sejarah al-quran 7
atau fragmen yang menjadi milik pribadi. saat membahas mushaf
Ibn Mas‘ud dan Abu Musa dalam bab 5, telah dikemukakan bahwa
kedua sahabat Nabi ini termasuk orang yang menolak menyerahkan
mushafnya untuk dimusnahkan.
Pemusnahan mushaf dan fragmen non-utsmani, menurut
sebagian riwayat di atas, dilakukan dengan merobeknya – kharaqa
(;S), atau sinonimnya syaqqa dan mazaqa. namun hal ini barangkali
tidak dapat dibenarkan, sebab sisa-sisa sobekan tentunya masih
bisa disalahgunakan. Kebanyakan otoritas Muslim memberitakan
pemusnahan dilakukan dengan membakarnya – haraqa (;) –
dan, dengan demikian, tidak tertinggal sesuatupun.26 Boleh jadi
bahwa riwayat pertama ini – secara sengaja atau tidak – telah
mengalami penyimpangan dalam proses transmisi tertulisnya,
sebab kata “merobek” dan “membakar” dalam kedua riwayat itu
jelas didasarkan pada kerangka konsonantal yang sama (;), dan
perbedaannya cuma hanya terletak pada ada tidaknya satu titik diakritis
di atas huruf pertama.
Pemusnahan materi-materi al-Quran non-utsmani, dengan
tujuan utama menyebarluaskan edisi kanonik resmi, tidak dicapai
dalam waktu singkat. saat itu, al-Quran – terutama sekali –
dipelihara dalam bentuk hafalan menurut bacaan tertentu. yaitu
pelik membayangkan bagaimana hafalan yang telah mapan di
kepala seseorang kemudian mesti disesuaikan dengan mushaf resmi
yang dikeluarkan Utsman. Dalam kondisi semacam ini, ditambah
keengganan beberapa sahabat Nabi – seperti Ibn Mas‘ud dan Abu
Musa al-Asy‘ari – untuk mengikutinya, kodeks utsmani tentunya
tidak segera mewarga dalam waktu singkat, hingga suatu
generasi baru penghafal al-Quran dalam tradisi teks utsmani
muncul. sesudah itu, kodeks-kodeks pra-utsmani secara bertahap
menghilang dengan sendirinya tanpa perlu dimusnahkan.
Salinan-salinan mushaf utsmani yang diedarkan di beberapa
kota, dalam kenyataannya, tidak sempurna secara absolut.
Kenyataan ini diakui beberapa otoritas Muslim yang awal. beberapa
riwayat melaporkan tentang ditemukannya beberapa kekeliruan
di dalam salinan-salinan mushaf ini . 27 Yang paling populer
darinya yaitu riwayat yang mengungkapkan bahwa Utsman
sendiri, saat memeriksa salah satu eksemplar yang telah selesai
ditulis, menemukan ungkapan-ungkapan keliru dan mengatakan
bahwa kekeliruan itu tidak perlu diubah, sebab orang-orang Arab
– dengan lisãn mereka – bisa membetulkannya.28 Riwayat populer
lainnya mengemukakan bahwa Aisyah menemukan beberapa
kekeliruan penulisan di beberapa tempat: (i) dalam 2:17, “wa-l-
mûfûna … wa-l-shãbirîna” (untuk “wa-l-shãbirûna”); (ii) dalam
4:162, “lãkini-l-rãsikhûna…wa-l-muqîmîna … wa-l-mu’tûna” (untuk
“lãkinna …wa-l-muqîmûna”); dalam 5:69, “inna-lladzîna ãmanû …
wa-l-shãbi’ûna” (untuk “wa-l-shãbi’îna”); dan dalam 20:63, “in
hãdzãni la-sãhirãni” (untuk “hãdzayni”); serta menegaskannya
sebagai kekeliruan yang dilakukan para penulis.29 Riwayat-riwayat
semacam ini secara jelas memberi kesan bahwa teks utsmani tidak
dapat diubah lagi, sekalipun ada kekeliruan di dalamnya.
Apabila kekeliruan semacam itu tidak dapat diubah,
kemungkinan yang tinggal yaitu membacanya secara berbeda dari
tulisannya, seperti ditegaskan Utsman dalam riwayat di atas.
Pandangan semacam ini kemudian berkembang, dan Ashim al-
Jahdari merupakan salah satu penganutnya yang terkemuka.
Perkembangannya bahkan sampai ke sistem pembacaan teks resmi.
Jadi, Abu Amr – salah seorang imam kiraah tujuh – membaca
20:63 dengan hãdzayni. Pemuka ahli hadits, Ibrahim al-Nakha‘i
(w. 96H), menjelaskan perbedaan ini sebagai keunikan (i‘jãz)
ortografi utsmani.30 Namun, beberapa qurrã’ yang belakangan
mengusaha kan jalan keluarnya dengan menyatukan antara tulisan
dengan bacaan, dan memberi penjelasan agar teks yang
dipermasalahkan selaras dengan tuntutan bahasa dan makna.
usaha -usaha ini akan didiskusikan lebih jauh dalam bab 9.
Keberadaan laporan tentang beberapa kekeliruan di dalam teks
utsmani, pada faktanya, sangat tidak menyenangkan bagi kaum
Muslimin. Pada masa silam, diusaha kan untuk menyilidiki
keabsahan laporan-laporan itu dengan jarh (kritik isnãd ), yang
dalam sebagian besar kasus – kecuali riwayat dari Aisyah – berhasil
dinyatakan ahistoris. Sementara sebagian sarjana Muslim secara
sederhana menyatakan keseluruhan laporan ini sebagai tidak
dapat dipercaya. Kemunculan usaha -usaha semacam ini bisa diberi
penanggalan sekitar penghujung abad ke-3H. Pada masa Abu Ubayd
– yakni pada permulaan abad ke-3H – riwayat-riwayat tentang
kekeliruan teks utsmani masih dituturkan secara sederhana,
sebagaimana adanya. namun , pada masa Ibn al-Anbari (w. 327 atau
328H) dan Thabari (w. 310H), selalu muncul usaha keduanya untuk
menyelamatkan tradisi teks utsmani.31
Mengenai nasib mushaf-mushaf yang disebarkan Utsman, tidak
ada pemberitaan yang pasti tentangnya. Dengan pengecualian
mushaf al-imãm – yang paling sering dirujuk – mushaf-mushaf
ini memiliki riwayat yang gelap dan hampir-hampir tidak
memainkan peran berarti dalam kajian-kajian al-Quran. Menurut
Ibn Qutaibah (w. sekitar 276H), mushaf al-imãm – sesudah
terbunuhnya Khalifah Ketiga – berpindah ke tangan puteranya,
Khalid, dan kemudian diwariskan secara turun-temurun. Sementara
Malik ibn Anas (w. 179H) menjelaskan bahwa mushaf ini
telah hilang. Menurut al-Kindi, mushaf ini terbakar dalam
peristiwa pemberontakan Abu al-Saraya pada 200H. namun , Abu
Ubayd mengaku melihat mushaf ini yang masih berbekas
darah Utsman.32
Pada abad pertengahan, pengembara termasyhur Ibn Batutah
(w. 779H) menceriterakan telah melihat salinan atau lembaran
yang dibuat Utsman di Granada, Marakesh, Bashrah, dan kota-
kota lainnya.33 Sementara Ibn Katsir (w. 774H) mengemukakan
pernah melihat kopi al-Quran, sangat mungkin dibuat pada masa
Utsman, yang dipindahkan pada 518H dari Tiberia ke Damaskus.
Dikatakannya bahwa mushaf itu “besar dan lebar dengan tulisan
yang indah, jelas, rapih dan sempurna, di atas kertas kulit yang –
menurut saya – terbuat dari kulit unta”.34 Mushaf ini, menurut
riwayat lain, kemudian dibawa ke Leningrad dan akhirnya ke
Inggris. Sebagian sarjana berpendapat bahwa mushaf ini masih
tetap tersimpan di masjid Damaskus dan musnah saat masjid
itu terbakar pada 1310H.35
Ibn Jubair (w. 614H) menuturkan pernah melihat sebuah
manuskrip di masjid Madinah pada 580H. Beberapa riwayat
menerangkan bahwa naskah ini tetap berada di sana sampai
kekhalifahan Turki Utsmani mengambilnya pada 1334H. saat
perang Dunia Pertama berakhir, mushaf ini dibawa ke Berlin dan
diserahkan kepada mantan Kaisar William II, dan sesuai dengan
pasal 246 dari Perjanjian Versailles – di mana Turki merupakan
pihak yang kalah perang – naskah ini tetap berada di Jerman serta
akan dipelihara oleh negara ini : “Dalam jangka waktu 6 bulan
sejak diberlakukannya perjanjian ini, Jerman akan selalu menjaga
naskah asli al-Quran milik Yang Mulia Raja Hijaz, yang diambil
dari Madinah oleh penguasa Turki, dan pernah dipersembahkan
kepada bekas Kaisar William II.”36 namun , akhirnya mushaf ini
dikembalikan lagi ke Istanbul.
ada sebuah manuskrip al-Quran yang disimpan di masjid
al-Hussain di Kairo. Mushaf ini dinisbatkan kepada Utsman dan
ditulis dengan tulisan kufi kuno. namun , bisa dikemukakan dugaan
bahwa naskah ini merupakan salinan dari Mushaf Utsman.37
Semisal dengannya yaitu manuskrip yang tersimpan di Tashkent.
Mushaf ini dikabarkan sebagai mushaf yang tengah dibaca Utsman
saat terbunuh. Pada masa kekhalifahan Umaiyah, naskah ini
dibawa ke Andalusia dan kemudian ke Fez di Maroko. Dari
Maroko, mushaf ini kemudian dibawa ke Samarkand, dan
tetap berada di sana hingga 1868. Pada 1869, naskah ini dibawa ke
St. Petersburg dan disimpan di kota ini hingga 1917. Pada 1924,
naskah ini akhirnya kembali ke Tashkent dan tetap tersimpan di
sana hingga dewasa ini.38
Berbagai kesimpangsiuran tentang mushaf-mushaf utsmani ini
pada gilirannya mengantarkan beberapa sarjana Muslim pada
keyakinan bahwa naskah-naskah ini telah hilang tanpa bekas.
Manuskrip-manuskrip kuno yang ada dewasa ini cuma hanya dipandang
sebagai salinan sempurna dari mushaf-mushaf utsmani. Pandangan
semacam ini, misalnya, diekspresikan oleh al-Zarqani.39 Sejalan
dengannya, penelitian-penelitian tentang naskah kuno al-Quran
mengungkapkan bahwa manuskrip-manuskrip al-Quran tertua –
baik dalam bentuk lengkap atau cuma hanya sebagian saja – yang ada
dewasa ini yaitu yang berasal dari abad ke-2H.40
Varian-varian Mushaf Utsmani
Sebagaimana telah diungkapkan, mushaf-mushaf yang
diedarkan Utsman ke beberapa kota metropolitan Islam memiliki
beberapa variasi yang keberadaannya dikaitkan dengan kesalahan
yang dilakukan secara tidak sengaja oleh para penyalin al-Quran.
beberapa sarjana Muslim berusaha menjelaskan bahwa riwayat-
riwayat ini memiliki kelemahan yang menegasikan
eksistensinya. namun , kenyataannya yaitu bahwa varian teks al-
Quran kota-kota besar Islam, yang darinya riwayat-riwayat varian
kiraah bersumber, telah memungkinkan untuk membuat
kesimpulan yang aman tentang mushaf awal yang diedarkan
Utsman: setiap teks al-Quran lokal secara jelas telah dipelihara
dengan penuh kesetiaan kepada mushaf awal. Teks tertulisnya tidak
cuma hanya diriwayatkan secara ortografis, namun juga didukung dengan
riwayat-riwayat lisan.
Varian-varian mushaf utsmani ini sampai ke tangan kita melalui
karya Abu Ubayd, Fadlã’il al-Qur’ãn, dan karya Abu Amr al-Dani
(w.1062), al-Muqni‘ fî Ma‘rifat Marsûmi Mashãhif Ahl al-Amshãr.
Daftar varian yang diungkapkan dalam kedua karya ini pada
prinsipnya saling menguatkan, sehingga memperkuat derajat
kepercayaan terhadap kandungannya. Bergstraesser telah
menghimpun varian-varian yang ada dalam kedua karya ini
saat membahas tentang varian mushaf utsmani. Uraian dalam
paragraf-paragraf berikut didasarkan pada himpunan yang dibuat
Bergstraesser.41
Dalam surat 2, ada dua varian yang direkam. Pertama yaitu
yang ada pada permulaan 2:116, di mana mushaf Damaskus
menyalin kata
$ – sebagaimana tertulis dalam mushaf-mushaf
lain – tanpa $ ( yakni
). Kasus kedua ditemukan pada permulaan
2:132, di mana dalam mushaf Madinah, Damaskus, dan imãm
tertulis %A$$ sementara mushaf lainnya menyalin dengan %A$$.
Dalam surat 3, ada dua varian. Yang pertama ada dalam 3:133,
di mana ungkapan L$ – sebagaimana ada dalam mushaf-
mushaf lainnya – disalin dalam mushaf Madinah, Damaskus dan
imãm, tanpa $ ( yakni L ). Varian kedua dalam 3:184, pada
ungkapan 8
$ , yang disalin dalam mushaf Damaskus dengan
8
8$ . Sementara satu varian ditemukan dalam 4:66, tepatnya pada
ungkapan -)
dalam berbagai mushaf. Kata ini direkam dalam
mushaf Damaskus dengan q-)
. Dua varian lagi direkam dalam
surat 5. Pertama yaitu dalam 5:53, di mana ungkapan J $ –
dalam berbagai mushaf – disalin dalam mushaf Madinah dan
Damaskus tanpa $ (yakni J ). Dalam 5:54, ungkapan M –
sebagaimana ada dalam mushaf lainnya – disalin dalam mushaf
Madinah, Damaskus dan imãm sebagai GM.
Dalam surat 6, tiga varian ditemukan. Dalam 6:32, ungkapan
di sebagian besar mushaf, yakni S&M)
$, disalin dalam mushaf
Damaskus dengan S&M
$. Ungkapan dalam 6:63, -27 dalam
berbagai mushaf, disalin dengan -27 (yakni: 727 ) dalam mushaf
Kufah. Sementara ungkapan FrcFG&$
(6:137) dalam berbagai
mushaf, disalin dalam mushaf Damaskus dengan FcFG&$
( Fc sama dengan FIc ). Dalam surat 7, ada empat varian
yang direkam. Dalam 7:3, ungkapan $ dalam berbagai mushaf,
disalin dalam mushaf Damaskus dengan $ . Ungkapan ,$
dalam 7:43, disalin tanpa $ dalam mushaf Damaskus (yakni , ).
Sedangkan kata J
dalam 7:75, disalin dengan menambahkan $
(yakni J
$ ) dalam mushaf Damaskus. Sedangkan dalam 7:141,
ungkapan -27 (yakni -27) dalam berbagai mushaf, disalin
REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN / 241
sebagai -27 (yakni 27 ) dalam mushaf Damaskus. Dua varian
lain ditemukan dalam surat 9. Pertama yaitu ungkapan N@
(9:100) dalam berbagai mushaf, disalin dengan tambahan 4, (yakni
N@4, ) dalam mushaf Makkah. Kedua yaitu ungkapan 4
$
(9:107) dalam mushaf lainnya, disalin tanpa $ (yakni 4
) dalam
mushaf Madinah dan Damaskus. Sementara sebuah varian direkam
dalam 10:22, di mana ungkapan - dalam berbagai mushaf,
disalin dengan * dalam mushaf Damaskus.
ada dua varian dalam surat 18. Varian pertama yaitu
ungkapan N, dalam 18:36, seperti ada dalam berbagai mushaf,
disalin dalam mushaf Madinah, Makkah dan Damaskus sebagai
N,. Varian kedua yaitu ungkapan %, (18:95), dalam berbagai
mushaf, yang disalin sebagai %, dalam mushaf Makkah.
Beberapa varian lain yang ditemukan dalam surat-surat
selanjutnya yaitu ungkapan
$ (21:30) dalam berbagai mushaf,
disalin dengan
dalam mushaf Makkah. Kata ' (23:87,89) dalam
berbagai mushaf, disalin dalam mushaf Bashrah dengan '.
Ungkapan J7$ (25:25), disalin dengan J7$ dalam mushaf Makkah.
Dalam 26:217, ungkapan $ dalam berbagai mushaf, disalin
dengan dalam mushaf Madinah dan Damaskus. Ungkapan
%--
(yakni %-i-
) dalam 27:21, disalin dengan %--
dalam mushaf
Makkah. Ungkapan J
$ (28:37), disalin tanpa $ (yakni J
) dalam
mushaf Makkah. Dalam 36:35, ungkapan () L dalam berbagai
mushaf, disalin sebagai C) L dalam mushaf Kufah. Sementara
ungkapan %7$, dalam 39:64, disalin dalam mushaf Damaskus
sebagai %7$,.
ada dua varian yang direkam dalam surat 40. Varian
pertama yaitu ungkapan N, (40:21) dalam mushaf lainnya, yang
disalin dengan , dalam mushaf Damaskus. Varian kedua yaitu
ungkapan $ (40:26), yang direkam sebagai $ dalam mushaf
Kufah. Dalam 42:30, ungkapan + , disalin dengan 8 dalam
mushaf Madinah dan Damaskus. Ungkapan %N* (43:71) dalam
mushaf-mushaf lainnya, disalin sebagai (-N* dalam mushaf
Madinah, Damaskus dan imãm. Dalam 46:17, ungkapan ,
disalin dengan (yakni 7 ) dalam mushaf Kufah. Ungkapan
N- (47:18) dalam berbagai mushaf, disalin dengan N dalam
mushaf Makkah.
Dalam surat 55, ada dua varian yang direkam. Pertama
242 / TAUFIK ADNAN AMAL
dalam 55:12, di mana ungkapan $ dalam berbagai mushaf, disalin
sebagai dalam mushaf Damaskus. Kedua, ungkapan (55:78),
yang disalin sebagai $ dalam mushaf Damaskus. Dua varian lagi
direkam dalam surat 57. Varian pertama yaitu ungkapan ML$q$
(57:10) dalam berbagai mushaf, disalin sebagai ML$$ dalam mushaf
Damaskus. Varian kedua yaitu ungkapan %_
F' (57:25) dalam
berbagai mushaf, disalin dalam mushaf Madinah dan Damaskus
sebagai %_
' . Varian terakhir yang direkam ada dalam surat
91, tepatnya pada ungkapan &$ (91:15) dalam berbagai mushaf.
Ungkapan ini disalin sebagai q dalam mushaf Madinah dan
Damaskus.
Daftar varian dalam kedua riwayat di atas cuma hanya merupakan
beberapa kecil varian yang berhasil direkam dari keberadaan varian-
varian mushaf utsmani yang awal. Mengamati hubungan antara
varian satu dengan lainnya, terlihat bahwa tulisan mushaf
Damaskus – yang paling banyak mengandung ragam bacaan –
berada dalam satu posisi dengan mushaf Madinah pada titik-titik
di mana mushaf-mushaf lainnya membias. Mushaf Damaskus ini
juga tidak pernah berlawanan dengan mushaf Madinah, saat ia
selaras dengan mushaf-mushaf lainnya. Sementara mushaf Bashrah
tidak pernah bersamaan pada suatu titik membias dari mushaf-
mushaf lain. Sedangkan mushaf Kufah memiliki bacaan di
beberapa tempat yang senada dengan bacaan mushaf Bashrah. Dari
hubungan-hubungan semacam itu, dapat disimpulkan bahwa
mushaf yang paling awal yaitu mushaf Madinah. Dari mushaf
inilah disalin mushaf Damaskus dan Bashrah. Sementara dari
mushaf Bashrahlah disalin mushaf Kufah. Secara skematis, asal-
usul mushaf-mushaf ini dapat dikemukakan sebagai berikut:42
Mushaf Madinah
Mushaf Damaskus Mushaf Bashrah
Mushaf Kufah
Seperti terlihat, mushaf Damaskus paling sering memiliki
bacaan yang menjauh dari mushaf Madinah. Sementara Mushaf
Makkah, yang tidak dimasukkan dalam skema di atas, memiliki
bacaan independen di beberapa tempat, sedangkan di tempat
lainnya mengikuti mushaf Madinah dan Damaskus, atau mushaf
Bashrah dan Kufah. Hal ini menunjukkan eksistensinya sebagai
suatu teks yang bersifat eklektik, dan penulisannya mungkin
dilakukan lebih belakangan dari keempat mushaf lain yang ada
dalam skema.
Varian-varian di atas, dalam kenyataannya, belum mencakup
varian ortografi yang eksis dalam mushaf-mushaf amshãr. Ada dua
kelompok varian ortografi yang bisa dihitung ke dalam ragam
perbedaan mushaf-mushaf itu. Kelompok pertama mencakup
beberapa kecil bagian al-Quran yang cuma hanya bersifat sebagai varian
ortografis, namun dalam beberapa kasus merupakan perbedaan
bacaan. Dalam 10:96, mushaf Damaskus menyalin kata kalimah
( )), sebagaimana ada dalam mushaf-mushaf lainnya, dengan
5 ) (bentuk jamak). Dalam 17:93, kata
, seperti tertulis dalam
mushaf-mushaf lain, disalin dengan J
dalam mushaf Makkah
dan Damaskus. Demikian pula kata
dalam 21: 4, sebagaimana
tertulis dalam mushaf-mushaf lain, disalin dengan J
dalam mushaf
Kufah. Kata J
dalam 23: 112,114, disalin dengan
dalam mushaf
Kufah. Dalam kasus-kasus semacam ini, penulisan
dengan bacaan
J
menunjukkan bahwa perbedaan yang ada cuma hanya bersifat
ortografis. Kasus senada terjadi dalam 43:68. Kata G+L dalam ayat
ini ditemukan dalam mushaf Madinah dan Damaskus, sedangkan
mushaf Bashrah dan Kufah menyalinnya dengan G+L .
Kelompok kedua mencakup bagian-bagian al-Quran yang
mungkin bisa dikelompokkan ke dalam daftar varian mashãhif,
atau paling tidak ke dalam kelompok pertama di atas. Varian yang
eksis dalam kelompok ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Penulisan kata F8 dalam mushaf Irak dan Damaskus untuk surat
2, sedangkan mushaf lainnya yaitu -F8. Surat 4:36, dalam mushaf
Kufah tertulis , mushaf lainnya . Surat 76:16, dalam mashaf
Bashrah tertulis
, dalam Mushaf Madinah dan Kufah tertulis
. Kata C-*
(yakni 5d*
) dalam 55:24, disalin dalam
mushaf Irak dengan C*
(yakni: 5*
). Di samping itu, ada
beberapa varian lainnya yang bersumber dari imam-imam kiraah
atau mushaf sahabat Nabi dan ragam bacaan yang tidak populer.
Contohnya yaitu 2:98, di mana kata J-, (mîkãla, sebagaimana
bacaan Abu Amr dan Hafsh dari Ashim) dibaca oleh Nafi‘ sebagai
--, (mîkã’il, atau mîkã’îl seperti dibaca imam kiraat lainnya);
atau surat 12:7, di mana kata +L menggantikan kata 5 ;43 atau
kata i- dalam 17:40 dibaca – misalnya dalam kiraah Hafsh ‘an
Ashim – sebagai (d-, yang merupakan bacaan tidak terkenal; dan
lainnya. Kesemuanya ini menunjukkan adanya proses infiltrasi
atau pemaksaan masuk bacaan-bacaan non-utsmani ke dalam teks
tertulis.
Karakteristik Mushaf Utsmani
ada beberapa Pandangan yang mengungkapkan bahwa
susunan surat dalam mushaf utsmani bersifat ijtihadi. Al-Suyuthi
mengutip pendapat bahwa Utsman mengumpulkan lembaran-
lembaran (shuhuf) al-Quran ke dalam satu mushaf menurut tertib
suratnya (murattaban li-suwarihi).44 Sementara di tempat lain, ia
mengemukakan suatu riwayat yang menyatakan bahwa Utsman
memerintahkan komisinya untuk menempatkan surat-surat
panjang secara berurutan.45 Lebih jelas lagi yaitu pernyataan al-
Ya‘qubi, “Utsman mengkodifikasikan al-Quran, menyusun (allafa)
dan mengumpulkan surat-surat panjang dengan surat-surat panjang
dan surat-surat pendek dengan surat-surat pendek.” 46
Berbagai gagasan di atas menunjuk kepada prinsip penyusunan
surat al-Quran dalam mushaf utsmani, yaitu: mulai dari surat-
surat panjang ke arah surat-surat yang lebih pendek. Prinsip
semacam ini pada umumnya diikuti sebagian besar sahabat Nabi
dalam aransemen surat mushaf-mushaf mereka – antara lain Ali,
Ibn Mas‘ud dan Ubay.47 Pengecualian untuk jenis aransemen surat
semacam ini yaitu mushaf Ibn Abbas yang tersusun secara
kronologis. cuma hanya di dua tempat dalam mushaf utsmani, prinsip
ini terlihat menyimpang secara radikal dalam aplikasinya.48 Pertama
yaitu surat pendek al-Fãtihah (surat 1) yang ditempatkan paling
awal, di depan surat paling panjang (surat 2). namun penamaannya
paling populer – yakni al-Fãtihah, “pembukaan” – bisa memberi
indikasi tentang penempatannya pada urutan pertama. Kedua
yaitu penempatan surat terpendek (surat 108) bukan pada
penghujung mushaf. Penjelasan tentang penempatan surat ini
yang dikemukakan sejauh ini tidak begitu memuaskan
dibandingkan penempatan surat al-Fãtihah.
Jumlah surat di dalam mushaf utsmani – kesemuanya 114
surat – berada di tengah-tengah antara jumlah surat dalam mushaf
Ubay (116 surat) dan Ibn Mas‘ud (111 atau 112 surat). Surat-surat
ini, dalam sejarah awal Islam, dirujuk dengan nama-nama yang
beragam. Tidak jarang ada dua nama atau lebih untuk satu
surat, dan dalam literatur-literatur Islam yang awal, ada
rujukan-rujukan kepada nama-nama lainnya yang digunakan untuk
suatu waktu, namun belakangan dibuang atau tidak digunakan lagi.
Contohnya, surat 1, selain dirujuk dengan nama al-Fãtihah, dikenal
pula dengan nama fãtihatu-l-kitãb (pembuka kitab) atau umm al-
kitãb/al-qur’ãn (induk kitab/al-Quran), al-kãfîyah atau al-wãfîyah
(“yang mencukupi”), al-asãs (“fondasi”), al-syifã’ atau al-syãfîyah
(“penawar”), al-shalãt (“doa”) dan al-hamd (“puja-puji”).
Tidak ada kesepakatan formal di kalangan sarjana Muslim
mengenai penamaan ke-114 surat ini , sekalipun sekuensi atau
tata urutannya telah ditetapkan secara definitif di dalam mushaf
utsmani.49 Jadi, merupakan suatu hal yang pasti bahwa nama-nama
yang diberikan kepada surat-surat itu bukanlah bagian dari al-
Quran. Tidak jelas kapan munculnya nama-nama surat yang
beragam itu. Namun, dapat dikemukakan dugaan bahwa segera
sesudah adanya kodifikasi al-Quran, timbul kebutuhan untuk
pemberian nama-nama surat guna memudahkan perujukannya,
dan sekitar pertengahan abad ke-8 dapat dipastikan bahwa nama-
nama surat yang beragam itu telah mewarga . Fragmen papirus
al-Quran yang berasal dari pertengahan abad ke-8 – diedit oleh
Nabia Abbott – merupakan salah satu bukti tertulisnya.50
Berbagai penamaan surat yang populer di kalangan kaum
Muslimin ini telah dikumpulkan oleh Rudi Paret – sekalipun tidak
bersifat menyeluruh – di dalam Konkordanz al-Qurannya.51 Daftar
yang dihimpun Paret ini, dengan tambahan jumlah ayat dalam
setiap surat menurut versi al-Quran standar Mesir, dapat dikemukan
sebagai berikut:
Nama-nama Surat al-Quran
No. Surat Nama-nama Surat Jml. Ayat
1 al-Fãtihah, Fãtihatu-l-kitãb, Umm al-kitãb 7
2 al-Baqarah 286
3 Ãli ‘Imrãn 200
4 al-Nisã’ 176
5 al-Mã’idah, al-‘Uqûd 120
6 al-An‘ãm 165
7 al-A‘rãf, Alif-Lãm-Mîm-Shãd 206
8 al-Anfãl 75
9 al-Tawbah, Barã’ah 129
10 Yûnus 109
11 Hûd 123
12 Yûsuf 111
13 al-Ra‘d 43
14 Ibrãhîm 52
15 al-Hijr, Ashhãb al-hijr 99
16 al-Nahl, al-Ni‘am 128
17 al-Isrã’, Banî Isrã’îl, Subhãna 111
18 al-Kahfi, Ashhãb al-kahfi 110
19 Maryam, Kãf-Hã-Yã-‘Ain-Shãd 98
20 Thã-hã, al-Kalîm 135
21 al-Anbiyã’, Iqtaraba, Iqtaraba li-l-nãs hisãbuhum 112
22 al-Hajj 78
23 al-Mu’minûn, Qad aflaha-l-mu’minûn 118
24 al-Nûr 64
25 al-Furqãn, Tabãraqa-lladzî al-furqãn, Tabãraka al-furqãn 77
26 al-Syu‘arã’, Thã-Sîn al-syu‘arã’ 227
27 al-Naml, Thã-Sîn al-Naml, Sulaymãn, Thã-Sîn Sulaymãn 93
28 al-Qashash, Thã-Sîn-Mîm al-qashash 88
29 al-’Ankabût 69
30 al-Rûm, Alif-Lãm-Mîm gulibati-l-rûm 60
31 Luqmãn 34
32 al-Sajdah, Alif-Lãm-Mîm al-sajdah, Alif-Lãm-Mîm
tanzîl, Tanzil al-sajdah, al-Madlãji‘ 30
33 al-Ahzãb 73
34 Saba’ 54
35 Fãthir, Alhamdu li-llãhi fãthir, al-malã’ikah 45
36 Yã-Sîn, Yã-Sîn wa-l-qur’ãn 83
37 al-Shãffãt 182
38 Shãd, Shãd wa-l-qur’ãn 88
39 al-Zumar, Tanzîl al-zumar, al-Guraf 75
40 Gãfir, al-Mu’minûn, Hã-Mîm al-mu’minûn, al-Thaul 85
41 Fushshilat, al-Sajdah, al-Mashãbih 54
42 al-Syûrã, Hã-Mîm al-syûrã, Hã-Mîm-‘Ain-Sîn-Qãf 53
43 al-Zukhruf, Hã-Mîm al-zukhruf 89
44 al-Dukhãn, Hã-Mîm al-dukhãn 59
45 al-Jãtsiyah, Hã-Mîm al-jãtsiyah, al-Syarî‘ah,
Hã-Mîm al-syarî‘ah, al-Dahr, Hã-Mîm tanzîl 37
46 al-Ahqãf, Hã-Mîm al-ahqãf 35
47 Muhammad, al-Qitãl, Alladzîna kafarû 38
48 al-Fath, Innã fatahnã laka, Inna fatahnã 29
49 al-Hujurãt 18
50 Qãf, Qãf wa-l-qur’ãn, al-Majîd, al-Bãsiqãt 45
51 al-Dzãriyãt, Wa-l-Dzãriyãt 60
52 al-Thûr, Wa-l-thûr 49
53 al-Najm, Wa-l-najm 62
REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN / 247
54 al-Qamar, Iqtarabati-l-sã‘ah wa-l-syaqqati-l-qamar,
Iqtarabati-l-sã‘ah, Iqtarabat 55
55 al-Rahmãn 78
56 al-Wãqi‘ah, Idzã waqa‘ati-l-wãqi‘ah, Idzã waqa‘at 96
57 al-Hadîd 29
58 al-Mujãdalah, al-Zhihãr 22
59 al-Hasyr 24
60 al-Mumtahanah, al-Mumtahinah, al-Imtihãn, al-Mar‘ah 13
61 al-Shaff, al-Hawãrîyîn, al-Hawãrîyûn 14
62 al-Jumu‘ah 11
63 al-Munãfiqûn, Idzã jà’aka-l-munãfiqûn 11
64 al-Tagãbun 18
65 al-Thalãq, Yã ayyhã-l-nabîyu idzã thalaqtum al-nisã’,
Sûrat al-nisã’ al-qushrã 12
66 al-Tahrîm, al-Nabî, Yã ayyuhã-l-nabîyu
limã tuharrimu, Limã tuharrimu 12
67 al-Mulk, Tabãraka-lladzî biyadihi al-mulk, Tabãraka 30
68 al-Qalam, Nûn wa-l-qalam, Nûn 52
69 al-Hãqqah 52
70 al-Ma‘ãrij, Dzi-l-ma‘ãrij, sa’ala sã’il, al-Wãqi‘ 44
71 Nûh, Innã arsalnã nûhan, Inna arsalnã 28
72 al-Jinn, Qul ûhiya ilaiya, Qul ûhiya 28
73 al-Muzzammil, Yã ayyuhã-l-muzzammil 20
74 al-Muddatstsir, Yã ayyuhã-l-muddatstsir 56
75 al-Qiyãmah, La uqsimu bi-yawmi-l-qiyãmah 40
76 al-Insãn, Hal atã ‘ala-l-insãn, Hal atã 31
77 al-Mursalãt, Wa-l-mursalãti‘urfan, Wa-l-mursalãt 50
78 al-Naba’, ‘Amma yatasã’alûna, ‘Amma, al-Tasã’ul, al-Mu‘shirãt 40
79 al-Nãzi‘ãt, Wa-l-nãzi‘ãt 46
80 ‘Abasa, ‘Abasa wa tawallã 40
81 al-Takwîr, Idzã-l-syamsu kûwwirat, Idzã-l-syams, Kûwwirat 29
82 al-Infithãr, Idzã-l-syamsu-nfatharat, Infatharãt 19
83 al-Muttaffifîn, Waylun lil-muthaffifîn 36
84 al-Insyiqãq, Idzã-l-syamsu-nsyaqqat, Insyaqqat 25
85 al-Burûj, Wa-l-samã’i dzãti-l-burûj, al-Samã’ dzãt al-burûj 22
86 al-Thãriq, Wa-l-samã’i wa-l-thãriq 17
87 al-A‘lã, Sabbih-isma rabbika-l-a‘lã,
Sabbih-isma rabbika, Sabbih 19
88 al-Gãsyiyah, Hal atãka hadîtsu-l-gãsyiyah, Hal atãka 26
89 al-Fajr, Wa-l-fajr 30
90 al-Balad, Lã uqsimu bi-hãdza-l-balad, Lã uqsimu 20
91 al-Syams, Wa-l-syamsi wa-dluhãhã, Wa-l-syams,
al-Syamsu wa-dluhãhã 15
92 al-Layl, Wa-l-layli idzã yagsyã, Wa-l-layl 21
93 al-Dluhã, Wa-l-dluhã 11
94 al-Syarh, Alam nasyrah laka shadraka,
Alam nasyrah laka, Alam nasyrah 8
95 al-Tîn, Wa-l-tîni wa-l-zaytûn, Wa-l-tîn 8
96 al-‘Alaq, Iqra’ bi-smi rabbika, Iqra’ bi-smi 19
97 al-Qadr, Innã anzalnãhu 5
98 al-Bayyinah, Lam yakuni-lladzîna min ahli-l-kitãb 8
99 al-Zalzalah, Idzã zulzilati-l-ardlu zilzãlahã, Idzã zulzilat 8
100 al-‘Ãdiyat, Wa-l-‘ãdiyati shubhan, Wa-l-‘ãdiyat 11
101 al-Qãri‘ah 11
102 al-Takãtsur, Alhãkum al-takãtsur, Alhãkum 8
103 al-‘Ashr, Wa-l-‘ashr 3
104 al-Humazah, Waylun li-kulli humazah, Humazah 9
105 al-Fîl, Alam tara kayfa fa‘ala rabbuka bi ashhãb al-fîl,
Alam tara, Alam 5
248 / TAUFIK ADNAN AMAL
106 Quraisy, Li-îlãfi quraisy, Li-îlãf 4
107 al-Mã‘ûn, Ara’ayta-lladzî, Ara’ayta, al-Dîn 7
108 al-Kawtsar, Innã a‘thaynãka al-kautsar, Innã a‘taynãka 3
109 al-Kãfirûn, Qul yã ayyuhã-l-kãfirûn, al-‘Ibãdah 6
110 al-Nashr, Idzã jã’a nashru-llãh wa-l-fath, Idzã jã’a nashru-llãh,
Idzã jã’a, Nashru-llãh, al-Taudi‘ 3
111 al-Masad, Tabbat yadã abî lahabin wa-tabba,
Tabbat yadã abî lahab, Tabbat, Abî lahab 5
112 al-Ikhlãsh, Qul huwa-llãhu ahad 4
113 al-Falaq, A‘ûdzu bi-rabbi-l-falaq 5
114 al-Nãs, A‘ûdzu bi-rabbi-l-nãs 6
Penelitian sepintas terhadap nama-nama surat di atas
menunjukkan non-eksistensinya kaidah yang baku tentang
penamaan surat. Terkadang surat-surat dirujuk secara mekanis
menurut ungkapan yang ada dibagian awalnya, seperti penyebutan
surat 78 sebagai ‘amma yatasã’alûn atau sekedar ‘amma. Di lain
kesempatan, penamaan diambil dari kata pengenal atau kata kunci
yang muncul pada permulaan surat – misalnya surat 30: al-Rûm
dan surat 35: Fãthir – atau di pertengahan surat – misalnya surat 2:
al-Baqarah (ayat 67-73) dan surat 16: an-Nahl (ayat 68-69) – atau di
penghujung surat – misalnya surat 26: al-Syu‘arã’ (ayat 224-226).
Terkadang nama-nama surat diambil dari nama-diri yang muncul
di dalamnya, seperti surat 10: Yûnus, 12: Yûsuf, dan 71: Nûh.
Perujukan nama surat berdasar kandungannya juga terkadang
muncul, misalnya surat 1: al-Fãtihah, surat 21: al-Anbiyã’, dan surat
112: al-Ikhlãsh. Di dalam karya monumentalnya, al-Itqãn, al-Suyuthi
secara khusus mengungkapkan berbagai ragam penamaan surat-
surat dalam suatu bab, yakni naw‘ 17, “Pengetahuan tentang Nama-
nama al-Quran dan Nama-nama Suratnya.”52
Ke-114 surat di atas pada masa yang awal diklasifikasikan ke
dalam empat kategori utama: (i) al-thiwãl, tujuh surat terpanjang,
mulai surat 2 sampai surat 9; (ii) al-mi’ûn, surat-surat yang terdiri
dari seratus ayat atau lebih, mulai dari surat 10 sampai surat 35;
(iii) al-matsãnî, surat-surat yang kurang dari seratus ayat, mulai
surat 36 sampai surat 49; dan (iv) al-mufashshal, surat-surat pendek,
mulai dari surat 50 sampai surat 114.53 Pada tahap berikutnya al-
Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi (w.95H) memperkenalkan ke dalam
tradisi teks utsmani pembagian al-Quran ke dalam dua bagian,
tiga bagian, empat bagian dan tujuh bagian,54 yang tampaknya
diselaraskan dengan usaha pembacaannya dalam dua hari hingga
satu minggu. Pada perkembangan selanjutnya – juga untuk tujuan
pembacaan – kaum Muslimin membaginya ke dalam 30 bagian
atau juz’ (pl. ajzã’) yang hampir sama. Pembagian ini berkaitan
dengan jumlah hari di bulan Ramadlan, di mana tiap juz al-Quran
dibaca setiap harinya. Pembagian yang 30 juz’ ini biasanya diberi
tanda di pinggiran salinan kitab suci ini .
Bagian yang lebih kecil lagi yaitu hizb yang membagi juz
menjadi dua – jadi dalam setiap juz ada dua hizb. Bagian yang
lebih kecil dari hizb yaitu perempatan hizb (rub‘ al-hizb), yang
juga sering diberi tanda di pinggiran salinan al-Quran. Pembagian
lainnya yaitu ruku‘, beberapa 554 untuk keseluruhan al-Quran.
namun panjang-pendeknya ruku‘ tidak seragam: surat panjang
biasanya terdiri dari beberapa ruku‘, dan surat pendek berisi satu
ruku‘. Keseluruhan pembagian al-Quran ini, yang diberi tanda
tertentu di pinggiran teks kitab suci, bukanlah bagian orisinal
wahyu. Bahkan tanda-tanda yang menunjukkan kepada bilangan
ayat dan tanda waqaf (waqf, ?
$ ) – secara harfiah “berhenti”, tanda
boleh tidaknya menghentikan bacaan pada akhir kalimat atau ayat
– dituliskan di dalam teks.55
Ke-114 surat – kecuali surat 9 – dalam salinan-salinan al-Quran
biasanya diawali dengan formula bismillãh al-rahmãn al-rahîm,
“Dengan nama Tuhan, yang pengasih, yang penyayang,” lazimnya
diringkas dengan istilah tasmiyah atau basmalah. Sekalipun tidak
ada riwayat yang menyebutkan bahwa formula ini telah
diperkenalkan oleh Utsman dalam mushafnya, eksistensinya dalam
kodeks-kodeks pra-utsmani ditunjukkan beberapa riwayat.56 Pada
permulaan Islam, para qurrã’ dari Makkah dan Kufah menghitung
basmalah sebagai ayat tersendiri, sementara para qurrã’ dari
Bashrah, Madinah dan Siria cuma hanya memandangnya sebagai marka
pemisah (fawãshil ) antara surat-surat.57 namun , merupakan suatu
kenyataan bahwa formula ini telah dikenal oleh Nabi, bahkan
diajarkan al-Quran. Dalam 27:30 disebutkan bahwa Sulaiman
mengirim sepucuk surat kepada Ratu Bilqis, di mana ungkapan
bismillãh al-rahmãn al-rahîm mengawali suratnya. Senada dengan
ini, surat-surat yang dikirimkan Nabi Muhammad ke berbagai
penguasa dunia di masanya diawali dengan tasmiyah.58 Dalam
96:1 – yang dipandang sebagai wahyu pertama – Nabi diperintahkan
untuk membaca dengan nama Tuhannya. Perbedaan penetapan
basmalah sebagai bagian al-Quran atau bukan, telah membawa
implikasi lebih jauh dalam praktek shalat. Yang menghitung
basmalah sebagai bagian al-Quran akan menyaringkan bacaan for-
mula ini di dalam shalat. Sementara yang tidak menghitung-
nya sebagai bagian kitab suci itu akan memelankan pembacaannya
atau bahkan menghilangkannya di dalam shalat.59
Setiap pembacaan al-Quran lazimnya diawali dengan ungkapan
isti‘ãdzah atau ta‘ãwudz, sebuah formula untuk memohon
perlindungan kepada Tuhan dari godaan setan – formula yang
lazim yaitu : a‘ûdzu bi-llãhi min al-syaythãn al-rajîm, “Aku
berlindung kepada Allah dari setan yang dirajam.” Formula
isti‘ãdzah ini jarang ditulis di dalam mushaf-mushaf tercetak. namun ,
al-Quran terlihat menganjurkan pembacaannya: “Bila kamu
membaca al-Quran, berlindunglah kepada Allah dari setan yang
dirajam”(16:98). sesudah itu, barulah formula basmalah – yang
menurut sebagian sarjana merupakan bagian al-Quran dan
lazimnya disalin di dalam mushaf-mushaf – dibacakan.
sesudah formula basmalah, pada permulaan dua puluh sembilan
surat di dalam al-Quran ada suatu atau sekelompok huruf
hijaiyah yang biasanya dibaca sebagai huruf-huruf terpisah atau
berdiri sendiri. beberapa nama lazimnya digunakan para sarjana
Muslim untuk merujuk huruf-huruf ini , seperti fawãtih al-
suwar (“pembuka-pembuka surat”), awã’il al-suwar (“permulaan-
permulaan surat”), al-hurûf al-muqaththa‘ah/‘ãt (“huruf-huruf
potong/terpisah”), dan lain-lain. Sementara sebutan yang lazim
digunakan sarjana Barat saat merujuk huruf-huruf ini yaitu
“huruf-huruf misterius.”60 Huruf-huruf ini , jika dihitung
secara tidak berulang, yaitu :
-
pada permulaan surat 2; 3; 29; 30; 3l; dan 32.
-
pada permulaan surat l0; ll; l2; l4 dan l5.
- P
pada permulaan surat 7.
-
pada permulaan surat l3.
- PW-N pada permulaan surat l9.
- (= pada permulaan surat 20.
- = pada permulaan surat 26 dan 28.
- >= pada permulaan surat 27.
- > pada permulaan surat 36.
- s pada permulaan surat 38.
REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN / 251
- pada permulaan surat 40; 41; 43; 44; 45 dan 46.
- XW pada permulaan surat 42.
- ; pada permulaan surat 50.
- pada permulaan surat 68.
Kaum Muslimin telah berusaha sepanjang sejarah Islam untuk
menyelami rahasia makna huruf-huruf misterius ini , dan
penafsiran yang berkembang di kalangan sarjana Muslim awal
tentangnya, dapat dikemukakan secara ringkas ke dalam tiga sudut
pandang utama:61
(i) Penafsiran yang memandang huruf-huruf ini masuk
ke dalam kategori ayat ayat mutasyâbihât yang maknanya
cuma hanya diketahui Allah;
(ii) Penafsiran yang memandang huruf-huruf itu sebagai
singkatan-singkatan untuk kata-kata atau kalimat-kalimat
tertentu;
(iii) Penafsiran yang memandang huruf-huruf itu bukan
merupakan singkatan. namun , sebagaimana akan
dijelaskan di bawah, kelompok pandangan ini juga
mengajukan beberapa kemungkinan tentang penafsiran
maknanya.
Pandangan kelompok pertama tidak memberikan solusi yang
jelas – bahkan sama sekali tidak mengajukan solusi apapun –
mengenai makna fawãtih al-suwar. sebab itu, bahasan lebih jauh
tentangnya tidak begitu relevan diungkapkan di sini. Kelompok
kedua, yang memandang “huruf-huruf potong” sebagai singkatan-
singkatan untuk kata atau kalimat tertentu, mengajukan solusi
yang sangat bervariasi tentang kepanjangan huruf-huruf ini .
Berbagai penafsiran tentangnya yang berkembang di dalam
kelompok ini dapat diringkas sebagai berikut:
-
: al-rahmãn; anã-llãh a‘lam; atau allãh lathîf majîd.
-
: al-rahmãn; atau anã-llãh arã.
- P
: allãh al-rahmãn al-shamad; al-mushawwir; anã-llãh
afdlal; anã-llãh al-shãdiq; atau alam nasyrah laka
shadrak.
252 / TAUFIK ADNAN AMAL
-
: anã-llãh a‘lam wa arã.62
- PW-N : kãfin hãdin amîn ‘azîz shãdiq; karîm hãdin hakîm
‘alîm shãdiq; al-malik allãh al-‘azîz al-mushawwir;
al-kãfî al-hãdî al-‘ãlim al-shãdiq; kãfin hãdin amîn
‘ãlim shãdiq; atau anã al-kabîr al-hãdî ‘aliyyun amîn
shãdiq.
- (= : dzû al-thawl.
- = : dzû al-thawl al-quddûs al-rahmãn.
- >= : dzû al-thawl al-quddûs.
- > : yã sayyid al-mursalîn.
- s : shadaqa-llãh; uqsimu bi-l-shamad al-shãni‘ al-shãdiq;
shãdi yã muhammad ‘amalaka bi-l-qur’ãn; atau
shãdi muhammad qulûb al-‘ibãd.
- : al-rahmãn al-rahîm.
- XW : al-rahmãn al-‘alîm al-quddûs al-qãhir.
- ; : qãdir; qãhir; qudlî al-amr; atau uqsimu bi-quwwatin
qalb muhammad.
- : al-rahmãn; nûr; nãshir; atau al-hût.
Pandangan tentang huruf-huruf misterius sebagai singkatan
kata atau kalimat tertentu, seperti terlihat di atas, sebagian besarnya
bersumber dari Ibn Abbas, salah seorang sepupu Nabi, yang
dianggap kaum Muslimin sebagai otoritas terbesar dalam tafsir al-
Quran. Sekalipun demikian, pemaknaan huruf-huruf misterius
ini telah bergerak ke dalam wilayah kemungkinan yang tidak
terbatas. Seseorang bisa saja mengartikan huruf-huruf itu selaras
dengan gagasan yang dikehendakinya, baik dengan pijakan artifisial
ataupun tanpa pijakan yang masuk akal. Satu-satunya pemaknaan
yang agak logis yaitu pemaknaan huruf nûn di awal surat 68
sebagai al-hût, “ikan.” Kata nûn yang dialihkan ke dalam bahasa
Arab dari bahasa Semit-Utara memang bermakna “ikan,” dan dalam
ayat 48 surat yang sama, Nabi Yunus yang dirujuk sebagai shãhib
al-hût juga bernama dzû-l-nûn.63
Dalam kelompok ketiga, ada suatu kesepakatan bahwa
“huruf-huruf potong” yang ada pada permulaan beberapa surat
al-Quran itu bukanlah singkatan-singkatan untuk kata atau kalimat
tertentu. namun sehubungan dengan makna huruf-huruf ini ,
kelompok ini juga mengajukan kemungkinan-kemungkinan
penafsiran yang sangat bervariasi. Pandangan-pandangan yang
berkembang di dalam kelompok ketiga ini dapat dikemukakan
sebagai berikut:
(i) Huruf-huruf itu merupakan huruf-huruf misterius yang
secara tidak jelas merujuk kepada nama-nama nabi,
misal-nya (= , dan > (baca: thãhã, hãmîm, yãsîn);64
nama surat-surat tertentu di dalam al-Quran, misalnya
surat yãsîn; nama-nama gunung, misalnya XW dan ; ;
nama laut, misalnya s , “laut yang di atasnya berdiri
Arsy Tuhan” atau “laut yang di dalamnya orang-orang
mati menjadi hidup;” dan terakhir, merujuk kepada al-
lawh al-mahfûzh atau “tinta,” sebagaimana bisa
ditetapkan berdasar konteks dimana huruf muncul.
(ii) Huruf-huruf ini merupakan tanda-tanda mistik
dengan makna simbolik atau apokaliptik yang didasarkan
pada nilai-nilai numerik alfabet Semitik-Utara, misalnya:
: l + 30 + 40 = 71;
P
: 1 + 30 + 40 + 60 = 131;
: 1 + 30 + 200 = 231;
: 1 + 30 + 40 + 200 = 27l; dll.
Angka-angka ini, menurut sebagian mufassir, menunjuk-
kan usia umat Nabi Muhammad.
(iii) Huruf-huruf itu merupakan media untuk membangkit-
kan perhatian Nabi kepada wahyu Ilahi yang akan
disampaikan Jibril, atau untuk memesonakan para
pendengar Nabi sehingga lebih menaruh perhatian
kepada risalah Tuhan yang disampaikannya.
(iv) Huruf-huruf ini yaitu semata-mata huruf Arab,
yang menunjukkan bahwa wahyu Ilahi diturunkan dalam
bahasa yang diakrabi warga Nabi, yaitu bahasa Arab.
Keempatbelas huruf potong itu – yakni bila huruf-huruf
yang ada di permulaan dua puluh sembilan surat itu
dihitung secara tidak berulang – terpilih secara seksama
dan mewakili separuh alfabet Arab, yang dari segi
artikulasinya mencakup keseluruhan sistem alfabet.
(v) Huruf-huruf itu merupakan marka-marka pemisah
(fawâshil) antara satu surat dengan surat lainnya.
Sebagaimana dengan pandangan kelompok kedua, gagasan-
gagasan tentang makna huruf-huruf misterius yang diajukan
kelompok terakhir ini juga telah masuk ke dalam wilayah spekulasi
yang tidak terbatas. namun masalah kunci yang tidak pernah
disentuh kedua kelompok ini, demikian pula kelompok pertama,
yaitu mengapa cuma hanya dua puluh sembilan permulaan surat al-
Quran yang memiliki “huruf-huruf potong,” sementara 85 surat
lainnya tidak?
Sekalipun demikian, ketiga sudut pandang sarjana Muslim
dari masa yang awal di atas telah meletakkan preseden yang cukup
solid untuk spekulasi tafsir sarjana-sarjana Muslim belakangan
tentang makna fawâtih al-suwar. Penafsiran-penafsiran yang muncul
belakangan mengenai masalah ini dapat dikatakan belum keluar
dari gagasan-gagasan klasik ini , sekalipun beberapa diantaranya
merupakan improvisasi atau varian darinya. Al-Suyuthi, sesudah
mendiskusikan berbagai pandangan tentang makna fawâtih,
menyimpulkan bahwa fawâtih yaitu huruf-huruf atau simbol-
simbol misterius yang makna hakikinya cuma hanya diketahui oleh
Tuhan.65 Jadi, al-Suyuthi pada prinsipnya mengikuti sudut pandang
kelompok pertama; dan pendapat semacam ini masih tetap
dipegang beberapa mufassir modern. Demikian pula, gagasan
tentang huruf-huruf itu sebagai singkatan untuk kata dan kalimat
tertentu hingga kini tetap populer di kalangan mufassir Muslim.66
Dalam kaitannya dengan gagasan kelompok ketiga, beberapa
sarjana Muslim modern telah mengemukakan varian-varian baru
tentangnya. Hashim Amir Ali, misalnya, menegaskan bahwa
seluruh kelompok huruf misterius itu, bukan cuma hanya beberapa
diantaranya, merupakan seruan-seruan yang ditujukan kepada
Nabi.67 Jadi, gagasan ini pada dasarnya merupakan reiterasi dari
gagasan klasik tentang huruf-huruf ini sebagai media
pembangkit perhatian. Demikian pula, Ali Nashuh al-Thahir
mengelaborasi kembali gagasan klasik tentang fawâtih al-suwar
sebagai simbol-simbol numerik. Menurutnya, nilai-nilai numerik
dari huruf-huruf ini mencerminkan jumlah ayat dalam surat-
surat atau kelompok-kelompok surat dalam bentuk orisinalnya,
yang dalam kebanyakan kasus berasal dari periode Makkah.
Contohnya, surat 7 yang diawali dengan huruf-huruf a-l-m-sh ( l
+ 30 + 40 + 90 = 161 ), menurut al-Thahir, pada mulanya cuma hanya
terdiri dari 161 ayat pertama. namun , dalam kasus-kasus lainnya ia
mesti menggabungkan berbagai kelompok surat untuk memperoleh
jumlah ayat yang dibutuhkan bagi suatu surat. Jadi, dengan
menambahkan 111 ayat yang ada dalam surat 12 kepada “120
ayat Makkiyah” dari surat 11, ia memperoleh jumlah 231 ayat,
yang disimpulkannya sebagai nilai huruf-huruf a-l-r ( 1 + 30 + 200
= 231 ) pada permulaan kedua surat ini .68 Sayangnya surat-
surat lain yang diawali dengan huruf-huruf senada – yakni a-l-r
pada permulaan surat-surat 10; 14; dan 15 – tidak disinggungnya,
yang tentu saja akan menghasilkan kesimpulan berbeda.
Berbagai gagasan tafsir – baik gagasan dasar yang diletakkan
para mufassir klasik ataupun varian-varian dan improvisasi-
improvisasinya yang dikemukakan sarjana Muslim belakangan –
mengenai makna huruf-huruf misterius jelas terlihat sangat
spekulatif, dan terkadang bahkan agak bersifat arbitrer. namun ,
gagasan-gagasan ini sama sekali tidak keluar dari konsepsi
dasar bahwa huruf-huruf ini merupakan bagian dari wahyu
Ilahi atau al-Quran yang diterima Muhammad. Konsepsi tentang
huruf-huruf misterius sebagai bagian al-Quran yang diwahyukan
Tuhan ini mulai bergeser saat para sarjana Barat berusaha
mengungkap tabir misteri huruf-huruf ini . Beberapa di
antaranya, dengan mengembangkan gagasan klasik Islam –
sebagaimana akan ditelusuri dalam bab 7 – melangkah ke arah
yang berlawanan: Keabsahan fawâtih sebagai bagian dari risalah
Ilahi yang diterima Muhammad mulai dipertanyakan lewat
interpretasi mereka tentangnya.
sesudah ungkapan tasmiyah dan huruf-huruf misterius pada
permulaan 29 surat di atas, surat-surat al-Quran terbagi ke dalam
ayat-ayat yang panjangnya sangat bervariasi, namun tidak ditetapkan
secara arbitrer. Terjadi perbedaan pendapat di kalangan sarjana
Muslim dalam menetapkan panjang pendeknya suatu ayat. Orang-
orang Madinah yang awal menghitung beberapa 6000 ayat di dalam
al-Quran, sedangkan orang-orang Madinah yang belakangan
menghitung 6124 ayat; orang-orang Makkah menghitung beberapa
6219 ayat; orang-orang Kufah beberapa 6263 ayat; orang-orang
Bashrah beberapa 6204 ayat; dan orang-orang Siria (Syam) beberapa
6225 ayat.69 Sementara suatu riwayat dalam Fihrist menyebutkan
ada 6226 ayat di dalam al-Quran.70 Tradisi Islam sangat sadar
akan sistem-sistem perhitungan ayat al-Quran yang bersifat regional
atau lokal. Anton Spitaler, dalam surveinya tentang hal ini, bahkan
membedakannya ke dalam 21 sistem penghitungan ayat.71 namun
dalam mushaf utsmani edisi standar Mesir, yang menjadi panutan
sebagian besar dunia Islam dewasa ini, ayat al-Quran seluruhnya
dihitung 6236 ayat. Berbagai perbedaan dalam penghitungan ayat
ini tentunya tidak mengimplikasikan perbedaan kandungan al-
Quran untuk setiap sistem penghitungannya, sebab yang menjadi
rujukan dalam berbagai sistem ini yaitu textus receptus
utsmani.
Perbedaan penghitungan ayat – selain disebab kan perbedaan
dalam penetapan basmalah sebagai ayat atau bukan dan fawãtih
sebagai ayat/ayat-ayat terpisah atau tersendiri, sebagaimana telah
dikemukakan di atas – pada hakikatnya disebabkan oleh perbedaan
dalam menentukan apakah rima telah menandakan berakhirnya
suatu ayat atau masih berlanjut – dalam istilah tradisionalnya:
perbedaan dalam penetapan ra’sul ãyah (kepala ayat) dan fãshilah.
Hal ini terjadi akibat adanya kenyataan bahwa rima atau purwakanti
di dalam al-Quran sebagian besarnya dihasilkan lewat penggunaan
bentuk-bentuk atau akhiran-akhiran gramatikal yang sama.
Dalam beberapa surat, yang pada umumnya merupakan surat-
surat panjang, ayatnya panjang-panjang dan menggugah; sementara
dalam surat-surat pendek, ayatnya pendek-pendek, namun padat dan
mengena. Memang ada pengecualian terhadap generalisasi
semacam ini – misalnya surat 26 yang terhitung panjang, memiliki
200 ayat pendek, sementara surat 98 yang terhitung pendek, berisi
8 ayat panjang – namun secara keseluruhan itulah gambaran umum
ayat-ayat al-Quran.
BAB 7
Otentisitas dan Integritas Mushaf Utsmani
Hadits dan Integritas Mushaf Utsmani
Mushaf utsmani, secara doktrinal, dipandang telah mencakup
keseluruhan wahyu Ilahi yang diterima Muhammad yang
semestinya dimasukkan ke dalam kompilasi ini . namun ,
beberapa riwayat yang sampai ke tangan kita dewasa ini juga
memberitakan eksistensi beberapa wahyu lainnya yang tidak terekam
secara tertulis di dalamnya. Material-material ekstra-quranik ini
sebagian besarnya dikemukakan dalam bahasan panjang lebar para
ulama tentang nãsikh-mansûkh. Sebagian lagi direkam dalam
kumpulan hadits qudsi, yang sejak awal Islam telah dipandang
sebagai bukan bagian al-Quran, sekalipun sama-sama bersumber
dari Tuhan.
Secara garis besarnya, ada tiga kategori utama dalam
berbagai bahasan tentang nãsikh-mansûkh:
(i) wahyu yang terhapus baik hukum maupun bacaannya di
dalam mushaf (naskh al-hukm wa al-tilãwah);
(ii) wahyu yang cuma hanya terhapus hukumnya, sementara teks atau
bacaannya masih ada di dalam mushaf (naskh al-hukm
dûna al-tilãwah); dan
(iii) wahyu yang terhapus teks atau bacaannya, namun hukum-
nya masih berlaku (naskh al-tilãwah dûna al-hukm).
Dari ketiga kategori di atas, cuma hanya kategori pertama dan terakhir
yang relevan serta berkaitan secara langsung dengan masalah
otentisitas dan integritas mushaf yang ada di tangan kita dewasa ini
– yakni mushaf utsmani – sebab keduanya sama-sama menyiratkan
tidak direkamnya beberapa wahyu secara tertulis ke dalam mushaf
ini . Sekalipun demikian, wahyu-wahyu yang dinyatakan
“terhapus” ini sebagiannya masih sempat direkam dalam beberapa
hadits serta riwayat lainnya.
Kategori yang pertama-tama akan dibahas di sini yaitu bagian-
bagian wahyu yang teksnya masih sempat direkam di dalam
beberapa prophetologia, namun baik bacaan maupun hukumnya
dinyatakan terhapus (naskh al-hukm wa al-tilãwah). Di dalam
riwayat-riwayat kategori ini, ada rujukan yang jelas tentang
eksistensinya sebagai bagian al-Quran pada masa tertentu. Yang
paling sering disebut, sekalipun dengan beberapa perbedaan yang
tajam antara satu dengan lainnya,1 yaitu ayat berikut:
Artinya:
Seandainya anak adam (manusia) memiliki dua gunungan harta
kekayaan, maka ia akan meminta tambah untuk ketiga kalinya
dua gunungan harta kekayaan itu, namun cuma hanya debu yang
akan memenuhi perutnya. Dan Allah akan mengampuni or-
ang-orang yang kembali (bertaubat) kepa-Nya.2
Dalam mushaf Ubay, ayat ini disisipkan di antara ayat 24 dan
25 dari surat 10. beberapa sahabat Nabi, di antaranya Abu Musa
al-Asy‘ari, seperti dikemukakan beberapa riwayat, memandangnya
sebagai bagian al-Quran yang diwahyukan Tuhan, namun pada masa
belakangan telah dinasakh. Penjelasan tradisional juga
mengungkapkan gagasan yang sama sehubungan dengan eksistensi
ayat/hadits itu. Namun, dari segi rima (taqfiyah), tampaknya ayat
ini tidak cocok ditempatkan di sini, seandainya pernah
diposisikan demikian, sebab ayat-ayat sebelum dan sesudahnya
rata-rata berima dalam -ûn – kecuali ayat 25 yang berima dalam -
îm (atau -in). Lebih jauh, kata-kata yang digunakannya secara jelas
menunjukkan asal-usulnya sebagai hadits. Bahkan, ungkapan ibn
ãdam, sebagaimana ditunjukkan Schwally, merupakan ungkapan
yang asing bagi al-Quran.3 Di samping itu, dalam riwayat Bukhari
dari Ibn Zubayr, ayat di atas cuma hanya disebut sebagai hadits Nabi,
bukan wahyu al-Quran.4
Masih dari mushaf Ubay, diriwayatkan bahwa dalam surat 98
ia memiliki sebuah ayat ekstra berikut ini:
Artinya:
Sesungguhnya Agama di sisi Allah yaitu al-hanifiyyah, bukan
Yahudi dan bukan pula Nasrani. Maka barang siapa yang
berbuat baik, tidak akan diingkari jerih payahnya.6
Rima ayat di atas – yakni -ah – hingga taraf tertentu, bisa
dikatakan relatif cocok dengan rima ayat-ayat dalam surat 98. namun ,
seandainya ayat ini betul-betul bagian al-Quran, maka bentuk
awalnya pasti agak berbeda, sebab kata-kata -B- ,7 GN ,8 dan
-7T7 ,9 yang alasan penggunaan kata-kata bentukannya cukup
jelas di dalam al-Quran, dalam kasus “ayat” ini terlihat merupakan
kata bentukan yang asing dalam pemakaian kitab suci ini .
Menurut salah satu riwayat yang dikemukakan dalam Itqãn,
Maslamah ibn Mukhallad al-Anshari membacakan dua ayat berikut
ini kepada temannya sebagai bagian al-Quran, namun tidak terekam
secara tertulis dalam mushaf resmi utsmani:
Artinya:
(1) Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah
serta berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka,
maka bergembiralah kamu, sebab sesungguhnya kamu
yaitu orang-orang yang beruntung.
(2) Dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan
membantu serta berperang bersama mereka melawan kaum
yang dikutuk Tuhan, maka tak satu jiwa pun yang
mengetahui apa yang disimpankan untuk mereka dari
berbagai hal yang menyenangkan pandangan mata, sebagai
balasan terhadap apa yang mereka lakukan.
REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN / 263
Kedua ayat di atas, dalam keseluruhan kasus, memakai
kosa kata yang banyak digunakan di dalam al-Quran. Perubahan
gramatik kata ganti orang, seperti ada di dalamnya, juga sering
muncul di dalam al-Quran. namun , penggunaan konstruksi (tarkîb)
! dengan bentuk imperatif (’amr) dalam ayat pertama, tidak pernah
muncul di dalam bagian manapun dari al-Quran. Di samping itu,
bunyi kedua ayat di atas lebih merupakan penggabungan – dengan
sedikit tambahan – dari 8:72 dan 32:17, yang barangkali dilakukan
Maslamah untuk menonjolkan para sahabat Nabi berhadapan
dengan pemimpin dinasti Umaiyah, Mu‘awiyah. Maslamah wafat
pada masa pemerintahan Mu‘awiyah, yang dinastinya dipandang
sebagai
(“yang dikutuk Tuhan”).
Dalam riwayat lain dituturkan bahwa Umar ibn Khaththab,
saat menjabat sebagai Khalifah, pernah bertanya kepada Abd al-
Rahman ibn Auf (w. 653/3) apakah ia mengenal ayat berikut ini:
Artinya:
Berjuanglah seperti kalian telah berjuang untuk pertama
kalinya.
Jawaban Abd al-Rahman ibn Auf yaitu ayat ini
merupakan salah satu ayat al-Quran yang terhapus.11 Penggunaan
kosa kata dan struktur kalimatnya memang terlihat sangat quranik,
namun keberadaan versi lainnya dari ayat ini yang lebih
terelaborasi,12 membuat keraguan timbul sehubungan dengan asal-
usulnya sebagai wahyu al-Quran.
Imam Muslim (w. 821) meriwayatkan dalam Shahîh-nya bahwa
Abu Musa pernah mengabarkan mereka biasa membaca suatu surat
al-Quran yang panjangnya menyerupai musabbihãt,13 namun yang
bisa diingatnya dari surat ini cuma hanya lah ayat berikut
Artinya:
Hai orang-orang beriman, mengapa kalian katakan apa yang
tidak kalian lakukan? Maka dituliskan sebuah kesaksian di leher-
lehermu dan kalian akan ditanya tentangnya di hari berbangkit.
Bagian awal “ayat” di atas mirip dengan 61:2; dan kalau mau
ditetapkan, fragmen ayat ini barangkali termasuk ke bagian surat
ini . namun , rimanya terlihat tidak cocok dengan rima ayat-
ayat surat ini, bahkan untuk keseluruhan surat musabbihãt yang
rata-rata berima dalam -ûn dan -în. Lebih jauh, “ayat” ini
diriwayatkan sebagai bagian al-Quran yang terhapus; dan hadits-
hadits tentang penghapusan ini tidak dapat dipercaya sama sekali.
Di samping itu, ayat yang dipermasalahkan di sini jelas tidak
ada di dalam kodeks Abu Musa; sebab, kalau tercantum di
dalamnya, tentu tidak mudah baginya untuk melupakannya.15
Demikian pula, Bukhari meriwayatkan dari Anas ibn Malik
yang menceriterakan bahwa sehubungan dengan orang-orang yang
wafat dalam pertempuran Bi’r Ma‘una turun suatu ayat al-Quran
yang pada masa belakangan dihapus.16 Teks ayat ini , seperti
direkam Itqân,17 yaitu :
Artinya:
Sampaikanlah kepada kaum kami bahwa kami telah bertemu
Tuhan kami, dan Dia ridla kepada kami serta kami pun ridla
kepada-Nya.
Varian ayat ini sangat banyak dan bahkan dituturkan dalam
bentuk hadits.18 Kenyataan ini dengan jelas membuktikan asal-
usulnya sebagai bukan bagian al-Quran, sekalipun fraseologinya
(’uslûb) bisa dipandang – dan memang memanfaatkan kosa kata –
quranik.
Dalam kategori yang sama yaitu yang lazim disebut sebagai
“ayat-ayat setan.” Dalam riwayat disebutkan bahwa saat Nabi
tengah mengharapkan wahyu yang akan membimbing para
pedagang dan pemimpin warga Makkah untuk menerima
agamanya, setan lalu menyelipkan dua ayat – menurut riwayat
diposisikan sesudah 53:19-20 – berikut ke dalam wahyu Tuhan:
Artinya:
(1) Mereka inilah perantara-perantara agung,
(2) Yang syafaatnya sungguh sangat diharapkan.
Dalam ayat-ayat sisipan setan di atas, diperkenankan campur
tangan (syafaat) tiga dewa lokal Arab. namun belakangan – tidak
jelas berapa lama sesudah itu – Muhammad menyadari bahwa bagian
“wahyu” di atas tidak bersumber dari Tuhan. Ia menerima suatu
wahyu Ilahi yang mengoreksi atau “menghapuskannya,” di mana
sesudah dua ayat pertama (53:19-20), datang bagian berikut: “Apakah
laki-laki untuk kamu dan perempuan untuk-Nya? Yang demikian
itu tentunya merupakan pembagian yang tidak adil” (53:21-22).
Dalam butir-butir pokok, terlihat bahwa laporan hadits tentang
“ayat-ayat setan” itu dapat dibenarkan, sebab agak sulit
membayangkan kaum Muslimin merekayasa kisah semacam itu
mengenai Muhammad. Dari sisi kesejarahan, kisah ini terjadi pada
saat kaum Muslimin mengalami tantangan dan siksaan yang sangat
keji, sehingga Nabi menyuruh mereka berhijrah ke Abisinia. Dengan
demikian, kisah ini cocok dengan konteks kesejarahannya dan
mengungkapkan kompromi yang diusaha kan Nabi terhadap orang-
orang Quraisy.20 Barangkali pertimbangan semacam inilah yang
melandasi penerimaan sejarawan dan mufassir agung al-Thabari
terhadap kebenaran kisah itu. namun , ada kecenderungan yang
kuat di kalangan sarjana Muslim hingga dewasa ini untuk menolak
keabsahannya, sebab kompromi dalam ajaran teologis yang paling
fundamental – yakni tawhîd – merupakan suatu hal yang sulit
dibayangkan telah dilakukan oleh Nabi.
Masih banyak lagi riwayat tentang “ayat-ayat” quranik semacam
ini, yang lazimnya didiskusikan secara rinci dalam literatur-literatur
nasikh-mansukh. Material-material ini biasanya dimasukkan
ke dalam kategori pertama nasikh-mansukh: naskh al-hukm wa-l-
tilãwah, yakni wahyu yang dihapus baik ketentuan hukum ataupun
bacaannya. Bahkan di dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa
surat-surat tertentu pada mulanya memiliki kandungan yang lebih
ekstensif dari kandungan aktual surat-surat ini di dalam
mushaf utsmani. Contohnya, surat 33 – yang di dalam mushaf
utsmani cuma hanya memiliki 73 ayat – dikabarkan pada mulanya
memiliki sekitar 200 ayat, atau sepanjang surat 2, atau lebih panjang
lagi. Demikian pula, surat 9 dan surat 98 juga dikabarkan pada
awalnya memiliki kandungan yang lebih ekstensif dari yang ada
sekarang, dan sebagainya.
Beberapa riwayat – seperti dikesankan bahasan-bahasan nasikh-
mansukh – mengungkapkan bahwa kandungan al-Quran pada
awalnya sangat ekstensif dibandingkan kandungan aktualnya
dewasa ini. Al-Thabrani melaporkan bahwa Umar ibn Khaththab
berkata: “al-Quran itu terdiri dari 1.027.000 kata.”22 Namun, al-
Quran yang ada di tangan kita sekarang jelas tidak mencapai
sepertiga dari jumlah kata yang disebutkan dalam riwayat tadi.
Jadi, menurut riwayat ini , sekitar dua pertiga bagian kitab
suci al-Quran telah hilang atau dihapuskan. Riwayat fantastik
semacam ini – yang secara jelas menegasikan adanya usaha dan
perhatian serius Nabi dan generasi pertama Muslim untuk
memelihara al-Quran, baik secara hafalan ataupun tulisan –
didukung oleh riwayat lainnya, yang lebih fantastik lagi, dari Abd
Allah ibn Umar:
Sungguh seseorang di antara kamu akan berkata: “Saya telah
mendapatkan al-Quran yang lengkap,” dan tidak mengetahui
taraf kelengkapannya. Sesungguhnya banyak bagian al-Quran
yang telah hilang (dzahaba), dan sebab itu seharusnya ia
berkata: “Saya telah mendapatkan yang masih ada.”23
beberapa riwayat lainnya mengungkapkan bahwa surat-surat
tertentu telah dinasakh secara menyeluruh. Suatu surat semisal
musabbihãt – sebagaimana diriwayatkan Muslim dari Abu Musa
al-Asy‘ari, yang telah disinggung di atas – dikatakan telah hilang,
kecuali salah satu ayatnya.24 Di samping itu, dua surat ekstra –
surat al-khal‘ dan surat al-hafd – dalam mushaf Ubay, juga biasanya
diklasifikasikan ke dalam kategori ini. Kedua surat ekstra ini, secara
lengkap, bisa dikemukakan sebagai berikut:25
Artinya:
Dengan nama Allah yang maha pengasih, maha penyayang
(1) Ya Allah, kami memohon kepada-Mu pertolongan dan
ampunan.
(2) Kami menyanjung-Mu dan tidak bersikap kafir kepada-
Mu.
(3) Kami ungkapkan puja-puji kepada-Mu dan kami
tinggalkan orang-orang yang berlaku curang kepada-Mu.
Artinya:
Dengan nama Allah yang pengasih, yang penyayang
(1) Ya Allah, kepada-Mu lah kami menyembah.
(2) Dan kepada-Mu lah kami bersembahyang serta bersujud.
(3) Dan kepada-Mu lah kami berjalan bergegas-gegas serta
bersegera.
(4) Kami berharap akan limpahan rahmat-Mu.
(5) Dan kami takut akan azab-Mu.
(6) Sesungguhnya azab-Mu menimpa semua orang yang
kafir.
Seperti terlihat, bentuk dan kandungan kedua surat di atas
yaitu doa. Biasanya, doa di dalam al-Quran diawali dengan
ungkapan qul (“katakanlah”) untuk melegitimasi keberadaannya
sebagai wahyu, misalnya surat 113 dan 114. namun , tidak semua
ungkapan doa di dalam al-Quran – misalnya surat 1 – diawali
dengan formula qul. sebab itu, pijakan semacam ini tidak dapat
dipertahankan. Namun, sebagaimana ditunjukkan Schwally,
penggunaan konstruksi gramatik dan beberapa kosa kata yang asing
bagi al-Quran di dalam kedua surat itu telah menimbulkan
keraguan untuk menetapkannya sebagai bagian orisinal kitab suci
ini , atau bahkan dari ungkapan Nabi sendiri. Penggunaan
kata kerja {Yv (“memuja”) dan MB (“bersegera”), serta penggunaan
konstruksi gramatik kata %W (“berjalan bergegas-gegas”) yang
disambung dengan 'v |v (kepada Tuhan) – yang tidak dapat
ditemukan di bagian manapun dalam al-Quran – dan lainnya,
telah mengarakan kepada kesimpulan ini .26
Kesimpulan di atas memang mendukung teori ortodoksi Is-
lam tentang kedua surat ini sebagai bukan bagian al-Quran.
namun , pijakan penolakannya jelas berbeda, sebab argumentasi
dasar ortodoksi yaitu bahwa penerimaan kesejatian kedua surat
itu sebagai wahyu Ilahi akan membahayakan kesucian teks utsmani.
Tampaknya kedua surat di atas telah digunakan pada masa Nabi
sebagai doa biasa. Dalam beberapa hadits, kedua surat itu sering
dirujuk sebagai du‘ã al-qunût, dan Umar ibn Khaththab – serta
Ubay sendiri – memakai nya dalam fungsi ini .27
Penyebutan lainnya untuk kedua “surat” itu sebagai du‘ã al-fajr
atau sekedar al-du‘ã,28 menunjukkan bahwa keduanya tidak
memiliki kaitan dengan al-Quran, melainkan sekedar doa biasa.
Kategori ketiga dari nasikh-mansukh, naskh al-tilãwah dûna
al-hukm, mengungkapkan eksistensi beberapa bagian al-Quran yang
telah dihapus bacaannya, namun hukumnya dinyatakan masih
berlaku. Yang terhitung populer untuk kategori ini yaitu “ayat
rajam” ( O
), yang mengungkapkan bentuk hukuman rajam
bagi pezina. Menurut beberapa riwayat, Khalifah Kedua, Umar
ibn Khaththab, memandangnya sebagai bagian al-Quran. Ayat ini,
dalam versi Itqãn,29 yaitu sebagai berikut:
Artinya:
Apabila seorang laki-laki dewasa dan seorang perempuan
dewasa berzina, maka rajamlah keduanya, itulah kepastian
hukum dari Tuhan, dan Tuhan maha kuasa lagi bijaksana.
Sebagian besar riwayat yang ada mengungkapkan ayat ini
termasuk kategori bagian al-Quran yang dinasakh. Semula posisi
ayat ini, menurut riwayat ini , berada di dalam surat 33. namun ,
gagasan ini terlihat tidak logis, sebab ayat-ayat dalam surat itu
berima dalam -ã, sementara ayat di atas berima dalam -îm. Menurut
suatu riwayat yang dikemukakan Bukhari, posisi semula ayat
ini yaitu dalam surat 24.30 Riwayat ini lebih logis, sebab –
selain rima ayat terlihat cocok dengan surat itu – salah satu
kandungan surat 24 membahas tentang perbuatan zina yang
dilakukan laki-laki dan wanita. Namun, dalam surat ini ada
batasan terhadap hukuman perbuatan zina dengan cambukan, yang
secara jelas bertentangan dengan ayat di atas. Lebih jauh, secara
fraseologis, kata }-*
, y-*
dan +
tidak pernah digunakan di
dalam al-Quran. Jadi, eksistensi “ayat rajam” sebagai bagian al-
Quran – sekalipun belakangan dikategorikan mansûkh – jelas sangat
meragukan.
Di samping berbagai riwayat tentang bagian-bagian al-Quran
yang kemudian dikategorikan sebagai mansûkhãt – baik dalam
kategori pertama maupun ketiga – hadits-hadits juga mengungkap-
kan beberapa logia ketuhanan yang sejak awal Islam tidak dipan-
dang sebagai bagian al-Quran. Secara teknis, riwayat-riwayat se-
macam ini diklasifikasikan sebagai al-hadîts al-qudsî (
atau al-hadîts al-ilãhî ( %N
& ^M@
). Hadits qudsi lazimnya
didefinisikan sebagai hadits yang disandarkan Nabi kepada Allah,
yakni Nabi meriwayatkannya sebagai kalam Allah.31 Beberapa
ilustrasi hadits jenis ini bisa dikemukakan di sini.
Ilustrasi pertama bisa dilihat dalam suatu hadits yang
diriwayatkan Bukhari dari Abu Hurayrah bahwa Rasulullah saw.
mengatakan Allah pernah berfirman: 32
Artinya:
Tangan Allah itu penuh, tidak dikurangi oleh nafakah, baik
di waktu malam maupun siang hari.
Ilustrasi lainnya bisa diambil dari himpunan hadits Bukhari,
Shahîh, di mana diriwayatkan Nabi pernah menyampaikan bahwa
– sehubungan dengan puasa – Allah pernah berfirman:
Artinya:
Setiap amal perbuatan manusia yaitu untuknya, kecuali puasa
270 / TAUFIK ADNAN AMAL
yang merupakan amalan untuk-Ku dan Aku sendiri akan
mengganjarnya. Puasa yaitu pelindung, dan apabila seseorang
dari kamu berpuasa, maka janganlah ia memaki atau
membentak. Jika seseorang memaki atau bertengkar dengannya,
maka ia mesti berkata: “Saya sedang puasa.” Demi Dzat yang
jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, bau mulut orang yang
berpuasa lebih disenangi di sisi Allah dari pada wewangi kesturi.
Orang yang berpuasa mempunyai dua kebahagiaan:
kebahagiaan di kala berbuka dan kebahagiaan saat bertemu
Tuhannya dengan puasanya.33
Dalam tradisi Islam, perbedaan teknis antara hadits qudsi dan
al-Quran telah dielaborasi sedemikian rupa. Hal-hal yang
ditekankan dalam pembedaan teknis ini, antara lain, yaitu : (i) al-
Quran itu mukjizat, hadits qudsi tidak; (ii) penisbatan al-Quran
semata-mata cuma hanya kepada Tuhan, sedangkan penisbatan hadits
qudsi kepada Tuhan bersifat pekabaran; (iii) periwayatan al-Quran
bersifat mutawatir, hadits qudsi tidak demikian; dan (iv) pembacaan
al-Quran yaitu ibadah yang berpahala, dan sebab itu dibaca di
dalam shalat, sementara hadits qudsi tidak diperintahkan untuk
dibaca di dalam shalat.34 sebab itu, yaitu tepat jika para sarjana
Muslim telah membedakan secara tajam antara hadits qudsi dan
al-Quran, dengan mengkategorikan yang pertama (hadits qudsi)
sebagai $ %
dan yang kedua (al-Quran) sebagai ) %
.
namun , suatu fakta yang mesti diperhatikan di sini yaitu bahwa,
secara redaksional, ungkapan bahasa yang digunakan al-Quran
memiliki karakteristik spesifik yang bisa membedakannya baik
dari hadits qudsi ataupun hadits biasa.
Skeptisisme Sekte Islam terhadap Mushaf Utsmani
Di dalam dunia Islam sendiri muncul keraguan di kalangan
sekte-sekte tertentu terhadap integritas mushaf utsmani. Skeptisisme
semacam ini pada faktanya tidak dipijakkan pada kritik historis
atau kajian ilmiah yang mendalam tentangnya, namun lebih
bertumpu pada prasangka dogmatis atau etis. Jadi, sekelompok
Mu‘tazilah yang saleh mengemukakan keraguan mereka terhadap
bagian-bagian tertentu al-Quran – yang berisi hujatan-hujatan
kepada musuh-musuh Nabi – sebagai non-ilahiah, dan dengan
demikian bukan merupakan bagian integral kitab suci ini .
Bagi mereka, tidak mungkin suatu pekabaran mulia yang berasal
dari “luh yang terpelihara” memuat hal-hal semacam itu. Demikian
pula, sekte Maimuniyah dari aliran Khawarij menolak eksistensi
surat 12 (Yusuf) sebagai bagian kitab suci al-Quran, sebab surat
ini – menurut mereka – berisi kisah cinta yang tidak patut
dikategorikan sebagai wahyu al-Quran.35
Berbeda dengan kecenderungan di atas, yang mempermasalah-
kan penambahan-penambahan di dalam mushaf utsmani, kalangan
tertentu dalam sekte Syi‘ah menuduh bahwa Utsman telah
menggantikan dan tidak mencakupkan ke dalam kodifikasinya
beberapa besar bagian al-Quran, baik dalam bentuk surat, ayat,
dan bahkan kata-kata tertentu. Istilah yang biasanya digunakan
untuk mengemukakan berbagai tuduhan ini yaitu tabdîl ( M+ )
atau tahrîf (?@).36 Jika di kalangan sekte-sekte Islam lainnya
merebak pandangan bahwa bagian-bagian al-Quran yang
dipermasalahkan otentisitasnya itu masuk ke dalam mushaf
utsmani lantaran ketidaksengajaan atau kealpaan para pengumpul
al-Quran, maka kalangan tertentu Syi‘ah melihatnya sebagai hal
yang tendensius dan mencerminkan niat jahat kolektornya.
Menurut mereka, kesucian yang dimiliki Ali beserta anak-
keturunannya tidak lagi ditemukan di dalam al-Quran lantaran
Abu Bakr dan Utsman telah menghilangkan, mengubah atau
bahkan memerasnya keluar. Seluruh bagian wahyu yang dinyatakan
kelompok Sunni sebagai mansûkhãt – yakni yang hilang dalam
kategori pertama nasikh-mansukh – ditegaskan berisi pembicaraan
tentang Ali. Bahkan, ada gagasan yang berkembang di kalangan
Syi‘ah bahwa seperempat bagian al-Quran dalam kenyataannya
membahas tentang keluarga Ali – 70 ayat di antaranya khusus
tentang Ali sendiri;37 seperempat bagian lagi tentang tentang
musuhnya; kemudian seperempat bagian lagi tentang aturan-
aturan hukum; serta sisanya yang seperempat bagian tentang adat
kebiasaan (sunan) dan tamsilan.38
Menurut Abu al-Hasan Ali ibn Ibrahim al-Qummi (w. 919/
20), otoritas Syi‘ah abad ke-4H, ada sekitar 500 tempat di
dalam al-Quran yang telah diubah.39 Di samping itu, wahyu-wahyu
al-Quran yang diturunkan kepada Nabi lebih banyak dari yang
terekam dalam teks utsmani. Jadi, misalnya, surat 24 semestinya
berisi lebih dari seratus ayat, dan surat 15 bahkan memiliki sekitar
190 ayat.40 Demikian pula, surat 98 – menurut beberapa riwayat
yang beredar di kalangan Sunni pada awalnya memiliki kandungan
yang lebih ekstensif dari yang ada sekarang41 – dikatakan memuat
daftar nama 70 orang Quraisy bersama nama-nama bapak mereka,
yang dalam teks utsmani dengan sengaja dihilangkan.42 namun ,
pandangan-pandangan semacam ini, sebagaimana juga eksis di
kalangan Sunni dalam bentuk doktrin nasikh-mansukh yang agak
berbeda, secara sederhana bisa dikesampingkan. Al-Quran cuma hanya
menyebut beberapa nama orang yang semasa dengan Nabi dalam
berbagai kesempatan berbeda. Kitab suci ini tidak mungkin
menyebut 70 nama sekaligus, apalagi ditambah dengan nama bapak-
bapak mereka.
Suatu riwayat senada yang beredar di kalangan Syi‘ah,
bersumber dari Ibn Abbas, menyebutkan bahwa 9:64 pada mulanya
memuat 70 nama orang munafik (munãfiqûn) berikut nama bapak-
bapak mereka.43 namun sisipan semacam ini, jika memang ada,
terlihat tidak cocok dengan konteks ayat ini . Barangkali,
riwayat semacam ini lahir dari keyakinan umum kaum Syi‘ah yang
menuduh – bahkan menyumpah – seluruh musuh Ali, termasuk
tiga khalifah pertama, sebagai orang munafik lantaran menghalangi
Ali menuju tampuk kekhalifan.
Varian bacaan kelompok Syi‘ah, yang dipandang telah
dimanipulasi Abu Bakr dan Utsman saat mengumpulkan al-
Quran, pada umumnya mengungkapkan tentang Ali dan para
imam mereka. Hal ini selaras dengan tendensi populer yang pernah
diformulasikan Imam Ja‘far al-Shadiq: “Seandainya al-Quran dibaca
dalam bentuk saat diwahyukan, maka nama-nama kami (yakni
para imam – pen.) akan ditemukan di dalamnya”.44 Formulasi ini
barangkali dirumuskan pada permulaan abad ke-4H, sebab muncul
dalam karya mufassir Syi‘ah terkemuka saat itu, al-Qummi, dan
varian bacaan yang dikemukakannya selaras dengan yang
diberitakan Anbari (w. 328 H.) sebagai populer pada masanya.
Lebih jauh, eksistensi varian-varian semacam itu dapat ditelusuri
jejaknya hingga abad ke-2H.45
Mayoritas varian bacaan ini terdiri dari kata-kata ‘alî atau ãlu
muhammadin (“keluarga Muhammad”), yang disisipkan ke dalam
teks tanpa melihat makna kontekstualnya. Jadi, tanpa memperhatikan
rima, di beberapa tempat – misalnya 3:51; 19:36; 36:61; dan 43: 61,64
– di mana muncul ungkapan hãdzã shirãthun mustaqîmun (- ,
=A F), dibaca sebagai shirãthun ‘alîyin (#)L=A). sesudah ungkapan
wa laqad nasharakumullãh bi-badrin dalam 3:123, disisipkan
tambahan bi-sayfi ‘alîyin (“melalui pedang Ali”). Demikian pula,
sesudah ungkapan “Sesungguhnya jika mereka, sesudah menganiaya
dirinya, datang kepadamu” dalam 4:64, disisipkan ungkapan “wahai
Ali” (#)L). Dalam 4:166, sesudah kata anzalahu – juga dalam 5:67,
sesudah kata min rabbika – ditambahkan ungkapan fî ‘alîyin (#)L \
). Sementara dalam 4:168, sesudah kata wa zhalamû – juga dalam
26:227, sesudah kata zhalamû – disisipkan sebagai obyek ungkapan
‘alã muhammadin haqqahum.46 Di beberapa tempat–misalnya 6:93
– yang secara umum meng-ungkapkan tentang perbuatan pendosa
dan penindasan, selalu disisipkan sebagai obyek ungkapan
“keluarga” Nabi.47 namun , sisipan-sisipan semacam ini, jika
dipandang sebagai bagian otentik al-Quran, tentunya akan
menghasilkan kenyataan historis yang berbeda dari kenyataan
aktual yang terjadi. Jika bagian-bagian al-Quran itu eksis, Ali dan
anak keturunannya tentu akan mengalami nasib lain, sebab bagian-
bagian ini jelas akan menjadi argumen pamungkas untuk
mengenyahkan berbagai tindakan ketidakadilan dan kezaliman atas
mereka.
Terkadang, bacaan yang merupakan koreksi atas bacaan dalam
tradisi teks utsmani muncul sebagai tuduhan atas penyelewengan
teks yang dilakukan para khalifah pengumpul al-Quran. Koreksi-
koreksi semacam ini terarah kepada masalah-masalah mendasar
dan terlihat ditujukan untuk kepentingan golongan. Hal ini terlihat
jelas dalam koreksi-koreksi teks al-Quran yang berkaitan dengan
penyebutan dan pujian untuk para imam. Contohnya yaitu 3:110,
“kuntum khayr ummatin ( , )…,” “kamu yaitu umat terbaik…,”
yang dikoreksi menjadi “kuntum khayr a’immatin ( I )…,” “kamu
yaitu imam-imam terbaik …”. Koreksi ini terlihat cuma hanya berupa
perubahan ringan terhadap kerangka grafis, namun akibatnya
terhadap perubahan kandungan makna jelas sangat substansial.
Demikian pula, ungkapan ummatan wasathan ( V$ , ) dalam
2:143, dikoreksi menjadi a’immatan wasathan ( V$ I ). Kata
a’immah dalam kasus-kasus ini – menurut tafsiran Syi‘ah –
merupakan teks wahyu yang asli, dan ini bisa dibuktikan dengan
22:78, yang merujuk kepada para imam: “…susaha Rasul menjadi
saksi atas kamu (para imam – pen.) dan kamu (para imam) menjadi
saksi atas segenap manusia….” Demikianlah, beberapa besar kata
ummah yang muncul dalam berbagai bagian al-Quran telah
dikoreksi menjadi a’immah.48
Ilustrasi yang dikemukakan di atas juga mengungkapkan salah
satu perbedaan mendasar antara Sunni dan Syi‘ah: Di kalangan
Sunni, titik berat bentukan (gestaltung) politik dan keagamaan
diletakkan sepenuhnya pada ummah, keseluruhan warga atau
consensus ecclesiae. Sedangkan kalangan Syi‘ah meletakkannya
semata-mata pada otoritas, kata dan ajaran para imam.49 Menurut
kelompok Sunni, konsensus warga tidak mungkin keliru,50
sedangkan kelompok Syi‘ah memandang para imam terpelihara
dari kekurangan, kesalahan dan kekeliruan (ma‘shûm). Otoritas
individual para imam dalam Syi‘ah merupakan tolok ukur segala
kebenaran, bukan faktor kolektivitas seperti di kalangan Sunni.
Hal-hal inilah yang tampak dalam perjalanan historis kedua sekte
Islam itu, dan bisa dikatakan cuma hanya terletak pada perbedaan bacaan
antara ummah dan a’immah, namun memiliki implikasi dalam
bentuk perbedaan-perbedaan doktrinal yang substansial.
Sehubungan dengan gambaran tentang imam yang muncul di
dalam mushaf utsmani, juga dikemukakan beberapa koreksi. Salah
satu contohnya yaitu 25:74, “…dan jadikanlah kami imam bagi
orang-orang yang takwa (waj‘alnã lil-muttaqîna imãman).”
Ungkapan wahyu yang “sejati” dalam hal ini, menurut kalangan
Syi‘ah, yaitu : “…jadikanlah bagi kami seorang imam dari orang-
orang yang takwa (waja‘alanã min al-muttaqîna imãman).”
Terkadang emendasi ditujukan untuk menggantikan ungkapan-
ungkapan yang tidak pantas dengan ungkapan sebaliknya. Suatu
ilustrasi mengenai koreksi jenis ini bisa dikemukakan lewat 3:123:
“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu di Badr saat kamu
dalam keadaan rendah (adzillatun).” Kata adzillah, menurut
kalangan Syi‘ah, tidak digunakan dalam wahyu orisinal, namun kata
dlu‘afã’ (“lemah”).
Senada dengan itu, beberapa bagian al-Quran yang me

