pewahyuan al-qur'an 4

pewahyuan al-qur'an 4


 


meskipun pada awalnya hanya memiliki dampak 

praktis yang kecil.

142

Ilmuwan Utama dan Ilmu Pengetahuan Barat

Abad ke-8 

Yohanes dari Damaskus (w.135/753). Biarawan Suriah yang 

menulis Wrote Heresy of the Ishmaelites, salah satu dari tulisan 

awal yang berpolemik terhadap Islam. 

Abad ke-9 

Risalah Al-Kindi, sanggahan terhadap al-Qur'an pertama kali 

yang lengkap; konon ditulis oleh seorang Kristen Yakobit atau 

Nestorian.

 Abad ke-12 

Robert Ketton (1136-1157). Seorang pria Inggris yang 

menerbitkan terjemahan al-Qur'an pertama kali dalam bahasa 

Latin.

Abad ke-14

Raymond Lull (d.1316). Menulis tulisan Arab te bal yang 

ditujukan untuk mengkonversi Muslim ke Kristen, dikenal 

sebagai pendiri Orientalisme Barat.

Riccoldo da Monte Croce (d.1320). Imam Dominikan yang menulis 

pengaruh Kristen kecaman dari Al-Qur'an.

Muslim Spanyol 711-1492

Interaksi yang luas antara Muslim, Yahudi dan Kristen di 

Eropa pertama kali tercatat pada pemerintahan Muslim Spanyol, 

selama periode yang sering disebut oleh kalangan Muslim sebagai 

periode Andalusia. Selama ini, budaya dan agama Islam, Kristen 

dan Yahudi hidup bersama selama hampir delapan abad. Bagian 

yang signifikan dari periode ini adalah, bahwa penduduk Spanyol 

dapat hidup secara damai; pengetahuan tentang bahasa Arab 

dan sastra pun tersebar luas bahkan sampai di kalangan Kristen 

dan Yahudi; dialog dan debat agama juga biasa terjadi. Contoh 

143

interaksi yang terjadi antara lain pertemuan antara dokter dan 

ulama Muslim, Ibn al-Kattani (w.420/1029), dokter Yahudi, 

Hasdai ibn Shaprut (w.380/990) dan uskup Kristen, Rabi’ 

ibn Zaid (w.350/961), di istana kerajaan untuk mempelajari 

De Materia Medica, ‘the book of Dioscorides’, sebuah buku teks 

kedokteran pada zaman Yunani Kuno.3 Fokus yang kuat pada 

pengembangan ilmu pengetahuan pada zaman itu tercermin 

dari keberadaan lebih dari 70 perpustakaan dan ratusan ribu 

buku di ibukota Andalusia, Cordoba. Periode panjang yang 

berlangsung penuh kedamaian ini mulai menurun pada 1.031, 

saat kekhalifahan Cordoba berakhir. Pemerintahan Muslim 

secara bertahap berakhir pada abad ke-15, saat  seluruh wilayah 

Spanyol berada di bawah kendali penguasa Kristen, dan kaum 

Islam dan penduduk Yahudi dipaksa meninggalkan agamanya 

dan beralih ke dalam agama Kristen.4

Penerjemahan Awal yang Polemis, dan Pengetahuan 

tentang Islam di luar Spanyol

saat  periode kemunduran Cordoba, orang-orang Eropa 

dari luar Spanyol mulai menjalin hubungan secara intensif 

dengan Islam dan budaya Muslim. Setelah tertangkapnya Toledo 

pada tahun 1085 oleh pasukan Kristen, Uskup Agung Don 

Raymundo (1125-1151), dan Benediktus Abbot dari Cluny Petrus 

yang Mulia (w.1156), mulai menghimpun para sarjana untuk 

menerjemahkan berbagai teks bahasa Arab ke dalam bahasa 

3 Mohamed Benchrifa, ‘The Routes of al-Andalus – Tolerance and Convergence’, 

UNESCO (halaman diupdate pada: 7/6/2001). Diakses 15 Februari 07: http://

www.unesco.org/culture/al-andalus/html_eng/ben chrifa.shtml.

4 Peter N. Stearns (ed.), The Encyclopedia of World History, edisi ke-6, Boston: 

Houghton-Mifflin, 2001, hal. 179. Diakses 30 April 2007: http:// www.

nmhschool.org/tthornton/mehistorydatabase/umayyad_spain.php.

144

Latin, termasuk teks-teks ilmiah dan filosofis dari Andalusia, 

dan karya-karya keagamaan seperti penyangkalan-penyangkalan 

terhadap al-Qur'an dan, yang terpenting, al-Qur'an itu sendiri.5

Penerjemahan karya-karya awal tentang Islam dan al-

Qur'an pada waktu itu menimbulkan polemik. Penerjemahan 

ini dilakukan dalam lingkungan di mana orang-orang Kristen dan 

Muslim bersaing untuk menunjukkan keunggulan agama masing-

masing, sekaligus saling menangkal ketidakotentikan masing-

masing. Banyak sarjana Kristen berharap dapat membantah 

Islam melalui terjemahan-terjemahan, yang bertujuan untuk 

menunjukkan bahwa al-Qur'an adalah sebuah dokumen fabrikan, 

yang dibuat oleh Muhammad berdasarkan apa yang diketahuinya 

tentang Kristen dan Yahudi. Petrus yang Mulia berpendapat 

bahwa orang Kristen seharusnya memerangi Muslim “bukan 

dengan angkat senjata sebagaimana yang orang-orang lakukan, 

melainkan dengan kata-kata.”6

Di antara teks Arab yang diterjemahkan ini  antara lain 

sebuah dokumen yang dinamai “Risalah al-Kindi”, yang diyakini 

telah ditulis oleh seorang Kristen Yakobit atau Nestorian pada 

abad ke-3/ke-9 di bawah nama samaran, al Kindi.7 Teks ini diduga 

merupakan sanggahan lengkap pertama terhadap al-Qur'an, yang 

menyatakan bahwa al-Qur'an itu tidak orisinil dan dipengaruhi 

oleh seorang pendeta Kristen bernama Sergius, atau Nestorius, 

5 J.D.J. Waardenburg, ‘Mustashrikun’, dalam P. Bearman et al. (eds), Encyclopaedia 

of Islam, Brill Online, 2007. Diakses 27 Augustus 2007: http://www.encislam.

brill.nl.ezproxy.lib.unimelb.edu.au/subscriber/entry?e ntry=islam_COM-0818.

6 John Allen Jr., ‘Seeking Insight from Muslim/Christian History’, National Catholic 

Reporter: NCRonline.org, 3 November 2006. Diakses 26 Augustus 2007: http://

ncronline.org/NCR_Online/archives2/2006d/110306/110306 m.php.

7 Hartmut Bobzin, ‘Pre-1800 Preoccupations of Qur’anic Studies’, hal. 236 dalam 

Jane Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the Qur’an, vol. 4, Leiden: E.J. 

Brill, 2004, hal. 235–253.

145

yang ingin meniru Injil. Teks lain, yang dikenal sebagai “legenda 

Bahira”, mengklaim bahwa Sergius telah mengajari Muhammad 

dan, sebenarnya, dialah yang memiliki inspirasi riil di balik al-

Qur'an.8 Salah satu tulisan Kristen pertama yang polemis dan 

melawan Islam adalah yang ditulis oleh Teolog Kristen abad ke-

2/8, John dari Damaskus (w.135/753), yang juga diterjemahkan 

ke dalam bahasa Latin. Bagian karya ini yang membahas ‘bid’ah 

dalam Ismailiyah’ (Islam), menyoroti teks al-Qur'an terkait 

poligami dan perceraian, dan kemudian menetapkan preseden 

bagi argumen-argumen Kristen untuk melawan Islam, yang 

kebanyakan terfokus pada isu-isu poligami dan perceraian.9

Selama periode ini, Perang Salib terus menciptakan pandangan 

Eropa tentang Islam sebagai musuh besar Kekristenan. Meskipun 

ilmu pengetahuan tentang Islam terus berkembang, tetapi 

pandangan ini terus didukung oleh Gereja Katolik Romawi, dan 

sentimen anti-Islam terus tumbuh. Dengan demikian, bersamaan 

dengan penerjemahan karya-karya terdahulu yang mengundang 

polemik, gelombang baru tulisan-tulisan anti-Islam juga mulai 

diterbitkan. Salah satu tulisan yang paling awal adalah terjemahan 

al-Qur'an dalam bahasa Latin yang sangat berpengaruh dan 

konfrontatif oleh Robert Ketton (w.530-551/1136-1157), yang 

menjadi terjemahan al-Qur'an berbahasa Latin yang paling 

banyak dipakai sampai abad ke-17.10

8 Richard J.H. Gottheil, ‘A Syriac Bahira Legend’, hal. 237 dalam ‘Proceedings at 

Boston, May 11th, 1887’, Journal of the American Oriental Society, vol. 13, 1889, 

hal. 151–203.

9 Bobzin, ‘Pre-1800 Preoccupations of Qur’anic Studies’, hal. 28–32.

10 G.J. Toomer, Eastern Wisedome and Learning: The Study of Arabic in Seventeenth-

century England, Oxford: Clarendon Press; New York: Oxford University Press, 

1996, hal. 9.

146

Karya berpengaruh lainnya selama periode ini termasuk 

beberapa volume tulisan Arab karya Raymond Lull (w.715/1316), 

yang sebagian besar ditujukan untuk mengkonversi orang-orang 

Muslim kepada agama Kristen.11 Lull sangat menganjurkan 

pengajaran bahasa Arab sebagai bagian dari upaya misionaris 

gereja, dan dia kemudian seringkali disebut-sebut sebagai pendiri 

Orientalisme Barat.12 Imam Dominikan, Riccoldo da Monte 

Croce (w.719/1320), seorang pengkhutbah, juga menghasilkan 

karya ‘klasik’ yang mengkritik al-Qur'an, dan secara sistematis 

merangkum penentangan-penentangan Kristen terhadap al-

Qur'an, dan merupakan karya yang sangat berpengaruh.13

Karena kurun waktunya yang lama, serangan-serangan ini 

telah menjadi hambatan terbesar bagi pemahaman dan apresiasi 

secara murni dan tulus terhadap Islam, Muslim atau al-Qur'an 

oleh orang-orang Kristen Eropa pada level warga  umum. 

Namun, secara akademis, pada kurun waktu ini pulalah seruan 

Lull untuk mengajarkan bahasa Arab akhirnya didengar, dan 

pada tahun 1311, Dewan Wina telah memerintahkan universitas 

Roma, Bologna, Paris, Oxford dan Salamanca untuk mengajarkan 

bahasa Oriental, sehingga terjadi institusionalisasi studi ilmiah 

bahasa Arab di Eropa. Perubahan institusional ini memberikan 

sedikit pengaruh secara praktis yang pada saat itu, tetapi 

menunjukkan jalan di masa yang akan datang untuk memahami 

Islam berdasarkan bahasa teks Arab aslinya.14

11 Toomer, Eastern Wisedome and Learning, hal. 9.

12 Bobzin, ‘Pre-1800 Preoccupations of Qur’anic Studies’, hal. 240.

13 Bobzin, ‘Pre-1800 Preoccupations of Qur’anic Studies’, hal. 241.

14 Toomer, Eastern Wisedome and Learning, hal. 10.

147

Perkembangan Ilmu Pengetahuan tentang Islam 

dan Al-Qur'an Selanjutnya di Barat: Dari Abad ke-15 

Sampai Abad ke-19

Periode Sejarah dan Peristiwanya

Abad ke 15–20 

Kekaisaran Muslim Turki Usmani. Wilayah kekaisaran Turki 

Usmani yang mencakup tiga benua, termasuk Eropa, mendorong 

studi di Eropa tentang Islam dan warga  Muslim untuk 

tujuan militer, politik, ekonomi dan misionaris.

Abad ke-16 

Mesin cetak teks Arab dipasang di Venesia dan Roma.

Studi Oriental dimulai di Universitas Leiden (1575); 

meningkatkan jumlah sarjana Barat dengan pengetahuan 

tentang bahasa Arab.

Abad ke-17 

Paus Alexander VII (1655-1667) melarang produksi al-Qur'an 

berbahasa Latin.

Abad ke-18–19 

Periode Orientalis. Para sarjana Barat mulai menspesialisasikan 

diri dalam studi bahasa, agama dan budaya Oriental.

148

Para Sarjana Terkemuka dan Karya Mereka

Abad ke-15 

John dari Segovia (w.1458). Teolog Katolik Spanyol; menghasilkan 

terjemahan al-Qur'an dalam bahasa Spanyol bersama ahli 

hukum Islam, Isa Dha Jabir (atau Yça Gidelli, w.1450).

Nicholas dari Cusa (w.1464). Kardinal Jerman; menulis Shifting 

the Quran; berpendapat bahwa al-Qur'an adalah pengantar 

penting bagi Injil.

Abad ke-16 

Al-Qur'an berbahasa Arab lengkap dicetak di Italia sekitar tahun 

1538.

Abad ke-17 

William Bedwell (w.1632). Pendeta dan sarjana dari Inggris; 

menghasilkan katalog standar kaum Muslim dalam penamaan 

dan penomoran surat-surat al-Qur'an.

Joseph Justus Scaliger (w.1609). Seorang Arabis terkemuka, 

berpendapat bahwa al-Qur'an harus dibaca untuk memahami 

bahasa dan sejarah.

Abraham Wheelock (w.1653). Menteri Inggris dan profesor 

bahasa Arab; menghasilkan terjemahan dan penyangkalan 

terhadap al-Qur'an.

Abad ke-18 

George Sale (w.1736). Menghasilkan terjemahan al-Qur'an 

berbahasa Inggris pertama, yang langsung diterjemahkan dari 

bahasa Arab.

Abad ke-19 

Gustav Flügel (w.1870). Menerjemahkan al-Qur'an dan 

memperkenalkan sistem penomoran Barat untuk ayat-ayat al-

Qur'an.

149

Periode Utsmani Awal, 1450-1700

Kehadiran kekaisaran Muslim Utsmani (Ottoman) di Eropa 

dari abad ke-15 sampai abad ke-20 mendorong Eropa untuk 

lebih meningkatkan pengetahuan tentang Islam dan warga  

Muslim untuk alasan militer, politik dan ekonomi. Seperti masa-

masa sebelumnya, pembelajaran ini, sampai batas tertentu, 

juga dirancang untuk upaya misionaris Kristen. Dalam gerakan 

mempelajari Islam ini, ada contoh interaksi yang positif dan ada 

juga yang negatif. Misalnya, beberapa orang Eropa, seperti teolog 

Spanyol dan kardinal John dari Segovia (w.1458), termotivasi 

untuk memperdalam pemahaman mereka tentang Islam karena 

ingin menciptakan kehidupan yang rukun dan damai dengan 

umat Islam. Untuk tujuan itu, John dari Segovia lalu mempelajari 

al-Qur'an, dan menyadari akan ketidaksempurnaan terjemahan 

Robert Ketton sebelumnya. Bekerja bersama ahli hukum Islam 

Isa Dha Jabir (atau Yça Gidelli, w.1450) selama empat bulan 

sepanjang musim dingin 1455/56, ia telah menghasilkan 

sebuah terjemahan al-Qur'an baru berbahasa Spanyol, yang 

mencantumkan kritik signifikan terhadap terjemahan Robbet 

Ketton.15

Pada abad ke-16, kekaisaran Utsmani yang masih terus 

berlangsung, dikombinasikan dengan awal kolonisasi Eropa 

terhadap bagian dunia Muslim, memberikan motivasi lebih jauh 

di Barat untuk melanjutkan studi tentang Islam dan al-Qur'an. 

Pusat untuk studi Islam dan bahasa Arab pada saat itu adalah 

di Italia, di mana mesin cetak teks Arab dipasang di Venesia dan 

Roma. Percetakan didirikan sekitar tahun 1.538, bukan untuk 

tujuan kegiatan misionaris, tetapi untuk komersial. Al-Qur'an 

Arab lengkap pertama diterbitkan oleh Paganino de Paganinis, 

15 Encyclopaedia of the Qur’an, hal. 9.

150

sebuah upaya yang meski akhirnya tidak terlalu berhasil dalam 

menjual terbitan al-Qur'an ini  kepada orang-orang Muslim.16

Abad ke-16 juga menjadi saksi diawalinya program yang 

lebih besar dalam studi Islam dan bahasa Arab di universitas. 

Misalnya, Studi Oriental didirikan di Universitas Leiden pada 

tahun 1575, dan, tahun 1593, Joseph Justus Scaliger diangkat 

sebagai guru besar bahasa Arab. Scaliger berpendapat bahwa para 

sarjana harus mengenali al-Qur'an untuk memahami budaya 

Muslim dan bahasa Arab untuk kepentingan mereka sendiri, 

bukan semata-mata untuk tujuan-tujuan polemik.17

Tren ini berlanjut hingga abad ke-17 saat  para sarjana 

seperti John Selden (w.1654), John Gregory (w.1646), Abraham 

Wheelock (w.1653), André du Ryer (w.1660) dan Ludovico 

Marraci (w.1700) menggunakan pengetahuan al-Qur'an mereka 

dalam bentuk bahasa Arab aslinya di dalam kajian keilmuan 

mereka. Misalnya, di Inggris, Selden sering mengutip langsung 

dari al-Qur'an berbahasa Arab dan merujuk pada versi aslinya 

saat  mengkritisi terjemahan Latin Ketton sebelumnya; dan 

Wheelock membuat baik terjemahan al-Qur'an dalam bahasa 

Inggris, maupun sanggahan terhadap al-Qur'an dengan bahasa 

Arab.18 Kemudian di Italia, Marraci harus membuat penyangkalan 

panjang terhadap al-Qur'an sebelum ia mampu mempublikasikan 

sendiri terjemahan al-Qur'annya dalam bahasa Italia yang sangat 

akurat.19 Terjemahan ini, dan banyak terjemahan yang lain, 

diproduksi pada abad ke-17, meskipun keputusan Paus Alexander 

16 Toomer, Eastern Wisedome and Learning, hal. 20.

17 Toomer, Eastern Wisedome and Learning, hal. 43.

18 Toomer, Eastern Wisedome and Learning, hal. 89, 224.

19 Toomer, Eastern Wisedome and Learning, hal. 24–25.

151

VII (1655-1667) secara resmi melarang penerbitan al-Qur'an 

dalam bahasa Latin.20

Periode Orientalis, Abad ke-18 hingga ke-19

Abad ke-18 menjadi saksi peristiwa kolonisasi orang-orang 

Eropa terhadap dunia Muslim, kehadiran kekaisaran Utsmani 

di Eropa, dan awal era Pencerahan. Selama periode ini, berbagai 

versi al-Qur'an mulai dipublikasikan, dan mulai diciptakan istilah 

‘Orientalisme’. Para pemikir Barat mulai mempertanyakan secara 

terbuka dasar-dasar agama, khususnya- Kristiani dan Gereja. 

Di lingkungan semacam inilah filsuf Perancis Voltaire (w.1778) 

menulis dramanya yang berjudul Mahomet: tragédie (1741) dan 

menyatakan bahwa al-Qur'an tidak logis dan tidak bisa dibaca.21

Sementara itu, usaha yang lain juga dilakukan untuk membuat 

Eropa memahami secara lebih jauh terhadap Islam dan al-Qur'an. 

Lembaga pengajaran baru mulai muncul di Paris dan Wina yang 

menyelenggarakan kursus baik bahasa maupun budaya Islam. Di 

Inggris, George Sale (w.1736) menerbitkan terjemahan al-Qur'an 

berbahasa Inggris pertama yang langsung diterjemahkan dari al-

Qur'an bahasa Arab; terjemahan ini masih berpengaruh sampai 

abad ke-20. Pengantar untuk terjemahan Sale ini panjangnya 

hampir 200 halaman, dan membahas kehidupan Nabi, serta 

sejarah Islam, teologi dan hukum. Terjemahan Sale inilah yang 

20 P. Bearman et al. (eds), Encyclopaedia of Islam, hal. 12.

21 Dave Hammerbeck, ‘Voltaire’s Mahomet: The Persistence of Cultural Memory 

and Pre-Modern Orientalism’, AgorA: Online Graduate Humanities Journal, 

vol. 2, no. 2, 27 May 2007. Diakses 27 Augustus 2007: http://www.humanities.

ualberta.ca/agora/Articles.cfm?ArticleNo=154.

152

dibaca dan dikutip dalam karya-karya Thomas Jefferson (w.1826), 

salah satu bapak pendiri Amerika.22

Selama abad ke-19, edisi bilingul al-Qur'an menjadi semakin 

umum, dan Universitas Eropa mulai memperluas program studi 

bahasa Arab dan studi Islam dengan memasukkan analisis al-

Qur'an. Di Eropa, seorang sarjana Jerman, Gustav Flügel (w.1870), 

juga menerbitkan terjemahan al-Qur'an yang sangat penting 

(1834) yang memperkenalkan sistem penomoran baru untuk 

ayat-ayatnya. Sistem ini menjadi standar sistem penomoran ayat 

yang cukup lama dipakai  di Barat.23 Terjemahannya kemudian 

dikritik, khususnya oleh umat Islam, karena mengadopsi suatu 

sistem yang tidak sesuai dengan sistem penomoran Islam yang 

dikenal pada masa itu.24

Karena kuantitas ilmu pengetahuan terus meningkat, studi 

Islam dipindah dari yang awalnya adalah sub-bagian dari studi 

Oriental, menjadi bidang ilmu pengetahuan akademik yang 

independen. Dengan perkembangan ini, terjadilah peningkatan 

dalam bidang studi bahasa Arab, yang menghasilkan berbagai 

macam publikasi tentang sejarah kebudayaan, politik dan 

agama Islam, dan meningkatnya jumlah terjemahan dan analisis 

terhadap teks sejarah dan keagamaan Islam.

22 Kevin J. Hayes, ‘How Thomas Jefferson Read the Qur’an’, iviews.com, 27 January 

2007. Diakses 27 Augustus 2007: http://www.iviews.com/Articles/ articles.

asp?ref=IV0701-3221.

23 Montgomery Watt and Richard Bell, Introduction to the Qur’an, Edinburgh: 

Edinburgh University Press, 1970, hal. 58.

24 Perbedaan anatara sistem Flügel’ dan sistem penomoran standar Mesir sekarang 

dapat dilihat dalam Richard Bell’s Introduction to the Qur’an, Edinburgh: Edinburgh 

University Press, 1953, hal. ix.

153

Ilmu Pengetahuan Kontemporer tentang Islam dan Al-

Qur'an di Barat: Dari Abad ke-20 Sampai Abad ke-21 

Para Sarjana dan Ilmu Pengetahuan di Barat: 

Abad ke 20 sampai ke-21

Theodor Noldeke (w.1930), orang pertama yang menyusun 

surat-surat al-Qur'an secara kronologis.

Richard Bell (w.1952), meyakini al-Qur'an disusun sebelum 

meninggalnya Nabi Muhammad.

John Wansbrough (w.2002), pendukung utama pendekatan 

‘revisionis’, percaya bahwa al-Qur'an disusun sekitar 150 tahun 

setelah meninggalnya Nabi.

Montgomery Watt (w.2006) meyakini al-Qur'an adalah Firman 

Allah untuk waktu dan tempat tertentu.

Christoph Luxenberg percaya bahwa al-Qur'an didasarkan pada 

dokumen liturgi Kristen berbahasa Aramaik.

Patricia Crone dan Michael Cook, dalam awal keilmuan mereka, 

mengklaim Islam adalah sebuah bentuk Yudaisme yang dikenal 

sebagai Hajarisme.

Gerd Puin percaya bahwa beberapa bagian al-Qur'an mungkin 

berusia ratusan tahun lebih tua dari Islam. 

Andrew Rippin percaya bahwa al-Qur'an harus dipahami 

dalam pemahaman monoteistik yang lebih luas, bukan sebatas 

lingkungan Arab saja.

Jane Dammen McAuliffe, editor Ensiklopedia al-Qur'an, yang 

mengedit salah satu karya terpenting mengenai al-Qur'an yang 

mengajak Muslim dan non-Muslim untuk berpikir bersama.

Pada abad ke-20, studi tentang Islam dan warga  

Muslim telah muncul sebagai bidang ilmu pengetahuan Barat 

yang signifikan. Pada periode hampir mutakhir inilah terlihat 

proliferasi ilmu pengetahuan Barat tentang Islam dan al-Qur'an.

154

Pada abad ke-20 dan 21 terjadi perpecahan akibat kesenjangan 

tradisional antara dunia Barat dan dunia Muslim. Hal ini 

mengakibatkan meningkatnya jumlah sarjana yang berkolaborasi 

secara lintas iman dan negara asal, dan mengkombinasikan 

pendekatan Islam tradisional dan pendekatan Barat dalam 

studi mereka tentang Islam dan al-Qur'an. Karena jumlah umat 

Islam yang tinggal di Barat telah meningkat, maka tingkat 

pemahaman para sarjana Barat terhadap Islam dan al-Qur'an 

pun juga meningkat. Sejak Perang Dunia kedua, khususnya, 

studi Islam di universitas-universitas di seluruh dunia Barat 

telah dikembangkan dan diperluas mencakup sejumlah program 

studi, yang berkaitan dengan bahasa, sejarah dan ilmu-ilmu sosial 

Islam.

Selama abad ke-20, ilmu pengetahuan keislaman di Barat telah 

mengembangkan studi al-Qur'an dengan berbagai macam cara 

pendekatan. Banyak sarjana telah mengeksplorasi aspek-aspek 

umum terkait al-Qur'an tanpa mempertimbangkan pandangan 

umat Islam mengenai asal-usulnya. Sementara sarjana yang lain 

mempertanyakan pemahaman tradisional Muslim mengenai asal-

usul al-Qur'an, dengan menerapkan metode yang sama dengan 

apa yang mereka terapkan pada studi Alkitab.

Beberapa sarjana Barat, seperti John Wansbrough, yang 

karyanya sudah dibahas secara singkat dalam bab 3, telah 

mengadopsi sebuah pendekatan bagi studi al-Qur'an dengan 

menggunakan analisis historis kritis, yang sekarang menjadi 

norma bagi studi kitab suci umat Kristen dan Yahudi. Perlu dicatat 

bahwa banyak Muslim telah menolak penggunaan pendekatan 

ini bagi studi al-Qur'an. Penolakan ini sebagian bisa dijelaskan, 

karena, seperti yang dibahas sebelumnya, dalam Islam, al-

Qur'an memiliki kedudukan yang sama seperti keduduan Yesus 

Kristus dalam Kekristenan -sebagai manifestasi ilahiah. Dengan 

demikian, bagi umat Islam, mempertanyakan asal-usul al-Qur'an 

155

mirip dengan mempertanyakan sifat-sifat ilahiah Yesus bagi 

orang Kristen.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Edward Said dalam 

dua kajian utamanya Orientalism25 dan Culture and Imperialism,26 

bahwa penting bagi kita untuk memahami, bahwa setiap bentuk 

studi al-Qur'an, baik oleh orang Muslim maupun oleh sarjana 

Barat, harus selalu dinilai sebagai produk sarjana ini  

berdasarkan sejarah dan kebudayaan mereka sendiri. Menurut 

Said, setiap karya ilmiah tentang Islam akan mencerminkan 

pemahaman budaya, subjektivitas dan prasangka dari sarjana 

yang bersangkutan. Dengan demikian, saat  membahas berbagai 

pandangan ilmiah dalam topik al-Qur'an, atau dalam topik-

topik yang lain, baik oleh Muslim atau non-Muslim, penting 

untuk mencoba melihat bagaimana subjektivitas atau prasangka 

sarjana ini  turut mempengaruhi karya mereka. Memang 

penting untuk tetap menyadari pemahaman dan subjektivitas 

kita sendiri, dan pengaruh dari pemahaman dan subjektivitas 

ini  terhadap pandangan-pandangan dan ilmu pengetahuan 

kita.

Berikut ini kita akan membahas secara singkat karya bebe-

rapa sarjana al-Qur'an di Barat. Kami juga memberikan catatan 

mengenai beberapa sarjana yang lain yang mengadopsi pendekatan 

yang sama, bagi mahasiswa yang ingin mengeksplorasi masalah 

ini secara lebih mendalam.

Theodor Noldeke

Sarjana Jerman Theodor Nöldeke (w.1930) menyebut al-

Qur'an sebagai sebuah buku ‘yang tersusun dari huruf-huruf dan 

kata-kata yang tidak teratur, dan penuh dengan varian di sana-


sini’ sehingga, konsekwensinya, tidak mungkin itu berasal dari 

Tuhan.27 Mungkin karena pandangannya yang buruk terhadap 

al-Qur'an dalam bentuk seperti yang diterima oleh umat Islam 

itu, Nöldeke menjadi salah satu sarjana yang mengawali bekerja 

menata ulang al-Qur'an menjadi bentuk yang lebih kronologis. 

Penataan ulangnya terhadap surat-surat dalam al-Qur'an, yang 

kemudian dipakai oleh Richard Bell dalam penaataan ulangnya 

sediri atas al-Qur'an di kemudian hari, mengasumsikan 

‘perombakan gaya secara progresif, dimulai dengan paragraf-

paragraf ayat yang puitis, dan secara bertahap menjadi lebih 

prosais.’28 Nöldeke menerima koherensi struktural dalam bagian-

bagian inti teks al-Qur'an, tetapi ia memeriksa fraseologi, bentuk, 

dan style paragraf dalam surat-surat al-Qur'an untuk menentukan 

bagaimana konsekwensi perangkaian al-Qur'an selanjutnya.29

Karya Noldeke ini telah dipuji oleh beberapa orang sebagai 

‘studi atas al-Qur'an pertama yang benar-benar ilmiah’30 dan 

dijadikan acuan standar bagi studi al-Qur'an selanjutnya.31 Bell 

berpendapat bahwa Noldeke sangat mendasarkan pada bentuk 

gaya untuk menentukan urutan surat-surat al-Qur'an, dan 

mengasumsikan bahwa emosi dan antusiasme Muhammad 

semakin memudar dan menjadi sangat sederhana. Tetapi dia 

juga mengkritik kegagalan Noldeke untuk mengenali bahwa 


beberapa bagian dalam surat tertentu ada yang salah dalam 

urutan kronologisnya.32

John Wansbrough

Sarjana Inggris John Wansbrough (w. 2002) adalah salah satu 

pendukung utama pendekatan ‘revisionis’ al-Qur'an. Karyanya 

merupakan hasil pengujian terhadap bukti-bukti penerimaan 

dan kanonisasi al-Qur'an. Di antara klaimnya adalah pernyataan 

bahwa al-Qur'an itu belum selesai sampai sekitar 150 tahun 

setelah meninggalnya Nabi, dan pandangan tradisional mengenai 

pengompilasian al-Qur'an hanyalah ‘sejarah penyelamatan’ atau 

mitos yang dahulu diciptakan oleh orang-orang Muslim pada 

periode Bani Umayyah (41-132/661-750).33 Wansbrough berpikir 

bahwa Islam lebih mungkin untuk disebut sebagai sebuah sekte 

yang lahir dari perdebatan dalam tradisi Yahudi-Kristen.34

Sarjana lain yang mengadopsi pendekatan yang agak mirip 

dengan ‘revisionis’ adalah Gerald Hawting, Patricia Crone, 

Michael Cook, Christoph Luxenberg, dan Gerd Puin. Namun, 

orang Islam pada umumnya lebih mengkritik pendekatan 

Wansbrough, yang dipandang kurang mengenali dasar-dasar 

keyakinan Islam terhadap al-Qur'an. Pendekatannya juga telah 

dikritik oleh beberapa sarjana Barat, yang mencatat bahwa jarak 

antara zaman Nabi dan bukti teks al-Qur'an yang paling awal 

sebetulnya jauh lebih pendek dari apa yang ia nyatakan,35 mereka 

juga mempertanyakan asumsi bahwa proses kompilasi al-Qur'an 


sama dengan proses kompilasi Alkitab, yang berlangsung jauh 

lebih lama.36

Patricia Crone dan Michael Cook

Seperti Wansbrough, Patricia Crone dan Michael Cook 

juga mempertanyakan asal-usul al-Qur'an, dan menyatakan 

adanya keterkaitan yang mungkin terjalin dengan Yudaisme. 

Dalam mereka yang kontroversial, Hagarism: The Making of 

the Islamic World,37 Crone dan Cook menyebut Islam sebagai 

“Hajarisme”, berdasarkan klaim Muhammad yang menyatakan 

sebagai keturunan dari budak istri Nabi Ibrahim, Siti Hajar. 

Mereka juga mengklaim bahwa istilah ‘Muslim’ tidak umum 

dipakai  pada awal-awal keislaman, dan bahwa agama Islam 

pada asalnya adalah bentuk Yudaisme yang dipraktekkan oleh 

pengikut Hajar.38 Mereka berpendapat bahwa al-Qur'an pertama 

kali mulai dikompilasi di bawah pemerintahan gubernur al-Hajjaj 

dari Irak, sekitar tahun 85/705,39 dan bahwa ide hijrah, atau 

migrasi Muhammad dan warga  Muslim awal ke Madinah 

pada tahun 622, mungkin menjadi sebuah ide jauh setelah 

meninggalnya Muhammad.40

Meskipun karya mereka menghadirkan beberapa ide baru 

yang menarik, tapi begitu karya ini  dipublikasikan, segera 

terjadi serangan dari sarjana Muslim dan juga non-Muslim, karena 

karya ini  dianggap sangat mengandalkan sumber-sumber 

Islamization: Tombstone Inscriptions, Qur’anic Recitations, and the Problem of 


yang saling bertentangan.41 Wansbrough sendiri tampaknya telah 

mengkritisi asumsi metodologis Crone dan Cook.42 Demikian 

juga Stephen Humphreys, yang mengkritik ‘penggunaan (atau 

penyalahgunaan) sumber-sumber Yunani dan Siria’,43 dan sarjana 

yang lain menganggapnya tidak hanya berbau anti-Islam, tapi 

juga anti-Arab.44 Dalam karya mereka berikutnya, Crone dan 

Cook telah menjauhi klaim-klaim mereka yang kontroversial, 

tetapi masih mempertanyakan baik pandangan-pandangan 

Muslim maupun ortodoksi Barat mengenai sejarah Islam.45

Andrew Rippin

Andrew Rippin juga dikenal karena mempertanyakan 

pandangan tradisional mengenai sejarah Islam. Dia telah dianggap 

sebagai, ‘interpretator Wansbrough yang paling banyak dirujuk’46, 

sebuah hubungan yang dilekatkan karena Rippin mengedit karya 

mutakhir Wansbrough Qur’anic Studies: Sources and Methodes of 

Scriptural Interpretation.47 Argumen yang dikemukakan Rippin 

mengenai sejarah dan interpretasi al-Qur'an antara lain bahwa 

al-Qur'an harus dipahami dalam lingkup monoteistik yang lebih 

luas, bukan semata-mata dalam lingkup lingkungan Arab semata; 


selain itu, juga harus diletakan dalam situasi tradisi sastranya, 

dan pada titik pumpun studi respon-pembaca.48 Karya-karya awal 

Rippin kebanyakan dipublikasikan jadi satu tahun 2001, berjudul 

The Qur’an and Its Interpretative Tradition,49 yang mencakup 22 

artikel Rippin, meliputi banyak sekali topik, mulai dari analisis 

terhadap karya John Wansbrough, hingga pembahasannya 

mengenai hakikat dan perkembangan tradisi tafsir.

Respon terhadap karya Rippin bervariasi. Beberapa sarjana 

menuduh Rippin terkait ‘menyingkirkan sejarah semaunya 

sendiri demi analisis sastra’.50 Karyanya juga dipuji, misalnya oleh 

Norman Calder51 dan Andreas Christmann, yang menggambarkan 

dia sebagai ‘salah satu sarjana yang paling produktif dan 

terkemuka mengenai tafsir awal’.52 Secara umum, karya Rippin 

tentang perkembangan tafsir awal dapat diterima dengan baik, 

dan diakui telah memberikan kontribusi yang berharga bagi ilmu 

pengetahuan al-Qur'an.

Christoph Luxenberg

‘Christoph Luxenberg’ tampaknya merupakan nama samaran 

seorang sarjana Jermanyang juga membantah pandangan Muslim 

ortodoks mengenai al-Qur'an, yang menyatakan bahwa al-Qur'an 

didasarkan pada dokumen liturgi Kristen yang ditulis dalam 


bahasa yang lebih dekat dengan bahasa Aramaik dibanding Arab.53 

Argumen ini didasarkan pada pengetahuan Luxenberg tentang 

bahasa Semit awal dan studinya terhadap salinan-salinan naskah 

al-Qur'an yang paling tua.54 Luxenberg berpendapat bahwa 

pemahaman al-Qur'an saat ini didasarkan pada pemahaman yang 

salah terhadap konteks dan fungsi aslinya. Mungkin salah satu 

klaimnya yang paling terkenal adalah bahwa kata hurin, yang 

sering diartikan teman muda atau perawan di surga, sebenarnya 

adalah kata bahasa Aramaik artinya ‘kismis putih’ atau ‘anggur 

putih’.55

Gerald Hawting, seorang sarjana yang juga mempertanyakan 

pemahaman Islam ortodoks, mengatakan studi Luxenberg 

ini  ‘serampangan’. Hawting mengatakan rekomposisi al-

Qur'an yang diusulkan Luxenberg terlalu banyak menonjolkan 

prakonsepsinya sendiri tentang apa-apa yang harus ada dalam teks 

.56 Hasrat menggebu Luxenberg untuk berusaha mengidentifikasi 

bahasa Aramaik atau Suriah di balik bacaan al-Qur'an juga 

dicurigai oleh para sarjana lain, dan metodologinya dianggap 

‘mengandaikan hasilnya sediri’.57 Terlepas dari semua kritik 

kepadanya, studi Luxenberg dikatakan telah ‘memperkenalkan 

era yang sepenuhnya baru bagi studi al-Qur'an’ di Barat.

Gerd Puin

Berbeda dengan anggapan bahwa al-Qur'an ditulis setelah 

masa Muhammad, cendekiawan Jerman, Gerd Puin berpendapat 

bahwa bagian-bagian al-Qur'an ‘bahkan mungkin seratus tahun 

lebih tua dari Islam itu sendiri’, dan hampir mungkin bahwa al-

Qur'an adalah ‘sekumpulan teks yang tidak sepenuhnya dipahami 

bahkan pada masa Muhammad sekalipun’.59 Pernyataan ini 

didasarkan pada studi Puin terhadap sebagian dari 15.000 

lembaran kertas kuno yang ditemukan di Yaman tahun 1972, dan 

dikatakan mengandung banyak rekaman dan catatan ayat-ayat al-

Qur'an yang diketahui paling tua.60 Puin mengklaim bahwa teks 

al-Qur'an yang ditemukan di Yaman itu memperlihatkan urut-

urutan ayat dan variasi teks yang tidak biasa. Dia percaya bahwa 

seperlima dari teks al-Qur'an ‘tidak dapat dipahami’, dan dengan 

membuktikan bahwa al-Qur'an ‘memiliki sejarah’, ia mengklaim 

bahwa ia akan membuka keterlibatan bagi Muslim dalam diskusi 

tentang al-Qur'an yang tidak mengasumsikannya ‘hanya sebagai 

Firman Tuhan yang tidak berubah.’61

Pandangan Puin tentang manuskrip Yaman yang potensial 

itu diperbincangkan oleh para sarjana al-Qur'an yang lain, yang 

mengakui adanya pengaruh yang sangat potensial, bahwa variasi 

bacaan dan urut-urutan ayat akan membuka pemahaman modern 

terkait sejarah awalnya.62 Namun, mengingat ketidaktersediaan 

manuskrip Yaman pada tahap ini, sulit bagi siapa pun untuk 

menawarkan evaluasi terhadap klaim-klaim Puin ini.


Richard Bell dan William Montgomery Watt 

Dua sarjana Islam dan al-Qur'an yang memiliki dampak 

signifikan terhadap pemahaman Barat mengenai al-Qur'an adalah 

Richard Bell (w.1952) dan Montgomery Watt (w.2006). Kedua 

sarjana inilah yang bertanggung jawab atas karya signifikan, 

the Introduction to the Qur’an, sebuah buku yang ditulis oleh Bell 

dan kemudian direvisi oleh Watt.63 Karya ini menguraikan latar 

belakang sejarah kehidupan dan karakter Nabi Muhammad, dan 

juga menjelaskan pandangan para sarjana Muslim dan Barat 

mengenai sejarah, bentuk dan kronologi al-Qur'an.64

Bell adalah seorang sarjana Islam dan seorang menteri dari 

Gereja Skotlandia. Dia mengabdikan sebagian besar hidupnya 

untuk meneliti kemungkinan pengaruh Kristen terhadap Islam, 

dan struktur, kronologi dan komposisi al-Qur'an. Karya utamanya 

adalah The Qur’an Translaed, with a Critical Rearrangement of the 

surrahs,65 dan dia adalah orang yang dikenal karena menyusun 

kembali teks al-Qur'an, sebagian didasarkan pada urutan yang 

dibuat sebelumya oleh Gustav Flügel dan Theodor Noldeke. Bell 

melihat al-Qur'an sebagai teks kompleks yang layak dikaji secara 

serius, dan berkomentar bahwa hanya sedikit saja buku ‘yang 

memiliki pengaruh yang lebih luas atau lebih dalam pada jiwa 

manusia’.66 Ia juga berpendapat bahwa ‘bentuk al-Qur'an yang 

sekarang ... didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis pada 

masa hidup Muhammad’,67 dan bahwa studi al-Qur'an modern 

‘belum secara serius mempertanyakan keasliannya’.68

Bell, bagaimanapun juga, mempertanyakan keyakinan umat 

Islam bahwa al-Qur'an merupakan firman wahyu yang langsung 

berasal dari Allah. Dia percaya bahwa Muhammad memainkan 

peran penting di balik penyusunan dan penulisan al-Qur'an. 

Muhammad ‘ingin memberikan kepada pengikutnya sesuatu 

yang mirip dengan Alkitab yang dibaca... oleh penganut monoteis 

lainnya’.69 Selanjutnya, Bell meyakini bahwa wahyu mengalami 

cukup banyak revisi selama masa hidup Nabi, dan akhirnya 

disatukan sebagai kitab suci tertulis yang diselesaikan selama 

periode yang ia sebut sebagai “Periode Kitab”, yaitu delapan tahun 

terakhir kehidupan Muhammad di Madinah (ca.2-11/624-632).70

Secara umum, karya-karya Bell dianggap sebagai kontribusi 

yang sangat berharga di bidangnya, yang telah membantu untuk 

menggeser fokus ilmu pengetahuan Barat, dari teori-teori 

tentang al-Qur'an menuju studi tentang teks aktual al-Qur'an 

itu sendiri.71 Tanggapan terhadap aspek-aspek khusus dari karya-

karya keilmuan Bell juga bervariasi. Misalnya, terjemahan al-

Qur'an yang ia ciptakan telah dianggap sebagai perangkat yang 

sangat berguna untuk mendemonstrasikan teori-teorinya, tetapi 

juga telah dikritik oleh para sarjana yang lain termasuk Andrew 

Rippin, yang menyebut terjemahan itu ‘sangat sulit untuk 

67 Bell, Introduction to the Qur’an, dikutip dalam Ibn Warraq (ed.), What the Koran 

Really Says, New York: Prometheus Books, 2002, hal. 549.

68 Bell, Introduction to the Qur’an, hal. 44.

69 Bell, Introduction to the Qur’an, hal. 129.

70 Ibn Warraq, ‘Introduction to Richard Bell’, dalam Ibn Warraq (ed.), What the 

Koran Really Says, hal. 518.

71 Rippin, ‘Review: Reading the Qur’an with Richard Bell’, hal. 639–647.

165

sekedar “dibaca”’, karena kegagalan Bell dalam ‘menyampaikan 

secara langsung pikiran dalam teks’.72

Seperti Bell, pendeta dan sarjana dari Skotlandia Montgomery 

Watt mendedikasikan hidupnya selama bertahun-tahun untuk 

studi ilmiah terkait Islam, dan bertanggung jawab atas revisi 

utama buku Bell yang berjudul Introduction to the Qur’an pada 

tahun 1970. Berbeda dengan Bell, Watt percaya bahwa ‘al-

Qur'an datang dari Allah [dan] itu menginspirasi secara Ilahiah.’73 

Watt percaya bahwa al-Qur'an adalah Firman Tuhan untuk 

waktu dan tempat tertentu, dan seperti Alkitab, perintah yang 

diberikan dalam al-Qur'an adalah valid untuk warga  yang 

dimaksud al-Qur'an ini .74 Dia tidak mendukung untuk 

memperbandingkan antara al-Qur'an dengan Alkitab, dengan 

alasan bahwa al-Qur'an diterima oleh Muhammad ‘dalam kurun 

waktu kurang dari 25 tahun, sementara dari Musa kepada Paulus 

[ada] [masa] sekitar 1.300 tahun’.75 Penghormatannya terhadap 

al-Qur'an tercermin dalam praktik yang dilaporkannya, terkait 

penggunaan bagian-bagian tertentu dari al-Qur'an dan teks-

teks Islam lainnya dalam meditasinya sehari-hari.76 Watt dikenal 

sebagai ‘Orientalis terakhir’77 dan dianggap sebagai figur utama 

dan kontributor utama di Barat dalam studi sejarah Islam.

72 Rippin, ‘Review: Reading the Qur’an with Richard Bell’, hal. 643.

73 Bashir Maan and Alastair McIntosh, ‘Interview: William Montgomery Watt’, The 

Coracle, 3(51), 2000, hal. 8–11, cited at Alastair McIntosh. Diakses: 13 Mei 2007: 

http://www.alastairmcintosh.com/articles/2000_ watt.htm.

74 Maan and McIntosh, ‘Interview: William Montgomery Watt’.

75 Maan and McIntosh, ‘Interview: William Montgomery Watt’.

76 Richard Holloway, ‘Obituary: William Montgomery Watt’, The Guardian, 14 

November 2006.

77 Maan and McIntosh, ‘Interview: William Montgomery Watt’.

166

Sarjana Muslim di Lingkungan Barat

Karena jumlah sarjana Muslim di universitas Barat semakin 

meningkat, maka pendekatan baru terhadap al-Qur'an - yang 

menggabungkan metodologi Islam tradisional dengan teori-teori 

modern di berbagai bidang seperti linguistik dan feminisme 

- mulai dilakukan. Di antara sarjana ini  adalah tokoh-

tokoh seperti Fazlur Rahman, yang memfokuskan sebagian 

besar karyanya pada pertimbangan pentingnya konteks dalam 

penafsiran al-Qur'an; Amina Wadud, seorang sarjana feminis 

al-Qur'an; Mohammed Arkoun, yang menggabungkan berbagai 

disiplin ilmu pengetahuan dalam studinya tentang hermeneutika 

al-Qur'an; Khaled Abou El Fadl, seorang ahli hukum Islam, 

yang sangat kritis terhadap pembacaan al-Qur'an secara literer. 

Karya-karya para sarjana ini  akan dibahas secara lebih 

mendalam pada Bab 12. Sarjana Muslim yang lain yang berada 

di lembaga-lembaga Barat yang telah memberikan kontribusi 

bagi pemahaman kontemporer atas al-Qur'an termasuk sarjana 

Amerika kelahiran Pakistan, Asma Barlas, dan sarjana kelahiran 

Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd, yang pada saat menulis karyanya 

tinggal di Belanda.

Jane Dammen McAuliffe dan Ensiklopedia Al-Qur'an

Meningkatnya jumlah penelitian kolaboratif dalam studi al-

Qur'an saat ini mungkin menjadi sangat terlihat dengan hadirnya 

karya Encyclopedia of the Qur’an, sebuah ensiklopedi online dan 

hardcopy yang pertama kali diterbitkan oleh E.J. Brill pada tahun 

2001. Encyclopaedia ini  berisi tentang karya-karya ilmiah 

utama dari para sarjana Muslim dan non-Muslim di berbagai 

bidang seperti analisis linguistik, retorika dan narasi al-Qur'an. 

Ensiklopedia ini  menyediakan data yang ekstensif tentang 

istilah, konsep, tempat dan sejarah, dan penafsiran seputar 

subjek-subjek dalam lingkup studi al-Qur'an. Karya lima jilid ini 

167

merupakan karya komprehensif pertama, referensi multi-volume 

tentang al-Qur'an yang ditulis dengan bahasa Barat.78

Editor utama ensiklopedia ini, Jane Dammen McAuliffe, 

memperoleh Ph.D. dalam bidang studi Islam pada tahun 1984, 

dan sejak saat itu telah banyak menulis tentang banyak topik 

dalam bidang ini. Sebagian besar karyanya telah difokuskan 

pada al-Qur'an dan interpretasinya, serta sejarah awal Islam dan 

hubungan antara Islam dan Kristen. Misalnya, dalam tulisannya 

yang dipublikasikan pada tahun 1991, Qur’anic Christians: An 

Analysis of Classical and Modern Exegesis,79 McAuliffe di situ 

menganalisis perujukan al-Qur'an secara positif kepada Kristen, 

setelah ia memeriksa dengan cermat sepuluh abad penafsiran-

penafsiran yang dilakukan dalam Islam.

Ringkasan

Beberapa poin penting yang telah kita bahas dalam bab ini 

meliputi:

Pada era pemerintahan Muslim Spanyol, terjadi interaksi 

ilmiah yang signifikan antara komunitas Muslim, Yahudi 

dan Kristen.

Ketertarikan Barat untuk mengkaji Islam secara lebih luas 

dimulai pada sekitar abad ke-11, saat  karya-karya Arab 

mulai banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin.

Awal perkembangan ilmu pengetahuan al-Qur'an di Barat 

mengundang polemik yang besar.

Teori-teori alternatif tentang asal-usul al-Qur'an yang 

dikembangkan di Barat telah mempertanyakan tentang 

78 Jane Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the Qur’an, Leiden: E.J. Brill, 

2001–2006.

79 Jane Dammen McAuliffe, Qur’anic Christians: An Analysis of Classical and Modern 

Exegesis, New York: Cambridge University Press, 1991.

168

kapan al-Qur'an disusun, siapa identitas penulisnya, dan 

dalam bahasa apa al-Qur'an pada asal-mulanya ditulis.

Hari ini, jumlah karya ilmiah-kolaboratif tentang al-Qur'an 

sudah semakin meningkat, dan jumlah sarjana Muslim 

yang bergabung bersama institusi-institusi di Barat, yang 

menggabungkan pendekatan tradisional dan pendekatan 

modern dalam memahami al-Qur'an, juga semakin meningkat 

jumlahnya.

Rekomendasi Bacaan

Jane Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the Qur’an, 

Indeks, 5 volume ditambah index, Leiden: E.J. Brill, 2001-2006.

Ensiklopedia ini berisi hampir 1.000 artikel tentang istilah, 

konsep, sejarah, tokoh, dan penafsiran al-Qur'an. Sejumlah 

sarjana Muslim dan non-Muslim telah berkontribusi 

memberikan tulisan tentang tema-tema atau subyek-subjek 

terpenting dalam studi al-Qur'an. Ensiklopeia ini merupakan 

karya multi-volume dan referensi komprehensif pertama 

tentang al-Qur'an yang ditulis dalam bahasa Barat.

Andrew Rippin, Muslim: Their Relegious Beliefs and Practices, 

3th Edition, London: Routledge, 2005.

Dalam buku ini Rippin memaparkan mengenai pemikiran 

dan sejarah Islam, semenjak periode pembentukannya 

sampai sekarang. Dia mengadopsi pendekatan kritis terhadap 

Islam, dan memberikan perhatian khusus terhadap sumber 

al-Qur'an dan hadits. Rippin juga menguraikan interaksi 

Muslim dengan kedua sumber ini  dan dampak dan 

pengaruhnya terhadap pengembangan dan formasi teologi 

dan hukum, mulai dari periode abad pertengahan sampai 

zaman modern.

169

John Wansbrough, Qur’anic Studies: Sources and Methodes of 

Scriptural Interpretation, Oxford: Oxford University Press, 1977; 

dicetak ulang, New York: Prometheus Books, 2004 dengan kata 

pengantar yang baru dan catatan oleh Andrew Rippin.

Dalam buku ini Wansbrough menggunakan teknik kritik-

biblikal untuk menganalisis al-Qur'an. Dia mengusulkan agar 

studi Islam harus dibagi menjadi kitab kuno, propetologi, 

dan bahasa suci. Wansbrough kemudian fokus pada analisis 

al-Qur'an, sehingga ia kemudian mengembangkan semacam 

penafsiran kitab suci Islam berdasarkan analisis bentuk. 

Dalam edisi cetak ulang tahun 2004, Andrew Rippin telah 

menambahkan kata pengantar dan beberapa catatan 

panduan subtansial yang membuat teks ini  lebih 

mudah dipahami.

Montgomery Watt dan Richard Bell, Introduction of the 

Qur’an, Edinburgh: Edinburgh University Press, 2001.

Dalam buku pengantar ini Watt dan Bell meneliti latar 

belakang sejarah al-Qur'an serta karakter Nabi Muhammad. 

Di dalamnya mereka mengemukakan pandangan para sarjana 

Muslim dan non-Muslim dan menjelaskan sejarah, bentuk 

dan kronologi al-Qur'an.


171

Bab 7

Terjemahan Al-Qur'an

TERJEMAH AL-QUR'AN ADALAH SALAH SATU topik yang paling penting dalam kajian al-Qur'an saat ini. Utamanya karena buku yang mungkin pertama kali akan ditemui oleh 

pembaca non-Arab yang berusaha memahami Islam dan kitab 

suci mereka adalah terjemah al-Qur'an. Namun, mayoritas umat 

Muslim tidak menganggap terjemahan al-Qur'an setara dengan 

al-Qur'an. Karena umat Muslim meyakini bahwa al-Qur'an 

diturunkan secara langsung kepada Nabi Muhammad dalam 

bahasa Arab, oleh karenanya pelestarian terhadap bentuk orisinal 

bahasa ini  merupakan hal yang sangat penting. Meski sejak 

permulaan Islam beberapa bagian al-Qur'an telah diterjemahkan 

dalam bahasa non-Arab dan akhir-akhir ini terjemahan telah 

sampai pula pada posisi yang cukup minor dalam keilmuan Islam, 

para ulama terus menekankan pentingnya belajar bahasa Arab 

dan terlibat dengan teks asli daripada mempelajari al-Qur'an 

dalam bentuk terjemahan.

Dalam bab ini kita akan membahas:

Sejarah terjemahan al-Qur'an oleh kaum Muslim dan non-

Muslim;

Perdebatan kaum Muslim antara kelompok pendukung dan 

penentang terjemah al-Qur'an;

172

Perbedaan pendekatan dalam penerjemahan di kalangan 

umat Islam;

Studi kasus terhadap penerjemahan sebagian ayat al-Qur'an 

yang masih diperdebatkan;

Panduan singkat untuk beberapa terjemahan al-Qur'an 

berbahasa Inggris.

Awal Ketertarikan Muslim Dalam Penerjemahan Al-

Qur'an

Pertanyaan ini pada dasarnya telah menarik perhatian 

umat Islam sejak awal abad 1 H / 7 M. Meskipun komunitas 

Muslim awal sebagian besar terdiri dari warga  Arab 

(komunitas yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa 

utama), jumlah orang-orang non-Arab yang konversi ke agama 

Islam terus bertambah, termasuk di dalamnya orang-orang 

yang berbahasa Persia, Berber dan Syria. Dalam tahap-tahap 

awal ini , orang-orang Muslim Arab memegang sentralitas 

kekuasaan dan kendali politik terhadap berbagai komunitas lain; 

mereka seringkali terpilih sebagai khalifah, penguasa, gubernur 

dan jenderal. Sebagai imbasnya, bahasa Arab menjadi bahasa 

administratif, bahasa akademik dan bahasa penguasa, dan secara 

bertahap pengaruhnya merambah hingga seluruh pelosok daerah 

kekuasaan khalifah. Situasi inilah yang menyebabkan sebagian 

besar orang-orang yang pindah ke Islam tidak lari ke terjemahan 

al-Qur'an. Sebaliknya, mereka justru belajar bahasa Arab dan 

dalam beberapa hal bisa dipahami bahwa mereka telah ‘ter-arab-

kan’.

Bagaimanapun sejarah Islam, bahkan sejak masa Nabi, 

telah memberi bukti bahwa pada masa ini  telah muncul 

keinginan untuk menerjemahkan, setidaknya beberapa bagian 

dari al-Qur‘an. Upaya-upaya awal ini  banyak difokuskan 

pada terjemahan dari bahasa Arab ke bahasa Persia. Hal ini 

173

dapat dimengerti mengingat paska dominasi Arab, Persia telah 

memainkan peran penting dalam dimensi budaya dan intelektual 

hingga membentuk formasi peradaban Islam awal. Selain itu, 

Persia juga menjadi rumpun linguistik terbesar kedua yang 

dipakai  umat Islam, setelah rumpun bahasa Arab. Sejarah 

juga telah mencatat bahwa salah satu orang Persia paling awal 

yang melakukan konversi ke agama Islam dan menjadi sahabat 

Nabi, Salman al-Farisi (d.35/656), telah menerjemahkan surah 

pertama dari al-Qur'an yang terdiri dari tujuh ayat ke dalam 

bahasa Persia.1

Terkait dengan ritual ubudiyah (solat), ada  satu 

pandangan yang cukup terkenal yang diatribusikan kepada 

tokoh utama madzhab Hanafi, Abu Hanifah (d.150/767), yang 

mengatakan bahwa dalam keadaan tertentu seorang Muslim 

diperbolehkan membaca al-Qur'an dalam bahasa Persia.2 Hal 

ini diperbolehkan bagi Muslim yang berbahasa Persia untuk 

membaca al-Qur'an dalam bahasa mereka sendiri selama 

melakukan sholat, khususnya yang belum mampu membaca al-

Qur'an dalam bahasa Arab. Abu Hanifah percaya bahwa oleh 

karena sholat merupakan kewajiban dan salah satu rukun Islam, 

seseorang tidak boleh meninggalkan sholat hanya karena mereka 

belum bisa membaca surah pertama dari al-Qur'an -syarat 

minimal dalam sholat- dalam bahasa Arab. Pandangan ini dianut 

oleh ulama selanjutnya seperti Ibn Taymiyyah (d.728/1328) dan 

juga nampak dalam fatwa kontemporer tahun 2005 berikut ini:

Pertanyaan:

Apakah diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk membaca 

atau menghafal al-Qur'an dalam bahasa lain selain Arab?

1 Hdayet Aydar and Necmettn Gökkir, ‘Discussions on the Language of Prayer in 

Turkey: A Modern Version of the Classical Debate’, h. 123–124, Turkish Studies, 

vol. 8, no. 1, 2007, h. 121–136.

2 Aydar and Gökkir, ‘Discussions on the Language of Prayer in Turkey’, h. 125.

174

Jawaban:

Jika seorang Muslim tidak dapat membaca atau menghafal 

al-Qur'an dalam bahasa Arab, maka diperbolehkan baginya 

untuk menggunakan bahasa lain, ini lebih baik daripada 

meninggalkan sama sekali. Allah berfirman: ‘Allah tidak 

membebani seseorang di luar kemampuannya’ (Q.2:286).3

Tradisi Muslim juga menunjukkan bahwa praktik mengu-

raikan makna al-Qur'an dalam bahasa daerah (lokal) setelah 

dibaca dalam bahasa Arab merupakan tradisi yang umum di masa 

awal Islam.4 Beberapa penguasa Arab saat  memperlakukan 

daerah yang baru ditaklukkan terkadang juga memperlihatkan 

perhatiannya dalam menerjemahkan al-Qur'an dalam bahasa 

lokal. Namun tampaknya tidak ada usaha yang dilakukan untuk 

menerjemahkan seluruh isi al-Qur'an ke dalam bahasa lain 

selama periode awal Islam.

Non-Muslim dan Penerjemahan al-Qur'an

Ketertarikan non-Muslim dalam menerjemahkan al-

Qur'an dimulai sejak periode awal Islam, saat  beberapa orang 

Kristen yang tinggal di daerah-daerah seperti Suriah, mulai 

menerjemahkan beberapa bagian dari al-Qur'an ke dalam 

bahasa Syria (Syriah). Mungkin itu merupakan bentuk-bentuk 

terjemahan awal yang dibuat dengan tujuan polemik dan 

terjemahan-terjemahan ini  menjadi sebuah preseden bagi 

kepentingan non-Muslim selanjutnya dalam penerjemahan al-

Qur'an di Eropa.

3 Membaca atau menghafalkan al-Qur'an dalam bahasa selain Arab. Fatwa No. 

89. Fatwas Delivered by Shaikhul-Islam Ahmad Ibn Taimiah.Dipublikasikan pada 

13 Februari 2005. Diakses pada 12 Februari 2007: http://www. qurancomplex.

org/qfatwa/display.asp?f=89&l=eng&ps=subFtwa.

4 Hartmut Bobzin, ‘Translations of the Qur’an’, dalam J.D. McAuliffe (ed.), 

Encyclopaedia of the Qur’an, vol. 5, h. 341.

175

Penerjemahan al-Qur'an pertama di Eropa diperkirakan 

terjadi pada abad ke-12. saat  itu Peter the Venerable, kepala 

Biara dari Cluny (d.1156), sangat tertarik untuk melakukan 

perlawanan terhadap Islam, baik secara teologis maupun 

akademis. Saat itu, banyak orang Eropa melihat Islam sebagai 

ancaman intelektual dan politik. Dengan demikian, dia 

menugaskan tim penerjemah untuk menghasilkan sejumlah 

karya, termasuk terjemah al-Qur‘an berbahasa Latin. Terjemah 

ini selesai pada tahun 1143 oleh orang Inggris Robert of Ketton 

(fl.1136-1157), dan kemudian diterbitkan pada tahun 1543, 

setelah munculnya alat percetakan di Eropa.5

Pada abad ke-16 dan ke-17, penerjemahan al-Qur‘an ke 

dalam bahasa Eropa mulai bergeliat. Terjemah lengkap tertua 

dalam bahasa Eropa telah dilakukan pada tahun 1547 oleh 

orang Italia bernama Andrea Arrivabene, dimana karya ini  

merupakan parafrase terhadap karya terjemahan Ketton 

sebelumnya dalam bahasa Latin.6 Terjemahan-terjemahan 

inilah yang menjadi titik tolak bagi penerjemahan selanjutnya 

pada abad ke-16, ke-17 dan ke-18. Sebagai contoh, pendeta 

Jerman, Salomon Schweigger (d.1622), telah menyelesaikan 

terjemahannya pada tahun 1616. Berdasarkan karya Schweigger 

ini , sebuah terjemah al-Qur'an berbahasa Belanda yang 

masih belum diketahui pengarangnya juga dicetak pada tahun 

1641. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 1647, André 

du Ryer (d.1660) menerjemahkan al-Qur'an dalam bahasa 

Perancis. Pada pertengahan abad ke-17, tepatnya 1649, terjemah 

al-Qur'an pertama kali dalam bahasa Inggris diterbitkan oleh 

penulis Skotlandia Alexander Ross (d.1654),7 dengan judul: The 

5 Bobzin, ‘Translations of the Qur’an’, h. 344.Lihat bab 6 (volume ini) untuk diskusi 

lebih lanjut tentang terjemahan awal dari Bahasa Arab.

6 Bobzin, ‘Translations of the Qur’an’, h. 346.

7 Bobzin, ‘Translations of the Qur’an’, h. 347.

176

Alcoran of Mahomet translated out of Arabique into French, by the 

Sieur Du Ryer . . . And newly Englished, for the satisfaction of all 

that desire to look into the Turkish vanities (London, 1649). Ross 

tidak memiliki pengetahuan sama sekali tentang bahasa Arab dan 

pemahaman terhadap bahasa Perancis juga kurang memadai.8 

Oleh karenanya, terjemahan ini  dianggap sebagai terjemah 

kasar yang mencerminkan kondisi emosional yang ‘sangat anti-

Islam’ dan merefleksikan pendekatan orientalis.9

Pada abad ke-18, terjemahan al-Qur'an langsung dari bahasa 

Arab mulai muncul kembali. Terjemahan paling awal diantaranya 

dilakukan oleh orientalis Inggris seorang ahli hukum, George 

Sale (d.1736), yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1734. 

Terjemahan ini kemudian diikuti oleh terjemahan Claude E. 

Savary (d.1788) ke dalam bahasa Perancis pada tahun 1786, dan 

oleh Friedrich E. S Boysen (d.1800) ke dalam bahasa Jerman 

pada 1773.10 Berbeda dengan terjemahan Kristen sebelumnya, 

karya Sale The Qur’an: Commonly Called the Alkoran of Mohammed 

(London, 1734) masih beredar hingga saat ini, dan telah dicetak 

lebih dari 120 edisi.11 Meskipun dikritik oleh sebagian umat 

Islam karena mengandung sejumlah kekeliruan dan kesalahan 

penerjemahan, dan juga dipakai  untuk tujuan misionaris,12 

karya Sale tetap menjadi standar rujukan bagi pembaca bahasa 

Inggris hingga mendekati akhir abad ke-19.13

8 S.M. Zwemer, Muslim World, 5, 1915, h. 250. Dikutip dari A.R. Kidwai, ‘English 

Translations of the Holy Al-Qur'an– An Annotated Bibliography’, Anti-Ahmadiyya 

Movement in Islam, Oktober 2000. Diakses pada 12 Februari 2007: http://

alhafeez.org/rashid/qtranslate.html.

9 Kidwai, ‘English Translations of the Holy Qur’an’.

10 Bobzin, ‘Translations of the Qur’an’, h. 348–349.

11 Bobzin, ‘Translations of the Qur’an’, h. 348.

12 Kidwai, ‘English Translations of the Holy Qur’an’.

13 Khaleel Mohammed, ‘Assessing English Translations of the Qur’an’, Middle East 

Quarterly, Spring 2005.Diakses pada 12 Februari 2007: http://www. meforum.

177

Sedangkan pada abad ke-19 akhir dan awal abad ke-20, 

terjemah al-Qur'an ke dalam bahasa lain juga muncul, termasuk 

Swedia (1843), Italia (1843), Polandia (1849), Ibrani (1857), 

Rusia (1877), Portugis (1882) dan Spanyol (1907). Dan pada 

selang waktu ini , beberapa sarjana Barat seperti Richard 

Bell (d.1952), Henry Palmer (d.1882), dan Arthur J. Arberry 

(d.1969) mulai memproduksi terjemah al-Qur'an sebagai 

bagian dari kegiatan akademik mereka.14 Dalam beberapa hal, 

terjemahan Arberry ini mendapat simpati yang tinggi baik dari 

sarjana Muslim maupun non-Muslim.

Muslim dan Praktik Penerjemahan al-Qur'an

Seperti yang ditunjukkan sebelumnya, yakni sejak abad 

pertama Islam, bahasa pribumi telah dipakai  untuk 

menyampaikan makna al-Qur‘an kepada mereka yang tidak 

menggunakan bahasa Arab. Terjemah lengkap al-Qur‘an pertama 

kali yang cukup besar diperkirakan terjadi pada abad ke-10 M, di 

mana karya monumental al-Tabari Jami’ al-Bayan diterjemahkan 

ke dalam bahasa Persia. Karya ini kemudian juga diterjemahkan 

ke dalam bahasa Turki.15 Sementara proses penerjemahan terus 

berjalan, pada saat itu pula terjadi perdebatan panjang yang 

menentang adanya praktik penerjemahan al-Qur‘an.

Dalam upaya melawan pandangan bahwa al-Qur‘an tidak 

boleh diterjemahkan, pada abad ke-18, sarjana India Shah Wali 

Allah Dihlawi (d.1762) menulis karya tafsir berbahasa Persia,16 

yang di dalamnya ada  terjemah al-Qur‘an. Beberapa dekade 

kemudian, muncul beberapa terjemah al-Qur'an yang ditulis 

oleh kaum Muslim dengan menggunakan bahasa regional India, 

seperti Urdu (1828), Sindhi (1876), Punjabi (1870), Gujarati 

(1879), Tamil (1884) dan Bengali (1886). Menandai permulaan 

tren baru, terjemah edisi cetak dengan bahasa Turki mulai 

diterbitkan di Kairo pada tahun 1842, dan terjemahan Persia 

edisi cetak pertama kali diproduksi pada tahun 1855 di Tehran.17

Pada paruh pertama abad ke-20, terjemah al-Qur'an edisi 

dicetak mulai muncul di beberapa bagian benua Asia dan Afrika. 

Salah satu terjemah Afrika dalam bahasa Yoruba muncul pada 

tahun 1906 dan dalam bahasa Zanzibar Swahili muncul pada 

tahun 1923. Di bagian Asia Timur dan Utara, al-Qur'an mulai 

diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa seperti, Jepang (1920), 

Melayu (1923), China (1927) dan Indonesia (1928).18 Selama 

periode ini, muallaf Muslim di Eropa juga mulai berkontribusi 

mengembangkan koleksi terjemahan. Contoh pertama dalam 

bahasa Inggris adalah karya yang dipublikasikan tahun 1930 

oleh penulis Inggris Marmaduke Pickthall (d.1936) berjudul The 

Meaning of the Glorious Koran (London, 1930).

Upaya untuk menerjemahkan al-Qur'an ke dalam bahasa 

yang berbeda telah meningkat secara signifikan setelah Perang 

Dunia II, khususnya di kalangan ulama. Sejumlah terjemahan 

bahasa Inggris terkemuka diproduksi pada periode ini, termasuk 

terjemahan Abdullah Yusuf Ali pada tahun 1934, salah satu 

terjemahan yang paling populer di kalangan umat Islam sampai 

saat ini; terjemahan Abdul Majid Daryaba ditahun 1957, 

diterbitkan di Lahore; terjemahan Muhammad Zafrullah Khan 

(London, 1971), yang sampai saat ini masih digemari oleh 

anggota gerakan Ahmadiyah;19 dan Message of the Al-Qur'an 

(Gibraltar,1980), yang ditulis oleh muallaf Muslim Austria 

terkemuka dan juga seorang wartawan, Muhammad Asad 

(d.1992).20

Selanjutnya, terjemah al-Qur'an dengan bahasa Eropa juga 

muncul, termasuk terjemahan dengan bahasa Jerman pada 

1990-an oleh para sarjana Muslim dan, sebelumnya juga ada 

terjemahan dengan bahasa Perancis yang ditulis oleh sarjana 

India Muhammad Hamidullah (1959) dan ulama Afrika Utara 

Sheikh Si Hamza Boubakeur (1972). Kedua terjemahan Perancis 

ini juga memasukan penjelasan rinci dengan bersandar pada 

sumber-sumber tradisional; terjemahan Boubakeur sampai saat 

ini masih populer di kalangan imigran Afrika Utara yang berada 

di Perancis.21 Dan di tahun 1985, muncul terjemahan dengan 

bahasa Inggris Amerika Utara yang ditulis oleh T.B. Irving.

Seperti ditunjukan di atas, abad ke-20 memperlihatkan 

adanya proliferasi terjemahan al-Qur'an baik dilakukan oleh 

Muslim dan non-Muslim.

Beberapa terjemahan al-Qur'an yang utama

 Abad ke-7 Masehi dan seterusnya

Terjemahan pertama beberapa ayat al-Qur'an ke dalam 

bahasa Persia oleh Salman al-Farisi

Upaya lanjutan penerjemahan sebagian al-Qur'an ke dalam 

bahasa-bahasa lokal Muslim

adalah milik salah satu dari dua sub-kelompok yang berbeda – komunitas Muslim 

Ahmadiyah, yang memiliki  cabang di 182 negara dan mengklaim memiliki  

puluhan juta pengikut; atau gerakan Ahmadiyah Lahore, yang memiliki  cabang 

di 17 negara dan pengikut yang tidak diketahui jumlahnya. Kelompok Ahmadiyah 

menganggap mereka sendiri sebagai Muslim tapi tidak diakui sebagai Muslim 

oleh mayoritas kelompok Sunni atau Syiah.

961-976 - Penerjemahan karya monumental tafsir al-Tabari, 

Jami’ al-Bayan, ke dalam bahasa Persia dan kemudian ke 

dalam bahasa Turki

Abad ke-12

1143 - Pertama kalinya terjemahan al-Qur'an dalam bahasa 

Latin oleh Robert of Ketton

Abad ke-16

1547 - Pertama kali terjemah al-Qur'an dalam bahsa Italia oleh 

Andrea Arrivabene. Karya ini bersandar pada terjemahannya 

Ketton

Abad ke-17

1616 - Terjemah al-Qur'an bahasa Jerman oleh Salomon 

Schweigger

1641 - Terjemah al-Qur'an bahasa Belanda oleh seorang 

penerjemah yang masih belum diketahui identitasnya. 

Terjemah ini bersandar pada terjemahan Schweigger

1647 - Terjemah al-Qur'an bahasa Perancis pertama oleh 

André du Ryer

1649 - Terjemah al-Qur'an bahasa Inggris pertama oleh 

penulis Skotlandia Alexander Ross; berdasarkan pada 

terjemahan Perancis du Ryer ini

Terjemah al-Qur'an bahasa Melayu pertama oleh Abd al-Ra’uf 

al-Fansuri

Abad ke-18

1716 - Terjemah al-Qur'an bahasa Rusia oleh Piotr Vasilyevich 

Postnikov; bersandar pada terjemahan Perancis André du 

Ryer

1734 - Terjemahan bahasa Inggris, langsung dari bahasa 

Arab, oleh George Sale

181

1773 - Terjemahan Jerman oleh Friedrich E. Boysen

1776 - Terjemahan Urdu oleh Shah Rafi al-Din

1786 - Terjemahan Perancis oleh Claude E. Savary

Abad ke-19

1843 - Terjemahan Swedia dari bahasa Arab oleh Fredrik 

Crusenstolpe

1844 - Terjemahan Spanyol oleh De Jose Garber de Robles

1877-1879 - Terjemahan Rusia dari bahasa Arab oleh Gordii 

Semyonovich Sablukov

1881-1886 - Terjemahan bahasa Bengali oleh Girish Chandra 

Sen

1879 - Terjemahan bahasa Gujarat oleh Abd al-Qadir ibn 

Luqman

Abad ke-20

1906 - Terjemahan pertama dalam bahasa Yoruba, terjemahan 

cetak pertama dalam bahasa Afrika

1915 - Terjemahan lengkap pertama dengan bahasa Hindi 

modern oleh Ahmad Shah Masihi

1917 - Terjemahan bahasa Inggris oleh Muhammad Ali

1920 - Terjemahan bahasa Jepang pertama oleh Ken-ichi 

Sakamoto; dari terjemahan Inggris

1923 - Terjemah pertama dalam bahasa Swahili oleh Godfrey 

Dale

1927 - Terjemahan lengkap pertama dalam bahasa Cina oleh 

Li Tiezheng, terjemah bersandar pada terjemahan Jepang 

Sakamoto

1930 - Terjemahan bahasa Inggris oleh Marmaduke Pickthall

1934 - Terjemahan bahasa Inggris oleh Abdullah Yusuf Ali

1955 - Terjemahan bahasa Inggris oleh Arthur J. Arberry

182

1955 - Terjemahan bahasa Inggris oleh Sher Ali

1956 - Terjemahan bahasa Inggris oleh N. J. Dawood

1967 - Publikasi bahasa Inggris tafsir Urdu Abul A’la Maududi 

Tafhim al-Qur'an

1972 - Terjemahan Pertama oleh ulama Afrika Utara, Sheikh 

Si Hamza Boubakeur

1977 - Terjemahan bahasa Inggris oleh Muhammad Muhsin 

Khan dan Taqiuddin al-Hilali atas sponsor Saudi

1980 - Terjemahan bahasa Inggris oleh Muhammad Asad

1988 - Terjemahan bahasa Inggris oleh Syed Mir Ahmed Ali 

yang mencerminkan ajaran Syi’ah

2004 - Terjemahan bahasa Inggris oleh M.A.S. Abdel Haleem

Wacana Penerjemahan Muslim

Mengingat kondisi Muslim saat ini yang mayoritas berba-

hasa non-Arab (sekitar 80 persen dari seluruh umat Islam), 

tingkat perdebatan mengenai terjemahan al-Qur'an juga telah 

meningkat. Pendapat Muslim sangat bervariasi dalam masalah 

ini, di antaranya adalah pandangan konservatif yang mengatakan 

bahwa terjemahan al-Qur'an tidak mungkin atau tidak sah untuk 

mengakomodasi perspektif-perspektif yang lebih luas.

Muslim yang berpendapat bahwa al-Qur'an tidak boleh 

diterjemahkan memberikan sejumlah alasan yang mendukung 

pandangan mereka. Misalnya, argumen teologis bahwa al-Qur'an 

adalah firman Allah, dan karenanya memiliki gaya yang unik yang 

tidak dapat ditandingi, bahkan dalam bahasa Arab. Mereka lebih 

jauh berpendapat bahwa sepotong tulisan al-Qur'an tidak akan 

dapat ditiru dalam bahasa Arab, oleh karenanya al-Qur'an tidak 

bisa diganti dalam bahasa yang sama sekali berbeda.

Argumen linguistik yang sering diutarakan adalah 

terjemahan dari satu bahasa ke bahasa lain selalu menemui 

183

kesulitan. Makna sebuah kata dalam satu bahasa mungkin 

tidak sepenuhnya tersampaikan dalam terjemahan, dan ini 

mengakibatkan hilangnya sebagian makna asli. Masalah ini 

kemudian dipersulit dalam kasus makna kata-kata yang terkait 

dengan konteks budaya dan bahasa dalam komunitas tertentu. 

Dalam bahasa Arab, ada beberapa kata yang tidak memiliki  

equivalensi dalam bahasa lain. Sehingga setiap usaha memahami 

makna kata atau kalimat itu semua bersifat perkiraan. Misalnya, 

kata-kata seperti salat (biasanya diterjemahkan sebagai doa) dan 

zakat (biasanya diterjemahkan sebagai sedekah) merupakan kata-

kata yang unik dalam bahasa Arab dan konteks keislaman. Seperti 

sejumlah istilah dalam etika hukum Islam, mereka memiliki 

arti teknis, yang sulit untuk disampaikan melalui terjemahan 

bahasa Inggris. Demikian pula beberapa kata dalam bahasa Arab 

yang mungkin memiliki lebih dari satu makna. Misalnya, kata 

kerja daraba mungkin memiliki makna yang beragam seperti 

‘perjalanan’, ‘mengutuk’, ‘memberi’ atau ‘menyerang’, masing-

masing bergantung pada konteks.22 Keberagaman makna 

ini  sangatlah mustahil direpresentasikan dalam terjemahan 

di mana penerjemah dipaksa untuk memilih satu kata dalam 

bahasa tertentu, dan mungkin penerjemah hanya mampu 

merepresentasikan sebagian kompleksitas dalam uraiannya.

Banyak penerjemah kemudian menjelaskan bahwa karya-

karya mereka merupakan terjemahan dari ‘makna’ al-Qur'an, 

bukan al-Qur'an itu sendiri. Jika itu mungkin, maka yang terakhir 

memiliki  tingkatan yang sama dengan al-Qur'an bahasa Arab, 

sedang yang sebelumnya hanya merupakan interpretasi dari teks. 

Fatwa berikut menggambarkan pandangan ini:

22 Edip Yuksel, ‘Beating Women, or Beating Around the Bush, or…’ Diakses pada 2 

Februari 2007: http://www.yuksel.org/e/religion/unorthodox.htm.

184

Pertanyaan:

Apakah menerjemahkan al-Qur'an atau sebagian ayat ke dalam 

bahasa asing dengan tujuan untuk menyebarluaskan dakwah 

Islam di negara non-Muslim merupakan suatu tindakan yang 

tidak sesuai dengan hukum Islam?

Jawaban:

Segala puji hanya bagi Allah, dan salawat serta salam atas Nabi 

terakhir, Muhammad.

Menerjemahkan al-Qur'an atau beberapa ayat dan semua 

makna yang tersirat di dalamnya adalah hal yang mustahil. 

Terjemah harfiah tidak diperbolehkan karena akan mendistorsi 

makna.

Adapun menerjemahkan makna dari sebuah ayat atau lebih 

dan menunjukkan putusan hukum dan ajaran ke dalam 

bahasa lain seperti bahasa Inggris, Perancis atau bahasa Persia 

dengan tujuan untuk menyebarluaskan makna al-Qur'an dan 

mengajak yang lain untuk percaya terhadapnya, maka itu 

diperbolehkan. Hal itu seperti menjelaskan makna ayat-ayat 

al-Qur'an dalam bahasa Arab. Namun harus ditetapkan bahwa 

penerjemah harus memiliki kemampuan dalam menguraikan 

makna al-Qur'an secara akurat dan menjelaskan hukum-

hukum dan ajarannya.

Jika dia tidak memiliki sarana yang dapat membantunya dalam 

memahami al-Qur'an, atau jika ia tidak memiliki kemampuan 

secara akurat untuk menyampaikan makna seperti dalam 

bahasa lain, dia seharusnya tidak menerjemahkan makna al-

Qur'an. Karena sangat mungkin dia akan mendistorsi makna 

dan tentunya akan dihukum [oleh Allah] bukan diberi pahala.23

23 Hukum tentang penerjemahan al-Qur'an. Fatwa No. 42. Fatwas Issued by the 

Permanent Committee for Scholarly Research and Ifta’, Saudi Arabia. Reference: Fatwa 

No. 833, Volume IV, Page 132. 13 February2005. Diakses pada 12 February 2007: 

http://www.qurancomplex.org/qfatwa/ display.asp?f=42&l=eng&ps=subFtwa.

185

Sejalan dengan gagasan di atas bahwa hanya makna al-Qur‘an 

yang dapat diterjemahkan, pada abad ke-20 seorang Muslim 

British bernama Marmaduke Pickthall berpendapat dalam 

pengantar terjemahannya:

Al-Qur‘an tidak dapat diterjemahkan. Yang demikian adalah 

kepercayaan para ulama’ salaf dan pandangan penulis masa 

kini. Kitab [al-Qur'an] ini diterjemahkan hampir secara harfiah 

dan setiap upaya telah dilakukan untuk memilih bahasa 

yang sesuai. Namun hasilnya tidaklah semulia al-Qur'an, 

khususnya dalam komposisi musikalitas yang hampir tidak 

dapat ditiru, yaitu sumber suara yang menyebabkan seseorang 

mampu mengeluarkan air mata dan kegembiraan yang tiada 

tara. Terjemah ini hanya sebuah upaya untuk menyajikan 

makna al-Qur'an - dan mungkin sesuatu yang berangkat dari 

ketertarikan -dalam bahasa Inggris. Dan ini tidak pernah 

dapat menggantikan al-Qur'an dalam bahasa Arab, juga 

bukandimaksudkan untuk melakukan yang demikian.24

ada  argumen lain yang mengatakan bahwa bahkan 

jika hal itu mungkin untuk menerjemahkan masing-masing 

kata ke dalam bahasa lain, beberapa ciri khas seperti stilistika, 

linguistik dan retorika al-Qur'an yang sangat penting untuk 

memahami maknanya akan terasa hilang. Ini merupakan kasus 

teks-teks sastra dalam bahasa apapun, karena masing-masing 

memiliki ciri khas bahasa dan bentuk ekspresi yang unik. Dalam 

menanggapi pertanyaan tentang masalah ini, sarjana dan mantan 

kepala Komite Fatwa Azhar Mesir, Atiyya Saqr, mengeluarkan 

fatwa yang mencerminkan pemikiran mayoritas umat Islam 

tentang persoalan terkait. Bersamaan dengan saat  memasukan 

beberapa poin serupa dengan yang sudah tercantum di atas, Saqr 

juga menyatakan bahwa:

24 Marmaduke Pickthall, The Meaning of the Glorious Koran, London: George Allen 

& Unwin, 1930; repr. 1957, h. vii.

186

[T]erjemahan al-Qur'an tidak pernah dapat dianggap sebagai 

al-Qur'an itu sendiri, baik dalam prinsip-prinsip maupun 

kesuciannya. Alasannya, terjemahan itu sendiri bukan firman 

Allah yang diturunkan kepada Nabi (perdamaian dan rahmat 

atasnya); tetapi itu adalah kata-kata manusia yang dipakai  

untuk menjelaskanWahyu Ilahi [al-Qur'an].

[. . .]

[T]erjemah salinan al-Qur'an tidak memiliki standar kualitas 

yang tinggi sebagaimana yang asli; terjemah ini  tidak 

memikul beban kemukjizatan yang diturunkan oleh Allah.

[. . .]

Perlu disebutkan bahwa tidak peduli seberapa besar 

terjemahan memiliki efek terhadap seseorang; terjemah 

tidak akan pernah dapat memiliki kesamaan efek retoris dan 

keindahan al-Qur'an.25

Beberapa Muslim berpendapat bahwa karena terjemahan 

langsung tidak mungkin dilakukan, maka setiap upaya 

penerjemahan sebenarnya adalah sebuah bentuk penafsiran dan 

uraian, dan dalam batas tertentu akan dipengaruhi oleh orientasi 

teologis dan ideologis seorang penerjemah. Baik disadari atau 

tidak, ‘bias’ ini seringkali mengakibatkan ketidak akuratan atau 

kekeliruan, terlepas dari upaya penerjemah untuk setia dengan 

teks asli dan makna dari al-Qur'an.

Dengan demikian, sebagian besar Muslim berpendapat 

bahwa hanya ada satu versi al-Qur'an yaitu versi Arab- dengan 

banyak penafsiran, yang menggambarkan proses penerjemahan 

‘makna-makna’ al-Qur'an. Demikian juga, secara umum umat 

Islam tidak merujuk kepada ‘versi’ al-Qur'an (seperti versi 

25 Shaykh Atiyya Saqr, mantan kepala Komite Fatwa al-Azhar (Egypt). 

Menerjemahkan al-Qur'an. Fatwa. 15 November 2006. Diakses pada 12 Februari 

2007: http://www.islamonline.net/servlet/Satellite?pagename=IslamOnline-

English Ask_Scholar/FatwaE/FatwaE&cid=1119503544404.

187

Perancis atau Amerika), karena hal ini  secara tidak langsung 

menyiratkan bahwa ada ‘versi’ yang berbeda dari al-Qur'an asli 

yang dianggap otentik. Mayoritas akan berpendapat bahwa 

hanya ada satu versi al-Qur'an yaitu versi Arab - meskipun ada 

banyak interpretasi.

Jadi bisa diringkas, bahwa meski kaum Muslim banyak yang 

terlibat dalam penerjemahan teks al-Qur'an dengan berbagai 

macam kepentingan dan penekanan sejak masa awal Islam, di 

sana selalu ada  suara-suara Muslim yang juga menentang 

praktik-praktik penerjemahan al-Qur'an, sebagaimana alasan-

alasan yang telah dikemukakan.

Terjemahan: Sebuah Studi Kasus

Untuk menggambarkan kesulitan yang ada  dalam 

usaha penerjemahan al-Qur'an, kita akan melihat perdebatan 

di kalangan umat Islam saat ini, mengenai terjemahan al-Qur'an 

ayat 4:34. Ayat ini sangat populer karena berhubungan dengan 

relasi gender, dan interpretasi terhadapnya banyak menimbulkan 

konflik.

Sebelum melihat beberapa terjemahan ayat ini, akan 

sangat berguna jika mengeksplorasi terlebih dahulu beberapa 

pendekatan umum dalam penerjemahan al-Qur‘an. Dalam 

banyak kasus, penerjemah umumnya mengambil salah satu 

dari tiga kemungkinan pendekatan. Beberapa penerjemah 

mencoba untuk menjelaskan makna al-Qur‘an sebagaimana 

mereka pahami. Meskipun mereka menganggap dirinya bersikap 

objektif, pemilihannya terhadap kata-kata masih dipengaruhi 

oleh cara pandang mereka. Sebagai contoh, banyak penerjemah 

tradisionalis yang mungkin tidak terlalu peduli dengan isu-isu 

kesetaraan gender, dan sering memberikan penafsiran teks yang 

menekankan pemahaman patriarkal dan ketidaksetaraan gender.

188

Sebaliknya, beberapa penerjemah berusaha untuk tetap sadar 

dari pengaruh cara pandang mereka sendiri dengan memberikan 

terjemah se-literal mungkin, dan mengekspresikan pemahaman 

mereka terhadap teks dalam komentar yang terpisah. Meski 

sampai batas tertentu, pilihan akhir kata-kata mereka akan 

tetap dipengaruhi oleh pemahaman mereka sendiri, dan para 

penerjemah umumnya cenderung lebih sadar akan hal ini.

Sedangkan pendekatan ketiga, memasukan frase dan kata-

kata dalam terjemahan yang mencerminkan pendapat mereka 

sendiri, yang sangat mungkin memiliki sedikit relasi terhadap 

makna teks yang sebenarnya. Penerjemahan ini mungkin bisa 

digambarkan sebagai klaim teks terjemah, namun sebenarnya 

mereka menyediakan sebuah terjemahan yang di dalamnya 

ada  komentar mereka sendiri yang dengan sengaja 

dimasukan dalam terjemahan.

Dengan demikian, untuk membedakan berbagai tingkat 

terjemahan, para penerjemah mengungkapkan orientasi khusus 

mereka terhadap isu-isu seperti kesetaraan gender dan dalam 

beberapa kasus, saat  para penerjemah tidak sadar akan bias 

mereka, mungkin akan memberikan pemahaman yang keliru 

terhadap teks al-Qur'an. Contoh-contoh berikut tentang 

terjemahan al-Qur'an mencerminkan pendekatan yang berbeda 

dalam terjemahan dan cara di mana pandangan pribadi seorang 

penerjemah akan nampak jelas melalui pemilihan kata.

Pembacaan Pickthall pada awal abad ke-20 terhadap ayat ini 

(Q.4:34) merupakan perwakilan dari sekian terjemahan yang 

tersedia dalam bahasa Inggris, Pickthall menerjemahkan sebagai 

berikut:

Laki-laki bertanggung jawab atas perempuan, karena 

Allah telah membuat salah satu dari mereka unggul dari 

yang lain, dan karena mereka menafkahkan harta mereka 

(untuk membantu perempuan). Jadi perempuan yang baik 

189

adalah mereka yang patuh, menjaga rahasia yang Allah telah 

menjaganya. Adapun perempuan yang kamu takut akan 

pemberontakannya, maka nasihatilah mereka dan jauhilah 

mereka dengan tempat tidur terpisah, dan caci maki mereka. 

Kemudian jika mereka taat kepadamu, janganlah mencari-cari 

jalan untuk melawan mereka. Sesungguhnya Allah adalah 

Maha Tinggi, Maha, hebat.26

Demikian pula, Muhsin Khan dan Taqiuddin al-Hilali 

memberikan contoh terjemahan yang lebih konservatif. 

Pembacaan mereka menekankan pada perlindungan laki-laki 

terhadap perempuan, dan menambahkan juga bahwa perempuan 

harus benar-benar taat kepada suami mereka dan bahwa 

perempuan harus dipukul ringan jika itu diperlukan:

Laki-laki adalah pelindung dan pengelola perempuan, karena 

Allah telah membuat salah satu dari mereka unggul dari yang 

lain, dan karena mereka menafkahkan (untuk mendukung 

perempuan) dari harta mereka. Oleh karena itu perempuan 

yang benar adalah yang taat patuh (kepada Allah dan kepada 

suami mereka), dan menjaga apa yang Allah perintahkan 

untuk dijaga saat  suami sedang tidak ada (misalnya kesucian 

mereka, properti suami, dll). Adapun orang-orang perempuan 

yang anda lihat berperilaku tidak baik, maka nasihatilah 

mereka (pertama), (selanjutnya) menolak untuk berbagi 

tempat tidur dengan mereka, (dan) lalu pukullah mereka 

(ringan, jika bermanfaat), tetapi jika mereka kembali dalam 

ketaatan, berusahalah untuk tidak melawan mereka (jengkel). 

Sesungguhnya, Allah Maha Tinggi, MahaAgung.27

Muhammad Asad, seorang sarjana modernis, memberikan 

pertimbangan yang cukup hati-hati dan hampir menerjemahkan 

26 Pickthall, The Meaning of the Glorious Koran, h. 97.

27 Muhsin Khan dan Muhammad Al-Hilali (trans.), ‘4: The Women’. Diakses pada 

2 Februari 2007: http://en.quran.nu/.

190

ayat ini  secara harfiah. Dia juga memberikan catatan 

penjelasan ekstensif untuk menyoroti kekhawatiran mengenai 

pembacaan harfiah dari kunci kata ‘idribuhunna’, diterjemahkan 

di bawah ini sebagai ‘pukullah mereka’. Asad menekankan bahwa 

dalam kasus ini, pembacaan literal mungkin bukan yang paling 

tepat.

Laki-laki harus mengurus penuh perempuan dengan karunia 

yang Allah telah memberikan lebih berlimpah kepada para 

laki-laki daripada perempuan, dan dengan apa yang mereka 

nafkahkan dari harta mereka. Dan perempuan yang benar 

adalah orang-orang yang benar-benar saleh, yaitu yang 

menjaga privasi yang Allah [mentakdirkan untuk] jaga.