makna ahl alkitab 3
ah dan keyakinan yang sesuai dengan ajaran Islam.
Untuk mengembalikan itu semua, perlu sebuah upaya yang
berangkat dari dalam hati, bukan berdasarkan akal atau rasional.
Inilah yang upaya besar yang dilakukan oleh Rasyid Ridha yaitu
menyatukan semua umat Islam di bawah satu keyakinan, sistem
moral, pendidikan dan sistem hukum.
Selanjutnya bentuk negara, bentuk negara yang diusung oleh
Muhammad Rasyid Ridha yaitu negara yang dipimpin oleh seorang
khalifah. Hukum dan undang-undang itu akan dijalankan oleh khalifah
ini . Inti dari pelaksanaan pemerintahan yang diusung oleh Rasyid
Ridha ini sesuai dengan sistem kekhalifahan di masa dulu dan
diterapkan di masa sekarang. Hemat penulis, di sini Muhammad Rasyid
Ridha belum menjelaskan secara rinci seperti sistem yang dimaksud,
sebab di masa dahulu pun (setelah Khulafaurasyidin) belum ada sistem
pemerintahan (kerajaan) yang terpusat di satu khalifah. Muhammad
Rasyid Ridha mengakui kemajuan Barat, akan tetapi tidak menerima
sistem pemerintahan mereka yang berbentuk kebangsaan. Sistem yang
diharapkan oleh Rasyid Ridha yaitu sistem yang terpusat pada
Khalifah yang dibantu oleh para ulama untuk mengurusi umat.
Khalifah harus memiliki sifat mujtahid dan tidak boleh absolut.
Muhammad Rasyid Ridha memberikan harapan kepada kerajaan
Utsmani mengenai sistem pemerintahan Islam yang terpusat pada satu
khalifah, akan tetapi, saat itu Turki sudah dikuasai Mustafa Kemal
Attaturk yang menghancurkan harapan Ridha. Sejak dipimpin oleh
Mustafa Kemal Attaturk, Turki berubah menjadi negara yang berbentuk
Republik. Pemikiran Muhammad Rasyid Ridha secara garis besar ada
tiga yaitu di bidang agama, politik, dan pendidikan. Di bidang agama
seperti yang dipaparkan sebelumnya yang mengomentari pernyataan
kalam ulama dahulu, sifat Tuhan, posisi akal dan wahyu dan lainnya.
Dari segi politik telah dipaparkan juga bahwa Rasyid Ridha
menginginkan sistem politik yang pemerintahannya sama seperti sistem
pemerintahan di masa dahulu. Ia pun memberikan harapan pada
pemerintahan utsmani. Di bidang pendidikan, Muhammad Rasyid
63
Ridha tidak berbeda jauh dengan gurunya, Muhammad Abduh, yaitu
ingin mengembangkan pendidikan Islam dengan integrasi pendidikan
Islam dan pendidikan umum, kurikulum, dan kelembagaannya. Kata
Ridha, Islam harus mampu menerima peradaban Barat dan pendidikan
Barat dalam artian pendidikan itu telah disaring dan sudah di
Islamisasi. Inilah yang harus dilakukan oleh Umat Islam dalam
merespons pendidikan Islam terhadap dunia modern menurut
Muhammad Rasyid Ridha. Ia pun menyatakan menerima peradaban
Barat yaitu kunci untuk bersaing dengan peradaban Barat. Cara untuk
menerimanya yaitu dengan mempelajarinya melalui pendidikan dan
ilmu teknologi. Ilmu pengetahuan umum dan teknologi tidak
bertentangan dengan Islam.
3. Karya-karya Muhammad Rasyid Ridha
Sebagai pemikir Islam yang erat kaitannya dengan Jamaluddin
alAfgani dan Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha tentu tidak
berbeda jauh dengan pendahulunya secara pemikiran dan karya, Ridha
juga memiliki karya yang tidak kalah banyak dengan Muhammad
Abduh, berikut yaitu karya Muhammad Rasyid Ridha.
a. Tarikh Ustadh Al-Imam Al-Sy ikh Muh mm d „ duh ( iogr fi
Imam Muhammad Abduh);
b. Nid ‟ li Jins al-Latif;
c. Al-Wahyu Muhammadi (Wahyu Nabi Muhammad);
d. Yusr Al-Islam wa Usul At-T shri„ l-„ m (Kemud h n sl m d n
Prinsip-prinsip Umum d l m Sy ri‟ t);
e. Al-Khilafah wa Al-Imamah Al-„Uzm (Kh lif h d n m m y ng
Besar);
f. Muhawarah Al-Muslih wa Al-Muqallid Dialog Antara Kaum
Pembaharu dan Konservatif);
g. Zikra Al-Maulid an-Nabawiy (Memperingati Hari Kelahiran Nabi
Muhammad);
h. quq lM r‟ h s-Salihah (Hak-hak Wanita Muslim).9
b. Al-Hikmah al-Sy r‟iyy h f Muhk m t l-Zahriyyah wa alRifaiyyah;
a. al-Azhar dan al-Manar;
b. Risāl h ujj h l- slām l-Gazali;
c. al-Sunnah wa al-Sy ‟ h;
d. al-Wahdah al-Islamiyyah;
e. q q h Ri ā;
f. Majalah al-M nār; d n
g. Al-Khilāf h10
Karya Muhamamad Rasyid Ridha tergolong mengalami
pergeseran corak sebab awalnya dipengaruhi oleh pemikiran Tauf
yang mengajak masyarakat untuk meninggalkan kehidupan dunia
dalam arti kufur kepada Allah dan mewajibkan umat Islam untuk
menuntut ilmu sebanyak-banyaknya termasuk ilmu pendidikan Barat
seperti sains dan teknologi.
4. Peran Rasyid Ridha di Masyarakat
Muhammad Rasyid Ridha memiliki peran yang sangat penting di
masyarakat, seperti yang dilakukan oleh gurunya Muhammad Abduh.
Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afgani terbilang masih cukup
modern jika dibandingkan dengan Muhammad Rasyid Ridha. Kenapa
disebut lebih modern dan kenapa Muhammad Rasyid Ridha tidak lebih
modern dari segi sosial kemasyarakatan-sosial politik? Muhammad
Abduh dan Jamaluddin al-Afgani lebih dinamis dan menerima materi
pendidikan Barat dengan syarat telah di islamisasi dan materi Barat itu
telah di interpretasi dalam dunia Islam. Muhammad Rasyid Ridha yang
lebih dikenal pendakwah juga memberikan sumbangsih pemikiran di
bidang sosial kemasyarakatan dan bagaimana harusnya diaplikasikan.
Ridha masih mengharapkan kembalinya sistem pemerintah pada masa
Utsmani yaitu sistem kekhalifahan. Sistem ini tidak sesuai dengan
sistem yang berkembang di dunia Islam yang berlaku di abad Modern.
Inilah alasan kenapa Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afgani
disebut lebih modern dibandingkan dengan Rasyid Ridha.
Sikap Muhammad Rasyid Ridha terhadap masyarakat sangatlah
ramah terhadap agama-lain. Hal ini disebabkan oleh lingkungan Rasyid
Ridha yang sejak kecil sudah ditanami nilai-nilai toleransi yang tinggi
melalui pendidikan ayahnya. Sejak kecil pendidikan melalui ayahnya
sangat mempengaruhinya. Apabila hari-hari besar Islam tiba, maka
para pemuka agama akan terlihat di rumah Rasyid Ridha. Keteduhan
akan terasa apabila hari-hari besar agama lain tiba. Inilah yang dilihat
Muhammad Rasyid Ridha sewaktu kecil. Tidak heran apabila Rasyid
Ridha toleran. Andaikan saja ayah Rasyid Ridha bersikap eksklusif
terhadap agama lain, besar kemungkinan Rasyid Ridha hanya akan
memiliki pengaruh yang sedikit sebab sikap paling benar sendiri
terhadap suatu tindakan. Memang sikap fanatik yaitu sikap yang tidak
cocok untuk diterapkan, dalam kebaikan apalagi keburukan. Ini yaitu
sebuah sikap yang dimiliki sebagian umat Islam yang menjadikan umat
Islam tidak bisa menghadapi perkembangan zaman modern seperti
sekarang ini. Guru Rasyid Ridha Syaikh Husain al-Jisr sempat
65
mendirikan sekolah modern di Qalamun.11 Qalamun merupakan tempat
tinggal Muhammad Rasyid Ridha.
Sikap toleran yang ditunjukkan Muhammad Rasyid Ridha tidak
hanya ditunjukkan pada masyarakat secara umum saja, akan tetapi juga
diterapkan terhadap para pendeta dan para Ahl al-Kitâb. Saat-saat
berdiskusi dengan agama lain terkait sistem pemerintahan Islam yang
diinginkannya, Rasyid Ridha tidak mempersoalkan masalah tentang
agama lain, meskipun yang diinginkan oleh Ridha yaitu sistem
khilafah atau sistem pemerintahan Islam yang sempat berharap pada
kekuasaan Turki Utsmani kala itu. Namun, harapannya tidak sampai.
Ridha memperbolehkan agama selain Islam hidup berdampingan dalam
sistem pemerintahan Islam yang diusungnya. Selama non Islam
ini tidak memerangi Umat Islam.
Gerakan Bawah Tanah Majalah al-„Urw l-Wuthqa wa al-
Thawrah al-Tahririyyah al-Kubra yaitu majalah pergerakan yang
dikeluarkan di Paris tahun 1884 M. Majalah ini termasuk wadah untuk
menentang tirani kala ini, itulah mengapa ia ada di Paris. Disebutnya
al-Urwa al-Wutsqa (tali buhul yang kukuh) sebab memang menjadi
gerakan melalui tulisan khusus untuk menentang kekuasaan yang tidak
dengan ajaran Islam kala itu. Majalah yang dirintis oleh Jamaluddin al-
Afgani ini diteruskan perannya sebagai media perjuangan oleh
Muhammad Rasyid Ridha. Majalah ini membawa sebuah jiwa
perjuangan, perjuangan pendahulu mereka, Afgani dan Abduh. Ide
mereka memberantas Bid‟ah, dan persoalan yang bertentangan dengan
Islam. Majalah ini benar-benar menjadi wadah perjuangan secara diam-
diam sebab berusaha mempengaruhi masyarakat luas melalui tulisan
ini . Tulisan ini sebenarnya ditujukan kepada penguasa yang
sewenang-wenang menduduki bangsa lain untuk menghasilkan sebuah
keuntungan sebab alam, aset, dan lain-lain. Perjuangan mereka tidak
pernah hilang dalam ingat umat Islam hingga saat ini sebab model
penjajahan dan pembodohan itu masih terus terjadi. Seperti yang
disebutkan oleh Kosugi Yasushi, Jurnal pertama yang menyuarakan
aspirasi dan perjuangan yaitu majalah yang dirintis oleh Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha ini . Apa yang dilakukan oleh Rasyid
Ridha telah sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Muhammad Abduh
dan Jamaluddin al-Afgani. Majalah ini benar-benar memberikan
ancaman yang nyata bagi pemerintah kolonial kala itu sehingga
penyebarannya pun dibatasi di kalangan umat Islam. Dalam majalah ini
mengandung dua unsur dari segi perjuangannya, di awal-awal
perjuangan Afgani dan Abduh, mereka memiliki perbedaan arah
gerakan meskipun tujuannya sama, Jamaluddin alAfgani leibh
menginginkan perubahan secara politik atau revolusi sedangkan
Muhammad Abduh menginginkan perubahan sumber daya manusianya
atau melakukan sebuah evolusi pada masyarakatnya. Tetapi, keduanya
sama-sama ingin memperjuangan umat Islam dari keterpurukan.
Dampaknya ke Rasyid Ridha yaitu Ridha sangat tertarik dengan
pemikiran keduanya, dari segi sistem pemerintahan, Ridha lebih
cenderung ke Jamaluddin al-Afgani. Sedangkan dari segi pendidikan,
Ridha lebih cenderung ke Muhammad Abduh.
Pengaruh kedua tokoh terhadap Muhammad Rasyid Ridha sangat
besar melalui majalah al-Manar. ada beberapa hal yang menjadi
sorotan Ridha dalam majalah ini sehingga akhirnya memutuskan
untuk bergabung dengan Muhammad Abduh dan pergerakan
Jamaluddin al-Afgani yaitu majalah al-Manar ini memberikan sebuah
ulasan yang menarik, ulasan membahas tentang persoalan
kemasyarakatan yang diprioritaskan. Majalah itu memberikan standar
yang tinggi terhadap ketentuan Allah mengenai hukum-hukum
kemasyarakatan, sehingga membuat Ridha semakin ingin bergabung
dengan mereka meskipun Ridha tidak sempat berbagi cerita dengan
Jamaluddin al-Afgani sebab wafat. Kedua, Ridha melihat bahwa Islam
yang diutarakan dalam majalah al-Manar ini menampilkan Islam yang
rahmatan lil alamin, Islam membahas tentang dunia dan akhirat.
Tentang kemiliteran, tentang kesehatan, tentang sosial, lebih-lebih
persoalan agama. Ketiga, dalam majalah ini tidak diulas tentang
pemahaman nasionalisme dan kebangsaan. Yang ada yaitu kesatuan
atas nama agama, menurut Ridha.
a. Pengaruh Ideologi
Pemikiran Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afgani
memberikan dampak yang sangat besar terhadap Muhammad Rasyid
Ridha,12 pengaruh ini dapat memperkuat keyakinan Ridha
dalam memperjuangkan pembaruan dalam Islam terutama dalam
bidang pendidikan, politik, dan sosial. Akan tetapi, tanpa Rasyid
Ridha juga, pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh dan
Jamaluddin al-Afgani terselamatkan dan dapat dinikmati hingga saat
ini. Maksudnya yaitu apabila Ridha tidak menyelamatkan artikel,
kajian, tulisan Abduh dan al-Afgani, maka ide-ide yang pernah
ditulis akan hilang. Tentu kejadian seperti ini sangat wajar sebab
masih berada di bawah pengawasan pemerintahan asing.
Pemerintahan Eropa yang membuat Timur kala itu tidak bisa berbuat
banyak sebab penguasa mereka diperalat. Hal ini pun terjadi di
Indonesia, karya-karya ulama Indonesia abad 18-19 tidak banyak
ditemukan sebab adanya intervensi sejarah oleh Belanda sebagai
pemerintah yang menduduki di Nusantara. Demikianlah yang terjadi
di Mesir kala itu, akan tetapi untuk karya Muhammad Abduh dan al-
Afgani melalui majalah al-Manar dapat diselamatkan melalui
penulisan ulang karya-karya ini .
Meskipun saat ini masih ada yang tidak ditemukan sebab
tidak ditemukan teks aslinya. Kembali pada pembahasan ideologi,
Muhammad Rasyid Ridha kembali merumuskan pemikiran Abduh
dan al-Afgani kemudian disebarkan secara radikal terhadap kalangan
masyarakat modern. Pemikiran Muhammad Rasyid Ridha telah
menyatu dengan pemikiran Muhammad Abduh dalam akidah,
pikiran, pendapat, akhlak, serta gagasan lainnya terkait dengan
ideologi. Pengaruh Abduh terhadap Ridha pernah diungkapkan oleh
Charles C. Adams, ia menyatakan bahwa orang yang menulis karya-
karyanya, biografinya, meneruskan tradisinya, meneruskan
gagasannya yaitu Muhammad Rasyid Ridha, ia menyelamatkan
gagasangagasan cemerlangnya. Ridhalah yang mendengarkan
ceramah dan kajian Abduh kemudian dinarasikan ulang dan
disebarkan secara radikal sehingga masih dapat dinikmati hingga
saat ini. Perubahan yang dialami oleh Ridha ini tentu berawal dari
majalah yang ditemukan di laci ayahnya, majalah al-Manar.
Awalnya Ridha sangat dipengaruhi oleh Tauf, setelah itu, gaya
berpikirnya pun berubah secara drastis dalam hal merespons ilmu
pengetahuan modern. Prinsip ideologinya masih tetap sama dengan
apa yang disampaikan oleh Abduh sebab Ridha juga berperan
sebagai menafsir dan penyebar karya-karya Abduh. Bahkan
tafsirannya ini lebih banyak dari karya Abduh sendiri. Bisa
dilihat dalam karya tafsir al-Manar. Abduh hanya menulis sampai
surah an-Nisa, sedangkan Ridha hinga surah Yusuf. Hal inilah yang
membuat Ridha lebih produktif dan penyelamat karya Abduh
sebagai seorang pemikir Islam yang modernis. Karya Ridha ini bisa
dikatakan lebih rapi dan sistematis. Namun bukan berarti Ridha
tidak lepas dari kritik dari generasi setelahnya, kritik ini
diarahkan ke Ridha sebab tidak mampu mempertahankan karya
Abduh secara masif, akan tetapi Ridha tidak membalas kritikan-
kritikan ini sebab menganggap kritikan ini dangkal.
b. Fikrah dan Pengaruhnya
Muhammad Rasyid Ridha meneruskan pemikiran Muhammad
Abduh yang berasaskan kebebasan dan ijtihad. Kebebasan ini tentu
68
atas dasar respons terhadap dunia modern yang dianggap tidak
mampu dihadapi oleh umat Islam kala itu atau bahkan hingga saat
ini. Ridha berusaha menjelaskan pemikiran filsafat rasionalnya
Muhammad Abduh serta pengaruh kalam dan kesimpulan
pengetahuan kalam Muhammad Abduh. Adapun pemikiran Abduh
yang terinspirasi dari Mu‟tazilah dan sempat ditentang oleh ulama
tradisional al-Azhar itu juga diselamatkan oleh Rasyid Ridha.
Muhammad Rasyid Ridha memiliki pengaruh yang luas dan kuat di
era modern. Pengaruh itu lahir dari al-Manar yang mempengaruhi
pelajar-pelajar di seluruh dunia yang belajar di al-Azhar. Begitupun
dengan orang-orang Minangkabau yang pernah menempuh
pendidikan di al-Azhar dan al-Haramain. Inilah yang membuat tafsir
al-Manar memiliki pengaruh yang sangat kuat di Indonesia sebab
para pelajar di masa dulu berangkat ke sana untuk menimba ilmu.
Yang dibawa hanyalah ilmu. Walaupun realitanya ada pelajar
yang berasal dari nusantara membawa dampak negatif bagi kesatuan
dalam bernegara di Indonesia masa dulu bahkan sekarang.
Arus modernisme di Timur Tengah ini tidak dapat
dibendung, hal ini sebab kepopuleran tafsir al-Manar yang cukup
memberikan pemahaman yang dalam terkait arus modern, meskipun
tafsir al-Manar tidak sampai 30 juz penuh.13 Semangat perjuangan
modernitas di abad 19 membawa angin segara bagi yang mengikuti
Muhammad Abduh yang merespons positif modernisme, hal ini
sebab tafsir itu sangat cocok untuk dijadikan referensi bagi mereka
yang cinta ilmu pengetahuan dan Islam yang rahmatan lil alamin.
Para pelajar nusantara telah mengangkat derajat dan martabat orang
Melayu. Para pelajar ini tidak hanya merespons positif dengan
menyebarkan ide-ide pembaruan yang berasal dari al-Manar.
Mereka para pelajar dari Timur itu juga mengaplikasikannya ke
dalam dunia pendidikan di Melayu. Ini yaitu hasil yang diinginkan
oleh Muhammad Rasyid Ridha dan tentunya Muhammad Abduh
sebagai tokoh pembaharu di dunia Islam Pengaruh al-Manar di
Indonesia dan Malaysia terbilang cukup signifikan sebab pelajar
mereka dasarnya belajar di al-Azhar, al-Azhar yang telah mamasuki
babak baru di era modern telah mempengaruhi mereka. Mereka pun
memberikan dampak yang signifikan terhadap perkembangan dunia
modern dan respons orang melayu terhadap dunia modern
mengalami perkembangan, hal itu bisa dilihat dari cara berpikir
mereka mengenai pendidikan Islam di dunia modern yang tidak lagi
menggunakan sistem yang tradisional meskipun sebagian masih
dapat ditemui di beberapa lokasi.
Pengaruh Muhammad Rasyid Ridha begitu besar. Hal bisa saja
dari ilham tafsir al-Manar yang penuh dengan nilai perjuangandan
metodologi sosial kemasyarakatan yang dikandungnya. Metodologi
itu mengandung nilai-nilai yang dekat dengan kehidupan masyarakat
sehingga mudah dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti
contoh, umat Islam dilanda kemiskinan, hal disebabkan oleh
kurangnya ilmu pengetahuan. ilmu pengetahuan yang dimiliki harus
mampu dipraktikkan, sehatinya ilmu tentang bagaimana menghargai
diri, orang lain dan bangsa yaitu cara manusia untuk hidup
berkelompok atau hidup secara sosial. Manusia tidak bisa hidup
sendiri oleh sebab disebut sebagai makhluk sosial. Ini yaitu cara
manusia meningkatkan taraf hidup, dari kemiskinan, ilmu
pengetahuan, dan pemberantasan kemiskinan. Itulah mengapa tafsir
al-Manar oleh peneliti sebagai tafsir yang fenomenal. Dari sini saja,
dapat dilihat pengaruh Muhammad Ridha membangun sebuah
terminologi bahwa perempuan layak mendapatkan hak seperti
halnya laki-laki terlepas dari hukum-hukum alam yang menyertai
perempuan.14 Keadilan terhadap perempuan mencoba diulas oleh
Muhammad Rasyid Ridha dalam pendidikan Islamnya. Inilah yang
dimaksud keadilan gender perspektif Muhammad Rasyid Ridha
sebagai seorang pembaharu dan pemikir yang menyelamatkan
karya-karya besar Muhammad Abduh.
5. Latar Belakang Intelektual dan Pendidikan Rasyid Ridha
Muhammad Rasyid Ridha pertama kali belajar di tempat
lahirnya, al-Kuttab, ia belajar tentang dasar-dasar ilmu pengetahuan
yang akan menjadi penopang hidupnya. Cara ini hampir dilakukan
semua tokoh yang berpengaruh. Tokoh yang hebat akan menjadikan
dirinya sebagai individu yang kuat, sebagaimana yang telah dilakukan
oleh Rasyid Ridha, ia telah memberikan penopang dirinya di tempat
lahirnya. Sama seperti yang dilakukan oleh gurunya Muhammad
Abduh. Ridha pun diajarkan langsung oleh ayahnya tentang sikap-sikap
yang harus dilakukan saat hidup berdampingan dengan penganut
agama lain. Ridha sudah matang akan hal ini sebab sudah
menyaksikan sendiri bagaimana sikap yang seharusnya Islam lakukan
saat hidup berdampingan dengan agama lain. Ayahnya sendiri yang
melakukan jadi Ridha dapat menyaksikannya secara langsung. Di
rumah Ridha saat hari Besar Islam, maka tidak jarang dari pemuka
agama lain atang untuk menjalin silaturrahim. Ayah Ridha tidak
langsung mengirim ke kota untuk menuntut ilmu sebab dikhawatirkan
di kota terpengaruh oleh keadaan sehingga gagal meraih tujuan
utamanya yaitu menuntut ilmu. Proses yang dilalui yaitu diberikan
pemahaman di kampung halaman sebagai dasar dan tiang yang menjadi
benteng pertahanan, kemudian dikirim ke kota untuk menuntut ilmu
lebih dalam lagi.
Semasa kecilnya (usia tujuh tahun), Rasyid Ridha dimasukkan
oleh orang tuanya ke madrasah tradisional di desanya, Qalmun. Rasyid
Ridha juga belajar pada sekian banyak guru. Di masa kecil ia belajar di
taman-taman pendidikan di kampungnya yang saat itu dinamai
alkuttab; di sana ia diajarkan membaca Al- Qur‟an, menulis dan
dasardasar berhitung. Berbeda dengan anak-anak seusianya, Rasyid
kecil lebih sering menghabiskan waktunya untuk belajar dan membaca
buku dari pada bermain, dan sejak kecil memang ia telah memiliki
kecerdasan yang tinggi dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan.
Setelah menamatkan pelajarannya ditaman-taman pendidikan
dikampungnya yang dinamai al-Kuttab, Ridha dikirim oleh
orangtuanya ke Tripoli (Libanon) untuk belajar di Madrasah Ibtidaiyah
yang mengajarkan ilmu nahwu, sharaf, akidah, fiqih, berhitung dan
ilmu bumi, dengan bahasa pengantar yaitu bahasa Turki, sebab
madrasah ini yaitu milik pemerintah yang bertujuan untuk
mempersiapkan sumber daya manusia yang akan menjadi pegawai
pemerintahan Turki Usmani. Mengingat Libanon waktu itu ada
dibawah kekuasaan kerajaan Usmani.
Muhammad Rasyid Ridha tidak tertarik pada sekolah ini ,
setahun kemudian dia pindah ke sekolah Islam Negeri Madrasah
Wathaniyyah Islamiyyah yang merupakan sekolah terbaik pada saat itu
dengan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, disamping diajarkan
pula bahasa Turki dan Prancis. Sekolah ini dipimpin oleh ulama besar
Syam saat itu, yaitu Syaikh Husain al-Jisr yang kelak mempunyai
andil besar terhadap perkembangan pemikiran Ridha sebab hubungan
keduanya tidak berhenti meskipun kemudian sekolah itu ditutup oleh
pemerintah Turki. Dari Syaikh inilah Muhammad Rasyid Ridha
mendapat kesempatan menulis dibeberapa surat kabar Tripoli yang
kelak mengantarnya memimpin majalah al-Manar. Guru Muhammad
Rasyid Ridha bernama Syaikh Husain al-Jisr dikenal sebagai ulama
yang berfikiran modern merupakan pemimpin tarekat Khalwatiyah,
diketahui pula bahwa gurunya al-Qawaqiji yaitu seorang pengikut
Syadziliyah. Selain Syaikh Husain al-Jisr, Muhammad Rasyid Ridha
juga belajar dari Syaikh Mahmud Nasyabah11 yang ahli dibidang hadis
dan mengajarnya sampai selesai dan sebab nyalah Muhammad Rasyid
71
Ridha mampu menilai hadis-hadis yang dhaif dan maudhu sehingga dia
digelari “Voltaire”nya kaum Muslim sebab keahliannya
menggoyahkan segala sesuatu yang tidak benar dalam bidang agama.
Selama masa pendidikannya, Muhammad Rasyid Ridha membagi
waktunya antara ilmu dan ibadah pada salah satu masjid milik
keluarganya, ibunya sempat bercerita: Semenjak Muhammad Rasyid
Ridha dewasa, aku tidak pernah melihat dia tidur sebab dia tidur baru
sesudah kami bangun dan bangun sebelum kami terbangun. Tidak itu
saja, adiknya, Sayyid Shaleh pernah juga berkata: Aku tadinya
menganggap saudaraku Muhammad Rasyid Ridha yaitu seorang
Nabi. Tetapi saat aku tahu bahwa Nabi kita Muhammad ., yaitu
penutup seluruh Nabi, aku menjadi yakin bahwa dia yaitu seorang
wali.
Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang sangat luas, ia
memanfaatkannya untuk memberikan pengarahaan dan petunjuk
kepada para sahabatnya. Dalam kegiatannya dia selalu mengamati
masalahmasalah yang terjadi di kawasan negara tetangga, terutama
masalah agama kemasyarakatan melalui surat kabar dan majalah. Dia
begitu tertarik dan terkesan kepada majalah al-Urwah al-Wusqa yang
dipimpin oleh Jamaluddin al-Afgani dan muridnya Syaikh Muhammad
Abduh. Pertemuan dengan kedua tokoh itu sangat didambakan dan 78
dirindukannya, tapi ia begitu menyesal sebab ia sendiri tak dapat
bertemu dengan Jamaluddin al-Afgani sebab tokoh ini terburu
meninggal dunia sebelum ia dapat menemuinya. Akhirnya Muhammad
Rasyid Ridha berusaha menemui muridnya Syaikh Muhammad Abduh
dan langsung berangkat ke Mesir pada tahun 1879 M.15
Muhamad Rasyid Rasyid Ridha pernah menulis; Sesudah belajar
dasar-dasar bacaan, tulisan dan tulisan indah di Kampung, pada sebuah
rumah yang di dalamnya ada berbagai macam buku, tanpa
memperhatikan urusan dunia dan kurang memperhatikan bermain
bersama dengan teman-teman sebaya, maka tidak ada di hadapan saya
sesuatu pun kecuali buku-buku dan saya sanat bangga mempelajarinya.
Orang tuaku menunda mendaftarkan Saya di Kota sebab beliau takut
atas pembentukan akhlak dan pendidikan akan dirusak oleh gaya
pergaulan penduduk kota. Dengan alasan itu, ayahku kemudian
penunggu sampai saya memiliki kecerdasan yang dapat menentramkan
saya.
Muhammad Rasyid Ridha pun melanjutkan pendidikan di
Madrasah Ibtidaiyah, di sini, Ridha mempelajari tentang ilmu
berhitung, ilmu bumi, akidah, fikih, dan nahwu.17 Kala itu, Muhammad
Rasyid Ridha juga belajar bahasa Turki, sebab daerah tempat
belajarnya kala itu Lubnan masih di bawah kekuasana kerajaan Turki
Utsmani. Akan tetapi, kenyataannya. Muhammad Rasyid Ridha
meninggalkan sekolah itu sebab merasa tidak cocok dan alumnusnya
itu dipersiapkan untuk menjadi pegawai pemerintah Turki Utsmani.
Selanjutnya, Muhammad Rasyid Ridha melanjutkan pendidikannya ke
sekolah yang dianggapnya cocok untuk dirinya, di sana pun ia belajar
bahasa Arab sebagai bahasa penyampaian materinya. Sekolah itu
bernama al-Wathaniyah al- Islamiyah yang dipimpin oleh Syaikh
Husayn al-Jisr.
Syaikh Husayn al-Jisr memberikan pengetahuan terhadap
Muhamad Rasyid Ridha seprti ilmu filsafat, ilmu matematika, sains,
dan ilmu logika secara mendalam. Integrasi ilmu pengetahuan agama
dan umum sudah di asah di sini, Muhammad Ridha pun memiliki bekal
untuk bertemu gurunya kelak Muhammad Abduh dan literatur
Jamaluddin al-Afgani. Pengetahuan Muhammad Ridha ini juga yang
mengantarkannya mudah menerima ilmu pengetahuan Islam dan ilmu
pengetahuan modern secara umum. Walaupun sempat mendalami
pemikiran Ibnu Taimiyah dan mendalami Tauf serta mengajarkan
masyarakat untuk zuhud kepada Allah . Ilmu zuhud ini memungkinkan
seseorang lebih cenderung menghindari kehidupan yang bersifat
duniawi, hal lantaran yang mereka cari yaitu hakikat dari hidup itu
sendiri melalui pengembaraan spiritual. Biasanya yang melakukan itu
akan berkhalwat atau melakukan penyendirian untuk menggapai nikmat
Allah seperti yang dilakukan oleh Rasulullah di Gua Hira. Cara berpikir
inilah yang sempat menghinggapi Muhammad Rasyid Ridha selama
menempuh pendidikan. Melalui Syaih al-Jisr Pula-lah Muhammad
Rasyid Ridha mendalami tauf dan tauf Imam Ghazali dengan bukunya
Ihya Ulumiddin dari Syaikh Abdul al-Ghani al-Rafi‟i.
Setelah belajar di Madrasah al-Wathaniyah al-Islamiyah,
Muhammad Rasyid Ridha melanjutkan pendidikan ke Madrasah
arRahbiyyah dan meraih ijazah „Alamiyah. Setelah itu ai mendalami
tarekat asy-Syadziliyah di Syaikh Abdul al-Ghani al-Rafi‟i dan syaikh
Muhammad al-Qawqaji dan mendapat ijazah Dala‟I al-Khairat. Selain
tauf, Muhammad Rasyid Ridha juga mendalami sastra dan bahasa
Arab, tarekat Naqsyabandi, Ubudiyah, Zuhud dan praktik ibadah secara
lahiriyah, kemudian hadis, fikih Syafi‟i dari Mahmud Nasyabah.
Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa setelah
pengetahuan Muhammad Rasyid Ridha dirasa sudah matang, ia pun
memberikan pengetahuan itu kepada masyarakat.
Setelah beberapa lama menjadi seorang muballigh di tanah
kelahirannya. Ia pun menemukan lembaran majalah al-Urwah al-
Wutsqa. Dengan majalah itu berbagai perubahan yang telah ia lakukan.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa ia mengalihkan
perhatiannya setelah menelaah majalah al-Manar itu, awalnya ia
memusatkan perhatiannya terhadap tauf, kemudian ia mendalami ilmu
pengetahuan umum seperti matematika dan fisika. Membela agama
secara utuh, mengamalkan ajaran Islam secara kaffah, membela tanah
air sebagai bentuk kecintaan terhadap agama yang dibawanya.
Muhammad Rasyid Ridha sangat terpengaruh oleh Ihya Ulum ad
Din karya al-Ghazali. Kitab Ihya Ulum ad-Din membantu membentuk
pandangannya bahwa umat muslim harus secara sadar menghayati
(menginternalisasikan) keimanannya, dan melampaui ketaatan-ketaatan
lahiriyah belaka, serta harus selalu menyadari implikasi etis dari
tindakan-tindakannya. Kitab Ihya Ulum ad-Din mendorong
Muhammad Rasyid Ridha muda untuk berkonsentrasi kepada persiapan
spiritual untuk kehidupan akhirat. Kitab ini tidak hanya
menarikminatnya untuk berulang kali membacanya, tetapi telah
menjadi gurunya yang pertama dalam membentuk kepribadiannya.
Sewaktu dalam pengaruh al-Ghazali itulah, kata Muhammad Rasyid
Ridha ia mengikuti tarekat Naqsyabandiyyah, mengamalkan
ajaranajarannya, dan melaksanakan latihan-latihan „uzlah yang sangat
berat. Beberapa tahun kemudian setelah tekun menjalani kehidupan sufi
dan mengamalkan ajaran-ajaran tarekat, Muhammad Rasyid Ridha
menyadari banyakanya bidah dan khurafat yang ada dalam ajaran-
ajaran tauf dan tarekat ini . sebab itu, ajaran-ajaran ini
ditinggalkannya. Bahkan, sikapnya terhadap ajaran-ajaran tauf dan
tarekat, tidak hanya sampai disitu, tetapi ia membimbing
masyarakatnya agar meninggalkan ajaran-ajaran yang telah bercampur
baur dengan bidah dan khurafat ini . Yaitu dengan membuka
pengajian untuk kaum pria dan pengajian untuk kaum wanita,
menebang pohon- pohon yang dianggap keramat dan membawa berkah,
dan melarang masyarakat mencari berkah dari kuburan-kuburan para
wali atau bertawasul dengan para wali yang telah wafat.
Perubahan sikap Muhammad Rasyid Ridha terhadap ajaran tauf
dan tarekat muncul setelah ia mempelajari kitab-kitab hadits dengan
tekun. Perubahan sikapnya terhadap ajaran-ajaran ini semakin
terlihat dengan jelas setelah ia terpengaruh oleh ide-ide pebaharuan
74
Syekh Jamal al-Din al-Afghani dan Syekh Muhammad Abduh yang
dimuat dalam majalah al-„Urwah al-Wutsqa yang mereka terbitkan di
Paris, Prancis. Muhammad Rasyid Ridha mulai membaca majalah
ini saat ia masih belajar di Tripoli.
Melalui Tafsirnya, yaitu al-Manar Muhammad Rasyid Ridha
berupaya mengaitkan ajaran-ajaran Al-Qur'an dengan masyarakat dan
kehidupan serta menegaskan bahwa Islam yaitu agama universal dan
abadi, yang selalu sesuai dengan kebutuhan manusia disegala waktu
dan tempat. Muhammad Rasyid Ridha memiliki visi bahwasanya “umat
Islam harus menjadi umat yang merdeka dari belenggu penjajahan dan
menjadi umat yang maju” sehingga dapat bersaing dengan umatumat
lain dan bangsa-bangsa barat diberbagai bidang kehidupan, seperti
politik, ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Muhammad Rasyid Ridha merupakan pendakwah Islam yang
menyeru agar tidak terbelakang. Di masanya memang Islam berada
dalam masa yang kurang baik, umat Islam kala itu sangat terbelakang
dalam bidang pendidikan.18 Muhammad Rasyid Ridha yaitu penerus
Afgani dan Abduh, meskipun tentu ada perbedaan di antara
mereka. Tahun 1912, Muhammad Ridha mendirikan sebuah lembaga
pendidikan yang bernama Madrasah al-D ‟w h w l-Irsyad di
Kaherah, Mesir. Melalui lembaga ini, Ridha merealisasikan
pemikirannya yang progresif itu, melakukan sebuah integrasi ilmu
pengetahuan antara ilmu pengetahuan agama dan ilmu umum
sebagaimana yang telah dipaparkan di bagian sebelumnya. Tujuan
Muhammad Ridha ini juga merupakan tujuan dari Muhammad Abduh
yang tidak lain yaitu guru dari Muhammad Ridha, tujuannya a dalah
ingin menghilangkan pemikiran masyarakat yang tidak terbuka
terhadap dunia modern yang di bawa oleh Barat, mereka yang menolak
menganggapnya bid‟ah dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tahun
1920, Muhammad Ridha kembali Mesir, tahun 1935 wafat.
Kehidupannya berakhir saat dalam perjalanan pulang dati kota
Suez di Mesir. Setelah mengantar pangeran Su‟ud al-Faishal, mobil
yang dikendarainya mengalami kecelakaan dan ia menderita geger
otak. Dikisahkan bahwa selama dalam perjalanan beliau membaca Al-
Qur'an walau ia telah sekian kali muntah. Setelah memperbaiki
posisinya, tanpa disadari orang-orang yang menyertainya, tokoh ini
wafat denga wajah yang sangat cerah disertai senyuman. Pada 23
Jumadil Ula 1354 H, bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M. Semasa
hidup Rasyīd Ridhā bisa dikatakan sangat produktif. Disebab kan
beliau banyak menghasilkan karya tulis, serta dapat mencetuskan ide-
ide pembaharuan untuk kepentingan umat Islam.
6. Profil, Sejarah dan Metodologi Tafsir Al-Manar
Tafsir al-Manar sebagai “Kitab tafsir satu-satunya yang
menghimpun riwayat-riwayat yang shahih dan pandangan akal yang
tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah syariah serta sunnatullah
(hukum Allah yang berlaku) terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi
Al-Qur'an sebagai petunjuk untuk seluruh manusia, disetiap waktu dan
tempat, serta membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan
kaum Muslim dewasa ini (pada masa diterbitkannya) yang telah
berpaling dari petunjuk itu, serta (membandingkan pula) dengan
keadaan para salaf (leluhur) yang berpegang teguh dengan tali hidayah
itu. Tafsir ini disusun dengan redaksi yang mudah sambal berusaha
menghindari istilah-istilah ilmu dan teknis sehingga dapat dimengerti
oleh orang awam tetapi tidak dapat diabaikan oleh orang-orang khusus
(cendekiawan). Itulah cara yang ditempuh oleh filosof Islam al-Ustadz
al-Imam Muhammad Abduh dalam pengajaran di al-Azhar.”19
Tafsir al-Manar pada dasarnya merupakan hasil karya tiga orang
tokoh Islam, yaitu Jamal al-Din al-Afghani, Syekh Muhammad Abduh,
dan Rasyid Ridho.20 Adapun ketiga tokoh diatas merupakan tokoh
reformis yang sangat populer di Mesir saat itu, tokoh reformis yang
pertama (Jamal al-Din al-Afghani) merupakan sang pelopor gerakan
reformis ini bahkan menjadi inspirator bagi Muhammad Abduh dalam
merumuskan gerakan pembaharuan dalam Islam, kemudian
Muhammad Abduh menularkan gagasannya ini kepada Rasyid
Ridha melalui ceramah dan karya yang diciptakan oleh Muhammad
Abduh dengan Jamal al-Din al-Afghani yaitu al-Urwah al-Wutsqa,
yang didalamnya ada beberapa penafsiran yang berbedan dengan
tafsir Al-Qur'an yang berkembang dimasa-masa sebelumnya, lalu
kemudian Rasyid Ridha melanjutkan gerakan reformis ini melalui
karya yang dia ciptakan melalui hasil inspirasi dari sang guru
Muhammad Abduh yang kita kenal sebagai Tafsir al-Manar.
Tafsir al-Manar yang bernama Tafsīr Al-Qur'an al-Ḥakim
merupakan penisbatan atas majalah yang diterbitkan oleh Rasyīd ridha.
Berjumlah dua belas jilid. Tafsir ini bertujuan untuk memberikan
pemahaman bagi umat Islam bahwa Kitabullah merupakan sumber
ajaran agama Islam yang dapat memberikan petunjuk bagi umat
manusia. Tafsir al-Manar memperkenalkan dirinya sebagai kitab satu-
satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahih dan pandangan
akal yang tegas, yang menjelaskan hikmahhikmah syariah serta
sunatullah (hukum-hukum Allah) kepada manusia dan menjelaskan
fungsi Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia.21
Tafsir al-Manar merupakan tafsir yang paling populer. Yang
mulanya merupakan sebuah majalah yang menyajikan tentang
problematika sosial, budaya dan agama. Namun setelah dikaji ulang
serta dengan persetujuan gurunya yakni Abduh, Rasyīd ridhā dapat
mempublikasikan artikel ini dalam bentuk kajian tafsir. Tafsir ini
disusun dengan redaksi yang mudah serta menghindari istilah-istilah
ilmu dan teknis sehingga dapat dimengerti oleh orang-orang awan.
Tetapi tidak dapat diabaikan oleh orang-orang khusus (cendikiawan).
Secara khusus tidak ada literatur yang menjelaskan mengenai
penulisan Tafsir al-Manar ini, Tafsir al-Manar ini berasal dari tiga
gagasan tokoh yaitu Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, dan
Muhammad Rasyid Ridha. Akan tetapi, berdasarkan terbitan bahwa
tafsir al-Manar ini ditulis oleh Rasyid Ridha.22 Hemat peneliti, tafsir ini
memang memiliki prinsip paling dasar dari Jamaluddin al-Afgani,
dengan alasan Muhammad Abduh maupun Muhammad Rasyid Ridha
yaitu murid ideologis Afgani. Begitupun dengan Muhammad Abduh
yang menulis sebagian dari tafsir ini, dari surah al-Fatihah sampai surah
an-Nisa ayat 126, selebihnya ditulis oleh Muhammad Rasyid Ridha
sampai surah Yusuf. Beberapa sumber seperti yang telah dipaparkan
oleh peneliti bahwa tafsir ini dilanjutkan oleh Hasan al-Banna, akan
tetapi jika merujuk pada terbitan dari tafsir ini, maka jumlahnya pun
seperti di keterangan sebelumnya yaitu hanya sampai ditulis oleh
Muhammad Rasyid Ridha sampai surah Yusuf.
Gerakan Jamaluddin al-Afgani yang berusaha membangun
kebangkitan ilmiah umat Islam, dengan begitu, kesadaran Islam akan
budaya ilmiah ini akan terasa. Muhammad Abduh pun mengambil dan
meneruskan pemikiran Jamaluddin al-Afgani kemudian diajarkan pula
di Universitas al-Azhar kepada mahasiswa dan murid-muridnya,
termasuk di dalamnya Muhammad Rasyid Ridha.23 Muhammad Rasyid
Ridha yaitu murid yang paling menonjol di antara murid-muridnya
yang lain. Ridha pun termasuk murid yang sangat cerdas dan loyal
kepada Muhammad Abduh, hal ini bisa disebabkan oleh keinginan
awalnya yang ingin berguru kepada Jamaluddin al-Afgani, akan tetapi
tidak kesampaian sebab Afgani wafat sebelum bertemu. Ridha pun
menjadikan Abduh sebagai langkah kedua sebab Abduh yaitu bagian
dari murid Afgani yang masyhur.
Ajaran-ajaran Muhammad Abduh di al-Azhar pun dicatat oleh
muridnya yang telaten Ridha untuk dijadikan sebuah kumpulan tulisan
yang utuh, kelak akan dikenal sebagai tafsir al-Manar. Ridha termasuk
pewaris tunggal terhadap khazanah ilmu Muhammad Abduh, bukan
tanpa alasan, Ridha seperti cloning dari Muhammad Abduh dari segi
pemikiran di bidang agama, pendidikan, politik, dan sosial
kemasyarakatan yang sama-sama mengedepankan akal sebagai alat
untuk menganalisis praktik-praktik agama dan menjadikan pendidikan
umum, ilmu profan, ilmu pasti, dan pengetahuan alam sebagai
pengetahuan yang harus dipadukan dengan pendidikan Islam di era
modern ini. Adapun tulisan-tulisan yang telah ditulis oleh Muhammad
Rasyid Ridha selama menjadi murid di al-Azhar itu dikoreksi oleh
Abduh sebagai afirmasi bahwa apa yang ditulisnya itu sudah sesuai
dengan apa yang disampaikannya. Meskipun penulisan Abduh pun
tidak sampai 30 juz, tetapi sudah cukup untuk dijadikan kajian yang
mendalam dan berpengaruh di dalam dunia pendidikan Islam.24
Muhammad Rasyid Ridha termasuk penyelamat karya-karya
Muhammad Abduh sebagai pemikir, tanpa Rasyid Ridha, belum tentu
saat ini umat Islam dapat menikmati pemikiran Muhammad Abduh.
Muhammad Abduh yaitu pemikir yang terbilang tokoh yang memiliki
karya yang sedikit jika dihitung dari tingkat pengaruhnya di dunia
Islam. Dewasa ini akan memunculkan sebuah pertanyaan, kenapa
Muhammad Abduh hanya memiliki sedikit karya padahal Abduh itu
yaitu seorang jurnalis dan pernah aktif di Majalah al-Manar yang
diterbitkan dan disebarkan di Prancis. Hal ini disebabkan oleh kesukaan
terhadap metode ceramah lebih disukai oleh Muhammad Abduh dari
pada metode tulisan.25
Tafsir al-Manar yaitu tafsir yang satu-satunya menghimpun
riwayat sahih dan pandangan akal yang tegas, menjelaskan hikmah
syari‟at, serta sunatullah yang berlaku. Menjelaskan tentang fungsi Al-
Qur'an . Tafsir ini berusaha menghindari diksi yang sulit, tafsir ini
mudah dipahami oleh awam.26Apabila dilihat dari kuantitas tulisan,
maka tafsir ini sebenarnya lebih cocok dinisbahkan kepada Muhammad
Rasyid Ridha, sebab jumlah yang ditulis oleh Ridha lebih banyak
daripada Abduh. Maka dari sudut pandang ini, tidak salah apabila
Tafsir al-Manar ini disebut sebagai tafsir karya al-Manar. Akan tetapi,
jika dilihat dari pokok pikiran, tafsir ini yaitu karya tiga tokoh
sekaligus, Afgani, Abduh, dan Ridha. Pokok pikiran yang paling
menonjol dalam tafsir ini yaitu pemikiran Muhammad Abduh, selain
mendengarkan langsung dari al-Azhar, Ridha juga membaca majalah
sebelumnya untuk dijadikan referensi menulis tafsir al-Manar ini.
Muhammad Rasyid Ridha mengatakan “aku berkata” sebelum
menguraikan pendapat Muhammad Abduh.27
Bagian awal dari tafsir ini berisi tentang pemikiran pembaharuan
yang telah diusung oleh Muhammad Abduh.28 Untuk sistematika
penulisan tafsir al-Manar ini menggunakan sistematika mushafi.
Penafsiran ayat ini sangat sistematis dari awal hingga akhir. Penulisan
tafsir ini menggunakan perbandingan dengan ayat lain, menggunakan
beberapa riwayat sebagai penguat tulisan. Tafsir ini juga memuat
asbabun nuzul dalam beberapa pemaparannya. Penulisan tafsir ini
hemat peneliti juga sedikit mengandung unsur tematik dalam metode
penafsirannya. Selain itu, tafsir al-Manar juga menjelaskan beberapa
kata dalam satu ayat agar pembaca memahami epistemologis objek
yang sedang dibahas. Tujuannya tentu menyamakan persepesi
pembaca. Seperti contoh, tafsir al-Manar menjelaskan tentang apa itu
Khalifah, maka tafsir ini menjelaskan maksud khalifah secara panjang
lebar, kemudian menjelaskan maksud ayat secara umum. ada juga
penafsiran yang bersifat global yaitu penafsiran secara umum, bahkan
hanya memiliki beberapa kalimat saja. Hal ini bisa jadi sebab sudah
dibahas di ayat sebelumnya atau di ayat lain seperti pembahasan
tentang yang iman yang dibahas dalam beberapa ayat dalam Al-Qur'an .
Penafsiran tafsir al-Manar ini disebut fenomenal sebab berbeda
dengan karya-karya pendahulunya.29 Tafsir al-Manar disajikan secara
modern. Menurut Husain al-Dzahabi, tafsir al-Manar ini menggunakan
metode sosial kemasyarakatan.30 Tafsir al-Manar yaitu tafsir yang
sangat agung jika merujuk objek pembahasannya. Tafsir al-Manar
membahas tentang modernitas, yaitu pembahasan berangkat dari
masalah-masalah sosial keagamaan, kemudian menggunakan akal dan
wahyu sebagai standar untuk penafsiran. Sama seperti tafsir lainnya
yang ditulis oleh Taba‟tabai dan tafir Mustafa al-Maraghi. Tafsir ini
kemudian menjadi referensi bagi para pemikir modern umat Islam di
dunia, termasuk di dalamnya Indonesia. Para pelajar Indonesia belajar
di al-Azhar, kemudian kembali ke Indonesia dengan corak pemikiran
yang modern, sebagian dari mereka membawa pemikiran yang lebih
konservatif (pelajar yang berasal dari kota lain). Tokoh-tokoh pemikir
Indonesia seperti Harun Nasution dan sejarawan Islam Azyumardi Azra
banyak mengutip tafsir al-Manar sebagai bahan kajian pendidikan
Islam di era modern. Seperti yang peneliti pernah ungkapkan bahwa
tafsir ditulis oleh tiga orang secara prinsip pemikiran yang progresif,
juga berpengaruh terhadap lahirnya Bangsa Indonesia, hal ini
disebab kan pemikiran Soekarno yang menjadi proklamator bangsa
Indonesia turut membaca pemikiran Muhammad Abduh melalui tafsir
al-Manar ini dan karya Abduh lainnya. Soekarno pun pernah
mengatakan dalam bukunya Dibawah Bendera Revolusi jilid 1 bahwa
Muhammad Abduh itu sebagai pahlawan Islam.
Jika dilihat dari sudut pandang lain, Jamaluddin al-Afgani,
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha hidup saat memasuki abad
modern dan menjadikannya tokoh yang merespons dengan baik,
meskipun karya-karya mereka tidak dapat dinikmati secara keseluruhan
sebab faktor intervensi sejarah, karya Tafsir al-Manar memiliki dasar
pemikiran sebab interaksi mereka terhadap dunia modern, sekaligus
faktor internal Islam yang sangat sulit untuk diubah paradigma mereka
mengenai ilmu pengetahuan modern kala itu. Mereka saat itu
beranggapan bahwa pintu ijtihad telah ditutup sehingga tidak perlu
dimodernisasi. Di sisi lain, Bangsa Eropa semakin maju dari segi ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sebagian besar dari umat Islam lebih
memiliki taqlid terhadap produk ulama salaf secara umum dan hanya
sebagian dari mereka termasuk golongan tajdid. Sebagaimana yang
telah dipaparkan sebelumnya bahwa serapan ilmu pengetahuan dari
Barat tidak harus diterima secara keseluruhan, akan tetapi dilakukan
standarisasi.
Pengetahuan teknologi, materialisme dan lainnya
diinterpretasikan ke dalam Islam seperti yang pernah dilakukan umat
Islam di masa dahulu terhadap filsafat Yunani, mereka berhasil
mengalahkan peradaban yang berjaya melalui interpretasi ilmu
pengetahuan. Di masa modern, dapat dilihat kemajuan dari Bangsa
Eropa sebagai hasil dari kekalahan umat Islam dan keberhasilan mereka
melakukan westernisasi ilmu pengetahuan umat Islam. Kondisi ini
menyebabkan tokoh pembaharu Islam mengharuskan menulis karya
80
yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan umum yang dikombinasikan
dengan ilmu pengetahuan Islam. Salah satunya yaitu tafsir al-Manar.
Itulah mengapa tafsir ini menggunakan metode pendekatan adabi
ijtima‟i, menggunakan metode ini sebagai respons yang seharusnya
dilakukan masyarakat terhadap dunia modern. Tafsir ini juga
menggunakan metode tafsir tahlili, hal ini tidak terlepas dari keluasan
ilmu yang dimiliki oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha di
bidang ilmu pengetahuan umum dan Islam secara khusus. Penafsiran
tahlili ini dapat dilihat dari penafsiran Surat al-Baqarah/2: 30-36.
Sekaligus menjadi objek penelitian dalam tulisan ini, di sana dijelaskan
secara luas, dikaitkan dengan ayat lain tentang khalifah, kemudian
menggunakan riwayat yang terkait dengan ayat ini . Selain itu,
tafsir ini menggunakan kerasionalitasannya sebagai upaya memahami
suatu dengan ayat yang lain. Ia juga menggunakan tafsir terdahulu
sebagai bahan referensi. Tafsir semacam ini disebut juga tafsir
tajzi‟ah.31 Dengan penjelasan ini, jelas bahwa Metode mushafi ini
sangat cocok disematkan terhadap tafsir al-Manar. 32
Secara global, tafsir ini menggunakan metode tahlili sama seperti
tafsir lainnya. Hal ini apabila dilihat dari sisi metodologi penelitian
tafsir. Akan tetapi, ada titik penekanan dalam al-Manar ini yaitu
bukan hanya faktor linguistik, bukan hanya faktor bahasa yang
menjadikan tafsir ini berbeda dengan tafsir lainnya. Tafsir ini mencoba
mengaitkan dengan persoalan-persoalan modern saat ini, termasuk di
dalamnya persoalan pendidikan. Inilah yang menjadikan tafsir ini
disebut tafsir yang bercorak adabi ijtima‟i. Dari al-Manar, umat Islam
menilai bahwa Al-Qur'an bukan hanya sebagai kitab suci yang
memiliki bahasa dengan sastra tinggi, akan tetapi, Al-Qur'an sebagai
pedoman hidup manusia. Titik inilah yang menjadikan tafsir ini sebagai
cikal bakal lahirnya tafsir modern.33 Adapun ciri-ciri dari adabi ijtima‟I
ini yaitu adanya aspek prioritas dalam ketelitian redaksi ayat-ayat Al-
Qur'an diungkapkan dengan bahasa yang menarik dan dihubungkan
dengan hukum-hukum alam.34 (Menengenai corak tafsir akan dibahas
lebih luas di bagian selanjutnya).
Memahami ayat dengan bahasa yang mudah menjadi aspek yang
diperhatikan dalam penulisan tafsir al-Manar ini, penulis tafsir sangat
memperhatikan aspek balagahnya. Sehingga tujuan utama
diturunkannya Al-Qur'an itu dapat diraih yaitu sebagai pedoman umat
manusia. Bukan berarti tanpa al-Manar maka Al-Qur'an akan terlepas
dari fungsi utamanya sebagai petunjuk umat manusia. Tafsir al-Manar
hanyalah salah satu tafsir Al-Qur'an yang benar yaitu Al-Qur'an itu
sendiri. Sedangkan, tafsir yang notabene yaitu karya manusia suatu
saat tidak relevan dengan kondisi masyarakatnya.
Muhammad Abduh memiliki metode dan ciri-ciri pokok untuk
menafsirkan Al-Qur'an yang kemudian diikuti oleh Muhammad Rasyid
Ridha. Pernyataan ini bisa menjadi penyangkal bahwa perbedaan
penafsiran yang ditulis secara langsung oleh Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridha itu sama atau persis sama. Ciri-ciri ini sebagai
berikut;35
a. Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan yang serasi;
b. Ayat Al-Qur'an bersifat universal;
c. Al-Qur'an yaitu sumber akidah dan hukum;
d. Penggunaan akal dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an ;
e. Bersikap hati-hati dan teliti terhadap penggunaan hadis Rasulullah ;
dan
f. Bersikap teliti dan hati-hati terhadap pendapat para sahabat.
Tafsir al-Manar yaitu tafsir modern yang menjadi cikal bakal
tafsir modern. Tafsir ini bukan berarti tidak merujuk pada tafsir
sebelumnya. Beberapa tafsir yang menjadi rujukan tafsir al-Manar
yaitu tafsir al-Kasyaf karya Abu al-Qasim Mahmud ibn Umar az-
Zamakhsyari yang ditulis pada abad ke-12, tafsir ath-Thabari yang
ditulis oleh Abu Jafar Muhammad bin Jarir ath-Thabari yang terdiri
dari 26 jilid, tafsir al-J mi‟ fi hk m Al-Qur'an yang ditulis oleh Abu
Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn al-Farid al-Anshari AL-Hazraji
al-Andalusi al-Qurthubi atau yang lebih dikenal Imam al-Qurhubi,
Tafsir al-Kabir yang ditulis oleh Fakhruddin Razi pada abad ke-12,
Ta‟wil Musykil Al-Qur'an yang ditulis oleh Abu Muhammad Abdullah
ibn Muslim ibn Qutaybah ad-Dinawari, Tafsir al-Alusi yang ditulis oleh
Mahmud al-Alusi pada abad ke-19, Tafsir al-Bahr al-Muhith yang
ditulis oleh Abu Hayyan al-Gharnathi, Tafsir ibn Katsir yang ditulis
oleh Ismail bin Katsir, M hits fi „ulum Al-Qur'an yang ditulis oleh
Subhi Ibrahim ash-Shalih, Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul yang
ditulis oleh Rahman bin Abu Bakar al-Suyuti, Asbab an-Nuzul karya
al-Wahidi, Ijazah Al-Qur'an , dan al-Burhan fi „Ulum Al-Qur'an yang
ditulis oleh Badruddin Muhammad bin Abdullah.36
Terkait dengan sumber penafsiran al-Manar, oleh Muhammad
Abduh mengatakan tidak dapat diraih dengan mudah, tetapi masih
sangat relevan dengan apa yang menjadi tujuan dari penulisannya.
Dalam tafsir ini ada dua yang menjadi sumber penafsiran yaitu
pengetahuan kebahasaan yang terdiri dari ilmu semantik dan ilmu
sastra, ilmu semantik ini bertujuan untuk mengetahui arti kata bahasa
Arab dari lidah Arab secara langsung, kajian ini memungkinkan
peneliti menanyakan secara langsung terhadap orang-orang Arab, jika
merujuk pada rujukan sekunder belum tentu benar, atau merujuk pada
perkataan orang, tidak bisa dijadikan standar dalam penelitian.
Sebabnya yang lain yaitu adanya kata yang digunakan dalam bahasa
Arab dan pewahyuan yang memiliki arti lebih dari satu, inilah alasan
kajian ini sangat penting. Cara terbaik untuk menafsirkan kata-kata
dalam ayat Al-Qur'an yaitu menafsirkan berdasarkan ayat itu sendiri.
Kajian bahasa lain yaitu sastra, kajian sastra yaitu kajian yang
berusaha mengetahui gaya bahasa dalam teks Al-Qur'an , meskipun
bahasa yang digunakan Al-Qur'an tidak akan mampu dipahami secara
sempurna, paling tidak mendekati kebenaran apalagi, ayat-ayat yang
mengandung unsur mutasyabihat. Ayat seperti ini bisa benar-benar bisa
dipahami apabila melalui proses ilham dari Allah . Kedua, sumber
penafsiran yang kedua yaitu pengetahuan sosio-historis, pengetahuan
penulis tafsir al-Manar sangat mumpuni di bidang sosial dan sejarah.
Sehingga pada bagian ini memiliki tiga kajian, yaitu kajian tentang
kehidupan manusia sepanjang sejarah, kajian tentang latar belakang
mengapa manusia diberi petunjuk, kemudian, kajian tentang nabi dan
sejarahnya.
Penulisan Tafsir al-Manar memiliki beberapa keunikan, terutama
penulis yang lebih dari satu meskipun pada akhirnya kebanyakan
terbitan tafsirnya memakai nama Muhammad Rasyid Ridha sebagai
penulis tafsir al-Manar ini. Tafsir yang ditulis lebih dari satu orang juga
berlaku pada tafsir Jalalain, tafsir ini ditulis oleh Jalaluddin al-Mahalli
dan Jalaluddin as-Suyuti. Tafsir Jalalain memiliki kesamaan dengan
tafsir al-Manar dari segi jumlah penulisnya. Al-Manar memiliki
perbedaan pendapat tentang siapa yang paling berhak. Akan tetapi,
hemat peneliti penulis tafsir al-Manar berdasarkan ilmu penulisan
yaitu Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Sedangkan,
Menurut prinsip berpikirnya Jamaluddin al-Afgani juga termasuk di
dalamnya sebab Abduh dan Ridha merupakan anak ideologi Afgani.
Dari beberapa penulis ini tentu berada dalam situasi yang berbeda,
bedanya kondisi masyarakat dalam merespons khazanah Islam. Dari
semua perbedaan yang ada di masyarakat, ada sebuah persamaan
secara garis besar yaitu tafsir al-Manar ini berangkat dari kegelisahan
penulis tafsir dari kehidupan modern yang belum mampu dihadapi oleh
umat Islam. Sehingga melahirkan corak yang berbeda dengan karya
tafsir lain.
Peneliti menggunakan persepsi sebagai seorang peneliti, maka
tafsir ini hanya ditulis oleh dua orang saja. Muhammad Abduh yang
memiliki praktik ibadah berdasarkan fikih imam Syafi‟i. Tafsir ini
membahas lebih banyak tentang persoalan sosial masyarakat, tidak
heran, tafsir ini pun dinamakan tafsir yang bercorak Adabi Ijtima‟i.
Metode Adabiy Ijtima‟iy yaitu metode yang berorientasi
kemasyarakatan, budaya, dan sastra. Salah satu ciri-cirinya yaitu lebih
mementingkan keindahan teks dan keindahan redaksi bahasa teks.37
Muhammad Abduh memiliki kecenderungan terhadap aliran
Mu‟tazilah yang rasional. Inilah yang menjadi penyebab Abduh ditolak
di al-Azhar sebab dikira akan melahirkan kembali pemahaman
Mu‟tazilah. Hal ini pula lah yang menjadikan tafsir ini istimewa.
Dampak aliran Mu‟tazilah ini menjadikan tafsir al-Manar lebih rasional
serta menjadikan Muhammad Abduh lebih objektif sebab tidak terikat
pada aliran tertentu.
Sebagaimana pada bahasa sebelumnya bahwa corak tafsir al-
Manar ini dapat dilihat dari ketelitian redaksi ayat-ayat Al-Qur'an ,
maknanya dapat dipahami secara menarik dan indah, ayat-ayat yang
ditafsirkan mencoba untuk dihubungkan dengan hukum-hukum alam
yang berlaku. Dalam penyampaian makna dari tafsir ini, tidak
samasekali ayat yang terlewatkan, semua dibahas ayat per-ayat, tidak
ada yang terlewat seperti yang ada dalam karya sastra ada yang
didahulukan dan ada yang diakhirkan. Menurut Abduh, Al-Qur'an itu
bukan kitab sya‟ir, melainkan kitab yang bersumber dari ilahi. Al-
Qur'an sudah disusun rapi dan sistematis, penafsiran dalam al-Manar
tidak mungkin di susun secara terbalik atau melakukan sebuah
pemaksaan. Redaksi Al-Qur'an itu sangat serasi, dari sinilah tafsir al-
Manar sebagai tafsir adabi ijtma‟i sebab termasuk ciri khas dari tafsir.
Tindakan membandingkan tafsir al-Manar dengan tafsir lain
yaitu tindakan yang wajar sebab tafsir ini mengandung beberapa hal
pokok yaitu, setiap surat dalam Al-Qur'an yaitu satu kesatuan yang
padu, kandungan ajaran Al-Qur'an berlaku sepanjang masa, Al-Qur'an
merupakan sumber utama syari‟ah dalam Islam, perlunya memberantas
sikap taqlid yang dilakukan oleh umat Islam, perlunya memaksimalkan
akal dan gaya berpikir ilmiah dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an ,
berhati-hati terhadap riwayat israiliat, dan pentingnya menjaga
keteraturan hidup antara masyarakat dengan petunjuk Al-Qur'an .
Pendayagunaan akal dan metode ilmiah inilah yang menjadi ciri khas
dari tafsir al-Manar ini. Tafsir al-Manar ini sangat menghargai potensi
akal yang dimiliki oleh manusia, secara khusus untuk memahami Al-
Qur'an dan hadis Rasulullah. Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh
Abdul al-Hay al-Farmawi terkait dengan metode tafsir dan penafsiran
Al-Qur'an, al-Farmawi membagi metode itu menjadi empat bagian
yaitu metode tematik, metode analisis, meotde komparatif, dan metode
global. Metode analis yang dimaksud al-Farmawi itu terdiri dari
berbagai macam, salah satunya yaitu corak budaya kemasyarakatan
atau al-adabîy alijtima‟i. Corak ini memprioritaskan ketelitian terhadap
redaksi ayat-ayatnya kemudian menyusun ayat-ayatnya dengan
menonjolkan nilai-nilai Al-Qur'an. Kemudian, menghubungkan ayat-
ayat ini dengan hukum-hukum yang berlaku. Tafsir al-Manar
menghindari istilah-istilah yang akan membingungkan masyarakat,
istilah yang dimaksud yaitu istilah yang tidak umum dipakai.
Sehingga tafsir ini mudah dipahami oleh khalayak.
B. M. Quraish Shihab
1. Biografi M.Quraish Shihab
M. Quraish Shihab lahir di Rappang, Sidenreng Rappang,
Sulawesi Selatan, pada tanggal 16 Februari 1944.38 Beliau dibesarkan
ditengah keluarga ulama yang cendikia dan saudagar yang sangat
kental dengan beragam ilmu-ilmu keislaman seperti tafsir dan ilmu-
ilmu Al-Qur‟an.39 Saudara-saudara M. Quraish Shihab terkenal menjadi
ilmuan seperti KH. Umar Shihab (kakaknya) dan Alwi Shihab
(adiknya). Adiknya ini yaitu peraih dua gelar Doktor dari Universitas
„Ayn Syams Mesir dan Universitas Temple Amerika Serikat.40
M. Quraish Shihab mempunyai nama lengkap Muhammad M.
Quraish Shihab yaitu anak keempat dari Prof. KH. Abdurrahman
Shihab, seorang guru besar ilmu tafsir dan pernah menjadi Rektor
Universitas Muslim Indonesia (UMI) pada tahun 1959-1965 M, dan
Rektor IAIN Alauddin Makassar tahun 1972- 1977.41 Masa kecil M.
Quraish Shihab dihabiskan dilingkungan keluarganya yang sangat
religius, sebagaimana pernyataan Ishlah Gusman dalam bukunya:
“Sejak kecil, M. Quraish Shihab telah menjalani pergumulan dan
kecintaan terhadap Al-Qur'an. Pada umur 6-7 tahun, oleh ayahnya,
ia harus mengikuti pengajian Al-Qur'an yang diadakan oleh
ayahnya sendiri. Pada waktu itu selain menyuruh membaca Al-
Qur'an , ayahnya juga menguraikan kisah-kisah dalam Al-Qur'an .
Dari sinilah menurut M. Quraish Shihab, benih-benih kecintaannya
terhadap Al-Qur'an mulai tumbuh”.42
Selain mendapatkan pendidikan dari orang tuanya, masa kecil M.
Quraish Shihab juga tidak terlepas dari pendidikan formal. Sekolah
dasar dengan nama sekolah rakyatlah yang menjadi pendidikan formal
pertama dalam kehidupan M. Quraish Shihab. Dintara pendidikan
formal M. Quraish Shihab dan pendidikan keluarga, yang ditanamkan
oleh keluarganya terlebih ayahandanya, maka pendidikan
keluarganyalah yang paling berpengaruh bagi M. Quraish Shihab
dikemudian hari.43 Bagi M. Quraish Shihab, ayahandalah yang
memberikan dorongan kepadanya sehingga ia memiliki semangat
mencari ilmu yang luar biasa. Nasehat-nasehat Abdurrahman Shihab
selalu ia ingat hingga ia dewasa, bahkan hingga saat ini.44Kecintaan
yang tulus sang ayah sebagai orang tua yang mampu menghantarkan
M. Quraish Shihab sebagai intelektual dan pakar tafsir terkemuka di
Indonesia di abad ini. Ketulusan hati sebagaimana dipesankan oleh
ayahandanya untuk selalu mengkaji Al-Qur'an selalu ia ingat, hingga
dari sinilah kecintaan M. Quraish Shihab terhadap studi Al-Qur'an
tertanam kuat dan lebih serius dalam mempelajari kandungan-
kandungan Al-Qur‟an dan berbagai aspeknya.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di daerah
kelahirannya, kemudian M. Quraish Shihab melanjutkan pendidikan
menengahnya di Malang yakni nyantri di Pondok Pesantren Dar al-
Hadîts al-Faqihiyyah yang merupakan pondok penghafal dan pengkaji
hadits-hadits nabi. Di pesantren inilah M. Quraish Shihab memperoleh
pengetahuan tentang hadits langsung dari pengasuhnya Habib Abdul
Qadir Bilfaqih. Dari gurunya inilah M. Quraish Shihab mendapat
banyak wawasan keagamaan yang memadai sebab kearifan dan
keluasan ilmu agama sang Habib. Kedekatan M. Quraish Shihab
kepada sang habib memberikan dampak pengetahuan yang tinggi
kepadanya terlebih pengetahuan tentang tata cara bersikap, berperilaku,
serta pengetahuan dibidang hadits, fiqh, syari‟ah dan lainnya.45
Pengetahuan yang didapat M. Quraish Shihab dari gurunya ini
merupakan bimbingan dasar yang sangat berpengaruh. Bahkan dalam
karyanya yang berjudul logika Agama, secara singkat M. Quraish
Shihab menjelaskan tentang keterpengaruhan kuat oleh kedua gurunya
yaitu Habib Abdul Qadir Bilfaqih dan Syaikh Abdul Halim Mahmud.
Dari gurunya inilah yang banyak mewarnai masa remaja M. Quraish
Shihab, ia pun menjelaskan tentang sifat arif, keikhlasan dalam
menyebarkan pengetahuan gurunya ini didalam bukunya. M. Quraish
Shihab begitu merasakan kuatnya pengaruh gurunya ini sehingga
dimasa-masa sulit, ia selalu teringat oleh gurunya ini.46
Setelah menamatkan kuliahnya selama empat tahun, pada tahun
1967 M. Quraish Shihab mendapatkan gelar Licence (Lc).47Kemudian
ditahun yang sama ia melanjutkan ke jenjang strata dua dengan
konsentrasi dan almamater yang sama yaitu Universitas Al-Azhar
dengan kembali memilih konsentrasi konsentrasi tafsir. Kuliahnya di
strata dua ini ia selesaikan dengan sukses pada tahun 1969 dengan
mendapat gelar MA untuk spesialisasi tafsir Al-Qur'an dengan tesis
berjudul “ l-I'jâz al-Tasyri' li Al-Qur'ân al-Karîm.48 Perjalan M.
Quraish Shihab di Al-Azhar sampai menghantarkannya memperoleh
gelar MA ini, banyak difokuskan di bidang hafalan, sehingga banyak
dari hadits maupun pelajaran fiqh dengan berbagai mazhab
dikuasainya. Hal ini semakin menambah banyak pengetahuannya
tentang berbagai ilmu-ilmu keislaman.49 Setelah menyelesaikan studi
Masternya M. Quraish Shihab kembali lagi ke daerah asalnya Ujung
Pandang. Disini ia dipercaya untuk menduduki jabatan Wakil Rektor
Bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alaudin Ujung
Pandang. Disamping menduduki jabatan formal, M. Quraish Shihab
juga sering mewakili ayahnya untuk menjalankan tugas-tugas tertentu.
Selain itu, ia juga diamanahkan beberapa jabatan penting lainnya,
seperti pembantu pimpinan kepolisian Indonesia Timur dalam bidang
pembinaan mental, Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertais)
Wilayah VII Indonesia Bagian Timur dan sederet jabatan penting
lainnya. Bahkan disela-sela kesibukannya, ia masih sempat
merampungkan beberapa tugas penelitian diantaranya ialah Penerapan
Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia tahun 1975, dan masalah
Wakaf Sulawesi Selatan ditahun 1978.
Sepuluh tahun lamanya, M. Quraish Shihab mengabdikan dirinya
di IAIN Alaudin Ujung Pandang dan mendarma baktikan ilmunya
kepada masyarakat. Meskipun ia telah menduduki sejumlah jabatan,
semangat M. Quraish Shihab untuk melanjutkan pendidikan tetap
menyala-nyala. Ayahnya berpesan agar ia berhasil meraih gelar Doktor.
Oleh sebab itu saat kesempatan untuk melanjutkan studi itu datang,
tepatnya pada tahun 1980, M. Quraish Shihab kembali ke Kairo dan
melanjutkan pendidikan di almamaternya Universitas Al-Azhar. Dua
tahun lamanya ia menimba ilmu disana, dan pada tahun 1982 ia
berhasil meraih gelar Doktor untuk spesialisasi tafsir Al-Qur'an dengan
predikat Summa Cum Laude atau Mumtâz ma'a Martabat al-Syarâf al-
Ulâ (penghargaan tingkat 1) dengan judul disertasinya “N zm l-Durâr
li al- iq ‟i: T hq q w l-Dirâsah.
M. Quraish Shihab yaitu orang Asia Tenggara pertama yang
berhasil meraih gelar Doktor dengan nilai istimewa.50 Sekembalinya
dari Kairo pada tahun 1983, M. Quraish Shihab kembali ke tempat
tugas semula. Tidak sampai dua tahun di IAIN Alaudin Ujung
Pandang, pada tahun 1984 ia hijrah ke Jakarta dan ditugaskan pada
Fakultas Ushuluddin dan Program Pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Disana ia aktif mengajar bidang tafsir dan Ilmu-
ilmu Al-Qur'an. Selain mengajar, ia juga dipercaya untuk menduduki
sejumlah jabatan, seperti ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat
sejak tahun 1984, anggota Badan Lajnah Pentashih Al-Qur'an
Departeman Agama sejak 1989, anggota Badan Pertimbangan
Pendidikan Nasional sejak 1989.
Dalam organisasi-organisasi profesi, ia duduk sebagai Pengurus
Perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah, Pengusrus Konsorsium Ilmu Agama
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan saat Ikatan
Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) berdiri, M. Quraish Shihab
dipercaya menduduki jabatan sebagai asisten Ketua Umum.51
Disamping kesibukannya sebagai pendidik, pada tahun 1992, ia
mendapat kepercayaan menduduki jabatan Rektor IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta selama dua periode sampai tahun 1998. Setelah itu
pada tahun 1998, M. Quraish Shihab diangkat oleh PresidenSoeharto
sebagai Menteri Agama RI Kabinet Pembangunan VII. Namun jabatan
penting ini tidak berlangsung lama, sebab pemerintahan Soeharto kala
itu dituntut agar segera lengser seiring terjadinya pergolakan politik
yang kuat terhadap dirinya. Hal inilah yang menyebabkan kabinet yang
baru dibentuk oleh Presiden harus dibubarkan. Termasuk posisi
Menteri Agama yang baru dijabat oleh M. Quraish Shihab.52
Setelah lengsernya Soeharto dari kursi Presiden tahun 1998,
tampuk kepemimpinan Presiden Republik Indonesia digantikan oleh
B.J Habibie. Pada masa pemerintahannya, M. Quraish Shihab
mendapat kepercayaan sebagai Duta Besar RI untuk negara Republik
Arab Mesir, sekaligus merangkap untuk Negara Somalia, dan Republik
Jibouti yang berkedudukan di Kairo. Pada saat menjadi duta besar
inilah M. Quraish Shihab banyak meluangkan waktu untuk menulis
karya monumentalnya Tafsir Al-Mishbâh.
2. latar belakang historis dan sosiologis pemikiran M.Quraish Shihab
Muhammad M. Quraish Shihab yaitu seorang ulama sekaligus
ahli tafsir kontemporer pada masa modern sekarang ini. Selain itu,
beliau juga aktif dalam menulis dan berceramah di media elektronik,
seperti televisi. Kecintaannya terhadap bidang tafsir Al-Qur`an sudah
ada dalam dirinya sejak kecil, sebab banyaknya nasihat dari ayahnya
berupa ayat-ayat Al-Qur`an. Kemudian pada umur 6-7 tahun beliau
sudah diharuskan untuk mendengar ayahnya mengajar Al-Qur`an,
bahkan pada umur 9 tahun beliau sudah terbiasa mengikuti ayahnya
saat mengajar. Hal ini lah yang menjadi salah satu motivasi
beliau untuk menjadi seorang mufasir.
Muhammad M. Quraish Shihab juga banyak terlibat dalam
beberapa organisasi profesional antara lain yaitu Pengurus
Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari‟ah, pengurus Konosorium Ilmu-ilmu
Agama Departemen Pendidikan, asisten ketua umum Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan di sela-sela kesibukannya,
Ia juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah. Kemampuannya dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an ke dalam konteks masa kini
membuatnya lebih unggul daripada ahli tafsir lainnya. Beliau lebih
menekankan tafsirnya terhadap metode maudhu‟i atau metode yang
cenderung mengangkat tema-tema yang ada dalam Al-Qur`an.
Beliau menuturkan, hendaknya dalam menafsirkan Al-Qur`an
tidak terpaku terhadap teks yang ada.53 Akan tetapi lebih baik untuk
melihat secara kontekstual dengan menggali latar belakang dari adanya
suatu ayat, sebab jika dilihat secara tekstual saja, maka ayat ini
akan cenderung monoton dan makna yang tersembunyi di dalamnya
tidak tersampaikan. Quraish mengingatkan, sudah saatnya para
pemimpin umat meninggalkan wacana soal Khilafiyah (perbedaan)
mazhab yang berpotensi memecah belah. “bukankah banyak hal yang
lebih penting, seperti menegakkan keadilan yang menjadi inti ajaran
agama, atau mendorong upaya pemberantas korupsi.
Berkaca pada latar sosiologis pendidikan M. Quraish Shihab di
atas, paling tidak ada tiga orang guru utama yang mendominasi
pemikiran M. Quraish Shihab, yakni:
a. Habib Abdurrahman Shihab bin Habib Ali
yaitu seorang sosok ayah merangkap sebagai guru untuk M.
Quraish Shihab. Habib Abdurrahman Shihab lahir di Makassar 1915
sebagai seorang keturunan Arab bermarga Shihab. Putra seorang
juru dakwah dan pendidikan asal Hadramaut yakni Habib Ali bin
Abdurrahman Shihab yang kemudian hijrah ke Jakarta. Melalui
tempaannya sebagai seorang yang sangat multitasking lahirlah sosok
kepribadian seperti M. Quraish Shihab dan saudara-saudara Beliau
lainnya yang berkicmpung di berbagai subkehidupan sosial dan
subkeilmuan tanpa sedikitpun pertentangan dan memang inilah
pendidikan moderasi yang diajarkan oleh Habib Abdurrhaman
kepada putra-putrinya.54
b. Habib Abdul Qadir Bilfaqih
Habib Abdul Qadir Bilfaqih bin Ahmad bin Muhammad bin
Ali bin Abdullah yaitu seorang ulama ahli hadits yang lahir di
Tarim, Hadramaut, Yaman pada 5 Juli 1898 atau 15 Shafar 1316 H.
Mendapatkan tempaan pendidikah dari ayahnya langsung Habib
Ahmad bin Muhammad Bilfaqih dan beberapa ulama terkemuka
Hadramaut seperti Habib Abdullah umar asySyathiri, Habib Segaf
bin Hasan al-Aydrus, Syekh Umar bin Hamdan al-Maghribi, Habib
Muhammad bin Ahmad alMuhdhar, Syekh Abdurrahman Baharmuz
dan ulama lainnya membuat kedalaman keilmuan dari Habib Abdul
Qadir Bilfaqih tidak diragukan lagi. 1919 M Beliau mendirikan
lembaga pendidikan di Yaman bernama Jam‟iyyat al-Ukhwah wa al-
Mu‟awwanah dan Jam‟iyyat an-Nashr wa al-Fadhail bersama ulama
lainnya. Pada tahun itu pula Beliau memulai rangkaian perjalanan
dakwahnya, dimulai dari melaksnakan ibadah Haji dan Ziarah ke
Makam Rasulullah untuk kemudian berkelana ke negara-negara
seperti Maroko, Suriah, Mesir dan banyak negara lainnya hingga
pada akhirnya melabuhkan hatinya untuk berjuang dan berkhidmat
di Indonesia dengan mendirikan Pondok Pesantren Darul Hadits al-
Faqihiyyah di Malang. Pernah menjadi kepala sekolah di Solo dan
Surabaya sebagai kota pertama persinggahan Beliau. Habib Abdul
Qadir juga dikenal sebagai seorang pendakwah yang giat salah
satunya di Masjid Agung Jami‟ Kota Malang dan diangkat menjadi
dosen ahli tafsir pada 1960 di IAIN Sunan Ampel, Malang (waktu
itu belum ada UIN Malang dan merupakan cabang dari IAIN Sunan
Ampel). Melihat biografinya, Habib Abdul Qadir yaitu seorang
dai, guru, akademisi dan pendidik yang luar biasa, tidak bisa
dipungkiri karakter Beliau terwariskan dalam pribadi muridnya M.
Quraish Shihab. Beliau Habib Abdul Qadir pernah berkata bahwa
seluruh hidupnya sudah diwakafkan untuk pendidikan dan dakwah.55
c. Syekh Abdul Halim Mahmud
Syekh Abdul Halim Mahmud yaitu seorang pemikir penting
dan kenamaan dalam sejarah pemikiran Islam di Mesir khsusunya
dalam bidang tauf. Grand Syaikh al-Azhar 1973-1978 ini yaitu
seorang doktor dalam Studi Islam di Universitas Sorbon, Perancis.
Dikenal sebagai tokoh yang cukup lantang dalam memberikan kritik
terhadap pahampaham keagamaan yang berkembang saat itu.
Ghazali Mesir dan Abû al-„Ârifîn yaitu julukan yang dialamatkan
kepada Beliau dari para kaum sufi Mesir saat itu. Beliau lahir pada
1910 atau lima tahun setelah wafatnya Muhammad Abduh. Secara
lingkungan boleh jadi Abdul Halim banyak bersinggungan dengan
pemikiran atau murid-murid dari Abduh tetapi orientasi
pemikirannya cenderung tradisionalis konservatif sekalipun Beliau
yaitu lulusan Barat. Beliau memandang modernisasi yang
berkarakter rasionalis dan sekularis sebagai sebuah proses yang
dapat menghancurkan struktur dan tata nilai klasik masyarakat Arab.
Abdul Halim memegang peranan besar sebagai tokoh yang
membangkitkan kembali tauf di kalangan kelas terdidik Mesir lewat
puluhan karyanya yang memperkenalkan kembali tokoh-tokoh
spiritual terdahulu seperti Dzun an-Nun al-Misri, Abu Hasan asy-
Syadzili, Ibn Mubarak dan lainnya.
3. Karya-karya M. Qu
.jpeg)
