teologi kristen 3

Kamis, 30 Januari 2025

teologi kristen 3



  Saparua, Kei, Tepa, Kisar, 

Larat, Saumlaki, dan seterusnya. Suku Flores dengan sub-sukunya: Manggarai, 

Ngada, Sikka, Riung, Nage-Keo, Ende dan Larantuka, dan berbagai suku dan sub-

suku lainnya. Multi ras yakni memiliki ciri-ciri bawaan yang berbeda (warna 

kulit: hitam, putih, sawo matang; rambut: keriting, ikal atau lurus, hidung: 

mancung, pesek, dan lain-lain). Multi agama dan keyakinan: Islam, Kristen, 

Hindu, Budha, aliran kebatinan. Multi budaya, semisal di Maluku: budaya pela-

gandong, masohi, badati, maanu, pela, (di Maluku Tengah), hamaren, yelim, 

yanur-mangohoi, woma, dan teabel (di kepuluan Kei), duan-lolat (di Tanimbar), 

kalwedo (di Selatan Daya), rosong (di Kisar), budaya sarumah, kai wai (di Buru), 

budaya sarumah (di Maluku Utara), ur-sia dan ur-lima (di kepulauan Aru).  

       Kemajemukan (plural) tersebut bukan secara kebetulan ada di bumi negara kita  

dan khususnya di Maluku, tetapi merupakan anugerah Tuhan. Karenanya, realitas 

kemajemukan dimaksud, perlu disyukuri dan diterima secara tulus oleh seluruh 

lapisan warga . Pada perspektif itu, kenyataan kemajemukan tidak boleh 

saling dipertentangkan. Sebaliknya, dijadikan sebagai kekayaan bersama seluruh 

warga  untuk membangun kesejahteraan hidup. 

52 

 

       Kedua, setiap anggota atau kelompok warga  diharapkan dapat 

berinteraksi,  beradaptasi dan hidup atau bertingkah laku sesuai norma-norma 

yang berlaku dalam warga  maupun di dalam dunia keagamaan. Kesesuaian 

perilaku atau pola hidup warga  dengan norma-norma tersebut, diharapkan 

dapat tercipta suatu kondisi hidup warga  yang berkeadaban. Karenanya, 

warga  tidak hanya menerima, menghargai dan menjunjung tinggi norma-

norma itu sebagai pengarah dan pengendali perilaku hidup, tetapi sekaligus 

menjadikannya sebagai pilihan hidup. Pilihan untuk mengaktualisasikan nilai-nilai 

kehidupan demi membangun warga  yang berkeadaban. Pilihan tersebut, 

sekaligus mematikan kecenderungan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang 

mengarah kepada kebiadaban. 

       Tegasnya, inti membangun warga  majemuk yang berkeadaban yaitu  

pro-norma-norma hidup dan menjadikannya sebagai pilihan hidup (choice of 

existence) serta gaya hidup (life style). Hidup yang tidak berkeadaban (biadab) 

yaitu  hidup yang menjauh dari pengaktualisasian norma-norma hidup. Hidup 

yang menjauh dari norma-norma hidup akan menimbulkan berbagai persoalan 

sosial dan merusak citra keagungan kehidupan manusia sebagai makhluk ciptaan 

Tuhan. Hal ini dapat mengakibatkan kesengsaraan yang tiada habisnya karena ia 

bukan pilihan hidup yang membahagiakan.  

 

B. Ciri-ciri warga  Majemuk yang Berkeadaban 

       Adapun ciri-ciri warga  majemuk yang berkeadaban, antara lain: 

Pertama, adanya keterbukaan (transparancy) terhadap adanya realitas 

kemajemukan (plural) warga  dan perbedaan sebagai kekayaan hidup 

bersama. Sikap keterbukaan ini ditunjukkan melalui kesediaan untuk saling 

menerima, menghargai dan menghormati berbagai perbedaan yang terdapat dalam 

warga .  

       Perbedaan itu tidak hanya diterima karena ia ada dalam suatu kenyataan 

hidup bersama, tetapi juga harus diterima ketika yang ada itu, hendak 

menunjukkan eksistensinya sebagai wujud keberadaannya yang konkrit. 

Karenanya, masing-masing orang atau kelompok warga  tidak boleh bersikap 

53 

 

eksklusif dan menutup mata sebelah, ketika ada orang lain memiliki latar 

belakang hidup yang berbeda dengannya.  

       Hal seperti ini membutuhkan ketulusan untuk saling menyapa dalam 

kejujuran dan tidak dibungkusi dengan kemunafikan. Pada suatu komunitas yang 

memiliki multi perbedaan (plural) seperti ini, masing-masing pihak saling berbagi, 

saling mengisi dan saling melengkapi untuk membangun hidup bersama sebagai 

cara hidup, lebih dari hanya sloganisme, ungkapan klise atau suatu retorika 

kosong. 

       Kedua, adanya cara berpikir yang progresif dan konstruktif. Cara berpikir 

untuk mengembangkan warga  agar lebih maju melalui pengembangan ilmu 

pengetahuan dan teknologi. Pengembangan IPTEK tidak diperuntukkan bagi 

pengrusakan ekosistem dan manusia. Sebaliknya, pengembangan IPTEK 

mengarah pada mensejahterakan manusia, mengabdi pada kemanusiaan karena ia 

dikembangkan dan dibingkai oleh nilai-nilai etika dan moral. Dengan begitu, 

IPTEK dimanfaatkan untuk kepentingan dan masa depan manusia.  

       Ketiga, adanya kesadaran untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma dan 

hukum yang berlaku. Norma-norma dan hukum menjadi sumber penataan 

kehidupan dalam warga . Karenanya, setiap warga warga  harus 

menerima norma-norma dan hukum yang berlaku sebagai pedoman agar 

mengarahkan kehidupannya menjadi beradab. Pola hidup yang demikian dapat 

dijadikan sebagai sumber belajar bagi sesama. 

       Keempat, adanya pengakuan terhadap hak-hak azasi manusia (human right). 

Hak-hak azasi manusia yaitu  hak-hak yang telah dimiliki oleh seseorang sejak ia 

lahir dan merupakan pemberian Tuhan. Dasar-dasar hak-hak asasi manusia 

tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of 

Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 1, pasal 28, 

pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1 dan pasal 31 ayat 1. Beberapa contoh hak asasi 

manusia: hak untuk hidup, hak untuk memperoleh pendidikan, hak untuk 

mendapatkan perlakuan yang sama, hak untuk mendapat pekerjaan, dan lain-lain. 

 

 

 

54 

 

C. Sifat-sifat warga  Majemuk yang Berkeadaban  

       Suatu warga  majemuk yang berkeadaban harus memiliki sifat-sifat, 

sebagai berikut: Pertama, sukarela (voluntary). Terciptanya warga  majemuk 

yang berkeadaban bukan karena paksaan dari luar dirinya, tetapi karena kesadaran 

diri dan tanggung jawab moral untuk menata kehidupan yang lebih baik. 

       Kedua, swasembada (self-generating), yaitu warga  dapat hidup oleh 

karena kesanggupan dan kemampuannya. Kesanggupan dan kemampuan 

warga  merupakan spirit yang harus ditumbuh-kembangkan dalam 

kehidupannya. Karenanya, diperlukan penyadaran terhadap kesanggupan yang 

dimaksud, sehingga dengan rasionya, warga  dapat melakukan sesuatu yang 

lebih baik. 

       Ketiga, swadaya (self-supporting), yakni menggali dan mendayagunakan 

potensi yang ada pada diri sendiri. Hal ini dapat dilakukan melalui penyadaran 

terhadap individu dan kelompok-kelompok yang hidup secara kolektif dalam 

warga . Cara seperti ini dipahami sebagai salah satu ciri khas manusia sebagai 

makhluk kesosialan (zoon politikon). Warga warga  perlu saling mendukung, 

bekerjasama, sehingga dapat menghasilkan kekuatan untuk menata dan mengubah 

kehidupan yang jauh lebih baik. 

       Keempat, kemandirian, yaitu suatu sikap yang harus selalu disadari, 

digerakkan dan diperjuangkan. Melaluinya, manusia sungguh-sungguh dapat 

melakukan segala sesuatu, tanpa harus bergantung secara terus-menerus kepada 

orang lain. 

 

D. Cara-cara Mengembangkan warga  Majemuk yang Berkeadaban 

       Adapun cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan suatu 

warga  majemuk yang berkeadaban, antara lain: 

Pertama, internalisasi (internalized), yaitu  proses menjadikan norma-norma 

yang berlaku dalam warga , khususnya adat-istiadat (customs) sebagai bagian 

integral bagi kehidupan seseorang atau sekelompok warga warga . Melalui 

proses tersebut, norma-norma yang dimaksud dapat mendarah daging dan 

menjiwai lakon hidup warganya. Hal ini akan membuat mereka (terutama generasi 

tua) cenderung mempertahankan atau sulit merubah norma-norma yang sudah 

55 

 

meresap di dalam kepribadiannya. Karenanya, generasi tua tidak mudah untuk 

menerima norma-norma baru yang ditawarkan kepadanya. Bahkan, norma-norma 

baru sering ditolak karena tidak sesuai dengan norma-norma yang telah diyakini 

kebenarannya.  

       Setiap individu atau sekelompok warga warga , hendaknya melalui 

proses internalisasi, dapat mempelajari dan mengambil norma-norma yang baik, 

dan berfaedah untuk kehidupan pribadi dan warga  luas sebagai upaya 

pengembangan warga  yang berkeadaban. 

       Kedua, eksternalisasi (externalized), yaitu  suatu proses pencurahan kedirian 

manusia secara terus-menerus kedalam dunia, baik secara fisis maupun 

mentalnya. Manusia secara empiris, tidak dapat dibayangkan terpisah dari dunia 

yang ditempatinya. Manusia juga tidak dapat tinggal diam di dalam kediriannya. 

Sebaliknya, ia selalu bergerak keluar untuk mengekspresikan dan merealisasikan 

kehidupan bagi proses pembentukan kehidupannya. Alasannya, keadaan 

organisme manusia ketika lahir belum lengkap (jika dibandingkan dengan 

binatang) dan berada dalam proses “menjadi manusia”. Karenanya, manusia selalu 

berusaha untuk membentuk dunianya sendiri (kebudayaan) dengan aktifitas-

aktifitasnya.  

       Manusia dengan akalnya, menciptakan berbagai jenis peralatan dan 

digunakan untuk mengubah lingkungan fisisnya dan mengubah alam menurut 

keinginannya. Hal ini menunjukkan bahwa hakikat manusia sebagai homo faber 

dapat membuktikan dirinya sebagai potensi kultural yang mampu membuat alat 

atau sarana untuk mencapai tujuan hidupnya. Kemampuan menciptakan berbagai 

jenis peralatan dimungkinkan oleh adanya daya pengetahuan yang khas 

manusiawi.  

       Selain itu, manusia juga menciptakan bahasa dan digunakan untuk 

mengembangkan diri dan daya berpikirnya, baik secara sederhana maupun secara 

abstrak dan kompleks melalui simbol-simbol yang meresapi seluruh 

kehidupannya. Manusia menciptakan bahasa, supaya melaluinya manusia 

merealisasikan eksistensinya yang bermakna bagi dunia.  

       Manusia juga menciptakan bagi dirinya, nilai-nilai (values) supaya menuntun, 

mengarahkan dan mengendalikan perilakunya menjadi lebih beradab. 

56 

 

Kesemuanya ini menunjukkan bahwa secara eksternal, manusia bertanggung 

jawab untuk membangun diri dan dunianya menjadi lebih baik, beradab dengan 

potensi yang ada pada diri dan lingkungannya. 

       Ketiga, sosialisasi (socialization), yaitu  proses dimana seorang anggota 

warga  yang baru (semisal, seorang bayi) mulai mempelajari norma-norma 

dan kebudayaan di lingkungan warga nya. Sosialisasi juga dimaksudkan 

sebagai proses mendapatkan pembentukan sikap untuk berperilaku sesuai dengan 

perilaku kelompok warga nya.  

       Secara sosiologis, proses ini dimulai sejak seseorang dilahirkan. Awalnya, 

seseorang mempelajari pola-pola perilaku yang berlaku dalam warga nya 

dengan cara menjalin relasi dengan orang tua, saudara-saudara di rumah, 

kemudian dengan warga  yang lebih luas. Melaluinya, seorang anak akan 

memperoleh petunjuk-petunjuk mengenai perbuatan mana yang baik dan 

perbuatan mana yang tidak baik. Perbuatan mana yang perlu dilakukan dan 

perbuatan mana yang tidak perlu dilakukan.  

       Dengan perspektif yang dimaksud, secara bertahap, seorang anak akan 

mendapatkan gambaran tentang dirinya sendiri dalam perjumpaan perilakunya 

dengan perilaku orang lain. Perbuatannya yang baik akan disukai sesama dan 

perbuatan yang tidak baik akan ditegur. Walaupun dalam warga  terdapat 

juga perilaku yang menyimpang (deviant behavior), tetapi yang membatasi 

perilaku seorang anak yaitu  kepribadiannya. 

       Keempat, imitasi (imitation), yaitu  proses meniru tingkah laku yang baik 

dari orang lain dan dijadikan sebagai bagian dari tingkah lakunya. Biasanya, 

proses ini berlangsung dalam relasi seseorang dengan orang lain yang 

dianggapnya sebagai tokoh atau idola, dimana melaluinya perilaku dari tokoh, 

idola itu ditransformasikan menjadi perilakunya. 

       Kelima, conformity, yaitu  proses penyesuaian diri dengan warga , 

dengan cara mengindahkan kaidah-kaidah dan nilai-nilai warga . Biasanya, 

conformity menghasilkan ketaatan atau kepatuhan. Dengan demikian, bila ada 

perilaku yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku 

dalam warga  akan mengakibatkan adanya celaan-celaan. Misalnya, cara 

57 

 

berpakaian yang kurang sopan dengan memperlihatkan organ-organ tubuh 

tertentu, mengucapkan kata-kata yang tidak etis, dan lain-lain. 

       Keenam, menjadikan perbuatan yang baik sebagai suatu kebiasaan (folkways). 

Kebiasaan diartikan sebagai perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang 

sama, merupakan bukti bahwa orang banyak menyukai perbuatan tersebut. 

Contoh, kebiasaan memberi hormat kepada orang yang lebih tua. Apabila 

perbuatan tersebut tidak dilakukan, dianggap sebagai suatu penyimpangan 

(deviation) terhadap kebiasaan umum dalam warga . Karena itu, aspek yang 

penting dalam proses pemberadaban (civilizing) yaitu  mensosialisasikan 

kebiasaan-kebiasaan yang baik kepada warga warga . Dengan kata lain, 

membiasakan perbuatan-perbuatan terpuji bagi anggota warga  (keluarga), 

sehingga dilakukan berulang-ulang menjadi suatu kebiasaan yang mentradisi 

secara regeneratif. 

       Nobert Elias, dalam G. Ritzer dan D.J. Goodman (2004: 491-496), 

mengemukakan beberapa contoh kebiasaan yang salah dalam warga  dan 

perlu ditinggalkan. Baginya, kebiasaan-kebiasaan berikut, merupakan pelanggaran 

berat dan tidak mencerminkan warga  yang berkeadaban. Contohnya: 

mengorek-ngorek telinga atau mata dengan jari, mengupil sambil makan, 

menggerogoti tulang dan meletakkannya kembali ke dalam piring, mengambil 

makanan dengan tangan dan menyuapnya dengan tangan, mengaduk kuah dengan 

jari, memasukkan roti kedalam kuah dengan garpu lalu menelannya, meludah di 

atas lantai, membuang ingus dengan menggunakan tangan, kentut dikeluarkan 

dengan bunyi, dan sebagainya. 

       Bagi Nobert Elias, perbuatan-perbuatan tersebut dilarang bukan karena 

pertimbangan mengganggu kesehatan, melainkan menimbulkan pemandangan 

yang tidak sopan dan pergaulan yang tidak menyenangkan. Karenanya, perbuatan-

perbuatan dimaksud tidak boleh dipraktikan dalam hidup keseharian. 

 

58 

 

E. Faktor-faktor Penghambat warga  Majemuk yang  Berkeadaban 

 

       Faktor-faktor berikut dapat dianggap sebagai penghambat pengembangan 

warga  majemuk yang berkeadaban, yakni: Pertama, kebijakan politik. 

Biasanya, kebijakan-kebijakan politik dalam suatu bangsa atau negara dituangkan 

melalui perundang-undangan atau hukum. Karenanya, sangat penting untuk 

melihat sejauh mana perundang-undangan itu memberikan ruang psikologis bagi 

warga  untuk mengambil bagian dalam membangun peradaban (civilization) 

bangsa. Sejauh mana pula suatu produk perundang-undangan memberikan 

kebebasan bagi warga warga  untuk berpartisipasi aktif dalam menentukan 

budaya bangsa.  

       Seperti diketahui bahwa sering kali produk perundang-undangan atau hukum 

lahir dari sebuah penyelesaian konflik politik, sehingga tidak memberikan ruang 

psikologi untuk membangun peradaban dan budaya bangsa. Dengan kata lain, 

produk perundang-undangan dan hukum sering memberikan dampak negatif bagi 

warganya sendiri. 

       Kedua, eksklusivisme dan fundamentalisme agama. Eksklusivisme agama 

merupakan sikap yang tidak menerima dan membenarkan pandangan-pandangan 

agama lain. Eksklusivisme mengklaim kebenaran yang ada padanya, karena ia 

berasal dari wahyu Tuhan. Sementara itu, pandangan-pandangan kebenaran di luar 

agamanya yaitu  buatan manusia belaka. Karenanya, ia harus disingkirkan dan 

bila perlu dimatikan. Akibatnya, sikap seperti ini dapat memunculkan 

fundamentalisme agama.  

       Fundamentalisme agama yaitu  suatu sikap hidup beragama yang militan, 

yang juga tidak menghendaki idiologi-idiologi lain hidup di sampingnya, karena 

nilai-nilai kebenaran hanya ada pada dirinya. Fundamentalisme agama muncul 

akibat cara menafsirkan teks-teks kitab suci secara literer (harafiah), tanpa 

penafsiran (hermeneutic), sehingga segala sesuatu yang tertulis dalam kitab suci 

itu dianggap turun dari Tuhan. Tugas manusia yaitu  menerima begitu saja dan 

melaksanakannya (taken for granted).  

       Jelasnya, ekskusifisme dan fundamentalisme agama tidak menerima dan 

menghargai pandangan-pandangan atau idiologi-idiologi lain, tidak menghargai 

sesama manusia karena berbeda agama atau pandangan. Sikap demikian akan 

59 

 

menghambat terciptanya sebuah warga  majemuk yang berkeadaban. 

Alasannya, salah satu syarat keberadaan warga  majemuk yang berkeadaban 

yaitu  menghargai rasionalitas, kebebasan dan kesetaraan manusia, apa pun latar 

belakang agama atau idiologinya. 

       Ketiga, identitas primordialisme. Konsepsi identitas primordial hendak 

menyatakan bahwa akulah yang lebih berharga, yang baik, hebat dan paling benar. 

Manusia yaitu  aku dan di luar aku yaitu  orang asing. Identitas primordial 

mengejawantah di dalam suku-suku, etnis dan kelompok-kelompok keagamaan. 

Siapa yang berasal dan masuk dalam suku, etnis dan kelompok agama tertentu, 

mereka yaitu  keluarga dan saudara. Di luar itu yaitu  musuh, sehingga tidak 

perlu dibantu, diperhatikan, dan jika perlu dihancurkan.  

       Konsep seperti ini tidak relevan dengan konteks hidup bersama-sama (living 

together) dalam warga  majemuk yang menuntut adanya solidaritas, 

demokratisasi, persamaan, persaudaraan, kebebasan, keadilan dan peluang yang 

sama untuk memperjuangkan kehidupan yang baik. Dengan demikian, identitas 

primordialisme telah merusak tatanan keadaban humanis, sehingga dapat 

menghambat pengembangan warga  majemuk yang berkeadaban. 

       Keempat, kemiskinan. Apabila suatu warga  memiliki ekonomi yang 

cukup baik, ia dapat memperkembangkan atau memberikan penguatan bagi 

terlaksananya warga  majemuk yang berkeadaban. Faktor kemiskinan telah 

membuat warga  tidak berdaya, tidak dapat berdikari dan menjadikannya 

bergantung pada orang lain. Sebelum masalah kemiskinan ini diatasi dengan baik, 

sangat sulit diharapkan terwujudnya warga  yang berkeadaban.  

       Kelima, irasionalisme. Irasionalisme merupakan paham yang melihat kosmos 

sebagai tempat yang magis, ilahi dan karena itu manusia harus tunduk dan taat 

kepadanya, kalau manusia ingin  hidup baik dan bahagia. Manusia dipercayai 

sebagai bagian dari kosmos yang sifatnya lemah dan tidak berdaya. Karenanya, 

tugas manusia yaitu  patuh dan tunduk kepada kosmos dan dengan berbagai cara 

manusia menjaga hubungan baik dengannya karena tanpa kosmos, manusia tidak 

akan bahagia. Irasionalisme memandang manusia sebagai “yang dikuasai” oleh 

emosi-emosi dan nafsu, ketimbang rasio tanpa bersikap kritis terhadap 

kosmosnya.  

60 

 

       Dengan begitu, irasionalisme dapat menghambat terciptanya warga  

majemuk yang berkeadaban. Alasannya, salah satu faktor yang turut 

memperkembangkan terwujudnya warga  majemuk yang berkeadaban yaitu  

wacana yang rasional, sikap bernalar kritis, dimana dinamika berpikir 

dikembangkan dan didayakan. 

 

 

F. Fungsi Lembaga Keluarga dalam Mengembangkan warga  Majemuk 

yang Berkeadaban 

 

        Fungsi lembaga keluarga dalam mengembangkan warga  majemuk yang 

berkeadaban, antara lain: Pertama, memberikan pedoman kepada anggota 

keluarga mengenai bagaimana mereka bertingkah laku atau bersikap dalam 

menghadapi masalah-masalah dalam warga . Misalnya, seorang ibu mendidik 

anak-anaknya agar dapat menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah yang berlaku. 

       Kedua, melakukan pengendalian sosial (social control) terhadap tingkah laku 

anggota keluarga. Misalnya, menegur anak-anaknya, ketika ia melihat perbuatan 

mereka tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Hal ini sering dilakukan 

oleh orang tua, walaupun ia sendiri belum menyadari bahwa ia telah melakukan 

suatu social control. Pengendalian sosial dapat dilaksanakan dengan cara-cara 

tanpa kekerasan (persuasive), ataupun dengan paksaan (coecive). 

 

G. Tanggung Jawab Orang Kristen dalam Mengembangkan warga  

Majemuk yang Berkeadaban 

 

       Adapun tanggung jawab orang Kristen dalam rangka mengembangkan 

warga  majemuk yang berkeadaban, antara lain: 

       Pertama, menghidupkan, memelihara, melestarikan dan meneruskan nilai-

nilai budaya lokal warga  setempat secara regenerasi. Biasanya, oleh 

warga , nilai-nilai itu dijunjung tinggi karena berfaedah untuk membangun 

kehidupan bersama. Selain itu, nilai-nilai budaya lokal selalu dijadikan sebagai 

acuan norma dalam berperilaku. Karenanya, warga  pemiliknya selalu 

diharapkan untuk berperilaku sesuai nilai-nilai budaya lokalnya. Bila demikian, 

setiap orang Kristen dipanggil untuk ikut menghidupkan, melestarikan dan 

61 

 

menjadikan nilai-nilai budaya lokalnya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari 

kehidupan personal dan komunitasnya. 

       Kedua, menanamkan dan mewariskan nilai-nilai etik, moral dan spiritual 

yang bersumber pada Alkitab dalam rangka pembentukan kepribadian 

(personality) warga Gereja. Karenanya, tugas Gereja yaitu  menggali kembali 

nilai-nilai etik, moral dan spiritual yang terdapat dalam Alkitab dan 

menjadikannya sebagai sumber pewartaan bagi pendewasaan kehidupan umat. Hal 

ini mengindikasikan bahwa pengembangan warga  yang berkeadaban tidak 

cukup hanya dengan mengandalkan nilai-nilai budaya lokal warga , tetapi 

juga didasari pada nilai-nilai keagamaan. Jadi, nilai budaya dan nilai keagamaan 

(kekristenan) memiliki pertautan yang saling mengisi dan saling melengkapi bagi 

pengembangan warga  yang berkeadaban. Keduanya (budaya dan agama) 

memiliki kandungan sumber nilai-nilai kehidupan yang baik untuk memanusiakan 

manusia.  

       Ketiga, mengembangkan dan memprakarsai dialog lintas agama dan budaya 

dalam upaya menemukan solusi bersama untuk mengembangkan warga  yang 

berkeadaban. Dialog tersebut dibuat karena di dalam setiap agama dan budaya 

pasti ditemukan sesuatu yang baik, spesifik dan berguna untuk dikembangkan. 

Jelasnya, dialog dimaksudkan untuk memahami bagaimana agama-agama dan 

pemilik budaya-budaya lain mengembangkan warga  dengan nilai-nilai 

agama serta budayanya.  

       Melalui dialog itu pula, masing-masing pihak terbuka untuk saling belajar 

melalui proses take and give untuk saling mengisi dan memperkaya. Walaupun 

demikian, sikap kritis dan selektif dibutuhkan, sehingga masing-masing pihak 

tidak serta-merta mengadopsi nilai-nilai pihak lain begitu saja. Alasannya, belum 

tentu semua nilai yang ditawarkan dalam proses take and give itu berguna dan 

relevan bagi pihak lain. Karenanya, dibutuhkan pengkajian kembali terhadap 

nilai-nilai yang diterima secara arif dan bijaksana, disertai kejernihan dalam 

berpikir, sehingga tidak berapriori negatif terhadap nilai-nilai dimaksud. 

 


 

A. Tanggung Jawab Manusia sebagai Makhluk Berbudaya  

       Salah satu pemahaman inti tentang budaya (bahasa sansekerta: buddhaya: 

budi) ialah sesuatu yang berpangkal pada manusia, sebagai wujud ekspresif insani 

kemanusiaannya. Manusia diciptakan dengan memiliki kemampuan akal budi. 

Manusia yang sanggup ‘berani berpikir sendiri’ (sapere aude), demikian pendapat 

Imanuel Kant (1724-1804). ‘Berani berpikir sendiri’ menjadi suatu tuntutan jati 

diri manusia.  

       Akal budi merupakan penyebab manusia menjadi makhluk berbudaya, yang 

mampu menyadari dirinya dan memiliki daya kreasi-inovatif. Hal ini 

dimaksudkan supaya manusia tidak pernah berhenti menjadi subjek bagi dirinya 

sendiri, sebagai bentuk ketaatan pada Tuhan yang telah mengaruniakan akal budi.  

       Dengan akal budi, manusia diminta untuk bertanggung jawab terhadap akal 

budinya itu. Akal budi diberikan oleh Tuhan dengan maksud agar manusia dapat 

melaksanakan tanggung jawabnya, baik tanggung jawab terhadap pengembangan 

akal budi maupun terhadap pemeliharaan dan pelestarian keutuhan ciptaan (the 

integrity of creation).  

       Hal ini dimaksudkan supaya akal budi tetap bermakna dan fungsional dalam 

merespons tanggung jawabnya. Karenanya, akal budi sebagai hak, tidak boleh 

diartikan sebagai semacam hak prerogatif pribadi manusia yang dapat digunakan 

semau-maunya. Akal budi tidak boleh digunakan untuk merusak dan mematikan 

citra keagungan akal budi itu sendiri dan lingkungan sekitar demi pemenuhan 

kepuasaan yang bersifat temporer. 

 

64 

 

B.  Budaya Kerja sebagai Salah Satu Panggilan Manusia 

       Tanggung jawab manusia untuk memelihara dan melestarikan ciptaan Tuhan , 

sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, mengantar kita pada suatu pemahaman 

iman bahwa kerja merupakan salah satu panggilan manusia sebagai makhluk yang 

berbudaya. Manusia yaitu  seorang pekerja pada dasarnya (Man is a worker by 

nature).  

       Sifat khas kerja manusia yaitu  penggunaan secara sadar daya-daya rohani 

dan badani untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuannya, untuk pemenuhan 

kebutuhan pribadi dan melayani sesama. Karenanya, setiap orang dipanggil untuk 

bekerja keras, sehingga tidak menjadi beban bagi orang lain. Untuk itu, tidak ada 

alasan bagi manusia untuk tidak bekerja. Jika seseorang tidak mau bekerja, sama 

artinya dengan tidak mengasihi diri sendiri, sesama dan Tuhan, sebagai seorang 

pekerja.  

       Pekerjaan yang dikerjakan oleh manusia harus dilakukan dalam persekutuan 

dengan Tuhan  dan selalu tertuju pada maksud-maksudNya. Itu berarti, tidak ada 

pekerjaan manusia yang berada di luar kontrol dan maksud-maksud Tuhan . Ia 

berkenaan mengangkat kita dalam persekutuanNya. Kita diperkenankan berdiri 

dihadapanNya. Kita diperkenankan bernafas di hadiratNya. Itulah dasar dari awal 

manusia bekerja. 

       Panggilan bagi manusia untuk bekerja, tidak boleh dipandang sebagai 

kutukan Tuhan , setelah manusia melanggar kehendakNya. Alasannya, jauh 

sebelum manusia jatuh kedalam dosa, yakni penempatan manusia di Taman Eden, 

mandat untuk bekerja sudah diberikan oleh Tuhan . Kerja harus dilihat sebagai 

pembawa berkat, sebab dengan kerja seseorang mendapat upah. St.Thomas 

Aquino mendefinisikan kerja sebagai suatu keharusan demi kelanjutan hidup.  

       Upah harus diperoleh melalui kerja keras dan dilandaskan oleh rasa takut 

kepada Tuhan. Dengan demikian, manusia terhindar dari cara-cara kerja yang 

tidak bertanggung jawab dan tidak menghalalkan berbagai cara dalam rangka 

pemenuhan kebutuhan hidup. Sebaliknya, setiap pekerja dipanggil pula untuk 

menunjukkan etos kerja yang baik. Etos kerja yang dimaksud yaitu  jiwa dan 

semangat kerja yang didasari oleh cara pandang yang menilai pekerjaan sebagai 

pengabdian terhadap diri sendiri, warga  dan Tuhan. Etos kerja seperti inilah 

65 

 

yang membentuk karakter para pekerja, sehingga dapat bekerja dengan penuh 

kesungguhan. 

 

C. Budaya Maluku Dalam Perspektif Kristiani 

Percaya kepada Tete Manis dan Upu Lanite   

Tete Manis yaitu  sebuah nama yang sangat dikenal oleh warga  

Maluku, baik orang Kristen dan juga orang Islam. Bagi orang Kristen, sebutan ini 

menunjuk kepada Tuhan yang diimani di dalam Yesus Kristus, Tuhan dan 

Juruselamat dunia. Biasanya orangtua mengenalkan kepada anak-anaknya tentang 

Tuhan yang pengasih dengan nama Tete Manis ketika anak-anaknya berperilaku 

baik : “Kalau nyong/nona (putraku/putriku terkasih) rajin ke Sekolah Minggu, maka 

Tete Manis sayang. Tetapi kalau nyong nakal, nyong/nona akan menjadi teman Tete 

Momo.” Ungkapan-ungkapan ini biasanya orangtua sampaikan sebagai nasehat dan 

petunjuk ketika mendongeng atau menasehati anak-anaknya sebelum mereka 

tidur. Ketika mereka mendengar nama Tete Manis, maka itulah pribadi Tuhan 

Yesus yang diimaninya sebagai seorang anak Kristen. Kata Tete berati kakek atau 

seorang tua yang baik hati dan pemurah. Ia suka akan perbuatan-perbuatan yang 

baik. Tetapi jika anak-anak nakal, maka ia menjadi teman seorang kakek yang 

jahat dan biasa menghukum mereka, dialah Tete Momo (Momo atau momok yaitu  

gambaran orang tua atau kakek yang menjadi momok atau pengganggu anak-

anak).   

Bagi warga  adat, mereka tetap meyakini akan kuasa Upu Lanite atau 

leluhur. Kuasa rohnya diyakini sebagai yang selalu hadir, melindungi, 

menghukum, memberkati dan menyertai warga  adat di mana dan kapan pun. 

Bagi warga warga  adat yang setia melakukan tuntutan adat dengan baik, 

maka ia akan disertai, dilindungi dan diberkati. Roh leluhur tetap akan menyertai-

nya kemana pun ia pergi. Tetapi sebaliknya, jika tuntutan adat tidak dipenuhi, atau 

dilawan, maka roh leluhur akan menghukumnya dengan kegagalan, sakit, bahkan 

sampai mati. Bukti akan kebaikan roh leluhur yang memberkati dan melindungi 

dan juga dengan kemurkaannya yang menghukum, sangat meyakinkan 

warga  adat. Contoh bisa dilihat dari kasus berikut. Ada seorang Maluku 

Tengah yang tinggal di Belanda, Ia berjanji untuk pulang ke desanya di pulau 

66 

 

Seram untuk menyelesaikan pembayaran harta kawinnya. Tetapi karena kesibukan 

pekerjaannya, ia lupa. Kesulitan dan tantangan hidup melandanya, ia dan anak-

anaknya menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan oleh dokter. Beberapa 

waktu berselang baru ia ingat akan janjinya. Setelah pulang dan menyelesaikan 

tuntutan adat di desanya, ajaib, ia dan keluarganya sembuh dan pekerjaannya bisa 

pulih lagi seperti semula.  

Karena bukti atas kepenuhan janji tuntutan adat itu, orang yang percaya 

akan sanksi atas pelanggaran adat, selalu mengaitkan hubungan kegagalan hidup, 

sakit, bahkan kematian dengan perlunya memenuhi tuntutan adat (cf. Jensen 

1963:296-303). Dengan sendirinya, mereka akan melirik ke bentuk-bentuk ritus 

upacara adat sampai pemenuhan kaul atau janji adat yang mesti dipenuhi (Prins, 

1973:13-14). Karena itu tidak heran jika si orang dari Belanda itu harus pulang 

kampung sebab ia harus datang di pusat siklus materialnya, ke dunia hierofani, 

tempat pemenuhan penempatan diri, pusat janji, yang diyakininya akan 

memberikan kepenuhan harapan, yakni buah kesembuhan baginya (Kirchberger & 

Prior 1996:298-300). 

Lalu bagaimana dengan pandangan agama Kristen tentangnya ? 

Bagaimana tidak, sebab kasus kesembuhan atas janji bayar harta dan pulang 

kampung itu sangat menantang dan menohok keyakinan iman Kristen. Mengapa 

bisa demikian; perawatan dokter tidak mempan, doa pendeta ditambah perawatan 

dokter juga tidak mempan, tapi dengan memenuhi janji barulah kesembuhan 

didapat. Respons yang muncul pasti bisa bersifat kontra, afirmasi atau peneguhan 

dan transformasi atau kontekstualisasi. Sikap kontra melawan pemahaman dan 

praktek adat telah lama mewarnai perjumpaan agama Kristen Protestan dengan 

adat di Maluku Tengah. Konsekuensi sikap itu melahirkan banyak kehancuran 

simbol-simbol adat. Patung-patung, mesbah-mesbah penyembahan, baileo dan 

berbagai benda keramat adat telah dimusnahkan oleh Gereja. Sikap destruktif 

Gereja itu bertolak dari pemahaman bahwa keyakinan akan kesembuhan dari kuat 

kuasa roh leluhur yaitu  pandangan yang tidak bisa diterima. Orang Krisren, 

anggota Jemaat dan Pendeta mesti meyakini imannya yang tak tergantikan. 

Memang kesulitan yang dihadapai yaitu  menjawab bukti sebab akibat dari 

kesembuhan itu sendiri. Mengapa ketika memenuhi kaul baru bisa sembuh, 

67 

 

sekalipun sudah berdoa dan mencari kesembuhan ke dokter ? Sayangnya banyak 

orang belum bisa menerima bahwa kesembuhan itu bisa terwujud akibat dorongan 

kekosongan kejiwaan. Secara sederhana patut ditanyakan, dapatkah seseorang 

merasakan kekosongan jiwanya ketika ia belum memenuhi kaul-nya ? Apalagi ia 

sementara sakit ? Tokh jika ia sehat ia tidak akan ingat akan kaul-nya. Pada 

umumnya hanya ketika bencana menimpa baru evaluasi hidup muncul ke 

permukaan. Di lain pihak harus diakui bahwa ada juga banyak mujizat 

kesembuhan yang terjadi di atas doa dan perawatan dokter. 

Sikap afirmasi (peneguhan) agama Kristen Protestan terhadap nilai-nilai 

adat dapat diterima, misalnya dalam memaknakan pembayaran mahar atau harta 

kawin atau juga perkunjungan ke kubur orangtua kita. Di kalangan orang Kristen 

Protestan telah lama muncul pandangan yang keras melihat kedua bentuk 

pemenuhan tuntutan adat itu sebagai penyembahan kepada leluhur atau orang 

mati. Bagi warga  timur, aspek hubungan kekerabatan warga  adat yaitu  

sangat kuat, sehingga jika ada seseorang dalam kekerabatan itu yang tidak taat 

terhadap nilai-nilai adat nya, maka ia akan dikucilkan. Resiko ini akan dialaminya 

jika ia tidak membayar mahar, atau pulang kampung tanpa datang ke kubur 

orangtuanya, sekalipun itu dilakukan sekedar melihat saja. Perubahan dan per-

geseran pemahaman di kalangan Kristen Protestan mulai melihat bahwa tradisi di 

atas itu bukanlah sebagai sebuah penyembahan kepada leluhur tetapi sebuah 

penghormatan atas nilai adat yang dikandungnya.  

Eben Nuban Timo (2005) mengatakan bahwa dalam semua peristiwa 

sejarah, budaya dan agama, di sana ada sidik jari Tuhan . Tuhan Tuhan  

meninggalkan maksud khusus dibalik semua peristiwa hidup, entah senang atau 

pun duka supaya manusia mencari jalan untuk melakukan kehendak-Nya demi 

kebaikan hidupnya bersama orang lain ke masa depan. Maksudnya, membayar 

mahar harus dipenuhi bukan sebagai manifestasi rasa takut atas ancaman Upu 

Lanite atau leluhur. Tetapi dilakukan karena apresiasi atas sebuah nilai hubungan 

hidup yang mengikat, baik di antara kedua suami isteri maupun juga di antara 

kedua pihak keluarga orangtua mereka. Di dalamnya ada sebuah komitmen moral 

yaitu menjaga keutuhan hidup keluarga. Demikian juga dengan perkunjungan ke 

kuburan orangtua yaitu  sebuah apresiasi. Sebab, dari almarhum atau 

68 

 

almarhumah orangtua didapat banyak nilai-nilai hidup yang daripadanya si anak 

mampu mencapai kehidupan yang ada dialaminya sekarang. Tuhan memberikan 

dan mewariskan hikmat dan kebaikan yang mereka ajarkan sebagai warisan 

hikmat kepada anak-anaknya, maka selayaknya mereka dihormati. Wujudnya 

yaitu  datang berkunjung ke kuburan mereka. 

Langkah transfomasi atau kontekstualisasi bisa dilihat dalam contoh sasi dan 

pemakaian bahasa daerah. Semula sasi negeri, yang bermakna pelestarian potensi 

sumber alam, sepenuhnya dilakukan menurut cara adat. Di dalamnya ada ritus 

upacara penyertaan roh leluhur untuk menjaga, memberkati dan memberi sanksi 

kepada warga  jika terjadi pelanggaran atas sasi tersebut. Gereja mengambil 

alihnya menjadi sasi Gereja karena kandungan makna pelestarian yang penting bagi 

kesejahteraan manusia. Demikian juga dengan pemakaian bahasa daerah. Dulu ia 

dipandanag sebagai yang kafir, dari roh leluhur dan dimusuhi Gereja. Tetapi 

ketika seorang Pendeta berkhotbah dengan memakai bahasa daerah atau sedikit-

dikitnya menggunakan istilah atau faham falsafi daerah, maka anggota jemaat 

merasa kerasan (nyaman) mendengar dan menikmatinya. Rasa dihormati dan 

hubungan akrab si pengkhotbah dengan anggota Jemaatnya menjadi akrab ketika 

ia memakai apa yang ada di dalam Jemaatnya, desanya sendiri. Sang Pendeta 

tidak semata-mata membawa “barang asing” seperti bahasa dan nilai-nilai luar 

yang dipandang asing dan aneh ke dalam Jemaatnya. Rasa ‘kerasan’ muncul 

dibenak anggota Jemaat ketika Pendeta memakai simbol-simbol lokal seperti di 

atas. Dengan pendekatan ini, memori anggota Jemaatnya dilahirkan kembali. Apa 

yang menjadi milik kesenangan-nya yang tersembunyi jauh dan dalam, kembali 

ditampilkan, identitasnya dimuliakan dan martabat dirinya ditinggikan (Geertz 

1992:50-53; Kobong 1994:24-27). Di Maluku, atau di Gereja Protestan Maluku, 

penghargaan atas bahasaa daerah belum sepenuhnya dilaksanakan seperti Gereja 

Gereja di Jawa, Papua dan Batak. Bagaimana cara memperjuangkannya demi 

pemberdayaan berteologi umat yaitu  sebuah upaya membaca, mengartikan dan 

memanfaatkan secara tepat dan bermanfaat demi menghadirkan kasih Tuhan yang 

menyelamatkan dunia. D. A. Carson & John D. Woodbridge (ed, 2002:3-17) 

mengatakan bahwa upaya berteologi dengan memberi makna yang sejalan dengan 

69 

 

konteks harus menempuh interpretasi nilai-nilai budaya lokal yang diyakini 

relevan dan berperspektif keselamatan. 

 

Harmoni Dalam Pelayanan Adat Dan Gereja 

Uraian di atas menyiratkan bahwa bisa muncul dua sikap dalam berteologi 

yaitu secara positif dan juga secara negatif. Berteologi secara positif bukan 

dengan cara membangun konflik di antara Gereja dengan adat. Tetapi 

menunjukkan apresiasi dan solidaritas dalam pemaknaan nilai yang dikandung 

adat. Nilai adat mesti dijunjung tinggi oleh warga warga  adat dan demikian 

juga oleh warga Gereja. Dengan penempatan sikap dan perilaku seperti itu, maka 

hidup berdamai dengan harmonis dan solider akan terwujud. Berteologi secara 

negatif membawa Gereja melihat segala nilai adat yaitu  musuh, lawan, produk 

iblis dan harus dimusnahkan. Dengan berlaku seperti itu, kita lalu menutup pintu 

kasih Tuhan  untuk melihat karya keselamatan-Nya yang ada dan juga mampu 

berkarya di dalamnya. Ini bahaya besar sebagaimana yang diwariskan dalam 

“teologi lama” yang bergelora memusnahkan adat. 

Pertanyaan muncul, adilkah kita ketika hanya mengklaim bahwa percaya 

kepada Tete Manis saja yang lebih benar, tinggi dan agung ketimbang praktek ritus-

ritus adat yang percaya kepada Upu Lanite atau leluhur ? Bukankah sebelum 

datangnya agama samawi, Islam, Kristen Katolik dan Kristen Protestan, kuasa 

yang dihormati dan diyakini melindung dan memberkati mereka yang disebut 

kuasa tertinggi dan daripada-nya orang beragama berrefleksi dan menyebutnya 

Tuhan Tuhan  Yang Maha Kuasa ? Saya menekankan tentang berlaku adil, berarti 

hendak memberi ruang kepada agama Kristen dengan berita keselamatan dari 

Tuhan , yang disuarakan dari Gereja kepada manusia. Di situ juga mesti ada ruang 

kepada adat untuk melaksanakan ritus-ritusnya kepada manusia. Soal ruang bukan 

semata-mata sebuah tuntutan sikap etis sosial, tetapi juga sebuah keharusan 

misioner. Sebab tanpa adat, sebagai salah satu fakta sosial budaya, dengan ritus-

ritusnya yang dipandang lawan oleh Gereja, maka ke manakah kita bisa melihat 

karya keselamatan Tuhan  ? Bukan hanya melihat, tetapi juga dengan melihat ritus 

dan upacara-upacara adat, maka seseorang akan mengagungkan karya cipta Tuhan  

yang abadi dan daripadanya ia semakin menghargai sesama manusia dan alam 

70 

 

sekitarnya yang telah Tuhan ciptakan untuk diselamatkan. Dengan memberi ruang 

berarti Gereja melestarikan identitas hakiki manusia dan sekaligus mengenalkan 

karya kasih keselamatan Tuhan  kepada dunia. Tidak memberi ruang bagi adat, 

sama saja dengan Gereja menghambat karya keselamatan Tuhan .   

Untuk itu penghargaan dan pemeliharaan wilayah pelayanan di antara 

Gereja dan adat, akan menciptakan rasa tentram, aman dan damai kepada manusia 

yang satu dengan dua statusnya, yaitu sebagai anggota Jemaat dan sebagai 

anggota warga . J. Prins (1973:28-29) menegaskan, hendak-nya sikap Gereja 

kepada adat diberi batas dengan rapih; pagarnya jangan dibongkar dan sebaiknya 

diberi jalan keluar-masuk yang dijaga dengan baik-baik supaya hubungan di 

antara keduanya tetap harmonis. 

 

  

       Secara etimologis, istilah politik berasal dari bahasa Yunani: Polis dan 

Politeia. Polis berarti benteng, kota, negara dan suatu bentuk negara tertentu 

(semisal: demokrasi, kesatuan, dan sebagainya). Politeia, artinya penduduk atau 

warga negara, hak warga negara dan kewarganegaraan, tata negara dan bentuk  

pemerintahan. 

       Berdasarkan kedua istilah yang dimaksud, para ahli mencoba merumuskan 

pengertian politik menurut sudut pandangnya masing-masing. Menurut Meriam 

Budiardjo, seperti dikutip Ng.Philipus dan Nurul Aini (2004: 90) mengatakan: 

politik yaitu  berbagai macam kegiatan yang terjadi di suatu negara, menyangkut 

proses menentukan tujuan dan cara untuk mencapainya. Menurut Budiardjo, 

pengertian politik ini mencakup 6 (enam) konsep pokok, yaitu: (1) politik 

berkaitan dengan negara (state), (2) kekuasaan (power), (3) pengambilan 

keputusan (decesion making); (4) kebijaksanaan umum (public policy), (5) 

pembagian (distribusion), dan (6) alokasi (alocation). Baginya, 6 (enam) konsep 

pokok politik ini menunjukkan peranan pemerintah dan warga negara untuk 

merumuskan tujuan yang ingin dicapai dan adanya berbagai upaya bersama untuk 

mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 

       Selain itu, Ramlan Surbakti merumuskan 5 (lima) pandangannya mengenai 

politik, sebagaimana dikutip oleh Ng.Philipus dan Nurul Aini (2004: 93), yakni: 

Pertama, politik yaitu  usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk 

membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik yaitu  segala 

hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ketiga, 

politik yaitu  segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan 

kekuasaan dalam warga . Keempat, politik yaitu  segala kegiatan yang 

berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijaksanaan umum. Kelima, 

politik sebagai konflik dalam rangka mencari atau mempertahankan sumber-

sumber yang dianggap penting.  

72 

 

       Jelasnya, menurut Surbakti, politik yaitu  kerjasama antara pemerintah dan 

warga  dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat 

mengenai kebaikan bersama dalam suatu wilayah pemerintahan. Bila demikian, 

dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, kepentingan publik perlu 

diakomodir, sehingga setiap warga warga  sebagai insan politik turut 

berperanserta dalam setiap pengambilan keputusan (decesion making).  

       Tegasnya, dalam suatu sistem pemerintahan, dibutuhkan adanya karjasama 

dan partisipasi pemerintah dan seluruh komponen warga  untuk merumuskan 

dan mengimplementasikan kepentingan-kepentingan politik berdasarkan tujuan-

tujuan yang disepakati bersama. Karenanya, politik dianggap sebagai sarana untuk 

menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.  

 

B. Apakah Gereja Boleh berpolitik Praktis? 

Dalam pemahaman Calvin, politik identik dengan negara. Artinya, kalau 

gereja berpolitik berarti gereja menjalankan fungsinya sebagai hamba Tuhan  di 

dunia ini untuk mendatangkan “syaloom” baik secara rohani, jasmani maupun 

materi. Dalam konteks pandangan Calvin tersebut, gereja tidak terlibat dengan 

mendirikan partai politik atau pendukung salah satu partai politik. Gereja 

menyadari perannya sebagai hamba Tuhan  dalam membina rohani umat-Nya. 

Gereja memiliki kedaulatan tersendiri yang tidak boleh diintervensi oleh 

pemerintah. Kedudukan gereja dan negara sejajar di hadapan Tuhan  dan tidak 

saling mencampuri secara internal. 

Secara esensi, sesungguhnya kehadiran gereja di dunia sudah berpolitik 

dalam arti menjalankan amanat Yesus menjadi garam dan terang (Mat. 5:13-16). 

“kamu yaitu  garam dunia”. Pada waktu itu, Yesus berkhotbah diantara orang 

banyak, tetapi secara khusus menunjuk kepada pengikut-Nya bahwa mereka 

yaitu  “saksi-saksi Tuhan ”. Berpolitik bagi gereja bukan dalam arti aktif dalam 

partai politik, melainkan gereja mentransformasi nilai-nilai keadilan, kebenaran, 

kesejahteraan, dan kemajuan peradaban baru dalam warga  (bnd. Mat. 5:13-

16). Pemerintah yaitu  hamba Tuhan  untuk mensejahterakan rakyat (Rm. 13). 

Demikian juga gereja yaitu  hamba Tuhan  dengan tugas utama menggembalakan 

73 

 

umat-Nya. Keduanya yaitu  hamba Tuhan , tetapi dengan tugas yang berbeda. 

Keduanya tidak boleh saling mencampuri. Keduanya saling melengkapi.  

Politik Yesus tidak berorientasi merebut kekuasaan atau pemerintahan, tapi 

politik moral (etik). Politik Yesus yaitu  politik memperjuangkan tegaknya nilai-

nilai keadilan, kebenaran, kesejahteraan, dan kemajuan peradaban dalam 

warga . Dengan demikian, politik yaitu  panggilan dan amanah Tuhan . 

Demikian juga menjadi hamba Tuhan  yaitu  panggilan.  

 

C. Visi Kristiani mengenai Politik 

Visi Kristiani mengenai politik dan keterlibatan orang Kristen di dalamnya 

dapat dilihat pada hidup dan perjuangan Yesus Kristus. Pada diri Yesus, orang 

Kristen mendapat sumber inspirasi dan bercermin pada-Nya. Karenanya, pada 

bagian ini akan dikemukakan bagaimana Yesus menggunakan kekuasaan yang 

dimiliki-Nya untuk berpolitik di dalam menyikapi berbagai persoalan yang 

ditemui dalam warga . 

       Gereja Kristen zaman dahulu telah memasuki dunia politik dengan credo 

“Yesus Kurios” (Yesus yaitu  Tuhan). Pengakuan ini menyatakan bahwa Yesus 

Kristus yaitu  Tuhan, Dialah Raja di atas segala raja di bumi. Kepada-Nya telah 

diberikan segala kuasa di surga dan di bumi (Matius 28). Pengakuan ini 

merupakan suatu pengakuan politis terhadap tokoh Yesus. Namun, perlu 

dikemukakan bahwa Yesus Kristus bukanlah seorang politisi dalam arti formal, 

sebab Ia tidak memegang kekuasaan apa pun dalam struktur pemerintahan 

Romawi dan Yahudi. Apa yang dilakukan Yesus yaitu  kritik terhadap proses-

proses kekuasaan yang menindas, menekan dan tidak memberikan apresiasi 

terhadap kemanusiaan serta persoalan-persoalannya. 

       Yesus dalam pelayanan berhadapan dengan realitas warga  Yahudi yang 

termaginal, tertindas, terbelenggu karena dibodohi oleh elit kekuasaan. 

Karenanya, sebagai seorang Yahudi yang baik, Yesus melakukan tindakan-

tindakan pembelaan dan pemulihan atas hak-hak mereka. Jadi, walaupun Yesus 

bukan seorang politisi dalam arti formal, tetapi tindakan-tindakan yang dilakukan 

memiliki dampak sosial-politik bagi warga . Pada perspektif ini, politik tidak 

ditempatkan sebagai cara untuk berkuasa, tetapi dijadikan sebagai sarana 

74 

 

melayani warga . Karenanya, visi dan idiologi politik Yesus diarahkan pada 

pembebasan kemanusiaan. 

       Pembebasan kemanusiaan yang dilakukan oleh Yesus bersifat rohani dan 

sosial (kewarga an). Ia tidak hanya menebus dosa manusia, menegakkan 

keadilan, kebenaran dan pembebasan, tetapi juga menghadirkan tanda-tanda 

syaloom Tuhan  bagi dunia dan manusia (band. Lukas 4: 18-19). Tindakan 

menyembuhkan orang sakit, buta, kusta, bergaul dengan pemungut cukai, 

mengampuni perempuan pelacur, melayani orang miskin dan orang-orang yang 

terabaikan, yaitu  bukti konkrit dari kehadiran tanda-tanda syaloom Tuhan  itu. 

       Jelasnya, situasi sosial politik dimana penindasan dan pemerkosaan hak-hak 

rakyat terjadi, pemutarbalikan kebenaran, eksploitasi terhadap rakyat kecil dan 

proses-proses pemiskinan yang berlangsung secara struktural membuat Yesus 

tidak mengambil sikap netral. Netralitas bukanlah pilihan tepat, ketika 

keberpihakan kepada kelompok termarginal diperlukan. Yesus, karenanya, 

melakukan kritik dalam bentuk perkataan dan perbuatan konkrit. Ia menjadi 

prototipe yang ideal dari sebuah perjuangan, tanpa pamrih kepada rakyat. Ia selalu 

tegar dan siap menghadapi segala macam resiko dari perjuangan politik-Nya.  

       Yesus memiliki komitmen terhadap rakyat kecil dan mengantar-Nya untuk 

berhadapan dengan para penguasa. Ia yaitu  seorang pemimpin rakyat yang 

memiliki sense of politics yang sangat baik. Apa yang dipilih Yesus yaitu  suatu 

resiko yang dijalani-Nya. Kevokalan-Nya terhadap masalah-masalah sosial dan 

agama diakhiri dengan penyaliban. Pembelaan-Nya bagi orang tertindas dan 

marginal dibayar dengan kematian di Golgota. Salib telah menjadi momen dimana 

Yesus menyatukan raga dengan perjuangan yang dilakukan-Nya.  

       Pada perspektif ini, orang percaya mesti belajar dan meneladani perjuangan 

politik Yesus. Kekuasaan yang kita miliki jangan digunakan untuk pengabdi 

kembali kepada kekuasaan. Sebaliknya, kekuasaan dipakai sebagai alat untuk 

memperjuangkan hak-hak rakyat, menegakkan keadilan dan kebenaran yang 

semakin menjauh dari harapan kita bersama. Kekuasaan digunakan untuk 

membebaskan manusia dari segala bentuk penderitaan, tekanan, ketakutan, 

ketidakberdayaan, kemiskinan, keterbelakangan, dan lain-lain.  

75 

 

       Tegasnya, kekuasaan difungsikan untuk melayani, memberdayakan, 

memulihkan hak-hak rakyat, menghidupkan dan membebaskan, tanpa pamrih. 

Oleh karena itu, persepsi yang negatif bahwa Gereja harus menjauhkan diri dari 

pentas politik, justru akan semakin melemahkan keberpihakannya terhadap 

masalah-masalah kemanusiaan. Dengan demikian, keterlibatan politik dalam arti 

yang luas harus menjadi orientasi dan pergumulan setiap warga Gereja.  

       Warga Gereja, baik secara personal maupun komunal, melalui pentas politik, 

menyatakan peran sertanya sebagai warga negara (polis); sekaligus menyatakan 

sense of calling and sense of belonging-nya terhadap masalah kemanusiaan yang 

tidak pernah tuntas. Karenanya, Gereja memiliki tugas untuk memberikan 

penguatan iman dan memperlengkapi warganya dengan norma-norma dan etika, 

sehingga warganya semakin peka, tanggap, kritis, selektif dalam menentukan 

pilihan. Bahkan, segala sesuatu yang diperjuangankan demi kemanusiaan sejati 

dapat dipertanggung jawabkan secara iman. 

 

D. Nilai-nilai yang Perlu Diacu Oleh Umat Kristen dalam Melaksanakan 

Tanggung Jawab di Bidang Politik 

 

       J. Sirait (2006) mengemukakan berbagai nilai yang perlu diacu oleh umat 

Kristen dalam melaksanakan tanggung jawab di bidang politik, yaitu: (a) kasih, 

yakni mengasihi Tuhan, sesama, diri sendiri dan lingkungan alam serta mengakui 

bahwa semua manusia yaitu  orang bersaudara yang diciptakan Tuhan sesuai  

dengan citra-Nya (Imago Dei), (b) keadilan, yakni mengusahakan agar setiap 

orang berhak mendapatkan perlakuan yang adil dan memberlakukan keadilan 

serta mewujudkan keadilan dengan memperhatikan hak dan kewajiban setiap 

orang, (c) kebenaran, mengacu pada kebenaran konsensus, yakni hasil 

kesepakatan nasional bangsa negara kita  serta kebenaran Tuhan yang bersifat abadi 

dan universal, (d) kerendahan hati, dalam arti tidak menyombongkan diri, tidak 

meremehkan orang lain, dan bersedia melayani sesama demi kesejahteraan 

bersama, (e) ketulusan: bersedia menerima kenyataan, termasuk menerima 

kekalahan; konsisten dalam perkataan dan perbuatan; tidak menyembunyikan niat 

buruk dibalik perhatian, (f) kejujuran: mengatakan yang benar untuk hal yang 

benar dan salah untuk hal yang salah serta bersikap objektif dan berani mengakui 

76 

 

kekurangan, (g) kepeloporan: kesiapan mengambil prakarsa untuk meningkatkan 

prestasi demi kepentingan bersama dan bersikap pro-aktif, (h) kebangsaan: 

merasa senasib sepenanggungan dengan kelompok warga  yang lemah dan 

tertindas, (i) kesamaan: semua orang memiliki harkat, derajat dan martabat yang 

sama; semua orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan 

pemerintahan, (j) kebebasan: kebebasan berbicara, berkumpul dan berserikat; 

kebebasan beragama dan berkeyakinan; kebebasan untuk memilih pekerjaan, 

tempat tinggal dan kewarganegaraan, (k) kemerdekaan, dalam arti bebas untuk 

berbicara, berkumpul dan berserikat, bebas memilih agama dan keyakinan, bebas 

memilih pekerjaan, tempat tinggal dan kewarganegaraan, tanpa rasa takut, serta 

bebas dari penindasan, penjajahan, ketakutan dan intimidasi dari pihak mana pun, 

(l) kesetiaan: setia menjalankan tugas yang dipercayakan; setia kepada bangsa dan 

negara, (m). kesetiakawanan: bersikap empati terhadap kesuksesan dan kegagalan 

sesama; setia kepada kawan, tetangga dan warga , terutama ketika mereka 

menderita; serta suka menolong orang yang menderita. 

 

E.  Bentuk-bentuk Tanggung Jawab Umat Kristen di Bidang Politik  

 

       Umat Kristen, baik secara individu maupun secara kolektif merupakan bagian 

integral dari warga  negara kita . Karenanya, umat Kristen terpanggil pula 

untuk mengembang tanggung jawab yang sama dengan warga negara lainnya 

serta memiliki hak dan kewajiban untuk turut menentukan kehidupan politik di 

negara kita . 

       Adapun bentuk-bentuk tanggung jawab umat Kristen di bidang politik, antara 

lain: mendorong terjadinya emansipasi politik warga  yang setara maknanya 

dengan pembebasan atau pemerdekaan. Hal ini dimaksudkan untuk membangun 

kesadaran warga  terhadap esensi politik sebagai usaha bersama untuk 

melakukan tindakan-tindakan pembebasan terhadap berbagai macam penderitaan 

yang dialami oleh warga . 

       Mendorong proses terwujudnya warga  sipil (civil society) di negara kita . 

warga  sipil yaitu  suatu kenyataan hidup warga  yang menghargai hak-

hak kemanusiaan. Karenanya, umat Kristen harus mampu membangun 

77 

 

keseimbangan dengan kekuasaan negara, agar kekuasaan yang ada dapat 

digunakan bagi kepentingan banyak orang. 

       Umat Kristen harus menjadi bagian dari kekuatan sosial bangsa negara kita  

untuk menolak munculnya gagasan-gagasan federalisme, pemekaran 

provinsi/kabupaten/kota, dengan semangat egoisme dan primordialisme. Umat 

Kristen harus memberikan kontribusi pemikiran sebagai hasil refleksi teologinya 

terhadap persoalan etnisitas yang makin marak. Dengan berbuat seperti itu, umat 

Kristen menunjukkan keseriusan dan komitmennya dalam membangun kehidupan 

warga  yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang abadi, absolut dan 

universal. 

        Umat Kristen harus memberikan perhatian kepada kaum perempuan di 

bidang politik. Politik Yesus memberikan kepada Gereja suatu keteladanan untuk 

membangun kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Perhatian ini diberikan, 

ketika Yesus merombak tatanan tradisi bangsa Yahudi yang tidak menghargai 

perempuan. Kritik Yesus terhadap tradisi Yahudi yang tidak berpihak pada 

kesetaraan dan menganggap rendah perempuan  merupakan gambaran dari kritik 

Yesus yang tidak hanya berorientasi pada nilai, tetapi juga pada kekuasaan 

(power) yang ada pada laki-laki, yang bersembunyi di dalam tradisi Yahudi. Pada 

konteks yang demikian, Yesus bermaksud merubah pandangan yang salah dan 

memberikan perspektif baru terhadap peranan gender dalam pentas sosial politik 

warga . 

       Tanggung jawab politik umat Kristen juga berorientasi pada tugas untuk 

menghadirkan tanda-tanda syaloom Tuhan  bagi manusia dan dunia sejagad. Tanda-

tanda syaloom Tuhan  harus dinyatakan di tengah-tengah kehidupan warga  

negara kita  yang jauh dari kesejahteraan, jauh dari rasa keadilan, jauh dari 

kebenaran, jauh dari kedamian dan lain-lain. Gereja, dengan menghadirkan tanda-

tanda syaloom Tuhan , menyatakan kemuliaan Tuhan  bagi warga  luas. 

Walaupun sebagai Gereja, ada kesadaran bahwa gagasan-gagasan tentang 

terwujudnya tanda-tanda syaloom Tuhan  bersifat eskatologis. Artinya, secara 

otomatis tidak akan pernah terwujud dalam dunia yang nyata saat ini, tetapi ia 

memiliki pengharapan bahwa apa yang diperjuangkannya yaitu  sesuatu yang 

benar. 

78 

 

       Umat Kristen harus menolak sikap yang menjauhi kehidupan politik hanya 

karena alasan bahwa politik itu kotor, penuh intrik, perseteruan, kepentingan 

kelompok dan sebagainya. Gereja harus belajar dari Yesus bahwa sikap netral 

yaitu  sesuatu yang tidak selamanya baik. Bahkan, netralitas pun pada saat 

tertentu yaitu  sesuatu yang buruk. Sikap untuk tidak berpihak yaitu  tindakan 

yang tidak bijaksana karena sikap semacam itu sama saja dengan memberikan 

legitimasi atau justifikasi terhadap praktek-praktek yang jauh dari syaloom Tuhan . 

Konteks warga  negara kita  yang penuh dengan berbagai masalah, justru 

memberikan peluang bagi Gereja untuk menyatakan keberpihakannya. 

Keberpihakan Gereja yang diperuntukkan bagi kelompok warga  yang 

miskin, terlantar, diperlakukan secara tidak adil dan benar, dan sebagainya, yaitu  

wujud Gereja yang memahami panggilannya (sense of calling) dan merasakan 

penderitaan sesama (sense of belonging). 

       Gereja selaku institusi harus memberikan pelayanan kepada warganya agar 

dapat terlibat secara aktif dalam bidang politik dan menyalurkan aspirasi-aspirasi 

politiknya secara bertanggung jawab. Misalnya, dalam pemilihan Presiden dan 

Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota, 

Bupati dan Wakil Bupati, Kepala Desa dan anggota legislatif. Warga Gereja pada 

momen seperti ini tidak hanya menyalurkan hak suaranya, tetapi juga ikut 

mengkritisi proses penyelenggaraannya, jika ternyata terjadi penyelewengan-

penyelewengan yang cukup signifikan bagi demokrasi.  

       Selain itu, Gereja perlu melaksanakan pelayanan pastoral, jika terbukti ada 

warga Gereja melakukan suatu kesalahan. Pelayanan pastoral dimaksud, 

dipandang sebagai aksi penyadaran dan penguatan bagi proses politik selanjutnya. 

       Akhirnya, umat Kristen perlu memperjuangkan terwujudnya kestabilan 

kehidupan sosial politik sesuai tujuan nasional seperti dirumuskan dalam alinea 

ke-3 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni melindungi segenap bangsa 

negara kita  dan seluruh tumpah darah negara kita , dan untuk memajukan 

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan 

ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan 

sosial. 

 

 


 

A. Pengertian Hukum 

       Pada dasarnya, hukum yaitu  perlindungan kepentingan manusia yang 

berbentuk kaidah atau norma. Setiap komunitas (kolektif dan individu) 

membutuhkan hukum untuk melindungi harta milik atau kekayaan, nama baik, 

golongan atau komunitas, kebebasan, dan sebagainya. Kepentingan ini sangat 

beragam, baik jenis maupun kadarnya, sehingga jika tidak ada hukum yang 

mengaturnya dapat menimbulkan pertentangan antara manusia yang satu dengan 

manusia lainnya. Pertentangan seperti ini berpotensi menimbulkan kerugian. 

Bahkan, mengancam kehidupan manusia. Misalnya: pencurian, perusakan, 

penculikan, perzinahan, pembunuhan, dan sebagainya. 

       Hukum diciptakan untuk melindungi kepentingan manusia dan mengatur cara 

manusia memenuhi kepentingannya itu. Dengan demikian, manusia dapat hidup 

tentram. Komunitas yang tidak memiliki hukum dengan jelas, terancam menjadi 

kacau, sebab setiap orang akan berbuat semaunya (bersikap anarkhis). Hukum 

juga berperan untuk mengikat dan memaksa seseorang untuk berbuat atau tidak 

berbuat sesuatu. Orang yang melanggar hukum perlu diberikan sanksi atau 

hukuman, agar didorong untuk bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku. 

       Hukum harus dibuat sesuai dengan kepentingan komunitasnya. Karenanya, 

hukum harus melayani komunitasnya, bukan sebaliknya. Hukum sebagai 

penguasa (Rule of Law) berarti setiap orang harus tunduk kepada hukum, tanpa 

kecuali, dan dalam segala keadaan. 

  

 

B. Pandangan Iman Kristen mengenai Hukum 

       Orang Kristen sependapat bahwa Tuhan yaitu  pusat dan sumber dari segala 

yang baik (Markus 10: 18). Tuhan yaitu  hakim terakhir yang memutuskan apa 

yang benar dan apa yang salah. Karena itu, salah satu tanggung jawab manusia 

yaitu  melakukan apa yang dikehendaki oleh Tuhan. Pada pengambilan 

keputusan tentang apa yang harus dilakukan, orang Kristen mencari kehendak 

Tuhan, walaupun kita tidak selalu setuju tentang apa yang dikehendaki Tuhan 

(Roma 12: 2). Kehendak Tuhan dinyatakan dalam hukum-Nya, perintah-Nya, dan 

kaidah-Nya. Orang Kristen dimintakan untuk menaatinya melalui hidup yang 

tidak bertentangan dengan kehendak-Nya.  

       Umat Kristen harus menjalankan apa yang tertulis di dalam hukum Tuhan, 

tidak dapat ditawar-tawar lagi karena ia bersifat konstan dan abadi. Orang Kristen 

merupakan nabi Tuhan yang ditugaskan memberitahukan hukum Tuhan dan Injil 

kepada segala makhluk. Selain itu, perlu menaati hukum yang berlaku dalam 

negara. Apabila ternyata melanggarnya, harus bersedia menjalani sanksi.  

       Sehubungan dengan hukum Tuhan, perlu dikemukakan 3 (tiga) hal penting, 

yakni: Pertama, manusia berdosa dan dibaharui. Manusia diciptakan segambar 

dan serupa dengan Tuhan. Namun, citra yang baik ini telah hilang akibat 

kejatuhan manusia ke dalam dosa. Manusia tidak taat kepada Tuhan, tetapi juga 

tidak taat kepada kehendaknya sendiri. Akibatnya, manusia melanggar, 

mengabaikan dan menentang kehendak Tuhan. Hal ini membuat manusia 

membutuhkan hukum untuk membatasi kebebasannya, sebab kehendaknya tidak 

lagi sejajar dan searah dengan kehendak Tuhan. Namun, hal ini saja belumlah 

cukup. Manusia membutuhkan juga Juru Selamat untuk membebaskannya dari 

kuasa dosa, sekaligus dibaharui dan dipulihkan kembali. 

       Kedua, hukum Taurat sebagai pedoman dan pengajaran. Tuhan memberi 

petunjuk kepada manusia tentang bagaimana melaksanakan kehendak-Nya dengan 

memberikan hukum Taurat. Hukum Taurat berperan sebagai penolong yang 

membimbing manusia, bukan sebagai pembatas yang mengurangi kebebasan 

manusia. Karenanya, orang Kristen membutuhkan hukum, aturan, pedoman atau 

kaidah dalam hidupnya. Hal ini bukan untuk membebaskan manusia dari dosa dan 

 

kejahatan, melainkan sebagai pedoman yang membimbing melaksanakan 

kehendak Tuhan. 

       Kristus datang untuk menggenapi hukum Taurat, bukan untuk 

meniadakannya (Matius 5: 17). Karena itu, pada hakikatnya, hukum Taurat 

bersifat tetap, tidak berubah, walaupun bentuk dan penjelmaannya di dalam 

sejarah harus selalu disesuaikan dengan situasi dan keadaan. Hukum Taurat 

yaitu  Undang-Undang Dasar Kerajaan Tuhan  yang kekal. Jadi, segala hukum apa 

pun yang ada di muka bumi ini tidak boleh bertentangan dengannya. Bahkan, 

berperan sebagai pengejewantahan dari kehendak Tuhan yang ada di dalamnya. 

       Ketiga, hukum Kasih. Yesus menyimpulkan bahwa hukum yang terutama 

yaitu  hukum Kasih: kasih kepada Tuhan dan sesama manusia (Matius 22: 37-

40). Kasih kepada Tuhan berarti mengasihi Tuhan secara total, dengan segenap 

keberadaan kita. Hal seperti ini hanya dapat dilakukan, bila kita membangun 

hubungan yang hidup dengan Tuhan. Hubungan yang berlangsung tidak hanya 

sekedar formalitas saja. Kasih kepada Tuhan terungkap dalam ketaatan melakukan 

perintah-perintah-Nya, dan hidup menurut segala yang ditunjukkan-Nya. Kasih 

kepada Tuhan juga merupakan wujud nyata dan pencerminan dari kasih kepada 

sesama. 

 

C. Fungsi Profetis Umat Kristen Terhadap Hukum 

Yesus mengajar kita untuk berdoa: “Datanglah Kerajaan-Mu”. Yesus, 

melalui doa ini, mengajak kita bekerja dan mengusahakan agar Kerajaan Tuhan  

semakin nyata di bumi ini. Hal ini secara hukum dimaksudkan bahwa manusia 

turut bertanggung jawab untuk menciptakan produk hukum-hukum yang adil dan 

benar di bumi negara kita , baik dalam proses pembentukannya, penetapan maupun 

penerapannya. 

       Tuhan memanggil umat-Nya agar turut bekerja mengusahakan kesejahteraan 

kota, dimana mereka ditempatkan Tuhan (Yeremia 29: 4-7). Salah satu caranya 

yaitu  berpartisipasi dalam mewujudkan hukum-hukum yang adil dan benar 

sesuai kehendak Tuhan, jangan diam dan berhenti berinisiatif menyuarakan 

Firman Tuhan, agar kejahatan dalam warga  dapat diberantas. Orang percaya 

yang berhenti menyuarakan kebenaran dan keadilan, yang kehilangan gairah 


 

untuk memprakarsai terciptanya damai sejahtera di dunia pada zamannya, 

melalaikan panggilannya. 

 

 


Pluralisme (bahasa Inggris: pluralism), terdiri dari dua kata plural 

(=beragam) dan isme (= paham) yang berarti beragam pemahaman, atau 

bermacam-macam paham, Untuk itu kata ini termasuk kata yang ambigu. 

Pluralisme Agama (Religious Pluralism) yaitu  istilah khusus  dalam kajian 

agama agama. Sebagai ‘terminologi khusus’, istilah ini tidak dapat dimaknai 

sembarangan, misalnya disamakan dengan makna istilah ‘toleransi’, 

‘saling menghormati’(mutual respect), dan sebagainya. Sebagai satu paham 

(isme), yang membahas cara pandang terhadap agama-agama yang ada, istilah 

‘Pluralisme Agama’ telah menjadi pembahasan panjang di kalangan para 

ilmuwan dalam studi agama agama (religious studies). 

Dalam tradisi Kristen, dikenal ada tiga cara pendekatan atau cara pandang 

teologis terhadap  agama lain.  

 eksklusivisme, yang memandang hanya orang-orang yang mendengar dan 

menerima Alkitab yang akan diselamatkan. Di luar itu, ia tidak selamat.  

 inklusivisme,  yang berpandangan meskipun  Kristen  merupakan agama  

yang  benar,  tetapi  keselamatan  juga  mungkin  terdapat  pada  agama  

lain.  

 pluralisme, yang memandang semua agama yaitu  jalan yang sama - sama 

sah menuju inti dari realitas agama. Dalam pandangan Pluralisme Agama, 

tidak ada agama yang dipandang lebih superior dari agama lainnya. 

Semuanya dianggap sebagai jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan.  

85 

 

Pluralisme agama yaitu  sebuah konsep yang mempunyai makna yang 

luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, dan 

dipergunakan dalam cara yang berlain-lainan pula: 

 Sebagai pandangan dunia yang menyatakan bahwa agama seseorang 

bukanlah sumber satu-satunya yang eksklusif bagi kebenaran, dan dengan 

demikian di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan, setidak-

tidaknya, suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar. 

 Sebagai penerimaan atas konsep bahwa dua atau lebih agama yang sama-

sama memiliki klaim-klaim kebenaran yang eksklusif sama-sama sahih. 

Pendapat ini seringkali menekankan aspek-aspek bersama yang terdapat 

dalam agama-agama. 

 Kadang-kadang juga digunakan sebagai sinonim untuk ekumenisme, yakni 

upaya untuk mempromosikan suatu tingkat kesatuan, kerja sama, dan 

pemahaman yang lebih baik antar agama-agama atau berbagai denominasi 

dalam satu agama. 

 Dan sebagai sinonim untuk toleransi agama, yang merupakan prasyarat 

untuk ko-eksistensi harmonis antara berbagai pemeluk agama ataupun 

denominasi yang berbeda-beda. 

Tidak dapat dipungkiri ke-Kristenan bukan hanya satu-satunya agama di 

dunia ini. Ke-Kristenan juga bukan merupakan agama tertua. Jauh sebelum ada 

agama Kristen, Budha telah ada, Yahudi telah ada, bahkan Hindu dan Taoisme 

juga telah ada. Meskipun demikian, agama Kristen telah disejajarkan bersama 

dengan agama besar lainnya. Setiap agama yaitu  UNIK dalam pandangan tiap 

umatnya. Setiap agama yaitu  SPESIAL dalam penghayatan tiap umatnya. 

Karena itulah, isu agama merupakan isu yang rentan terhadap pergolakan sosial 

maupun dalam kehidupan berbangsa. Menghina maupun merendahkan agama 

yang berbeda merupakan suatu sikap yang rendah dan sekaligus kesombongan 

yang berlebihan.  

86 

 

Agama yaitu  sistem kepercayaan yang diwujudkan melalui tata ibadah dan 

aturan perilaku yang berhubungan dengan Tuhan maupun sesama. Banyak definisi 

tentang agama. Dalam agama, terkandung nilai-nilai transcendent dan immanent. 

Nilai ini terwujud dalam penghayatan iman dan perbuatan dalam kehidupan 

sehari-hari. Religi yaitu  nama bentuk lain dari agama. Setiap religi memiliki 

sistem tersendiri. Setiap religi mempunyai penghayatan iman tersendiri. 

Penghayatan iman ini sangat penting dan merupakan dasar seseorang memilih 

masuk ke dalam religi tersebut.  

Ke-Kristenan yaitu  sistem keagaamaan. Karena itu, sistem itu sama seperti 

sistem keagamaan yang lain. Mulai dari metodologis standar yang digunakan 

sampai kepada perumusan pernyataan teologis, hampir semua agama memakai 

kerangka logika yang sama. Ke-Kristenan mengklaim kitab sucinya sebagai 

standar tertinggi, demikian juga agama yang lain terhadap kitab sucinya. 

Memaksakan bahwa agama lain HARUS menerima Alkitab sebagai standar 

tertinggi yaitu  sama seperti memaksakan Al Quran sebagai standar tertinggi bagi 

orang Kristen. Karena itu, kita harus berhati-hati dalam merumuskan pernyataan 

teologis yang berkaitan dengan realitas agama lain. Tentu saja kehati-hatian ini 

tidak boleh sampai pada kesimpulan bahwa pada akhirnya semua agama yaitu  

sama. Secara esensi pembentukan semua agama yaitu  sama, karena sama-sama 

lahir dari adanya penghayatan iman kepada realitas YANG DI ATAS maupun 

yang Holy. Pembentukan agama yaitu  reaksi semua manusia, baik yang dipilih 

maupun tidak. Karena itu, sikap arogansi yang memusuhi agama lain perlu kita 

waspadai dan hindarkan. 

DEFINISI PLURALISME AGAMA  

 Pluralisme agama bisa dipahami dalam minimum tiga kategori. Pertama, 

kategori sosial. Dalam pengertian ini, pluralisme agama berarti ”semua agama 

berhak untuk ada dan hidup”. Secara sosial, kita harus belajar untuk toleran dan 

bahkan menghormati iman atau kepercayaan dari penganut agama lainnya. Kedua, 

kategori etika atau moral. Dalam hal ini pluralisme agama berarti bahwa ”semua 

pandangan moral dari masing-masing agama bersifat relatif dan sah”. Jika kita 

87 

 

menganut pluralisme agama dalam nuansa etis, kita didorong untuk tidak 

menghakimi penganut agama lain yang memiliki pandangan moral berbeda, 

misalnya terhadap isu pernikahan, aborsi, hukuman gantung, eutanasia, dll. 

Ketiga, kategori teologi-filosofi. Secara sederhana berarti ”agama-agama pada 

hakikatnya setara, sama-sama benar dan sama-sama menyelamatkan”. Mungkin 

kalimat yang lebih umum yaitu  ”banyak jalan menuju Roma”. Semua agama 

menuju pada Tuhan , hanya jalannya yang berbeda-beda.  

 

FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PLURALISME AGAMA 

Fundamentalisme agama disertai dengan manifestasinya yang salah yaitu  

racun berbahaya yang sedang berkembang luas. Walaupun demikian, saat ini 

pluralisme agama sebagai ”lawannya” juga menjelma menjadi virus yang cepat 

menular. Pluralisme agama kenyataannya makin populer di kalangan orang-orang 

yang beragama maupun tidak beragama, berpendidikan tinggi maupun rendah, 

teolog maupun kaum awam. Ada banyak faktor yang mendorong orang untuk 

mengadopsi pluralisme agama. Beberapa faktor yang signifikan yaitu : 

1. Iklim demokrasi   

Dalam iklim demokrasi, kata toleransi memegang peranan penting. Sejak 

kecil di negara ini kita diajar untuk saling menghormati kemajemukan suku, 

bahasa dan agama. Berbeda-beda tetapi satu jua. Begitulah motto yang 

mendorong banyak orang untuk berpikir bahwa semua perbedaan yang ada pada 

dasarnya bersifat tidak hakiki. Beranjak dari sini, kemudian toleransi terhadap 

keberadaan penganut agama lain dan agama-agama lain mulai berkembang 

menjadi penyamarataan semua agama. Bukankah semua agama mengajarkan 

kebaikan? Jadi, tidak masalah Anda menganut yang mana! 

 

2. Pragmatisme 

Dalam konteks negara kita  maupun dunia yang penuh dengan konflik 

horisontal antar pemeluk agama, keharmonisan merupakan tema yang digemakan 

dimana-mana. Aksi-aksi ”fanatik” dari pemeluk agama yang bersifat destruktif 

dan tidak berguna bagi nilai-nilai kemanusiaan membuat banyak orang menjadi 

muak. Dalam konteks ini, pragmatisme bertumbuh subur. Banyak orang mulai 

88 

 

tertarik pada ide bahwa menganut pluralisme agama (menjadi pluralis) akan lebih 

baik daripada seorang penganut agama tertentu yang ”fanatik”. Akhirnya, orang-

orang ini terdorong untuk meyakini bahwa keharmonisan dan kerukunan lebih 

mungkin dicapai dengan mempercayai pluralisme agama daripada percaya bahwa 

hanya agama tertentu yang benar. Yang terakhir ini tentu berbahaya bagi 

keharmonisan warga . Begitulah pola pikir kaum pragmatis. 

 

3. Relativisme 

Kebenaran itu relatif, tergantung siapa yang melihatnya. Ini yaitu  

pandangan yang populer, sehingga seorang tukang sapu pun memahaminya. 

Dalam era postmodern ini penganut relativisme percaya bahwa agama-agama 

yang ada juga bersifat relatif. Masing-masing agama benar menurut penganut dan 

komunitasnya. Kita tidak berhak menghakimi iman orang lain. Akhirnya, kita 

selayaknya berkata ”agamamu benar menurutmu, agamaku benar menurutku. Kita 

sama-sama benar”. Relativisme agama seolah-olah ingin membawa prinsip win-

win solution ke dalam area kebenaran.  

 

4. Perenialisme  

Mengutip Komarudin Hidayat, filsafat perennial yaitu  kepercayaan 

bahwa Kebenaran Mutlak (The Truth) hanyalah satu, tidak terbagi, tetapi dari 

Yang Satu ini memancar berbagai “kebenaran” (truths). Sederhananya, Tuhan  itu 

satu, tetapi masing-masing agama meresponinya dan membahasakannya secara 

berbeda-beda, maka muncullah banyak agama. Hakekat dari semua agama yaitu  

sama, hanya tampilan luarnya yang berbeda. 

 

SEBUAH MODEL: PLURALISME AGAMA VERSI JOHN HICK 

Untuk mengetahui lebih jelas tentang pluralisme agama, kita akan melihat 

pandangan John Hick sebagai tokoh pluralis yang tulisannya sering dikutip baik 

oleh orang Kristen maupun pemeluk agama lain. Berikut ini yaitu  rangkuman 

pandangan John Hick: 

• Semua agama yaitu  respon terhadap keberadaan tertinggi yg bersifat 

transenden (Tuhan -yang disebut The Real). 

89 

 

• “The Real” itu melampaui konsep manusia sehingga semua agama tidak 

sempurna dalam relasinya terhadap “The Real” tersebut. 

• Oleh karena itu, tentang agama-agama John Hick berkata, “agama-agama 

tidak mungkin semuanya benar secara penuh; mungkin tidak ada yang 

benar secara penuh; mungkin semua yaitu  benar secara sebagian.” 

• John Hick membedakan “The Real” sebagai realitas ultimat dan “The 

Real” yang ditangkap dan dipersepsikan oleh agama-agama sebagai 

Personae (berpribadi): Tuhan , Yahweh, Krisna, Syiwa atau Impersonae 

(tidak berpribadi): Tao, Nirguna Brahman, Nirwana, Dharmakaya 

• Dalam konsep Hick, Personae dan Impersonae yaitu  penafsiran terhadap 

The Real. The Real itu tidak dapat disebut personal atau impersonal, 

memiliki tujuan atau tidak memiliki tujuan, baik atau jahat, substansi atau 

proses, bahkan satu atau banyak. The Real itu melampaui semua kategori 

manusiawi seperti itu. 

• Keselamatan yaitu  proses perubahan manusia dari berpusat pada diri 

sendiri (self-centered) menjadi berpusat pada Realitas tertinggi (Real-

centered). 

• Kriteria untuk mengetahui apakah seseorang sudah diselamatkan atau 

tidak yaitu  kehidupan moral dan spiritualnya yang mencerminkan 

kekudusan. Diantara kualitas-kualitas itu yaitu : belas kasihan, kasih 

kepada semua manusia, kemurnian, kemurahan hati, kedamaian batin dan 

ketenangan, sukacita yang memancar. 

 

PLURALISME AGAMA: SEBUAH TINJAUAN KRITIS  

Pluralisme agama memang ”simpatik” karena ingin membangun teologi yang 

terdengar amat toleran, ”semua agama sama-sama benar. Semua agama 

menyelamatkan”. Walaupun demikian teologi pluralisme agama pada dasarnya 

menyangkal iman Kristen sejati yang kembali pada Alkitab. Kita akan 

memberikan beberapa kritik terhadap pluralisme agama ini. 

 

 

 

90 

 

1. Pluralisme agama merupakan pendangkalan iman 

Orang yang percaya pada teologi pluralisme agama biasanya tidak benar-

benar mendasarkan pandangannya atas dasar kitab suci agama yang dianutnya 

atau tidak benar-benar berteologi berdasarkan sumber utama (kitab suci). Jika kita 

benar-benar jujur membaca kitab suci agama-agama, maka kita menemukan 

klaim-klaim eksklusif yang memang tidak bersifat saling melengkapi tetapi saling 

bertentangan. Sebagai contoh: Buddhisme tidak percaya pada kehidupan kekal 

(surga) sebagai tempat bersama Tuhan . Buddhisme percaya pada Nirwana dan 

Reinkarnasi. Nirwana yaitu  Keadaan Damai yang membahagiakan, yang 

merupakan kepadaman segala perpaduan yang bersyarat (Dhammapada bab 

XXV). Bagi Budhisme, tidak ada neraka dalam definisi ”tempat dan kondisi 

dimana Tuhan  menghukum manusia”. Yang ada yaitu  reinkarnasi bagi mereka 

yang belum mampu memadamkan keinginan-keinginan duniawinya. Hal ini tentu 

bertentangan dengan konsep Kristen yang percaya surga dan neraka. Bahkan jika 

kita berkata bahwa Islam juga mempercayai surga dan neraka, tetap terdapat 

perbedaan konsep (Lih.Q.S.6:128; 78:31-34). Disini kita melihat bahwa 

pluralisme yaitu  konsep yang mereduksi keunikan pandangan agama masing-

masing. 

 

2. Pluralisme agama memiliki dasar yang lemah 

Pragmatisme yang mendasari pluralisme agama yaitu  sebuah cara berpikir 

yang  tidak tepat. Demi keharmonisan maka menganggap semua agama benar 

yaitu  mentalitas orang yang dangkal dan penakut. Selanjutnya, relativisme 

kebenaran yaitu  sebuah pandangan yang salah. Penganut relativisme agama 

tampaknya sering tidak bisa membedakan antara relativisme dalam hal selera 

(enak/tidak enak, cantik/tidak cantik), opini (Unpatti akan semakin maju/mundur) 

dan sudut pandang (ekonomi, sosiologi) dengan kemutlakan kebenaran. 

Kebenaran itu mutlak, sedangkan selera, opini dan sudut pandang memang relatif. 

  

  

91 

 

3. Penganut pluralisme Agama seringkali tidak konsisten 

  Penganut pluralisme agama sering menuduh golongan yang percaya 

bahwa hanya agamanyalah yang benar (sering disebut eksklusivisme atau 

partikularisme dalam  teologi Kristen) sebagai fanatik, fundamentalis dan 

memutlakkan agamanya. Padahal dengan menuduh demikian, kaum pluralis telah 

menyangkali pandangannya sendiri bahwa tiap orang boleh meyakini agamanya 

masing-masing secara bebas. Jika seorang  pluralis anti terhadap kaum eksklusivis 

maka ia bukanlah pluralis yang konsisten. Dalam realita, kita menemukan banyak 

pluralis yang seperti itu dan memutlakkan pandangan bahwa ”semua agama 

benar”. Kaum pluralis seringkali terjebak dalam eksklusivisme baru yang mereka 

buat yaitu hanya mau menghargai kaum pluralis lainnya dan kurang menghargai 

kaum eksklusivis. 

 

 4. Pluralisme agama menghasilkan toleransi yang semu 

  Jika kita membangun toleransi atas dasar kepercayaan bahwa semua 

agama sama-sama benar, hal itu yaitu  toleransi yang semu. Toleransi yang sejati 

justru muncul sebagaimana dikatakan Frans Magnis Suseno, ”meskipun saya tidak 

meyakini iman-kepercayaan Anda, meskipun iman Anda bukan kebenaran bagi 

saya, saya sepenuhnya menerima keberadaan Anda. Saya gembira bahwa Anda 

ada, saya bersedia belajar dari Anda, saya bersedia bekerja sama dengan Anda.” 

 

 5. Kritik terhadap pluralisme agama John Hick 

  Jika ”The Real” atau Tuhan -nya Hick memang melampaui konsep yang 

baik atau yang jahat, mengapa Hick justru menggunakan kriteria ”kekudusan” 

untuk mengetahui seseorang itu sudah diselamatkan atau tidak diselamatkan? Ini 

yaitu  sebuah kriteria yang bisa kita pertanyakan keabsahannya. Selanjutnya, bagi 

Hick, keselamatan yaitu  transformasi moral akibat perubahan pusat 

kehidupannya dari diri sendiri kepada ”The Real” (Tuhan , Brahman, Tao). Hal ini 

mencerminkan teologi yang tidak berdasarkan Alkitab, walaupun Hick sendiri 

mengaku Kristen. Teologi alkitabiah menunjukkan bahwa keselamatan bukan 

hasil perilaku etika atau moralitas tertentu tetapi kebenaran Tuhan  di dalam karya 

penebusan Yesus Kristus di kayu salib yang kita terima secara cuma-cuma melalui 

92 

 

iman (Roma 3:28-30; 10: 9-10; Mat. 26:28). Keselamatan dalam konsep Kristen 

juga berbeda dengan keselamatan dalam Islam karena Al Qur’an menyatakan 

bahwa keselamatan yaitu  hasil sinergi antara iman dan amal manusia (Q.S.Al 

Baqarah 25). 

E. Perspektif Kristiani mengenai Kerukunan 

      Perjalanan bangsa Israel di padang gurun merupakan suatu momen 

pembelajaran tentang solidaritas dan toleransi dalam kehidupan bersama. Israel, 

pada perjalanan itu, dipersiapkan oleh Tuhan  untuk menjadi suatu bangsa yang 

kuat, bersatu dan berdaulat. Secara psikologis, sosiologis dan keagamaan, 

perjalanan di padang gurun telah mempererat ikatan suku-suku dalam satu bentuk 

solidaritas dan kerukunan antar warga . Puncak solidaritas dan kerukunan 

yang dimaksud, terwujud ketika bangsa Israel tiba di tanah Kanaan, tempat yang 

dijanjikan Tuhan. Kerukunan juga dibicarakan dalam Mazmur 133 mengenai 

persaudaraan yang rukun. 

       Seiring dengan itu, Yesus juga mengemukakan prinsip dasar hidup yang 

bersifat universal mengenai kasih kepada sesama dengan melewati batas-batas 

suku, bangsa, ras, kelas sosial dan agama. Perumpamaan tentang orang Samaria 

yang murah hati merupakan bukti sikap Yesus yang tidak memandang perbedaan 

suku, ras dan agama sebagai kendala untuk menyampaikan cinta kasih dan damai 

sejahtera. Melalui perumpamaan ini, Yesus memperlihatkan suatu pola 

keteladanan yang perlu menjiwai hidup dan pelayanan para pengikut-Nya.