pembacaan Ayub

pembacaan Ayub


   


     TAFSIR PERJANJIAN LAMA DAN PEMBACAAN KITAB AYUB BERSAMA DENGAN ORANG-ORANG YANG HIDUP DENGAN HIV/AIDS   



Sejarah perkembangan hermeneutik Alkitab telah melewati kurun waktu yang sangat panjang, meliputi fase penafsiran Alkitab yang bersifat implisit – praktis kepada yang bersifat teoretis – reflektif. Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh pergeseran paradigma dalam memandang teks yang memunculkan perdebatan apakah makna sebuah teks ditentukan oleh apa yang ada ‘di belakang’, ‘di dalam’, ataukah ‘di depan’ teks. Di era postmodern sekarang ini telah muncul berbagai model penafsiran Alkitab yang dapat dikategorikan dalam empat sudut hermeneutik, yaitu: metode-metode penafsiran yang beroreintasi pada penulis (author) dan dunianya; teks (text) dan dunianya; pembaca (reader) dan dunianya; serta hal/tema (thing) dan dunianya. Beberapa dekade terakhir, arus orientasi kepada pembaca dalam mencari makna sebuah teks semakin kuat. Dalam hal ini, sangat 

  228 

menarik sekali, ketika kitab Ayub dibaca oleh mereka yang hidup dengan HIV/AIDS. Kitab yang menyajikan sosok seorang yang menderita ini memunculkan paradoks yang membawa para pembacanya untuk tertawa. Sebuah kitab yang menghibur.   Kata-Kata Kunci: hermeneutic, tafsir, makna teks, Ayub, HIV/AIDS, menghibur    Pengantar  Masa di mana kita sekarang ini hidup, dapat disebut dengan istilah “postmodern.”1  Di era postmodern,2 kesadaran sekaligus pengakuan terhadap keragaman di segala bidang kehidupan semakin kuat dan menimbulkan dampak-dampak yang tidak dapat dihindarkan. Di bidang teologi, khususnya dalam penafsiran Alkitab, juga semakin disadari adanya kepelbagaian metode pendekatan untuk memahami teks-teks Alkitab. Pertanyaan bagaimana Alkitab seharusnya dibaca untuk dapat memahami maknanya, tidak lagi dapat dijawab dengan sebuah jawaban tunggal. Berkembangnya berbagai model tafsir                                                              1 Menurut Markus Hintze, meskipun istilah ini seringkali disalahpahami, istilah lain untuk menyebut era baru sekarang ini belum ada. Lih. Bibelauslegung in der Postmoderne – Postmoderne Bibelasulegung? Ein interdisziplinärer Versuch über die Bibelauslegung im Kontext der Postmodernediskussion und einer Beispielexegese von Gal 3,6-18, Marburg: Tectum Verlag, 1997, 31. 2 Hintze menjelaskan pemahaman tentang postmodern dalam lima pokok pikiran sebagai berikut: “1. Postmoderne ist zuallererst immer Verfassung radikaler Pluralität. Sie betrifft nicht nur Binnenphänomene innerhalb eines Gesamthorizons, sondern schlägt bis auf die Vielheit der Horizonte durch. Sie bestimmt daher die ganze Lebenswirklichkeit. Pluralisierung meint also nicht einen Auflösungsvorgang, sondern eine zutiefst positive Vision. Die Grunderfahrung des Seins besteht in hochgradig differenten Wissensformen, Lebensentwürfen, Handlungsmustern, Wahrheit, Gerechtigkeit und Menschlichkeit stehen fortan im Plural. 2. Konsequenz daraus ist eine anti-totalitäre Option. Die Offensivität für Vielheit ergreift für das Viele Partei und wendet sich gegen das Einzige, tritt Monopolen entgegen und decouvriert Übergriffe. 3. Die Postmoderne beinhaltet eine Option für den Menschen. Sie will die bislang der intellektuellen Schicht vorbehaltene Vernunft den Menschen zugänglich machen. Sie wendet sich an die Masse, sie ist insofern zutiefst demokratisch, indem sie den Vernunftbegriff wieder auf die Masse der Menschen hin öffnet. 4. Die Postmoderne ist keine Trans- oder Anti-Moderne. In der Postmoderne wird das Desiderat der Moderne eingelöst. Sie ist radikal-modern. Die Postmoderne führt die Moderne fort, aber sie verabschiedet den Modernismus. Eine ängstliche Postmodernekritik, die um die Errungenschaften der Moderne fürchtet, greift also zu kurz. 5. Die Postmoderne entwickelt so eine neue Sensibilität für Problemlagen, denn die Postmoderne ist ethisch grundiert. Sie verlangt eine neuartige, eine genau auf diesen radikalen und daher eo ipso konflikthaften Pluralismus zugeschnittene Ethik. Pluralität tritt auch in der Pluralität von Rationalitätsformen auf, weil deren Verhältnis zueinander nicht mehr durch den Rekurs auf eine Hyperrationalität geregelt werden kann.” Ibid., 31-32.  

   229   Perkembangan Tafsir Perjanjian Lama 

Alkitab, tentu saja termasuk di dalamnya tafsir Perjanjian Lama, sejak dari awalnya hingga sekarang ini,3 dipengaruhi oleh perkembangan kesadaran terhadap teks, yaitu pergeseran paradigma dalam memandang teks itu sendiri.4    Pergeseran Paradigma, Perkembangan  dan Keragaman Tafsir Perjanjian Lama5   Penafsiran Implisit-Praktis  1) Tradisi dan Transmisi 

                                                             3 Dalam hal ini Manfred Oeming menjelaskan: ˮIn strengem Vollsinn konnte eine Biblische Hermeneutik erst ab dem Zeitpunkt entstehen, als die Bibel insgesamt als abgeschlossener, schriftlich fixierter Kanon vorlag, d.h. ab dem 4. Jh.n.Chr. In einem weiteren Sinne findet sich aber schon innerhalb der Bibel Alten und Neuen Testaments ein mehr implizit-praktisches als theoretisch-reflektiertes Bemühen, die älteren biblischen Schriften in je veränderter geschichtlicher Situation neu und angemessen zu verstehen.” Manfred Oeming, Biblische Hermeneutik. Eine Einführung, Darmstadt: WBG, 2007, 1; bdk. Meinhrad Böhl dan Harald Haury yang mengatakan bahwa: “Bibelauslegung war im Christentum von Beginn an von hermeneutischer Reflexion begleitet. Dabei standen anfangs jedoch nicht Komplexität und Vielschichtigkeit dieses Textkorpus in Bezug auf Sprache, Herkunft und Entstehung im Vordergrund. Vielmehr war in den ersten Jahrhunderten zunächst die Frage nach dem Umfang des Kanons zu beantworten.” Meinrad Böhl, et. al., eds., Hermeneutik: Die Geschichte der abendländischen Textauslegung von der Antike bis zur Gegenwart (Wien, Köln, Weimar: Böhlau Verlag, 2013), 143. 4 Sæbø membagi sejarah penafsiran Perjanjian Lama ke dalam tiga epos yang ditandai oleh peristiwa-peristiwa khusus dan pergeseran paradigma secara mendasar. Pertama, perkembangan awal sampai dengan Abad Pertengahan. Kedua, dari masa renaissance sampai dengan Pencerahan. Ketiga, dari zaman modern sampai dengan postmodern. Ia menjelaskan, ˮA historiography will surely not be quite without presuppositions and a ferment of ‘Vorverständnis’. It should, however, be more neutral and objective in its historical description than is the case of the History of FARRAR. On the other hand, the notion of 'epoch' is supposed to mean something more than the chronologically neutral word 'period' seems to do, but its substantiation has to be of an intrinsic and historical, not of any dogmatic or personal character, on the side of the historian. Generally, it may be stated that a historiographical 'epoch' is supposed to qualify a particular period of time as distinct from the preceding one by a new coherence, caused by some memorable events or a radical 'shift of paradigms'.” Magne Sæbø, ed., Hebrew Bible Old Testament: The History of Its Interpretation, Vol I: From the Beginnings to the Middle Ages (Until 1300), Göttingen: Van den Hoeck & Ruprecht GmbH & Ko, 1996, 29. 5 Sebuah karya yang berusaha untuk memaparkan sejarah perkembangan penafsiran Perjanjian Lama dengan sangat lengkap adalah lima seri buku yang diedit oleh Magne Sæbø yang berjudul Hebrew Bible Old Testament, The History of Its Interpretation Vol I/1, 1996; Vol I/2, 2000; Vol. II, 2008; Vol. III/1, 2013; Vol. III/2, 2015. 

  230 

Dapat dikatakan bahwa penafsiran teks Alkitab Perjanjian Lama pada fase awalnya terkait erat dengan sejarah terbentuknya–berikut sejarah pentransmisian–teks itu sendiri hingga menjadi bentuk akhir kanoniknya.6 Hermeneutik Alkitab merupakan sebuah upaya pemahaman teks yang dikerjakan oleh kelompok sosial tertentu, yang disebut para “penulis,” dalam bingkai proses dinamika antara tradisi (traditum) dan transmisi (traditio) teks itu sendiri dengan metode pendekatan yang dapat disebut dengan istilah inner-biblical exegesis.7 Dalam hal ini, penafsiran teks terjadi dalam konteks, seperti, misalnya, penyalinan teks dan penjelasan kata; adaptasi, harmonisasi dan revaluasi aturan hukum; penggunaan kembali secara teologis aturan hukum atau tema-tema sejarah; dan penjelasan atau re-aplikasi nubuat untuk masa yang baru.8 Hermeneutik Alkitab lebih merupakan upaya yang bersifat implisit-praktis, ketimbang teoritis-reflektif.9                                                                 6 Emmanuel Tov mengatakan bahwa, ˮ...each of the biblical books had a separate history - each one developed in a different way and received canonical status at a different time. The number of variant readings that one might expect to find in a particular book is a direct result of the complexity of its literary development and textual transmission.” Emanuel Tov, "The History and Significance of a Standard Text of the Hebrew Bible," in Hebrew Bible Old Testament: The History of Its Interpretation, Vol I: From the Beginnings to the Middle Ages (Until 1300), Magne Sæbø, ed., Göttingen: Van den Hoeck & Ruprecht GmbH & Ko, 1996, 62. 7 Fishbane menjelaskan, “The Hebrew Bible (HB) is thus a thick texture of traditions received and produced over many generations. In the process, a complex dynamic between tradition (traditum) and transmission (traditio) developed — since every act of traditio selected, revised, and reconstituted the overall traditum. To be sure, the contrast between authoritative traditum and ongoing traditio is most clear at the close of ancient Israelite literature. It is here that one may observe (incipiently in Qumran texts and more elaborately in normative Jewish sources) a transition to two types: a body of Scripture and a corpus of Interpretations. Indeed the copying, citation, interpretation, and explanation of the sacred Scriptures gave ample opportunity for the reformulation of traditum in postbiblical traditio. But a long prehistory is preserved in the HB. That is, the canonical corpus contains a vast range of annotations, adaptations, and comments on earlier traditions. We call this 'Inner-Biblical Exegesis'. With the close of the canon one could not add or subtract to these examples within Scripture itself.ˮ Michael Fishbane, "Inner-Biblical Exegesis," in Hebrew Bible Old Testament: The History of Its Interpretation, Vol I: From the Beginnings to the Middle Ages (Until 1300), Magne Sæbø, ed., Göttingen: Van den Hoeck & Ruprecht GmbH & Ko, 1996, 34-35. 8 Ibid., 35. Untuk uraian penjelasan lebih lanjut dari ibid., 35-48. 9 M. Oeming mengatakan, “Im Alten Testament läßt sich beobachten, wie die ältesten verschrifteten Glaubenszeugnisse (ab dem 10. Jh.v.Chr.) kontinuierlich fortgeschrieben, intertextuell aufeinander bezogen und dadurch kontextuell interpretiert wurden. ... Manche Schriften des Neuen Testaments sind geradezu als eine Biblische Hermeneutik des Alten Testaments zu verstehen.ˮ Oeming, Biblische Hermeneutik, 1-2. 

   231   Perkembangan Tafsir Perjanjian Lama 

 2) Kanonisasi  Fase perkembangan penafsiran teks-teks Perjanjian Lama pada tahap awal berikutnya dipengaruhi oleh terbentuknya kanon Perjanjian Lama.10 Melalui kanonisasi, teks-teks Perjanjian Lama mendapatkan sebuah predikat sebagai teks yang suci dan berwibawa.11 Predikat suci                                                              10 Proses kanonisasi merupakan proses yang sangat rumit. Tov mengatakan, “In Israel of the last three centuries BCE and the first century CE textual uniformity and pluriformity coexisted, as pointed out by Van der Woude (1992): pluriformity relating to different textual traditions in all of Israel, and uniformity (relating to the Masoretic family) in the temple circles (Pharisees). There is no evidence concerning the situation before the third century BCE. At that time many different textual traditions were in vogue, but whether at the same time a standard text was used within the temple circles is not known.ˮ Tov, "The History and Significance of a Standard Text of the Hebrew Bible," 66. Tidak ada konsensus mengenai waktu yang pasti tentang proses kanonisasi teks-teks Perjanjian Lama. Solomon Zeitlin menjelaskan sebagai berikut: ˮThe Hebrew Canon consisted of three parts, Torah, תורה  Prophets, נביאים , and Hagiography, כתובים . Each of these had not only different degrees of sanctity, but they were also canonized at different periods, the Torah at the time of Ezra, the Prophets some time in the Hellenistic period before the Maccabeans; they consisted of eight books, Joshua, Judges, Samuel, Kings, Isaiah, Jeremiah, Ezekiel, and the twelve Minor Prophets, and the Hagiographa were canonized in the year sixty-five, five years before the Temple was destroyed, and comprised the following nine books: Psalms, Proverbs, Job, Daniel, Ezra-Nehemiah, Chronicles, Ruth, Lamentations and the Song of Songs. The book of Kohelet was added some time in the beginning of the Second Century in the Academy of Jabneh. Esther was added later in the Academy of Oushah. Although the Kethubim were compiled before the Roman period, and were known to the people, and the Psalms were chanted by the Levites in the Temple, and some of them may even have been translated into Greek nevertheless, the canonization of Kethubim came at a much later period, namely, in the year Sixty-five.ˮ Solomon Zeitlin, "An Historical Study of the Canonization of the Hebrew Scriptures", Proceedings of the American Academy for Jewish Research, Vol. 3 (1931-1932), 134. Paling penting untuk digarisbawahi berkaitan dengan kanon Alkitab, seperti pendapat Wildeboer, adalah bahwa kanon merupakan sebuah teori dan bukan merupakan sebuah edisi teks. Lih. G. Wildeboer, The Origin of the Canon of the Old Testament: An Historico-Critical Enquiry, London: Luzac & Co., 1895, 141. 11 Barton menjelaskan, “The first implication has to do with the value or importance of the texts that are being accorded 'canonical' or 'scriptural' status. Such works are perceived, not as human documents arising out of particular historical circumstances that simply happened to move an author to write in a certain way, but instead as divine oracles, deliberately created through the power of God and intended to provide spiritual nourishment to successive generations of his people. 'Scriptural' books contain no error, nothing accidental or casual, nothing irrelevant or meaningless. They are not to be read as any other books are read, but require their own special hermeneutic. This implication begins to operate as soon as a corpus of writings are regarded as 'scripture', irrespective of whether this is a closed or open class. The second implication is likely to operate only when the canon has begun to be in some sense 'closed'. It has in turn two aspects. The first is a sense that the texts in the canon are a unique, and uniquely authoritative, compendium of the teachings of the religion to which they belong. Any thoughts or ideas that conflict with what is 

  232 

tersebut membentuk pra-paham dalam penafsiran, bahwa teks-teks tersebut konsisten dan benar; 12 memiliki relevansi universal13 dan berisi misteri-misteri.14 Yang menarik adalah bahwa melalui kanonisasi, semakin sebuah teks dianggap berwibawa maka teks itu akan semakin banyak berusaha untuk ditafsirkan.15 Kanonisasi memunculkan paradigma baru dalam memandang dan membaca teks, di mana teks dibaca secara “dogmatis” sebagai teks-teks suci. Selain itu, kanonisasi juga memunculkan cara membaca teks dalam kesatuannya. Kesatuan yang dimaksud bukan dalam arti teks-teks Perjanjian Lama dibaca sebagai sebuah kumpulan kitab dalam bentuk buku dengan tiga bagian–Taurat (torah), Nabi-nabi (neviim) dan Tulisan-tulisan (ketubim)–dengan urutan teks seperti sekarang ini–baik dalam kanon Ibrani, Yunani maupun Kristen.16 John Barton mengatakan, 

                                                             in this authoritative collection must be false. Secondly, and closely linked with this: all the writings that make up this unique Scripture must be consistent with each other. Since they are not an adventitious but a divinely ordained collection, they must create a harmony among themselves. Important truths may even follow from the way in which they are arranged: the order of the books, or their grouping into sections, may be seen as significant.” John Barton, "The Significance of a Fixed Canon of the Hebrew Bible", in Hebrew Bible Old Testament: The History of Its Interpretation, Vol I: From the Beginnings to the Middle Ages (Until 1300), Magne Sæbø, ed., Göttingen: Van den Hoeck & Ruprecht GmbH & Ko, 1996, 71-72. 12 Lih. Ibid., 73. 13 Lih. Ibid., 75. 14Barton menjelaskan, “Philo regularly treats the essential core of scriptural teaching as the communication of divine mysteries. Though he was greatly influenced by Hellenistic mystagogy, he was not seriously out of step with the way biblical texts were interpreted by other Jews of his day. Taking seriously the scriptural ('canonical') status of these books meant turning to them for all important knowledge; that in turn encouraged an expectation that the knowledge they communicated was secret and divinely revealed, for Scriptures that communicated obvious or easily accessible information would hardly deserve the name.ˮ Ibid., 76. 15 Barton menjelaskan, “This can be seen very clearly in early rabbinic judgements, in the Mishnah for example. If a scriptural text appears to forbid what in rabbinic Judaism was not forbidden, or to command what is not part of Jewish practice, the solution is neither to change the custom nor to deny the canonicity of the text, but to reinterpret the text so that the conflict is removed. And the higher the status of the text, the more likely it is to be reinterpreted in this way. This in turn provides a test of whether a given text is canonical; if a text is treated in this way, then it is likely to have scriptural status. If the text were less authoritative, people would not bother to reinterpret it.ˮ Ibid., 78. 16 Teks-teks Perjanjian Lama dalam bentuk awalnya merupakan gulungan-gulungan kitab. Barton menjelaskan, “The scroll was assumed by everyone in the Second Temple period, and well into the present era, to be the normal vehicle for a biblical book. A collection of individual scrolls obviously cannot form a coherent whole in quite the same way as the sections of a codex. One cannot guarantee that they will always be together; some collections might lack one or more of them, possibly even without this being realized; and cross-reference from one to another is far more difficult and laborious than in a codex.” Ibid., 79. 

   233   Perkembangan Tafsir Perjanjian Lama 

“...these books are seen as communicating an important theological message....and communicating it through the order in which they are arranged.”17   3) Penerjemahan Masuknya Helenisme ke wilayah Palestina memunculkan kebutuhan praktis untuk menerjemahkan teks Ibrani ke dalam bahasa Yunani. Penerjemahan teks Ibrani oleh Septuaginta (LXX) memiliki aspek-aspek hermeneutik, karena LXX rupanya tidak sekadar menerjemahkan teks Ibrani kata per kata, namun juga berusaha untuk membuat teks tersebut dapat dipahami dengan cara memparafrasekan bagian-bagian teks tertentu dan bilamana perlu melakukan koreksi terhadap teks.18   Penafsiran Teoritis – Reflektif  1) Antara Plato dan Aristoteles Helenisme bukan hanya memunculkan kebutuhan praktis penafsiran Alkitab Ibrani ke dalam bahasa Yunani, melainkan juga memberikan pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan                                                              17 Ibid., 81. 18 John William Wevers menjelaskan: ˮIn Classical times two types of translations were common: literary texts which were rendered into Latin in paraphrastic fashion on the one hand, and translations of legal, governmental and commercial texts on the other, which were rendered word for word.ˮ John William Wevers, "The Interpretative Character and Significance of the Septuagint Version," in Hebrew Bible Old Testament: The History of Its Interpretation, Vol I: From the Beginnings to the Middle Ages (Until 1300), Magne Sæbø, ed., Göttingen: Van den Hoeck & Ruprecht GmbH & Ko, 1996, 91. Karakteristik penafsiran LXX, khususnya dalam kitab Kejadian, adalah sebagai berikut: 1) LXX meluruskan inkonsistensi dalam teks Ibrani; 2) Penerjemah merasionalisasikan teks supaya dapat dipahami maknanya; 3) Sesuatu yang sulit dalam konstruksi bahasa Ibrani disederhanakan; 4) Kadang LXX mengatur teks ke dalam susunan yang lebih masuk akal; 5) LXX membuat lebih spesifik dan detail daripada teks Masoret; 6) Membuat eksplisit apa yang tersirat dalam teks; 7) Penerjemah bermaksud memproduksi teks yang akan membuat jelas apa yang dia percaya sebagai maksud dari teks Masoret; 8) Kadang teks Masoret menggunakan sebuah kata lebih dari satu kali dan LXX membedakannya secara semantik; 9) Bagian-bagian dalam teks Masoret yang menimbulkan ketidakjelasan dan kesulitan, akan diinterpretasikan LXX secara kontekstual; 10) Ada saat-saat dimana LXX menunjukkan sudut pandang yang berbeda dengan teks Masoret; 11) Pada bagian tertentu LXX membuat perbedaan jumlah daripada teks Masoret; 12) Kadang-kadang LXX “mengoreksi” teks Masoret dan lebih setuju dengan konteks; 13) Kadang penerjemah sengaja mengubah narasi; 14) Pada kesempatan tertentu, satu dari bapa-bapa leluhur disajikan dengan perspektif yang sedikit berbeda dari teks Masoret; 15) Penting sekali adalah contoh-contoh yang mencerminkan waktu dan tempat penerjemah; 16) Pemeliharaan nama-nama Ilahi dalam LXX sangat kompleks; 17) Beberapa transmisi/reproduksi LXX ditentukan oleh perhatian-perhatian theologis. Wevers, "The Interpretative Character and Significance of the Septuagint Version," 97-107. 

  234 

penafsiran Alkitab, di mana perjumpaan dengan budaya–khususnya filsafat–Yunani membuka jalan bagi penafsiran Alkitab yang semula bersifat implisit-praktis menjadi sebuah upaya yang bersifat teoretis-reflektif. Sebuah jalan yang terbelah menjadi dua yang disebabkan oleh karena dua perbedaan pemikiran filosofis antara guru dengan muridnya, Plato dan Aristoteles.19 Plato bisa dikatakan telah meletakkan sebuah dasar pemikiran bahwa seorang penafsir yang baik tidak boleh tetap terpenjara dalam makna literal saja, melainkan harus naik ke dalam makna ‘rohani’ yang sesungguhnya.20  Berlawanan dengan itu, Aristoteles memberikan penekanan pada pencarian kebenaran obyektif melalui analisis kalimat. Dia mengembangkan sebuah teori yang menyatakan bahwa kebenaran merupakan persesuaian antara pengetahuan (Erkenntnis) dan objeknya (Sache).21  2) Penafsiran Alegoris Cara penafsiran alegoris berpengaruh kuat di kalangan Yahudi helenis. Adalah Philo dari Alexandria (20 s.M. - 50 M.) yang dapat disebut sebagai “Master Alegoris” di kalangan Yahudi Helenis.22 Dia sangat dipengaruhi oleh kaum Stoa, di mana dia membedakan secara eksplisit antara makna literal dengan makna alegoris dari sebuah teks, di mana, menurutnya, alegoris merupakan makna yang sesungguhnya.23 Bentuk penafsiran alegoris selanjutnya dapat dijumpai dalam penafsiran-penafsiran para rabi, meskipun secara metodik tidak menerapkannya seperti Philo.24                                                              19 Oeming menjelaskan, “Große Teile der Geschichte der Hermeneutik lassen sich als Entfaltung dieser Grundopposition zwischen Platon und Aristoteles, also zwischen spekulativem Ahnen des Jenseitigen und nüchternem Denken des Diesseitigen, zwischen Mythos und Ratio, zwischen dichterischem Gespräch und kühler formaler Logik begreifen.” Oeming, Biblische Hermeneutik, 7. 20 Lih. Ibid. 21 Lih. Ibid. 22 Lih. Ibid., 9. 23 Lih. Ibid. 24 Oeming mengatakan, “In den sieben Regeln des Hillel, den 13 Middot des Rabbi Eliezer steckt eine Fülle platonischer Hermeneutik, nach der die Bibelworte u.a. nach ihrem Zahlenwert zu deuten, als Anagramm auszufassen oder gar rückwärts zu lesen sind. Von Elementen bei Josephus (ca. 38 - 100 n.Chr.) und im Talmud sowie von der jüdischen Gnosis läßt sich eine entsprechende Linie bis zur mittelalterlichen jüdischen Religionsphilosophie und Dichtung etwa zu Ibn Gabirol (1020 - 1058 M.) und bis in die Kabbala ziehen.” Ibid., 10. Setidaknya ada enam prinsip dalam keragaman dimensi penafsiran menurut Agustinus yaitu, ˮ1. Der Sinn, den der antike Autor, hier der biblische Autor Mose, intendierte, ist zwar der vorzügliche Sinn, 2. aber die Fülle der Sinne seiner Texte war Mose selbst (wie allen Hagiographen) verborgen. Deshalb ist nicht die Intention des menschlichen Autors entscheidend, sondern die Intention des Heiligen Geistes, der der eigentliche Autor ist. 3. Gottes Wille war es, späteren Lesern mit den gleichen Worten ganz andere Wahrheiten des Glaubens zu erschließen als Mose. 4. Es kommt daher in der 

   235   Perkembangan Tafsir Perjanjian Lama 

Demikian juga pada masa kekristenan mula-mula, peresepsian dan pemeliharaan PL membutuhkan penerimaan konsep platonik tentang keragaman makna teks, seperti misalnya dalam 1 Korintus 10:1-13; 2 Korintus 3:13-18. Baru di kemudian hari Agustinus (354-430) memberikan pengaruh paling besar terhadap pemahaman tentang keragaman makna teks.25  3) Penafsiran Literal Di samping arus tradisi teori hermeneutik yang berakar pada pemikiran Plato dan kaum Stoa, berkembang juga arus tradisi yang didasarkan pada pemikiran Aristoteles yang memahami bahwa makna yang harafiah dan natural merupakan makna yang baku. Berdiri dalam arus tradisi ini misalnya Clemens dari Alexandria (± 145-215 M.) dan Origenes (± 185-253 M.). Pada Abad Pertengahan, pencarian makna literal menjadi sebuah tren baru dalam penafsiran teks.26 Di kalangan Yahudi, arus tradisi ini mencapai puncaknya melalui Maimonides (1135-1204). Sedangkan dalam Kekristenan, Martin Luther (1483-1545), meskipun dia mengejek Aristoteles dengan sebutan “Narristoteles” (narr = menipu), menasihatkan:  Obwohl die Dinge, die in der Schrift betrieben sind, etwas weites bedeuten, soll die Schrift darum nicht einen zwispältigen Sinn haben, sondern allein den, wie die Worte lauten, behalten. ... Es ist viel gewisser und sicherer, bei den Worten und dem 

                                                             Auslegung nicht primär darauf an, psychologisch die uns ohnehin nicht mehr sicher erreichbaren Absichten Moses zu rekonstruieren, sondern die Wahrheit des Glaubens als der eigentlichen Sache der Theologie. Es geht viel mehr um den Gottesbezug der Aussagen, um die Sache, als um den Autorbezug. 5. Gott selbst hat durch die Gestalt seines Wortes die Vielfalt der Auslegungen vorausgesehen und gewollt. 6. Die Liebe zu allem Wahren ist der rechthaberischen Streiterei um den Sinn der Schrift abhold.” Ibid., 11. 25 Khususnya dalam Confessions buku ke-12, bab 24-31, “... Siehe endlich, wie töricht es ist, unter so vielen völlig aufrichtigen Ansichten, die man in jenen Worten finden kann, verwegen behaupten zu wollen, welche von ihnen Moses vorzugsweise gemeint habe, und in verderblichen Streitereien die Liebe selbst zu verletzen, um deren willen er, dessen Worte wir zu erklären wagen, alles gesagt hat? ... Wenn daher jemand sagte: 'Moses hat gemeint, was ich meine', und ein anderer, 'nein, das, was ich meine', so glaube ich, würde ich der Furcht Gottes gemäßer sagen: 'Warum nicht vielmehr beides, wenn beides wahr ist?' Und wenn noch ein dritter und noch ein vierter in diesen Worten überhaupt etwas anderes als alles dieses erkannt habe, durch den Gott die heiligen Schriften dem Fassungsvermgen so vieler anpaßte, die darin einen so verschiedenen und doch wahren Sinn finden sollten? ... Konne es deshalb deinem Geiste der Güte verborgen bleiben, was du selbst in späterer Zeit denen, die deine Worte lesen, offenbaren wolltest, obgleich jener, durch den sie gesprochen, vielleicht nur eine der vielen Meinungen gedacht hat?” Ibid., 10. 26 Böhl, Hermeneutik, 165. 

  236 

einfältigen Sinn zu bleiben; da ist die rechte Weide und Wohnung aller Geister.27   Atau dengan singkat Luther katakan, bahwa “Über den Alegorien verliert man den rechten Grund und das Verständnis der Schrift und führt die Leute nur auf Holzwege.”28   Meskipun pada masa Reformasi Luther telah melepaskan sebuah revolusi hermeneutik, namun upaya ortodoksi untuk menekankan persesuaian antara teks dengan kebenaran dasariah dogmatik membawa kembali pada konsep Agustinus. Matthias Flacius Illyricus (1520-1575) bicara tentang inspirasi verbal dan inspirasi dalam konsonan-konsonan Ibrani. Johann Gerhard (1582-1637) menempatkan Firman Tuhan dengan Alkitab sama, di mana Tuhan adalah causa prinsipalis dari teks-teks suci, sedangkan manusia adalah causa instrumentalis. Manusia adalah sekretaris Tuhan.29 Pietisme juga tidak dapat meninggalkan teori tentang keragaman makna, dalam upayanya untuk membuat arti kata dalam Alkitab bermanfaat bagi iman dan memahami iman sebagai prasyarat untuk memahami. Pietisme memberikan sumbangan penting dalam penafsiran Alkitab sehubungan dengan pentingnya pembaca dalam proses memahami dan pentransmisian teks.30  4) Kritik Historis: Mencari Makna Dibalik Teks Epos sejarah perkembangan tafsir Alkitab berikutnya dipengaruhi oleh pergeseran paradigma yang muncul dari sebuah semangat jaman untuk kembali pada sumber-sumber (renaissance) dan datangnya era fajar budi (Aufklarung). Sebuah era dimana kekuatan dari 

                                                             27 Oeming, Biblische Hermeneutik, 12. 28 Ibid. 29 Ketegangan, perlawanan, keraguan teologis maupun kritik terhadap Alkitab tidak lagi diizinkan. 30 Oeming menjelaskan, “Der Pietismus entdeckt die konstitutive Bedeutung des Rezipienten im Verstehensprozess; nicht jeder kann alles verstehen. Glaubenstexte kann nur derjenige tief erfassen, der selbst vom Glauben tief erfaßt ist. Zweitens kommt mit der Beteiligung des Heiligen Geistes und seiner erleuchtenden göttlichen Kraft die Grenze des rational-methodisch Machbaren und Verfügbaren deutlich in den Blick. Der distanzierte, rationalistische Umgang mit der Bibel erfordert als Ergänzung einen erbaulich-meditativen Zugang. Drittens wird die Bedeutung des Laien (v.a. des durch Dogmatik und Philosophie Unverbildeten) herausgearbeitet. ... Durch die Zentralstellung der Bibel im Ganzen der Theologie gewintt die Kenntnis des inspirierten Urtextes enorme Bedeutung, so daß dem Pietismus für die wissenschaftliche Erforschung der Textüberlieferung große Bedeutung zukommt, so z.B. im Werk Johann Albrecht Bengels (1687-1752).” Oeming, Biblische Hermeneutik, 13-14. 

   237   Perkembangan Tafsir Perjanjian Lama 

kesadaran historis ditemukan.31 Melalui tokoh-tokohnya, seperti Hugo Grotius (1583-1752) dan Baruch Spinoza (1632-1677) di Belanda, Richard Simon (1638-1712) di Prancis, para tokoh deisme di Inggris, Hermann Samuel Reimarus (1694-1768), Gotthold Ephraim Lessing (1729-1781) dan Immanuel Kant (1724-1804) di Jerman, demikian juga Johann Salomo Semler (1725-1791) dan Johann August Ernesti (1707-1781), Aufklärung menemukan titik puncaknya.32  Georg Friedrich Wilhelm Hegels (1770-1831) menjawab pertanyaan kaum idealis Jerman mengenai hubungan antara makna dan logika intrinsik dari sejarah dengan teori yang optimistik dari sebuah proses perkembangan sejarah yang bersifat dialektik dan mengarah kepada sebuah tujuan. Menurut Hegel, memahami berarti, menyusun alur sejarah dan melacak interaksi logis dari faktor-faktor yang berbeda.33 Kaum Hegelian memahami PL sebagai testimoni tertulis dari evolusi agama Israel dan Yudaisme.34 Sedangkan kaum Romantik, di satu sisi mengkritik pemahaman tokoh-tokoh Pencerahan (Aufklärung), namun pada sisi yang lain tetap berada pada arus perspektif historis dan menunjukkan arah perhatian penafsiran Alkitab pada penulis.35  Teoretikus paling penting dari model “Autor-Hermeneutik“ adalah Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834) yang membedakan dua macam bentuk dasar memahami, yaitu, pemahaman tekstual dan pemahaman psikologis.36 Memahami berarti masuk ke dalam dunia berpikir dan dunia kehidupan penulis. Tidak semua orang bisa masuk ke sana. Itu sebabnya dalam penafsiran tidak cukup hanya merekonstruksikan hal-hal yang objektif, namun perlu juga menghidupi kembali hal-hal yang subjektif secara psikologis.  

                                                             31 Lih. Ernst Troeltsch, "The Power of Historical Consciousness," in Roy A. Harrisville and Walter Sundberg, Bible in Modern Culture: Baruch Spinoza to Brevard Childs, 2nd edition, Michigan: Grand Rapids, 2002, 146. 32 Lih. Oeming, Biblische Hermeneutik, 14. 33 Lih. Ibid., 15. 34 Lih. Magne Sæbø, ed., Hebrew Bible Old Testament: The History of Its Interpretation, Vol III/1: From Modernism to Post-Modernism (Göttingen: Van den Hoeck & Ruprecht GmbH & Ko, 2013), 48. 35 “Man erkannte, daß jede Schrift durch das geistige Erleben eines Individuums einen bestimmten Aussagewillen hat und in einer singulären Gedankenwelt abgefaßt ist. Die großen Individuen wurden als Genies verehrt. Alles Dogmatische, alles verstiegen Philosophische sollte abgestreift und das wahre Leben einer reinen Seele freigelegt warden.” Oeming, Biblische Hermeneutik, 15. 36 Lih. Ibid. Mengenai Schleiermacher, Sæbø memberikan penjelasan bahwa “He saw the biblical scriptures as human products, the old concept of the Bible as an inspired book is left behind. … The Old Testament books cannot be more than the most general handbook for the understanding of the New Testament.” Sæbø, Hebrew Bible Old Testament, Vol. III/1, 41. 

  238 

Pendiri existentialisme sekaligus pemikir religius dari Denmark, Sören Kierkegaard (1813-1855) menekankan individualitas, keunikan, sifat personal dan konkret. Dalam pandangannya,  Verstehen ist demnach kein bloß intellektuelles Nachvollziehen, auch kein divinatorisches Hineinversetzen in den biblischen Autor, sondern Neuschaffung der Existenz von Gott her. ... daß nur der die Bibel und sich selbst im Vollsinn verstehen könne, der von Gott her durch den Glauben in einen neuen Status versetzt worden sei.37  Pada tahap perkembangan berikutnya hermeneutika mulai masuk ke universitas. Sejarawan Leopold von Ranke (1795-1886) merumuskan postulat teoretis sebagai berikut: (1) penelitian historis secara mendasar harus netral, tidak memihak, (2) bersifat obyektif, dan (3) bukan sebuah “pengadilan criminal” yang harus sampai pada vonis penilaian melainkan persepsi murni objektivitas dari fakta-fakta yang besar. Johann Gustav Droysen (1808-1884) memahami penafsiran sebagai upaya untuk mengukur masa lampau menurut ukurannya sendiri38 dan merumuskan empat tingkatan penafsiran: (1) Penafsiran pada aspek pragmatis, (2) penafsiran terhadap konteks ruang dan waktu, (3) penafsiran pada aspek psikologis, dan (4) penafsiran terhadap ide-ide dari sistem etik dan politik pada waktu itu. Dia menyatakan bahwa berpikir historis berarti ke luar dari masa kini dan masuk sama sekali ke dalam dunia penulis.39 Pemikir-pemikir berikutnya menunjukkan problem dari konsep berpikir historis untuk masuk ke dalam dunia penulis. Wilhelm Dilthey (1833-1911) yang dapat disebut sebagai bapak “ilmu-ilmu social” mengkritik akal budi historis dengan mengajukan sebuah pertanyaan: bagaimana mungkin bisa membawa individualitas yang sama sekali asing kepada pengetahuan yang objektif? Menurutnya, memahami (Verstehen) berarti menghidupkan kembali (Nacherleben). Seseorang dikatakan sudah memahami, jika orang tersebut dapat melakukannya. Secara implisit berarti juga bahwa, seseorang akan dapat memahami dengan lebih baik manakala orang tersebut sudah mengalaminya sendiri.40  Ernst Troeltsch (1865-1923) wakil utama dari historisme dalam teologi (liberal) mengajukan sebuah tesis bahwa teologi kiranya tidak dapat mencapai kebenaran-kebenaran dogmatik yang absolut. Menurutnya, memahami berarti dapat mengklasifikasikan suatu fenomena spiritual (spiritual phenomenon) dalam alur perkembangan                                                              37 Oeming, Biblische Hermeneutik, 16. 38 Lih. Ibid., 18. 39 Lih. Ibid. 40 Lih. Ibid., 19. 

   239   Perkembangan Tafsir Perjanjian Lama 

sejarah berdasarkan pada pemikiran yang bersifat genetis.41 Artinya bahwa, untuk dapat memahami dengan baik, seseorang harus mengikuti sejarah pemahaman terhadap sebuah hal / pokok tersebut.    Martin Heidegger (1889-1976) menemukan struktur yang mendahului dari keberadaan manusia. Setiap orang hidup dan tumbuh dalam konteks referensial, di mana segala sesuatu telah menemukan interpretasinya sebelum dia. Benda-benda dan fungsi-fungsinya sudah ada sebelum seorang individu menggunakannya, juga pemikiran dan perasaan diberitahukan kepada manusia di dalam sebuah penafsiran dunia yang diberikan kepadanya, yang pada awalnya dia tidak memperoleh posisi kritis. Manusia mempunyai kesadaran dan kepekaan asal muasal tentang dunia. Setiap saat itu bisa menjadi “diktator bagi manusia.” Manusia menjadi bukan yang seharusnya. Manusia butuh keberanian untuk membayangkan kematian, karena dengan cara demikian manusia akan berpikir dan menyadari, dalam keterbatasan waktu ini saya mau jadi apa? Respon pada kenyataan kematian yang dibayangkan membuat seseorang akan menyadari keterbatasan, keunikan, dan individualitasnya.42  Rudolf Bultmann (1890-1976) mengembangkan pemikiran Dilthey dan Heidegger. Menurut Bultmann, tugas hermeneutika bukanlah sebuah upaya untuk masuk ke dunia penulis sebagai sosok yang asing bagi si pembaca, melainkan lebih dari itu menangkap hal/tema/pokok persoalan (Sache), yang sama-sama menjadi perhatian baik penulis maupun pembaca, yang mendasari teks.43 Persyaratan untuk memahami adalah hubungan yang hidup antara penafsir dengan tema/hal/pokok persoalan yang di dalam teks, yang terungkap dalam kata-kata, baik langsung maupun tidak. Semakin banyak pemahaman awal tentang sebuah hal/tema/pokok persoalan maka semakin dapat memahami dengan baik dan mendalam. Sebagai contoh, seseorang akan sulit untuk menerjemahkan sebuah teks jika dia tidak memahami hal/tema/pokok persoalan isi teks tersebut. Selain itu, untuk memahami teks diperlukan sebuah pertanyaan yang menuntun pada hal/tema/pokok persoalan yang dibicarakan di dalam teks. Tanpa pertanyaan yang diarahkan ke dalam teks, maka tidak akan ada jawaban.44  Hans-Georg Gadamer berpendapat:   

                                                             41 Lih. Ibid. 42 Lih. Ibid., 19-21. 43 Lih. Ibid., 21. 44 “Die Interpretation der Bibel darf sich also nicht auf die Rekonstruktion vergangener Geschichte, auf psychologische oder ästhetische Interessen reduzieren; erst wenn nach dem Selbst-, Welt- und Gottesverständnis, das sich in den Texten artikuliert, gefragt wird, ist der Theologe bei seiner Sache.” Ibid., 22. 

  240 

Jedes Verstehen beruht notwendigerweise auf Erfahrungen und Beurteilungen, die ihm vorgegeben sind, auf meist unbewußten, geschichtlich gewachsenen Vorurteilen. Solche Vorurteile sind - entgegen dem aufklärischen Vorurteil gegen das Vorurteil - keinsewegs notwendig falsche Urteile. Vielmehr hat jedes der Vorurteile, die unser heutiges Denken bestimmen, einen langen Weg durch die Tradition nehmen müssen, hat sich durchsetzen und bewähren müssen. Denn die hermeneutische Bedeutung des Zeitenabstands liegt in einer ’Filterung’ (282); nur ’was der historischen Kritik gegenüber standhält‘, wird ’klassisch‘.45  Ia menjelaskan bahwa pemahaman masa kini merupakan hasil dari peresepsian tradisi. Memahami merupakan sebuah proses fusi horison antara perspektif diri sendiri dengan tradisi. Dengan demikian, memahami berarti terlibat di dalam pentradisian.46 Dalam penafsiran teks, fusi horison terjadi dalam sebuah proses dialog, yaitu dialog antara penafsir dan yang ditafsirkan (teks).47 Dalam perkembangan selanjutnya, muncul kritik terhadap hermeneutika yang berorientasi pada pengalaman spiritual yang paling disadari oleh penulis teks. Berlawanan dengan idealisme Hegel, Karl Marx (1818-1883) memahami bahwa materi merupakan penentu kesadaran. Memahami berarti melihat dengan kritis kecenderungan-kecenderungan material yang terungkap dalam sebuah teks. Hakikat terbentuknya produk-produk mental spiritual merupakan fungsi ideologis dari stabilisasi hubungan-hubungan kepemilikan, penguasaan, dan kerja mereka.48 Untuk itu dibutuhkan sebuah kritik ideologi. Alkitab tidak boleh menjadi candu masyarakat, melainkan harus menyingkapkan, dengan cara memahami, fungsi ideologisnya. Ernst Bloch (1885-1977) berpendapat bahwa Alkitab juga berisi impuls-impuls yang kuat untuk mengubah dunia. Hemeneutika merupakan pemahaman yang mengubahkan.49 Jika Marx menunjukkan motif-motif ideologis di balik teks, Sigmund Freud (1856-1939) menunjukkan bahwa dalam memproduksi maupun menafsirkan teks, ikut serta di dalamnya motif-motif yang tidak disadari yang ditentukan oleh problem dasar manusia, yaitu ketakutan. Manusia berusaha untuk menyingkirkan ketakutan-ketakutan itu.50                                                              45 Ibid. 46 Lih. Ibid., 23. 47 Lih. Ibid. 48 Lih. Ibid., 24. 49 Lih. Ibid. 50 Nach Freud finden sich in jedem Text Spuren solcher unbewußter Angstabwehrmaßnahmen. Verstehen heißt entsprechend  a) die angstlösenden (oder -verstärken- den) Komponenten eines Textes zu durchschauen; b) die sexuellen 

   241   Perkembangan Tafsir Perjanjian Lama 

Mazhab Frankfurt merumuskan sintesis teoretis antara Marx dan Freud, yang disebut “Teori Kritis,” dengan tokoh-tokohnya seperti Max Horkheimer (1895-1973), Theodor W. Adorno (1903-1969), Herbert Marcuse (1898-1979) dan Jürgen Habermas (lahir 1929). Dalam teori ini, masyarakat dipahami sebagai jiwa makro yang terdiri dari kaum intelektual, hakim atau perwakilan gereja dan seterusnya, sebagai representasi dari “Über-Ich” (super-ego) dan kelompok manusia kebanyakan sebagai “Ich” (ego). Kedua kelompok ini harus berdialog untuk menyeimbangkan tuntutan-tuntutan dan kecenderungan-kecenderungan mereka.51 Sampai di sini hermeneutika merupakan upaya memahami teks dengan menghubungkannya dengan faktor-faktor yang ada di belakang teks: jiwa penulis, relasi-relasi ekonomis, kecurigaan-kecurigaan dan tradisi yang tertanam di masanya, dan sebagainya. Dalam arus kesadaran historis, Alkitab diterima sebagai produk duniawi dari manusia dan metode historis kritis,52 yang diterapkan dan diterima sebagai cara memahami teks yang ilmiah–metode standar yang dipelajari di universitas–yang lahir sebagai sebuah dampak bersama dan fusi dari bermacam impuls dari epos sejarah roh jaman era Humanisme, Renaisans, Pietisme, Rasionalisme, Pencerahan, dan Romantisme. Penafsir berperan sebagai pembela dari penulis teks.53   5) Penafsiran Struktural: Mencari Makna di dalam Teks Pertengahan tahun 50an, muncul sebuah corak baru dalam penafsiran teks, di mana hermeneutis tidak lagi dipahami sebagai sebuah upaya memahami teks dengan cara mencari faktor-faktor yang ada di belakang teks dengan memberikan intensi pada penulis, namun melihat teks sebagai teks. Artinya, makna teks dicari pada teks itu sendiri. Konsep ini dipengaruhi oleh strukturalisme Prancis dan pemahaman tentang penafsiran yang terpelihara di Jerman bahwa pemahaman yang benar hanya dapat dicapai jika orang benar-benar 

                                                             Implikationen eines Textes zu erkennen; c) die Elemente frühkindlichen Erlebens in einem Text auszuloten. Auch die Bibel muß nach Freud auf ihre unbewußte Art, mit der Libido, der sexuellen Urtriebkraft des Menschen, und der Angst umzugehen, abgehört werden.ˮ Ibid., 25. 51 ˮZiel der dialektischen Aufklärung muß es sein, einen herschaftsfreien Dialog aller Teile der Gesellschaft herbeizuführen. Dieses Ziel impliziert radikale Ideologikritik, aber auch sexuelle Befreiung. Die Bibel im Sinne der Frankfurter Schule zu interpretieren heißt, das soziale Umfeld der biblischen Autoren und ihre persönliche Tiefenstruktur zu studieren und darüber hinaus die ideologische Funktionalisierung der Bibel in der Gesellschaft der Gegenwart zu erforschen und Deformationen des freien Diskurses zu korrigieren.ˮ Ibid., 26. 52 Pada dasarnya metode historis kritis merupakan kumpulan metode: kritik teks, analisis sastra, sejarah pentransmisian, kritik peredaksian, kritik bentuk, kritik tradisi, exegese istilah, analisa sejarah tempat, dan tafsir keseluruhan.  53 Lih. Oeming, Biblische Hermeneutik, 31. 

  242 

masuk ke dalam dunia yang didesain oleh teks.54 Setiap teks memiliki dunianya sendiri, yang dalam bahasa Ludwig Wittgensteins (1889-1951) dikatakan memiliki permainan bahasa masing-masing.55 Meskipun historis kritis sejak 2 abad silam telah menunjukkan dominasinya dengan menjadi metode penafsiran standar untuk dipelajari di universitas-universitas dan menolong kekristenan untuk menemukan relasinya dengan dunia modern, kini metode tersebut semakin dipertanyakan dan diragukan karena hasil-hasil penelitian eksegesis historis kritis pada akhirnya hanya akan berada di rak-rak buku dan tidak menunjukkan manfaatnya bagi praksis hidup. Teolog Katolik Eugen Drewermann berpendapat bahwa penafsiran Alkitab historis kritis bukan hanya merusak kehidupan teks-teks Alkitab melainkan kehidupan religius secara keseluruhan, karena historis kritis mengabaikan sama sekali dimensi pengalaman. Para teolog universitas maupun pejabat-pejabat gereja bicara tentang perkara-perkara yang dia sendiri tidak pernah alami, tidak pernah rasakan, tidak pernah kenali, namun mencoba untuk menjelaskan, membuktikan, memberikan alasan dan memberitakan tentangnya.56   6) Penafsiran Respons Pembaca: Mencari Makna di depan Teks Pendekatan historis tidak mampu membangkitkan teks-teks kuno kepada hidup yang baru, namun sebaliknya telah menjadi kuburan baginya. Untuk itu dicari bentuk-bentuk penafsiran yang melibatkan pengalaman manusia di dalamnya. Muncul kemudian eksegesis yang didasarkan pada pendekatan psikologi dalam57, tafsir feminis58, teologi pembebasan59, demikian juga eksegesis materialistik. Selain itu, arus perkembangan penafsiran mengarah pada penemuan kembali hermeneutika klasik.60  Arus kuat pada 40 tahun terakhir ini adalah hermeneutika yang berorientasi pada pembaca. Sebuah perubahan paradigma yang memberikan intensi bukan lagi pada penulis, melainkan pada pembaca.                                                              54 Lih. ibid., 26. 55 ˮDas Verstehen sollte sich darauf begrenzen, die Bauformen des Textes zu durchschauen, seine Sprachregelungen zu erfassen und die Welt, die der Text entwirft, präzise nachzuzeichnen, statt sich in Vermutungen zu begeben, deren Stichhaltigkeit ohnehin fragwürdig bleibt. Die Zentralstellung des Pols "Text und seine Welt" im hermeneutischen Viereck geschieht unter Überschriften wie Linguistik, Strukturalismus, Semiotik, New Literary Criticism oder Rhetorical Criticism.ˮ Ibid., 27. 56 Lih. Ulrich H.J. Körtner, Der inspirierte Leser. Zentrale Aspekte biblischer Hermeneutik, (Göttingen: Vandenhoeck & Ruprecht, 1994), 63. 57 Lih. Oeming, Biblische Hermeneutik, 102-108. 58 Lih. Ibid., 129-139. 59 Lih. Ibid., 120-129. 60 Lih. George Lindbeck, "Heilige Schrift, Konsens und Gemeinschaft," in Raymond E. Brown, et. al., Schriftauslegung im Widerstreit (Freiburg, Basel, Wien: Herder, 1989), 70-80.  

   243   Perkembangan Tafsir Perjanjian Lama 

Teoretikus utama perubahan paradigma ini adalah Umberto Eco (lahir 1932) yang berpendapat bahwa setiap teks mempunyai baris-baris kosong yang harus diisi oleh pembacanya.61 Eco berbicara tentang ambiguitas Teks dan memberikan sebuah contoh yang sangat dikenal, “Carlo tidur dengan isterinya dua kali dalam seminggu. Luigi juga.” Teks mempunyai hidupnya sendiri dan bersifat otonom dari penulisnya, sehingga penulis tidak dapat lagi mengontrol sampai titik mana pernyataannya jelas. Makna diputuskan oleh pembacanya. Makna tidak berada di belakang maupun pada teks, namun di depan teks. Teks merupakan mesin produksi makna/penafsiran.62   7) Empat Sudut Hermeneutik Keragaman faktual dan perbedaan dalam peresepsian secara teoretis direfleksikan dalam filsafat yang disebut postmodern. Tidak ada lagi sebuah penafsiran yang benar, melainkan interpretasi tanpa akhir, semiotik tak terbatas.63 Metode tafsir telah menjadi begitu beragam. Manfred Oeming mencoba untuk mengelompokkan metode-metode tafsir Alkitab ke dalam apa yang disebutnya dengan empat sudut hermeneutik: (1) Metode-metode tafsir yang berorientasi pada penulis dan dunianya, termasuk di dalamnya historis kritis, eksegesis sejarah sosial, psikologi historis dan arkeologi baru; (2) metode-metode tafsir yang berorientasi pada teks dan dunianya, termasuk di dalamnya metode-metode linguistik strukturalis, kritik literer baru/cara pembacaan sinkronik, tafsir kanonik, penafsiran teks sebagai peristiwa bahasa dan kata; (3) metode-metode yang berorientasi pada pembaca dan dunianya, termasuk di dalamnya eksegesis sejarah peresepsian, eksegesis psikologi dalam, eksegesis yang berorientasi pada simbol, bibliodrama, eksegesis teologi pembebasan dan tafsir feminis; (4) metode-metode yang berorientasi pada hal/tema dan dunianya, termasuk di dalamnya tafsir Alkitab dogmatis, tafsir Alkitab fundamentalis dan penafsiran eksistensial.64   Membaca Dialog Ayub dengan Teman-Temannya  Bersama Orang-orang yang Hidup dengan HIV/AIDS  Tafsir Alkitab, termasuk di dalamnya tafsir Perjanjian Lama, berkembang seiring dengan perkembangan kesadaran manusia dan                                                              61 Lih. Oeming, Biblische Hermeneutik, 27. 62 Pemahaman yang membawa kembali pada pemikiran Agustinus tentang keragaman makna teks. Lih. catatan kaki 25. 63 Lih. Oeming, Biblische Hermeneutik, 29. 64 Berbagai metode penafsiran ini secara singkat Oeming paparkan dalam bukunya, Biblische Hermeneutik, 31-175. 

  244 

pergeseran-pergeseran paradigma dalam memandang teks. Dalam perkembangannya, banyak ahli yang lebih memilih untuk membaca teks dalam kesatuannya. Seperti misalnya pandangan R. Coggins terhadap Kitab Yesaya. Dia katakan,   ...what we have is a book, so let us treat it as a book, regardless of the particular circumstances which are alleged to have led to its composition. We read and can appreciate a classic novel without enquiring into the background of its composition; similarly, it is argued, Isaiah can be read as a whole without exploring what are regarded as irrelevant details. There are obvious differences, for Isaiah is mainly poetry, without any storyline. Nevertheless certain basic themes run through the whole book which are of intrinsic importance.65  Selain itu berkembang juga penafsiran yang lebih berorientasi pada pembacanya. Pada bagian ketiga ini penulis ingin mengetengahkan sebuah penafsiran yang berorientasi pada pembaca, yaitu membaca dialog Ayub dengan tiga temannya bersama dengan orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS dalam sebuah permainan peran.66   Persiapan  1) Teks-teks yang dipilih Teks-teks dari kitab Ayub yang akan dibaca dalam permainan peran dipilih berdasarkan motif dan tema-tema yang ditekankan dalam perkataan-perkataan Ayub dan teman-temannya yang sudah diamati secara teoretis eksegetis maupun pastoral. Tema-tema utama dalam perkataan-perkataan teman-teman Ayub adalah: a) gambaran tentang manusia; b) usaha menyalahkan Ayub; c) ajakan kepada Ayub supaya bertobat; d) dan tentang janji Tuhan. Sedangkan dalam perkataan-perkataan Ayub, tema-tema penting yang muncul adalah: a) gambaran penyakit yang dia alami; b) keluhan dan protes; c) keinginan untuk mati; d) gambaran tentang manusia; e) dan kebesaran Tuhan.  

                                                             65 R. Coggins, “Isaiah,” in John Barton and John Muddiman, eds., The Oxford Bible Commentary (New York: Oxford University Press, 2001), 434. Bandingkan dengan pandangan J.P. Fokkelman tentang kesatuan kitab Ayub dalam bukunya The Book of Job in Form. A Literary Translation with Commentary, Studia Semitica Neerlandica, Vol. 58 (Leiden/Boston: Brill, 2012), 14-15. 66 Apa yang penulis sajikan merupakan hasil penelitian disertasi yang telah dipublikasikan, Aris Margianto, Antike Seelsorge? Studien zum Umgang mit Verlust, Krankheit und Tod im Buch Hiob, in der modernen Seelsorge und bei HIV-Patienten in Indonesien (Berlin, Münster: LIT Verlag, 2016), 235-241.  

   245   Perkembangan Tafsir Perjanjian Lama 

Struktur dialog tidak diubah, seperti halnya dalam kitab Ayub, dialog antara Ayub dengan tiga temannya berlangsung dalam tiga putaran. Putaran pertama: Ayub – Elifas – Bildad – Zofar; putaran kedua: Ayub – Elifas – Bildad – Zofar; putaran ketiga: Ayub – Elifas – Bildad.   2) Penokohan Penokohan dan relasi-relasi antar tokoh mengacu sebagaimana dalam kitab Ayub. Tokoh utama adalah Ayub, seorang yang tertimpa kemalangan, sedangkan tiga temannya berperan sebagai penghibur. Tuhan dan Elihu dalam hal ini berperan sebagai pemain fiktif. Sepanjang percakapan antara Ayub dan tiga temannya, Tuhan dan Elihu hanya “diam.” Meskipun berperan sebagai “penonton,” Tuhan dan Elihu adalah penonton aktif yang memperhatikan percakapan Ayub dan ketiga temannya, karena, dalam babak berikutnya, Elihu dan Tuhan akhirnya juga angkat bicara. Relasi antar tokoh dapat digambarkan sebagai berikut:  

  Tidak semua peserta Bibliodrama ini adalah orang Kristen, bahkan sebagian besar adalah umat Muslim. Selain itu tentu saja mereka tidak tahu secara detail tentang isi dari puisi kitab Ayub.67 Bahkan bagi kebanyakan peserta, teks kitab Ayub betul-betul asing, tidak mereka kenal sama sekali. Untuk membangun jembatan supaya peserta bisa masuk ke dalam “dunia asing” ini, maka nama-nama dari tokoh Ayub dan tiga temannya diganti dengan nama-nama yang familiar di Indonesia, khususnya di Jawa. Nama Ayub menjadi ˮJu”; Elifas ˮEla”; Bildad ˮBela”, Zofar ˮSofie.”         

                                                             67 Khotbah-khotbah tentang Ayub di gereja-gereja lokal sangat jarang. Biasanya hanya dalam upacara kematian disinggung teks kitab Ayub khususnya Ayub 1:21.  

  246 

   3) Kelompok-Kelompok Permainan peran diadakan tujuh kali bersama dengan tujuh kelompok yang berbeda. Kelompok pertama terdiri dari tiga orang laki-laki (“R,” “S,” dan “J”). Mereka semua beragama Kristen dan terinfeksi HIV melalui penggunaan jarum suntik narkoba. Kelompok kedua terdiri dari lima orang. Dua orang laki-laki pengguna narkoba yang positif HIV (“D” dan “W”) dengan istri mereka yang tidak terinfeksi HIV (“U” dan “C”), serta seorang mantan narapidana perempuan yang positif HIV (“E”). Mereka semua beragama Kristen. Kelompok ketiga terdiri dari dua ibu rumah tangga (“N” and “T”) dan seorang transgender (“Y”). Mereka beragama Islam. Kelompok keempat terdiri dari delapan orang, yaitu enam ibu rumah tangga (“R,” “A,” “M,” “J,” “H,” dan “D”) dan dua orang homoseksual (”W” dan “S”). Mereka beragama Islam dan Kristen. Kelompok kelima, ada enam orang yang ikut dalam permainan peran, yaitu dua orang ibu rumah tangga (“M” dan “M”), seorang transgender (“W”) dan tiga orang laki-laki pelanggan lokalisasi (“B,” “S,” dan “S“). Mereka beragama Islam dan Kristen. Kelompok keenam terdiri dari enam orang yang positif HIV, yaitu sepasang suami-istri yang sama-sama positif HIV (“I” and “S”), tiga ibu rumah tangga (“A,” “E,” dan “Y”) dan seorang laki-laki pelanggan lokalisasi (“W”). Mereka beragama Islam. Peserta permainan peran di kelompok ketujuh adalah tiga orang ibu rumah tangga (“U,” “A,” dan “E”). Mereka beragama Islam. Seluruhnya ada tiga puluh satu orang yang ikut dalam permainan peran. Mereka berasal dari berbagai kota di Jawa Tengah.   Jalannya Permainan Peran  1) Putaran Pertama Pada awalnya pendamping memberikan informasi kepada para peserta bahwa permainan peran ini berisi tentang percakapan antara Ju 

   247   Perkembangan Tafsir Perjanjian Lama 

dan teman-temannya (Ela, Bela dan Sofie). Percakapan dari tokoh-tokoh tersebut didasarkan pada sebuah teks kuno, yaitu percakapan antara (nabi) Ayub dan teman-temannya.68  Selanjutnya para peserta diminta untuk membaca teks secara bergantian. Setelah membaca satu bagian teks, para peserta diminta untuk menuliskan di atas secarik kertas tema-tema yang sekiranya menarik bagi mereka. Apa yang menarik dari perkataan-perkataan Ayub? Dan apa yang menarik dari perkataan-perkataan tiga orang temannya? Peserta menuliskan diantaranya: kematian, penyakit kulit, keadilan, dan seterusnya.  Masing-masing tema ditulis di atas secarik kertas.   

   Setelah semua bagian teks dibaca dan tema-tema yang dianggap menarik atau penting ditulis di atas secarik kertas, para peserta diminta untuk merefleksikan/mengomentari isi dan situasi percakapan antara si Ju dan ketiga orang temannya (Ela, Bela dan Sofie). Dengan demikian mereka memainkan peran sebagai penonton yang mengamati dari “luar” situasi percakapan antara Ju (Ayub) dan teman-temannya, sehingga dalam proses ini masih terdapat sebuah “jarak“ antara dunia literer kitab Ayub dengan dunia para peserta sebagai orang-orang yang terinfeksi HIV.                                                                 68 Dalam Agama Islam, Ayub termasuk salah seorang nabi. 

  248 

2) Putaran Kedua Pada putaran yang kedua, dilakukan pembagian peran kepada para peserta: siapa menjadi si Ju, dan siapa menjadi Ela, Bela, dan Sofie. Kemudian masing-masing peserta duduk di posisi sesuai dengan peran yang diberikan. Sedangkan di bagian tengah diletakkan secarik kertas bertuliskan HIV/AIDS. Pada putaran kedua ini, para peserta sudah bukan lagi penonton, melainkan mereka menjadi “pemain.” Dengan demikian dunia literer kitab Ayub dengan dunia pengalaman para peserta semakin lama semakin melebur.   

  Pendamping membantu para peserta untuk merefleksikan situasi mereka sebagai orang yang hidup dengan HIV/AIDS dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terbuka, seperti misalnya: “Bagaimana perasaan Anda sebagai seorang yang hidup dengan HIV/AIDS, jika ada orang yang datang kepada Anda dan berbicara seperti tiga orang teman si Ju (Ayub)?” “Bagaimana Anda memahami penyakit Anda? Apakah itu sebuah hukuman dari Tuhan? Apakah menurut Anda Tuhan itu adil? Mengapa?” Demikian juga pertanyaan-pertanyaan seperti misalnya: “Apakah Anda juga mengalami seperti si Ju (Ayub), ditinggalkan/disingkirkan oleh orang-orang di sekitar Anda? Apakah Anda ingin menceritakan pengalaman Anda?” dan seterusnya.  Pendamping juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan reflektif kepada peserta yang memainkan peran sebagai tiga teman Ayub, dan Tuhan maupun Elihu yang hanya diam saja. Dalam hal ini, pendamping tidak boleh mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti seorang yang sedang melakukan interogasi, melainkan harus terus memperhatikan dinamika percakapan yang terbentuk. Fokus utama dari tindakan pendampingan adalah terbentuknya dinamika percakapan itu sendiri. 

   249   Perkembangan Tafsir Perjanjian Lama 

Para peserta ditolong untuk saling berbagi pengalaman mereka dan mengutarakan perasaan-perasaan mereka dengan bebas.   3) Putaran Ketiga Pada putaran ketiga, para peserta saling bertukar peran, yang sebelumnya berperan sebagai si Ju (Ayub), berganti menjadi, misalnya Ela. Atau pemeran Ju menjadi Tuhan dan pemeran Tuhan menjadi Ju.     

    Pemaknaan/Refleksi  1) “Itu Aku!” Kebanyakan peserta sama sekali belum pernah membaca kitab Ayub, oleh karena itu mereka juga sangat sedikit mengenal kisah tentang Ayub. Meskipun demikian, ketika mereka membaca kitab Ayub, dunia literer kitab Ayub nampak bagi mereka bukan sebuah dunia yang asing. Dunia literer kitab Ayub nampak sejajar dengan dunia empiris mereka sebagai orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS. Sebagai contoh, setiap kali ibu ˮU” membaca perkataan-perkataan Ayub, dia berkata sambil tertawa, ˮini aku banget! ini aku banget!” Dia menceritakan, ketika dia menerima hasil tes darah yang menunjukkan bahwa dirinya positif terinfeksi HIV, dia ingin mati saja. Dia terinfeksi HIV melalui suaminya dan suaminya sudah meninggal oleh karena virus tersebut. Dia adalah seorang guru di sebuah sekolah dasar. Sejauh ini dia bisa “menyembunyikan” identitas dirinya sebagai seorang yang hidup dengan HIV/AIDS. Itu sebabnya sampai sekarang dia masih bisa mempertahankan pekerjaannya sebagai guru. Dunia 

  250 

yang tergambar dalam kitab Ayub bagi ibu ˮU” sama sekali tidak asing. Dunia literer itu sama persis dengan dunia pengalamannya.  Selain protes dan keinginan Ayub untuk mati, gambaran penyakit Ayub bagi para peserta juga sangat relevan. Kulit yang menghitam, kondisi tubuh yang menjadi kurus secara drastis, dan diare akut merupakan gejala-gejala klinis dari tingkatan HIV/AIDS. Beberapa peserta menanyakan apakah Ayub juga menderita HIV/AIDS, karena kulit Ayub juga menghitam dan sangat kurus.69 Perkataan Ayub tentang penyakitnya membuat para peserta untuk berani menceritakan penyakitnya dan menceritakan pengalaman mereka ketika berada pada stadium AIDS. Mereka merasa sudah begitu dekat dengan kematian. Seperti halnya Ayub, mereka juga merasa bahwa mereka adalah orang-orang yang berhasil survive dari kematian.  2) Mempertahankan Gambaran Tuhan yang Baik Terkait dengan perkataan-perkataan teman-teman Ayub dan gambaran-gambaran tentang Tuhan, pandangan para peserta beragam. Para peserta yang terinfeksi HIV/AIDS karena mereka melakukan seks bebas dengan wanita pekerja seks komersial, homoseksual, pengguna narkoba, cenderung bisa menerima perkataan-perkataan teman-teman Ayub secara positif. Mereka memahami bahwa HIV/AIDS sebagai hukuman dari Tuhan yang mereka terima sebagai balasan dari apa yang telah mereka lakukan. Itu sebabnya, mereka setuju dengan teman-teman Ayub, bahwa mereka harus bertobat kepada Tuhan dan mengakui dosa-dosa mereka. Bagi mereka Tuhan itu adil.  Namun demikian, meskipun mereka dapat memahami dan menerima bahwa penyakit mereka sebagai konsekuensi dari perbuatan mereka, bagi mereka tetaplah tidak mudah untuk menanggung kenyataan itu dalam hidup sehari-hari. Mereka harus menyembunyikan situasi mereka sebagai orang yang terinfeksi HIV/AIDS. Mereka merasa terasing dan kesepian. Mereka tidak boleh bekerja terlalu berat dan terlalu banyak stres. Oleh sebab itu, mereka memiliki kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Bagi mereka, gambaran-gambaran penyakit Ayub yang Ayub rasakan seperti pengepungan, tembok/pagar keliling, dan penjara sangat relevan.  Bagi para peserta ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV/AIDS melalui suaminya, pandangan dari teman-teman Ayub dirasakan problematis dan sulit untuk bisa diterima. Mereka merasa tidak                                                              69 Gambaran penyakit Ayub dalam Ayub 30:30 yang menyatakan bahwa kulitnya menjadi hitam, bagi para peserta sangat relevan. Obat ARV yang para peserta minum mempunyai efek samping, di antaranya kulit menjadi menghitam. Itu sebabnya, ada di antara para wanita pekerja seks komersial yang tidak mau meminum obat tersebut, karena jika kulit mereka menjadi jelek maka mereka kesulitan untuk mendapat pelanggan.  

   251   Perkembangan Tafsir Perjanjian Lama 

melakukan sesuatu yang jahat, namun mereka harus menderita penyakit ini dan seumur hidup harus meminum obat. Tidak mudah bagi mereka untuk menerima perkataan-perkataan teman-teman Ayub. Bagi mereka Tuhan tidak adil.  Dalam permainan peran dengan kelompok empat, dibicarakan sebuah tema apakah Tuhan seharusnya “menyesal“ karena telah menciptakan virus HIV/AIDS, yang kemudian bisa menyasar para ibu rumah tangga dan anak-anak. Seorang ibu (J) setuju bahwa Tuhan seharusnya menyesal. Dia membandingkan Tuhan dengan dirinya sendiri. Sebagai seorang ibu, dia juga akan menyesal, ketika dia memukul anaknya untuk memberi teguran, kalau anaknya melakukan sesuatu yang buruk.  Ketika Ibu ˮJ” mengutarakan pendapatnya tersebut, para pendamping kelompok-sebaya mereka, yang beragama Islam dan tidak terinfeksi HIV/AIDS, yang menonton kegiatan permainan peran ini, dengan tertawa memberikan tanggapan: “Tidak, tidak bisa!“, “Tuhan tidak pernah melakukan kesalahan!“, “Tuhan tidak perlu menyesal!“ Bagi mereka sulit untuk memahami konsep tentang “Tuhan yang menyesal.“ Mereka memahami bahwa dalam teologi Islam tidak ada gambaran Tuhan seperti itu. Di sini dapat dilihat sebuah tabrakan antara gambaran tentang Tuhan yang dogmatis dan yang praktis-teologis, seperti halnya dalam situasi Ayub dan teman-temannya.   3) Paradoks yang Membawa pada Tertawa  Dalam permainan peran, para peserta, khususnya ibu rumah tangga, berada dalam sebuah tegangan pemaknaan hidup mereka. Di satu sisi mereka percaya bahwa Tuhan itu adil dan mereka ingin memegang erat keyakinan tersebut. Tetapi di sisi lain, mereka tidak bisa menerima bahwa HIV/AIDS sebagai hukuman dari Tuhan, karena mereka merasa tidak berbuat salah. Kalau seandainya HIV/AIDS adalah hukuman Allah, maka dalam kasus mereka Tuhan tidak adil. Tetapi kalau itu bukan sebagai hukuman Allah, lantas apa arti penyakit yang mereka derita? Seorang ibu rumah tangga (T) setelah selesai permainan peran masih terus berusaha untuk memikirkan dan merenungkan paradoks itu. Pada akhirnya, dia hanya bisa tertawa dan geleng-geleng kepala. Dia melihat paradoks itu dan sampai pada batas kemampuannya untuk memahaminya. R.W. Fairchild menulis:  Das Leben ist die Geschichte der Konflikte und wird sie auch weiterhin bleiben. Die Spannung der entgegengesetzten Bedürfnisse gibt dem Leben seine Energie und Vitalität. Die Polarität unserer Existenz ist eine Grundbedingung des menschlichen Wesens. [...] Unsere Ganzheit und unsere Hoffnung sind abhängig davon, einen Weg zu finden, der die Polaritäten und Paradoxe unseres 

  252 

Lebens annimmt und versöhnt. Wir sind frei, und doch gebunden, Sünder, und doch Heilige, unseres Zieles bewußt, und doch lebenslang unterwegs, berufen dazu, unser Selbst zu verleugnen, und doch uns selbst zu bestätigen, im Angesicht von Gottes Erbarmen, welches frei ist und doch fordernd. Die christliche Überzeugung besagt, daß durch das Kreuz Christi Gegensätze zusammengehalten werden wie das Vertikale und das Horizontale, und daß wir letztlich diesen Konflikt überwinden werden.70   Kesimpulan  Ini mungkin sumbangan paling penting dari kitab Ayub bagi teori pendampingan pastoral di dunia modern: pendampingan pastoral tidak bertujuan untuk menemukan sebuah kunci jawaban atas semua kompleksitas pertanyaan seperti pertanyaan tentang “mengapa orang benar menderita?” Lebih dari itu, pendampingan pastoral menunjukkan paradoks-paradoks kehidupan dan berusaha untuk mengintegrasikannya dengan dunia pengalaman orang yang mengalaminya.71 Paradoks-paradoks ini dapat membawa pada tertawa, seperti dalam kegiatan-kegiatan pertemuan kelompok sebaya dari mereka yang hidup dengan HIV/AIDS yang selalu dibuka dengan sebuah pernyataan salam penuh humor: ˮSekali positif, tetap positif!“ Pernyataan salam untuk sebuah kenyataan yang pahit, tetapi bagi mereka entah bagaimana terdengar lucu, menghibur, dan bahkan menyembuhkan.   Penutup  Faktor-faktor manakah yang menentukan makna sebuah teks? Apakah faktor-faktor yang ada di balik teks, yang ada pada teks, ataukah yang ada di depan teks? Hermeneutika Alkitab–termasuk di dalamnya tafsir Perjanjian Lama–dalam perkembangannya yang telah melewati kurun waktu berabad-abad, berusaha mencari makna teks                                                              70 R.W. Fairchild, Seelsorge mit depressiven Menschen (Mainz: Matthias Grünewald Verlag, 1991), 118-119. 71 Bdk. Oeming yang mengatakan: “Durch diese vielfach modulierte Bitterkeit und Härte sowie durch die häufigen Brüche und Widersprüche und die Aufforderung zur fortgesetzten Gesprächsarbeit wahrt das Buch als ganzes das Geheimnis Gottes und verwandelt Poimenik nicht in ein Rezeptbuch.” Art. Oeming, Manfred u. Drechsel, Wolfgang, „Das Buch Hiob – ein Lehrstück der Seelsorge?”, in Das Buch Hiob und seine Interpretation. Beiträge zum Hiob-Symposium auf dem Monte Verita vom 14-19. August 2005. T. Krüger, M. Oeming, u.a. (Hrg.), AThANT 88 (Zürich: Theologischer Verlag Zürich, 2007), 438. 

   253   Perkembangan Tafsir Perjanjian Lama 

berdasarkan faktor-faktor di balik teks, khususnya segala sesuatu yang terkait dengan penulis teks, baik yang dimaksud dengan penulis itu adalah manusia maupun Tuhan yang menggunakan tangan manusia. Pada era sekarang ini muncul paradigma baru yang memberikan intensi pada faktor-faktor yang berada di depan teks, yaitu pembaca. Apakah paradigma baru ini kemudian dapat menjamin ditemukannya makna yang sebenarnya dari sebuah teks? Sepertinya yang paling penting dalam penafsiran sekarang ini adalah bagaimana menemukan sudut pandang yang tepat, yang paling memungkinkan untuk memperlihatkan kekayaan dan kedalaman makna dari sebuah teks, seperti seorang fotografer yang hendak memotret sebuah pemandangan. Dengan sudut pandang yang tepat, maka fotografer itu akan mendapatkan hasil foto yang paling mampu untuk memperlihatkan keindahan pemandangan tersebut. Namun demikian, apakah ada sudut pandang yang tepat itu? Yang pasti setiap sudut pandang yang berbeda akan menghasilkan foto yang berbeda, dan ketika foto-foto itu dipampang untuk dipamerkan, masing-masing foto akan mempunyai penggemarnya sendiri-sendiri. Manakah dari antara foto tersebut yang paling benar? Demikian juga adakah penafsiran teks yang paling benar? Bagaikan keindahan pemandangan yang hanya bisa membuat terdiam kagum bagi orang yang melihatnya, demikian juga teks yang setiap saat dapat membuat kita terdiam, seperti Zakharia yang menjadi bisu menerima kabar malaikat, atau seperti tiga teman Ayub yang tujuh hari tujuh malam terdiam bisu melihat realitas Ayub. Mereka hanya bisa menunggu untuk kemudian bisa mengatakan sesuatu pada waktunya. Ada waktu untuk teks itu diam, ada waktu untuk teks itu berbicara.