perjanjian lama taurat 5
posisi sebagai sebutan yang paling sering digunakan
untuk segala jenis korban, terutama yang terkait dengan ‘korban pendamaian’.
Akhirnya, ‘zæbaḥ šelāmîm’ pun identik dengan makna ‘korban pendamaian’
atau ‘korban bakaran’ (Moraldi, 1956:328).
Motif-motif kurban pada periode Kitab Suci Perjanjian Lama pada
umumnya yaitu memuliakan Allah sekaligus mengucap syukur atas
142
kebaikan-Nya. Akan namun , sejumlah kurban juga dipersembahkan sebagai
kurban dengan motif lainnya. Misalnya, kurban persembahan Nuh. Kurban
Nuh ini harus dilihat tidak melulu sebagai kurban pengucapan syukur atas
alasan terlepas dari air bah. Akan namun , kurban Nuh yaitu juga sebagai
kurban pertobatan atau penebusan dosa. Saat pergi ke Mesir (Kejadian 46:1),
Yakub berhenti untuk bertanya kepada Allah, dan mempersembahkan kurban
(zæbaḥ šelāmîm) yang kemungkinan besar bersifat pertobatan dan
pendamaian.
Prinsip ‘yang terbaik bagi Allah’ senantiasa dilaksanakan dalam
kurban. Misalnya, pemilihan jenis kelamin kurban. Jantan lebih diutamakan
ketimbang betina (Imamat 1:3; 3:1; Kejadian 15:9; 1Samuel 6:14; 16:2).
Lebih dipilihnya yang jantan daripada yang betina, kemungkinan besar terkait
dengan siklus loop atau siklus etrus yang hanya dialami hewan betina. Hewan
betina yang sedang dalam siklus ini membesar vulvanya. Pada siklus tersebut
hewan betina mengeluarkan darah dari tubuhnya. Oleh karena darah yang
keluar dari tubuh makhluk hidup merupakan hal cemar dalam Tradisi Yahudi,
demi kekudusan ritual, tentu hal itu dihindari. Menjadi jelas alasan pemilihan
hewan jantan daripada betina. Akan namun , aturan itu bersifat relatif. Artinya,
jika tidak terdapat hewan jantan, hewan betina pun diperkenankan menjadi
bahan kurban asalkan tidak sedang dalam siklus pendarahan itu.
C. RANGKUMAN
Menjadi jelas dari perjalanan tradisi menyelenggarakan ritual dari
Kitab Suci Perjanjian Lama, terutama Kitab Pentateukh hingga era kini,
bahwa semangat yang muncul yaitu kehendak Allah untuk menjamin relasi
yang baik dan bermartabat dengan manusia. Relasi itu terwujud secara
konkret dalam ritual dengan segala syarat rincinya. Ada keyakinan bahwa
semakin segala macam syarat rinci itu dipenuhi, semakin sah pula ritual
tersebut. Pada gilirannya, ritual yang sah itu berkenan di hadapan Allah. Hasil
perkenanan Allah yaitu curahan keselamatan.
Akan namun , yang juga perlu diperhatikan selain upaya pemenuhan
segala syarat itu yaitu proses. Ritual itu tak hanya akan memberi
keselamatan saat ritus selesai atau purna raya. Keselamatan itu telah mulai
dinikmati manusia sejak ia masuk dalam proses ritual itu. Dengan kata lain,
ritus bukan sekadar tata aturan yang kaku. Ritus merupakan tahapan-tahapan
dinamis yang di setiap tahapnya memberikan percik-percik keselamatan
kepada manusia.
CETAK BIRU TATA MASYARAKAT SOLIDER
Kitab Ulangan bab 15 mengakomodasi keinginan terdalam manusia
untuk memeroleh penghapusan hutang tersebut. Lebih dari sekadar memberi
jaminan bagi manusia untuk terbebas dari hutang, bagian ini menyampaikan
visi atau pandangan sosiologis tentang tata kehidupan bermasyarakat pada
saat itu. Pandangan sosiologis tersebut mencakup pengajuan gagasan etika
kemanusiaan atau promosi hidup persaudaraan dalam komunitas. Jika
sungguh-sungguh dihayati, etika kemanusiaan ini niscaya akan membantu
membangun komunitas menjadi sehat sekaligus berfungsi sebagai alternatif
mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Di samping itu, penghayatan atas
gagasan penghapusan hutang ini niscaya menghidupkan kembali komitmen
tanggung jawab sosial manusia atas komunitas tempatnya hidup.
B.
Bagian memberi penjelasan fungsi Kitab Ulangan secara umum
sebagai pedoman penghayatan tata aturan hidup sosial kemasyarakatan
Bangsa Israel berbasiskan Perjanjian antara Yahwe dan Bangsa Israel. Secara
145
khusus bagian ini menjelaskan teks Ulangan 15 sebagai cetak biru tata
masyarakat yang solider.
1. Karakter Utopis-Praktis Kitab Ulangan
Sebagai salah satu mahakarya teologis sastra Yahudi, Kitab Ulangan
bukan sekadar memuat aneka macam gagasan teologis abstrak yang menjiwai
kitab-kitab lainnya. Lebih dari itu, Kitab Ulangan juga merangkul kehidupan
nyata dengan memberikan sejumlah petunjuk praktis untuk mewujudkan
butir-butir iman akan Allah dalam praktik hidup berkomunitas orang-orang
beriman. Minat utama Kitab Ulangan yaitu memberikan struktur sosial dasar
bagi hidup beriman supaya relasi Bangsa Israel sebagai umat pilihan dengan
Allah sungguh dapat terungkap secara nyata dalam pengalaman konkret.
Kitab Ulangan membangun struktur dasar iman dengan menyusun
secara sistematis gagasan-gagasan teologi yang berangkat dari praksis
kehidupan sosial, terutama yang mengait konteks ‘peradaban kasih’ (Friedl,
2016:182). Yang dimaksudkan dengan peradaban kasih di sini terutama
tindakan kasih bagi mereka yang miskin supaya mereka juga segera dapat
masuk ke dalam kehidupan yang beradab dengan sesamanya secara sejajar.
Dalam hal ini, Kitab Ulangan menempatkan kemiskinan dan problemnya
sebagai isu kontemporer yang memerlukan tanggapan teologis sekaligus
praksis.
Supaya memiliki gambaran tentang kemiskinan, tulisan ini meminjam
ungkapan dari Townsend. Menurutnya, orang dapat disebut miskin saat
dirinya kehilangan pendapatan dan sumber daya lain yang dibutuhkannya
untuk mencukupi hidupnya dalam wujud makanan, sandang, papan, fasilitas,
dan standar hidup minimal lainnya. Dengan memiliki standar hidup minimal
itu manusia memeroleh peluang untuk memainkan peran, memenuhi
kewajiban sosial, sekaligus berpartisipasi dalam kehidupan berkomunitas
secara wajar (Townsend 2006:5). Kemiskinan terjadi akibat sejumlah
penyebab. Salah satunya, eksploitasi manusia terhadap manusia lainnya
sampai tahap di mana seseorang tersandera struktur ekonomi yang tidak
menguntungkan baginya sehingga tidak dapat memenuhi standar hidup
minimal.
Untuk melawan struktur yang menyandera ini, Kitab Ulangan merasa
tidak cukup sekadar memberikan tawaran-tawaran teologis utopis terkait
harapan dan kasih Allah. Lebih dari itu, Kitab Ulangan memberikan cetak biru
bagi perwujudan tata sosial yang beretika untuk menjamin hidup masyakarat
yang adil dan sejahtera. Dalam upaya memberikan cetak biru tersebut,
gagasan-gagasan teologis Kitab Ulangan membeberkan tanggung jawab
sosial yang berangkat dari visi kemanusiaan yang berkeadilan sebagai model
146
untuk kehidupan masyarakat yang hidup berdasarkan perjanjian kasih antara
mereka dengan Allah yang adil dan penuh kasih (Davidson, Mock, Johnson,
1997:247; Gray 2008:221).
Kitab Ulangan menyuarakan visi kemanusiaan dalam membangun
komunitas yang layak hidup dan humanis di Israel (Weinfeld, 1961:242). Hal
ini terungkap dari pendapat bahwa kitab ini lahir dari kalangan juru tulis
Yerusalem yang tidak sepakat dengan kondisi sosial pada saat Manasye
berkuasa sebagai raja. Pada saat itu jurang pemisah antara kalangan aristokrat,
para imam, dan akademikus dari Sekolah Kebijaksanaan dengan masyarakat
pada umumnya, terutama mereka yang miskin terlalu lebar dan dalam
(Nelson, 2002:8).
Secara sangat mencolok cetak biru tata kehidupan masyarakat Kitab
Ulangan mengungkapkan idealisme kehidupan sosial-ekonomi dan religius
yang tertata baik. Nuansa ideal ini sedemikian mencolok sehingga cenderung
beraroma utopis. Akan namun , walaupun aroma utopis sosialnya kentara
sekali, Kitab Ulangan tetap menggembungkan optimismenya bahwa tata
masyarakat adil itu akan terwujud jika Bangsa Israel sungguh-sungguh
menerapkan sikap hidup yang tepat, yaitu patuh dan taat kepada Hukum
Taurat (Collins 2000:53).
Dengan demikian, secara konkret pula dapat dikatakan bahwa sikap
patuh dan taat itu mewujud dalam artikulasi kesetiaan pada perjanjian. Tidak
mengherankan jika ungkapan perjanjian muncul berulang kali (27 kali) dalam
kitab ini. Perjanjian itu mencakup relasi antara Bangsa Israel dengan Allah
dalam hampir semua aspek kehidupan sosial dan ekonomi, termasuk dalam
kehidupan rumah tangga mereka secara konkret (Davies, 2014:27-28).
Sekurang-kurangnya Kitab Ulangan yang memberikan lima cetak biru tata
kehidupan masyarakat.
(1) Cetak biru perhatian pada nilai kehidupan dan martabat manusia.
“Apabila engkau keluar berperang melawan musuhmu, dan
TUHAN, Allahmu, menyerahkan mereka ke dalam tanganmu dan
engkau menjadikan mereka tawanan, dan engkau melihat di
antara tawanan itu seorang perempuan yang elok, sehingga
hatimu mengingini dia dan engkau mau mengambil dia menjadi
isterimu, maka haruslah engkau membawa dia ke dalam
rumahmu. Perempuan itu harus mencukur rambutnya, memotong
kukunya, menanggalkan pakaian yang dipakainya pada waktu
147
ditawan, dan tinggal di rumahmu untuk menangisi ibu bapanya
sebulan lamanya. Sesudah demikian, bolehlah engkau
menghampiri dia dan menjadi suaminya, sehingga ia menjadi
isterimu. Apabila engkau tidak suka lagi kepadanya, maka
haruslah engkau membiarkan dia pergi sesuka hatinya; tidak
boleh sekali-kali engkau menjual dia dengan bayaran uang; tidak
boleh engkau memperlakukan dia sebagai budak, sebab engkau
telah memaksa dia. Apabila seseorang berbuat dosa yang sepadan
dengan hukuman mati, lalu ia dihukum mati, kemudian
kaugantung dia pada sebuah tiang, maka janganlah mayatnya
dibiarkan semalam-malaman pada tiang itu, namun haruslah
engkau menguburkan dia pada hari itu juga, sebab seorang yang
digantung terkutuk oleh Allah; janganlah engkau
menajiskan tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu
menjadi milik pusakamu” (Ulangan 21:10-14.22-23).
“Apabila engkau mendirikan rumah yang baru, maka haruslah
engkau memagari sotoh rumahmu, supaya jangan kaudatangkan
hutang darah kepada rumahmu itu, apabila ada seorang jatuh
dari atasnya” (Ulangan 22:8).
“Bersama-sama engkau ia boleh tinggal, di tengah-tengahmu, di
tempat yang dipilihnya di salah satu tempatmu, yang dirasanya
baik; janganlah engkau menindas dia” (Ulangan 23:16).
“Apabila ada perselisihan di antara beberapa orang, lalu mereka
pergi ke pengadilan, dan mereka diadili dengan dinyatakannya
siapa yang benar dan siapa yang salah, maka jika orang yang
bersalah itu layak dipukul, haruslah hakim menyuruh dia
meniarap dan menyuruh orang memukuli dia di depannya dengan
sejumlah dera setimpal dengan kesalahannya. Empat puluh kali
harus orang itu dipukuli, jangan lebih; supaya jangan saudaramu
menjadi rendah di matamu, apabila ia dipukul lebih banyak lagi”
(Ulangan 25:1-3).
(2) Cetak biru perhatian pada relasi manusia dengan sesamanya,
terutama perhatian kepada orang asing, yatim-piatu, janda, dan
orang-orang miskin serta terpinggirkan (Ulangan 15:1-11).
(3) Cetak biru pengaturan hak milik.
148
“Apabila engkau melalui ladang gandum sesamamu yang belum
dituai, engkau boleh memetik bulir-bulirnya dengan tanganmu,
namun sabit tidak boleh kauayunkan kepada gandum sesamamu
itu” (Ulangan 23:25).
(4) Cetak biru peringatan untuk istri yang dibenci dan putranya.
“Apabila seorang mempunyai dua orang isteri, yang seorang
dicintai dan yang lain tidak dicintainya, dan mereka melahirkan
anak-anak lelaki baginya, baik isteri yang dicintai maupun isteri
yang tidak dicintai, dan anak sulung yaitu dari isteri yang tidak
dicintai, maka pada waktu ia membagi warisan harta
kepunyaannya kepada anak-anaknya itu, tidaklah boleh ia
memberikan bagian anak sulung kepada anak dari isteri yang
dicintai merugikan anak dari isteri yang tidak dicintai, yang
yaitu anak sulung” (Ulangan 21:15-16).
(5) Cetak biru hukum yang menekankan perlakuan manusiawi
terhadap hewan.
“Apabila engkau menemui di jalan sarang burung di salah satu
pohon atau di tanah dengan anak-anak burung atau telur-telur di
dalamnya, dan induknya sedang duduk mendekap anak-anak atau
telur-telur itu, maka janganlah engkau mengambil induk itu
bersama-sama dengan anak-anaknya. Setidak-tidaknya induk itu
haruslah kaulepaskan, namun anak-anaknya boleh kauambil.
Maksudnya supaya baik keadaanmu dan lanjut umurmu”
(Ulangan 22:6-7).
Dari kelimanya, teks Ulangan 15:1-11 menjadi cetak biru yang secara
cukup konkret membeberkan mekanisme pembebasan manusia (miskin) dari
hutang sebagai jalan menuju hidup yang makin layak.
2. Cetak Biru Penghapusan Hutang
Teks Ulangan 15 merupakan teks klasik yang menyerukan
pemberantasan dan pencegahan kemiskinan, tidak hanya dalam Kitab
Ulangan itu sendiri, namun juga dalam keseluruhan Pentateukh (Oosthuizen,
1997:64). Bab ini mengungkap munculnya masalah ekonomi yang tidak adil
149
sebagai akibat praktik ekonomi moneter primitif yang mulai berkembang saat
itu. Dalam praktiknya, masalah muncul saat orang miskin yang meminjam
uang untuk mengatasi kemiskinannya justru semakin miskin akibat terbelit
atau tersandera hutangnya itu (Scheffler, 2013:6). Selain itu, bab ini juga
memberikan cetak biru penghapusan hutang yang berkeadilan yang
berlandaskan Hukum Taurat (McConville, 2002:259). Pembacaan cermat atas
teks ini mengungkapkan dua cetak biru aturan sosial tentang dua hal yang
saling mengait, yaitu remisi (Ulangan 15:1-6) dan pinjaman atau hutang
(Ulangan 15:7-11).
“Pada akhir tujuh tahun engkau harus mengadakan penghapusan
hutang. Inilah cara penghapusan itu: setiap orang yang berpiutang
harus menghapuskan apa yang dipinjamkannya kepada sesamanya;
janganlah ia menagih dari sesamanya atau saudaranya, karena telah
dimaklumkan penghapusan hutang demi TUHAN. Dari seorang
asing boleh kautagih, namun piutangmu kepada saudaramu haruslah
kauhapuskan. Maka tidak akan ada orang miskin di antaramu, sebab
sungguh TUHAN akan memberkati engkau di negeri yang diberikan
TUHAN, Allahmu, kepadamu untuk menjadi milik pusaka, asal saja
engkau mendengarkan baik-baik suara TUHAN, Allahmu, dan
melakukan dengan setia segenap perintah yang kusampaikan
kepadamu pada hari ini. Apabila TUHAN, Allahmu, memberkati
engkau, seperti yang dijanjikan-Nya kepadamu, maka engkau akan
memberi pinjaman kepada banyak bangsa, namun engkau sendiri tidak
akan meminta pinjaman; engkau akan menguasai banyak bangsa,
namun mereka tidak akan menguasai engkau” (Ulangan 15:1-6).
“Jika sekiranya ada di antaramu seorang miskin, salah seorang
saudaramu di dalam salah satu tempatmu, di negeri yang diberikan
kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, maka janganlah engkau
menegarkan hati ataupun menggenggam tangan terhadap saudaramu
yang miskin itu, namun engkau harus membuka tangan lebar-lebar
baginya dan memberi pinjaman kepadanya dengan limpahnya, cukup
untuk keperluannya, seberapa ia perlukan. Hati-hatilah, supaya
jangan timbul di dalam hatimu pikiran dursila, demikian: Sudah dekat
tahun ketujuh, tahun penghapusan hutang, dan engkau menjadi
kesal terhadap saudaramu yang miskin itu dan engkau tidak
memberikan apa-apa kepadanya, maka ia berseru kepada TUHAN
tentang engkau, dan hal itu menjadi dosa bagimu. Engkau harus
memberi kepadanya dengan limpahnya dan janganlah
150
hatimu berdukacita, apabila engkau memberi kepadanya, sebab oleh
karena hal itulah TUHAN, Allahmu, akan memberkati engkau dalam
segala pekerjaanmu dan dalam segala usahamu. Sebab orang-orang
miskin tidak hentinya akan ada di dalam negeri itu; itulah sebabnya
aku memberi perintah kepadamu, demikian: Haruslah engkau
membuka tangan lebar-lebar bagi saudaramu, yang tertindas dan
yang miskin di negerimu” (Ulangan 15:7-11).
Wujud remisi yaitu Tahun Sabat. Semangat Tahun Sabat yaitu teks
Keluaran 23:10-17 dan teks Imamat 23 dan 25.
“Enam tahunlah lamanya engkau menabur di tanahmu dan
mengumpulkan hasilnya, namun pada tahun ketujuh haruslah engkau
membiarkannya dan meninggalkannya begitu saja, supaya orang
miskin di antara bangsamu dapat makan, dan apa yang ditinggalkan
mereka haruslah dibiarkan dimakan binatang hutan. Demikian juga
kaulakukan dengan kebun anggurmu dan kebun zaitunmu. Enam
harilah lamanya engkau melakukan pekerjaanmu, namun pada hari
ketujuh haruslah engkau berhenti, supaya lembu dan keledaimu tidak
bekerja dan supaya anak budakmu perempuan dan orang asing
melepaskan lelah. Dalam segala hal yang Kufirmankan kepadamu
haruslah kamu berawas-awas; nama allah lain janganlah kamu
panggil, janganlah nama itu kedengaran dari mulutmu. Tiga
kali setahun haruslah engkau mengadakan perayaan bagi-Ku. Hari
raya Roti Tidak Beragi haruslah kaupelihara; tujuh hari lamanya
engkau harus makan roti yang tidak beragi, seperti yang telah
Kuperintahkan kepadamu, pada waktu yang ditetapkan dalam bulan
Abib, sebab dalam bulan itulah engkau keluar dari Mesir, namun
janganlah orang menghadap ke hadirat-Ku dengan tangan hampa.
Kaupeliharalah juga hari raya menuai, yakni menuai buah
bungaran dari hasil usahamu menabur di ladang; demikian juga hari
raya pengumpulan hasil pada akhir tahun, apabila engkau
mengumpulkan hasil usahamu dari ladang. Tiga kali setahun semua
orangmu yang laki-laki harus menghadap ke hadirat Tuhanmu
TUHAN” (Keluaran 23:10-17).
“TUHAN berfirman kepada Musa di gunung Sinai: ‘Berbicaralah
kepada orang Israel dan katakan kepada mereka: Apabila kamu telah
masuk ke negeri yang akan Kuberikan kepadamu, maka tanah itu
harus mendapat perhentian sebagai sabat bagi TUHAN. Enam tahun
151
lamanya engkau harus menaburi ladangmu, dan enam tahun lamanya
engkau harus merantingi kebun anggurmu dan mengumpulkan hasil
tanah itu, namun pada tahun yang ketujuh haruslah ada bagi tanah itu
suatu sabat, masa perhentian penuh, suatu sabat bagi TUHAN.
Ladangmu janganlah kautaburi dan kebun anggurmu janganlah
kaurantingi. Dan apa yang tumbuh sendiri dari penuaianmu itu,
janganlah kautuai dan buah anggur dari pokok anggurmu yang tidak
dirantingi, janganlah kaupetik. Tahun itu harus menjadi tahun
perhentian penuh bagi tanah itu. Hasil tanah selama sabat itu
haruslah menjadi makanan bagimu, yakni bagimu sendiri, bagi
budakmu laki-laki, bagi budakmu perempuan, bagi orang upahan dan
bagi orang asing di antaramu, yang semuanya tinggal padamu. Juga
bagi ternakmu, dan bagi binatang liar yang ada di tanahmu, segala
hasil tanah itu menjadi makanannya. Selanjutnya engkau harus
menghitung tujuh tahun sabat, yakni tujuh kali tujuh tahun; sehingga
masa tujuh tahun sabat itu sama dengan empat puluh sembilan tahun.
Lalu engkau harus memperdengarkan bunyi sangkakala di mana-
mana dalam bulan yang ketujuh pada tanggal sepuluh bulan itu; pada
hari raya Pendamaian kamu harus memperdengarkan bunyi
sangkakala itu di mana-mana di seluruh negerimu. Kamu harus
menguduskan tahun yang kelima puluh, dan memaklumkan
kebebasan di negeri itu bagi segenap penduduknya. Itu harus menjadi
tahun Yobel bagimu, dan kamu harus masing-masing pulang ke
tanah miliknya dan kepada kaumnya. Tahun yang kelima puluh itu
harus menjadi tahun Yobel bagimu, jangan kamu menabur, dan apa
yang tumbuh sendiri dalam tahun itu jangan kamu tuai, dan pokok
anggur yang tidak dirantingi jangan kamu petik buahnya. Karena
tahun itu yaitu tahun Yobel, haruslah itu kudus bagimu; hasil tahun
itu yang hendak kamu makan harus diambil dari ladang. Dalam tahun
Yobel itu kamu harus masing-masing pulang ke tanah miliknya.
Apabila kamu menjual sesuatu kepada sesamamu atau membeli dari
padanya, janganlah kamu merugikan satu sama lain. Apabila engkau
membeli dari sesamamu haruslah menurut jumlah tahun sesudah
tahun Yobel, dan apabila ia menjual kepadamu haruslah menurut
jumlah tahun panen. Makin besar jumlah tahun itu, makin besarlah
pembeliannya, dan makin kecil jumlah tahun itu, makin kecillah
pembeliannya, karena jumlah panenlah yang dijualnya kepadamu.
Janganlah kamu merugikan satu sama lain, namun engkau harus takut
akan Allahmu, sebab Akulah TUHAN, Allahmu. Demikianlah kamu
harus melakukan ketetapan-Ku dan tetap berpegang pada peraturan-
152
Ku serta melakukannya, maka kamu akan diam di tanahmu dengan
aman tenteram. Tanah itu akan memberi hasilnya, dan kamu akan
makan sampai kenyang dan diam di sana dengan aman tenteram.
Apabila kamu bertanya: Apakah yang akan kami makan dalam tahun
yang ketujuh itu, bukankah kami tidak boleh menabur dan tidak boleh
mengumpulkan hasil tanah kami? Maka Aku akan memerintahkan
berkat-Ku kepadamu dalam tahun yang keenam, supaya diberinya
hasil untuk tiga tahun. Dalam tahun yang kedelapan kamu akan
menabur, namun kamu akan makan dari hasil yang lama sampai
kepada tahun yang kesembilan, sampai masuk hasilnya, kamu akan
memakan yang lama’” (Imamat 25:1-22).
Fitur yang menarik dari Tahun Sabat yaitu bahwa tanah dan orang
(budak) dapat dibeli, dijual, dan dibebaskan pada waktu-waktu tertentu.
Waktu-waktu tertentu yang ditetapkan yaitu tahun ketujuh. Menurut teks
Keluaran 23 pada tahun ketujuh ada larangan bagi pemilik tanah untuk
mengistirahatkan tanah. Pada tahun tersebut pemilik tanah terkena larangan
mengolah tanahnya. Ia harus melepaskan tanah beserta segala sesuatu yang
tumbuh di tanah itu kepada mereka yang telah jatuh ke dalam kondisi sulit
dalam konteks ekonomi, yaitu orang miskin. Pada tahun itu orang miskin
boleh mengumpulkan dan mengambil tanaman pangan dan panen yang
tersedia pada tanah-tanah garapan. Tidak hanya orang miskin, hewan liar juga
mendapatkan haknya untuk melahap semua yang tumbuh di lahan tersebut
(Keluaran 23:11).
Dengan semangat itu teks Ulangan 15:1-11 menajamkan perhatian ke
arah orang miskin dan terpinggirkan. Perhatian itu mendapat landasan
teologis dan spiritual sebagai wujud relasi antara manusia dengan Allah yang
Mahakasih, lebih dari sekadar humanisme antar manusia. Kepedulian
terhadap orang-orang yang tidak memiliki tanah dan miskin menjadi salah
satu indikator penting dari efektivitas penghayatan sikap patuh dan taat
Bangsa Israel terhadap perjanjiannya dengan Allah. Dengan kata lain,
keadilan sosial yang terwujud menjadi ekspresi penting dan nyata dari relasi
antara Allah dan manusia beriman (Vogt, 2008:35). Gagasan membebaskan
orang miskin dari hutang-hutang mereka dipahami sebagai cara di mana yang
lebih kuat dapat membantu yang lebih lemah dalam tata masyarakat. Analogi
teologis yang bermain di sini yaitu Allah yang Mahakuasa sekaligus
Mahakasih membantu manusia yang lemah dan tak berdaya.
Dengan semangat itu pula Tahun Sabat menjadi tahun kelegaan bagi
sesama saudara. Semangat itu mendorong tumbuhnya solidaritas atau bela
rasa. Pada tahun ini beban hutang yang berhutang (debitor) hilang. Beban
153
hutang itu lantas menjadi tanggungan yang memberi hutang (kreditor).
Dengan kata lain, pada tahun itu merasakan dan mengalami sendiri bagaimana
beratnya beban hutang si debitor. Pengalaman ini menjadi wujud
solidaritasnya terhadap mereka yang miskin. Oleh karena telah merasakan dan
mengalami sendiri beratnya beban hutang tersebut, ada harapan, bahkan
tuntutan supaya selanjutnya si kreditor tidak lagi membebani orang-orang
miskin dengan aneka macam hutang. Dengan pengalaman menanggung beban
hutang itu, kreditor dapat mencegah orang lain, terutama yang miskin
mengalami beban serupa. Sekali lagi, inilah prinsip solidaritas yang
membebaskan.
Lebih lanjut, dengan terbebas dari hutangnya, orang miskin yang
menjadi debitor dapat kembali memainkan perannya dalam tata masyarakat
selayaknya orang pada umumnya. Dengan kata lain, si miskin debitor yang
telah terbebas dari beban hutangnya itu telah memiliki derajat yang sama
dengan orang lain, bahkan sederajat dengan si kreditornya. Ia kembali
menjadi ‘sesama’. Bagi Bangsa Israel, sesama yaitu anggota atau bagian
yang tidak terpisahkan dari satu komunitas masyarakat yang disebut sebagai
‘persaudaraan bersama’. Status ‘sesama’ mengijinkan seseorang untuk
menikmati hak dan keistimewaan yang sama. Berkat penghapusan hutang ini,
Bangsa Israel dapat mewujudkan diri sebagai komunitas etis selaras dengan
indikator yang ditetapkan Allah, yaitu ikatan antar-sesama yang secara
bersama-sama mengikat perjanjian dengan Allah dalam wujud patuh dan taat
pada Hukum Taurat (McConville, 1998:214).
Jika Bangsa Israel sungguh-sungguh dapat mewujudkan standar Allah
dalam komunitas etis dan adil semacam itu, yang terjadi yaitu tidak akan ada
orang miskin di antara mereka (Ulangan 15:4). Jika kondisi itu sungguh-
sungguh terwujud Bangsa Israel sudah masuk dalam taraf hidup ideal. Kondisi
masyarakat ideal itu menuntut suatu kondisi di mana bangsa yang patuh dan
taat itu tidak boleh memiliki orang miskin yang hidup di tengah-tengah
mereka. Dengan kata lain, setiap orang yang terikat perjanjian itu harus
menjamin bahwa sesamanya tidak boleh jatuh miskin. Setiap orang
berkewajiban mencegah terjadinya kemiskinan. Pemenuhan kondisi ini
menjadi tanggung jawab sekaligus mewujudkan berkat Allah secara nyata
dalam kehidupan konkret (Ulangan 15:4-6).
Upaya menjaga kondisi ideal itu terwujud dalam sejumlah ajakan
untuk mengkonkretkan semangat kedermawanan tanpa syarat (Ulangan 15:7-
11). Pada bagian ini Musa menasihati Bangsa Israel supaya tidak menegarkan
hati atau menggenggam tangan terhadap saudaranya yang miskin (Ulangan
15:7). Dalam nasihat ini terdapat ajakan untuk mengedepankan perlindungan
terhadap yang miskin, sekaligus menjaga diri supaya terbebas dari egoisme
154
dan sifat serakah dengan cara membuka tangan lebar-lebar bagi orang miskin
dan memberi pinjaman kepadanya dengan limpahnya, cukup untuk
keperluannya, seberapa ia perlukan. Dalam hal ini, pinjaman tidak lagi
diberikan dengan motivasi untuk membebani orang miskin, namun dengan
motivasi supaya mereka terlepas dari kondisi kemiskinan itu. semangat ini
sekaligus menjadi komitmen untuk terus-menerus terbuka kepada ‘nasib’
orang lain (McConville, 1998:215). Saat memberi pinjaman kepada yang
miskin, kreditor harus berpikir, berperasaan, sekaligus bertindak sebagaimana
Allah yang penuh belas kasihan. Perhatian dan kasih kreditor harus sungguh
besar tanpa ada ukuran yang dapat membatasinya.
“Jika karunia untuk menasihati, baiklah kita menasihati. Siapa yang
membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati
yang ikhlas; siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia
melakukannya dengan rajin; siapa yang menunjukkan kemurahan,
hendaklah ia melakukannya dengan sukacita” (Roma 12:8).
“Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya,
jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah
mengasihi orang yang memberi dengan sukacita” (2Korintus 9:7).
Penghindaran diri dari tanggung jawab dan kewajiban ini menjadi
pelanggaran terhadap semangat Hukum Taurat yang memicu
datangnya dosa.
C. RANGKUMAN
Teks Ulangan 15:1-11merupakan teks klasik yang menyerukan
pemberantasan dan pencegahan kemiskinan, tidak hanya dalam Kitab
Ulangan itu sendiri, namun juga dalam keseluruhan Pentateukh. Dengan
semangat itu teks menajamkan perhatian ke arah orang miskin dan
terpinggirkan. Perhatian itu mendapat landasan teologis dan spiritual sebagai
wujud relasi antara manusia dengan Allah yang Mahakasih, lebih dari sekadar
humanisme antar manusia. Kepedulian terhadap orang-orang yang tidak
memiliki tanah dan miskin menjadi salah satu indikator penting dari
efektivitas penghayatan sikap patuh dan taat Bangsa Israel terhadap
perjanjiannya dengan Allah. Dengan kata lain, keadilan sosial yang terwujud
menjadi ekspresi penting dan nyata dari relasi antara Allah dan manusia
beriman. Penghindaran diri dari tanggung jawab dan kewajiban ini menjadi
pelanggaran terhadap semangat Hukum Taurat yang memicu
datangnya dosa.
.jpeg)
