pewahyuan al-qur'an 6

pewahyuan al-qur'an 6


 


ipun penjelasan tradisional terhadap ayat ini cukup beragam, 

secara umum hal ini dianggap mengacu pada sebuah kasus di 

mana Nabi, yang dalam reaksi emosional terhadap situasi saling 

cemburu dan pertengkaran di antara istri-istrinya, menyatakan 

bahwa dia tidak akan berhubungan dengan mereka selama satu 

bulan. Sebagai tanggapan ini, ayat berikut diturunkan: ‘Wahai 

Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah telah 

halalkan bagimu dalam keinginanmu untuk menyenangkan 

istrimu?’10 Para penafsir al-Qur'an umumnya telah sepakat 

bahwa ayat ini berfungsi untuk mengingatkan kita bahwa kita 

tidak diperbolehkan membuat larangan dalam hal-hal yang 

telah diijinkan oleh Tuhan, meskipun jika kita pikir hal ini  

mungkin akan menolong seseorang. Berdasarkan hal ini dan ayat-

ayat lain yang sama, apapun yang jelas dan tegas diperbolehkan 

(halal) atau dilarang (haram) tampaknya menjadi dasar untuk 

Islam dan secara umum dianggap tidak akan berubah.

Namun, penting untuk dibedakan antara kategori dasar ini 

dengan daftar panjang mengenai aspek kehalalan dan keharaman 

yang ditemukan dalam standar teks hukum Islam. Putusan 

yang tercantum dalam teks-teks ini  seringkali berasal dari 

penafsiran langsung atas al-Qur'an dan sunah, atau didapatkan 

dari dasar alat interpretasi lainnya yang dikenal sebagai penalaran 

analogis (qiyas) dan konsensus (ijma). Putusan-putusan inilah 

yang relevan dengan diskusi kita tentang syariah, namun ada  

perbedaan pendapat tentang apakah putusan-putusan ini  

harus dikategorikan sebagai wajib.

10 Al-Qur'an: 66:1.

240

2. Ajaran-ajaran fundamental

Sebuah survei menunjukkan bahwa al-Qur'an berulang kali 

menekankan nilai-nilai dasar ‘kemanusiaan’ tertentu dan ini 

seringkali dianggap sebagai ajaran-ajaran fundamental. Ajaran 

seperti ini sering dibahas oleh para sarjana klasik hukum 

Islam. Ghazali (d.505/1111) misalnya, membahas apa yang 

dia sebut ‘lima nilai yang universal’.11 Kelima nilai ini  

adalah perlindungan kehidupan, akal, harta, kehormatan (atau 

keturunan) dan agama, dan kelima nilai ini turut membentuk 

‘tujuan utama syariah’.12

Kelima nilai-nilai universal ini  didapatkan dari proses 

‘pembuktian induktif ’13 oleh sejumlah ulama terkemuka. 

Meskipun terbatas pada lima nilai yang dikemukakan oleh para 

ulama terkenal seperti Ghazali, Izz bin Abd al-Salam (d.678/1279) 

dan Shatibi (d.790/1388), nilai-nilai dasar ini  dapat 

diuraikan untuk mengembangkan nilai-nilai tambah. Nilai-nilai 

ini  dapat mencakup kebebasan berpendapat, persamaan 

hukum, kebebasan dari penyiksaan atau hukuman yang tidak 

manusiawi, kebebasan dari penangkapan sewenang-wenang, 

penahanan atau pengasingan, dan praduga tak bersalah. Banyak 

nilai-nilai seperti itu sebenarnya dibahas dan diadopsi oleh 

pemikir Muslim klasik, tapi nilai-nilai ini  tidak dianggap 

sebagai nilai-nilai ‘fundamental’, seperti halnya lima nilai-nilai 

universal.

11 Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, Cambridge:Cambridge 

University Press, 1997, h. 166.

12 Hallaq, A History, pp. 88ff; Isma‘il al-Hasani, Nazariyyat al-Maqasid indal-Imam 

Muhammad al-Tahir bin Ashur,Virginia: IIIT, 1995, h. 46.

13 Proses ini memiliki  arti bahwa luas dan beragamanya kepingan bukti, yang 

dalam totalitasnya mendukung posisi tertentu dan menyebabkan kepastikan, 

tidak meningkatkan level probabilitas saat  diambil secara individual. Hallaq, 

A History, h. 166.

241

Meskipun al-Qur'an itu sendiri tidak berubah, nilai-nilai 

fundamental yang berasal darinya diekspresikan dengan cara yang 

berbeda dari waktu ke waktu. Ekspresi ini  mencerminkan 

adanya kecenderungan pengetahuan dan pemahaman kita 

terhadap teks, bersamaan pula isu-isu yang menjadi perhatian 

generasi kita. Misalnya, sekarang ini kita semakin sadar akan 

isu-isu tentang hak asasi manusia dalam cara tertentu yang itu 

cukup unik untuk zaman kita, meskipun banyak ide-ide dasar 

hak asasi manusia yang ada dalam tradisi Islam.

3. Ajaran-ajaran protektif

Ajaran-ajaran protektif memberikan dukungan legislatif 

untuk ajaran mendasar yang disebutkan di atas. Misalnya, ajaran 

fundamental tentang perlindungan properti akan tetap dalam 

wilayah teoritis kecuali jika diletakkan dalam arena praksis. 

Al-Qur'an memberikan garis ajaran yang berfungsi untuk 

‘melindungi’ nilai ini, seperti larangan mencuri. Sementara 

ajaran fundamental mungkin ditekankan dalam seluruh al-

Qur'an, ajaran protektif sering muncul hanya bergantung pada 

satu atau beberapa teks. Namun ini tidak mengurangi urgensi 

ajaran ini , dan kekuatan suatu ajaran protektif berasal 

dari ajaran fundamental yang mendukungnya. Karena ajaran 

protektif sangat penting untuk memelihara ajaran fundamental, 

kita bisa juga menganggap ajaran ini  bersifat universal.

4. Ajaran-ajaran implementatif

Sama seperti ajaran-ajaran fundamental yang dipraktekkan 

melalui ajaran protektif, ajaran implementatif memberikan 

langkah-langkah spesifik untuk menerapkan ajaran protektif. 

Misalnya, larangan pencurian diterapkan di warga  dengan 

mengambil langkah-langkah khusus terhadap mereka yang 

melawan norma ini, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur'an: 

“Potonglah tangan pencuri, baik laki-laki maupun perempuan, 

242

sebagai pembalasan atas apa yang telah mereka lakukan -sebagai 

siksaan dari Allah: Allah Maha Kuasa dan Maha bijaksana”.14

Contoh ajaran implementatif lainnya meliputi: hukumuman 

retribusi qishas atau pembayaran uang karena melakukan 

pembunuhan (diyat);15 hukuman cambuk 100 kali bagi pria 

yang belum menikah dan perempuan yang melakukan hubungan 

haram (zina);16 dan hukuman 80 cambukan untuk orang yang 

memberikan kesaksian palsu untuk kasus yang melibatkan 

tuduhan hubungan seksual yang melanggar hukum (qadhf).17

Tidak seperti ajaran-ajaran wajib, fundamental dan 

protektif, ajaran implementatif tidak selalu tampak untuk bisa 

diaplikasikan secara universal. Misalnya, ada  perdebatan 

sengit di kalangan umat Islam saat ini tentang apakah ajaran-

ajaran implementatif ini  harus diimplementasikan dalam 

warga  Muslim sebagai hukuman untuk kejahatan tertentu. 

Mereka yang berpendapat bahwa ajaran ini  berlaku universal 

membutuhkan implementasi terhadapnya, setidaknya dalam 

warga  yang mayoritas Muslim, sebagai penanda menjadi 

Muslim saat ini dan sebagai cara untuk meneguhkan idealisme 

dan kesempurnaan tatanan sosial umat Islam. Namun, mereka 

yang tidak memandangnya sebagai universal berpendapat 

bahwa implementasi ini  tidak diperlukan. Mereka yang 

mengambil posisi kedua berpendapat bahwa dalam menentukan 

relevansi ajaran implementatif di masa modern, perlu untuk 

mempertimbangkan konteks budaya dari wahyu al-Qur'an pada 

abad ke-1/ke-7. Misalnya, di Saudi selama periode itu, ancaman 

hukuman mati dan hukuman fisik diterima di warga ; maka 

langkah-langkah yang dianggap efektif dalam konteks ini  

14 Al-Qur'an: 5:38

15 Al-Qur'an: 2:178.

16 Al-Qur'an: 24:2.

17 Al-Qur'an: 24:4. 

243

sangat diperlukan dan dengan demikian al-Qur'an menetapkan 

langkah-langkah ini .

Pendukung pandangan bahwa ajaran implementatif tertentu 

tidak berlaku universal berpendapat bahwa tindakan itu sendiri 

tampaknya bukan tujuan fundamental dari al-Qur'an. Sebaliknya, 

al-Qur'an tampaknya menunjukkan bahwa tujuan utamanya 

adalah untuk mencegah perilaku yang tidak diperbolehkan. Oleh 

karena itu, para pendukung pandangan ini melihat langkah-

langkah seperti itu sebagai sarana untuk mengakhiri.

Banyak ayat-ayat al-Qur'an menunjukkan bahwa sete -

lah seseorang melakukan suatu pelanggaran, yang pen ting 

adalah mereka bertobat dan menahan diri dari pe  lang   garan 

selanjutnya. Dalam prakteknya, para ahli hukum Islam klasik 

tidak sepenuhnya mempertimbangkan ajaran ini dan seca ra 

umum menekankan hukuman. Contoh-contoh di bawah ini 

menggambarkan pendekatan umum al-Qur'an dalam langkah-

langkah implementatif yang menganjuran bahwa pertobatan 

memung  kinkan seseorang untuk bebas dari hukuman. Misalnya, 

setelah menyatakan bahwa hukuman pencurian adalah potong 

tangan, al-Qur'an kemudian mengatakan: “maka barangsiapa yang 

bertobat sesudah melakukan kejahatan dan berbuat kesalahan, 

Allah akan menerima pertobatan: Allah Maha Pemaaf, Maha 

Penyayang”.18 Demikian pula, setelah menyatakan bahwa mereka 

yang melakukan hubungan yang tidak sah (zina) harus menerima 

100 cambukan, dan orang-orang yang membuat tuduhan palsu 

atas hubungan seksual harus diberikan 80 cambukan, al-Qur'an 

menambahkan: “Kecuali orang-orang yang bertobat sesudah 

itu dan mempebaiki dirinya- Allah Maha Pengampun lagi Maha 

18 Al-Qur'an: 5:39.

244

Penyayang”.19 Demikian juga, setelah menetapkan hukuman 

untuk pembunuhan, al-Qur'an mengatakan:

Tapi jika pelakunya diampuni oleh saudara yang dirugikannya, 

ini harusditaati adil, dan pelakunya harus membayar apa yang 

jatuh tempo dalam cara yang baik.Ini adalah suatu keringanan 

dari Tuhan kamu dan suatu tindakan penyayang20

Karena itu, kita bisa melihat bahwa meski beberapa ajaran 

implementatif mungkin nampak kasar, tetapi banyak pula ayat 

al-Qur'an membolehkan pertobatan, ‘remisi’ dan ‘mengikuti apa 

yang benar’. Dapat dikatakan bahwa jika hukuman merupakan 

tujuan utama dan harus diterapkan secara universal, maka 

pilihan-pilihan alternatif ini  tidak akan diberikan. 

Demikian pula, ada beberapa contoh dalam tradisi hukum 

Islam yang menunjukkan bahwa para ahli hukum pun prihatin 

terhadap implikasi hukuman keras yang telah ditentukan dalam 

al-Qur'an. Akhirnya, para ahli hukum membuat berbagai syarat 

untuk implementasi hukuman ini . Syarat-syarat ini  

seringkali diartikan bahwa dalam prakteknya akan sangat sulit 

untuk menjatuhkan hukuman. Dan menurut sebagian ulama, 

syarat-syarat ini  membuat beberapa hukuman hampir 

usang untuk semua tujuan praksis. Pendapat ini diungkapkan 

secara singkat oleh sarjana hukum kontemporer, Muhammad 

Sa’id al-Asymawi:

Hukuman-hukuman al-Qur'an ini  dilingkupi oleh 

kondisi-kondisi yang dalam praksisnya tidak berlaku, terlebih 

untuk kondisi umum selalu ditambahkan kondisi-kondisi 

tertentu untuk masing-masing hukuman. Sebagai contoh 

pencurian: barang yang dicuri harus ada  tanda pemilik 

dan berada di tempat yang dijaga ketat, yang tidak dapat 

19 Al-Qur'an: 24:5.

20 Al-Qur'an: 2:178.

245

dicuri, dan terbuka lebar untuk dirampas dan dicopet; barang 

ini  harus memiliki nilai uang; perampok tidak berada 

dalam kondisi yang sangat membutuhkan;, akhirnya, sebagian 

besar ahli hukum mengatakan bahwa hukuman al-Qur'an 

tentang pencurian tidak dapat diterapkan jika perampok 

memiliki  beberapa ‘quasi kepemilikan’ terhadap barang 

yang dicuri, khususnya seperti barang-barang milik publik.21

5. Ajaran instruktif

Ajaran instruktif sepertinya telah membentuk mayoritas 

ajaran etika-hukum dalam al-Qur'an. Berbeda dengan kategori 

yang disebutkan sebelumnya, ajaran-ajaran ini merujuk 

pada masalah-masalah tertentu yang spesifik di saat wahyu 

diturunkan. Ajaran ini sering ditunjukkan dalam teks dengan 

berbagai indikator linguistik: (1) dalam bentuk perintah atau 

larangan, (2) pernyataan sederhana yang menunjukkan tindakan 

tepat yang dimaksud, atau (3) sebuah perumpamaan, cerita atau 

referensi untuk peristiwa tertentu. Berikut adalah beberapa 

contoh dari beberapa ajaran instruktif, di mana pemahaman 

terhadapnya menjadi sumber perdebatan:

Poligami: al-Qur'an mengizinkan laki-laki menikah lebih 

dari satu perempuan dalam keadaan tertentu: “kawinilah 

wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. 

Jika kamu takut tidak dapat berlaku adil [kepada mereka], 

maka menikahlah satu saja.22

Relasi gender: Ada perdebatan tentang pandangan al-

Qur'an tentang keberadaan hirarki antara laki-laki dan 

perempuan, berdasarkan ayat seperti: “Suami menjadi 

pemimpin dari istri-istri mereka dengan [karunia] 

21 Muhammad Sa‘id Al-Ashmawi, ‘Shari‘a: The Codification of Islamic Law’,in 

Charles Kurzman (ed.), Liberal Islam, New York: Oxford University Press, h. 49–56, 

1998, h. 53.

22 Al-Qur'an: 4:3.

246

yang telah Tuhan berikan kepada beberapa di antara 

mereka melebihi dari yang lain dan dengan apa yang 

mereka nafkahkan sebagian dari uang mereka sendiri.23 

Ungkapan pertama dari ayat ini sering diterjemahkan 

sebagai ‘laki-laki adalah pemimpin perempuan’.

Perbudakan: al-Qur'an memberikan petunjuk untuk 

berbuat baik kepada orang-orang tertentu, termasuk 

budak: ‘berbuat baiklah pada kedua orang tua, kerabat-

kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga 

yang dekat dan jauh, ibnu sabil, dan hamba sahaya kalian.24 

Hal ini menunjukkan bahwa al-Qur'an membolehkan 

perbudakan.

Hubungan dengan non-Muslim: al-Qur'an memerintahkan 

umat Islam untuk tidak menjadikan orang kafir sebagai 

teman atau sekutu, berikut ini ayatnya: “Mereka ingin 

supaya kamu menjadi kafir seperti mereka, sebagaimana 

mereka juga telah kafir sebelumnya. Maka janganlah 

kamu menjadikan mereka sebagai penolong-penolongmu 

sampai mereka berhijrah [ke Madinah] ke jalan Allah.25

Seperti yang ditunjukkan dalam contoh di atas, ajaran 

instruktif sering memberi tantangan besar dalam kaitannya 

dengan teks al-Qur'an untuk kehidupan umat Islam saat ini. 

Apakah ajaran ini melampaui kekhususan budaya dan berlaku 

untuk seluruh umat Muslim di semua waktu, tempat dan 

keadaan? Apakah kaum Muslim diwajibkan untuk berusaha 

dan ‘menciptakan’ kembali kondisi pewahyuan dalam rangka 

untuk menempatkan ajaran ini  dalam praktik? Misalnya, 

saat  al-Qur'an bercerita kepada umat Islam tentang bagaimana 

mereka harus memperlakukan budak,26 apakah mereka harus 

23 Al-Qur'an: 4:34.

24 Al-Qur'an: 4:36.

25 Al-Qur'an: 4:89.

26 Lihat al-Qur’an: 2:177; 4:36; 24:33; 90:12–17.

247

bersikeras menghidupkan kembali struktur sosial di mana budak 

menjadi bagian dari komunitas Muslim masa lalu? Dan yang 

lebih penting lagi, jika hal ini tidak terjadi, maka bagaimana 

seharusnya seorang mukmin merespon ajaran instruktif di masa 

modern?

Mengingat ambiguitas dan kesulitan yang berhubungan 

dengan penafsiran ajaran instruktif, maka harus dianalisis secara 

mendalam sebelum ajaran-ajaran ini  diterima sebagai 

ajaran yang berlaku universal dan mengikat. Analisis semacam 

itu juga akan membantu kami dalam menentukan sejauh mana 

ajaran-ajaran ini harus diaplikasikan. 

Teks-teks al-Qur'an yang banyak memuat ajaran-ajaran 

instruktif seringkali terkait dengan setting budaya tertentu. 

Misalnya, dalam frasa yang sering diterjemahkan dengan 

‘laki-laki adalah pemimpin perempuan’, al-Qur'an tampaknya 

mempertimbangkan situasi perempuan dan laki-laki di Arab 

waktu itu. Dengan beberapa pengecualian, ini berarti bahwa 

struktur sosial pra-Islam dan awal Islam di Hijaz, perempuan 

umumnya terpinggirkan dari pengambilan keputusan publik 

yang penting dan sering bergantung secara finansial kepada laki-

laki. Meskipun ada beberapa pengecualian, secara umum mereka 

juga tidak mengambil bagian secara aktif dalam pertempuran 

yang merupakan peran kunci di wilayah publik. Hal itu kemudian 

dipercaya bahwa perempuan perlu “dilindungi” oleh laki-laki. 

Tanpa perlindungan ini , sebagian besar wanita akan merasa 

sulit untuk bertahan hidup di Hijaz yang kondisinya cukup keras. 

Oleh karena itu, ajaran instruktif ‘laki-laki adalah pemimpin 

perempuan’ mencerminkan ide dan praktek yang tepat pada saat 

itu. 

Dalam kondisi yang sama, tampaknya masuk akal untuk 

mengharapkan bahwa pengajaran instruktif ini akan tetap 

beroperasi. Namun muncul pertanyaan, apakah ketentuan 

248

ini  masih akan berlaku jika keadaan perempuan dan 

warga  telah berubah secara dramatis. Jika kita memper-

timbangkan frekuensi rujukan al-Qur'an untuk ajaran ini, kita 

menemukan bahwa itu tidak ditekankan di tempat lain dalam 

al-Qur'an, dan tidak pernah diungkapkan dengan cara yang 

menunjukkan bahwa seharusnya diterapkan dalam semua 

konteks. Hal ini dimungkinkan untuk menyimpulkan bahwa 

ajaran ini sangat mungkin secara budaya bersifat spesifik dan 

penerapannya harus mempertimbangkan situasi baru yang ada. 

Pada bagian berikutnya kita akan membahas dua aspek teks 

al-Qur'an yang bersifat etika-hukum: yaitu adaptabilitas teks dan 

pendekatan ‘minimalis’ al-Qur'an untuk persoalan-persoalan 

etika-hukum. 

Adaptabilitas Ajaran Etika-Hukum

Umat Islam klasik mengembangkan sebuah gagasan bahwa 

hukum tertentu al-Qur'an ‘dibatalkan’ oleh hukum yang datang 

berikutnya. Meskipun ada  relatif sedikit kasus yang jelas 

mengenai pembatalan, teori ini tetap menjadi poin perdebatan 

penting dalam diskusi tentang prinsip-prinsip hukum Islam. Kata 

Arab untuk kasus pembatalan ini adalah naskh. Dalam konteks 

al-Qur'an, konsep ini mengacu pada proses di mana beberapa 

ayat al-Qur'an yang diturunkan sebelumnya dianggap telah 

dibatalkan oleh wahyu yang turun kemudian. Beberapa Muslim 

menolak gagasan pembatalan ini karena mereka memahami 

bahwa di dalam teori pemabatalan ini tersirat kemungkinan 

adanya inkonsistensi dalam al-Qur'an. Gagasan inkonsistensi 

ini ditolak oleh sebagian besar umat Islam. Namun kelompok 

Muslim lainnya memandang pembatalan sebagai bukti bahwa 

al-Qur'an bersifat adaptif dan tidak diturunkan sebagai dokumen 

independen yang terpisah dari konteks sosio-historis. 

249

Sejumlah ayat-ayat al-Qur'an muncul untuk mendukung 

konsep pembatalan. Misalnya, al-Qur'an mengatakan: “wahyu 

mana saja yang kami gantikan, atau kami jadikan lupa padanya, 

Kami ganti dengan sesuatu yang lebih baik atau sebanding. 

Tidakkah kamu [Nabi] mengetahui bahwa sesungguhnya 

Allah maha kuasa atas segala sesuatu?”27 Sebagian ulama 

memahami ayat-ayat tentang larangan minuman keras, misalnya, 

sebagai contoh dari teori pembatalan. Al-Qur'an pertama kali 

menganggap konsumsi minuman keras sebagai ‘dosa besar’, 

namun tidak melarangnya. Kemudian, hal itu dilarang karena 

membuat mabuk saat  melakukan shalat. Dan akhirnya di 

kemudian hari minuman keras benar-benar dilarang.28 

Konsep nasakh memiliki sejumlah implikasi dalam penafsiran 

teks-teks etika-hukum al-Qur'an. Pertama, teori pembatalan 

menyoroti problematika pernyataan dari beberapa kaum Muslim 

bahwa setelah putusan al-Qur'an datang, putusan ini  tidak 

dapat ditafsirkan kembali dan tetap ideal untuk semua ruang 

dan waktu. Pandangan ini mengabaikan fakta bahwa sejumlah 

putusan al-Qur'an ternyata telah mengalami perubahan melalui 

pembatalan bahkan hingga dua atau tiga kali selama 22 tahun 

misi kenabian.

Perubahan putusan ini  tidak berarti bahwa tujuan moral 

di balik putusan hukum ini  juga mengalami perubahan. 

Misalnya, hukuman yang sejak awal sudah ditentukan bahwa bagi 

perempuan yang melakukan pelanggaran hubungan seksual maka 

dia dikurung di rumahnya hingga meninggal, namun hukuman 

ini kemudian dirubah menjadi hukuman cambuk. Tujuan moral 

dalam kasus ini tetap, yaitu menghalangi seseorang agar tidak 

terlibat dalam hubungan seksual yang melanggar hukum, tetapi 

metode untuk mencapai tujuan ini  telah dirubah. 

Pentingnya teori pembatalan adalah menentang pandangan 

yang mengganggap bahwa semua teks etika-hukum al-Qur'an 

telah ditetapkan sebagai aturan yang baku untuk semua ruang 

dan waktu. Meskipun beberapa teolog berpendapat bahwa 

‘hukum’ al-Qur'an harus dipertahankan terlepas dari konteks 

yang mengitarinya, dan bahwa itu merupakan tanggungjawab 

warga  untuk beradaptasi dan berubah sesuai dengan 

hukum ini , teori nasakh telah mampu memaparkan contoh 

sejarah al-Qur'an sebagai teks yang dinamis, yang sadar akan 

kompleksitas yang dihadapi oleh warga  yang menjadi objek 

pewahyuan.

Pendekatan umum al-Qur'an terhadap masalah-masalah 

etika-hukum

Secara umum, al-Qur'an bersifat ‘minimalis’ dalam 

pendekatannya terhadap persoalan-persoalan etika-hukum. 

Artinya, al-Qur'an tidak menetapkan sebuah regulasi rinci 

mengenai detail kehidupan sehari-hari, melainkan hanya 

menekankan pada relasi Tuhan dengan ciptaan-Nya, sedangkan 

ajaran-ajaran mengenai hal ini , tentang sesuatu yang 

diperbolehkan atau tidak, harus dilihat dari perspektif relasi 

ini. Dengan demikian, hanya aspek relasi Tuhan dan ciptaan-

Nya itulah yang secara langsung dibahas dalam al-Qur'an secara 

detail. Adapun isu-isu lain yang secara khusus terkait dengan 

dinamika sosial dan budaya Hijaz, biasanya disebutkan sangat 

singkat.

Pendekatan al-Qur'an terhadap persoalan sosial dan budaya 

tertentu tampaknya telah dilampaui oleh pendekatan para ahli 

hukum klasik yang mengembangkan hukum Islam dan prinsip-

prinsipnya. Salah satu kunci tujuan para ahli hukum ini adalah 

251

untuk membawa semua aspek kehidupan seorang Muslim di 

bawah naungan hukum Islam, termasuk aspek-aspek yang tidak 

dibahas secara langsung oleh al-Qur'an atau Nabi. Dengan ide ini, 

banyak ahli hukum Islam secara signifikan memperluas jangkauan 

keputusan yang diintisarikan dari al-Qur'an dan sunnah.

Untuk mengembangkan peraturan rinci dalam semua bidang 

kehidupan, para ahli hukum bahkan menggunakan sumber-

sumber non-Islam, termasuk pemikian Yunani klasik. Misalnya, 

logika Aristoteles dipakai  untuk mengembangkan seperangkat 

prinsip guna membuat bangunan putusan dan peraturan dari al-

Qur'an dan sunnah. Bahkan, banyak peraturan yang dikatakan 

berasal dari al-Qur'an, faktanya tidak memiliki basis Qurani. 

Dalam banyak kasus, al-Qur'an mungkin memuat komentar 

singkat, atau memberi instruksi umum untuk orang tertentu 

atau kelompok; yang kemudian komentar-komentar ini  

diperluas ke dalam berbagai bidang dalam rangka membangun 

sistem hukum yang mampu mencakup semua aspek kehidupan 

manusia. Berikut bukti pendekatan al-Qur'an yang bersifat 

minimalis:

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu bertanya 

tentang hal-hal yang jika diketahui olehmu, justru membuat 

menyusahkanmu. Jika kamu menanyakan saat  al-Qur'an 

sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. 

Allah telah memaafkan kamu tentang hal itu. Allah Maha 

Pengampun lagi Maha Penyantun29

Dengan demikian, secara historis jika regulasi tertentu 

tidak dijelaskan oleh al-Qur'an, umat Islam memiliki kebebasan 

untuk mengikuti norma-norma sosial dan budaya warga  

mereka. Hal ini tampaknya juga dipraktikan oleh Nabi sendiri, 

mengingat bahwa dia juga memiliki kebiasaan tertentu dalam 

warga nya, nilai-nilai maupun aturan-aturan, dan dia tidak 

ingin bertentangan dengan nilai ini  kecuali jika diperlukan.

Ringkasan

Beberapa poin penting yang telah kita bahas dalam bab ini 

meliputi:

Umat Muslim memahami hukum dengan berdasar pada Kitab 

Suci sebagai prinsip aturan yang paling otoritatif mengenai 

realitas.

Proses penentuan apakah suatu ajaran etika-hukum bersifat 

universal atau tidak sangatlah kompleks.

Ajaran implementatif al-Qur'an memberikan langkah-langkah 

khusus agar ajaran protektif dapat dilaksanakan, sedangkan 

ajaran protektif memberikan dukungan legislatif terhadap 

ajaran-ajaran fundamental dan nilai-nilai al-Qur'an.

Sebagian besar teks etika-hukum al-Qur'an bersifat instruktif, 

dan upaya merelevansikan ajaran ini  untuk era modern 

sangatlah kompleks.

Penekanan utama al-Qur'an adalah pada hubungan Tuhan 

dengan ciptaan-Nya, bukan pada regulasi detail mengenai 

kehidupan sehari-hari.

Rekomendasi Bacaan

Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, 

Authority and Women, Oxford: Oneworld, 2001.

Dalam buku ini Abou El Fadl berpendapat bahwa banyak dari 

tradisi hukum Islam tidak mencerminkan pesan etika-hukum 

yang dimaksudkan al-Qur'an. Tradisi ini nampaknya lebih 

menekankan pada pesan hukum Islam dan peran hukum. 

Selain itu, unsur-unsur tradisi hukum Islam klasik sangat 

didominasi laki-laki dan bias terhadap perempuan.

253

Michael Cook, ‘Koran and Koranic Exegesis’, dalam 

Commanding Right and Forbidding Wrong in Islamic Thought, 

Cambridge: Cambridge University Press, 2000, halaman 13-31.

Dalam artikel ini Cook meneliti inti masalah etika-hukum 

tentang anjuran untuk memerintah kepada sesuatu yang 

benar dan melarang sesuatu yang salah dari perspektif al-

Qur'an dan tradisi penafsirannya.

Yasin Dutton, The Origins of Islamic Law: The Qur’an, The 

Muwatta’ and Madinan Amal, Richmond, Surrey: Curzon, 1999.

Dalam buku ini Dutton melihat asal-usul hukum Islam. 

Dalam bagian tertentu dia berfokus pada isu-isu kekuasaan 

dan peran penting al-Qur'an dalam perkembangan hukum 

Islam awal.

Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An 

Introduction to Sunni Usul al-Fiqh, Cambridge: Cambridge 

University Press, 1997; Authority, Continuity and Change in Islamic 

Law, Cambridge: Cambridge University Press, 2001; (ed.), The 

Formation of Islamic Law, Aldershot: Ashgate, 2004; The Origins 

and Evolution of Islamic Law, Cambridge: Cambridge University 

Press, 2005.

Dalam karya-karya ini , Hallaq menyediakan sejumlah 

wawasan mengenai peran dan posisi al-Qur'an dalam 

pengembangan hukum Islam, baik masa lalu maupun 

sekarang.

S. Mahmassani, ‘Shari‘ah Sources’, ‘The Book’, dalam Falsafat 

al-Tashri Fi al- Islam: The Philosophy of Jurisprudence in Islam, 

diterjemahkan oleh Farhat J. Ziadeh, Leiden: E.J. Brill, 1961, 

hal. 63-70.

Dalam artikel-artikel ini , Mahmassani memberikan 

gambaran singkat mengenai otoritas al-Qur'an kaitannya 

254

dengan hukum dan peranannya dalam pengembangan 

hukum Islam.

Yvonne Yazbeck Haddad and Barbara Freyer Stowasser 

(eds), Islamic Law and the Challenges of Modernity, Lanham, MD: 

Rowman & Littlefield Publisher, 2004.

Buku ini berisi kumpulan artikel ilmiah yang membahas 

tentang bagaimana hukum Islam dilihat kembali dalam 

menghadapi modernitas. Tema umum yang ada dalam 

hampir keseluruhan artikel ini berbicara mengenai peran 

reinterpretasi al-Qur'an dan kaitannya dengan masalah 

hukum Islam.

255

Bab 10

Beberapa Gagasan 

dan Prinsip Pokok 

Penafsiran Al-Qur'an

PENAFSIRAN (INTERPRETASI) Al-Qur'an, atau Tafsir, telah menjadi topik utama dalam perkembangan intelektual dan aplikasi praktis tentang Islam sebagai agama sejak awal 

kemunculannya di abad ke-7. Seiring waktu, para sarjana muslim 

telah mengembangkan berbagai prinsip, metode dan pendekatan 

terhadap al-Qur'an, yang semuanya dirancang untuk membantu 

menafsirkan dan memahami maknanya. Pendekatan intelektual 

ini bervariasi, beberapa sarjana ada yang lebih cenderung pada 

penafsiran al-Qur'an dengan al-Qur'an, atau sebagaimana 

penafsiran yang pernah dilakukan oleh Nabi dan umat Islam 

awal; sedangkan yang lain memiliki  kecenderungan pada 

penggunaan nalar independen dan kemampuan akademik 

individu dalam menyimpulkan makna teks. Perkembangan 

lain terkait dengan klasifikasi teks, misalnya, apakah ayat yang 

dibahas merupakan ayat yang ambigu atau tidak dan apakah 

artinya dapat dipahami secara harfiah atau metaforis. Seperti 

semua usaha intelektual dalam Islam, perkembangan klasifikasi 

256

dan pendekatan ini  telah disertai dengan sejarah yang kaya 

akan debat dan diskusi.

Dalam bab ini kita akan membahas:

Perbedaan antara penafsiran yang berbasis pada tradisi dan 

akal;

Sejarah awal tafsir, termasuk bagaimana perbedaan 

penafsiran yang berbasis pada tradisi dan akal,

Urgensi klasifikasi mengenai jenis teks al-Qur'an, seperti:

Teks yang jelas dan ambigu;

Teks literal dan metaforis;

Teks umum dan khusus;

Makna langsung dan sekunder dari teks;

Teks awal dan akhir, dan

Teks yang bisa berubah dan yang tidak bisa dirubah.

Penafsiran Berbasis Tradisi – atau Akal 

Tafsir al-Qur'an dapat dibagi menjadi dua kategori: tafsir 

yang berdasarkan pada tradisi atau teks (tafsir bi al-ma‘thur), dan 

tafsir yang berdasarkan pada akal atau penalaran independen 

(tafsir bi al-ra’y). Kita akan lihat penafsiran jenis pertama ini 

sebagai ‘penafsiran berbasis tradisi’ dan yang kedua sebagai 

‘penafsiran berbasis akal’. Penafsiran berbasis tradisi bertujuan 

untuk membatasi penggunaan akal dalam memahami dan 

menafsirkan teks, dan menekankan pentingnya penafsiran 

dengan mengacu pada al-Qur'an itu sendiri, dan beberapa contoh 

penafsiran Nabi Muhammad dan kaum Muslim awal. Sebaliknya, 

penafsiran berbasis akal memungkinkan untuk melakukan 

interpretasi berdasarkan pada penalaran independen, meski 

ada  keterbatasan tertentu. Meskipun kedua pendekatan 

ini merupakan bagian penting dalam sejarah tafsir al-Qur'an, 

penafsiran berbasis akal cenderung agak kurang menonjol. 

257

Penafsiran berbasis tradisi

Para pendukung tafsir berbasis tradisi berpendapat bahwa 

Nabi secara eksplisit melarang orang melakukan penafsiran 

yang tidak didasarkan pada tradisi. Misalnya, Abdullah ibn 

Abbas (d.68/687), sepupu Nabi dan mufassir al-Qur'an terkenal, 

meriwayatkan: “Rasulullah mengatakan: ‘siapa yang menafsirkan 

al-Qur'an dengan menggunakan pendapatnya (ra’y) maka dia 

telah disiapkan tempatnya di neraka”. Demikian pula, hadis yang 

lain menyatakan: ‘siapapun yang mengatakan sesuatu mengenai 

al-Qur'an sesuai dengan pendapatnya [bahkan jika pendapatnya 

itu] benar, maka sesungguhnya dia telah keliru.’1

Berdasarkan pada pembacaan mereka, para pendukung 

tafsir berbasis tradisi berpendapat bahwa hanya ada beberapa 

bentuk penafsiran yang dapat diterima: interpretasi dari satu 

ayat al-Qur'an dengan mengacu pada ayat lain dalam al-Qur'an, 

penafsiran ayat al-Qur'an dengan mengacu pada hadits; dan 

dalam pendapat beberapa kalangan, interpretasi teks al-Qur'an 

dengan merujuk kepada otoritas keagamaan dari umat Islam 

generasi pertama dan kedua, di mana masing-masing sering 

disebut sebagai sahabat dan tabiin. 

Interpretasi al-Qur'an dengan al-Qur'an itu seperti saat  

ada  sebuah ayat yang sulit atau ambigu yang ditemukan 

uraian atau penjelasannya dalam ayat lain. Bentuk penafsiran ini 

dianggap oleh banyak penafsir sebagai penafsiran yang terbaik 

dan paling otoritatif,2 sebagai contoh dalam kasus ‘kata-kata’ 

(kalimat) di mana Adam dikatakan telah menerima kalimat dari 

Tuhan, al-Qur'an mengatakan: “Kemudian Adam menerima 

beberapa kalimat dari Tuhan-nya, dan Dia pun menerima 

taubatnya: Tuhan Maha Penyayang.3 “kalimat” ini  

tampaknya diuraikan di dalam beberapa ayat al-Qur'an lainnya.

Interpretasi Nabi adalah sumber berikutnya yang dianggap 

paling otoritatif. Sebagai penyampai wahyu Tuhan, Nabi terlibat 

dengan al-Qur'an secara emosional, spiritual, dan intelektual. 

Hubungan yang unik dan intim ini , beberapa ayat juga 

mengatakan hal itu, cukup sebagai pendukung otoritas Nabi 

dalam melakukan penafsiran4.

Meskipun para pengikut Nabi sudah terbiasa dengan 

bahasa dan konteks sosial dari al-Qur'an, ada saat-saat di 

mana penjelasan lebih lanjut diperlukan. Misalnya, Nabi sering 

memberikan contoh praktis dimana sebuah perintah al-Qur'an 

harus dipraktekkan. Terkadang, para sahabat meminta Nabi 

untuk menjelaskan makna yang tersirat dari kata, frase atau 

ayat tertentu yang tampaknya memuat ekspresi metaforis atau 

referensi terhadap tokoh-tokoh historis. Dalam kasus ini , 

Nabi terkadang menawarkan penjelasan atau penafsiran secara 

langsung. Misalnya, dilaporkan bahwa dalam satu kesempatan, 

Nabi ditanya oleh seorang sahabat, Adiy bin Hatim (d.68/687-

688), untuk menjelaskan arti dari bahasa metaforis antara 

‘benang hitam’ dan ‘benang putih’ dalam ayat yang berhubungan 

dengan puasa.5 Nabi menjawab dengan menjelaskan, ‘ini adalah 

kegelapan malam dan cahaya siang’,6 yang menunjukkan waktu 

untuk mengakhiri dan mulai berpuasa setiap harinya. 

Penafsir al-Qur'an berikutnya yang paling otoritatif menurut 

tafsir berbasis tradisi adalah sahabat. Oleh karena mereka 

hidup bersama Nabi, mayoritas kaum Muslim khususnya Sunni 

menganggap mereka memiliki status tinggi dalam Islam, sehingga 

praktek keseharian mereka dipandang sesuai dengan Nabi 

(sunnah). Interpretasi para sahabat seringkali tampak bersifat 

individual dan didasarkan pada penilaian independen mereka 

sendiri (ijtihad). Secara umum, para sahabat tidak menggunakan 

pendekatan sistematis tertentu dalam penafsiran, dan mereka 

tidak pula terikat untuk memberikan bukti demi mendukung 

pemahaman mereka. Namun sebaliknya, mereka justru sering 

mengandalkan pemahaman independen untuk kemungkinan-

kemungkinan makna yang tepat dengan mendasarkan pada 

keakraban mereka dengan ‘spirit’ al-Qur'an.

Pada abad ke-1/ke-7, sebagaimana negara muslim mulai 

memantapkan dirinya dan pengaruhnya mulai tumbuh, semakin 

banyak orang mulai masuk Islam. Kelompok Muslim baru dari 

latar belakang agama, budaya dan bahasa yang beragam, sangat 

bergantung pada sahabat untuk menafsirkan al-Qur'an. Oleh 

karenanya, beberapa sahabat terkemuka seperti di Suriah, Mesir 

dan Yaman menjadi eksponen otoritatif dalam menafsirkan teks 

al-Qur'an. Selanjutnya, murid-murid Sahabat, para ‘Pengganti’, 

menjadi kelompok eksponen al-Qur'an ketiga yang memiliki  

otoritas penafsiran. Seperti sahabat, para pengganti/tabiin 

memiliki corak penafsiran yang lebih personal dan pendekatan 

yang tidak sistematis, dan sering didasarkan pada wawasan dan 

pemahaman guru mereka serta mencerminkan pendapat mereka 

sendiri.

Setelah generasi awal, penafsiran al-Qur'an mulai mengambil 

karakter yang lebih sistematis dan perbedaan mazhab pemikiran 

juga mulai muncul. Salah satu tren utama yang muncul adalah 

penafsiran yang berbasis akal, yang akan segera dibahas. 

Tafsir berbasis akal

Berbeda dengan mereka yang mengandalkan tafsir 

pada tradisi, kehadiran penafsiran berbasis akal tidak hanya 

mempertimbangkan al-Qur'an, hadits dan pendapat para 

sahabat dan tabiin dalam interpretasi mereka, namun juga 

mempertimbangkan pandangan ulama selanjutnya, serta 

peraturan hukum dan prinsip-prinsip hukum, teks sejarah dan 

karya-karya teologis.

Para pendukung tafsir berbasis akal, seperti para teolog 

rasionalis yang dikenal dengan Mu’tazilah, berpendapat 

misalnya ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan, 

perlu ditafsirkan secara metaforis yang berdasar pada akal 

untuk menghindari atribusi karakteristik kemanusiaan Tuhan. 

Mereka berargumen misalnya dalam ungkapan, ‘[Allah] Yang 

Maha Pemurah bersemayam di Arsy’,7 harus ditafsirkan sebagai, 

‘[Allah] Yang Maha Pemurah telah bersemayam dalam Tahta 

kekuasaan-Nya’. Namun, pendekatan ini ditolak oleh ulama tafsir 

yang berbasis pada tradisi, seperti Ibn Taymiyyah (d.728/1328), 

yang menganggap pendekatan ini  sebagai sebuah inovasi 

yang tidak dapat diterima. 

Meskipun oposisi tetap berlanjut, para teolog Mu’tazilah 

serta para ahli bahasa Arab telah menghasilkan sejumlah karya 

khusus tentang tafsir dan metodologinya yang mendukung 

interpretasi berbasis akal.8 Karya ini  telah memberi 

kontribusi intelektual penting terhadap perdebatan seputar 

metode penafsiran.9

Cendekiawan juga mufassir seperti Qurtubi (d.671/1273), 

percaya bahwa penalaran independen (ijtihad) merupakan 

aspek penting untuk mengembangkan interpretasi al-Qur'an.10 

Namun, Qurtubi juga berpendapat bahwa ijtihad tetap harus 

didasarkan pada tradisi, dan bahwa penafsir harus memiliki 

pengetahuan tentang disiplin agama Islam sebelum melakukan 

penafsiran.11 Dengan demikian, pemikiran Qurtubi dapat dilihat 

sebagai pendukung kedua kelompok, baik yang berbasis pada 

akal maupun tradisi.

Salah satu pendukung utama tafsir berbasis akal adalah 

filosof Muslim Spanyol, Ibnu Rusyd (d.595/1198). Dia 

berargumen bahwa Islam ditujukan kepada beragam orang 

yang memiliki  kemampuan intelektual dan psikologi yang 

berbeda, yang mengharuskan bahwa al-Qur'an harus dilihat 

dengan tingkat yang berbeda pula. Sama seperti pemahaman 

satu orang tertentu mungkin berbeda dengan orang lain, sama 

halnya dengan seseorang yang mungkin lebih nyaman dengan 

penjelasan sederhana sementara yang lain mungkin lebih suka 

penjelasan yang kompleks dengan bukti-bukti rasional. Ibn Rusyd 

percaya bahwa meskipun beberapa teks al-Qur'an dan hadits 

tidak bertentangan dengan akal, beberapa ayat yang lain mungkin 

tampak bertentangan. Oleh karenanya, ayat-ayat ini  harus 

di-ta’wil-kan (penafsiran alegoris, salahs atu bentuk penafsiran 

pertanyaan metaforis.

yang berbasis pada akal).12 Ibn Rusyd berpendapat bahwa tafsir 

berbasis akal, sangat penting untuk mengkomunikasikan pesan 

al-Qur'an secara efektif. 

Argumen pendukung lain misalnya bahwa pendekatan 

berbasis akal menyoroti kompleksitas yang terkait dengan ‘makna’ 

dan kebutuhan untuk menafsirkan teks-teks hukum sesuai 

dengan perubahan kondisi warga  dengan menggunakan 

ijtihad. Mengingat perbedaan yang signifikan antara warga  

modern dan warga  di mana Nabi hidup, hanya bergantung 

pada tradisi nampaknya tidak lagi memadai untuk memahami 

dan menafsirkan teks kitab suci.

Meskipun ada  diferensiasi antara penafsiran berbasis 

tradisi dan berbasis akal, secara historis tafsir al-Qur'an 

memiliki  kecenderungan untuk menjadi inklusif dan sebisa 

mungkin menampung kedua kelompok ini , baik yang 

berbasis pada tradisi maupun akal

Tafsir berbasis tradisi dan akal

Tafsir berbasis tradisi membatasi ruang lingkup penalaran 

independen dalam penafsiran al-Qur'an dengan hanya 

mengandalkan sumber-sumber utama Islam. Penafsiran ini  

meliputi:

penafsiran ayat al-Qur'an dengan ayat lain;

penafsiran al-Qur'an dengan hadits Nabi; atau

penafsiran al-Qur'an dengan mengacu pada pendapat dari 

riwayat generasi Muslim pertama atau kedua atau generasi 

Muslim awal lainnya. 

Tafsir berbasis akal menawarkan ruang lingkup yang lebih besar 

dalam melakukan penalaran, namun tetap dalam batasan-batasan 

tertentu. Beberapa karakteristik tafsir ini antara lain:

ketergantungan yang besar terhadap linguistik dan eks-

plorasi penentuan makna dengan melihat pada implikasi 

penggunaan bahasa yang berbeda;

pembacaan metaforis terhadap ayat-ayat tertentu;

interpretasi alegoris terhadap teks yang jika dipahami secara 

literal, nampak bertentangan dengan akal; dan

penggunaan ijtihad (penalaran independen). 

Tafsir berbasis tradisi dan akal

Tafsir berbasis tradisi membatasi ruang lingkup penalaran 

independen dalam penafsiran al-Qur'an dengan hanya mengandalkan 

sumber utama Islam. Penafsiran ini  meliputi:

penafsiran ayat al-Qur'an dengan ayat lain;

penafsiran al-Qur'an dengan hadits Nabi; atau

penafsiran al-Qur'an dengan mengacu pada pendapat riwayat 

generasi Muslim pertama atau kedua atau generasi Muslim 

awal lainnya. 

Tafsir berbasis akal memungkinkan ruang lingkup yang lebih besar 

untuk melakukan penalaran, namun tetap dalam batasan-batasan 

tertentu. Beberapa karakteristik tafsir ini adalah:

ketergantungan yang besar terhadap linguistik dan eksplorasi 

penentuan makna dengan melihat pada implikasi penggunaan 

bahasa yang berbeda;

pembacaan metaforis terhadap ayat-ayat tertentu;

interpretasi alegoris terhadap teks yang jika dipahami secara 

literal, nampak bertentangan dengan akal; dan

penggunaan ijtihad (penalaran independen). 

264

Beberapa Prinsip Penafsiran al-Qur'an

Salah satu konsep kunci dalam interpretasi adalah pembagian 

ayat-ayat al-Qur'an ke dalam beberapa kategori yang berbeda. 

Pada bagian ini kita akan menjelajahi sejumlah konsep kunci 

yang berkembang dalam metodologi penafsiran.

Ayat-ayat yang jelas dan ambigu

Dua dari kategori yang paling penting dari ayat-ayat al-Qur'an 

adalah diferensiasi antara ayat-ayat yang ‘jelas’ dan ‘ambigu’.13 

Dasar pembagian ini dapat ditemukan dalam ayat berikut: 

Dialah yang telah menurunkan Kitab ini [Quran] kepadamu 

[Nabi]. Beberapa ayat-ayat yang pasti dalam makna - ini adalah 

landasan Kitab - dan lain-lain yang ambigu. Yang jahat di hati 

bersemangat mengejar ambiguitas dalam usaha mereka untuk 

membuat masalah dan dijabarkan arti khusus mereka sendiri: 

hanya Tuhan yang tahu arti sebenarnya. Mereka mendalam 

ilmunya berkata, ‘Kami beriman kepadanya: semuanya itu dari 

sisi Tuhan kami’- tidak ada yang dapat mengmbil pelajaran 

kecuali orang yang berakal.14 

Dari ayat yang dijelaskan di atas, jenis yang pertama disebut 

muhkam (jelas), sedangkan jenis kedua disebut mutashabih 

(ambigu). Definisi kata-kata ini  telah lama diperdebatkan 

dalam keilmuan Islam dan bahkan hingga sekarang pun masih 

diperdebatkan. Sebagian orang memahami muhkam sebagai ayat- 

ayat yang dapat dipahami tanpa penafsiran atau refleksi ekstra, 

sementara mutashabih adalah ayat-ayat yang membutuhkan 

penafsiran. Sementara yang lainnya berpendapat bahwa ayat-ayat 

muhkam hanya memiliki satu kemungkinan makna sedangkan 

ayat mutashabih memiliki kemungkinan makna yang beragam, 

di mana arti yang paling ‘tepat’ harus disimpulkan.

Beberapa sarjana berpendapat bahwa ayat muhkam tidak 

memerlukan penafsiran apapun, karena maknanya cukup jelas 

dipahami oleh siapa saja yang fasih berbahasa Arab. Sebagai 

contoh, ayat-ayat yang dianggap sudah jelas seperti ‘Pujian 

kepada Tuhan semesta alam’,15 atau ‘lakukanlah doa [shalat]’.16 

Namun jika dilihat lebih jauh, ayat-ayat yang dikatakan muhkam 

ternyata tidak selalu memiliki makna yang sepenuhnya jelas. 

Dalam beberapa kasus, ayat yang awalnya dipandang cukup 

‘jelas’ dapat berubah menjadi lebih kompleks jika dilihat dari 

perspektif lain. Ambil contoh ayat pertama yang disebutkan di 

atas. Secara lahiriah ayat ini tampak jelas maknanya. Namun, 

ada  ambiguitas dalam istilah-istilah seperti ‘dunia’ dan 

‘pujian’ yang menyebabkan perdebatan dalam memahami 

interpretasi yang tepat. Sementara ayat lain dalam kategori ini 

tampak lebih jelas seperti perintah al-Qur'an untuk ‘melakukan 

shalat’. Meski demikian, perintah yang dianggap jelas ini , 

masih menyisakan ketidakjelasan dalam sifat dasar dari apa yang 

dimaksud dengan ‘doa’. Rincian mengenai apa yang dipahami 

sebagai ‘doa’ perlu diperjelas kembali. 

Kategori kedua, mutashabih, dianggap sebagai ayat-ayat yang 

memiliki  makna ambigu dan umumnya harus ditafsirkan agar 

dapat dipahami. Para mufassir telah mengidentifikasi beberapa 

karakteristik ayat-ayat ini. Di antara ayat-ayat mutashabih yang 

paling penting adalah ayat-ayat yang menggunakan istilah-

istilah seperti ‘Yang Abadi’ dan ‘Maha kuasa’. Ayat-ayat ini  

terkadang menggambarkan Tuhan secara antropomorfik, 

termasuk rujukan tentang keberadaan atau naiknya Tuhan ke 


‘tahta’, atau Tuhan memiliki ‘tangan’ dan ‘wajah’. Pada abad-

abad awal Islam, ada  perdebatan sengit mengenai isu-isu 

teologis yang timbul dari cara memahami ayat ini , dan 

perdebatan ini masih berlanjut hingga saat ini. Misalnya beberapa 

ulama seperti Ahmad ibn Hanbal (d.241/855) percaya bahwa 

atribut-atribut ini  harus ditafsirkan secara harfiah, sebuah 

pandangan yang secara diametral bertentangan dengan kalangan 

rasionalis Mu’tazilah, yang berpendapat bahwa ayat-ayat ini  

harus diinterpretasikan dan dibaca secara metaforis. Demikian 

pula, ulama sepert Baghawi (d.515/1122), Ibnu Taimiyah dan 

Ibnu Katsir yang lebih suka memahami ayat-ayat ini  

secara harfiah. Sementara mufassir terkenal lainnya seperti Razi 

(d.606/1209), Zamakhsyari (d.539/1144), Baidawi (d.685/1286) 

dan Ibn Arabi (d.638/1240), memiliki pandangan yang mirip 

dengan kelompok rasionalis Mu’tazilah dan mereka menganggap 

ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan merupakan 

ayat yang ‘ambigu’ dan perlu untuk ditafsirkan. 

Literal dan metaforis 

Kategori lain yang dipakai  dalam diskursus tafsir al-Qur'an 

adalah apa yang disebut sebagai literal (haqiqi) dan metaforis 

(majazi).17 Para pendukung pendekatan literal berpendapat bahwa 

teks selalu memiliki arti literal yang sudah jelas. Sebaliknya, para 

sarjana yang memilih pendekatan rasional memperhitungkan 

kejelasan makna linguistik teks dan juga mempertimbangkan 

kemungkinan arti metaforis yang terkadang dianggap lebih tepat.

Pandangan umum yang sering menjadi pegangan adalah 

bahwa saat  menafsirkan teks al-Qur'an, prioritas utama 

harus diberikan kepada makna literal teks dalam mencoba 

memahami maksud Tuhan. Namun yang lain berpendapat bahwa 

17 Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence.

267

beberapa teks tidak bisa dipahami jika seseorang membacanya 

secara harfiah, oleh karenanya arti metaforis harus menjadi 

pilihan alternatif. Misalnya, kasus ‘tangan’ Tuhan sebagaimana 

disebutkan dalam al-Qur'an, kebanyakan teolog berpendapat 

bahwa arti literal dari ‘tangan’ jelas tidak pantas diatribusikan 

kepada Tuhan, karena itu merupakan atribut kemanusiaan. 

Maka dalam menangani kasus ini, pembacaan metaforis yang 

bermakna ‘kekuatan’ Tuhan umumnya lebih disukai. 

Meskipun demikian, beberapa ulama seperti Ibnu Taimiyah 

dan mufassir Sunni modern, Muhammad al-Shinqiti, menolak 

gagasan tentang arti metaforis dalam al-Qur'an. Mereka dengan 

keras menyatakan bahwa teks ‘Metaforis’ al-Qur'an, khususnya 

yang terkait dengan sifat-sifat Tuhan dan sejenisnya harus dibaca 

secara literal, dan permasalahan tentang majaz dan arti metaforis 

tidak perlu dibahas.

Umum dan spesifik

Para ahli juga melakukan diferensiasi antara teks yang 

bersifat umum (amm) dan yang bersifat spesifik (khass).18

Teks yang bersifat umum didefinisikan sebagai teks yang 

menggunakan kata-kata tertentu untuk menunjukkan bahwa 

teks ini  berlaku dalam kategori yang luas, seperti ‘manusia’. 

Sebagai contoh, jika al-Qur'an memerintahkan manusia untuk 

melakukan sesuatu, ini berarti bahwa instruksi ini  berlaku 

untuk semua orang. Kata lain yang memiliki arti luas seperti 

‘pria’, ‘wanita’ dan ‘Muslim’. Proses identifikasi ini  sangat 

penting bagi para penafsir al-Qur'an maupun ahli hukum yang 

ingin mengembangkan hukum Islam. Meski demikian, setelah 

teks-teks ini  diidentifikasi dan disepakati, masih ada 

perbedaan pendapat di antara para ahli hukum sehubungan 

18 Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence.

268

dengan detail penafsiran mereka dan bagaimana penafsiran 

ini  diterapkan dalam pengembangan hukum Islam. 

Ada kata-kata tertentu dalam al-Qur'an yang mungkin lebih 

spesifik, seperti ‘Firaun’, ‘Nabi Muhammad’ atau ‘Ahli Kitab’, 

yang dalam hal ini teks ini  dianggap berlaku untuk orang 

tertentu atau sekelompok orang. Adapun teks yang dianggap 

‘spesifik’ nampak lebih jelas daripada teks umum, di mana 

orang atau hal tertentu dapat dirujuk dengan jelas. Misalnya, 

al-Qur'an menetapkan bahwa pencuri harus dihukum dengan 

potong tangan, dan pelanggaran hubungan seksual dikenakan 

hukuman 100 cambukan. Dalam kedua kasus ini  hukuman 

dijelaskan secara spesifik dengan istilah yang pasti.

Meskipun teks yang bersifat umum seringkali memiliki  

makna yang jelas, namun terkadang ada pengecualian dalam 

penerapan aturan teks-teks ini . Misalnya, teks yang 

mengatakan bahwa ‘Muslim’ harus menunaikan ibadah haji 

mungkin bisa dianggap jelas, tetapi tidak selalu berlaku untuk 

semua umat Islam, beberapa orang mungkin akan dibebaskan 

dari persyaratan ini, seperti mereka yang sakit, tidak mampu, 

atau tidak dalam posisi untuk melakukan perjalanan ke Mekkah 

untuk alasan lain. Oleh karena ayat-ayat ini  berlaku sangat 

luas, maka perintah ini  sering dikategorikan sebagai teks 

umum. Misalnya, saat  sebuah ayat memerintahkan orang 

untuk ‘memuliakan Tuhan’, bagaimana dan kapan perintah 

ini harus dilakukan masih tidak jelas, oleh karenanya perintah 

ini  dianggap lebih sulit dalam implementasinya.

saat  berhadapan dengan kajian tafsir ahkam, para ulama 

klasik menganggap teks yang spesifik memiliki beban yang lebih 

‘berat’ dibandingkan ayat-ayat umum. Hal itu terjadi saat  

sebuah teks spesifik dihadapkan dengan situasi tertentu, dalam 

hal ini tantangan mereka adalah tetap berhati-hati untuk tidak 

menjadikannya sebagai aturan umum.

269

Makna langsung dan makna sekunder

Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an, para ulama telah 

membangun sebuah hirarki makna yang umumnya dikategorikan 

sebagai pemahaman secara langsung atau tidak langsung. 

Misalnya dalam kaitannya dengan siapa yang bertanggung 

jawab untuk pembiayaan anak, ayat 2:233 mengatakan ‘pakaian 

dan pemeliharaan harus ditanggung oleh ayah sesuai standar’. 

Makna langsung dari ayat ini  adalah bahwa seorang 

ayah bertanggung jawab untuk kesejahteraan anaknya. Level 

pemaknaan ini dikenal sebagai mantuq atau ‘diucapkan’. Makna 

ini  didefinisikan sebagai sesuatu yang bisa langsung 

ditangkap saat mendengar teks tanpa analisa apapun atau 

referensi ke sumber-sumber lain.19 

Sedangkan makna sekunder dari ayat ini adalah seorang 

ayah secara umum harus mengakui keturunannya. Hal ini 

digambarkan sebagai makna yang ‘tersirat’. Makna tambahan 

ini  harus diperoleh dengan beberapa proses seperti: deduksi 

atau induksi, melalui referensi ke sumber lain, atau dengan apa 

yang mungkin kita sebut sebagai ‘pembacaan’ terhadap lapisan-

lapisan makna teks. Proses ini memungkinkan adanya lebih dari 

satu arti yang berasal dari satu ayat. Namun secara umum, makna 

langsung dianggap lebih berat dari makna tak langsung, karena 

mereka kurang sensitif terhadap kesalahan dalam penalaran dan 

analysis.20

Teks awal dan teks setelahnya

Menurut laporan, dalam menyusun al-Qur'an sebagai teks 

tunggal, kaum Muslim awal berada di bawah instruksi Nabi 

Muhammad untuk mengumpulkan ayat-ayat sesuai dengan 

panjang surahnya, bukan sesuai dengan kronologi turunnya. 

Dengan demikian, surah terpanjang ditempatkan di awal al-

Qur'an sedangkan yang terpendek diletakkan di akhir. Oleh 

karena susunan surah disesuaikan dengan panjangnya, maka 

banyak surah yang turun pada masa-masa awal kenabian, biasa 

disebut sebagai periode Mekah (610-622 M), diletakkan di akhir 

al-Qur'an. Sebaliknya, ayat-ayat yang turun pada masa-masa 

akhir misi kenabian, disebut sebagai periode Medinah (622-632 

M), diletakkan di awal. 

Terkait dengan masalah etico-legis, kronologi teks al-Qur'an 

sangatlah penting karena beberapa perintah yang diturunkan 

untuk komunitas Muslim di masa awal misi kenabian telah 

dimodifikasi oleh wahyu yang turun pada fase setelahnya. 

Akibatnya, jika kita membaca beberapa petunjuk al-Qur'an 

terhadap isu yang sama tanpa menyadari kronologi ayatnya, 

mungkin ayat-ayat ini  akan tampak bertentangan. 

Misalnya, dalam kasus konsumsi minuman keras, al-Qur'an 

tampaknya memberikan tiga perintah yang berbeda: pertama, 

menjelaskan tentang adanya beberapa manfaat dan dosa dalam 

mengkonsumsinya;21 kedua, jika peminum sedang mabuk maka 

dia harus menghindari shalat;22 dan ketiga, seorang mukmin 

tidak boleh mengkonsumsi minuman keras sedikitpun.23 Oleh 

karenanya saat  seseorang tidak menyadari urutan kronologis 

perintah ini, dia akan mengalami kesulitan untuk menentukan 

mana yang harus diprioritaskan, dan mana yang harus digantikan. 

Pertimbangan inilah yang menyebabkan kaum Muslim awal 

banyak membahas tentang kronologi al-Qur'an dan dampaknya 

terhadap interpretasi mereka.


Secara umum, perbedaan yang cukup besar telah digambarkan 

antara ayat-ayat yang turun di awal, di Mekah, dan ayat-ayat yang 

turun setelahnya, di Madinah. Namun perbedaan ini  tidak 

mempertimbangkan waktu tertentu dari proses pewahyuan, 

dan tidak pula memperhitungkan beberapa surah yang 

memiliki ayat-ayat baik dari periode Mekah ataupun Madinah. 

Dalam menghadapi masalah ini, kaum Muslim awal umumnya 

menganggap setiap surah yang permulaannya turun di Mekah 

disebut sebagai surah Makkiyah, sementara jika dalam permulaan 

surah turun di Madinah maka dijuluki sebagai surah Madaniyah. 

Menurut kaidah ini, ada  85 surah Makkiyah dan 29 surah 

Madaniyah.24 Sedangkan pada periode modern, sebuah surah 

yang didominasi ayat-ayat makkiyah biasanya dianggap sebagai 

surah Makkiyah, sementara jika surah didominasi ayat-ayat 

Madaniyah maka dianggap sebagai surah Madaniyah. Dalam al-

Qur'an edisi-edisi baru, informasi ini biasanya diberikan di setiap 

awal surah. Namun, deskripsi ini  jarang mengidentifikasi 

surah-surah yang memiliki  komposisi ayat-ayat Makkiyah 

dan Madaniyah. 

Cara umum dalam mengklasifikasikan keseluruhan surah 

baik Makkiyah maupun Madaniyah telah menye babkan beberapa 

kesulitan dalam menentukan kapan ayat tertentu diturunkan. 

Beberapa cendekiawan Mus lim telah mengindikasikan bahwa 

ayat-ayat dapat diiden tifikasi dengan mempertimbangkan fitur 

gaya bahasa tertentu serta isinya. Elemen-elemen ini  

seperti panjangnya ayat, masalah yang dibahas, bahasa yang 

dipakai  untuk merujuk kelompok tertentu, tipe orang (seperti 

Yahudi, Kristen, orang-orang munafik atau orang-orang kafir), 

dan peristiwa-peristiwa yang dibahas.

Dengan demikian, beberapa fitur umum dari ayat-ayat 

Makkiyah adalah: secara umum ayatnya singkat, tegas, memaksa, 

dan/atau memiliki  permulaan kata atau huruf yang sama 

bunyinya; sering merujuk kepada para nabi sebelumnya seperti 

Nuh, Ibrahim, Isa dan Yunus, dan perjuangan mereka dalam 

menghadapi warga nya; umumnya menggunakan panggilan 

‘wahai manusia’; beberapa frasa tertentu menggunakan ‘sumpah’, 

seperti ‘demi waktu malam yang menutupi’25 dan ‘Demi waktu 

dhuha’;26 rujukan kepada Adam dan Iblis (Setan); penggunaan 

teks yang menyangkut masalah surga, neraka dan hari kiamat; 

dan surah-surah umumnya dimulai dengan serangkaian huruf-

huruf Arab yang tidak memiliki  makna jelas, seperti ya’ sin 

dan alif lam mim (kecuali dua surah al-Baqarah (Sapi) dan Ali 

Imran (Keluarga Imran)). 

Berikut ini adalah contoh dari salah satu awal surah Makkiyah 

lengkap, yang mengingatkan pembaca tentang konsekuensi 

orang-orang yang memilih jalan tertentu dalam hidup mereka, 

dan menekankan bimbingan Tuhan dan peringatan-Nya: 

Demi malam yang menutupi, demi siang apabila terang 

benderang, demi penciptaan laki-laki dan perempuan! 

Sungguh usahamu memang beraneka ragam. Barangsiapa 

memberi dan bertakwa, dan memberi kesaksian tentang 

kebaikan – Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan. 

Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup,s 

erta mendustakan yang terbaik, maka akan Kami mudahkan 

baginya jalan menuju kesengasaraan. Dan hartanya tidak 

bermanfaat baginya apabila dia telah binasa. Sesungguhnya 

Kami-lah yang memberi petunjuk. Dan sesungguhnya milik 

Kami-lah duni dan akhirat itu, maka Aku memperingatkan 

kamu dengan nerakan yang menyala-nyala, yang akan 

25 Al-Qur'an: 92:1.

26 Al-Qur'an: 93:1.

273

dimasuki oleh orang yang menyangkal [yang kebenaran], dan 

berpaling. Dan orang yang paling saleh ini akan dihindarkan 

– yaitu mereka yang memberikan kekayaannya sebagai 

pemurnian diri, bukan untuk membalas budi kepada siapa 

pun kecuali demi Tuhan-nya Yang Maha Tinggi - dan dia akan 

mendapatkan kabahagiaan.27 

Beberapa fitur umum dari ayat-ayat Madaniyah adalah: 

secara umum ayat-ayatnya panjang, mengalir bebas dan tidak 

memiliki awalan bunyi yang sama, menjelasakan fenomena 

di Madinah seperti orang-orang munafik, perjuangan antara 

Muslim dan Yahudi di Madinah, pertempuran antara Muslim dan 

non-Muslim, dan peraturan tentang peperangan; ada  juga 

keterangan mengenai berbagai peraturan dan hukuman spesifik, 

seperti larangan berzina, mencuri dan memfitnah; aturan 

mengenai keuntungan hasil pertempuran, uang kompensasi dan 

etika sosial; aturan tentang pernikahan, perceraian dan hak asuh; 

aturan tentang perang dan perdamaian; panggilan umumnya 

menggunakan ‘wahai orang-orang yang beriman’ atau ‘wahai 

ahli kitab’. 

Salah satu contoh dari ayat Madaniyah sebagai berikut: 

Wahai orang-orang ynag beriman, diwajibkan atas kamu 

berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu 

agar kamu bertakwa. Yaitu berpuasa dalam beberapa hari 

tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam 

perjalanan, maka wajib mengganti pada hari yang lain. Dan 

bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membyar fidyah, 

yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa 

dengan kerelaan hati mengerjakan kebaikan, maka itu lebih 

baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu 

mengetahui. Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya 

diturunkan al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan 


penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda 

antara yang benar dan yang salah. Karena itu, barang siapa di 

antara kamu ada di bulan iut, maka berpuasalah. Dan barang 

siapa sakit atau dalam perjalanan maka wajib menggantinya 

sebanyak hari yangd itinggalkan, di hari-hari yang lain. Tuhan 

menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki 

kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan 

bilangannye dan mengagungkan TUHAN ATAS PETUNJUK-

nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.28 

Yang tetap dan yang berubah

Salah satu hal penting terkait dengan penafsiran adalah 

pembahasan mengenai apa yang berubah dan apa yang tetap 

dalam perintah al-Qur'an.

Meskipun kecenderungan umum dalam menafsirkan teks-

teks etico-legis al-Qur'an menekankan pandangan bahwa instruksi 

yang diberikan al-Qur'an harus diikuti tanpa memandang waktu, 

tempat dan kondisi tertentu, di sisi lain ada  beberapa 

perdebatan mengenai apakah seseorang diperbolehkan membuat 

diferensiasi dua domain perintah: ayat-ayat yang terkait dengan 

ritual dan ibadah (ibadat), dan ayat-ayat yang terkait dengan 

‘transaksi’ (mu’amalat). Secara umum, yang pertama dianggap 

sesuatu yang tetap dan tidak dapat berubah sedangkan yang 

terakhir bisa berubah.

Ide yang mengatakan bahwa teks-teks yang terkait dengan 

ritual dan ibadah harus dikategorikan sebagai sesuatu yang tidak 

bisa berubah, memiliki dasar pandangan bahwa aturan ritual 

dan ibadah datang dari Tuhan dan Nabi, tidak satupun orang 

lain dapat memberikan aturan ini , dan tidak ada manusia 

selain Nabi, memiliki wewenang untuk mengubahnya. Oleh 

karena itu, ayat-ayat ini  tidak bisa dinegosiasi dan tidak 

28 Al-Qur'an: 2:183–185.

275

pula terbuka untuk reinterpretasi, hal ini berbeda dengan teks 

yang berkaitan dengan interaksi manusia (mu’amalat). Rincian 

mengenai ajaran ini , seperti ayat-ayat yang terkait dengan 

akad jual beli, sering didasarkan pada kebiasaan atau praktik 

setempat, oleh karena itu ayat ini  dianggap bisa berubah dan 

terbuka untuk dilakukan interpretasi ulang. Diskusi mengenai 

perbedaan antara jenis-jenis teks dan cara bagaimana ayat-ayat 

ini  harus diperlakukan menjadi bukti adanya karya-karya 

ulama periode awal. Misalnya, dalam teks-teks hukum mazhab 

Hanafi ada  bukti diperbolehkannya merubah beberapa 

ketentuanuntuk disesuaikan dengan adat lokal. Seperti halnya 

kajian dalam hukum Islam dan interpretasi al-Qur'an, isu-isu 

ini  juga mengalami perdebatan dan kontestasi yang cukup 

pelik.

Ringkasan

Beberapa poin penting yang telah kita bahas dalam bab ini 

meliputi:

Pendekatan al-Qur'an berbasis tradisi menekankan 

penafsiran dengan menggunakan sumber-sumber seperti 

al-Qur'an, Nabi dan generasi pertama umat Islam, serta 

membatasi penggunaan akal.

Pendekatan al-Qur'an berbasis akal membolehkan 

penggunakan nalar independen sembari mempertimbangkan 

aspek-aspek kunci dari tafsir yang berbasis pada tradisi. 

Ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan sering 

dipandang ambigu dan bersifat metaforis.

Ayat-ayat yang ditujukan kepada kelompok atau individu 

tertentu sering mengandung rincian yang jelas daripada ayat-

ayat yang ditujukan untuk manusia, yang sering dinyatakan 

lebih umum.

276

Interpretasi yang terkait dengan bidang-bidang seperti 

ibadah umumnya tidak mengalami perubahan, namun 

ada  perdebatan panjang mengenai apakah ayat yang 

terkait dengan transaksi dipandang bisa berubah atau tidak.

Rekomendasi Bacaan 

G.R. Hawting and Abdul-Kader A. Shareef (eds), Approaches 

to the Quran, London: Routledge, 1993.

Karya ini adalah kumpulan artikel ilmiah yang memberikan 

wawasan berbagai aspek penafsiran al-Qur'an. Artikel-artikel 

ini  mencakup: (1) aspek gaya bahasa dan isi al-Qur'an, 

(2) penafsiran al-Qur'an tradisional dan modern, dan (3) al-

Qur'an dan tafsirnya dalam konteks yang lebih luas. 

Andrew Rippin (ed.), Approaches to the History of the 

Interpretation of the Qur’an, Oxford: Oxford University Press; 

New York: Oxford University Press, 1988; The Quran: Formative 

Interpretation, Aldershot: Ashgate/Variorum, 1999. 

Buku-buku yang ditulis oleh Rippin ini  memberikan 

wawasan tentang sejarah dan pengembangan berbagai jenis 

dan metode penafsiran al-Qur'an, serta faktor-faktor yang 

mempengaruhi perkembangan ini . 

Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a 

Contemporary Approach, London and New York: Routledge, 2006. 

Dalam buku ini Saeed berbicara tentang metodologi 

kontemporer untuk menafsirkan al-Qur'an. Dia melakukan 

survei terhadap wacana klasik tentang tafsir al-Qur'an, 

mengutip preseden-preseden dari karya ulama Islam klasik, 

mengevaluasi tafsir klasik dan modern serta mendiskusikan 

peran konteks penafsiran dan penerapan ajaran al-Qur'an di 

dunia modern.

277

Ahmad von Denffer, Ulum al-Qur'an: An Introduction to the 

Sciences of the Quran, Leicester: The Islamic Foundation, 1985, 

dicetak ulang 1994.

Dalam buku ini von Denffer menyediakan pengenalan 

terhadap ilmu-ilmu al-Qur'an (ulum al-Qur'an). Dia membahas 

tentang metodologi interpretasi al-Qur'an, karya-karya tafsir 

dan ide-ide kunci yang mempengaruhi metode penafsiran 

al-Qur'an. Pertama kali diterbitkan pada tahun 1983, dan 

ini merupakan buku pertama dalam Bahasa Inggris yang 

mengkaji tentang topik ini.


279

Bab 11

Pendekatan-Pendekatan 

dalam Penafsiran Al-Qur'an

SEJAK al-Qur'an DITURUNKAN pada abad ke-7, kaum Muslim telah berusaha untuk memahami maknanya. Salah satu titik penting dalam usaha ini  adalah 

keyakinan umat Islam bahwa al-Qur'an adalah Firman Tuhan 

yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dalam bahasa Arab. 

Orang awam dan cendekiawan muslim selalu menggunakan 

pengetahuan mereka untuk melakukan interpretasi al-Qur'an 

baik formal maupun informal. Dengan berpegang pada al-Qur'an, 

interpretasi Nabi dan generasi Islam awal serta pengetahuan 

bahasa Arab, setiap generasi Muslim berupaya untuk memahami 

al-Qur'an yang berlaku untuk konteks mereka sendiri. Hal ini 

tetap dibenarkan umat Islam hingga saat ini.

Dalam bab ini kita akan membahas:

Perkembangan kelompok religio-politik Islam awal dan 

munculnya tradisi penafsiran mereka;

Pendekatan-pendekatan awal dalam tafsir, seperti pende-

katan teologis, hukum, mistis dan filosofis;

Perkembangan tafsir pada era modern, dan 

Karya beberapa ahli tafsir. 

280

Penafsiran Awal

Bermula dari penerima al-Qur'an pertama, yaitu para sahabat, 

umat Islam mengakui bahwa al-Qur'an telah membawa ide-ide 

dan ketentuan baru, di samping juga mengadopsi konsep pra-

Islam. Ini berarti bahwa beberapa interpretasi sangat diperlukan 

untuk memperjelas ajaran-ajaran al-Qur'an. Tugas ini pertama 

kali dilakukan oleh Nabi.

Memang al-Qur'an menyatakan bahwa bagian dari misi Nabi 

adalah membantu menjelaskan makna al-Qur'an.1 Umumnya 

upaya penjelasan nabi menggunakan dua model: kata-kata dan 

tindakan, tapi seringkali Nabi menggunakan tindakannya. Sejarah 

menunjukkan bahwa ia hanya secara lisan menafsirkan bagian-

bagian tertentu dari al-Qur'an kepada para pengikutnya. Karena 

sebagian besar para sahabat berbahasa Arab dan umumnya akrab 

dengan konteks dan makna al-Qur'an yang lebih luas, mereka 

tidak lagi memerlukan penjelasan keseluruhan teks secara 

mendalam. Namun, ada kebutuhan untuk menjelaskan beberapa 

ayat yang menyatakan konsep-konsep baru atau menggunakan 

istilah pra-Islam tertentu dengan cara baru, atau di mana ada  

kesulitan bahasa, terutama bagi orang-orang yang tidak akrab 

dengan dialek bahasa Arab Makkah.

Dari beberapa penjelasan verbal yang diberikan oleh Nabi, 

hanya sedikit yang berhasil terekam. Sebagian penafsiran 

Nabi ada dalam bentuk penafsiran praktis: yaitu, uraian nabi 

mengenai praktik tertentu dari istilah al-Qur'an atau konsep 

tertentu. Untungnya, banyak dari ‘tafsir praktis’ ini masih terjaga 

dalam memori para sahabat dan praktik warga . Memori-

memori praktis inilah yang kemudian direkam dalam literatur 

hadits. Contoh dari hal ini adalah detail penjelasan nabi tentang 

bagaimana shalat lima waktu itu harus dilakukan. 


Setelah Nabi meninggal, hanya sejumlah kecil sahabat yang 

memberikan kontribusi di wilayah penafsiran al-Qur'an. Para 

sahabat yang terlibat dalam penafsiran berusaha mengambil 

beberapa sumber untuk memahami dan menafsirkan al-Qur'an, 

termasuk mengambil ayat-ayat al-Qur'an itu sendiri yang 

menurutnya relevan, informasi dari nabi baik berbentuk lisan 

maupun praksis, serta pemahaman mereka sendiri terhadap 

bahasa teks. Selain itu, mereka juga mengandalkan tradisi Ahli 

Kitab (Yahudi dan Kristen), terutama dalam kaitannya dengan 

kisah-kisah dalam al-Qur'an seperti kisah-kisah nabi, warga  

dan peristiwanya. Tafsir mereka sebagian besar tetap dipreservasi 

dalam bentuk lisan dan ditransmisikan melalui murid-muridnya.

Abad ke-1/ke-7 menjadi saksi ekspansi Islam ke beberapa 

daerah yang kita sebut saat ini sebagai Timur Tengah dan Afrika 

Utara. Pada pertengahan abad inilah generasi kedua umat Islam 

mulai tumbuh dalam jumlah yang cukup signifikan dan mereka 

sangat berkontribusi dalam membentuk postur pengetahuan 

Islam. Generasi kedua ini, yang dikenal sebagai Tabi’in, termasuk 

anak-anak dari generasi pertama serta sejumlah orang yang masuk 

agama Islam, pada umumnya memiliki  latar belakang Kristen 

dan Zoroaster. Kondisi sosial para Tabi’in jauh lebih heterogen 

dibanding zaman Sahabat. Mengingat perbedaan budaya dan 

latar belakang linguistik, serta lebarnya kesenjangan antara 

mereka dan zaman Nabi, menjadikan kebutuhan warga  

terhadap penafsiran al-Qur'an semakin meningkat. Maka meski 

masih dalam skala informal, tafsir mulai berkembang pesat, 

terutama di pusat-pusat utama pembelajaran seperti Mekah, 

Madinah, Damaskus, Yaman dan Irak. Kaum Muslim juga mulai 

menemukan irama interaksi mereka dengan praktek-praktek 

budaya, politik dan hukum dari kekaisaran Bizantium dan 

Sassanid, yang saat itu telah ditaklukan oleh kaum Muslim. 

Dengan demikian, banyak orang yang mulai melihat al-Qur'an 

282

dan interpretasi terhadapnya dalam rangka mencari petunjuk 

untuk menghadapi konteks sosial yang baru. 

Perluasan Islam juga mengakibatkan interaksi yang lebih 

luas antara Islam dengan tradisi agama lain di wilayah ini . 

Para pendakwah di kalangan umat Islam mulai menceritakan 

kisah-kisah nabi masa lalu secara detail - yang biasanya hanya 

disinggung dalam al-Qur'an - dengan mengambil sumber-sumber 

dari Yahudi maupun Kristen. Narasi al-Qur'an lainnya yang 

berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di awal 

Islam seperti pertempuran antara Muslim dengan penentangnya 

juga diuraikan berdasarkan laporan yang beredar pada saat itu. 

Banyak dari informasi ini yang menjadi bagian dari tafsir al-

Qur'an di era permulaan dan juga menjadi cerita yang cukup 

populer. 

Sebagaimana warga  Muslim mulai tumbuh pada abad 

ke-1/ke-7, penafsiran dan pemahaman al-Qur'an juga semakin 

beragam. Pada era ini, mulai muncul perbedaan-perbedaan di 

kalangan umat Islam yang dipengaruhi oleh suhu religio-politik 

dan teologis. Hal ini menyebabkan timbulnya perdebatan sengit 

yang mengarah pada pertanyaan seperti, apakah tindakan manusia 

itu kehendak dirinya atau kehendak Tuhan, siapa dianggap 

sebagai Muslim, dan siapa penguasa yang sah paska wafatnya 

Nabi. Persaingan beberapa faksi seringkali menggunakan ayat-

ayat al-Qur'an sebagai argumentasi perdebatan. Pada saat yang 

sama, disiplin keilmuan Islam seperti hadis, hukum, kajian 

mengenai kehidupan nabi dan linguistik Arab juga mulai muncul. 

Demikian juga prinsip-prinsip dasar keilmuan tafsir al-Qur'an 

juga mulai berkembang. Oleh karena beberapa disiplin keilmuan 

ini  muncul secara bersamaan, masing-masing dari mereka 

tentu telah dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan politik saat 

itu.

283

Meski sebagian besar bentuk paling awal dari tafsir al-

Qur'an adalah melalui transmisi lisan, penelitian terbaru 

telah mengkonfirmasi bahwa tafsir dalam bentuk tulisan telah 

muncul setidaknya pada awal abad ke-2/ke-8.2 Tafsir-tafsir 

yang berkembang pada periode ini tidak mencakup seluruh isi 

al-Qur'an, namun mereka mewakili proses awal dokumentasi 

tafsir al-Qur'an. Awalnya, karya-karya ini mencakup penjelasan 

singkat tentang kata-kata atau frasa yang ambigu, belum jelas 

dan sulit dipahami maknanya. Mereka juga membahas masalah 

hukum dan ritual, semisal bagaimana cara melakukan shalat, 

menghitung zakat (sedekah) atau menunaikan ibadah haji, 

dan juga membahas mengenai perintah dan larangan tertentu 

dalam al-Qur'an. saat  ada  kasus dimana al-Qur'an hanya 

memberikan instruksi umum, seperti perintah melakukan shalat, 

maka tulisan-tulisan tafsir awal berusaha untuk memberikan 

penjelasan berdasarkan pada contoh praksis Nabi dan warga  

Muslim. 

Pada akhir abad ke-2/ke-8, karya tafsir yang berusaha 

mencakup seluruh isi al-Qur'an mulai muncul. Dan pada awal 

abad ke-3/ke-9, tafsir al-Qur'an menjadi sebuah disiplin keilmuan 

tersendiri. Sejak periode ini dan seterusnya, karya-karya tafsir 

menjadi semakin luas dan beragam, serta mencakup berbagai 

aspek seperti teologis, hukum, politik-keagamaan dan mistis.

Tiga Kecenderungan Umum Penafsiran 

Abad ke-3/ke-9 menjadi era matangnya perbedaan madzhab 

dan pemikiran dalam Islam. Meskipun asal usul madzhab 

ini  telah terjadi pada pertengahan abad ke-1/ke-7, 

dibutuhkan beberapa dekade sebelum mereka mapan menjadi 

madzhab pemikiran tertentu. Pada abad ke-3/ke-9, arus utama 

kelompok religio-politik seperti Sunni, Syiah dan Khawarij telah 

mengembangkan pendekatan yang berbeda terhadap ayat-ayat 

al-Qur'an yang terkait dengan masalah hukum dan teologis. 

Kelompok Muslim yang cukup mayoritas umumnya dikenal 

sebagai Sunni, dan Syiah menjadi minoritas, sedangkan Khawarij 

sangat sedikit jumlahnya. Dengan demikian, istilah tafsir Sunni, 

Syiah atau Khawarij, yang tidak begitu signifikan pada abad ke-1/

ke-7, mulai terbentuk secara solid pada abad ke-3/ke-9. 

Penafsiran Sunni 

Penafsiran Sunni mewakili tradisi penafsiran yang dominan. 

Kelompok Sunni muncul dari berbagai aliran pemikiran yang 

bersaing pada abad ke-1/ke-7 dan ke-2/ke-8. Tafsir Sunni banyak 

dipengaruhi oleh arus utama intelektual pada periode ini , 

nuansa teologis dan penafsiran mereka lebih cenderung pada 

upaya pemurnian posisi yang diperdebatkan oleh umat Islam 

saat itu. 

Karakteristik utama tafsir Sunni menekankan pada 

pemahaman literal al-Qur'an, daripada alegoris, dengan didukung 

oleh bukti linguistik. Secara umum para mufassir Sunni lebih 

suka mengandalkan tradisi, baik hadis maupun penafsiran kaum 

Muslim awal (Sahabat), daripada menggunakan pendekatan 

berbasis rasio dalam melakukan penafsiran. Mereka berpendapat 

bahwa dalam penafsiran seyogyanya kita harus bergantung pada 

otoritas awal untuk menentukan apa yang diperbolehkan dan apa 

yang tidak diperbolehkan. Kecenderungan ini mencerminkan 

penghormatan tinggi kepada semua sahabat, di mana kelompok 

Sunni menganggap mereka sebagai sumber yang paling otoritatif 

paska Nabi. Sebaliknya, Syiah dan Khawarij meyakini bahwa 

banyak sahabat yang berdosa dan bahkan murtad.

285

Secara umum, para mufassir Sunni menolak pemaknaan 

esoteris al-Qur'an, karena dianggap sebagai tindakan spekulatif 

yang tidak bisa dibenarkan. Hal ini kontras dengan tafsir Syiah 

yang cenderung menekankan makna esoteris. Kelompok Sunni 

juga mengadopsi posisi teologis tentang sifat-sifat Tuhan, 

kehidupan setelah kematian, Nubuat dan wahyu. Demikian juga 

para teolog Sunni yang menyebarkan definisi tertentu mengani 

‘orang yang beriman’ (mu’min) dan ‘orang yang ingkar’ (kafir) 

dan mereka yang menolak beberapa posisi teologis lawan-lawan 

mereka (seperti Khawarij). 

Tabari, seorang penafsir Sunni

Salah satu ahli tafsir Sunni yang paling terkenal adalah Abu 

Ja’far Muhammad bin Jarir al-Tabari (d.310/923), dari Provinsi 

Tabaristan, Persia. Tabari telah menghafal al-Qur'an pada usia 

tujuh tahun, dan menguasai berbagai disiplin Islam lainnya pada 

usia dini. Sebagai seorang pemuda, Tabari meninggalkan rumah 

untuk mengembara ilmu pengetahuan dan dia belajar di Persia, 

Suriah dan Mesir. Dia menulis karya-karya besar dalam bidang 

tafsir al-Qur'an, sejarah dan hukum Islam, serta mendirikan 

mazhab hukum Islam yang saat ini sudah punah. 

Karya tafsir Tabari yang dikenal sebagai Jami’ al-Bayan, 

adalah karya monumentalnya yang berjumlah 30 volume. Dan 

karya ini sangat dihargai dan umumnya dianggap sebagai prestasi 

Tabari yang paling menonjol. Karya ini  masih menjadi 

rujukan penting bagi para sarjana saat ini. Dalam karya ini , 

Tabari umumnya melakukan pendekatan terhadap al-Qur'an 

dengan perspektif gramatikal dan leksikografis, namun dia juga 

melakukan penafsiran yang bersifat teologis dan hukum yang dia 

pahami dari text.3 Salah satu karakteristik distingtif dari karya 

ini adalah setiap ayat al-Qur'an dipaparkan satu per satu. Sebagai 

seorang sarjana hadis, hukum dan sejarah, Tabari berusaha untuk 

mengumpulkan dan mereview sebanyak mungkin hadits Nabi 

yang relevan. Dia juga mengutip pandangan beberapa ulama 

Muslim sebelumnya untuk menafsirkan al-Qur'an. Karyanya 

dianggap sebagai contoh tafsir berbasis tradisi, namun di sisi 

lain dia juga mengadopsi beberapa elemen tafsir berbasis nalar.4 

Berikut ini kutipan Tabari dalam menggambarkan pendekatannya. 

Dia pertama kali mengutip al-Qur'an 98:1: “Orang-orang kafir 

dari Ahli Kitab dan orang musyrik tidak akan meninggalkan 

(agama mereka) sampai datang kepada mereka bukti yang nyata.” 

Dia kemudian melanjutkan penafsiran dengan menguraikan 

berbagai perbedaan pendapat para ahli tafsir tentang maknanya, 

dan menyediakan data-data pendukung dari kaum Muslim awal:

Para penafsir berbeda dalam menafsirkan [ayat di atas] 

“orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang musyrik tidak 

akan meninggalkan (agama mereka) sampai datang kepada 

mereka bukti yang nyata.” Beberapa dari mereka [mufassir] 

mengartikan bahwa mereka yang kafir yaitu orang-orang yang 

mengakui Taurat dan Injil dan orang-orang musyrik yang 

menyembah berhala tidak akan meninggalkan, dalam arti, 

tidak akan meninggalkan kekafiran sampai al-Qur'an datang 

ke mereka. Mufassir yang mendukung ide ini mengatakan 

sebagai berikut . . .

[Tabari kemudian mengutip tiga laporan dari berbagai sumber 

pendukung interpretasi ini. Dia menentukan sumbernya 

untuk setiap laporan, misalnya, ’Yunus mengatakan bahwa 

Ibn Wahb memberitahukan kepadanya bahwa Ibnu Zaid 

mengatakan ...’. Kemudian dia mengatakan:] 

4 Lihat bab 10 for the differences between reason- and tradition-based 

exegesis.

287

Sedangkan yang lain [mufassir] mengatakan sebaliknya 

bahwa makna pernyataan [ayat di atas] adalah bahwa Ahli Kitab 

adalah mereka yang menyembah berhala, dan mereka tidak akan 

abai terhadap berita mengenai Muhammad yang ada dalam buku 

mereka hingga Muhammad benar-benar dikirim kepada mereka. 

Namun setelah datang, mereka justru terbagi menjadi kelompok-

kelompok. 

Dan akhirnya, Tabari menunjukkan interpretasi ayat di atas yang 

dianggapnya terbaik: 

Penafsiran pertama tentang ayat di atas yang dianggap 

paling reliable adalah salah satu penafsiran yang meng