makna ahl alkitab 3

makna ahl alkitab 3


 


ah dan keyakinan yang sesuai dengan ajaran Islam. 

Untuk mengembalikan itu semua, perlu sebuah upaya yang 

berangkat dari dalam hati, bukan berdasarkan akal atau rasional. 

Inilah yang upaya besar yang dilakukan oleh Rasyid Ridha yaitu 

menyatukan semua umat Islam di bawah satu keyakinan, sistem 

moral, pendidikan dan sistem hukum. 

Selanjutnya bentuk negara, bentuk negara yang diusung oleh 

Muhammad Rasyid Ridha yaitu  negara yang dipimpin oleh seorang 

khalifah. Hukum dan undang-undang itu akan dijalankan oleh khalifah 

ini . Inti dari pelaksanaan pemerintahan yang diusung oleh Rasyid 

Ridha ini  sesuai dengan sistem kekhalifahan di masa dulu dan 

diterapkan di masa sekarang. Hemat penulis, di sini Muhammad Rasyid 

Ridha belum menjelaskan secara rinci seperti sistem yang dimaksud, 

sebab  di masa dahulu pun (setelah Khulafaurasyidin) belum ada sistem 

pemerintahan (kerajaan) yang terpusat di satu khalifah. Muhammad 

Rasyid Ridha mengakui kemajuan Barat, akan tetapi tidak menerima 

sistem pemerintahan mereka yang berbentuk kebangsaan. Sistem yang 

diharapkan oleh Rasyid Ridha yaitu  sistem yang terpusat pada 

Khalifah yang dibantu oleh para ulama untuk mengurusi umat. 

Khalifah harus memiliki sifat mujtahid dan tidak boleh absolut.  

Muhammad Rasyid Ridha memberikan harapan kepada kerajaan 

Utsmani mengenai sistem pemerintahan Islam yang terpusat pada satu 

khalifah, akan tetapi, saat itu Turki sudah dikuasai Mustafa Kemal 

Attaturk yang menghancurkan harapan Ridha. Sejak dipimpin oleh 

Mustafa Kemal Attaturk, Turki berubah menjadi negara yang berbentuk 

Republik. Pemikiran Muhammad Rasyid Ridha secara garis besar ada 

tiga yaitu di bidang agama, politik, dan pendidikan. Di bidang agama 

seperti yang dipaparkan sebelumnya yang mengomentari pernyataan 

kalam ulama dahulu, sifat Tuhan, posisi akal dan wahyu dan lainnya. 

Dari segi politik telah dipaparkan juga bahwa Rasyid Ridha 

menginginkan sistem politik yang pemerintahannya sama seperti sistem 

pemerintahan di masa dahulu. Ia pun memberikan harapan pada 

pemerintahan utsmani. Di bidang pendidikan, Muhammad Rasyid 

63 

 

Ridha tidak berbeda jauh dengan gurunya, Muhammad Abduh, yaitu 

ingin mengembangkan pendidikan Islam dengan integrasi pendidikan 

Islam dan pendidikan umum, kurikulum, dan kelembagaannya. Kata 

Ridha, Islam harus mampu menerima peradaban Barat dan pendidikan 

Barat dalam artian pendidikan itu telah disaring dan sudah di 

Islamisasi. Inilah yang harus dilakukan oleh Umat Islam dalam 

merespons pendidikan Islam terhadap dunia modern menurut 

Muhammad Rasyid Ridha. Ia pun menyatakan menerima peradaban 

Barat yaitu  kunci untuk bersaing dengan peradaban Barat. Cara untuk 

menerimanya yaitu  dengan mempelajarinya melalui pendidikan dan 

ilmu teknologi. Ilmu pengetahuan umum dan teknologi tidak 

bertentangan dengan Islam. 

3. Karya-karya Muhammad Rasyid Ridha 

Sebagai pemikir Islam yang erat kaitannya dengan Jamaluddin 

alAfgani dan Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha tentu tidak 

berbeda jauh dengan pendahulunya secara pemikiran dan karya, Ridha 

juga memiliki karya yang tidak kalah banyak dengan Muhammad 

Abduh, berikut yaitu  karya Muhammad Rasyid Ridha. 

a. Tarikh Ustadh Al-Imam Al-Sy ikh Muh mm d „  duh ( iogr fi 

Imam Muhammad Abduh);  

b. Nid ‟ li Jins al-Latif;  

c. Al-Wahyu Muhammadi (Wahyu Nabi Muhammad); 

d. Yusr Al-Islam wa Usul At-T shri„  l-„ m (Kemud h n  sl m d n 

Prinsip-prinsip Umum d l m Sy ri‟ t);  

e. Al-Khilafah wa Al-Imamah Al-„Uzm  (Kh lif h d n  m m y ng 

Besar);  

f. Muhawarah Al-Muslih wa Al-Muqallid Dialog Antara Kaum 

Pembaharu dan Konservatif);  

g. Zikra Al-Maulid an-Nabawiy (Memperingati Hari Kelahiran Nabi 

Muhammad);  

h.   quq  lM r‟ h  s-Salihah (Hak-hak Wanita Muslim).9 

b. Al-Hikmah al-Sy r‟iyy h f  Muhk m t  l-Zahriyyah wa alRifaiyyah; 

a. al-Azhar dan al-Manar; 

b. Risāl h  ujj h  l- slām  l-Gazali; 

c. al-Sunnah wa al-Sy ‟ h; 

d. al-Wahdah al-Islamiyyah; 

e.   q q h Ri ā; 

f. Majalah al-M nār; d n 

g. Al-Khilāf h10 

                                        

 

 

Karya Muhamamad Rasyid Ridha tergolong mengalami 

pergeseran corak sebab  awalnya dipengaruhi oleh pemikiran Tauf 

yang mengajak masyarakat untuk meninggalkan kehidupan dunia 

dalam arti kufur kepada Allah dan mewajibkan umat Islam untuk 

menuntut ilmu sebanyak-banyaknya termasuk ilmu pendidikan Barat 

seperti sains dan teknologi. 

4. Peran Rasyid Ridha di Masyarakat 

Muhammad Rasyid Ridha memiliki peran yang sangat penting di  

masyarakat, seperti yang dilakukan oleh gurunya Muhammad Abduh. 

Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afgani terbilang masih cukup 

modern jika dibandingkan dengan Muhammad Rasyid Ridha. Kenapa 

disebut lebih modern dan kenapa Muhammad Rasyid Ridha tidak lebih 

modern dari segi sosial kemasyarakatan-sosial politik? Muhammad  

Abduh dan Jamaluddin al-Afgani lebih dinamis dan menerima materi 

pendidikan Barat dengan syarat telah di islamisasi dan materi Barat itu 

telah di interpretasi dalam dunia Islam. Muhammad Rasyid Ridha yang 

lebih dikenal pendakwah juga memberikan sumbangsih pemikiran di 

bidang sosial kemasyarakatan dan bagaimana harusnya diaplikasikan. 

Ridha masih mengharapkan kembalinya sistem pemerintah pada masa 

Utsmani yaitu sistem kekhalifahan. Sistem ini  tidak sesuai dengan 

sistem yang berkembang di dunia Islam yang berlaku di abad Modern. 

Inilah alasan kenapa Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afgani 

disebut lebih modern dibandingkan dengan Rasyid Ridha.  

Sikap Muhammad Rasyid Ridha terhadap masyarakat sangatlah 

ramah terhadap agama-lain. Hal ini disebabkan oleh lingkungan Rasyid 

Ridha yang sejak kecil sudah ditanami nilai-nilai toleransi yang tinggi 

melalui pendidikan ayahnya. Sejak kecil pendidikan melalui ayahnya 

sangat mempengaruhinya. Apabila hari-hari besar Islam tiba, maka 

para pemuka agama akan terlihat di rumah Rasyid Ridha. Keteduhan 

akan terasa apabila hari-hari besar agama lain tiba. Inilah yang dilihat 

Muhammad Rasyid Ridha sewaktu kecil. Tidak heran apabila Rasyid 

Ridha toleran. Andaikan saja ayah Rasyid Ridha bersikap eksklusif 

terhadap agama lain, besar kemungkinan Rasyid Ridha hanya akan 

memiliki pengaruh yang sedikit sebab  sikap paling benar sendiri 

terhadap suatu tindakan. Memang sikap fanatik yaitu  sikap yang tidak 

cocok untuk diterapkan, dalam kebaikan apalagi keburukan. Ini yaitu  

sebuah sikap yang dimiliki sebagian umat Islam yang menjadikan umat 

Islam tidak bisa menghadapi perkembangan zaman modern seperti 

sekarang ini. Guru Rasyid Ridha Syaikh Husain al-Jisr sempat 

65 

 

mendirikan sekolah modern di Qalamun.11 Qalamun merupakan tempat 

tinggal Muhammad Rasyid Ridha.  

Sikap toleran yang ditunjukkan Muhammad Rasyid Ridha tidak 

hanya ditunjukkan pada masyarakat secara umum saja, akan tetapi juga 

diterapkan terhadap para pendeta dan para Ahl al-Kitâb. Saat-saat 

berdiskusi dengan agama lain terkait sistem pemerintahan Islam yang 

diinginkannya, Rasyid Ridha tidak mempersoalkan masalah tentang 

agama lain, meskipun yang diinginkan oleh Ridha yaitu  sistem 

khilafah atau sistem pemerintahan Islam yang sempat berharap pada 

kekuasaan Turki Utsmani kala itu. Namun, harapannya tidak sampai. 

Ridha memperbolehkan agama selain Islam hidup berdampingan dalam 

sistem pemerintahan Islam yang diusungnya. Selama non Islam 

ini  tidak memerangi Umat Islam. 

Gerakan Bawah Tanah Majalah al-„Urw   l-Wuthqa wa al-

Thawrah al-Tahririyyah al-Kubra yaitu  majalah pergerakan yang 

dikeluarkan di Paris tahun 1884 M. Majalah ini termasuk wadah untuk 

menentang tirani kala ini, itulah mengapa ia ada di Paris. Disebutnya 

al-Urwa al-Wutsqa (tali buhul yang kukuh) sebab  memang menjadi 

gerakan melalui tulisan khusus untuk menentang kekuasaan yang tidak 

dengan ajaran Islam kala itu. Majalah yang dirintis oleh Jamaluddin al-

Afgani ini  diteruskan perannya sebagai media perjuangan oleh 

Muhammad Rasyid Ridha. Majalah ini membawa sebuah jiwa 

perjuangan, perjuangan pendahulu mereka, Afgani dan Abduh. Ide 

mereka memberantas Bid‟ah, dan persoalan yang bertentangan dengan 

Islam. Majalah ini benar-benar menjadi wadah perjuangan secara diam-

diam sebab  berusaha mempengaruhi masyarakat luas melalui tulisan 

ini . Tulisan ini  sebenarnya ditujukan kepada penguasa yang 

sewenang-wenang menduduki bangsa lain untuk menghasilkan sebuah 

keuntungan sebab  alam, aset, dan lain-lain. Perjuangan mereka tidak 

pernah hilang dalam ingat umat Islam hingga saat ini sebab  model 

penjajahan dan pembodohan itu masih terus terjadi. Seperti yang 

disebutkan oleh Kosugi Yasushi, Jurnal pertama yang menyuarakan 

aspirasi dan perjuangan yaitu  majalah yang dirintis oleh Muhammad 

Abduh dan Rasyid Ridha ini . Apa yang dilakukan oleh Rasyid 

Ridha telah sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Muhammad Abduh 

dan Jamaluddin al-Afgani. Majalah ini benar-benar memberikan 

ancaman yang nyata bagi pemerintah kolonial kala itu sehingga 

penyebarannya pun dibatasi di kalangan umat Islam. Dalam majalah ini 

mengandung dua unsur dari segi perjuangannya, di awal-awal 

                                        

 

perjuangan Afgani dan Abduh, mereka memiliki perbedaan arah 

gerakan meskipun tujuannya sama, Jamaluddin alAfgani leibh 

menginginkan perubahan secara politik atau revolusi sedangkan 

Muhammad Abduh menginginkan perubahan sumber daya manusianya 

atau melakukan sebuah evolusi pada masyarakatnya. Tetapi, keduanya 

sama-sama ingin memperjuangan umat Islam dari keterpurukan. 

Dampaknya ke Rasyid Ridha yaitu  Ridha sangat tertarik dengan 

pemikiran keduanya, dari segi sistem pemerintahan, Ridha lebih 

cenderung ke Jamaluddin al-Afgani. Sedangkan dari segi pendidikan, 

Ridha lebih cenderung ke Muhammad Abduh. 

Pengaruh kedua tokoh terhadap Muhammad Rasyid Ridha sangat 

besar melalui majalah al-Manar. ada  beberapa hal yang menjadi 

sorotan Ridha dalam majalah ini  sehingga akhirnya memutuskan 

untuk bergabung dengan Muhammad Abduh dan pergerakan 

Jamaluddin al-Afgani yaitu majalah al-Manar ini memberikan sebuah 

ulasan yang menarik, ulasan membahas tentang persoalan 

kemasyarakatan yang diprioritaskan. Majalah itu memberikan standar 

yang tinggi terhadap ketentuan Allah mengenai hukum-hukum 

kemasyarakatan, sehingga membuat Ridha semakin ingin bergabung 

dengan mereka meskipun Ridha tidak sempat berbagi cerita dengan 

Jamaluddin al-Afgani sebab  wafat. Kedua, Ridha melihat bahwa Islam 

yang diutarakan dalam majalah al-Manar ini menampilkan Islam yang 

rahmatan lil alamin, Islam membahas tentang dunia dan akhirat. 

Tentang kemiliteran, tentang kesehatan, tentang sosial, lebih-lebih 

persoalan agama. Ketiga, dalam majalah ini  tidak diulas tentang 

pemahaman nasionalisme dan kebangsaan. Yang ada yaitu  kesatuan 

atas nama agama, menurut Ridha. 

a. Pengaruh Ideologi  

Pemikiran Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afgani 

memberikan dampak yang sangat besar terhadap Muhammad Rasyid 

Ridha,12 pengaruh ini  dapat memperkuat keyakinan Ridha 

dalam memperjuangkan pembaruan dalam Islam terutama dalam 

bidang pendidikan, politik, dan sosial. Akan tetapi, tanpa Rasyid 

Ridha juga, pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh dan 

Jamaluddin al-Afgani terselamatkan dan dapat dinikmati hingga saat 

ini. Maksudnya yaitu  apabila Ridha tidak menyelamatkan artikel, 

kajian, tulisan Abduh dan al-Afgani, maka ide-ide yang pernah 

ditulis akan hilang. Tentu kejadian seperti ini sangat wajar sebab  

masih berada di bawah pengawasan pemerintahan asing. 

                                        

 

Pemerintahan Eropa yang membuat Timur kala itu tidak bisa berbuat 

banyak sebab  penguasa mereka diperalat. Hal ini pun terjadi di 

Indonesia, karya-karya ulama Indonesia abad 18-19 tidak banyak 

ditemukan sebab  adanya intervensi sejarah oleh Belanda sebagai 

pemerintah yang menduduki di Nusantara. Demikianlah yang terjadi 

di Mesir kala itu, akan tetapi untuk karya Muhammad Abduh dan al-

Afgani melalui majalah al-Manar dapat diselamatkan melalui 

penulisan ulang karya-karya ini . 

Meskipun saat ini masih ada yang tidak ditemukan sebab  

tidak ditemukan teks aslinya. Kembali pada pembahasan ideologi, 

Muhammad Rasyid Ridha kembali merumuskan pemikiran Abduh 

dan al-Afgani kemudian disebarkan secara radikal terhadap kalangan 

masyarakat modern. Pemikiran Muhammad Rasyid Ridha telah 

menyatu dengan pemikiran Muhammad Abduh dalam akidah, 

pikiran, pendapat, akhlak, serta gagasan lainnya terkait dengan 

ideologi. Pengaruh Abduh terhadap Ridha pernah diungkapkan oleh 

Charles C. Adams, ia menyatakan bahwa orang yang menulis karya-

karyanya, biografinya, meneruskan tradisinya, meneruskan 

gagasannya yaitu  Muhammad Rasyid Ridha, ia menyelamatkan 

gagasangagasan cemerlangnya. Ridhalah yang mendengarkan 

ceramah dan kajian Abduh kemudian dinarasikan ulang dan 

disebarkan secara radikal sehingga masih dapat dinikmati hingga 

saat ini. Perubahan yang dialami oleh Ridha ini tentu berawal dari 

majalah yang ditemukan di laci ayahnya, majalah al-Manar. 

Awalnya Ridha sangat dipengaruhi oleh Tauf, setelah itu, gaya 

berpikirnya pun berubah secara drastis dalam hal merespons ilmu 

pengetahuan modern. Prinsip ideologinya masih tetap sama dengan 

apa yang disampaikan oleh Abduh sebab  Ridha juga berperan 

sebagai menafsir dan penyebar karya-karya Abduh. Bahkan 

tafsirannya ini  lebih banyak dari karya Abduh sendiri. Bisa 

dilihat dalam karya tafsir al-Manar. Abduh hanya menulis sampai 

surah an-Nisa, sedangkan Ridha hinga surah Yusuf. Hal inilah yang 

membuat Ridha lebih produktif dan penyelamat karya Abduh 

sebagai seorang pemikir Islam yang modernis. Karya Ridha ini bisa 

dikatakan lebih rapi dan sistematis. Namun bukan berarti Ridha 

tidak lepas dari kritik dari generasi setelahnya, kritik ini  

diarahkan ke Ridha sebab  tidak mampu mempertahankan karya 

Abduh secara masif, akan tetapi Ridha tidak membalas kritikan-

kritikan ini  sebab  menganggap kritikan ini  dangkal. 

b. Fikrah dan Pengaruhnya 

Muhammad Rasyid Ridha meneruskan pemikiran Muhammad 

Abduh yang berasaskan kebebasan dan ijtihad. Kebebasan ini tentu 

68 

 

atas dasar respons terhadap dunia modern yang dianggap tidak 

mampu dihadapi oleh umat Islam kala itu atau bahkan hingga saat 

ini. Ridha berusaha menjelaskan pemikiran filsafat rasionalnya 

Muhammad Abduh serta pengaruh kalam dan kesimpulan 

pengetahuan kalam Muhammad Abduh. Adapun pemikiran Abduh 

yang terinspirasi dari Mu‟tazilah dan sempat ditentang oleh ulama 

tradisional al-Azhar itu juga diselamatkan oleh Rasyid Ridha. 

Muhammad Rasyid Ridha memiliki pengaruh yang luas dan kuat di 

era modern. Pengaruh itu lahir dari al-Manar yang mempengaruhi 

pelajar-pelajar di seluruh dunia yang belajar di al-Azhar. Begitupun 

dengan orang-orang Minangkabau yang pernah menempuh 

pendidikan di al-Azhar dan al-Haramain. Inilah yang membuat tafsir 

al-Manar memiliki pengaruh yang sangat kuat di Indonesia sebab  

para pelajar di masa dulu berangkat ke sana untuk menimba ilmu. 

Yang dibawa hanyalah ilmu. Walaupun realitanya ada  pelajar 

yang berasal dari nusantara membawa dampak negatif bagi kesatuan 

dalam bernegara di Indonesia masa dulu bahkan sekarang. 

 Arus modernisme di Timur Tengah ini  tidak dapat 

dibendung, hal ini sebab  kepopuleran tafsir al-Manar yang cukup 

memberikan pemahaman yang dalam terkait arus modern, meskipun 

tafsir al-Manar tidak sampai 30 juz penuh.13 Semangat perjuangan 

modernitas di abad 19 membawa angin segara bagi yang mengikuti 

Muhammad Abduh yang merespons positif modernisme, hal ini 

sebab  tafsir itu sangat cocok untuk dijadikan referensi bagi mereka 

yang cinta ilmu pengetahuan dan Islam yang rahmatan lil alamin. 

Para pelajar nusantara telah mengangkat derajat dan martabat orang 

Melayu. Para pelajar ini  tidak hanya merespons positif dengan 

menyebarkan ide-ide pembaruan yang berasal dari al-Manar. 

Mereka para pelajar dari Timur itu juga mengaplikasikannya ke 

dalam dunia pendidikan di Melayu. Ini yaitu  hasil yang diinginkan 

oleh Muhammad Rasyid Ridha dan tentunya Muhammad Abduh 

sebagai tokoh pembaharu di dunia Islam Pengaruh al-Manar di 

Indonesia dan Malaysia terbilang cukup signifikan sebab  pelajar 

mereka dasarnya belajar di al-Azhar, al-Azhar yang telah mamasuki 

babak baru di era modern telah mempengaruhi mereka. Mereka pun 

memberikan dampak yang signifikan terhadap perkembangan dunia 

modern dan respons orang melayu terhadap dunia modern 

mengalami perkembangan, hal itu bisa dilihat dari cara berpikir 

mereka mengenai pendidikan Islam di dunia modern yang tidak lagi 

 

menggunakan sistem yang tradisional meskipun sebagian masih 

dapat ditemui di beberapa lokasi.  

Pengaruh Muhammad Rasyid Ridha begitu besar. Hal bisa saja 

dari ilham tafsir al-Manar yang penuh dengan nilai perjuangandan 

metodologi sosial kemasyarakatan yang dikandungnya. Metodologi 

itu mengandung nilai-nilai yang dekat dengan kehidupan masyarakat 

sehingga mudah dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti 

contoh, umat Islam  dilanda kemiskinan, hal disebabkan oleh 

kurangnya ilmu pengetahuan. ilmu pengetahuan yang dimiliki harus 

mampu dipraktikkan, sehatinya ilmu tentang bagaimana menghargai 

diri, orang lain dan bangsa yaitu  cara manusia untuk hidup 

berkelompok atau hidup secara sosial. Manusia tidak bisa hidup 

sendiri oleh sebab  disebut sebagai makhluk sosial. Ini yaitu  cara 

manusia meningkatkan taraf hidup, dari kemiskinan, ilmu 

pengetahuan, dan pemberantasan kemiskinan. Itulah mengapa tafsir 

al-Manar oleh peneliti sebagai tafsir yang fenomenal. Dari sini saja, 

dapat dilihat pengaruh   Muhammad Ridha membangun sebuah 

terminologi bahwa perempuan layak mendapatkan hak seperti 

halnya laki-laki terlepas dari hukum-hukum alam yang menyertai 

perempuan.14 Keadilan terhadap perempuan mencoba diulas oleh 

Muhammad Rasyid Ridha dalam pendidikan Islamnya. Inilah yang 

dimaksud keadilan gender perspektif Muhammad Rasyid Ridha 

sebagai seorang pembaharu dan pemikir yang menyelamatkan 

karya-karya besar Muhammad Abduh. 

5. Latar Belakang Intelektual dan Pendidikan Rasyid Ridha 

 Muhammad Rasyid Ridha pertama kali belajar di tempat 

lahirnya, al-Kuttab, ia belajar tentang dasar-dasar ilmu pengetahuan 

yang akan menjadi penopang hidupnya. Cara ini hampir dilakukan 

semua tokoh yang berpengaruh. Tokoh yang hebat akan menjadikan 

dirinya sebagai individu yang kuat, sebagaimana yang telah dilakukan 

oleh Rasyid Ridha, ia telah memberikan penopang dirinya di tempat 

lahirnya. Sama seperti yang dilakukan oleh gurunya Muhammad 

Abduh. Ridha pun diajarkan langsung oleh ayahnya tentang sikap-sikap 

yang harus dilakukan saat  hidup berdampingan dengan penganut 

agama lain. Ridha sudah matang akan hal ini sebab  sudah 

menyaksikan sendiri bagaimana sikap yang seharusnya Islam lakukan 

saat  hidup berdampingan dengan agama lain. Ayahnya sendiri yang 

melakukan jadi Ridha dapat menyaksikannya secara langsung. Di 

rumah Ridha saat  hari Besar Islam, maka tidak jarang dari pemuka 

                                        

agama lain atang untuk menjalin silaturrahim. Ayah Ridha tidak 

langsung mengirim ke kota untuk menuntut ilmu sebab  dikhawatirkan 

di kota terpengaruh oleh keadaan sehingga gagal meraih tujuan 

utamanya yaitu menuntut ilmu. Proses yang dilalui yaitu  diberikan 

pemahaman di kampung halaman sebagai dasar dan tiang yang menjadi 

benteng pertahanan, kemudian dikirim ke kota untuk menuntut ilmu 

lebih dalam lagi. 

Semasa kecilnya (usia tujuh tahun), Rasyid Ridha dimasukkan 

oleh orang tuanya ke madrasah tradisional di desanya, Qalmun. Rasyid 

Ridha juga belajar pada sekian banyak guru. Di masa kecil ia belajar di 

taman-taman pendidikan di kampungnya yang saat  itu dinamai 

alkuttab; di sana ia diajarkan membaca Al- Qur‟an, menulis dan 

dasardasar berhitung. Berbeda dengan anak-anak seusianya, Rasyid 

kecil lebih sering menghabiskan waktunya untuk belajar dan membaca 

buku dari pada bermain, dan sejak kecil memang ia telah memiliki 

kecerdasan yang tinggi dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan. 

Setelah menamatkan pelajarannya ditaman-taman pendidikan 

dikampungnya yang dinamai al-Kuttab, Ridha dikirim oleh 

orangtuanya ke Tripoli (Libanon) untuk belajar di Madrasah Ibtidaiyah 

yang mengajarkan ilmu nahwu, sharaf, akidah, fiqih, berhitung dan 

ilmu bumi, dengan bahasa pengantar yaitu  bahasa Turki, sebab  

madrasah ini yaitu  milik pemerintah yang bertujuan untuk 

mempersiapkan sumber daya manusia yang akan menjadi pegawai 

pemerintahan Turki Usmani. Mengingat Libanon waktu itu ada 

dibawah kekuasaan kerajaan Usmani. 

Muhammad Rasyid Ridha tidak tertarik pada sekolah ini , 

setahun kemudian dia pindah ke sekolah Islam Negeri Madrasah 

Wathaniyyah Islamiyyah yang merupakan sekolah terbaik pada saat itu 

dengan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, disamping diajarkan 

pula bahasa Turki dan Prancis. Sekolah ini dipimpin oleh ulama besar 

Syam saat  itu, yaitu Syaikh Husain al-Jisr yang kelak mempunyai 

andil besar terhadap perkembangan pemikiran Ridha sebab hubungan 

keduanya tidak berhenti meskipun kemudian sekolah itu ditutup oleh 

pemerintah Turki. Dari Syaikh inilah Muhammad Rasyid Ridha 

mendapat kesempatan menulis dibeberapa surat kabar Tripoli yang 

kelak mengantarnya memimpin majalah al-Manar. Guru Muhammad 

Rasyid Ridha bernama Syaikh Husain al-Jisr dikenal sebagai ulama 

yang berfikiran modern merupakan pemimpin tarekat Khalwatiyah, 

diketahui pula bahwa gurunya al-Qawaqiji yaitu  seorang pengikut 

Syadziliyah. Selain Syaikh Husain al-Jisr, Muhammad Rasyid Ridha 

juga belajar dari Syaikh Mahmud Nasyabah11 yang ahli dibidang hadis 

dan mengajarnya sampai selesai dan sebab nyalah Muhammad Rasyid 

71 

 

Ridha mampu menilai hadis-hadis yang dhaif dan maudhu sehingga dia 

digelari “Voltaire”nya kaum Muslim sebab  keahliannya 

menggoyahkan segala sesuatu yang tidak benar dalam bidang agama. 

Selama masa pendidikannya, Muhammad Rasyid Ridha membagi 

waktunya antara ilmu dan ibadah pada salah satu masjid milik 

keluarganya, ibunya sempat bercerita: Semenjak Muhammad Rasyid 

Ridha dewasa, aku tidak pernah melihat dia tidur sebab  dia tidur baru 

sesudah kami bangun dan bangun sebelum kami terbangun. Tidak itu 

saja, adiknya, Sayyid Shaleh pernah juga berkata: Aku tadinya 

menganggap saudaraku Muhammad Rasyid Ridha yaitu  seorang 

Nabi. Tetapi saat  aku tahu bahwa Nabi kita Muhammad ., yaitu  

penutup seluruh Nabi, aku menjadi yakin bahwa dia yaitu  seorang 

wali. 

Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang sangat luas, ia 

memanfaatkannya untuk memberikan pengarahaan dan petunjuk 

kepada para sahabatnya. Dalam kegiatannya dia selalu mengamati 

masalahmasalah yang terjadi di kawasan negara tetangga, terutama 

masalah agama kemasyarakatan melalui surat kabar dan majalah. Dia 

begitu tertarik dan terkesan kepada majalah al-Urwah al-Wusqa yang 

dipimpin oleh Jamaluddin al-Afgani dan muridnya Syaikh Muhammad 

Abduh. Pertemuan dengan kedua tokoh itu sangat didambakan dan 78 

dirindukannya, tapi ia begitu menyesal sebab  ia sendiri tak dapat 

bertemu dengan Jamaluddin al-Afgani sebab tokoh ini terburu 

meninggal dunia sebelum ia dapat menemuinya. Akhirnya Muhammad 

Rasyid Ridha berusaha menemui muridnya Syaikh Muhammad Abduh 

dan langsung berangkat ke Mesir pada tahun 1879 M.15 

Muhamad Rasyid Rasyid Ridha pernah menulis; Sesudah belajar 

dasar-dasar bacaan, tulisan dan tulisan indah di Kampung, pada sebuah 

rumah yang di dalamnya ada  berbagai macam buku, tanpa 

memperhatikan urusan dunia dan kurang memperhatikan bermain 

bersama dengan teman-teman sebaya, maka tidak ada di hadapan saya 

sesuatu pun kecuali buku-buku dan saya sanat bangga mempelajarinya. 

Orang tuaku menunda mendaftarkan Saya di Kota sebab  beliau takut 

atas pembentukan akhlak dan pendidikan akan dirusak oleh gaya 

pergaulan penduduk kota. Dengan alasan itu, ayahku kemudian 

penunggu sampai saya memiliki kecerdasan yang dapat menentramkan 

saya.

 

Muhammad Rasyid Ridha pun melanjutkan pendidikan di 

Madrasah Ibtidaiyah, di sini, Ridha mempelajari tentang ilmu 

berhitung, ilmu bumi, akidah, fikih, dan nahwu.17 Kala itu, Muhammad 

Rasyid Ridha juga belajar bahasa Turki, sebab  daerah tempat 

belajarnya kala itu Lubnan masih di bawah kekuasana kerajaan Turki 

Utsmani. Akan tetapi, kenyataannya. Muhammad Rasyid Ridha 

meninggalkan sekolah itu sebab  merasa tidak cocok dan alumnusnya 

itu dipersiapkan untuk menjadi pegawai pemerintah Turki Utsmani. 

Selanjutnya, Muhammad Rasyid Ridha melanjutkan pendidikannya ke 

sekolah yang dianggapnya cocok untuk dirinya, di sana pun ia belajar 

bahasa Arab sebagai bahasa penyampaian materinya. Sekolah itu 

bernama al-Wathaniyah al- Islamiyah yang dipimpin oleh Syaikh 

Husayn al-Jisr. 

Syaikh Husayn al-Jisr memberikan pengetahuan terhadap 

Muhamad Rasyid Ridha seprti ilmu filsafat, ilmu matematika, sains, 

dan ilmu logika secara mendalam. Integrasi ilmu pengetahuan agama 

dan umum sudah di asah di sini, Muhammad Ridha pun memiliki bekal 

untuk bertemu gurunya kelak Muhammad Abduh dan literatur 

Jamaluddin al-Afgani. Pengetahuan Muhammad Ridha ini juga yang 

mengantarkannya mudah menerima ilmu pengetahuan Islam dan ilmu 

pengetahuan modern secara umum. Walaupun sempat mendalami 

pemikiran Ibnu Taimiyah dan mendalami Tauf serta mengajarkan 

masyarakat untuk zuhud kepada Allah . Ilmu zuhud ini memungkinkan 

seseorang lebih cenderung menghindari kehidupan yang bersifat 

duniawi, hal lantaran yang mereka cari yaitu  hakikat dari hidup itu 

sendiri melalui pengembaraan spiritual. Biasanya yang melakukan itu 

akan berkhalwat atau melakukan penyendirian untuk menggapai nikmat 

Allah seperti yang dilakukan oleh Rasulullah di Gua Hira. Cara berpikir 

inilah yang sempat menghinggapi Muhammad Rasyid Ridha selama 

menempuh pendidikan. Melalui Syaih al-Jisr Pula-lah Muhammad 

Rasyid Ridha mendalami tauf dan tauf Imam Ghazali dengan bukunya 

Ihya Ulumiddin dari Syaikh Abdul al-Ghani al-Rafi‟i.  

Setelah belajar di Madrasah al-Wathaniyah al-Islamiyah, 

Muhammad Rasyid Ridha melanjutkan pendidikan ke Madrasah 

arRahbiyyah dan meraih ijazah „Alamiyah. Setelah itu ai mendalami 

tarekat asy-Syadziliyah di Syaikh Abdul al-Ghani al-Rafi‟i dan syaikh 

Muhammad al-Qawqaji dan mendapat ijazah Dala‟I al-Khairat. Selain 

tauf, Muhammad Rasyid Ridha juga mendalami sastra dan bahasa 

Arab, tarekat Naqsyabandi, Ubudiyah, Zuhud dan praktik ibadah secara 

lahiriyah, kemudian hadis, fikih Syafi‟i dari Mahmud Nasyabah. 

Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa setelah 

pengetahuan Muhammad Rasyid Ridha dirasa sudah matang, ia pun 

memberikan pengetahuan itu kepada masyarakat. 

Setelah beberapa lama menjadi seorang muballigh di tanah 

kelahirannya. Ia pun menemukan lembaran majalah al-Urwah al-

Wutsqa. Dengan majalah itu berbagai perubahan yang telah ia lakukan. 

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa ia mengalihkan 

perhatiannya setelah menelaah majalah al-Manar itu, awalnya ia 

memusatkan perhatiannya terhadap tauf, kemudian ia mendalami ilmu 

pengetahuan umum seperti matematika dan fisika. Membela agama 

secara utuh, mengamalkan ajaran Islam secara kaffah, membela tanah 

air sebagai bentuk kecintaan terhadap agama yang dibawanya. 

Muhammad Rasyid Ridha sangat terpengaruh oleh Ihya Ulum ad 

Din karya al-Ghazali. Kitab Ihya Ulum ad-Din membantu membentuk 

pandangannya bahwa umat muslim harus secara sadar menghayati 

(menginternalisasikan) keimanannya, dan melampaui ketaatan-ketaatan 

lahiriyah belaka, serta harus selalu menyadari implikasi etis dari 

tindakan-tindakannya. Kitab Ihya Ulum ad-Din mendorong 

Muhammad Rasyid Ridha muda untuk berkonsentrasi kepada persiapan 

spiritual untuk kehidupan akhirat. Kitab ini  tidak hanya 

menarikminatnya untuk berulang kali membacanya, tetapi telah 

menjadi gurunya yang pertama dalam membentuk kepribadiannya. 

Sewaktu dalam pengaruh al-Ghazali itulah, kata Muhammad Rasyid 

Ridha ia mengikuti tarekat Naqsyabandiyyah, mengamalkan 

ajaranajarannya, dan melaksanakan latihan-latihan „uzlah yang sangat 

berat. Beberapa tahun kemudian setelah tekun menjalani kehidupan sufi 

dan mengamalkan ajaran-ajaran tarekat, Muhammad Rasyid Ridha 

menyadari banyakanya bidah dan khurafat yang ada  dalam ajaran-

ajaran tauf dan tarekat ini . sebab  itu, ajaran-ajaran ini  

ditinggalkannya. Bahkan, sikapnya terhadap ajaran-ajaran tauf dan 

tarekat, tidak hanya sampai disitu, tetapi ia membimbing 

masyarakatnya agar meninggalkan ajaran-ajaran yang telah bercampur 

baur dengan bidah dan khurafat ini . Yaitu dengan membuka 

pengajian untuk kaum pria dan pengajian untuk kaum wanita, 

menebang pohon- pohon yang dianggap keramat dan membawa berkah, 

dan melarang masyarakat mencari berkah dari kuburan-kuburan para 

wali atau bertawasul dengan para wali yang telah wafat. 

Perubahan sikap Muhammad Rasyid Ridha terhadap ajaran tauf 

dan tarekat muncul setelah ia mempelajari kitab-kitab hadits dengan 

tekun. Perubahan sikapnya terhadap ajaran-ajaran ini  semakin 

terlihat dengan jelas setelah ia terpengaruh oleh ide-ide pebaharuan 

74 

 

Syekh Jamal al-Din al-Afghani dan Syekh Muhammad Abduh yang 

dimuat dalam majalah al-„Urwah al-Wutsqa yang mereka terbitkan di 

Paris, Prancis. Muhammad Rasyid Ridha mulai membaca majalah 

ini  saat  ia masih belajar di Tripoli. 

Melalui Tafsirnya, yaitu al-Manar Muhammad Rasyid Ridha 

berupaya mengaitkan ajaran-ajaran Al-Qur'an dengan masyarakat dan 

kehidupan serta menegaskan bahwa Islam yaitu  agama universal dan 

abadi, yang selalu sesuai dengan kebutuhan manusia disegala waktu 

dan tempat. Muhammad Rasyid Ridha memiliki visi bahwasanya “umat 

Islam harus menjadi umat yang merdeka dari belenggu penjajahan dan 

menjadi umat yang maju” sehingga dapat bersaing dengan umatumat 

lain dan bangsa-bangsa barat diberbagai bidang kehidupan, seperti 

politik, ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Muhammad Rasyid Ridha merupakan pendakwah Islam yang 

menyeru agar tidak terbelakang. Di masanya memang Islam berada 

dalam masa yang kurang baik, umat Islam kala itu sangat terbelakang 

dalam bidang pendidikan.18 Muhammad Rasyid Ridha yaitu  penerus 

Afgani dan Abduh, meskipun tentu ada  perbedaan di antara 

mereka. Tahun 1912, Muhammad Ridha mendirikan sebuah lembaga 

pendidikan yang bernama Madrasah al-D ‟w h w   l-Irsyad di 

Kaherah, Mesir. Melalui lembaga ini, Ridha merealisasikan 

pemikirannya yang progresif itu, melakukan sebuah integrasi ilmu 

pengetahuan antara ilmu pengetahuan agama dan ilmu umum 

sebagaimana yang telah dipaparkan di bagian sebelumnya. Tujuan 

Muhammad Ridha ini juga merupakan tujuan dari Muhammad Abduh 

yang tidak lain yaitu  guru dari Muhammad Ridha, tujuannya a dalah 

ingin menghilangkan pemikiran masyarakat yang tidak terbuka 

terhadap dunia modern yang di bawa oleh Barat, mereka yang menolak 

menganggapnya bid‟ah dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tahun 

1920, Muhammad Ridha kembali Mesir, tahun 1935 wafat. 

Kehidupannya berakhir saat  dalam perjalanan pulang dati kota 

Suez di Mesir. Setelah mengantar pangeran Su‟ud al-Faishal, mobil 

yang dikendarainya mengalami kecelakaan dan ia menderita geger 

otak. Dikisahkan bahwa selama dalam perjalanan beliau membaca Al-

Qur'an walau ia telah sekian kali muntah. Setelah memperbaiki 

posisinya, tanpa disadari orang-orang yang menyertainya, tokoh ini 

wafat denga wajah yang sangat cerah disertai senyuman. Pada 23 

Jumadil Ula 1354 H, bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M. Semasa 

hidup Rasyīd Ridhā bisa dikatakan sangat produktif. Disebab kan 

                                        

beliau banyak menghasilkan karya tulis, serta dapat mencetuskan ide-

ide pembaharuan untuk kepentingan umat Islam. 

6. Profil, Sejarah dan Metodologi Tafsir Al-Manar  

Tafsir al-Manar sebagai “Kitab tafsir satu-satunya yang 

menghimpun riwayat-riwayat yang shahih dan pandangan akal yang 

tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah syariah serta sunnatullah 

(hukum Allah yang berlaku) terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi 

Al-Qur'an sebagai petunjuk untuk seluruh manusia, disetiap waktu dan 

tempat, serta membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan 

kaum Muslim dewasa ini (pada masa diterbitkannya) yang telah 

berpaling dari petunjuk itu, serta (membandingkan pula) dengan 

keadaan para salaf (leluhur) yang berpegang teguh dengan tali hidayah 

itu. Tafsir ini disusun dengan redaksi yang mudah sambal berusaha 

menghindari istilah-istilah ilmu dan teknis sehingga dapat dimengerti 

oleh orang awam tetapi tidak dapat diabaikan oleh orang-orang khusus 

(cendekiawan). Itulah cara yang ditempuh oleh filosof Islam al-Ustadz 

al-Imam Muhammad Abduh dalam pengajaran di al-Azhar.”19 

Tafsir al-Manar pada dasarnya merupakan hasil karya tiga orang 

tokoh Islam, yaitu Jamal al-Din al-Afghani, Syekh Muhammad Abduh, 

dan Rasyid Ridho.20 Adapun ketiga tokoh diatas merupakan tokoh 

reformis yang sangat populer di Mesir saat itu, tokoh reformis yang 

pertama (Jamal al-Din al-Afghani) merupakan sang pelopor gerakan 

reformis ini bahkan menjadi inspirator bagi Muhammad Abduh dalam 

merumuskan gerakan pembaharuan dalam Islam, kemudian 

Muhammad Abduh menularkan gagasannya ini  kepada Rasyid 

Ridha melalui ceramah dan karya yang diciptakan oleh Muhammad 

Abduh dengan Jamal al-Din al-Afghani yaitu al-Urwah al-Wutsqa, 

yang didalamnya ada  beberapa penafsiran yang berbedan dengan 

tafsir Al-Qur'an yang berkembang dimasa-masa sebelumnya, lalu 

kemudian Rasyid Ridha melanjutkan gerakan reformis ini  melalui 

karya yang dia ciptakan melalui hasil inspirasi dari sang guru 

Muhammad Abduh yang kita kenal sebagai Tafsir al-Manar. 

Tafsir al-Manar yang bernama Tafsīr Al-Qur'an al-Ḥakim 

merupakan penisbatan atas majalah yang diterbitkan oleh Rasyīd ridha. 

Berjumlah dua belas jilid. Tafsir ini bertujuan untuk memberikan 

pemahaman bagi umat Islam bahwa Kitabullah merupakan sumber 

ajaran agama Islam yang dapat memberikan petunjuk bagi umat 

manusia. Tafsir al-Manar memperkenalkan dirinya sebagai kitab satu-

                                        

 

satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahih dan pandangan 

akal yang tegas, yang menjelaskan hikmahhikmah syariah serta 

sunatullah (hukum-hukum Allah) kepada manusia dan menjelaskan 

fungsi Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia.21 

Tafsir al-Manar merupakan tafsir yang paling populer. Yang 

mulanya merupakan sebuah majalah yang menyajikan tentang 

problematika sosial, budaya dan agama. Namun setelah dikaji ulang 

serta dengan persetujuan gurunya yakni Abduh, Rasyīd ridhā dapat 

mempublikasikan artikel ini  dalam bentuk kajian tafsir. Tafsir ini 

disusun dengan redaksi yang mudah serta menghindari istilah-istilah 

ilmu dan teknis sehingga dapat dimengerti oleh orang-orang awan. 

Tetapi tidak dapat diabaikan oleh orang-orang khusus (cendikiawan).  

Secara khusus tidak ada literatur yang menjelaskan mengenai 

penulisan Tafsir al-Manar ini, Tafsir al-Manar ini berasal dari tiga 

gagasan tokoh yaitu Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, dan 

Muhammad Rasyid Ridha. Akan tetapi, berdasarkan terbitan bahwa 

tafsir al-Manar ini ditulis oleh Rasyid Ridha.22 Hemat peneliti, tafsir ini 

memang memiliki prinsip paling dasar dari Jamaluddin al-Afgani, 

dengan alasan Muhammad Abduh maupun Muhammad Rasyid Ridha 

yaitu  murid ideologis Afgani. Begitupun dengan Muhammad Abduh 

yang menulis sebagian dari tafsir ini, dari surah al-Fatihah sampai surah 

an-Nisa ayat 126, selebihnya ditulis oleh Muhammad Rasyid Ridha 

sampai surah Yusuf. Beberapa sumber seperti yang telah dipaparkan 

oleh peneliti bahwa tafsir ini dilanjutkan oleh Hasan al-Banna, akan 

tetapi jika merujuk pada terbitan dari tafsir ini, maka jumlahnya pun 

seperti di keterangan sebelumnya yaitu hanya sampai ditulis oleh 

Muhammad Rasyid Ridha sampai surah Yusuf. 

Gerakan Jamaluddin al-Afgani yang berusaha membangun 

kebangkitan ilmiah umat Islam, dengan begitu, kesadaran Islam akan 

budaya ilmiah ini akan terasa. Muhammad Abduh pun mengambil dan 

meneruskan pemikiran Jamaluddin al-Afgani kemudian diajarkan pula 

di Universitas al-Azhar kepada mahasiswa dan murid-muridnya, 

termasuk di dalamnya Muhammad Rasyid Ridha.23 Muhammad Rasyid 

Ridha yaitu  murid yang paling menonjol di antara murid-muridnya 

yang lain. Ridha pun termasuk murid yang sangat cerdas dan loyal 

kepada Muhammad Abduh, hal ini bisa disebabkan oleh keinginan 

                                        

 

awalnya yang ingin berguru kepada Jamaluddin al-Afgani, akan tetapi 

tidak kesampaian sebab  Afgani wafat sebelum bertemu. Ridha pun 

menjadikan Abduh sebagai langkah kedua sebab  Abduh yaitu  bagian 

dari murid Afgani yang masyhur.  

Ajaran-ajaran Muhammad Abduh di al-Azhar pun dicatat oleh 

muridnya yang telaten Ridha untuk dijadikan sebuah kumpulan tulisan 

yang utuh, kelak akan dikenal sebagai tafsir al-Manar. Ridha termasuk 

pewaris tunggal terhadap khazanah ilmu Muhammad Abduh, bukan 

tanpa alasan, Ridha seperti cloning dari Muhammad Abduh dari segi 

pemikiran di bidang agama, pendidikan, politik, dan sosial 

kemasyarakatan yang sama-sama mengedepankan akal sebagai alat 

untuk menganalisis praktik-praktik agama dan menjadikan pendidikan 

umum, ilmu profan, ilmu pasti, dan pengetahuan alam sebagai 

pengetahuan yang harus dipadukan dengan pendidikan Islam di era 

modern ini. Adapun tulisan-tulisan yang telah ditulis oleh Muhammad 

Rasyid Ridha selama menjadi murid di al-Azhar itu dikoreksi oleh 

Abduh sebagai afirmasi bahwa apa yang ditulisnya itu sudah sesuai 

dengan apa yang disampaikannya. Meskipun penulisan Abduh pun 

tidak sampai 30 juz, tetapi sudah cukup untuk dijadikan kajian yang 

mendalam dan berpengaruh di dalam dunia pendidikan Islam.24 

Muhammad Rasyid Ridha termasuk penyelamat karya-karya 

Muhammad Abduh sebagai pemikir, tanpa Rasyid Ridha, belum tentu 

saat ini umat Islam dapat menikmati pemikiran Muhammad Abduh. 

Muhammad Abduh yaitu  pemikir yang terbilang tokoh yang memiliki 

karya yang sedikit jika dihitung dari tingkat pengaruhnya di dunia 

Islam. Dewasa ini akan memunculkan sebuah pertanyaan, kenapa 

Muhammad Abduh hanya memiliki sedikit karya padahal Abduh itu 

yaitu  seorang jurnalis dan pernah aktif di Majalah al-Manar yang 

diterbitkan dan disebarkan di Prancis. Hal ini disebabkan oleh kesukaan 

terhadap metode ceramah lebih disukai oleh Muhammad Abduh dari 

pada metode tulisan.25 

 Tafsir al-Manar yaitu  tafsir yang satu-satunya menghimpun 

riwayat sahih dan pandangan akal yang tegas, menjelaskan hikmah 

syari‟at, serta sunatullah yang berlaku. Menjelaskan tentang fungsi Al-

Qur'an . Tafsir ini berusaha menghindari diksi yang sulit, tafsir ini 

mudah dipahami oleh awam.26Apabila dilihat dari kuantitas tulisan, 

                                        

 

maka tafsir ini sebenarnya lebih cocok dinisbahkan kepada Muhammad 

Rasyid Ridha, sebab  jumlah yang ditulis oleh Ridha lebih banyak 

daripada Abduh. Maka dari sudut pandang ini, tidak salah apabila 

Tafsir al-Manar ini disebut sebagai tafsir karya al-Manar. Akan tetapi, 

jika dilihat dari pokok pikiran, tafsir ini yaitu  karya tiga tokoh 

sekaligus, Afgani, Abduh, dan Ridha. Pokok pikiran yang paling 

menonjol dalam tafsir ini yaitu  pemikiran Muhammad Abduh, selain 

mendengarkan langsung dari al-Azhar, Ridha juga membaca majalah 

sebelumnya untuk dijadikan referensi menulis tafsir al-Manar ini. 

Muhammad Rasyid Ridha mengatakan “aku berkata” sebelum 

menguraikan pendapat Muhammad Abduh.27  

Bagian awal dari tafsir ini berisi tentang pemikiran pembaharuan 

yang telah diusung oleh Muhammad Abduh.28 Untuk sistematika 

penulisan tafsir al-Manar ini menggunakan sistematika mushafi. 

Penafsiran ayat ini sangat sistematis dari awal hingga akhir. Penulisan 

tafsir ini menggunakan perbandingan dengan ayat lain, menggunakan 

beberapa riwayat sebagai penguat tulisan. Tafsir ini juga memuat 

asbabun nuzul dalam beberapa pemaparannya. Penulisan tafsir ini 

hemat peneliti juga sedikit mengandung unsur tematik dalam metode 

penafsirannya. Selain itu, tafsir al-Manar juga menjelaskan beberapa 

kata dalam satu ayat agar pembaca memahami epistemologis objek 

yang sedang dibahas. Tujuannya tentu menyamakan persepesi 

pembaca. Seperti contoh, tafsir al-Manar menjelaskan tentang apa itu 

Khalifah, maka tafsir ini menjelaskan maksud khalifah secara panjang 

lebar, kemudian menjelaskan maksud ayat secara umum. ada  juga 

penafsiran yang bersifat global yaitu penafsiran secara umum, bahkan 

hanya memiliki beberapa kalimat saja. Hal ini bisa jadi sebab  sudah 

dibahas di ayat sebelumnya atau di ayat lain seperti pembahasan 

tentang yang iman yang dibahas dalam beberapa ayat dalam Al-Qur'an . 

Penafsiran tafsir al-Manar ini disebut fenomenal sebab  berbeda 

dengan karya-karya pendahulunya.29 Tafsir al-Manar disajikan secara 

modern. Menurut Husain al-Dzahabi, tafsir al-Manar ini menggunakan 

metode sosial kemasyarakatan.30 Tafsir al-Manar yaitu  tafsir yang 

sangat agung jika merujuk objek pembahasannya. Tafsir al-Manar 

membahas tentang modernitas, yaitu pembahasan berangkat dari 

                                        

 

masalah-masalah sosial keagamaan, kemudian menggunakan akal dan 

wahyu sebagai standar untuk penafsiran. Sama seperti tafsir lainnya 

yang ditulis oleh Taba‟tabai dan tafir Mustafa al-Maraghi. Tafsir ini 

kemudian menjadi referensi bagi para pemikir modern umat Islam di 

dunia, termasuk di dalamnya Indonesia. Para pelajar Indonesia belajar 

di al-Azhar, kemudian kembali ke Indonesia dengan corak pemikiran 

yang modern, sebagian dari mereka membawa pemikiran yang lebih 

konservatif (pelajar yang berasal dari kota lain). Tokoh-tokoh pemikir 

Indonesia seperti Harun Nasution dan sejarawan Islam Azyumardi Azra 

banyak mengutip tafsir al-Manar sebagai bahan kajian pendidikan 

Islam di era modern. Seperti yang peneliti pernah ungkapkan bahwa 

tafsir ditulis oleh tiga orang secara prinsip pemikiran yang progresif, 

juga berpengaruh terhadap lahirnya Bangsa Indonesia, hal ini 

disebab kan pemikiran Soekarno yang menjadi proklamator bangsa 

Indonesia turut membaca pemikiran Muhammad Abduh melalui tafsir 

al-Manar ini dan karya Abduh lainnya. Soekarno pun pernah 

mengatakan dalam bukunya Dibawah Bendera Revolusi jilid 1 bahwa 

Muhammad Abduh itu sebagai pahlawan Islam. 

Jika dilihat dari sudut pandang lain, Jamaluddin al-Afgani, 

Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha hidup saat memasuki abad 

modern dan menjadikannya tokoh yang merespons dengan baik, 

meskipun karya-karya mereka tidak dapat dinikmati secara keseluruhan 

sebab  faktor intervensi sejarah, karya Tafsir al-Manar memiliki dasar 

pemikiran sebab  interaksi mereka terhadap dunia modern, sekaligus 

faktor internal Islam yang sangat sulit untuk diubah paradigma mereka 

mengenai ilmu pengetahuan modern kala itu. Mereka saat itu 

beranggapan bahwa pintu ijtihad telah ditutup sehingga tidak perlu 

dimodernisasi. Di sisi lain, Bangsa Eropa semakin maju dari segi ilmu 

pengetahuan dan teknologi. Sebagian besar dari umat Islam lebih 

memiliki taqlid terhadap produk ulama salaf secara umum dan hanya 

sebagian dari mereka termasuk golongan tajdid. Sebagaimana yang 

telah dipaparkan sebelumnya bahwa serapan ilmu pengetahuan dari 

Barat tidak harus diterima secara keseluruhan, akan tetapi dilakukan 

standarisasi.  

Pengetahuan teknologi, materialisme dan lainnya 

diinterpretasikan ke dalam Islam seperti yang pernah dilakukan umat 

Islam di masa dahulu terhadap filsafat Yunani, mereka berhasil 

mengalahkan peradaban yang berjaya melalui interpretasi ilmu 

pengetahuan. Di masa modern, dapat dilihat kemajuan dari Bangsa 

Eropa sebagai hasil dari kekalahan umat Islam dan keberhasilan mereka 

melakukan westernisasi ilmu pengetahuan umat Islam. Kondisi ini 

menyebabkan tokoh pembaharu Islam mengharuskan menulis karya 

80 

 

yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan umum yang dikombinasikan 

dengan ilmu pengetahuan Islam. Salah satunya yaitu  tafsir al-Manar. 

Itulah mengapa tafsir ini menggunakan metode pendekatan adabi 

ijtima‟i, menggunakan metode ini sebagai respons yang seharusnya 

dilakukan masyarakat terhadap dunia modern. Tafsir ini juga 

menggunakan metode tafsir tahlili, hal ini tidak terlepas dari keluasan 

ilmu yang dimiliki oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha di 

bidang ilmu pengetahuan umum dan Islam secara khusus. Penafsiran 

tahlili ini dapat dilihat dari penafsiran Surat al-Baqarah/2: 30-36. 

Sekaligus menjadi objek penelitian dalam tulisan ini, di sana dijelaskan 

secara luas, dikaitkan dengan ayat lain tentang khalifah, kemudian 

menggunakan riwayat yang terkait dengan ayat ini . Selain itu, 

tafsir ini menggunakan kerasionalitasannya sebagai upaya memahami 

suatu dengan ayat yang lain. Ia juga menggunakan tafsir terdahulu 

sebagai bahan referensi. Tafsir semacam ini disebut juga tafsir 

tajzi‟ah.31 Dengan penjelasan ini, jelas bahwa Metode mushafi ini 

sangat cocok disematkan terhadap tafsir al-Manar. 32 

Secara global, tafsir ini menggunakan metode tahlili sama seperti 

tafsir lainnya. Hal ini apabila dilihat dari sisi metodologi penelitian 

tafsir. Akan tetapi, ada  titik penekanan dalam al-Manar ini yaitu 

bukan hanya faktor linguistik, bukan hanya faktor bahasa yang 

menjadikan tafsir ini berbeda dengan tafsir lainnya. Tafsir ini mencoba 

mengaitkan dengan persoalan-persoalan modern saat ini, termasuk di 

dalamnya persoalan pendidikan. Inilah yang menjadikan tafsir ini 

disebut tafsir yang bercorak adabi ijtima‟i. Dari al-Manar, umat Islam 

menilai bahwa Al-Qur'an bukan hanya sebagai kitab suci yang 

memiliki bahasa dengan sastra tinggi, akan tetapi, Al-Qur'an sebagai 

pedoman hidup manusia. Titik inilah yang menjadikan tafsir ini sebagai 

cikal bakal lahirnya tafsir modern.33 Adapun ciri-ciri dari adabi ijtima‟I 

ini yaitu  adanya aspek prioritas dalam ketelitian redaksi ayat-ayat Al-

Qur'an diungkapkan dengan bahasa yang menarik dan dihubungkan 

dengan hukum-hukum alam.34 (Menengenai corak tafsir akan dibahas 

lebih luas di bagian selanjutnya). 

Memahami ayat dengan bahasa yang mudah menjadi aspek yang 

diperhatikan dalam penulisan tafsir al-Manar ini, penulis tafsir sangat 

                                        

 

memperhatikan aspek balagahnya. Sehingga tujuan utama 

diturunkannya Al-Qur'an itu dapat diraih yaitu sebagai pedoman umat 

manusia. Bukan berarti tanpa al-Manar maka Al-Qur'an akan terlepas 

dari fungsi utamanya sebagai petunjuk umat manusia. Tafsir al-Manar 

hanyalah salah satu tafsir Al-Qur'an yang benar yaitu  Al-Qur'an itu 

sendiri. Sedangkan, tafsir yang notabene yaitu  karya manusia suatu 

saat tidak relevan dengan kondisi masyarakatnya. 

Muhammad Abduh memiliki metode dan ciri-ciri pokok untuk 

menafsirkan Al-Qur'an yang kemudian diikuti oleh Muhammad Rasyid 

Ridha. Pernyataan ini bisa menjadi penyangkal bahwa perbedaan 

penafsiran yang ditulis secara langsung oleh Muhammad Abduh dan 

Rasyid Ridha itu sama atau persis sama. Ciri-ciri ini  sebagai 

berikut;35  

a. Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan yang serasi;  

b. Ayat Al-Qur'an bersifat universal;  

c. Al-Qur'an yaitu  sumber akidah dan hukum;  

d. Penggunaan akal dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an ; 

e. Bersikap hati-hati dan teliti terhadap penggunaan hadis Rasulullah ; 

dan  

f. Bersikap teliti dan hati-hati terhadap pendapat para sahabat. 

Tafsir al-Manar yaitu  tafsir modern yang menjadi cikal bakal 

tafsir modern. Tafsir ini bukan berarti tidak merujuk pada tafsir 

sebelumnya. Beberapa tafsir yang menjadi rujukan tafsir al-Manar 

yaitu  tafsir al-Kasyaf karya Abu al-Qasim Mahmud ibn Umar az-

Zamakhsyari yang ditulis pada abad ke-12, tafsir ath-Thabari yang 

ditulis oleh Abu Jafar Muhammad bin Jarir ath-Thabari yang terdiri 

dari 26 jilid, tafsir al-J mi‟ fi  hk m Al-Qur'an yang ditulis oleh Abu 

Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn al-Farid al-Anshari AL-Hazraji 

al-Andalusi al-Qurthubi atau yang lebih dikenal Imam al-Qurhubi, 

Tafsir al-Kabir yang ditulis oleh Fakhruddin Razi pada abad ke-12, 

Ta‟wil Musykil Al-Qur'an yang ditulis oleh Abu Muhammad Abdullah 

ibn Muslim ibn Qutaybah ad-Dinawari, Tafsir al-Alusi yang ditulis oleh 

Mahmud al-Alusi pada abad ke-19, Tafsir al-Bahr al-Muhith yang 

ditulis oleh Abu Hayyan al-Gharnathi, Tafsir ibn Katsir yang ditulis 

oleh Ismail bin Katsir, M   hits fi „ulum Al-Qur'an yang ditulis oleh 

Subhi Ibrahim ash-Shalih, Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul yang 

ditulis oleh Rahman bin Abu Bakar al-Suyuti, Asbab an-Nuzul karya 

                                        

al-Wahidi, Ijazah Al-Qur'an , dan al-Burhan fi „Ulum Al-Qur'an yang 

ditulis oleh Badruddin Muhammad bin Abdullah.36  

Terkait dengan sumber penafsiran al-Manar, oleh Muhammad 

Abduh mengatakan tidak dapat diraih dengan mudah, tetapi masih 

sangat relevan dengan apa yang menjadi tujuan dari penulisannya. 

Dalam tafsir ini ada  dua yang menjadi sumber penafsiran yaitu 

pengetahuan kebahasaan yang terdiri dari ilmu semantik dan ilmu 

sastra, ilmu semantik ini bertujuan untuk mengetahui arti kata bahasa 

Arab dari lidah Arab secara langsung, kajian ini memungkinkan 

peneliti menanyakan secara langsung terhadap orang-orang Arab, jika 

merujuk pada rujukan sekunder belum tentu benar, atau merujuk pada 

perkataan orang, tidak bisa dijadikan standar dalam penelitian. 

Sebabnya yang lain yaitu  adanya kata yang digunakan dalam bahasa 

Arab dan pewahyuan yang memiliki arti lebih dari satu, inilah alasan 

kajian ini sangat penting. Cara terbaik untuk menafsirkan kata-kata 

dalam ayat Al-Qur'an yaitu  menafsirkan berdasarkan ayat itu sendiri.  

Kajian bahasa lain yaitu  sastra, kajian sastra yaitu  kajian yang 

berusaha mengetahui gaya bahasa dalam teks Al-Qur'an , meskipun 

bahasa yang digunakan Al-Qur'an tidak akan mampu dipahami secara 

sempurna, paling tidak mendekati kebenaran apalagi, ayat-ayat yang 

mengandung unsur mutasyabihat. Ayat seperti ini bisa benar-benar bisa 

dipahami apabila melalui proses ilham dari Allah . Kedua, sumber 

penafsiran yang kedua yaitu  pengetahuan sosio-historis, pengetahuan 

penulis tafsir al-Manar sangat mumpuni di bidang sosial dan sejarah. 

Sehingga pada bagian ini memiliki tiga kajian, yaitu kajian tentang 

kehidupan manusia sepanjang sejarah, kajian tentang latar belakang 

mengapa manusia diberi petunjuk, kemudian, kajian tentang nabi dan 

sejarahnya.  

Penulisan Tafsir al-Manar memiliki beberapa keunikan, terutama 

penulis yang lebih dari satu meskipun pada akhirnya kebanyakan 

terbitan tafsirnya memakai nama Muhammad Rasyid Ridha sebagai 

penulis tafsir al-Manar ini. Tafsir yang ditulis lebih dari satu orang juga 

berlaku pada tafsir Jalalain, tafsir ini ditulis oleh Jalaluddin al-Mahalli 

dan Jalaluddin as-Suyuti. Tafsir Jalalain memiliki kesamaan dengan 

tafsir al-Manar dari segi jumlah penulisnya. Al-Manar memiliki 

perbedaan pendapat tentang siapa yang paling berhak. Akan tetapi, 

hemat peneliti penulis tafsir al-Manar berdasarkan ilmu penulisan 

yaitu  Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Sedangkan, 

Menurut prinsip berpikirnya Jamaluddin al-Afgani juga termasuk di 

                                        

 

dalamnya sebab  Abduh dan Ridha merupakan anak ideologi Afgani. 

Dari beberapa penulis ini tentu berada dalam situasi yang berbeda, 

bedanya kondisi masyarakat dalam merespons khazanah Islam. Dari 

semua perbedaan yang ada di masyarakat, ada  sebuah persamaan 

secara garis besar yaitu tafsir al-Manar ini berangkat dari kegelisahan 

penulis tafsir dari kehidupan modern yang belum mampu dihadapi oleh 

umat Islam. Sehingga melahirkan corak yang berbeda dengan karya 

tafsir lain. 

Peneliti menggunakan persepsi sebagai seorang peneliti, maka 

tafsir ini hanya ditulis oleh dua orang saja. Muhammad Abduh yang 

memiliki praktik ibadah berdasarkan fikih imam Syafi‟i. Tafsir ini 

membahas lebih banyak tentang persoalan sosial masyarakat, tidak 

heran, tafsir ini pun dinamakan tafsir yang bercorak Adabi Ijtima‟i. 

Metode Adabiy Ijtima‟iy yaitu  metode yang berorientasi 

kemasyarakatan, budaya, dan sastra. Salah satu ciri-cirinya yaitu  lebih 

mementingkan keindahan teks dan keindahan redaksi bahasa teks.37 

Muhammad Abduh memiliki kecenderungan terhadap aliran 

Mu‟tazilah yang rasional. Inilah yang menjadi penyebab Abduh ditolak 

di al-Azhar sebab  dikira akan melahirkan kembali pemahaman 

Mu‟tazilah. Hal ini pula lah yang menjadikan tafsir ini istimewa. 

Dampak aliran Mu‟tazilah ini menjadikan tafsir al-Manar lebih rasional 

serta menjadikan Muhammad Abduh lebih objektif sebab  tidak terikat 

pada aliran tertentu. 

Sebagaimana pada bahasa sebelumnya bahwa corak tafsir al-

Manar ini dapat dilihat dari ketelitian redaksi ayat-ayat Al-Qur'an , 

maknanya dapat dipahami secara menarik dan indah, ayat-ayat yang 

ditafsirkan mencoba untuk dihubungkan dengan hukum-hukum alam 

yang berlaku. Dalam penyampaian makna dari tafsir ini, tidak 

samasekali ayat yang terlewatkan, semua dibahas ayat per-ayat, tidak 

ada yang terlewat seperti yang ada  dalam karya sastra ada yang 

didahulukan dan ada yang diakhirkan. Menurut Abduh, Al-Qur'an itu 

bukan kitab sya‟ir, melainkan kitab yang bersumber dari ilahi. Al-

Qur'an sudah disusun rapi dan sistematis, penafsiran dalam al-Manar 

tidak mungkin di susun secara terbalik atau melakukan sebuah 

pemaksaan. Redaksi Al-Qur'an itu sangat serasi, dari sinilah tafsir al-

Manar sebagai tafsir adabi ijtma‟i sebab  termasuk ciri khas dari tafsir. 

Tindakan membandingkan tafsir al-Manar dengan tafsir lain 

yaitu  tindakan yang wajar sebab  tafsir ini mengandung beberapa hal 

pokok yaitu, setiap surat dalam Al-Qur'an yaitu  satu kesatuan yang 

                                        

padu, kandungan ajaran Al-Qur'an berlaku sepanjang masa, Al-Qur'an 

merupakan sumber utama syari‟ah dalam Islam, perlunya memberantas 

sikap taqlid yang dilakukan oleh umat Islam, perlunya memaksimalkan 

akal dan gaya berpikir ilmiah dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an , 

berhati-hati terhadap riwayat israiliat, dan pentingnya menjaga 

keteraturan hidup antara masyarakat dengan petunjuk Al-Qur'an . 

Pendayagunaan akal dan metode ilmiah inilah yang menjadi ciri khas 

dari tafsir al-Manar ini. Tafsir al-Manar ini sangat menghargai potensi 

akal yang dimiliki oleh manusia, secara khusus untuk memahami Al-

Qur'an dan hadis Rasulullah. Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh 

Abdul al-Hay al-Farmawi terkait dengan metode tafsir dan penafsiran 

Al-Qur'an, al-Farmawi membagi metode itu menjadi empat bagian 

yaitu metode tematik, metode analisis, meotde komparatif, dan metode 

global. Metode analis yang dimaksud al-Farmawi itu terdiri dari 

berbagai macam, salah satunya yaitu  corak budaya kemasyarakatan 

atau al-adabîy alijtima‟i. Corak ini memprioritaskan ketelitian terhadap 

redaksi ayat-ayatnya kemudian menyusun ayat-ayatnya dengan 

menonjolkan nilai-nilai Al-Qur'an. Kemudian, menghubungkan ayat-

ayat ini  dengan hukum-hukum yang berlaku. Tafsir al-Manar 

menghindari istilah-istilah yang akan membingungkan masyarakat, 

istilah yang dimaksud yaitu  istilah yang tidak umum dipakai. 

Sehingga tafsir ini mudah dipahami oleh khalayak. 

B. M. Quraish Shihab  

1. Biografi M.Quraish Shihab 

M. Quraish Shihab lahir di Rappang, Sidenreng Rappang, 

Sulawesi Selatan, pada tanggal 16 Februari 1944.38 Beliau dibesarkan 

ditengah keluarga ulama yang cendikia dan saudagar yang sangat 

kental dengan beragam ilmu-ilmu keislaman seperti tafsir dan ilmu-

ilmu Al-Qur‟an.39 Saudara-saudara M. Quraish Shihab terkenal menjadi 

ilmuan seperti KH. Umar Shihab (kakaknya) dan Alwi Shihab 

(adiknya). Adiknya ini yaitu  peraih dua gelar Doktor dari Universitas 

„Ayn Syams Mesir dan Universitas Temple Amerika Serikat.40 

M. Quraish Shihab mempunyai nama lengkap Muhammad M. 

Quraish Shihab yaitu  anak keempat dari Prof. KH. Abdurrahman 

Shihab, seorang guru besar ilmu tafsir dan pernah menjadi Rektor 

Universitas Muslim Indonesia (UMI) pada tahun 1959-1965 M, dan 

                                        

 

Rektor IAIN Alauddin Makassar tahun 1972- 1977.41 Masa kecil M. 

Quraish Shihab dihabiskan dilingkungan keluarganya yang sangat 

religius, sebagaimana pernyataan Ishlah Gusman dalam bukunya:  

“Sejak kecil, M. Quraish Shihab telah menjalani pergumulan dan 

kecintaan terhadap Al-Qur'an. Pada umur 6-7 tahun, oleh ayahnya, 

ia harus mengikuti pengajian Al-Qur'an yang diadakan oleh 

ayahnya sendiri. Pada waktu itu selain menyuruh membaca Al-

Qur'an , ayahnya juga menguraikan kisah-kisah dalam Al-Qur'an . 

Dari sinilah menurut M. Quraish Shihab, benih-benih kecintaannya 

terhadap Al-Qur'an mulai tumbuh”.42  

Selain mendapatkan pendidikan dari orang tuanya, masa kecil M. 

Quraish Shihab juga tidak terlepas dari pendidikan formal. Sekolah 

dasar dengan nama sekolah rakyatlah yang menjadi pendidikan formal 

pertama dalam kehidupan M. Quraish Shihab. Dintara pendidikan 

formal M. Quraish Shihab dan pendidikan keluarga, yang ditanamkan 

oleh keluarganya terlebih ayahandanya, maka pendidikan 

keluarganyalah yang paling berpengaruh bagi M. Quraish Shihab 

dikemudian hari.43 Bagi M. Quraish Shihab, ayahandalah yang 

memberikan dorongan kepadanya sehingga ia memiliki semangat 

mencari ilmu yang luar biasa. Nasehat-nasehat Abdurrahman Shihab 

selalu ia ingat hingga ia dewasa, bahkan hingga saat ini.44Kecintaan 

yang tulus sang ayah sebagai orang tua yang mampu menghantarkan 

M. Quraish Shihab sebagai intelektual dan pakar tafsir terkemuka di 

Indonesia di abad ini. Ketulusan hati sebagaimana dipesankan oleh 

ayahandanya untuk selalu mengkaji Al-Qur'an selalu ia ingat, hingga 

dari sinilah kecintaan M. Quraish Shihab terhadap studi Al-Qur'an 

tertanam kuat dan lebih serius dalam mempelajari kandungan-

kandungan Al-Qur‟an dan berbagai aspeknya. 

 Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di daerah 

kelahirannya, kemudian M. Quraish Shihab melanjutkan pendidikan 

menengahnya di Malang yakni nyantri di Pondok Pesantren Dar al-

Hadîts al-Faqihiyyah yang merupakan pondok penghafal dan pengkaji 

hadits-hadits nabi. Di pesantren inilah M. Quraish Shihab memperoleh 

pengetahuan tentang hadits langsung dari pengasuhnya Habib Abdul 

Qadir Bilfaqih. Dari gurunya inilah M. Quraish Shihab mendapat 

                                        

 

banyak wawasan keagamaan yang memadai sebab  kearifan dan 

keluasan ilmu agama sang Habib. Kedekatan M. Quraish Shihab 

kepada sang habib memberikan dampak pengetahuan yang tinggi 

kepadanya terlebih pengetahuan tentang tata cara bersikap, berperilaku, 

serta pengetahuan dibidang hadits, fiqh, syari‟ah dan lainnya.45  

Pengetahuan yang didapat M. Quraish Shihab dari gurunya ini 

merupakan bimbingan dasar yang sangat berpengaruh. Bahkan dalam 

karyanya yang berjudul logika Agama, secara singkat M. Quraish 

Shihab menjelaskan tentang keterpengaruhan kuat oleh kedua gurunya 

yaitu Habib Abdul Qadir Bilfaqih dan Syaikh Abdul Halim Mahmud. 

Dari gurunya inilah yang banyak mewarnai masa remaja M. Quraish 

Shihab, ia pun menjelaskan tentang sifat arif, keikhlasan dalam 

menyebarkan pengetahuan gurunya ini didalam bukunya. M. Quraish 

Shihab begitu merasakan kuatnya pengaruh gurunya ini sehingga 

dimasa-masa sulit, ia selalu teringat oleh gurunya ini.46 

Setelah menamatkan kuliahnya selama empat tahun, pada tahun 

1967 M. Quraish Shihab mendapatkan gelar Licence (Lc).47Kemudian 

ditahun yang sama ia melanjutkan ke jenjang strata dua dengan 

konsentrasi dan almamater yang sama yaitu Universitas Al-Azhar 

dengan kembali memilih konsentrasi konsentrasi tafsir. Kuliahnya di 

strata dua ini ia selesaikan dengan sukses pada tahun 1969 dengan 

mendapat gelar MA untuk spesialisasi tafsir Al-Qur'an dengan tesis 

berjudul “ l-I'jâz al-Tasyri' li Al-Qur'ân al-Karîm.48 Perjalan M. 

Quraish Shihab di Al-Azhar sampai menghantarkannya memperoleh 

gelar MA ini, banyak difokuskan di bidang hafalan, sehingga banyak 

dari hadits maupun pelajaran fiqh dengan berbagai mazhab 

dikuasainya. Hal ini semakin menambah banyak pengetahuannya 

tentang berbagai ilmu-ilmu keislaman.49 Setelah menyelesaikan studi 

Masternya M. Quraish Shihab kembali lagi ke daerah asalnya Ujung 

Pandang. Disini ia dipercaya untuk menduduki jabatan Wakil Rektor 

Bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alaudin Ujung 

Pandang. Disamping menduduki jabatan formal, M. Quraish Shihab 

juga sering mewakili ayahnya untuk menjalankan tugas-tugas tertentu. 

Selain itu, ia juga diamanahkan beberapa jabatan penting lainnya, 

                                        

 

seperti pembantu pimpinan kepolisian Indonesia Timur dalam bidang 

pembinaan mental, Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertais) 

Wilayah VII Indonesia Bagian Timur dan sederet jabatan penting 

lainnya. Bahkan disela-sela kesibukannya, ia masih sempat 

merampungkan beberapa tugas penelitian diantaranya ialah Penerapan 

Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia tahun 1975, dan masalah 

Wakaf Sulawesi Selatan ditahun 1978. 

 Sepuluh tahun lamanya, M. Quraish Shihab mengabdikan dirinya 

di IAIN Alaudin Ujung Pandang dan mendarma baktikan ilmunya 

kepada masyarakat. Meskipun ia telah menduduki sejumlah jabatan, 

semangat M. Quraish Shihab untuk melanjutkan pendidikan tetap 

menyala-nyala. Ayahnya berpesan agar ia berhasil meraih gelar Doktor. 

Oleh sebab  itu saat  kesempatan untuk melanjutkan studi itu datang, 

tepatnya pada tahun 1980, M. Quraish Shihab kembali ke Kairo dan 

melanjutkan pendidikan di almamaternya Universitas Al-Azhar. Dua 

tahun lamanya ia menimba ilmu disana, dan pada tahun 1982 ia 

berhasil meraih gelar Doktor untuk spesialisasi tafsir Al-Qur'an dengan 

predikat Summa Cum Laude atau Mumtâz ma'a Martabat al-Syarâf al-

Ulâ (penghargaan tingkat 1) dengan judul disertasinya “N zm l-Durâr 

li al- iq ‟i: T hq q w   l-Dirâsah. 

 M. Quraish Shihab yaitu  orang Asia Tenggara pertama yang 

berhasil meraih gelar Doktor dengan nilai istimewa.50 Sekembalinya 

dari Kairo pada tahun 1983, M. Quraish Shihab kembali ke tempat 

tugas semula. Tidak sampai dua tahun di IAIN Alaudin Ujung 

Pandang, pada tahun 1984 ia hijrah ke Jakarta dan ditugaskan pada 

Fakultas Ushuluddin dan Program Pascasarjana IAIN Syarif 

Hidayatullah Jakarta. Disana ia aktif mengajar bidang tafsir dan Ilmu-

ilmu Al-Qur'an. Selain mengajar, ia juga dipercaya untuk menduduki 

sejumlah jabatan, seperti ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat 

sejak tahun 1984, anggota Badan Lajnah Pentashih Al-Qur'an 

Departeman Agama sejak 1989, anggota Badan Pertimbangan 

Pendidikan Nasional sejak 1989.  

Dalam organisasi-organisasi profesi, ia duduk sebagai Pengurus 

Perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah, Pengusrus Konsorsium Ilmu Agama 

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan saat  Ikatan 

Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) berdiri, M. Quraish Shihab 

dipercaya menduduki jabatan sebagai asisten Ketua Umum.51 

Disamping kesibukannya sebagai pendidik, pada tahun 1992, ia 

                                        

 

mendapat kepercayaan menduduki jabatan Rektor IAIN Syarif 

Hidayatullah Jakarta selama dua periode sampai tahun 1998. Setelah itu 

pada tahun 1998, M. Quraish Shihab diangkat oleh PresidenSoeharto 

sebagai Menteri Agama RI Kabinet Pembangunan VII. Namun jabatan 

penting ini tidak berlangsung lama, sebab  pemerintahan Soeharto kala 

itu dituntut agar segera lengser seiring terjadinya pergolakan politik 

yang kuat terhadap dirinya. Hal inilah yang menyebabkan kabinet yang 

baru dibentuk oleh Presiden harus dibubarkan. Termasuk posisi 

Menteri Agama yang baru dijabat oleh M. Quraish Shihab.52 

 Setelah lengsernya Soeharto dari kursi Presiden tahun 1998, 

tampuk kepemimpinan Presiden Republik Indonesia digantikan oleh 

B.J Habibie. Pada masa pemerintahannya, M. Quraish Shihab 

mendapat kepercayaan sebagai Duta Besar RI untuk negara Republik 

Arab Mesir, sekaligus merangkap untuk Negara Somalia, dan Republik 

Jibouti yang berkedudukan di Kairo. Pada saat menjadi duta besar 

inilah M. Quraish Shihab banyak meluangkan waktu untuk menulis 

karya monumentalnya Tafsir Al-Mishbâh. 

2. latar belakang historis dan sosiologis pemikiran M.Quraish Shihab 

Muhammad M. Quraish Shihab yaitu  seorang ulama sekaligus 

ahli tafsir kontemporer pada masa modern sekarang ini. Selain itu, 

beliau juga aktif dalam menulis dan berceramah di media elektronik, 

seperti televisi. Kecintaannya terhadap bidang tafsir Al-Qur`an sudah 

ada dalam dirinya sejak kecil, sebab  banyaknya nasihat dari ayahnya 

berupa ayat-ayat Al-Qur`an. Kemudian pada umur 6-7 tahun beliau 

sudah diharuskan untuk mendengar ayahnya mengajar Al-Qur`an, 

bahkan pada umur 9 tahun beliau sudah terbiasa mengikuti ayahnya 

saat  mengajar. Hal ini lah yang menjadi salah satu motivasi 

beliau untuk menjadi seorang mufasir. 

Muhammad M. Quraish Shihab juga banyak terlibat dalam 

beberapa organisasi profesional antara lain yaitu  Pengurus 

Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari‟ah, pengurus Konosorium Ilmu-ilmu 

Agama Departemen Pendidikan, asisten ketua umum Ikatan 

Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan di sela-sela kesibukannya, 

Ia juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah. Kemampuannya dalam 

menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an ke dalam konteks masa kini 

membuatnya lebih unggul daripada ahli tafsir lainnya. Beliau lebih 

menekankan tafsirnya terhadap metode maudhu‟i atau metode yang 

cenderung mengangkat tema-tema yang ada dalam Al-Qur`an.  

                                        

 

Beliau menuturkan, hendaknya dalam menafsirkan Al-Qur`an 

tidak terpaku terhadap teks yang ada.53 Akan tetapi lebih baik untuk 

melihat secara kontekstual dengan menggali latar belakang dari adanya 

suatu ayat, sebab  jika dilihat secara tekstual saja, maka ayat ini  

akan cenderung monoton dan makna yang tersembunyi di dalamnya 

tidak tersampaikan. Quraish mengingatkan, sudah saatnya para 

pemimpin umat meninggalkan wacana soal Khilafiyah (perbedaan) 

mazhab yang berpotensi memecah belah. “bukankah banyak hal yang 

lebih penting, seperti menegakkan keadilan yang menjadi inti ajaran 

agama, atau mendorong upaya pemberantas korupsi. 

Berkaca pada latar sosiologis pendidikan M. Quraish Shihab di 

atas, paling tidak ada tiga orang guru utama yang mendominasi 

pemikiran M. Quraish Shihab, yakni: 

a. Habib Abdurrahman Shihab bin Habib Ali  

yaitu  seorang sosok ayah merangkap sebagai guru untuk M. 

Quraish Shihab. Habib Abdurrahman Shihab lahir di Makassar 1915 

sebagai seorang keturunan Arab bermarga Shihab. Putra seorang 

juru dakwah dan pendidikan asal Hadramaut yakni Habib Ali bin 

Abdurrahman Shihab yang kemudian hijrah ke Jakarta. Melalui 

tempaannya sebagai seorang yang sangat multitasking lahirlah sosok 

kepribadian seperti M. Quraish Shihab dan saudara-saudara Beliau 

lainnya yang berkicmpung di berbagai subkehidupan sosial dan 

subkeilmuan tanpa sedikitpun pertentangan dan memang inilah 

pendidikan moderasi yang diajarkan oleh Habib Abdurrhaman 

kepada putra-putrinya.54 

b. Habib Abdul Qadir Bilfaqih 

 Habib Abdul Qadir Bilfaqih bin Ahmad bin Muhammad bin 

Ali bin Abdullah yaitu  seorang ulama ahli hadits yang lahir di 

Tarim, Hadramaut, Yaman pada 5 Juli 1898 atau 15 Shafar 1316 H. 

Mendapatkan tempaan pendidikah dari ayahnya langsung Habib 

Ahmad bin Muhammad Bilfaqih dan beberapa ulama terkemuka 

Hadramaut seperti Habib Abdullah umar asySyathiri, Habib Segaf 

bin Hasan al-Aydrus, Syekh Umar bin Hamdan al-Maghribi, Habib 

Muhammad bin Ahmad alMuhdhar, Syekh Abdurrahman Baharmuz 

dan ulama lainnya membuat kedalaman keilmuan dari Habib Abdul 

Qadir Bilfaqih tidak diragukan lagi. 1919 M Beliau mendirikan 

lembaga pendidikan di Yaman bernama Jam‟iyyat al-Ukhwah wa al-

Mu‟awwanah dan Jam‟iyyat an-Nashr wa al-Fadhail bersama ulama 

lainnya. Pada tahun itu pula Beliau memulai rangkaian perjalanan 

                                        

 

dakwahnya, dimulai dari melaksnakan ibadah Haji dan Ziarah ke 

Makam Rasulullah untuk kemudian berkelana ke negara-negara 

seperti Maroko, Suriah, Mesir dan banyak negara lainnya hingga 

pada akhirnya melabuhkan hatinya untuk berjuang dan berkhidmat 

di Indonesia dengan mendirikan Pondok Pesantren Darul Hadits al-

Faqihiyyah di Malang. Pernah menjadi kepala sekolah di Solo dan 

Surabaya sebagai kota pertama persinggahan Beliau. Habib Abdul 

Qadir juga dikenal sebagai seorang pendakwah yang giat salah 

satunya di Masjid Agung Jami‟ Kota Malang dan diangkat menjadi 

dosen ahli tafsir pada 1960 di IAIN Sunan Ampel, Malang (waktu 

itu belum ada UIN Malang dan merupakan cabang dari IAIN Sunan 

Ampel). Melihat biografinya, Habib Abdul Qadir yaitu  seorang 

dai, guru, akademisi dan pendidik yang luar biasa, tidak bisa 

dipungkiri karakter Beliau terwariskan dalam pribadi muridnya M. 

Quraish Shihab. Beliau Habib Abdul Qadir pernah berkata bahwa 

seluruh hidupnya sudah diwakafkan untuk pendidikan dan dakwah.55 

c. Syekh Abdul Halim Mahmud  

Syekh Abdul Halim Mahmud yaitu  seorang pemikir penting 

dan kenamaan dalam sejarah pemikiran Islam di Mesir khsusunya 

dalam bidang tauf. Grand Syaikh al-Azhar 1973-1978 ini yaitu  

seorang doktor dalam Studi Islam di Universitas Sorbon, Perancis. 

Dikenal sebagai tokoh yang cukup lantang dalam memberikan kritik 

terhadap pahampaham keagamaan yang berkembang saat  itu. 

Ghazali Mesir dan Abû al-„Ârifîn yaitu  julukan yang dialamatkan 

kepada Beliau dari para kaum sufi Mesir saat  itu. Beliau lahir pada 

1910 atau lima tahun setelah wafatnya Muhammad Abduh. Secara 

lingkungan boleh jadi Abdul Halim banyak bersinggungan dengan 

pemikiran atau murid-murid dari Abduh tetapi orientasi 

pemikirannya cenderung tradisionalis konservatif sekalipun Beliau 

yaitu  lulusan Barat. Beliau memandang modernisasi yang 

berkarakter rasionalis dan sekularis sebagai sebuah proses yang 

dapat menghancurkan struktur dan tata nilai klasik masyarakat Arab. 

Abdul Halim memegang peranan besar sebagai tokoh yang 

membangkitkan kembali tauf di kalangan kelas terdidik Mesir lewat 

puluhan karyanya yang memperkenalkan kembali tokoh-tokoh 

spiritual terdahulu seperti Dzun an-Nun al-Misri, Abu Hasan asy-

Syadzili, Ibn Mubarak dan lainnya.

                                        

 

3. Karya-karya M. Qu