perjanjian lama taurat 5

perjanjian lama taurat 5


 


posisi sebagai sebutan yang paling sering digunakan 

untuk segala jenis korban, terutama yang terkait dengan ‘korban pendamaian’. 

Akhirnya, ‘zæbaḥ šelāmîm’ pun identik dengan makna ‘korban pendamaian’ 

atau ‘korban bakaran’ (Moraldi, 1956:328). 

Motif-motif kurban pada periode Kitab Suci Perjanjian Lama pada 

umumnya yaitu  memuliakan Allah sekaligus mengucap syukur atas 

 

 

142 

kebaikan-Nya. Akan namun , sejumlah kurban juga dipersembahkan sebagai 

kurban dengan motif lainnya. Misalnya, kurban persembahan Nuh. Kurban 

Nuh ini harus dilihat tidak melulu sebagai kurban pengucapan syukur atas 

alasan terlepas dari air bah. Akan namun , kurban Nuh yaitu  juga sebagai 

kurban pertobatan atau penebusan dosa. Saat pergi ke Mesir (Kejadian 46:1), 

Yakub berhenti untuk bertanya kepada Allah, dan mempersembahkan kurban 

(zæbaḥ šelāmîm) yang kemungkinan besar bersifat pertobatan dan 

pendamaian.   

Prinsip ‘yang terbaik bagi Allah’ senantiasa dilaksanakan dalam 

kurban. Misalnya, pemilihan jenis kelamin kurban. Jantan lebih diutamakan 

ketimbang betina (Imamat 1:3; 3:1; Kejadian 15:9; 1Samuel 6:14; 16:2). 

Lebih dipilihnya yang jantan daripada yang betina, kemungkinan besar terkait 

dengan siklus loop atau siklus etrus yang hanya dialami hewan betina. Hewan 

betina yang sedang dalam siklus ini membesar vulvanya. Pada siklus tersebut 

hewan betina mengeluarkan darah dari tubuhnya. Oleh karena darah yang 

keluar dari tubuh makhluk hidup merupakan hal cemar dalam Tradisi Yahudi, 

demi kekudusan ritual, tentu hal itu dihindari. Menjadi jelas alasan pemilihan 

hewan jantan daripada betina. Akan namun , aturan itu bersifat relatif. Artinya, 

jika tidak terdapat hewan jantan, hewan betina pun diperkenankan menjadi 

bahan kurban asalkan tidak sedang dalam siklus pendarahan itu.  

 

C. RANGKUMAN 

Menjadi jelas dari perjalanan tradisi menyelenggarakan ritual dari 

Kitab Suci Perjanjian Lama, terutama Kitab Pentateukh hingga era kini, 

bahwa semangat yang muncul yaitu  kehendak Allah untuk menjamin relasi 

yang baik dan bermartabat dengan manusia. Relasi itu terwujud secara 

konkret dalam ritual dengan segala syarat rincinya. Ada keyakinan bahwa 

semakin segala macam syarat rinci itu dipenuhi, semakin sah pula ritual 

tersebut. Pada gilirannya, ritual yang sah itu berkenan di hadapan Allah. Hasil 

perkenanan Allah yaitu  curahan keselamatan.  

Akan namun , yang juga perlu diperhatikan selain upaya pemenuhan 

segala syarat itu yaitu  proses. Ritual itu tak hanya akan memberi 

keselamatan saat ritus selesai atau purna raya. Keselamatan itu telah mulai 

dinikmati manusia sejak ia masuk dalam proses ritual itu. Dengan kata lain, 

ritus bukan sekadar tata aturan yang kaku. Ritus merupakan tahapan-tahapan 

dinamis yang di setiap tahapnya memberikan percik-percik keselamatan 

kepada manusia. 

 

CETAK BIRU TATA MASYARAKAT SOLIDER 

 

Kitab Ulangan bab 15 mengakomodasi keinginan terdalam manusia 

untuk memeroleh penghapusan hutang tersebut. Lebih dari sekadar memberi 

jaminan bagi manusia untuk terbebas dari hutang, bagian ini menyampaikan 

visi atau pandangan sosiologis tentang tata kehidupan bermasyarakat pada 

saat itu. Pandangan sosiologis tersebut mencakup pengajuan gagasan etika 

kemanusiaan atau promosi hidup persaudaraan dalam komunitas. Jika 

sungguh-sungguh dihayati, etika kemanusiaan ini niscaya akan membantu 

membangun komunitas menjadi sehat sekaligus berfungsi sebagai alternatif 

mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Di samping itu, penghayatan atas 

gagasan penghapusan hutang ini niscaya menghidupkan kembali komitmen 

tanggung jawab sosial manusia atas komunitas tempatnya hidup. 

 

B. 

Bagian memberi penjelasan fungsi Kitab Ulangan secara umum 

sebagai pedoman penghayatan tata aturan hidup sosial kemasyarakatan 

Bangsa Israel berbasiskan Perjanjian antara Yahwe dan Bangsa Israel. Secara 

 

 

145 

khusus bagian ini menjelaskan teks Ulangan 15 sebagai cetak biru tata 

masyarakat yang solider. 

 

1. Karakter Utopis-Praktis Kitab Ulangan 

Sebagai salah satu mahakarya teologis sastra Yahudi, Kitab Ulangan 

bukan sekadar memuat aneka macam gagasan teologis abstrak yang menjiwai 

kitab-kitab lainnya. Lebih dari itu, Kitab Ulangan juga merangkul kehidupan 

nyata dengan memberikan sejumlah petunjuk praktis untuk mewujudkan 

butir-butir iman akan Allah dalam praktik hidup berkomunitas orang-orang 

beriman. Minat utama Kitab Ulangan yaitu  memberikan struktur sosial dasar 

bagi hidup beriman supaya relasi Bangsa Israel sebagai umat pilihan dengan 

Allah sungguh dapat terungkap secara nyata dalam pengalaman konkret.  

Kitab Ulangan membangun struktur dasar iman dengan menyusun 

secara sistematis gagasan-gagasan teologi yang berangkat dari praksis 

kehidupan sosial, terutama yang mengait konteks ‘peradaban kasih’ (Friedl, 

2016:182). Yang dimaksudkan dengan peradaban kasih di sini terutama 

tindakan kasih bagi mereka yang miskin supaya mereka juga segera dapat 

masuk ke dalam kehidupan yang beradab dengan sesamanya secara sejajar. 

Dalam hal ini, Kitab Ulangan menempatkan kemiskinan dan problemnya 

sebagai isu kontemporer yang memerlukan tanggapan teologis sekaligus 

praksis.  

Supaya memiliki gambaran tentang kemiskinan, tulisan ini meminjam 

ungkapan dari Townsend.  Menurutnya, orang dapat disebut miskin saat 

dirinya kehilangan pendapatan dan sumber daya lain yang dibutuhkannya 

untuk mencukupi hidupnya dalam wujud makanan, sandang, papan, fasilitas, 

dan standar hidup minimal lainnya. Dengan memiliki standar hidup minimal 

itu manusia memeroleh peluang untuk memainkan peran, memenuhi 

kewajiban sosial, sekaligus berpartisipasi dalam kehidupan berkomunitas 

secara wajar (Townsend 2006:5). Kemiskinan terjadi akibat sejumlah 

penyebab. Salah satunya, eksploitasi manusia terhadap manusia lainnya 

sampai tahap di mana seseorang tersandera struktur ekonomi yang tidak 

menguntungkan baginya sehingga tidak dapat memenuhi standar hidup 

minimal. 

Untuk melawan struktur yang menyandera ini, Kitab Ulangan merasa 

tidak cukup sekadar memberikan tawaran-tawaran teologis utopis terkait 

harapan dan kasih Allah. Lebih dari itu, Kitab Ulangan memberikan cetak biru 

bagi perwujudan tata sosial yang beretika untuk menjamin hidup masyakarat 

yang adil dan sejahtera. Dalam upaya memberikan cetak biru tersebut, 

gagasan-gagasan teologis Kitab Ulangan membeberkan tanggung jawab 

sosial yang berangkat dari visi kemanusiaan yang berkeadilan sebagai model 

 

 

146 

untuk kehidupan masyarakat yang hidup berdasarkan perjanjian kasih antara 

mereka dengan Allah yang adil dan penuh kasih (Davidson, Mock, Johnson, 

1997:247; Gray 2008:221).  

Kitab Ulangan menyuarakan visi kemanusiaan dalam membangun 

komunitas yang layak hidup dan humanis di Israel (Weinfeld, 1961:242). Hal 

ini terungkap dari pendapat bahwa kitab ini lahir dari kalangan juru tulis 

Yerusalem yang tidak sepakat dengan kondisi sosial pada saat Manasye 

berkuasa sebagai raja. Pada saat itu jurang pemisah antara kalangan aristokrat, 

para imam, dan akademikus dari Sekolah Kebijaksanaan dengan masyarakat 

pada umumnya, terutama mereka yang miskin terlalu lebar dan dalam 

(Nelson, 2002:8). 

Secara sangat mencolok cetak biru tata kehidupan masyarakat Kitab 

Ulangan mengungkapkan idealisme kehidupan sosial-ekonomi dan religius 

yang tertata baik. Nuansa ideal ini sedemikian mencolok sehingga cenderung 

beraroma utopis. Akan namun , walaupun aroma utopis sosialnya kentara 

sekali, Kitab Ulangan tetap menggembungkan optimismenya bahwa tata 

masyarakat adil itu akan terwujud jika Bangsa Israel sungguh-sungguh 

menerapkan sikap hidup yang tepat, yaitu patuh dan taat kepada Hukum 

Taurat (Collins 2000:53).  

Dengan demikian, secara konkret pula dapat dikatakan bahwa sikap 

patuh dan taat itu mewujud dalam artikulasi kesetiaan pada perjanjian. Tidak 

mengherankan jika ungkapan perjanjian muncul berulang kali (27 kali) dalam 

kitab ini. Perjanjian itu mencakup relasi antara Bangsa Israel dengan Allah 

dalam hampir semua aspek kehidupan sosial dan ekonomi, termasuk dalam 

kehidupan rumah tangga mereka secara konkret (Davies, 2014:27-28). 

Sekurang-kurangnya Kitab Ulangan yang memberikan lima cetak biru tata 

kehidupan masyarakat.  

 

 

 

(1) Cetak biru perhatian pada nilai kehidupan dan martabat manusia. 

 

“Apabila engkau keluar berperang melawan musuhmu, dan 

TUHAN, Allahmu, menyerahkan mereka ke dalam tanganmu dan 

engkau menjadikan mereka tawanan, dan engkau melihat di 

antara tawanan itu seorang perempuan yang elok, sehingga 

hatimu mengingini dia dan engkau mau mengambil dia menjadi 

isterimu, maka haruslah engkau membawa dia ke dalam 

rumahmu. Perempuan itu harus mencukur rambutnya, memotong 

kukunya, menanggalkan pakaian yang dipakainya pada waktu 

 

 

147 

ditawan, dan tinggal di rumahmu untuk menangisi ibu bapanya 

sebulan lamanya. Sesudah demikian, bolehlah engkau 

menghampiri dia dan menjadi suaminya, sehingga ia menjadi 

isterimu. Apabila engkau tidak suka lagi kepadanya, maka 

haruslah engkau membiarkan dia pergi sesuka hatinya; tidak 

boleh sekali-kali engkau menjual dia dengan bayaran uang; tidak 

boleh engkau memperlakukan dia sebagai budak, sebab engkau 

telah memaksa dia. Apabila seseorang berbuat dosa yang sepadan 

dengan hukuman mati, lalu ia dihukum mati, kemudian 

kaugantung dia pada sebuah tiang, maka janganlah mayatnya 

dibiarkan semalam-malaman pada tiang itu, namun  haruslah 

engkau menguburkan dia pada hari itu juga, sebab seorang yang 

digantung terkutuk oleh Allah; janganlah engkau 

menajiskan tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu 

menjadi milik pusakamu” (Ulangan 21:10-14.22-23). 

 

“Apabila engkau mendirikan rumah yang baru, maka haruslah 

engkau memagari sotoh rumahmu, supaya jangan kaudatangkan 

hutang darah kepada rumahmu itu, apabila ada seorang jatuh 

dari atasnya” (Ulangan 22:8). 

 

“Bersama-sama engkau ia boleh tinggal, di tengah-tengahmu, di 

tempat yang dipilihnya di salah satu tempatmu, yang dirasanya 

baik; janganlah engkau menindas dia” (Ulangan 23:16). 

 

“Apabila ada perselisihan di antara beberapa orang, lalu mereka 

pergi ke pengadilan, dan mereka diadili dengan dinyatakannya 

siapa yang benar dan siapa yang salah, maka jika orang yang 

bersalah itu layak dipukul, haruslah hakim menyuruh dia 

meniarap dan menyuruh orang memukuli dia di depannya dengan 

sejumlah dera setimpal dengan kesalahannya. Empat puluh kali 

harus orang itu dipukuli, jangan lebih; supaya jangan saudaramu 

menjadi rendah di matamu, apabila ia dipukul lebih banyak lagi” 

(Ulangan 25:1-3). 

  

(2) Cetak biru perhatian pada relasi manusia dengan sesamanya, 

terutama perhatian kepada orang asing, yatim-piatu, janda, dan 

orang-orang miskin serta terpinggirkan (Ulangan 15:1-11).  

(3) Cetak biru pengaturan hak milik. 

 

 

 

148 

“Apabila engkau melalui ladang gandum sesamamu yang belum 

dituai, engkau boleh memetik bulir-bulirnya dengan tanganmu, 

namun  sabit tidak boleh kauayunkan kepada gandum sesamamu 

itu” (Ulangan 23:25). 

  

 

 

(4) Cetak biru peringatan untuk istri yang dibenci dan putranya. 

 

“Apabila seorang mempunyai dua orang isteri, yang seorang 

dicintai dan yang lain tidak dicintainya, dan mereka melahirkan 

anak-anak lelaki baginya, baik isteri yang dicintai maupun isteri 

yang tidak dicintai, dan anak sulung yaitu  dari isteri yang tidak 

dicintai, maka pada waktu ia membagi warisan harta 

kepunyaannya kepada anak-anaknya itu, tidaklah boleh ia 

memberikan bagian anak sulung kepada anak dari isteri yang 

dicintai merugikan anak dari isteri yang tidak dicintai, yang 

yaitu  anak sulung” (Ulangan 21:15-16). 

  

(5) Cetak biru hukum yang menekankan perlakuan manusiawi 

terhadap hewan.  

 

“Apabila engkau menemui di jalan sarang burung di salah satu 

pohon atau di tanah dengan anak-anak burung atau telur-telur di 

dalamnya, dan induknya sedang duduk mendekap anak-anak atau 

telur-telur itu, maka janganlah engkau mengambil induk itu 

bersama-sama dengan anak-anaknya. Setidak-tidaknya induk itu 

haruslah kaulepaskan, namun  anak-anaknya boleh kauambil. 

Maksudnya supaya baik keadaanmu dan lanjut umurmu” 

(Ulangan 22:6-7). 

 

Dari kelimanya, teks Ulangan 15:1-11 menjadi cetak biru yang secara 

cukup konkret membeberkan mekanisme pembebasan manusia (miskin) dari 

hutang sebagai jalan menuju hidup yang makin layak. 

 

2. Cetak Biru Penghapusan Hutang 

Teks Ulangan 15 merupakan teks klasik yang menyerukan 

pemberantasan dan pencegahan kemiskinan, tidak hanya dalam Kitab 

Ulangan itu sendiri, namun  juga dalam keseluruhan Pentateukh (Oosthuizen, 

1997:64). Bab ini mengungkap munculnya masalah ekonomi yang tidak adil 

 

 

149 

sebagai akibat praktik ekonomi moneter primitif yang mulai berkembang saat 

itu. Dalam praktiknya, masalah muncul saat orang miskin yang meminjam 

uang untuk mengatasi kemiskinannya justru semakin miskin akibat terbelit 

atau tersandera hutangnya itu (Scheffler, 2013:6). Selain itu, bab ini juga 

memberikan cetak biru penghapusan hutang yang berkeadilan yang 

berlandaskan Hukum Taurat (McConville, 2002:259). Pembacaan cermat atas 

teks ini mengungkapkan dua cetak biru aturan sosial tentang dua hal yang 

saling mengait, yaitu remisi (Ulangan 15:1-6) dan pinjaman atau hutang 

(Ulangan 15:7-11). 

 

“Pada akhir tujuh tahun engkau harus mengadakan penghapusan 

hutang. Inilah cara penghapusan itu: setiap orang yang berpiutang 

harus menghapuskan apa yang dipinjamkannya kepada sesamanya; 

janganlah ia menagih dari sesamanya atau saudaranya, karena telah 

dimaklumkan penghapusan hutang demi TUHAN. Dari seorang 

asing boleh kautagih, namun  piutangmu kepada saudaramu haruslah 

kauhapuskan. Maka tidak akan ada orang miskin di antaramu, sebab 

sungguh TUHAN akan memberkati engkau di negeri yang diberikan 

TUHAN, Allahmu, kepadamu untuk menjadi milik pusaka, asal saja 

engkau mendengarkan baik-baik suara TUHAN, Allahmu, dan 

melakukan dengan setia segenap perintah yang kusampaikan 

kepadamu pada hari ini. Apabila TUHAN, Allahmu, memberkati 

engkau, seperti yang dijanjikan-Nya kepadamu, maka engkau akan 

memberi pinjaman kepada banyak bangsa, namun  engkau sendiri tidak 

akan meminta pinjaman; engkau akan menguasai banyak bangsa, 

namun  mereka tidak akan menguasai engkau” (Ulangan 15:1-6).  

 

“Jika sekiranya ada di antaramu seorang miskin, salah seorang 

saudaramu di dalam salah satu tempatmu, di negeri yang diberikan 

kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, maka janganlah engkau 

menegarkan hati ataupun menggenggam tangan terhadap saudaramu 

yang miskin itu, namun  engkau harus membuka tangan lebar-lebar 

baginya dan memberi pinjaman kepadanya dengan limpahnya, cukup 

untuk keperluannya, seberapa ia perlukan. Hati-hatilah, supaya 

jangan timbul di dalam hatimu pikiran dursila, demikian: Sudah dekat 

tahun ketujuh, tahun penghapusan hutang, dan engkau menjadi 

kesal terhadap saudaramu yang miskin itu dan engkau tidak 

memberikan apa-apa kepadanya, maka ia berseru kepada TUHAN 

tentang engkau, dan hal itu menjadi dosa bagimu. Engkau harus 

memberi kepadanya dengan limpahnya dan janganlah 

 

 

150 

hatimu berdukacita, apabila engkau memberi kepadanya, sebab oleh 

karena hal itulah TUHAN, Allahmu, akan memberkati engkau dalam 

segala pekerjaanmu dan dalam segala usahamu. Sebab orang-orang 

miskin tidak hentinya akan ada di dalam negeri itu; itulah sebabnya 

aku memberi perintah kepadamu, demikian: Haruslah engkau 

membuka tangan lebar-lebar bagi saudaramu, yang tertindas dan 

yang miskin di negerimu” (Ulangan 15:7-11). 

 

Wujud remisi yaitu  Tahun Sabat. Semangat Tahun Sabat yaitu  teks 

Keluaran 23:10-17 dan teks Imamat 23 dan 25.  

 

“Enam tahunlah lamanya engkau menabur di tanahmu dan 

mengumpulkan hasilnya, namun  pada tahun ketujuh haruslah engkau 

membiarkannya dan meninggalkannya begitu saja, supaya orang 

miskin di antara bangsamu dapat makan, dan apa yang ditinggalkan 

mereka haruslah dibiarkan dimakan binatang hutan. Demikian juga 

kaulakukan dengan kebun anggurmu dan kebun zaitunmu. Enam 

harilah lamanya engkau melakukan pekerjaanmu, namun  pada hari 

ketujuh haruslah engkau berhenti, supaya lembu dan keledaimu tidak 

bekerja dan supaya anak budakmu perempuan dan orang asing 

melepaskan lelah. Dalam segala hal yang Kufirmankan kepadamu 

haruslah kamu berawas-awas; nama allah lain janganlah kamu 

panggil, janganlah nama itu kedengaran dari mulutmu. Tiga 

kali setahun haruslah engkau mengadakan perayaan bagi-Ku. Hari 

raya Roti Tidak Beragi haruslah kaupelihara; tujuh hari lamanya 

engkau harus makan roti yang tidak beragi, seperti yang telah 

Kuperintahkan kepadamu, pada waktu yang ditetapkan dalam bulan 

Abib, sebab dalam bulan itulah engkau keluar dari Mesir, namun  

janganlah orang menghadap ke hadirat-Ku dengan tangan hampa. 

Kaupeliharalah juga hari raya menuai, yakni menuai buah 

bungaran dari hasil usahamu menabur di ladang; demikian juga hari 

raya pengumpulan hasil pada akhir tahun, apabila engkau 

mengumpulkan hasil usahamu dari ladang. Tiga kali setahun semua 

orangmu yang laki-laki harus menghadap ke hadirat Tuhanmu 

TUHAN” (Keluaran 23:10-17). 

 

“TUHAN berfirman kepada Musa di gunung Sinai: ‘Berbicaralah 

kepada orang Israel dan katakan kepada mereka: Apabila kamu telah 

masuk ke negeri yang akan Kuberikan kepadamu, maka tanah itu 

harus mendapat perhentian sebagai sabat bagi TUHAN. Enam tahun 

 

 

151 

lamanya engkau harus menaburi ladangmu, dan enam tahun lamanya 

engkau harus merantingi kebun anggurmu dan mengumpulkan hasil 

tanah itu, namun  pada tahun yang ketujuh haruslah ada bagi tanah itu 

suatu sabat, masa perhentian penuh, suatu sabat bagi TUHAN. 

Ladangmu janganlah kautaburi dan kebun anggurmu janganlah 

kaurantingi. Dan apa yang tumbuh sendiri dari penuaianmu itu, 

janganlah kautuai dan buah anggur dari pokok anggurmu yang tidak 

dirantingi, janganlah kaupetik. Tahun itu harus menjadi tahun 

perhentian penuh bagi tanah itu. Hasil tanah selama sabat itu 

haruslah menjadi makanan bagimu, yakni bagimu sendiri, bagi 

budakmu laki-laki, bagi budakmu perempuan, bagi orang upahan dan 

bagi orang asing di antaramu, yang semuanya tinggal padamu. Juga 

bagi ternakmu, dan bagi binatang liar yang ada di tanahmu, segala 

hasil tanah itu menjadi makanannya. Selanjutnya engkau harus 

menghitung tujuh tahun sabat, yakni tujuh kali tujuh tahun; sehingga 

masa tujuh tahun sabat itu sama dengan empat puluh sembilan tahun. 

Lalu engkau harus memperdengarkan bunyi sangkakala di mana-

mana dalam bulan yang ketujuh pada tanggal sepuluh bulan itu; pada 

hari raya Pendamaian kamu harus memperdengarkan bunyi 

sangkakala itu di mana-mana di seluruh negerimu. Kamu harus 

menguduskan tahun yang kelima puluh, dan memaklumkan 

kebebasan di negeri itu bagi segenap penduduknya. Itu harus menjadi 

tahun Yobel bagimu, dan kamu harus masing-masing pulang ke 

tanah miliknya dan kepada kaumnya. Tahun yang kelima puluh itu 

harus menjadi tahun Yobel bagimu, jangan kamu menabur, dan apa 

yang tumbuh sendiri dalam tahun itu jangan kamu tuai, dan pokok 

anggur yang tidak dirantingi jangan kamu petik buahnya. Karena 

tahun itu yaitu  tahun Yobel, haruslah itu kudus bagimu; hasil tahun 

itu yang hendak kamu makan harus diambil dari ladang. Dalam tahun 

Yobel itu kamu harus masing-masing pulang ke tanah miliknya. 

Apabila kamu menjual sesuatu kepada sesamamu atau membeli dari 

padanya, janganlah kamu merugikan satu sama lain. Apabila engkau 

membeli dari sesamamu haruslah menurut jumlah tahun sesudah 

tahun Yobel, dan apabila ia menjual kepadamu haruslah menurut 

jumlah tahun panen. Makin besar jumlah tahun itu, makin besarlah 

pembeliannya, dan makin kecil jumlah tahun itu, makin kecillah 

pembeliannya, karena jumlah panenlah yang dijualnya kepadamu. 

Janganlah kamu merugikan satu sama lain, namun  engkau harus takut 

akan Allahmu, sebab Akulah TUHAN, Allahmu. Demikianlah kamu 

harus melakukan ketetapan-Ku dan tetap berpegang pada peraturan-

 

 

152 

Ku serta melakukannya, maka kamu akan diam di tanahmu dengan 

aman tenteram. Tanah itu akan memberi hasilnya, dan kamu akan 

makan sampai kenyang dan diam di sana dengan aman tenteram. 

Apabila kamu bertanya: Apakah yang akan kami makan dalam tahun 

yang ketujuh itu, bukankah kami tidak boleh menabur dan tidak boleh 

mengumpulkan hasil tanah kami? Maka Aku akan memerintahkan 

berkat-Ku kepadamu dalam tahun yang keenam, supaya diberinya 

hasil untuk tiga tahun. Dalam tahun yang kedelapan kamu akan 

menabur, namun  kamu akan makan dari hasil yang lama sampai 

kepada tahun yang kesembilan, sampai masuk hasilnya, kamu akan 

memakan yang lama’” (Imamat 25:1-22). 

 

Fitur yang menarik dari Tahun Sabat yaitu  bahwa tanah dan orang 

(budak) dapat dibeli, dijual, dan dibebaskan pada waktu-waktu tertentu. 

Waktu-waktu tertentu yang ditetapkan yaitu  tahun ketujuh. Menurut teks 

Keluaran 23 pada tahun ketujuh ada larangan bagi pemilik tanah untuk 

mengistirahatkan tanah. Pada tahun tersebut pemilik tanah terkena larangan 

mengolah tanahnya. Ia harus melepaskan tanah beserta segala sesuatu yang 

tumbuh di tanah itu kepada mereka yang telah jatuh ke dalam kondisi sulit 

dalam konteks ekonomi, yaitu orang miskin. Pada tahun itu orang miskin 

boleh mengumpulkan dan mengambil tanaman pangan dan panen yang 

tersedia pada tanah-tanah garapan. Tidak hanya orang miskin, hewan liar juga 

mendapatkan haknya untuk melahap semua yang tumbuh di lahan tersebut 

(Keluaran 23:11).  

Dengan semangat itu teks Ulangan 15:1-11 menajamkan perhatian ke 

arah orang miskin dan terpinggirkan. Perhatian itu mendapat landasan 

teologis dan spiritual sebagai wujud relasi antara manusia dengan Allah yang 

Mahakasih, lebih dari sekadar humanisme antar manusia. Kepedulian 

terhadap orang-orang yang tidak memiliki tanah dan miskin menjadi salah 

satu indikator penting dari efektivitas penghayatan sikap patuh dan taat 

Bangsa Israel terhadap perjanjiannya dengan Allah. Dengan kata lain, 

keadilan sosial yang terwujud menjadi ekspresi penting dan nyata dari relasi 

antara Allah dan manusia beriman (Vogt, 2008:35). Gagasan membebaskan 

orang miskin dari hutang-hutang mereka dipahami sebagai cara di mana yang 

lebih kuat dapat membantu yang lebih lemah dalam tata masyarakat. Analogi 

teologis yang bermain di sini yaitu  Allah yang Mahakuasa sekaligus 

Mahakasih membantu manusia yang lemah dan tak berdaya. 

Dengan semangat itu pula Tahun Sabat menjadi tahun kelegaan bagi 

sesama saudara. Semangat itu mendorong tumbuhnya solidaritas atau bela 

rasa. Pada tahun ini beban hutang yang berhutang (debitor) hilang. Beban 

 

 

153 

hutang itu lantas menjadi tanggungan yang memberi hutang (kreditor). 

Dengan kata lain, pada tahun itu merasakan dan mengalami sendiri bagaimana 

beratnya beban hutang si debitor. Pengalaman ini menjadi wujud 

solidaritasnya terhadap mereka yang miskin. Oleh karena telah merasakan dan 

mengalami sendiri beratnya beban hutang tersebut, ada harapan, bahkan 

tuntutan supaya selanjutnya si kreditor tidak lagi membebani orang-orang 

miskin dengan aneka macam hutang. Dengan pengalaman menanggung beban 

hutang itu, kreditor dapat mencegah orang lain, terutama yang miskin 

mengalami beban serupa. Sekali lagi, inilah prinsip solidaritas yang 

membebaskan. 

Lebih lanjut, dengan terbebas dari hutangnya, orang miskin yang 

menjadi debitor dapat kembali memainkan perannya dalam tata masyarakat 

selayaknya orang pada umumnya. Dengan kata lain, si miskin debitor yang 

telah terbebas dari beban hutangnya itu telah memiliki derajat yang sama 

dengan orang lain, bahkan sederajat dengan si kreditornya. Ia kembali 

menjadi ‘sesama’. Bagi Bangsa Israel, sesama yaitu  anggota atau bagian 

yang tidak terpisahkan dari satu komunitas masyarakat yang disebut sebagai 

‘persaudaraan bersama’. Status ‘sesama’ mengijinkan seseorang untuk 

menikmati hak dan keistimewaan yang sama. Berkat penghapusan hutang ini, 

Bangsa Israel dapat mewujudkan diri sebagai komunitas etis selaras dengan 

indikator yang ditetapkan Allah, yaitu ikatan antar-sesama yang secara 

bersama-sama mengikat perjanjian dengan Allah dalam wujud patuh dan taat 

pada Hukum Taurat (McConville, 1998:214). 

Jika Bangsa Israel sungguh-sungguh dapat mewujudkan standar Allah 

dalam komunitas etis dan adil semacam itu, yang terjadi yaitu  tidak akan ada 

orang miskin di antara mereka (Ulangan 15:4). Jika kondisi itu sungguh-

sungguh terwujud Bangsa Israel sudah masuk dalam taraf hidup ideal. Kondisi 

masyarakat ideal itu menuntut suatu kondisi di mana bangsa yang patuh dan 

taat itu tidak boleh memiliki orang miskin yang hidup di tengah-tengah 

mereka. Dengan kata lain, setiap orang yang terikat perjanjian itu harus 

menjamin bahwa sesamanya tidak boleh jatuh miskin. Setiap orang 

berkewajiban mencegah terjadinya kemiskinan. Pemenuhan kondisi ini 

menjadi tanggung jawab sekaligus mewujudkan berkat Allah secara nyata 

dalam kehidupan konkret (Ulangan 15:4-6). 

Upaya menjaga kondisi ideal itu terwujud dalam sejumlah ajakan 

untuk mengkonkretkan semangat kedermawanan tanpa syarat (Ulangan 15:7-

11). Pada bagian ini Musa menasihati Bangsa Israel supaya tidak menegarkan 

hati atau menggenggam tangan terhadap saudaranya yang miskin (Ulangan 

15:7). Dalam nasihat ini terdapat ajakan untuk mengedepankan perlindungan 

terhadap yang miskin, sekaligus menjaga diri supaya terbebas dari egoisme 

 

 

154 

dan sifat serakah dengan cara membuka tangan lebar-lebar bagi orang miskin 

dan memberi pinjaman kepadanya dengan limpahnya, cukup untuk 

keperluannya, seberapa ia perlukan. Dalam hal ini, pinjaman tidak lagi 

diberikan dengan motivasi untuk membebani orang miskin, namun  dengan 

motivasi supaya mereka terlepas dari kondisi kemiskinan itu. semangat ini 

sekaligus menjadi komitmen untuk terus-menerus terbuka kepada ‘nasib’ 

orang lain (McConville, 1998:215). Saat memberi pinjaman kepada yang 

miskin, kreditor harus berpikir, berperasaan, sekaligus bertindak sebagaimana 

Allah yang penuh belas kasihan. Perhatian dan kasih kreditor harus sungguh 

besar tanpa ada ukuran yang dapat membatasinya.  

 

“Jika karunia untuk menasihati, baiklah kita menasihati. Siapa yang 

membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati 

yang ikhlas; siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia 

melakukannya dengan rajin; siapa yang menunjukkan kemurahan, 

hendaklah ia melakukannya dengan sukacita” (Roma 12:8). 

 

“Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, 

jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah 

mengasihi orang yang memberi dengan sukacita” (2Korintus 9:7). 

 

Penghindaran diri dari tanggung jawab dan kewajiban ini menjadi 

pelanggaran terhadap semangat Hukum Taurat yang memicu  

datangnya dosa. 

 

C. RANGKUMAN 

Teks Ulangan 15:1-11merupakan teks klasik yang menyerukan 

pemberantasan dan pencegahan kemiskinan, tidak hanya dalam Kitab 

Ulangan itu sendiri, namun  juga dalam keseluruhan Pentateukh. Dengan 

semangat itu teks menajamkan perhatian ke arah orang miskin dan 

terpinggirkan. Perhatian itu mendapat landasan teologis dan spiritual sebagai 

wujud relasi antara manusia dengan Allah yang Mahakasih, lebih dari sekadar 

humanisme antar manusia. Kepedulian terhadap orang-orang yang tidak 

memiliki tanah dan miskin menjadi salah satu indikator penting dari 

efektivitas penghayatan sikap patuh dan taat Bangsa Israel terhadap 

perjanjiannya dengan Allah. Dengan kata lain, keadilan sosial yang terwujud 

menjadi ekspresi penting dan nyata dari relasi antara Allah dan manusia 

beriman. Penghindaran diri dari tanggung jawab dan kewajiban ini menjadi 

pelanggaran terhadap semangat Hukum Taurat yang memicu  

datangnya dosa.