Relasi alkitab
Beberapa bulan yang lalu, di Jakarta
diadakan konferensi Tingkat Tinggi para
anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI)
2016. Pokokyang dibahas dalam konferensi
itu adalah soal kemerdekaan Palestina dan
konflik Timur Tengah. Bagi orang Indo
nesia, konflik Timur Tengah ini tampaknya
mempunyai gaung khusus.
Begitu mendengar istilah konflik Timur
Tengah, secara spontan orang akan berpikir
tentang perang yang melibatkan Israel
dengan Palestina. Selanjutnya, dengan mu-
dah orang akan mengidentifikasi Palestina
dengan Islam, sehingga peijuangan Pales
tina seringkali juga dipandang sebagai per-
juangan dunia Islam melawan Israel. Bagi
sementara orang Kristen di Indonesia,
situasi seperti ini menimbulkan kerepotan
tertentu. Di satu pihak, mereka hidup di
tengah-tengah mayoritas masyarakat yang
anti-Israel. namun di lain pihak, bagi
kekristenan, Israel mempunyai tempat yang
amat istimewa dan tak tergantikan. Kekris
tenan sendiri sebenarnya berasal dan
berakar dari agama Yahudi yang kemudian
dikenal dengan sebutan Yudaisme. Karena
negara Israel sekarang ini secara simplistis
seringkali dipandang sebagai kelanjutan dari
bangsa Israel yang dikisahkan dalam Alkitab,
maka salah satu pertanyaan pokok yang
muncul adalah: bagaimana relasi antara
orang Kristen dengan negara Israel modern
(The State of Israel) harus dipahami?
Pertanyaan seperti ini rasanya boleh
diambil sebagai titik berangkat pembahasan
kita. Melalui pembahasan ini, kita berharap
113
Relasi Antara Israel Alkitabiah dan Negara Israel Modern - Perspektif Gereja Katolik (Indra Tanureja)
mendapatkan pemahaman yang sehat dan
seimbang tentang konflik Timur Tengah,
khususnya berkaitan antara Israel Alkitabiah
dengan (Negara) Israel modern dan dalam
relasinya dengan orang Kristen, khususnya
dalam konteks Indonesia ini. Pemahaman
seperti ini akan membantu kita agar tidak
terombang-ambing di lautan informasi yang
tanpa kendali ini, namun mampu mengambil
posisi yang juga tepat dan seimbang.
PENJERNIHAN MASALAH
Relasi antara orang Kristen dengan
Negara Israel modern yang kita jadikan titik
awal pembahasan kita, sebenarnya juga
merupakan satu hal yang membutuhkan
klarifikasi lebih lanjut. Sekurang-kurangnya
ada dua catatan yang perlu disampaikan
untuk membatasi tema pembahasan ini.
Yang pertama: relasi orang Kristen1 dengan
Negara Israel modern sebenarnya mengan-
daikan adanya sebuah kesinambungan
antara Israel Alkitabiah dengan Negara
Israel modern ini. Dalam hal ini, kita perlu
menyadari bahwa persoalan ini bukan per-
soalan yang [dan tidak boleh dipahami
secara] sederhana. Ini adalah persoalan yang
amat kompleks dan melibatkan banyak segi.
Memahami relasi antara Israel Alkitab
dengan Israel Modern sebenarnya sama
dengan mencoba menelusuri sejarah peija-
lanan bangsa Israel mengarungi zaman, dari
periode para Bapa Bangsa sampai dengan
tanggal 14 Mei 1948 ketika David Ben
Gurion memproklamasikan berdirinya The
State of Israel. Pembicaraan tentang Israel
Alkitab berada dalam ranah alkitabiah atau
teologi. Sementara itu, pembicaraan me-
ngenai Israel Modern atau The State of Israel
mau tidak mau membawa kita pada ranah
sosial-politik. Dengan demikian, kita ber-
hadapan dengan dua ranah yang sama sekali
berbeda. Persis inilah yang termuat dalam
pembicaraan kita kali ini: yang satu bersifat
teologis-alldtabiah dan yang lain bersifat
sosial-politik. Sesuai dengan namanya,
Israel Alkitab adalah sebuah kategori
religius-teologis karena informasi yang ada
didasarkan pertama-tama pada Alkitab.
Sementara The State of Israel adalah sebuah
kategori yang pertama-tama adalah politis-
yuridis. Bagaimana relasi antara dua entitas
ini mesti dipahami?
Yang kedua adalah segi perspektif.
Sebagaimana terungkap dalam sub-judul di
atas, perspektif yang diambil oleh penulis
adalah perspektif tradisi Gereja Katolik
Roma; paling tidak sejauh penulis menang-
kap dan menafsirkan dokumen-dokumen
Gereja yang tersedia. Yang dimaksud dengan
ajaran Gereja Katolik adalah ajaran yang
secara resmi disampaikan oleh Gereja, yang
dalam hal ini adalah paus dengan semua
pembantunya. Selain ajaran resmi Gereja
Katolik, tentu saja masih ada tidak sedikit
orang-orang Katolik yang sungguh-sungguh
ahli dalam bidangnya yang menyampaikan
pendapat mereka tentang salah satu pokok
krusial tertentu. namun bagaimana pun juga,
ajaran atau pendapat pribadi mereka tidak
pernah bisa dipandang sebagai ajaran resmi
Gereja Katolik. Dalam hal ini satu hal tidak
pernah boleh dilupakan yaitu bahwa dalam
kaitannya dengan dunia, posisi Gereja
Katolik sangat khas dan unik.
Gereja Katolik bukan sekedar sebuah
denominasi dari kekristenan, namun juga
sebuah negara berdaulat. Oleh karena itu
relasi Gereja Katolik dengan Yudaisme
praktis mempunyai baik dimensi religius-
teologis maupun politis-yuridis. Relasi
Gereja Katolik dengan Yudaisme praktis
tidak bisa dilepaskan dari relasi antara Tahta
Suci Vatikan dengan the State of Israel.
Demikian juga sebaliknya. Tentu saja harus
tetap diingat bahwa relasi antara Gereja
Katolik dengan Yudaisme atau dengan orang
Yahudi -baik positif maupun negatif- sudah
terjalin jauh lebih lama dibandingkan
dengan relasi antara Tahta Suci dengan
Negara Israel yang secara resmi baru terjadi
pada tahun 1993 dengan ditandai oleh
pertukaran duta besar dari kedua negara.2
Justru karena gagasan yang tersaji di sini
berasal dari perspektif Gereja Katolik, maka
gagasan ini tidak bisa dikatakan sebagai
mewakili kekristenan pada umumnya.
Tentu saja Gereja Katolik termasuk dalam
kekristenan dalam hal-hal mendasar,
terutama dalam iman akan Yesus Kristus
Sang Juruselamat dunia. namun dalam
banyak detil-detil lain, ada banyak per-
bedaan sehingga pandangan Gereja Katolik
tidak harus dianggap menjadi pandangan
satu-satunya yang mewakili kekristenan.
Dari denominasi Kristen lainnya, mungkin
juga pernah ada pernyataan-pernyataan
resmi tertentu tentang topik ini. Untuk
kepentingan tulisan ini, kita tidak
mempelajari dan mengikutsertakan pernya
taan-pernyataan dari kelompok lain itu.
Dengan dua catatan seperti ini, lata bisa
maju selangkah dalam membedah tema kita.
Berturut-turut kita akan meninjau gam-
baran umum tentang Israel sejak zaman
Alkitab sampai dengan zaman modern, dan
kemudian kita akan melihat bagaimana
Gereja Katolik mengambil sikap terhadap
orang-orang Yahudi secara umum dan
Negara Israel (The State of Israel, Medinat
Yisrael) secara khusus.
D ATA-D ATA ALKITABIAH
Sejarah tentang orang Yahudi sesudah
zaman Alkitab bisa diketahui dari berbagai
sumber yang tersedia. Sementara itu
sumber informasi bagi sejarah orang Yahudi
sebelum zaman Alkitab, praktis hanyalah
Alkitab itu sendiri. Sumber informasi di luar
Alkitab sangat sedikit kalau pun ada. Oleh
karena itu, tidak mengherankan kalau pe-
mahaman orang kebanyakan (terutama
orang Kristen) tentang sejarah bangsa Israel
sebenarnya adalah gambaran yang terdapat
dalam Alkitab.
Secara garis besar, sejarah Israel pada
zaman Alkitabiah seperti yang dipahami oleh
banyak orang adalah sebagaimana tercan-
tum dalam beberapa literatur tentang
Perjanjian Lama.
Menurut tradisi alkitabiah, sejarah
bangsa Israel berasal-usul pada Abraham
yang dipanggil Allah untuk menjadi nenek
moyangbangsa terpilih (Kej 12.1-3). Periode
Bapa Bangsa ini ditampilkan sebagai sebuah
kisah keluarga yang berpusat pada tiga Bapa
Bangsa, yaitu Abraham, Ishak, dan Yakub
beserta dua belas anaknya. Periode ini
berakhir ketika Yakub/Israel dan keluarga-
nya berpindah ke Mesir dan tinggal di sana
selama kurang lebih 400 tahun (bdk. Kej
15.13; juga Kel 12.40-41).
Periode ketika bangsa Israel berada di
Mesir ternyata mengubah satu keluarga,
yang terdiri dari tujuh puluh jiwa (bdk. Kej
46.27; Kel 1.5) menjadi suatu bangsa
dengan dua belas suku dengan jumlah
ratusan ribu orang. Setelah periode empat
ratus tahun berlalu, Israel meninggalkan
Mesir. Mereka dikejar oleh tentara Mesir;
namun pasukan Mesir ditenggelamkan di
Laut Teberau (Kel 14), sementara bangsa
Israel terus berjalan melintasi laut itu
menuju ke Sinai. Setelah mengembara
selama empat puluh tahun di Sinai, Israel
bersiap-siap untuk menyeberang memasuld
ke tanah Kanaan dari sisi Timur Sungai
Yordan.
Tahap berikutnya adalah tahap
pendudukan Tanah Kanaan, yaitu ketika
suku-suku Israel menyerbu tanah Kanaan
atau Palestina, menghabisi penduduk yang
tinggal di sana lalu (Yos 1-11) membagikan
negeri itu di antara dua belas suku Israel
(Yos 11-18). Setelah Yosua pemimpin
bangsa Israel wafat, tampillah para hakim
yang memerintah Israel sampai akhimya
disadari bahwa tanpa adanya organisasi
politik yang memadai bangsa Israel tidak
mampu mempertahankan diri dari kete-
gangan internal serta ancaman dari luar.
Maka dari itu, didesak oleh keadaan seperti
itu, bangsa Israel lalu mengusahakan sebuah
tata pemerintahan dan kepemimpinan yang
baru yang lebih menjanjikan, yaitu bentuk
kerajaan (bdk. ISam 8). Kerajaan Israel
mencapai kebesarannya di bawah Raja
Daud. Akan namun , kebesaran Israel kuno ini
ternyata tidak berlangsung lama. Sepe-
ninggal Salomo, anak Daud yang menggan-
tikannya menjadi raja, kerajaan Israel pecah
menjadi dua: kerajaan Israel (kerajaan
Utara) dan kerajaan Yehuda (kerajaan
Selatan) (IRaj 12). Dua kerajaan ini pun
ternyata tidak bisa beijaya terus. Pada tahun
722 Kerajaan Utara hancur dibinasakan oleh
Asyur (2Raj 17). Kerajaan Yehuda yang lebih
kecil masih bisa bertahan selama kurang
lebih 140 tahun. namun akhirnya pada tahun
587, kerajaan Selatan ini juga musnah di
tangan Nebukadnezar dari kerajaan
Babilonia (2Raj 24.18-20).
Penduduk Yehuda dibawa ke pembuang-
an Babilonia yang akan berlangsung selama
kurang lebih 40 tahun. Ini adalah pem-
buangan Babilonia yang terkenal itu. Koresy
raja Persia yang naik menjadi penguasa di
seantero Mesopotamia, sesuai dengan
kebijakan politisnya, mengizinkan para
buangan untuk pulang kembali dan
Relasl Antara Israel Alkitabiah dan Negara Israel Modern - Perspektif Gereja Katollk (Indra Tanureja)
membangun Yerusalem pada tahun 538 sM.
Mereka lalu membangun ulang Bait Suci
Yerusalem yang ditahbiskan pada tahun 517
sM. Sementara itu, kehidupan bangsa Israel
terus beijalan dengan diatur oleh dua tokoh,
Ezra dan Nehemia, yang merupakan tokoh
politik dan agama. Meskipun demildan,
Israel hanya secara terbatas mendapatkan
kemerdekaannya. Ia tetap merupakan
bagian dari kerajaan Persia.
Sampai di sini praktis berakhirlah kisah
bangsa Israel menurut Alkitab Peijanjian
Lama. Kita mungkin masih bisa menam-
bahkan situasi sekitar dua abad terakhir
menjelang periode Perjanjian Baru sebagai-
mana diceritakan dalam 1-2 Makabe yang
termasuk tulisan-tubsan Deuterokanonika.
Inilah akhir dari Israel Alkitabiah! Alkitab
Perjanjian Baru praktis hanya berbicara
tentang kemunculan dan gerakan awal
kekristenan. Bangsa Israel hanya berada di
latar belakang saja.
Secara objektif sejarah bangsa Israel
berakhir pada suatu periode tertentu seba-
gaimana dikisahkan oleh Peijanjian Lama.
Akan namun kiranya perlu disadari satu hal
penting: yaitu bahwa Peijanjian Lama
ternyata tidak hanya mengisahkan sejarah
bangsa Israel pada zamannya, namun juga
memuat banyak hal yang bisa ditafsirkan
sebagai merujuk ke masa depan. Dengan
kata lain, dalam tulisan-tubsan Peijanjian
Lama terkandung banyak nubuat yang
menggambarkan masa depan bangsa Israel.
Dengan demikian, sejarah Israel setelah
zaman Alkitabiah sebenarnya diwarnai oleh
dua hal: yang pertama adalah situasi
historis-objektif dalam relasinya dengan
bangsa-bangsa sekitar dan yang kedua
adalah pengharapan akan masa depan yang
lebih baik sebagaimana ditiupkan oleh
nubuat-nubuat para nabi. Justru karena
merupakan nubuat kenabian yang terdapat
dalam sebuah kitab suci, maka nubuat-
nubuat tersebut mempunyai wibawa ter
tentu dan tetap hidup mengiringi peijalanan
bangsa Israel.
Secara histoiis, fakta yang tak terban-
tahkan adalah bahwa Israel selalu berada di
bawah kekuasaan para penguasa yang
berganti-ganti, sejak zaman kuno sampai
dengan zaman modern. Setelah Persia,
datanglah Aleksander Agung dari Makedo-
nia, dan kemudian Roma menguasai Tanah
Palestina3 yang menjadi panggung sejarah
periode Kitab Suci Peijanjian Baru. Setelah
itu, berturut-turut berkuasalah Bizantium
(313-636), orang-orang Arab Islam (636-
1099), para tentara Perang Sabb (1099-
1291), kaum Mameluk (1291-1516), Turki
Ottoman (1517-1917), dan akhirnya Inggris
(1917-1948)4
Seperti bisa dibhat, pada titik tertentu
dalam sejarah, perspektif teologis-alkitabiah
berhenti dan perspektif pobtik-yuridis mulai.
Apakah peijalanan yang ditempuh oleh
sejarah Israel ini memang merupakan suatu
keberlanjutan yang tak terputus? Apakah
kisah Abraham yang dipanggil Allah mem-
bentuk satu alur yang benar-benar tak
terputuskan sampai dengan pendirian The
State of Israel di tahun 1948? Sebelum kita
mencoba menjawab pertanyaan ini, yang
menjadi salah satu pokok dalam diskusi kita,
perlulah lata mengevaluasi Alkitab kita -atau
cara kita membaca Alkitab- dalam terang
ilmu tafsir mutakhir.
CATATAN KRITIS
Menurut saya, ada dua hal yang perlu
dipertimbangkan dalam mengevaluasi cara
kita memanfaatkan data-data alkitabiah
dalam terang perkembangan ilmu
pengetahuan -termasuk juga ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan penafsiran Alkitab-
sampai saat ini. Yang pertama berkaitan
dengan vabditas data-data Alkitab itu
sendiri, dan yang kedua lebih berkaitan
dengan kandungan isinya. Tentu saja untuk
kedua hal itu, kita tidak bisa membuat
sebuah uraian lengkap mendetil. Oleh
karena itu, hanya beberapa pokok saja yang
bisa disampaikan.
Sejauh Mana Alkitab Bisa Memberi Data
Historis?
Sebagaimana bisa kita bhat, uraian
tentang sejarah Israel kuno yang tersaji di
atas praktis didasarkan pada informasi yang
terdapat dalam Alkitab. Atau seperti dikata-
kan Mario Liverani, seorang ahli Timur
Tengah Kuno dari Roma, yang mengatakan
bahwa “Sejarah Israel kuno praktis ditampil-
kan sebagai semacam parafrase dari teks-
teks Alkitabiah.”5 Gambaran sejarah seperti
itu pada umumnya merupakan gambaran
yang sudah sejak lama dikenal secara
meluas. namun perlu disadari bahwa
gambaran seperti itu bisa disusun dengan
sebuah pengandaian bahwa narasi Alkitab
memang menyediakan data-data sejarah
yang akurat. Sampai dengan akhir abad 18,
kebanyakan orang Kristen di negara-negara
berbahasa Inggris menerima dan mengakui
bahwa Alkitab merupakan Firman Allah
yang otentik dan dengan demikian akurasi-
nya bisa dipertanggungjawabkan.
Akan namun , semuanya itu berubah pada
abad 19. Berkembangnya studi-studi alkitab
iah yang dikombinasi dengan berbagai
disiplin ilmu yang lain, seperti misalnya
studi tentang kebudayaan, arkeologi, bahasa,
sejarah, geografi, dsb. memunculkan meto-
de historis kritis atau juga disebut higher
criticism yang kemudian digunakan untuk
membaca Alkitab. Dengan pendekatan baru
ini, pemahaman dan penafsiran kita akan
teks Alkitab di zaman sekarang ini menjadi
lebih lengkap dan komprehensif dibanding-
kan sebelumnya. Teks-teks alkitab memang
bisa dipahami dengan lebih baik. namun
studi kritis ini menghasilkan pula sebuah
sikap kritis terhadap informasi yang terdapat
dalam narasi Alkitab yang selama ini
diterima sebagai suatu kebenaran tak ter-
bantahkan. Perkembangan ini memuncul
kan keraguan akan ketepatan historis dari
kisah-lasah alkitabiah - mulai dari Nuh dan
kisah banjir bandhang, sampai pada kisah
trompet Yosua yang meruntuhkan tembok-
tembok Yeriko, dan episode bangsa Israel di
tanah Mesir.6 Harus diakui bahwa kenya-
taan ini- bahkan sampai sekarang masih-
amat mengguncangkan banyak orang ber-
iman.7
Sebagai contoh kita bisa ambil kasus
pendudukan tanah Kanaan. Jika orang
berbicara tentang topik ini, biasanya orang
merujuk pada kisah yang terdapat dalam
kitab Yosua. Yos 6, misalnya, berbicara
tentang bagaimana bangsa Israel di bawah
pimpinan Yosua menyerbu dan menakluk-
kan kota Yerikho. Gambaran ini menjadi
populer. Akan namun dalam perkembangan
berikutnya, muncul teori-teori yangberbeda.
Bukti-bukti arkeologis tampaknya tidak
mendukung kisah pendudukan Yeriko oleh
Yosua sebagaimana dikisahkan dalam Yos 6.
Penelitian arkeologis menunjukkan bahwa
Yeriko sudah berulangkali dihancurkan,
namun persis pada saat yang diperlarakan
Yosua menyerbu kota tersebut yaitu tahun
1250-1225 sM, Yeriko tampaknya sudah
menjadi reruntuhan.8
Berkaitan dengan modus masuknya
bangsa Israel ke tanah Kanaan, paling tidak
ada tiga teori yang bisa diajukan tentang
kisah ini.9 Pendapat pertama mengatakan
bahwa tidak ada penyerbuan besar-besaran
yang dilakukan oleh bangsa Israel. Yang
teijadi adalah mereka masuk dalam damai
secara bertahap ke daerah pegunungan di
Palestina tengah yang memang tidak padat
penghuninya. Kita sebut saja pandangan
Immigration Model. Baru kemudian secara
perlahan-lahan mereka berkembang sehing-
ga mampu memperluas daerah yang mereka
kuasai. Gambaran seperti ini didukung oleh
kisah yang terdapat dalam Hak 1. Pendapat
kedua menyatakan bahwa masuknya bangsa
Israel ke tanah Kanaan teijadi sebagaimana
digambarkan oleh Alkitab, khususnya kitab
Yosua (Conquest Model). Menurut pendu-
kung aliran ini, yang terkenal adalah arkeo-
log dan ahli alkitab Amerika William F.
Albright, penemuan arkeologis mendukung
pendapat ini. Pendapat yang terakhir mun
cul ke permukaan lebih dipengaruhi oleh
sosiologi. Menurut pendapat ini, yang
disampaikan oleh G.E. Mendenhall dan N.K.
Gottwald, pendudukan tanah Kanaan mesti
dilihat sebagai sebuah gejala yang teijadi di
internal Kanaan sendiri, tanpa adanya
campur tangan dari pihak luar.10 Penduduk
an Kanaan merupakan hasil dari sebuah
revolusi melawan kelas atas yang menindas
(.Peasant Revolt). Dengan demikian, pan
dangan tradisional tentang pendudukan
tanah Kanaan yang seringkali kita terima
dan kita yakini ternyata bukan satu-satunya
pendapat yang berlaku. Masih ada pendapat
lain yang mempunyai bobot yang hampir
sama, dan oleh karena itu perlu juga diper-
hatikan dan dipertimbangkan.
Perkembangan ilmu tafsir dan ilmu
bantu lainnya, akhirnya memunculkan dua
aliran yang berseberangan khususnya ber-
117
Relasi Antara Israel Alkitabiah dan Negara Israel Modern - Perspektif Gereja Katolik (Indra Tanureja)
kaitan dengan kesejarahan teks-teks alkita
biah. Dua aliran ini biasa disebut: aliran
maksimalis dan aliran minimalis.11 Aliran
maksimalis berpendapat bahwa data-data
alkitabiah tentang sejarah Israel perlu
dipandang sebagai sesuatu yang historis.
Sementara aliran minimalis berpendapat
bahwa data-data tersebut, khususnya yang
menyangkut periode sebelum Pembuangan
Babilonia, lebih bersifat teologis dan
apologetis sehingga tidak bisa diandalkan
sebagai sumber informasi historis. Di tangan
aliran minimalis ini, hampir semua yang
dikatakan Alkitab tidak bisa dipertanggung-
jawabkan secara ilmiah. Keberadaan para
Bapa Bangsa diragukan, kerajaan Israel
bersatu juga diragukan, apakah para tokoh
besar seperti Daud dan Salomo memang
pernah ada juga merupakan hal yang selalu
dipertanyakan.
Tanpa harus mengambil posisi ekstrim
kiri atau kanan, yang perlu diperhatikan dari
fakta ini adalah bahwa anggapan bahwa
segala informasi dari Alkitab mempunyai
validitas historis adalah sebuah pandangan
yang tidak lagi bisa dipertahankan. Hal ini
membawa konsekwensi bahwa mendasar-
kan sesuatu realitas sekarang ini pada teks-
teks alkitabiah harus dilakukan dengan
sangat hati-hati. Dengan demikian, menem-
patkan Israel Alkitab dan negara Israel
Modern dalam satu rangkaian tak terputus-
kan sebenarnya merupakan sebuah kesim-
pulan yang rentan dan terlalu menyeder-
hanakan persoalan karena mengabaikan
jarak antara periode alkitab dengan periode
sekarang.12 Atau menurut kata-kata Irvine
Anderson, pemahaman dan penafsiran
harafiah seperti itu merupakan warisan dari
pelajaran yang didapat di sekolah minggu
dan khotbah para pendeta pada abad 19 dan
awal abad 20 di Inggris dan Amerika
Serikat.13 Pergeseran dari dunia Alkitab ke
dunia nyata tentu bukan merupakan sesuatu
yang linier belaka!
Alkitab: Satu Kitab Banyak Suara
Pertama-tama mesti kita akui bahwa
Alkitab kita sebenarnya dicirikan oleh
pluralitas. Alkitab sendiri terdiri dari banyak
tulisan. Beberapa tulisan juga ditulis oleh
banyak pengarang dari banyak generasi yang
mungkin mengedit tradisi yang sebelumnya.
Akibatnya, kita mesti mengatakan bahwa
Alkitab itu menyajikan banyak suara, yang
kadang kala bertentangan. namun kendati
bertentangan dan merepotkan, kita mesti
menerimanya sebagai Firman Tuhan sen
diri. Dengan demikian, “suara yang lain” ini
mesti selalu diperhatikan dan dipertim-
bangkan keberadaannya pada saat kita
membaca Alkitab.
Sebagai contoh sederhana, kita mem
punyai dua kisah penciptaan dalam Alkitab
yang berbeda satu sama lain. Karena
keduanya tercantum dalam Alkitab, kita
tidak bisa menyingldrkan yang satu dan
mengutamakan yang lain. Bagaimana pun
juga, keduanya adalah Firman Tuhan yang
layak mendapat perhatian yang sama.
Dalam kisah pendudukan tanah Kanaan,
sebenarnya kita juga mempunyai dua kisah
yang berbeda. Yang satu adalah gambaran
yang diceritakan dalam Kitab Yosua: bangsa
Israel masuk sebagai kesatuan bangsa dan
merebut Yerikho dan kota-kota lainnya
dengan kekuatan militer. Dikatakan bahwa
orang Israel “menumpas dengan mata
pedang segala sesuatu yang di dalam kota
itu, baik laki-laki maupun perempuan, baik
tua maupun muda, sampai kepada lembu,
domba dan keledai” (Yos 6.21). namun kita
juga mempunyai gambaran kedua yang
disajikan oleh Hak 1. Di sini dikisahkan
bahwa suku bangsa Israel masuk secara
individual, di tempat yang berbeda-beda.
Sementara itu, menurut Hak, tidak ada
pembantaian orang Kanaan. Bahkan
beberapa kali dikatakan bahwa suku-suku
Israel “tidak menghalau suku X” pergi dari
tempat mereka duduki (bdk. Hak
1.19.27.29.30.31.33). Hidup bersama
dengan orang lain kiranya juga menjadi
salah satu kemungkinan yang memang
dikehendaki Allah sendiri.
Janji akan tanah bisa menjadi contoh
yang lain. Menurut Kej 12, Allah menjan-
jikan tanah Kanaan kepada Abraham dan
keturunannya (bdk. Kej 12.1.7; 15.18-21).
Janji tanpa syarat ini boleh dikatakan
menjadi tema utama dari kisah para Bapa
Bangsa. Pada titik tertentu dalam sejarah
para Bapa Bangsa, janji ini beberapa kali
diulang: kepada Ishak (Kej 26.3-4), kepada
Yakub (Kej 28.13), bahkan juga kepada
Musa (bdk. Kel 3.8). Akan namun , sejalan
dengan ini, kita juga menemukan teks-teks
yang menunjukkan bahwa janji akan tanah
ini bukanlah sebuah janji tanpa syarat, namun
bergantung pada syarat tertentu. “Haruslah
engkau melakukan apa yang benar dan baik
di mata TUHAN, supaya baik keadaanmu
dan engkau memasuki dan menduduki
negeri yang baik, yang dijanjikan TUHAN
dengan sumpah kepada nenek moyangmu”
(U1 6.18 bdk. juga U1 8.17-19; 11.22-25).
Dengan demikian kita mesti menyimpulkan
bahwa dengan tak bersyarat tanah (Kanaan)
dijanjikan kepada Israel, namun Israel hanya
bisa menguasainya jika mereka memenuhi
syarat tertentu. Rumusan yang dipakai oleh
Brueggemann, “the land is given to Israel
unconditionally, but it is held by Israel
conditionally.”14
Tentu saja lata tidak bisa memaparkan
semuanya pada kesempatan ini. Cukuplah
kita menyadari bahwa mengaitkan Israel
sekarang ini dengan Israel Alkitabiah adalah
usaha yang tidak mudah. Mungkin Israel
modern bisa mengklim diri sebagai penerus
pemilik tanah yang pernah dijanjikan Allah,
namun apakah Israel juga bisa memenuhi
syarat-syarat peijanjian sebagaimana juga
dituntut dalam Alkitab? Israel Alkitabiah
mempunyai tanggungjawab sosial kemasya-
rakatan dalam wujud memelihara tiga
golongan orang yang tersebut orang-orang
malang (personae miserabiles), yaitu para
janda, anak yatim, dan orang asing (hhat
misalnya Kel 22.21-22). Golongan yang
disebut “orang asing” menjadi relevan bagi
pembicaraan kita ini. “Orang asing” atau ger
di sini dipahami sebagai orang-orang non-
Israel yang tinggal di Israel secara
permanen. Lalu apakah kewajiban ini
dipenuhi oleh Israel modern?15 Selain itu,
Israel modern tampaknya juga tidak lagi
mengandalkan Allah dalam iman, namun
lebih mengandalkan kekuatan militer dan
sekutu-sekutunya.
Persoalan yang berkaitan dengan Negara
Israel modern sungguh merupakan persoal
an yang kompleks dan menyangkut banyak
hal dan banyak perspektif. Yang penulis
sampaikan sampai saat ini hanyalah
beberapa point kecil, khususnya yang
berkaitan dengan Alkitab yang seringkali
digunakan sebagai justifikasi dari segala yang
sekarang ini ada, termasuk eksistensi
Negara Israel. Dan di sini kita perlu sadar
bahwa menggunakan teks Alkitab untuk
mengidentifikasi Israel Alkitab dengan Israel
modern atau sebagai justifikasi atas
eksistensi Negara Israel modern merupakan
suatu usaha yang terlalu menyederhanakan
persoalan dan sekaligus mengandung
persoalan yang rumit.
SOAL PENAFSIRAN
Kalau diperhatikan, persoalan ini
sebenarnya berkaitan erat dengan masalah
penafsiran Alkitab. Alkitab tidak pernah bisa
berbicara sendiri, ia selalu butuh orang lain
untuk menyuarakan kisahnya. Oleh karena
itu, tidak mengherankan kalau sebuah teks
yang sama bisa ditafsirkan secara berbeda,
dan bahkan bertentangan. Kita bisa meng-
ambil sebagai contoh soal tanggungjawab
bangsa Israel untuk memperhatikan dan
mengurusi “orang asing” sebagaimana
terdapat dalam banyak teks Alkitab (bdk. Kel
22.21-22 passim). namun identifikasi dari
“orang asing” atau ger ini ternyata juga
problematik. Sebagaimana dicatat dalam
catatan kaki sebelum ini16, bagi Mitri Raheb
seorang teolog Lutheran Palestina, bangsa
Palestina bukanlah orang asing di tanah
Palestina yang harus menjadi tanggungjawab
sosial Negara Israel. Mereka sudah berada di
tanah itu sejak lama, dan sekarang, mereka
telah dengan sengaja dibuat menjadi orang
asing! namun dari perspektif lain, “orang
asing” ini dipahami sebagai terdiri dari dua
kelompok: yakni orang Palestina yang mau
menerima Negara Israel modern dan
mereka yang menolak serta memberontak.
Kepada yang menerima diberikan segala
privilese termasuk menjadi warganegara
Israel; bagi yang menolak dan memberontak
kepada Negera Israel modern, lalu dianggap
sebagai musuh.17
Fakta ini menunjukkan bahwa dari
sudut pandang alkitabiah, persoalan yang
mendasar sebenarnya berkaitan dengan
penafsiran teks-teks Alkitabiah. Demikian
juga dengan persoalan mendasar tentang
status Negara Israel modern. Apakah Negara
Israel modern merupakan pemenuhan dari
nubuat para nabi Peijanjian Lama? Sudah
bisa diduga, jawaban seperti ini tidak
119
Relasi Antara Israel Alkitabiah dan Negara Israel Modern - Perspektif Gereja Katolik (Indra Tanureja)
mungkin satu suara. Mengapa demikian?
Karena paham dan model penafsiran Fir
man Tuhan yang terbekukan dalam Alkitab
tidak pernah bisa seragam. Masing-masing
mempunyai penafsirannya sendiri, meski-
pun harus bertentangan dengan penafsiran
orang lain. Apalagi kalau ke dalam proses
penafsiran ini dimasukkan juga unsur-unsur
kepentingan yang lain. Bisa teijadi bahwa
suatu kelompok menyatakan bahwa mereka
mendasarkan keyakinan mereka pada
keseluruhan Alkitab sebagai Firman Allah.
namun pada kenyataannya, mereka hanya
mengikuti teks-teks tertentu saja yang tentu
saja relevan dengan kepentingan mereka.
Kepentingan inilah yang sebenarnya menga-
rahkan penafsiran mereka.18 Steven Fried
man mengatakan bahwa merupakan suatu
hal yang sungguh ironis bahwa Zionisme,
sebuah gerakan politik yang didirikan oleh
sekelompok orang Yahudi yang mengaku diri
sekular dan bahkan dalam beberapa hal
menolak agama Yahudi, ternyata menggan-
tungkan diri pada Alkitab Ibrani.19
Perbedaan penafsiran ini rasanya tidak
akan menemukan titik temu yang memuas-
kan semua pihak. Di mana ada tesis, selalu
saja ada anti-tesis yang bertentangan. Tidak
ada keputusan yang definitif sehubungan
dengan hal-hal tertentu. Posisi teologis
tertentu bisa membawa konsekwensi pada
posisi politis tertentu. Oleh karena itu,
dalam situasi seperti ini, rasanya akan lebih
baik jika kita mengikuti saja apa yang secara
resmi diajarkan oleh Gereja sebagaimana
terungkap dalam dokumen-dokumen yang
ada. Dengan demikian, sekarang kita bisa
menyempitkan perspektif dengan melihat
apa yang disampaikan oleh Gereja Katolik.
TIGA SIKAP KEKRIS TEN AN
TERHADAP NEGARA ISRAEL
MODERN
Sebelum ini sudah dijernihkan bahwa
perspektif yang penulis tawarkan adalah
perspektif Gereja Katolik Roma. Perspektif
ini mungkin akan berbeda atau bahkan
bertentangan dengan denominasi kristen
yang lain. namun hal ini memang tidak bisa
dihindari. Meskipun kita hanya akan
memperhatikan satu perspektif saja, mung
kin juga baik kalau disajikan juga paling tidak
secara garis besar sikap kekristenan secara
umum terhadap Negara Israel Modem.
Pada dasarnya relasi orang-orang Kristen
terhadap Negara Israel modern bisa
digolongkan menjadi tiga golongan:20
Tidak Ada Urusan dengan Negara Israel
Beberapa gereja kuno yang mulai
muncul pada abad 3-5 Masehi menganggap
diri sebagai bagian tak terpisahkan dari
Tanah Israel. Bagi gereja-geraja “asli” itu21,
hidup ini dibaktikan pada kesucian, devosi
dan ketenangan. Mereka menarik diri dari
peijuangan di dunia ini. Oleh karena itu,
bagi mereka, Negara Israel modem tidak ada
bedanya dengan para penguasa yang
terdahulu, yang pergi dan datangbegitu saja.
Dengan kata lain, mereka tidak terlalu
peduli dengan Negara Israel; mereka tidak
punya urusan dengan Negara Israel.
Negara Israel Sangat Penting
Sikap yang kedua persis bertolak-
belakang dengan yang pertama. Mereka yang
termasuk golongan kedua ini memegang
aliran dispensationalisme. Yang dimaksud
adalah sebuah paham yang memandang
sejarah dunia ini ter diri dari beberapa
zaman. Di masing-masing zaman itu, Allah
menggunakan cara yang berbeda-beda
dalam berhubungan dengan umat manusia.
Mereka meyakini bahwa kembalinya orang-
orang Yahudi ke tanah Palestina dan
pemulihan Zion di bawah kekuasaan Yahudi
merupakan syarat yang mesti dipenuhi
sebelum Kristus datang untuk kedua
kalinya. Tidak mengherankan jika mereka
memandang munculnya Negara Israel
modern pada tahun 1948 sebagai perwu-
judan awal dari nubuat-nubuat alkitabiah.
Kemenangan-kemenangan militer Israel
pada tahun 1967 dan 1973 dipandang
sebagai sebuah peneguhan atas campur
tangan Tuhan sendiri dalam membentuk
masa depan Israel. Jika waktunya sudah tiba,
maka tidak ada pilihan lagi bagi orang
Kristen selain menggabungkan diri dengan
apa yang sedang dikerjakan Allah. Pada
dasarnya sikap seperti inilah yang diambil
oleh gereja-gereja atau komunitas kristiani
yang beraliran Zionisme Kristiani (Christian
Zionism).
Zionisme Kristiani mempunyai akar
yang sudah cukup lama, terutama di Inggris
dan Amerika Serikat. Tentu saja mereka
tidak begitu saja muncul, namun memiliki
dasar alkitabiah tertentu, mungkin lebih
persis, teks-teks Alkitab yang ditafsirkan
secara tertentu. Janji-janji yang pernah
diberikan kepada bangsa Israel dalam
Perjanjian Lama, begitu saja ditransfer dan
dipenuhi dalam diri Negara Israel modern
ini. Oleh karena itu, mereka mendorong
munculnya negara Yahudi tersendiri. Se-
orang bangsawan Inggris, Anthony Ashley-
Cooper, earl ketujuh dari Saftesbury,
misalnya, berpendapat bahwa pemulihan
orang Yahudi ini akan teijadi melalui
campur tangan Kerajaan Inggris.23 Doku-
men yang biasa disebut Balfour Declara
tion24 adalah perwujudan konkret dari
dukungan tersebut. Hanya saja perlu dicatat
di sini bahwa yang menjadi pusat perhatian
utama dari Zionisme Kristiani sebenamya
bukan Negara Israel Modern, namun
kedatangan Yesus yang kedua kali.25
Posisi Antara
Posisi ini jelas ada di tengah-tengah
dalam arti tidak termasuk dalam kelompok 1
atau pun kelompok 2. Posisi ini tidak begitu
saja mengambil sebuah posisi tertentu yang
sudah ada. Posisi ini sebenarnya merupakan
posisi yang berusaha untuk selalu mencari
pemikiran teologis yang segar dan konteks-
tual. Kelompok inilah yang selalu mengusa-
hakan sebuah dialog teologis dengan
kelompok Yahudi. Gereja Katolik bersama
dengan beberapa Gereja Protestan lain
berada di kelompok ini.
POSISI GEREJA KATOLIK
Sekedar mengingatkan saja bahwa relasi
antara Gereja Katolik dengan bangsa Yahudi
merupakan sebuah relasi yang unik, karena
keduanya merupakan entitas yang sekaligus
mempunyai dimensi ganda. Di satu pihak,
Gereja Katolik merujuk pada sebuah entitas
religius, yaitu sebuah denominasi Kristen;
namun di lain pihak, Gereja Katolik adalah
juga Negara Vatikan (Stato della Citta del
Vaticano atau Tahta Suci) yang merupakan
sebuah negara yang berdaulat. Dengan
demikian, Gereja Katolik juga merupakan
sebuah entitas politik. Sebagai sebuah
entitas religius, Gereja Katolik mempunyai
padanannya dengan agama Yahudi atau
Yudaisme; sementara sebagai sebuah entitas
politik, Gereja Katolik atau Negara Vatikan
berpadanan dengan The State of Israel.
Tentu saja meski ada kesejajaran dan
kesamaan, tetap ada perbedaan antara
keduanya. Yang jelas, Tahta Suci sekaligus
berperan sebagai pemimpin umat Katolik
sedunia. Dalam hal ini, Tahta Suci menjadi
juru bicara resmi agama Katolik. Peran ini
tidak dimiliki oleh Negara Israel.
Sikap atau relasi Gereja (Katolik) dengan
bangsa Yahudi bisa dibagi menjadi dua
periode: dari zaman Alkitab sampai dengan
konsili Vatikan II dan sejak Konsili Vatikan
II. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa
Konsili Vatikan II sungguh-sungguh menjadi
titik tolak suatu perkembangan baru.
Sampai Konsili Vatikan II
Relasi antara orang Kristen dengan
orang Yahudi sebenarnya sudah berasal
sejak zaman Alkitab. Dan kita tahu bahwa
relasi antara kedua pihak ini punya
dinamika yang khas, kadang naik dan turun
sesuai dengan situasi. Pada zaman Alkitab,
sebagai sebuah gerakan baru, kekristenan
dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya.
Oleh karena itu tidak mengherankan jika
orang-orang Kristen mulai disingkirkan. Apa
yang terdapat dalam Yoh 9.22 mungkin bisa
mencerminkan relasi antara orang Kristen
dan orang Yahudi pada waktu itu. “Orang
tuanya berkata demikian, karena mereka
takut kepada orang-orang Yahudi, sebab
para pemuka Yahudi itu telah sepakat bahwa
setiap orang yang mengaku Dia sebagai
Mesias, akan dikucilkan” (Yoh 9.22). Dalam
zaman alkitabiah, para pengikut Kristus
mendapatkan perlakuan keras dari orang-
orang Yahudi.
Ketika Gereja akhirnya juga mendapat
kan kekuasaan politik ganti orang Yahudi
yang mendapatkan perlakuan keras. Ambil
saja sebuah contoh ketika Paus Paulus IV
mengeluarkan bulla Cum nimis absurdum
tertanggal 14 Juli 1555 yang memerintahkan
orang Yahudi yang tinggal di Roma pada
waktu itu untuk tinggal di dalam ghetto dan
harus mengikuti aturan-aturan tertentu.
Mereka kehilangan hak untuk memiliki
121
Relasi Antara Israel Alkitabiah dan Negara Israel Modem - Perspektif Gereja Katolik (Indra Tanureja)
sesuatu. Setiap hari sabtu, mereka dipaksa
untuk mendengarkan khotbah (kristiani) di
sebuah gereja yang terletak persis di luar
ghetto tersebut. Ghetto di Roma ini berakhir
pada tahun 1870 setelah berdiri selama
kurang lebih 300 tahun.
Alasannya: orang Yahudi dianggap
sebagai pembunuh Tuhan (deicide) (bdk.
Kis 3.15). Mereka juga dianggap hidup di
bawah kutuk. Dalam Mat 27.24-25 ketika
Pilatus mencuci tangan sebagai tanda ia
tidak bertanggungjawab pada kematian
Yesus, orang-orang Yahudi berteriak
“Biarlah darah-Nya ditanggungkan atas
kami dan atas anak-anak kami!” Kata-kata
ini dianggap sebagai nubuat yang dalam
peijalanan sejarah akan terpenuhi. Sikap
anti-Yahudi/Yudaisme (yang seringkali
berkembang menjadi anti-Semit26) rasanya
juga menjadi buah dari sikap keras terhadap
orang Yahudi. Dan juga, holocaust yang
dialami orang Yahudi di bawah Hitler juga
perlu dipahami dalam kerangka ini. Tidak
hanya itu, secara genetis, orang Yahudi
dianggap mempunyai cacat yang tidak bisa
dihapuskan oleh Sakramen Baptis. Cacat
itulah yang membuat mereka membunuh
Tuhan.27 Dari perspektif ini, kekerasan yang
dialami oleh bangsa Yahudi merupakan
hukuman karena kejahatan itu.
Pada periode kemudian, tampak bahwa
relasi gerakan Zionisme yang mendukung
suatu negara bagi bangsa Yahudi dengan
Gereja Katolik ternyata tidak selalu mulus.
Theodor Herzl, pemuka gerakan Zionisme
ini, pernah bertemu dengan Paus Pius X
pada tahun 1904 untuk menjajaki apakah ia
akan bisa mendapatkan dukungan dari
Gereja Katolik untuk gerakan yang pimpin
itu. namun tanggapan yang diterima Herzl
adalah sebagai berikut “karena ‘the Jews
have not recognized Our Lord, therefore we
cannot recognize the Jewish people’ dan
meskipun Gereja tidak dapat menghalangi
kembalinya bangsa Yahudi ke Yerusalem...
kita tidak akan pernah mendukungnya.”
Surat kabar Vatikan, L’Osservatore Romano
pada edisi tanggal 14 Mei 1948 - tepat pada
hari kemerdekaan Negara Israel - bahkan
menulis bahwa “Modern Zionism is not the
true heir of Biblical Israel, but a secular
state...”28
Sejak Konsili Vatikan II
Sikap Gereja Katolik terhadap orang
Yahudi dan agama Yahudi praktis menga-
lami “suatu perubahan dramatik”29 dalam
Konsili Vatikan II. Dalam salah satu
dokumennya, yaitu deklarasi Nostra Aetate
dengan jelas diungkapkan sikap dan
penghargaan baru terhadap orang Yahudi
dan agama Yahudi (lihat NA 4). Perubahan
ini begitu dramatis sehingga ada keraguan
apakah orang Katolik bisa secara tiba-tiba
menerima gagasan yang bertentangan deng
an ajaran-ajaran yang selama ini disampai-
kan kepada mereka untuk dipercayai.30
Tidak hanya itu saja, NA 4 yang berbicara
tentang orang Yahudi masih harus dileng-
kapi dengan beberapa dokumen lain. Tidak
bisa tidak, hal ini menunjukkan bahwa
rupanya masih dibutuhkan petunjuk lebih
lanjut agar sikap Gereja terhadap orang
Yahudi sebagaimana terdapat dalam NA 4
ini bisa sungguh-sungguh operasional.
Untuk semakin mengembangkan relasi
dengan orang Yahudi ini, pada tanggal 22
Oktober 1974 Vatikan membentuk sebuah
komisi khusus, Pontifical Commission for
Religious Relations with the Jews. Komisi ini
untuk selanjutnya mengeluarkan beberapa
dokumen untuk mempererat hubungan
antara Gereja dengan Yudaisme.31 Hal ini
cukup menunjukkan bahwa relasi dengan
Yudaisme dianggap penting dan istimewa
oleh Gereja Katolik.
Akan namun di sini perlu segera disadari
bahwa relasi Gereja Katolik dengan orang
Yahudi (dan Yudaisme) adalah satu hal;
namun relasi antara Tahta Suci dengan
Negara Israel modern adalah hal yang lain
lagi. Kalau Gereja Katolik selalu berusaha
mengembangkan relasi dengan orang Yahu
di dan Yudaisme dengan menerbitkan
dokumen-dokumen resmi tertentu, relasi
Gereja dalam ranah politik dengan Negara
Israel modern rasanya tidak terlalu
berkembang dengan mulus. Satu hal yang
menarik untuk diperhatikan adalah fakta
bahwa meskipun Negara Israel Modern
menyatakan kemerdekaannya sudah sejak
14 Mei 1948, hubungan diplomatik antara
kedua negara baru terbentuk pada tanggal
30 Desember 1993, empat puluh lima tahun
sejak Negara Israel merdeka. Kedutaan
besar kedua negara baru dibentuk pada
tanggal 19 Januari 1994.32 Setelah terbitnya
NA, yang merupakan langkah maju dalam
relasi antara Gereja Katolik dan orang
Yahudi, banyak yang mengharapkan bahwa
hal ini akan diikuti dengan pertukaran duta
besar antara Tahta Suci dan Negara Israel.
namun ternyata hal ini baru teijadi sekitar
tiga pulah tahun kemudian.33 Fakta ini bisa
saja menimbulkan pertanyaan: mengapa
begitu lama? Penundaan seperti ini tentu
saja menimbulkan kekecewaan di kalangan
banyak orang Yahudi. Bahkan beberapa
mengartikannya sebagai ketidakseriusan
Gereja Katolik untuk “beijabat tangan”
dengan mereka.34
Persoalan Fundamental
Berdirinya Negara Israel tampaknya
menyisakan dua persoalan yang sampai
sekarang tampaknya belum terselesaikan.
Pada tahun 1991, Tahta Suci menegaskan
bahwa tertundanya pengakuan politik atas
Negara Israel, bukan pertama-tama alasan
teologis, namun lebih pada alasan politik,
yaitu yang pertama, konflik yang tak kunjung
selesai berkaitan dengan daerah Tepi Barat
serta penduduknya yang merupakan orang
Palestina dan yang kedua, adalah masa
depan dari status kota lama Yerusalem yang
belum juga jelas.35 Penelitian yang dikeija-
kan oleh Henry P. Bocala untuk disertasi
doktoralnya juga menunjukkan hal yang
sama: relasi diplomatik antara Tahta Suci
dengan Negara Israel paling tidak pada
periode 1948-1997, periode yang diteliti oleh
Bocala, diwarnai kuat oleh dua masalah ini,
yaitu masalah Palestina dan masalah
Yerusalem. namun jelaslah bahwa dalam
kasus ini, masalah politik dan religius tidak
bisa dipisahkan begitu saja. Di satu pihak,
masalah Palestina adalah masalah politik
dengan nuansa religius. Masalah utama
adalah perdebatan masalah tanah yang juga
menjadi hak bangsa Palestina (politik) namun
di antara para pengungsi Palestina juga
banyak terdapat orang Kristen yang
tersingkir dari tempat ibadat mereka.
Sekedar untuk diketahui, Palestina
adalah tanah tumpah darah kekristenan.
Sepanjang sejarah, orang-orang Kristen
Palestina, yang kebanyakan adalah orang
Arab, tetap menjadi bagian dari Palestina,
meskipun jumlah mereka kian menurun
karena berbagai alasan. Hidup mereka tentu
saja tidak mudah. Mitri Raheb menyebut
komunitas Kristen Palestina sebagai “a
community sailing through troubled
waters.”36 Mereka tidak hanya memper-
tahankan keberadaan Kekristenan di
Palestina, namun juga aktif terlibat dalam
kehidupan sosial-kemasyarakatan, terutama
di bidang pendidikan (sekolah) dan politik.37
Di lain pihak, masalah Yerusalem adalah
problem religius (misalnya perlindungan
untuk tempat-tempat suci, jaminan atas
hak-hak dari komunitas religius yang ada di
sana) dengan muatan politik (status yuridis
dari kota Yerusalem) 38 Dua persoalan
fundamental ini secara konsisten mewamai
masa pelayanan Paus Pius XI sampai dengan
Yohanes Paulus II yang merentang dari
tahun 1948-1997.
Pandangan Resmi Gereja Katolik
Dari antara dokumen-dokumen Gereja
yang berkaitan dengan Negara Israel
modern, praktis tidak ada satu pun yang
berbicara tentang pengakuan atas Negara
Israel sebagai negara berdaulat. Mungkin
beberapa tokoh Gereja, bahkan Paus
Yohanes Paulus II, pernah menyampaikan
ungkapan yang bernuansa mendukung
Negara Israel modern.39 Selain Paus, bebe
rapa teolog juga berpendapat yang sama,
termasuk Cardinal Christoph Schonborn
dari Wina. namun pernyataan seperti itu
tidak mengikat bagi orang Katolik dan lebih
merupakan pandangan pribadi dan bukan
ajaran resmi Gereja. Pandangan resmi
Gereja Katolik tentang hal ini tercantum
secara tidak mencolok, misalnya, dalam
sebuah dokumen yang dikeluarkan pada
tahun 1985.
“The existence of the State of Israel and
its political options should be envisaged
not in a perspective which is in itself
religious, but in their reference to the
common principles of international
law.”40
123
Relasi Antara Israel Alkitabiah dan Negara Israel Modem - Perspektif Gereja Katolik (Indra Tanureja)
Pernyataan ini menjadi peringatan
untuk tidak begitu saja mencampurkan
sikap hormat terhadap agama Yahudi
dengan persoalan yang berkaitan dengan ek-
sistensi Negara Israel dengan segala kebi-
jakan politiknya. Sebagai sebuah entitas
politis, Negara Israel harus mendapat
perlakuan yang didasarkan pada kriteda-
kriteria yang berlaku dalam hubungan inter-
nasional.41 Kebijakan politis yang diambil
tidak bisa dibaca dalam kerangka religius.
Dengan demikian, peperangan yang dijalani
oleh Israel; perebutan tanah dan kota
Yerusalem, atau yang lain lagi, tidak bisa dan
tidak boleh dipahami dalam perspektif
religius.
Dengan demikian, rasanya menjadi jelas
bahwa Gereja Katolik tidak menganggap
bahwa kelahiran Negara Israel modern ini
sebagai sebuah pemenuhan dari nubuat
kuno bahwa akhir zaman sudah dekat.
Gagasan seperti ini sebenarnya dilatar-
belakangi oleh sebuah pandangan milenia-
lisme yaitu bahwa Yesus Kristus akan datang
untuk kedua kalinya dan mendirikan
kerajaan seribu tahun dengan Yerusalem
sebagai ibukotanya. Untuk mempercepat
kedatangan Kristus ini, orang Kristen mesti
mendukung pulangnya bangsa Yahudi ke
tanah Israel.42 namun Gereja Katolik jelas
menolak gagasan bahwa Yesus Kristus akan
datang dan memerintah kerajaan selama
seribu tahun.43
Harus diakui bahwa status khas Gereja
Katolik Roma/Tahta Suci membuat relasi
antara Yudaisme/Negara Israel juga sangat
khas. Dimensi politik dan religius saling ter-
jalin sedemikian rupa sehingga praktis
antara keduanya tidak bisa dipisahkan. Da
lam dokumen terakhir yang mengarah pada
pembukaan kedutaan besar di kedua negara,
Fundamental Agreement between The Holy
See and the State of Israel (30 Desember
1993), jelas kelihatan bahwa dimensi politik
dan religius tercampur menjadi satu. Se
bagai contoh, dalam pembukaan dokumen
(kenegaraan) terse-but, tercantum ungka-
pan sebagai berikut:
Aware of the unique nature of the
relationship between the Catholic Church
and the Jewish people, and of the historic
process of reconciliation and growth in
mutual understanding and friendship
between Catholics and Jews... (italic
ditambahkan)
Sementara di bagian isi, tercantum hak
dan kewajiban masing-masing pihak, namun
terutama dari sudut yuridis-politik, dan
bukan pertama-tama sudut religius.
Demikianlah, melalui tulisan ini penulis
mencoba menjawab pertanyaan yang
berkatian dengan relasi kekristenan dengan
Negara Israel Modern, khususnya dari
perspektif Gereja Katolik Roma. Harapan-
nya, orang akan terbantu untuk memahami
dengan lebih baik, dan akhirnya bersikap
lebih baik pula.
Satu catatan akhir rasanya baik untuk
disampaikan di sini. Seperti sudah dikata -
kan, selain ajaran resmi yang disampaikan
oleh Tahta Suci melalui dokumen-dokumen
resmi, masih ada banyak teolog-teolog yang
dengan kompetensi, kejujuran, serta dan
integritas intelektualnya sampai pada
kesimpulan yang lain. Memang gagasan
mereka tidak bisa digolongkan sebagai suara
resmi Gereja. Meskipun gagasan mereka
tetap amat berguna untuk memajuan
pemahaman banyak orang. Yang harus
disadari adalah bahwa dalam kehidupan
sehari-hari tidak mudah memilah-milah
antara ajaran resmi dan gagasan teologis
seorang teolog tertentu. Segala sesuatu
tercampur baur tanpa diketahui lagi yang
mana yang resmi, yang mana yang tidak.
.jpeg)
