pewahyuan al-qur'an 4
meskipun pada awalnya hanya memiliki dampak
praktis yang kecil.
142
Ilmuwan Utama dan Ilmu Pengetahuan Barat
Abad ke-8
• Yohanes dari Damaskus (w.135/753). Biarawan Suriah yang
menulis Wrote Heresy of the Ishmaelites, salah satu dari tulisan
awal yang berpolemik terhadap Islam.
Abad ke-9
• Risalah Al-Kindi, sanggahan terhadap al-Qur'an pertama kali
yang lengkap; konon ditulis oleh seorang Kristen Yakobit atau
Nestorian.
Abad ke-12
• Robert Ketton (1136-1157). Seorang pria Inggris yang
menerbitkan terjemahan al-Qur'an pertama kali dalam bahasa
Latin.
Abad ke-14
• Raymond Lull (d.1316). Menulis tulisan Arab te bal yang
ditujukan untuk mengkonversi Muslim ke Kristen, dikenal
sebagai pendiri Orientalisme Barat.
• Riccoldo da Monte Croce (d.1320). Imam Dominikan yang menulis
pengaruh Kristen kecaman dari Al-Qur'an.
Muslim Spanyol 711-1492
Interaksi yang luas antara Muslim, Yahudi dan Kristen di
Eropa pertama kali tercatat pada pemerintahan Muslim Spanyol,
selama periode yang sering disebut oleh kalangan Muslim sebagai
periode Andalusia. Selama ini, budaya dan agama Islam, Kristen
dan Yahudi hidup bersama selama hampir delapan abad. Bagian
yang signifikan dari periode ini adalah, bahwa penduduk Spanyol
dapat hidup secara damai; pengetahuan tentang bahasa Arab
dan sastra pun tersebar luas bahkan sampai di kalangan Kristen
dan Yahudi; dialog dan debat agama juga biasa terjadi. Contoh
143
interaksi yang terjadi antara lain pertemuan antara dokter dan
ulama Muslim, Ibn al-Kattani (w.420/1029), dokter Yahudi,
Hasdai ibn Shaprut (w.380/990) dan uskup Kristen, Rabi’
ibn Zaid (w.350/961), di istana kerajaan untuk mempelajari
De Materia Medica, ‘the book of Dioscorides’, sebuah buku teks
kedokteran pada zaman Yunani Kuno.3 Fokus yang kuat pada
pengembangan ilmu pengetahuan pada zaman itu tercermin
dari keberadaan lebih dari 70 perpustakaan dan ratusan ribu
buku di ibukota Andalusia, Cordoba. Periode panjang yang
berlangsung penuh kedamaian ini mulai menurun pada 1.031,
saat kekhalifahan Cordoba berakhir. Pemerintahan Muslim
secara bertahap berakhir pada abad ke-15, saat seluruh wilayah
Spanyol berada di bawah kendali penguasa Kristen, dan kaum
Islam dan penduduk Yahudi dipaksa meninggalkan agamanya
dan beralih ke dalam agama Kristen.4
Penerjemahan Awal yang Polemis, dan Pengetahuan
tentang Islam di luar Spanyol
saat periode kemunduran Cordoba, orang-orang Eropa
dari luar Spanyol mulai menjalin hubungan secara intensif
dengan Islam dan budaya Muslim. Setelah tertangkapnya Toledo
pada tahun 1085 oleh pasukan Kristen, Uskup Agung Don
Raymundo (1125-1151), dan Benediktus Abbot dari Cluny Petrus
yang Mulia (w.1156), mulai menghimpun para sarjana untuk
menerjemahkan berbagai teks bahasa Arab ke dalam bahasa
3 Mohamed Benchrifa, ‘The Routes of al-Andalus – Tolerance and Convergence’,
UNESCO (halaman diupdate pada: 7/6/2001). Diakses 15 Februari 07: http://
www.unesco.org/culture/al-andalus/html_eng/ben chrifa.shtml.
4 Peter N. Stearns (ed.), The Encyclopedia of World History, edisi ke-6, Boston:
Houghton-Mifflin, 2001, hal. 179. Diakses 30 April 2007: http:// www.
nmhschool.org/tthornton/mehistorydatabase/umayyad_spain.php.
144
Latin, termasuk teks-teks ilmiah dan filosofis dari Andalusia,
dan karya-karya keagamaan seperti penyangkalan-penyangkalan
terhadap al-Qur'an dan, yang terpenting, al-Qur'an itu sendiri.5
Penerjemahan karya-karya awal tentang Islam dan al-
Qur'an pada waktu itu menimbulkan polemik. Penerjemahan
ini dilakukan dalam lingkungan di mana orang-orang Kristen dan
Muslim bersaing untuk menunjukkan keunggulan agama masing-
masing, sekaligus saling menangkal ketidakotentikan masing-
masing. Banyak sarjana Kristen berharap dapat membantah
Islam melalui terjemahan-terjemahan, yang bertujuan untuk
menunjukkan bahwa al-Qur'an adalah sebuah dokumen fabrikan,
yang dibuat oleh Muhammad berdasarkan apa yang diketahuinya
tentang Kristen dan Yahudi. Petrus yang Mulia berpendapat
bahwa orang Kristen seharusnya memerangi Muslim “bukan
dengan angkat senjata sebagaimana yang orang-orang lakukan,
melainkan dengan kata-kata.”6
Di antara teks Arab yang diterjemahkan ini antara lain
sebuah dokumen yang dinamai “Risalah al-Kindi”, yang diyakini
telah ditulis oleh seorang Kristen Yakobit atau Nestorian pada
abad ke-3/ke-9 di bawah nama samaran, al Kindi.7 Teks ini diduga
merupakan sanggahan lengkap pertama terhadap al-Qur'an, yang
menyatakan bahwa al-Qur'an itu tidak orisinil dan dipengaruhi
oleh seorang pendeta Kristen bernama Sergius, atau Nestorius,
5 J.D.J. Waardenburg, ‘Mustashrikun’, dalam P. Bearman et al. (eds), Encyclopaedia
of Islam, Brill Online, 2007. Diakses 27 Augustus 2007: http://www.encislam.
brill.nl.ezproxy.lib.unimelb.edu.au/subscriber/entry?e ntry=islam_COM-0818.
6 John Allen Jr., ‘Seeking Insight from Muslim/Christian History’, National Catholic
Reporter: NCRonline.org, 3 November 2006. Diakses 26 Augustus 2007: http://
ncronline.org/NCR_Online/archives2/2006d/110306/110306 m.php.
7 Hartmut Bobzin, ‘Pre-1800 Preoccupations of Qur’anic Studies’, hal. 236 dalam
Jane Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the Qur’an, vol. 4, Leiden: E.J.
Brill, 2004, hal. 235–253.
145
yang ingin meniru Injil. Teks lain, yang dikenal sebagai “legenda
Bahira”, mengklaim bahwa Sergius telah mengajari Muhammad
dan, sebenarnya, dialah yang memiliki inspirasi riil di balik al-
Qur'an.8 Salah satu tulisan Kristen pertama yang polemis dan
melawan Islam adalah yang ditulis oleh Teolog Kristen abad ke-
2/8, John dari Damaskus (w.135/753), yang juga diterjemahkan
ke dalam bahasa Latin. Bagian karya ini yang membahas ‘bid’ah
dalam Ismailiyah’ (Islam), menyoroti teks al-Qur'an terkait
poligami dan perceraian, dan kemudian menetapkan preseden
bagi argumen-argumen Kristen untuk melawan Islam, yang
kebanyakan terfokus pada isu-isu poligami dan perceraian.9
Selama periode ini, Perang Salib terus menciptakan pandangan
Eropa tentang Islam sebagai musuh besar Kekristenan. Meskipun
ilmu pengetahuan tentang Islam terus berkembang, tetapi
pandangan ini terus didukung oleh Gereja Katolik Romawi, dan
sentimen anti-Islam terus tumbuh. Dengan demikian, bersamaan
dengan penerjemahan karya-karya terdahulu yang mengundang
polemik, gelombang baru tulisan-tulisan anti-Islam juga mulai
diterbitkan. Salah satu tulisan yang paling awal adalah terjemahan
al-Qur'an dalam bahasa Latin yang sangat berpengaruh dan
konfrontatif oleh Robert Ketton (w.530-551/1136-1157), yang
menjadi terjemahan al-Qur'an berbahasa Latin yang paling
banyak dipakai sampai abad ke-17.10
8 Richard J.H. Gottheil, ‘A Syriac Bahira Legend’, hal. 237 dalam ‘Proceedings at
Boston, May 11th, 1887’, Journal of the American Oriental Society, vol. 13, 1889,
hal. 151–203.
9 Bobzin, ‘Pre-1800 Preoccupations of Qur’anic Studies’, hal. 28–32.
10 G.J. Toomer, Eastern Wisedome and Learning: The Study of Arabic in Seventeenth-
century England, Oxford: Clarendon Press; New York: Oxford University Press,
1996, hal. 9.
146
Karya berpengaruh lainnya selama periode ini termasuk
beberapa volume tulisan Arab karya Raymond Lull (w.715/1316),
yang sebagian besar ditujukan untuk mengkonversi orang-orang
Muslim kepada agama Kristen.11 Lull sangat menganjurkan
pengajaran bahasa Arab sebagai bagian dari upaya misionaris
gereja, dan dia kemudian seringkali disebut-sebut sebagai pendiri
Orientalisme Barat.12 Imam Dominikan, Riccoldo da Monte
Croce (w.719/1320), seorang pengkhutbah, juga menghasilkan
karya ‘klasik’ yang mengkritik al-Qur'an, dan secara sistematis
merangkum penentangan-penentangan Kristen terhadap al-
Qur'an, dan merupakan karya yang sangat berpengaruh.13
Karena kurun waktunya yang lama, serangan-serangan ini
telah menjadi hambatan terbesar bagi pemahaman dan apresiasi
secara murni dan tulus terhadap Islam, Muslim atau al-Qur'an
oleh orang-orang Kristen Eropa pada level warga umum.
Namun, secara akademis, pada kurun waktu ini pulalah seruan
Lull untuk mengajarkan bahasa Arab akhirnya didengar, dan
pada tahun 1311, Dewan Wina telah memerintahkan universitas
Roma, Bologna, Paris, Oxford dan Salamanca untuk mengajarkan
bahasa Oriental, sehingga terjadi institusionalisasi studi ilmiah
bahasa Arab di Eropa. Perubahan institusional ini memberikan
sedikit pengaruh secara praktis yang pada saat itu, tetapi
menunjukkan jalan di masa yang akan datang untuk memahami
Islam berdasarkan bahasa teks Arab aslinya.14
11 Toomer, Eastern Wisedome and Learning, hal. 9.
12 Bobzin, ‘Pre-1800 Preoccupations of Qur’anic Studies’, hal. 240.
13 Bobzin, ‘Pre-1800 Preoccupations of Qur’anic Studies’, hal. 241.
14 Toomer, Eastern Wisedome and Learning, hal. 10.
147
Perkembangan Ilmu Pengetahuan tentang Islam
dan Al-Qur'an Selanjutnya di Barat: Dari Abad ke-15
Sampai Abad ke-19
Periode Sejarah dan Peristiwanya
Abad ke 15–20
• Kekaisaran Muslim Turki Usmani. Wilayah kekaisaran Turki
Usmani yang mencakup tiga benua, termasuk Eropa, mendorong
studi di Eropa tentang Islam dan warga Muslim untuk
tujuan militer, politik, ekonomi dan misionaris.
Abad ke-16
• Mesin cetak teks Arab dipasang di Venesia dan Roma.
• Studi Oriental dimulai di Universitas Leiden (1575);
meningkatkan jumlah sarjana Barat dengan pengetahuan
tentang bahasa Arab.
Abad ke-17
• Paus Alexander VII (1655-1667) melarang produksi al-Qur'an
berbahasa Latin.
Abad ke-18–19
• Periode Orientalis. Para sarjana Barat mulai menspesialisasikan
diri dalam studi bahasa, agama dan budaya Oriental.
148
Para Sarjana Terkemuka dan Karya Mereka
Abad ke-15
• John dari Segovia (w.1458). Teolog Katolik Spanyol; menghasilkan
terjemahan al-Qur'an dalam bahasa Spanyol bersama ahli
hukum Islam, Isa Dha Jabir (atau Yça Gidelli, w.1450).
• Nicholas dari Cusa (w.1464). Kardinal Jerman; menulis Shifting
the Quran; berpendapat bahwa al-Qur'an adalah pengantar
penting bagi Injil.
Abad ke-16
• Al-Qur'an berbahasa Arab lengkap dicetak di Italia sekitar tahun
1538.
Abad ke-17
• William Bedwell (w.1632). Pendeta dan sarjana dari Inggris;
menghasilkan katalog standar kaum Muslim dalam penamaan
dan penomoran surat-surat al-Qur'an.
• Joseph Justus Scaliger (w.1609). Seorang Arabis terkemuka,
berpendapat bahwa al-Qur'an harus dibaca untuk memahami
bahasa dan sejarah.
• Abraham Wheelock (w.1653). Menteri Inggris dan profesor
bahasa Arab; menghasilkan terjemahan dan penyangkalan
terhadap al-Qur'an.
Abad ke-18
• George Sale (w.1736). Menghasilkan terjemahan al-Qur'an
berbahasa Inggris pertama, yang langsung diterjemahkan dari
bahasa Arab.
Abad ke-19
• Gustav Flügel (w.1870). Menerjemahkan al-Qur'an dan
memperkenalkan sistem penomoran Barat untuk ayat-ayat al-
Qur'an.
149
Periode Utsmani Awal, 1450-1700
Kehadiran kekaisaran Muslim Utsmani (Ottoman) di Eropa
dari abad ke-15 sampai abad ke-20 mendorong Eropa untuk
lebih meningkatkan pengetahuan tentang Islam dan warga
Muslim untuk alasan militer, politik dan ekonomi. Seperti masa-
masa sebelumnya, pembelajaran ini, sampai batas tertentu,
juga dirancang untuk upaya misionaris Kristen. Dalam gerakan
mempelajari Islam ini, ada contoh interaksi yang positif dan ada
juga yang negatif. Misalnya, beberapa orang Eropa, seperti teolog
Spanyol dan kardinal John dari Segovia (w.1458), termotivasi
untuk memperdalam pemahaman mereka tentang Islam karena
ingin menciptakan kehidupan yang rukun dan damai dengan
umat Islam. Untuk tujuan itu, John dari Segovia lalu mempelajari
al-Qur'an, dan menyadari akan ketidaksempurnaan terjemahan
Robert Ketton sebelumnya. Bekerja bersama ahli hukum Islam
Isa Dha Jabir (atau Yça Gidelli, w.1450) selama empat bulan
sepanjang musim dingin 1455/56, ia telah menghasilkan
sebuah terjemahan al-Qur'an baru berbahasa Spanyol, yang
mencantumkan kritik signifikan terhadap terjemahan Robbet
Ketton.15
Pada abad ke-16, kekaisaran Utsmani yang masih terus
berlangsung, dikombinasikan dengan awal kolonisasi Eropa
terhadap bagian dunia Muslim, memberikan motivasi lebih jauh
di Barat untuk melanjutkan studi tentang Islam dan al-Qur'an.
Pusat untuk studi Islam dan bahasa Arab pada saat itu adalah
di Italia, di mana mesin cetak teks Arab dipasang di Venesia dan
Roma. Percetakan didirikan sekitar tahun 1.538, bukan untuk
tujuan kegiatan misionaris, tetapi untuk komersial. Al-Qur'an
Arab lengkap pertama diterbitkan oleh Paganino de Paganinis,
15 Encyclopaedia of the Qur’an, hal. 9.
150
sebuah upaya yang meski akhirnya tidak terlalu berhasil dalam
menjual terbitan al-Qur'an ini kepada orang-orang Muslim.16
Abad ke-16 juga menjadi saksi diawalinya program yang
lebih besar dalam studi Islam dan bahasa Arab di universitas.
Misalnya, Studi Oriental didirikan di Universitas Leiden pada
tahun 1575, dan, tahun 1593, Joseph Justus Scaliger diangkat
sebagai guru besar bahasa Arab. Scaliger berpendapat bahwa para
sarjana harus mengenali al-Qur'an untuk memahami budaya
Muslim dan bahasa Arab untuk kepentingan mereka sendiri,
bukan semata-mata untuk tujuan-tujuan polemik.17
Tren ini berlanjut hingga abad ke-17 saat para sarjana
seperti John Selden (w.1654), John Gregory (w.1646), Abraham
Wheelock (w.1653), André du Ryer (w.1660) dan Ludovico
Marraci (w.1700) menggunakan pengetahuan al-Qur'an mereka
dalam bentuk bahasa Arab aslinya di dalam kajian keilmuan
mereka. Misalnya, di Inggris, Selden sering mengutip langsung
dari al-Qur'an berbahasa Arab dan merujuk pada versi aslinya
saat mengkritisi terjemahan Latin Ketton sebelumnya; dan
Wheelock membuat baik terjemahan al-Qur'an dalam bahasa
Inggris, maupun sanggahan terhadap al-Qur'an dengan bahasa
Arab.18 Kemudian di Italia, Marraci harus membuat penyangkalan
panjang terhadap al-Qur'an sebelum ia mampu mempublikasikan
sendiri terjemahan al-Qur'annya dalam bahasa Italia yang sangat
akurat.19 Terjemahan ini, dan banyak terjemahan yang lain,
diproduksi pada abad ke-17, meskipun keputusan Paus Alexander
16 Toomer, Eastern Wisedome and Learning, hal. 20.
17 Toomer, Eastern Wisedome and Learning, hal. 43.
18 Toomer, Eastern Wisedome and Learning, hal. 89, 224.
19 Toomer, Eastern Wisedome and Learning, hal. 24–25.
151
VII (1655-1667) secara resmi melarang penerbitan al-Qur'an
dalam bahasa Latin.20
Periode Orientalis, Abad ke-18 hingga ke-19
Abad ke-18 menjadi saksi peristiwa kolonisasi orang-orang
Eropa terhadap dunia Muslim, kehadiran kekaisaran Utsmani
di Eropa, dan awal era Pencerahan. Selama periode ini, berbagai
versi al-Qur'an mulai dipublikasikan, dan mulai diciptakan istilah
‘Orientalisme’. Para pemikir Barat mulai mempertanyakan secara
terbuka dasar-dasar agama, khususnya- Kristiani dan Gereja.
Di lingkungan semacam inilah filsuf Perancis Voltaire (w.1778)
menulis dramanya yang berjudul Mahomet: tragédie (1741) dan
menyatakan bahwa al-Qur'an tidak logis dan tidak bisa dibaca.21
Sementara itu, usaha yang lain juga dilakukan untuk membuat
Eropa memahami secara lebih jauh terhadap Islam dan al-Qur'an.
Lembaga pengajaran baru mulai muncul di Paris dan Wina yang
menyelenggarakan kursus baik bahasa maupun budaya Islam. Di
Inggris, George Sale (w.1736) menerbitkan terjemahan al-Qur'an
berbahasa Inggris pertama yang langsung diterjemahkan dari al-
Qur'an bahasa Arab; terjemahan ini masih berpengaruh sampai
abad ke-20. Pengantar untuk terjemahan Sale ini panjangnya
hampir 200 halaman, dan membahas kehidupan Nabi, serta
sejarah Islam, teologi dan hukum. Terjemahan Sale inilah yang
20 P. Bearman et al. (eds), Encyclopaedia of Islam, hal. 12.
21 Dave Hammerbeck, ‘Voltaire’s Mahomet: The Persistence of Cultural Memory
and Pre-Modern Orientalism’, AgorA: Online Graduate Humanities Journal,
vol. 2, no. 2, 27 May 2007. Diakses 27 Augustus 2007: http://www.humanities.
ualberta.ca/agora/Articles.cfm?ArticleNo=154.
152
dibaca dan dikutip dalam karya-karya Thomas Jefferson (w.1826),
salah satu bapak pendiri Amerika.22
Selama abad ke-19, edisi bilingul al-Qur'an menjadi semakin
umum, dan Universitas Eropa mulai memperluas program studi
bahasa Arab dan studi Islam dengan memasukkan analisis al-
Qur'an. Di Eropa, seorang sarjana Jerman, Gustav Flügel (w.1870),
juga menerbitkan terjemahan al-Qur'an yang sangat penting
(1834) yang memperkenalkan sistem penomoran baru untuk
ayat-ayatnya. Sistem ini menjadi standar sistem penomoran ayat
yang cukup lama dipakai di Barat.23 Terjemahannya kemudian
dikritik, khususnya oleh umat Islam, karena mengadopsi suatu
sistem yang tidak sesuai dengan sistem penomoran Islam yang
dikenal pada masa itu.24
Karena kuantitas ilmu pengetahuan terus meningkat, studi
Islam dipindah dari yang awalnya adalah sub-bagian dari studi
Oriental, menjadi bidang ilmu pengetahuan akademik yang
independen. Dengan perkembangan ini, terjadilah peningkatan
dalam bidang studi bahasa Arab, yang menghasilkan berbagai
macam publikasi tentang sejarah kebudayaan, politik dan
agama Islam, dan meningkatnya jumlah terjemahan dan analisis
terhadap teks sejarah dan keagamaan Islam.
22 Kevin J. Hayes, ‘How Thomas Jefferson Read the Qur’an’, iviews.com, 27 January
2007. Diakses 27 Augustus 2007: http://www.iviews.com/Articles/ articles.
asp?ref=IV0701-3221.
23 Montgomery Watt and Richard Bell, Introduction to the Qur’an, Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1970, hal. 58.
24 Perbedaan anatara sistem Flügel’ dan sistem penomoran standar Mesir sekarang
dapat dilihat dalam Richard Bell’s Introduction to the Qur’an, Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1953, hal. ix.
153
Ilmu Pengetahuan Kontemporer tentang Islam dan Al-
Qur'an di Barat: Dari Abad ke-20 Sampai Abad ke-21
Para Sarjana dan Ilmu Pengetahuan di Barat:
Abad ke 20 sampai ke-21
• Theodor Noldeke (w.1930), orang pertama yang menyusun
surat-surat al-Qur'an secara kronologis.
• Richard Bell (w.1952), meyakini al-Qur'an disusun sebelum
meninggalnya Nabi Muhammad.
• John Wansbrough (w.2002), pendukung utama pendekatan
‘revisionis’, percaya bahwa al-Qur'an disusun sekitar 150 tahun
setelah meninggalnya Nabi.
• Montgomery Watt (w.2006) meyakini al-Qur'an adalah Firman
Allah untuk waktu dan tempat tertentu.
• Christoph Luxenberg percaya bahwa al-Qur'an didasarkan pada
dokumen liturgi Kristen berbahasa Aramaik.
• Patricia Crone dan Michael Cook, dalam awal keilmuan mereka,
mengklaim Islam adalah sebuah bentuk Yudaisme yang dikenal
sebagai Hajarisme.
• Gerd Puin percaya bahwa beberapa bagian al-Qur'an mungkin
berusia ratusan tahun lebih tua dari Islam.
• Andrew Rippin percaya bahwa al-Qur'an harus dipahami
dalam pemahaman monoteistik yang lebih luas, bukan sebatas
lingkungan Arab saja.
• Jane Dammen McAuliffe, editor Ensiklopedia al-Qur'an, yang
mengedit salah satu karya terpenting mengenai al-Qur'an yang
mengajak Muslim dan non-Muslim untuk berpikir bersama.
Pada abad ke-20, studi tentang Islam dan warga
Muslim telah muncul sebagai bidang ilmu pengetahuan Barat
yang signifikan. Pada periode hampir mutakhir inilah terlihat
proliferasi ilmu pengetahuan Barat tentang Islam dan al-Qur'an.
154
Pada abad ke-20 dan 21 terjadi perpecahan akibat kesenjangan
tradisional antara dunia Barat dan dunia Muslim. Hal ini
mengakibatkan meningkatnya jumlah sarjana yang berkolaborasi
secara lintas iman dan negara asal, dan mengkombinasikan
pendekatan Islam tradisional dan pendekatan Barat dalam
studi mereka tentang Islam dan al-Qur'an. Karena jumlah umat
Islam yang tinggal di Barat telah meningkat, maka tingkat
pemahaman para sarjana Barat terhadap Islam dan al-Qur'an
pun juga meningkat. Sejak Perang Dunia kedua, khususnya,
studi Islam di universitas-universitas di seluruh dunia Barat
telah dikembangkan dan diperluas mencakup sejumlah program
studi, yang berkaitan dengan bahasa, sejarah dan ilmu-ilmu sosial
Islam.
Selama abad ke-20, ilmu pengetahuan keislaman di Barat telah
mengembangkan studi al-Qur'an dengan berbagai macam cara
pendekatan. Banyak sarjana telah mengeksplorasi aspek-aspek
umum terkait al-Qur'an tanpa mempertimbangkan pandangan
umat Islam mengenai asal-usulnya. Sementara sarjana yang lain
mempertanyakan pemahaman tradisional Muslim mengenai asal-
usul al-Qur'an, dengan menerapkan metode yang sama dengan
apa yang mereka terapkan pada studi Alkitab.
Beberapa sarjana Barat, seperti John Wansbrough, yang
karyanya sudah dibahas secara singkat dalam bab 3, telah
mengadopsi sebuah pendekatan bagi studi al-Qur'an dengan
menggunakan analisis historis kritis, yang sekarang menjadi
norma bagi studi kitab suci umat Kristen dan Yahudi. Perlu dicatat
bahwa banyak Muslim telah menolak penggunaan pendekatan
ini bagi studi al-Qur'an. Penolakan ini sebagian bisa dijelaskan,
karena, seperti yang dibahas sebelumnya, dalam Islam, al-
Qur'an memiliki kedudukan yang sama seperti keduduan Yesus
Kristus dalam Kekristenan -sebagai manifestasi ilahiah. Dengan
demikian, bagi umat Islam, mempertanyakan asal-usul al-Qur'an
155
mirip dengan mempertanyakan sifat-sifat ilahiah Yesus bagi
orang Kristen.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Edward Said dalam
dua kajian utamanya Orientalism25 dan Culture and Imperialism,26
bahwa penting bagi kita untuk memahami, bahwa setiap bentuk
studi al-Qur'an, baik oleh orang Muslim maupun oleh sarjana
Barat, harus selalu dinilai sebagai produk sarjana ini
berdasarkan sejarah dan kebudayaan mereka sendiri. Menurut
Said, setiap karya ilmiah tentang Islam akan mencerminkan
pemahaman budaya, subjektivitas dan prasangka dari sarjana
yang bersangkutan. Dengan demikian, saat membahas berbagai
pandangan ilmiah dalam topik al-Qur'an, atau dalam topik-
topik yang lain, baik oleh Muslim atau non-Muslim, penting
untuk mencoba melihat bagaimana subjektivitas atau prasangka
sarjana ini turut mempengaruhi karya mereka. Memang
penting untuk tetap menyadari pemahaman dan subjektivitas
kita sendiri, dan pengaruh dari pemahaman dan subjektivitas
ini terhadap pandangan-pandangan dan ilmu pengetahuan
kita.
Berikut ini kita akan membahas secara singkat karya bebe-
rapa sarjana al-Qur'an di Barat. Kami juga memberikan catatan
mengenai beberapa sarjana yang lain yang mengadopsi pendekatan
yang sama, bagi mahasiswa yang ingin mengeksplorasi masalah
ini secara lebih mendalam.
Theodor Noldeke
Sarjana Jerman Theodor Nöldeke (w.1930) menyebut al-
Qur'an sebagai sebuah buku ‘yang tersusun dari huruf-huruf dan
kata-kata yang tidak teratur, dan penuh dengan varian di sana-
sini’ sehingga, konsekwensinya, tidak mungkin itu berasal dari
Tuhan.27 Mungkin karena pandangannya yang buruk terhadap
al-Qur'an dalam bentuk seperti yang diterima oleh umat Islam
itu, Nöldeke menjadi salah satu sarjana yang mengawali bekerja
menata ulang al-Qur'an menjadi bentuk yang lebih kronologis.
Penataan ulangnya terhadap surat-surat dalam al-Qur'an, yang
kemudian dipakai oleh Richard Bell dalam penaataan ulangnya
sediri atas al-Qur'an di kemudian hari, mengasumsikan
‘perombakan gaya secara progresif, dimulai dengan paragraf-
paragraf ayat yang puitis, dan secara bertahap menjadi lebih
prosais.’28 Nöldeke menerima koherensi struktural dalam bagian-
bagian inti teks al-Qur'an, tetapi ia memeriksa fraseologi, bentuk,
dan style paragraf dalam surat-surat al-Qur'an untuk menentukan
bagaimana konsekwensi perangkaian al-Qur'an selanjutnya.29
Karya Noldeke ini telah dipuji oleh beberapa orang sebagai
‘studi atas al-Qur'an pertama yang benar-benar ilmiah’30 dan
dijadikan acuan standar bagi studi al-Qur'an selanjutnya.31 Bell
berpendapat bahwa Noldeke sangat mendasarkan pada bentuk
gaya untuk menentukan urutan surat-surat al-Qur'an, dan
mengasumsikan bahwa emosi dan antusiasme Muhammad
semakin memudar dan menjadi sangat sederhana. Tetapi dia
juga mengkritik kegagalan Noldeke untuk mengenali bahwa
beberapa bagian dalam surat tertentu ada yang salah dalam
urutan kronologisnya.32
John Wansbrough
Sarjana Inggris John Wansbrough (w. 2002) adalah salah satu
pendukung utama pendekatan ‘revisionis’ al-Qur'an. Karyanya
merupakan hasil pengujian terhadap bukti-bukti penerimaan
dan kanonisasi al-Qur'an. Di antara klaimnya adalah pernyataan
bahwa al-Qur'an itu belum selesai sampai sekitar 150 tahun
setelah meninggalnya Nabi, dan pandangan tradisional mengenai
pengompilasian al-Qur'an hanyalah ‘sejarah penyelamatan’ atau
mitos yang dahulu diciptakan oleh orang-orang Muslim pada
periode Bani Umayyah (41-132/661-750).33 Wansbrough berpikir
bahwa Islam lebih mungkin untuk disebut sebagai sebuah sekte
yang lahir dari perdebatan dalam tradisi Yahudi-Kristen.34
Sarjana lain yang mengadopsi pendekatan yang agak mirip
dengan ‘revisionis’ adalah Gerald Hawting, Patricia Crone,
Michael Cook, Christoph Luxenberg, dan Gerd Puin. Namun,
orang Islam pada umumnya lebih mengkritik pendekatan
Wansbrough, yang dipandang kurang mengenali dasar-dasar
keyakinan Islam terhadap al-Qur'an. Pendekatannya juga telah
dikritik oleh beberapa sarjana Barat, yang mencatat bahwa jarak
antara zaman Nabi dan bukti teks al-Qur'an yang paling awal
sebetulnya jauh lebih pendek dari apa yang ia nyatakan,35 mereka
juga mempertanyakan asumsi bahwa proses kompilasi al-Qur'an
sama dengan proses kompilasi Alkitab, yang berlangsung jauh
lebih lama.36
Patricia Crone dan Michael Cook
Seperti Wansbrough, Patricia Crone dan Michael Cook
juga mempertanyakan asal-usul al-Qur'an, dan menyatakan
adanya keterkaitan yang mungkin terjalin dengan Yudaisme.
Dalam mereka yang kontroversial, Hagarism: The Making of
the Islamic World,37 Crone dan Cook menyebut Islam sebagai
“Hajarisme”, berdasarkan klaim Muhammad yang menyatakan
sebagai keturunan dari budak istri Nabi Ibrahim, Siti Hajar.
Mereka juga mengklaim bahwa istilah ‘Muslim’ tidak umum
dipakai pada awal-awal keislaman, dan bahwa agama Islam
pada asalnya adalah bentuk Yudaisme yang dipraktekkan oleh
pengikut Hajar.38 Mereka berpendapat bahwa al-Qur'an pertama
kali mulai dikompilasi di bawah pemerintahan gubernur al-Hajjaj
dari Irak, sekitar tahun 85/705,39 dan bahwa ide hijrah, atau
migrasi Muhammad dan warga Muslim awal ke Madinah
pada tahun 622, mungkin menjadi sebuah ide jauh setelah
meninggalnya Muhammad.40
Meskipun karya mereka menghadirkan beberapa ide baru
yang menarik, tapi begitu karya ini dipublikasikan, segera
terjadi serangan dari sarjana Muslim dan juga non-Muslim, karena
karya ini dianggap sangat mengandalkan sumber-sumber
Islamization: Tombstone Inscriptions, Qur’anic Recitations, and the Problem of
yang saling bertentangan.41 Wansbrough sendiri tampaknya telah
mengkritisi asumsi metodologis Crone dan Cook.42 Demikian
juga Stephen Humphreys, yang mengkritik ‘penggunaan (atau
penyalahgunaan) sumber-sumber Yunani dan Siria’,43 dan sarjana
yang lain menganggapnya tidak hanya berbau anti-Islam, tapi
juga anti-Arab.44 Dalam karya mereka berikutnya, Crone dan
Cook telah menjauhi klaim-klaim mereka yang kontroversial,
tetapi masih mempertanyakan baik pandangan-pandangan
Muslim maupun ortodoksi Barat mengenai sejarah Islam.45
Andrew Rippin
Andrew Rippin juga dikenal karena mempertanyakan
pandangan tradisional mengenai sejarah Islam. Dia telah dianggap
sebagai, ‘interpretator Wansbrough yang paling banyak dirujuk’46,
sebuah hubungan yang dilekatkan karena Rippin mengedit karya
mutakhir Wansbrough Qur’anic Studies: Sources and Methodes of
Scriptural Interpretation.47 Argumen yang dikemukakan Rippin
mengenai sejarah dan interpretasi al-Qur'an antara lain bahwa
al-Qur'an harus dipahami dalam lingkup monoteistik yang lebih
luas, bukan semata-mata dalam lingkup lingkungan Arab semata;
selain itu, juga harus diletakan dalam situasi tradisi sastranya,
dan pada titik pumpun studi respon-pembaca.48 Karya-karya awal
Rippin kebanyakan dipublikasikan jadi satu tahun 2001, berjudul
The Qur’an and Its Interpretative Tradition,49 yang mencakup 22
artikel Rippin, meliputi banyak sekali topik, mulai dari analisis
terhadap karya John Wansbrough, hingga pembahasannya
mengenai hakikat dan perkembangan tradisi tafsir.
Respon terhadap karya Rippin bervariasi. Beberapa sarjana
menuduh Rippin terkait ‘menyingkirkan sejarah semaunya
sendiri demi analisis sastra’.50 Karyanya juga dipuji, misalnya oleh
Norman Calder51 dan Andreas Christmann, yang menggambarkan
dia sebagai ‘salah satu sarjana yang paling produktif dan
terkemuka mengenai tafsir awal’.52 Secara umum, karya Rippin
tentang perkembangan tafsir awal dapat diterima dengan baik,
dan diakui telah memberikan kontribusi yang berharga bagi ilmu
pengetahuan al-Qur'an.
Christoph Luxenberg
‘Christoph Luxenberg’ tampaknya merupakan nama samaran
seorang sarjana Jermanyang juga membantah pandangan Muslim
ortodoks mengenai al-Qur'an, yang menyatakan bahwa al-Qur'an
didasarkan pada dokumen liturgi Kristen yang ditulis dalam
bahasa yang lebih dekat dengan bahasa Aramaik dibanding Arab.53
Argumen ini didasarkan pada pengetahuan Luxenberg tentang
bahasa Semit awal dan studinya terhadap salinan-salinan naskah
al-Qur'an yang paling tua.54 Luxenberg berpendapat bahwa
pemahaman al-Qur'an saat ini didasarkan pada pemahaman yang
salah terhadap konteks dan fungsi aslinya. Mungkin salah satu
klaimnya yang paling terkenal adalah bahwa kata hurin, yang
sering diartikan teman muda atau perawan di surga, sebenarnya
adalah kata bahasa Aramaik artinya ‘kismis putih’ atau ‘anggur
putih’.55
Gerald Hawting, seorang sarjana yang juga mempertanyakan
pemahaman Islam ortodoks, mengatakan studi Luxenberg
ini ‘serampangan’. Hawting mengatakan rekomposisi al-
Qur'an yang diusulkan Luxenberg terlalu banyak menonjolkan
prakonsepsinya sendiri tentang apa-apa yang harus ada dalam teks
.56 Hasrat menggebu Luxenberg untuk berusaha mengidentifikasi
bahasa Aramaik atau Suriah di balik bacaan al-Qur'an juga
dicurigai oleh para sarjana lain, dan metodologinya dianggap
‘mengandaikan hasilnya sediri’.57 Terlepas dari semua kritik
kepadanya, studi Luxenberg dikatakan telah ‘memperkenalkan
era yang sepenuhnya baru bagi studi al-Qur'an’ di Barat.
Gerd Puin
Berbeda dengan anggapan bahwa al-Qur'an ditulis setelah
masa Muhammad, cendekiawan Jerman, Gerd Puin berpendapat
bahwa bagian-bagian al-Qur'an ‘bahkan mungkin seratus tahun
lebih tua dari Islam itu sendiri’, dan hampir mungkin bahwa al-
Qur'an adalah ‘sekumpulan teks yang tidak sepenuhnya dipahami
bahkan pada masa Muhammad sekalipun’.59 Pernyataan ini
didasarkan pada studi Puin terhadap sebagian dari 15.000
lembaran kertas kuno yang ditemukan di Yaman tahun 1972, dan
dikatakan mengandung banyak rekaman dan catatan ayat-ayat al-
Qur'an yang diketahui paling tua.60 Puin mengklaim bahwa teks
al-Qur'an yang ditemukan di Yaman itu memperlihatkan urut-
urutan ayat dan variasi teks yang tidak biasa. Dia percaya bahwa
seperlima dari teks al-Qur'an ‘tidak dapat dipahami’, dan dengan
membuktikan bahwa al-Qur'an ‘memiliki sejarah’, ia mengklaim
bahwa ia akan membuka keterlibatan bagi Muslim dalam diskusi
tentang al-Qur'an yang tidak mengasumsikannya ‘hanya sebagai
Firman Tuhan yang tidak berubah.’61
Pandangan Puin tentang manuskrip Yaman yang potensial
itu diperbincangkan oleh para sarjana al-Qur'an yang lain, yang
mengakui adanya pengaruh yang sangat potensial, bahwa variasi
bacaan dan urut-urutan ayat akan membuka pemahaman modern
terkait sejarah awalnya.62 Namun, mengingat ketidaktersediaan
manuskrip Yaman pada tahap ini, sulit bagi siapa pun untuk
menawarkan evaluasi terhadap klaim-klaim Puin ini.
Richard Bell dan William Montgomery Watt
Dua sarjana Islam dan al-Qur'an yang memiliki dampak
signifikan terhadap pemahaman Barat mengenai al-Qur'an adalah
Richard Bell (w.1952) dan Montgomery Watt (w.2006). Kedua
sarjana inilah yang bertanggung jawab atas karya signifikan,
the Introduction to the Qur’an, sebuah buku yang ditulis oleh Bell
dan kemudian direvisi oleh Watt.63 Karya ini menguraikan latar
belakang sejarah kehidupan dan karakter Nabi Muhammad, dan
juga menjelaskan pandangan para sarjana Muslim dan Barat
mengenai sejarah, bentuk dan kronologi al-Qur'an.64
Bell adalah seorang sarjana Islam dan seorang menteri dari
Gereja Skotlandia. Dia mengabdikan sebagian besar hidupnya
untuk meneliti kemungkinan pengaruh Kristen terhadap Islam,
dan struktur, kronologi dan komposisi al-Qur'an. Karya utamanya
adalah The Qur’an Translaed, with a Critical Rearrangement of the
surrahs,65 dan dia adalah orang yang dikenal karena menyusun
kembali teks al-Qur'an, sebagian didasarkan pada urutan yang
dibuat sebelumya oleh Gustav Flügel dan Theodor Noldeke. Bell
melihat al-Qur'an sebagai teks kompleks yang layak dikaji secara
serius, dan berkomentar bahwa hanya sedikit saja buku ‘yang
memiliki pengaruh yang lebih luas atau lebih dalam pada jiwa
manusia’.66 Ia juga berpendapat bahwa ‘bentuk al-Qur'an yang
sekarang ... didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis pada
masa hidup Muhammad’,67 dan bahwa studi al-Qur'an modern
‘belum secara serius mempertanyakan keasliannya’.68
Bell, bagaimanapun juga, mempertanyakan keyakinan umat
Islam bahwa al-Qur'an merupakan firman wahyu yang langsung
berasal dari Allah. Dia percaya bahwa Muhammad memainkan
peran penting di balik penyusunan dan penulisan al-Qur'an.
Muhammad ‘ingin memberikan kepada pengikutnya sesuatu
yang mirip dengan Alkitab yang dibaca... oleh penganut monoteis
lainnya’.69 Selanjutnya, Bell meyakini bahwa wahyu mengalami
cukup banyak revisi selama masa hidup Nabi, dan akhirnya
disatukan sebagai kitab suci tertulis yang diselesaikan selama
periode yang ia sebut sebagai “Periode Kitab”, yaitu delapan tahun
terakhir kehidupan Muhammad di Madinah (ca.2-11/624-632).70
Secara umum, karya-karya Bell dianggap sebagai kontribusi
yang sangat berharga di bidangnya, yang telah membantu untuk
menggeser fokus ilmu pengetahuan Barat, dari teori-teori
tentang al-Qur'an menuju studi tentang teks aktual al-Qur'an
itu sendiri.71 Tanggapan terhadap aspek-aspek khusus dari karya-
karya keilmuan Bell juga bervariasi. Misalnya, terjemahan al-
Qur'an yang ia ciptakan telah dianggap sebagai perangkat yang
sangat berguna untuk mendemonstrasikan teori-teorinya, tetapi
juga telah dikritik oleh para sarjana yang lain termasuk Andrew
Rippin, yang menyebut terjemahan itu ‘sangat sulit untuk
67 Bell, Introduction to the Qur’an, dikutip dalam Ibn Warraq (ed.), What the Koran
Really Says, New York: Prometheus Books, 2002, hal. 549.
68 Bell, Introduction to the Qur’an, hal. 44.
69 Bell, Introduction to the Qur’an, hal. 129.
70 Ibn Warraq, ‘Introduction to Richard Bell’, dalam Ibn Warraq (ed.), What the
Koran Really Says, hal. 518.
71 Rippin, ‘Review: Reading the Qur’an with Richard Bell’, hal. 639–647.
165
sekedar “dibaca”’, karena kegagalan Bell dalam ‘menyampaikan
secara langsung pikiran dalam teks’.72
Seperti Bell, pendeta dan sarjana dari Skotlandia Montgomery
Watt mendedikasikan hidupnya selama bertahun-tahun untuk
studi ilmiah terkait Islam, dan bertanggung jawab atas revisi
utama buku Bell yang berjudul Introduction to the Qur’an pada
tahun 1970. Berbeda dengan Bell, Watt percaya bahwa ‘al-
Qur'an datang dari Allah [dan] itu menginspirasi secara Ilahiah.’73
Watt percaya bahwa al-Qur'an adalah Firman Tuhan untuk
waktu dan tempat tertentu, dan seperti Alkitab, perintah yang
diberikan dalam al-Qur'an adalah valid untuk warga yang
dimaksud al-Qur'an ini .74 Dia tidak mendukung untuk
memperbandingkan antara al-Qur'an dengan Alkitab, dengan
alasan bahwa al-Qur'an diterima oleh Muhammad ‘dalam kurun
waktu kurang dari 25 tahun, sementara dari Musa kepada Paulus
[ada] [masa] sekitar 1.300 tahun’.75 Penghormatannya terhadap
al-Qur'an tercermin dalam praktik yang dilaporkannya, terkait
penggunaan bagian-bagian tertentu dari al-Qur'an dan teks-
teks Islam lainnya dalam meditasinya sehari-hari.76 Watt dikenal
sebagai ‘Orientalis terakhir’77 dan dianggap sebagai figur utama
dan kontributor utama di Barat dalam studi sejarah Islam.
72 Rippin, ‘Review: Reading the Qur’an with Richard Bell’, hal. 643.
73 Bashir Maan and Alastair McIntosh, ‘Interview: William Montgomery Watt’, The
Coracle, 3(51), 2000, hal. 8–11, cited at Alastair McIntosh. Diakses: 13 Mei 2007:
http://www.alastairmcintosh.com/articles/2000_ watt.htm.
74 Maan and McIntosh, ‘Interview: William Montgomery Watt’.
75 Maan and McIntosh, ‘Interview: William Montgomery Watt’.
76 Richard Holloway, ‘Obituary: William Montgomery Watt’, The Guardian, 14
November 2006.
77 Maan and McIntosh, ‘Interview: William Montgomery Watt’.
166
Sarjana Muslim di Lingkungan Barat
Karena jumlah sarjana Muslim di universitas Barat semakin
meningkat, maka pendekatan baru terhadap al-Qur'an - yang
menggabungkan metodologi Islam tradisional dengan teori-teori
modern di berbagai bidang seperti linguistik dan feminisme
- mulai dilakukan. Di antara sarjana ini adalah tokoh-
tokoh seperti Fazlur Rahman, yang memfokuskan sebagian
besar karyanya pada pertimbangan pentingnya konteks dalam
penafsiran al-Qur'an; Amina Wadud, seorang sarjana feminis
al-Qur'an; Mohammed Arkoun, yang menggabungkan berbagai
disiplin ilmu pengetahuan dalam studinya tentang hermeneutika
al-Qur'an; Khaled Abou El Fadl, seorang ahli hukum Islam,
yang sangat kritis terhadap pembacaan al-Qur'an secara literer.
Karya-karya para sarjana ini akan dibahas secara lebih
mendalam pada Bab 12. Sarjana Muslim yang lain yang berada
di lembaga-lembaga Barat yang telah memberikan kontribusi
bagi pemahaman kontemporer atas al-Qur'an termasuk sarjana
Amerika kelahiran Pakistan, Asma Barlas, dan sarjana kelahiran
Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd, yang pada saat menulis karyanya
tinggal di Belanda.
Jane Dammen McAuliffe dan Ensiklopedia Al-Qur'an
Meningkatnya jumlah penelitian kolaboratif dalam studi al-
Qur'an saat ini mungkin menjadi sangat terlihat dengan hadirnya
karya Encyclopedia of the Qur’an, sebuah ensiklopedi online dan
hardcopy yang pertama kali diterbitkan oleh E.J. Brill pada tahun
2001. Encyclopaedia ini berisi tentang karya-karya ilmiah
utama dari para sarjana Muslim dan non-Muslim di berbagai
bidang seperti analisis linguistik, retorika dan narasi al-Qur'an.
Ensiklopedia ini menyediakan data yang ekstensif tentang
istilah, konsep, tempat dan sejarah, dan penafsiran seputar
subjek-subjek dalam lingkup studi al-Qur'an. Karya lima jilid ini
167
merupakan karya komprehensif pertama, referensi multi-volume
tentang al-Qur'an yang ditulis dengan bahasa Barat.78
Editor utama ensiklopedia ini, Jane Dammen McAuliffe,
memperoleh Ph.D. dalam bidang studi Islam pada tahun 1984,
dan sejak saat itu telah banyak menulis tentang banyak topik
dalam bidang ini. Sebagian besar karyanya telah difokuskan
pada al-Qur'an dan interpretasinya, serta sejarah awal Islam dan
hubungan antara Islam dan Kristen. Misalnya, dalam tulisannya
yang dipublikasikan pada tahun 1991, Qur’anic Christians: An
Analysis of Classical and Modern Exegesis,79 McAuliffe di situ
menganalisis perujukan al-Qur'an secara positif kepada Kristen,
setelah ia memeriksa dengan cermat sepuluh abad penafsiran-
penafsiran yang dilakukan dalam Islam.
Ringkasan
Beberapa poin penting yang telah kita bahas dalam bab ini
meliputi:
• Pada era pemerintahan Muslim Spanyol, terjadi interaksi
ilmiah yang signifikan antara komunitas Muslim, Yahudi
dan Kristen.
• Ketertarikan Barat untuk mengkaji Islam secara lebih luas
dimulai pada sekitar abad ke-11, saat karya-karya Arab
mulai banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin.
• Awal perkembangan ilmu pengetahuan al-Qur'an di Barat
mengundang polemik yang besar.
• Teori-teori alternatif tentang asal-usul al-Qur'an yang
dikembangkan di Barat telah mempertanyakan tentang
78 Jane Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the Qur’an, Leiden: E.J. Brill,
2001–2006.
79 Jane Dammen McAuliffe, Qur’anic Christians: An Analysis of Classical and Modern
Exegesis, New York: Cambridge University Press, 1991.
168
kapan al-Qur'an disusun, siapa identitas penulisnya, dan
dalam bahasa apa al-Qur'an pada asal-mulanya ditulis.
• Hari ini, jumlah karya ilmiah-kolaboratif tentang al-Qur'an
sudah semakin meningkat, dan jumlah sarjana Muslim
yang bergabung bersama institusi-institusi di Barat, yang
menggabungkan pendekatan tradisional dan pendekatan
modern dalam memahami al-Qur'an, juga semakin meningkat
jumlahnya.
Rekomendasi Bacaan
Jane Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the Qur’an,
Indeks, 5 volume ditambah index, Leiden: E.J. Brill, 2001-2006.
• Ensiklopedia ini berisi hampir 1.000 artikel tentang istilah,
konsep, sejarah, tokoh, dan penafsiran al-Qur'an. Sejumlah
sarjana Muslim dan non-Muslim telah berkontribusi
memberikan tulisan tentang tema-tema atau subyek-subjek
terpenting dalam studi al-Qur'an. Ensiklopeia ini merupakan
karya multi-volume dan referensi komprehensif pertama
tentang al-Qur'an yang ditulis dalam bahasa Barat.
Andrew Rippin, Muslim: Their Relegious Beliefs and Practices,
3th Edition, London: Routledge, 2005.
• Dalam buku ini Rippin memaparkan mengenai pemikiran
dan sejarah Islam, semenjak periode pembentukannya
sampai sekarang. Dia mengadopsi pendekatan kritis terhadap
Islam, dan memberikan perhatian khusus terhadap sumber
al-Qur'an dan hadits. Rippin juga menguraikan interaksi
Muslim dengan kedua sumber ini dan dampak dan
pengaruhnya terhadap pengembangan dan formasi teologi
dan hukum, mulai dari periode abad pertengahan sampai
zaman modern.
169
John Wansbrough, Qur’anic Studies: Sources and Methodes of
Scriptural Interpretation, Oxford: Oxford University Press, 1977;
dicetak ulang, New York: Prometheus Books, 2004 dengan kata
pengantar yang baru dan catatan oleh Andrew Rippin.
• Dalam buku ini Wansbrough menggunakan teknik kritik-
biblikal untuk menganalisis al-Qur'an. Dia mengusulkan agar
studi Islam harus dibagi menjadi kitab kuno, propetologi,
dan bahasa suci. Wansbrough kemudian fokus pada analisis
al-Qur'an, sehingga ia kemudian mengembangkan semacam
penafsiran kitab suci Islam berdasarkan analisis bentuk.
Dalam edisi cetak ulang tahun 2004, Andrew Rippin telah
menambahkan kata pengantar dan beberapa catatan
panduan subtansial yang membuat teks ini lebih
mudah dipahami.
Montgomery Watt dan Richard Bell, Introduction of the
Qur’an, Edinburgh: Edinburgh University Press, 2001.
• Dalam buku pengantar ini Watt dan Bell meneliti latar
belakang sejarah al-Qur'an serta karakter Nabi Muhammad.
Di dalamnya mereka mengemukakan pandangan para sarjana
Muslim dan non-Muslim dan menjelaskan sejarah, bentuk
dan kronologi al-Qur'an.
171
Bab 7
Terjemahan Al-Qur'an
TERJEMAH AL-QUR'AN ADALAH SALAH SATU topik yang paling penting dalam kajian al-Qur'an saat ini. Utamanya karena buku yang mungkin pertama kali akan ditemui oleh
pembaca non-Arab yang berusaha memahami Islam dan kitab
suci mereka adalah terjemah al-Qur'an. Namun, mayoritas umat
Muslim tidak menganggap terjemahan al-Qur'an setara dengan
al-Qur'an. Karena umat Muslim meyakini bahwa al-Qur'an
diturunkan secara langsung kepada Nabi Muhammad dalam
bahasa Arab, oleh karenanya pelestarian terhadap bentuk orisinal
bahasa ini merupakan hal yang sangat penting. Meski sejak
permulaan Islam beberapa bagian al-Qur'an telah diterjemahkan
dalam bahasa non-Arab dan akhir-akhir ini terjemahan telah
sampai pula pada posisi yang cukup minor dalam keilmuan Islam,
para ulama terus menekankan pentingnya belajar bahasa Arab
dan terlibat dengan teks asli daripada mempelajari al-Qur'an
dalam bentuk terjemahan.
Dalam bab ini kita akan membahas:
• Sejarah terjemahan al-Qur'an oleh kaum Muslim dan non-
Muslim;
• Perdebatan kaum Muslim antara kelompok pendukung dan
penentang terjemah al-Qur'an;
172
• Perbedaan pendekatan dalam penerjemahan di kalangan
umat Islam;
• Studi kasus terhadap penerjemahan sebagian ayat al-Qur'an
yang masih diperdebatkan;
• Panduan singkat untuk beberapa terjemahan al-Qur'an
berbahasa Inggris.
Awal Ketertarikan Muslim Dalam Penerjemahan Al-
Qur'an
Pertanyaan ini pada dasarnya telah menarik perhatian
umat Islam sejak awal abad 1 H / 7 M. Meskipun komunitas
Muslim awal sebagian besar terdiri dari warga Arab
(komunitas yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa
utama), jumlah orang-orang non-Arab yang konversi ke agama
Islam terus bertambah, termasuk di dalamnya orang-orang
yang berbahasa Persia, Berber dan Syria. Dalam tahap-tahap
awal ini , orang-orang Muslim Arab memegang sentralitas
kekuasaan dan kendali politik terhadap berbagai komunitas lain;
mereka seringkali terpilih sebagai khalifah, penguasa, gubernur
dan jenderal. Sebagai imbasnya, bahasa Arab menjadi bahasa
administratif, bahasa akademik dan bahasa penguasa, dan secara
bertahap pengaruhnya merambah hingga seluruh pelosok daerah
kekuasaan khalifah. Situasi inilah yang menyebabkan sebagian
besar orang-orang yang pindah ke Islam tidak lari ke terjemahan
al-Qur'an. Sebaliknya, mereka justru belajar bahasa Arab dan
dalam beberapa hal bisa dipahami bahwa mereka telah ‘ter-arab-
kan’.
Bagaimanapun sejarah Islam, bahkan sejak masa Nabi,
telah memberi bukti bahwa pada masa ini telah muncul
keinginan untuk menerjemahkan, setidaknya beberapa bagian
dari al-Qur‘an. Upaya-upaya awal ini banyak difokuskan
pada terjemahan dari bahasa Arab ke bahasa Persia. Hal ini
173
dapat dimengerti mengingat paska dominasi Arab, Persia telah
memainkan peran penting dalam dimensi budaya dan intelektual
hingga membentuk formasi peradaban Islam awal. Selain itu,
Persia juga menjadi rumpun linguistik terbesar kedua yang
dipakai umat Islam, setelah rumpun bahasa Arab. Sejarah
juga telah mencatat bahwa salah satu orang Persia paling awal
yang melakukan konversi ke agama Islam dan menjadi sahabat
Nabi, Salman al-Farisi (d.35/656), telah menerjemahkan surah
pertama dari al-Qur'an yang terdiri dari tujuh ayat ke dalam
bahasa Persia.1
Terkait dengan ritual ubudiyah (solat), ada satu
pandangan yang cukup terkenal yang diatribusikan kepada
tokoh utama madzhab Hanafi, Abu Hanifah (d.150/767), yang
mengatakan bahwa dalam keadaan tertentu seorang Muslim
diperbolehkan membaca al-Qur'an dalam bahasa Persia.2 Hal
ini diperbolehkan bagi Muslim yang berbahasa Persia untuk
membaca al-Qur'an dalam bahasa mereka sendiri selama
melakukan sholat, khususnya yang belum mampu membaca al-
Qur'an dalam bahasa Arab. Abu Hanifah percaya bahwa oleh
karena sholat merupakan kewajiban dan salah satu rukun Islam,
seseorang tidak boleh meninggalkan sholat hanya karena mereka
belum bisa membaca surah pertama dari al-Qur'an -syarat
minimal dalam sholat- dalam bahasa Arab. Pandangan ini dianut
oleh ulama selanjutnya seperti Ibn Taymiyyah (d.728/1328) dan
juga nampak dalam fatwa kontemporer tahun 2005 berikut ini:
Pertanyaan:
Apakah diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk membaca
atau menghafal al-Qur'an dalam bahasa lain selain Arab?
1 Hdayet Aydar and Necmettn Gökkir, ‘Discussions on the Language of Prayer in
Turkey: A Modern Version of the Classical Debate’, h. 123–124, Turkish Studies,
vol. 8, no. 1, 2007, h. 121–136.
2 Aydar and Gökkir, ‘Discussions on the Language of Prayer in Turkey’, h. 125.
174
Jawaban:
Jika seorang Muslim tidak dapat membaca atau menghafal
al-Qur'an dalam bahasa Arab, maka diperbolehkan baginya
untuk menggunakan bahasa lain, ini lebih baik daripada
meninggalkan sama sekali. Allah berfirman: ‘Allah tidak
membebani seseorang di luar kemampuannya’ (Q.2:286).3
Tradisi Muslim juga menunjukkan bahwa praktik mengu-
raikan makna al-Qur'an dalam bahasa daerah (lokal) setelah
dibaca dalam bahasa Arab merupakan tradisi yang umum di masa
awal Islam.4 Beberapa penguasa Arab saat memperlakukan
daerah yang baru ditaklukkan terkadang juga memperlihatkan
perhatiannya dalam menerjemahkan al-Qur'an dalam bahasa
lokal. Namun tampaknya tidak ada usaha yang dilakukan untuk
menerjemahkan seluruh isi al-Qur'an ke dalam bahasa lain
selama periode awal Islam.
Non-Muslim dan Penerjemahan al-Qur'an
Ketertarikan non-Muslim dalam menerjemahkan al-
Qur'an dimulai sejak periode awal Islam, saat beberapa orang
Kristen yang tinggal di daerah-daerah seperti Suriah, mulai
menerjemahkan beberapa bagian dari al-Qur'an ke dalam
bahasa Syria (Syriah). Mungkin itu merupakan bentuk-bentuk
terjemahan awal yang dibuat dengan tujuan polemik dan
terjemahan-terjemahan ini menjadi sebuah preseden bagi
kepentingan non-Muslim selanjutnya dalam penerjemahan al-
Qur'an di Eropa.
3 Membaca atau menghafalkan al-Qur'an dalam bahasa selain Arab. Fatwa No.
89. Fatwas Delivered by Shaikhul-Islam Ahmad Ibn Taimiah.Dipublikasikan pada
13 Februari 2005. Diakses pada 12 Februari 2007: http://www. qurancomplex.
org/qfatwa/display.asp?f=89&l=eng&ps=subFtwa.
4 Hartmut Bobzin, ‘Translations of the Qur’an’, dalam J.D. McAuliffe (ed.),
Encyclopaedia of the Qur’an, vol. 5, h. 341.
175
Penerjemahan al-Qur'an pertama di Eropa diperkirakan
terjadi pada abad ke-12. saat itu Peter the Venerable, kepala
Biara dari Cluny (d.1156), sangat tertarik untuk melakukan
perlawanan terhadap Islam, baik secara teologis maupun
akademis. Saat itu, banyak orang Eropa melihat Islam sebagai
ancaman intelektual dan politik. Dengan demikian, dia
menugaskan tim penerjemah untuk menghasilkan sejumlah
karya, termasuk terjemah al-Qur‘an berbahasa Latin. Terjemah
ini selesai pada tahun 1143 oleh orang Inggris Robert of Ketton
(fl.1136-1157), dan kemudian diterbitkan pada tahun 1543,
setelah munculnya alat percetakan di Eropa.5
Pada abad ke-16 dan ke-17, penerjemahan al-Qur‘an ke
dalam bahasa Eropa mulai bergeliat. Terjemah lengkap tertua
dalam bahasa Eropa telah dilakukan pada tahun 1547 oleh
orang Italia bernama Andrea Arrivabene, dimana karya ini
merupakan parafrase terhadap karya terjemahan Ketton
sebelumnya dalam bahasa Latin.6 Terjemahan-terjemahan
inilah yang menjadi titik tolak bagi penerjemahan selanjutnya
pada abad ke-16, ke-17 dan ke-18. Sebagai contoh, pendeta
Jerman, Salomon Schweigger (d.1622), telah menyelesaikan
terjemahannya pada tahun 1616. Berdasarkan karya Schweigger
ini , sebuah terjemah al-Qur'an berbahasa Belanda yang
masih belum diketahui pengarangnya juga dicetak pada tahun
1641. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 1647, André
du Ryer (d.1660) menerjemahkan al-Qur'an dalam bahasa
Perancis. Pada pertengahan abad ke-17, tepatnya 1649, terjemah
al-Qur'an pertama kali dalam bahasa Inggris diterbitkan oleh
penulis Skotlandia Alexander Ross (d.1654),7 dengan judul: The
5 Bobzin, ‘Translations of the Qur’an’, h. 344.Lihat bab 6 (volume ini) untuk diskusi
lebih lanjut tentang terjemahan awal dari Bahasa Arab.
6 Bobzin, ‘Translations of the Qur’an’, h. 346.
7 Bobzin, ‘Translations of the Qur’an’, h. 347.
176
Alcoran of Mahomet translated out of Arabique into French, by the
Sieur Du Ryer . . . And newly Englished, for the satisfaction of all
that desire to look into the Turkish vanities (London, 1649). Ross
tidak memiliki pengetahuan sama sekali tentang bahasa Arab dan
pemahaman terhadap bahasa Perancis juga kurang memadai.8
Oleh karenanya, terjemahan ini dianggap sebagai terjemah
kasar yang mencerminkan kondisi emosional yang ‘sangat anti-
Islam’ dan merefleksikan pendekatan orientalis.9
Pada abad ke-18, terjemahan al-Qur'an langsung dari bahasa
Arab mulai muncul kembali. Terjemahan paling awal diantaranya
dilakukan oleh orientalis Inggris seorang ahli hukum, George
Sale (d.1736), yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1734.
Terjemahan ini kemudian diikuti oleh terjemahan Claude E.
Savary (d.1788) ke dalam bahasa Perancis pada tahun 1786, dan
oleh Friedrich E. S Boysen (d.1800) ke dalam bahasa Jerman
pada 1773.10 Berbeda dengan terjemahan Kristen sebelumnya,
karya Sale The Qur’an: Commonly Called the Alkoran of Mohammed
(London, 1734) masih beredar hingga saat ini, dan telah dicetak
lebih dari 120 edisi.11 Meskipun dikritik oleh sebagian umat
Islam karena mengandung sejumlah kekeliruan dan kesalahan
penerjemahan, dan juga dipakai untuk tujuan misionaris,12
karya Sale tetap menjadi standar rujukan bagi pembaca bahasa
Inggris hingga mendekati akhir abad ke-19.13
8 S.M. Zwemer, Muslim World, 5, 1915, h. 250. Dikutip dari A.R. Kidwai, ‘English
Translations of the Holy Al-Qur'an– An Annotated Bibliography’, Anti-Ahmadiyya
Movement in Islam, Oktober 2000. Diakses pada 12 Februari 2007: http://
alhafeez.org/rashid/qtranslate.html.
9 Kidwai, ‘English Translations of the Holy Qur’an’.
10 Bobzin, ‘Translations of the Qur’an’, h. 348–349.
11 Bobzin, ‘Translations of the Qur’an’, h. 348.
12 Kidwai, ‘English Translations of the Holy Qur’an’.
13 Khaleel Mohammed, ‘Assessing English Translations of the Qur’an’, Middle East
Quarterly, Spring 2005.Diakses pada 12 Februari 2007: http://www. meforum.
177
Sedangkan pada abad ke-19 akhir dan awal abad ke-20,
terjemah al-Qur'an ke dalam bahasa lain juga muncul, termasuk
Swedia (1843), Italia (1843), Polandia (1849), Ibrani (1857),
Rusia (1877), Portugis (1882) dan Spanyol (1907). Dan pada
selang waktu ini , beberapa sarjana Barat seperti Richard
Bell (d.1952), Henry Palmer (d.1882), dan Arthur J. Arberry
(d.1969) mulai memproduksi terjemah al-Qur'an sebagai
bagian dari kegiatan akademik mereka.14 Dalam beberapa hal,
terjemahan Arberry ini mendapat simpati yang tinggi baik dari
sarjana Muslim maupun non-Muslim.
Muslim dan Praktik Penerjemahan al-Qur'an
Seperti yang ditunjukkan sebelumnya, yakni sejak abad
pertama Islam, bahasa pribumi telah dipakai untuk
menyampaikan makna al-Qur‘an kepada mereka yang tidak
menggunakan bahasa Arab. Terjemah lengkap al-Qur‘an pertama
kali yang cukup besar diperkirakan terjadi pada abad ke-10 M, di
mana karya monumental al-Tabari Jami’ al-Bayan diterjemahkan
ke dalam bahasa Persia. Karya ini kemudian juga diterjemahkan
ke dalam bahasa Turki.15 Sementara proses penerjemahan terus
berjalan, pada saat itu pula terjadi perdebatan panjang yang
menentang adanya praktik penerjemahan al-Qur‘an.
Dalam upaya melawan pandangan bahwa al-Qur‘an tidak
boleh diterjemahkan, pada abad ke-18, sarjana India Shah Wali
Allah Dihlawi (d.1762) menulis karya tafsir berbahasa Persia,16
yang di dalamnya ada terjemah al-Qur‘an. Beberapa dekade
kemudian, muncul beberapa terjemah al-Qur'an yang ditulis
oleh kaum Muslim dengan menggunakan bahasa regional India,
seperti Urdu (1828), Sindhi (1876), Punjabi (1870), Gujarati
(1879), Tamil (1884) dan Bengali (1886). Menandai permulaan
tren baru, terjemah edisi cetak dengan bahasa Turki mulai
diterbitkan di Kairo pada tahun 1842, dan terjemahan Persia
edisi cetak pertama kali diproduksi pada tahun 1855 di Tehran.17
Pada paruh pertama abad ke-20, terjemah al-Qur'an edisi
dicetak mulai muncul di beberapa bagian benua Asia dan Afrika.
Salah satu terjemah Afrika dalam bahasa Yoruba muncul pada
tahun 1906 dan dalam bahasa Zanzibar Swahili muncul pada
tahun 1923. Di bagian Asia Timur dan Utara, al-Qur'an mulai
diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa seperti, Jepang (1920),
Melayu (1923), China (1927) dan Indonesia (1928).18 Selama
periode ini, muallaf Muslim di Eropa juga mulai berkontribusi
mengembangkan koleksi terjemahan. Contoh pertama dalam
bahasa Inggris adalah karya yang dipublikasikan tahun 1930
oleh penulis Inggris Marmaduke Pickthall (d.1936) berjudul The
Meaning of the Glorious Koran (London, 1930).
Upaya untuk menerjemahkan al-Qur'an ke dalam bahasa
yang berbeda telah meningkat secara signifikan setelah Perang
Dunia II, khususnya di kalangan ulama. Sejumlah terjemahan
bahasa Inggris terkemuka diproduksi pada periode ini, termasuk
terjemahan Abdullah Yusuf Ali pada tahun 1934, salah satu
terjemahan yang paling populer di kalangan umat Islam sampai
saat ini; terjemahan Abdul Majid Daryaba ditahun 1957,
diterbitkan di Lahore; terjemahan Muhammad Zafrullah Khan
(London, 1971), yang sampai saat ini masih digemari oleh
anggota gerakan Ahmadiyah;19 dan Message of the Al-Qur'an
(Gibraltar,1980), yang ditulis oleh muallaf Muslim Austria
terkemuka dan juga seorang wartawan, Muhammad Asad
(d.1992).20
Selanjutnya, terjemah al-Qur'an dengan bahasa Eropa juga
muncul, termasuk terjemahan dengan bahasa Jerman pada
1990-an oleh para sarjana Muslim dan, sebelumnya juga ada
terjemahan dengan bahasa Perancis yang ditulis oleh sarjana
India Muhammad Hamidullah (1959) dan ulama Afrika Utara
Sheikh Si Hamza Boubakeur (1972). Kedua terjemahan Perancis
ini juga memasukan penjelasan rinci dengan bersandar pada
sumber-sumber tradisional; terjemahan Boubakeur sampai saat
ini masih populer di kalangan imigran Afrika Utara yang berada
di Perancis.21 Dan di tahun 1985, muncul terjemahan dengan
bahasa Inggris Amerika Utara yang ditulis oleh T.B. Irving.
Seperti ditunjukan di atas, abad ke-20 memperlihatkan
adanya proliferasi terjemahan al-Qur'an baik dilakukan oleh
Muslim dan non-Muslim.
Beberapa terjemahan al-Qur'an yang utama
Abad ke-7 Masehi dan seterusnya
Terjemahan pertama beberapa ayat al-Qur'an ke dalam
bahasa Persia oleh Salman al-Farisi
Upaya lanjutan penerjemahan sebagian al-Qur'an ke dalam
bahasa-bahasa lokal Muslim
adalah milik salah satu dari dua sub-kelompok yang berbeda – komunitas Muslim
Ahmadiyah, yang memiliki cabang di 182 negara dan mengklaim memiliki
puluhan juta pengikut; atau gerakan Ahmadiyah Lahore, yang memiliki cabang
di 17 negara dan pengikut yang tidak diketahui jumlahnya. Kelompok Ahmadiyah
menganggap mereka sendiri sebagai Muslim tapi tidak diakui sebagai Muslim
oleh mayoritas kelompok Sunni atau Syiah.
961-976 - Penerjemahan karya monumental tafsir al-Tabari,
Jami’ al-Bayan, ke dalam bahasa Persia dan kemudian ke
dalam bahasa Turki
Abad ke-12
1143 - Pertama kalinya terjemahan al-Qur'an dalam bahasa
Latin oleh Robert of Ketton
Abad ke-16
1547 - Pertama kali terjemah al-Qur'an dalam bahsa Italia oleh
Andrea Arrivabene. Karya ini bersandar pada terjemahannya
Ketton
Abad ke-17
1616 - Terjemah al-Qur'an bahasa Jerman oleh Salomon
Schweigger
1641 - Terjemah al-Qur'an bahasa Belanda oleh seorang
penerjemah yang masih belum diketahui identitasnya.
Terjemah ini bersandar pada terjemahan Schweigger
1647 - Terjemah al-Qur'an bahasa Perancis pertama oleh
André du Ryer
1649 - Terjemah al-Qur'an bahasa Inggris pertama oleh
penulis Skotlandia Alexander Ross; berdasarkan pada
terjemahan Perancis du Ryer ini
Terjemah al-Qur'an bahasa Melayu pertama oleh Abd al-Ra’uf
al-Fansuri
Abad ke-18
1716 - Terjemah al-Qur'an bahasa Rusia oleh Piotr Vasilyevich
Postnikov; bersandar pada terjemahan Perancis André du
Ryer
1734 - Terjemahan bahasa Inggris, langsung dari bahasa
Arab, oleh George Sale
181
1773 - Terjemahan Jerman oleh Friedrich E. Boysen
1776 - Terjemahan Urdu oleh Shah Rafi al-Din
1786 - Terjemahan Perancis oleh Claude E. Savary
Abad ke-19
1843 - Terjemahan Swedia dari bahasa Arab oleh Fredrik
Crusenstolpe
1844 - Terjemahan Spanyol oleh De Jose Garber de Robles
1877-1879 - Terjemahan Rusia dari bahasa Arab oleh Gordii
Semyonovich Sablukov
1881-1886 - Terjemahan bahasa Bengali oleh Girish Chandra
Sen
1879 - Terjemahan bahasa Gujarat oleh Abd al-Qadir ibn
Luqman
Abad ke-20
1906 - Terjemahan pertama dalam bahasa Yoruba, terjemahan
cetak pertama dalam bahasa Afrika
1915 - Terjemahan lengkap pertama dengan bahasa Hindi
modern oleh Ahmad Shah Masihi
1917 - Terjemahan bahasa Inggris oleh Muhammad Ali
1920 - Terjemahan bahasa Jepang pertama oleh Ken-ichi
Sakamoto; dari terjemahan Inggris
1923 - Terjemah pertama dalam bahasa Swahili oleh Godfrey
Dale
1927 - Terjemahan lengkap pertama dalam bahasa Cina oleh
Li Tiezheng, terjemah bersandar pada terjemahan Jepang
Sakamoto
1930 - Terjemahan bahasa Inggris oleh Marmaduke Pickthall
1934 - Terjemahan bahasa Inggris oleh Abdullah Yusuf Ali
1955 - Terjemahan bahasa Inggris oleh Arthur J. Arberry
182
1955 - Terjemahan bahasa Inggris oleh Sher Ali
1956 - Terjemahan bahasa Inggris oleh N. J. Dawood
1967 - Publikasi bahasa Inggris tafsir Urdu Abul A’la Maududi
Tafhim al-Qur'an
1972 - Terjemahan Pertama oleh ulama Afrika Utara, Sheikh
Si Hamza Boubakeur
1977 - Terjemahan bahasa Inggris oleh Muhammad Muhsin
Khan dan Taqiuddin al-Hilali atas sponsor Saudi
1980 - Terjemahan bahasa Inggris oleh Muhammad Asad
1988 - Terjemahan bahasa Inggris oleh Syed Mir Ahmed Ali
yang mencerminkan ajaran Syi’ah
2004 - Terjemahan bahasa Inggris oleh M.A.S. Abdel Haleem
Wacana Penerjemahan Muslim
Mengingat kondisi Muslim saat ini yang mayoritas berba-
hasa non-Arab (sekitar 80 persen dari seluruh umat Islam),
tingkat perdebatan mengenai terjemahan al-Qur'an juga telah
meningkat. Pendapat Muslim sangat bervariasi dalam masalah
ini, di antaranya adalah pandangan konservatif yang mengatakan
bahwa terjemahan al-Qur'an tidak mungkin atau tidak sah untuk
mengakomodasi perspektif-perspektif yang lebih luas.
Muslim yang berpendapat bahwa al-Qur'an tidak boleh
diterjemahkan memberikan sejumlah alasan yang mendukung
pandangan mereka. Misalnya, argumen teologis bahwa al-Qur'an
adalah firman Allah, dan karenanya memiliki gaya yang unik yang
tidak dapat ditandingi, bahkan dalam bahasa Arab. Mereka lebih
jauh berpendapat bahwa sepotong tulisan al-Qur'an tidak akan
dapat ditiru dalam bahasa Arab, oleh karenanya al-Qur'an tidak
bisa diganti dalam bahasa yang sama sekali berbeda.
Argumen linguistik yang sering diutarakan adalah
terjemahan dari satu bahasa ke bahasa lain selalu menemui
183
kesulitan. Makna sebuah kata dalam satu bahasa mungkin
tidak sepenuhnya tersampaikan dalam terjemahan, dan ini
mengakibatkan hilangnya sebagian makna asli. Masalah ini
kemudian dipersulit dalam kasus makna kata-kata yang terkait
dengan konteks budaya dan bahasa dalam komunitas tertentu.
Dalam bahasa Arab, ada beberapa kata yang tidak memiliki
equivalensi dalam bahasa lain. Sehingga setiap usaha memahami
makna kata atau kalimat itu semua bersifat perkiraan. Misalnya,
kata-kata seperti salat (biasanya diterjemahkan sebagai doa) dan
zakat (biasanya diterjemahkan sebagai sedekah) merupakan kata-
kata yang unik dalam bahasa Arab dan konteks keislaman. Seperti
sejumlah istilah dalam etika hukum Islam, mereka memiliki
arti teknis, yang sulit untuk disampaikan melalui terjemahan
bahasa Inggris. Demikian pula beberapa kata dalam bahasa Arab
yang mungkin memiliki lebih dari satu makna. Misalnya, kata
kerja daraba mungkin memiliki makna yang beragam seperti
‘perjalanan’, ‘mengutuk’, ‘memberi’ atau ‘menyerang’, masing-
masing bergantung pada konteks.22 Keberagaman makna
ini sangatlah mustahil direpresentasikan dalam terjemahan
di mana penerjemah dipaksa untuk memilih satu kata dalam
bahasa tertentu, dan mungkin penerjemah hanya mampu
merepresentasikan sebagian kompleksitas dalam uraiannya.
Banyak penerjemah kemudian menjelaskan bahwa karya-
karya mereka merupakan terjemahan dari ‘makna’ al-Qur'an,
bukan al-Qur'an itu sendiri. Jika itu mungkin, maka yang terakhir
memiliki tingkatan yang sama dengan al-Qur'an bahasa Arab,
sedang yang sebelumnya hanya merupakan interpretasi dari teks.
Fatwa berikut menggambarkan pandangan ini:
22 Edip Yuksel, ‘Beating Women, or Beating Around the Bush, or…’ Diakses pada 2
Februari 2007: http://www.yuksel.org/e/religion/unorthodox.htm.
184
Pertanyaan:
Apakah menerjemahkan al-Qur'an atau sebagian ayat ke dalam
bahasa asing dengan tujuan untuk menyebarluaskan dakwah
Islam di negara non-Muslim merupakan suatu tindakan yang
tidak sesuai dengan hukum Islam?
Jawaban:
Segala puji hanya bagi Allah, dan salawat serta salam atas Nabi
terakhir, Muhammad.
Menerjemahkan al-Qur'an atau beberapa ayat dan semua
makna yang tersirat di dalamnya adalah hal yang mustahil.
Terjemah harfiah tidak diperbolehkan karena akan mendistorsi
makna.
Adapun menerjemahkan makna dari sebuah ayat atau lebih
dan menunjukkan putusan hukum dan ajaran ke dalam
bahasa lain seperti bahasa Inggris, Perancis atau bahasa Persia
dengan tujuan untuk menyebarluaskan makna al-Qur'an dan
mengajak yang lain untuk percaya terhadapnya, maka itu
diperbolehkan. Hal itu seperti menjelaskan makna ayat-ayat
al-Qur'an dalam bahasa Arab. Namun harus ditetapkan bahwa
penerjemah harus memiliki kemampuan dalam menguraikan
makna al-Qur'an secara akurat dan menjelaskan hukum-
hukum dan ajarannya.
Jika dia tidak memiliki sarana yang dapat membantunya dalam
memahami al-Qur'an, atau jika ia tidak memiliki kemampuan
secara akurat untuk menyampaikan makna seperti dalam
bahasa lain, dia seharusnya tidak menerjemahkan makna al-
Qur'an. Karena sangat mungkin dia akan mendistorsi makna
dan tentunya akan dihukum [oleh Allah] bukan diberi pahala.23
23 Hukum tentang penerjemahan al-Qur'an. Fatwa No. 42. Fatwas Issued by the
Permanent Committee for Scholarly Research and Ifta’, Saudi Arabia. Reference: Fatwa
No. 833, Volume IV, Page 132. 13 February2005. Diakses pada 12 February 2007:
http://www.qurancomplex.org/qfatwa/ display.asp?f=42&l=eng&ps=subFtwa.
185
Sejalan dengan gagasan di atas bahwa hanya makna al-Qur‘an
yang dapat diterjemahkan, pada abad ke-20 seorang Muslim
British bernama Marmaduke Pickthall berpendapat dalam
pengantar terjemahannya:
Al-Qur‘an tidak dapat diterjemahkan. Yang demikian adalah
kepercayaan para ulama’ salaf dan pandangan penulis masa
kini. Kitab [al-Qur'an] ini diterjemahkan hampir secara harfiah
dan setiap upaya telah dilakukan untuk memilih bahasa
yang sesuai. Namun hasilnya tidaklah semulia al-Qur'an,
khususnya dalam komposisi musikalitas yang hampir tidak
dapat ditiru, yaitu sumber suara yang menyebabkan seseorang
mampu mengeluarkan air mata dan kegembiraan yang tiada
tara. Terjemah ini hanya sebuah upaya untuk menyajikan
makna al-Qur'an - dan mungkin sesuatu yang berangkat dari
ketertarikan -dalam bahasa Inggris. Dan ini tidak pernah
dapat menggantikan al-Qur'an dalam bahasa Arab, juga
bukandimaksudkan untuk melakukan yang demikian.24
ada argumen lain yang mengatakan bahwa bahkan
jika hal itu mungkin untuk menerjemahkan masing-masing
kata ke dalam bahasa lain, beberapa ciri khas seperti stilistika,
linguistik dan retorika al-Qur'an yang sangat penting untuk
memahami maknanya akan terasa hilang. Ini merupakan kasus
teks-teks sastra dalam bahasa apapun, karena masing-masing
memiliki ciri khas bahasa dan bentuk ekspresi yang unik. Dalam
menanggapi pertanyaan tentang masalah ini, sarjana dan mantan
kepala Komite Fatwa Azhar Mesir, Atiyya Saqr, mengeluarkan
fatwa yang mencerminkan pemikiran mayoritas umat Islam
tentang persoalan terkait. Bersamaan dengan saat memasukan
beberapa poin serupa dengan yang sudah tercantum di atas, Saqr
juga menyatakan bahwa:
24 Marmaduke Pickthall, The Meaning of the Glorious Koran, London: George Allen
& Unwin, 1930; repr. 1957, h. vii.
186
[T]erjemahan al-Qur'an tidak pernah dapat dianggap sebagai
al-Qur'an itu sendiri, baik dalam prinsip-prinsip maupun
kesuciannya. Alasannya, terjemahan itu sendiri bukan firman
Allah yang diturunkan kepada Nabi (perdamaian dan rahmat
atasnya); tetapi itu adalah kata-kata manusia yang dipakai
untuk menjelaskanWahyu Ilahi [al-Qur'an].
[. . .]
[T]erjemah salinan al-Qur'an tidak memiliki standar kualitas
yang tinggi sebagaimana yang asli; terjemah ini tidak
memikul beban kemukjizatan yang diturunkan oleh Allah.
[. . .]
Perlu disebutkan bahwa tidak peduli seberapa besar
terjemahan memiliki efek terhadap seseorang; terjemah
tidak akan pernah dapat memiliki kesamaan efek retoris dan
keindahan al-Qur'an.25
Beberapa Muslim berpendapat bahwa karena terjemahan
langsung tidak mungkin dilakukan, maka setiap upaya
penerjemahan sebenarnya adalah sebuah bentuk penafsiran dan
uraian, dan dalam batas tertentu akan dipengaruhi oleh orientasi
teologis dan ideologis seorang penerjemah. Baik disadari atau
tidak, ‘bias’ ini seringkali mengakibatkan ketidak akuratan atau
kekeliruan, terlepas dari upaya penerjemah untuk setia dengan
teks asli dan makna dari al-Qur'an.
Dengan demikian, sebagian besar Muslim berpendapat
bahwa hanya ada satu versi al-Qur'an yaitu versi Arab- dengan
banyak penafsiran, yang menggambarkan proses penerjemahan
‘makna-makna’ al-Qur'an. Demikian juga, secara umum umat
Islam tidak merujuk kepada ‘versi’ al-Qur'an (seperti versi
25 Shaykh Atiyya Saqr, mantan kepala Komite Fatwa al-Azhar (Egypt).
Menerjemahkan al-Qur'an. Fatwa. 15 November 2006. Diakses pada 12 Februari
2007: http://www.islamonline.net/servlet/Satellite?pagename=IslamOnline-
English Ask_Scholar/FatwaE/FatwaE&cid=1119503544404.
187
Perancis atau Amerika), karena hal ini secara tidak langsung
menyiratkan bahwa ada ‘versi’ yang berbeda dari al-Qur'an asli
yang dianggap otentik. Mayoritas akan berpendapat bahwa
hanya ada satu versi al-Qur'an yaitu versi Arab - meskipun ada
banyak interpretasi.
Jadi bisa diringkas, bahwa meski kaum Muslim banyak yang
terlibat dalam penerjemahan teks al-Qur'an dengan berbagai
macam kepentingan dan penekanan sejak masa awal Islam, di
sana selalu ada suara-suara Muslim yang juga menentang
praktik-praktik penerjemahan al-Qur'an, sebagaimana alasan-
alasan yang telah dikemukakan.
Terjemahan: Sebuah Studi Kasus
Untuk menggambarkan kesulitan yang ada dalam
usaha penerjemahan al-Qur'an, kita akan melihat perdebatan
di kalangan umat Islam saat ini, mengenai terjemahan al-Qur'an
ayat 4:34. Ayat ini sangat populer karena berhubungan dengan
relasi gender, dan interpretasi terhadapnya banyak menimbulkan
konflik.
Sebelum melihat beberapa terjemahan ayat ini, akan
sangat berguna jika mengeksplorasi terlebih dahulu beberapa
pendekatan umum dalam penerjemahan al-Qur‘an. Dalam
banyak kasus, penerjemah umumnya mengambil salah satu
dari tiga kemungkinan pendekatan. Beberapa penerjemah
mencoba untuk menjelaskan makna al-Qur‘an sebagaimana
mereka pahami. Meskipun mereka menganggap dirinya bersikap
objektif, pemilihannya terhadap kata-kata masih dipengaruhi
oleh cara pandang mereka. Sebagai contoh, banyak penerjemah
tradisionalis yang mungkin tidak terlalu peduli dengan isu-isu
kesetaraan gender, dan sering memberikan penafsiran teks yang
menekankan pemahaman patriarkal dan ketidaksetaraan gender.
188
Sebaliknya, beberapa penerjemah berusaha untuk tetap sadar
dari pengaruh cara pandang mereka sendiri dengan memberikan
terjemah se-literal mungkin, dan mengekspresikan pemahaman
mereka terhadap teks dalam komentar yang terpisah. Meski
sampai batas tertentu, pilihan akhir kata-kata mereka akan
tetap dipengaruhi oleh pemahaman mereka sendiri, dan para
penerjemah umumnya cenderung lebih sadar akan hal ini.
Sedangkan pendekatan ketiga, memasukan frase dan kata-
kata dalam terjemahan yang mencerminkan pendapat mereka
sendiri, yang sangat mungkin memiliki sedikit relasi terhadap
makna teks yang sebenarnya. Penerjemahan ini mungkin bisa
digambarkan sebagai klaim teks terjemah, namun sebenarnya
mereka menyediakan sebuah terjemahan yang di dalamnya
ada komentar mereka sendiri yang dengan sengaja
dimasukan dalam terjemahan.
Dengan demikian, untuk membedakan berbagai tingkat
terjemahan, para penerjemah mengungkapkan orientasi khusus
mereka terhadap isu-isu seperti kesetaraan gender dan dalam
beberapa kasus, saat para penerjemah tidak sadar akan bias
mereka, mungkin akan memberikan pemahaman yang keliru
terhadap teks al-Qur'an. Contoh-contoh berikut tentang
terjemahan al-Qur'an mencerminkan pendekatan yang berbeda
dalam terjemahan dan cara di mana pandangan pribadi seorang
penerjemah akan nampak jelas melalui pemilihan kata.
Pembacaan Pickthall pada awal abad ke-20 terhadap ayat ini
(Q.4:34) merupakan perwakilan dari sekian terjemahan yang
tersedia dalam bahasa Inggris, Pickthall menerjemahkan sebagai
berikut:
Laki-laki bertanggung jawab atas perempuan, karena
Allah telah membuat salah satu dari mereka unggul dari
yang lain, dan karena mereka menafkahkan harta mereka
(untuk membantu perempuan). Jadi perempuan yang baik
189
adalah mereka yang patuh, menjaga rahasia yang Allah telah
menjaganya. Adapun perempuan yang kamu takut akan
pemberontakannya, maka nasihatilah mereka dan jauhilah
mereka dengan tempat tidur terpisah, dan caci maki mereka.
Kemudian jika mereka taat kepadamu, janganlah mencari-cari
jalan untuk melawan mereka. Sesungguhnya Allah adalah
Maha Tinggi, Maha, hebat.26
Demikian pula, Muhsin Khan dan Taqiuddin al-Hilali
memberikan contoh terjemahan yang lebih konservatif.
Pembacaan mereka menekankan pada perlindungan laki-laki
terhadap perempuan, dan menambahkan juga bahwa perempuan
harus benar-benar taat kepada suami mereka dan bahwa
perempuan harus dipukul ringan jika itu diperlukan:
Laki-laki adalah pelindung dan pengelola perempuan, karena
Allah telah membuat salah satu dari mereka unggul dari yang
lain, dan karena mereka menafkahkan (untuk mendukung
perempuan) dari harta mereka. Oleh karena itu perempuan
yang benar adalah yang taat patuh (kepada Allah dan kepada
suami mereka), dan menjaga apa yang Allah perintahkan
untuk dijaga saat suami sedang tidak ada (misalnya kesucian
mereka, properti suami, dll). Adapun orang-orang perempuan
yang anda lihat berperilaku tidak baik, maka nasihatilah
mereka (pertama), (selanjutnya) menolak untuk berbagi
tempat tidur dengan mereka, (dan) lalu pukullah mereka
(ringan, jika bermanfaat), tetapi jika mereka kembali dalam
ketaatan, berusahalah untuk tidak melawan mereka (jengkel).
Sesungguhnya, Allah Maha Tinggi, MahaAgung.27
Muhammad Asad, seorang sarjana modernis, memberikan
pertimbangan yang cukup hati-hati dan hampir menerjemahkan
26 Pickthall, The Meaning of the Glorious Koran, h. 97.
27 Muhsin Khan dan Muhammad Al-Hilali (trans.), ‘4: The Women’. Diakses pada
2 Februari 2007: http://en.quran.nu/.
190
ayat ini secara harfiah. Dia juga memberikan catatan
penjelasan ekstensif untuk menyoroti kekhawatiran mengenai
pembacaan harfiah dari kunci kata ‘idribuhunna’, diterjemahkan
di bawah ini sebagai ‘pukullah mereka’. Asad menekankan bahwa
dalam kasus ini, pembacaan literal mungkin bukan yang paling
tepat.
Laki-laki harus mengurus penuh perempuan dengan karunia
yang Allah telah memberikan lebih berlimpah kepada para
laki-laki daripada perempuan, dan dengan apa yang mereka
nafkahkan dari harta mereka. Dan perempuan yang benar
adalah orang-orang yang benar-benar saleh, yaitu yang
menjaga privasi yang Allah [mentakdirkan untuk] jaga.

