Relasi alkitab

Relasi alkitab


 


Beberapa bulan yang lalu, di Jakarta 

diadakan konferensi Tingkat Tinggi para 

anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) 

2016. Pokokyang dibahas dalam konferensi 

itu adalah soal kemerdekaan Palestina dan 

konflik Timur Tengah. Bagi orang Indo­

nesia, konflik Timur Tengah ini tampaknya 

mempunyai gaung khusus.

Begitu mendengar istilah konflik Timur 

Tengah, secara spontan orang akan berpikir 

tentang perang yang melibatkan Israel 

dengan Palestina. Selanjutnya, dengan mu- 

dah orang akan mengidentifikasi Palestina 

dengan Islam, sehingga peijuangan Pales­

tina seringkali juga dipandang sebagai per- 

juangan dunia Islam melawan Israel. Bagi 

sementara orang Kristen di Indonesia,

situasi seperti ini menimbulkan kerepotan 

tertentu. Di satu pihak, mereka hidup di 

tengah-tengah mayoritas masyarakat yang 

anti-Israel. namun  di lain pihak, bagi 

kekristenan, Israel mempunyai tempat yang 

amat istimewa dan tak tergantikan. Kekris­

tenan sendiri sebenarnya berasal dan 

berakar dari agama Yahudi yang kemudian 

dikenal dengan sebutan Yudaisme. Karena 

negara Israel sekarang ini secara simplistis 

seringkali dipandang sebagai kelanjutan dari 

bangsa Israel yang dikisahkan dalam Alkitab, 

maka salah satu pertanyaan pokok yang 

muncul adalah: bagaimana relasi antara 

orang Kristen dengan negara Israel modern 

(The State of Israel) harus dipahami?

Pertanyaan seperti ini rasanya boleh 

diambil sebagai titik berangkat pembahasan 

kita. Melalui pembahasan ini, kita berharap

113

Relasi Antara Israel Alkitabiah dan Negara Israel Modern -  Perspektif Gereja Katolik (Indra Tanureja)

mendapatkan pemahaman yang sehat dan 

seimbang tentang konflik Timur Tengah, 

khususnya berkaitan antara Israel Alkitabiah 

dengan (Negara) Israel modern dan dalam 

relasinya dengan orang Kristen, khususnya 

dalam konteks Indonesia ini. Pemahaman 

seperti ini akan membantu kita agar tidak 

terombang-ambing di lautan informasi yang 

tanpa kendali ini, namun  mampu mengambil 

posisi yang juga tepat dan seimbang.

PENJERNIHAN MASALAH

Relasi antara orang Kristen dengan 

Negara Israel modern yang kita jadikan titik 

awal pembahasan kita, sebenarnya juga 

merupakan satu hal yang membutuhkan 

klarifikasi lebih lanjut. Sekurang-kurangnya 

ada dua catatan yang perlu disampaikan 

untuk membatasi tema pembahasan ini. 

Yang pertama: relasi orang Kristen1 dengan 

Negara Israel modern sebenarnya mengan- 

daikan adanya sebuah kesinambungan 

antara Israel Alkitabiah dengan Negara 

Israel modern ini. Dalam hal ini, kita perlu 

menyadari bahwa persoalan ini bukan per- 

soalan yang [dan tidak boleh dipahami 

secara] sederhana. Ini adalah persoalan yang 

amat kompleks dan melibatkan banyak segi. 

Memahami relasi antara Israel Alkitab 

dengan Israel Modern sebenarnya sama 

dengan mencoba menelusuri sejarah peija- 

lanan bangsa Israel mengarungi zaman, dari 

periode para Bapa Bangsa sampai dengan 

tanggal 14 Mei 1948 ketika David Ben 

Gurion memproklamasikan berdirinya The 

State of Israel. Pembicaraan tentang Israel 

Alkitab berada dalam ranah alkitabiah atau 

teologi. Sementara itu, pembicaraan me- 

ngenai Israel Modern atau The State of Israel 

mau tidak mau membawa kita pada ranah 

sosial-politik. Dengan demikian, kita ber- 

hadapan dengan dua ranah yang sama sekali 

berbeda. Persis inilah yang termuat dalam 

pembicaraan kita kali ini: yang satu bersifat 

teologis-alldtabiah dan yang lain bersifat 

sosial-politik. Sesuai dengan namanya, 

Israel Alkitab adalah sebuah kategori 

religius-teologis karena informasi yang ada 

didasarkan pertama-tama pada Alkitab. 

Sementara The State of Israel adalah sebuah 

kategori yang pertama-tama adalah politis- 

yuridis. Bagaimana relasi antara dua entitas 

ini mesti dipahami?

Yang kedua adalah segi perspektif. 

Sebagaimana terungkap dalam sub-judul di 

atas, perspektif yang diambil oleh penulis 

adalah perspektif tradisi Gereja Katolik 

Roma; paling tidak sejauh penulis menang- 

kap dan menafsirkan dokumen-dokumen 

Gereja yang tersedia. Yang dimaksud dengan 

ajaran Gereja Katolik adalah ajaran yang 

secara resmi disampaikan oleh Gereja, yang 

dalam hal ini adalah paus dengan semua 

pembantunya. Selain ajaran resmi Gereja 

Katolik, tentu saja masih ada tidak sedikit 

orang-orang Katolik yang sungguh-sungguh 

ahli dalam bidangnya yang menyampaikan 

pendapat mereka tentang salah satu pokok 

krusial tertentu. namun  bagaimana pun juga, 

ajaran atau pendapat pribadi mereka tidak 

pernah bisa dipandang sebagai ajaran resmi 

Gereja Katolik. Dalam hal ini satu hal tidak 

pernah boleh dilupakan yaitu bahwa dalam 

kaitannya dengan dunia, posisi Gereja 

Katolik sangat khas dan unik.

Gereja Katolik bukan sekedar sebuah 

denominasi dari kekristenan, namun  juga 

sebuah negara berdaulat. Oleh karena itu 

relasi Gereja Katolik dengan Yudaisme 

praktis mempunyai baik dimensi religius- 

teologis maupun politis-yuridis. Relasi 

Gereja Katolik dengan Yudaisme praktis 

tidak bisa dilepaskan dari relasi antara Tahta 

Suci Vatikan dengan the State of Israel. 

Demikian juga sebaliknya. Tentu saja harus 

tetap diingat bahwa relasi antara Gereja 

Katolik dengan Yudaisme atau dengan orang 

Yahudi -baik positif maupun negatif- sudah 

terjalin jauh lebih lama dibandingkan 

dengan relasi antara Tahta Suci dengan 

Negara Israel yang secara resmi baru terjadi 

pada tahun 1993 dengan ditandai oleh 

pertukaran duta besar dari kedua negara.2

Justru karena gagasan yang tersaji di sini 

berasal dari perspektif Gereja Katolik, maka 

gagasan ini tidak bisa dikatakan sebagai 

mewakili kekristenan pada umumnya. 

Tentu saja Gereja Katolik termasuk dalam 

kekristenan dalam hal-hal mendasar, 

terutama dalam iman akan Yesus Kristus 

Sang Juruselamat dunia. namun  dalam 

banyak detil-detil lain, ada banyak per- 

bedaan sehingga pandangan Gereja Katolik 

tidak harus dianggap menjadi pandangan 

satu-satunya yang mewakili kekristenan. 

Dari denominasi Kristen lainnya, mungkin


juga pernah ada pernyataan-pernyataan 

resmi tertentu tentang topik ini. Untuk 

kepentingan tulisan ini, kita tidak 

mempelajari dan mengikutsertakan pernya­

taan-pernyataan dari kelompok lain itu.

Dengan dua catatan seperti ini, lata bisa 

maju selangkah dalam membedah tema kita. 

Berturut-turut kita akan meninjau gam- 

baran umum tentang Israel sejak zaman 

Alkitab sampai dengan zaman modern, dan 

kemudian kita akan melihat bagaimana 

Gereja Katolik mengambil sikap terhadap 

orang-orang Yahudi secara umum dan 

Negara Israel (The State of Israel, Medinat 

Yisrael) secara khusus.

D ATA-D ATA ALKITABIAH

Sejarah tentang orang Yahudi sesudah 

zaman Alkitab bisa diketahui dari berbagai 

sumber yang tersedia. Sementara itu 

sumber informasi bagi sejarah orang Yahudi 

sebelum zaman Alkitab, praktis hanyalah 

Alkitab itu sendiri. Sumber informasi di luar 

Alkitab sangat sedikit kalau pun ada. Oleh 

karena itu, tidak mengherankan kalau pe- 

mahaman orang kebanyakan (terutama 

orang Kristen) tentang sejarah bangsa Israel 

sebenarnya adalah gambaran yang terdapat 

dalam Alkitab.

Secara garis besar, sejarah Israel pada 

zaman Alkitabiah seperti yang dipahami oleh 

banyak orang adalah sebagaimana tercan- 

tum dalam beberapa literatur tentang 

Perjanjian Lama.

Menurut tradisi alkitabiah, sejarah 

bangsa Israel berasal-usul pada Abraham 

yang dipanggil Allah untuk menjadi nenek 

moyangbangsa terpilih (Kej 12.1-3). Periode 

Bapa Bangsa ini ditampilkan sebagai sebuah 

kisah keluarga yang berpusat pada tiga Bapa 

Bangsa, yaitu Abraham, Ishak, dan Yakub 

beserta dua belas anaknya. Periode ini 

berakhir ketika Yakub/Israel dan keluarga- 

nya berpindah ke Mesir dan tinggal di sana 

selama kurang lebih 400 tahun (bdk. Kej 

15.13; juga Kel 12.40-41).

Periode ketika bangsa Israel berada di 

Mesir ternyata mengubah satu keluarga, 

yang terdiri dari tujuh puluh jiwa (bdk. Kej 

46.27; Kel 1.5) menjadi suatu bangsa 

dengan dua belas suku dengan jumlah

ratusan ribu orang. Setelah periode empat 

ratus tahun berlalu, Israel meninggalkan 

Mesir. Mereka dikejar oleh tentara Mesir; 

namun  pasukan Mesir ditenggelamkan di 

Laut Teberau (Kel 14), sementara bangsa 

Israel terus berjalan melintasi laut itu 

menuju ke Sinai. Setelah mengembara 

selama empat puluh tahun di Sinai, Israel 

bersiap-siap untuk menyeberang memasuld 

ke tanah Kanaan dari sisi Timur Sungai 

Yordan.

Tahap berikutnya adalah tahap 

pendudukan Tanah Kanaan, yaitu ketika 

suku-suku Israel menyerbu tanah Kanaan 

atau Palestina, menghabisi penduduk yang 

tinggal di sana lalu (Yos 1-11) membagikan 

negeri itu di antara dua belas suku Israel 

(Yos 11-18). Setelah Yosua pemimpin 

bangsa Israel wafat, tampillah para hakim 

yang memerintah Israel sampai akhimya 

disadari bahwa tanpa adanya organisasi 

politik yang memadai bangsa Israel tidak 

mampu mempertahankan diri dari kete- 

gangan internal serta ancaman dari luar. 

Maka dari itu, didesak oleh keadaan seperti 

itu, bangsa Israel lalu mengusahakan sebuah 

tata pemerintahan dan kepemimpinan yang 

baru yang lebih menjanjikan, yaitu bentuk 

kerajaan (bdk. ISam 8). Kerajaan Israel 

mencapai kebesarannya di bawah Raja 

Daud. Akan namun , kebesaran Israel kuno ini 

ternyata tidak berlangsung lama. Sepe- 

ninggal Salomo, anak Daud yang menggan- 

tikannya menjadi raja, kerajaan Israel pecah 

menjadi dua: kerajaan Israel (kerajaan 

Utara) dan kerajaan Yehuda (kerajaan 

Selatan) (IRaj 12). Dua kerajaan ini pun 

ternyata tidak bisa beijaya terus. Pada tahun 

722 Kerajaan Utara hancur dibinasakan oleh 

Asyur (2Raj 17). Kerajaan Yehuda yang lebih 

kecil masih bisa bertahan selama kurang 

lebih 140 tahun. namun  akhirnya pada tahun 

587, kerajaan Selatan ini juga musnah di 

tangan Nebukadnezar dari kerajaan 

Babilonia (2Raj 24.18-20).

Penduduk Yehuda dibawa ke pembuang- 

an Babilonia yang akan berlangsung selama 

kurang lebih 40 tahun. Ini adalah pem- 

buangan Babilonia yang terkenal itu. Koresy 

raja Persia yang naik menjadi penguasa di 

seantero Mesopotamia, sesuai dengan 

kebijakan politisnya, mengizinkan para 

buangan untuk pulang kembali dan

Relasl Antara Israel Alkitabiah dan Negara Israel Modern -  Perspektif Gereja Katollk (Indra Tanureja)

membangun Yerusalem pada tahun 538 sM. 

Mereka lalu membangun ulang Bait Suci 

Yerusalem yang ditahbiskan pada tahun 517 

sM. Sementara itu, kehidupan bangsa Israel 

terus beijalan dengan diatur oleh dua tokoh, 

Ezra dan Nehemia, yang merupakan tokoh 

politik dan agama. Meskipun demildan, 

Israel hanya secara terbatas mendapatkan 

kemerdekaannya. Ia tetap merupakan 

bagian dari kerajaan Persia.

Sampai di sini praktis berakhirlah kisah 

bangsa Israel menurut Alkitab Peijanjian 

Lama. Kita mungkin masih bisa menam- 

bahkan situasi sekitar dua abad terakhir 

menjelang periode Perjanjian Baru sebagai- 

mana diceritakan dalam 1-2 Makabe yang 

termasuk tulisan-tubsan Deuterokanonika. 

Inilah akhir dari Israel Alkitabiah! Alkitab 

Perjanjian Baru praktis hanya berbicara 

tentang kemunculan dan gerakan awal 

kekristenan. Bangsa Israel hanya berada di 

latar belakang saja.

Secara objektif sejarah bangsa Israel 

berakhir pada suatu periode tertentu seba- 

gaimana dikisahkan oleh Peijanjian Lama. 

Akan namun  kiranya perlu disadari satu hal 

penting: yaitu bahwa Peijanjian Lama 

ternyata tidak hanya mengisahkan sejarah 

bangsa Israel pada zamannya, namun  juga 

memuat banyak hal yang bisa ditafsirkan 

sebagai merujuk ke masa depan. Dengan 

kata lain, dalam tulisan-tubsan Peijanjian 

Lama terkandung banyak nubuat yang 

menggambarkan masa depan bangsa Israel. 

Dengan demikian, sejarah Israel setelah 

zaman Alkitabiah sebenarnya diwarnai oleh 

dua hal: yang pertama adalah situasi 

historis-objektif dalam relasinya dengan 

bangsa-bangsa sekitar dan yang kedua 

adalah pengharapan akan masa depan yang 

lebih baik sebagaimana ditiupkan oleh 

nubuat-nubuat para nabi. Justru karena 

merupakan nubuat kenabian yang terdapat 

dalam sebuah kitab suci, maka nubuat- 

nubuat tersebut mempunyai wibawa ter­

tentu dan tetap hidup mengiringi peijalanan 

bangsa Israel.

Secara histoiis, fakta yang tak terban- 

tahkan adalah bahwa Israel selalu berada di 

bawah kekuasaan para penguasa yang 

berganti-ganti, sejak zaman kuno sampai 

dengan zaman modern. Setelah Persia,

datanglah Aleksander Agung dari Makedo- 

nia, dan kemudian Roma menguasai Tanah 

Palestina3 yang menjadi panggung sejarah 

periode Kitab Suci Peijanjian Baru. Setelah 

itu, berturut-turut berkuasalah Bizantium 

(313-636), orang-orang Arab Islam (636- 

1099), para tentara Perang Sabb (1099- 

1291), kaum Mameluk (1291-1516), Turki 

Ottoman (1517-1917), dan akhirnya Inggris 

(1917-1948)4

Seperti bisa dibhat, pada titik tertentu 

dalam sejarah, perspektif teologis-alkitabiah 

berhenti dan perspektif pobtik-yuridis mulai. 

Apakah peijalanan yang ditempuh oleh 

sejarah Israel ini memang merupakan suatu 

keberlanjutan yang tak terputus? Apakah 

kisah Abraham yang dipanggil Allah mem- 

bentuk satu alur yang benar-benar tak 

terputuskan sampai dengan pendirian The 

State of Israel di tahun 1948? Sebelum kita 

mencoba menjawab pertanyaan ini, yang 

menjadi salah satu pokok dalam diskusi kita, 

perlulah lata mengevaluasi Alkitab kita -atau 

cara kita membaca Alkitab- dalam terang 

ilmu tafsir mutakhir.

CATATAN KRITIS

Menurut saya, ada dua hal yang perlu 

dipertimbangkan dalam mengevaluasi cara 

kita memanfaatkan data-data alkitabiah 

dalam terang perkembangan ilmu 

pengetahuan -termasuk juga ilmu-ilmu yang 

berkaitan dengan penafsiran Alkitab- 

sampai saat ini. Yang pertama berkaitan 

dengan vabditas data-data Alkitab itu 

sendiri, dan yang kedua lebih berkaitan 

dengan kandungan isinya. Tentu saja untuk 

kedua hal itu, kita tidak bisa membuat 

sebuah uraian lengkap mendetil. Oleh 

karena itu, hanya beberapa pokok saja yang 

bisa disampaikan.

Sejauh Mana Alkitab Bisa Memberi Data 

Historis?

Sebagaimana bisa kita bhat, uraian 

tentang sejarah Israel kuno yang tersaji di 

atas praktis didasarkan pada informasi yang 

terdapat dalam Alkitab. Atau seperti dikata- 

kan Mario Liverani, seorang ahli Timur 

Tengah Kuno dari Roma, yang mengatakan 

bahwa “Sejarah Israel kuno praktis ditampil- 

kan sebagai semacam parafrase dari teks-


teks Alkitabiah.”5 Gambaran sejarah seperti 

itu pada umumnya merupakan gambaran 

yang sudah sejak lama dikenal secara 

meluas. namun  perlu disadari bahwa 

gambaran seperti itu bisa disusun dengan 

sebuah pengandaian bahwa narasi Alkitab 

memang menyediakan data-data sejarah 

yang akurat. Sampai dengan akhir abad 18, 

kebanyakan orang Kristen di negara-negara 

berbahasa Inggris menerima dan mengakui 

bahwa Alkitab merupakan Firman Allah 

yang otentik dan dengan demikian akurasi- 

nya bisa dipertanggungjawabkan.

Akan namun , semuanya itu berubah pada 

abad 19. Berkembangnya studi-studi alkitab­

iah yang dikombinasi dengan berbagai 

disiplin ilmu yang lain, seperti misalnya 

studi tentang kebudayaan, arkeologi, bahasa, 

sejarah, geografi, dsb. memunculkan meto- 

de historis kritis atau juga disebut higher 

criticism yang kemudian digunakan untuk 

membaca Alkitab. Dengan pendekatan baru 

ini, pemahaman dan penafsiran kita akan 

teks Alkitab di zaman sekarang ini menjadi 

lebih lengkap dan komprehensif dibanding- 

kan sebelumnya. Teks-teks alkitab memang 

bisa dipahami dengan lebih baik. namun  

studi kritis ini menghasilkan pula sebuah 

sikap kritis terhadap informasi yang terdapat 

dalam narasi Alkitab yang selama ini 

diterima sebagai suatu kebenaran tak ter- 

bantahkan. Perkembangan ini memuncul­

kan keraguan akan ketepatan historis dari 

kisah-lasah alkitabiah -  mulai dari Nuh dan 

kisah banjir bandhang, sampai pada kisah 

trompet Yosua yang meruntuhkan tembok- 

tembok Yeriko, dan episode bangsa Israel di 

tanah Mesir.6 Harus diakui bahwa kenya- 

taan ini- bahkan sampai sekarang masih- 

amat mengguncangkan banyak orang ber- 

iman.7

Sebagai contoh kita bisa ambil kasus 

pendudukan tanah Kanaan. Jika orang 

berbicara tentang topik ini, biasanya orang 

merujuk pada kisah yang terdapat dalam 

kitab Yosua. Yos 6, misalnya, berbicara 

tentang bagaimana bangsa Israel di bawah 

pimpinan Yosua menyerbu dan menakluk- 

kan kota Yerikho. Gambaran ini menjadi 

populer. Akan namun  dalam perkembangan 

berikutnya, muncul teori-teori yangberbeda. 

Bukti-bukti arkeologis tampaknya tidak

mendukung kisah pendudukan Yeriko oleh 

Yosua sebagaimana dikisahkan dalam Yos 6. 

Penelitian arkeologis menunjukkan bahwa 

Yeriko sudah berulangkali dihancurkan, 

namun  persis pada saat yang diperlarakan 

Yosua menyerbu kota tersebut yaitu tahun 

1250-1225 sM, Yeriko tampaknya sudah 

menjadi reruntuhan.8

Berkaitan dengan modus masuknya 

bangsa Israel ke tanah Kanaan, paling tidak 

ada tiga teori yang bisa diajukan tentang 

kisah ini.9 Pendapat pertama mengatakan 

bahwa tidak ada penyerbuan besar-besaran 

yang dilakukan oleh bangsa Israel. Yang 

teijadi adalah mereka masuk dalam damai 

secara bertahap ke daerah pegunungan di 

Palestina tengah yang memang tidak padat 

penghuninya. Kita sebut saja pandangan 

Immigration Model. Baru kemudian secara 

perlahan-lahan mereka berkembang sehing- 

ga mampu memperluas daerah yang mereka 

kuasai. Gambaran seperti ini didukung oleh 

kisah yang terdapat dalam Hak 1. Pendapat 

kedua menyatakan bahwa masuknya bangsa 

Israel ke tanah Kanaan teijadi sebagaimana 

digambarkan oleh Alkitab, khususnya kitab 

Yosua (Conquest Model). Menurut pendu- 

kung aliran ini, yang terkenal adalah arkeo- 

log dan ahli alkitab Amerika William F. 

Albright, penemuan arkeologis mendukung 

pendapat ini. Pendapat yang terakhir mun­

cul ke permukaan lebih dipengaruhi oleh 

sosiologi. Menurut pendapat ini, yang 

disampaikan oleh G.E. Mendenhall dan N.K. 

Gottwald, pendudukan tanah Kanaan mesti 

dilihat sebagai sebuah gejala yang teijadi di 

internal Kanaan sendiri, tanpa adanya 

campur tangan dari pihak luar.10 Penduduk­

an Kanaan merupakan hasil dari sebuah 

revolusi melawan kelas atas yang menindas 

(.Peasant Revolt). Dengan demikian, pan­

dangan tradisional tentang pendudukan 

tanah Kanaan yang seringkali kita terima 

dan kita yakini ternyata bukan satu-satunya 

pendapat yang berlaku. Masih ada pendapat 

lain yang mempunyai bobot yang hampir 

sama, dan oleh karena itu perlu juga diper- 

hatikan dan dipertimbangkan.

Perkembangan ilmu tafsir dan ilmu 

bantu lainnya, akhirnya memunculkan dua 

aliran yang berseberangan khususnya ber-

117

Relasi Antara Israel Alkitabiah dan Negara Israel Modern -  Perspektif Gereja Katolik (Indra Tanureja)

kaitan dengan kesejarahan teks-teks alkita­

biah. Dua aliran ini biasa disebut: aliran 

maksimalis dan aliran minimalis.11 Aliran 

maksimalis berpendapat bahwa data-data 

alkitabiah tentang sejarah Israel perlu 

dipandang sebagai sesuatu yang historis. 

Sementara aliran minimalis berpendapat 

bahwa data-data tersebut, khususnya yang 

menyangkut periode sebelum Pembuangan 

Babilonia, lebih bersifat teologis dan 

apologetis sehingga tidak bisa diandalkan 

sebagai sumber informasi historis. Di tangan 

aliran minimalis ini, hampir semua yang 

dikatakan Alkitab tidak bisa dipertanggung- 

jawabkan secara ilmiah. Keberadaan para 

Bapa Bangsa diragukan, kerajaan Israel 

bersatu juga diragukan, apakah para tokoh 

besar seperti Daud dan Salomo memang 

pernah ada juga merupakan hal yang selalu 

dipertanyakan.

Tanpa harus mengambil posisi ekstrim 

kiri atau kanan, yang perlu diperhatikan dari 

fakta ini adalah bahwa anggapan bahwa 

segala informasi dari Alkitab mempunyai 

validitas historis adalah sebuah pandangan 

yang tidak lagi bisa dipertahankan. Hal ini 

membawa konsekwensi bahwa mendasar- 

kan sesuatu realitas sekarang ini pada teks- 

teks alkitabiah harus dilakukan dengan 

sangat hati-hati. Dengan demikian, menem- 

patkan Israel Alkitab dan negara Israel 

Modern dalam satu rangkaian tak terputus- 

kan sebenarnya merupakan sebuah kesim- 

pulan yang rentan dan terlalu menyeder- 

hanakan persoalan karena mengabaikan 

jarak antara periode alkitab dengan periode 

sekarang.12 Atau menurut kata-kata Irvine 

Anderson, pemahaman dan penafsiran 

harafiah seperti itu merupakan warisan dari 

pelajaran yang didapat di sekolah minggu 

dan khotbah para pendeta pada abad 19 dan 

awal abad 20 di Inggris dan Amerika 

Serikat.13 Pergeseran dari dunia Alkitab ke 

dunia nyata tentu bukan merupakan sesuatu 

yang linier belaka!

Alkitab: Satu Kitab Banyak Suara

Pertama-tama mesti kita akui bahwa 

Alkitab kita sebenarnya dicirikan oleh 

pluralitas. Alkitab sendiri terdiri dari banyak 

tulisan. Beberapa tulisan juga ditulis oleh 

banyak pengarang dari banyak generasi yang 

mungkin mengedit tradisi yang sebelumnya.

Akibatnya, kita mesti mengatakan bahwa 

Alkitab itu menyajikan banyak suara, yang 

kadang kala bertentangan. namun  kendati 

bertentangan dan merepotkan, kita mesti 

menerimanya sebagai Firman Tuhan sen­

diri. Dengan demikian, “suara yang lain” ini 

mesti selalu diperhatikan dan dipertim- 

bangkan keberadaannya pada saat kita 

membaca Alkitab.

Sebagai contoh sederhana, kita mem­

punyai dua kisah penciptaan dalam Alkitab 

yang berbeda satu sama lain. Karena 

keduanya tercantum dalam Alkitab, kita 

tidak bisa menyingldrkan yang satu dan 

mengutamakan yang lain. Bagaimana pun 

juga, keduanya adalah Firman Tuhan yang 

layak mendapat perhatian yang sama.

Dalam kisah pendudukan tanah Kanaan, 

sebenarnya kita juga mempunyai dua kisah 

yang berbeda. Yang satu adalah gambaran 

yang diceritakan dalam Kitab Yosua: bangsa 

Israel masuk sebagai kesatuan bangsa dan 

merebut Yerikho dan kota-kota lainnya 

dengan kekuatan militer. Dikatakan bahwa 

orang Israel “menumpas dengan mata 

pedang segala sesuatu yang di dalam kota 

itu, baik laki-laki maupun perempuan, baik 

tua maupun muda, sampai kepada lembu, 

domba dan keledai” (Yos 6.21). namun  kita 

juga mempunyai gambaran kedua yang 

disajikan oleh Hak 1. Di sini dikisahkan 

bahwa suku bangsa Israel masuk secara 

individual, di tempat yang berbeda-beda. 

Sementara itu, menurut Hak, tidak ada 

pembantaian orang Kanaan. Bahkan 

beberapa kali dikatakan bahwa suku-suku 

Israel “tidak menghalau suku X” pergi dari 

tempat mereka duduki (bdk. Hak 

1.19.27.29.30.31.33). Hidup bersama 

dengan orang lain kiranya juga menjadi 

salah satu kemungkinan yang memang 

dikehendaki Allah sendiri.

Janji akan tanah bisa menjadi contoh 

yang lain. Menurut Kej 12, Allah menjan- 

jikan tanah Kanaan kepada Abraham dan 

keturunannya (bdk. Kej 12.1.7; 15.18-21). 

Janji tanpa syarat ini boleh dikatakan 

menjadi tema utama dari kisah para Bapa 

Bangsa. Pada titik tertentu dalam sejarah 

para Bapa Bangsa, janji ini beberapa kali 

diulang: kepada Ishak (Kej 26.3-4), kepada 

Yakub (Kej 28.13), bahkan juga kepada


Musa (bdk. Kel 3.8). Akan namun , sejalan 

dengan ini, kita juga menemukan teks-teks 

yang menunjukkan bahwa janji akan tanah 

ini bukanlah sebuah janji tanpa syarat, namun  

bergantung pada syarat tertentu. “Haruslah 

engkau melakukan apa yang benar dan baik 

di mata TUHAN, supaya baik keadaanmu 

dan engkau memasuki dan menduduki 

negeri yang baik, yang dijanjikan TUHAN 

dengan sumpah kepada nenek moyangmu” 

(U1 6.18 bdk. juga U1 8.17-19; 11.22-25). 

Dengan demikian kita mesti menyimpulkan 

bahwa dengan tak bersyarat tanah (Kanaan) 

dijanjikan kepada Israel, namun  Israel hanya 

bisa menguasainya jika mereka memenuhi 

syarat tertentu. Rumusan yang dipakai oleh 

Brueggemann, “the land is given to Israel 

unconditionally, but it is held by Israel 

conditionally.”14

Tentu saja lata tidak bisa memaparkan 

semuanya pada kesempatan ini. Cukuplah 

kita menyadari bahwa mengaitkan Israel 

sekarang ini dengan Israel Alkitabiah adalah 

usaha yang tidak mudah. Mungkin Israel 

modern bisa mengklim diri sebagai penerus 

pemilik tanah yang pernah dijanjikan Allah, 

namun  apakah Israel juga bisa memenuhi 

syarat-syarat peijanjian sebagaimana juga 

dituntut dalam Alkitab? Israel Alkitabiah 

mempunyai tanggungjawab sosial kemasya- 

rakatan dalam wujud memelihara tiga 

golongan orang yang tersebut orang-orang 

malang (personae miserabiles), yaitu para 

janda, anak yatim, dan orang asing (hhat 

misalnya Kel 22.21-22). Golongan yang 

disebut “orang asing” menjadi relevan bagi 

pembicaraan kita ini. “Orang asing” atau ger 

di sini dipahami sebagai orang-orang non- 

Israel yang tinggal di Israel secara 

permanen. Lalu apakah kewajiban ini 

dipenuhi oleh Israel modern?15 Selain itu, 

Israel modern tampaknya juga tidak lagi 

mengandalkan Allah dalam iman, namun  

lebih mengandalkan kekuatan militer dan 

sekutu-sekutunya.

Persoalan yang berkaitan dengan Negara 

Israel modern sungguh merupakan persoal­

an yang kompleks dan menyangkut banyak 

hal dan banyak perspektif. Yang penulis 

sampaikan sampai saat ini hanyalah 

beberapa point kecil, khususnya yang 

berkaitan dengan Alkitab yang seringkali

digunakan sebagai justifikasi dari segala yang 

sekarang ini ada, termasuk eksistensi 

Negara Israel. Dan di sini kita perlu sadar 

bahwa menggunakan teks Alkitab untuk 

mengidentifikasi Israel Alkitab dengan Israel 

modern atau sebagai justifikasi atas 

eksistensi Negara Israel modern merupakan 

suatu usaha yang terlalu menyederhanakan 

persoalan dan sekaligus mengandung 

persoalan yang rumit.

SOAL PENAFSIRAN

Kalau diperhatikan, persoalan ini 

sebenarnya berkaitan erat dengan masalah 

penafsiran Alkitab. Alkitab tidak pernah bisa 

berbicara sendiri, ia selalu butuh orang lain 

untuk menyuarakan kisahnya. Oleh karena 

itu, tidak mengherankan kalau sebuah teks 

yang sama bisa ditafsirkan secara berbeda, 

dan bahkan bertentangan. Kita bisa meng- 

ambil sebagai contoh soal tanggungjawab 

bangsa Israel untuk memperhatikan dan 

mengurusi “orang asing” sebagaimana 

terdapat dalam banyak teks Alkitab (bdk. Kel 

22.21-22 passim). namun  identifikasi dari 

“orang asing” atau ger ini ternyata juga 

problematik. Sebagaimana dicatat dalam 

catatan kaki sebelum ini16, bagi Mitri Raheb 

seorang teolog Lutheran Palestina, bangsa 

Palestina bukanlah orang asing di tanah 

Palestina yang harus menjadi tanggungjawab 

sosial Negara Israel. Mereka sudah berada di 

tanah itu sejak lama, dan sekarang, mereka 

telah dengan sengaja dibuat menjadi orang 

asing! namun  dari perspektif lain, “orang 

asing” ini dipahami sebagai terdiri dari dua 

kelompok: yakni orang Palestina yang mau 

menerima Negara Israel modern dan 

mereka yang menolak serta memberontak. 

Kepada yang menerima diberikan segala 

privilese termasuk menjadi warganegara 

Israel; bagi yang menolak dan memberontak 

kepada Negera Israel modern, lalu dianggap 

sebagai musuh.17

Fakta ini menunjukkan bahwa dari 

sudut pandang alkitabiah, persoalan yang 

mendasar sebenarnya berkaitan dengan 

penafsiran teks-teks Alkitabiah. Demikian 

juga dengan persoalan mendasar tentang 

status Negara Israel modern. Apakah Negara 

Israel modern merupakan pemenuhan dari 

nubuat para nabi Peijanjian Lama? Sudah 

bisa diduga, jawaban seperti ini tidak

119

Relasi Antara Israel Alkitabiah dan Negara Israel Modern -  Perspektif Gereja Katolik (Indra Tanureja)

mungkin satu suara. Mengapa demikian? 

Karena paham dan model penafsiran Fir­

man Tuhan yang terbekukan dalam Alkitab 

tidak pernah bisa seragam. Masing-masing 

mempunyai penafsirannya sendiri, meski- 

pun harus bertentangan dengan penafsiran 

orang lain. Apalagi kalau ke dalam proses 

penafsiran ini dimasukkan juga unsur-unsur 

kepentingan yang lain. Bisa teijadi bahwa 

suatu kelompok menyatakan bahwa mereka 

mendasarkan keyakinan mereka pada 

keseluruhan Alkitab sebagai Firman Allah. 

namun  pada kenyataannya, mereka hanya 

mengikuti teks-teks tertentu saja yang tentu 

saja relevan dengan kepentingan mereka. 

Kepentingan inilah yang sebenarnya menga- 

rahkan penafsiran mereka.18 Steven Fried­

man mengatakan bahwa merupakan suatu 

hal yang sungguh ironis bahwa Zionisme, 

sebuah gerakan politik yang didirikan oleh 

sekelompok orang Yahudi yang mengaku diri 

sekular dan bahkan dalam beberapa hal 

menolak agama Yahudi, ternyata menggan- 

tungkan diri pada Alkitab Ibrani.19

Perbedaan penafsiran ini rasanya tidak 

akan menemukan titik temu yang memuas- 

kan semua pihak. Di mana ada tesis, selalu 

saja ada anti-tesis yang bertentangan. Tidak 

ada keputusan yang definitif sehubungan 

dengan hal-hal tertentu. Posisi teologis 

tertentu bisa membawa konsekwensi pada 

posisi politis tertentu. Oleh karena itu, 

dalam situasi seperti ini, rasanya akan lebih 

baik jika kita mengikuti saja apa yang secara 

resmi diajarkan oleh Gereja sebagaimana 

terungkap dalam dokumen-dokumen yang 

ada. Dengan demikian, sekarang kita bisa 

menyempitkan perspektif dengan melihat 

apa yang disampaikan oleh Gereja Katolik.

TIGA SIKAP KEKRIS TEN AN  

TERHADAP NEGARA ISRAEL 

MODERN

Sebelum ini sudah dijernihkan bahwa 

perspektif yang penulis tawarkan adalah 

perspektif Gereja Katolik Roma. Perspektif 

ini mungkin akan berbeda atau bahkan 

bertentangan dengan denominasi kristen 

yang lain. namun  hal ini memang tidak bisa 

dihindari. Meskipun kita hanya akan 

memperhatikan satu perspektif saja, mung­

kin juga baik kalau disajikan juga paling tidak

secara garis besar sikap kekristenan secara

umum terhadap Negara Israel Modem.

Pada dasarnya relasi orang-orang Kristen 

terhadap Negara Israel modern bisa 

digolongkan menjadi tiga golongan:20

Tidak Ada Urusan dengan Negara Israel

Beberapa gereja kuno yang mulai 

muncul pada abad 3-5 Masehi menganggap 

diri sebagai bagian tak terpisahkan dari 

Tanah Israel. Bagi gereja-geraja “asli” itu21, 

hidup ini dibaktikan pada kesucian, devosi 

dan ketenangan. Mereka menarik diri dari 

peijuangan di dunia ini. Oleh karena itu, 

bagi mereka, Negara Israel modem tidak ada 

bedanya dengan para penguasa yang 

terdahulu, yang pergi dan datangbegitu saja. 

Dengan kata lain, mereka tidak terlalu 

peduli dengan Negara Israel; mereka tidak 

punya urusan dengan Negara Israel.

Negara Israel Sangat Penting

Sikap yang kedua persis bertolak- 

belakang dengan yang pertama. Mereka yang 

termasuk golongan kedua ini memegang 

aliran dispensationalisme. Yang dimaksud 

adalah sebuah paham yang memandang 

sejarah dunia ini ter diri dari beberapa 

zaman. Di masing-masing zaman itu, Allah 

menggunakan cara yang berbeda-beda 

dalam berhubungan dengan umat manusia. 

Mereka meyakini bahwa kembalinya orang- 

orang Yahudi ke tanah Palestina dan 

pemulihan Zion di bawah kekuasaan Yahudi 

merupakan syarat yang mesti dipenuhi 

sebelum Kristus datang untuk kedua 

kalinya. Tidak mengherankan jika mereka 

memandang munculnya Negara Israel 

modern pada tahun 1948 sebagai perwu- 

judan awal dari nubuat-nubuat alkitabiah. 

Kemenangan-kemenangan militer Israel 

pada tahun 1967 dan 1973 dipandang 

sebagai sebuah peneguhan atas campur 

tangan Tuhan sendiri dalam membentuk 

masa depan Israel. Jika waktunya sudah tiba, 

maka tidak ada pilihan lagi bagi orang 

Kristen selain menggabungkan diri dengan 

apa yang sedang dikerjakan Allah. Pada 

dasarnya sikap seperti inilah yang diambil 

oleh gereja-gereja atau komunitas kristiani 

yang beraliran Zionisme Kristiani (Christian 

Zionism).

Zionisme Kristiani mempunyai akar 

yang sudah cukup lama, terutama di Inggris 

dan Amerika Serikat. Tentu saja mereka 

tidak begitu saja muncul, namun  memiliki 

dasar alkitabiah tertentu, mungkin lebih 

persis, teks-teks Alkitab yang ditafsirkan 

secara tertentu. Janji-janji yang pernah 

diberikan kepada bangsa Israel dalam 

Perjanjian Lama, begitu saja ditransfer dan 

dipenuhi dalam diri Negara Israel modern 

ini. Oleh karena itu, mereka mendorong 

munculnya negara Yahudi tersendiri. Se- 

orang bangsawan Inggris, Anthony Ashley- 

Cooper, earl ketujuh dari Saftesbury, 

misalnya, berpendapat bahwa pemulihan 

orang Yahudi ini akan teijadi melalui 

campur tangan Kerajaan Inggris.23 Doku- 

men yang biasa disebut Balfour Declara­

tion24 adalah perwujudan konkret dari 

dukungan tersebut. Hanya saja perlu dicatat 

di sini bahwa yang menjadi pusat perhatian 

utama dari Zionisme Kristiani sebenamya 

bukan Negara Israel Modern, namun  

kedatangan Yesus yang kedua kali.25

Posisi Antara

Posisi ini jelas ada di tengah-tengah 

dalam arti tidak termasuk dalam kelompok 1 

atau pun kelompok 2. Posisi ini tidak begitu 

saja mengambil sebuah posisi tertentu yang 

sudah ada. Posisi ini sebenarnya merupakan 

posisi yang berusaha untuk selalu mencari 

pemikiran teologis yang segar dan konteks- 

tual. Kelompok inilah yang selalu mengusa- 

hakan sebuah dialog teologis dengan 

kelompok Yahudi. Gereja Katolik bersama 

dengan beberapa Gereja Protestan lain 

berada di kelompok ini.

POSISI GEREJA KATOLIK

Sekedar mengingatkan saja bahwa relasi 

antara Gereja Katolik dengan bangsa Yahudi 

merupakan sebuah relasi yang unik, karena 

keduanya merupakan entitas yang sekaligus 

mempunyai dimensi ganda. Di satu pihak, 

Gereja Katolik merujuk pada sebuah entitas 

religius, yaitu sebuah denominasi Kristen; 

namun  di lain pihak, Gereja Katolik adalah 

juga Negara Vatikan (Stato della Citta del 

Vaticano atau Tahta Suci) yang merupakan 

sebuah negara yang berdaulat. Dengan 

demikian, Gereja Katolik juga merupakan 

sebuah entitas politik. Sebagai sebuah

entitas religius, Gereja Katolik mempunyai 

padanannya dengan agama Yahudi atau 

Yudaisme; sementara sebagai sebuah entitas 

politik, Gereja Katolik atau Negara Vatikan 

berpadanan dengan The State of Israel. 

Tentu saja meski ada kesejajaran dan 

kesamaan, tetap ada perbedaan antara 

keduanya. Yang jelas, Tahta Suci sekaligus 

berperan sebagai pemimpin umat Katolik 

sedunia. Dalam hal ini, Tahta Suci menjadi 

juru bicara resmi agama Katolik. Peran ini 

tidak dimiliki oleh Negara Israel.

Sikap atau relasi Gereja (Katolik) dengan 

bangsa Yahudi bisa dibagi menjadi dua 

periode: dari zaman Alkitab sampai dengan 

konsili Vatikan II dan sejak Konsili Vatikan 

II. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa 

Konsili Vatikan II sungguh-sungguh menjadi 

titik tolak suatu perkembangan baru.

Sampai Konsili Vatikan II

Relasi antara orang Kristen dengan 

orang Yahudi sebenarnya sudah berasal 

sejak zaman Alkitab. Dan kita tahu bahwa 

relasi antara kedua pihak ini punya 

dinamika yang khas, kadang naik dan turun 

sesuai dengan situasi. Pada zaman Alkitab, 

sebagai sebuah gerakan baru, kekristenan 

dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya. 

Oleh karena itu tidak mengherankan jika 

orang-orang Kristen mulai disingkirkan. Apa 

yang terdapat dalam Yoh 9.22 mungkin bisa 

mencerminkan relasi antara orang Kristen 

dan orang Yahudi pada waktu itu. “Orang 

tuanya berkata demikian, karena mereka 

takut kepada orang-orang Yahudi, sebab 

para pemuka Yahudi itu telah sepakat bahwa 

setiap orang yang mengaku Dia sebagai 

Mesias, akan dikucilkan” (Yoh 9.22). Dalam 

zaman alkitabiah, para pengikut Kristus 

mendapatkan perlakuan keras dari orang- 

orang Yahudi.

Ketika Gereja akhirnya juga mendapat­

kan kekuasaan politik ganti orang Yahudi 

yang mendapatkan perlakuan keras. Ambil 

saja sebuah contoh ketika Paus Paulus IV 

mengeluarkan bulla Cum nimis absurdum 

tertanggal 14 Juli 1555 yang memerintahkan 

orang Yahudi yang tinggal di Roma pada 

waktu itu untuk tinggal di dalam ghetto dan 

harus mengikuti aturan-aturan tertentu. 

Mereka kehilangan hak untuk memiliki

121

Relasi Antara Israel Alkitabiah dan Negara Israel Modem -  Perspektif Gereja Katolik (Indra Tanureja)

sesuatu. Setiap hari sabtu, mereka dipaksa 

untuk mendengarkan khotbah (kristiani) di 

sebuah gereja yang terletak persis di luar 

ghetto tersebut. Ghetto di Roma ini berakhir 

pada tahun 1870 setelah berdiri selama 

kurang lebih 300 tahun.

Alasannya: orang Yahudi dianggap 

sebagai pembunuh Tuhan (deicide) (bdk. 

Kis 3.15). Mereka juga dianggap hidup di 

bawah kutuk. Dalam Mat 27.24-25 ketika 

Pilatus mencuci tangan sebagai tanda ia 

tidak bertanggungjawab pada kematian 

Yesus, orang-orang Yahudi berteriak 

“Biarlah darah-Nya ditanggungkan atas 

kami dan atas anak-anak kami!” Kata-kata 

ini dianggap sebagai nubuat yang dalam 

peijalanan sejarah akan terpenuhi. Sikap 

anti-Yahudi/Yudaisme (yang seringkali 

berkembang menjadi anti-Semit26) rasanya 

juga menjadi buah dari sikap keras terhadap 

orang Yahudi. Dan juga, holocaust yang 

dialami orang Yahudi di bawah Hitler juga 

perlu dipahami dalam kerangka ini. Tidak 

hanya itu, secara genetis, orang Yahudi 

dianggap mempunyai cacat yang tidak bisa 

dihapuskan oleh Sakramen Baptis. Cacat 

itulah yang membuat mereka membunuh 

Tuhan.27 Dari perspektif ini, kekerasan yang 

dialami oleh bangsa Yahudi merupakan 

hukuman karena kejahatan itu.

Pada periode kemudian, tampak bahwa 

relasi gerakan Zionisme yang mendukung 

suatu negara bagi bangsa Yahudi dengan 

Gereja Katolik ternyata tidak selalu mulus. 

Theodor Herzl, pemuka gerakan Zionisme 

ini, pernah bertemu dengan Paus Pius X 

pada tahun 1904 untuk menjajaki apakah ia 

akan bisa mendapatkan dukungan dari 

Gereja Katolik untuk gerakan yang pimpin 

itu. namun  tanggapan yang diterima Herzl 

adalah sebagai berikut “karena ‘the Jews 

have not recognized Our Lord, therefore we 

cannot recognize the Jewish people’ dan 

meskipun Gereja tidak dapat menghalangi 

kembalinya bangsa Yahudi ke Yerusalem... 

kita tidak akan pernah mendukungnya.” 

Surat kabar Vatikan, L’Osservatore Romano 

pada edisi tanggal 14 Mei 1948 -  tepat pada 

hari kemerdekaan Negara Israel - bahkan 

menulis bahwa “Modern Zionism is not the 

true heir of Biblical Israel, but a secular 

state...”28

Sejak Konsili Vatikan II

Sikap Gereja Katolik terhadap orang 

Yahudi dan agama Yahudi praktis menga- 

lami “suatu perubahan dramatik”29 dalam 

Konsili Vatikan II. Dalam salah satu 

dokumennya, yaitu deklarasi Nostra Aetate 

dengan jelas diungkapkan sikap dan 

penghargaan baru terhadap orang Yahudi 

dan agama Yahudi (lihat NA 4). Perubahan 

ini begitu dramatis sehingga ada keraguan 

apakah orang Katolik bisa secara tiba-tiba 

menerima gagasan yang bertentangan deng­

an ajaran-ajaran yang selama ini disampai- 

kan kepada mereka untuk dipercayai.30 

Tidak hanya itu saja, NA 4 yang berbicara 

tentang orang Yahudi masih harus dileng- 

kapi dengan beberapa dokumen lain. Tidak 

bisa tidak, hal ini menunjukkan bahwa 

rupanya masih dibutuhkan petunjuk lebih 

lanjut agar sikap Gereja terhadap orang 

Yahudi sebagaimana terdapat dalam NA 4 

ini bisa sungguh-sungguh operasional.

Untuk semakin mengembangkan relasi 

dengan orang Yahudi ini, pada tanggal 22 

Oktober 1974 Vatikan membentuk sebuah 

komisi khusus, Pontifical Commission for 

Religious Relations with the Jews. Komisi ini 

untuk selanjutnya mengeluarkan beberapa 

dokumen untuk mempererat hubungan 

antara Gereja dengan Yudaisme.31 Hal ini 

cukup menunjukkan bahwa relasi dengan 

Yudaisme dianggap penting dan istimewa 

oleh Gereja Katolik.

Akan namun  di sini perlu segera disadari 

bahwa relasi Gereja Katolik dengan orang 

Yahudi (dan Yudaisme) adalah satu hal; 

namun  relasi antara Tahta Suci dengan 

Negara Israel modern adalah hal yang lain 

lagi. Kalau Gereja Katolik selalu berusaha 

mengembangkan relasi dengan orang Yahu­

di dan Yudaisme dengan menerbitkan 

dokumen-dokumen resmi tertentu, relasi 

Gereja dalam ranah politik dengan Negara 

Israel modern rasanya tidak terlalu 

berkembang dengan mulus. Satu hal yang 

menarik untuk diperhatikan adalah fakta 

bahwa meskipun Negara Israel Modern 

menyatakan kemerdekaannya sudah sejak 

14 Mei 1948, hubungan diplomatik antara 

kedua negara baru terbentuk pada tanggal


30 Desember 1993, empat puluh lima tahun 

sejak Negara Israel merdeka. Kedutaan 

besar kedua negara baru dibentuk pada 

tanggal 19 Januari 1994.32 Setelah terbitnya 

NA, yang merupakan langkah maju dalam 

relasi antara Gereja Katolik dan orang 

Yahudi, banyak yang mengharapkan bahwa 

hal ini akan diikuti dengan pertukaran duta 

besar antara Tahta Suci dan Negara Israel. 

namun  ternyata hal ini baru teijadi sekitar 

tiga pulah tahun kemudian.33 Fakta ini bisa 

saja menimbulkan pertanyaan: mengapa 

begitu lama? Penundaan seperti ini tentu 

saja menimbulkan kekecewaan di kalangan 

banyak orang Yahudi. Bahkan beberapa 

mengartikannya sebagai ketidakseriusan 

Gereja Katolik untuk “beijabat tangan” 

dengan mereka.34

Persoalan Fundamental

Berdirinya Negara Israel tampaknya 

menyisakan dua persoalan yang sampai 

sekarang tampaknya belum terselesaikan. 

Pada tahun 1991, Tahta Suci menegaskan 

bahwa tertundanya pengakuan politik atas 

Negara Israel, bukan pertama-tama alasan 

teologis, namun  lebih pada alasan politik, 

yaitu yang pertama, konflik yang tak kunjung 

selesai berkaitan dengan daerah Tepi Barat 

serta penduduknya yang merupakan orang 

Palestina dan yang kedua, adalah masa 

depan dari status kota lama Yerusalem yang 

belum juga jelas.35 Penelitian yang dikeija- 

kan oleh Henry P. Bocala untuk disertasi 

doktoralnya juga menunjukkan hal yang 

sama: relasi diplomatik antara Tahta Suci 

dengan Negara Israel paling tidak pada 

periode 1948-1997, periode yang diteliti oleh 

Bocala, diwarnai kuat oleh dua masalah ini, 

yaitu masalah Palestina dan masalah 

Yerusalem. namun  jelaslah bahwa dalam 

kasus ini, masalah politik dan religius tidak 

bisa dipisahkan begitu saja. Di satu pihak, 

masalah Palestina adalah masalah politik 

dengan nuansa religius. Masalah utama 

adalah perdebatan masalah tanah yang juga 

menjadi hak bangsa Palestina (politik) namun  

di antara para pengungsi Palestina juga 

banyak terdapat orang Kristen yang 

tersingkir dari tempat ibadat mereka.

Sekedar untuk diketahui, Palestina 

adalah tanah tumpah darah kekristenan.

Sepanjang sejarah, orang-orang Kristen 

Palestina, yang kebanyakan adalah orang 

Arab, tetap menjadi bagian dari Palestina, 

meskipun jumlah mereka kian menurun 

karena berbagai alasan. Hidup mereka tentu 

saja tidak mudah. Mitri Raheb menyebut 

komunitas Kristen Palestina sebagai “a 

community sailing through troubled 

waters.”36 Mereka tidak hanya memper- 

tahankan keberadaan Kekristenan di 

Palestina, namun  juga aktif terlibat dalam 

kehidupan sosial-kemasyarakatan, terutama 

di bidang pendidikan (sekolah) dan politik.37

Di lain pihak, masalah Yerusalem adalah 

problem religius (misalnya perlindungan 

untuk tempat-tempat suci, jaminan atas 

hak-hak dari komunitas religius yang ada di 

sana) dengan muatan politik (status yuridis 

dari kota Yerusalem) 38 Dua persoalan 

fundamental ini secara konsisten mewamai 

masa pelayanan Paus Pius XI sampai dengan 

Yohanes Paulus II yang merentang dari 

tahun 1948-1997.

Pandangan Resmi Gereja Katolik

Dari antara dokumen-dokumen Gereja 

yang berkaitan dengan Negara Israel 

modern, praktis tidak ada satu pun yang 

berbicara tentang pengakuan atas Negara 

Israel sebagai negara berdaulat. Mungkin 

beberapa tokoh Gereja, bahkan Paus 

Yohanes Paulus II, pernah menyampaikan 

ungkapan yang bernuansa mendukung 

Negara Israel modern.39 Selain Paus, bebe­

rapa teolog juga berpendapat yang sama, 

termasuk Cardinal Christoph Schonborn 

dari Wina. namun  pernyataan seperti itu 

tidak mengikat bagi orang Katolik dan lebih 

merupakan pandangan pribadi dan bukan 

ajaran resmi Gereja. Pandangan resmi 

Gereja Katolik tentang hal ini tercantum 

secara tidak mencolok, misalnya, dalam 

sebuah dokumen yang dikeluarkan pada 

tahun 1985.

“The existence of the State of Israel and 

its political options should be envisaged 

not in a perspective which is in itself 

religious, but in their reference to the 

common principles of international 

law.”40

123

Relasi Antara Israel Alkitabiah dan Negara Israel Modem -  Perspektif Gereja Katolik (Indra Tanureja)

Pernyataan ini menjadi peringatan 

untuk tidak begitu saja mencampurkan 

sikap hormat terhadap agama Yahudi 

dengan persoalan yang berkaitan dengan ek- 

sistensi Negara Israel dengan segala kebi- 

jakan politiknya. Sebagai sebuah entitas 

politis, Negara Israel harus mendapat 

perlakuan yang didasarkan pada kriteda- 

kriteria yang berlaku dalam hubungan inter- 

nasional.41 Kebijakan politis yang diambil 

tidak bisa dibaca dalam kerangka religius. 

Dengan demikian, peperangan yang dijalani 

oleh Israel; perebutan tanah dan kota 

Yerusalem, atau yang lain lagi, tidak bisa dan 

tidak boleh dipahami dalam perspektif 

religius.

Dengan demikian, rasanya menjadi jelas 

bahwa Gereja Katolik tidak menganggap 

bahwa kelahiran Negara Israel modern ini 

sebagai sebuah pemenuhan dari nubuat 

kuno bahwa akhir zaman sudah dekat. 

Gagasan seperti ini sebenarnya dilatar- 

belakangi oleh sebuah pandangan milenia- 

lisme yaitu bahwa Yesus Kristus akan datang 

untuk kedua kalinya dan mendirikan 

kerajaan seribu tahun dengan Yerusalem 

sebagai ibukotanya. Untuk mempercepat 

kedatangan Kristus ini, orang Kristen mesti 

mendukung pulangnya bangsa Yahudi ke 

tanah Israel.42 namun  Gereja Katolik jelas 

menolak gagasan bahwa Yesus Kristus akan 

datang dan memerintah kerajaan selama 

seribu tahun.43

Harus diakui bahwa status khas Gereja 

Katolik Roma/Tahta Suci membuat relasi 

antara Yudaisme/Negara Israel juga sangat 

khas. Dimensi politik dan religius saling ter- 

jalin sedemikian rupa sehingga praktis 

antara keduanya tidak bisa dipisahkan. Da­

lam dokumen terakhir yang mengarah pada 

pembukaan kedutaan besar di kedua negara, 

Fundamental Agreement between The Holy 

See and the State of Israel (30 Desember 

1993), jelas kelihatan bahwa dimensi politik 

dan religius tercampur menjadi satu. Se­

bagai contoh, dalam pembukaan dokumen 

(kenegaraan) terse-but, tercantum ungka- 

pan sebagai berikut:

Aware of the unique nature of the 

relationship between the Catholic Church 

and the Jewish people, and of the historic 

process of reconciliation and growth in 

mutual understanding and friendship 

between Catholics and Jews... (italic 

ditambahkan)

Sementara di bagian isi, tercantum hak 

dan kewajiban masing-masing pihak, namun  

terutama dari sudut yuridis-politik, dan 

bukan pertama-tama sudut religius.


Demikianlah, melalui tulisan ini penulis 

mencoba menjawab pertanyaan yang 

berkatian dengan relasi kekristenan dengan 

Negara Israel Modern, khususnya dari 

perspektif Gereja Katolik Roma. Harapan- 

nya, orang akan terbantu untuk memahami 

dengan lebih baik, dan akhirnya bersikap 

lebih baik pula.

Satu catatan akhir rasanya baik untuk 

disampaikan di sini. Seperti sudah dikata - 

kan, selain ajaran resmi yang disampaikan 

oleh Tahta Suci melalui dokumen-dokumen 

resmi, masih ada banyak teolog-teolog yang 

dengan kompetensi, kejujuran, serta dan 

integritas intelektualnya sampai pada 

kesimpulan yang lain. Memang gagasan 

mereka tidak bisa digolongkan sebagai suara 

resmi Gereja. Meskipun gagasan mereka 

tetap amat berguna untuk memajuan 

pemahaman banyak orang. Yang harus 

disadari adalah bahwa dalam kehidupan 

sehari-hari tidak mudah memilah-milah 

antara ajaran resmi dan gagasan teologis 

seorang teolog tertentu. Segala sesuatu 

tercampur baur tanpa diketahui lagi yang 

mana yang resmi, yang mana yang tidak.