pewahyuan al-qur'an 2
iakan oleh Nabi dan
umat Islam terdahulu. Sementara sarjana yang lain berusaha
mengeksplorasi makna-makna yang lebih melampaui dari itu.
Pemahaman yang Lebih Luas mengenai Wahyu
Dari diskusi di atas, kita mungkin bisa membangun pandangan
berikutnya mengenai wahyu: Tuhan menyatakan Kehendak-Nya
(bukan Wujud-Nya) kepada Nabi Muhammad; wahyu kepada
Nabi ini terjadi melalui perantara yang dikenal sebagai malaikat
Jibril, dalam bahasa Arab, bahasa yang dipakai Nabi; firman
Allah terus diterima sebagai wahyu sampai wafatnya Nabi
Muhammad, yang setelah itu tidak mungkin lagi ada wahyu
baru; atara firman Tuhan dan perkataan Nabi Muhammad jelas
berbeda; keberlainan wahyu (yakni, apa yang sepenuhnya di luar
diri Nabi Muhammad) harus dipelihara; dan, akhirnya, wahyu
bebas dari konteks sosio-historis apapun dan abadi.
Kebanyakan sarjana Muslim yang mengkaji tentang
hakikat wahyu hanya melihat wahyu sebagai proses pewahyuan
dari Allah kepada Nabi Muhhammad. Selama ini hanya ada
sedikit penekanan pada konteks sosio-historis bagaimana
wahyu diturunkan, atau pada peran Nabi Muhammad dalam
proses pewahyuan ini . Pandangan yang dominan Muslim
mengenai wahyu sejauh ini menunjukkan bahwa Nabi sebagai
penerima wahyu yang pasif, dan bahwa wahyu tidak memiliki
hubungan dengan konteks sosio-historis. Namun, pandangan
yang berikutnya ini adalah pemahaman yang lebih luas mengenai
konsep wahyu al-Qur'an, yang memperhitungkan juga peran
Nabi Muhammad beserta konteks sosio-historisnya, sambil tetap
mempertahankan sebanyak mungkin pandangan-pandangan
Muslim tradisional.
Tingkatan Wahyu Al-Qur'an
Kita mungkin bisa mempertimbangkan proses pewahyuan
terjadi melalui empat tingkatan atau level:
Tingkat pertama adalah dari tingkatan Yang Tidak Terlihat
(Tuhan–Lauh Mahfudz–Langit-Jibril). Pada tingkat ini, wahyu
berada di luar pemahaman manusia.
Tingkatan Wahyu Al-Qur'an
Tuhan
Lembaran yang dipelihara (Lauh Mahfudz)
Langit
Malaikat Jibril
Muhammad
Al-Qur'an diterima oleh komunitas Muslim pertama dan menjadi
bagian dari kehidupan sehari-hari umat Islam
Al-Qur'an terus-menerus ditafsirkan dan diterapkan; Allah terus
memberikan panduan bagi mereka yang mengingat Nya
50
Tingkat kedua adalah yang dilafadzkan dalam konteks
manusia. Yaitu, firman Allah saat Wahyu diucapkan oleh Nabi
kepada warga yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi
sosial dan historis yang beragam. Dengan demikian, firman Allah
menjadi bagian dari norma, adat dan dan kebiasaan dari suatu
warga tertentu. Melalui al-Qur'an, Allah berbicara baik
kepada manusia secara umum maupun kepada warga di
sekitar Nabi secara khusus.
Tingkat ketiga wahyu berkaitan dengan teks yang menjadi
bagian dari kehidupan sehari-hari umat Islam. Artinya, wahyu
itu kini telah ditulis dan dilaksanakan (ajaran-ajarannya). Wahyu
ini menjadi bagian penting dari kehidupan sebuah komunitas,
dan diterapkan serta dipakai dengan cara yang berbeda-beda
dari warga yang satu ke warga yang lain. Pelaksanaan
dan penerapan wahyu ke dalam kehidupan sosial ini dapat
disebut sebagai proses “aktualisasi”.
Setelah wafatnya Nabi, meskipun wahyu Allah telah ‘ditutup’,
tingkat keempat yang melibatkan dua dimensi wahyu berikutnya
masih terjadi. Pertama adalah bahwa warga Muslim tetap
terus dan semakin mengelaborasi makna-makna dalam wahyu al-
Qur'an. Setiap komunitas warga setelah Nabi Muhammad
secara berkesinambungan telah berupaya untuk menerapkan
makna al-Qur'an ke dalam kehidupan mereka. Aspek kedua
adalah bahwa dari sudut pandang al-Qur'an, Allah terus
memberikan bimbingan bagi mereka yang menyadari tentang
keberadaan-Nya dan berusaha untuk melaksanakan firman-Nya
secara benar dan tepat. Meskipun aspek terakhir ini bukanlah
aspek linguistik, tetapi tingkat ini telah ditampilkan melalui
interaksi yang berkelanjutan antara bentuk-bentuk linguistik
51
wahyu sebagaimana yang tampak dalam al-Qur'an dan bentuk-
bentuk linguistik yang dielaborasi sejak generasi Muslim awal.
Ringkasan
Beberapa poin penting yang telah kita bahas pada bab ini
meliputi:
• Umat Islam percaya bahwa Allah menurunkan al-Qur'an
dalam bahasa Arab, melalui malaikat Jibril kepada Nabi
Muhammad.
• Umat Islam percaya bahwa Nabi mentransmisikan al-Qur'an
kata demi kata (verbatim) kepada pengikutnya dan bahwa
al-Qur'an masih dalam bentuk aslinya hingga saat ini.
• Aspek yang paling penting dari wahyu bagi umat Islam adalah
kandungan linguistiknya, dari pada pengalaman pewahyuaan
Nabi semata.
• Pengalaman membaca al-Qur'an memiliki makna spiritual
bagi umat Islam karena hal ini diyakini sebagai bentuk
komunikasi dengan Allah.
• Isu signifikan yang diperdebatkan oleh para teolog Muslim
adalah apakah al-Qur'an ‘makhuk’ (diciptakan) atau ‘bukan
makhluk’ (tidak diciptakan).
• Dalam mencoba memahami al-Qur'an, kita perlu memperhi-
tungkan keyakinan umat Islam bahwa al-Qur'an adalah
firman Allah, dan mempertimbangkan konteks sosio-historis
dan bagaimana al-Qur'an ditafsirkan setelah wafatnya Nabi.
Al-Qur'an MERUPAKAN ISTILAH BAHASA ARAB YANG BERARTI ‘hafalan’ atau ‘bacaan’. Al-Qur'an berasal dari akar bahasa Arab q-r-’,1 yang juga merupakan akar
dari kata pertama dalam wahyu pertama yang diterima Nabi
Muhammad, iqra’, yang berarti ‘bacalah’. Peran Muhammad
sebagai seorang Nabi dimulai saat ia diperintahkan untuk
‘membaca’. Meskipun al-Qur'an menggunakan beragam nama,
tetapi nama ‘al-Qur'an’ telah menjadi salah satu yang paling
umum dipakai untuk sebutan kitab suci umat Islam. Nama lain
yang dipakai oleh al-Qur'an untuk menyebut dirinya sendiri
antara lain: Wahyu (tanzil), Peringatan (dzikir), Pembeda (furqan)
dan Kitab Suci (kitab). Al-Qur'an juga menyandang sejumlah
karakter atau sifat untuk dirinya sendiri seperti yang Mulia
(karim) (seperti dalam kalimat sering dikutip ‘Al-Qur'an yang
Mulia’), Jelas, Agung dan Diberkahi.
Ada beberapa ayat al-Qur'an yang menunjukkan bahwa
selama masa Nabi, al-Qur'an datang untuk dipahami sebagai
‘kitab’, meskipun faktanya pada masa itu al-Qur'an belum disusun
1 Seperti bahasa-bahasa Semit yang lain, hampir semua kata memilki akar, yang
terdiri dari tiga konsonan yang kemudian dikombinasikan dengan huruf vokal
dan huruf yang lain untuk menghasilkan makna derivasinya. Konsonan terakhir
dari akar kata al-Qur’an, ’, menunjukkan pemberhentian huruf hamzah dalam
transliterasi Arab.
54
menjadi sebuah kitab tertulis. Seperti ditunjukkan di atas, al-
Qur'an sering menyebut dirinya sebagai Kitab (kitab). Misalnya,
al-Qur'an mengatakan, “Allah telah menurunkan Kitab dan
Kebijaksanaan untukmu, dan kamu mengajarkan apa yang tidak
kamu ketahui”.2 dan “Sekarang Kami telah menurunkan kepada
mu [orang] sebuah kitab untuk mengingatkanmu”3. Sebetulnya,
al-Qur'an menggunakan kata kitab untuk menyebut dirinya
sendiri sejumlah lebih dari 70 kali dalam berbagai konteks; itu
menunjukkan bahwa konsep al-Qur'an sebagai buku, atau tulisan
suci, telah ditetapkan sebelum Nabi wafat.4 Namun, belum sampai
masa khalifah ketiga Islam, Utsman bin Affan (w.35/656), al-
Qur'an sudah disusun menjadi sebuah kitab. Tradisi Muslim juga
menyatakan bahwa Abu Bakar, khalifah pertama, merupakan
orang pertama yang memerintahkan penyusunan al-Qur'an, dan
Utsman hanya mengandalkan pada penyusunan yang dilakukan
oleh Abu Bakar ini .
Dalam bab ini kita akan membahas:
• Bagaimana cara al-Qur'an disusun;
• Beberapa pandangan umat Islam dan sarjana Barat tentang
penyusunan al-Qur'an sebagai teks tertulis;
• Perkembangan naskah al-Qur'an;
• Pemahaman umat Islam tentang al-Qur'an yang tidak bisa
ditiru; dan
• Teks-teks penting lain dalam tradisi Islam.
Struktur Al-Qur'an
Al-Qur'an terdiri dari 114 surat (surah) yang panjangnya
bervariasi. Setiap surat terdiri dari sejumlah ayat, yang juga
panjangnya juga bervariasi. Sebagian ayat terdiri dari beberapa
kalimat, sementara sebagian yang lain mungkin hanya terdiri
dari satu frase pendek, atau dalam beberapa kasus, satu kata
saja. Sebagai contoh, al-Rahman5 (Allah yang Maha Pengasih),
adalah ayat pertama dari surat dengan nama yang sama. Dalam
bahasa Arab, al-Rahman diidentifikasi dan ditulis dalam satu
kata. Sebaliknya, ayat 282 dari surat 2 (al-Baqarah) lebih panjang
dari beberapa surat pendek al-Qur'an. Dalam versi terjemahan
bahasa Inggris, ayat ini memiliki lebih dari 300 kata. Ayat ini
berisi pembicaraan panjang mengenai transaksi perniagaan atau
perdagangan dan ketentuan untuk membuat perjanjian tertulis
bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Dengan pengecualian surat yang pertama, al-Fatihah
(Pembukaan), al-Qur'an secara umum disusun berdasarkan
panjang suratnya. Surat pertama dalam bentuk doa, yang
merupakan tujuh ayat yang panjang dan dibaca berulang kali
oleh umat Islam dalam shalat. saat sholat, selain al-Fatihah,
seorang Muslim dianjurkan untuk membaca beberapa ayat yang
lain dari al-Qur'an. Meskipun tidak semua ayat dalam al-Qur'an
berbentuk doa- misalnya, ada ayat tentang sejarah, dan etika
atau hukum di alam – setiap bagian dari al-Qur'an bisa dibaca
saat shalat.
Surat 1 dari Al-Qur'an: Al-Fatihah (Pembukaan)
Dengan nama Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih, lagi Maha
Penyayang! Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, Tuhan
Pengasih, Maha Penyayang, Pemilik hari pembalasan. Hanya
kepada Engkau-lah kami menyembah, hanya kepada Engkau kami
meminta pertolongan. Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus
yaitu jalan orang-orang Engkau beri nikmat, bukan (jalan) orang-
orang yang tersesat.
Dimulai dengan surat kedua, al-Baqarah (Sapi), yang meru-
pakan surat yang terpanjang dan terdiri dari 286 ayat, surat-
surat dalam al-Qur'an berikutnya secara bertahap menjadi lebih
pendek. Jadi, surat-surat terpendek, surat ke-110, 108 dan 103,
semua muncul menjelang akhir susunan al-Qur'an dan masing-
masing hanya terdiri dari tiga ayat.
Beberapa Surat dalam Al-Qur'an
Tabel berikut memberikan gambaran mengenai surat-surat
pilihan yang ada dalam Al-Qur'an. Kolom pertama menunjukkan
posisi surat dalam urutan yang sesuai dengan standar penomoran
dalam Al-Qur'an. Disini ditampilkan jumlah ayat setiap surat,
dan lokasi di mana surat ini diturunkan.
No Nama Surat Terjemahan
Jumlah
Ayat
Lokasi
Wahyu
1 Al-Fatihah Pembukaan 7 Makkah
2 Al-Baqarah Sapi 286 Madinah
3 Ali Imran Keluarga Imran 200 Madinah
4 An-Nisa’ Wanita 176 Madinah
14 Ibrahim Ibrahim 52 Makkah
19 Maryam Maryam 98 Makkah
24 An-Nur Cahaya 64 Madinah
30 Ar-Rum Bizantium 60 Makkah
40 Ghafir Pengampunan 85 Makkah
41 Fussilat Yang dijelaskan 54 Makkah
42 Asy-Syura Musyawarah 53 Makkah
53 An-Najm Bintang 62 Makkah
55 Al-Rahman Yang Maha Pemurah 78 Madinah
67 Al-Mulk Kerajaan 30 Makkah
68 Al-Qalam Kalam 52 Makkah
71 Nuh Nuh 28 Makkah
91 Asy-Syams Matahari 15 Makkah
92 Al-Layl Malam 21 Makkah
113 Al-Falaq Waktu Subuh 5 Makkah
114 An-Nas Manusia 6 Makkah
57
Contoh Surat Pendek dalam Al-Qur'an
97. Lailatul-Qadr (Malam Kemuliaan)
Kota Makkah merayakan malam saat al-Qur'an pertama kali
diwahyukan.
Dengan nama Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih, Maha
Penyayang
Sesungguhnya Kami menurunkannya (al-Qur'an) pada Malam
Kemuliaan (Qadr). Tahukah kamu apakah Malam Kemuliaan
itu? Malam Kemuliaan lebih baik dari seribu bulan, pada
malam itu turun para malaikat dan malaikat Jibril dengan
izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. ;[malam itu]
sejahtera sampai subuh.
Setiap surat dalam al-Qur'an memiliki nama yang sangat
pendek –kebanyakan, hanya dengan satu kata saja– yangmana
para sarjana Muslim umumnya sepakat bahwa hal ini
memang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad di bawah
perintah illahiah. Dalam banyak kasus, nama ini mengacu pada
suatu peristiwa tertentu, atau isu atau orang yang disebutkan
di dalam surat ini . ‘Sapi’ yang dimaksud dalam nama surat
ke-2 (Al-Baqarah) muncul sehubungan dengan kisah Nabi Musa
dan kaum Bani Israel. Kisah ini adalah terkait respon bangsa
Israel terhadap perintah dari Allah kepada mereka untuk
mengorbankan seekor sapi. Nama ‘Sapi’ tampaknya telah dipilih
lebih karena mengingat arti penting cerita yang terkandung di
dalamnya daripada panjangnya surat ini , karena cerita
tentang sapi hanya ada dalam 7 dari 286 ayat.6 Meskipun
kisah ini tidak disebutkan dalam surat lain, tema pembangkangan
6 Al-Qur'an: 2:67–73.
58
terhadap perintah-perintah Allah, yang terkait dengan kisah ini,
dibahas berulang kali dalam al-Qur'an.
Kisah Sapi, dari Surat 2: Al-Baqarah (Sapi)
Ingat saat Musa berkata kepada umat-Nya, “Allah
memerintahkan Anda untuk mengorbankan seekor sapi” Mereka
berkata, “Apakah Anda membuat olok kami?” Dia menjawab,
“Allah melarang bahwa saya harus menjadi begitu bodoh.” Kata
mereka, “Panggil Tuhanmu bagi kita, untuk menunjukkan
kepada kita seperti apa sapi yang seharusnya.” Dia menjawab,
“Tuhan berkata itu tidak boleh terlalu tua atau terlalu muda, tapi
di antara, begitu juga saat Anda diperintahkan.” Mereka berkata,
“Panggil Tuhanmu untuk kami, untuk menunjukkan kepada kita
apa warna yang seharusnya.” Dia menjawab, “Tuhan berkata sapi
harus menjadi kuning cerah, enak dipandang” Mereka berkata,
“Panggil Tuhanmu untuk kami, untuk menunjukkan kepada
kita. [Persis] apa itu: semua sapi kurang lebih sama dengan kita.
Dengan kehendak Tuhan, kita akan dibimbing.” Dia menjawab,
“Ini adalah sapi yang sempurna dan tidak bercacat, tidak dilatih
untuk sampai bumi atau air ladang.” Kata mereka “Sekarang
Anda memiliki membawa kebenaran, dan sehingga mereka itu
dibantai, meskipun mereka hampir gagal untuk melakukannya.”
(QS. 2:67-73)
Selanjutnya, nama surat ini mungkin hanya diambil dari sebuah
kata yang menonjol dan ditemukan pada surat ini , dan
dalam beberapa kasus juga ada yang diambil dari kata pertama
yang disebut dalam surat, yang mungkin tidak ada kaitannya
dengan suatu kisah cerita tertentu. Misalnya, judul pada surat
36, Ya’-Sin, berasal dari dua huruf ‘Arab Ya dan Sin, yang mengawali
surat ini . Beberapa surat diawali dengan kombinasi beberapa
huruf seperti itu, yang mana banyak penafsir Muslim yang
meyakini bahwa huruf-huruf kombinatif ini memiliki
makna tersembunyi.
59
Contoh surat al-Qur'an yang dimulai dengan
kombinasi huruf Arab
Dua puluh sembilan surat dalam al-Qur'an dimulai dengan
kombinasi huruf Arab. Huruf ini merupakan bagian dari
huruf Arab, dan tidak memiliki makna tertentu. Berikut adalah
contoh dari surat ini :
No Nama Surat Terjemahan Huruf Awal
2 Al-Baqarah Sapi Alif Lam Mim
3 Al Imran Keluarga Imran Alif Lam Mim
7 Al-A’raf Tinggi Alif Lam Mim Sad
10 Yunus Yunus Alif Lam Ra ‘
11 Hud Hud Alif Lam Ra ‘
12 Yusuf Yusuf Alif Lam Ra ‘
13 Al-Ra’d Guntur Alif Lam Mim Ra ‘
14 Ibrahim Ibrahim Alif Lam Ra ‘
15 Al-Hijr al-Hijr Alif Lam Ra ‘
19 Maryam Maryam Kaf Ha ‘Ya’ Ain Sad
20 Ta Ha (Surat) Ta ‘Ha’ Ta ‘Ha’
26 Al-Shu’ara Para penyair Ta’ Sin Mim
27 Al-Naml Semut Ta ‘ Sin
28 Al-Qashash Cerita Ta ‘Sin Mim
Kompilasi Al-Qur'an sebagai Teks Tunggal: Pandangan
Muslim
Kaum Muslim percaya bahwa al-Qur'an diturunkan pada
kurun waktu antara 610 dan 632 M. Nabi dikabarkan meme-
rintahkan para pengikutnya untuk menghafal ayat-ayat al-Qur'an
sesudah diturunkan dan juga untuk menuliskannya. Namun, pada
waktu itu belum ada kebutuhan mendesak untuk mengkompilasi
ayat-ayat ini ke dalam satu buku; warga Arab saat
itu memiliki tradisi lisan yang kuat, dan mereka lebih banyak
mengandalkan memori dan narasi untuk melestarikan teks-
60
teks yang paling penting dari budaya mereka, seperti puisi. Al-
Qur'an, meskipun bukan puisi, memiliki beberapa unsur puitis
dan itu dianggap sebagai teks sastra berkualitas sangat tinggi.
Tradisi Muslim menyatakan bahwa keindahan sastra al-Qur'an
merupakan suatu hal yang awalnya banyak menarik orang masuk
Islam pada masa Nabi.
Dalam menjaga tradisi lisan, sepanjang kurun waktu 22
tahun masa pewahyuan, Nabi dan warga Muslim pertama
sering membaca (dengan tidak melihat teksnya) bagian-bagian
dari wahyu yang telah diturunkan, baik dimuka umum maupun
secara pribadi. Dari tahun 620 M, saat sholat lima waktu telah
ditetapkan sebagai kewajiban agama, ayat-ayat al-Qur'an juga
dibacakan secara teratur selama sholat lima waktu ini .
Dengan cara yang sama, semua wahyu yang telah diterima Nabi
sampai dengan awal bulan Ramadhan (bulan puasa) setiap tahun
juga akan dibacakan selama bulan ini , untuk membantu
menjaga teks dalam memori warga .
Meskipun al-Qur'an belum dikompilasi menjadi satu
jilid sebelum wafatnya Nabi, tradisi Muslim meyakini bahwa
sebenarnya sebagian besar ayat-ayat al-Qur'an, kalaulah belum
seluruhnya, telah ditulis di berbagai bahan yang beraneka ragam
sampai menjelang wafatnya Nabi Muhammad pada 11/632.
ada keyakinan, bahwa Nabi meninggalkan instruksi yang
jelas tentang bagaimana al-Qur'an harus diatur dan dibaca
sebagai teks tunggal. Instruksi-instruksi ini dipahami sebagai
dasar perintah al-Qur'an sampai sekarang ini.
Tradisi Muslim meyakini bahwa Abu Bakar (11-13/632-
634), yang menjadi khalifah pertama dan hanya memimpin
secara singkat, memerintahkan Zaid bin Tsabit (w.45/665),
salah satu penulis al-Qur'an terkemuka pada masa Nabi, untuk
61
mengkompilasi teks-teks al-Qur'an dan dijadikan sebagai kitab
tunggal. Zaid dibantu oleh sebuah komite yang terdiri dari para
sahabat Nabi yang lain. Instruksi ini tampaknya sebagai respon
atas meninggalnya banyak umat Muslim penghafal al-Qur'an
dalam sebuah peperangan. Apabila sejumlah besar dari umat
Islam meninggal, maka akan timbul bahaya, bahwa banyak
bagian al-Qur'an bisa hilang, atau mungkin bisa muncul sengketa
di kemudian hari tentang keasliannya. Konon kemudian, teks
tertulis yang utuh, yang disusun selama masa pemerintahan Abu
Bakar, tetap ia jaga sampai sepeninggalnya. Teks ini kemudian
diserahkan ke tangan khalifah kedua, Umar bin al-Khattab (13-
23/634-644), dan kemudian dipercayakan kepada putri Umar,
Hafsah (w.45/666), istri Nabi.
saat teks-teks al-Qur'an sudah dikumpulkan dalam
bentuk tertentu pada masa Abu Bakar, sedangkan khalifah
ketiga, Utsman (r.23-35/644-656), melihat kebutuhan untuk
membentuk suatu standar teks al-Qur'an yang dapat disebarkan
secara luas. Kebutuhan akan standar teks al-Qur'an didasarkan
pada saran yang diterima oleh Utsman, akibat dari munculnya
banyak perselisihan tentang al-Qur'an dan bacaannya di seluruh
daerah Muslim yang baru tergabung dalam kekhalifahan.7 Oleh
sebab itu, Utsman memerintahkan Zaid dan beberapa sahabat
lainnya untuk menggunakan koleksi pertama al-Qur'an,
bersama dengan sumber terpercaya lainnya, untuk menyusun
teks tunggal al-Qur'an yang otoritatif. Karena adanya beragam
bacaan, maka Utsman memerintahkan Zaid dan komite untuk
mendukung dialek Quraisy dari bahasa Arab (Mekkah) saat
terjadi perselisihan mengenai pembacaan teks tertentu. Ini
7 Khalifah: sebuah sistem pemerintahan yang mengombinasikan peraturan religius
dan politik.
62
didasarkan pada kenyataan bahwa Nabi sendiri berasal dari suku
Quraisy, dan al-Qur'an diturunkan dalam dialek ini. Al-Qur'an
mengatakan: “Kami [Allah] tidak pernah mengirim seorang
rasulpun melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat
memberi penjelasan kepada mereka.”8
Setelah Zaid selesai mengkompilasi teks al-Qur'an menjadi
satu dan diperiksa oleh sahabat lainnya, dibuatlah salinan
berdasarkan teks akhir ini , untuk dikirimkan ke pusat-pusat
propinsi kekhalifahan Islam, seperti Damaskus, Basrah dan Kufah,
pada tahun sekitar 24/645. Utsman kemudian memerintahkan
para gubernur untuk menghancurkan semua teks al-Qur'an yang
beredar di propinsi mereka, dan menetapkan naskah kuno yang
dikirimkan kepada mereka sebagai teks otoritatif tunggal al-
Qur'an. Dengan demikian, Utsman menyatukan teks-teks yang
tersebar di seluruh umat Islam menjadi satu. Sekarang, teks itu,
yang dikenal sebagai ‘Mushaf Utsmani’ (naskah kuno Utsman),
merupakan teks al-Qur'an yang otoritatif untuk semua umat
Islam. Akhirnya, pada periode pasca-Utsman, al-Qur'an dikenal
tidak hanya dalam bentuk lisan (sebagaimana yang ada pada
saat Nabi), tetapi juga sebagai naskah kuno tertulis (mushaf)
atau kumpulan tulisan-tulisan ‘korpus tetutup’9 yang tidak ada
sesuatu bisa ditambahkan lagi di dalamnya.
Dalam membahas perbedaan antara al-Qur'an sebagai ide
pada zaman Nabi dan sebagai naskah yang distandarisasikan
pada periode pasca-kenabian, William Graham, seorang sarjana
studi Timur Tengah, mengatakan:
8 Al-Qur'an: 14:4.
9 Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, penj. Robert D. Lee, Boulder: Westview
Press, 1994, hal. 37.
63
Jelas bahwa pada penggunaannya kemudian, ‘al-Qur'an’
adalah sebagai makna baku dari Firman Allah yang ditulis
dalam Masahif [jamak dari mushaf], pada masa pasca-
Utsmani, atau paling tidak, pasca-Muhammad. Setidaknya
sampai pada kodifikasi sebagai apa yang disebut textus
receptus – atau setidaknya sampai berhentinya pewahyuan
dengan meninggalnya Muhammad – belum ada penggunaan
‘al-Qur'an’ sebagai ‘wahyu yang dikumpulkan dalam bentuk
tertulis’. Ini tidak untuk menyangkal bahwa dalam al-Qur'an
pun ada perkembangan gagasan mengenai wahyu kolektif,
dalam penggunaan kata qur’an dan kitab, melainkan untuk
menekankan kekeliruan yang terjadi dalam ‘membaca
kembali’ di kemudian hari terhadap yang terakhir itu,
mengkongkritkan makna dari istilah ini kepada teks
Qurani atau peristiwa teks tradisional yang lain.10
Meskipun pandangan ini tidak dianggap kontroversial oleh
sebagian besar Muslim, tetapi perlu dicatat bahwa orang mudah
untuk terjatuh ke dalam perangkap yang disebut Graham dalam
kutipan di atas, yaitu pemahaman mengenai kata ‘Quran’ dan
‘kitab’, memahami al-Qur'an saat dipakai selama masa Nabi
sebagai teks tertulis dan lengkap. Oleh karena itu, penggunaan
terminologi menjadi penting dalam setiap perdebatan tentang
al-Qur'an. Penggunaan kata ‘qur’an’ selama masa Nabi harus
dipahami sebagai wahyu yang berkelanjutan yang sedang diterima
dan sudah diterima. Hanya dalam periode pasca-Utsman saja
kata ini dapat dipahami sebagai mushaf yang berwujud fisik atau
teks yang dikodifikasi.
10 William Graham, Beyond the Written Word, Cambridge: Cambridge University
Press, 1993, hal. 89.
64
Tanggal penting terkait al-Qur'an menurut
tradisi Muslim
610 : Ayat pertama al-Qur'an diturunkan.
620 : Sholat lima waktu diwajibkan dan Nabi mengalami
Perjalanan Malam ke Yerusalem dan kenaikan ke surga
(Isra’ Mi’raj).
2/624 : Turunnya ayat yang memerintahkan zakat (pemberian
amal) dan kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan serta
yang mengubah arah sholat ke Makkah.
3/625 : Turunnya ayat tentang larangan meminum anggur
(khamr).
9/631 : Turunnya ayat tentang kewajiban menunaikan ibadah
haji, dan melarang riba (dipahami sebagai riba atau
bunga).
11/632 : Wahyu al-Qur'an yang terakhir turun, Nabi Muhammad
meninggal dan Abu Bakar menjadi khalifah.
11/633 : Kompilasi pertama al-Qur'an selesai dibuat di bawah
perintah Abu Bakar.
13/634 : Abu Bakar meninggal dan Umar ibn al-Khattab menjadi
khalifah; Umar dipercaya menjaga teks al-Qur'an yang
telah dikumpulkan, yang kemudian mempercayakannya
kepada Hafsah putrinya.
23/644 : Umar meninggal dan Utsman bin Affan menjadi
khalifah.
24/645 : Utrman memerintahkan Zaid dan komitenya untuk
membuat kode al-Qur'an resmi untuk diedarkan ke
provinsi-provinsi Muslim.
Mushaf Utsmani ini diselesaikan dan disebarluaskan ke
seluruh negeri muslim, adapun varian-varian yang lain
selain itu dihancurkan.
35/656 : Utsman meninggal dan Ali bin Abi Thalib (menantu
Muhammad) menjadi khalifah.
65
Meskipun sebagian besar umat Islam saat ini baik dari
aliran Islam Sunni maupun Syi’ah11 menerima mushaf Utsmani,
tetapi beberapa aliran Syiah awal berselisih pandangan mengenai
usaha kompilasi atau penyusunan ini. Beberapa aliran Syiah awal
percaya bahwa Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi dan salah satu
tokoh paling dihormati dalam Syi’ah, menulis kembali al-Qur'an
ke dalam naskah tunggal di kemudian hari setelah meninggalnya
Nabi. Naskah ini dikatakan tidak hanya mencakup naskah al-
Qur'an secara kronologis, tetapi juga komentar dan interpretasi
oleh Nabi, serta klarifikasi Nabi terhadap ayat-ayat al-Qur'an
yang telah dibatalkan oleh ayat yang lain, ayat-ayat yang harus
dipahami sebagai ‘jelas’ dan yang harus dilihat sebagai ‘ambigu’12.
Sayangnya, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa salinan
naskah yang konon ditulis oleh Ali ini masih ada.
Tradisi Muslim menyatakan bahwa naskah yang dikumpulkan
selama Khalifah Utsman adalah akurat dan tidak rusak, karena
disusun dalam periode singkat setelah wafatnya Nabi dan
penyusunannya dilakukan di hadapan mereka yang menyaksikan
wahyu.
Meskipun mushaf Usman ini dianggap akurat, tapi ada
beberapa pertanyaan, apakah mushaf itu telah mencakup semua
ayat yang telah diwahyukan kepada Nabi. Sebenarnya, beberapa
pihak berpendapat bahwa al-Qur'an sendiri menunjukkan
adanya kemungkinan bahwa beberapa ayat mungkin telah
dibatalkan atau dikeluarkan selama Nabi hidup. Misalnya, ayat
2:106 mengatakan: “Setiap wahyu Kami menyebabkan untuk
digantikan atau terlupakan, Kami ganti dengan sesuatu yang
lebih baik atau mirip. Apakah Anda [Nabi] tidak tahu bahwa Allah
11 Lihat Bab 1 untuk mendiskusikan secara lebih intensif mengenai kelompok
religius-politik dalam Islam.
12 Ali Abbas (ed.), ‘The Quran Compiled by Imam Ali (AS)’, A Shi‘ite Encyclopedia,
Chapter 8. Diakses 20 Februari 2007: www.al-islam.org/encyclopedia/.
66
Maha Kuasa atas segala sesuatu?”13 Beberapa sarjana Muslim
berpendapat, berdasarkan ayat ini, bahwa ayat-ayat tertentu
mungkin telah ‘dibatalkan’ dan dihapus dari al-Qur'an sama sekali
oleh Tuhan, atau oleh Nabi berdasarkan pada instruksi Illahi.
Meskipun demikian, kalaupun toh memang demikian halnya yang
terjadi, cendekiawan Muslim secara keseluruhan tetap menolak
pnandangan bahwa para penyusun al-Qur'an tidak memasukkan
sebagian tertentu dari teks yang diwahyukan. Penafsir awal Az-
Zamakhsyari (w.539/1144) merangkum pemahaman umum
umat Islam mengenai penghapusan wahyu sebagai berikut, di
dalam interpretasinya dari ayat 2:106:
Membatalkan sebuah ayat berarti bahwa Allah memindah
(azala) dengan meletakkan di tempat lainnya. Menyebabkan
sebuah ayat dibatalkan berarti bahwa Tuhan memberikan
perintah agar ayat ini dibatalkan, yaitu, Dia
memerintahkan Jibril untuk menetapkan ayat ini dibatalkan
dengan mengumumkan pembatalannya. Menunda sebuah
ayat berarti bahwa Allah menetapkan ke samping (dengan
proklamasi) dan menyebabkannya hilang tanpa pengganti.
Menyebabkan sebuah ayat menjadi terlupakan berarti
bahwa ayat ini tidak lagi dijaga di dalam hati. Berikut
ini adalah arti [dari ayat 2:106]: Setiap Ayat dibuat untuk
lenyap setiapkali kebaikan (kemaslahatan, bagi warga )
menuntut agar ayat ini dihilangkan - baik atas dasar
mengatakan apa yang benar atau yang lebih benar, atau
dengan kedua dasar itu secara serentak, baik dengan ataupun
tanpa pengganti.14
Jadi, dari perspektif Muslim, mushaf Utsman merupakan
kodifikasi historis dan otentik dari wahyu Nabi Muhammad.
13 Al-Qur'an: 2:106.
14 Zamakhshari, al-Kashshaf, dalam Helmut Gatje, The Qur’an and its Exegesis, penj.
dan ed. Alford T. Welch, Oxford: Oneworld, 1997, hal. 58.
67
Setiap teks yang Allah mungkin telah sebabkan untuk digantikan
atau dilupakan, atau varian bacaan yang dihilangkan dalam usaha
untuk menyatukan umat Islam pada satu teks oleh Utsman,
tidak dianggap bagian esensial dari teks yang dikodifikasi
ini . Demikian, kodifikasi ini telah menjadi dasar bagi
ajaran dan praktik Islam, dan munculnya berbagai perkembangan
pemahaman dan interpretasi al-Qur'an di sepanjang sejarah. Bagi
banyak Muslim, mempertanyakan keaslian dan kehandalannya
sama dengan mempertanyakan Islam itu sendiri.
Tantangan oleh Para Sarjana Al-Qur'an Barat
Sejumlah sarjana Barat telah mengkritik pandangan
Muslim tradisional mengenai sejarah al-Qur'an. Termasuk di
antara mereka adalah Richard Bell, yang gagasannya, sam pai
batas tertentu, diadopsi oleh para sarjana lain seperti Watt
Montgomery. Bell mempertanyakan keabsahan aspek panda-
ngan Muslim tradisional, dengan alasan, bahwa beberapa
sumber Muslim mengandung pernyataan yang bertentangan
mengenai apakah Abu Bakar, Umar atau Utsman yang memulai
tugas mengumpulkan al-Qur'an. Dia juga meragukan alasan
yang diduga dipakai sebagai alasan pengumpulan al-Qur'an,
mempertanyakan kebenaran laporan bahwa banyak dari orang-
orang yang hafal al-Qur'an tewas dalam pertempuran. Dia
lebih jauh menyarankan, seandainya memang benar, bahwa
pengumpulan al-Qur'an pertama kali sesungguhnya diprakarsai
oleh Abu Bakar, itu jelas tidak disetujui oleh banyak otoritas,
karena Utsman rupanya membuat kumpulan yang baru hanya
beberapa tahun kemudian. Pandangan Bell adalah bahwa setiap
koleksi yang dibuat selama waktu Abu Bakar itu mungkin hanya
parsial dan tidak resmi.
Sementara posisi Bell tidak mempertanyakan tradisi Muslim
mengenai pengumpulan al-Qur'an secara keseluruhan, sarjana
68
Barat lainnya berusaha untuk meninjau kembali aspek-aspek
fundamental dari tradisi ini. Banyak yang berpendapat bahwa
al-Qur'an adalah teks yang mengalami perkembangan, yang
mungkin isinya tidak sesuai, baik dalam bentuknya yang lisan
atau tulisan, sampai setelah meninggalnya Nabi Muhammad.
Posisi ini jelas bertentangan dengan aspek kunci dari tradisi Islam
tentang al-Qur'an. Beberapa ahli juga berpendapat bahwa banyak
dari tradisi Islam dan literatur tentang masalah pengumpulan al-
Qur'an yang dibuat selama abad ke-2 Islam. Sarjana Inggris John
Wansbrough adalah salah satu pendukung utama pendekatan ini.
Ide utamanya ditemukan dalam karyanya, Qur’an Studies: Sources
and Methodes of Spiritual Interpretation, yang telah mempengaruhi
banyak sarjana di Barat.
Salah satu aspek paling kontroversial dari karya Wansbrough
adalah dia mendekati al-Qur'an sebagai karya sastra, sesuai dalam
tradisi Ibrani dan kitab suci umat Kristen, dan menganggapnya
sebagai produk murni buatan manusia. Wansbrough menawarkan
sejumlah ‘dugaan’, ia menyebutnya tawaran konjektural, di
antaranya bahwa Islam dapat lebih akurat didefinisikan sebagai
sebuah sekte yang tumbuh dari tradisi Yahudi-Kristen selama
periode berlangsungnya perdebatan sengit antara kelompok-
kelompok Yahudi dan Kristen yang ada. Dia menyarankan bahwa
selama itu, suku Arab mengadaptasikan teks Yahudi-Kristen
dengan budaya mereka sendiri, dan akhirnya mengembangkan
kitab suci ‘Islam’ sendiri selama abad pertama/ke-7 dan ke-2/
ke-8.15 Argumen ini didukung oleh pernyataan Wansbrough
bahwa tidak ada bukti tekstual mengenai konsep ‘Islam’, atau
pengumpulan al-Qur'an sebagai sebuah teks, sampai 150 tahun
setelah Nabi wafat.16
15 Lihat John Wansbrough, Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural
Interpretation, New York: Prometheus Books, 2004, hal. 78–81.
16 Lihat Wansbrough, Qur’anic Studies, hal. 43–50.
69
Penggunaan metode kritik Alkitab oleh Wansbrough
memungkinkannya menyimpulkan bahwa tradisi Islam
merupakan ‘sejarah keselamatan’ - istilah yang dipakai
dalam studi Alkitab untuk menggambarkan motivasi mitos
secara teologis dan evengelis terkait asal-usul suatu agama yang
diproyeksikan kembali ke masa lalu.17 Namun, tujuan utamanya
bukan untuk mengidentifikasi mengapa al-Qur'an disusun.
Sebaliknya, Wansbrough fokus pada penentuan bagaimana
dan kapan al-Qur'an datang untuk diterima dan kemudian
dikanonisasi sebagai ‘kitab suci’; sesuatu yang ia percayai tidak
terjadi sampai khalifah Umayyah, lebih dari 100 tahun setelah
Nabi wafat.18
Karya Wansbrough menginspirasi sarjana lain dalam
tradisi revisionis, seperti Michael Cook dan Crone Patricia,
yang mencoba merekonstruksi asal-usul dan sejarah Islam.
Dalam Hagarism: The Making of Islamic World.19 Cook dan Crone
mengusulkan bahwa Islam sebenarnya adalah sebuah gerakan
mesianis Arab yang bersekutu dengan Yudaisme, yang mencoba
untuk merebut kembali Suriah dan Tanah Suci dari kekaisaran
Bizantium. Wansbrough sendiri mengkritisi asumsi metodologis
buku ini, dan penulisnya pun akhirnya bergeser dari beberapa
teori awal mereka.
Menurut seorang sarjana Inggris, Gerald Hawting, pemikiran
Wansbrough terutama terkait dengan upaya untuk memisahkan
hubu ngan yang dibuat secara tipikal antara al-Qur'an dan
kehidupan Nabi Muhammad, yang ia yakini hanya ide yang dibuat
oleh para sarjana dalam tradisi Islam, sama seperti beberapa
sarjana Alkitab percaya bahwa Yesus menjadi produk dari
17 Toby Lester, ‘What is the Qur’an?’, The Atlantic Monthly, January 1999, vol. 283,
no. 1, hal. 55.
18 Lihat Wansbrough, Qur’anic Studies, hal. 202.
19 Cambridge: Cambridge University Press, 1977.
70
Kristianitas.20 Hawting menunjukkan bahwa banyak sarjana tidak
mendekati Islam dengan serius - bukan memeriksa agama dengan
kejelian dan ketelitian akademik, tapi cenderung menahan diri
dari banyak resiko permasalahan, seperti mempertanyakan asal-
usul al-Qur'an, mungkin agar tidak menyinggung perasaan umat
Islam. Sebaliknya, ia berpendapat, Wansbrough meneliti Islam
secara serius dengan mendudukkan al-Qur'an dalam analisis
historis-kritis yang dipakai dalam studi teks-teks Kristen
dan Yahudi.
Namun, bagi banyak umat Islam, pandangan para sarjana
seperti Wansbrough sangat kontroversial dan sungguh tidak
menyenangkan. Contoh respon Muslim terhadap aliran ini adalah
karya Muhammad Azami, yang, dalam karyanya The History of
the Qur’anic Text from Revelation to Completion,21 berupaya untuk
mempertahankan reliabilitas historis al-Qur'an. Azami mengutip
sumber Muslim tradisional yang menyatakan bahwa ada sekitar
65 sahabat yang menjabat sebagai juru tulis Nabi untuk berbagai
periode, dan dilaporkan bahwa mereka telah menuliskan seluruh
bagian al-Qur'an sebelum sampai tiba waktu meninggalnya Nabi.22
Dia juga menunjukkan bahwa dokumen tertulis, pada kenyataannya,
sudah menjadi bagian dari budaya Muslim awal, dan banyak sahabat
melaporkan bahwa mereka memiliki catatan sendiri dari bagian-
bagian tertentu al-Qur'an.23 Azami berpendapat bahwa, berdasarkan
catatan yang ada, yang ada pada catatan-catatan waktu itu hanya
variasi-vari kecil dari ayat al-Qur'an tetapi tidak sampai mengubah
20 Stephen Crittenden, ‘John Wansbrough Remembered: Interview with Gerald
Hawting’, 26 Juni 2002, ABC, Radio National – The Religion Report. Diakses 20
Augustus 2007: http://www.abc.net.au/rn/talks/8.30/ relrpt/stories/s591483.
htm.
21 Muhammad Mustafa Al-Azami, The History of the Qur’anic Text from Revelation
to Compilation, Leicester: UK Islamic Academy, 2003.
22 Azami, The History of the Qur’anic Text, hal. 68.
23 Azami, The History of the Qur’anic Text, hal. 69.
71
makna teks. Misalnya, kadang-kadang terjadi variasi kecil pada vokal,
atau terjadi pergeseran dari orang kedua untuk orang ketiga, dengan
sedikit atau tidak berdampak signifikan pada arti.24
Sebuah kritik terhadap respon tradisional ini menyatakan
bahwa banyak dari argumen yang muncul sebagai respon
kemudian bersifat sirkular. Sementara sarjana Barat revisionis
seperti Wansbrough sangat mempertanyakan keaslian al-
Qur'an dan laporan-laporan tradisi mengenai pengumpulan dan
kompilasi al-Qur'an, counter-argumen Azami justru didasarkan
hampir sepenuhnya pada tradisi-tradisi dan al-Qur'an itu sendiri.
Sebagai seorang ulama hadis, ia tampaknya mengandalkan pada
upaya otentikasi tradisi-tradisi ini , dengan menggunakan
pendekatan tradisional kritik hadis, yangmana sejumlah sarjana
Barat juga menolaknya.
Namun, ulama al-Qur'an yang lain, termasuk beberapa
sarjana Barat, telah mengutip perdebatan yang terjadi di
antara warga Muslim abad pertama/ke-7 menyangkut isi
kandungan al-Qur'an sebagai bukti awal kompilasi al-Qur'an.
Misalnya, dilaporkan bahwa pada masa itu aliran Khawarij
menolak surat kedua belas dari al-Qur'an, dan bahwa beberapa
aliran Syiah awal menuduh para pejabat penyusun al-Qur'an tidak
memasukkan ayat-ayat tertentu, yang mendukung pandangan
mereka, ke dalam teks resmi yang dianggap lengkap.25 Sarjana
lain, seperti John Burton, juga menyangkal bahwa Nabi sendiri
telah ‘menyetujui’ ‘edisi’ lengkap al-Qur'an menjelang wafatnya.26
24 Azami, The History of the Qur’anic Text, hal. 97–105.
25 Farid Esack, The Al-Qur’an: A Short Introduction, Oxford: Oneworld, 2001, hal.
91. Catat – Khowarij adalah aliran Islam pemikiran pertama yang pada masa
sekarang telah bercerai berai; Aliran Syi’ah sampai hari hari ini masih eksis.
Untuk informasi lebih jelas lihat Bab11.
26 John Burton, The Collection of the Qur’an, Cambridge and New York: Cambridge
University Press, 1977, hal. 239–240.
72
Seorang sarjana Amerika, Estelle Whelan, juga mengkritisi
beberapa analisis yang dilakukan Wansbrough karena
mengasumsikan bahwa kompilasi al-Qur'an mengikuti bagian
yang mirip dengan kitab Injil Ibrani.27 Whelan mengacu pada bukti
prasasti al-Qur'an di Kubah Batu di Yerusalem, yang bertanggal
sekitar 65-86/685-705, yang dibuat hanya setengah abad setelah
meninggalnya Nabi. Beberapa prasasti yang paling menonjol
tampak diambil dari ayat-ayat al-Qur'an tertentu. Sementara
sebagian besar sesuai dengan standar mushaf Utsman, tetapi
beberapa sisi tampaknya memuat sedikit modifikasi, dimana
ada dua ayat mengenai satu poin tertentu gabung yang
menjadi satu.28
Whelan berpendapat bahwa penjelasan yang terbaik
mengenai terjadinya modifikasi al-Qur'an adalah bahwa
modifikasi diperkenalkan untuk memungkinkan bagi terciptanya
teks tunggal. Dia berpendapat bahwa walaupun ada upaya
untuk membangun dan mempertahankan versi standar [al-
Qur'an]. . . ada [juga] sebuah tradisi mengenai penggambaran
dan pemodifikasian teks untuk tujuan retoris yang bervariasi.29
Praktek modifikasi ini tergantung pada ‘pengetahuan teks para
pendengar atau pembacanya’.30 Ini berarti bahwa penggunaan
kreativitas terhadap teks-teks al-Qur'an sudah terjadi, hal itu
sudah tentu terjadi pada warga umum.31 Selanjutnya,
apakah mushaf al-Qur'an telah mengalami revisi pada tahap awal,
27 Estelle Whelan, ‘Forgotten Witness: Evidence for the Early Codification of the Qur’an’,
Journal of the American Oriental Society, vol. 118, no. 1 (Jan–Mar 1998), hal.
3.
28 Whelan, ‘Forgotten Witness’, hal. 4–6.
29 Whelan, ‘Forgotten Witness’, hal. 8.
30 Whelan, ‘Forgotten Witness’, hal. 8.
31 Whelan, ‘Forgotten Witness’, hal. 8.
73
sulit untuk dipercaya bahwa variasi dalam kodifikasi mushaf yang
terkemuka itu tidak mempengaruhi versi terakhirnya.32
Bukti terakhir yang lain yang dikutip Whelan termasuk di
antaranya adalah prasasti tulisan al-Qur'an yang ada di Masjid
Nabi, di Madinah, yang tampaknya menunjukkan bahwa
surat al-Qur'an yang nomor urut 91-114 telah dipublikasikan
pada akhir abad pertama/ke-7.33 Dia juga mengutip bukti
dari berbagai sumber tentang telah adanya beberapa penyalin
al-Qur'an profesional di Madinah pada saat yang sama, yang
menunjukkan adanya permintaan atas salinan teks al-Qur'an
yang dipublikasikan itu.34 Diskusi lebih jauh oleh sarjana Barat
mengenai al-Qur'an dapat ditemukan dalam Bab 6.
Evolusi Naskah Al-Qur'an dan Ortografinya
Salinan al-Qur'an paling awal ditulis dengan apa yang
disebut sebagai “Ortografi Usman” (al-Rasm al-Utsmani). Komite
penyusun al-Qur'an bentukan Utsman, yang dipimpin oleh
Zaid, menulis mushaf al-Qur'an secara lengkap pertama kali
dengan menggunakan ortografi ini. Naskah asli mushaf Usman
ini ditulis dengan gaya tulisan Arab awal, yang dikenal sebagai
Hijazi. Dalam bentuk pertamanya pada abad ke-7, naskah ini
tidak memakai tanda pada setiap huruf hidupnya, sehingga sulit
untuk membedakan antarkonsonan tertentu. Sebagai contoh,
huruf Arab ba ‘, ta’ dan tsa’ hanya bisa dibedakan satu sama lain
berdasarkan konteksnya, karena ketiga huruf ini ditulis
dengan cara yang persis sama. Meskipun ini mungkin tampak
bermasalah, tetapi tidak mungkin bahwa fitur ini menyebabkan
kesulitan bagi generasi pertama umat Islam, yang sebagian besar
32 Whelan, ‘Forgotten Witness’, hal. 5–6.
33 Whelan, ‘Forgotten Witness’, hal. 8–10.
34 Whelan, ‘Forgotten Witness’, hal. 10–13.
74
mereka berbahasa Arab dan memiliki pengetahuan yang bagus
mengenai al-Qur'an.
Namun, karena jumlah umat Islam yang berbahasa non-Arab
kian semakin bertambah, ketergantungan pada naskah dasar ini
pun semakin menghadapi kesulitan. Akibatnya, dari akhir abad
pertama/ke-7 hingga ke-3/ke-9, dilakukan perbaikan naskah
untuk memfasilitasi pembacaan al-Qur'an baik bagi Muslim Arab
maupun non-Arab. Perubahan naskah ini juga terjadi karena
kepentingan khalifah awal ‘mengarabisasikan’ birokrasi negara
Muslim, khususnya di bawah kekhalifahan Umayyah. Untuk
mencapai hal ini, maka dirasa perlu mengembangkan naskah
yang lebih efisien dan mudah dibaca untuk dipakai dalam
dokumentasi dan korespondensi resmi. Karena naskahnya
mengalami perkembangan dan perbaikan, maka cara pembacaan
al-Qur'an pun juga menjadi lebih mudah.
Perkembangan perbaikan tulisan Arab itu di antaranya
termasuk penambahan titik-titik untuk membedakan antara
bunyi konsonan tertentu dengan bentuk dasar yang sama, dan
penambahan vokal pendek dan panjang.35 Perbaikan lainnya
dalam tulisan al-Qur'an adalah pemberian tanda-tanda khusus
untuk menunjukkan akhir suatu ayat, pemenggalan atau
pembagian kalimat sehingga memungkinkan pembaca al-Qur'an
melakukan jeda, dan pembagian lainnya dimana mereka mesti
meneruskan bacaan dan tidak boleh jeda, untuk menghindari
pembacaan yang terpotong yang dapat mengakibatkan kesalahan
arti.
Mengingat bahwa kata dasar dalam bahasa Arab yang
tanpa dibubuhi tanda-tanda vokal (penj: arab gundul) dapat
dibaca dengan cara yang berbeda-beda, maka dibubuhkannya
35 Vokal yang ditambahkan dalam naskah sampai sekarang masih dipakai , di
antaranya adalah ‘a’, ‘i’ (dilafalkan seperti bahasa inggris ‘ee’) and ‘u’ (dilafalkan
seperti bahasa Inggris ‘oo’).
75
tanda-tanda vokal ini sangat membantu untuk memandu
pembaca al-Qur'an yang tidak terbiasa dengan teks dalam bentuk
lisannya, atau pembaca yang tidak berbahasa Arab. Salinan
al-Qur'an yang diterbitkan sekarang ini penuh dengan tanda
baca untuk memungkinkan pembicara bahasa Arab dan non-
Arab dapat membaca al-Qur'an dengan lebih mudah. Banyak
salinan al-Qur'an versi cetak sekarang juga disertai tanda-tanda
baca, seperti dijelaskan di atas. Karena tanda-tanda vokal dan
pembacaan itu tidak berfungsi mendasar bagi pemahaman, maka
tanda-tanda ini juga tidak dipakai dalam teks Arab modern
yang lain, seperti dalam surat kabar atau buku-buku.
Terlepas dari semua perbaikan ini, bentuk asli dari ortografi
Mushaf Utsman tetap tidak diubah secara signifikan. Fakta ini
mencerminkan keinginan generasi Muslim awal untuk tetap
mempertahankan penulisan naskah al-Qur'an asli. Keinginan
ini bahkan mampu dipertahankan sampai zaman modern dan,
pada awal abad ke-20, upaya untuk menuliskan al-Qur'an dengan
menggunakan huruf-huruf yang lain seperti huruf Latin pun
ditentang keras oleh sarjana Muslim, yang berpendapat bahwa
hal ini akan menyebabkan teks al-Qur'an terdistorsi.
Untuk mempermudah perujukan, salinan al-Qur'an modern
juga mengadopsi penomoran ayat. Tidak seperti penomoran
surat, yang sudah baku, untuk penomoran ayat ada
lebih dari satu metode, meskipun teks itu secara aktual tetap
sama. Dengan demikian, jumlah keseluruhan ayat al-Qur'an
bisa berkisar mulai dari 6.212 sampai 6.250, tergantung pada
sistem penomoran yang dipakai . Alasan perbedaan itu
beragam. Richard Bell dan Montgomery Watt menyatakan
bahwa ‘bervariasinya sistem penomoran ayat al-Qur'an, sampai
batas tertentu, meskipun tidak sepenuhnya, tergantung kepada
pertimbangan-pertimbangan yang beragam terkait penyesuaian
76
sajak pemberhentian dalam ayat’.36 Dalam kasus lain, alasan
perbedaan itu lebih sederhana. Misalnya, beberapa sistem Indo-
Pakistan menghitung kalimat basmalah (yang berbunyi ‘Dengan
Nama Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang’, dan
ditemukan pada awal setiap surat kecuali surat ke- 9, al-Taubah
atau Pertobatan) dan memasukkannya sebagai bagian dari ayat
dalam surat. Sistem penomoran yang lain di seluruh dunia hanya
memasukkan kalimat ini sebagai bagian dari surat pertama saja
(surat al-Fatihah atau Pembukaan), bahkan ada beberapa yang
tidak memasukkannya ke dalam surat sama sekali. Variasi yang
lain lebih susah lagi diprediksi, seperti dalam satu sistem di India,
yang membagi ayat 6:73 menjadi dua, sementara ayat 36:34-35
justru digabungkan menjadi satu.37
Sistem penomoran Mesir, yang pertama kali diperkenalkan
saat di bawah pemerintahan Raja Fuad dan diterbitkan
pada tahun 1925,38 telah menjadi standar penomoran yang
dipakai di hampir seluruh dunia Islam saat ini. Namun,
variasi yang lain, seperti yang disebutkan di atas, juga masih
beredar.39 Salah satu variasi yang terkenal di Barat dibuat oleh
orientalis Jerman Gustav Flügel pada tahun 1834. Flügel diyakini
telah menciptakan sistem penomorannya sendiri berdasarkan
pembacaannya terhadap akhiran sajak di setiap kalimat dalam
al-Qur'an. Namun, variasi ini tidak berkaitan secara langsung
dengan tradisi Muslim apapun. Terlepas dari itu, sistem yang
36 Montgomery Watt and Richard Bell, ‘The External Form of the Quran’, Introduction
to the Quran, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1995, hal. 70–71.
37 ‘Different verse numbering systems in the Qur’an’. Diakses 20 Februari
2007: http://www.answering-islam.de/Main/Quran/Text/numbers.html.
38 Ahmad von Denffer, ‘Introduction to the Al-Qur’an: A Rendition of the
Original Work Titled Ulum al Qur’an’, A.E. Souaiaia (ed.), Studies in Islam
and the Middle East (SIME) Journal, SIME ePublishing (majalla.org),
2004. diakses 5 September 2007: http://www.islamworld.net/UUQ/.
39 von Denffer, ‘Introduction to the Qur’an’.
77
diciptakan Flügel ini telah dijadikan sebagai dasar acuan untuk
terjemahan-terjemahan al-Qur'an di Eropa dan karya-karya yang
lain tentang al-Qur'an.40
Metode pembagian al-Qur'an yang terakhir yang akan
dibahas di sini adalah yang didasarkan pada praktek umum yang
dilakukan umat Muslim dalam membaca teks al-Qur'an secara
utuh selama 30 hari pada bulan Ramadhan. Pembagian ini adalah
dengan membagi al-Qur'an ke dalam 30 bagian, dengan panjang
setiap bagian kurang lebih sama, dan setiap bagian itu dikenal
sebagai juz (bagian). Setiap juz dinamai berdasarkan kata atau
kalimat pertama yang muncul di awal juz. Juz pertama adalah
pengecualian dari aturan ini, karena penamaan alif lam mim
mengacu kepada tiga huruf awal dari surat ke-2, bukan mengacu
kepada kalimat di awal juz.
Hakikat Teks Al-Qur'an: Konsep Inimitabilitas
Bagi umat Islam, al-Qur'an dianggap sebagai ekspresi bahasa
Arab yang paling sempurna, sebuah tulisan yang unik dan tidak
bisa perdibandingkan dengan yang lain, dan yang, sebagaimana
dinyatakan al-Qur'an sendiri, tidak dapat disejajarkan dengan
karangan buatan manusia.41 Aspek istimewa dari al-Qur'an ini,
yaitu aspek inimitabilitas, yang umumnya disebut sebagai i’jaz
al-Qur'an, telah banyak dibahas dalam berbagai karya tulis dari
para ahli bahasa Arab, penafsir al-Qur'an dan para kritikus sastra
dari kalangan Muslim.
Pandangan inimitabilitas al-Qur'an ini, yang menyatakan
bahwa al-Qur'an tidak ada tiruannya, diperkuat oleh beberapa
40 A. Jeffery and I. Mendelsohn, ‘The Orthography of the Samarqand Codex’, Journal
of the American Oriental Society, vol. 63, New Haven: American Oriental Society,
1943, hal. 175–195.
41 Lihat Al-Qur’an: 2:23; 11:13; 10:38.
78
ayat al-Qur'an,42 yang menantang musuh Nabi Muhammad di
Makkah untuk menciptakan kompilasi sastra yang mirip dengan
al-Qur'an. Tantangan ini muncul untuk merespon tuduhan lawan-
lawan Nabi Muhammad bahwa al-Qur'an sebenarnya disusun
oleh Nabi sendiri dan bukan berasal dari Allah. Dalam salah
satu tantangan ini , al-Qur'an menyatakan, “Katakanlah:
“Bahkan jika semua umat manusia dan jin43 datang bersama-
sama untuk menghasilkan sesuatu seperti al-Qur'an ini, mereka
tidak bisa menghasilkan hal seperti itu, betapapun mereka saling
membantu.””44 Di tempat lainnya al-Qur'an secara eksplisit
menantang orang untuk menciptakan sepuluh surat saja seperti
dalam al-Qur'an, dengan mengatakan: “Jika mereka mengatakan,
“Dia sendiri [Muhammad] telah menciptakannya [Al-Qur'an],”
katakanlah, “Kemudian buatlah sepuluh surat seperti al-Qur'an,
dan serulah siapa saja selain Allah, jika kamu memang benar””.45
Karena orang Makkah terus-menerus gagal memenuhi tantangan
ini, maka kemudian tantangan itu pun dikurangi hanya untuk
membuat satu surat saja seperti al-Qur'an.46 Menurut tradisi
Muslim, inimitabilitas al-Qur'an didukung oleh kenyataan bahwa
tidak ada satupun orang Makkah yang pernah mampu memenuhi
tantangan ini, sekalipun mereka memiliki reputasi sebagai ahli
bahasa Arab.
Gagasan penting lainnya yang yang terkait dengan
kemustahilan al-Qur'an untuk ditiru adalah keyakinan bahwa
Nabi Muhammad adalah seorang yang buta huruf, dan oleh
sebab itu, ia tidak akan mampu menghasilkan karya seindah
42 Lihat Al-Qur’an: 2:23; 11:13; 10:38.
43 Jin adalah mahluk yang tidak terlihat yang, seperti manusia, bisa menjadi baik
maupun jahat. Mereka disebutkan terbuat dari api.
44 Al-Qur'an: 17:88.
45 Al-Qur'an: 11:13.
46 Lihat Al-Qur’an: 10:38.
79
al-Qur'an dengan usahanya sendiri. Beberapa menegaskan
bahwa buta hurufnya Nabi didukung oleh setidaknya dua ayat
al-Qur'an,47 namun arti kata ummiy yang sering diterjemahkan
sebagai ‘buta huruf ’ banyak diperdebatkan oleh umat Islam
awal. Meskipun dapat diartikan sebagai buta huruf, kata ummiy
juga dapat diterjemahkan sebagai ‘bukan orang yahudi’, yang
menunjukkan fakta bahwa Nabi adalah orang Arab, bukan orang
Yahudi. Beberapa sarjana Muslim percaya bahwa Nabi memang
bisa membaca dan menulis, meskipun tidak pandai.48
Pandangan kaum Muslim mengenai dasar inimitabilitas
al-Qur'an cukup bervariasi. Beberapa menyarankan bahwa
ketidakmungkinan menciptakan satupun seperti al-Qur'an
dikarenakan Allah mencegah orang dari melakukan hal itu.
Meskipun demikian, mayoritas umat Islam percaya bahwa hal
ini karena gaya dan konten al-Qur'an sendiri yang memang
unik sehingga tidak dapat ditiru. Argumen ini umumnya terkait
dengan keindahan dan keunikan gaya al-Qur'an. Isi kandungan
al-Qur'an, khususnya menyangkut informasi sejarah tentang
Nabi terdahulu dan komunitas mereka, yangmana setiap orang
tidak mungkin untuk mengetahui masa-masa Nabi yang telah
berlalu ini , juga terlihat sebagai bukti dari inimitabilitas
al-Qur'an, di selain juga karena tidak adanya kontradiksi yang
ditemukan pada teks al-Qur'an.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, beberapa Muslim juga
mendekati inimitabilitas al-Qur'an dari perspektif matematis.
Salah satu pandangan menyatakan bahwa permutasi tertentu
dari angka 19 dapat ditemukan dalam kata-kata dan kalimat-
47 Al-Qur'an: 7:157; 7:158.
48 Contohnya, Rashid al-Din Fadl Allah (w.718/1318) berpendapat bahwa sangat
tidak mungkin bahwa ‘mahluk terbaik’ tidak mengetahui tulis-menulis (al-
Madjmu‘a al-rashidiyya al-sultaniyya, in E. Geoffroy, ‘Ummi’, p. 864, P.J. Bearman
et al. (eds), Encyclopaedia of Islam, vol. 10, Leiden: Brill, 2000, hal. 863–864).
80
kalimat al-Qur'an. Misalnya, sejumlah kalimat penting dalam
al-Qur'an dikatakan berisi 19 huruf, atau muncul 19 kali, atau
kelipatannya.49 Pengulangan angka 19 dan kelipatannya itu
diindikasikan sebagai bukti hasil karya Tuhan. Menurut mereka,
tanpa mengandalkan akses ke komputer, tidak mungkin Nabi bisa
menyusun karya al-Qur'an secara mandiri, sambil memasukkan
pola-pola numerik tertentu di dalamnya.
Sejumlah ahli teori modern mengutip ‘fakta’ ilmiah yang
ditemukan dalam al-Qur'an yang tidak ditemukan hingga
era modern, sebagai dasar inimitabilitas ini. Misalnya, para
pendukung teori ini menyatakan bahwa ayat berikut sebenarnya
mengacu kepada Big Bang: “Apakah orang-orang kafir tidak
mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu
adalah suatu yang padu, kemudian kami pisahkan antara
keduanya, dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup?”50
Demikian bahwa masalah inimitabilitas ilmiah al-Qur'an telah
menjadi sumber perdebatan pada periode modern.
Kedua pendekatan ini, ‘matematis’ dan ‘ilmiah’, menunjukkan
beberapa cara baru yang sedang dilakukan umat Muslim saat ini
untuk menunjukkan ‘kebenaran’ al-Qur'an. Kedua pendekatan
ini memiliki tingkat popularitasnya masing-masing.
Hubungan antara Al-Qur'an dan Tradisi Nabi
Al-Qur'an menempati posisi yang sentral dalam tradisi
tekstual Islam, tetapi tidak menjadi satu-satunya sumber
darimana hukum Islam, prinsip dan tradisinya diambil.
Sumber tekstual Islam kedua yang paling penting adalah
hadits. Hadits merupakan laporan para sahabat yang hidup
49 Edip Yuksel, www.19.org, dikutip dalam Dave Thomas, ‘Code 19 in the Quran?’,
New Mexicans for Science and Reason. Diakses 18 Februari 2007: http://www.
nmsr.org/code19.htm.
50 Al-Qur'an: 21:30.
81
sezaman dengan Nabi mengenai ucapan-ucapan dan perilaku-
perilaku Nabi. Pada awalnya hadits diriwayatkan secara informal,
sebelum kemudian dikumpulkan dan disusun oleh para ulama
hadits. Hadis dianggap sebagai bagian penting dari tradisi
tekstual Islam, buah dari pentingnya hubungan antara al-Qur'an
dan perilaku normatif Nabi (yang disebut sebagai sunnah-Nya).
Sebagaimana yang akan kita lihat, al-Qur'an sendiri hanya
memberikan sedikit instruksi yang secara eksplisit menunjukkan
bagaimana hidup sebagai seorang Muslim, artinya, tunduk kepada
Allah. Sejumlah ajaran etika al-Qur'an diungkapkan dengan
istilah yang umum, dan dipraktikkan oleh kaum Muslim awal
dalam kehidupan mereka sehari-hari setelah mereka diberikan
interpretasi praktis oleh Nabi. Dengan demikian, dalam tradisi
Islam, Nabi sering disebut sebagai ‘al-Qur'an berjalan’, dan
sunnahnya, atau cara-caranya dalam melakukan sesuatu dalam
kehidupannya, dianggap sebagai komentar praktis mengenai al-
Qur'an. Kepatuhan terhadap sunnah merupakan unsur praktis
dari status sebagai seorang Muslim. Pengetahuan kaum Muslim
mengenai sunnah-sunnah Nabi berasal dari hadits.
Ada dua komponen hadits: matn atau konten tekstual, dan
sanad atau rantai periwayatannya. Salah satu bidang studi yang
sangat penting dalam studi Islam adalah analisis hadits dan rantai
periwayatannya. Dalam dua abad pertama Islam, banyak beredar
hadits yang patut dipertanyakan asal-usulnya. Menanggapi situasi
ini, upaya ilmiah dibuat untuk mengumpulkan dan mengevaluasi
semua hadits yang ada berdasarkan kriteria-kriteria tertentu.
Kriteria ini terkait dengan tingkat kehandalan perawi yang
meriwayatkan hadits itu, atau terkait konsistensi internal konten
tekstual (matn) hadits ini . Salah satu perawi hadits yang
paling penting dan dianggap terpercaya dan patut diandalkan
adalah Aisyah istri Nabi.
82
Dua koleksi hadits yang paling penting dibuat pada abad
ke-3/ke-9 oleh Bukhari (w.256/870) dan Muslim bin Hajjaj
(w.261/875). Koleksi hadits Bukhari, yang disebut Sahih (artinya
‘Otentik’), dianggap oleh kaum Muslim Sunni sebagai koleksi
paling otentik. Bukhari dikatakan telah mengumpulkan lebih
dari 600.000 hadits yang beredar selama masanya. Setelah
dilakukan analisis yang ketat, hanya sekitar 7.000 dari hadits
ini yang ‘terpercaya’ dan akhirnya dimasukkan ke dalam
koleksinya. Kaum Sunni juga menganggap beberapa jilid koleksi
hadits dari Muslim, yang juga disebut Sahih, sebagai kumpulan
hadits yang sangat akurat. Selain itu, ada juga beberapa koleksi
hadits yang kurang dapat diandalkan, dan kaum Muslim Syiah
juga memiliki koleksi hadits mereka sendiri.
Meskipun sudah ada pengetatan metode oleh para kolektor
hadits, tetapi masih ada sebagian hadits yang dipertanyakan
otentisitas atau keasliannya. Khususnya, keaslian hadits yang
tampaknya bertentangan dengan inti ajaran Islam, seperti hadits
yang yang mendukung pandangan sektarian atau misoginis,
kini dipertanyakan. Beberapa sarjana Barat, seperti Joseph
Schacht, mempertanyakan keaslian seluruh kumpulan hadits
yang ada.51 Banyak cendekiawan Muslim sekarang ini, sambil
menolak pandangan bahwa semua hadits adalah hanya rekayasa,
juga menyerukan pemeriksaan ulang terhadap literatur hadits
menggunakan metode baru kritik dan analisis teks.
Contoh hadits yang terkait dengan perintah al-Qur'an untuk
sholat adalah sebagai berikut:
Seorang pria memasuki masjid dan mulai sholat, sementara
Rasulullah sedang duduk di suatu tempat di masjid itu.
Kemudian (setelah menyelesaikan sholatnya) orang itu datang
kepada Nabi dan menyalaminya. Nabi berkata kepadanya:
51 Lihat Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford: Oxford
University Press, 1950.
83
“Pergilah dan sholat, karena kamu belum sholat.” Orang
itu pergi, dan sholat, lalu dia datang kembali dan menyapa
Nabi. Setelah menjawab salamnya Nabi berkata, “Kembali dan
sholat, karena kamu belum sholat.” Pada kali ketiga pria itu
berkata, “(Ya Rasulallah!) ajari saya (cara sholat).” Nabi berkata,
“saat kamu bangun untuk shalat, berwudhu dengan benar
kemudian menghadapi arah kiblat [arah doa] dan mengatakan
“Tuhan Maha Besar”, dan kemudian membaca apa yang kamu
ketahui dari al-Qur'an, dan kemudian membungkuk, dan
tetap dalam keadaan ini sampai kamu merasa khusyu’ dalam
ruku’, dan kemudian mengangkat kepala dan berdiri lurus,
dan kemudian bersujud sampai kamu khusyu’ dalam sujud,
dan kemudian duduk sampai kamu merasa khusyu’ dalam
duduk, dan kemudian sujud lagi sampai kamu merasa khusyu’
dalam sujud, dan kemudian bangun dan berdiri tegak, dan
lakukan semua ini di setiap sholatmu.”52
Hadits ini memberikan penjelasan rinci tentang bagaimana
Nabi benar-benar mendirikan sholat. Perintah mendirikan
sholat diulang beberapa kali dalam al-Qur'an, seperti dalam
ayat berikut: “Dirikanlah shalat, bayarlah zakat yang ditentukan,
dan tundukkanlah kepala [saat sembahyang] bersama mereka
yang menundukkannya.”53 Tapi al-Qur'an tidak memberikan
perincian yang lebih detail tentang bagaimana seorang muslim
harus melakukan shalat. Detail praktis mendirikan sholat hanya
ditemukan dalam hadits. Oleh karena itu, hadits menjadi bagian
penting dari pengembangan praktek Islam dan juga sangat
relevan dengan praktek penafsiran al-Qur'an.
52 Bukhari, Sahih al-Bukhari, Vol. 8, Buku 78 ‘The Book of Oaths and Vows’, Bab. 15,
No. 660, diriwayatkan oleh Abu Hurairah, dalam The Translation of the Meanings
of Sahih Al-Bukhari,, penj. Muhammad Muhsin Khan, Ankara, Turkey: Hilal
Yayinlari, 1977, hal. 429–430.
53 Al-Qur'an: 2:43. Lihat juga 2:110, 277; 11:114; dan 22:78.
84
Ringkasan
Beberapa poin penting yang telah kita bahas dalam bab ini
meliputi:
• Kata al-Qur'an yang berarti ‘pembacaan’ atau ‘membaca’.
• Menurut sumber-sumber Islam, naskah lengkap al-Qur'an
dikompilasi 25 tahun setelah wafatnya Nabi
• Salinan asli al-Qur'an tidak memiliki tanda huruf vokal;
salinan al-Qur'an sekarang mencantumkan tanda-tanda
huruf vokal dan tanda-tanda lain untuk membantu
mempermudah cara membaca.
• Kaum Muslim percaya bahwa, sebagai Firman Allah, al-
Qur'an tidak bisa ditiru dan gayanya tidak bisa direproduksi
oleh manusia.
• Laporan dari perkataan dan perbuatan Nabi, yang dikenal
sebagai hadits, merupakan komponen penting dari tradisi
tekstual Islam.
Rekomendasi Bacaan
Muhammad Mustafa Al-Azami, The History of the Qur’anic
Text from Revelation to Compilation, Leicester: UK Islamic
Academy, 2003.
• Dalam buku ini Azami memberikan wawasan mengenai
sejarah teks al-Qur'an, dengan tujuan untuk menyangkal
serangan historis dan kontemporer terhadap al-Qur'an. Dia
juga menilai beberapa teori Barat tentang al-Qur'an dan
mempertanyakan motivasi serta akurasinya.
Farid Esack, ‘Gathering the Qur’an’, dalam The Qur’an: A Short
Introduction, Oxford: One world, 2001, halaman 77–99.
• Dalam bab ini Esack merunut dan menelusuri koleksi dan
dokumentasi al-Qur'an sebagai buku, dari zaman wahyu
sampai periode khalifah ketiga, Utsman.
85
William Graham, Beyond the Written Word, Cambridge:
Cambridge University Press, 1993.
• Dalam buku ini Graham kembali mengkaji konsep ‘kitab suci’
dengan menganalisis tradisi penggunaan bahasa lisan dan
tulisan suci dari agama-agama di dunia. Dia menunjukkan
bahwa ada kebutuhan untuk sebuah perspektif baru dalam
memahami kata-kata yang dipakai untuk menggambarkan
‘kitab suci’ dalam al-Qur'an, dan cara di mana kitab suci telah
dipakai oleh orang-orang sepanjang sejarah.
Daniel A. Madigan, The Qur’an’s Self-Image: Writing and
Authority in Islam’s Scripture, Princeton, NJ: Princeton University
Press, 2001
• Dalam buku ini Madigan mengeksplorasi cara bagaimana
al-Qur'an menyebut dirinya sendiri. Bab pertama dalam
bukunya secara khusus, mengeksplorasi ‘al-Qur'an sebagai
Buku’, mengeksplorasi konsep al-Qur'an sebagai buku
atau kitab suci. Melalui buku ini, Madigan menunjukkan
bagaimana al-Qur'an mengasosiasiakn dan menyebut dirinya
sendiri seperti yang diungkapkan melalui sejumlah ayat al-
Qur'an.
87
Bab 4
Tema-tema Utama dan
Jenis-jenis Teks Al-Qur'an
ADA BEBERAPA TEMA UTAMA DALAM AL-QUR'AN, yang kesemuanya berkisar pada tema sentral tentang hubungan Allah dengan manusia. Tema-tema utama
yang membentuk teks al-Qur'an antara lain tentang penciptaan,
para Nabi terdahulu, dan kehi dupan setelah kematian. Karena
rujukan setiap tema utama ini muncul di seluruh teks al-
Qur'an, maka tema-tema utama ini tidak selalu mudah
untuk dipisah-pisahkan. Setiap kali salah satu dari tema-tema
ini disebut kan, al-Qur'an menyelipkan beberapa segi dari tema
yang lain di dalam paragraf ayatnya.
Meskipun ada banyak tema dalam al-Qur'an, pembaca
akan selalu melihat bahwa nama Allah selalu disebutkan berulang-
ulang dalam teks ayat-ayatnya. Penyebutan yang diulang-ulang
secara konsisten dan secara halus ini mengajak pembaca untuk
merenungkan dua tema al-Qur'an yang paling penting, yaitu
tentang hakikat Allah dan hubungan yang hakiki antara Pencipta
dan ciptaan-Nya.
88
Dalam bab ini kita akan membahas tentang:
• Beberapa tema yang paling penting dalam al-Qur'an,
termasuk Allah, makhluk gaib, setan, makhluk ciptaan Allah,
Nabi-nabi terdahulu, pandangan al-Qur'an terhadap agama-
agama lain, peristiwa sejarah pada masa Nabi, kehidupan
setelah kematian, pedoman etika dan moral bagi perilaku
manusia, dan
• Jenis-jenis teks yang pokok dalam al-Qur'an.
Allah
Pada zaman Nabi Muhammad, banyak dari penduduk Arab di
Makkah dan Madinah adalah penganut politeis; mereka percaya
pada dewa-dewa yang lebih tinggi dan lebih rendah. Seperti
penganut monoteis pada waktu itu, mereka juga percaya kepada
satu Tuhan yang lebih tinggi (al-ilah atau Allah, ‘Tuhan’). Namun
demikian, tidak seperti penganut monoteis, mereka percaya
bahwa Allah ada di langit, dan dewa-dewa yang lebih rendah juga
ada untuk menjadi perantara antara Allah dan manusia. Salah
satu tema pokok al-Qur'an adalah penolakannya terhadap ide-
ide politeistik, dan penegasannya mengenai konsep satu Tuhan.
Ada banyak penyebutan dan deskripsi mengenai Allah dalam
al-Qur'an. Misalnya, al-Qur'an menyatakan bahwa Allah memiliki
nama-nama yang tidak terhitung jumlahnya berdasarkan pada
sifat-Nya. Beberapa nama Allah yang disebutkan dalam al-Qur'an
antara lain: Maha Penyayang, Maha Pengasih, Sang Pencipta,
Maha Kuasa, Maha Pemberi Ganjaran, Maha Penghisab dan Maha
Bijaksana. Sembilan puluh sembilan “Nama-nama Allah Yang
Paling indah” diketahui, meskipun nama yang paling umum, yang
mencakup seluruh sifat-sifat-Nya, hanyalah “Allah”.
89
Nama-nama Allah
Umat Islam percaya bahwa Allah memiliki 99 ‘nama’ atau ‘nama-
nama yang indah’ atau sifat-sifat. Semua nama ini dijumpai dalam
al-Qur'an dan hadits. Nama yang paling sering dipakai adalah
Allah, ‘Tuhan’. Beberapa nama-Nya yang lain adalah sebagai
berikut:
Yang Maha Pengasih Yang Maha Pencipta Yang Maha Besar
Yang Maha
Penyayang
Yang Maha
Pengampun
Yang Maha Kekal
Maha Raja Yang Maha Pemberi Yang Maha Hidup
Yang Maha Suci/
Kudus
Yang Maha
Mengetahui
Subsisten Sendiri
Sumber Kedamaian Yang Maha Melihat Yang Maha Benar
Wali Yang Maha Sabar
Yang Maha
Menghidupkan
Yang Maha Kuasa
Yang Maha
Mencintai
Referensi lebih lanjut mengenai Allah dapat diketahui mela-
lui al-Qur'an, dimana disana kita bisa menemukan gambaran
ten tang siapa Allah itu. Misalnya, Allah digambarkan sebagai
Pencipta segala sesuatu di alam semesta, termasuk kehidupan
dan kematian. Disana dikatakan juga bahwa segala sesuatu hanya
milik-Nya semata. Dia adil, dan mengganjar setimpal bagi mereka
yang baik, tetapi menghukum mereka yang menolak petunjuk-
Nya. Kita diberitahu bahwa Allah memiliki pengetahuan yang
sempurna mengenai segala sesuatu, yang tidak terbatas atau tidak
dapat dibatasi dengan cara apapun. Al-Qur'an juga menyatakan
bahwa Allah tidak memiliki anak atau putri: ‘Dia tidak beranak
dan tidak pula diperanakkan’.1 Kita diingatkan bahwa Allah itu
1 Al-Qur'an: 112:3.
90
Maha Pengasih, dan Ia mendengar doa orang-orang yang beriman
dan mengawasi semua orang.
saat kita membaca al-Qur'an, kita akan segera mengetahui
bahwa Allah menjadi salah satu tema yang paling umum. Bahkan,
kita tidak akan mungkin menemukan halaman al-Qur'an yang
tanpa menyebut Allah di dalamnya. Salah satu aspek yang paling
penting dari tema ini adalah bahwa, meskipun al-Qur'an seringkali
memakai istilah-istilah antropomorfis untuk menggambarkan
Allah (seperti penyebutan ‘tangan’ atau ‘wajah’-Nya), tetapi al-
Qur'an juga menyangkal bahwa ada kesamaan antara Allah dan
manusia. Ini mengingatkan kepada kita, bahwa Allah adalah Dzat
yang tidak serupa dengan apapun yang kita ketahui. Berikut ini
adalah ‘Ayat Cahaya’, yang menggunakan imajinasi kompleks
untuk memberikan gambaran kepada kita mengenai siapa atau
apa Allah itu.
Allah adalah Cahaya langit dan bumi. Perumpamaan Cahaya
Allah, adalah seperti ini: ada ceruk, dan di dalamnya ada pelita,
pelita itu di dalam tabung kaca, kaca seperti bintang berkilau,
yang dinyalakan dari pohon zaitun yang tumbuh tidak dari
Timur maupun Barat, yang mana minyaknya saja hampir
memberi cahaya walaupun tidak disentuh api; Cahaya di atas
Cahaya; Allah memberi petunjuk menuju cahaya-Nya bagi
siapa pun yang Dia kehendaki; Allah membuat perumpamaan-
perumpamaan bagi manusia; Dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.2
Dalam ayat yang lain, al-Qur'an menyatakan:
Dialah Allah: tidak ada Tuhan selain Dia. Dialah yang
mengetahui yang gaib dan yang tampak, Dialah Yang Maha
Pengasih, Maha Penyayang. Dialah Allah: tidak ada Tuhan selain
Dia, Maha Raja Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang
2 Al-Qur'an: 24:35.
91
Menjaga Keamanan, Pemelihara keselamatan keseluruhan,
Yang Maha Kuasa, Yang memiliki segala keagungan, Maha
Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.3
Makhluk Gaib
Al-Qur'an memberitahukan adanya makhluk gaib, yang
berada di luar pengalaman langsung manusia. Misalnya, al-Qur'an
sering menyebutkan adanya malaikat, beberapa di antaranya
memiliki fungsi tertentu, seperti membawa wahyu kepada para
Nabi, atau mengabarkan kematian. Beberapa malaikat disebutkan
namanya, seperti Jibril dan Mikail. Keyakinan kepada malaikat
itu adalah sangat penting, dan merupakan salah satu dari enam
“rukun iman” dalam Islam. Al-Qur'an mengatakan: “Rasulullah
[Muhammad] beriman kepada apa yang telah diturunkan
kepadanya (al-Qur'an) dari Tuhannya, demikian pula orang-orang
yang beriman. Mereka semua beriman kepada Allah, malaikat-
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.”4
Sebagaimana malaikat, yang selalu taat hanya kepada Allah
tanpa terkecuali, al-Qur'an juga menyebut adanya makhluk
yang disebut jinn. Menurut para teolog Muslim, jinn adalah
makhluk tak terlihat, yang diciptakan dari api tanpa asap; mereka
memiliki kehendak bebas, dan bisa jadi taat dan bisa jadi pula
tidak taat kepada Allah; dalam hal ini mereka mirip dengan
manusia. Kemiripan itu juga ditunjukkan, bahwa jinn sering
disebut dalam al-Qur'an dalam hubungannya dengan manusia.
Misalnya, al-Qur'an mengatakan: “Katakanlah [Nabi]: “Aku tidak
menciptakan jin dan manusia selain untuk menyembah-Ku. Aku
tidak menghendaki rejeki sedikitpun kepada mereka, dan Aku
tidak menghendaki mereka memberi makan kepada-Ku.””5
3 Al-Qur'an: 59:22–23.
4 Al-Qur'an: 2:285.
5 Al-Qur'an: 51:56–57.
92
Setan Simbol Kejahatan dan Pembangkangan
Simbol kejahatan dan pembangkangan kepada Allah dalam
al-Qur'an adalah setan (syaitan), juga disebut iblis. Iblis adalah
makhluk yang dijelaskan dalam al-Qur'an sebagai makhluk yang
berasal dari bangsa jin, yang entah bagaimana kedatangannya
dianggap sebagai malaikat.6 Dalam kisah al-Qur'an mengenai
penciptaan, Allah memberitahu para malaikat bahwa Dia
bermaksud untuk menciptakan khalifah di bumi. Beberapa
malaikat menyanggah bahwa makhluk ini akan menciptakan
malapetaka di bumi dan menjadi penyebab pertumpahan darah.
Allah menolak sanggahan mereka dan kemudian menciptakan
manusia pertama, Adam. Allah mengajarkan Adam ‘nama-nama’
dari semua hal dan kemudian memerintahkan para malaikat
untuk sujud kepada Adam.7
Semua malaikat taat kepada Allah, tetapi Iblis tidak, dan
berdalih bahwa ia lebih unggul daripada Adam karena dia
diciptakan dari api, sedangkan Adam diciptakan dari tanah
liat.8 Iblis dikutuk karena melawan Allah, tetapi diberikan
penangguhan hukuman sementara sampai hari kiamat. Saat itu,
iblis beserta mereka yang mengikuti kesesatannya akan dihukum
karena membangkang melawan Allah.
Dengan demikian, dalam al-Qur'an, kekuatan kebaikan selaras
dan mengikuti petunjuk Allah, sedangkan kekuatan kejahatan,
yang diwakili oleh setan, adalah mereka yang menentang-Nya
dan berusaha untuk membawa orang-orang menjauh dari-Nya.
Bentuk tunggal ‘setan’ (shaitan) umumnya mengacu kepada iblis,
sementara bentuk jamaknya (shayatin) mengacu kepada mereka
yang mengikuti jejaknya setan. Shayatin mungkin juga mencakup
6 Al-Qur'an: 18:50.
7 Lihat Al-Qur’an: 2:31 and 2:34.
8 Lihat Al-Qur’an: 7:11–18; 2:30–38.
93
jin dan manusia. Al-Qur'an mengatakan: “Dan janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah setan, sungguh setan adalah musuh
yang nyata bagimu.” 9 Dan: “Demikianlah, untuk setiap Nabi
kami menjadikan baginya musuh, yang terdiri dari setan-setan
[shayatin] manusia dan jin. Mereka membisikkan kepada sebagian
yang lain perkataan yang indah untuk menipu”10
Penciptaan
Al-Qur'an mengandung banyak referensi tentang penciptaan
langit dan bumi, dan apa-apa yang ada ‘di dalam’ atau ‘di antara’
keduanya.11 Walaupun tidak ditentukan secara persis kapan
penciptaan itu terjadi, tetapi beberapa ayat menunjukkan bahwa
penciptaan itu terjadi selama beberapa ‘hari’. Namun, al-Qur'an
menjelaskan bahwa perhitungan ‘hari’ yang kita kenal tidak
sama seperti ‘hari’ dalam pandangan Tuhan. Misalnya, al-Qur'an
mengatakan: ‘sehari bersama Tuhanmu seperti seribu tahun
menurut perhitunganmu.’12 Ini menunjukkan bahwa satu hari
dalam perhitungan al-Qur'an sama dengan durasi waktu yang
jauh lebih lama lagi menurut perhitungan manusia.
Al-Qur'an berbicara tentang penciptaan matahari, bulan,
bintang dan benda-benda angkasa lainnya. Al-Qur'an juga
berbicara tentang penciptaan kehidupan di bumi dan semua
unsur yang diperlukan untuk mempertahankan hidup, seperti
air, yang menurut al-Qur'an merupakan asal-usul kehidupan itu
sendiri, dan udara. Al-Qur'an juga menyebut tentang adanya
perubahan musim dan penciptaan pepohonan dan bahan-bahan
9 Al-Qur'an: 2:168.
10 Al-Qur'an: 6:112
11 Lihat sebagai contoh: Al-Qur’an: 15:85; 2:29.
12 Al-Qur'an: 22:47. Lihat juga al-Qur’an: 70:4 dimana sehari sama dengan 50.000
tahun.
94
makanan seperti buah-buahan dan biji-bijian, dan menyeru
kepada pembaca untuk merenungkan ‘tanda-tanda’ Allah ini.
Dalam al-Qur'an, manusia dianggap sebagai bagian dari
makhluk yang paling mulia. Sebagaimana telah kita ketahui
dalam deskripsi al-Qur'an tentang penciptaan manusia, Allah
memerintahkan kepada para malaikat untuk sujud kepada
Adam, manusia pertama, sebagai pengakuan atas pentingnya
umat manusia. Meskipun manusia memiliki status tinggi di
mata Allah, tetapi mereka juga memiliki potensi untuk menjadi
baik atau jahat. Salah satu hal yang pertama Allah lakukan
dalam hubungannya dengan manusia setelah penciptaan Adam
dan temannya (Hawa) adalah menguji mereka dengan pohon
terlarang. Menurut al-Qur'an keduanya telah gagal dengan ujian
Allah ini , tetapi Allah mengampuni pertaubatan mereka
dan kemudian memerintahkan mereka untuk tinggal di bumi, di
mana mereka diperintahkan untuk menyampaikan perintah Allah
kepada keturunan mereka. Al-Qur'an memberitahu, bahwa dari
pasangan inilah keturunan manusia muncul. Dengan demikian,
dari perspektif al-Qur'an, Adam adalah guru, pemimpin dan nabi
pertama.
Di antara janji Allah kepada Adam dan Hawa adalah bahwa Dia
akan mengutus Nabi dan Rasul kepada keturunan mereka untuk
membawa petunjuk dari Allah. Dengan demikian, kisah al-Qur'an
tentang penciptaan dan ‘turunnya’ Adam ke bumi menunjukkan
bahwa memang sejak awal Allah telah memuliakan, memaafkan
dan memelihara hubungan yang dekat dengan manusia. Karena
sejak awal Allah juga bermaksud membuat ‘kekhilafahan di bumi’,
maka ‘turunnya’ Adam dan Hawa dipandang sebagai bagian dari
rencana Ilahi.
95
Figur Para Nabi Terdahulu
Sekitar seperlima dari kandungan al-Qur'an adalah berupa
kisah-kisah para Nabi terdahulu, pesan mereka, warga
mereka, dan bagaimana warga itu menanggapi seruan
Allah untuk mengakui keesaan-Nya dan mengikuti petunjuk-
Nya. Kisah-kisah ini panjangnya dan tingkat detailnya berbeda-
beda, dan disebutkan di banyak bagian al-Qur'an. Sebagai contoh,
meskipun ada surat tertentu yang dinamai dengan nama seorang
Nabi, tapi surat ini tidak menjelaskan biografi detail Nabi
ini . Tujuan utama dari penyampaian figur para Nabi
terdahulu di sebagian besar kisah-kisah kenabian dalam al-Qur'an
adalah untuk menyoroti ajaran-ajaran tertentu, bukan untuk
menyajikan laporan yang lengkap tentang kehidupan mereka.
Konsekwensinya, untuk memahami sepenuhnya pandangan al-
Qur'an mengenai figur tertentu, pembaca harus menyatukan
teks-teks dari berbagai bagian al-Qur'an.
Dari semua kisah tentang Nabi-nabi, yang paling detail
adalah kisah tentang nabi Musa, Isa dan Yusuf. Kisah cerita
tentang nabi Isa, misalnya, menceritakan kejadian-kejadian
seputar ke

