pewahyuan al-qur'an 5

pewahyuan al-qur'an 5


 



Adapun orang-orang perempuan yang bersikap buruk 

dan kamu memiliki alasan untuk takut, maka nasihatilah 

mereka [pertama], kemudian tinggalkan mereka sendirian 

di tempat tidur; kemudian pukullah mereka, dan jika setelah 

itu mereka memberi perhatian kepadamu, maka janganlah 

kamu berusaha untuk mencelakai mereka. Sesungguhnya, 

Allah memang paling tinggi, besar!28

Sehubungan dengan penerjemahan frasa ‘kemudian pukullah 

mereka’, Asad menjelaskan dalam sebuah catatan kaki panjang 

bahwa ayat ini  tidak boleh dipahami secara harfiah, karena 

perintah untuk memukul seorang istri ini  bertentangan 

dengan praktek Nabi sendiri. Dia mengutip beberapa tokoh 

ulama untuk mendukung pandangannya:

Hal ini terbukti dari hadis-hadis otentik yang Nabi sendiri 

membenci praktik pemukulan terhadap seorang istri, dan Nabi 

dalam banyak kesempatan mengatakan, ‘Bisakah salah satu 

dari kalian memukul istrinya sebagaimana dia akan memukul 

28 Muhammad Asad (trans.), ‘The Fourth Surah: An-Nisa (Women) Medina Period’, 

The Message of The Quran by Muhammad Asad. Accessed 2 February 2007: http://

www.geocities.com/masad02/004.

191

seorang budak, dan kemudian tidur bersama di malam hari?’ 

(Bukhari dan Muslim) ... Semua otoritas menekankan bahwa 

‘pemukulan’ ini, jika benar-benar terpaksa, harus lebih 

simbolik - ‘dengan sikat gigi, atau yang semacam itu’ (Tabari, 

mengutip pandangan ulama sebelumnya), atau bahkan 

‘dengan lipatan saputangan’ (Razi); dan beberapa sarjana 

Muslim besar (seperti Ash-Shafi’i) berkeyakinan bahwa hal 

itu hanya nyaris diperbolehkan, dan sebaiknya dihindari: dan 

mereka membenarkan pendapat ini dengan perasaan pribadi 

Nabi sehubungan dengan problem ini.29

Ulama modernis lain, Ahmed Ali (d.1994), menerjemahkan 

kata‘idribuhunna’ dengan sangat berbeda. Dia bertentangan 

dengan pemahaman umum dalam tradisi penafsiran terhadap ayat 

ini, di mana artinya biasanya dipahami sebagai ‘memukul’, namun 

justru diterjemahkan sebagai, ‘[untuk] melakukan hubungan 

intim (dengan mereka)’. Ali membenarkan terjemahannya dalam 

sebuah catatan penjelas, yang meliputi bukti linguistik dan 

tekstual untuk mendukung pemahamannya.30 Dia menunjukkan 

bahwa frasa ini  sebenarnya berkaitan erat dengan makna 

lain dari kata ‘daraba’. Dengan demikian, terjemahannya ini 

29 Asad, The Message of the Quran.

30 ‘Raghib menunjukan bahwa kata daraba secara metaforis bermakna melakukan 

hubungan intim, dan mengutip kalimat darab al-fahl an-naqah, “unta jantan 

mengawini unta betina”, yang juga dikutip dalam Lisan al-Arab.Ini tidak bisa 

diambil untuk memaknai “memukul mereka (perempuan)”. Pandangan ini 

dikuatkan oleh hadis otentik yang ditemukan dalam sejumlah karya otoritatif, 

seperti Bukhari and Muslim: “akankah dari kalian yang memukul istrimu seakan 

dia adalah seorang budak, sedang di malam harinya kamu berbaring bersama 

dengannya?” Ada juga hadis lain yang disebutkan oleh Abu Da’ud, Nasa’i, Ibn 

Majah, Ahmad bin Hanbal dan lainnya, yang membuktikan bahwa Nabi melarang 

memukul perempuan, dengan mengatakan: “jangan pernah kalian memukul 

pelayan Tuhan.” Kecia Ali, ‘Muslim Sexual Ethics: Understanding aDifficult 

Verse, Al-Qur'an 4:34’. Diakses pada 30 Agustus 2007: http://www.brandeis.

edu/ projects/fse/muslim/mus-essays/mus-ess-diffverse-transl.html. Versi buku 

asli terjemahan diterbitkan pada 1988.

192

sejalan dengan beberapa feminis Muslim kontemporer yang juga 

berpikir tentang masalah ini:

Laki-laki adalah pendukungan perempuan karena Tuhan telah 

memberikan beberapa kelebihan kekayaan dari yang lain, 

dan karena mereka menafkahkan kekayaan mereka (untuk 

memelihara mereka). Jadi perempuan yang saleh adalah 

yang patuh kepada Tuhan dan menjaga rahasia sebagaimana 

Tuhan telah menjaga hal ini . Adapun perempuan yang 

kamu merasa ditentang, maka berbicaralah secara persuasif 

dengan mereka, kemudian tinggalkan mereka sendirian di 

tempat tidur (tanpa menganiaya mereka) dan pergi ke tempat 

tidur dengan mereka (saat  mereka bersedia). Jika mereka 

membuka diri untuk Anda, janganlah mencari alasan untuk 

menyalahkan mereka. Sesungguhnya Tuhan Maha luhur dan 

Maha Hebat.31

Interpretasi ayat ini telah menjadi fokus perhatian dari 

kalangan sarjana feminisal-Qur'an. Meskipun kami telah 

membahas secara singkat tentang interpretasi dari frase 

yang sering diterjemahkan dengan ‘pukullah mereka’, sarjana 

feminis Muslim kontemporer seperti Amina Wadud, Riffat 

Hassan dan Aziza al-Hibri juga membahas interpretasi ayat 

ini dari aspek-aspek lain.32 Misalnya, ketiga pemikir ini  

berpendapat bahwa berdasarkan pembacaan holistik terhadap 

al-Qur'an, gagasan ‘penyediaan’, seperti yang diungkapkan di 

sini, mengacu pada tanggung jawab laki-laki untuk menyediakan 

bagi perempuan dalam konteks khusus yaitu membesarkan 

anak. Lebih lanjut mereka menunjukkan, dengan bertentangan 

dengan pemahaman tradisional terhadap ayat ini, bahwa hal 

31 Ahmed Ali, Al-Qur'an: A Contemporary Translation, Princeton: Princeton University 

Press, 1988, h. 78–79.

32 Lihat misalnya, Amina Wadud, Al-Qur'anand Women: Rereading the Sacred Text 

from a Woman’s Perspective, New York; Oxford: Oxford University Press, 1999, h. 

70–78, untuk diskusi lebih lanjut kaitannya tentang ayat ini.

193

ini  tidak berarti laki-laki memiliki kontrol tanpa syarat atas 

perempuan. Demikian juga, hal itu tidak selalu menunjukkan 

bahwa perempuan tidak diijinkan untuk menafkahi diri mereka 

sendiri saat  membesarkan anak, jika mereka memiliki kekayaan 

untuk melakukan hal ini .33

Terkait dengan frasa ‘pukullah mereka’, Amina Wadud 

menyoroti sejumlah masalah dalam penafsiran frasa ini . 

Pertama, ia berpendapat bahwa interpretasidari ayat ini dengan 

cara apapun yang mendorong kepada kekerasan terhadap 

perempuan harus ditolak, karena interpretasi yang demikian 

jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam yang 

menekankan pentingnya musyawarah dan keharmonisan 

antara suami dan isteri.34 Kedua, dia menyoroti fakta bahwa 

kata ini  pada dasarnya tidak menunjukkan adanya paksaan 

dan tidak pula mengandung pembolehan, melainkan ‘sebuah 

pembatasan perilaku dalam adat yang berlaku pada saat itu’.35

Sebuah terjemahan terbaru oleh Laleh Bakhtiar, seorang 

sarjana Iran-Amerika, juga menafsirkan ayat dengan perspektif 

baru. Bakhtiar mengandalkan terjemahan lain dan dalam 

beberapa tahun mengkaji bahasa Arab klasik untuk memproduksi 

karyanya. Dengan cara baru pembacaannya, dia menunjukkan 

bentuk feminin dari kata-kata Arab yang memiliki  jenis 

kelamin netral dengan menambahkan ‘(f)’ dalam bahasa Inggris. 

Bakhtiar menerjemahkan ayat 4:34 sebagai berikut:

Laki-laki adalah pendukung para istri karena Allah telah 

memberikan sebagian dari mereka keuntungan yang lebih 

dari orang lain dan karena mereka menafkahkan kekayaan 

mereka. Jadi seseorang (f) yang konsisten dengan moralitas 


adalah mereka (f) yang secara moral diberi kewajiban, mereka 

(f) yang menjaga suatu rahasia dari apa yang Allah telah 

menajaganya. Tetapi mereka (f) yang resistensinya kamu 

takuti, maka nasihatilah mereka (f) dan tinggalkan mereka 

(f) di tempat tidur mereka, kemudian tinggalkan mereka (f), 

dan jika mereka (f) mematuhi kamu, maka janganlah mencari 

cara apapun untuk melawan mereka (f), Allah benar-benar 

Maha Tinggi, Maha Agung.36

Bakhtiar menerjemahkan kata idribuhunna dengan ‘tinggalkan 

mereka’, di mana hasil terjemah itu adalah yang paling mungkin 

dari enam halaman terjemahan kata daraba yang ada dalam 

kamus Edward Lane yang membahas tentang kosa kata Arab-

Inggris (Arabic-English Lexicon).37 Bakhtiar berpendapat bahwa 

Nabi sendiri tidak pernah memukul istri-istrinya, dan karena itu 

kata yang berbentuk imperatif ini , tidak bisa menjadi kata 

perintah karena Nabi sendiri tidak mematuhinya. Selanjutnya, 

dia mengutip ayat 2:231, yang melarang suami melakukan hal-

hal yang merugikan atau melakukan agresi terhadap mereka 

setelah kembali dari talak. Bakhtiar berpendapat bahwa, jika 4:34 

ditafsirkan dengan ‘pukul mereka’, maka itu akan bertentangan 

dengan ayat 2:231.38

Singkatnya, bagian ini ingin menunjukkan kesulitan yang 

terjadi dalam menerjemahkan beberapa istilah tertentu dalam 

al-Qur'an dengan bahasa Inggris. Secara khusus, terjemahan dari 

kata Arab tunggal seperti ‘memukul’, ‘memaki’, ‘tidur dengan 

mereka’ atau ‘meninggalkan mereka’ telah menyoroti adanya 

fakta bahwa terkadang tidak mungkin untuk menghindari 

bias makna kata-kata dalam proses penerjemahan. Contoh 


interpretasi feminis terhadap ayat ini, khususnya interpretasi 

Wadud, juga telah menyentuh pada kenyataan bahwa, sekalipun 

terjemahan yang tepat ditentukan, implikasi dari ayat yang masih 

terus ditafsirkan dengan cara yang berbeda.

Beberapa Terjemahan al-Qur'an yang Umum Tersedia 

Dalam Bahasa Inggris

Dalam bagian ini, kami memberikan petunjuk kasar untuk 

terjemahan al-Qur'an dalam bahasa Inggris yang umum tersedia, 

dengan beberapa komentar untuk membantu pembaca dalam 

memilih terjemahan yang tepat untuk mereka gunakan. Jika 

terjemahan umumnya dianggap mencerminkan pandangan 

tertentu disebabkan oleh aliran atau sekte Islam, maka akan 

dijelaskan sebisa mungkin. Namun, pelabelan ini  seringkali 

penuh dengan kesulitan. Para mahasiswa didorong untuk 

melakukan perbandingan sendiri di antara terjemahan yang 

tercantum secara kronologis.

Ali, Muhammad. The Holy Qur’an: English Translation (Lahore, 

1917).

Ditulis oleh seorang tokoh kunci dalam sekte Ahmadiyah, 

terjemahan ini dikritik banyak kalangan karena pandangan 

sektariannya.39 Dalam beberapa aspek Ali sangat menyimpang 

dari terjemahan tradisional, khususnya ayat-ayat yang berbicara 

tentang ‘messiah’ dan Nabi Muhammad sebagai penutup para 

nabi. Ali juga mengedepankan interpretasi rasionalis terkait 

dengan ayat-ayat mukjizat dan tampak memiliki pandangan 

negatif terhadap Yahudi dan Kristen; misalnya, dia menyangkal 

dukungan al-Qur'an terhadap kelahiran Yesus dari Ibu yang 


masih perawan. Menariknya, terjemahan ini diadopsi sebagai 

terjemahan standar dalam Nation of Islam40 di Amerika Serikat. 

Terjemahan ini tampaknya juga turut membentuk fondasi bagi 

terjemahan mainstream lainnya, meskipun umumnya tidak 

diakui.41

Pickthall, Muhammad Marmaduke William. The Meaning of 

the Glorious Koran (London, 1930).42

Adalah salah satu terjemahan bahasa Inggris paling awal oleh 

seorang mualaf, dan sampai saat ini masih banyak dipakai . 

Pickthall adalah seorang mualaf Inggris, dan fasih berbahasa 

Arab, Turki dan Urdu. Dia mencoba untuk memperbaiki masalah 

yang ditemukan dalam terjemahan misionaris Kristen. Bahasanya 

cukup elegan meski kuno, dan di dalamnya ada  sedikit 

komentar bahkan kadang juga tidak ada. Kurangnya anotasi 

cukup membatasi kegunaanya bagi pembaca yang belum begitu 

familiar. Pickthall mungkin telah dipengaruhi oleh tokoh-tokoh 

seperti Muhammad Ali, terkhusus pandangan biasnya terhadap 

ayat-ayat mukjizat.43

Ali, Abdullah Yusuf. The Holy Qur’an: Translation and 

Commentary (Lahore, 1934).

Merupakan salah satu terjemahan yang paling populer di kalangan 

umat Islam hingga saat ini. Ali adalah pegawai sipil India yang 

40 Salah satu sekte yang berkembang di kalangan Afrika-Amerika di USA pada 

periode awal abad ke-20 danpendirinya, Wallace Fard Muhammad, dianggap 

sebagai nabi baru. Setidaknya dalam tahun-tahun pembentukannya, sekte ini 

dikenal karena mempromosikan supremasi hitam hingga saat ini, kelompok ini 

secara umum tidak diterima sebagai cabang kelompok Islam yang benar oleh 

mayoritas kaum Muslim.


dididik di India dan Eropa, dan terjemahannya dipengaruhi oleh 

penekanan pada rasionalisme modernis. Terjemahnnya mencakup 

komentar yang cukup komprehensif untuk menjelaskan kata-

kata atau frasa tertentu dan gaya puitisnya berusaha untuk 

menghadirkan cakupan makna-makna asli. Namun, catatan 

kaki yang berlebihan seringkali mereproduksi materi dari teks 

abad pertengahan tanpa upaya kontekstualisasi.44 Sekarang ini 

terjemahan ini  kehilangan sebagian pengaruhnya karena 

bahasanya yang agak usang.

Daryabadi, Abdul Majid. The Holy Qur’an: With English 

Translation and Commentary (Lahore, 1943).

Ditulis oleh seorang penulis terkenal India dan sarjana, 

terjemahan ini sangat sejalan dengan posisi Muslim tradisional 

dan dianggap sebagai terjemah yang cukup akurat, ditambah 

dengan catatan yang bermanfaat.

Ali, Sher. The Holy Al-Qur'an(Lahore, 1955).

Terjemahan ini dianggap sebagai terjemahan al-Qur'an resmi 

(Ahmadiah).45 Bahkan terjemah ini mungkin lebih daripada 

terjemahan Ahmadi lainnya, karena Ali menyisipkan pandangan 

dalam terjemahannya bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah 

seorang “al-Mahdi yang dijanjikan” (promised messiah).

Arberry, Arthur J. The Koran Interpreted (London, 1955).

Terjemahan oleh seorang profesor Cambridge di bidang bahasa 

Arab yang cukup terkenal ini dianggap oleh banyak orang sebagai 

terjemahan bahasa Inggris pertama yang dikerjakan oleh seorang 

sarjana yang benar-benar menguasai bahasa Arab dan Islam. 

Aspek yang cukup menonjol dibanding terjemah bahasa Inggris 

lainnya adalah sisi kemudahan untuk dibaca dan gaya bahasa 


yang berkualitas. Judulnya mengakomodir pandangan ortodoks 

yang mengatakan bahwa al-Qur'an tidak dapat diterjemahkan. 

Meskipun beberapa orang berkomentar tentang adanya beberapa 

kesalahan terjemah,46 terjemahan ini masih dianggap salah satu 

yang terbaik yang tersedia, dan dihormati secara akademik.47

Dawood, N. J. The Koran (London, 1956).

Terjemahan oleh seorang sarjana Yahudi keturunan Irak ini 

adalah salah satu terjemah edisi cetak yang tersedia paling banyak 

dan diterbitkan oleh Penguin Classics. Untuk edisi pertama, 

urutan bab tidak ditata sesuai dengan standar urutan kronologis, 

meskipun ini dirubah dalam edisi selanjutnya. Beberapa penulis 

Muslim mengkritik terjemah ini karena ketidakakuratan dan 

karena bias sistematis terhadap Islam.48

Mawdudi, Abul A’la. The Meaning of the Al-Qur'an (Lahore, 

1967), terjemahan bahasa Inggris dari karya tafsir Mawdudi 

dalam bahasa Urdu Tafhim al-Qur'an.

Terjemah ini ditulis oleh sarjana Indo-Pakistan dan aktivis politik, 

pendiri gerakan Jamaat-e-Islami di Pakistan, sebuah organisasi 

penting yang bergerak di bidang religio-politik. Gerakan ini 

menekankan Islam sebagai jalan kehidupan. Dalam karyanya 

ini , Mawdudi menyediakan penafsiran pada sarjana Islam 

klasik tentang al-Qur'an dan berupaya untuk menghubungkan 

seluruh pesan al-Qur'an dengan masalah kontemporer.

Khan, Zafrullah. The Qur’an: Arabic Text and English Translation 

(

Seperti penerjemah Ahmadiah lainnya, terjemahan ini dianggap 

cacat olehaliran Muslim mainstream dengan pendekatan 

sektariannya. Secara khusus, dijelaskan pula keyakinan Ahmadiah 

bahwa Muhammad bukanlah Nabi terakhir.49

Al-Hillali, Taqiuddin and Khan, Muhammad Muhsin.

Explanatory English Translation of the Meaning of the Holy Al-

Qur'an (Chicago, 1977).

Terjemahan ini banyak tersedia di masjid-masjid Sunni dan toko 

buku Islam di Amerika Serikat dan Eropa. Hal itu dikarenakan 

adanya pembagian secara gratis oleh beberapa negara Muslim 

konservatif dan filantropis. Terjemah ini sebagian besar diambil 

dari karya penafsir awal, yaitu Tabari, Qurtubi dan Ibnu Katsir, 

dengan komentar dari Sahih al-Bukhari (karya utama tetang 

hadis).50 Banyaknya penambahan dalam teks mencerminkan 

pandangan sangat negatif terhadap orang-orang Yahudi dan 

Kristen, seperti nampak dalam lampiran polemik yang memban-

dingkan antara Yesus dan Muhammad.

Asad, Muhammad. The Message of the Al-Qur'an (Gibraltar, 

1980).

Ditulis oleh seorang muallaf Yahudi; sebuah terjemah yang 

‘sederhana dan terus-terang’ yang bertujuan untuk mengem-

bangkan pemikiran yang independen daripada sekedar 

mengandalkan sarjana tradisional.51 Berbeda dengan terjemahan 

Marmaduke Pickthall dan Yusuf Ali, terjemah ini ditulis dengan 

bahasa Inggris yang lebih modern, dan memiliki catatan kaki 

dan penjelasan yang cukup ekstensif. Oleh karena terjemah ini 

berbeda dari sudut pandang Muslim tradisional dalam sejumlah 


isu, terutama beberapa isu teologis, beberapa orang memandang 

terjemah ini memiliki  orientasi rasionalis.

Shakir, M.H. Holy Al-Qur'an (New York, 1982).

Terjemahan ini telah menimbulkan beberapa kontroversi karena 

ditulis dengan perspektif Syiah. Hal ini paling jelas terlihat 

dalam indeks subjek, dimana doktrin Syiah dihubungkan 

dengan ayat-ayat tertentu dalam al-Qur'an yang motifnya 

adalah untuk mendukung mereka. Banyak kalangan mengkritik 

terjemah ini karena dianggap menjiplak terjemahan Ahmadiyah 

Muhammad Ali.52 Ada juga yang mempermasalahkan identitas 

penulis, beberapa kalangan bahkan mengatakan bahwa Shakir 

kemungkinan adalah nama samaran dari pemodal India 

yang dipercaya oleh sekelompok sarjana untuk melakukan 

penerjemahan.53

Ali, Ahmad. Al-Qur'an: A Contemporary Translation (Karachi, 

1984).

Sebuah terjemah yang fasih dan memakai bahasa Inggris 

kontemporer ditulis oleh seorang penyair dan diplomat Pakistan. 

Meskipun beberapa kata tertentu tampak kuno, namun kata 

ini  masih jelas dan bisa dibaca. Beberapa kalangan telah 

mengkritik karena tidak mengadopsi interpretasi ortodoks 


pada bagian tertentu.54 Terjemah ini  menuliskan beberapa 

catatan, namun tidak menguraikan penjelasan secara ekstensif.

Irving, T.B. (Ta’lim Ali). The Quran: The First American Version 

(Vermont,1985).

Ditulis oleh seorang muallaf Amerika dengan menggunakan 

bahasa Inggris Amerika modern, terjemahan ini dianggap 

memiliki beberapa masalah terkait dengan akurasi prinsip 

kebahasaan. Sub-judulnya pun juga dianggap bermasalah oleh 

banyak kalangan Muslim karena menyiratkan adanya ‘versi’ yang 

berbeda dari al-Qur'an.

Khatib, M.M. The Bounteous Qur’an: A Translation of Meaning 

and Commentary (London, 1986).

Terjemahan ini dianggap cukup akurat untuk dibaca, memakai 

bahasa Inggris modern, dalam pengantarnya juga membahas 

tentang Islam, al-Qur'an dan kehidupan Nabi. Terjemahan 

ini  memuat catatan singkat tentang kondisi pewahyuan 

dari ayat-ayat tertentu dan uraian tentang makna serta ekspresi 

dari beberapa ayat al-Qur'an.55

Ali, Syed V. Mir Ahmed. The Holy Qur’an: Arabic Text with 

English Translation and Commentary (New York, 1988).

Terjemah ini dianggap sebagai terjemahan standar kelompok 

Syiah, dan memuat pula keterangan luas mengenai doktrin dan 

ritual kelompok Syiah. Terjemahan ini dianggap memiliki bias 

Syiah yang kuat. Kelompok Syiah menghormati terjemahan 

ini, sebagian karena di dalamnya memuat penjelasan Ayatullah 

Mirza Mahdi Pooya Yazdi, salah satu ulama yang punya otoritas 

tertinggi dalam Syiah kontemporer.56


Bewley, Abdalhaqq and Bewley, Aisha. The Noble Qur’an: A New 

Rendering of Its Meaning in English (Norwich, 1999).

Terjemahan ini dianggap akurat dan sangat mudah untuk dibaca. 

Meski penulis adalah seorang pengikut Sufi dari kelompok Islam 

Sunni, terjemahan ini  tidak menunjukkan adanya bias.57 

Maksud para penulis nampak dalam upayanya membiarkan 

makna asli untuk “benar-benar hadir”,58 dan sebagian besar 

mereka sukses melakukannya. Namun, karena kurangnya 

dukungan dana, terjemah ini  tidak banyak tersedia.

Fakhry, Majid. An Interpretation of the Al-Qur'an (New York, 

2002).

Terjemahan ini telah dikritik oleh beberapa peninjau akademik 

karena kelemahan linguistik, yang gagal menarasikan retorika 

bahasa Arab asli secara memadai.59 Terjemah ini nampaknya 

tidak cukup populer.

Abdel Haleem, M.A.S. The Qur’an: A New Translation (New 

York, 2005).

Ini adalah terjemahan terbaru yang ditulis oleh Abdel Haleem, 

profesor dalam kajian Studi Islam di Universitas London. 

Sebuah terjemahan yang sangat mudah diakses dan akurat, 

terjemahan ini  berisi sedikit catatan kaki dan komentar 

yang diperlukan untuk menjelaskan konteks, dan memiliki 

ringkasan bab singkat. Terjemahan Abdel Haleem ini mendapat 

kritikan karena pembacaannya yang dianggap ortodoks oleh 


beberapa kalangan.60 Bahasa Inggris yang dipakai  cukup 

halus dan bebas dari bahasa kuno, meskipun beberapa kalangan 

berpendapat keindahan bahasa orisinal al-Qur'an tidak selalu 

tersampaikan.

Bakhtiar, Laleh. The Sublime Quran (Chicago, 2007).

Terjemahan yang baru diterbitkan ini merupakan yang pertama 

ditulis secara lengkap oleh wanita Amerika. Terjemahan ini 

berbeda dari terjemahan Muslim lainnya di mana ayat-ayatnya 

diatur dalam urutan kronologis, daripada urutan standar, dan 

ayat kontroversial tentang “pemukulan istri” (4:34) diberikan 

pandangan baru, yang berbeda dari terjemahan standar. Satu 

hal yang juga berpotensi kontroversial adalah penerapan metode 

penerjemahan yang sebagian besar sama seperti yang dipakai  

dalam Versi Bibel Versi King James.61 Tanggapan awal terhadap 

terjemahan ini cukup bervariasi.

Terjemahan Al-Qur'an di Internet

Pada bagian ini akan dijelaskan panduan terjemahan yang 

berbeda dari al-Qur'an yang ada di Internet. Pembaca dianjurkan 

untuk menggunakan salinan terjemahan online hanya sebagai 

panduan. Terjemahan yang ada di internet sebaiknya tidak 

dipakai  sebagai pengganti terjemah terbitan asli. Dalam 

salinan online, beberapa terminologi terkadang mengalami 

sedikit perubahan atau teks yang disalin terkadang tidak sengaja 

ada  kesalahan.


Tersedia 22 terjemahan bahasa Inggris. Sebagian besar dapat 

dilihat secara online atau didownload sebagai dokumen 

Microsoft Word.

Tersedia pula terjemahan dalam 55 bahasa. Beberapa bahasa 

seperti Italia, Belanda, Rusia dan Turki memiliki beberapa 

versi terjemahan.

Tersedia juga audio rekaman, video dan komentar dalam 

bahasa Inggris, Arab, Bosnia dan Urdu.

Asosiasi Mahasiswa Muslim di University of Southern 

California, ringkasan teks-teks umat Islam: http://www.usc.edu/

dept/MSA/quran/

ada  sebuah transliterasi terjemah al-Qur'an bahasa 

Inggris lengkap oleh Yusuf Ali, Pickthall dan Shakir (meski 

demikian, masih sedikit ‘koreksi’ terhadap terjemahan asli 

yang dibuat oleh Majlis Ulama Afrika Selatan, dan oleh para 

pembaca website) .

ada  mekanisme pencarian berdasarkan topik, kata-kata 

dan transliterasi Arab pada bahasa di atas. Hasil pencarian 

memuat terjemahan, tulisan Arab dan transliterasi, daftar 

topik yang dibahas dalam ayat dan link ke audio rekaman.

Audio tilawah dalam bahasa Arab, Inggris, Urdu dan Bangla. 

Link-link eksternal juga tersedia untuk terjemahan tertulis. 

Tujuh belas bahasa memiliki  link yang valid pada saat 

menulis, termasuk Albania, Thailand, Italia dan Jepang.

Kompleks Percetakan al-Qur'an King Fahd: www.

qurancomplex.com

Terjemahan tersedia dalam bahasa Hausa, Indonesia, 

Spanyol, Perancis dan Inggris.

Juga termasuk informasi umum tentang al-Qur'an dan Islam, 

dan database fatwa.

Ringkasan

Beberapa poin penting yang telah kita bahas dalam bab ini 

meliputi:

Sejak permulaan Islam, kaum Muslim telah mengakui adanya 

kebutuhan untuk terjemahan al-Qur'an ke dalam bahasa 

selain Arab, meskipun terkesan antipati dalam beberapa 

kasus, seperti dalam praktik shalat.

Kaum Muslim tidak menganggap terjemahan al-Qur'an 

setara dengan al-Qur'an itu sendiri, namun menganggapnya 

sebagai terjemahan ‘dari makna al-Qur'an’.

Alasan untuk hal ini mencakup ketidakmungkinan untuk 

meniru gaya asli al-Qur'an, kekayaan bahasa Arab, keberadaan 

istilah tertentu yang tidak bisa diterjemahkan ke dalam 

bahasa lain, dan fakta bahwa terjemahan tidak pernah bisa 

benar-benar tepat atau netral.

206

Terjemahan al-Qur'an non-Muslim pertama yang cukup 

penting dimulai pada abad ke-12 M, dan hingga akhir-akhir 

ini secara relatif muncul terjemahan yang bernuansa polemik.

Pada abad ke-20 telah terlihat beberapa terjemahan yang 

cukup akurat oleh Sarjana Barat maupun umat Islam sendiri, 

dan sekarang ada ratusan terjemahan berbeda yang tersedia 

di lebih dari 65 bahasa. Ada berbagai terjemahan al-Qur'an 

yang umum tersedia dalam bahasa Inggris, dan beberapa di 

antaranya telah diuraikan di sini.

207

Bab 8

Al-Qur'an

dan Kitab Suci Lain

TIGA AGAMA ABRAHAMIK, YAHUDI, KRISTEN DAN ISLAM, memiliki  keterhubungan dalam keyakinan tentang monoteisme maupun kitab suci mereka. 

Sebagaimana ditunjukan oleh ayat-ayat berikut ini, al-Qur'an 

mengakui Taurat Musa dan Injil Yesus sebagai wahyu dari Tuhan:

Secara bertahap, Dia [Tuhan] menurunkan Kitab kepadamu 

[Muhammad] yang mengandung kebenaran, membenarkan 

kitab-kitab sebelumnya: dan Dia menurunkan Taurat dan 

Injil sebelumnya sebagai petunjuk bagi manusia dan Dia 

menurunkan pembeda [antara yang benar dan yang salah].1

Meskipun ada  perbedaan antara al-Qur'an, Taurat 

dan Bible, di sana juga ada  cukup banyak ayat-ayat yang 

menunjukan bahwa al-Qur'an mengakui otentisitas wahyu 

sebelumnya. Faktanya, teolog Muslim juga menempatkan 

keyakinan terhadap wahyu-wahyu sebelumnya, termasuk kitab 

suci Yahudi dan Kristen, ke dalam ‘enam pilar keimanan‘ (arkan 

1 QS: 3:3-4.

208

al-iman), dengan landasan ayat-ayat seperti dalam al-Qur'an 

2:285:

Nabi Muhammad beriman kepada apa yang diturunkan 

kepadanya dari Tuhan-nya, demikian pula orang-orang yang 

beriman. Semua beriman kepada Tuhan, malaikat-malaikat-

Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. ‘Kami tidak 

membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya’, dan 

mereka berkata, ‘Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami 

ya Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat kami kembali!’

Meski demikian, dengan berdasarkan pada interpretasi 

beberapa ayat al-Qur'an, beberapa ulama klasik sampai pada 

pemikiran bahwa kitab suci umat Yahudi dan Kristen yang 

ada pada waktu Muhammad hidup (abad ke-1/ke-7) telah 

‘diselewengkan‘ oleh manusia. Oleh karenanya, mereka tidak lagi 

menganggapnya sebagai wahyu otentik sebagaimana dijelaskan 

di atas, seperti nabi-nabi Ahli Kitab yang telah menerima wahyu 

dari Tuhan. Dari waktu ke waktu, konflik tentang otentisitas dan 

distorsi menjadi sumber perdebatan terkait dengan pandangan 

al-Qur'an terhadap tradisi dan kitab suci agama lain. Saat ini, 

beberapa pandangan di antara kaum Muslim berkisar dari 

mereka yang meyakini bahwa hampir semua kitab suci umat 

Yahudi dan Kristen tetap bisa dianggap otoritatif, hingga mereka 

yang meyakini bahwa kitab-kitab suci ini  telah mengalami 

penyimpangan, dan oleh karenanya tidak bisa dijadikan sumber 

kitab suci yang valid.

Dalam bab ini kita akan membahas:

Ketegangan antara pemahaman standar kaum Muslim 

terhadap kitab suci dan beberapa teks terkait yang disinggung 

dalam al-Qur'an;

Pandangan al-Qur'an terhadap kitab suci umat Yahudi dan 

Kristen;

209

Perbedaan interpretasi tentang konsep ‘distorsi‘ yang ada 

dalam al-Qur'an;

Keterikatan sarjana Muslim dengan sumber-sumber Yahudi 

dan Kristen; dan

Beberapa pandangan modern tentang kitab suci Yahudi dan 

Kristen.

Pemahaman Kaum Muslim terhadap Kitab Suci

Sebagaimana telah didiskusikan di bab 3, konsep kaum 

Muslim tentang ‘kitab suci‘ sangat erat kaitannya dengan gagasan 

wahyu tertulis bahwa Tuhan telah menurunkan nabi-nabi-Nya. 

Berdasarkan pengetahuan kaum Muslim tentang al-Qur'an, kitab 

suci tertulis ini dipahami untuk merepresentasikan kata-kata 

Tuhan yang tepat. Menurut pemahaman ini, wahyu dan kitab 

suci sangat identik. Oleh karenanya, ‘teks‘ apapun yang termasuk 

dalam bentuk tulisan kitab suci merupakan wahyu langsung 

dari Tuhan, tidak dari yang lain; firman Tuhan dan kata-kata 

manusia harus dipisahkan. Pemahaman terhadap kitab suci ini 

pun tidak begitu jelas dideskripsikan dalam al-Qur'an maupun 

hadis; namun hal itu dikembangkan lebih jauh oleh teolog Muslim 

klasik dengan mendasarkan pada pemahaman mereka terhadap 

wahyu dan dokumentasi al-Qur'an. Dari waktu ke waktu, konsep 

ini berkembang menjadi sebuah statemen teologis yang pada 

akhirnya diadopsi sebagai sebuah keyakinan.

Salah satu faktor penting dominannya konsep kitab suci ini di 

kalangan kaum muslim adalah karena kebutuhan pada abad-abad 

awal Islam untuk mendemonstrasikan otentisitas dan otoritas 

al-Qur'an vis-a-vis kitab-kitab suci agama lain. Kebutuhan akan 

hal ini semakin meningkat karena kontak yang cukup besar 

terjadi antara emperium Kristen di satu sisi dan dinasti kaum 

Muslim yang mulai berkembang. Dalam teologi Kristen, kaum 

Muslim telah berjumpa dengan tradisi agama yang secara teologis 

210

telah ada pada titik perkembangan yang pesat, dan mampu 

memanfaatkan tradisi panjang filsafat, logika dan teologi dalam 

klaimnya yang otentik dan untuk mendukung dogma utamanya. 

Karena kurangnya tradisi ini , kaum Muslim mendasarkan 

argumen bahwa kitab suci mereka, al-Qur'an, ‘lebih suci‘ dalam 

orisinalitas ilahiahnya daripada kitab suci umat Kristen dan 

Yahudi. Hal itu kemudian diikuti oleh pandangan yang meyakini 

bahwa jika kitab suci al-Qur'an dianggap lebih suci dan otentik 

daripada Islam, agama yang mendasarkan pada al-Qur'an, maka 

seharusnya al-Qur'an lebih suci dan otentik daripada Yahudi dan 

Kristen.2

Penelitian tentang ayat al-Qur'an mengenai hal ini, 

menunjukan bahwa al-Qur'an itu sendiri mengambil pandangan 

yang cukup luas dalam konsepnya tentang kitab suci yang valid. 

Misalnya, al-Qur'an menerima validitas dan otentisitas kitab-

kitab suci sebelumnya. Argumen penerimaan ini dilakukan meski 

ada  kemungkinan bahwa kitab-kitab suci ini  belum 

terdokumentasikan selama masa hidup atau paska meninggalnya 

Nabi yang telah mendapatkan wahyu, atau kitab-kitab suci ini  

mungkin belum ditulis dengan bahasa yang dipakai  oleh nabi. 

Penerimaan otentisitas ini pada bagian tertentu direfleksikan 

dalam perintah al-Qur'an: ‘dan hendaklah para pengikut Injil 

memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Tuhan di 

dalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut 

apa yang diturunkan tuhan, mereka itulah orang-orang fasik.’3 

Dari konteks ayat ini , ayat ini sepertinya lebih berbentuk 

perintah yang diturunkan kepada umat Kristiani di masa 

Nabi Muhammad, daripada petunjuk tentang masa lalu. Oleh 

karenanya, meski ada kemungkinan bahwa semenjak masa Yesus, 

2 Abdullah Saeed, ‘The Charge of Distortion of Jewish and Christian Scriptures’, 

The Muslim World, Fall 2002, vol. 92, nos. ¾, h. 431-433.

3 QS: 5:47.

211

proses narasi dan terjemahan mungkin telah mengakibatkan 

beberapa ‘wahyu Tuhan’ tecampur dengan ‘kalam manusia’, ini 

tidak berarti mengurangi kuatnya keterhubungan teks dengan 

bentuk orisinal wahyu dan otoritas yang tetap ada dalam wahyu 

ini .

Fokus al-Qur'an di sini sepertinya lebih bertindak sebagai 

penjaga pesan esensial, daripada bahasa atau narasi orisinal 

wahyu. Dengan pemahaman seperti ini, meskipun itu terjemahan 

dari sebuah wahyu, maka akan tetap disebut sebagai kitab suci. Al-

Qur'an tidak ingin masuk dalam perdebatan tentang ‘otentisitas’ 

keseluruhan dari ktiab suci masa lalu. Namun, dengan beberapa 

pengecualian al-Qur'an tampak menerima otentisitas dan 

validitas kitab suci umat Yahudi dan Nasrani sebagaimana kitab 

ini  eksis pada masa Nabi Muhammad.

Kitab Suci Umat Yahudi dan Kristen dalam al-Qur'an

Sebagaimana disebutkan di atas, al-Qur'an menunjukan 

penghargaan dan penghormatan tinggi terhadap kitab-kitab suci 

yang digambarkan sebagai wahyu yang turun sebelumnya: secara 

khusus, Taurat kaum Yahudi yang diturunkan kepada Musa dan 

Injil kaum Nasrani yang diturunkan kepada Yesus. Al-Qur'an 

juga tidak pernah menggunakan statemen yang meremehkan 

‘kitab-kitab ini ‘, dan mengatakannya sebagai wahyu yang 

turun dari Tuhan. Bagaimanapun, al-Qur'an juga melakukan 

kritik terhadap Ahli Kitab4, khususnya Yahudi dan Nasrani, baik 

sebagai individu maupun kelompok, dalam kasus di mana al-

Qur'an menuduh mereka tidak patuh terhadap perintah Nabinya.

4 Sepanjang sejarah Muslim, agama-agama lain seperti Hindu, Budha, Zoroaster dan 

Mazdeisme, pada waktu itu juga dijelaskan sebagai Ahli Kitab, atau shibh kitab, orang-

orang yang memiliki ‘kemiripan’ kitab suci. Jackues Waardenburg, ‘The Medieval Period: 

650-1500’, dalam Muslim Perception of Other Religions, New York; Oxford: Oxford 

University Press, 1999. Lihat h. 28-29 tentang Hinduisme dan h. 56-57 tentang 

‘kemiripan’ kitab suci.

212

Menurut al-Qur'an, kitab-kitab suci ini  -Taurat dan 

Injil- dikatakan juga mengandung kalam hikmah, petunjuk dan 

penerang:

Kami telah menurunkan kitab Taurat yang di dalamnya 

ada  petunjuk dan cahaya. Dan para Nabi, yang berserah 

diri kepada Tuhan, memberi pututsan atas perkara orang 

Yahudi, demikian pula para ulama dan pendeta-pendeta 

mereka, sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab 

Tuhan dan mereka menjadi saksi terhadapnya.5

Dan:

Dan kami teruskan jejak mereka dengan mengutus Yesus 

putra Maryam, untuk membenarkan Kitab Taurat yang 

turun sebelumnya: Kami turunkan Injil kepadanya yang di 

dalamnya ada  petunjuk dan cahaya dan membenarkan 

kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat,d an sebagai petunjuk 

serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa.6

Al-Qur'an memuat banyak referensi tentang eksistensi kitab-

kitab suci ini  dan faktanya mereka memuat petunjuk dari 

Tuhan. Fakta lain, al-Qur'an berulang kali mengkonfirmasi 

keberadaan Kristen dan Yahudi sebagai tradisi agama yang valid.

Dalam pandangan al-Qur'an, pesan utama dari semua 

nabi, dan apa yang menghubungkan al-Qur'an, Taurat dan 

Injil, adalah keyakinan dan kepasrahan kepada Tuhan yang 

Esa. Konsekuensinya, dalam al-Qur'an, baik Yahudi maupun 

Kristen secara kolektif diberikan gelar kehormatan sebagai Ahli 

Kitab. Al-Qur'an mendeskripsikan Ahli Kitab sebagai orang yang 

membaca ‘wahyu Tuhan’,7 dan, dalam beberap contoh, merujuk 

kepada mereka sebagai orang yang kepada mereka Tuhan ‘telah 

5 QS: 5:44.

6 QS: 5:46.

7 QS: 3:113.

213

memberikan kitab suci‘.8 Mereka lebih jauh diminta untuk 

‘menjunjung tinggi Taurat dan Injil’.9 Ayat yang cukup familiar 

berikut ini sepertinya menunjukan bahwa, jika mereka adalah 

orang yang tulus keimanannya, maka perilaku baik mereka juga 

akan diterima oleh Tuhan: “Orang-orang beriman [Muslim], 

orang-orang Yahudi, kaum Sabi’in, dan orang-orang Nasrani 

-barangsiapa yang beriman kepada Tuhan dan hari akhir dan 

berbuat kebajikan- maka tidak ada rasa khawatir padanya dan 

mereka tidak bersedih hati.10

Pandangan positif al-Qur'an terhadap Taurat dan Injil ini 

mungkin tidak mengagetkan; karena al-Qur'an mengklaim 

sebagai Kalam Tuhan, yang demikian ini terlihat natural karena 

al-Qur'an menghargai kitab suci sebelumnya. Bagaimanapun, 

meski al-Qur'an secara eksplisit mengakui kitab suci umat Kristen 

dan Yahudi, beberapa ayat al-Qur'an nampak menunjukan adanya 

kemungkinan ‘distorisi’ dalam kitab ini . Kehadiran ayat-

ayat yang sepertinya menjadi pesan polemik telah menyebabkan 

perdebatan panjang di kalangan ulama Muslim dan kaum 

awam terkait bagaimana seharusnya kitab suci ini  harus 

diperlakukan dan sejauh mana kitab suci ini  bisa dianggap 

otentik dan reliabel dalam bentuknya yang baku saat ini. Pada sub-

bab berikutnya, kita akan mengeksplorasi beberapa argumentasi 

perdebatan, bersama dengan sejumlah interpretasi bahwa kaum 

Muslim telah membuat konsep ‘distorsi’ dari waktu ke waktu.

Pandangan Kaum Muslim tentang ‘Distorsi’ Kitab Suci 

Umat Yahudi dan Kristen

Sebagaimana telah kita lihat, al-Qur'an dengan jelas mengakui 

dan menghormati kitab suci yang diturunkan kepada Yahudi dan 

8 Lihat misalnya, QS: 3:187; 4:131; 5:5; 74:31; 98:4.

9 QS: 5:68.

10 QS: 5:69.

214

Kristen. Meskipun ada  beberapa petunjuk, di sana ada  

pandangan umum yang dipegang oleh kaum Muslim bahwa kitab 

suci umat Yahudi dan Kristen sebagaimana adanya saat ini telah 

banyak mengalami ‘perubahan‘. Di era modern, pandangan ini 

sebagian besar menjadi bagian umum dari keyakinan Muslim. 

Karena adanya ‘distorsi‘ yang dipercaya ini, mereka meyakini 

bahwa kitab suci Yahudi dan Kristiani tidak lagi bisa menjadi 

dasar sebagai ‘wahyu Tuhan‘ dalam persoalan apapun tentang 

agama, keyakinan ataupun hukum.11

Meskipun pandangan sarjana mengenai isu ini lebih halus,12 

pandangan umum ini mempertahankan bahwa: (1) kitab 

suci yang diterima dan dihargai oleh al-Qur'an adalah kitab 

suci yang diturunkan kepada Musa dan Yesus; dan (2) bagian 

terpenting dari kitab suci yang ada saat ini telah ‘terdistorsi’ atau 

‘terselewengkan’ dan cukup sulit untuk mengetahui bagian mana 

yang diselewengkan; atau (3) kitab suci yang dirujuk oleh al-Qur'an 

yaitu Taurat dan Injil telah hilang seluruhnya, dan bukti akurat 

keberadaannya sudah tidak dapat dipastikan. Yang terakhir ini 

sepertinya menjadi pandangan yang paling umum, khususnya di 

antara kelompok Muslim konservatif. Meskipun ini merupakan 

pandangan umum terhadap kitab suci, mayoritas kaum Muslim 

meyakini bahwa Ahli Kitab harus tetap dihormati sebagai bagian 

dari tradisi keagamaan yang valid, tanpa menghiraukan apakah 

kitab suci mereka ‘terdistorsi’ atau tidak.

ada  sejumlah ayat al-Qur'an yang nampak mendukung 

pandangan bahwa memang ada ‘distorsi’ dalam beberapa 

11 Persoalan ini telah didiskusikan oleh Seyyed Hosen Nasr sebagai salah satu kesulitan 

untuk melakukan dialog antara Nasrani-Muslim. Seyyed Hosen Nasr, ‘Islamic-Christian 

Dialogue – Problems and Obstacles tob e Pondered and overcome’, The Muslim World, 

vol. 88, nos. 3-4, Juli-Oktober, 1998.

12 Lihat misalnya, Taqiyy al-Din Ibn Taymiyya, al-Tafsir al-Kabir, ed. Abd al-Rahman 

Umayra, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyya, n.d., I, h. 207-209.

215

bagian kitab suci Yahudi dan Nasrani. Salah satu terminologi 

umum yang dipakai  al-Qur'an dalam hal ini adalah tahrif, 

yang didefinisikan sebagai ‘penyelewengan sebuah dokumen, 

dimana teks asli telah dirubah’.13 Sebagai contoh, al-Qur'an 

menyatakan: mereka mengubah [yuharrifun] pesan yang 

diturunkan kepada mereka dan melupakan sebagian dari apa 

yang telah diperingatkan kepada mereka.’14 Terminologi lain 

yang dipakai  al-Qur'an adalah baddala, yang artinya ‘merubah, 

menukar dan mengganti’. Al-Qur'an menyatakan: ‘namun orang-

orang yang zalim mengganti [baddala] perintah dengan yang lain 

yang tidak diperintahkan kepada mereka.’15

Banyak kalangan mufassir berusaha menjelaskan makna dari 

ayat yang ada  kata tahrif dan terminologi lain yang dipakai  

oleh al-Qur'an. Perlu dicatat bahwa mayoritas ulama ini  

terlihat sangat berhati-hati dalam menilai makna ‘distorsi’ 

daripada yang mungkin diharapkan dari pandangan populer di 

kalangan muslim saat ini. Di antara ulama pra-modern yang 

memiliki  gagasan yang cukup berpengaruh tentang makna 

distorsi adalah para mufassir besar seperti Tabari (d.310/923), 

Razi (d.606/1209) dan Qurtubi (d.671/1273).

Distorsi makna atau kata?

Salah satu isu di mana para ulama pra-modern memiliki  

beragam pemahaman tentang makna distorsi ada pada wilayah 

bagaiamana sebenarnya proses distorsi itu terjadi? Sementara 

sebagian ulama berargumen bahwa distorsi telah terjadi pada 

makna atau interpretasi teks, sedang yang lain menunjukan 

bahwa kata-kata aktual dari teks telah dirubah. Sebagai contoh, 

13 ‘Tahrif ’ dalam H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers (eds), Shorter Encyclopaedia of 

Islam, Leiden: E.J. Brill, 1991, p. 560.

14 QS: 5:13.

15 QS: 2:59.

216

Razi yang berargumen bahwa makna teks telah dirubah. Dalam 

interpretasinya terhadap dua ayat yang merujuk pada kata 

tahrif, yaitu dalam QS.5:13, seperti dikutip sebelumnya, dan 

QS.5:41, yang memuat frasa ‘[kaum Yahudi] yang mengubah 

makna-makna dari wahyu [yang diturunkan]’, Razi beranggapan 

bahwa teks-teks ini  menunjukan adanya interpretasi yang 

menyesatkan terhadap perintah Tuhan, bukan pada perubahan 

kata-kata aktual dalam kitab suci. Dia meyakini bahwa perubahan 

terhadap kata-kata dalam kitab suci yang telah ditransmisikan 

oleh sebagian besar orang tidak akan mungkin terjadi.16 Razi 

sepertinya meyakini bahwa distorsi dalam teks kitab suci hanya 

akan muncul pada masa awal kemunculan teks ini  dalam 

rentang sejarah komunitas, yaitu saat  para pengikut wahyu, 

yang dari mereka teks kemudian bisa dikenal, masih terbilang 

sangat sedikit.17

Tabari, salah satu mufassir besar, juga mendukung pandangan 

bahwa distorsi terjadi dalam makna teks, bukan pada teks aktual 

itu sendiri.18 Dalam menafsirkan ayat 5:13, Tabari mengatakan 

bahwa teks yang diwahyukan telah dirubah melalui interpretasi 

yang salah, yang kemudian ditulis dan diatribusikan kepada 

Tuhan.19 Dalam menafsirkan ayat setelahnya, Tabari memahami 

terminologi ‘yuharrifunahu’ dengan arti ‘mereka merubah 

maknanya’:20 ‘Maka apakah kamu [kaum mukmin] sangat 

mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, sedangkan 

16 Al-Fakhr al-Razi, al-Tafsir al-Kabir, Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, edisi ke-3, n.d., 

VI, part 11, h. 187.

17 Razi, al-Tafsir, II, part 3, h. 134.

18 Tabari, Jami’, I, h. 367.

19 Tabari, Jami’, IV, bagian 6, h. 155.

20 Tabari, Jami’, I, h. 368.

217

segolongan dari mereka mendengar firman Tuhan dan mereka 

mengubahnya [yuharrifunahu], padahal mereka mengetahuinya?’21

Mufassir lain, Qurtubi, dalam ayat yang sama 5:13, 

berpandanngan bahwa rujukan terhadap kata ‘distorsi’ bisa 

dikaitkan dengan upaya perubahan baik dalam kata maupun 

makna. Menurut dia, ayat ini  bermakna bahwa ‘mereka 

[kaum Yahudi] menafsirkan [teks] secara keliru dan memberikan 

interpretasi yang salah kepada khalayak umum’- dia juga 

mengamati bahwa ‘[perubahan terhadap] makna [ayat] adalah 

upaya merubah huruf-huruf [yang ada dalam teks]’.22

Berdasarkan pada ayat berikutnya, beberapa ulama juga 

beranggapan bahwa distorsi kitab suci mungkin terjadi ‘dalam 

ucapan’, dengan merujuk pada distorsi-distorsi dalam narasi 

verbal:

Dan di antara mereka ada segolongan yang memutarbalikan 

lidahnya membaca kitab, agar kamu menyangka apa yang 

mereka baca itu sebagian dari kitab, padahal itu bukan dari 

kitab; dan mereka berkata bahwa itu dari Tuhan, padahal 

tidak; mereka mengatakan hal yang dusta terhadap Tuhan 

dan mereka tau akan hal itu.23

Dalam interpretasinya, Qurtubi memahami ayat ini dengan 

makna perubahan dari apa yang dikehendaki oleh teks.24 Ayat 

ini  dengan jelas merujuk pada distorsi tentang teks atau 

maknanya melalui ucapan; oleh karenanya al-Qur'an sepertinya 

menunjukan bahwa proses ini mungkin melibatkan proses 

penarasian tentang sesuatu dan mengatribusikannya secara 

salah terhadap kitab suci, atau memberikan pemahaman yang 

21 QS: 2:75.

22 Abu Abd Allah Muhammad ibn Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, al-Jami’ li ahkam al-Qur‘an, 

Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyya, 1993, III, bagian 6, h. 77.

23 QS: 3:78.

24 Qurtubi, Al-Jami’, II, bagian 4, 78.

218

salah tentang apa yang telah dikatakan oleh kitab suci masa lalu 

tentang isu yang terkait dengan Nabi Muhammad.

Distorsi dengan menyembunyikan teks

Beberapa ulama juga menganggap adanya kemungkinan 

bahwa distorsi itu terjadi melalui upaya penyembunyian teks. 

Dalam skenario ini, teks itu sendiri sebenarnya ada dan otentik, 

namun disembunyikan oleh ulama-ulama Yahudi dan Nasrani. 

Contoh paling baik dalam dugaan penyelewengan ini terkait 

dengan teori yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad dan 

misinya sebenarnya telah diramalkan dalam Taurat dan Injil. 

Menurut teori ini, ulama Yahudi dan Nasrani yang hidup di 

masa Muhammad ‘menyembunyikan’ teks-teks ini  untuk 

menolak kenabiannya. Sebagai contoh, Tabari melihat beberapa 

ayat al-Qur'an yang mendukung dugaan bahwa ulama Yahudi 

Madinah telah melakukan penyembunyian ayat yang terkait 

dengan Nabi Muhammad yang ada dalam Taurat.25 Salah satu 

ayatnya berbunyi ‘sungguh, orang-orang yang menyembunyikan 

Kitab yang telah diturunkan Tuhan, dan menjualnya dengan 

harga murah, mereka hanya menelan api neraka ke dalam 

perutnya.’26 Demikian juga, dia menafsirkan ayat di bawah ini 

sebagai ayat yang merujuk pada ulama Yahudi dan Nasrani yang 

telah menyembunyikan apa yang telah tertulis dalam kitab suci 

mereka tentang kenabian Muhammad:27

Sungguh, orang-orang yang menyembunyikan keterangan dan 

petunjuk yang telah Kami turunkan, setelah Kami jelaskan 

kepada manusia dalam Kitab, Tuhan akan melaknatnya, 

dan dilaknat pula oleh mereka yang melaknat, kecuali 

25 Tabari, Jami’, II, 89.

26 QS: 2:174.

27 Tabari, Jami’, II, 52.

219

mereka bertaubat, mengadakan perbaikan dan mengatakan 

kebenaran.28

Penafsiran Tabari sepertinya didasarkan pada bukti yang ada 

dalam ayat lainnya yang menyatakan bahwa Muhammad telah 

dijelaskan dalam Taurat dan Injil sebagai Nabi yang ‘bukan orang 

Yahudi’. Sebagai contoh:

Akan Aku [Tuhan] tetapkan rahmat-Ku bagi mereka yang 

bertakwa, yang menunaikan zakat dan yang beriman kepada 

ayat-ayat kami; yang mengikuti Rasul, Nabi yang buta huruf 

[ummiy] yang mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil 

yang ada pada mereka.29

Sebagaimana Muhammad Abdel Haleem menulis dalam buku 

terjemahan al-Qur'an-nya tentang ayat ini, ummiy bisa bermakna 

‘buta huruf’ dan ‘bukan orang Yahudi’.30

Tabari juga merujuk pada ayat lain yang menunjukan 

bahwa Yesus telah meramalkan kedatangan Muhammad, dan 

merujukanya dengan menggunakan kata Ahmad, atau ‘orang 

yang terpuji’, sebuah nama yang memiliki  makna yang sama 

dengan Muhammad:31 ‘dan saat  Yesus putra Maryam berkata, 

“wahai bani Israel sesungguhnya aku utusan Tuhan, yang 

membenarkan Taurat yang turun sebelum aku dan memberi kabar 

gembira dengan seorang rasul yang akan datang setelahku, yang 

namanya Ahmad.’’32 Oleh karena itu, bentuk ‘penyembunyian’ 

yang dirujuk dalam ayat ini oleh Tabari dipahami dengan makna 

keengganan mereka untuk mengakui Muhammad atau ‘tanda’ 

28 QS: 2:159.

29 QS: 7:157.

30 Muhammad Abdel Haleem (trans.), The Qur’an: A New Translation, New York: Oxford 

University Press, 2005, h. 105.

31 QS: 61:6.

32 QS: 61:6.

220

yang menunjukan tentang kedatangannya yang sebenarnya 

ada  dalam kitab suci Yahudi maupun Nasrani.33

Keterlibatan Akademik dengan Sumber-sumber 

Yahudi dan Nasrani

Dalam al-Qur'an, ada  sejumlah ayat yang menceritakan 

tentang nabi-nabi masa lalu yang ada di Bible, yang juga 

menerima wahyu dari Tuhan sebelum kenabian Muhammad. 

Meskipun Muhammad dan banyak dari pengikutnya memiliki  

pengetahuan tentang tradisi Yahudi dan Nasrani, pengetahuan 

mereka tentang figur-figur ini , yang seringkali hanya 

disinggung sedikit oleh al-Qur'an, masih belum sempurna. Oleh 

karenanya, tradisi Islam memberithaukan kepada kita bahwa 

banyak dari kaum Muslim klasik, termasuk beberapa sahabat 

Nabi, seringkali mencari klarifikasi dari orang Yahudi yang pindah 

ke agama Islam seperti Ka’b al-Ahbar (d.ca.32/652). Beberapa 

sumber menunjukan bahwa Ka’b al-Ahbar telah membacakan 

dan menjelaskan Taurat di masjid Madinah.34 Keponakan Nabi 

sendiri, Abd Allah ibn Abbas, juga dikabarkan menjadi orang yang 

gemar mengoleksi dan mentransmisikan legenda dalam Bible.

Sebagaimana ekspansi Islam mulai bergeliat paska 

meninggalnya Nabi, turut meningkat pula sejumlah kaum 

Muslim yang ingin belajar lebih tentang nabi-nabi yang sering 

disinggung dalam al-Qur'an. Sementara beberapa orang berusaha 

mencari pengetahuan ini murni dengan tujuan kesalehan, sedang 

yang lain berusaha menggabungkannya dalam cerita populer 

pada saat itu. Tanpa mempertimbangkan alasan mereka, banyak 

33 Tabari, Jami’, II, 53.

34 M.J. Kister, ‘Haddithu an bani isra’ila wa-la haraja. A Study of an early tradition’, h. 232, 

Israel Oriental Studies, vol. 2, 1972, h. 215-239, dikutip dari Camilia Adang, Muslim 

Writer on Judaism and the Hebrew Bible From Ibn Rabban to Ibn Hazm, leiden: Brill 

Academic Publishers, 1996, h. 8.

221

dari kalangan Muslim klasik bersandar pada tradisi Ahli Kitab 

untuk mengisi informasi-informasi kosong yang belum dijelaskan 

secara detail.

Pada abad-abad berikutnya, para ulama Muslim seringkali 

berdebat tentang Ahli Kitab atau sumber-sumber Yahudi dan 

Nasrani dalam perkembangan bidang studi seperti teologi dan 

hukum al-Qur'an.35 Dimulai dengan karya Wahb ibn Munabbih 

(d.ca113/732) Cerita tentang Para Nabi yang muncul pada abad 

ke-2/ke-8, sejumlah sejarawan Muslim juga mulai memproduksi 

karya sejarah yang menggunakan sumber-sumber Muslim, 

Yahudi dan Nasrani.36 Di antara karya awal yang muncul adalah 

karya Mas’udi (d.344/956) tentang sejarah dunia, yang berjudul 

The Meadows of Gold and Mines of Gems. Kutipan di bawah ini 

mengilustrasikan bagaimana Mas’udi bebas dalam menggunakan 

referensi baik yang ada dalam al-Qur'an atau Taurat, dan 

informasi yang diterima secara oral dari Ahli Kitab:

Saat ini para pengikut Taurat dan Kitab-Kitab Suci Pertama 

mengatakan bahwa Musa, anak dari Manasseh, anak dari 

Yusuf, anak dari Ya’kub adalah seorang nabi sebelum Musa 

anak dari Amram, dan dialah orang yang pergi mencari al-

Khidr . . . beberapa orang dari kalangan Ahli Kitab mengatakan 

bahwa al-Khidr adalah Khidrun.

Saat ini para peramal dan ahli sihir Firaun, menginformasikan 

kepadanya bahwa seorang anak kecil akan segera lahir dan 

dialah yang akan menghancurkan pemerintahannya dan 

akan menyebabakan terjadinya hal yang mengerikan di 

Mesir, dan informasi ini sangat membuat Firaun cemas. Dia 

kemudian menyuruh anak-anak (mereka) untuk dibunuh. 

35 Lihat Waardenburg, Muslim Perceptions of Other Religions, h. 55.

36 Wahb ibn Munabbih, Qisas al-Anbiya (‘Stories oft he Prophets’). Untuk terjemah Inggris 

modern yang merujuk pada karya Ibn Munabbih lihat: Muhammad Ibn Abd Allah Kisai, 

Tales of the Prophets (Qisas Al-Anbiya), trans. Wheeler Thackson, Chicago: Kazi 

Publications, 1997.

222

Akan tetapi Tuhan mewahyukan kepada Ibu (Musa) agar dia 

melemparkan Musa ke dalam air, sebagaimana Tuhan telah 

menginformasikan dan menjelaskan tentang hal itu melalui 

Nabi Muhammad (cf. Surah 20:38, 28:7).

Dan Tuhan berbicara kepada Musa secara langsung (Surah 

4:164), dan Dia menguatkan dukungan kepada saudaranya 

Harun, dan Dia mengirim keduanya kepada Firaun. Namun 

dia menolak keduanya dan Tuhan menenggelamkannya (cf. 

Eksodus 3:10).

Lalu Tuhan menyuruh Musa untuk memimpin bangsa Israel 

pergi ke padang gurun. Mereka berjumlah sebanyak 600.000 

laki-laki dewasa, disamping ada  juga orang-orang yang 

sedang beranjak dewasa (cf. Eksodus 12:37).37

Pada waktu yang sama, tren yang di masa selanjutnya dilabeli 

dengan tafsir Injil ‘Muhammad’ (merujuk pada Bible Nasrani 

dan Taurat Yahudi) juga mulai berkembang. Salah satu contoh 

tentang hal ini adalah karya Ibn Qutayba (d.275/889) Dala’il 

al-nubuwwa (Bukti-Bukti Kenabian), yang mengutip banyak 

bagian dari Injil yang mendukung kenabian Muhammad.38 Pada 

abad-abad berikutnya, oleh karena identitas kaum Muslim 

dan intelektualnya mulai berkembang kuat dan independen, 

para ulama Muslim mulai melihat sumber-sumber Yahudi dan 

Nasrani dengan tingkat kecurigaan yang tinggi. Tidak hanya 

ketergantungan terhadap sumber-sumber ini  yang mulai 

menurun, namun mereka juga mereview dan menutupi referensi-

referensi karya yang muncul pada masa sebelumnya. Dalam 

lingkungan seperti inilah para ulama hukum dan teolog seperti 

37 Al-Mas’udi, Muruj al-dhahab, I, h. 53-55, dikutip dari Camilia Adang, Muslim Writers 

on Judaism and the Hebrew Bible, h. 122-123 (tanda kurang ini  asli dari penulis 

awal).

38 Adang, Muslim Writers on Judaism and the Hebrew Bible, h. 35.

223

Ibn Hazm (d.456/1064) menggunakan kritisisme skriptural 

terhadap kitab suci umat Yahudi dan Nasrani. Karyanya sangat 

kritis dan rasional, dan dianggap sebagai pelopor kajian kritis 

terhadap Injil.39

Sikap Kaum Muslim terhadap Kitab Suci Yahudi dan 

Nasrani

Pandangan dari periode pra-modern

Merujuk pada beragamanya pandangan tentang isu ini, Ibn 

Taymiyya (d.728/1328), seorang ulama yang umumnya dikenal 

karena pandangan konservatifnya, mengatakan:

Telah disebutkan bahwa tidak ada satupun di dunia ini 

salinan yang sesuai dengan apa yang telah Tuhan turunkan 

dalam Taurat dan Injil. Semua yang ada telah dirubah. Itu 

karena Taurat, dalam prosesnya diambil dari banyak orang 

dan ditransmisikan ke banyak orang dan telah berhenti pada 

waktu itu dan Injil juga diambil dari empat (orang).

Oleh karenanya, di antara manusia (Muslim) ada  orang-

orang yang menduga bahwa apa yang ada dalam Taurat 

dan Injil (saat ini) ada  banyak kekeliruan, tidak pada 

kata-kata Tuhan. Beberapa dari mereka mengatakan: (yang 

keliru) tidaklah banyak. Hal itu (juga dikatakan): tidak ada 

satupun orang yang merubah teks kitab suci. Namun mereka 

(Yahudi dan Nasrani) telah memalsukan maknanya dengan 

interpretasi (yang salah). Mayoritas Muslim memegang 

pendapat ini .

(pendapat) yang benar adalah pendapat ketiga, yang 

mengatakan bahwa di dunia ini ada salinan (versi) yang 

utuh, dan Salinan ini  masiih ada hingga masa Nabi 

SAW, dan banyak salinan (versi) yang telah diselewengkan. 

39 Waardenburg, Muslim Perceptions of Other Religions, h. 27-28.

224

Siapapun yang mengatakan bahwa dalam salinan (versi) 

ini  tidak ada penyelewengan maka sesungguhnya 

dia telah membantah sesuatu yang tidak bisa dipungkiri. 

Siapapun yang mengatakan bahwa semua salinan (versi) 

yang ada setelah Nabi (Muhammad) (SAW) telah didistorsi, 

maka dia telah mengatakan apa yang nyatanya palsu. Al-

Qur'an memerintahkan mereka untuk menghakimi dengan 

apa yang Tuhan turunkan dalam Taurat dan Injil. (Tuhan) 

menginformasikan bahwa dalam dua kitab suci ini  

ada  hikmah. Tidak ada satupun dalam al-Qur'an yang 

mengindikasikan bahwa mereka mengubah semua salinan 

(versi).40

Bagaimanapun, Ibn Taymiyya juga memberikan dasar untuk 

memahami apa yang seharusnya dianggap sebagai ‘Firman Tuhan’, 

dia juga menunjukan bahwa Firman Tuhan direpresentasikan 

oleh ‘apa yang disampaikan Tuhan melalui para nabi’, bukan apa 

yang ditulis oleh para ahli Taurat paska meninggalnya utusan; 

sebagai contoh, tentang kehidupan dan zaman nabi.41 Muridnya, 

Ibn Kathir (774/1373), lebih lanjut menjelaskan bahwa narasi 

yang ada dalam Injil dan Taurat bisa dibagi menjadi tiga kategori:

1) Apa yang kita ketahui sebagai otentik karena kita 

memiliki  (dalam Islam) alat pembuktian kebenarannya; 2) 

apa yang kita ketahui sebagai sesuatu ynag salah berdasarkan 

pada adanya kontradiksi dengan apa yang kita punya; dan 3) 

apa yang bersifat netral, baik dari tipe yang pertama atau yang 

kedua; kita tidak menerima dan tidak pula menolaknya, dan 

kita diperbolehkan untuk menarasikannya.42

40 Ibn Taymiyya, al-Tafsir al-Kabir, I, h. 209.

41 Ibn Taymiyya, al-Tafsir al-Kabir, I, h. 210.

42 Imad al-Din Abu al-Fida’ Isma’il Ibn Kathir, Tafsir al-Qur‘an al-‘Azim, Beirut: Dar al-Jil, 

n.d., I, p. 4.

225

Dua pandangan yang bertentangan di era modern

Dua pendapat modern tentang ‘distorsi’ berikut ini 

mengilustrasikan dua pendekatan yang sangat berbeda terhadap 

isu yang sedang dibicarakan. Yang pertama adalah Muhammed 

Salih al-Munajjid, ulama Salafi di Saudi Arabia.43 Dan contoh 

kedua menjelaskan pandangan Ulil Abshar-Abdalla, salah satu 

pendiri Jaringan Islam Liberal di Indonesia, yang telah banyak 

memunculkan kritik dari lingkaran kaum Muslim konservatif.

Berdasarkan pada ayat 5:48, yaag menyatakan ‘Kami 

menurunkan kepadamu [Muhammad] Kitab yang membawa 

kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan 

menjaganya’, al-Munajjid berpandangan bahwa al-Qur'an telah 

menghapus semua kitab suci sebelumnya, termasuk Zabur 

Nabi Daud, Taurat dan Injil; satu-satunya kitab suci yang masih 

otentik adalah al-Qur'an. Dengan mengutip beberapa ayat,44 

dia mengklaim semua Muslim diwajibkan untuk meyakini 

pandangan tentang penghapusan total seluruh kitab suci masa 

lalu, dan meyakini dugaan distorsi tekstual yang ada pada Taurat 

dan Injil.45 Al-Munajjid menyimpulkan bahwa kebenaran apapun 

ynag terkandung dalam kitab suci masa lalu juga telah dihapus 

oleh Islam. Dia menggunakan hadis berikut ini sebagai bukti 

tekstual atas pandangannya:

Diberitakan bahwa Nabi (SAW) marah saat  dia melihat 

Umar membawa satu halaman yang di dalamnya ada  

tulisan tentang Taurat, dan dia (SAW) berkata: ‘Apakah kamu 

masih ragu, wahai anak al-Khattab (Umar)? Apakah aku tidak 

43 Tulisan al-Munajjid ‘Islam Q & A’ website – www.islamqa.com (diakses pada 16 

September 2007).

44 Termasuk QS: 5:13; 2:79; dan 3:78.

45 Terminologi ‘nasakh’ lebih umum dipakai  dalam Islam untuk merujuk pada pembatalan 

peraturan al-Qur‘an yang datang sebelumnya dengan peraturan yang baru. Untuk uraian 

lebih jauh lihat Bab 9.

226

membawa kepadamu sesuatu ynag lebih mencerahkan dan 

sempurna? Jika saudaraku Musa masih hidup, dia tidak akan 

punya pilihan kecuali ikut bersamaku.’46

Pandangan al-Munajjid terkait dengan distorsi sepertinya 

didukung dengan pandangannya yang kaku dan eksklusif dalam 

relasi antar umat beragama. Dia mengatakan:

Salah satu prinsip utama dalam keimanan umat Islam 

adalah kita harus meyakini bahwa setiap Yahudi, Nasrani 

atau orang lain yang tidak masuk agama Islam adalah orang 

kafir yang menentang bukti-bukti yang sudah mapan yang 

oleh karenanya mereka dinamakan sebagai orang yang tidak 

beriman dan dipandang sebagai musuh Allah, Nabi-Nya, dan 

orang-orang yang berimana kepada-Nya, dan bahwa mereka 

adalah para penghuni neraka.47

Al-Munajjid menjelaskan pemahamannya tentang distorsi 

sebagai berikut:

saat  kitab suci masa lalu telah didistrosi dan dirubah oleh 

nafsu manusia dan kelompok di kalangan orang Yahudi dan 

Nasrani, maka tidak bisa lagi kita mendasarkan diri pada kitab 

ini . Allah telah menghapus semua hukum (shari‘ah) 

saat  Islam datang, dan menghapus semua kitab suci saat  

al-Qur'an diturunkan. saat  Dia mengutus Muhammad 

(SAW) sebagai Nabi terakhir dan cincin dari para nabi, maka 

menjadi wajib untuk meyakininya dan mengikuti al-Qur'an 

yang telah diturunkan kepadanya, khususnya sejak Allah 

46 Diriwayatkan oleh Ahmad, al-Darimi dan lain-lain. Al-munajjid juga mengutip Komite 

Tetap Kajian Ilmiah dan Hukum Saudi Arabia. Lihat ‘Ruling on the Call to Unite all 

Religions’, Question No. 10, 213, Islam Question & Answer. Diakses pada 30 Agustus 

2007: http://www.islamqa.com/index.php?ref=10213&ln=eng&txt=distortion.

47 Sheikh Muhammed Salih al-Munajjid, ‘Ruling on the Call to Unite all Religions’, Fatwa, 

Islam Question & Answer. Diakses pada 31 Agustus 2007: http://www.islamqa.com/

index.php?ref=10213&ln=eng&txt=distortion.

227

menjamin untuk memelihara al-Qur'an dan menjaganya dari 

perubahan dan pemalsuan.48

Al-Munajjid juga mengutip fatwa berikut ini, yang dikeluarkan 

oleh Komitee Tetap Fatwa dan Penelitian Islam Saudi Arabia:

Banyak distorsi, penambahan dan pengurangan telah 

menimpa kitab-kitab suci masa lalu, sebagaimana yang telah 

Allah katakan, maka tidak boleh bagi kaum Muslim untuk 

membaca dan mengkaji kitab-kitab ini , kecuali mereka 

yang memiliki  pengetahuan mendalam dan berusaha 

untuk menjelaskan berbagai distrosi dan kontradiksi yang 

ada di dalamnya.49

Berbeda sekali dengan pemikir Indonesia, Ulil Abshar-Abdalla, 

yang menyatakan bahwa kaum Muslim membutuhkan re-evaluasi 

pemahaman mereka terkait dengan otentisitas kitab suci. Dia 

mengatakan:

Bagi saya, semua kitab suci adalah asli. Tapi harus diingat 

bahwa kitab suci itu tumbuh seperti tanaman. Artinya, 

tidak ada kitab suci yang lahir ke dunia langsung menjadi 

besar. Kitab suci itu seperti manusia; dia mengalami fase 

bayi, remaja, dewasa, dan tua. Saya tidak menjumpai sejarah 

manusia yang langsung jadi. saat  kita melihat Alqur’an, 

Taurat, Veda, Injil, dan Upanishad, semua itu adalah kitab 

suci yang tumbuh. Semua kitab suci adalah asli; semua kitab 

suci adalah sesuai dengan ajaran agamanya, tapi dia berubah 

atau tumbuh sesuai dengan tahap-tahap yang dia lalui.

48 Sheikh Muhammed Salih al-Munajjid, ‘Muslim View of Ibrahim (upon whom be peace) 

and the Tawrat (Torah)’, Question No. 1,400. Islam, Question & Answer. Diakses pada 

31 Agustus 2007: http://www.islamqa.com/index.php?ref=1400&ln=eng&txt=distorti

on.

49 Sheikh Muhammed Salih al-Munajjid, ‘Ruling on Reading the Books of Ahl al-Kitaab and 

Debating with them on the Internet’, Fatwa, Islam Question & Answer. Diakses pada 

31 Agustus 2007: http://www.islamqa.com/index.php?ref=22029&ln=eng&txt=distor

tion.

228

Memang ada pandangan dalam kalangan Islam bahwa kitab-

kitab suci di luar Islam itu diselewengkan. Tapi kita harus 

menelaah kembali apa yang dimaksud oleh Alqur’an dengan 

ungkapan “diselewengkan” itu. Apakah diselewengkan 

isinya atau intinya, atau diselewengkan pada tingkat 

pelaksanaannya. Kalau dalam tingkat pelaksanaanya, Alqur’an 

pun diselewengkan.50

Ulil Abshar-Abdalla meyakini bahwa banyak umat Islam telah 

salah memahami konsep distorsi karena keyakinan yang salah 

bahwa Taurat dan injil diturunkan dengan cara seperti al-Qur'an. 

Dia berpendapat bahwa Yesus misalnya, tidak menerima wahyu 

dengan cara yang sama seperti Muhammad dan oleh karena itu, 

pandangan tentang wahyu dalam Injil sangat berbeda dengan 

wahyu dalam al-Qur'an. Dia berpendapat tentang pendekatan 

kontekstual tentang pewahyuan:

Yang ingin saya tekankan adalah, seyogyanya orang Islam 

memahami konsep pewahyuan itu dalam konteks yang berbeda-

beda. Pewahyuan ala Islam, pewahyuan ala Kristen, ala 

Yahudi, dan lain-lain. Itu semua pewahyuan, tapi berbeda 

konteksnya, dan dinilai berdasarkan penilaiannya sendiri-

sendiri. Jadi jangan sampai menilai kriteria wahyu di luar 

Islam berdasarkan kriteria Islam. Itu tidak fair. 51

Menurut pendekatan pluralistik Ulil Abshar-Abdalla, 

kebaikan bias ditemukan dalam semua kitab suci dan kebaikan ini 

harus dibagi kepada semua orang yang punya keyakinan. Setiap 

kitab suci diturunkan dan dijaga dengan caranya masing-masing.

Dua contoh di atas tidak dimaksudkan untuk merepresen-

tasikan pandangan mayoritas kaum Muslim, atau para pemikir 

Muslim, kaitannya dengan konsep distorsi; namun, hanya ingin 

50 Ulil Abshar-Abdalla, ‘I try to be like At-Tahtawi’, Liberal Islam Network. Diakses pada 

31 Agustus 2007: http://islamlib.com/en/page.php?page=article&id=599.

51 Abshar-Abdalla, ‘I try to be like At-Tahtawi’.

229

menggambarkan perbedaan pandangan dalam hal ini, dan 

perdebatan yang masih berlangsung dan pemahaman yang terus 

berkembang tentang pandangan kaum Muslim terhadap kitab 

suci lain.

Kesimpulan

Beberapa poin penting yang telah didiskusikan pada bab ini 

adalah:

Keyakinan terhadap kitab suci Yahudi dan Nasrani (khususnya 

Taurat dan Injil) merupakan satu dari enam pilar agama 

Islam, dan para pengikut kitab suci itu disebut dengan Ahli 

Kitab.

Pemahaman kaum Muslim terhadap konsep ‘distorsi’ 

berkisar tentang distorsi pada bagian kata-kata, distorsi 

verbal tentang makna teks atau penyembunyian teks yang 

disengaja.

Pada masa awal Islam, rujukan terhadap sumber-sumber 

Yahudi dan Nasrani sangat umum terjadi di kalangan ulama, 

meski pada periode selanjutnya menjadi termarjinalkan.

Pandangan kaum Muslim terhadap kitab suci saat ini beriksar 

dari keyakinan bahwa kitab ini  secara keseluruhan 

tidak lagi otentik, hingga keyakinan yang mengatakan bahwa 

semua kitab suci masih dijaga oleh Tuhan.

Rekemendasi Bacaan

Camilia Adang, Muslim Writers on Judaism and the Hebrew 

Bible From Ibn Rabban to Ibn Hazm, Leiden: Brill Academic 

Publisher, 1996.

Dalam buku ini Adang menguji pandangan sembilan ulama 

abad pertengahan tentang pandangan mereka terhadap 

Yahudi dan kitab sucinya. Dia menguji pengetahuan mereka 

tentang Taurat dan juga mengeksplorasi isu-isu seperti klaim 

230

bahwa Taurat memuat penjelasan tentang Muhammad dan 

penjelasan ini  telah dirubah dan dihilangkan.

Kenneth Cragg, A Certain Sympathy of Scriptures: Biblical and 

Quranic, Brighton: Sussex Academic Press, 2004.

Dalam buku ini, Cragg melihat kesamaan yang ditemukan 

dalam kitab suci umat Islam dan Nasrani. Secara khusus, 

dia melihat relevansi kesamaan ini  untuk abad ke-21 

tentang isu kehendak Tuhan dalam menciptakan perintah 

dan pengambilalihan perintah ini kepada manusia. 

F:E: Peters, Judaism, Christianity and Islam: The Classical Texts 

and Their Interpretation –Volume I: From Covenant to Community, 

Volume II. The Word and the Law and the People of God, Volume III. 

The Works of the Spirit, Princeton: Princeton University Press, 

1990.

Dalam ketiga volume ini , Peters membandingkan dasar 

teks Yahudi, Nasrani dan Islam, dengan memfokuskan pada 

isu-isu tentang ‘Anak-anak Ibrahim’. Masing-masing volume 

berisi penjelasan yang berkisar dari sumber-sumber kitab 

suci, para teolog, pendeta, penguasa, dan berbagai aturan. Di 

antara berbagai topik yang dibahas adalah tentang kenabian, 

pandangan tentang gereja dan negara, interpretasi kitab suci 

dan hukum, aspek ritual dan spiritual. 

Abdullah Saeed, ‘The Charge of Distortion of Jewish and 

Christian Scripture’, The Muslim World, Fall 2002, 92 (3/4), p. 

419-436.

Dalam artikel ini, Saeed menguji tuduhan bahwa kitab 

suci yang dimiliki umat Yahudi dan Nasrani telah lama 

diselewengkan dan dirubah dan oleh sebab itu tidak bisa 

lagi dijadikan sebagai dasar sebagai Firman Tuhan. Penulis 

juga mendiskusikan isu-isu tentang distorsi dan kesulitan-

kesulitan yang dialami oleh para ulama Muslim di bidang ini.

231

Jacques Waardenburg (ed.), Muslim Perceptions of Other 

Religions – A Historical Survey, New York and Oxford: Oxford 

University Press, 1999.

Dalam buku ini, Waardenburg menyatukan koleksi esai-esai 

ynag menulis tentang sejarah tulisan-tulisan dari kelompok 

Muslim yang sering melakukan perjalanan, sejarawan, teolog 

dan ahli hokum. Masing-masing esai ini  menguji tulisan 

kaum Muslim tentang perbedaan kultur dan agama, yang 

berkisar dari perbedaan bentuk yang ada dalam Yahudi dan 

Nasrani hingga Hindu dan Budha, demikian juga beberapa 

suku agama di Afrika, Rusia dan Asia Tengah.


233

Bab 9

Beberapa Ajaran

Etika-Hukum

SALAH SATU WILAYAH al-Qur'an yang dikaji secara ekstensif adalah teks yang bersifat etis atau legis. Hal ini dimaksudkan untuk membimbing umat Islam pada 

moral kehidupan yang unggul, didukung oleh keyakinan 

pada ke-Esa-an Tuhan. Teks-teks al-Qur'an yang bersifat etis 

maupun legis menjelaskan baik ibadah ritual maupun urusan 

duniawi, seperti pernikahan dan warisan. Teks-teks ini  

telah dipelajari selama berabad-abad oleh para sarjana Muslim 

yang telah mencoba memahami bagaimana teks-teks ini  

mempengaruhi kehidupan Muslim dalam berbagai waktu dan 

tempat. Ulama terkenal, seperti Malik bin Anas (d.179/795), 

Abu Hanifah (d.150/767), as-Syafi’i (d.204/820) dan Ahmad ibn 

Hanbal (d.241/855) telah mendirikan madzhab pemikiran hukum 

atau yurisprudensi (fiqh), yang hingga kini tetap menggunakan 

nama mereka. Saat ini, umat Muslim yang hidup dalam dunia 

modern berusaha untuk menerapkan ajaran-ajaran ini  ke 

tingkat yang lebih besar atau lebih kecil dalam kehidupan sehari-

hari mereka. Memahami beberapa konsep dasar di sekitar etika 

dan petunjuk hukum al-Qur'an dapat membantu kita untuk 

234

menganalisis relevansi ajaran al-Qur'an untuk kaum Muslim 

saat ini.

Dalam bab ini kita akan membahas:

Hubungan antara kitab suci dan hukum keagamaan;

Cara-cara dimana ajaran etika-hukum al-Qur'an dapat 

dikategorisasikan;

Konsep ‘nasakh’ dan hubungannya dengan penyesuaian teks 

al-Qur'an, dan

Pendekatan umum al-Qur'an terhadap isu-isu etika-hukum.

Kitab Suci dan Hukum Keagamaan

Konsep hukum keagamaan mengacu pada gagasan bahwa 

Firman Tuhan (atau Kitab Suci) adalah sumber hukum utama dan 

paling otoritatif. Hukum agama sebagaimana dipahami adalah 

sesuatu yang diwahyukan Allah dan dirancang untuk mengatur 

urusan manusia. Dalam kerangka ini, hukum juga mencakup 

kode etik dan moralitas.

Hukum agama dapat ditemukan dalam semua tiga agama 

monoteistik yang akar jejak mereka kembali ke Ibrahim: Yahudi, 

Kristen dan Islam. Undang-undang ini  dikenal sebagai 

halakha dalam Yudaisme, syariah dalam Islam dan hukum kanon 

dalam beberapa bentuk Kekristenan. Tujuan hukum ini  

dapat berkisar dari penjelasan yang murni berupa bimbingan 

moral individual hingga pembentukan dasar suatu sistem negara 

hukum. Namun, ada asumsi implisit bahwa keberadaan hukum-

hukum yang bersifat ketuhanan ini  bersifat statis dan tidak 

dapat dirubah. Oleh karena itu, tindakan amandemen melalui 

legislatif pemerintahan atau melalui preseden yudisial mungkin 

tidak diperkenankan, meskipun perubahan melalui interpretasi 

masih sangat mungkin berkembang.

235

Halakha diikuti oleh beberapa orang Yahudi Ortodoks baik 

dalam urusan keagamaan maupun hubungan kemanusian. 

Meskipun halakha tidak menjadi dasar bagi sistem hukum 

nasional, beberapa negara Yahudi diperbolehkan memilih 

penyelesaian sengketa di pengadilan Yahudi dan terikat oleh 

hukum-hukumnya. Beberapa mayoritas negara Muslim, termasuk 

Arab Saudi dan Iran, mengaku diatur oleh syariah (hukum Islam). 

Namun, sebagian besar mereka memiliki sistem hukum ganda 

dan menggunakan syariah hanya untuk hal-hal tertentu, seperti 

hukum keluarga, hak kepemilikan dan terkadang kontrak atau 

hukum publik. Di beberapa negara, syariah juga dipakai  untuk 

kasus kriminal. Dalam konteks Kristen, Gereja Katolik Roma, 

misalnya, masih diatur oleh hukum kanon.

Jenis Teks Etika-Hukum dalam al-Qur'an

Ada beberapa jenis ajaran etika-hukum yang ada  dalam 

al-Qur'an. Jenis-jenis ini  berkisar dari ajaran wajib (Muslim 

diwajibkan untuk mengikuti) hingga non-wajib. Walaupun 

seseorang dapat melihat ajaran-ajaran ini dari sejumlah 

perspektif, tujuan kita disini terkait dengan bagaimana Muslim 

diharapkan untuk mematuhinya.

Secara umum, para sarjana Muslim tertarik pada klasifikasi 

ini . Cara paling umum mengetahui klasifikasi ajaran etika-

hukum al-Qur'an adalah berdasarkan pada ‘lima kategori hukum 

Islam’: wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah. Dalam hukum 

Islam, seluruh tindakan manusia pasti dimasukkan salah satu 

dari lima kategori ini . Misalnya, melakukan shalat lima 

waktu adalah wajib, dan saat  melakukan shalat tambahan 

maka itu hanya dianjurkan (sunnah). Pencurian dilarang (haram), 

sementara sebagian besar ulama mempertimbangkan perilaku 

serakah atau tamak hanya sekedar perbuatan tercela. Tentu saja, 

kategori ini hanya berlaku untuk orang Muslim dewasa (baligh).

236

Meskipun klasifikasi ini berguna, namun dalam kerangka 

eksplorasi prinsip dasar dan relevansi ajaran etika-hukum al-

Qur'an terhadap keprihatinan kontemporer dan kebutuhan 

saat ini, nampaknya perlu untuk melampaui kategori-kategori 

hukum yang ketat ini . Pada bagian berikut, kami akan 

memberikan ringkasan kategori ajarane thico-legis al-Qur'an 

dari perspektif kemungkinannya untuk diterapkan. Beberapa 

ajaran mungkin berlaku universal, sedangkan yang lain mungkin 

lebih spesifik untuk keadaan tertentu. Beberapa ajaran lain 

mungkin memiliki tingkatan ambiguitas dan membutuhkan 

penyelidikan lebih lanjut untuk menentukan penerapannya. 

Kita akan melihat lima kategori ajaran etika-hukum: wajib, 

fundamental, protektif, implementatif dan instruktif. Kategori-

kategori ini melampaui klasifikasi tradisional terkait dengan 

tindakan manusia yang disebutkan di atas, dan memungkinkan 

kita untuk mempertimbangkan kerangka nilai-nilai dimana 

ada  petunjuk etika al-Qur'an.

1. Ajaran-ajaran wajib

Ajaran wajib merupakan ajaran-ajaran al-Qur'an di mana 

setiap Muslim harus mengikutinya. Ajaran ini  dianggap 

berlaku universal bagi semua Muslim, di setiap waktu, tempat 

dan keadaan. Pengamalan ajaran-ajaran ini  dipandang 

sebagai salah satu penanda yang paling penting dan jelas dari 

seorang Muslim. Ajaran ini  ditemukan dalam berbagai 

bentuk dalam al-Qur'an dan dapat dibagi menjadi beberapa sub-

kategori.

Pertama, ajaran yang terkait dengan sistem kepercayaan 

(iman), misalnya, keyakinan terhadap Tuhan, para nabi, kitab-

kitab suci, hari kiamat, pertanggungjawaban dan kehidupan 

setelah mati. Ajaran ini dijelaskan dalam al-Qur'an sebagai 

berikut:

237

Wahai orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah 

dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada 

rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. 

Barangsiapa yang tidak percaya pada Allah, malaikat-malaikat-

Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir, maka 

sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.1

Kedua, ajaran yang berhubungan dengan praktik-praktik 

kesalehan, umumnya disebut sebagai ibadat (bentuk-bentuk 

peribadatan). Contoh ibadat adalah shalat, puasa, haji dan zikir 

kepada Allah. Semua ini sering ditekankan dalam al-Qur'an. 

Ketiga, ajaran tentang apa yang diperbolehkan (halal) dan apa 

yang dilarang (haram). Untuk ajaran-ajaran yang termasuk 

kedalam kategori wajib, maka harus ditegaskan dan jelas 

dinyatakan dalam al-Qur'an. Jika sesuatu dikategorikan sah 

dan dimaksudkan untuk tetap selamanya demikian, umumnya 

ini ditunjukkan al-Qur'an dengan menggunakan istilah-istilah 

seperti ‘Allah membuatnya sah atau diperbolehkan (ahalla), 

seperti dalam ayat-ayat berikut:

Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan yang 

berasal dari laut.2

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan 

(sembelihan) dari Ahli Kitab itu halal bagimu dan makanan 

kamu halal pula bagi mereka.3

Di sisi lain, apa yang dikategorikan sebagai terlarang ditunjukkan 

dengan istilah seperti ‘Allah telah melarang’ (harrama). Contoh 

1 Al-Qur'an: 4:136.

2 Al-Qur'an: 5:96.

3 Al-Qur'an: 5:5.

238

larangan ini  termasuk memakan bangkai, darah atau daging 

babi,4 tindakan riba5 atau menikah dengan sanak famili terdekat.6

Dari penjelasan di atas, dapat digarisbawahi bahwa apa yang 

dikategorikan al-Qur'an sebagai terlarang atau dengan jelas 

ditegaskan kebolehannya nampaknya hukum ini  tetap 

demikian selamanya. Ayat-ayat berikut menggambarkan dengan 

tegas posisi al-Qur'an mengenai mereka yang berusaha untuk 

mengubah apa yang Allah tentukan:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan 

apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagimu – 

janganlah engkau melampaui batas: Allah tidak menyukai 

orang-orang yang melampaui batas.7

Janganlah kau katakan dusta, ‘Ini halal dan ini haram’, untuk 

menciptakan kebohongan terhadap Allah: sesungguhnya 

orang-orang yang menciptakan kebohongan terhadap Allah 

tidaklah beruntung.8

Pentingnya ayat terakhir ini telah dicatat oleh penafsir al-Qur'an 

seperti Muhammad Asad, yang menyatakan:

Sesuai dengan doktrin yang mengatakan bahwa segala 

sesuatu yang belum tegas dilarang oleh al-Qur'an atau ajaran 

eksplisit Nabi dengan sendirinya (eo ipso) adalah halal, ayat 

ini mengambil sikap yang jelas terhadap semua larangan 

sewenang-wenang yang diciptakan oleh manusia atau secara 

artifisial disimpulkan dari al-Qur'an atau Sunnah Nabi [kata-

kata dan tindakannya].9

4 Al-Qur'an: 2:173.

5 Al-Qur'an: 2:275.

6 Al-Qur'an: 4:23.

7 Al-Qur'an: 5:87.

8 Al-Qur'an: 16:116.

9 Muhammad Asad, The Message of the Qur’an, Gibraltar: Dar-al-Andalus, 1980, h. 

300.

239

Demikian pula, al-Qur'an mengingatkan kita tentang 

kemudahan yang mungkin kita tidak sengaja lupakan peraturan 

ini dengan menegur bahkan Nabi Muhammad tampaknya 

‘melarang’ untuk dirinya sendiri apa yang Allah telah halalkan. 

Mesk