makna ahl alkitab 2

makna ahl alkitab 2


 


�ُوا yang artinya “orang-orang yang diberi kitab” 

dan disebutkan sebanyak 21 kali, yang ada  dalam Surat al-

Baqarah/2: 101, 144-145; Surat ali-Imran/4: 19-20, 100, 186-187; 

Surat al-Mâidah/7 : 5 dan 57; Surat an-Nisâ/5: 47 dan 131; Surat al-

Mudashir/39: 31; Surat al-Hadid/29: 16; Surat al-Bayyinah/309: 4; 

Surat at-Taubah/11: 29. Menurut Raghib al-Asfahani, penggunaan 

term ini dapat mencakup adanya unsur penerimaan dan penolakan 

dari objek yang dituju. 

c. Term   ِبَٰخِه

ْ

ىا ََ ٌِّ  اًْتيَِطُ ا ْٔ ُحُْوا 

Term  ِبَٰخِه

ْ

ىا ََ ٌِّ  اًْتيَِطُ أْ ُحُْوا yang artinya “orang-orang yang diberi 

bagian kitab”. Di dalam Al-Qur'an disebutkan sebanyak 3 kali, yang 

ada  dalam Surat ali-Imran/4: 23; Surat an-Nisa/5: 44 dan 51, 

pengungkapan term ini lebih banyak menunjuk kepada kaum 

Yahudi. 

d. Term  َِمْيتَر َْ ٌِ  َبَٰخِه

ْ

ىا َنْوُءَرْلَح 

                                        

26Raghib al-Ashfahani, Mu‟j m Mufr d t Li Alfazh Al-Qur'an, Beirut: Dâr al-Fikr, tt, 

hal. 4 

32 

 

Term  َِمْيتَر َْ ٌِ  َبَٰخِه

ْ

ىا َنْوُءَرْلَح yang artinya “orang-orang yang 

membaca kitab sebelum kamu” dan disebutkan hanya sekali yang 

ada  dalam Surat Yunus/13: 94. Dalam ayat ini membahas 

berbicara mengenai kaum Yahudi dan Nasrani sebagai umat yang 

telah membaca kitabnya (Taurat dan Injil). 

E. Perbedaan Bani Israil, Yahudi, Nashrani dan Kristen 

1. Bani Israil 

Kata Bani dalam Al-Qur'an  diungkapkan sebanyak 49 kali." 41 

kali dihubungkan dengan kata Israil, selebihnya 6 kali dihubungkan 

dengan anak keturunan Nabi Adam. Term ini  menunjukkan bahwa 

bangsa Israil yaitu  bangsa yang dikasihi Tuhan dari satu sisi, tetapi di 

lain pihak juga menunjukan bahwa bangsa Israil yaitu  bangsa yang 

suka berbuat kerusakan, bersikap ekslusif, dan sulit diatur. Sedangkan 

dua kali diantaranya (Surat an-Nûr/24:31) berbicara mengenai putra 

saudara laki-laki dan perempuan. Dapat disimpulkan bahwa kata Bani 

mengindikasikan adanya hubungan darah. dalam ayat-ayat ini . 

Sedangkan Israil, ditemukan sebanyak 43 kali dalam Al-Qur'an 

Surat ali-Imran/3:93 dan Surat Maryam/19: 58 menunjuk langsung 

kepada nabi ya'kub As. selebihnya dikaitkan dengan keturunannya. 

Sedangkan kata israil itu sendiri berasal dari bahasa Ibrani yang terdiri 

atas dua kata, yakni isra yang berarti hamba atau kekasih dan il berarti 

Tuhan. Sehingga Israil berarti hamba Allah atau kekasih Allah. 

Bani Israil Disebut Bani Israil, disandarkan pada Nabi Ya‟qub bin 

Ishaq bin Ibrahim yang mendapatkan gelar Israil (bahasa Ibrani; israa: 

kekasih, hamba dan iil: Tuhan). Maka dikatakan Bani Israil, yaitu  

anak keturunan nabi Ya‟qub. Gelar serupa sama dengan “Khalilullaah” 

atau “Khalilurrahmaan” sebagai gelar Nabiyullah Ibrahim (bahasa 

Arab; khaliel: kekasih, Rahmaan: Allah). Maka di masa silam, tak 

heran ada seorang ulama ahli hadis, tsiqah (terpercaya), hafalannya 

kuat, dan termasuk perawi dalam kutub sittah bernama Israil. Beliau 

bernama Israil bin Yunus as-Suba‟i. Biografi beliau disebutkan adz-

Dzahabi dalam Siyar A‟lam anNubala, 7/355. Ada setidaknya 41 kali 

disebutkan kata Bani Israil dalam Al-Qur'an . Tidak semua disebutkan 

dalam konteks negatif.27 

Firman Allah dalam Surat al-Imran/4: 93: 

                                        

 

  ُّ ُُ  ِماَػ َّؽىا  َنَكَ  

ً

لَِخ  ِْٓنَ

ّ

ِلْ  َْويِءۤا َِْسْا  

َّ

ِلَا ا ٌَ  َمَّرَخ  ُْوِيءۤا َِْسْا  

َٰ

َعَ ِّصْفَج  َْ ٌِ

 َِْيْرِد َٰض ًْ ُْخُِن ِْنا ٓا َْ ْٔ ُْيحاَف ِثى َٰر ْٔ َّلَِاة أْ ُح

ْ

أَف ُْوك ٗۗ ُثى َٰر ْٔ َّلَا َل ََّنُِت َْنا ِْوتَر 

Semua makanan itu halal bagi Bani Israil, kecuali makanan yang 

diharamkan oleh Israil (Yakub) atas dirinya sebelum Taurat 

diturunk n. K t k nl h (Muh mm d), “M k    w l h T ur t l lu 

bacalah, jika kamu orang-or ng y ng  en r.” (ali-Imran/4: 93) 

Dalam ayat lain disebutkan  

 َا ََ ْحِ

َّ

لَّا َمِٕى

َٰۤ ىُوا َع ٌَ  اَِ

ْ

يََحْ َْ ٍَّ ِمَو َمَد

َٰ

ا ِثَِّيّرُذ َْ ٌِ  َِّيْبَّلنا ََ ٌِّ  ًْ ِٓ ْي

َيَغ ُ ِّللَّا ًَ َػْج

 ًْ ِٓ ْي

َيَغ َْٰلٰخُت اَِذا ٗۗ اَِ َْيبَخْجاَو اَِ ْحَد َْ  َْ ٍَّ ِمَو َْۖوِيءۤا َِْسْاَو ًَ ِْي َْْٰرِةا ِثَِّيّرُذ َْ ٌِ َّو ٍٍۖح ْٔ ُُ

 ِسُب َّو اًد َّجُش اْو ُّرَخ َِ َْٰحَّْرلا ُجَٰي

َٰ

ااًي 

Mereka itu yaitu  orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, 

yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang 

Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan 

dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. 

Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada 

mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis. 

(Maryam/14: 56- 57) 

Syaukani rahimahullah menegaskan  

 

 ِا  ت َف َق  

ْ

ا ٍُ ل َف ُِسّ ْو َن  ََعلى 

َ

أ   ن  ِإ َْسر ِئا 

ْي َو  ُْ َٔ  َي ْػ ُل ْٔ َب  ْة َِ  ِإ ْض َح َقا  

ْة َِ 

 ِإ ْة َس ِْ ا 

ْي ًَ  َغ َي ْي ِٓ ًُ   طلا َلا ِم،  َو ٌَ ْػ َِ ُها  َع ْت ُر ،للها  

َ

ِلأ  ن “ ِإ َْسر”  ِْفي  

ُ

ى َغ ِخ ِٓ ًْ  ُْ َٔ  

ْ

ا َػى ْت ُر، 

 َو” ِإ ُي ُو”  ُْ َٔ ،للها  ِؼ 

ْي َو : ِإ 

 ن  ُ

َ

ه   ِا ْض ٍَ ِْين،  َو ِؼ ْي َو : ِإ َْسر ِئا ْي َو  

َ

ى َل ٌب  ُ

َ

ه  

Seluruh ahli tafsir sepakat, bahwa Israel yaitu  Ya‟qub bin Ishak 

bin Ibrahim „alaihissalam. Maknanya yaitu  hamba Allah, sebab  isra 

dalam bahasa mereka artinya yaitu  hamba, dan el artinya Allah.28 

Ada ulama yang menerangkan, bahwa Nabi Ya‟qub memiliki dua 

nama (yakni: Yaqub dan Israel). Ada pula yang menjelaskan, Israel 

yaitu  julukan untuk beliau. Adapun turunan Nabi Ya‟qub memiliki 

empat orang istri dan dua belas anak;  

                                        

 

a. Isteri pertama [Li‟ah] melahirkan enam orang anak: Rawabin, 

Sami‟un, Lawiyah, Yahudza, Badzakir dan Dzambalan.  

b. Isteri kedua [Rahil] melahirkan dua anak: Yusuf dan Benyamin. 

c. Isteri ketiga [Zalifah] melahirkan dua anak: Za‟ad dan Asyir, dan  

d. Isteri keempat [Barihah] melahirkan anak: Dana dan Naftalia. 

2. Yahudi  

Kata Yahud yang diawali dengan alif dan lam, al-Yahud 

digunakan untuk merujuk pada bangsa Yahudi. Jika kata ini  

ditambah ya nisbah, al-Yahudi berarti orang Yahudi, sedangkan al-

Yahudiyah diartikan sebagai agama Yahudi. Dalam Al-Qur'an , 

diungkap sebanyak 9 kali. Sembilan kali disebut al-Yahud yaitu dua 

kali dalam Surat al-Baqarah/2: 113 dan 120, Surat al-Mâidah/5: 18, I 

51, 64, dan 82, serta Surat at-Taubah/9: 30. Satu kali disebutkan dalam 

bentuk Yahudi, yaitu dalam Surat ali Imran/3: 67. Semua kata Yahud 

dalam ayat-ayat ini  mengandung arti 'orang-orang Yahudi'. 

Misalnya Surat al-Baqarah/2: 113 dan Surat ali-Imran/3: 67. saat  Al-

Qur'an menggunakan term Yahud maka kesan umumnya yaitu  tentang 

kecaman atau gambaran negatif mereka (Yahudi). 

Diartikan orang-orang yang masuk agama Yahudi atau mereka 

yang telah tunduk kepada agama Nabi Musa As, Kata Hâdu yaitu  

bentuk fi'il madhi (kata kerja lampau) yang terdiri ha, wau, dal. Yang 

secara literal mengandung pengertian kembali secara perlahan-lahan, 

bersuara lembut dan berjalan merangkak-rangkak. Kata ini  juga 

bisa berarti taubat.' Hal ini berkaitan dengan sikap dan prilaku orang-

orang yang berdosa dan menyimpang dari ketentuan-ketentuan Allah , 

kemudian menyadari kesalahannya untuk selanjutnya kembali kepada 

jalan yang benar dengan perlahan dan lemah lembut serta rendah hati 

seolah-olah merangkak di hadapan Allah  menyesali kesalahannya dan 

memohon ampunannya. Kata ini dalam Al-Qur'an ditemukan tidak 

kurang dari 30 kali dengan berbagai derivasinya 11. 1 kali diungkapkan 

dalam bentuk ini. 10 kali dalam bentuk maşdar dan isim 'alam "Hud", 

dan sebanyak 8 kali dalam bentuk isim 'alam.29 

 ًْ ُٓ ُ ل ْٔ َك َِملَٰذٗۗ ِ ِّللَّا َُ ْبا ُْحيِص ٍَ

ْ

لا ى َ َٰصَّٰلنا َِجىاَكَو ِ ِّللَّا َُ ْبِا  ُْريَزُغ ُْدٔ ُٓ َ

ْ

لَّا َِجىاَكَو

 ُْوتَر َْ ٌِ  اْوُرَفَز ََ ْحِ

َّ

لَّا َل ْٔ َك َن ْٔ ُِٔـْاَُغي ۚ ًْ ِٓ ِْأَ

َْفِاةٗۗ  َنْٔ َُهفُْؤي 

ِّ

َّٰا  ۚ ُ ِّللَّا ًُ ُٓ ََيحاَك 

Dan orang-or ng Y hudi  erk t , “Uz ir putr   ll h,” d n or ng-

or ng N sr ni  erk t , “ l-M sih putr   ll h.”  tul h uc p n y ng 

                                        

 

keluar dari mulut mereka. Mereka meniru ucapan orang-orang kafir 

yang terdahulu. Allah melaknat mereka; bagaimana mereka sampai 

berpaling? (at-Taubat/10: 30) 

  َّنَدِجَ

َ

لََو ۚا ْٔ ُك ََْشْا ََ ْحِ

َّ

لَّاَو َْدٔ ُٓ َ

ْ

لَّا ٔا ُِ ٌَ

َٰ

ا ََ ْح ِ

َّ

لَِّّى ًةَواَدَغ ِساَّلنا َّدََشا َّنَدِجَ

َ

لَ

آْٔ ُ لاَك ََ ْحِ

َّ

لَّا ٔا ُِ ٌَ

َٰ

ا ََ ْح ِ

َّ

لَِّّى ًة َّدَٔ ٌَّ  ًْ ُٓ َبَْرَكا  َْيِْْصي ِِّصك ًْ ُٓ ٌِِْ  ََّنِاة َِملَٰذ ٗۗى َٰ ََٰصُٰ اَُِّا

 َنْو ُِبِْهَخَْصي 

َ

لَ ًْ ُٓ ََّجا َّو ًاُاَت ْْ ُرَو  

Pasti akan kamu dapati orang yang paling keras permusuhannya 

terhadap orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang Yahudi dan 

orang-orang musyrik. Dan pasti akan kamu dapati orang yang paling 

dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah 

orang-or ng y ng  erk t , “Sesungguhny  k mi  d l h or ng 

N sr ni.” Y ng demiki n itu k ren  di  nt r  merek  terd p t p r  

pendeta dan para rahib, (juga) sebab  mereka tidak menyombongkan 

diri. (al-Mâ'idah/5: 82) 

Adapun kenapa disebut yahudi, paling tidak ada beberapa 

pandangan; Sebagian mufassir mengaitkannya dengan peristiwa 

penyembahan anak sapi (al-A‟râf/7:156), pandangan lainnya 

menyandarkan pada „sikap gemetar‟ mereka saat  membaca Taurat, 

dan yang paling populer pandangan yang menyebutkan bahwa kata 

Yahudi disandarkan pada Yahudza [anak keempat nabi Ya‟qub yang 

paling berpengaruh] sekalipun masih silang pendapat sebab  perbedaan 

lafazh keduanya (yaitu Yahudi dan Yahudza). Setelah wafatnya 

Sulaiman bin Dawud, ke turunan Ya‟qub ini terpecah menjadi dua 

golongan besar; Pertama, kelompok Yahudza (kerajaan selatan) yang 

mendapat dukungan Yahudza dan Bunyamin. Kedua, kelompok Israil 

(kerajaan utara) yang mendapatkan dukungan dari sepuluh keturunan 

lainnya dan disebut pula Samaria sampai jatuhnya mereka ke tangan 

bangsa As-Syiria, walaupun akhirnya mereka bersatu kembali. Meski 

ada redaksi hadits dari Imam Bukhari yang mengindikasikan 

pemakaian yahudi dan Ahl al-Kitâb itu sama. Yaitu seorang yahudi 

yang pernah melayani Nabi. 

ada  riwayat shahih dalam Shahih Bukhari dan lainnya 

bahwa ada seorang anak Yahudi yang membantu Nabi shallallahu 

alaihi wa sallam. Suatu saat dia sakit, lalu Nabi shallallahu alaihi wa 

sallam menjenguknya dan menawarkannya agar masuk Islam. Kisah ini 

dikisahkan oleh Anas bin Malik;  

36 

 

 ُهَاح

َ

َأف ،َِضس ٍَ َػ ًَ

 

يََضو ِّ َييَغ ُ  للَّا 

 لََّؼ  ِبِ لنا ُمُرَيخ َنَكا ِٔد ُٓ َليا ََ ٌِ  ا ًٌ

َ

لاُغ  ن

َ

أ

 ُٔد ُػَي ًَ

 

يََضو ِّ َييَغ ُ  للَّا 

 لََّؼ ُِّبِ لنا َػَلَػ ، ُه 

َ

أ : َلاَلَػ ، ِّ ِضأَر َرِِغ َر َسَظََِػ . ًِيض

 . ًَ

 

يََضو ِّ َييَغ ُ  للَّا 

 لََّؼ ًِ ِضاَلىا َاة

َ

أ عِق

َ

أ : 

َ

ه  َلاَلَػ ، ِّ ِضأَر َرِِغ َٔ ُْ َو ِّ ِيب

َ

أ 

َ

ِلَإ

 ُرٍَلحا : ُلُٔلَي َٔ ُْ َو ًَ

 

يََضو ِّ َييَغ ُ  للَّا 

 لََّؼ ُِّبِ لنا َجَسَذَف ، ًَ َيض

َ

َأف  يِلذا ِ  ِللَّ

  ِرا لنا ََ ٌِ  ُهَزَلُ

َ

أ( ًكر ،يراذلبا هاور6531( 

“Sesungguhny , seor ng  n k Y hudi y ng  i s  mel y ni N  i 

shallallahu alaihi wa sallam menderita sakit. Lalu Nabi shallallahu 

alaihi wa sallam membesuknya, kemudian dia duduk di sisi kepalanya. 

L lu  erk t , „M suk  sl ml h.” S ng  n k mem nd ngi   p kny  

yang ada di sisi kepalanya. Maka sang bapak berkata kepadanya, 

“T  til h    l Q sim sh ll ll hu  l ihi w  s ll m.” M k   n k 

ini  masuk Islam. Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam 

kelu r ser y   erk t , “Seg l  puji   gi  ll h y ng tel h 

menyelamatkannya dari ner k .” (HR. Bukhari, no. 1356) 

3. Nashrani  

Dalam bahasa Arab, kata “Nashara” merupakan bentuk jamak 

dari “nashrani”. Sebutan “umat Nasrani” secara kaprah digunakan 

untuk merujuk pada umat Kristiani, penganut agama Kristen. Kaum 

Muslim menggunakan istilah nashara atau nashrani sebab  Al-Qur'an 

menggunakan kedua kata ini . Kata “nashara/nashrani” muncul 

empat belas kali dalam Al-Qur'an. Dalam pembahasan apa itu nashrani, 

biasanya merujuk kepada 2 pendekatan: Pertama, melacak kata 

“n sh r ” dari sisi geografis, yakni dikaitkan dengan nama daerah di 

mana Isa dan Maryam tinggal, Nasirah (Nazareth). Dengan demikian, 

nashara yaitu  para pengikut seorang (Yesus) yang berasal dari 

Nasirah. Kedua, di kalangan para mufasir belakangan, kata “nashara” 

dilacak ke akar kata Arab n-sh-r yang berarti “menolong”. Pelakunya 

disebut “nasir” (bentuk jamaknya, “anshar”). Pelacakan etimologis 

seperti ini didasarkan pada ayat Al-Qur'an yang merekam pernyataan 

murid-murid Yesus (hawariyyun). saat  Isa bertanya, “man anshari ila 

allah?” (Siapa penolongku menuju Allah?). Mereka menjawab, “nahnu 

anshar allah” (Kami yaitu  para penolong Allah). Kata “n sr ni” 

hanya muncul sekali dalam Perjanjian Baru. Yakni, dalam Kisah Para 

Rasul (24:5). saat  Paulus menjadi tertuduh di hadapan Gubernur 

Romawi, Feliks, penasihat hukum orang-orang Yahudi, Tertulus, 

menyebut Paulus sebagai “seorang tokoh dari sekte Nasrani” 

37 

 

4. Kristen  

Dalam beberapa sumber berpendapat bahwa kata χριστιανος - 

"khristianos" (bentuk diminutive dari kata: Χριστός - KHRISTOS, itu 

sebuah julukan yang awalnya sifatnya 'ejekan' yang berarti harfiah 

"Kristus-kecil" (bentuk diminutive: χριστιανος - khristianos) yang 

dilontarkan orang-orang kepada pengikut Kristus mula-mula/ Jemaat 

mula-mula: ...tuh kristus kecil... hei kristus kecil! pergi kamu kristus 

kecil! Kemudian nama ini menjadi nama yang legitimate untuk 

menyebut kelompok orang yang percaya Kristus. Bagaimanapun juga 

sebutan "Kristen" atau χριστιανος - khristianos, telah baku pada tahun 

60-an Masehi. Dalam literatur Al-Qur'an dan hadits memang tak 

dikenal istilah kristen ini. Meski sebagian ada yang menyamakan antara 

nashrani dan kristen, ada pula yang membedakan. Tetapi dilihat dari 

sudut pandang yang lebih luas, mereka sama-sama menjadikan Yesus 

atau Isa itu tuhan yang disembah. 

Agama Kristen yaitu  sebuah kepercayaan yang berdasar pada 

ajaran, hidup, sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus atau Isa 

Almasih. Agama ini meyakini Yesus Kristus yaitu  Tuhan dan Mesias, 

juru selamat bagi seluruh umat manusia, yang menebus manusia dari 

dosa. Mereka beribadah di gereja dan Kitab Suci mereka yaitu  

Alkitab. Murid-murid Yesus Kristus pertama kali dipanggil Kristen di 

Antiokia (Kisah Para Rasul 11:26). Agama Kristen termasuk salah satu 

dari agama Abrahamik yang berdasarkan hidup, ajaran, kematian 

dengan penyaliban, kebangkitan, dan kenaikan Yesus dari Nazaret ke 

surga, sebagaimana dijelaskan dalam Perjanjian Baru, umat Kristen 

meyakini bahwa Yesus yaitu  Mesias yang dinubuatkan dalam dari 

Perjanjian Lama (atau Kitab suci Yahudi).  

Kekristenan yaitu  monoteisme, yang percaya akan tiga pribadi 

(secara teknis dalam bahasa Yunani hypostasis) Tuhan atau Tritunggal. 

Tritunggal dipertegas pertama kali pada Konsili Nicea Pertama yang 

dihimpun oleh Kaisar Romawi Konstantin I. Pemeluk agama Kristen 

mengimani bahwa Yesus Kristus atau Isa Almasih yaitu  Tuhan dan 

Juru Selamat, dan memegang ajaran yang disampaikan Yesus Kristus. 

Dalam kepercayaan Kristen, Yesus Kristus yaitu  pendiri jemaat 

(gereja) dan kepemimpinan gereja yang abadi (Injil Matius/18: 18-19). 

Umat Kristen juga percaya bahwa Yesus Kristus akan datang pada 

kedua kalinya sebagai Raja dan Hakim akan dunia ini. Sebagaimana 

agama Yahudi, mereka menjunjung ajaran moral yang tertulis dalam 

Sepuluh Perintah Tuhan. 

F. Hukum Berkaitan Ahl al-Kitâb 

1. Bayar Jizyah 

38 

 

Jizyah berasal dari bahasa arab ΉΰΟ yang berarti upeti, membalas 

jasa atau mengganti kerugian.30 Menurut Djazuli dalam buku Fiqih 

Siyasahnya, jizyah dikatakan sebagai iuran negara yang diwajibkan atas 

orang Ahl al-Kitâb setiap satu tahun sekali, sebagai imbangan membela 

dan melindungi mereka. Jizyah diistilahkan juga dengan pajak kepala 

bagi semua orang laki-laki non-muslim, merdeka, balig, berakal, sehat, 

dan kuat. 

 Sedangkan jizyah dalam ilmu fiqh berarti pajak kepala atau pajak 

perseorangan yang dikeluarkan terhadap orang-orang non-muslim (ahl 

alz|immah) tertentu yang telah mengikat perjanjian dengan pemerintah. 

Dengan kata lain, jizyah merupakan pajak per kepala yang dipungut 

oleh pemerintah islam dari orang laki-laki non-islam, merdeka, balig, 

berakal, sehat, dan kuat, sebagai imbangan bagi keamanan diri mereka. 

Sementara istilah pajak diartikan sebagai iuran yang diberikan kepada 

negara oleh orang/lembaga yang wajib membayarnya menurut 

peraturanperaturan yang dapat dipaksakan dan tidak mendapatkan 

timbal balik(kontraprestasi), yang dapat digunakan untuk membiayai 

pengeluaranpengeluaran umum yang berhubungan dengan tugas negara 

dalam menyelenggarakan pemerintahan.31 

Dalam Al-Qur'an, pungutan jizyah hanya dibebankan kepada Ahl 

al-Kitâb (at-Taubah/10: 29), namun Rasulullah  dalam pergaulan 

sosialnya dan dalam membuat perjanjian zimmah32 tidak terbatas pada 

golongan Ahl al-Kitâb saja. Sehingga ada juga perjanjian zimmah yang 

dibuat dengan golongan yang bukan Ahl al-Kitâb seperti perjanjian 

dengan orang-orang Majusi Bahrein. Sedangkan perjanjian zimmah 

dengan golongan Ahl al-Kitâb seperti yang dilakukan dengan golongan 

Yahudi di Jarba‟ dan Adrus, dua daerah di perbatasan Suriah, dan juga 

sebuah perjanjian dengan kaum Nasrani di Najran, sebuah kota di Utara 

Yaman. 

Jika mereka menolak untuk masuk Islam, maka diperbolehkan 

bagi mereka untuk tetap memeluk agamanya dan berada di bawah 

naungan sebuah pemerintahan Islam, dengan tetap memperhatikan 

aturan-aturan yang telah diberlakukan oleh pemerintah serta membayar 

jizyah dalam kadar dan ketentuan tertentu sebagai jaminan. Hal ini 

berlaku bagi mereka secara konsensus, adapun di luar mereka maka 

                                        

mayoritas ulama tidak menganggapnya berlaku, kecuali menyangkut 

kaum Majusi penyembah api. 

 ٌّوِخ َبَٰخِه

ْ

ىا ٔا ُحُْوا ََ ْحِ

َّ

لَّا ُماَػَؼَو ُٗۗجَِٰتّي َّؽىا ًُ َُسى َّوُِخا َْمَٔ

ْ

َلَّا

 ََ ٌِ  ُجََِٰطْد ٍُ

ْ

لاَو ِجٌَِِٰ ْؤ ٍُ

ْ

لا ََ ٌِ  ُجََِٰطْد ٍُ

ْ

لاَو ۖ ًْ ُٓ

َّ

ل ٌّوِخ ًْ ُس ٌُ اَػَؼَو ۖ ًْ ُسَّى

 ْٔ ُُجا ََّ ُْ ْٔ ٍُ ُْخَيح

َٰ

ا ٓ اَِذا ًْ ُِسْيتَر َْ ٌِ  َبَٰخِه

ْ

ىا أُحُْوا ََ ْحِ

َّ

لَّا َْيَْد َِْيِِْطُْمُ ََّ ُْ َر

 َِػتَخ ْدَلَذ ِنا ٍَ ِْح

ْ

لَِاة ْرُفْسَّي َْ ٌَ َو  ٍناَدَْخا ْٓيِذِخَّخ ٌُ  

َ

لََو َْيِْدِف َٰصُم

 ََ ْيِِسِ

َٰ ْلْا ََ ٌِ  ِةَرِخ

َٰ ْ

لَا ِفِ َٔ ُْ َو ُّۖي ٍَ َخ 

Pada hari ini dihalalkan bagimu segala (makanan) yang baik. 

Makanan (sembelihan) Ahl al-Kitâb itu halal bagimu dan makananmu 

halal (juga) bagi mereka. (Dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-

perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-

perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga 

kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum 

kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, 

tidak dengan maksud berzina, dan tidak untuk menjadikan (mereka) 

pasangan gelap (gundik). Siapa yang kufur setelah beriman, maka 

sungguh sia-sia amalnya dan di akhirat dia termasuk orang-orang 

yang rugi. 

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) menjelaskan: “Orang Arab 

yaitu  suatu umat yang pada asalnya tidak ada sebuah kitab di tengah 

mereka. Setiap kelompok dari mereka beragama dengan agama umat-

umat yang berdekatan dengan mereka… Maka Rasulullah 

memberlakukan hukum-hukum jizyah, dan beliau tidak 

mempertimbangkan nenek moyang mereka juga tidak 

mempertimbangkan orang-orang yang masuk ke dalam agama Ahl al-

Kitâb: apakah dulu masuknya mereka itu sebelum terjadinya 

penghapusan (nasakh) dengan turunnya Al Qur`an dan penggantian 

(tabdiil) tahrif terhadap Taurat dan Injil ataukah sesudahnya.” 33 

2. Menikahi Wanita Ahli Kitab 

Secara bahasa, nikah artinya al-j m‟u atau al-dhammu yang 

artinya kumpul. Jadi, istilah pernikahan dapat diartikan sebagai aqdu al-

tazwij yang berarti akad nikah. Juga dapat diartikan sebagai wath‟u al-

zaujah yang berarti menyetubuhi istrii. Hal ini  diungkapkan pula 

oleh Hakim, bahwa kata nikah berasal dari Bahasa Arab “nikahun” 

                                        

 

yang merupakan mashdar dari “nakaha”, yang bersinonim 

“tazawwaja”. Kata nikah merupakan kata serapan asli dari Al-Qur'an 

yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan sampai saat ini 

dipergunakan oleh umat Muslim.34 

Kata an-nikâh dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 23 

kali dalam Al-Qur'an,35 yang secara umum, kandungan maknanya dapat 

dikembalikan kepada pengertian bahasa sedangkan kata al-Jauz dalam 

berbagai bentuk kata jadiannya ditemukan sebanyak 81 kali dalam Al-

Qur'an,36 pengertian secara umum menunjuk kepada pasangan, 

termasuk di dalamnya pasangan suami-istri. Allah telah menerangkan 

di dalam beberapa ayat Al-Qur'an terkait dengan hubungan pernikahan 

antara laki-laki dan perempuan. Maka dalam hal ini, ada  dua term 

ayat yang mengandung unsur pernikahan ini  yaitu term al-nikah 

dan al-jauz. Term an-nikâh mengandung arti akad atau perjanjian, dan 

dapat diqiyaskan sebagai hubungan seksual,37 sedangkan al-jauz 

mengandung arti segala sesuatu yang mempunyai pasangan, seperti 

laki-laki dengan perempuan bahkan dikatakan juga seperti sandal yang 

berpasangan, dan setiap hal yang mempunyai hubungan yang dekat 

dengan hal lain bahkan memiliki kesamaan. sebagaimana yang 

terkandung di dalam Surat al-Qiyamah/75: 39: 

  َْٰثُ

ُ ْلَاَو َرَن َّلَّا ِْيَْْجو َّزلا ُّ ٌِِْ  َوَػَج

َف 

 Lalu, Dia menjadikan darinya sepasang laki-laki dan perempuan.  

Dalam hubungan pernikahan antara laki-laki dan perempuan di 

dalam Islam, memiliki perhatian yang sangat besar bahkan dikatakan 

juga sebagai sesuatu yang sakral. Sebab pernikahan merupakan salah 

satu bentuk ibadah kepada Allah dengan mengikuti sunnah Rasulullah. 

dan juga dikatakan sebagai pelengkap bagi iman seseorang, sebab 

dilakukan atas dasar keikhlasan serta mengharap ridha Allah. 

Pernikahan yang terjadi antara seorang muslim dan muslimah, tidaklah 

menjadi suatu permasalahan yang dapat menimbulkan perdebatan dan 

perselisihan diantara para ulama‟ maupun cendekiawan muslim. 

Namun, hal yang menjadi topik permasalahannya yaitu  saat  seorang 

                                        

 

muslim atau muslimah menikah dengan Ahl al-Kitâb seperti Yahudi 

dan Nasrani. 

Pernikahan merupakan pondasi utama untuk membina rumah 

tangga, oleh sebab  itu Islam mensyariatkan pernikahan untuk 

melanjutkan keturunan secara sah serta mencegah perzinaan. Menikah 

dalam Islam sangat dianjurkan, sebab  sudah menjadi kodrat manusia 

mempunyai perasaan saling membutuhkan. Oleh sebab  itu manusia 

dikenal dengan mahluk sosial. Secara naluriah, seorang pria 

membutuhkan wanita, dan begitu juga sebaliknya wanita membutuhkan 

pria. Namun demikian agar perasaan saling membutuhkan ini tidak 

berubah menjadi bumerang maka Islam jauh-jauh sebelumnya telah 

mengatur cara melakukan hubungan pernikahan. 

Dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, yakni 

masyarakat yang penduduknya terdiri dari berbagai golongan, suku, 

adat istiadat dan agama, maka besar kemungkinan terjadinya 

perkawinan beda agama. Dalam praktiknya banyak masyarakat 

Indonesia yang melakukan praktik perkawinan ini (perkawinan beda 

agama), baik laki-lakinya yang muslim wanitanya non muslim atau 

sebaliknya, sebab  beragamnya agama dan aliran kepercayaan di 

Indonesia tidak menutup kemungkinan perkawinan beda agama dan 

aliran kepercayaan akan terjadi. Perkawinan beda agama yaitu  sebuah 

ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita, yang karna 

perbedaan agama, menyebabkan tersangkutnya dua aturan yang 

berlainan mengenai syarat-syarat dan tatacara pelaksanaan perkawinan 

sesuai dengan hukum agamanya masing-masing dengan tujuan 

membentuk keluarga bahagia, kekal berdasarkan ketuhanan Yang 

Maha Esa.38 

Jika seorang laki-laki Ahl al-Kitâb menikahi wanita muslimah, 

maka sudah tak diragukan lagi keharamannya. Permasalahannya yaitu  

jika seorang laki-laki muslim menikahi wanita Ahl al-Kitâb ab, 

bagaimana  hukumnya? Para fuqaha dari berbagai mazhab di antaranya 

dalah mazhab yang empat, yaitu mazhab Imam Abu Hanifah, Malik, 

Syafi‟i, dan Ahmad telah sepakat mengenai bolehnya seorang laki-laki 

muslim menikahi perempuan Ahl al-Kitâb (kitabiyyah), yaitu 

perempuan beragama Yahudi dan Nashrani, sesuai firman Allah: 

 َّوُِخا َْمَٔ

ْ

َلَّا  َِٰتّي َّؽىا ًُ َُسى ٌّوِخ َبَٰخِه

ْ

ىا ٔا ُحُْوا ََ ْحِ

َّ

لَّا ُماَػَؼَو ُٗۗج 

 ََ ٌِ  ُجََِٰطْد ٍُ

ْ

لاَو ِجٌَِِٰ ْؤ ٍُ

ْ

لا ََ ٌِ  ُجََِٰطْد ٍُ

ْ

لاَو ۖ ًْ ُٓ

َّ

ل ٌّوِخ ًْ ُس ٌُ اَػَؼَو ۖ ًْ ُسَّى

                                        

 

 َْيَْد َِْيِِْطُْمُ ََّ ُْ َر ْٔ ُُجا ََّ ُْ ْٔ ٍُ ُْخَيح

َٰ

ا ٓ اَِذا ًْ ُِسْيتَر َْ ٌِ  َبَٰخِه

ْ

ىا أُحُْوا ََ ْحِ

َّ

لَّا

 ِدِف َٰصُم َِػتَخ ْدَلَذ ِنا ٍَ ِْح

ْ

لَِاة ْرُفْسَّي َْ ٌَ َو  ٍناَدَْخا ْٓيِذِخَّخ ٌُ  

َ

لََو َْيْ

 ََ ْيِِسِ

َٰ ْلْا ََ ٌِ  ِةَرِخ

َٰ ْ

لَا ِفِ َٔ ُْ َو ۖ  ّ ُي ٍَ َخ 

Pada hari ini dihalalkan bagimu segala (makanan) yang baik. 

Makanan (sembelihan) Ahl al-Kitâb itu halal bagimu dan makananmu 

halal (juga) bagi mereka. (Dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-

perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-

perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga 

kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum 

kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, 

tidak dengan maksud berzina, dan tidak untuk menjadikan (mereka) 

pasangan gelap (gundik). Siapa yang kufur setelah beriman, maka 

sungguh sia-sia amalnya dan di akhirat dia termasuk orang-orang 

yang rugi. (al-Mâ`idah/5 : 5). 

Imam Syafi‟i rahimahullah termasuk yang membolehkan seorang 

laki-laki muslim menikahi perempuan Ahl al-Kitâb, beliau membuat 

syarat (taqyiid), yaitu perempuan Ahl al-Kitâb ini  haruslah 

perempuan Bani Israil. Jika dia bukan perempuan Bani Israil, misalnya 

perempuan Arab tapi menganut Yahudi atau Nashrani, maka dia tidak 

termasuk Ahl al-Kitâb sehingga haram hukumnya bagi laki-laki 

muslim. untuk menikahinya. Imam Syafii (w. 204 H) sendiri 

menyebutkan: 

 َْيَْد ًِ َجَػ

ْ

ىاَو  َِرَػ

ْ

ىا َْ ٌِ  ٍدَخ

َ

أ َءاَِصن َحِْهَِح ْن

َ

أ ًُ َيْغ

َ

أ 

َ

لَاَػَت ُ ََّللَّاَو ْزَُيَ ًْ ََيف

 ٍلاَِبّ ىَراَطَّلناَو ِدٔ ُٓ َ

ْ

لَّا ََ ِيد َناَد َوِينا َْسْإ َِنة...  َوِينا َْسْإ َِنة َْ ٌِ  َنَكَ َْ ٍَ َذ

 ِ ن َحُِسُ ىَراَطَّلناَو ِدٔ ُٓ َ

ْ

لَّا ََ ِيد َُ يَِدي ُّ ُخَدِيبَذ َْجيِز

ُ

أَو ُهُؤاَص 

Allah tidak memperbolehkan (Allah yang Maha Tahu) seseorang 

muslim menikahi wanita Ahl al-Kitâb dari Arab maupun Ajam kecuali 

dari Bani Israil yang beragama yahudi dan nashrani... Siapa yang 

berasal dari Bani Israil dan beragama yahudi maupun nashrani, maka 

perempuannya boleh dinikahi dan sembelihannya halal dimakan.39 

Pendapat Imam Syafi‟i ini  kemudian dijelaskan lebih lanjut 

oleh para ulama madzhab Syafi‟i seperti Imam Al-Khathib Asy-

                                        

 

Syirbini dalam kitabnya Mughni Al-Muhtaj (3/187) dan Imam Nawawi 

dalam kitab Al-Majmu‟ (2/44). Dikatakan, bahwa menikahi perempuan 

Ahl al-Kitâb dari kalangan Bani Israil dihalalkan, sebab  berarti 

perempuan itu yaitu  keturunan orang Yahudi atau Nashrani yang 

saat  pertama kali masuk agama Yahudi atau Nashrani, kitabnya 

masih asli dan belum mengalami perubahan (tahrif). 

Sedang perempuan Ahl al-Kitâb yang bukan keturunan Bani 

Israil, haram dinikahi sebab  mereka yaitu  keturunan orang Yahudi 

atau Nashrani yang saat  pertama kali masuk agama Yahudi atau 

Nashrani, kitabnya sudah tidak asli lagi atau sudah mengalami 

perubahan (tahrif), kecuali jika mereka menjauhi apa-apa yang sudah 

diubah dari kitab mereka . Meski para ulama lain selain Syafiiyyah me-

rajihkan kemuthlakan Ahl al-Kitâb, baik dari Bani Israil maupun 

selainnya. Alasannya: Pertama, sebab  dalil-dalil yang ada dalam 

masalah ini yaitu  dalil yang mutlak, tanpa ada taqyiid 

(pembatasan/pensyaratan) dengan suatu syarat tertentu. Perhatikan dalil 

yang membolehkan laki-laki menikahi Kitabiyyah (perempuan Ahl al-

Kitâb), yang tidak menyebutkan bahw a mereka harus dari kalangan 

Bani Israil. Firman Allah: 

 َْ ٌِ   َاَخِه

ْ

ىا ٔا ُحو

ُ

أ ََ يِ

َّ

لَّا َْ ٌِ  ُتاَِ َطْد ٍُ

ْ

لاَو ِتاَِ ٌِ ْؤ ٍُ

ْ

لا َْ ٌِ  ُتاَِ َطْد ٍُ

ْ

لاَو

 ًْ ُِسْيتَر 

 (Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita merdeka [al muhshanat] di 

antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita merdeka [al 

muhshanat] di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu. 

(al-Mâ`idah/5: 5). 

Membolehkan menikahi perempuan muhshanat yang diberi Al 

Kitab sebelum umat Islam, tanpa menyinggung sama sekali bahwa 

mereka itu harus dari keturunan Bani Israil.  

Dalam hal ini berlakulah kaidah ushuliyah yang menyebutkan: 

  ٍُ لا ْؽ َي ُق  َْيَ ِر 

َ

َعَ ي ِإ  ْؼ َلَ ِك ِّ  ٌَ 

َ ل ا ًْ  ُي َر ُّد  َد ِْلَّ ُو  َي ُد 

ُّ

ل  

َ

َعَ َّلَا  ْل ِي ْيد 

 Dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak 

ada  dalil yang menunjukkan adanya pembatasan). Kemutlakan 

dalil inilah yang menjadikan Syaikh Wahbah Zuhaili40 menguatkan 

pendapat jumhur ulama atas pendapat Imam Syafi‟i. Syaikh Wahbah 

Zuhaili berkata: 

                                        

 

 

ىاو َس ِسا ُح  َ

َ

لد  ي  ُْ َٔ  َك ْٔ ُل  ُ

ْ

لا ٍْ ُٓ ْٔ ِِلإ ،ر ْق َلا 

َ ْ

لأا ق ِد 

 

ى ُث  

ْ

ىا َل ِؿا َي َِب ث َٔ ِزا  َشلا َو جا

 ِة 

ْ

ىا ِه َخ ِبا 

َي ِتا ُد ، ْو َن  َت ْل ِي ْي ُر  ِ ب َْش ِء  

 “Pendapat yang rajih bagi saya yaitu  pendapat jumhur, 

berdasarkan kemutlakan dalil-dalil yang memutuskan bolehnya wanita-

wanita Ahl al-Kitâb, tanpa ada taqyiid (pembatasan) dengan sesuatu 

(syarat).” Kedua, sebab  tindakan Rasulullah shallaallahu alalihi wa 

sallam dalam memperlakukan Ahl al-Kitâb seperti menerapkan 

kewajiban membayar jizyah atas mereka, menunjukkan bahwa yang 

menjadi kriteria seseorang digolongkan Ahl al-Kitâb yaitu  agamanya, 

bukan nenek moyangnya, yaitu apakah nenek moyang mereka itu 

saat  pertama kali masuk Yahudi/ Nashrani kitabnya masih asli 

ataukah sudah mengalami perubahan (tahrif) dan pergantian (tabdiil). 

Ketiga, ayat-ayat Al-Qur`an yang turun untuk pertama kalinya dan 

berbicara kepada orang Yahudi dan Nashrani pada zaman Nabi , sudah 

menggunakan panggilan atau sebutan “Ahl al-Kitâb” untuk mereka. 

Padahal mereka pada saat itu sudah menyimpang dari agama asli 

mereka, bukan orang-orang yang masih menjalankan kitabnya yang 

murni/asli. Misalnya firman Allah: 

 َِلزُ

ُ

أ ا ٌَ َو َويِنِْلإاَو َةاَر ْٔ َّلَا ٔا ٍُ يُِلح َّتَّٰخ ٍء ْ

ََ  

َ

َعَ ًْ ُخَْصل  ِاَخِه

ْ

ىا َو ْْ

َ

أ َاي ُْوك

 ًْ ُِسّبَر َْ ٌِ  ًْ ُْس

َ

ِلَّإ  

Katakanlah Muhammad,‟W h i Ahl al-Kitâb, kamu tidak dipandang 

beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, 

Injil, dan Al Qur`an yang diturunkan kepadamu Muhammad dari 

Tuh nmu.” (al-Mâ`idah/5: 68).  

Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa orang Yahudi dan 

Nashrani pada zaman Nabi tidaklah menjalankan ajaran-ajaran Taurat 

dan Injil yang diturunkan Allah kepada mereka. Meski demikian, 

mereka tetap disebut “Ahl al-Kitâb” di dalam Al-Qur`an. Dan ayat-ayat 

semacam ini dalam Al-Qur`an banyak.  

Meski di Indonesia, MUI mengeluarkan fatwa Majelis Ulama 

Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional VII MUI, pada 19-22 

Jumadil Akhir 1426H./26-29 Juli 2005 M, yang isinya: 

a. Perkawinan beda agama yaitu  haram dan tidak sah. 

b. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahl al-Kitâb, 

menurut q ul mu‟t m d, yaitu  haram dan tidak sah. 

45 

 

Dalam Undang-undang yang berlaku di Indonesia, berdasarkan 

Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU 

1/1974”) menyatakan  bahwa perkawinan yaitu  sah, apabila dilakukan 

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. 

Pada Pasal 10 PP No. 9 Tahun 1975 dinyatakan bahwa 

perkawinan baru sah jika dilakukan di hadapan pegawai pencatat dan 

dihadiri dua orang saksi dan tata cara perkawinan dilakukan menurut 

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Jadi, UU 

1/1974 tidak mengenal perkawinan beda agama, sehingga perkawinan 

antar agama tidak dapat dilakukan. 

Adapun Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya tanggal 20 

Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986, memberikan solusi hukum bagi 

perkawinan antar-agama yaitu  bahwa perkawinan antar-agama dapat 

diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya 

instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan 

perkawinan beda agama.41 

3. Sembelihan Ahli Kitab  

Allah menghalalkan sembelihan Ahl al-Kitâb melalui firmannya 

Surat al-Mâ`idah/5: 7: 

 َؼَو ُٗۗجَِٰتّي َّؽىا ًُ َُسى َّوُِخا َْمَٔ

ْ

َلَّا ٌّوِخ َبَٰخِه

ْ

ىا ٔا ُحُْوا ََ ْحِ

َّ

لَّا ُماَػ

 ََ ٌِ  ُجََِٰطْد ٍُ

ْ

لاَو ِجٌَِِٰ ْؤ ٍُ

ْ

لا ََ ٌِ  ُجََِٰطْد ٍُ

ْ

لاَو ۖ ًْ ُٓ

َّ

ل ٌّوِخ ًْ ُس ٌُ اَػَؼَو ۖ ًْ ُسَّى

 َْيَْد َِْيِِْطُْمُ ََّ ُْ َر ْٔ ُُجا ََّ ُْ ْٔ ٍُ ُْخَيح

َٰ

ا ٓ اَِذا ًْ ُِسْيتَر َْ ٌِ  َبَٰخِه

ْ

ىا أُحُْوا ََ ْحِ

َّ

لَّا

 َو َْيِْدِف َٰصُم ّ

ُي ٍَ َخ َِػتَخ ْدَلَذ ِنا ٍَ ِْح

ْ

لَِاة ْرُفْسَّي َْ ٌَ َو  ٍناَدَْخا ْٓيِذِخَّخ ٌُ  

َ

لَ

 ََ ْيِِسِ

َٰ ْلْا ََ ٌِ  ِةَرِخ

َٰ ْ

لَا ِفِ َٔ ُْ َو 

Pada hari ini dihalalkan bagimu segala (makanan) yang baik. 

Makanan (sembelihan) Ahlulkitab itu halal bagimu dan makananmu 

halal (juga) bagi mereka. (Dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-

perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-

perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga 

kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum 

kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, 

tidak dengan maksud berzina, dan tidak untuk menjadikan (mereka) 

pasangan gelap (gundik). Siapa yang kufur setelah beriman, maka 

                                        

 

sungguh sia-sia amalnya dan di akhirat dia termasuk orang-orang 

yang rugi.  

Lafaz al-Tha‟am yang ada  di dalam ayat ini diartikan sebagai 

sesembelihan, berdasarkan pendapat sebagian jumhur ulama‟ dan 

mufassir. Adapun al-Razi saat  menafsirkan lafaz ini, dia 

mengartikannya kedalam tiga arti yakni;  

a. sesembelihan Ahl al-Kitâb yang dihalalkan bagi kita umat muslim 

untuk dimakan, dan adapun sembelihan dari kaum Majusi tidak 

termasuk yang dihalalkan.  

b. Roti, buah-buahan dan sesuatu yang tidak dberfungsi untuk 

mencerdaskan otak, hal ini dikutip dari sebagian imam dari kalangan 

Zaidiyah  

c. Seluruh jenis makanan. Kendati demikian, pendapat al-Razi yang 

paling rajih yaitu  sesembelihan.42 Sedangkan Rasyid Ridha, 

menjelaskan bahwa arti dari lafaz ini yaitu  sesembelihan, sebab 

selain daripada makanan atau hidangan sembelihan itu yaitu  halal 

berdasarkan kaidah asal makanan.43 

Adapun permasalah yang paling banyak diperselisihkan oleh para 

ulama‟ yaitu terkait hidangan atau makanan Ahl al-Kitâb, meskipun Al-

Qur'an telah jelas menyatakan akan kehalalan hidangan dari mereka, 

namun pemahaman para ulama‟ terkait hal ini berbeda-beda. Menurut 

Rasyid Ridha, pokok permasalahan yang timbul diantara para ulama‟ 

terkait hal ini disebab kan mereka berselisih tentang status 

kemusyrikan Ahl al-Kitâb. Sebab Rasyid Ridha, menyatakan bahwa 

agama-agama lain yang tidak disebutkan oleh Al-Qur'an seperti Hindu, 

Budha dan Kong FuTse bukanlah termasuk musyrik disebabkan 

mereka dianggap mempunyai kitab sebagaimana kaum Yahudi dan 

Nasrani. Oleh sebab itu, dalam hal berinteraksi sosial kepada mereka 

terutama dalam hidangan sembelihan, menjadi suatu hal yang sangat 

sensitif dikalangan ulama. 

Ibnu Katsir menyebutkan keterangan dari Ibnu Abbas, Mujahid, 

Said bin Jubair, Atha‟, dan yang lainnya, bahwa makna makanan Ahl 

al-Kitâb yaitu  sembelihan Ahl al-Kitâb. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/40). 

Diantara bentuk penerapannya, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam 

pernah mendatangi undangan makan kambing yang disediakan oleh 

wanita pada saat peristiwa Khaibar. 

Abu Hurairah r dhiy ll hu „ nhu menceritakan, 

                                        

 ،ََثكَر  ؽلا ُوُك

ْ

َأي لاَو ،َث يِر َٓ

ْ

لا َُوتْلَي ًَ

 

يََضو ِّ َْييَغ ُ  للَّا 

 لََّؼ ِ  للَّا ُلَُٔضر َنَكا

 ُ  للَّا  لََّؼ ِ  للَّا ُلَُٔضر َوَك

َ

َأف ،ا َٓ ْخ  ٍ َض ًث يِيْؽَم ًةاَع ََْبَيَِبِ ٌث ئِد ُٓ َي ُ

َ

ه  ْتَر ْْ

َ

َأف

ا َٓ ِْ ٌِ  ًَ

 

يََضو ِّ َْييَغ 

Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam menerima hadiah dan tidak 

memakan sedekah. Suatu saat  ada wanita Yahudi di Khaibar yang 

menghadiahkan kepada beliau kambing panggang yang telah diberi 

racun. Dan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam makan dagingnya. 

(HR. Abu Dawud 4514 dan dishahihkan al-Albani). 

Nabi shallallahu „alaihi wa sallam memakan daging itu, sebab  

beliau Shallallahu „alaihi wa sallam tidak tahu ada racunnya. 

Kesimpulan yang menjadi kepentingan kita yaitu  kesediaan beliau 

makan daging kambing itu, padahal dia disembelih oleh orang yahudi. 

Artinya, beliau menilai halal daging itu.  

Para ulama semua sepakat sembelihan Ahl al-Kitâb ini halal 

dimakan jika memenuhi poin-poin berikut ini:  

a. Semua Ahl al-Kitâb, kecuali nasrani arab dari Bani Bahra, Tanukh, 

dan Taghlib. Mereka ini dianggap bukan Ahl al-Kitâb sebab  

mengingkari kitab-kitab samawi yang diturunkan.  

b. Mereka menyembelih untuk diri mereka sendiri, bukan untuk orang 

lain atau hal lain.  

c. Jelas diketahui bahwa mereka menyebut Allah  saat  menyembelih.  

d. Yang disembelih yaitu  hewan yang memang halal dalam syariat 

mereka (taurat dan injil) 

saat  semua poin di atas terpenuhi, maka tidak ada perbedaan 

pendapat di kalangan ulama terkait kehalalan sembelihan Ahl al-

Kitâb.44 

a. Kriteria Ahl al-Kitâb yang Halal Sembelihannya 

Para ulama menegaskan, bahwa semua yang beragama yahudi 

dan nasrani, maka mereka Ahl al-Kitâb. Terlepas dari semua 

penyimpangan yang mereka lakukan. 

Syaikhul Islam menjelaskan firman Allah yang menyatakan, 

 ٗۗ ًْ ُخ ٍْ َيَْشاَء َّيِْ ٌّ ُ

ْ

لَاَو َبَٰخِه

ْ

ىا ٔا ُحُْوا ََ ْح ِ

َّ

ِلَّّى ُْوكَو 

Sampaikanlah kepada orang-orangn yang diberi al-Kitab. (ali-

Imran/3: 20) 

                                        

 

Selanjutnya beliau mengatakan, 

 َو ُْ ِإ ٔ 

 ن ٍَ َُيخ ا ِقا ْلما ب ْٔ ِٔد س ُي ِفي َ َز  ٌَ ُِا ِّ  َب ْػ َنىا ر ْط ِخ  َو َ

ّ

لتا ْت ِر ْي َي و ُر 

ّ

ل  ََعلى 

َ

أ  ن

 ٌَ َد َ ِة نا َر 

ْي َِ  

ْ

ا َلي ُٓ ِٔد  َو َّلنا َؽ َرا َػ ،ى ُٓ َٔ  ٌِ ََ  ِ

 

لذا ْي ََ  

ُ

أ ْو ُح 

ْ

ا أ ِهل َخ ِبا 

َ

لا ، 

 َْيخ َخ ّػ  َْ ِز 

ّ

لا ا َفي ِة ل ٍَ َكا َ 

ُُ ٌُ  أ َخ ٍَ ِط ِه َْين  ِة ِّ  َؼ 

ْت َو   نىا ْط ِخ  َو  لتا ْت ِر ْي ِو َو ، 

َ

لا 

 َف ْس ُق  َب َْين  

َ

أ ْو 

َ

لا ُد ُْ ًْ  َو 

َ

أ ْو 

َ

لا ُد  َغ َْير ُْ ًْ 

Sasaran ayat ini yaitu  Ahl al-Kitâb yang ada di zaman Nabi 

shallallahu „alaihi wa sallam, yang mereka mengikuti agama setelah 

terjadi pengubahan dan penyelewengan isi taurat dan injil (nasakh 

wa tabdil). Ini menunjukkan bahwa semua yang beragama yahudi 

atau asrani maka dia orang yang diberi kitab (Ahl al-Kitâb). Istilah 

„Ahl al-Kitâb‟ ini tidak hanya khusus untuk generasi yang komitmen 

dengan isi taurat dan injil sebelum mengalami perubahan. Dan tidak 

ada perbedaan antara keturunan mereka dan keturunan selain 

mereka. (Kitab al-Iman, hlm. 49). 

Keterangan lain disampaikan Ibnu Asyura dalam tafsirnya. 

Beliau menuliskan, 

 ِا ْض ًُ  

َ

أ( ْْ ُو  

ْ

ىا ِه َخ ِبا 

َ

ى ) َل ُب  ِفي 

ْ

ىا  ُل ْس َ آ ِن  ِ ل 

ْ

ي َي ُٓ ِٔد  َو  لنا َؽ َرا ِ

 

لذا ى ْي ََ  َ ل ًْ  َي َخ َر  ي ُِ أ

 ِة ِ

ْ

لإا ْض َلا ِم 

َ

ِلأ ؛ ّن  

ْ

لا ٍُ َس 

ُ

ا ِة د 

ْ

ىا ِه َخ ِبا  لتا : َرٔ َو ةا ِ

ْ

لإا ِ

ْ

ن ْي ِإ و َذ 

ُ

أ ا ِؿ ْي َف  ِإ ْلي ِّ )وْأ( 

“Istilah Ahl al-Kitâb yaitu  istilah dalam Al-Qur'an untuk menyebut 

orang yahudi dan nasrani yang tidak masuk islam. sebab  yang 

dimaksud dengan al-Kitab di sini yaitu  Taurat dan Injil, apabila di 

dep nny  di t m  hk n k t  ‟ hlu‟.” (Tafsir Ibnu Asyura – at-

Tahrîr wa at-Tanwîr, 27/249) 

4. Menghadiri Undangan Makan Mereka dan Menerima Makanan 

Mereka 

 َْ ِ ٌّ  ًْ ُْزُِٔجْرُيَّ ًْ َ لَو َِ

ْ يِّلدا ِفِ ًْ ُْزُِٔيحاَلُح ًْ

َ ل ََ ْحِ

َّ

لَّا َِ َغ 

ُ ِّللَّا ًُ ُسى َٰٓ َِْح 

َ

لَ

 َْيِْؽِصْل ٍُ

ْ

لا ُِّبُي َ ِّللَّا َِّنا ٗۗ ًْ ِٓ ْ

َ

ِلَّا آْٔ ُؽِصْلُتَو ًْ ُْ ْو َُّبَِت َْنا ًْ ُِكرَاِيد 

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil 

terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama 

dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya 

Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (al-Mumtahana/29: 8) 

 

49 

 

Dalam kitab shahihnya, Imam Bukhari membuat judul Bab: 

Bolehnya menerima hadiah dari orang musyrik (Al-Jami‟ As-Shahih, 

3/163). Selanjutnya, Imam Bukhari menyebutkan beberapa riwayat 

tentang menerima hadiah dari orang kafir. Riwayat dari Anas bin Malik 

radhiyallahu „anhu, beliau mengatakan, 

 َث ٌَ وُد َرِْديَز

ُ

أ َِّنإىَرْْ

َ

أ ًَّيََشو ِّْيَيَغ ُللَّا َّلَٰض ِِّب

َّلنا 

َ

ِلَإ 

Bahwa Ukaidir Dumah (raja di daerah dekat tabuk) memberi 

hadiah kepada Nabi shallallahu „alaihi wa sallam. 

a. Keterangan dari Anas bin Malik, 

  ِبِ لنا َِجح

َ

أ ًث ئِد ُٓ َي  ن

َ

أ ا َٓ ِْ ٌِ  َوَك

َ

َأف ،ٍث ٌَ ٔ ٍُ ْطَم ٍةاَِغب ًَ

 

يََضو ِّ َْييَغ ُللها 

 لََّؼ 

Bahwa ada seorang perempuan yahudi yang datang kepada Nabi 

shallallahu „alaihi wa sallam dengan membawa daging kambing 

yang diberi racun. Kemudian Nabi shallallahu „alaihi wa sallam 

memakannya. 

Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) menceritakan: “Menerima hadiah 

orang kafir pada hari raya mereka, telah ada dalilnya dari Ali bin Abi 

Thalib radhiallahu‟anhu bahwa beliau mendapatkan hadiah pada hari 

raya Nairuz (perayaan tahun baru orang majusi), dan beliau 

menerimanya.”45  

 آٍهح وة ، ًٓخيرْ لٔتك ٌَ عِلما في ريػيل يرذأح لا ُّأ على لري ّكل ازٓف

ًْسفؽ سئاػع على ًله ثُعاإ ملذ في صيى ُّلأ ؛ ءأض هيرغو ريػىا في 

… “. 

Semua riwayat ini menunjukkan bahwa saat  hari raya orang kafir, 

tidak ada larangan untuk menerima hadiah dari mereka. Hukum 

menerima saat  hari raya mereka dan di luar hari raya mereka, sama 

saja. sebab  menerima hadiah tidak ada unsur membantu mereka 

dalam menyebar syiar agama mereka. (Iqtidha ‟ Shirat al-Mustaqim, 

25) 

Kemudian Syaikhul Islam menegaskan bahwa sembelihan Ahl al-

Kitâb, meskipun pada asalnya hukumnya halal, namun jika disembelih 

sebab  hari raya mereka maka statusnya tidak boleh dimakan. Beliau 

menyatakan, 

                                        

 يرظُ للها يرغ لَإ ّبحزة نٔبسلخي اٌو ًْدايغلأ باخهلا وْأ ّبحذ اٌ اٌأو

 ملذو ، لَاػح للها لَإ آة ينبسلخٌ ًْاياحؿو ًْايارْ نٍٔيطلما حةزي اٌ

 في اٍْسٓعأ ناخياور آيف رحمأ َػف ، ةس ْشلاو حيطٍيل نٔبحزي اٌ ورٌ

، لَاػح للها يرغ ّييغ ًطي ًل نإو ّيكأ حاتي لا ُّأ ّؼٔؽُ  هيلنا ولُو

سٍغ َة للها رتغو ثغئعا َغ ملذ َغ. 

Sembelihan Ahl al-Kitâb untuk hari raya mereka dan sembelihan 

yang mereka jadikan untuk mendekatkan diri kepada selain Allah, 

statusnya sembelihan ibadah sebagaimana layaknya yang dilakukan 

kaum muslimin saat  berqurban atau menyembelih hewan hadyu, 

sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sembelihan 

dalam rangka hari raya Ahl al-Kitâb seperti mennyembelih untuk Al-

Masih atau Az-Zahrah. Ada dua riwayat dari Imam Ahmad. Riwayat 

yang lebih banyak dari beliau yaitu  tidak boleh dimakan. Meskipun 

saat  menyembelih tidak menyebut nama selain Allah. Dan ada  

riwayat yang melarang memakan sembelihan ini dari A‟isyah dan 

Abdullah bin Umar radhiyallahu „anhum. (Iqtidha ‟ Shirat al-Mustaqim, 

26). 

Hukum menerima hadiah saat  hari raya mereka dan di luar hari 

raya mereka, sama saja. sebab  menerima hadiah tidak ada unsur 

membantu mereka dalam menyebar syiar agama mereka. Tentunya jika 

hadiah itu berupa barang yang memang halal secara dzatnya untuk 

orang Islam. 

 

 

 

 

 

 53 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III 

BIOGRAFI M.RASYID RIDHA DAN M. QURAISH SHIHAB 

 

A. M.Rasyid Ridha 

1. Biografi Rasyid Ridha 

Muhammad Rasyid Ridha lahir di Qalamun tanggal 23 

September 1865 M atau 27 Jumadil Awal 1282 H. nama lengkapnya 

yaitu  Muhammad Rasyid bin „Ali Rida bin Muhammad Shams alDin 

bin Baha al-Dîn bin Munla „Alî Khalifa al-Qalamun al-Baghdadi al-

Husayni. Muhammad Rasyid Ridha berasal dari masyarakat menengah 

ke atas dan merupakan keturunan bangan, yaitu Ridhaina Husain dari 

Ali bin Abi Thalib dan Fatima putri Nabi Muhammad. Muhammad 

Rasyid Ridha dikenal sangat rajin beribadah, ia memiliki kepribadian 

yang taat. Meninggal pada tanggal 22 Agustus Tahun 1935 M dalam 

sebuah insiden kecelakaan saat mengantar pangeran Sa‟ud al-Faisal. 

Muhammad Rasyid Ridha bermadzhab sunni Syafi‟I dan aktif tarekat 

sufi yang menguatkan karakternya sebagai pendakwah. Sejak kecil 

Muhammad Rasyid Ridha tidak gemar bermain dengan teman 

sebayanya, ia lebih memilih menelaah pelajaran dibandingkan dengan 

bermain. Ini yaitu  sebuah tanda-tanda Ridha akan menjadi orang 

penting di kemudian hari.1  

                                        

 

Muhammad Rasyid Ridha memiliki banyak guru, baik secara 

langsung maupun melalui buku-buku yang ia baca. Tokoh-tokoh yang 

berpengaruh terhadap pemikiran Muhammad Rasyid Ridha seperti Ibnu 

Taimiyah, Imam Ghazali, Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad 

Abduh, Jamaluddin al-Afgani, dan Ibnu Khaldun. Menurut Assad 

nimer Busool, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang memiliki 

pengaruh yang sangat besar terhadap pemikiran Muhammad Ridha, 

apalagi ia sempat berguru secara langsung kepada Muhammad Abduh. 

Selain itu, majalah yang Ridha baca turut memberikan pengaruh yang 

sangat besar terhadap arah pemikiran Muhammad Rasyid Ridha. Saat 

melihat majalah itu Ridha sangat tertarik sebab  membahas tentang hal-

hal baru dalam Islam dan gaya berpikir yang dipaparkan dalam majalah 

ini  sangat dinamis. 

Selain belajar dari kedua orang tuanya sendiri, Rasyid Ridha juga 

belajar kepada sekian banyak guru. Semasa kecilnya Rasyid Ridha di 

masukkan oleh orang tuanya di madrasah tradisional di kampungnya 

Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan belajar mengenal huruf 

serta membaca Al-Qur'an. Setelah tamat sekolah di madrasah 

tradisional, pada tahun 1882 M Rasyid Ridha dikirim oleh orang tuanya 

untuk meneruskan pelajaran ke Al-Madrasah Al-Wataniah Al-Islamiah 

(Sekolah Nasional Islam) di Tripoli, Libanon. saat  belajar di sana, 

Rasyid Ridha diajarkan pelajaran nahwu, sharaf, aqidah, fiqh, ilmu 

hitung dan ilmu bumi. Selain itu di madrasah ini  juga diajarkan 

mata pelajaran bahasa Arab, bahasa Turki dan bahasa Perancis, serta 

termasuk pengetahuan agama dan pengetahuan modern. Mereka yang 

belajar disana dididik dan dipersiapkan untuk menjadi pegawai-

pegawai pemerintah. Lewat hubungan baik itulah, Rasyid Ridha lebih 

jauh berkelana dengan ide-ide pembaharuan disebab kan Al-Syaikh 

Husain Al-Jisr amat berhasrat memompa semangat muda Rasyid Ridha 

yang memang meminati berat alur pemikiran baru. Selain mendapat 

bimbingan dari gurunya Al-Syaikh Husain Al-Jisr, ia juga dipengaruhi 

oleh ide-ide pembaharuan yang dicetuskan oleh Jamaluddin Al-Afghani 

dan Muhammad Abduh, melalui majalah Al-„urwat Al-wutsqa‟. 

Semasa dewasanya Rasyid Ridha berniat untuk menggabungkan diri 

dengan Al-Afghani di Istambul tetapi niat itu tak terwujud. Sewaktu 

Muhammad Abduh berada dalam pembuangan di Beirut, Rasyid Ridha 

mendapat kesempatan baik untuk berjumpa dan berdialog dengan 

murid Al-Afghani yang terdekat ini. Perjumpaan dengan Muhammad 

Abduh ini meninggalkan kesan yang baik dalam dirinya. 

 Muhammad Ridha sudah jatuh cinta pada pembahasan di 

majalah sebelum akhirnya berguru secara langsung kepada Muhammad 

Abduh. Kedua, majalah ini juga membahas tentang hal yang berkaitan 

55 

 

dengan dunia. Untuk pendidikan resminya, Muhammad Rasyid 

menempuh pendidikan di Kuttab yang terletak di Kampungnya, Ridha 

mempelajari Al-Qur'an, Khat, nahwu, menghafal beberapa juz Al-

Qur'an, kemudian orang tuanya mengirimnya ke Tripoli untuk 

menuntut ilmu di Ibtidaiyyah al-Rasyidiyah. Di sini ia belajar Nahwu, 

saraf, aqidah, ilmu hisab, fikih, geografi, dan lainnya. Ia belajar dalam 

bahasa Turki sebagai pengantar sebab  kota Lubnan saat itu berada di 

bawah kekuasaan kerajaan Turki. Akan tetapi, Rasyid Ridha 

meninggalkan madrasah itu sebab  tidak suka dengan rencana dari 

lembaga itu. Lembaga itu mempersiapkan kader untuk jadi petugas dari 

kerajaan Turki (pemerintah Utsmaniyah). Ridha pindah ke madrasah al-

Wataniyyah al-Islamiyyah,  madrasah itu merupakan madrasah terbaik 

yang menggunakan  bahasa Arab dalam menyampaikan pelajarannya, 

kecuali materinya bahasa Turki dan Perancis. Madrasah ini dipimpin 

oleh Syaikh Husayn al-Jisr,2  ia merupakan seorang ulama Syria yang  

terkemuka. Ia juga seorang pemimpin tarekat Khalwatiyah. Ia  

memiliki peran yang kuat dalam membentuk kemampuan  intelektual 

Rasyid Ridha. Selain materi agama, di Madrasah ini, Ridha juga belajar 

logika, bahasa Arab, sains, fisika, matematika dan filsafat. Sejak di 

madrasah ini, Rasyid Ridha sudah memiliki pra pengetahuan antara 

pengetahuan agama dan ilmu umum. Ia menggabungkan pendidikan 

agama dan pendidikan umum. Ia pun  mengambil peran untuk menulis 

di surat kabar di Tripoli. 

 Gurunya al-Jisr merupakan orang yang pandai dan terbuka  

terhadap dunia modern. Ia membacakan pemahaman tauf kepada 

Ridha, kitab, Futuhat al-Makkiyyah, kitab al-Firyaq. Sama seperti 

Muhammad Abduh, Ridha dan al-Jisr juga hendak menggabungkan 

pendidikan modern, yaitu pendidikan agama dan ilmu umum. Hal itu 

bisa dilihat dari kurikulum yang ada di madrasah al-Jisr. Muhammad 

Ridha kemudian hendak melanjutkan pendidikannya di Beirut, akan 

tetapi tidak mendapat restu dari orang tuanya sebab  di Beirut memiliki 

pengaruh yang negatif. Rencana itu pun batal terjadi.  Melanjutkan 

pendidikan di Madrasah al-Rahbiyyah. Setelah delapan tahun, ia 

mendapat ijazah „alamiyah. Kemudian ia berguru pada ulama terkenal 

kala itu yaitu Syaikh Abdul al-Ghani al-Rafi‟I, dan syaikh Muhammad 

al-Qawqaji, di sana ia belajar pengetahuan Bahasa Arab, kesusasteraan 

dan tauf. Ia juga mendalami tauf dari Syaikh abdul Aziz Rifa‟I dan 

mempelajari kitab Ihya Ulumiddin. Hadis dan Fikih didapat dari Syaikh 

Mahmud Nasyabah, ilmu mantiq dari Syaikh Muhammad al-Husaini. 

                                        

 

saat  Rasyid Ridha di Mesir, ia selalu bertemu dengan Muhammad 

Abduh. Pertemuan ini dijadikan waktu yang penting bagi Rasyid Ridha 

untuk memperdalam pengetahuannya dalam pembaharuan Islam. 

Sebulan setelah bertemu dengan Muhammad Abduh, Rasyid Ridha 

menyampaikan keinginannya untuk menerbitkan majalah yang 

nantinya diberi nama Al-Manar. Tujuan Rasyid Ridha dalam 

menerbitkan majalah Al-Manar yaitu untuk mengadakan pembaharuan 

melalui media cetak yang di dalamnya berisikan bidang agama, sosial, 

ekonomi, memberantas takhyul dan faham bidah yang masuk ke dalam 

kalangan umat Islam. Serta menghilangkan faham fatalisme, faham-

faham salah yang dibawa oleh tarekat tauf, meningkatkan mutu 

pendidikan dan membela umat Islam terhadap permainan politik negara 

Barat. Pada mulanya Muhammad Abduh tidak menyetujui gagasan ini, 

disebab kan pada saat itu di Mesir sudah cukup banyak media masa, 

apalagi persoalan yang akan diolah diduga kurang menarik perhatian 

umum. Namun Rasyid Ridha menyatakan tekadnya, walaupun harus 

menanggung kerugian material selama satu sampai dua tahun setelah 

penerbitan itu. Akhirnya Muhammad Abduh merestui dan memilih 

nama Al-Manar dari sekian banyak nama yang diusukan oleh Rasyid 

Ridha. 

 Setelah menempuh pendidikan formalnya, ia pun menyempatkan 

diri untuk memberikan pengajaran di masyarakat sekitarnya. Ia 

membagikan ilmu yang dimilikinya sebelum akhirnya menjelajahi 

pemikiran al-Afgani dan Muhammad Abduh melalui majalah yang 

ditemukan rumahnya. Masyarakat setempat pun memberikan sanjungan 

kepada Muhammad Rasyid Ridha atas pengetahuan agama yang 

dimilikinya. Ilmu yang dimiliki oleh Ridha termasuk dalam dan tinggi. 

Selain masyarakat, ternyata Ridha juga berhasil membuat kagum 

pemerintah Utsmaniyah atas penyampaian agamanya. Ridha pun 

ditawari menjadi anggota  Lajnah al-Islah al-M ‟ rif kerajaan Utsmani. 

Akan tetapi, tawaran ini tidak diterima oleh Rasyid Ridha. Ibu 

Muhammad Rasyid Ridha pernah mengungkapkan bahwa Muhammad 

Rasyid Ridha selalu tidur terlambat dan bangun paling cepat. Bahkan, 

adiknya Sayid Saleh pernah mengungkapkan anggapnya bahwa Ridha 

itu seorang nabi. Akan tetapi, saat  sadar  bahwa Nabi Muhammad  

yaitu  penutup para nabi, sejak itu  aku yakin bahwa Ridha seorang 

wali. Terkait dengan ibadah kepada Allah, Rasyid Ridha sangat 

menentang bid‟ah, khurafat, dan hal yang mengarah pada kejumudan. 

Selain itu dalam Islam telah banyak masuk unsur bidah yang 

merugikan bagi perkembangan dan kemajuan umat Islam. Rasyid 

Ridha sangat menentang keras ajaran syekh-syekh tarekat tentang tidak 

pentingnya hidup duniawi, puji-pujian dan kepatuhan yang berlebih-

57 

 

lebihan pada syekh dan wali. Menurutnya, umat Islam harus dibawa 

kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya yaitu, ajaran yang murni 

dan terhindar dari segala bidah yang menggerogoti ajaran tauhid. 

Rasyid Ridha mengatakan Islam murni itu sederhana sekali, 

sesederhana dalam ibadah dan sederhana dalam muamalahnya. Ibadah 

kelihatannya berat dan ruwet sebab  dalam ibadah telah ditambahkan 

hal-hal yang bukan wajib, tetapi sebenarnya hanya sunnat. Mengenai 

hal-hal yang sunnat ini nantinya akan muncul perbedaan faham dan 

akan memicu munculnya kekacauan. Sedangkan soal muamalah, hanya 

dasar-dasar yang diberikan, seperti keadilan, persamaan, pemerintahan 

syura. Perincian dan pelaksanaan dari dasar-dasar ini semua diserahkan 

kepada umat untuk menentukannya. Hukum-hukum fiqih mengenai 

hidup kemasyarakatan, sungguhpun itu didasarkan atas Al-Qur'an dan 

hadis tidak boleh dianggap absolut dan tidak dapat berubah. Hukum-

hukum itu timbul sesuai dengan situasi tempat dan zaman. 

Rasyid Ridha juga menganjurkan supaya bertoleransi bermazhab 

untuk dihidupkan. Dalam hal-hal dasarlah yang perlu dipertahankan 

kesamaan faham bagi umat Islam, tetapi dalam hal perincian dan bukan 

dasar diberikan kemerdekaan bagi tiap orang untuk menjelaskan mana 

yang disetujuinya. Selanjutnya ia menganjurkan pembaharuan dalam 

bidang hukum dan penyatuan mazhab hukum. Selain itu faktor yang 

membawa umat Islam mengalami kemunduran yaitu  sikap fatalisme. 

Sedangkan salah satu faktor yang membawa masyarakat Barat kepada 

kemajuan ialah faham dinamika yang ada  dikalangan mereka. Agar 

umat Islam tidak lemah, maka mutlak membuang jauh-jauh faham 

fatalisme ini , kemudian menggantikannya dengan faham 

dinamisme (progres, kemajuan). Dengan menjunjung tinggi asas 

kemajuan, secara perlahan umat Islam akan meyakini bahwa faktor 

nasib dan keberuntungan merupakan kehendak sepenuhya manusia. 

Dengan kata lain, kemajuan dan perubahan hidup yang dijalani umat 

Islam, sepenuhnya lebih ditentukan oleh umat Islam itu sendiri. Oleh 

sebab  itu umat Islam harus bersikap aktif. Dinamika dan sikap aktif itu 

terkandung dalam kata jihad. Jihad dalam arti berusaha keras dan sedia 

memberi pengorbanan harta bahkan juga jiwa, untuk mencapai tujan 

perjuangan. Semangat jihad serupa inilah yang menyebabkan umat 

Islam di zaman klasik dapat menguasai dunia. 

Pemahaman ini, akan membawa umat Islam memiliki wawasan 

rasional dan selalu maksimal dalam menggunakan akal pikiran. Rasyid 

Ridha juga menghargai akal manusia. Namun, penghargaannya 

terhadap akal tidak setinggi penghargaan yang di kemukakan oleh 

gurunya Muhammad Abduh. Menurut Rasyid Ridha akal dapat dipakai 

terhadap ajaran-ajaran mengenai hidup kemasyarakatan, tetapi tidak 

58 

 

terhadap ibadah. Dalam lapangan ini pula umat Islam memiliki konsep 

yang disebut dengan ijtihad. Konsep ini akan memacu umat Islam 

untuk berfikir keras tentang agama dan sosial kemasyarakatannya. 

Kendati demikian, ijtihad dalam persoalan agama hanya ada  dalam 

lapangan muamalah saja. Dalam bidang ibadah, tidak perlu dilakukan 

ijtihad. Ijtihad diperlukan hanya untuk soal-soal hidup kemasyarakatan. 

Terhadap ayat dan hadist yang mengandung arti tegas, tidak diperlukan 

ijtihad. Akal dapat dipergunakan terhadap ayat dan hadis yang tidak 

mengandung arti tegas dan terhadap persoalan-persoalan yang tidak 

ini  dalam Al-Qur'an dan hadis. Oleh sebab  itu inilah letak 

dinamika Islam menurut faham Rasyid Ridha. 

2. Latar belakang historis dan sosiologis pemikiran M.Rasyid Ridha 

Dalam catatan atau literatur kontemporer, Rasyid Ridha 

digambarkan sebagai pejuang muslim yang tidak jauh beda dengan 

Muhammad Abduh.3 Muhammad Abduh menilai bahwa tidak ada jalan 

yang paling ampuh bagi tercapainya pembaharuan di dunia Islam 

kecuali melalui politik merupakan jalan terpendek, sedangkan 

pembaharuan melalui pendidikan dan pengajaran sekalipun menempuh 

jalan yang panjang tapi hasilnya mantap dan langgeng. Oleh sebab itu, 

antara kedua jalur itu sebenarnya sangat berkaitan. Menurut Rasyid 

Ridha pembaharuan mutlak harus dilakukan, sebab  tanpa itu, umat 

Islam senantiasa berada dalam kejumudan dan akan menjadi umat yang 

terlantar. Ia melihat bahwa kemunduran umat Islam dan kelemahan 

mereka disebabkan sebab  mereka tidak lagi memegang dan 

menjalankan ajaran Islam yang sebenarnya. 

Ridha terpengaruh pemikiran Ibnu  Taimiyah yang keras 

menentang bid‟ah dan hal yang berbau mistik. Muhammad Rasyid 

Ridha awalnya sangat tertarik dengan sufi  atas pengaruh imam al-

Ghazali. 4 Akan tetapi, setelah melihat  majalah al-Urwah AL-Wutsqa, 

ajaran sufi ia tinggalkan. Majalah  yang diterbitkan di Paris oleh 

Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad  Abduh tahun 1884 M. ini  

cukup mempengaruhi Rasyid Ridha  dalam mengamalkan ajaran 

agamanya. Ia pun mengumpulkan 18  jilid majalah itu dan dipelajari. 

Majalah itu ditemukan di  perpustakaan Husayn al-Jisr. Dengan 

majalah itu, Ridha berusaha  untuk menjadi murid Jamaluddin al-

Afgani sebab  sangat menyukai  pemikirannya. Akan tetapi, harapan itu 

tidak tercapai sebab   Jamaluddin al-Afgani wafat tahun 1897. Padahal, 

                                        

 

sebelumnya Ridha  pernah mengirim surat ke Afgani untuk menjadi 

muridnya tahun  1893.  

Majalah al-„Urwah al-Wutsqa sudah cukup membuat  

Muhammad Rasyid Ridha untuk mencintai Islam yang sesuai  dengan 

perkembangan zaman, yaitu cara berpikir yang dinamis  Sebagimana 

yang telah dilakukan oleh Muhammad Abduh.  Awalnya Rasyid Ridha 

hanya mengajak masyarakat untuk menjauhi  kehidupan dunia dalam 

arti mencintai dalam Islam disebut zuhud. Namun, setelah berinteraksi 

dengan karya Jamaluddin al Afgani dan Muhammad Abduh melalui 

majalah itu, Ridha pun berubah haluan mejadi pemikiran yang modern 

dan lebih menekankan untuk berpikir dinamis dan mencintai ilmu. 

pengetahuan agama sekaligus ilmu umum untuk kemajuan umat Islam 

di masa modern. Seperti kepedulian terhadap industri dan teknologi. 

Sebelumnya memang tidak memberikan perhatian semacam itu sebab  

masih di bawah pengaruh tauf5 dan Ibnu Taimiyah, setelah berkenalan 

dengan pemikiran Jamaluddin alAfgani dan Muhammad Abduh, 

Muhammad Rasyid Ridha pun berganti haluan ke pemikiran yang lebih 

progresif. 

Tahun 1885/1886 M. Muhammad Rasyid Ridha bertemu dengan 

Muhammad Abduh untuk pertama kalinya. Pertemuan ini  

membuat Rasyid Ridha terbakar semangatnya untuk melepaskan umat 

Islam dari belenggu keterpurukan. Tahun 1894, mereka bertemu untuk 

kedua kalinya. Tahun 1896, Ridha pindah ke Mesir sebab  situasi yang 

tidak mendukung di Lubnan sebab  tekanan kerajaan Turki Utsmani. 

Sejak saat itu, Ridha berkhidmat terhadap Abduh dan melanjutkan 

perjuangannya. Ridha pun menulis banyak karya dalam berbagai 

bidang. Seperti sejarah, tafsir, fikih, hadis, teologi, dan manasik al-Hajj. 

Tarikh al-Ustadh al-Imam (sejarah), Risalah al-Sulb wa alFida, 

al-Sunnah wa al-Syi„ h (akidah), al-Wahhabiyyun wa al-Hijaz 

(politik), al-Khilafah wa‟l-Imamah al-„Uzm ,  l-Wahyu al-

Muh mm di, Nid ‟ li Jins  l-Latif, al-Manar wa al-Azhar (yang 

merupakan tangkisannya terhadap tulisan Yusuf al-Dajwiy, yang 

menentang Muhammad Abd al-Wahhab dalam majalah Nur al-Islam 

(Buletin al-Azhar) Tarjamah Al-Qur'an wa ma fi ha min al-Mafasid, 

Dhikra al-Mawlid alNabawi, Dalam catatan atau literatur kontemporer, 

Sayyid Muhammad Rasyid Ridha digambarkan sebagai pejuang yang 

lebih banyak kesamaan dengan Muhammad Abduh.6 

                                        

 

 

ada  ungkapan Muhammad Abduh yang membuat Rasyid 

Ridha benar-benar mengikutinya yaitu pernyataan tentang pembaruan 

dalam Islam. Abduh menyatakan bahwa untuk mengubah tatanan 

Islam, bisa melalui jalan politik. Akan tetapi, jalan ini termasuk jangka 

pendek sebab  sangat berpotensi berganti seiring bergantinya siapa 

yang berkuasa dan memegang kendali pemerintahan. Kemudian, jika 

ingin mendapat sebuah jalan jangka panjang, maka yang harus 

dilakukan yaitu  mengambil jalan pembaruan pendidikan dan 

pengajaran. Melalui jalan pendidikan dan pengajaran, hasilny  a 

memang membutuhkan waktu yang lebih lama. Akan tetapi, hasilnya 

benar-benar dapat memuaskan sebab  tersimpan dalam jiwa dan 

menjadi karakter masyarakat. Melalui jalur politik citranya seperti 

paksaan terhadap masyarakat sebab  sudah menjadi sebuah aturan 

resmi seperti undang-undang. 

Terkait dengan pemikiran Muhammad Rasyid Ridha, dapat 

dibagi dalam beberapa kategori sebagai berikut; 

a. Pembaharuan Bidang Keagamaan Umat Islam mengalami 

kemunduran dalam praktik agama.  Umat Islam benar-benar tidak 

berdaya menghadapi peradaban Barat yang semakin hari semakin 

menunjukkan taringnya menghadapi dunia modern dengan 

kemajuan sains dan teknologinya.7 Faktor internal Islam, adanya 

ajaran-ajaran yang dilakukan oleh umat Islam yang seolah-olah itu 

yaitu  ajaran Islam padahal bukan. Faktor inilah yang menjadikan 

umat Islam  tidak mampu bersaing dengan perkembangan dunia 

modern, padahal di masa keemasan Islam dahulu kala, Islam mampu  

mengamalkan ajaran Islam seutuhnya walaupun berinteraksi  dengan 

peradaban lain seperti Yunani Kuno dan Romawi. 

Menurut Muhammad Rasyid Ridha, ada syarat yang harus 

dilakukan oleh umat Islam agar mampu menyaingi kemajuan 

peradaban Eropa di masa modern ini, yaitu dengan kembali 

mengamalkan ajaran Islam secara murni, menggali Al-Qur'an. 

Mengamalkan ajaran agama yang telah atur oleh Rasulullah dan 

yang dipraktikkan oleh para sahabat. Allah  telah menyempurnakan 

agama Islam sebagai agama terakhir yang meluruskan semua agama 

sebelumnya. Islam telah menjadi hukum-hukum terakhir di dunia 

sebagai ajaran yang harus dilakukan oleh umat manusia sebab  

kebenaran yang dikandungnya. Syariat Islam yaitu  syariat terakhir 

yang diturunkan Tuhan kepada umat manusia untuk keselamatannya 

di kehidupan selanjutnya, akhirat. Seluruh kebutuhan umat Islam itu 

                                        

 

ada  dalam Al-Qur'an sehingga umat Islam tidak perlu mencari 

referensi lain selain dua sumber hukum Islam yang kuat, Al-Qur'an 

dan hadis. 

 Kesempurnaan manusia sebagai makhluk yang paling baik di 

muka bumi, ruh dan jasad manusia yang telah disempurnakan Allah 

untuk menjalankan tugasnya di bumi sebagai khalifah sudah cukup 

memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada mereka untuk 

memperbaiki kehidupan, berijtihad yang benar dan mengambil 

sebuah keputusan yang baik. Dua hal ini sangat penting bagi umat 

Islam sebab  sudah sesuai dengan kemaslahatan manusia di setiap 

keadaan. Zaman Muhammad Rasyid Ridha, para pemikir Islam 

belum terlalu banyak berinteraksi dengan para filosof, terkait dengan 

persoalan salafiah, Muhammad Ridha banyak dipengaruhi oleh 

tokoh salafiyah seperti Ibnu Taimiyah, ada beberapa konsep yang 

dikemukakannya yang mengemuka seperti akan dan wahyu. 

b.  Posisi Akal dan Wahyu 

 Muhammad Rasyid Ridha mengatakan bahwa persoalan 

ketuhanan, ia menghendaki urusan keyakinan harus menggunakan 

wahyu, Al-Qur'an . Akal sebagai alat analisis tetap diperlukan untuk 

menjelaskan dan alat untuk mengungkapkan argumentasi, apalagi 

jika berhadapan dengan orang yang keimanannya masih setengah-

setengah. Pemikirannya dipengaruhi oleh majalah al-Urwah al-

Wutsqa.8 

c. Sifat-Sifat Tuhan 

 Terkait dengan sifat Tuhan, ulama teologi berbeda pendapat 

dengan perbedaan yang sangat mencolok. Terutama aliran 

Mu‟tazilah dan Asy‟ariyah. Muhammad Ridha terkait dengan sifat 

Tuhan, ia meyakini bahwa sifat-sifat Tuhan itu seperti apa yang 

diberitakan oleh nash Al-Qur'an tanpa menambahkan tafsir ataupun 

ta‟wil.  

d. Tindakan Manusia  

Salah satu yang menjadi perdebatan sengit dalam sejarah 

teologi Umat Islam yaitu  mengenai perbuatan manusia. Apakah 

perbuatan manusia itu berasal dari Allah atau hanya semata 

keinginan manusia tanpa campur tangan Allah. Perdebatan tentang 

tindakan manusia ini dikenal dengan aliran Jabariah dan Qadariah. 

Jabariah meyakini bahwa segala pebuatan itu berasal dari Allah, 

manusia tidak memiliki upaya untuk melakukan tindakan. Adapun 

aliran Qadariah, aliran ini meyakini bahwa tindakan manusia itu 

                                        

 

berasal dari dirinya sendiri. Tidak ada campur tangan Tuhan. Terkait 

dengan pemikiran Muhammad Rasyid Ridha, ia meyakini bahwa 

perbuatan manusia itu sudah ditentukan oleh Allah dan tergolong 

sunnatullah.  

e. Konsep Iman 

 Muhammad Ridha meyakini bahwa yang menyebabkan umat 

Islam mundur yaitu  keyakinan dan amal ibadah umat Islam telah 

bergeser dari ajaran aslinya. Oleh sebab  itu, upaya yang keras 

Muhammad Rasyid Ridha yaitu  mengembalikan umat Islam 

menjalankan ibad