makna ahl alkitab 4
raish Shihab
Sebagai seorang intelektual, sepenuhnya sadar bahwa proses
transformasi ilmu tidak hanya melalui retorika verbal (bahasa lisan),
tetapi juga melalui bahasa tulisan. Bahkan jangkauannya lebih jauh dan
pengaruhnya lebih bertahan lama. Maka beliau mengikuti
pendahulunya, para ulama salaf al-Shâlih yang sangat produktif dalam
berkarya. Dengan kesibukannya yang sangat banyak baik di
masyarakat, kampus, maupun pemerintahan, M. Quraish Shihab selalu
menyempatkan diri untuk menulis. Muchlis Hanafi57 berkata bahwa
dirinya sendiri tidak bisa membayangkan, betapa ditengah-tengah
kesibukan yang padat, gurunya dapat menghargai waktu. Ini juga
menjadi tradisi para ulama terdahulu sehingga dapat mewariskan
khasanah intelektual yang sedemikan banyaknya kepada kita.58
Diantara karya-karyanya yaitu :
a. Karya Tafsir
1) Tafsir Tahlili
a) Mahkota Tuntunan Ilahi: Tafsir Surat Al-Fatihah (Untagma,
1988)
b) Tafsir Al-Qur'an Al-karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (Pustaka Hidayah,
1997).
c) Tafsir Al-Mishbah (Lentera Hati, 2000).
d) Perjalanan Menuju Keabadian: Kematian, Surga dan Ayat-
ayat Tahlil( Lentera Hati, 2001).
e) Menjemput Maut: Bekal Perjalanan Menuju Allah (Lentera
Hati, 2002).
2) Tafsir Maudhu'i
a) Wawasan Al-Qur'an (Mizan, 1996).
b) Secercah Cahaya Ilahi (Mizan, 2000).
c) Menyingkap Tabir Ilahi: al-Asma' al-Husna dalam Perspektif
Al-Qur'an (Lentera Hati, 1998).
d) Yang Tersembunyi: Jin, Malaikat, Iblis dan Setan (Lentera
Hati).
e) Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah, Pandangan Ulama Masa
Lalu dan Cendekiawan Kontemporer (Lentera Hati, 2004).
f) Perempuan (dari Cinta Sampai Seks, dari Nikah Mut'ah
sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama sampai Bias Baru
(Lentera Hati, 2004).
g) Pengantin Al-Qur'an (Lenetera Hati, 2007).
3) Tafsir Ijmali
a) Al-Lubab: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-surah
Al-Qur'an (Lentera Hati, 2012).
b) Terjemah Al-Qur'an a. Al-Qur'an dan Maknanya (Lentera
Hati, 2010).
c) Artikel Tafsir
(1) Membumikan Al-Qur'an (Mizan, 1992).
(2) Lentera Hati (Mizan, 1994).
(3) Menabur Pesan ILahi: Al-Qur'an dan Dinamika Kehidupan
Masyarakat (Lentera Hati, 2006).
(4) Membumikan Al-Qur'an Jilid 2 (Lentera Hati: 2011).
b. Ulum Al-Qur'an dan Metodologi Tafsir
1) Tafsir Al-Manar: Keistimewaan dan Kelemahannya (IAIN
Alaudin, 1984).
2) Studi Kritis Tafsir AL-Manar, Karya Muhammad Abduh dan M.
Rasyid Ridha (Pustaka Hidayah Bandung, 1994).
3) Filsafat Hukum Islam (Departemen Agama, 1978).
4) Rasionalitas Al-Qur'an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar
(Lentera Hati, 2005).
5) Mu'jizat Al-Qur'an (Mizan, 1996).
6) Kaidah Tafsir (Lentera Hati, 2013).
c. Wawasan Keislaman
1) Haji Bersama M. Quraish Shihab (Mizan, 1998).
2) Dia Di Mana-mana (Lentera Hati, 2004).
3) Wawasan Al-Qur'an tentang Zikir dan Do'a (Lentera Hati, 2006).
4) Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-batas Akal dalam
Islam (Lentera Hati, 2005).
5) Sunnah-Syi'ah Bergandengan Tangan, Mungkinkah? Kajian atas
Konsep Ajaran dan Pemikiran (Lentera Hati, 2007).
6) Yang Ringan Jenaka (Lentera Hati, 2007).
7) Yang Syarat dan Yang Bijak (Lentera Hati, 2007).
8) M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut
Anda Ketahui (Lentera Hati, 2007).
9) Ayat-ayat Fitnah: Sekelumit Keadaban Islam di Tengah
Purbasangka (Lentera Hati dan Pusat Studi Al-Qur'an, 2008).
10) Berbisnins dengan Allah (Lentera Hati, 2008).
11) Doa Harian Bersama M. Quraish Shihab (Lentera Hati, 2009).
93
12) M. Quraish Shihab Menjawab 101 Persoalan Perempuan yang
Patut Anda Ketahui (Lentera Hati, 2010).
13) Membaca Shirah Nabi Muhammad dalam Sorotan Al-Qur'an
dan Hadits-hadits Shahih (Lentera Hati, 2011).
14) Do'a Asmaul Husna: Doa yang Disukai Allah (Lentera Hati,
2011).
15) Haji dan Umrah Bersama M. Quraish Shihab (Lentera Hati,
2012).
16) Kematian yaitu Nikmat (Lentera Hati, 2013).
17) M. Quraish Shihab Menjawab Pertanyaan Anak tentang Islam
(Lentera Hati, 2014).
18) Birrul Walidain (Lentera Hati, 2014).
19) Untaian Permata Buat Anakku (Lentera Hati, 1998).
20) Sahur Bersama M. Quraish Shihab (Mizan, 1999).
21) Panduan Puasa Bersama M. Quraish Shihab (Penerbit
Republika, 2000).
22) Panduan Shalat Bersama M. Quraish Shihab (Penerbit
Republika, 2003).
23) Anda Bertanya, M. Quraish Shihab Menjawab Berbagai Masalah
Keislaman (Mizan Pustaka).
24) Fatwa-fatwa M. Quraish Shihab Seputar Ibadah Mahdah (Mizan,
1999).
25) Fatwa-fatwa M. Quraish Shihab seputar Al-Qur‟ n d n dits
(Mizan, 1999).
26) Fatwa-fatwa M. Quraish Shihab seputar Ibadah dan Muamalah
(Mizan, 1999). dan fatwa-fatwa M. Quraish Shihab seputar
Wawasan Agama (Mizan, 1999).
4. Profil, Sejarah Dan Metodologi Tafsir Al-Misbah
Pada mulainya M. Quraish Shihab hanya bermaksud menulis
kitab secara sederhana dan kiranya tidak lebih dari tiga volume saja,
tetapi kenikmatan rohani penulis yang terasa saat bersama Al-Qur‟an
mengantar penulis untuk mengkaji, membaca, dan membaca hingga
sampai pada akhirnya ternyata karnyanya mencapai 15 volume.
Adapun latar belakang yang menjadikan alasan penulis untuk bertekad
menghadirkan sebuah karya yang dapat memberikan banyak manfaat
pada masyarakat yaitu dirasakannya pada melemahnya kajian Al-
Qur‟an pada masyarakat sehingga menjadikan Al-Qur‟an tidak lagi
dirasakan sebagai pedoman hidup dan sumber rujukan dalam
mengambil suatu keputusan, hal ini salah satu alasan dalam penulisan
tafsir Al-Misbah. Selain itu, sebab menurutnya dewasa ini masyarakat
lebih tertarik pada lantunan bacaan AlQur‟an saja tidak pada
94
memahami isi kandungannya, seakan-akan Al-Qur‟an diturunkan
hanya untuk dibaca.
Adapun beberapa tujuan lain dari penulisan al-Misbahtafsir Al-
Misbah karya M. Quraish Shihab diantaranya: Pertama, Memudahkan
umat Islam dalam memahami isi dan kandungan ayat-ayat Al-Qur‟an
dengan cara menjelaskan secara rinci pesan-pesan dalam Al-Qur‟an
yang berkaitan dengan perkembangan kehidupan manusia. Kedua,
ada kekeliruan pada umat Islam dalam memahami makna fungsi
Al-Qur‟an, seperti dalam mengulangulangnya baca Al-Qur‟an tetapi
tidak memahami kandungan yang ada dalam bacaannya. Karna itu
perlunya menyediakan bacaan baru yang memeberi penjelasan tentang
pesan-pesan Al-Qur'an yang mereka baca. Ketiga,Selain dari pada
kurangnya pemahaman terhadap makna pesan-pesan yang terkandung
dalam Al-Qur'an , kekeliruan dalam hal ini juga didapati pada
masyarakat terpelajar yang tidak mengetahui bahwa sistematik
penulisan AlQur'an mempunyai asapek pendidikan yang sangat
menyentuh. Keempat, Adanya dukungan atau dorongan umat Islam
Indonesia sehinggga dapat menggugah hati M. Quraish Shihab untuk
menulis karya tafsir Al-Misbah. Salah satu motivasi yang mampu
mendukung M. Quraish Shihab untuk menghadirkan sebuah karya
tafsir yang mampu menghidangkan pesan-pesan Al-Qur'an dengan baik
yaitu adanya tuntunan secara normatif untuk memikirkan atau
memahami kitab suci Al-Qur'an , dan sebab banyaknya kendala dari
segi bahasa pada sajian kitab tafsir sebelumnya yang dirasa masih
kurang memahami dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.
Salah satu sebab yang menjadi latar belakang penulisan Tafsir
Al-Mishbah yaitu sebab obsesi M. Quraish Shihab yang ingin
memiliki satu karya nyata tentang penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an
secara utuh dan Komperehensif yang diperuntukkan bagi mereka yang
bermaksud mengetahui banyak tentang Al-Qur'an .59 Disamping ingin
mengikuti jejak ulama sebelumnya seperti Nawawi al-Bantani dengan
tafsir Marah Labid nya, Hamka dengan tafsir Al-Azhar nya. Walaupun
M. Quraish Shihab memiliki segudang kesibukan, dan kegiatan yang
sangat padat, namun semangat untuk menghasilkan karya monumental
begitu menggebu-gebu dan tak pernah surut. Suatu hari datang surat
dari seseorang yang tak dikenal, namun isinya sungguh menggugah dan
membulatkan tekad M. Quraish Shihab untuk menunaikan cita-cita
besarnya yang belum kesampaian. Menulis tafsir Al-Qur'an secara
utuh. “Kami menunggu karya ilmiah Pak Quraish yang lebih serius,”
demikian bunyi surat yang terselip diantara tumpukan surat para
penggemar.60 Tafsîr Al-Mishbâh ditulis pada hari Jum‟at, 14 Rabiul
awal 1420 H atau 18 Juni 1999 M.61 awalnya tak muluk-muluk hanya
ingin menulis tiga volume. Tapi kenikmatan ruhani yang direguknya
dari mengkaji Kalam Ilahi seperti membiusnya untuk terus menulis dan
menulis. Tak terasa hingga akhir masa jabatannya sebagai Duta Besar
Indonesia tahun 2002, M. Quraish Shihab berhasil menuntaskan hingga
14 volume tafsir Al-Mishbâh. Sepulangnya ke Jakarta, M. Quraish
Shihab melanjutkan penulisan volume 15. Dan tepat pada hari Jum'at, 5
September 2003, penulisan volume terakhir tafsir Al-Mishbah itu
tuntas.
Seluruh volume Tafsîr Al-Mishbâh berjumlah 10.000 halaman
lebih atau rata-rata 600-700 halaman per volume. Setiap volume terdiri
dari 2 juz Al-Qur'an . Jika seluruh hari dalam kurun waktu 4 tahun 2
bulan dan 18 hari itu digunakan untuk menggarap Tafsîr Al-Mishbâh,
maka per hari nya M. Quraish Shihab menulis 6,5 halaman. Di Mesir,
M. Quraish Shihab bisa menulis selama 7 jam per hari, usai shalat
subuh, di kantor dan malam hari.62 Kenapa diberi nama Al-Mishbâh?
Awalnya ada usulan dari sahabat, termasuk juga dari sang kakak,
Umar, agar dinamai Tafsîr Al-Shihab merujuk kepada marga leluhur
Quraish Shihab. Namun M. Quraish Shihab menolak usulan Umar dan
beberapa sahabat, “tak usahlah kita menonjolkan diri”, begitu kata M.
Quraish Shihab. M. Quraish Shihab lebih memilih Al-Mishbâh, yang
berarti lampu, lentera, pelita, atau benda lain yang berfungsi serupa.
Fungsi “penerang” disukai M. Quraish Shihab dan itu kerap
digunakannya. Sebenarnya Shihab juga sejalan dengan Mishbâh,
Shihab bermakna bintang yang gemerlap. M. Quraish Shihab berharap
Tafsir Al-Mishbâh bisa menjadi lentera dan dan pedoman hidup bagi
mereka yang mengkaji kalam ilahi.
M. Quraish Shihab memang bukanlah satu-satunya pakar Al-
Qur'an di Indonesia, namun kemapuannya menerjemahkan dan
menyampaikan pesan-pesan Al-Qur'an dalam konteks kekinian
membuatnya lebih dikenal dan lebih unggul dari pada pakar Al-Qur'an
yang lainnya. M. Quraish Shihab banyak menekankan perlunya
memahami wahyu ilahi secara kontekstual dan tidak semata-mata
terpaku pada makna tekstual agar pesan-pesan yang terkandung
didalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan nyata. Tafsîr Al-
Mishbâh menggunakan metode tafsir tahlili (analitik), yaitu suatu
metode tafsir Al-Qur'an yang bermaksud ingin menjelaskan
kandungan-kandungan ayat Al-Qur'an dari seluruh aspeknya dan
mengikuti urutan ayat dan surah yang telah tersusun dalam mushaf Al-
Qur'an . M. Quraish Shihab mengawalinya dengan penafsiran surat Al-
Fâtihah kemudian Al-Baqarah sampai Al-Nâs.63 Disamping
menggunakan metode tahlili dalam tafsinya, M. Quraish Shihab juga
menggunakan metode Maudhu'i dalam penulisannya. Yakni dengan
cara memadukan metode tahlili dan metode mudhui. Meski banyak
kelemahannya, metode tahlili digunakan sebab M. Quraish Shihab
harus menjelaskan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai urutan yang
tersusun dalam mushaf Al-Qur'an . Kelemahan itu ditutupi dengan
penerapan metode maudhu'i, sehingga pandangan dan pesan kitab suci
bisa dihidangkan secara mendalam dan menyeluruh sesuai dengan
tema-tema yang dibahas.64 Dengan menggunakan metode ini, M.
Quraish Shihab menganalisis setiap kosa kata atau lafal dari aspek
bahasa dan makna. Analisis dari aspek Bahasa meliputi keindahan
susunan kalimat, ijaz, badi', ma'ani, bayan, majaz, kinayah, isti'arah
dan lain sebagainya. Dan dari aspek makna meliputi sasaran yang
dituju oleh ayat, hukum, akidah, moral, perintah, larangan, relevansi,
ayat sebelum dan sesudahnya, hikmah dan lain sebagainya.65
Menurut Manajer Pusat Studi Al-Qur'an , Muchlis M. Hanafi,
selain mengkombinasikan dua metode tadi, Tafsîr Al-Mishbâh juga
mengedepankan corak ijtima'i (kemasyarakatan). Uraian-uraian yang
muncul mengarah pada masalah-masalah yang berlaku atau terjadi
ditengah masyarakat. Lebih istimewanya lagi, kontekstualisasi sesuai
dengan corak kekinian dan ke Indonesiaan sangat mewarnai Tafsîr Al-
Mishbâh.66 Dalam berbagai kesempatan, M. Quraish Shihab memang
kerap menekankan pentingnya memahami wahyu ilahi secara
kontekstual, agar pesan-pesannya dapat difungsikan dalam kehidupan
nyata. M. Quraish Shihab mampu menghidangkan uraian dalam kitab-
kitab tafsir klasik menjadi sesuatu yang membumi di Indonesia. Bahasa
dan Tamsilan yang disajikan pun mudah dipahami oleh kalangan awam
sekalipun.
Pada kata pengantar Tafsîr Al-Mishbâh, M. Quraish Shihab
mengakui bahwa dirinya sangat dipengaruhi dan banyak merujuk tafsir
karya Ibrahim Ibn Umar al-Biqa'i, karya mufassir kelahiran Lebanon
ini pula yang menjadi bahasan disertasi M. Quraish Shihab di
Universitas Al-Azhar. Ia juga mengutip karya mufassir lain seperti
Muhammad Tanthawi, Mutawalli al-Sya'rawi, Sayyid Quthb,
Muhammad Thahir Ibn Asyur, dan bahkan Sayyid Muhammad Husein
Thabathaba'i yang beraliran syiah. Tetapi sebagian besar yaitu
pemikiran hasil ijtihad M. Quraish Shihab sendiri.
Tafsîr Al-Mishbâh Jilid pertama terdiri dari 754 halaman
dimulai dari al-Fâtihah dan al-Baqarah. Jilid kedua berjumlah 845
halaman terdiri dari surat Ali Imrân dan an-Nisâ. Jilid ketiga berjumlah
771 halaman dimulai dari surat al-Mâ‟idah sampai surat al-An‟âm. Jilid
keempat bertotal 624 halaman berisi surat al-A‟raf dan surat al-Anfâl.
Jilid kelima berjumlah 794 halaman berisi surat at-Taubah sampai surat
Hud. Jilid selanjutnya jilid keenam berjumlah 781 ayat terdiri dari surat
Yûsuf sampai anNahl. Jilid ketujuh terdiri dari 718 halaman terdiri dari
surat alIsrâ‟ sampai surat Thâhâ. Selanjutnya jilid kedelapan berisi 624
halaman dari surat al-Anbiyâ‟ sampai surat an-Nûr. Jilid kesembilan
berisi 692 halaman bermula dari surat al-Furqân berakhir di surat al-
Qashas. Jilid kesepuluh terdiri dari 656 halaman dimulai dari al-
Ankabût hingga surat Saba‟. Jilid 11 terdiri dari 679 halaman dimulai
surat Fâthir sampai Ghâfir. Jilid 12 berisi 630 halaman bermula dari
surat Fushshilat sampai alHujurât. Jilid 13 terdiri 612 halaman dimulai
dari surat Qâf sampai surat al-Mumtahanah. Jilid 14 terdiri dari 619
halaman dimulai dari surat ash-Shaf sampai al-Mursalât. Jilid terakhir
atau 15 terdiri dari 760 halaman dan memuat keseluruhan Juz „Amma.
Total halaman keseluruhan Tafsir al-Mishbbâh terdiri dari 10.55957
halaman dengan 15 volume atau jilid, jauh dari harapan sang penulis
yang hanya berniat menulis sekira 3 volume tafsir saja. Sajian sistemik
lainnya yaitu model pengumpulan kelompok ayat yang dianggap
masih berhubungan dalam satu kelompok kecil –sama seperti karya Ibn
Katsir kemudian baru diberikan penafsiran satu persatu baik secara
kata, kalimat maupun ayat dengan mengulangi penulisan ayatnya di
bagian penafsiran, dan begitu sampai akhir dari tafsir ini. Pada posisi
ini terlihat kecanggihan dan pemahaman yang mendalam dari M.
Quraish dalam menyusun munâsabah antar ayat yang berhimpitan
maka tidak keliru jika tafsir ini diberikan tambahan nama sebagai
sebuah “Keserasian”.
Metode yang digunakan dalam merumuskan tafsir ini, secara
sekilas seperti melihat sekilas tafsir karya Ibn Katsir, tafsir karya M.
Quraish Shihab ini yaitu sebuah karya tafsir komprehensif yang
98
sangat analitis dan mendalam. 15 jilid atau volume sudah cukup
membukitkan bahwa tafsir ini menggunakan metode tahlilîy atau
analitis. Pada sisi lain maudhû‟i juga dimasukan sebagai metode dalam
membedah keseluruhan Al-Qur'an , mengingat banyak sekali karya M.
Quraish dalam metode penafsiran Al-Qur'an yang satu ini. M. Quraish
memadukan kedua metode itu. Satu sisi M. Quraish perlu menjelaskan
ayat demi ayat dan surat demi surat secara terperinci sesuai tertib
mushâfnya namun di sisi lain pada tema-tema tertentu M. Quraish
melakukan pendalaman dan pengayaan sesuai dengan kapabilitas
keilmuannya di berbagai dispilin ilmu penunjang tafsir.58 Muqârin
sebagai metode untuk membandingkan berbagai litertur tafsir
sebelumnya juga tidak jarang digunakan oleh M. Quraish Shihab
terutama dalam merujuk pada kitab tafsir seperti al-Jâmi‟ li Ahkâm Al-
Qur‟ân karya Imam Qurthubi, al-Marâghi, Ibn Katsîr, al-Manâr hingga
Mafâtih al-Ghaib. 59 Termasuk rujukan ahli tafsir lainnya yang disebut
M. Quraish dalam Sekapur Sirihnya di jilid satu Tafsîr Al-Mishbâh
seperti asy-Syekh Mutawalli Sya‟rawi, Muhammad Hussein
Thabathaba‟i, Sayyid Tanthawi, Muhammad Thahir Ibn „Asyur, dan
tentunya Ibrahim Ibn Umar al-Biqa‟i serta ahli lainnya.67 Sementara
tambahan yang menjadi hal unik dari metode penyajian tafsir ini yaitu
kelompok ayat tadi diulangi sekali lagi dalam penjabaran penafsiran
yang keduanya disajikan dengan terjemahan, hanya pada kelompok
utama di depan yang menjelaskan tulisan ayat Al-Qur'an nya yang
berbahasa Arab. M. Quraish menekankan bahwa metode penyisipan
yang dilakukan olehnya dalam tafsirnya menimbulkan kesan bahwa
sisipan atau kalimat yang digunakan dengan cetak miring itu yaitu
bagian dari Al-Qur'an , padahal tidak demikian sisipan ini yaitu
terjemahan makna-makna Al-Qur'an , M. Quraish juga menambahkan
itu bukan terjemah Al-Qur'an . Selepas sisipan terjemah makna Al-
Qur'an baru kemudian tulisan dengan cetak tegak yang merupakan
tafsir dari terjemahan makna ini . Sedetail itu M. Quraish
menyusun metode dan sistematika penafsiran dalam Tafsir al-Mishbâh
ini. Betul-betul sebuah karya hasil buah pikiran yang mendalam,
sungguh-sungguh, teliti dan komprehensif.
Sedangkan sistematika penyusunan kitab Tafsir Al-Misbah tidak
jauh dari penafsiran kitab-kitab lainnya. Penulisan dimulai dengan
menuliskan ayatayat al-Qur‟an kemudian diterjemahkan kedalam
bahasa indonesia, setelah itu menguraikan makna-makna penting dalam
tiap kosa kata. Dalam hal ini sangat terlihat bahwa pengarang sangat
menguasai bahasa arab. Sedangkan pada penyusan kitab tafsir al-
Misbah terbagi menjadi 15 volume yang dimana setiap volumenya
tidak menentu pada jumlah juz yang tercantum, melainkan hanya sesuai
dengan urutan surat Mushaf Usmani.
M. Quraish mencoba menggambarkan nuansa tafsirnya yang
sangat sosial kemasyarakatan seolah M.Quraish melalui
pemahamannya terhadap Al-Qur'an ingin menyoroti permasalahan-
permasalahan sosial kemasyarakatan yang aktual kemudian
menjawabnya dengan cara mendiskusikan problem ini dengan Al-
Qur'an dan menjelaskan apa kiranya solusi yang Al-Qur'an miliki untuk
menengahi problematika ini . Hal demikian membuat Al-Qur'an
lebih terasa dan hidup sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia. M.
Quraish sendiri sering menekankan agar kiranya wahyu Ilahi dipahami
secara lebih kontekstual agar pesan-pesannya dapat difungsikan dalam
kehidupan nyata. M. Quraish membuktikan bahwa Beliau mampu
menyajikan hidangan tafsir yang diramu sedemikian rupa dari para
mufasir klasik menjadi sesuatu yang enak untuk “dimakan” oleh orang
awam sekalipun dengan memperhatikan konteks masyarakat Indonesia
saat tafsir ini disusun bahkan hingga kini.68
M. Quraish Shihab menyadari bahwa penulisan tafsir Al-Qur'an
selalu dipengaruhi oleh tempat dan waktu dimana para mufassir berada.
Perkembangan masa penafsiran selalu diwarnai dengan ciri khusus,
baik sikap maupun kerangka berfikir. Oleh sebab itu, ia merasa
berkewajiban untuk memikirkan muncul sebuah karya tafsir yang
sesuai dengan alam pikiran saat ini. Keahlian dalam bidang bahasa
dapat dilihat melalui penafsiran seseorang. Seperti penafsiran yang
dilakukan oleh Tim Departeman Agama dalam Surat al-Hijr/15: 22.
”Dan kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-
tumbuhan) dan kami turunkan hujan dari langit”. Menurutnya,
terjemahan ini disamping mengabaikan arti huruf fa, juga
menambahkan kata ”tumbuh-tumbuhan” sebagai penjelasan sehingga
terjemahan ini menginformasikan bahwa angin berfungsi
mengawinkan tumbuh-tumbuhan. M. Quraish Shihab berpendapat,
bahwa terjemahan dan pandangan ini tidak didukung oleh
faanzalna min al-s m m ‟ n yang seharusnya di terjemahkan dengan
”maka” menunjukkkan adanya kaitan sebab dan akibat antara fungsi
angin dan turunnya hujan atau urutan logis antara keduanya. Sehingga
tidak tepat huruf ini diterjemahkan dengan ”dan” sebagaimana
tidak tepat penyisipan kata tumbuh-tumbuhan dalam terjemahan
ini .
Sisi kelebihan dan kekurangan sebagai sebuah karya tentu banyak
di bahas dalam berbagai literatur baik buku, diskusi ilmiah dan jurnal
serta sumber bacaan lainnya. Ini semua tidak lepas dari tafsir ini
sebagai sebuah karya akademik yang di kemudian hari pasti
menimbulkan berbagai macam antitesis untuk memberikan masukan
bahkan mengkritik tafsir ini. Bahkan satu buku khusus ditulis oleh
Afrizal Nur bertajuk Tafsîr Al-Mishbâh dalam Sorotan: Kritik terhadap
Karya Tafsir Prof. M. Quraish Shihab sebagai terusan dari disertasi
yang dilakukan oleh penulis dan diiyakan serta dberikan keleluasan
sebesar-besarnya oleh M. Quraish sendiri untuk merampungkan
penelitian ini . Merupakan sebuah dialektika ilmiah yang sangat
indah dan sehat.
BAB IV
ANALISIS KOMPARATIF PENAFSIRAN M. RASYID RIDHA DAN
M. QURAISH SHIHAB TENTANG AYAT-AYAT YANG
BERKAITAN DENGAN AHLI KITAB
A. Penafsiran M. Rasyid Ridha tentang Ayat-ayat Seputar Ahl al-Kitâb
Term Ahl al-Kitâb yang ditafsirkan oleh Muhammad Rasyid Ridha
dalam Tafsir al-Manar, mempunyai pengertian yang berbeda dari pada
penafsiran jumhur ulama‟ baik dari ulama‟ klasik maupun kontemporer.
Hal ini dapat dilihat dari penggolongan yang dilakukan olehnya,
pengertian dari term Ahl al-Kitâb menurut para ulama, diartikan dengan
kelompok yang menerima kitab suci, sehingga hal ini menunjukkan bahwa
yang dimaksud oleh para ulama‟ ialah kaum Yahudi dan Nasrani yang
secara jelas menerima kitab suci dari Allah berupa Taurat dan Injil.
Dalam hal ini, Muhammad Rasyid Ridho menafsirkan bahwa ahl al-kitab,
tidak hanya terbatas oleh kaum Yahudi dan Nasrani saja. Sebagaimana
penafsiran yang dilakukan olehnya dalam Surat ali-Imrân/3: 19. Dia
menafsirkan bahwa makna Ahl al-Kitâb disini mencakup kelompok lain,
meskipun ayat ini diturunkan kepada kelompok Nasrani Najran.1
Kriteria Ahl al-Kitâb yang dijelaskan oleh Muhammad Rasyid Ridho
dalam Tafsir al-Manar yaitu sebagai berikut:
1. Pengutusan seorang Rasul
Seorang nabi dan rasul yang diutus oleh Allah kepada suatu
kaum, memiliki tugas untuk menyampaikan berita gembira kepada
kaumnya dan peringatan agar mereka senantiasa beribadah kepada
Allah , menjauhi segala bisikan dan godaan setan, serta menghimbau
mereka agar mengingat akan hari pembalasan. Hal ini telah dijelaskan
oleh Allah dalam Surat Yunus/10: 49, yang berbunyi:
َءۤاَج اَِذا ٌۚوََجا ٍث ٌَّ ُ ا ِ
ُِّكى ٗۗ ُ ِّللَّا َءۤاَش ا ٌَ
َّ
ِلَا اًػْفَج
َ
لَ َّو ا ًَضَ ِْسََْفِلن ُِميَْما ٓ
َّ
لَ ُْوك
َنْٔ ُمِدْلَخَْصي
َ
لَ َّو ًثَغاَش َنْوُرِخ
ْ
أَخَْصي ََلَف ًْ ُٓ ُيََجا
K t k nl h (N i Muh mm d), “ ku tid k ku s (menol k) mud r t
dan tidak pula (mendatangkan) manfaat kepada diriku, kecuali apa
y ng ll h kehend ki.” Seti p um t mempuny i j l ( t s w ktu).
Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan sesaat
pun dan tidak (pula) dapat meminta percepatan.
Bahwasanya seorang rasul yang diutus kepada setiap umat
memiliki fungsi untuk membimbing umatnya dengan baik agar selalu
senantiasa beriman kepada Allah dan hari akhir, serta memperbanyak
amal sholeh sesuai standar zaman umat ini .2 Berdasarkan sejarah.
bahwa umat terdahulu yang hidup sebelum diutusnya Nabi Muhammad
. menjadi seorang nabi atau rasul, telah menerima utusan seorang nabi
dan rasul. Berdasarkan firman Allah dalam Surat Fathir/35: 24, yang
berbunyi:
ِْناَوٗۗ اًْريَِذُ َّو اًْيَِْشب ِّقَ
ْ
لِْاة َمَِٰ
ْ
يَْشَرا ٓا َِّجا ٌْريَِذُ ا َٓ ِْيذ َلََخ
َّ
ِلَا ٍث ٌَّ ُ ا َْ ِ ٌّ
Sesungguhnya Kami mengutus engkau dengan membawa kebenaran
sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan.
Tidak ada satu umat pun, kecuali telah datang kepadanya seorang
pemberi peringatan.
Kendati demikian, sebagian diantara para rasul yang diutus
ini tidak dijelaskan dengan rinci oleh Al-Qur'an, Adapun
penyebab tidak dikisahkan kepada mereka sebagian daripada rasul-
rasul ini , sebab para pemilik peradaban diantaranya Bangsa China,
Mesir, India, dan Yunani tidak menjaga dengan baik keaslian
kandungan kitab suci yang telah disampaikan oleh para nabi mereka.3
sebagaimana yang temaktub dalam ayat Surat an-Nisa‟/4: 164 dan
Surat al-Ghafir/20: 78:
َّ
َكََوٗۗ َْميَيَغ ًْ ُٓ ْطُطْلَج ًْ َّى ًلَُُشرَو ُْوتَر َْ ٌِ َْميَيَغ ًْ ُٓ َِْٰطَطَك ْدَك ًلَُُشرَو ُ ِّللَّا ًَ
ۚ ا ًٍ ِْييَْسح َْٰسُٰٔم
Ada beberapa rasul yang telah Kami ceritakan (kisah) tentang mereka
kepadamu sebelumnya dan ada (pula) beberapa rasul (lain) yang tidak
Kami ceritakan (kisah) tentang mereka kepadamu. Allah telah benar-
benar berbicara kepada Musa (secara langsung).
ًْ َّى َْ ٌَّ ًْ ُٓ ٌِِْ َو َْميَيَغ اَِ ْطَطَك َْ ٌَّ ًْ ُٓ ٌِِْ َِمْيتَر َْ ِ ٌّ ًلَُُشر اَِ
ْ
يَْشَرا ْدَلَىَو
َِرل َنَكَ ا ٌَ َوٗۗ َْميَيَغ ْصُطْلَج ُرَْما َءۤاَج اَِذاَف ِۚ ِّللَّا ِْنِذِاة
َّ
ِلَا ٍَثيَِٰاة َِتِ
ْ
أَّي َْنا ٍل ْٔ ُش
َن ْٔ ُيِْؽت ٍُ
ْ
لا َِملاَِ ُْ َِسََِخو ِّقَ
ْ
لِْاة َِضُِك ِ ِّللَّا
Sungguh, Kami benar-benar telah mengutus rasul-rasul sebelum
engkau (Nabi Muhammad). Di antara mereka ada yang Kami ceritakan
kepadamu dan ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak
ada seorang rasul pun membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah.
Maka, apabila telah datang perintah Allah (hari Kiamat),
diputuskanlah (segala perkara) dengan adil. saat itu, rugilah para
pelaku kebatilan.
Demikian Allah mengabarkan, bahwasanya pengutusan seorang
rasul kepada suatu umat menunjukkan bahwa Allah hendak
memberikan peringatan serta seruan untuk berbuat baik kepada umat
ini melalui perantara para rasulnya. Bahkan perintah dan larangan
kepada suatu kaum ini kemungkinan juga telah termaktub di
dalam kitab mereka. Sebagaimana Yahudi dan Nasrani yang telah
dijelaskan dalam Al-Qur'an bahwa mereka telah diutus seorang rasul
dan nabi kepada mereka, Rasyid Ridha juga berpendapat bahwa
golongan lain seperti Majusi, Sabi‟in termasuk Ahl al-Kitâb, bahkan
kelompok diluar itu termasuk ke dalam Ahl al-Kitâb seperti Hindu,
Budha, dan Konfusius, sebab mereka mempunyai kitab sebagaimana
agama Yahudi dan Nasrani. Pendapat demikian didasarkan kepada
kenyataan sejarah dan informasi Al-Qur'an bahwa semua umat telah
diutus seorang rasul, sebelum diutusnya Rasulullah. sebagai petunjuk
kebenaran. Adapun setiap rasul ini diduga memiliki kitab suci,
meskipun isi kandungan dari kitab suci ini telah menyimpang dari
nash aslinya. Pendapat yang diberikan oleh Rasyid Ridha terkait Ahl al-
104
Kitâb berbeda dengan gurunya Muhammad Abduh. Adapun Abduh
menyatakan bahwa Ahl al-Kitâb mencakup Yahudi, Nasrani, dan
Sabi‟in, sebagaimana yang termaktub dalam Surat al-Baqarah/2: 62.4
Kemudian Rasyid Ridha menyatakan dalam Tafsir al-Manar,
terkait kaum Majusi, Shobi‟in, dan penyembah berhala di India, China
dan Jepang, dengan
“ hw sesungguhny k um M jusi, Sho i‟in, p r penyem h
berhala yang ada di India, China, dan yang semacamnya seperti
orang-orang Jepang, merupakan para Ahl al-Kitâb (orang-orang
yang mempunyai kitab suci) yang mengandung ajaran tauhid
sampai sekarang. Dan adapun dari keterangan sejarah dan
penjelasan daripada Al-Qur'an bahwa setiap umat telah diutus
kepada mereka seorang rasul, dan kitab-kitab mereka pada
awalnya merupakan kitab samawi, namun kemudian terjadi
penyimpangan sebagaimna penyimpangan yang terjadi pada kitab
suci orang-or ng Y hudi d n N sr ni.”5
Kriteria Ahl al-Kitâb yang telah dijelaskan sebelumnya, memiliki
arti orang-orang yang diturunkan kepada mereka nabi dan rasul yang
membawa kitab suci yang berasal dari wahyu Allah . Namun demikian,
sekelompok orang ini memiliki latar belakang yang jelas terkait
pengutusan rasul dan nabi dari agama mereka. Sehingga term Ahl al-
Kitâb, tidak dapat dihukumi secara umum dalam pemaknaannya.
2. Memiliki kitab suci
Setiap nabi dan rasul yang diutus oleh Allah, ditugaskan untuk
membimbing manusia agar beribadah dengan benar dan ikhlas serta
dalam bimbingan mereka terhadap umatnya tidak ada hal syirik
yang tercampur sedikitpun. Allah pula mewahyukan kepada mereka
kitab-kitab yang dijadikan sebagai pedoman dan petunjuk unutuk umat
mereka. Penyebutan Ahl al-Kitâb didasari oleh pendapat yang
mengatakan bahwa Ahl al-Kitâb yaitu mereka yang diberikan kitab
dari agama manapun.6 Hal ini dilansi dari oleh firman Allah Surat at-
Taubah/9: 29:
َُي
َ
لََو ِرِخ
َٰ ْ
لَا ِْمَٔ
ْ
لَِّاة
َ
لََو ِ ِّللَِّاة َنْٔ ُِ ٌِ ُْؤي
َ
لَ ََ ْحِ
َّ
لَّا ٔا ُِيحاَك ُ ِّللَّا َم َّرَخ ا ٌَ َن ْٔ ُِمّر
َثَيْز ِ
ْ
لْا ٔا ُؽْػُح ِّتَّٰخ َبَٰخِه
ْ
ىا ٔا ُحُْوا ََ ْحِ
َّ
لَّا ََ ٌِ ِّقَ
ْ
لْا ََ ْحِد َن ْٔ ُِ ْحَِدي
َ
لََو
ُ
ْٰٔ َُشرَو
َنْوُرِغ َٰض ًْ ُْ َّو ٍدَّي َْ َخ
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari
akhir, tidak mengharamkan (menjauhi) apa yang telah diharamkan
(oleh) Allah dan Rasul-Nya, dan tidak mengikuti agama yang hak
(Islam), yaitu orang-orang yang telah diberikan Kitab (Yahudi dan
Nasrani) hingga mereka membayar jizyah dengan patuh dan mereka
tunduk.
Rasyid Ridha di dalam Tafsir al-Manar menafsirkan ungkapan
lafaz alladzina utu al-kitab dalam ayat di atas yaitu kitab yang
diturunkan oleh Allah berupa Taurat, Injil, Zabur yang diturunkan
kepada nabi Daud as. dan lainnya. Lafaz ini pada dasarnya tertuju
kepada kaum Yahudi dan Nasrani, sebab mereka yaitu kaum yang
hidup berdampingan dan juga sudah dikenal oleh bangsa arab pada saat
itu.7 Pembahasan yang lain seputar kaum Majusi dan Shabi‟in,
menimbulkan perbedatan diantara ulama, sebab diduga mereka masuk
kedalam kategori musyrik, sebab tidak menyembah Allah,
sebagaimana yang dijelaskan didalam Surat al-Hajj/22: 17:
ََ ْحِ
َّ
لَّاَو َْسُٔج ٍَ
ْ
لاَو ى َٰ َٰصَّٰلناَو َْيْ ٕـِ ِ ةا َّطلاَو اْوُدا َْ ََ ْح ِ
َّ
لَّاَو أْ ُِ ٌَ
َٰ
ا ََ ْحِ
َّ
لَّا َِّنا
ٌْديِٓ َش ٍء ْ
ََ ِ
ّ ُُ
َٰ
َعَ َ ِّللَّا َِّنا ِث ٍَ َٰيِل
ْ
ىا َْمَٔي ًْ ُٓ َِ َْية ُوِطْفَح َ ِّللَّا َِّنا ۖآْٔ ُك ََْشْا
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi,
Sabiin, Nasrani, Majusi, dan orang-orang yang menyekutukan Allah
akan Allah berikan keputusan di antara mereka pada hari Kiamat.
Sesungguhnya Allah menjadi saksi atas segala sesuatu.
Ayat diatas, memberikan gambaran bahwa golongan-golongan
agama yang disebutkan yakni Majusi dan Shabi‟in tidak termasuk
kedalam golongan musyrik, Hal ini disebab kan orang-orang Majusi
dan Shabi‟in sebenarnya mempunyai kitab suci yang diwahyukan oleh
Tuhan kepada mereka, akan tetapi kitab suci ini mulai tidak
diketahui keasliannya atau keorisinalitasannya disebab oleh jenjang
waktu yang cukup lama dan telah bercampur dengan hal lainnya.8
Kemudian diyakini juga bahwa kitab ini tidak lain yaitu juga
merupakan kitab suci, yang disebut sebagai syibh al-kitab.9
sebagaimana yang telah dijelaskan didalam Surat Fathir/35: 24:
ٌْريَِذُ ا َٓ ِْيذ َلََخ
َّ
ِلَا ٍث ٌَّ ُ ا َْ ِ ٌّ ِْناَوٗۗ اًْريَِذُ َّو اًْيَِْشب ِّقَ
ْ
لِْاة َمَِٰ
ْ
يَْشَرا ٓا َِّجا
Sesungguhnya Kami mengutus engkau dengan membawa kebenaran
sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan.
Tidak ada satu umat pun, kecuali telah datang kepadanya seorang
pemberi peringatan.
Dan juga di dalam Surat ar-Ra‟d/13: 7:
ِ
ُِّكى َّو ٌرِْذِ ٌُ َْجَُا ٓ ا ٍَ َِّجا ِّّب َّر َْ ِ ٌّ ٌَثي
َٰ
ا ِّْيَيَغ َِلْزُُا
ٓ َلَْٔ َ ل اْوُرَفَز ََ ْحِ
َّ
لَّا ُل ْٔ ُلَيَو
ٍدا َْ ٍم ْٔ َك
Orang-orang yang kufur berkat , “Meng p tid k diturunk n
kep d ny (N i Muh mm d) su tu t nd (mukjiz t) d ri Tuh nny ?”
Sesungguhnya engkau (Nabi Muhammad) hanyalah seorang pemberi
peringatan dan bagi setiap kaum ada pemberi petunjuk.
Selain daripada kaum Majusi dan Shabi‟un, menurut Tafsir al-
Manar ada juga beberapa golongan lain yang tidak disebutkan oleh Al-
Qur'an , namun mereka juga termasuk kedalam golongan Ahl al-Kitâb
yaitu Budha, Brahma (Hindu), dan Konfusius. Adapun Majusi dan
Shabi‟un diterangkan oleh Al-Qur'an secara jelas sebab mereka hidup
disekitar jazirah Arab, yang mana pada saat itu umat Islam hidup
berdampingan dengan mereka secara langsung seperti di Irak dan
Bahrain. Namun, orang-orang yang hidup diluar jazirah Arab seperti
India, China, dan Jepang serta daerah lainya, secara eksplisit tidak
tercantum di dalam Al-Qur'an. Menurut Rasyid Ridha, meskipun
agama-agama yang tidak disebutkan oleh Al-Qur'an secara langsung
seperti Hindu, Budha, dan Kong Fu Tse, bukan berarti Allah
mengenyampingkan keberadaan mereka, meskipun mereka berada di
luar jazirah Arab, sehingga seakan-akan Al-Qur'an tidak menjangkau
pembahasan terkait kelompok mereka.10
Hal ini menjadikan golongan-golongan ini yakni Majusi,
Shabi‟un, Budha, Hindu, dan Kong Fu Tse termasuk kedalam golongan
Ahl al-Kitâb, sebab mereka juga memiliki kitab suci yang disebut
dengan syibh al-kitab.11 Rasyid Ridha juga menekankan bahwasanya
yang disebut Musyrik oleh Al-Qur'an pada masa penurunannya ialah
Musyrik Arab, yang mana mereka tidak mempunyai kitab atau shibh
al-kitab, sebab mereka yaitu ummiyyin.12 Dengan timbulnya anggapan
bahwa Hindu, Budha, dan Kong Fu Tse memiliki kitab suci atau
disebut juga dengan shiibh al-kitab. Tentu hal ini, menimbulkan
pendapat bahwa kitab ini juga bersumber dari wahyu tuhan. Kitab
suci yang ada di dalam agama-agama yang ada dikategorikan menjadi
dua yaitu kitab samawi, sebab kitab ini bersumber langsung dari
firman Allah, sedangkan kitab yang tidak bersumber dari Allah disebut
dengan al-kitab al-ardi, disebab kan agama Hindu, Budha serta Kong
Fu Tse muncul disebabkan oleh pengaruh adat dan budaya.13
Meskipun agama-agama ini saat ini diyakini memiliki kitab
suci, sudah pasti isi kandungan daripada kitab ini bukan berasal
daripada wahyu Allah, melainkan buah dari akal dan pemikiran
manusia. Hal ini menjadi pembeda diantara Ahl al-Kitâb yang telah
dijelaskan sebelumnya, bahwa diantara mereka ada yang disebutkan
oleh Al-Qur'an secara langsung seperti Yahudi dan Nasrani,
disebab kan mereka telah menerima wahyu secara langsung melalui
perantara nabi dan rasul mereka, sedangkan Majusi, Shobi‟un, Budha,
Hindu, dan Kong Fu Tse tidak mempunyai proses penerimaan wahyu
yang jelas dari para nabi dan rasul.
Status Ahl al-Kitâb dalam Tafsir Al-Manar memberikan
gambaran bahwa Rasyid Ridha di dalam Tafsir al-Manar, menerangkan
secara gamblang bahwa agama-agama yang secara tidak langsung
disebutkan oleh Al-Qur'an, seperti Hindu, Budha, dan Kong Fu Tse,
termasuk kedalam kriteria Ahl al-Kitâb. Kemudian pembahasan terkait
status keimanan serta kedudukan mereka di dalam Al-Qur'an, masih
menjadi hal yang dipertanyakan. Berdasarkan informasi yang
terkandung di dalam Al-Qur'an, diperoleh keterangan bahwa predikat
kafir terlihat secara eksplisit diberikan kepada Ahl al-Kitâb. Sementara
predikat musyrik menjadi samar-samar. sebab , kalau dilihat dari sikap
dan perilaku Ahl al-Kitâb, terkesan mereka termasuk musyrik, tetapi
hal ini tidak diungkapkan Al-Qur'an secara ekspllisit. Hal ini
menjadi suatu kewajaran, jikalau timbulnya perbedaan pandangan di
antara ulama‟ terkait stasus kemusyrikan Ahl al-Kitâb. Perbedaan
interpretasi dan pandangan mengenai hal ini, juga mempunyai
implikasi hukum dalam konteks sosial kemasyarakatan yang cukup
jauh berbeda. Yaitu, perbedaan yang lahir sebagai akibat dari
perbedaan mengenai kedudukan Ahl al-Kitâb dalam posisi kafir atau
musyrik.14
Terkait kekafiran Ahl al-Kitâb, Rasyid Ridha dalam Tafsir al-
Manar menerangkan suatu ayat Al-Qur'an yang mengandung unsur
kekafiran Ahl al-Kitâb, yang berisi penolakan mereka terhadap ajaran
yang dibawa oleh Nabi Muhammad., seperti yang dijelaskan di dalam
Surat al-Baqarah/2: 89:
ُْوتَر َْ ٌِ أْ َُُكََو ُۙ ًْ ُٓ َػ ٌَ ا ٍَ ِ
ّ
ل ٌق ِّدَطُم ِ ِّللَّا ِْدِِغ َْ ِ ٌّ ٌبَِٰخن ًْ ُْ َءۤاَج ا ٍَّ
َ لَو
ا ٍَّ ََيف ۚاْوُرَفَز ََ ْحِ
َّ
لَّا
َ
َعَ َنْٔ ُِدخْفَخَْصي َِ ْػََيف ِّۖة اْوُرَفَز أْ ُفَرَغ ا ٌَّ ًْ ُْ َءۤاَج ُث
ََ ْيِرِف
َٰس
ْ
ىا
َ
َعَ ِ ِّللَّا
Setelah sampai kepada mereka Kitab (Al-Qur'an) dari Allah yang
membenarkan apa yang ada pada mereka, sedangkan sebelumnya
mereka memohon kemenangan atas orang-orang kafir, ternyata setelah
sampai kepada mereka apa yang telah mereka ketahui itu, mereka
mengingkarinya. Maka, laknat Allahlah terhadap orang-orang yang
ingkar.
Dalam Tafsir al-Manar, Rasyid Ridho mengutip pendapat dari
gurunya yakni Muhammad Abduh, bahwa ayat ini masih memiliki
hubungan dengan ayat yang sebelumnya. Dimana keimanan yang
dimiliki oleh Ahl al-Kitâb, yang pada ayat ini yaitu orang Yahudi,
kepada Allah hanyalah sedikit, serta mereka menunggu sosok nabi serta
kitab suci yang mereka percayai yakni Al-Qur'an dan melalui sosok
nabi ini mereka mampu memperoleh kemenangan atas kaum
musyrikin, dengan mengatakan, “bahwa dia (Musa as) telah tampak
dan akan menolong mereka untuk menyiarkan nilai tauhid yang mereka
anut, maka hal ini menjadikan ajaran paganisme yang dianut oleh
Musyrik Arab dapat dihancurkan sehingga agama Musa as. tegak.”
Lalu Rasyid Ridha juga mengatakan bahwa ayat ini diriwayatkan oleh
Muhammad bin Ishaq dari para tetua kaum ansor, yang mana ayat ini
menceritakan tentang kaum Yahudi Madinah yang mengatakan bahwa
mereka mempunyai derajat yang lebih tinggi, sebab mereka yaitu ahl
al-syirk sedangkan mereka kaum musyrikin merupakan Ahl al-Kitâb.
Kemudian satu hal yang menjadikan mereka kufr bahwasanya
Nabi akhir zaman yang ditunjuk oleh Allah yaitu Nabi Muhammad.
diutus kepada bangsa Arab, yang dikenal oleh mereka merupakan
bangsa tertinggal dan bodoh, sehingga hal ini menjadikan mereka iri
dan dengki. Adapun akibat dari kedengkian ini , menjadikan
mereka kufr dan enggan untuk menaati Nabi Muhammad. Lalu Allah,
menjadikan sifat kufr ini, menjadi sifat alami yang mereka miliki.15
Rasyid Ridha juga mengungkapkan beberapa ayat yang menyatakan
bahwa Ahl al-Kitâb telah kufr, sebagaimana yang terkandung di dalam
Surat ali-Imran/3: 70:
َٰخِه
ْ
ىا َو ْْ َاّّ ي َنْوُد َٓ َْشت ًْ ُخَْجاَو ِ ِّللَّا ِجَٰيَِٰاة َنْوُرُفَْسح ًَ ِ ل ِب
Wahai Ahlulkitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah,
padahal kamu mengetahui (kebenarannya)?
Menurut al-Sya‟rawi, ayat ini menjelaskan tentang keangkuhan
dan kesombongan kaum Yahudi yang enggan untuk menerima ayat-
ayat Allah yang datang daripada Rasulullah. Dimana mereka kaum
Yahudi juga termasuk Ahl al-Kitâb yang diwahyukan kepada mereka
kitab suci yaitu Taurat. Lafaz kufr yang ada di dalam ayat ini
menunjukkan bahwa mereka telah mengetahui akan kedatangan
seorang Rasul yang ciri dan sifatnya telah diterangkan dengan jelas di
dalam kitab suci mereka. Namun mereka enggan untuk mengakuinya
disebab kan rasul atau nabi yang diutus ini bukan dari kalangan
mereka.16
Rasyid Ridha di ayat yang lain, menerangkan terkait Ahl al-
Kitâb yang dikelompokkan menjadi dua kelompok yakni kelompok
yang beriman dan yang fasik. Hal ini diungkapkan olehnya, sebab di
dalam Al-Qur'an telah dijelaskan bahwa diantara mereka Ahl al-Kitâb,
masih ada yang beriman namun kebanyakan dari mereka telah berbuat
fasik sebab keluar dari ajaran yang mereka dapat dari kitab suci
mereka, hal ini tercantum di dalam Surat ali-Imrân/3: 110:
ِرَْهِ ٍُ
ْ
لا َِ َغ َن
ْٔ َٓ َِْتَو ِْفوُرْػ ٍَ
ْ
لِاة َنْوُرُم
ْ
َأح ِساَِّ ِيل ْجَِجرُْخا ٍث ٌَّ ُ ا َْيَْخ ًْ ُْخُِن
َنْٔ ُِ ٌِ ْؤ ٍُ
ْ
لا ًُ ُٓ ٌِِْ ٗۗ ًْ ُٓ
َّ
ل اًْيَْخ َنَكََى ِبَٰخِه
ْ
ىا ُو ْْ َ ا ََ ٌَ
َٰ
ا ْٔ َ لَو ٗۗ ِ ِّللَِّاة َنْٔ ُِ ٌِ ُْؤحَو
َنْٔ ُلِص َٰف
ْ
ىا ًُ ُْ َُثَْزاَو
Kamu (umat Islam) yaitu umat terbaik yang dilahirkan untuk
manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah
dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Seandainya Ahlulkitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada
yang beriman dan kebanyakan mereka yaitu orang-orang fasik.
Dari ayat ini, Rasyid Ridha menerangkan bahwa apabila mereka
Ahl al-Kitâb beriman kepada Allah dan Rasulullah. akan menjadi
kebaikan bagi mereka baik di dunia maupun di akhirat. Namun, hanya
sebagian diantara mereka yang beriman seperti Abdullah bin Salam
beserta keluarganya yang berasal dari kalangan Yahudi dan Najasyi
beserta keluarganya yang berasal dari kalangan Nasrani, sedangkan
kebanyakan daripada Ahl al-Kitâb yaitu orang-orang fasik yang tidak
teguh dengan ajaran agama mereka.17 Kemudian di ayat yang lain yakni
pada Surat al-Mâidah/5: 68, Rasyid Ridha menerangkan bahwa Ahl al-
Kitâb yang menggunakan akal pikiran mereka terhadap ayat-ayat Allah
serta mengimani dengan iman yang benar terhadap diri-Nya serta para
rasul, maka mereka termasuk kedalam golongan hamba-hamba yang
beriman. Kemudian, disebab kan oleh doktrin dari ajaran agama
mereka yang masih melekat kuat di dalam kehidupan mereka, maka
keimanan terhadap Allah serta Rasulullah. tidak dapat dicapai oleh
mereka. Kendati demikian bagi mereka Ahl al-Kitâb yang masih
menjaga nilai ketauhidan, maka mereka tidak dapat dipengaruhi oleh
berbagai macam doktrin buruk yang berusaha menutupi cahaya iman
mereka, kemudian mereka melihat Al-Qur'an sebagai petunjuk dari
Allah , dan juga mereka meyakini bahwa Nabi Muhammad. yaitu nabi
terakhir yang telah dijelaskan di dalam kitab suci mereka.18
Berdasarkan beberapa keterangan yang menunjukkan kekafiran
Ahl al-Kitâb di atas, dengan bukti dari berbagai dalil Al-Qur'an yang
membahas terkait kekafiran mereka, seperti keingkaran akan kenabian
Muhammad. sebagai nabi yang terakhir, serta tidak mengimani akan
petunjuk yang dibawa olehnya berupa Al-Qur'an. Namun, Allah juga
menerangkan bahwa masih ada diantara mereka yang beriman bahkan
masuk Islam. Sehingga hal ini, membuat Rasyid Ridha yakin bahwa
term kufr yang ditujukan kepada Ahl al-Kitâb bukan menunjukkan
bahwasanya mereka telah kafir dari asalnya, melainkan disebab kan
oleh kefasikan mereka yang menjadikan mereka termasuk kedalam
golonga orang-orang yang kafir.
Sedangkan Term Musyrik merupakan isim fa‟il dari asyraka,
yusyriku, isyrakan, yang secara literal mengandung pengertian
menjadikan sesuatu sebagai sekutu daripada sesuatu yang lain,
sehingga menjadikan keduanya tidak terpisahkan.19 Sedangkan secara
terminologi, syirk artinya membuat atau menjadikan sesuatu selain
Allah sebagai tambahan, objek pemujaan, dan atau tempat
menggantungkan harapan dan dambaan. Dalam Al-Qur'an, term syirk
dalam berbagai bentuk macam katanya, terulang sebanyak 168 kali.20
Pengertian yang tekandung di dalamnya, secara umum, dapat
dikembalikan kepada arti kebahasaan. Kendati demikian, tidak semua
term yang berasal dari kata dasar syaraka memiliki arti menyekutukan
Allah , meskipun pengertian ini lebih banyak digunakan oleh Al-
Qur'an , tetap saja term yang mempunyai dasar syaraka sebagian besar
masih dikaitkan dengan kesyirikan.21
Adapun kaitannya dengan pembahasan Ahl al-Kitâb, term syirik
di dalam Al-Qur'an disebutkan dengan kalimat “alladzina asyaku”
(orang-orang yang berbuat syirik) yang disandingkan dengan term Ahl
al-Kitâb seperti al-yahud, utu al-kitab, dan Nasrani. Dan ditemukan
pada tiga ayat yang ada di dalam Al-Qur'an, adapun daripada
ketiga ayat ini guna membedakan antara komunitas musyrik dan
ahl al-kitab, yaitu pada Surat al-Mâidah/5: 82, Surat ali-Imrân/3: 186,
dan Surat al-Hajj/22: 17. Pada ayat-ayat ini , mereka yang
diidentifikasi sebagai orang-orang musyrik yaitu penyembah berhala,
walaupun mungkin saja mereka mengakui juga keberadaan Allah.22
Pendapat para ulama terkait musyriknya Ahl al-Kitâb,
menimbulkan berbagai macam pandangan yang berbeda. Seperti
halnya, Fakhru al-Razi menyatakan bahwa Ahl al-Kitâb termasuk
kedalam kategori musyrik sebagaimana yang telah diterangkan di
dalam Surat at-Taubah/9: 30.
ًْ ُٓ ُ ل ْٔ َك َِملَٰذٗۗ ِ ِّللَّا َُ ْبا ُْحيِص ٍَ
ْ
لا ى َ َٰصَّٰلنا َِجىاَكَو ِ ِّللَّا َُ ْبِا ُْريَزُغ ُْدٔ ُٓ َ
ْ
لَّا َِجىاَكَو
ِّ
َّٰا ۚ ُ ِّللَّا ًُ ُٓ ََيحاَكٗۗ ُْوتَر َْ ٌِ اْوُرَفَز ََ ْحِ
َّ
لَّا َل ْٔ َك َن ْٔ ُِٔـْاَُغي ۚ ًْ ِٓ ِْأَ
َْفِاة َنْٔ َُهفُْؤي
Orang-or ng Y hudi erk t , “Uz ir putr ll h,” d n or ng-orang
N sr ni erk t , “ l-M sih putr ll h.” tul h uc p n merek
dengan mulut-mulut mereka. Mereka meniru ucapan orang-orang yang
kufur sebelumnya. Allah melaknat mereka; bagaimana mereka sampai
berpaling?
Hal ini disebab Ahl al-Kitâb dari kalangan Yahudi dan Nasrani
menyatakan bahwa Allah memiliki anak. Perbuatan ini merupakan
bentuk kesyirikan yang sangat fatal, sehingga al-Razi mengatakan
bahwa kesyirikan para penyembah berhala lebih ringan daripada
kesyirikan kaum Yahudi dan Nasrani, sebab para penyembah berhala
tidak mengatakan bahwa berhala yang mereka sembah yaitu pencipta
alam semesta dan Tuhan semesta alam, sedangkan mereka kaum
Nasrani menetapkan hulul dan ittihad kedalam ajaran mereka, ini
merupakan kesyirikan yang sangat buruk.23
Berbeda dengan pandangan musyrik yang diungkapkan oleh al-
Razi sebelumnya, Rasyid Ridha mengatakan bahwa ungkapan Musyrik
yang terkandung di dalam ayat ini, secara khusus hanya ditujukan
kepada para penyembah berhala di Arab yang tidak memiliki kitab
pedoman (kitab suci),24 adapun Ahl al-Kitâb secara khusus hanya
ditujukan kepada kaum Yahudi dan Nasrani. Adapun Shobiun dan
Majusi, keduanya juga dianggap sebagaimana Ahl al-Kitâb sebab
mereka juga disebutkan oleh Al-Qur'an bersamaan dengan Yahudi dan
Nasrani.25 Begitu Pula, Sayyid Qutub yang juga mengatakan demikian,
namun dia sedikit menambahkan bahwa Ahl al-Kitâb termasuk
kedalam golongan orang kafir dan tidak tidak termasuk kedalam
golongan musyrik, sebagaimana yang tercantum di dalam Surat al-
Mâidah/5: 78:
َِ
ْةا َْسَيَِغو َد واَد ِناَِصل
َٰ
َعَ َْوِيءۤا َِْسْا َِْٓنة ْۢ َْ ٌِ اْوُرَفَز ََ ْحِ
َّ
لَّا ََ ِػ
ُى
َنْوُدَخْػَح أْ َُُكَ َّو أْ َطَغ ا ٍَ ِ ة َِمل
َٰذٗۗ ًَ َيْرَم
Orang-orang yang kufur dari Bani Israil telah dilaknat (oleh Allah)
melalui lisan (ucapan) Daud dan Isa putra Maryam. Hal itu sebab
mereka durhaka dan selalu melampaui batas.
Kemudian, ungkapan musyrik dan Ahl al-Kitâb di dalam Al-
Qur'an selalu diungkapkan terpisah, sebagaimana yang terkandung
dalam Surat al-Baqarah/2: 105:
اْوُرَفَز ََ ْحِ
َّ
لَّا ُّدَٔ َي ا ٌَ ًْ ُْسيَيَغ َل ََّنِ ُّح َْنا َِْيْكِ
ِْ ٍُ ْ لا
َ
لََو ِبَٰخِه
ْ
ىا ِو ْْ َ ا َْ ٌِ
ِوْغَف
ْ
ىا وُذ ُ ِّللَّاَو ٗۗ ُءۤاَشَّ ي َْ ٌَ ِّخََْحِْرة ُّصَْخَيَّ ُ ِّللَّاَو ٗۗ ًْ ُِسّب َّر َْ ِ ٌّ ٍْيَْخ
َْ ِ ٌّ
ًِ ْيِظَػ
ْ
ىا
Orang-orang kafir dari golongan Ahlulkitab dan orang-orang musyrik
tidak menginginkan diturunkannya kepadamu suatu kebaikan dari
Tuhanmu. Akan tetapi, secara khusus Allah memberikan rahmat-Nya
kepada orang yang Dia kehendaki. Allah pemilik karunia yang besar.
Kemudian, pada Surat al-Bayyinah/98: 1:
ََ ْحِ
َّ
لَّا َِ َُسي
ًْ َ ل ًُ ُٓ َِيت
ْ
َأح ِّتَّٰخ َْيِّْهَْفِ ٌُ َِْيْكِ
ِْ ٍُ ْ لاَو ِبَٰخِه
ْ
ىا ِو ْْ َ ا َْ ٌِ اْوُرَفَز
ُۙ ُثَِ ِ َّي
ْ
لْا
Orang-orang yang kufur dari golongan Ahlulkitab dan orang-orang
musyrik tidak akan meninggalkan (kekufuran mereka) sampai datang
kepada mereka bukti yang nyata.
Adapun yang hal yang menjadi pembeda antara musyrik dan Ahl
al-Kitâb pada kedua ayat diatas yakni pada lafaz waw „atf yang
menghubungkan antara kedua term ini . Munculnya lafaz ini ,
menandakan adanya perbedaan hubungan diantara kedua term
ini .26
Kemudian dalam beberapa ayat lain, Rasyid Ridha melihat
bahwa Ahl al-Kitâb juga memiliki kesamaan dengan muslim, hal ini
dilandasi oleh adanya ayat Al-Qur'an yang menyebutkan term musllim
dan Ahl al-Kitâb secara bersamaan, berbeda halnya dengan term
musyrik dan Ahl al-Kitâb yang tidak memiliki tujuan yang sama.
Adapun beberapa firman Allah yang menyebutkan bahwa muslim dan
Ahl al-Kitâb mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk mentauhidkan
Allah, diantaranya yaitu sebagai berikut: Surat al-Baqarah/2: 62:
ِْمَٔ
ْ
لَّاَو ِ ِّللَِّاة ََ ٌَ
َٰ
ا َْ ٌَ َْيْ ٕـِ ِـةا َّطلاَو ى َٰ َٰصَّٰلناَو اْوُدا َْ ََ ْح ِ
َّ
لَّاَو أْ ُِ ٌَ
َٰ
ا ََ ْحِ
َّ
لَّا َِّنا
ًْ ُْ
َ
لََو ًْ ِٓ ْي
َيَغ ٌْفَٔخ
َ
لََو ۚ ًْ ِٓ ِ ّبَر َْدِِغ ًْ
ُْ ُرَْجا ًْ ُٓ ََيف اًِلْاَض َوٍِ ََغو ِرِخ
َٰ ْ
لَا
َنْٔ َُُْزَي
26 Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr…, Jilid. II, hal. 349.
114
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi,
orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabiin, siapa saja (di antara
mereka) yang beriman kepada Allah dan hari Akhir serta melakukan
kebajikan (pasti) mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut
yang menimpa mereka dan mereka pun tidak bersedih hati.
Surat al-Baqarah/2: 136:
ًْ ُسُغْػَب أْ ُِؽت ْْ ا اَِ
ْ
ُيكَو ِِّْۖيذ َاَُكَ ا ٍَّ ِم ا ٍَ ُٓ ََجرَْخاَف ا َٓ َِْخ َُ َْٰؽي َّشلا ا ٍَ ُٓ
َّ
لََزاَف
ٍْيِْخ
َٰ
ِلَا ٌعاَخ ٌَ َّو ٌّرَلَخْصُم ِْضرَ
ْ
لَا ِفِ ًْ َُسىَو ۚ ٌّوُدَغ ٍظْػَِلْ
Lalu, setan menggelincirkan keduanya darinya sehingga keduanya
dikeluarkan dari segala kenikmatan saat keduanya ada di sana
(surg ). K mi erfirm n, “Turunl h k mu! Se gi n k mu menj di
musuh bagi yang lain serta bagi kamu ada tempat tinggal dan
kesen ng n di umi s mp i w ktu y ng ditentuk n.”
Surat Ali Imrân/3: 64:
ُْوك
َ
لََو َ ِّللَّا
َّ
ِلَا َدُتْػَج
َّ
َلَا ًْ ُسَِ ْيَبَو اَِ َِ َْية ْۢ ٍءۤا َٔ َش ٍث ٍَ ِ َكَ
َٰ
ِلَا أْ َ لاَػَت ِبَٰخِه
ْ
ىا َو ْْ َاّّ ي
أْ َّى َٔ َح ِْناَف ٗۗ ِ ِّللَّا ِنْوُد َْ ِ ٌّ ًاةاَبَْرا اًغْػَب اَِ ُغْػَب َذِخَّخَح
َ
لَ َّو أًْـيَش ِّة َِك ِْ ُ ن
اََُِّاة اْوُد َٓ ْشا ٔا ُ ل ْٔ ُلَذ َنْٔ ٍُ ِيْصُم
K t k nl h (N i Muh mm d), “W h i hlulkit , m ril h (kit )
menuju pada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan
kamu, (yakni) kita tidak menyembah selain Allah, kita tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, dan tidak (pula)
sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan
sel in ll h.” Jik merek erp ling, k t k nl h (kep d merek ),
“S ksik nl h hw sesungguhny k mi d l h or ng-or ng muslim.”
Surat al-Ankabut/29: 46:
َٰخِه
ْ
ىا َو ْْ َ ا آْٔ ُ ِلداَ
ُ
تُ
َ
لََو ْٓٔا ُ ل ْٔ ُكَو ًْ ُٓ ٌِِْ أْ ٍُ َيَظ ََ ْحِ
َّ
لَّا
َّ
ِلَا ۖ َُ َصَْخا َِهِ ِْتّٰ
َّىِاة
َّ
ِلَا ِب
َ
ٰ َُ ْ
َ
نَ َّو ٌدِخاَو ًْ ُس ُٓ
َٰ
ِلاَو اَِ ُٓ
َٰ
ِلاَو ًْ ُْس
َ
ِلَّا َِلْزُُاَو اَِ ْ
َ
ِلَّا َِلْزُُا ْٓيِ
َّ
لَِّاة اَِّ ٌَ
َٰ
ا
َنْٔ ٍُ ِيْصُم
Janganlah kamu mendebat Ahlulkitab melainkan dengan cara yang
lebih baik, kecuali terhadap orang-orang yang berbuat zalim di antara
115
merek . K t k nl h, “K mi erim n p d (kit ) y ng diturunk n
kepada kami dan yang diturunkan kepadamu. Tuhan kami dan
Tuhanmu yaitu satu. Hanya kepada-Nya kami berserah diri.”
Menurut Rasyid Ridha, kaum Majusi juga termasuk kedalam
golongan Ahl al-Kitâb, dan bukan termasuk kedalam golongan orang-
orang yang musyrik. Hal ini, disebab kan sebagian ulama‟ mengatakan
bahwa mereka juga memiliki kitab yang menyerupai kitab suci yang
dimiliki oleh Yahudi dan Nasrani yang disebut dengan syibh al-kitab.27
Maka untuk itu, adapun pendapat yang mengatakn bahwa Majusi
termasuk kedalam golongan musyrik yaitu tidak benar menurut
Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar. Sebagaimana yang tercantum
dalam Surat al-Hajj/22: 17:
ََ ْحِ
َّ
لَّاَو َْسُٔج ٍَ
ْ
لاَو ى َٰ َٰصَّٰلناَو َْيْ ٕـِ ِ ةا َّطلاَو اْوُدا َْ ََ ْح ِ
َّ
لَّاَو أْ ُِ ٌَ
َٰ
ا ََ ْحِ
َّ
لَّا َِّنا
ٌْديِٓ َش ٍء ْ
ََ ِ
ّ ُُ
َٰ
َعَ َ ِّللَّا َِّنا ِث ٍَ َٰيِل
ْ
ىا َْمَٔي ًْ ُٓ َِ َْية ُوِطْفَح َ ِّللَّا َِّنا ۖآْٔ ُك ََْشْا
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi,
Sabiin, Nasrani, Majusi, dan orang-orang yang menyekutukan Allah
akan Allah berikan keputusan di antara mereka pada hari Kiamat.
Sesungguhnya Allah menjadi saksi atas segala sesuatu.
Para ulama sepakat bahwa termasuk golongan Ahl al-Kitâb dua
komunitas penganut agama samawi sebelum islam yaitu kaum yahudi
dan nasrani .28
Berdasarkan dari beberapa pendapat tentang musyriknya Ahl al-
Kitâb menurut pandangan Rasyid Ridha diatas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa Rasyid Ridha menyatakan bahwa musyrik dan
Ahl al-Kitâb merupakan dua kelompok yang tidak dapat disatukan atau
disamakan. Menurutnya hal ini, didasari oleh beberapa ayat Al-Qur'an
yang memisahkan antara kedua term ini, sehingga di dalam
penafsirannya juga berbeda. Term musyrik menurutnya, lebih
cenderung kepada musyrik arab atau para penyembah berhala yang
tidak mempunyai kitab pedoman sebagai tuntunan hidup, berbeda
halnya dengan Yahudi dan Nasrani yang mempunyai kitab pedoman,
yang mana hal ini membuktikan bahwa mereka termasuk kedalam
golongan Ahl al-Kitâb. Rasyid Ridha juga menghargai dan
menghormati sebagian Ahl al-Kitâb yang masih beriman kepada kitab
suci mereka, mengakui kerasulan Muhammad , serta mendengar seruan
Al-Qur'an . Oleh sebab hal itu, Rasyid Ridha tidak menyatakan bahwa
secara umum Ahl al-Kitâb termasuk kedalam golongan orang-orang
yang musyrik.
Dalam Tafsir al-Manar disebutkan bahwa pada dasarnya Ahl al-
Kitâb merupakan agama tauhid. Namun, dengan banyaknya orang-
orang musyrik yang masuk, agama mereka mulai dimasuki pengaruh-
pengaruh syirik. Hal ini disebabkan mereka yang baru masuk (orang
musyrik yang menjadi Ahl al-Kitâb) tidak berusaha meninggalkan
kebiasaan mereka terdahulu, sehingga Allah dengan tegas membedakan
antara Ahl al-Kitâb dengan musyrik.29
Rasyid Ridha secara panjang lebar mengungkapkan cakupan
makna Ahl al-Kitâb dalam ayat berikut ini:
ٌّوِخ َبَٰخِه
ْ
ىا ٔا ُحُْوا ََ ْحِ
َّ
لَّا ُماَػَؼَو ُٗۗجَِٰتّي َّؽىا ًُ َُسى َّوُِخا َْمَٔ
ْ
َلَّا
ََ ٌِ ُجََِٰطْد ٍُ
ْ
لاَو ِجٌَِِٰ ْؤ ٍُ
ْ
لا ََ ٌِ ُجََِٰطْد ٍُ
ْ
لاَو ۖ ًْ ُٓ
َّ
ل ٌّوِخ ًْ ُس ٌُ اَػَؼَو ۖ ًْ ُسَّى
ْٔ ُُجا ََّ ُْ ْٔ ٍُ ُْخَيح
َٰ
ا ٓ اَِذا ًْ ُِسْيتَر َْ ٌِ َبَٰخِه
ْ
ىا أُحُْوا ََ ْحِ
َّ
لَّا َْيَْد َِْيِِْطُْمُ ََّ ُْ َر
َِػتَخ ْدَلَذ ِنا ٍَ ِْح
ْ
لَِاة ْرُفْسَّي َْ ٌَ َو ٍناَدَْخا ْٓيِذِخَّخ ٌُ
َ
لََو َْيِْدِف َٰصُم
ََ ْيِِسِ
َٰ ْلْا ََ ٌِ ِةَرِخ
َٰ ْ
لَا ِفِ َٔ ُْ َو ۖ ّ ُي ٍَ َخ
Pada hari ini dihalalkan bagimu segala (makanan) yang baik.
Makanan (sembelihan) Ahl al-Kitâb itu halal bagimu dan makananmu
halal (juga) bagi mereka. (Dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-
perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-
perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum
kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya,
tidak dengan maksud berzina, dan tidak untuk menjadikan (mereka)
pasangan gelap (gundik). Siapa yang kufur setelah beriman, maka
sungguh sia-sia amalnya dan di akhirat dia termasuk orang-orang
yang rugi. (al-Mâidah/5: 5)
Ayat ini berisi tentang kebolehan seorang muslim untuk makan
makanan dari Ahl al-Kitâb dan dihalalkannya seorang lelaki muslim
untuk menikahi perempuan Ahl al-Kitâb yang muhshanat. Maksud dari
term al-muhshanat terjadi perbedaan pendapat, apakah ia perempuan
merdeka yang menjaga kehormatannya. Sebagian ulama berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan muhshanat yaitu perempuan merdeka
dan dilarang menikahi perempuan Ahl al-Kitâb yang tidak merdeka.
Pendapat ini berasal dari Syafi'i. Ia menguatkan pendapatnya dengan
firman Allah . dalam Surat an-Nisâ'/4: 25: “Dan siapa di antara kamu
(orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini
perempuan merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini perempuan yang
beriman dari budak-budak yang kamu miliki.
Ada yang berpendapat bahwa perintah untuk menikahi budak
perempuan yang beriman saat tidak mampu menikahi yang merdeka
ini yaitu sementara saja, sebab pada saat ayat ini turun Allah belum
menghalalkan pernikahan dengan perempuan Ahl al-Kitâb yang
muhshanat. Setelah ayat ini turun, posisi perempuan Islam dengan Ahl
al-Kitâb menjadi sama.
Secara umum, ayat ini bermakna bahwa (pada hari ini telah
dihalalkan makanan yang baik-baik kepadamu) sehingga makan
bahirah, sa‟ibah, washilah, dan ham tidak mengapa. (Dan makanan
sembelihan Ahl al-Kitâb itu yaitu halal bagimu) sesuai dengan
dasarnya bahwa Allah sama sekali tidak mengharamkan sembelihan
mereka kepada kalian. (Dan sembelihanmu halal bagi mereka) sama
seperti penjelasan sebelumnya. Kalian boleh makan daging hewan yang
mereka sembelih atau buru, bagaimanapun cara penyembelihan dan
berburu yang biasa mereka lakukan. Kalian juga boleh memberikan
mereka daging hewan yang kalian sembelih dan buru. Ini termasuk
daging kurban, tidak seperti pendapat yang melarangnya. Daging
kurban tidak termasuk (ke dalam daging yang boleh diberikan kepada
Ahl al-Kitâb) jika ada sesuatu yang menunjukkan bahwa hal itu hanya
khusus bagi suatu kaum tertentu. Contohnya, bernazar untuk
memberikan sesuatu kepada seseorang dengan ketentuan tertentu. (Dan
menikahi perempuan yang menjaga diri yang beriman, dan perempuan
yang menjaga diri dari mereka yang diberikan kitab sebelum kamu
yaitu halal bagimu) demikian juga, halal dengan sebab kaidah asal
dan ketetapan Allah di dalam surat an-Nisa': “…dan dihalalkan bagimu
apa yang disebalik itu…” Allah tidak mengharamkan perempuan-
perempuan ini , jika kamu telah membayar mahar yang telah kamu
tentukan pada waktu akad. Jika belum ditentukan, wajiblah membayar
mahar mitsl selama kamu menikah dengan tujuan memelihara diri dan
istri kamu dari perbuatan zina; bukan dengan tujuan melakukan
keburukan.30
Jumhur ulama fiqih membolehkan perkawinan laki-laki muslim
dengan perempuan Ahl al-Kitâb. Argumen mereka yaitu , penjelasan
yang ada dalam Al-Qur‟an dalam surat al Ma‟idah ayat 5, pendapat
7
Sayyid Sabiq, ahli fiqih Mesir menjelaskan bahwa walaupun boleh
seorang laki-laki beragama Islam mengawini wanita ahlul kitab namun
hukumnya makruh. 12 Sekalipun jumhur ulama fiqih sepakat tentang
kebolehan seorang laki-laki beragama Islam mengawini wanita Ahl al-
Kitâb, namun mereka berbeda pendapat dalam menentukan wanita
ahlul kitab itu sendiri.31
Penjelasan terhadap ayat (pada hari ini telah dihalalkan yang
baik-baik kepadamu) yaitu penghalalan secara umum dan tetap,
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Akan tetapi, Allah
tidak mengatakan hal yang sama bagi ayat seterusnya, namun Ia
berfirman: “Halal bagimu”. Ini berfungsi sebagai khabar yang
menetapkan dua hal pokok, yaitu makan sembelihan Ahl al-Kitâb dan
menikahi perempuan mereka. Kedua hal ini tidak diharamkan
sebelumnya dan tidak pula dihalalkan pada hari itu. Keduanya tidak
diharamkan sebelumnya oleh Allah maupun oleh manusia atas dirinya
sendiri, seperti pengharaman mereka terhadap hal-hal yang baik bagi
diri mereka sendiri.32
Jadi, ayat ini membolehkan orang muslim untuk makan makanan
Ahl al-Kitâb sebab dilihat dari dasarnya mereka yaitu pengikut Musa
dan Isa yang juga beragama samawi. Selain itu, ayat ini juga
membolehkan laki-laki muslim menikahi perempuan Ahl al-Kitâb
dengan syarat perempuan ini harus muhshanat yang artinya
perempuan merdeka dan menjaga dirinya dari zina. Setelah kebolehan
ini , timbul permasalahan lain yaitu mengenai siapa Ahl al-Kitâb
yang dimaksud. Setelah menilai secara panjang lebar riwayat- riwayat
yang dikemukakan oleh para sahabat Nabi dan tabiin, kaidah-kaidah
ushul dan kebahasaan, serta menyimak dan menimbang pendapat para
ulama sebelumnya, sehingga ia menyimpulkan fatwanya sebagai
berikut:
“Kesimpulan fatwa ini bahwa laki-laki muslim yang diharamkan
oleh Allah menikah dengan perempuan-perempuan musyrik dalam
Surat al-Baqarah/2: 221 yaitu perempuan-perempuan musyrik Arab.
Itulah pilihan yang dikuatkan oleh Mahaguru para mufasir Ibnu Jarir at-
Thabari, dan bahwa orang-orang Majusi, Shabi'in, penyembah berhala
di India, Cina dan yang semacam mereka penyembah berhala di Jepang
yaitu Ahl al-Kitâb yang (kitab mereka) mengandung ajaran tauhid
sampai sekarang. Tampak jelas dari sejarah dan penjelasan Al-Qur'an
bahwa rasul dikirim kepada setiap umat, meskipun kitab-kitab samawi
mereka mengalami perubahan, sebagaimana halnya dengan kitab
Yahudi dan Nasrani yang waktu terjadi perubahan itu paling dekat
dengan Islam.”33
Menurut Muhammad Abduh sebagaimana dikutip muslim
Djunaed, Shabi'in memiliki ajaran yang sama dengan Nasrani
sebagaimana yang dapat dilihat pada kesamaan tradisi antara keduanya,
seperti adanya baptisme, pengakuan dosa, dan pemuliaan hari Minggu.
Dari sini dapat disebutkan bahwa kedua ajaran ini memiliki kedudukan
yang sama, sekalipun ajaran Shabi'in banyak melenceng dari ajaran
aslinya.34 Dari pernyataan di atas, sangat jelas pendapat Rasyid Ridha
dan Muhammad Abduh berkenaan dengan cakupan makna Ahl al-Kitâb
dalam Tafsir al-Manar.35
Beberapa kriteria Ahl al-Kitâb yang dikemukakan oleh Rasyid
Ridha dalam Tafsir Almanar yaitu sebagai berikut:
a. Diutusnya seorang Rasul
Allah mengutus suatu kaum dengan nabi dan rasul yaitu
untuk memberikan mereka berita gembira, agar mereka tetap di
Allah, sesuai dengan ketentuan kehidupan, sebagaimana yang
diminta oleh Allah melalui perintah dan larangan yanag dibawa oleh
nabi dan rasul Allah, yang memberikan petunjuk dan ajaran untuk
menjadi manusia yang baik. Dalam informasi sejarah mengatakan,
bahwa sebelum diutus Nabi Muhammad sebagai Rasulullah, telah
diutus bagi semua umat seorang rasul, sebagaimana Firman Allah
yang artinya:
"Sungguh Kami mengutus engkau dengan membawa kebenaran
sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan.
dan tidak ada suatu umatpun melainkan di sana telah datang
seorang pemberi peringatan".
ٌْريَِذُ ا َٓ ِْيذ َلََخ
َّ
ِلَا ٍث ٌَّ ُ ا َْ ِ ٌّ ِْناَوٗۗ اًْريَِذُ َّو اًْيَِْشب ِّقَ
ْ
لِْاة َمَِٰ
ْ
يَْشَرا ٓا َِّجا
"Sesungguhnya Kami mengutus engkau dengan membawa
kebenaran633) sebagai pembawa berita gembira dan sebagai
pemberi peringatan. Tidak ada satu umat pun, kecuali telah datang
kepadanya seorang pemberi peringatan".
Hanya saja, sebagian di antara mereka tidak diinformasikan
oleh al-Qur‟an, seperti yang dijelaskan dalam ayat berikut:
ًَ
َّ
َكََوٗۗ َْمَييَغ ًْ ُٓ ْطُطْلَج ًْ َّى ًلَُُشرَو ُْوتَر َْ ٌِ َْميَيَغ ًْ ُٓ َِْٰطََطك ْدَك ًلَُُشرَو
ۚ ا ًٍ ِْييَْسح َْٰسُٰٔم ُ ِّللَّا
"Ada beberapa rasul yang telah Kami ceritakan (kisah) tentang
mereka kepadamu sebelumnya dan ada (pula) beberapa rasul (lain)
yang tidak Kami ceritakan (kisah) tentang mereka kepadamu. Allah
telah benar-benar berbicara kepada Musa (secara langsung)".
Demikian pula dengan Firman Allah:
اَِ ْطَطَك َْ ٌَّ ًْ ُٓ ٌِِْ َِمْيتَر َْ ِ ٌّ ًلَُُشر اَِ
ْ
يَْشَرا ْدَلَىَو ًْ َّى َْ ٌَّ ًْ ُٓ ٌِِْ َو َْميَيَغ
ُرَْما َءۤاَج اَِذاَف ِۚ ِّللَّا ِْنِذِاة
َّ
ِلَا ٍَثيَِٰاة َِتِ
ْ
أَّي َْنا ٍل ْٔ َُشِرل َنَكَ ا ٌَ َوٗۗ َْميَيَغ ْصُطْلَج
َن ْٔ ُيِْؽت ٍُ
ْ
لا َِملاَِ ُْ َِسََِخو ِّقَ
ْ
لِْاة َِضُِك ِ ِّللَّا
"Sungguh, Kami benar-benar telah mengutus rasul-rasul sebelum
engkau (Nabi Muhammad). Di antara mereka ada yang Kami
ceritakan kepadamu dan ada (pula) yang tidak Kami ceritakan
kepadamu. Tidak ada seorang rasul pun membawa suatu mukjizat,
kecuali seizin Allah. Maka, apabila telah datang perintah Allah
(hari Kiamat), diputuskanlah (segala perkara) dengan adil. saat
itu, rugilah para pelaku kebatilan".
Allah telah mengutus kepada kelompok-kelompok atau kaum-
kaum seorang rasul, rasul ini meberikan peringatan dan ajakan
untuk berbuat baik, termasuk memungkinkanya perintah dan
larangan ini ditulis dalam bentuk kitab.36
Seperti golongan Yahudi dan Nasrani yang memang mereka
semula telah dijelaskan di dalam Al-Qur'an bahwa telah diutus
kepada mereka Rasul, ada golongan yang lain seperti Majusi,
Sabiin dan golongan yang berasal dari India, China serta Yunani
yang dijelaskan oleh sejarah bahwa telah diutus juga kepada mereka
Rasul serta diturunkan kepada mereka kitab suci.37
Namun, beberapa sejarah juga menjelaskan bahwa tidak ada
nabi dan rasul Allah yang diturunkan kepada agama yang ada di
India dan China, yaitu Hindu, Budha dan Konfusius. sebab Hindu
yaitu agama yang terbentuk dari tradisi budaya bisa juga dikatakan
sebagai percampuran sekte kultus, ide-ide dan aspirasi.38 Begitu pula
dengan Budha, seperti agama Hindu yang timbul dari kultur serta
keadaan dan kebudayaan masyarakat.39 Serta Konfusius yang timbul
dari kehidupan masyarakat dan etika, sehingga faham ini bukan
agama tetapi sekedar ajaran etika.40 Dan jika diberitakan akan
adanya rasul dan nabi dalam agama-agama ini hanya sebuah
wacana belaka.
Kriteria bahwa Ahl al-Kitâb bahwa mereka yang diturunkan
nabi dan rasul serta bersama mereka kitab suci dari
.jpeg)
