristus. Bagaimanapun juga
sebutan "Kristen" atau χριστιανος - khristianos, telah baku pada tahun
60-an Masehi. Dalam literatur Al-Qur'an dan hadits memang tak
dikenal istilah kristen ini. Meski sebagian ada yang menyamakan antara
nashrani dan kristen, ada pula yang membedakan. Tetapi dilihat dari
sudut pandang yang lebih luas, mereka sama-sama menjadikan Yesus
atau Isa itu tuhan yang disembah.
Agama Kristen yaitu sebuah kepercayaan yang berdasar pada
ajaran, hidup, sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus atau Isa
Almasih. Agama ini meyakini Yesus Kristus yaitu Tuhan dan Mesias,
juru selamat bagi seluruh umat manusia, yang menebus manusia dari
dosa. Mereka beribadah di gereja dan Kitab Suci mereka yaitu
Alkitab. Murid-murid Yesus Kristus pertama kali dipanggil Kristen di
Antiokia (Kisah Para Rasul 11:26). Agama Kristen termasuk salah satu
dari agama Abrahamik yang berdasarkan hidup, ajaran, kematian
dengan penyaliban, kebangkitan, dan kenaikan Yesus dari Nazaret ke
surga, sebagaimana dijelaskan dalam Perjanjian Baru, umat Kristen
meyakini bahwa Yesus yaitu Mesias yang dinubuatkan dalam dari
Perjanjian Lama (atau Kitab suci Yahudi).
Kekristenan yaitu monoteisme, yang percaya akan tiga pribadi
(secara teknis dalam bahasa Yunani hypostasis) Tuhan atau Tritunggal.
Tritunggal dipertegas pertama kali pada Konsili Nicea Pertama yang
dihimpun oleh Kaisar Romawi Konstantin I. Pemeluk agama Kristen
mengimani bahwa Yesus Kristus atau Isa Almasih yaitu Tuhan dan
Juru Selamat, dan memegang ajaran yang disampaikan Yesus Kristus.
Dalam kepercayaan Kristen, Yesus Kristus yaitu pendiri jemaat
(gereja) dan kepemimpinan gereja yang abadi (Injil Matius/18: 18-19).
Umat Kristen juga percaya bahwa Yesus Kristus akan datang pada
kedua kalinya sebagai Raja dan Hakim akan dunia ini. Sebagaimana
agama Yahudi, mereka menjunjung ajaran moral yang tertulis dalam
Sepuluh Perintah Tuhan.
F. Hukum Berkaitan Ahl al-Kitâb
1. Bayar Jizyah
38
Jizyah berasal dari bahasa arab ΉΰΟ yang berarti upeti, membalas
jasa atau mengganti kerugian.30 Menurut Djazuli dalam buku Fiqih
Siyasahnya, jizyah dikatakan sebagai iuran negara yang diwajibkan atas
orang Ahl al-Kitâb setiap satu tahun sekali, sebagai imbangan membela
dan melindungi mereka. Jizyah diistilahkan juga dengan pajak kepala
bagi semua orang laki-laki non-muslim, merdeka, balig, berakal, sehat,
dan kuat.
Sedangkan jizyah dalam ilmu fiqh berarti pajak kepala atau pajak
perseorangan yang dikeluarkan terhadap orang-orang non-muslim (ahl
alz|immah) tertentu yang telah mengikat perjanjian dengan pemerintah.
Dengan kata lain, jizyah merupakan pajak per kepala yang dipungut
oleh pemerintah islam dari orang laki-laki non-islam, merdeka, balig,
berakal, sehat, dan kuat, sebagai imbangan bagi keamanan diri mereka.
Sementara istilah pajak diartikan sebagai iuran yang diberikan kepada
negara oleh orang/lembaga yang wajib membayarnya menurut
peraturanperaturan yang dapat dipaksakan dan tidak mendapatkan
timbal balik(kontraprestasi), yang dapat digunakan untuk membiayai
pengeluaranpengeluaran umum yang berhubungan dengan tugas negara
dalam menyelenggarakan pemerintahan.31
Dalam Al-Qur'an, pungutan jizyah hanya dibebankan kepada Ahl
al-Kitâb (at-Taubah/10: 29), namun Rasulullah dalam pergaulan
sosialnya dan dalam membuat perjanjian zimmah32 tidak terbatas pada
golongan Ahl al-Kitâb saja. Sehingga ada juga perjanjian zimmah yang
dibuat dengan golongan yang bukan Ahl al-Kitâb seperti perjanjian
dengan orang-orang Majusi Bahrein. Sedangkan perjanjian zimmah
dengan golongan Ahl al-Kitâb seperti yang dilakukan dengan golongan
Yahudi di Jarba‟ dan Adrus, dua daerah di perbatasan Suriah, dan juga
sebuah perjanjian dengan kaum Nasrani di Najran, sebuah kota di Utara
Yaman.
Jika mereka menolak untuk masuk Islam, maka diperbolehkan
bagi mereka untuk tetap memeluk agamanya dan berada di bawah
naungan sebuah pemerintahan Islam, dengan tetap memperhatikan
aturan-aturan yang telah diberlakukan oleh pemerintah serta membayar
jizyah dalam kadar dan ketentuan tertentu sebagai jaminan. Hal ini
berlaku bagi mereka secara konsensus, adapun di luar mereka maka
mayoritas ulama tidak menganggapnya berlaku, kecuali menyangkut
kaum Majusi penyembah api.
ٌّوِخ َبَٰخِه
ْ
ىا ٔا ُحُْوا ََ ْحِ
َّ
لَّا ُماَػَؼَو ُٗۗجَِٰتّي َّؽىا ًُ َُسى َّوُِخا َْمَٔ
ْ
َلَّا
ََ ٌِ ُجََِٰطْد ٍُ
ْ
لاَو ِجٌَِِٰ ْؤ ٍُ
ْ
لا ََ ٌِ ُجََِٰطْد ٍُ
ْ
لاَو ۖ ًْ ُٓ
َّ
ل ٌّوِخ ًْ ُس ٌُ اَػَؼَو ۖ ًْ ُسَّى
ْٔ ُُجا ََّ ُْ ْٔ ٍُ ُْخَيح
َٰ
ا ٓ اَِذا ًْ ُِسْيتَر َْ ٌِ َبَٰخِه
ْ
ىا أُحُْوا ََ ْحِ
َّ
لَّا َْيَْد َِْيِِْطُْمُ ََّ ُْ َر
َِػتَخ ْدَلَذ ِنا ٍَ ِْح
ْ
لَِاة ْرُفْسَّي َْ ٌَ َو ٍناَدَْخا ْٓيِذِخَّخ ٌُ
َ
لََو َْيِْدِف َٰصُم
ََ ْيِِسِ
َٰ ْلْا ََ ٌِ ِةَرِخ
َٰ ْ
لَا ِفِ َٔ ُْ َو ُّۖي ٍَ َخ
Pada hari ini dihalalkan bagimu segala (makanan) yang baik.
Makanan (sembelihan) Ahl al-Kitâb itu halal bagimu dan makananmu
halal (juga) bagi mereka. (Dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-
perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-
perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum
kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya,
tidak dengan maksud berzina, dan tidak untuk menjadikan (mereka)
pasangan gelap (gundik). Siapa yang kufur setelah beriman, maka
sungguh sia-sia amalnya dan di akhirat dia termasuk orang-orang
yang rugi.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) menjelaskan: “Orang Arab
yaitu suatu umat yang pada asalnya tidak ada sebuah kitab di tengah
mereka. Setiap kelompok dari mereka beragama dengan agama umat-
umat yang berdekatan dengan mereka… Maka Rasulullah
memberlakukan hukum-hukum jizyah, dan beliau tidak
mempertimbangkan nenek moyang mereka juga tidak
mempertimbangkan orang-orang yang masuk ke dalam agama Ahl al-
Kitâb: apakah dulu masuknya mereka itu sebelum terjadinya
penghapusan (nasakh) dengan turunnya Al Qur`an dan penggantian
(tabdiil) tahrif terhadap Taurat dan Injil ataukah sesudahnya.” 33
2. Menikahi Wanita Ahli Kitab
Secara bahasa, nikah artinya al-j m‟u atau al-dhammu yang
artinya kumpul. Jadi, istilah pernikahan dapat diartikan sebagai aqdu al-
tazwij yang berarti akad nikah. Juga dapat diartikan sebagai wath‟u al-
zaujah yang berarti menyetubuhi istrii. Hal ini diungkapkan pula
oleh Hakim, bahwa kata nikah berasal dari Bahasa Arab “nikahun”
yang merupakan mashdar dari “nakaha”, yang bersinonim
“tazawwaja”. Kata nikah merupakan kata serapan asli dari Al-Qur'an
yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan sampai saat ini
dipergunakan oleh umat Muslim.34
Kata an-nikâh dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 23
kali dalam Al-Qur'an,35 yang secara umum, kandungan maknanya dapat
dikembalikan kepada pengertian bahasa sedangkan kata al-Jauz dalam
berbagai bentuk kata jadiannya ditemukan sebanyak 81 kali dalam Al-
Qur'an,36 pengertian secara umum menunjuk kepada pasangan,
termasuk di dalamnya pasangan suami-istri. Allah telah menerangkan
di dalam beberapa ayat Al-Qur'an terkait dengan hubungan pernikahan
antara laki-laki dan perempuan. Maka dalam hal ini, ada dua term
ayat yang mengandung unsur pernikahan ini yaitu term al-nikah
dan al-jauz. Term an-nikâh mengandung arti akad atau perjanjian, dan
dapat diqiyaskan sebagai hubungan seksual,37 sedangkan al-jauz
mengandung arti segala sesuatu yang mempunyai pasangan, seperti
laki-laki dengan perempuan bahkan dikatakan juga seperti sandal yang
berpasangan, dan setiap hal yang mempunyai hubungan yang dekat
dengan hal lain bahkan memiliki kesamaan. sebagaimana yang
terkandung di dalam Surat al-Qiyamah/75: 39:
َْٰثُ
ُ ْلَاَو َرَن َّلَّا ِْيَْْجو َّزلا ُّ ٌِِْ َوَػَج
َف
Lalu, Dia menjadikan darinya sepasang laki-laki dan perempuan.
Dalam hubungan pernikahan antara laki-laki dan perempuan di
dalam Islam, memiliki perhatian yang sangat besar bahkan dikatakan
juga sebagai sesuatu yang sakral. Sebab pernikahan merupakan salah
satu bentuk ibadah kepada Allah dengan mengikuti sunnah Rasulullah.
dan juga dikatakan sebagai pelengkap bagi iman seseorang, sebab
dilakukan atas dasar keikhlasan serta mengharap ridha Allah.
Pernikahan yang terjadi antara seorang muslim dan muslimah, tidaklah
menjadi suatu permasalahan yang dapat menimbulkan perdebatan dan
perselisihan diantara para ulama‟ maupun cendekiawan muslim.
Namun, hal yang menjadi topik permasalahannya yaitu saat seorang
muslim atau muslimah menikah dengan Ahl al-Kitâb seperti Yahudi
dan Nasrani.
Pernikahan merupakan pondasi utama untuk membina rumah
tangga, oleh sebab itu Islam mensyariatkan pernikahan untuk
melanjutkan keturunan secara sah serta mencegah perzinaan. Menikah
dalam Islam sangat dianjurkan, sebab sudah menjadi kodrat manusia
mempunyai perasaan saling membutuhkan. Oleh sebab itu manusia
dikenal dengan mahluk sosial. Secara naluriah, seorang pria
membutuhkan wanita, dan begitu juga sebaliknya wanita membutuhkan
pria. Namun demikian agar perasaan saling membutuhkan ini tidak
berubah menjadi bumerang maka Islam jauh-jauh sebelumnya telah
mengatur cara melakukan hubungan pernikahan.
Dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, yakni
masyarakat yang penduduknya terdiri dari berbagai golongan, suku,
adat istiadat dan agama, maka besar kemungkinan terjadinya
perkawinan beda agama. Dalam praktiknya banyak masyarakat
Indonesia yang melakukan praktik perkawinan ini (perkawinan beda
agama), baik laki-lakinya yang muslim wanitanya non muslim atau
sebaliknya, sebab beragamnya agama dan aliran kepercayaan di
Indonesia tidak menutup kemungkinan perkawinan beda agama dan
aliran kepercayaan akan terjadi. Perkawinan beda agama yaitu sebuah
ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita, yang karna
perbedaan agama, menyebabkan tersangkutnya dua aturan yang
berlainan mengenai syarat-syarat dan tatacara pelaksanaan perkawinan
sesuai dengan hukum agamanya masing-masing dengan tujuan
membentuk keluarga bahagia, kekal berdasarkan ketuhanan Yang
Maha Esa.38
Jika seorang laki-laki Ahl al-Kitâb menikahi wanita muslimah,
maka sudah tak diragukan lagi keharamannya. Permasalahannya yaitu
jika seorang laki-laki muslim menikahi wanita Ahl al-Kitâb ab,
bagaimana hukumnya? Para fuqaha dari berbagai mazhab di antaranya
dalah mazhab yang empat, yaitu mazhab Imam Abu Hanifah, Malik,
Syafi‟i, dan Ahmad telah sepakat mengenai bolehnya seorang laki-laki
muslim menikahi perempuan Ahl al-Kitâb (kitabiyyah), yaitu
perempuan beragama Yahudi dan Nashrani, sesuai firman Allah:
َّوُِخا َْمَٔ
ْ
َلَّا َِٰتّي َّؽىا ًُ َُسى ٌّوِخ َبَٰخِه
ْ
ىا ٔا ُحُْوا ََ ْحِ
َّ
لَّا ُماَػَؼَو ُٗۗج
ََ ٌِ ُجََِٰطْد ٍُ
ْ
لاَو ِجٌَِِٰ ْؤ ٍُ
ْ
لا ََ ٌِ ُجََِٰطْد ٍُ
ْ
لاَو ۖ ًْ ُٓ
َّ
ل ٌّوِخ ًْ ُس ٌُ اَػَؼَو ۖ ًْ ُسَّى
َْيَْد َِْيِِْطُْمُ ََّ ُْ َر ْٔ ُُجا ََّ ُْ ْٔ ٍُ ُْخَيح
َٰ
ا ٓ اَِذا ًْ ُِسْيتَر َْ ٌِ َبَٰخِه
ْ
ىا أُحُْوا ََ ْحِ
َّ
لَّا
ِدِف َٰصُم َِػتَخ ْدَلَذ ِنا ٍَ ِْح
ْ
لَِاة ْرُفْسَّي َْ ٌَ َو ٍناَدَْخا ْٓيِذِخَّخ ٌُ
َ
لََو َْيْ
ََ ْيِِسِ
َٰ ْلْا ََ ٌِ ِةَرِخ
َٰ ْ
لَا ِفِ َٔ ُْ َو ۖ ّ ُي ٍَ َخ
Pada hari ini dihalalkan bagimu segala (makanan) yang baik.
Makanan (sembelihan) Ahl al-Kitâb itu halal bagimu dan makananmu
halal (juga) bagi mereka. (Dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-
perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-
perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum
kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya,
tidak dengan maksud berzina, dan tidak untuk menjadikan (mereka)
pasangan gelap (gundik). Siapa yang kufur setelah beriman, maka
sungguh sia-sia amalnya dan di akhirat dia termasuk orang-orang
yang rugi. (al-Mâ`idah/5 : 5).
Imam Syafi‟i rahimahullah termasuk yang membolehkan seorang
laki-laki muslim menikahi perempuan Ahl al-Kitâb, beliau membuat
syarat (taqyiid), yaitu perempuan Ahl al-Kitâb ini haruslah
perempuan Bani Israil. Jika dia bukan perempuan Bani Israil, misalnya
perempuan Arab tapi menganut Yahudi atau Nashrani, maka dia tidak
termasuk Ahl al-Kitâb sehingga haram hukumnya bagi laki-laki
muslim. untuk menikahinya. Imam Syafii (w. 204 H) sendiri
menyebutkan:
َْيَْد ًِ َجَػ
ْ
ىاَو َِرَػ
ْ
ىا َْ ٌِ ٍدَخ
َ
أ َءاَِصن َحِْهَِح ْن
َ
أ ًُ َيْغ
َ
أ
َ
لَاَػَت ُ ََّللَّاَو ْزَُيَ ًْ ََيف
ٍلاَِبّ ىَراَطَّلناَو ِدٔ ُٓ َ
ْ
لَّا ََ ِيد َناَد َوِينا َْسْإ َِنة... َوِينا َْسْإ َِنة َْ ٌِ َنَكَ َْ ٍَ َذ
ِ ن َحُِسُ ىَراَطَّلناَو ِدٔ ُٓ َ
ْ
لَّا ََ ِيد َُ يَِدي ُّ ُخَدِيبَذ َْجيِز
ُ
أَو ُهُؤاَص
Allah tidak memperbolehkan (Allah yang Maha Tahu) seseorang
muslim menikahi wanita Ahl al-Kitâb dari Arab maupun Ajam kecuali
dari Bani Israil yang beragama yahudi dan nashrani... Siapa yang
berasal dari Bani Israil dan beragama yahudi maupun nashrani, maka
perempuannya boleh dinikahi dan sembelihannya halal dimakan.39
Pendapat Imam Syafi‟i ini kemudian dijelaskan lebih lanjut
oleh para ulama madzhab Syafi‟i seperti Imam Al-Khathib Asy-
Syirbini dalam kitabnya Mughni Al-Muhtaj (3/187) dan Imam Nawawi
dalam kitab Al-Majmu‟ (2/44). Dikatakan, bahwa menikahi perempuan
Ahl al-Kitâb dari kalangan Bani Israil dihalalkan, sebab berarti
perempuan itu yaitu keturunan orang Yahudi atau Nashrani yang
saat pertama kali masuk agama Yahudi atau Nashrani, kitabnya
masih asli dan belum mengalami perubahan (tahrif).
Sedang perempuan Ahl al-Kitâb yang bukan keturunan Bani
Israil, haram dinikahi sebab mereka yaitu keturunan orang Yahudi
atau Nashrani yang saat pertama kali masuk agama Yahudi atau
Nashrani, kitabnya sudah tidak asli lagi atau sudah mengalami
perubahan (tahrif), kecuali jika mereka menjauhi apa-apa yang sudah
diubah dari kitab mereka . Meski para ulama lain selain Syafiiyyah me-
rajihkan kemuthlakan Ahl al-Kitâb, baik dari Bani Israil maupun
selainnya. Alasannya: Pertama, sebab dalil-dalil yang ada dalam
masalah ini yaitu dalil yang mutlak, tanpa ada taqyiid
(pembatasan/pensyaratan) dengan suatu syarat tertentu. Perhatikan dalil
yang membolehkan laki-laki menikahi Kitabiyyah (perempuan Ahl al-
Kitâb), yang tidak menyebutkan bahw a mereka harus dari kalangan
Bani Israil. Firman Allah:
َْ ٌِ َاَخِه
ْ
ىا ٔا ُحو
ُ
أ ََ يِ
َّ
لَّا َْ ٌِ ُتاَِ َطْد ٍُ
ْ
لاَو ِتاَِ ٌِ ْؤ ٍُ
ْ
لا َْ ٌِ ُتاَِ َطْد ٍُ
ْ
لاَو
ًْ ُِسْيتَر
(Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita merdeka [al muhshanat] di
antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita merdeka [al
muhshanat] di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.
(al-Mâ`idah/5: 5).
Membolehkan menikahi perempuan muhshanat yang diberi Al
Kitab sebelum umat Islam, tanpa menyinggung sama sekali bahwa
mereka itu harus dari keturunan Bani Israil.
Dalam hal ini berlakulah kaidah ushuliyah yang menyebutkan:
ٍُ لا ْؽ َي ُق َْيَ ِر
َ
َعَ ي ِإ ْؼ َلَ ِك ِّ ٌَ
َ ل ا ًْ ُي َر ُّد َد ِْلَّ ُو َي ُد
ُّ
ل
َ
َعَ َّلَا ْل ِي ْيد
Dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak
ada dalil yang menunjukkan adanya pembatasan). Kemutlakan
dalil inilah yang menjadikan Syaikh Wahbah Zuhaili40 menguatkan
pendapat jumhur ulama atas pendapat Imam Syafi‟i. Syaikh Wahbah
Zuhaili berkata:
ىاو َس ِسا ُح َ
َ
لد ي ُْ َٔ َك ْٔ ُل ُ
ْ
لا ٍْ ُٓ ْٔ ِِلإ ،ر ْق َلا
َ ْ
لأا ق ِد
ى ُث
ْ
ىا َل ِؿا َي َِب ث َٔ ِزا َشلا َو جا
ِة
ْ
ىا ِه َخ ِبا
َي ِتا ُد ، ْو َن َت ْل ِي ْي ُر ِ ب َْش ِء
“Pendapat yang rajih bagi saya yaitu pendapat jumhur,
berdasarkan kemutlakan dalil-dalil yang memutuskan bolehnya wanita-
wanita Ahl al-Kitâb, tanpa ada taqyiid (pembatasan) dengan sesuatu
(syarat).” Kedua, sebab tindakan Rasulullah shallaallahu alalihi wa
sallam dalam memperlakukan Ahl al-Kitâb seperti menerapkan
kewajiban membayar jizyah atas mereka, menunjukkan bahwa yang
menjadi kriteria seseorang digolongkan Ahl al-Kitâb yaitu agamanya,
bukan nenek moyangnya, yaitu apakah nenek moyang mereka itu
saat pertama kali masuk Yahudi/ Nashrani kitabnya masih asli
ataukah sudah mengalami perubahan (tahrif) dan pergantian (tabdiil).
Ketiga, ayat-ayat Al-Qur`an yang turun untuk pertama kalinya dan
berbicara kepada orang Yahudi dan Nashrani pada zaman Nabi , sudah
menggunakan panggilan atau sebutan “Ahl al-Kitâb” untuk mereka.
Padahal mereka pada saat itu sudah menyimpang dari agama asli
mereka, bukan orang-orang yang masih menjalankan kitabnya yang
murni/asli. Misalnya firman Allah:
َِلزُ
ُ
أ ا ٌَ َو َويِنِْلإاَو َةاَر ْٔ َّلَا ٔا ٍُ يُِلح َّتَّٰخ ٍء ْ
ََ
َ
َعَ ًْ ُخَْصل ِاَخِه
ْ
ىا َو ْْ
َ
أ َاي ُْوك
ًْ ُِسّبَر َْ ٌِ ًْ ُْس
َ
ِلَّإ
Katakanlah Muhammad,‟W h i Ahl al-Kitâb, kamu tidak dipandang
beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat,
Injil, dan Al Qur`an yang diturunkan kepadamu Muhammad dari
Tuh nmu.” (al-Mâ`idah/5: 68).
Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa orang Yahudi dan
Nashrani pada zaman Nabi tidaklah menjalankan ajaran-ajaran Taurat
dan Injil yang diturunkan Allah kepada mereka. Meski demikian,
mereka tetap disebut “Ahl al-Kitâb” di dalam Al-Qur`an. Dan ayat-ayat
semacam ini dalam Al-Qur`an banyak.
Meski di Indonesia, MUI mengeluarkan fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional VII MUI, pada 19-22
Jumadil Akhir 1426H./26-29 Juli 2005 M, yang isinya:
a. Perkawinan beda agama yaitu haram dan tidak sah.
b. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahl al-Kitâb,
menurut q ul mu‟t m d, yaitu haram dan tidak sah.
45
Dalam Undang-undang yang berlaku di Indonesia, berdasarkan
Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU
1/1974”) menyatakan bahwa perkawinan yaitu sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Pada Pasal 10 PP No. 9 Tahun 1975 dinyatakan bahwa
perkawinan baru sah jika dilakukan di hadapan pegawai pencatat dan
dihadiri dua orang saksi dan tata cara perkawinan dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Jadi, UU
1/1974 tidak mengenal perkawinan beda agama, sehingga perkawinan
antar agama tidak dapat dilakukan.
Adapun Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya tanggal 20
Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986, memberikan solusi hukum bagi
perkawinan antar-agama yaitu bahwa perkawinan antar-agama dapat
diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya
instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan
perkawinan beda agama.41
3. Sembelihan Ahli Kitab
Allah menghalalkan sembelihan Ahl al-Kitâb melalui firmannya
Surat al-Mâ`idah/5: 7:
َؼَو ُٗۗجَِٰتّي َّؽىا ًُ َُسى َّوُِخا َْمَٔ
ْ
َلَّا ٌّوِخ َبَٰخِه
ْ
ىا ٔا ُحُْوا ََ ْحِ
َّ
لَّا ُماَػ
ََ ٌِ ُجََِٰطْد ٍُ
ْ
لاَو ِجٌَِِٰ ْؤ ٍُ
ْ
لا ََ ٌِ ُجََِٰطْد ٍُ
ْ
لاَو ۖ ًْ ُٓ
َّ
ل ٌّوِخ ًْ ُس ٌُ اَػَؼَو ۖ ًْ ُسَّى
َْيَْد َِْيِِْطُْمُ ََّ ُْ َر ْٔ ُُجا ََّ ُْ ْٔ ٍُ ُْخَيح
َٰ
ا ٓ اَِذا ًْ ُِسْيتَر َْ ٌِ َبَٰخِه
ْ
ىا أُحُْوا ََ ْحِ
َّ
لَّا
َو َْيِْدِف َٰصُم ّ
ُي ٍَ َخ َِػتَخ ْدَلَذ ِنا ٍَ ِْح
ْ
لَِاة ْرُفْسَّي َْ ٌَ َو ٍناَدَْخا ْٓيِذِخَّخ ٌُ
َ
لَ
ََ ْيِِسِ
َٰ ْلْا ََ ٌِ ِةَرِخ
َٰ ْ
لَا ِفِ َٔ ُْ َو
Pada hari ini dihalalkan bagimu segala (makanan) yang baik.
Makanan (sembelihan) Ahlulkitab itu halal bagimu dan makananmu
halal (juga) bagi mereka. (Dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-
perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-
perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum
kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya,
tidak dengan maksud berzina, dan tidak untuk menjadikan (mereka)
pasangan gelap (gundik). Siapa yang kufur setelah beriman, maka
sungguh sia-sia amalnya dan di akhirat dia termasuk orang-orang
yang rugi.
Lafaz al-Tha‟am yang ada di dalam ayat ini diartikan sebagai
sesembelihan, berdasarkan pendapat sebagian jumhur ulama‟ dan
mufassir. Adapun al-Razi saat menafsirkan lafaz ini, dia
mengartikannya kedalam tiga arti yakni;
a. sesembelihan Ahl al-Kitâb yang dihalalkan bagi kita umat muslim
untuk dimakan, dan adapun sembelihan dari kaum Majusi tidak
termasuk yang dihalalkan.
b. Roti, buah-buahan dan sesuatu yang tidak dberfungsi untuk
mencerdaskan otak, hal ini dikutip dari sebagian imam dari kalangan
Zaidiyah
c. Seluruh jenis makanan. Kendati demikian, pendapat al-Razi yang
paling rajih yaitu sesembelihan.42 Sedangkan Rasyid Ridha,
menjelaskan bahwa arti dari lafaz ini yaitu sesembelihan, sebab
selain daripada makanan atau hidangan sembelihan itu yaitu halal
berdasarkan kaidah asal makanan.43
Adapun permasalah yang paling banyak diperselisihkan oleh para
ulama‟ yaitu terkait hidangan atau makanan Ahl al-Kitâb, meskipun Al-
Qur'an telah jelas menyatakan akan kehalalan hidangan dari mereka,
namun pemahaman para ulama‟ terkait hal ini berbeda-beda. Menurut
Rasyid Ridha, pokok permasalahan yang timbul diantara para ulama‟
terkait hal ini disebab kan mereka berselisih tentang status
kemusyrikan Ahl al-Kitâb. Sebab Rasyid Ridha, menyatakan bahwa
agama-agama lain yang tidak disebutkan oleh Al-Qur'an seperti Hindu,
Budha dan Kong FuTse bukanlah termasuk musyrik disebabkan
mereka dianggap mempunyai kitab sebagaimana kaum Yahudi dan
Nasrani. Oleh sebab itu, dalam hal berinteraksi sosial kepada mereka
terutama dalam hidangan sembelihan, menjadi suatu hal yang sangat
sensitif dikalangan ulama.
Ibnu Katsir menyebutkan keterangan dari Ibnu Abbas, Mujahid,
Said bin Jubair, Atha‟, dan yang lainnya, bahwa makna makanan Ahl
al-Kitâb yaitu sembelihan Ahl al-Kitâb. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/40).
Diantara bentuk penerapannya, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam
pernah mendatangi undangan makan kambing yang disediakan oleh
wanita pada saat peristiwa Khaibar.
Abu Hurairah r dhiy ll hu „ nhu menceritakan,
،ََثكَر ؽلا ُوُك
ْ
َأي لاَو ،َث يِر َٓ
ْ
لا َُوتْلَي ًَ
يََضو ِّ َْييَغ ُ للَّا
لََّؼ ِ للَّا ُلَُٔضر َنَكا
ُ للَّا لََّؼ ِ للَّا ُلَُٔضر َوَك
َ
َأف ،ا َٓ ْخ ٍ َض ًث يِيْؽَم ًةاَع ََْبَيَِبِ ٌث ئِد ُٓ َي ُ
َ
ه ْتَر ْْ
َ
َأف
ا َٓ ِْ ٌِ ًَ
يََضو ِّ َْييَغ
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam menerima hadiah dan tidak
memakan sedekah. Suatu saat ada wanita Yahudi di Khaibar yang
menghadiahkan kepada beliau kambing panggang yang telah diberi
racun. Dan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam makan dagingnya.
(HR. Abu Dawud 4514 dan dishahihkan al-Albani).
Nabi shallallahu „alaihi wa sallam memakan daging itu, sebab
beliau Shallallahu „alaihi wa sallam tidak tahu ada racunnya.
Kesimpulan yang menjadi kepentingan kita yaitu kesediaan beliau
makan daging kambing itu, padahal dia disembelih oleh orang yahudi.
Artinya, beliau menilai halal daging itu.
Para ulama semua sepakat sembelihan Ahl al-Kitâb ini halal
dimakan jika memenuhi poin-poin berikut ini:
a. Semua Ahl al-Kitâb, kecuali nasrani arab dari Bani Bahra, Tanukh,
dan Taghlib. Mereka ini dianggap bukan Ahl al-Kitâb sebab
mengingkari kitab-kitab samawi yang diturunkan.
b. Mereka menyembelih untuk diri mereka sendiri, bukan untuk orang
lain atau hal lain.
c. Jelas diketahui bahwa mereka menyebut Allah saat menyembelih.
d. Yang disembelih yaitu hewan yang memang halal dalam syariat
mereka (taurat dan injil)
saat semua poin di atas terpenuhi, maka tidak ada perbedaan
pendapat di kalangan ulama terkait kehalalan sembelihan Ahl al-
Kitâb.44
a. Kriteria Ahl al-Kitâb yang Halal Sembelihannya
Para ulama menegaskan, bahwa semua yang beragama yahudi
dan nasrani, maka mereka Ahl al-Kitâb. Terlepas dari semua
penyimpangan yang mereka lakukan.
Syaikhul Islam menjelaskan firman Allah yang menyatakan,
ٗۗ ًْ ُخ ٍْ َيَْشاَء َّيِْ ٌّ ُ
ْ
لَاَو َبَٰخِه
ْ
ىا ٔا ُحُْوا ََ ْح ِ
َّ
ِلَّّى ُْوكَو
Sampaikanlah kepada orang-orangn yang diberi al-Kitab. (ali-
Imran/3: 20)
Selanjutnya beliau mengatakan,
َو ُْ ِإ ٔ
ن ٍَ َُيخ ا ِقا ْلما ب ْٔ ِٔد س ُي ِفي َ َز ٌَ ُِا ِّ َب ْػ َنىا ر ْط ِخ َو َ
ّ
لتا ْت ِر ْي َي و ُر
ّ
ل ََعلى
َ
أ ن
ٌَ َد َ ِة نا َر
ْي َِ
ْ
ا َلي ُٓ ِٔد َو َّلنا َؽ َرا َػ ،ى ُٓ َٔ ٌِ ََ ِ
لذا ْي ََ
ُ
أ ْو ُح
ْ
ا أ ِهل َخ ِبا
َ
لا ،
َْيخ َخ ّػ َْ ِز
ّ
لا ا َفي ِة ل ٍَ َكا َ
ُُ ٌُ أ َخ ٍَ ِط ِه َْين ِة ِّ َؼ
ْت َو نىا ْط ِخ َو لتا ْت ِر ْي ِو َو ،
َ
لا
َف ْس ُق َب َْين
َ
أ ْو
َ
لا ُد ُْ ًْ َو
َ
أ ْو
َ
لا ُد َغ َْير ُْ ًْ
Sasaran ayat ini yaitu Ahl al-Kitâb yang ada di zaman Nabi
shallallahu „alaihi wa sallam, yang mereka mengikuti agama setelah
terjadi pengubahan dan penyelewengan isi taurat dan injil (nasakh
wa tabdil). Ini menunjukkan bahwa semua yang beragama yahudi
atau asrani maka dia orang yang diberi kitab (Ahl al-Kitâb). Istilah
„Ahl al-Kitâb‟ ini tidak hanya khusus untuk generasi yang komitmen
dengan isi taurat dan injil sebelum mengalami perubahan. Dan tidak
ada perbedaan antara keturunan mereka dan keturunan selain
mereka. (Kitab al-Iman, hlm. 49).
Keterangan lain disampaikan Ibnu Asyura dalam tafsirnya.
Beliau menuliskan,
ِا ْض ًُ
َ
أ( ْْ ُو
ْ
ىا ِه َخ ِبا
َ
ى ) َل ُب ِفي
ْ
ىا ُل ْس َ آ ِن ِ ل
ْ
ي َي ُٓ ِٔد َو لنا َؽ َرا ِ
لذا ى ْي ََ َ ل ًْ َي َخ َر ي ُِ أ
ِة ِ
ْ
لإا ْض َلا ِم
َ
ِلأ ؛ ّن
ْ
لا ٍُ َس
ُ
ا ِة د
ْ
ىا ِه َخ ِبا لتا : َرٔ َو ةا ِ
ْ
لإا ِ
ْ
ن ْي ِإ و َذ
ُ
أ ا ِؿ ْي َف ِإ ْلي ِّ )وْأ(
“Istilah Ahl al-Kitâb yaitu istilah dalam Al-Qur'an untuk menyebut
orang yahudi dan nasrani yang tidak masuk islam. sebab yang
dimaksud dengan al-Kitab di sini yaitu Taurat dan Injil, apabila di
dep nny di t m hk n k t ‟ hlu‟.” (Tafsir Ibnu Asyura – at-
Tahrîr wa at-Tanwîr, 27/249)
4. Menghadiri Undangan Makan Mereka dan Menerima Makanan
Mereka
َْ ِ ٌّ ًْ ُْزُِٔجْرُيَّ ًْ َ لَو َِ
ْ يِّلدا ِفِ ًْ ُْزُِٔيحاَلُح ًْ
َ ل ََ ْحِ
َّ
لَّا َِ َغ
ُ ِّللَّا ًُ ُسى َٰٓ َِْح
َ
لَ
َْيِْؽِصْل ٍُ
ْ
لا ُِّبُي َ ِّللَّا َِّنا ٗۗ ًْ ِٓ ْ
َ
ِلَّا آْٔ ُؽِصْلُتَو ًْ ُْ ْو َُّبَِت َْنا ًْ ُِكرَاِيد
Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama
dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (al-Mumtahana/29: 8)
49
Dalam kitab shahihnya, Imam Bukhari membuat judul Bab:
Bolehnya menerima hadiah dari orang musyrik (Al-Jami‟ As-Shahih,
3/163). Selanjutnya, Imam Bukhari menyebutkan beberapa riwayat
tentang menerima hadiah dari orang kafir. Riwayat dari Anas bin Malik
radhiyallahu „anhu, beliau mengatakan,
َث ٌَ وُد َرِْديَز
ُ
أ َِّنإىَرْْ
َ
أ ًَّيََشو ِّْيَيَغ ُللَّا َّلَٰض ِِّب
َّلنا
َ
ِلَإ
Bahwa Ukaidir Dumah (raja di daerah dekat tabuk) memberi
hadiah kepada Nabi shallallahu „alaihi wa sallam.
a. Keterangan dari Anas bin Malik,
ِبِ لنا َِجح
َ
أ ًث ئِد ُٓ َي ن
َ
أ ا َٓ ِْ ٌِ َوَك
َ
َأف ،ٍث ٌَ ٔ ٍُ ْطَم ٍةاَِغب ًَ
يََضو ِّ َْييَغ ُللها
لََّؼ
Bahwa ada seorang perempuan yahudi yang datang kepada Nabi
shallallahu „alaihi wa sallam dengan membawa daging kambing
yang diberi racun. Kemudian Nabi shallallahu „alaihi wa sallam
memakannya.
Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) menceritakan: “Menerima hadiah
orang kafir pada hari raya mereka, telah ada dalilnya dari Ali bin Abi
Thalib radhiallahu‟anhu bahwa beliau mendapatkan hadiah pada hari
raya Nairuz (perayaan tahun baru orang majusi), dan beliau
menerimanya.”45
آٍهح وة ، ًٓخيرْ لٔتك ٌَ عِلما في ريػيل يرذأح لا ُّأ على لري ّكل ازٓف
ًْسفؽ سئاػع على ًله ثُعاإ ملذ في صيى ُّلأ ؛ ءأض هيرغو ريػىا في
… “.
Semua riwayat ini menunjukkan bahwa saat hari raya orang kafir,
tidak ada larangan untuk menerima hadiah dari mereka. Hukum
menerima saat hari raya mereka dan di luar hari raya mereka, sama
saja. sebab menerima hadiah tidak ada unsur membantu mereka
dalam menyebar syiar agama mereka. (Iqtidha ‟ Shirat al-Mustaqim,
25)
Kemudian Syaikhul Islam menegaskan bahwa sembelihan Ahl al-
Kitâb, meskipun pada asalnya hukumnya halal, namun jika disembelih
sebab hari raya mereka maka statusnya tidak boleh dimakan. Beliau
menyatakan,
يرظُ للها يرغ لَإ ّبحزة نٔبسلخي اٌو ًْدايغلأ باخهلا وْأ ّبحذ اٌ اٌأو
ملذو ، لَاػح للها لَإ آة ينبسلخٌ ًْاياحؿو ًْايارْ نٍٔيطلما حةزي اٌ
في اٍْسٓعأ ناخياور آيف رحمأ َػف ، ةس ْشلاو حيطٍيل نٔبحزي اٌ ورٌ
، لَاػح للها يرغ ّييغ ًطي ًل نإو ّيكأ حاتي لا ُّأ ّؼٔؽُ هيلنا ولُو
سٍغ َة للها رتغو ثغئعا َغ ملذ َغ.
Sembelihan Ahl al-Kitâb untuk hari raya mereka dan sembelihan
yang mereka jadikan untuk mendekatkan diri kepada selain Allah,
statusnya sembelihan ibadah sebagaimana layaknya yang dilakukan
kaum muslimin saat berqurban atau menyembelih hewan hadyu,
sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sembelihan
dalam rangka hari raya Ahl al-Kitâb seperti mennyembelih untuk Al-
Masih atau Az-Zahrah. Ada dua riwayat dari Imam Ahmad. Riwayat
yang lebih banyak dari beliau yaitu tidak boleh dimakan. Meskipun
saat menyembelih tidak menyebut nama selain Allah. Dan ada
riwayat yang melarang memakan sembelihan ini dari A‟isyah dan
Abdullah bin Umar radhiyallahu „anhum. (Iqtidha ‟ Shirat al-Mustaqim,
26).
Hukum menerima hadiah saat hari raya mereka dan di luar hari
raya mereka, sama saja. sebab menerima hadiah tidak ada unsur
membantu mereka dalam menyebar syiar agama mereka. Tentunya jika
hadiah itu berupa barang yang memang halal secara dzatnya untuk
orang Islam.
53
BAB III
BIOGRAFI M.RASYID RIDHA DAN M. QURAISH SHIHAB
A. M.Rasyid Ridha
1. Biografi Rasyid Ridha
Muhammad Rasyid Ridha lahir di Qalamun tanggal 23
September 1865 M atau 27 Jumadil Awal 1282 H. nama lengkapnya
yaitu Muhammad Rasyid bin „Ali Rida bin Muhammad Shams alDin
bin Baha al-Dîn bin Munla „Alî Khalifa al-Qalamun al-Baghdadi al-
Husayni. Muhammad Rasyid Ridha berasal dari masyarakat menengah
ke atas dan merupakan keturunan bangan, yaitu Ridhaina Husain dari
Ali bin Abi Thalib dan Fatima putri Nabi Muhammad. Muhammad
Rasyid Ridha dikenal sangat rajin beribadah, ia memiliki kepribadian
yang taat. Meninggal pada tanggal 22 Agustus Tahun 1935 M dalam
sebuah insiden kecelakaan saat mengantar pangeran Sa‟ud al-Faisal.
Muhammad Rasyid Ridha bermadzhab sunni Syafi‟I dan aktif tarekat
sufi yang menguatkan karakternya sebagai pendakwah. Sejak kecil
Muhammad Rasyid Ridha tidak gemar bermain dengan teman
sebayanya, ia lebih memilih menelaah pelajaran dibandingkan dengan
bermain. Ini yaitu sebuah tanda-tanda Ridha akan menjadi orang
penting di kemudian hari.1
Muhammad Rasyid Ridha memiliki banyak guru, baik secara
langsung maupun melalui buku-buku yang ia baca. Tokoh-tokoh yang
berpengaruh terhadap pemikiran Muhammad Rasyid Ridha seperti Ibnu
Taimiyah, Imam Ghazali, Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad
Abduh, Jamaluddin al-Afgani, dan Ibnu Khaldun. Menurut Assad
nimer Busool, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang memiliki
pengaruh yang sangat besar terhadap pemikiran Muhammad Ridha,
apalagi ia sempat berguru secara langsung kepada Muhammad Abduh.
Selain itu, majalah yang Ridha baca turut memberikan pengaruh yang
sangat besar terhadap arah pemikiran Muhammad Rasyid Ridha. Saat
melihat majalah itu Ridha sangat tertarik sebab membahas tentang hal-
hal baru dalam Islam dan gaya berpikir yang dipaparkan dalam majalah
ini sangat dinamis.
Selain belajar dari kedua orang tuanya sendiri, Rasyid Ridha juga
belajar kepada sekian banyak guru. Semasa kecilnya Rasyid Ridha di
masukkan oleh orang tuanya di madrasah tradisional di kampungnya
Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan belajar mengenal huruf
serta membaca Al-Qur'an. Setelah tamat sekolah di madrasah
tradisional, pada tahun 1882 M Rasyid Ridha dikirim oleh orang tuanya
untuk meneruskan pelajaran ke Al-Madrasah Al-Wataniah Al-Islamiah
(Sekolah Nasional Islam) di Tripoli, Libanon. saat belajar di sana,
Rasyid Ridha diajarkan pelajaran nahwu, sharaf, aqidah, fiqh, ilmu
hitung dan ilmu bumi. Selain itu di madrasah ini juga diajarkan
mata pelajaran bahasa Arab, bahasa Turki dan bahasa Perancis, serta
termasuk pengetahuan agama dan pengetahuan modern. Mereka yang
belajar disana dididik dan dipersiapkan untuk menjadi pegawai-
pegawai pemerintah. Lewat hubungan baik itulah, Rasyid Ridha lebih
jauh berkelana dengan ide-ide pembaharuan disebab kan Al-Syaikh
Husain Al-Jisr amat berhasrat memompa semangat muda Rasyid Ridha
yang memang meminati berat alur pemikiran baru. Selain mendapat
bimbingan dari gurunya Al-Syaikh Husain Al-Jisr, ia juga dipengaruhi
oleh ide-ide pembaharuan yang dicetuskan oleh Jamaluddin Al-Afghani
dan Muhammad Abduh, melalui majalah Al-„urwat Al-wutsqa‟.
Semasa dewasanya Rasyid Ridha berniat untuk menggabungkan diri
dengan Al-Afghani di Istambul tetapi niat itu tak terwujud. Sewaktu
Muhammad Abduh berada dalam pembuangan di Beirut, Rasyid Ridha
mendapat kesempatan baik untuk berjumpa dan berdialog dengan
murid Al-Afghani yang terdekat ini. Perjumpaan dengan Muhammad
Abduh ini meninggalkan kesan yang baik dalam dirinya.
Muhammad Ridha sudah jatuh cinta pada pembahasan di
majalah sebelum akhirnya berguru secara langsung kepada Muhammad
Abduh. Kedua, majalah ini juga membahas tentang hal yang berkaitan
55
dengan dunia. Untuk pendidikan resminya, Muhammad Rasyid
menempuh pendidikan di Kuttab yang terletak di Kampungnya, Ridha
mempelajari Al-Qur'an, Khat, nahwu, menghafal beberapa juz Al-
Qur'an, kemudian orang tuanya mengirimnya ke Tripoli untuk
menuntut ilmu di Ibtidaiyyah al-Rasyidiyah. Di sini ia belajar Nahwu,
saraf, aqidah, ilmu hisab, fikih, geografi, dan lainnya. Ia belajar dalam
bahasa Turki sebagai pengantar sebab kota Lubnan saat itu berada di
bawah kekuasaan kerajaan Turki. Akan tetapi, Rasyid Ridha
meninggalkan madrasah itu sebab tidak suka dengan rencana dari
lembaga itu. Lembaga itu mempersiapkan kader untuk jadi petugas dari
kerajaan Turki (pemerintah Utsmaniyah). Ridha pindah ke madrasah al-
Wataniyyah al-Islamiyyah, madrasah itu merupakan madrasah terbaik
yang menggunakan bahasa Arab dalam menyampaikan pelajarannya,
kecuali materinya bahasa Turki dan Perancis. Madrasah ini dipimpin
oleh Syaikh Husayn al-Jisr,2 ia merupakan seorang ulama Syria yang
terkemuka. Ia juga seorang pemimpin tarekat Khalwatiyah. Ia
memiliki peran yang kuat dalam membentuk kemampuan intelektual
Rasyid Ridha. Selain materi agama, di Madrasah ini, Ridha juga belajar
logika, bahasa Arab, sains, fisika, matematika dan filsafat. Sejak di
madrasah ini, Rasyid Ridha sudah memiliki pra pengetahuan antara
pengetahuan agama dan ilmu umum. Ia menggabungkan pendidikan
agama dan pendidikan umum. Ia pun mengambil peran untuk menulis
di surat kabar di Tripoli.
Gurunya al-Jisr merupakan orang yang pandai dan terbuka
terhadap dunia modern. Ia membacakan pemahaman tauf kepada
Ridha, kitab, Futuhat al-Makkiyyah, kitab al-Firyaq. Sama seperti
Muhammad Abduh, Ridha dan al-Jisr juga hendak menggabungkan
pendidikan modern, yaitu pendidikan agama dan ilmu umum. Hal itu
bisa dilihat dari kurikulum yang ada di madrasah al-Jisr. Muhammad
Ridha kemudian hendak melanjutkan pendidikannya di Beirut, akan
tetapi tidak mendapat restu dari orang tuanya sebab di Beirut memiliki
pengaruh yang negatif. Rencana itu pun batal terjadi. Melanjutkan
pendidikan di Madrasah al-Rahbiyyah. Setelah delapan tahun, ia
mendapat ijazah „alamiyah. Kemudian ia berguru pada ulama terkenal
kala itu yaitu Syaikh Abdul al-Ghani al-Rafi‟I, dan syaikh Muhammad
al-Qawqaji, di sana ia belajar pengetahuan Bahasa Arab, kesusasteraan
dan tauf. Ia juga mendalami tauf dari Syaikh abdul Aziz Rifa‟I dan
mempelajari kitab Ihya Ulumiddin. Hadis dan Fikih didapat dari Syaikh
Mahmud Nasyabah, ilmu mantiq dari Syaikh Muhammad al-Husaini.
saat Rasyid Ridha di Mesir, ia selalu bertemu dengan Muhammad
Abduh. Pertemuan ini dijadikan waktu yang penting bagi Rasyid Ridha
untuk memperdalam pengetahuannya dalam pembaharuan Islam.
Sebulan setelah bertemu dengan Muhammad Abduh, Rasyid Ridha
menyampaikan keinginannya untuk menerbitkan majalah yang
nantinya diberi nama Al-Manar. Tujuan Rasyid Ridha dalam
menerbitkan majalah Al-Manar yaitu untuk mengadakan pembaharuan
melalui media cetak yang di dalamnya berisikan bidang agama, sosial,
ekonomi, memberantas takhyul dan faham bidah yang masuk ke dalam
kalangan umat Islam. Serta menghilangkan faham fatalisme, faham-
faham salah yang dibawa oleh tarekat tauf, meningkatkan mutu
pendidikan dan membela umat Islam terhadap permainan politik negara
Barat. Pada mulanya Muhammad Abduh tidak menyetujui gagasan ini,
disebab kan pada saat itu di Mesir sudah cukup banyak media masa,
apalagi persoalan yang akan diolah diduga kurang menarik perhatian
umum. Namun Rasyid Ridha menyatakan tekadnya, walaupun harus
menanggung kerugian material selama satu sampai dua tahun setelah
penerbitan itu. Akhirnya Muhammad Abduh merestui dan memilih
nama Al-Manar dari sekian banyak nama yang diusukan oleh Rasyid
Ridha.
Setelah menempuh pendidikan formalnya, ia pun menyempatkan
diri untuk memberikan pengajaran di masyarakat sekitarnya. Ia
membagikan ilmu yang dimilikinya sebelum akhirnya menjelajahi
pemikiran al-Afgani dan Muhammad Abduh melalui majalah yang
ditemukan rumahnya. Masyarakat setempat pun memberikan sanjungan
kepada Muhammad Rasyid Ridha atas pengetahuan agama yang
dimilikinya. Ilmu yang dimiliki oleh Ridha termasuk dalam dan tinggi.
Selain masyarakat, ternyata Ridha juga berhasil membuat kagum
pemerintah Utsmaniyah atas penyampaian agamanya. Ridha pun
ditawari menjadi anggota Lajnah al-Islah al-M ‟ rif kerajaan Utsmani.
Akan tetapi, tawaran ini tidak diterima oleh Rasyid Ridha. Ibu
Muhammad Rasyid Ridha pernah mengungkapkan bahwa Muhammad
Rasyid Ridha selalu tidur terlambat dan bangun paling cepat. Bahkan,
adiknya Sayid Saleh pernah mengungkapkan anggapnya bahwa Ridha
itu seorang nabi. Akan tetapi, saat sadar bahwa Nabi Muhammad
yaitu penutup para nabi, sejak itu aku yakin bahwa Ridha seorang
wali. Terkait dengan ibadah kepada Allah, Rasyid Ridha sangat
menentang bid‟ah, khurafat, dan hal yang mengarah pada kejumudan.
Selain itu dalam Islam telah banyak masuk unsur bidah yang
merugikan bagi perkembangan dan kemajuan umat Islam. Rasyid
Ridha sangat menentang keras ajaran syekh-syekh tarekat tentang tidak
pentingnya hidup duniawi, puji-pujian dan kepatuhan yang berlebih-
57
lebihan pada syekh dan wali. Menurutnya, umat Islam harus dibawa
kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya yaitu, ajaran yang murni
dan terhindar dari segala bidah yang menggerogoti ajaran tauhid.
Rasyid Ridha mengatakan Islam murni itu sederhana sekali,
sesederhana dalam ibadah dan sederhana dalam muamalahnya. Ibadah
kelihatannya berat dan ruwet sebab dalam ibadah telah ditambahkan
hal-hal yang bukan wajib, tetapi sebenarnya hanya sunnat. Mengenai
hal-hal yang sunnat ini nantinya akan muncul perbedaan faham dan
akan memicu munculnya kekacauan. Sedangkan soal muamalah, hanya
dasar-dasar yang diberikan, seperti keadilan, persamaan, pemerintahan
syura. Perincian dan pelaksanaan dari dasar-dasar ini semua diserahkan
kepada umat untuk menentukannya. Hukum-hukum fiqih mengenai
hidup kemasyarakatan, sungguhpun itu didasarkan atas Al-Qur'an dan
hadis tidak boleh dianggap absolut dan tidak dapat berubah. Hukum-
hukum itu timbul sesuai dengan situasi tempat dan zaman.
Rasyid Ridha juga menganjurkan supaya bertoleransi bermazhab
untuk dihidupkan. Dalam hal-hal dasarlah yang perlu dipertahankan
kesamaan faham bagi umat Islam, tetapi dalam hal perincian dan bukan
dasar diberikan kemerdekaan bagi tiap orang untuk menjelaskan mana
yang disetujuinya. Selanjutnya ia menganjurkan pembaharuan dalam
bidang hukum dan penyatuan mazhab hukum. Selain itu faktor yang
membawa umat Islam mengalami kemunduran yaitu sikap fatalisme.
Sedangkan salah satu faktor yang membawa masyarakat Barat kepada
kemajuan ialah faham dinamika yang ada dikalangan mereka. Agar
umat Islam tidak lemah, maka mutlak membuang jauh-jauh faham
fatalisme ini , kemudian menggantikannya dengan faham
dinamisme (progres, kemajuan). Dengan menjunjung tinggi asas
kemajuan, secara perlahan umat Islam akan meyakini bahwa faktor
nasib dan keberuntungan merupakan kehendak sepenuhya manusia.
Dengan kata lain, kemajuan dan perubahan hidup yang dijalani umat
Islam, sepenuhnya lebih ditentukan oleh umat Islam itu sendiri. Oleh
sebab itu umat Islam harus bersikap aktif. Dinamika dan sikap aktif itu
terkandung dalam kata jihad. Jihad dalam arti berusaha keras dan sedia
memberi pengorbanan harta bahkan juga jiwa, untuk mencapai tujan
perjuangan. Semangat jihad serupa inilah yang menyebabkan umat
Islam di zaman klasik dapat menguasai dunia.
Pemahaman ini, akan membawa umat Islam memiliki wawasan
rasional dan selalu maksimal dalam menggunakan akal pikiran. Rasyid
Ridha juga menghargai akal manusia. Namun, penghargaannya
terhadap akal tidak setinggi penghargaan yang di kemukakan oleh
gurunya Muhammad Abduh. Menurut Rasyid Ridha akal dapat dipakai
terhadap ajaran-ajaran mengenai hidup kemasyarakatan, tetapi tidak
58
terhadap ibadah. Dalam lapangan ini pula umat Islam memiliki konsep
yang disebut dengan ijtihad. Konsep ini akan memacu umat Islam
untuk berfikir keras tentang agama dan sosial kemasyarakatannya.
Kendati demikian, ijtihad dalam persoalan agama hanya ada dalam
lapangan muamalah saja. Dalam bidang ibadah, tidak perlu dilakukan
ijtihad. Ijtihad diperlukan hanya untuk soal-soal hidup kemasyarakatan.
Terhadap ayat dan hadist yang mengandung arti tegas, tidak diperlukan
ijtihad. Akal dapat dipergunakan terhadap ayat dan hadis yang tidak
mengandung arti tegas dan terhadap persoalan-persoalan yang tidak
ini dalam Al-Qur'an dan hadis. Oleh sebab itu inilah letak
dinamika Islam menurut faham Rasyid Ridha.
2. Latar belakang historis dan sosiologis pemikiran M.Rasyid Ridha
Dalam catatan atau literatur kontemporer, Rasyid Ridha
digambarkan sebagai pejuang muslim yang tidak jauh beda dengan
Muhammad Abduh.3 Muhammad Abduh menilai bahwa tidak ada jalan
yang paling ampuh bagi tercapainya pembaharuan di dunia Islam
kecuali melalui politik merupakan jalan terpendek, sedangkan
pembaharuan melalui pendidikan dan pengajaran sekalipun menempuh
jalan yang panjang tapi hasilnya mantap dan langgeng. Oleh sebab itu,
antara kedua jalur itu sebenarnya sangat berkaitan. Menurut Rasyid
Ridha pembaharuan mutlak harus dilakukan, sebab tanpa itu, umat
Islam senantiasa berada dalam kejumudan dan akan menjadi umat yang
terlantar. Ia melihat bahwa kemunduran umat Islam dan kelemahan
mereka disebabkan sebab mereka tidak lagi memegang dan
menjalankan ajaran Islam yang sebenarnya.
Ridha terpengaruh pemikiran Ibnu Taimiyah yang keras
menentang bid‟ah dan hal yang berbau mistik. Muhammad Rasyid
Ridha awalnya sangat tertarik dengan sufi atas pengaruh imam al-
Ghazali. 4 Akan tetapi, setelah melihat majalah al-Urwah AL-Wutsqa,
ajaran sufi ia tinggalkan. Majalah yang diterbitkan di Paris oleh
Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh tahun 1884 M. ini
cukup mempengaruhi Rasyid Ridha dalam mengamalkan ajaran
agamanya. Ia pun mengumpulkan 18 jilid majalah itu dan dipelajari.
Majalah itu ditemukan di perpustakaan Husayn al-Jisr. Dengan
majalah itu, Ridha berusaha untuk menjadi murid Jamaluddin al-
Afgani sebab sangat menyukai pemikirannya. Akan tetapi, harapan itu
tidak tercapai sebab Jamaluddin al-Afgani wafat tahun 1897. Padahal,
sebelumnya Ridha pernah mengirim surat ke Afgani untuk menjadi
muridnya tahun 1893.
Majalah al-„Urwah al-Wutsqa sudah cukup membuat
Muhammad Rasyid Ridha untuk mencintai Islam yang sesuai dengan
perkembangan zaman, yaitu cara berpikir yang dinamis Sebagimana
yang telah dilakukan oleh Muhammad Abduh. Awalnya Rasyid Ridha
hanya mengajak masyarakat untuk menjauhi kehidupan dunia dalam
arti mencintai dalam Islam disebut zuhud. Namun, setelah berinteraksi
dengan karya Jamaluddin al Afgani dan Muhammad Abduh melalui
majalah itu, Ridha pun berubah haluan mejadi pemikiran yang modern
dan lebih menekankan untuk berpikir dinamis dan mencintai ilmu.
pengetahuan agama sekaligus ilmu umum untuk kemajuan umat Islam
di masa modern. Seperti kepedulian terhadap industri dan teknologi.
Sebelumnya memang tidak memberikan perhatian semacam itu sebab
masih di bawah pengaruh tauf5 dan Ibnu Taimiyah, setelah berkenalan
dengan pemikiran Jamaluddin alAfgani dan Muhammad Abduh,
Muhammad Rasyid Ridha pun berganti haluan ke pemikiran yang lebih
progresif.
Tahun 1885/1886 M. Muhammad Rasyid Ridha bertemu dengan
Muhammad Abduh untuk pertama kalinya. Pertemuan ini
membuat Rasyid Ridha terbakar semangatnya untuk melepaskan umat
Islam dari belenggu keterpurukan. Tahun 1894, mereka bertemu untuk
kedua kalinya. Tahun 1896, Ridha pindah ke Mesir sebab situasi yang
tidak mendukung di Lubnan sebab tekanan kerajaan Turki Utsmani.
Sejak saat itu, Ridha berkhidmat terhadap Abduh dan melanjutkan
perjuangannya. Ridha pun menulis banyak karya dalam berbagai
bidang. Seperti sejarah, tafsir, fikih, hadis, teologi, dan manasik al-Hajj.
Tarikh al-Ustadh al-Imam (sejarah), Risalah al-Sulb wa alFida,
al-Sunnah wa al-Syi„ h (akidah), al-Wahhabiyyun wa al-Hijaz
(politik), al-Khilafah wa‟l-Imamah al-„Uzm , l-Wahyu al-
Muh mm di, Nid ‟ li Jins l-Latif, al-Manar wa al-Azhar (yang
merupakan tangkisannya terhadap tulisan Yusuf al-Dajwiy, yang
menentang Muhammad Abd al-Wahhab dalam majalah Nur al-Islam
(Buletin al-Azhar) Tarjamah Al-Qur'an wa ma fi ha min al-Mafasid,
Dhikra al-Mawlid alNabawi, Dalam catatan atau literatur kontemporer,
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha digambarkan sebagai pejuang yang
lebih banyak kesamaan dengan Muhammad Abduh.6
ada ungkapan Muhammad Abduh yang membuat Rasyid
Ridha benar-benar mengikutinya yaitu pernyataan tentang pembaruan
dalam Islam. Abduh menyatakan bahwa untuk mengubah tatanan
Islam, bisa melalui jalan politik. Akan tetapi, jalan ini termasuk jangka
pendek sebab sangat berpotensi berganti seiring bergantinya siapa
yang berkuasa dan memegang kendali pemerintahan. Kemudian, jika
ingin mendapat sebuah jalan jangka panjang, maka yang harus
dilakukan yaitu mengambil jalan pembaruan pendidikan dan
pengajaran. Melalui jalan pendidikan dan pengajaran, hasilny a
memang membutuhkan waktu yang lebih lama. Akan tetapi, hasilnya
benar-benar dapat memuaskan sebab tersimpan dalam jiwa dan
menjadi karakter masyarakat. Melalui jalur politik citranya seperti
paksaan terhadap masyarakat sebab sudah menjadi sebuah aturan
resmi seperti undang-undang.
Terkait dengan pemikiran Muhammad Rasyid Ridha, dapat
dibagi dalam beberapa kategori sebagai berikut;
a. Pembaharuan Bidang Keagamaan Umat Islam mengalami
kemunduran dalam praktik agama. Umat Islam benar-benar tidak
berdaya menghadapi peradaban Barat yang semakin hari semakin
menunjukkan taringnya menghadapi dunia modern dengan
kemajuan sains dan teknologinya.7 Faktor internal Islam, adanya
ajaran-ajaran yang dilakukan oleh umat Islam yang seolah-olah itu
yaitu ajaran Islam padahal bukan. Faktor inilah yang menjadikan
umat Islam tidak mampu bersaing dengan perkembangan dunia
modern, padahal di masa keemasan Islam dahulu kala, Islam mampu
mengamalkan ajaran Islam seutuhnya walaupun berinteraksi dengan
peradaban lain seperti Yunani Kuno dan Romawi.
Menurut Muhammad Rasyid Ridha, ada syarat yang harus
dilakukan oleh umat Islam agar mampu menyaingi kemajuan
peradaban Eropa di masa modern ini, yaitu dengan kembali
mengamalkan ajaran Islam secara murni, menggali Al-Qur'an.
Mengamalkan ajaran agama yang telah atur oleh Rasulullah dan
yang dipraktikkan oleh para sahabat. Allah telah menyempurnakan
agama Islam sebagai agama terakhir yang meluruskan semua agama
sebelumnya. Islam telah menjadi hukum-hukum terakhir di dunia
sebagai ajaran yang harus dilakukan oleh umat manusia sebab
kebenaran yang dikandungnya. Syariat Islam yaitu syariat terakhir
yang diturunkan Tuhan kepada umat manusia untuk keselamatannya
di kehidupan selanjutnya, akhirat. Seluruh kebutuhan umat Islam itu
ada dalam Al-Qur'an sehingga umat Islam tidak perlu mencari
referensi lain selain dua sumber hukum Islam yang kuat, Al-Qur'an
dan hadis.
Kesempurnaan manusia sebagai makhluk yang paling baik di
muka bumi, ruh dan jasad manusia yang telah disempurnakan Allah
untuk menjalankan tugasnya di bumi sebagai khalifah sudah cukup
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada mereka untuk
memperbaiki kehidupan, berijtihad yang benar dan mengambil
sebuah keputusan yang baik. Dua hal ini sangat penting bagi umat
Islam sebab sudah sesuai dengan kemaslahatan manusia di setiap
keadaan. Zaman Muhammad Rasyid Ridha, para pemikir Islam
belum terlalu banyak berinteraksi dengan para filosof, terkait dengan
persoalan salafiah, Muhammad Ridha banyak dipengaruhi oleh
tokoh salafiyah seperti Ibnu Taimiyah, ada beberapa konsep yang
dikemukakannya yang mengemuka seperti akan dan wahyu.
b. Posisi Akal dan Wahyu
Muhammad Rasyid Ridha mengatakan bahwa persoalan
ketuhanan, ia menghendaki urusan keyakinan harus menggunakan
wahyu, Al-Qur'an . Akal sebagai alat analisis tetap diperlukan untuk
menjelaskan dan alat untuk mengungkapkan argumentasi, apalagi
jika berhadapan dengan orang yang keimanannya masih setengah-
setengah. Pemikirannya dipengaruhi oleh majalah al-Urwah al-
Wutsqa.8
c. Sifat-Sifat Tuhan
Terkait dengan sifat Tuhan, ulama teologi berbeda pendapat
dengan perbedaan yang sangat mencolok. Terutama aliran
Mu‟tazilah dan Asy‟ariyah. Muhammad Ridha terkait dengan sifat
Tuhan, ia meyakini bahwa sifat-sifat Tuhan itu seperti apa yang
diberitakan oleh nash Al-Qur'an tanpa menambahkan tafsir ataupun
ta‟wil.
d. Tindakan Manusia
Salah satu yang menjadi perdebatan sengit dalam sejarah
teologi Umat Islam yaitu mengenai perbuatan manusia. Apakah
perbuatan manusia itu berasal dari Allah atau hanya semata
keinginan manusia tanpa campur tangan Allah. Perdebatan tentang
tindakan manusia ini dikenal dengan aliran Jabariah dan Qadariah.
Jabariah meyakini bahwa segala pebuatan itu berasal dari Allah,
manusia tidak memiliki upaya untuk melakukan tindakan. Adapun
aliran Qadariah, aliran ini meyakini bahwa tindakan manusia itu
berasal dari dirinya sendiri. Tidak ada campur tangan Tuhan. Terkait
dengan pemikiran Muhammad Rasyid Ridha, ia meyakini bahwa
perbuatan manusia itu sudah ditentukan oleh Allah dan tergolong
sunnatullah.
e. Konsep Iman
Muhammad Ridha meyakini bahwa yang menyebabkan umat
Islam mundur yaitu keyakinan dan amal ibadah umat Islam telah
bergeser dari ajaran aslinya. Oleh sebab itu, upaya yang keras
Muhammad Rasyid Ridha yaitu mengembalikan umat Islam
menjalankan ibad
.jpeg)
